array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3517451"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/tak-menyangka-diajak-membunuh_st-20221009065022.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(15) "Intisari Online"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(224)
          ["email"]=>
          string(24) "onlineintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(143) "Sesosok tubuh setinggi 2 meter tergeletak di pintu apartemen. Dari kepalanya mengalir darah segar dengan obeng masih tertancap di tengkoraknya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/tak-menyangka-diajak-membunuh_st-20221009065022.jpg"
      ["title"]=>
      string(29) "Tak Menyangka Diajak Membunuh"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-10-09 18:53:32"
      ["content"]=>
      string(24781) "

Intisari Plus - Sesosok tubuh raksasa setinggi 2 meter tergeletak di pintu apartemen. Dari kepalanya mengalir darah segar dengan obeng masih tertancap di tengkoraknya. Siapa pelakunya?

-------------------

Pukul 22.34, alarm di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit di Cherbourg, Prancis, berbunyi. “Cite Fougere, 26,” ujar petugas ambulans yang langsung lari masuk ke dalam mobil ambulans. “Apartemen lantai bawah.”

Ambulans langsung meluncur dengan sirine memecah keheningan malam. Hari itu Senin, 23 Juni 1980. Cherbourg merupakan pusat pembuatan kapal yang penting dan dihuni oleh sekitar 35.000 penduduk, yang kebanyakan malam itu “lengket” pada pesawat televisi mereka.

Cite Fougere merupakan daerah pinggiran Kota Cherbourg yang sedang berkembang. Karena penduduknya masih relatif sedikit, banyak penghuni apartemen di Cite Fougere 26 kenal satu sama lain. Ketika ambulans datang, semua penghuni apartemen berkumpul di ruang depan atau tangga apartemen. Beberapa wanita terdengar menangis.

 

Dihormati tetangga

Petugas ambulans yang akan menolong korban pun ikut meneteskan air mata saat melihat kondisi korban. Sesosok tubuh raksasa, dengan tinggi lebih dari 2 m dan berat lebih dari 125 kg tergeletak di jalan masuk di salah satu kamar lantai bawah apartemen. Sungguh, sosok raksasa sebab tidak ada satu ons pun lemak di tubuhnya. Yang menyedihkan, kepalanya terluka. Darah menggenang di lantai dan masih keluar dari batok kepalanya.

Paramedis langsung meloncat turun dan memeriksa korban. Korban ternyata masih hidup. Namun, alamak ... obeng masih menancap di salah satu sisi kepalanya!

la mengerang. Petugas ambulans tadi langsung berusaha mencegah pendarahan lebih hebat. Setelah itu ia segera menyiapkan peralatan untuk membawa korban sesegara mungkin. Sayangnya, postur raksasa dan akses ke ambulans yang sempit membuat hal itu tidak mudah.

Para tetangga pun membantunya. Setelah masuk, ambulans langsung melesat diiringi kilatan lampu birunya yang berpendar-pendar serta raungan sirine. Perjalanan tidak makan waktu lama sebab jalanan memang senyap. Namun, setelah melihat kondisi korban, dokter jaga langsung menyuruh untuk mengirimnya ke rumah sakit di Caen, kira-kira 121 km dari Cherbourg, karena memiliki fasilitas kesehatan yang lebih bagus. Dalam pandangan dokter, dengan luka seperti itu peralatan yang terbaik pun masih disangsikan bisa mengatasi luka yang terjadi.

Kembali ambulans dipacu sampai lebih dari 160 km per jam. Pada saat bersamaan, polisi mulai berdatangan ke apartemen korban. Unit pertama yang datang hanyalah polisi patroli yang merespons laporan bahwa ada kecelakaan di Cite Fougere 26. Namun kemudian diikuti dengan tim jaga malam dari Departemen Investigasi Kriminal. Polisi patroli melaporkan kalau korban sudah dibawa ke rumah sakit. Ceceran darah masih terlihat di apartemen dan menunjukkan korban sepertinya tidak mampu bertahan dari lukanya. Pada saat itu tak seorang pun tahu bagaimana atau apa yang menyebabkan luka seperti itu.

Inspektur Jules Marechal, polisi senior dari tim itu, kemudian menghubungi RS Louis Pasteur. Namun, petugas rumah sakit menyatakan korban dibawa ke RS Caen yang memiliki peralatan kedokteran lebih lengkap. Petugas rumah sakit kemudian merinci luka yang diderita korban dan kecil kemungkinan korban selamat.

“Apakah luka itu akibat kecelakaan?” tanya Inspektur. Sulit baginya menerima kenyataan korban dibunuh. Cherbourg memang kota yang keras layaknya kota pelabuhan, sehingga orang terbunuh merupakan hal yang biasa terjadi, tapi biasanya akibat perkelahian di bar-bar tepi pantai dan tidak di apartemen atau di kota.

“Saya tidak tahu. Tapi masak iya orang menancapkan obeng ke kepalanya?” jawab dokter.

Inspektur tak melihat alasan buat menjawabnya dan kemudian meminta nomor telepon RS Caen yang sedang dituju. Seperti polisi Eropa lainnya, Jules Marechal adalah polisi bertipe pelayan masyarakat. la bekerja berdasarkan fakta dan tidak terburu-buru. Berbeda dengan asistennya, Detektif Sersan Anatole Bertrand yang masih muda. Meski kurang sabaran, secara teknik Bertrand lebih terlatih, sebab ia lulusan sekolah kepolisian yang di zaman Marechal belum ada.

“Haruskah saya menyelidiki apartemen ini dan mencari suatu bukti?” tanya Bertrand kepada Inspektur.

‘“Terus, apa yang kamu pelajari dari bangku sekolah?” sergah Inspektur.

Dengan muka kalem Bertrand nyerocos, “Salah satu penghuni bilang, korban bernama Francois Jeanne. la tukang kayu di galangan kapal. Umurnya 30-an tahun. Tidak kawin kelihatannya, dan semua penghuni di sini sangat menghormatinya ...”

‘‘Oke, datangi galangan kapal dan cari tahu soal lelaki ini. Senjata untuk membunuh masih tertancap di kepalanya. Jika tetangga tahu betul korban, mereka mungkin bisa mengira-ngira siapa pelaku pembunuhan.”

Sayang sekali, tetangganya tidak tahu.

 

Gara-gara obeng

Francois Jeanne, kata mereka, sangat disukai orang-orang yang pernah kenal dengannya. Tubuh yang besar ibarat domba tua yang kalem. la bukanlah pria temperamental. Melihat posturnya memang bisa dipertanyakan motif orang yang mengajaknya berkelahi. Mungkin hanya orang gila atau mereka yang mau bunuh diri saja yang berani menantangnya berkelahi. Meski begitu, Jeanne ternyata bukan tipe orang yang suka berkelahi. Bahkan jika ada orang yang menyakitinya, sepertinya ia akan membiarkan sampai orang itu capek sendiri. Pada satu atau dua kasus, ia memang pernah dongkol.

“Apakah itu motif penyerangan kali ini?” tanya Inspektur.

“Yang jelas bukan perampokan. Tukang kayu galangan kapal memang bisa hidup berkecukupan, tapi tentu tidak sampai membuat orang ingin membunuh demi uangnya. Tentu saja, ia mungkin menerima warisan atau yang lainnya. Orang dari laboratorium mungkin bisa menentukan hal itu setelah mereka sampai di sini,” ujar Sersan.

“Oke, aku mau balik ke kantor untuk menelepon RS di Caen. Aku ingin laporan kondisi Jeanne sesegera mungkin supaya tahu apakah kita menyelidiki kasus pembunuhan atau bukan. Juga apakah ia bisa menyebut siapa yang melakukan hal itu. Sampai kita memperoleh kepastian, sementara kita anggap ini pembunuhan. Suruh orang laboratorium untuk menyelidiki apartemen dengan hati-hati dan kemas dengan baik. Suruh polisi lain mewawancarai penghuni apartemen dan rekam pembicaraan itu. Cek juga apakah ada laporan korban menerima tamu wanita. Mungkin ini tidak berarti, tapi siapa tahu ada pacar atau suami yang cemburu,” Inspektur memberi perintah sambil bergegas menuju mobil patrolinya.

Inspektur kembali ke kantor dan menelepon rumah sakit di Caen yang memberitahu dirinya bahwa ambulans sudah sampai, namun Jeanne telah menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan.

“Kirim jasadnya bersama ambulans. Kita perlu untuk autopsi di sini,” kata Inspektur.

Autopsi dilakukan oleh ahli koroner RS Cherbourg, dr. Claude Terrance, yang melaporkan bahwa Jeanne meninggal akibat obeng sepanjang 15 cm yang ditancapkan di kepalanya. Ia juga menderita akibat sejumlah besar pukulan di kepala oleh benda berat. Meski bikin retak, tapi tidak cukup mengoyak batok kepalanya.

Penyelidik sudah tahu benda berat macam apa itu. Benda yang sama yang juga dipakai buat memalu obeng ke kepala Jeanne itu berupa kunci inggris sepanjang 60 cm itu. Sama seperti obeng, kunci inggris itu milik Jeanne yang disimpan di toilet di dekat dapur.

“Kok jadi begini kasusnya? Aneh ... ,” ujar Inspektur saat Sersan menceritakan hal itu.

“Maksud Anda?” Sersan bertanya.

“Ya, bagaimana pembunuh bisa memperoleh kotak perkakas itu? Padahal, orang laboratorium bilang, tidak ada tanda-tanda pembunuh masuk ke apartemen. Kotak peralatan itu disimpan di toilet di samping dapur. Apakah Jeanne membawa kotak itu ke ruang depan dan menyerahkannya pada seseorang yang kemudian digunakan untuk membunuh dirinya sendiri?” tanya Inspektur.

Hmmm, jadi sangat musykil ada orang membunyikan bel tamu, lalu Jeanne membuka pintu dan dipukul kepalanya. Kalau begitu, mungkin ada tukang kayu galangan kapal lain,” kata Sersan.

“Bagaimana kamu sampai pada kesimpulan itu?” tanya Inspektur.

“Saya beranggapan, peralatan yang dipakai membunuh itu kepunyaan Jeanne. Jadi, ada kemungkinan temannya meminjam dan kemudian mengembalikan kepadanya. Nah, saat mengembalikan itulah terjadi pembunuhan,” ucap Sersan.

“Pintar, tapi kamu melupakan satu hal. Kunci inggris dan obeng itu peralatan standar bagi tukang kayu yang bekerja di galangan. Jadi, bisa dipastikan setiap tukang kayu memilikinya. Alat itu pun bisa juga dipinjam oleh mereka yang bukan pekerja galangan kapal.”

 

Saling melindungi

Maka,pencarian tersangka semakin melebar, tidak lagi terfokus kepada tukang kayu. Dari sejumlah nama tersangka, satu-satunya lelaki yang pernah dikeluhkan Jeanne adalah tukang kayu galangan kapal yang tinggal di 56 Avenue de Paris, sekitar 182 m dari rumah Jeanne. Namanya Emile Montigny, usianya 34 tahun - tiga tahun lebih muda dari Jeanne. Lelaki ini kolega Jeanne di galangan kapal, namun dipecat karena suka buang-buang waktu saat bekerja. Sejak itu ia hidup sebagai pengangguran.

Karena memiliki banyak waktu luang, Montigny pun leluasa mengunjungi Francois Jeanne. Namun, kedatangannya selalu pada saat Jeanne berada di tempat kerja dan bukan di rumah. Ada alasannya memang, sebab di rumah Jeanne ada Hugette Pivain (31), janda bekas pelayan, yang tinggal bersama dengan Jeanne sejak 1973. Mereka tidak menikah, sebab Pivain selalu menolak upaya Jeanne ke arah itu. Entah apa alasannya. Yang jelas Jeanne tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka memiliki putri semata wayang, Katia, yang berumur empat tahun.

Entah mengapa, Hugette meninggalkan apartemen itu dan bersama Katia justru memilih hidup serumah dengan Emile Montigny yang pengangguran. Apakah ini yang jadi penyebab terbunuhnya Jeanne? Tapi kok sepertinya terbalik? Bukannya Jeanne yang membunuh mereka berdua daripada Jeanne yang terbunuh oleh mereka?

“Jika Pivain atau Montigny atau malah keduanya yang menjadi korban pembunuhan, kasusnya akan lebih mudah dipecahkan,” ujar Sersan. “Tetangga bilang, Pivain sesungguhnya tidak peduli dengan anaknya. Di lain pihak Pivain seperti menghalang-halangi Jeanne untuk menumpahkan rasa sayangnya pada Katia.”

Sersan akhirnya meluncur ke tempat tinggal Pivain dan Montigny, ingin mengorek lebih dalam soal pembunuhan. Kedatangan Sersan ternyata mengganggu pasangan yang sedang bercinta itu. Alhasil, keduanya hanya memberikan keterangan seperlunya dengan harapan segera menuntaskan gairah cinta mereka yang sempat terputus.

Maka Sersan pun langsung menukik pada pokok persoalan, “Apa yang Anda ketahui tentang penyerangan Francois Jeanne?”

“Tidak ada,” kata Montigny. Mereka pergi ke tempat tidur selepas pukul 20.00.

“Ya, tidak ada,” ujar Hugette Pivain. Sersan melihat ada pancaran dendam di mata wanita mungil ini.

Sersan mengucapkan terima kasih dan segera beranjak dari tempat itu. Apartemen itu begitu kotor sehingga ia enggan menyentuhkan bajunya pada debu yang ada di perabotan. la tidak pernah melihat wanita mungil itu dan tidak tahu keberadaannya, seperti terungkap dari omongan tetangga di nomor 26 bahwa Hugette itu gundik Jeanne dan sekarang tinggal bersama Montigny.

Uh ... semua orang bikin aku seperti gila saja!” ujar Sersan ketika dirinya dan Inspektur berdiskusi soal kemajuan kasus yang mereka hadapi. Sejujurnya sih ketidakmajuan. “Jeanne itu sosok orang yang baik hati dan sabar. Tapi kenapa harus mengalami penderitaan yang tak terbayangkan seperti itu? la tidak pernah mengumbar amarah kepada Pivain. Justru ia menyemai kebaikan tiap hari. Jika ia menuai kejadian seperti itu dan andai Pivain pelakunya, sungguh wanita itu pasti wanita sadis.”

“Ya, aku juga berpendapat begitu. Aku pun sudah berbicara dengan dia,” ujar Inspektur. “Menurut kamu, bagaimana dengan Montigny?”

Hmmm .... Jujur saja, ia hanya mengincar makanan, seks, dan tempat tinggal. Tidak lebih,” kata Sersan terus terang.

“La, kalau cuma mengincar hal-hal itu, di penjara ia bisa memperolehnya. Kecuali seks tentu saja. Tapi, mungkinkah ia dan wanita itu yang melakukannya?” ucap Inspektur.

Sebenarnya, pertanyaan itu lebih tepat diarahkan kepada Inspektur sendiri. Toh, Sersan mencoba menjawabnya.

“Saya tidak tahu alasannya. Jika mereka saling melindungi, mereka aman. Tapi saya sangsi salah satu dari mereka kuat bertahan untuk saling melindungi,” Sersan mencoba menduga-duga.

“Jangan sok tahu! Oke, tanpa bukti atau sebuah pengakuan, kita tidak akan pernah bisa mendakwa salah satu dari mereka. Jaksa pemeriksa tidak akan percaya bagaimana bisa wanita mungil seperti itu membunuh seorang raksasa.”

 

Tidak ada bukti nyata 

Hugette Pivain dan Emily Montigny pun dihapus dari daftar orang yang berpotensi menjadi tersangka. Polisi lalu mengubah arah pencariannya. Tapi, hampir semua petunjuk yang mereka dapatkan berakhir pada kesimpulan yang mengarah kepada pasangan itu.

Meskipun Hugette sudah keluar dari apartemen di Cite Fougere, wanita ini masih memegang kunci kamar dan hampir tiap hari ke sana untuk mencuci pakaian-pakaiannya di mesin cuci milik Jeanne, dan juga mengosongkan lemari esnya. Suatu langkah penghematan tentunya.

“Nah, itu sebenarnya dapat menjadi petunjuk. Bukankah dengan begitu Hugette memiliki akses ke apartemen dan juga peralatan Jeanne yang disimpan di toilet dekat dapur? la bisa menunggu Jeanne di lorong masuk kamar, berdiri di kursi atau benda apalah yang membuat posisinya jadi tinggi sehingga bisa memukul kepala Jeanne,” Sersan menganalisis.

“Ya, benar teorimu. Tapi atas alasan apa ia harus membunuh Jeanne? Bukankah dengan tewasnya Jeanne ia kehilangan kebebasan mencuci gratis dan pasokan makanan serta minuman? Jelas bukan dia pelakunya,” ujar Inspektur putus asa. “Ia justru berharap agar Jeanne tetap hidup. Selain itu, secara fisik ia tidak mungkin melakukan hal itu.”

“Motif bukan segalanya,” sergah Sersan. “Memang agak mustahil Hugette pelakunya. Tak ada bukti Jeanne keluar dari apartemen waktu itu. Nah, jika ia tidak pergi, bagaimana Hugette bisa masuk, mengambil kunci inggris dan obeng dari toilet dapur, naik ke kursi, lalu memukulkan obeng dan kunci inggris ke arah Jeanne? Selain itu, di mana gerangan kursi itu? Maaf Komandan, kalau analisis saya ngawur.” 

“Memang! Lagi pula tidak ada setetes pun bercak darah di ruangan itu. Kalau Hugette menghujamkan obeng, pasti ada darah yang memercik. Sudahlah, jangan lagi memikirkannya. Ia bukan pelakunya. Tidak masuk akal wanita sekecil itu membunuh pria sebesar Jeanne.”

Penyelidikan pun dimulai lagi. Sebuah keberuntungan mendekati Sersan. Entah ada bisikan apa ia menyambangi rumah sakit. Ternyata Jeanne beberapa kali mengunjungi rumah sakit itu! Instingnya langsung bekerja. Sersan pun mengaduk-aduk data di rumah sakit itu dan mendapati fakta bahwa beberapa tahun silam Jeanne menjadi pengunjung rutin rumah sakit itu.

Sejak pertengahan tahun 1977 sampai beberapa minggu sebelum meninggal, rata-rata dua kali seminggu Jeanne datang untuk menjalani perawatan akibat luka, memar, dan patah tulang ringan. Dalam setiap kasus ia bilang kalau luka dan cederanya itu akibat kecelakaan dan kesalahan sendiri. Para dokter memberikan catatan dalam medical record-nya, dalam beberapa kasus pengakuan itu mengada-ada. Seseorang telah melukai Jeanne.

Penyelidikan lebih jauh mendapatkan informasi bahwa pertengahan tahun 1977, Hugette punya kekasih yang dijumpai saat ia pergi ke bar. Berhubung Cherbourg kota kecil, Jeanne tahu akan hal itu dan marah. Hugette tidak terima hal itu.

“Tak mungkin dia,” potong Inspektur. “Berulang kali aku katakan: ia terlalu kecil! Tidak ada kesempatan, tidak ada motif, tidak ada .... Pokoknya, jika Hugette pelakunya, kasus ini sudah selesai. Kita tidak punya bukti nyata.”

“Tapi, maaf, saya merasa pelakunya Hugette. Kita sudah bertanya ke semua orang di Cherbourg, dan semua mengatakan hal yang sama: tidak ada orang yang berniat membunuh Jeanne. Hugette satu-satunya orang yang berpotensi tidak suka pada Jeanne dan punya alasan kuat,” ujar Sersan.

“Baiklah, saya coba setuju dengan pendapat kamu. la seorang wanita, tinggal bersama Jeanne selama hampir tujuh tahun dan ia melahirkan anaknya. Jeanne tidak pernah menunjukkan sifat buruknya, kecuali kasih sayang, dan kematian Jeanne berarti kehilangan sumber keuangan bagi Hugette. Tapi kamu benar. Mulai dari saat tetangga mendengar erangan di ruangan apartemen dan memanggil kita, sampai saat ini kita tidak pernah menemukan seseorang yang bisa dijadikan tersangka, selain Hugette. Sekarang, pergilah dan kita mulai berpikir bagaimana membawa ia ke pengadilan.”

“Sayangnya, Anda tidak akan bisa melakukan hal itu. Tidak ada bukti material. Hugette dan Montigny punya alibi yang saling mendukung. Kasus ini tidak bisa dipecahkan.”

“Mungkin tidak, tapi saya masih memiliki waktu 11 tahun, empat bulan, dan dua hari sebelum pensiun. Jika akhirnya pensiun itu datang, simpan kasus ini sebagai ‘Kasus Tak Terpecahkan’.”

Kasus Jeanne bukanlah satu-satunya kasus yang akan terkirim dalam ‘Kasus Tak Terpecahkan’. Ada banyak kasus yang masih misterius. “Tidak ada polisi yang sempurna, yang selalu memecahkan setiap kasus yang ditanganinya,” Inspektur mencoba menghibur diri.

 

Motif belum terungkap 

Pada kasus pembunuhan Francois Jeanne, bagaimanapun Inspektur tidak mau menyerah begitu saja. Segala kemungkinan dan kecilnya peluang terus diteliti. Masih menjadi pertanyaan, mengapa Jeanne yang raksasa itu bisa terpikat dengan si mungil Hugette.

“Baiklah kalau begitu. Tangkap segera Montigny dan interogasi segera. Aku lihat dia orangnya keras, maka kita pun harus lebih keras dari dia. Bikin hatinya ngeper kalau ia tidak mau bekerja sama.”

Pada akhirnya Montigny pun mengakui soal pembunuhan Jeanne yang dilakukannya bersama Hugette. Ia sendiri sebelumnya tidak diberi tahu soal rencana membunuh Jeanne itu. Hanya saja ia disuruh menemani ke apartemen Jeanne pada malam tanggal 23 Juni itu.

“Hugette hanya bilang, ia meminjam beberapa peralatan Jeanne dan harus dikembalikan segera. Saya tahu ia jengkel pada Jeanne. Tapi sumpah, saya tidak tahu kalau ia akan melukainya,” ujar Montigny. Lebih lanjut Montigny bercerita bagaimana Hugette yang mungil itu bisa membunuh si raksasa.

Sebelum memencet bel, Hugette sudah menggenggam kunci inggris dengan kedua tangannya. Begitu pintu dibuka, Hugette langsung melompat setinggi-tingginya dengan sekuat tenaga lalu memukulkan kunci sekeras-kerasnya ke kepalanya. Jeanne jatuh bertumpu pada lututnya sementara Hugette masih saja memukul-mukulkan kunci inggris ke kepala Jeanne. Setelah berkali-kali memukulkan kunci, Hugette kemudian mengambil obeng dan menancapkan obeng itu di kepala Jeanne sambil memukul gagangnya dengan kunci inggris yang masih terus dipegangnya.

“Hugette kemudian mengajak saya pulang dan melakukan hubungan seks. Katanya, kalau kita melakukan hubungan seks saat polisi datang mereka akan berpikir kita tidak melakukan hal itu,” tandas Montigny.

“Ya, memang akan membantu mengurangi kecurigaan. Oke, panggil Hugette. Kita akan menuntutnya segera!” potong Inspektur. Namun, tidak semudah itu sebab Hugette justru mengaku Montignylah pelakunya. “Ia ketakutan kalau saya akan meninggalkan dia dan kembali ke pangkuan Jeanne,” tutur Hugette.

Meski Inspektur sempat bingung, nalurinya menggiring ke kesimpulan bahwa cerita versi Montignylah yang benar. Namun, ia yakin Montigny tidak hanya berdiri mematung menyaksikan kekasihnya secara brutal menyerang Jeanne. Pastilah ia membantu “mempercepat” eksekusi itu.

Tanggal 5 Juni 1981 juri memutuskan mereka berdua bersalah dan pengadilan mengganjar hukuman seumur hidup. Namun, pengadilan masih menyisakan pertanyaan, motif apa yang membuat Hugette tega menghabisi nyawa Francois Jeanne. Apakah karena uang, persoalan cemburu, atau Katia? (John Dunning)


Baca Juga: Jack The Ripper dari India

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517451/tak-menyangka-diajak-membunuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665341612000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350430" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/surat-dari-akhirat_towfiqu-barbh-20220629071140.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(15) "Intisari Online" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(224) ["email"]=> string(24) "onlineintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(126) "Wakizaka mendapat surat dari orang yang sudah meninggal. Surat itu menjelaskan bahwa pengirimnya dibunuh dan meminta keadilan." ["section"]=> object(stdClass)#64 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/surat-dari-akhirat_towfiqu-barbh-20220629071140.jpg" ["title"]=> string(18) "Surat dari Akhirat" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:11:57" ["content"]=> string(38916) "

Intisari Plus - Wakizaka mendapat surat dari orang yang sudah meninggal. Surat itu menjelaskan bahwa pengirimnya dibunuh dan meminta keadilan. Penasaran, Wakizaka pun berusaha melacak kasus itu.

------------------

Shunya Wakizaka merasa sungguh tidak betah mengasuh ruang surat pembaca. "Ini 'kan pekerjaan orang tua!" keluhnya di dalam hati. Rekan-rekannya semua memang berumur di atas 40 tahun. Bahkan Oda yang duduk di meja sebelahnya sudah di ambang pensiun. Wakizaka baru berumur 30 tahun. la ingin menjadi wartawan kota, yang pekerjaannya lebih dinamis daripada mengasuh ruang surat pembaca. 

Awal April itu ia memaksa dirinya membuka sampul surat-surat, membaca isinya, dan menyunting surat yang terpilih untuk dimuat. 

Tahu-tahu Oda di sebelahnya melambai-lambaikan sebuah surat. 

"Gila! Siapa nih orang yang kekurangan pekerjaan, menulis surat macam begini," gerutu Oda. 

"Apa sih? Coba lihat!" kata Wakizaka. "Nih Kalau sudah selesai, buang saja ke keranjang sampah!"

 

Arwah penasaran 

Wakizaka membaca: "Saya menulis dari tepi S. Styx. (Styx adalah sungai utama di akhirat, menurut mitologi Yunani, Red.) Tubuh saya sudah tidak hadir lagi di bumi. Menurut istilah manusia hidup, saya sudah mati. Saya sudah dimakamkan dengan upacara yang khidmat. Rekan-rekan sekerja, teman-teman, dan sanak kerabat, semua menyatakan duka citanya."

"Mereka menunjukkan simpatinya ketika saya meninggal. Sebenarnya saya dibunuh. Saya tidak bunuh diri, tidak pula mengalami kecelakaan. Orang yang tahu saya dibunuh cuma si pembunuh itu dan saya sendiri. Sayangnya, saya tidak tahu siapa pembunuh saya, sebab saya tidak sempat melihat wajahnya. la datang dari belakang." 

"Keinginan untuk menuntut balas menyebabkan saya tertahan di tepi S. Styx. Saya tidak bisa menyeberang. Barangkali Anda pikir orang yang sudah meninggal tidak bisa menulis surat. Anda keliru. Waktu masih hidup pun saya menyangka begitu. Namun, ternyata ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Setan dan roh memang ada. Di sekeliling saya banyak roh yang tidak bisa menyeberangi S. Styx, karena mereka belum menyelesaikan yang terbengkalai di dunia. Mereka tidak bisa tenteram." 

"Roh saya bekerja pada seseorang, sehingga menyebabkan surat ini ditulis. Walaupun mungkin lama, surat ini pasti tiba ke tangan manusia hidup."

Wakizaka melihat alamat di amplop. Di situ tertulis nama koran tempat dia bekerja, tetapi nama jalan dan nomor bangunan tidak disebut, cuma diterakan distrik tempat kantor itu terletak di Tokyo.

Di bagian tempat menuliskan nama dan alamat pengirim, tertera: Shiro Kureha, Okuzawa, Distrik Setagaya. Tokyo.

Oda mengambil kesimpulan bahwa pengirim surat itu cuma iseng. Wakizaka meneliti sampul surat sekali lagi. Menurut stempel pada prangko, surat itu diposkan di kota pantai Atami, yang letaknya tiga jam berkereta dari Tokyo, pada tanggal 8 Februari. Sekarang sudah bulan April. Rasanya dua bulan terlalu lama buat sepucuk surat untuk mencapai Tokyo dari Atami. Memang alamatnya tidak lengkap, tapi mustahil perlu waktu selama itu.

Wakizaka sudah mau melemparkan surat itu ke keranjang sampah, ketika ia ingat pada salah satu kalimat di surat itu: "Walaupun mungkin lama, surat itu pasti tiba…”

Betulkah ada hal-hal yang tidak bisa diterangkan oleh akal manusia? pikir Wakizaka. Jadi, dijangkaunya buku petunjuk nomor telepon. Shiro Kureha ada! Alamatnya sama dengan yang tertulis pada sampul surat!

Wakizaka menelepon. Di ujung sana, telepon diterima seorang wanita. 

"Ini rumah Pak Kureha?" tanya Wakizaka. 

"Anda siapa?"

"Ini rumah.Pak Kureha atau bukan?" tanya Wakizaka pula dengan tidak sabar. 

"Dulu memang rumah Kureha, tapi Bu Kureha sudah pindah bulan lalu." 

"Anda tahu di mana ia tinggal sekarang?" 

"Ya. Dia tinggal di apartemen tidak jauh dari sini." 

"Berapa nomor teleponnya?" 

"Saya dengar ia tidak mempunyai telepon." 

"Apakah ... apakah Pak Kureha sehat-sehat saja?”

Wanita itu tidak langsung menjawab. Lalu katanya, "Saya dengar Pak Kureha sudah meninggal."

"Meninggal? Kapan?" Wanita itu tampaknya curiga, karena suara Wakizaka menjadi bersemangat. "Boleh saya tahu, siapa Anda?" tanyanya. 

Wakizaka memberi tahu. la juga berkata kepada wanita itu, bahwa ia ingin bertanya sesuatu kepada Kureha dan ia tidak tahu Kureha sudah meninggal. 

"Saya tidak tahu kapan ia meninggal," kata wanita itu. "Kira-kira tiga bulan yang lalu." 

"Anda kenal baik kepada suami-istri Kureha?" 

"Oh, tidak! Suami saya dan saya tahu tentang mereka ketika kami membeli rumah ini."

"Oh, begitu! Maaf saya mengganggu. Terima kasih untuk keterangan Anda."

 

Malah dicurigai

"Kenapa sih, kau?" tanya Oda. "Jangan pedulikan surat itu," sambungnya pula. 

"Orang yang menulis surat sudah meninggal!" kata Wakizaka. 

"Hah? Dibunuh?" 

"Tidak tahu! Wanita yang berbicara dengan saya, membeli rumahnya setelah ia meninggal kira-kira tiga bulan yang lalu."

"Lo, kok kau jadi serius menanggapi surat itu? Walaupun orang itu sudah meninggal, yang menulis surat 'kan bukan dia. Orang mati tidak bisa menulis surat!"

Wakizaka masih penasaran. la yakin orang mati tidak akan menulis surat dari tepi S. Styx. Lagi pula, mana ada S. Styx? Namun, ia tidak bisa menumpas rasa ingin tahunya. Diam-diam surat itu dimasukkannya ke sakunya.

Pulang bekerja, ia pergi ke rumah bekas tempat tinggal Kureha. Letaknya di daerah perumahan yang sepi. Pemilik baru bernama Kamimura. 

Wakizaka memencet bel. Pintu dibuka oleh seorang wanita berumur di atas 50 yang penampilannya menunjukkan ia bukan orang sembarangan. Wanita itu tampaknya agak risau dan merasa terganggu ketika mengetahui Wakizaka adalah orang yang berbicara di telepon dengannya. 

"Satu-satunya hubungan kami dengan keluarga Kureha ialah kami membeli rumah ini dari Ny. Kureha. Kalau Anda menginginkan keterangan lebih banyak daripada yang sudah saya berikan, silakan menghubungi Ny. Kureha saja. la tinggal tidak jauh dari sini."

Wakizaka berjalan ke tempat yang ditunjukkan oleh Ny. Kamimura. la menemukan bangunan kayu dua tingkat. Di pintu apartemen paling ujung di tingkat pertama, ia menemukan secarik kertas tertempel di pintu. Pada kertas itu tercantum "Kureha". 

Dadanya berdebar-debar ketika ia memencet bel. Seorang wanita menyingkapkan tirai di jendela kecil pada pintu. Yang tampak cuma sepasang matanya.

“Siapa?" tanyanya. 

Wakizaka menyebutkan bahwa ia dari koran tempatnya bekerja. 

"Saya sudah berlangganan koran. Tidak perlu berlangganan koran lain lagi," jawab wanita itu. 

"Saya tidak menawarkan koran," kata Wakizaka. "Saya dengar suami Anda meninggal dan saya ingin bertanya sesuatu ...," sambungnya. 

"Apa?" tanya wanita itu dengan nada curiga. 

"Suami Anda mengirim surat ke kantor saya." 

"Harap jangan ngawur!" 

"Betulkah suami Anda meninggal kira-kira tiga bulan yang lalu?"

Wanita itu tidak menjawab. Matanya yang mengintip dari jendela memberi isyarat bahwa yang dikatakan Wakizaka itu benar. 

"Eh ... euh ... walaupun demikian ia mengirim surat ke kantor saya." 

"Apa?" tanya wanita itu seperti khawatir salah dengar. 

Wakizaka menjelaskan. Wanita itu memandangnya dengan sinar mata curiga.

 

Bunuh diri

Ny. Kureha yang kemudian diketahui bernama Reiko kelihatan kesal karena diganggu kedatangan Wakizaka menyodorkan cerita yang bukan-bukan. Tidak heran kalau ia tidak mau membukakan pintu. Kureha tetap ngotot.

"Suami Anda meninggal sebelum tanggal 8 Februari, tetapi stempel pos surat ini bertanggal 8 Februari. Coba Anda lihat," katanya seraya menunjukkan surat dari akhirat itu. 

"Betul-betul gila," kata wanita itu. "Anda betul dari koran itu?" 

Untuk meyakinkan wanita itu, Wakizaka memasukkan kartu namanya dan surat dari akhirat ke celah tempat memasukkan surat. 

Tak lama kemudian terdengar desah dari balik pintu. Wakizaka menahan napas, sambil menduga-duga reaksi wanita itu.

"Surat ini ...surat ini...," kata wanita itu lirih. Setelah itu ia tidak bisa meneruskan kata-katanya. 

"Kenapa?" tanya Wakizaka. 

"Tak mungkin! Tak mungkin!" 

"Ny. Kureha, tolong buka pintu." 

"Apakah surat ini betul-betul datang ke kantor Anda?" 

"Betul! Sungguh! Tapi silakan buka pintu dulu." 

"Baiklah." Kedengaran bunyi rantai pintu dilepaskan dan pintu pun dibuka.

Seorang wanita berumur kira-kira 27 atau 28 tahun bersandar ke dinding sambil sebelah tangannya menggenggam surat. la menjatuhkan dirinya ke kursi, seakan-akan tidak mengacuhkan kehadiran Wakizaka. la membaca dan membaca lagi surat itu.

"Ny. Kureha, barangkali Nyonya tahu sesuatu tentang surat ini?" 

"Tahu sesuatu?" tanya wanita itu seperti tersadarkan. 

"Ya, tentang isinya, tulisannya." 

"Suami saya bunuh diri. Tak mungkin ia dibunuh. Tapi ... tapi ... tapi tulisan ini tulisannya!"

 

Pergi memakai bakiak

Wakizaka tercengang. Ia yakin orang mati tidak mungkin menulis surat. Jadi, ia bertanya, "Anda yakin ini tulisan suami Anda?" Ny. Kureha mengangguk.

"Coba Anda ceritakan kapan dan bagaimana suami Anda meninggal," pinta Wakizaka. Dengan berat hati, Ny. Kureha bercerita.

Shiro Kureha adalah kepala departemen periklanan pada Tonzai Electric, sebuah perusahaan besar penghasil barang-barang elektronik. la menikah dengan Reiko sepuluh tahun sebelum meninggal, pada tanggal 15 Januari. Umur Shiro Kureha ketika meninggal 33 tahun.

Tanggal 15 Januari adalah hari libur. Tanggal 14 Januari sore Kureha dan lima rekannya dari departemen periklanan berangkat ke Atami di tepi pantai untuk merayakan akhir liburan tahun baru dengan bermain mahyong. Acara ini rutin mereka adakan setiap tahun. Keesokan harinya biasanya mereka memancing dan main golf.

Keenam orang itu adalah Oba (kepala departemen), Sakamoto (wakil kepala) dan staf yang terdiri atas Nakaya, Sada, Murai, dan Kureha. 

Untuk main mahyong hanya diperlukan empat orang. Kureha, yang tampak lesu sejak berangkat dari Tokyo, menyatakan tidak ikut main. la ingin beristirahat saja di kamarnya yang dihuni bersama Nakaya.

Oba tidak ikut main pada babak pertama sebab dalam undian ia kalah. Setelah permainan berlangsung tiga babak, hari sudah pukul 24.00. Oba yang merasa lelah ingin tidur. la menawarkan diri untuk membangunkan Kureha supaya menggantikannya main. Namun, yang lain menyatakan tidak usah, karena kehadiran orang kelima membuat mereka harus bergiliran bermain.

Keempat pemain mahyong itu bergadang menghadapi meja permainan sampai pukul 05.00. 

Ketika Nakaya masuk ke kamarnya, Kureha tidak ada. Di kamar mandi pun ia tidak kelihatan. Ranjang yang terletak dekat jendela, kelihatan bekas ditiduri. Karena lelah dan mengantuk, Nakaya tidak begitu peduli. la langsung saja tidur dan baru bangun menjelang sarapan. Ketika Kureha tidak tampak juga, barulah Nakaya khawatir. 

Ketika ia menanyakan Kureha kepada rekan-rekannya yang lain, Sakamoto berkata, "Lo, aku kira dia bersamamu!"

Oba khawatir, sebab ketika ia melirik ke kamar Kureha dalam perjalanan ke kamarnya sendiri, dilihatnya Kureha sedang tidur nyenyak. 

"Jangan-jangan ia pergi ke lapangan golf," kata Nakaya sambil bergegas kembali ke kamarnya, untuk memeriksa barang-barang Kureha. Ternyata mantel, peralatan, cukur, peralatan golf, dan sepatu Kureha ada di kamar. Cuma bakiak, yang disediakan di Iuar oleh rumah penginapan itu, tidak ada.

Batallah rencana mereka untuk main golf pada hari itu. Sakamoto ditinggalkan di penginapan, sedangkan yang lain kembali ke Tokyo. Sebelum meninggalkan Atami, Oba melapor ke polisi. Menurut Oba, Kureha memang tampak gelisah sejak seminggu sebelum berangkat, tetapi ia tidak melihat alasan yang bisa mendorong Kureha untuk melenyapkan diri.

 

Keterangan pengemudi taksi

Reiko dikabari. la tiba di Atami pukul 13.00 hari itu juga.

"Pak, tolong temukan suami saya," pintanya terbata-bata kepada polisi. Saat itu Sakamoto dan Oba menemaninnya. 

"Saya tidak bermaksud menakut-nakuti Anda, Bu," kata polisi. "Lenyap macam begini biasanya disebabkan karena pembunuhan atau bunuh diri." Hati Reiko kecut.

"Apakah Ibu melihat hal-hal yang menyimpang dari biasa pada suami Ibu akhir-akhir ini?" 

Reiko menggeleng. "Saya tidak mengerti," jawabnya, "mungkin suami saya mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di salah sebuah rumah sakit." Namun polisi sudah menanyai semua rumah sakit di sekitar tempat itu. Tak ada yang menerima Kureha maupun mayatnya.

Reiko masih mencoba menghibur diri. "Orang yang bunuh diri 'kan meninggalkan surat," katanya. 

"Tidak selalu," jawab polisi, "bisa saja dorongan untuk bunuh diri itu muncul tiba-tiba." 

"Saya yakin ia tidak bunuh diri," jawab Reiko mantap.

Menurut keterangan Sakamoto kepada polisi, Kureha mengalami sedikit kesulitan di kantor, tetapi semua orang pun begitu. Kemudian polisi berhasil menemukan seorang sopir taksi yang mendapat penumpang mirip Kureha pada pukul 02.00, tanggal 15 Januari, di depan penginapan tempat Kureha menginap. Penumpang itu mengenakan setelan jas, tetapi ketika ia turun, sopir melihat bahwa pria itu tidak bersepatu, melainkan mengenakan bakiak.

Penumpang itu meminta sopir taksi membawanya "ke mana saja". 

"Ke gunung atau ke pantai, Pak?" tanya sopir tua itu. 

"Semau Anda sajalah," jawab penumpangnya. Sepanjang jalan pria itu termenung saja. Karena merasa tidak enak melihat sikap penumpangnya, sopir mengusulkan agar mereka kembali saja ke penginapan. Pria itu malah marah-marah, lalu minta diturunkan. Saat itu mereka sedang meluncur di jalan menuju ke Ito yang sejajar dengan laut. Penumpang itu turun terhuyung-huyung ke arah laut, dalam kegelapan malam. Sejak itulah tidak pernah ada yang melihatnya lagi.

 

Buku harian

"Jangan-jangan suami Anda tidak meninggal," kata Wakizaka.

Suara Reiko lirih ketika ia menjawab, "Seminggu kemudian jenazahnya terdampar di pantai dekat Ito."

Wakizaka meneliti buku harian itu, yang rupanya biasa saja. Di dalamnya ada tulisan. Awal tulisan bertanggal 1 Januari dan tulisan terakhir bertanggal 13 Januari. Isinya pendek-pendek saja. 

"Boleh saya baca, Bu?" tanya Wakizaka. 

"Silakan."

Isi buku itu mencurigakan, apalagi pada beberapa tanggal. Umpamanya saja:

"5 Januari - Saya muak. Saya dikhianati. Saya tidak bisa mempercayai seorang pun. Apa yang harus saya lakukan?" 

"8 Januari – Kekhawatiran saya benar-benar terjadi. Ternyata saya dimanfaatkan secara licik. Tetapi saya tidak mau menyerah begitu saja. Saya akan berjuang melawan orang-orang yang mencoba menendang saya. Sayalah orang satu-satunya yang tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"12 Januari - Nyawa saya diincar. Saya mesti waspada. Memang sulit dipercaya, tetapi memang demikianlah keadaannya." 

"13 Januari - Kepala departemen dan direktur pelaksana mengadakan rapat rahasia setiap hari. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi saya bisa menduga. Tentang tindakan itu. Suatu hari kelak, tipu daya itu pasti terbongkar. Namun, kalau saat itu tiba, saya yakin bukan mereka yang menjadi korban, tetapi orang lain. Besok akan ada pesta di Atami. Saya malas ikut minum-minum dengan mereka. Mereka semua busuk! Apa yang akan terjadi kalau polisi tahu?"

Buku harian itu berakhir di sana, karena pada tanggal 14 Januari Kureha pergi ke Atami. 

Wakizaka mengangkat kepalanya dari buku harian itu. "Mengapa Anda percaya suami Anda bunuh diri?" tanyanya kepada Reiko. 

"Sebab waktu itu saya belum menemukan buku harian ini," jawab Reiko. "Lagi pula hasil autopsi mengungkapkan bahwa suami saya menelan banyak air laut, berarti ia tewas tenggelam. Selain itu seorang rekan suami saya menyatakan suami saya tertekan jiwanya."

"Siapa orang itu?" 

"Saya tidak ingat." 

"Betulkah suami Anda dalam keadaan tertekan?" 

"Sejak akhir tahun tampaknya ia merasa tidak puas di kantor, tetapi tidak bisa dikatakan ia tertekan." 

Wakizaka masih terus bertanya. "Apakah buku harian ini pernah Anda perlihatkan kepada orang lain? Polisi misalnya?" 

"Saya belum tahu harus berbuat apa. Apakah sebaiknya saya serahkan saja kepada polisi?"

 

Detektif amatir

Wakizaka merasa, ini kesempatan emas baginya untuk menunjukkan kepada atasannya bahwa ia wartawan yang baik, bukan cuma pantas mengasuh rubrik surat dari pembaca. Jadi, cepat-cepat ia bertanya, "Boleh saya pinjam buku ini?"

“Akan Anda apakan?" 

"Saya ingin mengadakan penyidikan menyeluruh. Kalau dulu polisi tahu ada buku ini, pasti mereka tidak akan terburu nafsu menyatakan suami Anda bunuh diri. Saya curiga ada sesuatu yang tidak beres di kantornya."

"Anda akan menulis artikel tentang hal ini?' 

"Saya belum tahu. Kalau saya menemukan hal-hal baru mengenai kematian suami Anda, saya akan menulis." 

"Saya tidak suka kalau ditulis di koran!"

"Tapi kalau suami Anda dibunuh, 'kan perlu diusut!" 

Reiko berdiam diri, lalu menyerahkan buku harian itu.

Atasan langsung Wakizaka, Kamei, bersikap skeptis. "Wah! Mana ada sih orang mati bisa menulis surat!" katanya.

Namun Oda menanggapi dengan lebih simpatik. Soalnya, ia tahu di Tozai Electric, yaitu perusahaan tempat Kureha almarhum bekerja, pernah terjadi keguncangan. "Masa kau tidak membacanya di koran?" tanyanya dengan heran pada Wakizaka.

Oda yang senang berjual-beli saham, bercerita bahwa kemarin saham Tozai Electric cuma dihargai 35 yen, yang berarti turun 10 yen dari minggu yang lalu. Padahal tahun lalu harga saham Tozai sekitar 140 yen. Pada akhir tahun bahkan bisa mencapai 200 yen. 

"Kenapa bisa demikian?" tanya Wakizaka.

Beberapa waktu yang lalu timbul kabar bahwa Tozai berhasil mengembangkan sebuah alat penting untuk TV. Alat itu bisa dihasilkan dengan harga cuma setengah dari harga yang sudah beredar di pasaran. Segera saja saham Tozai diserbu orang. Dalam waktu setengah hari, saham sudah melambung menjadi 60 yen lebih tinggi. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa hari yang lalu saya menjual saham Tozai saja, karena kabar tentang adanya produk baru itu ternyata tidak benar."

"Siapa yang menyebarkan kabar bohong itu?" 

"Mestinya sih para penjudi saham." 

"Dari mana infonya sampai orang percaya?" 

"Tentunya dari orang dalam. Eh, siapa tahu ada hubungannya dengan kematian Kureha!"

Kamei tetap skeptis. Wakizaka ngotot hal ini berharga untuk diusut. Akhirnya, Kamei menyarankan agar Wakizaka menyerahkan pengusutan kasus ini kepada wartawan bidang kota yang berpengalaman menangani berita kriminal. Wakizaka tidak mau melepaskan kesempatan memperoleh berita bagus. la ingin menyelidiki sendiri. la ingin menjadi wartawan sungguhan. Jadi, ia memutuskan untuk pergi ke Atami dengan biaya sendiri. Namun, sebelum pergi ia ingin mengumpulkan informasi dulu dari rekan sekantornya yang bertugas di bursa saham, Takegaki. 

 

la tahu banyak 

Ketika saat makan siang tiba, ia pergi ke Balai Wartawan Bursa Efek. "Ke warung kopi, ya!" ajaknya kepada Takegaki. 

"Baik!" jawab rekannya itu sambil mengenakan jasnya. Pada saat itu segepok tebal uang jatuh dari jasnya. Jumlahnya mungkin kira-kira 1 juta yen. "Buset! Banyak betul uangnya!" pikir Wakizaka. Seakan-akan bisa membaca pikiran Wakizaka, Takegaki berkata bahwa itu uang titipan orang yang ingin dibelikan saham. 

"Aku ingin bertanya-tanya soal saham Tozai Electric," kata Wakizaka. 

"Kau mau beli?" tanya Tekegaki. 

"Enggak. Katanya, terjadi keanehan awal tahun ini. Aku cuma mau mengecek." 

"Yaaa, bagaimana ya? Orang terkecoh waktu itu." 

"Kau tahu siapa orang yang memberi informasi menyesatkan?" 

"Tak tahu pasti. Tapi jelas itu tanggung jawab perusahaan tersebut.”

Ketika Wakizaka meminta keterangan lebih lanjut, Takegaki bercerita bahwa ia menelepon Tozai pada saat desas-desus mulai timbul. Teleponnya disambut seseorang dari bagian humas di perusahahan itu, yang memberi keterangan tidak jelas.

Begitu kesempatan membeli saham tiba, desas-desus perihal produk baru temuan Tozai sudah bertambah santer. Saham Tozai diborong sampai 300.000 lembar. Padahal sejak setahun sebelumnya, saham Tozai merosot terus. 

"Mengapa merosot?" tanya Wakizaka.

"Saham bisa merosot karena pelbagai sebab. Tapi dalam kasus Tozai tampaknya sebabnya cuma karena kurang populer. Percaya atau tidak, harga saham bisa naik dan bisa turun karena popularitas."

Ketika ada perusahaan kecil yang independen, yaitu Kanto Securities, memborong saham Tozai sampai 300.000 lembar, perhatian seluruh pasar terpusat pada Tozai. Harga sahamnya naik 10 yen. Tak lama kemudian ada permintaan membeli 50.000 saham lagi. Peristiwa itu terjadi kira-kira pukul 10.00. Saya menelepon Kanto Securities. Kanto memberi keterangan bahwa mereka membeli untuk seorang pelanggan yang tidak mau diketahui identitasnya.

“Saya menelepon pula Tozai. Mestinya direktur pelaksana yang memberi jawaban. Tapi katanya, ia tidak bisa dihubungi karena sedang rapat. Saya mendapat jawaban dari petugas humas. Sebenarnya saya harus datang sendiri, tetapi tidak ada waktu lagi, karena bursa saham akan tutup pukul 12.00 pada hari terakhir tahun itu. Petugas humas itu memberi jawaban yang tidak jelas. ‘Pokoknya, yang membeli bukan kami,’ katanya. Ketika saya desak betulkah mereka akan mengeluarkan produk baru seperti yang didesas-desuskan, ia menjawab bahwa hal itu akan dijawab dalam sebuah konferensi pers yang akan diadakan setelah tahun baru."

"Sejak itu harga saham Tozai terus menanjak karena orang yakin akan adanya produk baru yang akan membuat terobosan menguntungkan bagi Tozai. Dalam waktu setengah hari saja, 3,5 juta saham Tozai terjual. Hari itu hasil penjualan kira-kira 100 juta yen." 

"Lalu tiba-tiba saham anjlok?" 

"Ya, karena kemudian orang ragu-ragu perihal ada tidaknya produk baru yang didesas-desuskan." 

"Tozai ngibul?" 

"Mereka menyatakan akan ada konferensi pers, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Aku mengecek dan mendapat keterangan bahwa Tozai memang pernah memesan tempat untuk konferensi pers pada tanggal 6 Januari di salah sebuah hotel di Tokyo, tetapi dibatalkan.

"Apa alasan pembatalan itu?" tanya Wakizaka. 

"Mereka bilang, produk itu mereka tunda karena ditemukan kekurangan yang mengganggu." 

"Kasar sekali cara mereka. Kau tahu siapa yang memberi keterangan kepadamu di bagian humas?" 

"Aku tidak ingat lagi." 

"Kureha, bukan?"

“Sungguh aku tidak ingat. Ketika aku berniat mengusut, mereka bilang, tidak tahu siapa petugas humas yang berbicara dengan aku. Mereka minta maaf karena ada 'kesalahpahaman', kata mereka. Tapi betapapun tidak ada bukti bahwa kenaikan harga itu direkayasa."

"Tapi orang yang mengotakinya paling sedikit memperoleh 150 juta yen. Mestinya ia mempunyai modal besar untuk main borong."

"Ya, tapi tidak sebesar yang mungkin kau bayangkan. la bisa meminjam sejuta dari sini, dua juta dari sana. Di bursa selalu banyak orang yang mau meminjamkan uang."

Wakizaka menarik napas panjang. "Bagaimana kita bisa menunjuk hidung orang Tozai yang bisa mengantongi uang paling sedikit 100 juta yen itu?”

 

Polisi bersikeras

Keesokan harinya Wakizaka menelepon Kamei, memberi tahu ia sakit flu, sehingga tidak bisa masuk ke kantor. Padahal ia pergi ke Atami. Di kota itu kepala polisi yang bernama Nojiri tetap berpendapat Kureha bunuh diri, bukan dibunuh. Tidak mungkin Kureha ditunggu pembunuhnya di tempat ia turun, sebab ia berangkat tanpa tujuan. Lagi pula ia diketahui tertekan. Pasti ia terjun ke laut atas kemauannya sendiri.

"Tapi bagaimana dengan buku catatan hariannya ini?" 

"Itu bukti ia memang tertekan dan mengalami gangguan kejiwaan." 

Wakizaka menarik kesimpulan, polisi tidak mau bersusah payah membuka kembali kasus itu. Pasti polisi malu kalau ternyata Kureha memang dibunuh, bukan bunuh diri seperti yang mereka duga.

Wakizaka masih penasaran. la bertanya, "Jenazah Kureha 'kan sudah seminggu di dalam air. Apakah masih bisa dikenali dengan jelas?"

"Wajahnya utuh. Autopsi juga tidak menemukan tanda-tanda penganiayaan. Bekas-bekas benturan karang pada mayat, ternyata terjadi setelah meninggal."

"Siapa yang mengidentifikasi?" 

"Teman sekantornya, Sakamoto. Soalnya, istrinya tidak tahan." 

"Bukankah Sakamoto yang memberi keterangan bahwa Kureha tertekan?" 

"Ya, tetapi keterangan serupa kami dapat juga dari rekan-rekannya yang lain."

"Tapi bagaimana surat ini?" tanya Wakizaka seraya memperlihatkan surat dari S. Styx. "Ini tulisan Kureha," sambungnya.

"Pasti palsu," jawab Nojiri.

Satu-satunya yang dianggap mungkin terjadi oleh polisi adalah ada orang dalam yang "main" dalam soal saham dan Kureha terlibat. 

Wakizaka tidak bisa mendapat keterangan lain. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengungkapkan beberapa fakta di koran, agar polisi terpaksa bertindak.

Kembali ke Tokyo ia menghubungi Takegaki untuk bertanya perihal perkembangan saham. Sekali ini Takegaki bersikap dingin dan tidak mau memberi keterangan lebih mendalam soal Tozai. 

Keesokan harinya Wakizaka menyerahkan semua informasi yang berhasil ia kumpulkan kepada Takishita, pemimpin bidang berita kota. Untunglah Takishita tertarik. Ia mengutus seorang wartawannya, Fujimoto, untuk ikut dengan Wakizaka ke rumah Reiko Kureha, untuk membandingkan tulisan di dalam surat dengan tulisan-tulisan Kureha yang lain. Sementara itu Takisihita menugasi para wartawannya yang lain untuk mengecek semua yang diinformasikan oleh Reiko Kureha. Ternyata semuanya benar.

Jadi, mereka buatlah sebuah tulisan yang dimulai dengan tibanya surat misterius dan isi catatan harian, lalu dikaitkan dengan turun naiknya harga saham Tozai. Lalu pada akhir tulisan, secara tidak langsung mereka mengisyaratkan, apakah kematian Kureha bukan disebabkan oleh pembunuhan?

 

Kambing hitam yang betul-betul sial

Ketika Wakizaka dan Fujimoto bermobil ke rumah Reiko Kureha, Fujimoto menyatakan dugaannya, "Pasti Oba yang membunuh Kureha. Dia satu-satunya yang tidak mempunyai alibi. Bisa saja dia menyelinap untuk menelepon Kureha, memintanya keluar rumah. Lalu ia menguntit Kureha dengan taksi. Posisi Oba di Tozai 'kan memungkinkan ia memerintah Kureha untuk memberi jawaban tertentu kalau ditelepon wartawan." Wakizaka setuju. Namun, dari mana datangnya surat dari akhirat yang terlambat sekian lama itu?

Tiba di rumah Reiko, mereka mendapati kenyataan wanita itu tidak berada di rumah. Mungkin ke rumah ibunya. Mereka tidak tahu di mana rumah ibu wanita itu. Jadi, mereka berbagi tugas. Fujimoto kembali untuk menyelesaikan tulisan, Wakizaka menunggu Reiko.

Ternyata Reiko baru pulang pukul 01.00. la terkejut ketika tiba-tiba Wakizaka muncul dari kegelapan.

"Maaf," kata Wakizaka. "Saya hanya ingin memberi tahu bahwa berita tentang suami Anda akan muncul di koran besok pagi. la menjadi korban kecurangan perdagangan saham. Hal itu jelas sudah. Cuma ada beberapa hal yang masih ingin kami tanyakan kepada Anda, untuk mengusut sebab kematian dan munculnya surat aneh itu."

Reiko menarik napas panjang dan mempersilakan Wakizaka masuk. Wakizaka bercerita mengenai pengusutannya sampai pukul 03.00. Saat itu Wakizaka menelepon ke kantornya dan mendapat keterangan bahwa berita tentang kecurangan yang menaikkan harga saham Tozai sedang dicetak.

"Sekarang yang patut kita usut ialah bagaimana caranya surat dari S. Styx itu bisa muncul," kata Wakizaka.

Reiko tiba-tiba berkata, "Anda sudah menolong suami saya. Kini saya berkewajiban menolong Anda. Suami saya bunuh diri. Biang keladi yang mendorong ia mengakhiri nyawanya ialah wartawan di kantor Anda, Takegaki!"

Wakizaka serasa disambar petir. Reiko melanjutkan keterangannya.

"Takegaki-lah yang memberi informasi bahwa Tozai sedang mengembangkan produk baru yang hebat. Hal itu mengakibatkan saham Tozai melonjak. la bekerja sama dengan sekelompok orang dan menjadikan suami saya kambing hitam mereka. Para pemimpin Tozai menegur suami saya dengan keras. Suami saya orang yang lemah, Pak Wakizaka! la begitu tertekan, sampai suatu malam ia ... bunuh diri! Pernyataan rekan-rekan sekantornya bahwa suami saya tertekan memang benar."

Wakizaka melongo. Teringat olehnya gepokan uang yang jatuh dari saku jas Takegaki.

"Saya bertekad untuk mencari keadilan bagi suami saya," Reiko melanjutkan. "Tetap kalau saya menuntut keadilan secara biasa saya akan diabaikan. Jadi, saya buatlah buku catatan harian dan surat. Surat itu saya buat lebih dari satu dan saya poskan ke Atami. Semuanya saya alamatkan ke rumah saya, tetapi alamat pada sampul saya tulis dengan pensil. Setelah surat tiba, saya pilih yang cap posnya paling jelas. Alamatnya saya hapus, saya ganti dengan alamat koran Anda. Dua bulan kemudian surat itu saya antarkan ke resepsionis di kantor Anda."

"Suami saya sungguh malang. Kalau saja hari itu ia tidak menjawab telepon dari Tekegaki, ia masih hidup sekarang. Takegaki bertanya, betulkah Tozai akan mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan sebuah produk baru yang akan mereka lempar ke pasaran? Konferensi semacam itu memang ada dalam rencana, tetapi produk yang akan dijelaskan bukanlah produk seperti yang dikatakan Takegaki, melainkan produk biasa saja. Takegaki memanipulasi keterangan suami saya. Suami saya sungguh malang ...." 

Wakizaka seakan-akan lumpuh. la ingin berkata, "Suamimu memang malang. Tetapi ia bukan satu-satunya orang malang. la dimanfaatkan oleh Takegaki dan aku dimanfaatkan olehmu!” (Tohru Miyoshi)








" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350430/surat-dari-akhirat" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656529917000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3110525" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/mobil-wolseley-yang-dikuntit-for-20220208043845.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(15) "Intisari Online" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(224) ["email"]=> string(24) "onlineintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(57) "Mobil misterius menjemput seorang pria dan tidak kembali." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/mobil-wolseley-yang-dikuntit-for-20220208043845.jpg" ["title"]=> string(39) "Mobil Wolseley Yang Dikuntit Ford Sedan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:27:43" ["content"]=> string(35633) "

Intisari Plus - Dalam bulan November 1946, seorang wanita yang kelihatannya kaya raya mulai sering mengunjungi bar di sebuah hotel. Hill Hotel namanya, di Kota Reigate, tidak jauh dari Kota London.

Wanita itu cantik, pakaiannya baik, dan rambut pirangnya dipelihara sampai sebahu. Usianya kira-kira 35 tahun.

Meskipun sudah beberapa kali mengunjungi bar itu, tidak ada orang di hotel yang mengetahui siapa nama wanita tersebut. Meskipun kaum wanita di Inggris sifatnya bebas, namun tetap kedatangannya yang seorang diri itu menarik perhatian. Sopirnya selalu menunggu di luar, dalam sebuah limusin merek Wolseley.

Namun segera diketahui bahwa di antara orang yang berada di hotel itu, hanya Jack Mudie-lah yang diperhatikannya, yaitu petugas bar itu, seorang pemuda tampan yang baru berusia 26 tahun.

Rekan-rekan Jack sering menggoda bahwa ia harus berbangga menarik perhatian seorang wanita yang begitu cantik dan berada pula. Tetapi Jack selalu berdalih. "Satu-satunya yang kami bicarakan adalah maksudnya untuk mengadakan suatu pesta di rumahnya di London untuk sejumlah tamu terkemuka. Saya dimintanya untuk mengurus minuman pesta malam itu. Berarti penghasilan ekstra buat saya. Saya hanya bisa melakukannya Kamis malam, malam satu-satunya saya bebas."

Kemudian pada permulaan minggu terakhir bulan November 1946, Jack Mudie menerangkan kepada rekan-rekannya bahwa wanita berambut pirang itu akan menyelenggarakan pestanya pada hari Kamis, 28 November. Sorenya, pukul 18.00, Jack sudah selesai dengan pekerjaannya. Wanita itu akan menjemputnya dengan mobil Wolseleynya.

 

Buntut nomor mobilnya 101

Kamis, 28 November, pukul 18.00 benar-benar Wolseley itu berhenti di depan Hill Hotel dan Jack masuk ke dalamnya. Seorang portir hotel sempat melihat bahwa mobil Wolseley itu segera diikuti oleh sebuah Ford sedan berwarna hitam.

Pada hari Sabtu, 30 November, pukul 17.00, seorang petani melewati jalan sepi di sebuah desa kira-kira 10 km dari Kota Reigate. Secara kebetulan sekali ia melihat ke jurang di pinggir jalan. Apa yang dilihatnya membuat dia segera menelepon polisi: seorang pria terbaring telungkup dengan seutas tali di lehernya.

Dua detektif dengan seorang dokter segera datang. Dari surat-surat yang ditemukan dalam saku mayat diketahui bahwa korban adalah Jack Mudie, dengan pekerjaan sebagai petugas bar Hill Hotel, Reigate.

Dokter yang memeriksa mayat itu menarik kesimpulan, Jack mati dijerat dan menurut taksirannya kematian itu terjadi kira-kira 48 jam sebelumnya. Jadi hari Kamis, 28 November.

Mulai Sabtu malam sampai keesokan harinya para detektif memeriksa pengurus Hill Hotel dan para karyawan lainnya. Si manajer membuka arsipnya dan menerangkan bahwa Jack mulai bekerja pada tanggal 1 Juli 1946 dan tinggal di hotel itu juga. Sebelumnya ia bekerja di sebuah hotel di Wimbledon, hanya beberapa kilometer dari Reigate. Di situ Jack membayar makan pada seorang wanita yang membuka rumah indekos.

Perangai Jack tidak tercela.Begitu pula penilaian majikan Jack sebelumnya. Kata manajer Hill Hotel, "Jack seorang yang baik, jujur. Saya tak mengerti mengapa ada orang yang ingin membunuhnya."

Lebih dari itu manajer tak dapat memberi keterangan apa-apa. Barulah dari rekan-rekan Jack para detektif mendengar cerita tentang wanita berambut pirang yang datang dengan mobil mewah merek Wolseley dan tentang pesta yang dilayani Jack pada Kamis malam di suatu tempat di London.

Dari portir, para detektif itu pun mendengar cerita tentang mobil Ford berwarna hitam yang segera menguntit Wolseley yang dikendarai seorang sopir dan ditumpangi Jack serta wanita berambut pirang itu. Sayang, portir itu tidak memperhatikan nomor mobilnya.

Para detektif membongkar kamar Jack: banyak surat dari sanak saudara dan sahabatnya, tetapi tidak ada yang mengandung keterangan alamat atau nomor telepon wanita berambut pirang itu.

Selagi mengadakan pemeriksaan ini datanglah manajer hotel. Katanya, ada seorang tamu yang ingin berjumpa dengan para detektif itu.

Ternyata tamu itu seorang penduduk desa di mana mayat Jack ditemukan. la mendengar berita pembunuhan ini dan merasa wajib menemui polisi. Siapa tahu keterangannya dapat membantu polisi.

"Rabu, jadi sehari sebelum terjadinya pembunuhan, kira-kira pukul 18.00, ketika cuaca mulai gelap, saya kebetulan berjalan-jalan dekat jurang dan melihat sebuah mobil sedan hitam merek Ford diparkir di pinggir jalan. Saya tak sanggup melukiskan wajahnya, karena ketika mendengar langkah-langkah saya, ia buru-buru melompat ke dalam mobil dan melarikannya kencang-kencang.”

“Sebelumnya ia menghidupkan lampu mobilnya, karena itu saya bisa melihat nomor mobilnya dari belakang. Terdiri atas dua bagian. Bagian huruf tiga buah (ADC, FHK, misalnya, Red.). Bagian angkanya tiga buah juga. Hurufnya tak dapat saya tangkap, tetapi sebagian angkanya jelas sekali: 101."

Info ini berharga sekali nampaknya. Menurut portir hotel, mobil sedan hitam yang membuntuti mobil Jack itu mereknya Ford. Bila mobil Ford yang dilihat penduduk desa itu memang sama, maka ini berarti pengemudinya sengaja datang ke situ kurang dari 24 jam sebelum terjadinya pembunuhan, sekadar untuk memeriksa tempat di mana calon korbannya akan dibuang.

Para detektif itu mengucapkan terima kasih kepada penduduk desa itu. Kekurangan pada nomor mobil... 101 itu bisa dimintakan bantuan pada Scotland Yard. Tetapi siapa wanita berambut pirang yang bermaksud mengadakan pesta di rumahnya di London itu?

 

Tidak ada yang berambut pirang

Scotland Yard di London diberi laporan dan pada hari Senin, 2 Desember, polisi di Reigate mendapat kunjungan seorang terkemuka dari Scotland Yard, Inspektur Detektif Arthur Philpott.

Sosok tubuh Inspektur Philpott mirip seorang atlet, tetapi pandangannya seperti seorang profesor. Pakaiannya rapi. Topinya bundar (bowler hat) dan selalu ada payung hujan yang digulung ketat seperti tongkat di tangannya.

la duduk dan mendengar uraian kedua detektif yang melakukan pekerjaan persiapan. Setelah mereka selesai, Philpott memilin kumisnya dan mulai membuat lingkaran di lantai dengan ujung payungnya.

"Soal nomor mobil itu tidak sulit. Alat elektronik (IBM) di Yard yang dapat memecahkannya. Cuma tinggal menekan tombol kemudian bisa diketahui semua nomor mobil di Inggris merek Ford berwarna hitam yang nomornya mengandung 101."

Dengan tersenyum pahit Philpott melanjutkan, "Tapi wanita berambut pirang ... itu soal lain. Sayang, di Scotland Yard tak ada mesin yang dapat menyebutkan nama dan alamatnya."

"Ada dua kemungkinan. Pertama, ia sungguh-sungguh kaya dan mengadakan pesta. Dalam hal ini ia sendiri sasaran utama dari si pembunuh dan kematian Jack Mudie hanya suatu kebetulan tak disengaja."

"Kedua, ia tidak kaya dan tidak bermaksud mengadakan pesta di London. Untuk ini mengapa ia mesti mencari pengurus minuman untuk pesta itu sampai ke Reigate, di luar Kota London? Setiap pengurus restoran di London dapat menyediakantenaga yang dibutuhkan selama beberapa jam saja."

"Sudah beberapa kali terpikir oleh saya: apakah kebetulan pesta itu diadakan Kamis malam, hari di mana Jack bebas, atau sengaja ditentukan pada Kamis malam setelah wanita berambut pirang itu mengetahui bahwa Jack hanya bebas pada malam itu? Sehingga wanita itu memegang peranan sebagai perangkap untuk mengajak Jack ke luar dari hotel?"

Philpott menelepon Scotland Yard. Tak ada wanita berambut pirang yang dilaporkan hilang. Lalu ia meninggalkan Kantor Polisi Reigate untuk mengunjungi rumah di mana Jack Mudie pernah mondok sebelum bekerja di Hill Hotel.

Rumahnya bertingkat tiga. Wanita pengurus rumah pemondokan itu tinggal di tingkat pertama. "Bisa saya tolong, Tuan?" begitu Philpott disambut ramah.

Philpott memperkenalkan diri dan menanyakan latar belakang Jack Mudie. Wanita itu menerangkan bahwa selama tinggal di rumahnya sampai tanggal 1 Juli Jack dikenal sebagai pemuda yang sopan santun. Pergaulannya dengan penghuni lain selalu baik.

"Penghuni lainnya siapa saja?" tanya Inspektur Philpott. Lalu penghuni rumah itu menerangkan bahwa tingkat kedua disewakan kepada sepasang suami-istri muda, Barron.

Di tingkat ketiga ada beberapa kamar. Penyewanya Jack Mudie dan seorang lagi Mayor Romer. la sahabat Tuan dan Ny. Barron.

"Tak ada orang lain yang pernah dikenal selama Jack tinggal di sini?" tanya Philpott.

Pemilik rumah pemondokan itu berpikir sebentar. Benar, pada permulaan Juni, ketika Ny. Barron jatuh sakit dan harus ke rumah sakit, ibunya, yaitu Ny. Maggie Brook, seorang janda yang agak lanjut usia, datang dari London dan mula-mula untuk merawat putrinya. Kemudian ia mengurus menantunya ketika putrinya masuk rumah sakit.

Ketika beberapa hari kemudian putrinya pulang dari rumah sakit, Ny. Maggie Brook pun kembali ke London. Jadi perkenalan Jack dengan nyonya janda itu sebentar saja.

Philpott agak kecewa. Apalagi ketika ternyata Ny. Maggie Brook (66) dan putrinya tidak berambut pirang. Tak seorang pun penghuni rumah itu yang memiliki Ford hitam, apalagi mobil mewah Wolseley.

 

Bekas hukuman mengganti warna mobilnya

Sementara itu mesin-mesin elektronik di Yard telah menghasilkan daftar mobil Ford hitam di seluruh negeri ini yang nomor polisinya berakhir dengan angka 101. Philpott sendiri memeriksa dan menanyai pemilik mobil tersebut. Mula-mula tak berhasil. Baru pada tanggal 10 Desember muncul sesuatu yang menarik perhatian Philpott.

Sebuah Ford hitam nomor FGP-101 dipunyai oleh sebuah perusahaan penyewaan mobil di London. Sejak Senin, 25 November 1946 mobil itu disewakan selama seminggu kepada seorang tukang kayu, Lawrence Smith. Ia tinggal di pinggir Kota London.

Tukang kayu itu mengembalikan mobil sewaannya seminggu kemudian dan membayar sewa sebanyak 14 (atau AS $ 56,42 kurs waktu itu). Menurut Philpott, jumlah itu terlampau tinggi bagi seorang tukang kayu biasa. Maka diputuskanlah untuk mendatanginya.

Usianya 30-an, bekas anggota RAF selama perang, mempunyai karier baik, berkeluarga dan mempunyai tiga anak, hanya ia sudah bercerai dari istrinya yang tinggal di Leicester bersama anaknya, jauh dari London.

Atas pertanyaan Philpot, tukang kayu itu terus terang menyatakan bahwa karena sudah bercerai ia sering bergaul dengan wanita lain. Maklum mereka suka keluar dengan laki-laki bermobil.

"Hari Senin dan Selasa malam saya keluar bersama beberapa wanita. Mengenai hari Rabu dan Kamis saya bekerja sampai jauh malam. Kalau Tuan tak percaya, tanyakanlah pada orang yang memberi saya pekerjaan waktu itu. Jadi tak mungkin saya menengok jurang maut itu pada Rabu malam atau tersangkut dalam pembunuhan yang terjadi Kamis malam."

Si tukang kayu menerangkan bahwa ia tak pernah kenal orang bersama Jack Mudie. Yang memberi pekerjaan sampai jauh malam kepadanya adalah Honourable Thomas John Ley yang mendiami sebuah rumah indah di Beaufort Gardens yang sedang diperbaikinya.

Philpott mengenai nama Ley, seorang penduduk London yang miskin di masa kecilnya. Kemudian dalam usia delapan tahun pindah ke Australia di mana dia menjadi ahli hukum dan hartawan, dan pernah menjadi anggota parlemen, bahkan juga sebagai pendidik, menteri perburuhan, menteri perindustrian, dan akhirnya sebagai menteri kehakiman untuk negara bagian New South Wales. Kemudian ia pindah ke Inggris, usianya hampir 70 dan kaya luar biasa.

Philpott mengunjungi Honourable Thomas Ley di rumahnya yang memang sedang diperbaiki. Ketika Philpott menyebut-nyebut perkara pembunuhan Jack Mudie seketika itu juga Ley memperlihatkan perhatian yang besar. Bukankah ia pernah menjadi menteri kehakiman di Australia? Lalu ia bercerita tentang pengalamannya sebagai ahli hukum di benua itu.

Pada suatu saat ia berhenti lalu berkata lagi, "Maaf, Tuan datang untuk menanyakan tentang Lawrence Smith, si tukang kayu? Memang Rabu dan Kamis ia bekerja di sini sampai jauh malam. Lemari buku saya harus diselesaikan karena hari Jumat tukang cat akan datang."

Philpott meninggalkan rumah bekas menteri kehakiman itu dengan perasaan kecewa. Nama Lawrence Smith dicoretnya dari daftar tersangka. Kini ia mengunjungi seorang pemilik mobil Ford sedang hitam lain.

Carmichael namanya dan tinggal di London. Nomor polisi mobilnya HKG-101. Ternyata Carmichael pernah dihukum karena menipu. Pembantunya dalam penipuan ini adalah seorang wanita yang tidak dikenal namanya.

Perhatian Inspektur Philpott makin besar oleh karena seminggu setelah Jack Mudie mati dibunuh, Carmichael mengecat biru mobil Fordnya yang tadinya hitam itu.

 

Surat aneh

Carmichael dibayangi oleh orang-orang Philpott, sedangkan dia sendiri pergi ke Hill Hotel untuk memeriksa kamar Jack Mudie. Segel yang mengunci kamar itu dirusak.

Di antara surat-surat yang ada di situ, tak satu pun yang menyebutkan nama Carmichael, tetapi ada dua dokumen yang amat menarik perhatiannya. Kedua surat itu ditujukan kepada Jack Mudie. Kedua-duanya ditulis di atas kertas surat yang memakai nama perusahaan "Connaught Properties Ltd., King William Street, London" dan ditandatangani oleh manajer perusahaannya.

Surat yang pertama tertanggal 10 Juli 1946 menerangkan bahwa Ny. Maggie Brook adalah seorang anggota direksi perusahaan Connaught tersebut. Tetapi perusahaan tersebut tidak dapat menghubungi Ny. Maggie Brook, sedangkan tanda tangan nyonya tersebut dibutuhkan
untuk sejumlah cek.

Cek terlampir pada surat yang ditujukan kepada Jack Mudie. Dapatkah Jack Mudie menyampaikan cek itu kepada Ny. Maggie Brook agar dapat ditandatanganinya?

Demikianlah intisari surat yang mengherankan itu: sebuah perusahaan yang tak dapat menghubungi direksinya lalu minta pertolongan orang lain. Apa hubungan antara perusahaan ini dengan Jack Mudie atau dia dengan nyonya janda berusia 66 tahun itu?

Surat yang kedua tertanggal 13 Juli. Isinya mengaku menerima cek yang dikembalikan Jack tanpa berisi tanda tangan Ny. Maggie Brook. Surat yang ditandatangani oleh manajer perusahaan Connaught itu menerangkan lebih jauh:

"Saya ingin menegaskan Tuan Mudie yang terhormat bahwa saya tidak mengerti insiden ini. Saya tidak pernah menulis surat kepada Tuan tertanggal 10 Juli. Demikian juga saya tidak pernah mengirim cek kepada Tuan. Bila Tuan memiliki surat atas nama saya, jelaslah bahwa surat itu palsu. Rupanya orang yang tak dikenal itu menyalahgunakan buku cek perusahaan kami, tapi saya tentu paham bagaimana harus menjumpainya. Saya mohon maaf bahwa Tuan telah terganggu."

Inspektur Philpott membandingkan tanda tangan kedua surat itu dan harus mengakui bahwa keduanya berbeda. Ia berpikir dan teringat pada percakapannya dengan wanita pemilik rumah indekos yang pernah ditinggali Jack Mudie.

Ketika masih tinggal di sana, Jack dan Mayor Romer menyewa kamar di tingkat paling atas, sedangkan tingkat dua ditinggali pasangan Barron. Ketika Ny. Barron sakit, ibunya, yaitu Ny. Maggie Brook, menginap di rumah itu. Rupanya nyonya inilah yang menjadi anggota direksi perusahaan Connaught.

Tetapi ini tidak memecahkan teka-teki kedua surat itu. Cek yang disertakan pada surat pertama itu ternyata tidak sah. Suratnya sendiri palsu. Karena Jack mengembalikan cek itu dan menuntut keterangan tertulis mengenai ini berarti ia tak senang menerima cek tersebut.

Inilah pikiran Inspektur Philpott. Menarik tetapi tetap gelap. Akhirnya, kedua surat itu dimasukkan kembali ke dalam kantung bajunya dan meskipun sudah hampir malam ia pergi juga ke Wimbledon, ke rumah indekos Jack dulu.

Kali ini ia tidak minta bertemu dengan pemilik rumah itu, melainkan dengan penyewa tingkat kedua, suami-istri Barron. Hanya Ny. Barron yang ada di tempat. Suaminya bersama Mayor Romer (yang menyewa kamar di tingkat tiga) sedang main bridge di luar kota.

Ny. Barron tidak bersedia memberi keterangan tentang ibunya dan hubungannya dengan perusahaan Connaught. "Lebih baik bicara dengan suami saya saja," katanya. "Besok ia bisa menerima Tuan." Tetapi sebelum Inspektur Philpott pergi, wanita itu masih bersedia memberi alamat ibunya di Cromwell Road, London.

Dari pelayan rumah di Cromwell Road itu Inspektur Philpott mendengar bahwa Ny. Brook tidak ada di rumah, tetapi sedang makan malam di sebuah restoran tak jauh dari situ.

Philpott segera dapat menentukan siapa Ny. Brook. Di seluruh rumah makan itu hanya ada satu wanita yang sudah putih rambutnya, namun masih nampak sisa-sisa kecantikannya dahulu. Di seberang mejanya duduk seorang pria yang sudah setengah ubanan. Mereka berdua sedang asyik membicarakan sesuatu.

Philpott berjalan memutar untuk melihat wajah teman makan Ny. Brook. Ketika jelas wajahnya, jantung Inspektur Philpott berdetak lebih kencang. Ternyata pria itu adalah Yang Terhormat Thomas John Ley, sarjana hukum, bekas Menteri Kehakiman Australia.

Mengapa Ley berada di sini? Untuk suatu tugas detektif? Mustahil! Ley hanya bisa mengetahui hubungan antara Pembunuhan Jack. Brook bila ia pernah melihat kedua surat yang dikirim kepada Jack. Tak masuk di akal kalau Ley mengetahui isinya.

Ketika Ley dan Ny. Brook meninggalkan restoran, Philpott mengikuti mereka. Ia masih sempat melihat Ley mencium wanita itu di depan pintu rumahnya, lalu meneruskan perjalanannya dengan sebuah taksi.

 

"Sepupu" yang boros

Philpott pun pulang dan merenungkan apa yang dialaminya. Keesokan harinya ia bertemu dengan detektif yang membayangi Carmichael. Laporan itu sudah diduganya lebih dulu: yaitu Carmichael tak ada sangkut-pautnya dengan kematian Jack.

Ketika Jack dibunuh, Carmichael sedang berada di Irlandia bersama mobil Ford hitamnya. Sekembali dari perjalanannya itu ia memang mengecat mobilnya menjadi biru, tetapi ini atas permintaan istrinya agar sesuai dengan warna rok yang baru dibelinya

Dalam pembicaraann dengan manajer perusahaan itu pertanyaan pertanyaan yang diajukan disusun secara hati-hati oleh Philpott.

Ia tak mengatakan bahwa ia sedang menyelidiki perkara pembunuhan. Nama Jack pun tak disebutnya. Namun begitu baiknya susunan pertanyaan hingga ia mendapatkan apa yang diinginkannya.

Pemegang saham utama dan presiden direkturnya adalah Honourable Thomas John Ley. Ia datang ke kantor hanya kadang-kadang untuk memeriksa buku dan korespondensi, akan tetapi kantornya yang sesungguhnya adalah di tempat kediamannya sendiri. Ny. Maggie Brook anggota direksi perusahaan itu hanya secara formal, berkat pengangkatan Ley sendiri.

Di samping manajer perusahaan, hanya satu orang yang dapat menguasai buku cek perusahaan dan orang itu adalah Thomas Ley sendiri. Mengenai hubungan antara Ley dan Ny. Maggie Brook, manajer itu segan memberi keterangan meskipun akhirnya tertumpah juga dari mulutnya.

Ny Maggie Brook adalah piaraan Ley sejak 23 tahun silam, sejak suaminya meninggal di tahun 1923. Mereka hidup bersama dan lalu berpisah pada saat pembunuhan Jack terjadi. Jadi hanya bersifat sementara, karena rumah Ley sedang diperbaiki.

Philpott pun mendapat keterangan bahwa Ley mempunyai rekening di Midland Bank, tak jauh dari kediaman Ley. Philpott ke sana dan bercakap-cakap dengan pembesar bank itu. Keterangan yang didapatnya membuka matanya.

Selama beberapa bulan Ley hanya membayar £ 10 setiap minggu kepada tukang kayu. Tetapi tidak lama setelah Jack dibunuh, Ley membuka rekening untuk si tukang kayu itu sebesar £ 3OO. Jarang sekali Ley mengeluarkan uang banyak sekaligus, kecuali selama dua minggu terakhir dalam bulan November itu, yaitu £ 550 kontan.

Menurut pembesar bank, dalam bulan Juni dan awal Juli, Ley pun mengambil uang dalam jumlah besar, juga untuk membiayai seorang detektif pribadi. Inspektur Philpott mengunjungi detektif itu yang segera mengeluarkan sehelai catatan dari arsipnya: Ley datang pada tanggal 1 Juni. la mempunyai seorang saudara sepupu yang sudah lanjut usianya - Ny. Maggie Brook namanya - juga kaya hanya agak boros. Ia suka menghambur-hamburkan uang, terutama kalau didekati seorang pria.

"Menurut Ley, ia sanggup mengawasi saudara sepupunya itu selama ia berada di London. Tetapi karena wanita itu dalam bulan Juni baru saja berangkat ke Wimbledon untuk merawat putrinya, maka Ley agak khawatir. Ley minta kepada kantor detektif itu untuk mengawasi rumah di mana Maggie Brook menginap, di Wimbledon, dan melaporkan setiap pria yang datang ke Sana."

"Nah, permintaan itu kami kabulkan. Bukan suatu pekerjaan yang sulit. Ternyata Ny.Maggie Brook hanya mengenai tiga pria yang juga berdiam di rumah itu, yaitu menantu lelakinya, Arthur Barren, penyewa kamar yang namanya Mayor Romer, dan seorang penyewa juga bernama Jack Mudie, penjaga bar."

Tanya Philpott, "Pada permulaan Juli, Jack Mudie pindah dari Wimbledon. Apakah Tuan juga mencari tahu ke mana ia pindah?"

"Ya. Ia pindah ke Hill Hotel, di Reigate. Ley menyuruh saya mencari tahu itu karena katanya Jack Mudie meminjam uang dari Ny. Maggie Brook."

 

Harus memberi laporan setiap jam

Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari ini Inspektur Philpott datang ke kantor Scotland Yard. Orang-orangnya yang tadinya membayang-bayangi Carmichael kini diperintahkan mengawasi gerak-gerik Lawrence Smith, si tukang kayu.

"Smith mempunyai alibi saat Jack Mudie dibunuh, tetapi alibinya adalah Ley. Tapi kini tampaknya Ley sendiri tersangkut dalam pembunuhan dan ia juga memberi banyak uang kepada tukang kayu. Mungkin juga kepada orang lain. Misalnya kepada wanita berambut pirang dan sopirnya yang selalu mengendarai mobil Wolseley, juga sopir Ford hitam itu. Mungkin kita bisa mendapat banyak kepastian dari si tukang kayu."

Malam itu ketika Inspektur Philpott kembali mengunjungi rumah keluarga Barron, ia bertemu dengan tuan rumah dan kawannya, Mayor Romer Philpott mewawancarai mereka bersama-sama. Pada saat Philpott menyebut nama Ley, kedua pria itu saling memandang dengan air muka mencerminkan kekhawatiran dan perasaan marah.

"Sekalipun kaya dan orang penting, Ley orang edan. Ia tidak sadar bahwa dia dan Ny.Maggie Brook sendiri sudah hampir 70 tahun. Ley sangat pencemburu. Ketika wanita itu tinggal di sini merawat putrinya,

Ley tengah malam menelepon dan meminta keterangan apa yang dilakukan wanita itu setiap jam selama satu hari itu. Ia menuduh wanita itu main gila dengan sang mayor karena kebetulan Mayor Romer tinggal serumah," tutur Arthur B.

"Kemudian ketika istri saya masuk rumah sakit, Ley menuduh Ny. Brook main gila dengan saya, menantu lelakinya sendiri!"

"Beberapa hari setelah istri saya pulang dari rumah sakit, Ley mendadak datang ke sini pada pukul 02.00 pagi buta dan menuntut agar Ny. Brook segera berangkat bersamanya ke London. Tindakannya tidak keruan dan bahasanya kasar. Ia menuduh wanita itu berbuat serong dengan Mayor Romer, saya, dan Jack Mudie yang diam di tingkat tiga. Ley berteriak-teriak seperti orang gila. Untuk menenangkannya, Ny. Maggie Brook mengemasi pakaian lalu berangkat."

"Akhirnya, pada permulaan Juli, Ley mencoba beberapa kali memancing saya dan Mayor untuk pergi ke satu tempat yang sepi. Tetapi tak kami hiraukan."

Seluruh keterangan Barron ini diperkuat oleh Mayor Romer. Inspektur Philpott berpamitan. Mukanya serius. Mulutnya terkunci rapat. Setiba di kantornya di London ia menerima laporan dari anak buahnya yang membayangi tukang kayu, Lawrence Smith.

Ia sudah selesai dengan tugasnya di rumah Ley. Ia banyak membeli pakaian baru dan kepada beberapa kawannya ia mengatakan akan meninggalkan Inggris. Mungkin untuk beremigrasi ke Afrika Selatan.

Inspektur Philpott mendapat pikiran baru. Dia mengadakan konferensi dengan beberapa wartawan Scotland Yard. Sampai begitu jauh pembunuhan Jack ini hanya mendapat sedikit perhatian dari pers. Beritanya dimuat di halaman belakang. Tak ada salahnya kalau
beritanya dibuat lebih mencolok.

Philpott menentukan bahwa semua fakta terpenting boleh disiarkan kepada pers, kecuali penyebutan nama si tukang kayu, Ny. Brook, dan Thomas Ley. Sebaliknya, tekanan harus diletakkan pada wanita berambut pirang yang dalam hari-hari terakhir di bulan November sering
naik mobil Wolseley yang dikemudikan sopirnya (di Inggris jarang orang mempunyai kendaraan pribadi berikut sopir. Maka sinyalemen di atas tidak begitu sulit, Red.).

Sabtu, 14 Desember 1946, Inspektur Philpott bangun pagi. Di pinggir jalan dibelinya sejumlah harian pagi dan ia merasa puas bahwa liputan pers Scotland Yard mendapat tempat di halaman depan.

 

Pak Inspektur menengok mantan jago tinju

Ia pergi ke kantornya. Ia menanti perkembangan sambil menulis perkara itu. Tak lama sebelum tengah hari teleponnya berdering. Ternyata telepon dari agennya yang membayangi Lawrence Smith.

Smith pergi ke sebuah rumah minum di Kota Brixton dan di rumah minum itu ia dikunjungi. Dua penduduk Brixton: John Buckingham Senior, seorang mantan jago tinju, dan John Junior, anaknya.

"Buckingham Senior memiliki sebuah perusahaan yang menyewakan mobil lengkap dengan sopirnya. Salah satu mobil mewah yang disewakannya adalah limusin Wolseley dan sopirnya adalah anaknya sendiri. Barangkali ada baiknya bila Pak Inspektur sekali-kali datang menengok."

"Saran ini dianggap tepat oleh Philpott. Secepat mungkin ia menumpang kereta api bawah tanah. Setiba di Brixton ia mendekati rumah minum.

Kebetulan pada saat itu datang sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang anak muda 20-an. Ia keluar dari mobil itu bersama seorang wanita cantik kira-kira 35 tahun dan berambut ... pirang sampai sebahunya.

Mereka masuk dan sesaat kemudian datang mobil lain. Di dalamnya adalah salah seorang agen Philpott sendiri.

Inspektur Philpott memberi isyarat dan mengajak agen itu bicara di tempat lain. la menuturkan: "Beberapa saat sebelumnya si tukang kayu bertengkar dengan Buckingham Senior dan Junior di sebuah pojok rumah minum itu dan selama pertengkaran itu Buckingham Senior menunjuk pada berita di halaman depan surat kabar pagi itu. Lalu Buckingham Senior menyuruh putranya menjemput seseorang. Dia saya ikuti. Ternyata ia pergi ke suatu rumah beberapa kilometer dari sini dan membawa wanita yang barusan masuk. Ia bernama Lilian Bruce, istri seorang kondektur bus. Kemudian saya ikuti mereka ke sini."

Seperempat jam kemudian Lawrence Smith, Ny. Lilian Bruce, dan kedua Buckingham keluar dari rumah minum. Kedua Buckingham dan wanita berambut pirang itu memasuki sebuah mobil, sedangkan Lawrence Smith menuju stasiun kereta api bawah tanah.

Philpott masih melihat bagaimana kedua orangnya menguntit Smith. Lalu Philpott dengan seorang agen lain menaiki mobil polisi yang tidak memakai tanda-tanda kepolisian dan mengikuti mobil yang ditumpangi Buckingham dan Ny. Lilian Bruce.

Mobil ini berputar-putar selama satu jam di Kota London. Rupanya mereka sedang menentukan ke mana mereka akan pergi.

Akhirnya, mobil itu menuju ke pusat Kota London. Philpott merasa tertarik sekali ketika melihat bahwa mobil berhenti di depan kantor polisi itu dari pintu belakang. Ketika ia tiba, di meja tulisnya sudah ada berita tiga tamu yang menunggunya.

Pintu terbuka dan ketika tamu itu masuk, Inspektur memilin kumisnya dan menyebut nama mereka masing-masing hingga mereka terkejut dan ternganga.

Yang paling dahulu berbicara adalah Buckingham Senior. Secara terus terang ia bercerita sebagai berikut: Buckingham mengurus perusahaan mobilnya dari sebuah hotel di West End, bagian terbaik Kota London. Thomas John Ley sering makan di situ dan pada pertengahan November Ley bertanya, apakah ia bersedia melakukan suatu pekerjaan berat dengan bayaran sebanyak gaji setahun! Buckingham menyanggupinya. Ia pikir Ley seorang sarjana hukum dan mantan menteri kehakiman. Tentu segala sesuatu yang diperbuatnya tak akan bertentangan dengan hukum.

Menurut Ley, Jack Mudie telah memperkosa dua anak gadis dan ia ingin bertemu dengan Jack itu untuk memberi pelajaran kepadanya. Saran Ley adalah agar Buckingham dengan bantuan seorang wanita cantik memancing Jack ke rumah Ley di London, di mana sejumlah pengacara akan hadir memeriksanya kemudian menyerahkannya kepada polisi.

Ley mengirim Smith kepada Buckingham untuk menyusun suatu rencana pekerjaan. Akhirnya, putra Buckingham dan Ny. Lilian Bruce diikutsertakan. Ley menyediakan banyak uang.

Dengan mobil Wolseley yang dikendarai putra Buckingham, Ny. Lilian Bruce berlagak seperti wanita hartawan dan sering mengunjungi Hill Hotel, di mana Jack bekerja. Pada malam tanggal 28 November Ny. Lilian Bruce dengan "sopirnya" pergi ke Hill Hotel untuk penghabisan kalinya dan menjemput Jack.

Buckingham Senior dan Smith mengikuti dari belakang dengan sebuah Ford hitam. Setibanya di rumah Ley di London ternyata tak ada tamu lain selain mereka. Tidak ada pengacara. Apalagi polisi. Buckingham menerima sebuah sampul berisi uang dan bersama Lilian dan putranya pergi ke sebuah rumah minum untuk membagi uang itu.

Buckingham Senior atas nama anaknya dan Ny. Lilian Bruce memprotes bahwa mereka tahu Jack akan dibunuh. Ketika mereka tinggalkan Jack di rumah Ley, Jack masih hidup di bawah pengawasan Ley dan Smith.

Beberapa hari kemudian mereka bertemu dengan Smith yang menerangkan bahwa Jack telah menandatangani suatu keterangan dan sesudah itu dikirim ke luar negeri. Baru setelah membaca harian pagi itu ia tahu Jack menjadi korban pembunuhan.

Ia segera menelepon Smith dan mengajaknya bertemu di rumah minum Brixton. Mereka menuduh Smith melibatkan mereka dalam suatu kejahatan serius. Smith meminta mereka tutup mulut saja.

 

Surat pancingan

Philpott memasang pipanya dan menghirup tanpa berkata apa-apa. Suasana terasa mencekam sekali.

Telepon berdering. Ternyata dari seorang agen yang membuntuti Smith. "Ia sedang mengisi kopernya dan tampaknya mau melaporkan diri."

"Tangkap dia dan bawa kemari," perintah Philpott.

Tanya-jawab Inspektur Philpott dengan Lawrence Smith sore itu tidak begitu lancar. Ia mengaku ikut memancing Jack Mudie ke rumah Ley, tapi tak lama sesudah Buckingham pergi ia pun meninggalkan rumah Ley. Waktu itu Jack masih hidup. Ia sendiri pergi ke Kota Leicester, di mana ia menghabiskan Kamis malamnya sampai Senin pagi bersama istri yang telah diceraikannya dan dengan anak-anaknya.

Tapi pemeriksaan yang dilakukan Scotland Yard bertentangan hasilnya. Menurut para tetangga, Smith baru datang di rumah bekas istrinya pada hari Jumat. Jadi ada kemungkinan bahwa Smith Kamis malam itu masih di rumah Ley, mengangkut mayat Jack, dengan mobil Ford hitam itu ke jurang, di mana akhirnya mayat Jack ditemukan. Jurang yang sehari sebelumnya diperiksanya.

Keterangan keempat orang sewaan Ley ini cukup memberatkan Ley sendiri. Namun Phil pott tidak segera turun tangan. Selama beberapa hari ia mengawasi rumah Ley. Pada suatu sore ia mengajak sekretaris Ley ketika sedang berjalan ke luar untuk pulang. Meskipun segan pada mulanya, namun akhirnya mau juga dia bercerita.

Sebagaimana sudah lama diduga Inspektur Philpott, Ley-lah yang memalsukan surat dan tanda tangan manajernya sendiri, yang dikirimkannya kepada Jack Mudie beserta sejumlah cek yang katanya harus ditandatangani oleh Ny. Maggie Brook.

Sekretaris itu tidak mengerti mengapa bosnya bertindak begitu, tetapi Philpott dapat mengemukakan suatu teori yang masuk akal. Thomas John Ley seorang tua bangka yang amat pencemburu terhadap nyainya yang sudah 66 tahun itu.

Bila Jack Mudie mengirimkan cek itu ke alamat Ny. Brook, itu merupakan bukti bahwa ia tahu di mana wanita itu tinggal dan lebih dari itu lagi, ini mungkin berarti ada hubungan gelap antara mereka. Tetapi Jack menolak cek itu.

Tipu muslihat Ley gagal, karena Jack memang tidak bersalah dan tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan perempuan yang bisa jadi neneknya itu.

Namun sekretaris itu dapat membuktikan bahwa Ley tetap menyangka yang bukan-bukan pada Jack. Ley mendiktekan beberapa pucuk surat yang mengandung segala macam ancaman terhadap Jack.

Tetapi kemudian Ley mendapat pikiran lain. Surat-surat itu tak jadi dikirim. Sekretaris itu masih mempunyai catatan stenonya. Setelah lama dibujuk-bujuk, akhirnya sekretaris itu menyerahkan catatannya kepada Inspektur.

 

Potretnya tidak diturunkan

Pada tanggal 28 Desember 1946, sebulan setelah Jack meninggal, Inspektur Philpott mengunjungi mantan menteri kehakiman itu dan dengan hormat mengundangnya ke Scotland Yard. Ley rupanya tidak tahu bahwa ia akan ditangkap Sikapnya riang saja.

Perkara pengadilan Thomas John Ley dan Lawrence Smith menggemparkan tanah Inggris dan Australia, terutama karena Ley sendiri membela dirinya dan dalam pembelaan memperlihatkan dirinya sebagai pembohong besar.

Ia menyangkal segala-galanya. Tidak kenal Jack Mudie. Orang itu tidak pernah berada di rumahnya. Juga tidak pernah mendengar tentang Buckingham dan Ny. Lilian Bruce. Uang yang diberikannya kepada Smith itu pinjaman belaka. Menyewa orang untuk menculik Jack? Absurd. Nonsens!

Ny. Maggie Brook memberi kesaksian bahwa Ley memang memfitnah dia berbuat serong dengan Jack Mudie dan banyak pria lain. Selama sepuluh tahun terakhir ini ia tak pernah melakukan hubungan seksual dengan Ley, karena pria ini sudah impoten.

Ny. Lilian Bruce dan kedua Buckingham dipanggil untuk memberi keterangan. Mereka dibebaskan, kecuali Buckingham Senior, karena ketahuan melakukan desersi dari tentara selama perang. Ia dimasukkan ke penjara.

Sementara itu datang pula kabar angin dari Australia bahwa meskipun Thomas Ley pernah punya kedudukan tinggi di Australia, ternyata namanya tidak begitu bersih. Pernah dua lawannya dalam pemilihan umum mendadak hilang tidak berbekas. Sebagian orang berpendapat bahwa Ley ada sangkut-pautnya dengan menghilangnya dua tokoh lawan politiknya itu.

Ironis sekali bahwa selama menjadi menteri kehakiman, Ley pernah menolak permintaan ampun seorang pembunuh dengan kata-kata berikutnya: "Perkara ini perkara pembunuhan dan untuk itu tidak ada pengampunan."

Baik Ley maupun Smith dinyatakan bersalah membunuh Jack dan dijatuhi hukuman gantung. Kemudian hukuman si tukang kayu diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Ley diperiksa oleh tiga orang dokter ahli jiwa. Kata mereka, pikiran Ley tidak beres dan menyarankan agar Ley tidak dikirim ke tiang gantungan, tetapi ke rumah sakit jiwa. Orang yang paling hartawan yang pernah masuk rumah sakit! Beberapa bulan kemudian ia mati wajar di situ pada tanggal 24 Juli 1947.

Mungkin Smith masih hidup di penjara. Ley sudah dikuburkan. Akan tetapi potret Thomas John Ley masih tergantung di Kementerian Kehakiman di Sydney bersama dengan menteri kehakiman lainnya.

Pernah diadakan saran agar potret itu disingkirkan, akan tetapi Perdana Menteri Australia menolaknya. "Biarkan di situ. Dishonourable (Yang Tidak Terhormat) Thomas John Ley adalah jenis orang yang harus merupakan peringatan bagi para menteri kehakiman yang akan datang. (The Waiting Wolseley)

" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553110525/mobil-wolseley-yang-dikuntit-ford-sedan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348463000) } } }