array(18) {
  [0]=>
  object(stdClass)#117 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3678493"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#118 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/gara-gara-penyanyi-seronokjpg-20230213031104.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#119 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(144) "Seorang informan tewas terbunuh saat menunggu Ghote. Seorang saksi mata, remaja asal Amerika, memaparkan ciri-ciri pelakunya pada inspektur itu."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#120 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/gara-gara-penyanyi-seronokjpg-20230213031104.jpg"
      ["title"]=>
      string(26) "Gara-Gara Penyanyi Seronok"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-02-13 15:27:49"
      ["content"]=>
      string(27443) "

Intisari Plus - Seorang informan tewas terbunuh saat menunggu Ghote. Seorang saksi mata, remaja asal Amerika, memaparkan ciri-ciri pelakunya pada inspektur itu.

--------------------

“Inspektur sahib teman saya,” kata pria itu, berusaha meyakinkan. Protima, istri Inspektur Ghote, memandangnya dengan curiga. Pria itu mengenakan baju dan celana putih model India. Kelihatannya ia tidak terlalu miskin, walaupun kerah dan pergelangan tangan bajunya sudah dekil.

Pria itu mencoba tersenyum, tetapi senyumnya tidak mempan untuk melunakkan hati Protima. Istri Inspektur Ghote tetap tidak mau mengizinkannya masuk. 

“Inspektur sahib akan kembali kira-kira seperempat jam lagi. Duduk saja di taman seberang. Kalau dia datang, saya akan segera memberi tahu bahwa Anda mencarinya.”

Di seberang jalan ada gedung apartemen lain, tetapi jauh lebih bagus daripada gedung tempat apartemen Ghote berada. Di sana tinggal orang asing dan para pengusaha minyak yang kaya.

Di depan bangunan bagus itu ada taman. Lebarnya mungkin tidak sampai 4 m dan dibatasi dengan jalan oleh semak-semak. Di taman itu ada bangku besi yang tadinya dicat putih, tetapi kini tidak jelas apa warnanya. Sore hari, para pembantu rumah tangga senang mengobrol di sana, tetapi pada hari Minggu siang ini tempat itu kosong.

Tamu Inspektur Ghote melebarkan senyumnya sekali lagi. 

“Tetapi, Bu. Sebaiknya saya menunggu di dalam,” katanya. 

“Tidak,” jawab Protima tegas, sambil menutup pintu.

 

Seperti kera

Lima menit kemudian Ghote pulang dengan wajah berseri-seri. la baru saja menyaksikan putranya, Ved, bertanding kriket. Ketika Ghote menceritakan bahwa putra mereka mencetak angka 35, mata Protima berbinar-binar. Sebenarnya Protima ingin bertanya lebih saksama perihal jalannya pertandingan, tetapi ia teringat pada pria yang tadi mencari suaminya.

“Mungkin informan,” kata Ghote sambil menghela napas. “Dia pasti tahu alamat kita dari buku telepon.”

“Kenapa dia tidak menelepon saja?” tanya istrinya.

“Jelas orang seperti itu tidak memiliki telepon sendiri. Kalau menelepon dari telepon umum, bisa-bisa mereka keburu tewas ditikam sebelum membuka mulut,” jawab Ghote sambil berjalan ke luar. 

“Eh, tunggu!” seru Protima. “Minum dulu. ‘Kan kau sudah seharian berpanas-panasan.”

“Tidak usah! Informan biasanya seperti kera. Kalau dibiarkan menunggu mereka lantas berbalik pikir dan tidak jadi memberi keterangan.”

Ketika mendekati taman, Ghote mengintip dari celah-celah tanaman semak. Ternyata tidak ada orang. Wah, rupanya pria itu betul-betul seperti kera.

Ghote masuk juga melalui pintu gerbang. Taman itu kosong. Namun, ketika ia beranjak meninggalkan tempat itu, matanya menangkap sesuatu berwarna putih di bawah semak-semak dekat bangku.

Ghote berlari mendekati. Seorang pria seperti yang digambarkan oleh Protima, rebah dengan wajah mencium tanah. Di antara tulang rusuknya tertancap sebilah belati. Ia sudah tewas. Ketika Ghote membalikkan mayat, ia segera mengenali Rostam Kothawala. Rostam seorang Parsi yang kerjanya berjualan alat-alat musik. Sekali-sekali ia memberi info kepada polisi, walaupun infonya kurang bisa diandalkan.

Dengan menarik napas panjang Ghote merogohi saku-saku pakaian mayat. Tahu-tahu ia dikejutkan oleh seruan dalam bahasa Inggris beraksen Amerika.

“Saya melihatnya! Saya melihatnya! Orang ini mati ‘kan? Saya melihat pembunuhnya!”

 

Saksi mata

Seorang pemuda belasan tahun yang bertubuh jangkung dan berambut merah berlari mendekati. Ghote pernah melihatnya beberapa kali pada hari-hari terakhir ini. Ghote menduga ia putra salah seorang Amerika yang tinggal di salah sebuah apartemen di gedung dekat taman itu. Mungkin ia, sedang liburan sekolah dan mengunjungi ayahnya di India.

Ghote menegakkan tubuh dan memperkenalkan dirinya.

Yeah, Inspektur. Saya Red Miller. Redmayne Miller. Penikamnya berlari ke sana.” Pemuda itu menunjuk ke jalan. “Saya jelas melihatnya. Ia bersorban dan berjanggut.”

“Kau melihatnya dari jendela apartemenmu.”

“Ya. Cepat kejar, Inspektur! Nanti dia keburu lenyap!”

“Dari jendela apartemenmu, saya kira kau tak mungkin bisa melihat ke jalan.”

“Tidak, tapi....” 

“Jadi, dari mana kau tahu pria bersorban itu berlari ke jalan?”

“Ya, mestinya ke sana. Habis, mau ke mana lagi? Cepat dong, Inspektur, kirim berita radio ke semua pos polisi. Saya bisa menggambarkan orang itu. Ia memakai sorban. Tingginya kira-kira sama dengan saya. Tapi ... eh, eh.” 

“Apa warna sorbannya?”

“Mmm ... biru! Eh, merah! Oh, mestinya saya ingat, tapi waktu itu saya begitu kaget melihat dia menikam orang ini. Kalau tidak biru, ya merah, kemerah-merahanlah!”

“Bajunya?” 

Pemuda itu berpikir keras. “Sialan! Tidak ingat tuh. Kenapa tidak saya perhatikan, ya?”

“Jadi percuma ‘kan kalau kita mengirim kabar ke semua pos polisi? Yang bisa kita lakukan saat ini ialah memeriksa isi saku-saku pakaiannya. Dia informan.”

“Oh! Pak Inspektur, tadi sebelum penikamnya datang, orang ini berjongkok di sini, seperti anak kecil bermain tanah.”

Ghote berlutut di tempat yang ditunjukkan oleh Red. 

“Dia seperti menggali-gali,” kata Red pula. Ghote ikut menggali-gali. Beberapa sentimeter di bawah tanah yang seperti debu, ia menemukan paan-daan, yaitu kotak sirih kecil. Ia membuka kotak itu. Ada beberapa kerat pinang, sebongkah kecil kapur, setengah lembar daun sirih, selembar karcis bus, dan sepotong kertas tebal yang sudah lusuh.

“Buat apa benda ini dikubur?” tanya Ghote seperti kepada dirinya sendiri. Ia membalik-balik karcis dan karton. Di balik karcis bus ada tulisan “Radha Berseri”. Anak Amerika itu cuma tahu kalau Radha adalah nama wanita India.

“Apa sih itu?” tanyanya. 

“Mungkin kode buat saya,” jawab Ghote.

“Pak Inspektur, kalau melihat lagi si pembunuh itu, saya akan mengenalinya.”

“Tapi saya ‘kan tidak mungkin mengumpulkan ribuan orang Sikh di Bombay ini untuk Anda pandangi seorang demi seorang.”

Red tampak kecewa. “Pak Inspektur, beri tahu saya ya, kalau Anda menemukan sesuatu. Ingat lo, saya ini saksi mata.”

Ghote memandang pemuda itu. Tampaknya ia begitu menggebu-gebu untuk ikut menangkap pembunuh Rustom Kothawala.

“Karena kau saksi mata, ya bolehlah,” jawabnya, tanpa berniat membuka rahasia penyidikan.

Kalau Red Miller bersemangat untuk diikutsertakan, sebaliknya dengan Asisten Komisaris Joshi dari Mabes.

“Walaupun dia informan, Ghote, tapi dia ‘kan cuma teri. Tidak mungkin kau melibatkan Mabes. Serahkan saja perkara ini kepada polisi setempat.”

“Tapi, Pak, kita ‘kan mendapat kunci berupa tulisan ‘Radha Berseri’. Rasa-rasanya itu menunjukkan seorang penari atau penyanyi yang tampil entah di mana di Bombay ini. Mana mungkin seorang subinspektur dari kantor polisi setempat menanganinya?”

“Pokoknya tidak, Ghote. Kita ‘kan sudah kewalahan menangani banyak kasus. Kasus yang menyangkut orang-orang berpengaruh mesti didahulukan, dong. Paham?”

 

Dasar bocah

Dilarang menangani kasus ini, Ghote penasaran.

Ia teringat kepada Red Miller. Ia ingin meminta pemuda itu berkeliling kota, meneliti poster-poster di pelbagai tempat pertunjukan. Siapa tahu ketemu poster Radha Berseri.

Seperti diduga oleh Ghote, Red sangat senang mendapat tugas itu. 

“Ingat, ya!” pesan Ghote berulang-ulang. “Jangan sekali-kali kau gegabah bertindak sendiri. Kau cuma harus menemukan poster itu. Kau tidak boleh melakukan tindakan apa pun. Berbahaya! Mengerti?”

“Mengerti, Pak Inspektur! Percaya deh kepada saya. Saya ‘kan sudah besar.” 

“Berapa umurmu?” 

“Enam ... eh, jalan enam belas.”

Celaka! pikir Ghote. Melihat sosok tubuh Red, tadinya Ghote menyangka anak itu berumur 18. Ternyata baru 15! Namun, nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin ia menarik kembali tugas yang sudah diberikannya.

Red menjalankan tugasnya dengan bersemangat. Ketika lewat di pusat Kota Bombay yang penuh sesak dengan taksi, ia melihat sebuah poster kecil bertuliskan: RADHA BERSERI dalam acara tarian yang seronok dan aduhai.

Yang membuat semangatnya melonjak keras adalah: dari pintu sempit di sebelah poster itu, ia melihat seorang pria keluar dan pria itu tidak lain daripada si Sorban yang menikam Rostam Kothawala! Ia mengenali cara pria itu berjalan dan pundak kanannya yang kelihatan kaku serta lebih tinggi daripada pundak kirinya.

Red tidak bisa menahan diri. Ia melompat turun untuk menguntit. Saking bernafsunya, ia lupa membayar taksi. Sopir taksi itu, seorang Sikh, marah dan berteriak-teriak. Si Sorban yang diincar Red menoleh. Saat itu Red meneriakinya. Si pembunuh cepat-cepat mengambil langkah seribu, sambil dikejar oleh Red. Mereka menubruk pejalan kaki, peminta-minta, kuli, pedagang ....

Si pembunuh masuk ke balik tenda kios penjual meethai, yaitu daging manis berbentuk kerucut. Red menyusul dan menubruk meethai sampai berantakan.

Di sanalah ia diringkus penduduk dan digiring ke kantor polisi. Ayahnya terpaksa membayar ganti rugi. Ghote menarik napas panjang, ketika mengetahui berapa banyak uang yang dikeluarkan ayah Red. Rupanya para penjual mencari kesempatan untuk memeras orang Amerika yang kaya raya itu. Ghote sungguh menyesal. Ia merasa ikut bersalah.

 

Radha Berseri

Radha Berseri ditemukan Ghote sedang berlatih menari dengan iringan musik harmonium. Tempat berlatih itu berupa sebuah kamar sempit yang cat dindingnya sudah mengelupas. Letaknya di belakang panggung kabaret merangkap restoran di Colaba Causeway.

Ketika Radha sudah selesai berlatih dan pemain harmonium sudah pergi, Ghote menghampiri. Radha ketakutan didatangi perwira polisi. Akhirnya dengan enggan ia mengaku bahwa ia kenal dengan Rostam Kothawala, penjual alat-alat musik.

“Anda memberi tahu dia bahwa Anda dipaksa membayar uang perlindungan?” tanya Ghote.

“Tidak! Tidak! Tidak, Pak Inspektur,” jawab wanita itu ketakutan.

“Nona Radha, saya akan bertanya. Jangan menjawab dulu sebelum Anda berpikir. Anda membayar uang perlindungan?”

Lama gadis itu tidak menjawab. Ketika ia membuka mulut juga, jawabannya cuma berupa bisikan.

“Inspektur, mereka mengancam akan menyayat-nyayat wajah saya.”

Ghote memerlukan waktu lama pula untuk mengetahui dengan jelas apa yang terjadi. Menurut Radha, seminggu sekali dua orang pria datang ke rumahnya, untuk mengambil semua uangnya. Salah seorang di antaranya bernama Iqbal Singh, cocok dengan gambaran Red tentang pembunuh Rostam Kothawala.

Kata Radha, ia berutang harmonium pada Rostam. Berulang-ulang Rostam menagih, ia belum sanggup membayar juga. Akhirnya Radha membuka rahasia, bahwa uangnya setiap kali diambil oleh Iqbal Singh.

Setahu Radha, Iqbal Singh cuma orang suruhan, sebab Iqbal pernah berkata ia mempunyai bos.

Ghote melapor kepada Asisten Komisioner Joshi. Joshi tetap tidak memperbolehkan Ghote turun tangan.

“Itu ‘kan urusan polisi setempat,”‘ dalihnya.

Jadi Ghote memutuskan untuk bekerja sendiri, dengan risiko dipecat. Red bersikeras ikut. Ghote sebenarnya membutuhkan pembantu, tetapi ia enggan mengajak bocah itu. Ternyata ia kalah gigih dari Red yang merengek terus.

“Kita harus menangkap basah mereka,” kata Ghote. “Sulitnya mereka itu berdua. Kalau kita kejar, kemungkinan besar mereka akan berpencar. Aku akan mengejar Iqbal Singh, kau mengejar kawannya.”

Supaya tidak mencolok, Red menyembunyikan rambutnya di bawah topi lebar. Pada hari kedua pemeras itu biasa datang ke tempat Radha. Ghote dan Red datang ke gang kecil di sebelah poster Radha. Red pura-pura menjadi turis, sedangkan Ghote berlagak sebagai calo yang membujuk-bujuk turis untuk menukarkan uang asing.

 

Dikibuli

Benar saja Iqbal Singh datang dengan temannya yang bertubuh kecil. Setelah keluar, mereka masuk ke kios pedagang meethai yang pernah diseruduk Red. Rupanya mereka membeli makanan itu. Beberapa menit kemudian si Kecil keluar sendirian. Sebelum ia keluar, kelihatan Iqbal Singh menjejalkan sesuatu ke saku si Kecil. Uang? Apakah si Kecil yang akan mengantarkan uang ke bos? Jadi siapa mesti mengikuti siapa?

Ghote merasa serba salah. Kalau Red disuruh mengikuti si Kecil, ia khawatir Red tidak bisa menguasai diri pada saat melihat bos. Kalau disuruh mengikuti Iqbal, bisa berbahaya juga, sebab Iqbal itu pembunuh.

“Kita berdua mengikuti si Kecil,” kata Ghote kepada Red. 

“Kenapa bukan mengikuti Iqbal?” 

“Yang disuruh memegang duit ‘kan si Kecil.” 

“Yakin, Pak, yang tadi dijejalkan itu duit?” 

“Ayo!” Red mengekor Ghote. Mereka menguntit si Kecil yang masuk ke daerah lampu merah Kamathipura. Di sini si Kecil berhenti menonton anak-anak bermain judi. Sampai sejam ia masih belum beranjak juga. Ghote menjadi mangkel karena merasa dikelabui. Ia segera mendekati pemimpin anak-anak itu dan berbisik. Anak-anak itu menyingkir. Ghote segera memegang pundak si Kecil.

“Eh, aku ingin berbicara denganmu!” katanya. Si Kecil mengaku bernama Govind Khotkar. Ghote mencatat alamatnya.

“Kau meminta uang dengan ancaman,” kata Ghote. “Hukumannya paling sedikit lima tahun kerja paksa.”

“Idih! Apa buktinya?” kata orang itu. 

“Apa yang dimasukkan Iqbal Singh ke sakumu di kios meethai?”

Dengan senyum kemenangan, si Kecil membiarkan Ghote membuka kancing sakunya. Ia merogoh saku itu dan mengeluarkan segepok foto setengah porno! Ghote naik pitam, tetapi ia selalu bisa cepat mengendalikan dirinya.

Ia menggertak si Kecil, yang ternyata tidak selicin Iqbal. Si Kecil secara tidak sadar mengakui bahwa mereka memungut uang dari sana-sini. la tidak tahu ke mana uang itu disetorkan oleh Iqbal.

“Aku menyaksikan kau memeras seorang penari bernama Radha,” gertak Ghote. “Orang Amerika itu juga,” Ghote melanjutkan sambil menunjuk Red. “Kesaksian kami sudah cukup untuk mengurungmu di penjara. Tapi aku ingin memberimu satu kesempatan.”

Si Kecil ciut nyalinya. Wajahnya menjadi pucat. “Kesempatan apa?” tanyanya.

“Minggu depan, kalau kau dan temanmu itu menagih uang, ikuti dia. Lalu beri tahu aku, ke mana uang itu disetorkan.”

“Lalu datang ke Pasar Crawford pukul 13.00,” pesan Ghote. “Temui aku di tenda penjual pisang. Tahu tempatnya?”

“Tahu, Pak,” jawab si Kecil dengan jinak.

 

Red lenyap

Pukul 13.00 si Kecil belum kelihatan batang hidungnya.

“Ia terlambat, Pak Inspektur,” kata Red. Ghote sebetulnya tidak mau mengajak Red, tetapi anak itu mendengar perjanjiannya dengan Khotkar, sehingga tidak bisa dicegah untuk hadir. Ghote berulang-ulang berpesan agar Red jangan gegabah bertindak.

Akhirnya mereka melihat juga Khotkar muncul di tengah kerumunan orang yang berjual-beli di pasar berumur 100 tahun itu. Pada saat Khotkar berada kira-kira 7 m dari mereka, tiba-tiba saja tubuhnya yang kecil itu terjerembap ke depan. Wajah Ghote mendadak pucat. Orang di sekitar Khotkar menjadi panik.

Ghote menerobos ke arah sumber kepanikan. Si Kecil Khotkar terbujur tewas. Sebilah pisau menembus rusuknya. Rupanya si bos mengirim pembunuh untuk membungkam mulutnya. Mungkin Iqbal Singh, mungkin orang lain. Ternyata tidak seorang pun di pasar itu tahu siapa penusuk Khotkar.

Darah Red serasa mendidih. 

“Gila! Tepat di depan hidung kita!” gumamnya. 

“Tenang. Kita tidak bisa berpikir kalau sedang marah,” Ghote mengingatkan.

Tidak lama kemudian darah Red mendidih lagi, gara-gara Asisten Komisioner Joshi tetap tidak mengizinkan Mabes bertindak, walaupun sudah ada dua korban terbunuh. Ghote memutuskan untuk turun tangan, walaupun mesti dipecat. 

Pada hari Radha mesti membayar upeti lagi, tiba-tiba saja Ghote teringat kepada Red. Jangan-jangan anak itu nekat menguntit Iqbal Singh. Cepat-cepat Ghote mencari anak itu di tempat tinggalnya. Red tidak ada. Dengan khawatir Ghote memanggil taksi, yang disuruhnya ngebut ke tempat Radha.

Radha cuma sendirian. “Tadi Iqbal datang seperti biasa,” katanya. “Tapi temannya bukan yang biasa datang.”

“Apakah Anda melihat seorang pemuda Amerika?” tanya Ghote cemas. 

“Tidak. Eh, ada. Saya melihatnya di jalan, ketika Iqbal Singh dan temannya keluar.”

Ghote berlari ke luar. Kebetulan taksi yang tadi ditumpanginya masih ada. Pengemudinya sedang meramu sirih. Ghote melompat masuk ke kendaraan itu.

“Saya polisi, Cepat pergi ke kios penjual meethai di perempatan. Tahu?” 

“Tahu, sahib.” 

Jantung Ghote berdebar-debar. Apakah Iqbal Singh singgah ke kios itu seperti biasa? Rasanya demikian. Dan taksi Ghote melihat Iqbal yang bersorban dan pundaknya miring itu berdiri bersebelahan dengan seorang rekannya yang kurus. Tetapi di mana Red? Ah! Dia ada dekat penjual lotre.

Tanpa diduga-duga, Red menyeberang ke arah Iqbal yang jangkung sambil berteriak, “Pembunuh! Tertangkap kau sekarang!”

Dengan lengannya yang besar dan kokoh, ia mencengkeram Iqbal seperti beruang menerkam mangsa. Ghote keluar dari taksi dan berusaha mencari jalan di antara kendaraan roda empat yang berjajar rapat dan sepeda yang mengisi setiap sentimeter jalanan.

Walaupun besar dan kuat, Red bukanlah anak jalanan. Ghote melihat Iqbal Singh mengentakkan kakinya ke kaki Red yang cuma dilindungi sepatu kets. Red kesakitan dan tanpa terasa mengendurkan pelukannya. Saat itulah Iqbal Singh menghunus pisaunya.

Ghote menghambur ke depan dan membetot pakaian Iqbal Singh ke belakang, sehingga pisaunya luput mengenai Red. Namun Red terjungkal. Kini si Sorban menghadapi lawan barunya. Tikamannya yang pertama menyerempet lengan kiri atas Ghote. Inspektur itu merasa nyeri yang membakar. 

Sebagai polisi, Ghote kenyang berlatih olahraga bela diri. Jadi ia mempraktikkan ilmunya dengan menendang selangkangan si Sorban. Tendangannya mengenai sasaran, tetapi tidak telak. Si Sorban mundur, tetapi tampaknya tidak terlalu kesakitan. la memasang ancang-ancang untuk mengayunkan belatinya sekuat tenaga. Ghote mencoba mengangkat lengannya yang luka, tetapi lengan itu tidak mampu menuruti perintah otaknya.

Sesaat kemudian dunia kelihatan gelap dan Ghote merasa ajalnya sudah tiba. Tahu-tahu terjadi kehirukpikukan yang luar biasa. Suara peluit polisi dan derap sepatu. Dalam waktu sekejap saja sejumlah pria berseragam khaki menyerbu ke arah si Sorban. Si Sorban berbalik dan melompat ke atas atap kios, lalu turun ke balik kios. Ketika polisi menyusul, ia sudah lenyap.

Asisten Komisaris Joshi berdiri di depan Ghote pada saat dokter polisi merawat luka yang tidak henti-hentinya mencucurkan darah di lengan Inspektur itu.

“Pak!” kata Ghote dengan nada marah. “Hampir saja Anda terlambat. Mana anak Amerika itu? Dia selamat?”

“Selamat!” 

Beberapa hari sebelumnya, setelah Ghote meninggalkan kantor Joshi, Asisten Komisaris itu berpikir-pikir. “Jangan-jangan benar juga si Ghote!” Jadi ia memerintahkan anak buahnya untuk turun tangan, walaupun terlambat. 

Cuma saja ia tidak mau mengakui kesalahannya. Ia malah menyesali Ghote.

“Aku memutuskan untuk menangkap para cecere pemeras itu, supaya bisa membekuk bosnya. Eh, kau mengacau, sehingga kami tidak berhasil menjaring seorang pun.”

Ghote bangkit, walaupun dunia serasa berputar-putar. 

“Pak, tidak perlu cecerenya deh! Tangkap saja langsung bosnya. Itu tuh di belakang Anda. la penjual meethai. Dua minggu yang lalu, ketika mengamati mereka, saya kira Iqbal Singh membayar meethai. Ternyata ia menyetorkan uang pungutan. Kios itu ‘kan cuma pelabi untuk menutupi perbuatannya.”

Ghote harus mengambil risiko. Bisa saja ia salah. Namun, ternyata ia benar. Si bos diringkus dan digiring ke kantor polisi. Dengan terpaksa Asisten Komisioner Joshi berkata, “Ghote, aku tahu kau memang selalu bisa diandalkan.”

(Thomas At)

Baca Juga: Hutang Mata Dibayar Mata

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553678493/gara-gara-penyanyi-seronok" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676302069000) } } [1]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682622" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/tamunya-bergandenganjpg-20230213032612.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Ketika Ella sedang memandikan bayinya, datang dua pria asing dengan borgol. Mereka adalah napi yang kabur dan sedang dicari-cari oleh polisi." ["section"]=> object(stdClass)#124 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/tamunya-bergandenganjpg-20230213032612.jpg" ["title"]=> string(20) "Tamunya Bergandengan" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:26:21" ["content"]=> string(34752) "

Intisari Plus - Ketika Ella sedang memandikan bayinya, datang dua pria asing dengan borgol. Mereka adalah napi yang kabur dan sedang dicari-cari oleh polisi.

--------------------

“28 hektar. Terlalu luas dikerjakan sendiri, tapi terlalu sedikit untuk dua orang. Kampung terdekat saja letaknya 8 km dari sini. Mana kita berada di tepi padang ilalang lagi! Mau kujual saja tanah terpencil ini,” kata Reg Carter kepada istrinya.

“Ya, sayang,” kata Ella. la memang istri penurut. 

“Jadi, kamu suka kalau aku menjual tempat ini? Kalau begitu, tak akan kujual!” ujar Reg kesal. 

“Ya, sayang,” kata Ella.

“Hai, kau tidak punya jawaban lain ya, selain ‘ya, sayang’?” tanya Reg. Ella cuma diam. Dituangnya teh ke dalam gelas suaminya sambil mengusap air mata yang mulai mengalir.

Reg Carter menghirup tehnya. Rupanya lidahnya kepanasan. Sumpah serapah pun berhamburan dari mulut Reg ketika beranjak ke luar.

Ella cuma duduk. Bahunya terkulai. Tangannya terlipat di pangkuan. Air matanya menetes satu-satu diiringi suara mesin truk yang malas hidup.

Truk itu terbatuk-batuk. Starternya ngadat. Begitu setiap kali hendak dihidupkan. Setelah Reg Carter mengotak-atiknya sebentar, truk itu mau juga hidup.

Ella beranjak dari duduknya. la melangkah ke luar menerobos hujan yang turun rintik-rintik. Tampak Reg Carter mengundurkan mobilnya ke luar dari gudang. Ditancapnya gas dengan tak sabar. Ella berlari-lari melewati tanah berlumpur lantas membuka pintu pagar.

“Pukul berapa kau pulang?” tanya Ella takut takut. 

“Suka-suka,” jawab Reg di tengah derum mesin. “Pukul enam kek, tujuh atau delapan, apa urusanmu?” Reg Carter menjalankan truknya, tetapi mendadak berhenti, lalu katanya, “Tutup pintu pagar ini, nanti kambing-kambing sialan itu melahap tanaman kita lagi.”

 

Buronan kelaparan

Setelah menutup pintu pagar, Ella kembali ke dapur. Diambilnya sebatang rokok yang disembunyikannya di balik tempat menyimpan tepung. Suaminya tidak suka melihat ia merokok. Bukan gaya istri petani, begitu kata suaminya.

Tubuhnya sedikit gemetar. Dipandanginya nyala api tungku. Lamunannya melayang-layang ke masa tiga tahun silam.

Ella teringat masa-masa ketika pertama kali mereka tinggal di sini. Ketika itu Reg Carter sudah berhenti bekerja dari sebuah instansi yang bergerak di bidang pengukuran tanah. Dengan uang tabungannya, ditambah sedikit warisan dari ibunya, Reg Carter membeli lahan pertanian yang sekarang mereka tinggali. Cukup berat memang pekerjaan mereka, tetapi harapan-harapan mereka melambung tinggi dan mereka hidup bahagia ketika itu. Namun kini, keadaannya….

Rengek tangis bayi di kamar membuyarkan lamunannya. Ella lantas teringat hendak memandikan anaknya. Ditaruhnya ember besar dekat perapian berisi air hangat. la naik ke lantai atas mengambil anaknya dari tempat tidur. Ella bersenandung, si Kecil pun berhenti menangis.

Ketika Ella hendak menurunkan anaknya ke dalam air, terdengar ketukan di pintu. Aneh, pikirnya. Tukang pos mestinya belum datang sepagi ini.

“Masuk,” teriak Ella yang tak beranjak dari tempatnya. “Pintu tidak dikunci.”

Pintu terbuka dari luar. Dua sosok laki-laki masuk setelah dengan hati-hati menutupnya lagi. Laki-laki yang berdiri di depan bertubuh pendek dan gemuk. Mukanya bulat. Rambutnya berwarna kelabu, lengket di kulit kepala yang basah kena hujan. Yang seorang lagi tinggi besar, lebih muda, tetapi banyak kerutan di wajahnya. Matanya bulat kecil dan licik. Berbeda dengan si Gendut yang berpakaian lusuh, si Jangkung tampak lebih keren dengan celana jeans dan jaket kulit. Si Gendut menatap Ella dengan wajah senang.

“Waduhhh!” ujar si Gendut. “Sayang aku bukan seorang Rembrandt atau Boticelli. Kalau ya, tentu kuabadikan pemandangan seorang ibu yang tengah memandikan bayinya dengan penuh kasih sayang ini di atas kanvas.” Mulutnya nyerocos seperti kran air.

“Maaf,” ujar Ella kebingungan. “Suamiku baru saja pergi….”

“Kami sudah tahu dari tempat persembunyian di belakang gudang itu,” kata si Gendut. Rupanya si Gendut mencium bau sedap makanan. Hidungnya kembang-kempis. “Daging? Apakah aku mencium bau daging? Oh, ibu yang baik hati, tolong sediakan sepuluh iris daging babi asin yang dibubuhi empat butir telur segar.”

Si Gendut melenguh keras ketika kawannya meloncat menyambar sepotong roti panggang dari meja. “Ingat tanganku, bangsat!” umpatnya. Ella baru menyadari kalau pergelangan tangan kanan si Gendut terikat borgol dengan pergelangan tangan kiri kawannya. “Maafkan umpatanku tadi, sayang,” ujar si Gendut kepada Ella. “Kawanku ini sangat menjengkelkan. Lantaran terlalu banyaknya napi dan juga nasib sial, mereka memborgolku dengan si Tolol seperti ini.”

 

Bayinya disandera

Ella mengangkat anaknya dari ember, lantas menyelimutinya dengan handuk. Ella mengarahkan pandangannya ke pintu. Si Gendut tersenyum dan memberi isyarat dengan tangan kirinya yang tidak terikat.

“Jangan, manis,” ujar si Gendut memperingatkan. “Terlalu riskan membawa ke luar bayi kesayanganmu yang habis mandi dengan air hangat di saat hujan begini. Bawa kemari, biar aku yang menggendongnya!” katanya sembari mengulurkan tangannya hendak mengambil bayi dari pelukan Ella. Ella menghindar dengan mata tajam melotot. Si Jangkung tidak tinggal diam. la melangkah maju mencengkeram lengan wanita itu. Ella merintih sambil memeluk anaknya lebih erat.

“Serahkan bayi itu, tolol,” kata si Jangkung geram, “kalau kau tak ingin celaka.”

“Oh, jangan ... jangan ....” pinta Ella. “Biar kubaringkan dulu anakku. Lantas, kalau memang kalian mau makan, aku akan menyiapkannya.”

“Kau memang harus menyiapkan makanan untuk kami,” ujar si Gendut bersemangat. “Ibu yang baik harus begitu. Tapi, biar saja aku yang menggendong bayi itu.” Akhirnya, dengan rasa waswas Ella menyerahkan juga anaknya ke tangan si Gendut. “Nah, sekarang kau bisa menyiapkan sarapan untuk kami. Aku bisa sabar menunggu, tetapi aku cuma khawatir dengan kawanku ini.”

Si Gendut melirihkan suaranya. “Dengar, kawanku ini sudah empat kali keluar-masuk penjara, gara-gara menganiaya orang. 14 tahun sudah ia mengenyam kehidupan di penjara.” Si Gendut tersenyum sambil melangkah mundur, menyeret si Jangkung. Ia duduk di kursi goyang dekat perapian. Bayi di pelukannya mulai menggeliat-geliat resah lalu menangis keras. Si Gendut mencoba menenangkannya dengan membenahi selimut yang membungkus bayi itu agar lebih nyaman.

Mendengar tangis anaknya, Ella berdiri menatap mereka dengan penuh rasa cemas. Si Jangkung menggertaknya lagi, layaknya singa lapar, sambil mengangkat tangan kiri mengancam. Ella cepat-cepat mengambil daging babi asin dan sekeranjang telur, lantas menyalakan kompor dan menaruh wajan di atasnya. Si Kecil berhenti menangis di pelukan si Gendut. Ditatapnya wajah penggendongnya dengan sorot mata asing.

“Nah, kalau diam begini ‘kan manis,” kata si Gendut puas. Ia menengok ke arah jam yang terpajang di rak. “Saatnya siaran berita,” katanya. “Nyalakan radio itu, Grotters.”

 

Tenaga kuat, otak lemah 

Grotters, si Jangkung, menjangkau radio di atas meja, lalu memutar tombolnya. Hingar-bingar musik pop menggema di ruang itu. “Bukan itu, tolol,” bentak kawannya.

Grotters menurut saja. Diputar-putarnya tombol pencari gelombang lalu terdengarlah suara seorang penyiar, “... mobil penjara yang mengangkut mereka dari Ilchester Assizes mengalami selip di jalan sehingga terbalik. Ketiga puluh narapidana yang sedang diangkut menuju penjara setelah divonis di pengadilan, diborgol dua-dua. Dari enam pasang napi yang melarikan diri, lima pasang sudah tertangkap kembali. Sedang sepasang lagi kini masih jadi buronan. Kedua napi yang berhasil meloloskan diri adalah Robert Finsome yang terbukti bersalah karena memberikan dalih palsu dan Thomas Grottersley yang dijatuhi hukuman 14 tahun karena terbukti melakukan perampokan dengan kekerasan dan penganiayaan. Masyarakat diminta waspada terhadap kedua buronan tersebut, terutama Thomas Grottersley yang memiliki tenaga yang kuat, tetapi kecerdasannya rendah dan ....

Grotters mengumpat sambil mematikan radio. 

“Tenanglah, Grotters,” ujar kawannya. “Kau tak perlu marah-marah. Kita memang bukan termasuk penjahat-penjahat yang terpelajar. Namun, tenagamu yang kuat itu justru bermanfaat untuk menyingkirkan gelang keparat ini dari tangan kita.”

“Tutup mulutmu,” bentak Grottersley dengan kasar. “Hai, kau! Teruskan masakmu,” gertaknya kemudian kepada Ella.

Selesai makan dan perut terasa kenyang, kedua orang itu duduk berdampingan di depan perapian. Si Kecil terbaring di ranjang di sisi mereka, sementara Ella menyiapkan makanan untuk anaknya.

 

Disuruh bersandiwara

“Siapa yang biasa datang ke man?” tanya Finsome.

“Cuma tukang pos.” jawab Ella “Jam-jam seperti ini biasanya ia datang,” katanya sembari melontarkan pandangannya menerobos jendela. Dari jendela tampak sepotong jalan yang meliuk membelah hamparan padang luas yang ditumbuhi semak-semak dan ilalang. Ujung jalan itu lenyap ditelan bukit-bukit kecil yang memagari padang luas itu. Finsome beranjak dari duduknya. Ia mengintip ke luar lewat jendela. Hujan mengucur deras disertai tiupan angin.

“Cuaca yang amat menguntungkan buat kami,” ujar Finsome senang. “Tampaknya, hujan tak akan segera berhenti. Naik apa tukang pos itu?”

“Mobil,” jawab Ella. “Biasanya dia singgah sebentar untuk minum teh.”

Mendengar pernyataan itu, Grotters lantas melemparkan pandangannya penuh curiga kepada Ella.

“Nyonya manis,” ujar Finsome. “Itu yang suka bikin orang curiga. Apalagi kau masih muda, cantik lagi. Apalagi tinggal di tempat terpencil seperti ini.”

“Suamiku biasanya ada pada saat-saat tukang pos itu minum teh di sini,” ujar Ella.

“Namun, hari ini tidak ‘kan?” kata Finsome. “Nah, kalau nanti tukang pos itu datang, kau biasa saja. Jangan berbuat sesuatu yang bikin dia curiga. Mengerti?”

“Seharusnya dia mengerti, kalau tak ingin anaknya celaka,” gumam Grotters. “Suruh saja tukang pos itu menyusupkan surat-surat lewat kolong pintu dan bilang kepadanya agar segera pergi. Katakan juga, suamimu cemburu padanya, dan sekarang sedang mencari-carinya sambil membawa-bawa garpu rumput. Lakukan semua itu dengan meyakinkan. Ingat, anakmu ada di tangan kami!”

“Oh, jangan ...,” pinta Ella agak ketakutan. “Saya berjanji tidak akan mengatakan apa-apa tentang kalian kepada tukang pos itu.”

“Aku percaya,” kata Finsome merasa tenang. “Tetapi, kau tak perlu menerima usul kawanku ini. Terlalu kasar. Lebih baik bilang, kau sedang memandikan anakmu.”

 

Bawa polisi 

Grottersley menatap ke luar jendela. “Tukang pos itu datang,” katanya dengan wajah tegang. Di tengah hujan yang masih deras mengguyur, tampak sebuah mobil pos berwarna merah meluncur menuju rumah itu. Grottersley mengalanginya ketika Finsome membawa bayi itu hendak sembunyi di lantai atas.

“Dua orang duduk di mobil itu,” kata Grotters sambil menunjuk ke arah mobil yang semakin dekat. “Lihat! Tukang pos itu membawa polisi. Kau bisa lihat topinya. Sialan!”

Mobil pos itu melambat jalannya dan berhenti di depan pintu pagar. Kedua penumpangnya turun. Tiba-tiba dengan kasar Finsome menyerahkan ranjang bayi itu ke tangan Grotters dan bergegas mengunci pintu. Hampir saja bayi itu melorot jatuh ke lantai.

“Hati-hati!” bisik Finsome kepada Ella. “Ingat! Grotters membawa bayimu. Jangan coba berbuat macam-macam.”

Kedua buronan itu bergegas naik ke tangga. Berbareng dengan itu terdengar ketukan di pintu.

“Maaf, Arthur,” kata Ella gemetar. “Anda tak bisa masuk. Saya ... saya sedang memandikan anak saya.”

“Kami berdua, Ny. Carter,” sahut Arthur, si tukang pos dari luar. “Saya bersama seorang petugas.”

“Sersan Hunt, Ny. Carter,” terdengar suara yang lain memperkenalkan diri. “Saya berpatroli di daerah ini karena ada dua orang napi yang melarikan diri. Mungkin Nyonya sudah mendengar adanya buronan itu dari radio ....”

“Ya,” jawab Ella sembari menahan napas. 

“Nyonya tak perlu cemas sebenarnya. Kecil kemungkinannya mereka melarikan diri ke daerah ini dalam cuaca seperti ini,” kata polisi itu mencoba menenangkan hati Ella. “Namun, sebaiknya Nyonya, juga Pak Carter, waspada kalau melihat orang asing berkeliaran di daerah ini. Kalau Nyonya melihat orang yang tidak dikenal, segera saja telepon polisi. Oke?”

“Baik, Sersan,” jawab Ella, disusul meluncurnya sejumlah surat dari kolong pintu. 

“Tiga buah rekening dan satu surat edaran,” kata tukang pos yang kemudian permisi pergi.

 

Ditampar

Ella menyandarkan tubuhnya ke pintu. Kakinya gemetar. Terdengar mobil itu meraung meninggalkan rumah itu.

Kedua lelaki itu kembali turun ke dapur. Bayi yang jadi sandera itu mulai merengek-rengek. Tampaknya kelaparan. Ella segera berlari merebut anaknya dari tangan Grottersley. Mata Ella tampak menyorotkan rasa benci, sebaliknya wajah Finsome tampak berseri-seri.

“Hebat!” ujar Finsome bersemangat. “Sebuah sandiwara yang sempurna. Nah, sekarang kami minta sedikit lagi pertolonganmu, sesudah itu kami pergi. Mungkin suamimu punya perkakas seperti gunting besar, kikir atau alat-alat semacam itu…”

Namun, Ella tak menggubris omongannya. Ia meletakkan ranjang si Kecil di atas kursi, lantas sibuk memanasi lagi makanan anaknya yang keburu dingin.

Rupanya Grotters marah melihat sikap Ella yang acuh tak acuh. Ia lalu mendekati wanita itu dan dengan kasar mencengkeram lengannya. Namun, perhatian Ella tetap saja pada makanan yang sedang dipanasinya.

“Kami ini bicara dengan Anda, tuan putri,” ujar Grotters kesal. “Dengar dulu, sayang!” 

“Perkakas yang kalian maksudkan itu ada di gudang sana,” jawab Ella sambil terus mengaduk-aduk makanan itu.

“Kalau begitu, cepat ambilkan,” perintah Grotters sambil mendorong tubuh Ella ke pintu. Ella membangkang dan kembali mengaduk-aduk makanan di atas kompor. Grotters sudah tak sabar. Tangannya tiba-tiba melayang ke wajah Ella sampai terdorong ke dinding. Ella mencoba bertahan dengan bersandar ke dinding. Namun, kepalanya yang terasa pening akibat tamparan itu tak kuasa ditahannya. Tubuhnya pelan-pelan melorot dan jatuh berlutut. Dari sudut bibirnya darah menetes melumuri dagunya.

“Nah, pergilah dan ambil barang-barang itu,” pinta Grotters sedikit lembut.

Ella berdiri sambil menggoyang-goyangkan kepalanya yang masih sedikit nyeri.

“Namun, anakku,” ujar Ella. “Biarlah dia kubawa. Aku tak mau anakku bersama ... orang itu,” kata Ella sambil menunjuk Finsome.

“Sialan, kau!” umpat Finsome, “Jangan khawatir. Akan kurawat anakmu baik-baik. Cepatlah, sayang! Ini toh demi keselamatanmu juga. Makin cepat borgol ini terlepas, makin cepat pula kami pergi dari sini.”

Ella tampak ragu-ragu. Grottersley melangkah menghampirinya. Akhirnya, Ella melangkah ke luar juga sambil terisak. Kedua orang itu mengintip ke luar agar bisa mengikuti jejak Ella. Mereka melihat wanita itu mengorek-korek isi kotak-kotak perkakas di gudang.

 

Digebuk temannya sendiri

Ella kembali dengan kantung goni berisi alat-alat itu Grottersley tak sabar, segera merebut kantung itu lantas memuntahkan isinya ke lantai. Sementara mereka sibuk mencari-cari alat yang pas buat membuka borgol mereka, Ella menyuapi anaknya.

“Tang, dua kunci Inggris, palu, gergaji karatan, dan dua kir kayu!” ujar Grotters dengan nada marah. “Apakah kalian cuma memiliki barang-barang ini?”

“Semua ini tak ada gunanya,” kata Finsome mengeluh. “Kau yakin tak ada lagi barang lainnya?” tanya

“Ya, cuma itu,” jawab Ella seenaknya.

Dua jam mereka bekerja keras, mencoba melepaskan borgol yang menggandeng tangan mereka. Setelah gergaji karatan itu patah termakan kerasnya rantai baja borgol itu, mereka coba membuka dengan kikir. Rantai baja itu pun tak mempan oleh alat yang mestinya untuk mengikir kayu itu. Mereka tidak putus asa.

“Ambilkan palu itu,” kata Grotters akhirnya. “Kunci borgol ini mudah dibuka, kalau tahu tempat yang pas untuk dipukul.”

Kedua orang itu menaruh lengan mereka di atas tungku.

“Hati-hati, Bung!” ujar Finsome cemas.

Entah berapa kali Grotters menghantamkan palunya ke arah kunci borgolnya, toh kunci itu masih juga tak bergeming. Grotters lantas beralih memukulkan palunya ke borgol Finsome. Kali ini lebih keras lagi. Malang bagi Finsome. Pada pukulan keempat, palunya meleset melukai pergelangan tangan Finsome. Darah segar mengucur deras dari lukanya. Kontan saja Finsome menjerit-jerit sambil menggelepar-gelepar di lantai. Tak ayal lagi Grotters pun terseret sampai terguling menimpa tubuh Finsome yang mengaduh kesakitan.

 

Suaminya datang

Ella yang sedang menidurkan anaknya melihat kesempatan ltu. Cepat-cepat ia menaruh anaknya, lalu bergegas hendak mengambil palu yang terlempar ke lantai. Terlambat. Grotters keburu berdiri. Direnggutnya baju Ella. Sekonyong-konyong satu tendangan keras mendarat di tubuh Ella. Dengan napas tersengal, Ella meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Namun, satu tendangan lagi datang menghunjam lebih keras mengakhiri usahanya Ella pun roboh, terkapar di lantai.

Reg Carter menghentikan truknya di depan pintu pagar sambil membunyikan klakson mobilnya. Menembus tirai hujan yang deras menyiram bumi, samar-samar Reg Carter bisa melihat sorot lampu dapur menerobos jendela. Namun, tidak tampak ada tanda-tanda jawaban dari dalam rumahnya. Dipencetnya lagi klaksonnya keras-keras. Masih juga tak ada jawaban. Dengan hati kesal, Reg Carter melompat turun, lantas membuka pintu pagar.

Seperti biasa diparkirnya truk itu di gudang. Dikumpulkannya barang-barang buntalannya, kemudian ia bergegas menuju ke dapur menerobos tanah berlumpur. Pintu dapur tidak terkunci. Ia masuk sambil mengibas-ngibaskan air hujan yang membasahi tubuh dan pakaiannya, persis anjing terguyur air.

“Hei, kenapa kau tidak membukakan pintu?” teriaknya marah. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sebuah guci melayang cepat menghantam kepalanya. Reg terhuyung, akhirnya roboh tak berkutik. Rupanya Grotters yang punya ulah. Dicengkeramnya kerah baju Reg Carter, lantas diseretnya naik ke lantai atas. Finsome yang lengannya terbebat handuk berlumur darah, berjalan di sisi mereka sambil tak putus-putusnya mengerang kesakitan.

Mereka membawa masuk Reg Carter ke kamar tidur Ella yang terbaring di ranjang dengan tangan dan tubuh terikat serta mulut tersumbat, menatap mereka. Grotters mendorong tubuh Reg yang tak berdaya itu ke ranjang di sisi istrinya.

“Buat menemani kamu,” kata Grotterssley kepada Ella. “Jangan khawatir, dia masih hidup,” katanya pula sambil meraih ujung tali pengikat Ella. Dibantu Finsome, Grottersley mengikat tangan dan tubuh Reg Carter. Yakin ikatannya aman, mereka meninggalkan kedua suami-istri itu dan turun ke lantai bawah. Grottersley mematikan lampu minyak yang menerangi dapur.

 

Tak becus menyetir

“Masuklah dulu, Fin. Kau yang pegang kemudi. Cepat, tolol! Tunggu apa lagi?” ujar Grottersley setelah membuka pintu truk yang diparkir di gudang.

“Kausuruh aku membawa mobil ini?” tanya Finsome. “Gila, kau! Apa kau lupa, kalau tanganku ini luka dan lagi masih terikat dengan tanganmu?”

“Berusaha dong. Ayo, naiklah. Keburu gelap nih.” 

“Bagaimana mungkin, goblog!” teriak Finsome. “Coba pikir ... Kalau aku yang pegang kemudi dan duduk di sisi kananmu, bukankah tangan-tangan kita yang terikat ini akan bersilangan? Nah, kalau kau yang pegang kemudi, tentu tak ada kesulitan.”

“Namun, aku tak bisa,” kata Grottersley, Finsome terkejut. 

“Kau ... Maksudmu kau tidak tahu cara menyetir mobil?” kata Finsome.

“Betul. Aku tak pernah punya kesempatan belajar mengemudi,” ujar Grotters hampir berbisik.

“Ya, Tuhan,” keluh Finsome. “Kenapa tidak bilang dari tadi?” Sejenak Finsome terdiam, lantas katanya, “Nah, cuma dia yang bisa mengatasi persoalan kita. Nyonya itu kita suruh mengemudikan truk ini.”

“Bagaimana kalau dia lantas berteriak-teriak atau bahkan meloncat ke luar waktu melewati jalan yang ramai?” tanya Grotters meragukan gagasan kawannya.

“Dia tak bakal berbuat begitu, asal bayi itu kita bawa juga,” kata Finsome.

“Mengapa tidak dari tadi kita berpikir begitu, ya?” ujar Grotters. “Ayo, cepat kita bawa dia kemari. Hari sudah gelap,” katanya pula sambil menyeret Finsome.

 

Starternya ngadat

“Kita jalan-jalan sebentar, sayang,” kata Finsome kepada Ella setelah mereka masuk ke kamar itu lagi. Grotters melepaskan tali ikatannya. “Bayi itu kita bawa juga ... dan tidak akan terjadi apa-apa dengan bayimu, sepanjang kau tidak bersikap macam-macam.”

Setelah Grotters mengambil kain berupa kaus kaki sutera yang menyumpal mulutnya, kontan saja Ella berteriak-teriak protes. “Aku tidak mau ... tidaaakk! Aku tidak mau!”

Satu tamparan keras dari Grotters menghentikan teriakannya. “Nah, mari kita ambil anak itu.”

Ella bangkit dari ranjang. la mencoba berdiri, tetapi tubuhnya gontai.

Beberapa saat kemudian mereka sudah berada di dalam truk. Ella duduk di belakang kemudi. Kedua lelaki itu duduk di belakang bersama si Kecil yang terbungkus selimut tebal. Anak itu menangis di ranjang kecilnya.

“Demi setan, sumpal saja mulut orok itu!” kata Finsome yang merasa terganggu oleh suara tangis anak itu. Kontan saja Ella berteriak mencegah mereka.

“Jangan ... jangan lakukan itu! Kalau kalian lakukan juga, sama saja kalian membunuhnya,” ujar Ella. “Biar dia di depan bersamaku ... Aku bisa menenangkannya ....”

“Ayo, ... cepatlah!” perintah Grotters.

Namun, mobil itu tak mau hidup. Ella minta agar mereka turun dan mendorongnya. Dan ... breemmm .... Hidup juga akhirnya. Ella membawa truk itu menuju pintu pagar.

“Eh... maaf. Kalian mesti turun lagi untuk membuka pintu pagar,” teriak Ella. “Kalau injakan gas ini saya lepaskan, mesinnya akan mati lagi.”

Meski dengan bersungut-sungut, mereka pun melompat turun. Melihat ranjang si Kecil itu mereka bawa juga, buyarlah rencana Ella untuk melarikan truk itu.

“Kita ke Portsmouth,” kata Finsome kepada Ella setelah mereka naik lagi di bak belakang. “Di sana ada rumah makan yang buka sepanjang malam. Namanya Jack’s Snackery.” 

“Portsmouth?” tanya Ella terkejut. “Bukankah tempat itu lebih dari 150 km dari sini?”

“Sudahlah. Turuti saja apa katanya,” ujar Grotters memperingatkan Ella. “Dengar, kalau nanti ada polisi menghadang mobil kita, bilang saja kau mau mencari dokter untuk suamimu yang lagi sakit.”

“Jangan bilang begitu,” sergah Finsome. “Katakan saja, kau membeli obat untuk ternakmu yang sakit.”

Benar juga. Setelah mereka melewati tikungan memasuki jalan raya, 6 km dan rumah Ella, jauh di depan mereka terlihat seberkas sinar merah bergoyang-goyang memberi tanda agar mobil mereka berhenti. Grotters yang berlutut di belakang Ella gemetar ketakutan. Finsome yang cepat menyadari adanya bahaya yang mengancam keselamatan mereka, segera menarik tubuh kawannya agar merundukkan kepalanya di lantai di balik karung-karung kosong.

“Katakan kepada mereka seperti apa yang kubilang tadi,” perintah Finsome dari balik persembunyiannya. “Ingat ... kalau sampai mereka memeriksa kemari, anakmu jadi korban.”

 

Terjeblos

Ternyata Sersan Hunt yang menghadang mobil mereka. Sersan polisi yang basah kuyup karena kehujanan itu menghampiri truk mereka sambil mengangkat lampu senternya.

“Oh, Anda, Ny. Carter?” katanya heran.

“Biarkan saya meneruskan perjalanan, Sersan,” ujar Ella. “Saya mau mencari dokter hewan dan minta obat buat biri-biri saya yang sakit. Suami saya menunggui ternak itu di rumah….”

Polisi itu mundur selangkah dan melambaikan tangannya mempersilakan Ella meneruskan perjalanan. Sayup-sayup dari belakang terdengar bisik-bisik yang menyatakan rasa setuju dan napas lega waktu mobil itu melaju.

“Bagus. Kalau nanti ada yang menghentikan kita lagi, lakukan seperti itu,” kata Grotters. “Dengan begitu, kita semua akan selamat.”

Namun, 10 km kemudian truk itu macet. Lagi-lagi starternya ngadat. Digesernya tongkat persneling ke posisi mundur dan dibiarkannya truk itu melorot mundur dengan menginjak pedal kopeling, seperti yang dilihatnya biasa dilakukan suaminya. Karena ia salah mengira-ngira, roda belakang terperosok masuk parit.

Kedua lelaki yang duduk di belakang itu berteriak-teriak marah. Mereka turun dari bak belakang dengan membawa serta ranjang si Kecil. Ranjang itu ditaruh begitu saja di atas tanggul di tepi jalan. Mereka tak bisa berbuat apa-apa untuk menghidupkan mesin mobil yang sebagian teronggok di parit. Tambahan lagi hujan masih saja turun.

“Oh, anakku! Anakku! la bisa mati kedinginan! Tolonglah…tolong kembalikan dia ke mobil. Akan saya bereskan mobil ini ....”

“Cepat, lakukan!” teriak Grotters sambil mendorong Ella kuat-kuat.

Ella ingat bagaimana suaminya mengatasi mobilnya yang macet seperti ini. “Dengan menggunakan obeng, suamiku menekan-nekan sesuatu dan ....” 

“Sudahlah, jangan banyak omong! Kerjakan saja!” teriak Finsome tak sabar.

 

Rasakan!

Ella mengambil obeng besar dalam kotak perkakas, lantas bergegas ke bagian depan truk. Diangkatnya kap mesin yang tak ringan itu, lalu diganjalnya dengan besi penyangga. la mengotak-atik sesuatu, tetapi tampaknya tak membawa hasil apa-apa. Namun, sebuah gagasan tiba-tiba membersit di benaknya. Dipanggilnya kedua orang itu agar mendekat.

“Sayang sekali,” ujar Ella. “Tanganku tidak cukup kuat untuk mendorong dinamo starter ini. Akan kutunjukkan pada kalian. Kalau salah seorang dari kalian ....”

“Sini,” sergah Grotters sambil merebut obeng di tangan Ella. 

“Itu, di sebelah sana,” kata Ella sembari menunjuk sesuatu yang dimaksudkannya. la membantu mengarahkan tangan kanan Grotters masuk ke dalam ruang mesin yang gelap. “Kalau kau akan ....”

Sekonyong-konyong Ella melompat mundur sambil menarik besi penyangga kap mesin. Penutup mesin yang beratnya mungkin puluhan kilo itu melayang turun menghajar tubuh Grotters yang tengah membungkuk. Grotters kontan menjerit-jerit kesakitan. Tangannya mencoba menyingkirkan benda berat yang menimpa tubuhnya. Finsome yang masih terbelenggu dan merasakan sakit pada lukanya tak bisa berbuat apa-apa.

Suara rintihan kesakitan kedua orang itu membelah kesunyian malam sampai akhirnya mobil polisi tiba di tempat kejadian.

Duduk menimang anaknya di jok belakang mobil polisi, Ella bersenandung menidurkan anaknya. Sementara itu terdengar suara polisi yang duduk di belakang kemudi berbicara di depan mikrofon.

“Wanita dan bayinya selamat, tetapi seorang buronan tangannya terluka parah dan seorang lagi tampaknya hampir gila. Harap segera kirim ambulans. Ganti.” (Berkeley Mather)

 

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682622/tamunya-bergandengan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301981000) } } [2]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682644" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(108) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/celana-yang-mencurigakanjpg-20230213032538.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(142) "Danforth dan Leroy adalah dua penulis cerita kriminal ternama. Kali ini, mereka membantu kepala LP untuk memecahkan kasus kaburnya narapidana." ["section"]=> object(stdClass)#128 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(108) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/celana-yang-mencurigakanjpg-20230213032538.jpg" ["title"]=> string(24) "Celana yang Mencurigakan" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:25:48" ["content"]=> string(36201) "

Intisari Plus - Danforth dan Leroy adalah dua penulis cerita kriminal ternama. Kali ini, mereka membantu kepala LP San Ramos Penal untuk memecahkan kasus kaburnya narapidana di sana.

--------------------

Pagi itu, kapal pesiar Valhalla membuang sauh di Pelabuhan Zamboanga, Kepulauan Mindanao, Filipina. Para penumpang turun satu-persatu dari kapal itu. Mereka hendak melakukan tamasya keliling Kota Zamboanga dan sekitarnya. Perjalanan yang panjang, panas dan melelahkan.

Ketika tiba saat makan malam, keluarga Danforth dan Leroy memilih makan di Hotel Bayot di tepi pantai, yang terkenal dengan masakan sinegang-nya, semacam sop ikan yang konon lezat.

Duduk di teras di tepi pantai, mereka menikmati sinegang yang mereka pesan. Semilirnya angin laut sesekali mengipasi tubuh mereka yang kegerahan, meskipun kala itu matahari sudah tenggelam di cakrawala.

 

Celananya!

Dalam keremangan malam di pelabuhan itu muncul sesosok vinta, semacam kano, tempat kebanyakan suku Moro tinggal sepanjang hari. Kano itu merapat ke dermaga, di sisi mereka duduk. Seorang laki-laki dan perempuan, berkulit gelap, tampak mengayuh kano itu. Di antara barang-barang cendera mata dagangan mereka, seorang gadis kecil berusia empat lima tahun meringkuk di tengah kano.

Mulut mungil itu menyimpulkan senyum yang menawan dan bergerak-gerak menyenandungkan lagu Tagalog yang tak mereka pahami. Gadis kecil itu mengacung-acungkan barang jualannya satu demi satu kepada orang-orang Amerika itu. Ada baju dari kain jusi dan pina yang terbuat dari daun pisang dan nenas, patung dari kayu yang berwarna kuning muda, buket bunga tropis yang indah dan kulit-kulit kerang yang gemerlapan.

Si pedagang kecil segera menawan hati Helen Leroy. “Oh, Mart,” katanya kepada suaminya, “belikan saya kerang itu. Kasihan ‘kan anak itu, Carol?”

Carol Danforth mengangguk. “Dialah satu-satunya orang yang berpakaian cocok untuk udara sepanas ini,” kata Helen. Gadis Moro kecil itu memang cuma mengenakan semacam bikini yang warnanya susah dibilang.

“Tidak usah. Buat apa?” jawab suaminya, Martin Leroy. “Kulit kerang itu berat, lagi pula di dalamnya masih ada bangkai binatangnya. Baunya sudah tercium dari sini.”

“Kalau begitu, buket bunga itu saja,” pinta Helen. 

Leroy menyerah, lalu berjalan ke tepi dermaga. “Baik, kita beli bunga itu. Berapa?” tanyanya kepada gadis itu.

Wajah mungil kecoklatan itu tampak senang. “Empat peso, Tuan,” jawabnya dengan bahasa Inggris yang fasih. “Atau satu dolar Amerika.” 

Danforth tertawa mendengarnya. “Saya yakin, dia pun bisa berbahasa Spanyol.” 

Si, si,” teriak gadis itu. “Tuan jadi membeli buket ini?” 

“Ya, bolehlah,” kata Leroy. la merogoh sakunya.

“Kalau Tuan menambah seperempat dolar lagi, saya akan menyelam,” sahut anak itu. 

Yang lain mendekati Leroy yang berdiri di pinggir dermaga.

“Apa maksud anak itu?” tanya Carol tak mengerti. 

“Menyelam,” sahut gadis itu. “Di dalam air. Di sini.” 

la memberikan buket itu sementara ia menerima satu dolar dari Leroy yang kemudian diberikan kepada ayahnya. “Sekarang lemparkan uang seperempat dolar itu, Tuan. Airnya amat dalam di sini. Saya akan menyelam dan mengambil uang logam itu.”

“Oke,” kata Leroy. Ia melemparkan uang itu ke laut, kira-kira 5 m jauhnya dari vinta di mana gadis itu berdiri. 

Persis sebelum uang itu lepas dari tangan Leroy, tubuh si gadis kecil sudah meliuk dari atas kano, kemudian lenyap ditelan air laut yang kelam. Beberapa saat lamanya gadis itu menyelam sebelum akhirnya kepala mungil itu nongol di permukaan air. Dikibaskannya kepalanya yang basah. Satu tangannya dijulurkannya ke atas permukaan air, lalu dengan cepat ia berenang kembali ke kanonya. Diterangi temaramnya sinar lentera yang terpancang di sepanjang dinding dermaga, mata mereka menangkap kerlap-kerlipnya uang perak yang digenggamnya.

“Luar biasa!” tak sadar Carol Danforth bertepuk kagum. 

Si gadis kecil naik ke atas kano. Air menetes dari celana mininya. Tiba-tiba Danforth berteriak, “Apakah kau melihat juga apa yang saya lihat?” katanya kepada Leroy. 

Leroy mengangguk. “Celana nya?”

“Ya.” Keduanya mengamati bikini yang melilit pinggul penyelam kecil itu. Warnanya kini tampak jelas oleh sinar lentera yang menerangi vinta itu.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Helen Leroy. Ia pun lantas ikut memperhatikannya pula.

Carol tertawa geli. “Warna celana itukah yang kalian maksudkan?” kata Helen.

“Ya. Kecuali kalau saya buta warna,” jawab Danforth.

“Barangkali celana itu diwarnai dengan bahan celup dari tumbuh-tumbuhan,” ujar Leroy. “Warnanya baru muncul kalau kain itu basah.”

Helen rupanya tidak senang, “Kau ‘kan tidak bermaksud mengatakan bahwa anak yang berusia lima tahun itu adalah narapidana?”

“Bisa jadi ayahnya yang napi,” kata Leroy.

“Omong kosong!” Carol sependapat dengan Helen. “Saya pikir itu cuma karena pengaruh sinar.”

Dengan tenang Danforth menyahut, “Saya sependapat dengan Leroy. Mari kita temui Senor Bollo.”

 

Penulis cerita kriminal

Senor Bollo adalah kepala Lembaga Pemasyarakatan San Ramon Penal, yang letaknya beberapa kilometer di luar Kota Zamboanga. Mereka bertemu dengan Bollo, saat minum teh di bawah tenda yang berdiri di seberang jalan antara pintu gerbang dan halaman penjara. Pemandu jalan mereka mengantarkan kepala penjara itu ke meja mereka dan memperkenalkannya.

“Mereka ini,” demikian kata pemandu jalan itu, “adalah keluarga Danforth dan Leroy, Pak Bollo. Anda mungkin pernah mendengar tentang Tuan Danforth maupun Tuan Leroy. Mereka adalah penulis cerita kriminal dengan nama samaran Leroy King.”

Senor Bollo yang pendek dan berkulit coklat, membungkuk sopan. “Saya memang sudah mendengar tentang Leroy King,” katanya. “Siapa yang tidak mengenal nama yang kesohor itu? Senang sekali bertemu dengan Tuan-tuan.” Bahasa Inggrisnya fasih sekali. “Meski di Zamboanga sekalipun, kemasyhuran Leroy King dikenal juga.”

“Silakan duduk, Pak Bollo!” kata Helen Leroy kemudian. “Suami kami barangkali akan mengajukan banyak pertanyaan kepada Anda tentang penjara yang Anda kelola itu.”

“Pernahkah Anda menjumpai penjara yang dibangun di kawasan yang begini indah?” kata Bollo bangga sambil menunjuk ke air laut di kejauhan yang berkilauan diterpa sinar matahari, hamparan pasir putih sepanjang pantai dan daun-daun nyiur yang gemulai menaungi teras tempat mereka duduk.

“Belum pernah,” jawab Helen sembari tersenyum. “Suasana demikian itu bikin saya ingin jadi napi Anda, Pak Bollo!” 

Dengan keramahan yang jujur, pejabat penjara itu menanggapinya, “Dengan senang hati saya akan menerima Nyonya menjadi salah satu napi kami!” Sorot matanya tampak memancarkan rasa hormat kepada wanita cantik berambut pirang itu.

 

Kebanyakan pembunuh

King Danforth mengusap-usap rambutnya yang bergaya crewcut sambil membenahi duduknya agar lebih nyaman. “Sehabis berkeliling di kawasan penjara, kami menangkap kesan, Anda mengelolanya menjadi semacam lembaga teladan.”

Bollo mengangguk sopan sambil mengucapkan, “Terima kasih.” 

“Setelah menyaksikan bengkel pertukangan dan kebun yang luas di kompleks penjara, saya melihat Anda banyak menekankan segi pemasyarakatan bagi para penghuninya,” kata Martin Leroy pula.

“Benar,” kata pak kepala penjara mengakui. “Kecuali itu, tentunya, kami mengutamakan segi keamanan. Perlu diketahui, Tuan Leroy, mereka kebanyakan dijebloskan ke penjara itu gara-gara membunuh,” tambahnya.

“Ya, Tuhan! Kalau begitu, saya urungkan niat saya untuk menjadi napi Anda, Pak Bollo!” kata Helen kemudian.

Bollo tersenyum memamerkan giginya yang putih dan besar-besar itu. “Maaf, saya telah merusak suasana yang menyenangkan ini, Ny. Leroy!”

“Saya ingin tahu lebih banyak tentang ruang tahanan di balik tembok penjara itu, Pak Bollo,” kata Leroy. “Apakah para napi tidur di sana dan apakah mereka juga tinggal di sana kalau tidak bekerja?”

“Ya,” jawab Bollo. “Mereka tampaknya merasa nyaman tinggal di sana.” 

“Tapi, apakah ruang tahanan semacam itu aman,” tanya Danforth, “mengingat dinding ruangannya hanya berupa batang-batang bambu yang berjarak 10 cm satu sama lain? Saya merasa, ruang semacam itu tidak sesuai untuk mengurung para penjahat. Belum lagi serangan rayap-rayap pemakan bambu ...!”

“Begini, Pak Danforth,” sahut Bollo memotong bicaranya. “Perlu Anda ketahui, batang-batang bambu itu sebenarnya jauh lebih kokoh daripada yang Anda kira. Ruang-ruang tahanan itu aman untuk mengurung mereka. Seperti yang Anda rasakan juga, iklim di sini tidak memungkinkan kami untuk membuat ruang tahanan yang tertutup rapat seperti di negeri Anda. Soalnya, mereka bisa mati kepanasan. Secara teratur kami pun memeriksa kemungkinan adanya rayap-rayap pemakan bambu.”

“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Danforth.

“Ya. Dalam ruang itu, mereka tidur berjejer di atas lantai beralaskan tikar. Karena itu, hanya perlu satu pintu untuk setiap ruangan. Pintu-pintu itu dilengkapi dengan kunci logam yang besar. Penjaga yang bertanggung jawab atas ruang itulah yang berhak memegang kuncinya. Setiap pagi, ia mengeluarkan kedua puluh orang napi penghuni ruang itu, kemudian malam harinya ia menggiring mereka kembali dan menguncinya. Selama bekerja, kedua kaki mereka dirantai. Sistem itu sangat baik dan aman.”

“Apakah Anda tidak pernah menjumpai semacam gergaji kecil, misalnya, yang diselundupkan dalam roti kiriman istri mereka?” tanya Helen.

Bollo menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak. Soalnya, sebelum mereka masuk kembali pada malam harinya, setiap tahanan diperiksa satu-persatu secara teliti, apakah mereka membawa senjata atau alat-alat lainnya misalnya, yang mungkin bisa membantu untuk melarikan diri. Itu sebabnya di penjara kami tidak mungkin terjadi pelarian.”

“Tidak mungkin kata Anda? Apakah itu berarti tak pernah ada napi yang melarikan diri dari Penjara San Ramon itu, Pak Bono?” tanya Leroy. 

Wajah Bollo bersemu merah. Rupanya ia tidak senang mendengar pertanyaan itu. “Tidak pernah, kecuali satu,” jawabnya setelah ia diam sebentar karena ragu-ragu.

 

Lenyap ditelan bumi

“Nah,” kata Danforth, “kalau begitu pernah ada ‘kan?”

“Benar,” jawabnya agak malu-malu. “Itu terjadi sebulan yang lalu dan untuk pertama kalinya. Namanya Antonio Taal, seorang pembunuh berdarah dingin. Ia memancung kepala kawannya yang sama-sama penyelam mutiara. Maafkan saya, Nyonya!”

Mendengar itu, Helen dan Carol kontan meremas gelas di tangan mereka. Sementara itu Danforth dan Leroy menggeser duduknya ke pinggir kursi masing-masing. Rupanya kisah pelarian Antonio Taal amat menarik perhatian para penulis cerita kriminal dari Amerika itu.

“Coba ceritakan kepada kami kisah pelariannya, Pak Bollo!” pinta Danforth yang keburu ingin tahu.

“Sebenarnya tidak banyak yang bisa diceritakan. Antonio Taal bekerja di bengkel pertukangan di kompleks penjara. Tinggalnya di ruang tahanan nomor tiga. Suatu malam, setelah kembali dari pekerjaan mereka masing-masing, seperti biasa Taal masuk kembali bersama kesembilan belas tahanan ruang nomor tiga. Esok paginya, saat si penjaga hendak mengeluarkan mereka untuk sarapan, ternyata Taal tidak dijumpai di antara mereka. Ia lenyap bagai ditelan bumi.” Bollo begitu keras mengetukkan jari-jarinya yang segede pisang itu ke meja, sampai membuat Helen terperanjat.

“Hanya dia yang melarikan diri?” tanya Leroy. 

“Tidak ada napi lainnya?” 

“Tidak. Anehnya, tak ada satu bambu pun yang rusak. Bahkan pintu ruangan itu pun masih tetap terkunci.”

“Aneh,” kata Carol. 

Kata Helen kemudian, “Saya punya dua pendapat tentang larinya Antonio Taal, Pak Bollo. Boleh saya menyampaikan pendapat saya itu kepada Anda?” 

Bollo mengerutkan keningnya dan tersenyum. “Silakan, Nyonya!”

“Oke. Pertama, menurut saya Antonio Taal sengaja mengurangi makan, lantaran ia punya angan-angan di dalam benaknya. Bukankah begitu?”

“Tidak,” sahut Bollo. “Dia itu makannya gembul.”

“Oh. Maksud saya begini. Dengan diet yang ketat, seorang napi bisa menjadi kurus, sehingga tubuhnya bisa menyusup keluar lewat celah batang-batang bambu yang sempit itu. Tapi tentu saja, kepalanya juga cukup kecil untuk bisa lolos lewat celah itu.”

Bollo tertawa mendengarnya. “Hanya 10 cm lebarnya,” ujar pejabat penjara itu di antara tawanya. “Lantas, apa pendapat Anda yang kedua?”

“Menginterogasi penjaga ruang tahanan nomor tiga itu dengan cermat,” kata Helen. 

“Kami sudah melakukannya, Ny. Leroy,” kata Bollo. “Lama sekali dan tanpa hasil. Secara meyakinkan, ia dapat membuktikan bahwa dia maupun kunci ruang tahanan itu berada di asrama penjaga sepanjang malam itu. Setiap kawan sekamar Taal yang diinterogasi menyatakan, malam itu mereka tidak melihat atau mendengar apa-apa.”

 

Pincang

“Jadi,” sahut Leroy, “tidakkah itu berarti ia membuka pintu menggunakan kunci duplikat?”

“Tidak,” kata Bollo yakin. “Barang macam itu tidak mungkin lolos dari pemeriksaan kami. Apakah itu disembunyikan dalam tubuhnya atau di dalam ruang tahanan. Kunci-kunci yang terbuat dari besi setebal 0,5 cm itu cukup besar. Tangkainya saja kira-kira 8 cm panjangnya dan bentuknya melengkung. Tidak mudah menyembunyikannya. Setiap hari kami memeriksa setiap tahanan dan seluruh ruangannya secara teliti.”

Bollo terdiam sejenak. “Kalaupun Taal mendapatkan kunci duplikat dan berhasil lolos dari pemeriksaan petugas pada malam itu, perlu dipertanyakan kemudian bagaimana cara dia melompati tembok yang mengelilingi penjara? Anda bisa melihatnya dari sini. Tiga meter lebih tingginya. Di atasnya ada jalan yang cukup untuk lewat para penjaga yang berpatroli mengelilingi penjara. Dengan menggunakan tangga atau tali, tembok itu mudah sekali dilompati dari dalam. Tapi, bukan oleh orang yang tak punya alat semacam itu. Apalagi oleh orang yang kakinya terluka parah.”

“Kaki yang terluka?” tanya Leroy. 

“Ya. Kakinya terluka di bagian dekat lbu jarinya. Suatu saat, sebelum ia melarikan diri, sebilah pisau menimpa kakinya ketika ia tengah bekerja di bengkel. Lukanya cukup dalam dan mengalami infeksi. Jalannya pincang, sehingga ia memerlukan tongkat pembantu untuk berjalan. Ia senantiasa menggunakan tongkat itu ke mana pun ia pergi, meskipun jaraknya dekat: dari ruang tahanan ke bengkel atau ke ruang makan.”

“Apakah para petugas benar-benar melakukan patroli sepanjang malam itu?” tanya Danforth. 

“Cuma satu orang, tetapi ia dipersenjatai dengan sebuah mitraliur ringan. Ia meronda sepanjang jalan di atas dinding itu terus-menerus. Kalau ia melihat sesuatu yang tampak mencurigakan, ia segera memberi tanda kepada para petugas yang berada di pos utama, agar menyalakan lampu sorot, yang mampu mengubah seluruh kompleks menjadi seterang siang hari bolong. Pada malam lenyapnya Taal tidak ada tanda semacam itu dari petugas ronda.”

Beberapa saat lamanya tak ada yang membuka mulut. Sementara itu hanya terdengar gemeretaknya daun-daun nyiur tertiup angin laut. Tampak bibir Leroy tersenyum sambil membisikkan sesuatu kepada Danforth.

Kata Danforth kemudian, “Pak Bollo, kami hidup dari menulis kisah-kisah seperti itu. Karena itu, maafkan kami kalau kami bersikap lancang. Sekarang, bolehkah saya dan juga kawan saya ini menebak teka-teki yang membingungkan Anda itu? Mungkin kami bisa menjawab bagaimana cara dia melarikan diri.”

Kini giliran Bollo yang menggeser tubuhnya ke bibir kursi yang didudukinya. “Tuan-tuan ini bercanda, rupanya. Apakah Tuan pikir, Tuan bisa memecahkan teka-teki itu hanya dalam waktu sepuluh menit, sementara saya bersama staf mencoba memecahkannya sampai empat minggu lamanya tanpa hasil apa-apa?”

Danforth menyulut rokoknya. Asap mengepul dari mulutnya di udara yang panas itu. “Saya mengerti, Anda meragukan kami, Pak Bollo. Tapi, saya tidak menyalahkan Anda. Mari kita teruskan saja pembicaraan kita. Saya ingin bertanya lagi tentang satu hal.” 

“Dengan senang hati,” kata Bollo dengan wajah yang berseri lagi.

 

Lubang rahasia

“Apakah Taal boleh membawa tongkatnya ke ruang tahanan pada malam hari?”

“Boleh. Ia tidak bisa berjalan tanpa tongkat itu. Kadang-kadang mereka perlu keluar malam untuk ....” Bollo tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya melirik saja ke arah nyonya-nyonya itu.

“Membuang hajat,” lanjut Leroy terus terang. “Sebenarnya tongkat macam apa yang dipakai oleh Taal?”

Bollo menunjuk pada tongkat cendera mata yang dibeli Helen Leroy sejam yang lalu dari seorang napi di bengkel pertukangan penjara itu. “Taal membikin tongkat-tongkat semacam itu untuk dijual kepada wisatawan,” ujar Bollo.

Danforth tampak bersemangat sampai tangannya menepuk meja. “Oh, begitu,” katanya. “Sekarang giliran kau, Mart.”

Leroy mengangguk. “Pak Bollo, Taal itu seorang pemahat di bengkel penjara Anda. Tentunya, ia paham benar soal pisau. Niscaya, Antonio Taal diam-diam membuat kunci palsu dari kayu untuk pintu ruang nomor tiga itu, ketika ia lepas dari pengawasan petugas di bengkel.”

Bollo sudah mau membantah saja pendapat Leroy, tetapi Danforth mendahuluinya bicara, “Tunggu, tunggu! Biarkan kami bicara dulu, Pak Bollo. Taal sudah ratusan kali melihat sosok kunci ruang tahanan nomor tiga itu, tentunya. Nah, karena setiap hari selama bertahun-tahun ia melihat kunci itu, ia pun menjadi hafal benar dengan ukuran maupun bentuk keseluruhan kunci itu, ya ‘kan? Lantas, dengan bekal itu, ia mencoba membikin kunci yang akan bisa meloloskan dirinya dari penjara. Dugaan yang masuk akal, saya kira.”

“Tidak mungkin.” 

“Mungkin sekali, Pak Bollo,” kata Leroy. “Barangkali Anda hendak mengatakan, lantas di mana Taal menyembunyikan kunci kayu itu selama ia membuatnya, sampai tak ada petugas atau napi lain yang mencurigai adanya kunci itu?”

“Tepat sekali,” ujar Bollo. 

Dengan cepat Danforth menjawab, “Pada gagang tongkat yang dibuatnya sendiri di bengkel.” la mengambil tongkat milik Helen, yang bergantung di sandaran kursinya.

Tongkat dari kayu mahoni yang kokoh dan indah. Gagangnya tebal melengkung, mirip gagang pistol. Tongkat itu meruncing ke ujungnya, dihiasi dengan pita-pita dan batangnya dihiasi dengan kulit kerang mutiara bermotif bunga-bunga. Sementara ujung gagangnya ditutupi dengan sekeping kulit kerang mutiara.

“Ia membuat lubang pada gagang tongkat,” lanjut Danforth, “yang cukup untuk menyimpan kunci palsunya. Lalu, ia menutup lubang itu dengan kulit kerang mutiara seperti ini, yang dapat dibuka dengan mudah. Ia sengaja berlama-lama menyelesaikannya, agar tongkat itu tidak terjual, sampai ia siap menggunakan kunci itu.”

 

Sengaja

“Tetapi,” kata Bollo, “ia belum tahu apakah kunci palsunya cocok untuk membuka pintu ruang nomor tiga. Tidak mungkin! Kunci yang cuma dibuat berdasarkan ingatan saja, kemungkinan untuk bisa membuka pintu itu kecil sekali!”

“Benar,” Leroy mengakui. “Karena itu Taal perlu memastikan apakah kunci yang dibikinnya itu cocok atau tidak.” 

“Bagaimana caranya?”

“Melukai kakinya dengan pisau,” kata Leroy.

“Oh, bukan begitu,” kata Bollo. “Itu kecelakaan, bukan kesengajaan. Kawan-kawannya di bengkel itu pun menyatakan demikian.”

“Tentu saja,” ujar Danforth. “Taal memang sengaja membuat kejadian itu tampak seperti kecelakaan. Bukankah dia itu mahir benar memegang pisau? Ia pun sengaja membuat luka itu menjadi infeksi agar dokter menganjurkan dia supaya memakai tongkat. Bukankah kemudian ia boleh membawa tongkatnya kapan saja?”

“Ya.” 

“Yang Anda hadapi, Pak Bollo,” ucap Danforth dengan nada senang, “ternyata seorang narapidana, seorang pembunuh yang cacat, yang memiliki kunci palsu yang disembunyikan dalam gagang tongkatnya. Seperti kita juga, kadang-kadang ia pun bangun tengah malam untuk membuang hajat. Nah, setiap malam pada kesempatan itu, diam-diam ia mencoba-coba kunci bikinannya pada pintu ruang tahanan itu. Kalau belum berhasil, paginya dibawanya lagi kunci itu ke bengkel untuk diperbaiki di sana-sini. Tibalah pada suatu malam, kunci itu pas sekali untuk membuka pintu, saat kawan-kawannya sekamar tengah dilanda mimpi. Terpincang-pincang ia keluar dengan tongkat di tangannya, lalu dikuncinya kembali pintu itu dari luar dan ... raiblah dia. Mungkin kejadiannya begitu, Pak Bollo?”

 

Segesit monyet

Bollo menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lantas bagaimana dengan tembok itu?” katanya sembari menunjuk ke seberang jalan. “Bagaimana pula  dengan petugas yang berpatroli di atas tembok itu? Mana mungkin seorang yang kakinya luka parah bisa melompati tembok dan berlari jauh?”

“Tidak terlalu sulit untuk dijelaskan,” kata Leroy dengan tenang. “Kalau hanya satu petugas yang berpatroli di atas tembok itu, berarti petugas itu membutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba kembali ke tempat semula. Apalagi kalau petugas patroli itu cukup jelas terlihat mondar-mandir di atas tembok, seperti yang Anda katakan. Antonio Taal, menurut saya, lantas memilih saat yang tepat kapan ia harus melompati tembok, yaitu ketika petugas berada di sisi tembok lain kompleks penjara itu. Sederhana, ‘kan?” 

“Bagaimana?” tanya Bollo. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. “Bagaimana caranya ia memanjat tembok?”

“Berapa tinggi badannya?” tanya Danforth. 

“Kira-kira 170 cm.”

“Sebutlah itu tingginya,” kata Danforth. “Dengan tubuh setinggi itu, kemungkinan ia memiliki jangkauan setinggi 210 cm, kalau tangannya menjangkau ke atas dan berdiri di ujung kakinya. Masih ditambah lagi dengan tongkat yang panjangnya 1 m di tangannya. Kalaupun masih kurang tinggi untuk menjangkau bagian atas tembok itu, ia bisa meloncat dengan kakinya yang tidak terluka. Nah, dengan mengaitkan pegangan tongkat ke tembok, pelan-pelan ia naik ke atas dengan berpegangan pada tangkai tongkat itu, sampai ia berhasil meraih ujung tembok setinggi 310 cm itu,” Kata Danforth sambil melirik Leroy. “Bukankah Taal itu orang yang gesit, Pak Bollo?”

Bollo terbatuk-batuk. “Ya,” katanya pelan, “persis monyet. Tapi, tidak mungkin!” Bollo berseru sambil setengah berdiri, tapi sebentar duduk lagi. Ia tampak kecewa. “Tidak,” katanya dengan muka serius. “Dugaan Anda boleh jadi benar, tapi bukan oleh orang yang kakinya terluka seperti Taal. Dengan kaki seperti itu, Taal tidak mampu berjalan sejauh 0,5 km dari sini sebelum fajar, apalagi kalau ia merangkak. Kami sudah melacak jejaknya dalam radius 15 km, menjelajahi bukit, menyisiri pantai, menguak ilalang dan menembus hutan, dalam enam jam setelah Taal dinyatakan hilang. Namun, hasilnya nihil. Kami tidak menemukan jejaknya sama sekali. Juga tidak ada laporan tentang hilangnya gerobak, mobil, perahu motor atau kano yang mungkin digunakannya untuk melarikan diri.”

 

Jingga mencolok

Tiba-tiba ia berhenti bicara ketika serombongan laki-laki yang berseragam warna jingga, berjalan beriringan mengarah ke gerbang penjara. Tertatih-tatih langkah mereka di tengah asap debu yang ditimbulkan oleh langkah-langkah kaki mereka yang terikat rantai. Sayup-sayup terdengar gemerincingnya suara logam beradu. Seorang pengawal menyandang senapan, berjalan di samping barisan, yang ternyata adalah para napi penghuni Penjara San Ramon. Pakaian narapidana itu jingga mencolok.

“Warna yang bagus, Pak Bollo,” kata Helen. “Saya ingin membeli kain itu. Mau saya bikin celana panjang, Carol.”

Bollo tertawa lebar memperlihatkan giginya yang besar-besar dan putih itu. “Sayang sekali, Ny. Leroy. Kain semacam itu tidak dijual untuk umum. Khusus untuk napi. Warnanya memang unik. Bahan celup warna jingga itu khusus untuk mewarnai baju seragam napi. Nah, orang yang memakai pakaian berwarna semacam itu langsung dikenali sebagai napi. Itulah yang menimbulkan teka-teki lain bagi kami, Tuan-tuan. Dengan mengenakan pakaian macam itu, Taal layaknya ikan hiu yang menonjol di tengah-tengah kawanan ikan pengiringnya. Toh, tak seorang pun di Zamboanga ini melihatnya.”

la mengangkat bahu dan mengulas senyum kepada Helen. “Saya kira, pendapat Anda lebih benar daripada suami Anda, Ny. Leroy. Antonio Taal sengaja tidak makan apa-apa, lantas jiwanya melayang ke luar dari kamp penjara ini menuju neraka alias jadi hantu.”

Leroy tertawa geli mendengar selorohnya. “Ada hal yang lebih sederhana daripada itu. Saya pikir, mungkin Anda melupakan satu hal yang penting tentang dirinya.”

“Apa itu?”

“Ia adalah penyelam mutiara,” kata Leroy. “Jadi, ia juga perenang yang hebat. Orang yang sudah biasa di air, tentu betah sekali di laut. Saya pikir, ia berenang menjauhi penjara menjelang malam agar pakaiannya yang mencolok tidak dilihat orang. Siang hari ia bersembunyi di tempat yang sepi di teluk yang terletak antara lokasi penjara dan Kota Zamboanga.” Leroy memandang gelombang besar yang menari di tengah laut sana. “Ketika kami berlayar kemari, kami melihat banyak tempat yang bisa dijadikan tempat persembunyian di sepanjang pantai itu. Jagoan renang seperti dia dengan mudah bisa berenang di laut yang tenang sejauh 15 km menjelang fajar, andaikata Taal melarikan diri pada tengah malam.”

Sekali lagi Bollo menyebut nama kebesaran orang suci bagi masyarakat Zamboanga. Berbagai rasa bergumul di wajahnya. Ada rasa marah, menyesal dan juga heran. Namun, rasa senanglah yang akhirnya muncul di wajahnya ketika Danforth melanjutkan bicaranya, “Berenang dalam waktu yang lama di laut yang bergaram itu mungkin bermanfaat sekali bagi luka di kakinya yang mengalami infeksi.”

“Rekonstruksi yang luar biasa,” ujar Bollo. “Bukan omong kosong kemasyhuran Leroy King, kalau kejadiannya memang seperti itu.”

Danforth tersenyum. “Barangkali pendapat kami sedikit mengada-ada, Pak Bollo,” katanya mengakui, “tapi bukan berarti tidak masuk akal.”

“Bagaimanapun juga,” ujar Bollo, “Taal sudah melarikan diri dan bebas. Saya khawatir ia akan melakukan pembunuhan lagi, karena ia berwatak keras dan kejam. Karena itu, kalau saya bisa menangkapnya kembali sebelum ia beraksi lagi, saya tentu senang sekali.”

 

Berkat bikini si gadis kecil

“Untuk Pak Bollo yang berbahagia yang telah berhasil membawa buronan itu kembali meringkuk dalam penjara bambu,” ujar Danforth sambil mengangkat gelas minuman kerasnya. Ketika itu hari sudah lewat tengah malam. Mereka duduk di Bar Sepatu Kuda di kapal Valhalla yang kini tengah berlayar menyusuri gelombang Laut Sulawesi dekat Pulau Kalimantan.

“Juga kepada ketajaman pikiran dan mata kita, Danforth,” ujar Leroy.

“Kepada gadis kecil itu juga, tentunya!” ujar Helen bernada sendu.

Si gadis kecil yang dimaksudnya ialah anak yang mereka jumpai waktu sedang makan sop ikan. Gadis itu beberapa waktu yang lalu kebetulan menyelam dan menemukan setelan pakaian napi milik Taal di dasar laut. Rupanya, pakaian itu ditenggelamkannya dengan batu di bawah rumah seorang janda.

Ibu gadis kecil itu membuat bikini bagi anaknya dari pakaian warna jingga itu. Berkat petunjuk gadis itu, Pak Bollo dan pasukannya bisa menggerebeg tempat Taal bersembunyi, yaitu di rumah janda itu sehingga tertangkap. Ternyata Taal memaksa janda itu menyembunyikan dan memberinya makan.

Leroy mengamati tongkat kenang-kenangan dari Pak Bollo. Di balik kepingan kulit kerang mutiara yang menutup lubang di ujung pegangan tongkat itulah, kepala penjara menemukan kunci palsu yang terbuat dari kayu keras. (James Holding)

Baca Juga: Kumis yang Menyelamatkan

 

" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682644/celana-yang-mencurigakan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301948000) } } [3]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682657" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(93) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/kesurupanjpg-20230213032453.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(146) "Geraldine Wheeler tiba-tiba menghilang. Karena khawatir, sang bibi meminta bantuan gadis yatim piatu yang bisa merasakan keberadaan roh seseorang." ["section"]=> object(stdClass)#132 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(93) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/kesurupanjpg-20230213032453.jpg" ["title"]=> string(9) "Kesurupan" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:25:13" ["content"]=> string(49313) "

Intisari Plus - Geraldine Wheeler tiba-tiba menghilang. Karena khawatir dan polisi tidak berhasil menemukannya, sang bibi meminta bantuan gadis yatim piatu yang bisa merasakan keberadaan roh seseorang.

--------------------

Hari sudah gelap ketika Lucas memarkir taksinya di halaman depan rumah Wheeler. 

Dari balik pintu muncul Geraldine Wheeler. Tubuhnya ramping, terbungkus pakaian yang biasa dikenakan untuk bepergian. “Masuklah!” katanya. “Koporku ada di dalam.”

Lucas kenal rumah itu berikut isi dan perabotannya. Satu-satunya supir taksi di Medvale itu mengangkat kopor berwarna hitam yang tergeletak di kaki tangga. “Cuma ini, Nona Wheeler?”

“Ya. Yang lain sudah saya kirim ke kapal lebih dahulu. Oh, tunggu! Mungkin ada yang terlupa. Gas, listrik, telepon, oh, ya saya ingat .. perapian! Tolong periksa perapian itu, Lucas!”

“Baik, Nona.” Lucas masuk ke ruang tamu. Dipadamkannya bara api itu dengan batang besi pengorek api.

Sesaat kemudian wanita itu masuk. “Oke,” katanya. “Kukira semuanya beres. Kita bisa berangkat sekarang.” 

“Ya, Nona.”

Nn. Wheeler berbalik diiringi Lucas di belakang yang masih menggenggam batang besi. Tiba-tiba batang besi itu diayunkannya mengenai bagian belakang kepala Nn. Wheeler. Kontan saja tubuh wanita itu lunglai, mati seketika.

Diangkatnya tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Melalui pintu dapur ia keluar melewati halaman belakang, terus melangkah menembus kerimbunan hutan yang melingkari tanah milik keluarga Wheeler. Setelah menemukan tempat yang tepat, ia segera menggali lubang menggunakan sekop yang sudah disiapkannya.

 

Tidak akur

Di bulan April yang basah sebuah mobil besar berwarna putih berhenti di depan rumah Wheeler. Rowena, istri David Wheeler, menapakkan sepatunya yang bertumit tinggi di atas kubangan lumpur. Ia melangkah dengan hati kesal.

David cuma tersenyum. 

Bibi Faith menyambut kedatangan mereka. “Ingat apa yang sudah kukatakan, kalau ia mulai bicara soal setan-setan dan roh-roh halus. Usahakan sikapmu biasa-biasa saja,” bisik David kepada istrinya. 

“Akan kucoba,” jawab istrinya dingin.

“Oh, David! Apa kabar?” 

“Baik-baik saja, Bibi!” David memperkenalkan istrinya. Mereka menikah di Virginia dua tahun lalu, tetapi Bibi Faith tidak menghadirinya. Ia tak pernah keluar dari wilayah Medvale.

Wanita tua itu menatap istri David dengan kagum. “Aduh, kau cantik, Rowena.” 

Di ruang tamu ada seorang laki-laki berdiri di dekat perapian. David jadi ingat maksud pertemuan itu.

“Letnan Reese,” kata Bibi Faith, “ini keponakan saya, David, dan ini istrinya.”

Reese menjabat tangan David dengan hangat. “Sayang sekali, kita harus bertemu dalam suasana seperti ini,” ujarnya. 

“Saya meminta bantuan Letnan Reese untuk menolong kita menemukan Geraldine,” Bibi Faith menjelaskan dengan wajah risau. Letnan Reese kenalan lama Bibi Faith.

Mata David menyapu ruangan itu. “Sudah bertahun-tahun saya meninggalkan rumah ini. Saya lupa di mana disimpan minuman keras.” 

“Saya kira tidak ada,” kata Reese. “Waktu saya memeriksa tempat ini beberapa minggu yang lalu, ketika Nn. Wheeler diketahui hilang, saya tidak menemukan minuman keras itu.” 

Sebentar ruangan itu sunyi. 

“Sudah berapa lama Anda meninggalkan Medvale, Pak Wheeler?” tanya Reese, setelah Bibi Faith mengajak Rowena beristirahat ke lantai atas.

“Mungkin, sepuluh tahun. Bukan berarti saya tidak pernah datang kemari. Misalnya, ketika ayah meninggal empat tahun yang lalu. Seperti Anda ketahui, bisnis keluarga kami berada di selatan sana.”

“Ya, saya tahu. Anda dan kakak perempuan Anda.....” 

“Kakak tiri saya.” 

‘Ya,” kata Reese. “Anda dan kakak tiri Anda adalah satu-satunya pemilik usaha penggilingan itu, bukan?” 

“Benar.”

“Namun, berdasarkan informasi yang saya kumpulkan, Andalah yang terutama mengelolanya. Waktu orang tua Anda meninggal, Nn. Wheeler tetap tinggal di Medvale, sementara Anda ke Virginia untuk mengurusi perusahaan itu. Benarkah begitu?”

“Ya,” kata David. 

“Anda sukses?” 

David duduk di kursi, melonjorkan kakinya. “Letnan, Anda boleh berterus terang saja,” ujarnya. “Saya tidak bergaul akrab dengan Geraldine. Kami berdua bicara seperlunya.” 

“Terima kasih atas keterusterangan Anda.”

“Saya bisa menebak pertanyaan Anda berikutnya, Letnan. Anda ingin tahu kapan terakhir kali saya bertemu dengan Geraldine?”

“Benar. Kapan?” 

“Tiga bulan lalu, di Virginia dalam rangka kunjungannya yang setengah tahun sekali itu ke penggilingan.” 

“Bukankah setelah itu Anda berada di Medvale?” 

“Ya. Saya menemuinya pada bulan Maret karena ada urusan penting. Mungkin bibi saya sudah mengatakan kepada Anda, waktu itu Geraldine tak mau menemui saya.”

“Apa maksud kedatangan Anda itu?” 

“Melulu urusan bisnis. Saya minta kepadanya agar ia menyetujui pinjaman dari bank untuk membeli peralatan baru. Ia menolak. Terpaksa saya kembali ke Virginia.”

“Setelah itu Anda tak pernah bertemu lagi?” 

“Tidak pernah,” kata David. “Saya juga tak punya bayangan di mana Geraldine sekarang.”

 

Memanggil dukun

Sejam kemudian, setelah Letnan Reese meninggalkan rumah itu, Rowena bersama Bibi Faith turun dari lantai atas. 

“Aku tidak bisa memahami kejadian yang kita alami ini,” ujar Bibi Faith. “Juga polisi. Waktu itu, Geraldine sudah siap pergi ke Karibia. Sebagian kopornya sudah dikirimnya ke kapal. Kau ingat Lucas, supir taksi itu? Ia datang ke sini menjemputnya dan mengantarkannya ke stasiun, tapi setelah itu Geraldine tidak dijumpai di mana-mana.”

“Apakah polisi sudah mengecek tempat-tempat yang diperkirakan Geraldine ada?” 

“Sudah. Rumah sakit, kamar mayat, ke mana saja. Letnan Reese berpendapat, banyak kemungkinan bisa menimpa Geraldine. Boleh jadi ia dirampok lantas dibunuh atau ia hilang ingatannya atau bahkan ....” Sampai di sini wajah Bibi Faith tampak memerah. “Ini yang tidak bisa kupercayai. Kata letnan itu, bisa jadi ia sengaja menghilang ... bersama seorang laki-laki.”

Bibi Faith berdiri. 

“David, kau setuju ataupun tidak, aku akan bertanya kepada Iris Lloyd, di mana Geraldine berada.” 

David melengkungkan alis matanya. 

“Kepada siapa?” 

“Iris Lloyd,” jawabnya tegas. “Nah, jangan bilang kau tak pernah dengar tentang gadis itu. Baru dua bulan lalu koran-koran memuat cerita tentang dia dan berkali-kali juga kusebut namanya dalam surat-suratku.”

“Saya ingat,” ujar Rowena mendahului suaminya. “Dia adalah gadis yang punya ... kekuatan gaib atau entah apa namanya.”

“Iris itu anak Panti Asuhan Medvale. Kalian tahu, aku wakil pimpinan panti itu. Usianya 16 tahun. Ia bisa meramal, David. Ia bisa menemukan barang-barang yang hilang dan juga orang.”

“Saya tidak setuju dengan perdukunan macam ini. Serahkan saja persoalan ini kepada polisi.”

Bibi Faith menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah mengira kau bakal tak setuju. Tapi, aku tetap akan melakukannya, David. Sudah kubicarakan dengan panti asuhan, Iris kuminta tinggal bersama kita beberapa waktu untuk berkenalan dengan ... roh Geraldine yang masih ada di rumah ini.”

Begitulah, David terpaksa menemani Bibi Faith menjemput Iris ke panti asuhan. Iris muncul mengenakan gaun yang warnanya sudah pudar dan kaku karena kanji. Rambutnya yang mirip serabut kelapa itu pirang dan lusuh. Penuh debu, pikir David. Ketika itu pandangan matanya senantiasa merunduk menatap lantai, seperti layaknya gadis alim.

“Iris,” kata Suster Clothilde, “kau kenal Ny. Demerest, ‘kan? Ini keponakannya, Pak Wheeler.”

Iris mengangguk. Tiba-tiba, tatapan matanya menghunjam mereka, sampai David terkejut.

Di mobil Iris duduk di depan di antara David dan Bibi Faith. 

“Anda punya rokok?” tanya Iris kepada David. Dari gadis alim ia tiba-tiba menjadi liar. 

“Aduh, Iris!” seru Bibi Faith kaget. 

Iris tersenyum. Dengan mata terpejam, ia bersenandung sepanjang jalan menuju rumah Wheeler.

 

Gaya buruh pelabuhan

David turun ke kota sore itu, membawa sederet panjang daftar bahan makanan dan macam-macam barang yang dirasa perlu oleh Bibi Faith untuk gadis itu.

Ketika ia keluar dari Pasar Swalayan Medvale, taksi warna hitam milik Lucas Mitchell meluncur turun dari ruang parkir. David memasukkan barang belanjaannya ke tempat bagasi mobilnya sendiri. Tahu-tahu mobil Lucas berhenti di sampingnya.

“Halo, Pak Wheeler,” sapa Lucas sambil melongokkan kepalanya keluar jendela.

“Halo, Lucas. Bagaimana bisnismu?” 

“Boleh kita bicara sebentar, Pak Wheeler?”

“Jangan,” ujar David. Ia pun berjalan ke depan, lantas meloncat ke belakang kemudi. 

“Saya harus bicara dengan Anda, Pak Wheeler.”

“Jangan di sini,” kata David. “Jangan di sini dan jangan sekarang, Lucas.”

“Ini soal penting. Saya ingin bertanya tentang sesuatu.” 

“Sialan, kau,” uiar David kesal. “Minggirlah kau, Lucas. Aku tidak bisa berlama-lama sekarang.”

“Gadis itu, Pak Wheeler. Betulkah apa yang mereka bicarakan mengenai gadis itu?” 

“Gadis yang mana?” 

“Iris Lloyd. Saya khawatir ia akan mengetahui apa yang kita lakukan.”

“Minggir kau!” David berteriak. Dihidupkannya mobilnya, lalu ditancapnya gas kuat-kuat. Lucas pun ngeloyor pergi dengan pikiran kacau.

Tiba di rumah, David mendapati istrinya mondar-mandir di ruang tamu. “Ada apa?” katanya.

“Bibi Faith tadi masuk ke kamar Iris. Lantas terdengar kegaduhan di kamar itu. Aku cuma mendengar beberapa potong kata. Tapi, satu hal yang ingin kusampaikan padamu, gadis itu berbicara dengan gaya seorang buruh pelabuhan.”

“Ya, barangkali itu akan menyadarkan Bibi Faith. Aku akan mengusulkan agar gadis itu buru-buru dikembalikan ke ....”

“Jangan ke Bibi Faith dulu. la sedang pusing.” 

“Kalau begitu, aku akan menemui monster kecil itu. Di mana dia?”

“Di kamar Geraldine.” 

Di depan pintu kamar yang ditunjuk istrinya, David hendak mengetuk pintu, tapi pintu itu sudah keburu terbuka.

Wajah Iris muncul. Rambutnya tergerai menutupi sebelah matanya. Bibirnya yang semula tampak menyiratkan kebencian, lambat laun berubah penuh gairah, dan tangannya lalu mempermainkan gaunnya.

“Halo, sayang,” sapanya. “Bibi Faith bilang kau pergi berbelanja untukku.” 

David melangkah masuk dan menutup pintu. “Kau apakan Bibi Faith?”

la cuma mengangkat bahu dan berbalik menuju tempat tidur. “Aku menemukan sebatang puntung rokok di asbak. Aku isap. Tahu-tahu ia masuk. la marah seakan-akan aku hendak membakar habis rumah ini.”

Tiba-tiba saja wajah dan juga sikap Iris berubah. Ia bersikap seperti anak-anak lagi. 

“Maafkan saya,” pintanya merengek. “Maafkan saya, Pak Wheeler. Saya tidak bermaksud berbuat yang tidak baik.”

David terheran-heran. Ia tidak mengerti mengapa Iris mendadak berubah jadi begitu. Namun, ia sadar ketika pintu di belakangnya terbuka. Bibi Faith masuk ke kamar mereka.

Iris menghempaskan dirinya di atas ranjang, sesaat kemudian terdengar isak tangisnya. Bibi Faith memeluknya, layaknya seorang ibu memeluk penuh kasih.

Iris menghempaskan dirinya di atas ranjang, sesaat kemudian terdengar isak tangisnya. Bibi Faith memeluknya, layaknya seorang ibu memeluk penuh kasih.

“Tapi, saya ingin menolong!” ujarnya. “Saya bersungguh-sungguh, Bibi Faith.” Ia beranjak dari ranjang, wajahnya kini tampak berseri. “Saya bisa merasakan kehadiran Geraldine di rumah ini. Saya hampir bisa mendengar suaranya, ia berbisik di telinga saya, mengatakan di mana ia berada!”

“Kau bisa?” tanya Bibi Faith dengan kagum. “Benarkah yang kaukatakan itu?”

“Hampir, hampir!” ujar Iris sambil berputar-putar melakukan tarian aneh. Ia menari-nari di depan sebuah lemari, lalu membuka pintunya. Terlihat masih tersisa setengah lusin gaun di dalamnya. “Ini pakaian-pakaiannya. Oh, betapa bagusnya! Ia tentu tampak cantik dengan gaun-gaun ini!”

Si gadis mengambil sepotong gaun malam berwarna keemasan milik Geraldine, lalu memantas-mantas gaun itu di lengannya. “Oh, alangkah indahnya! Saya bisa merasakan dirinya di dalam gaun ini. Ya, saya benar-benar bisa merasakannya!” la menatap Bibi Faith dengan kegembiraan yang meluap-luap. “Saya tahu, saya pasti akan dapat menolong Anda!” 

“Ohhh, terima kasih,” ujar Bibi Faith dengan mata berkaca-kaca.

Di hari-hari berikutnya, Iris bertingkah laku baik. 

Sore itu David berbicara dengan bibinya. “Tidakkah Bibi melihat, Iris itu pandai bersandiwara?” 

Wanita itu tampaknya kesal. “Kau keliru. Kau tidak paham tentang orang yang memiliki kekuatan gaib.”

Seolah membuktikan apa yang dinyatakan Bibi Faith, dua puluh menit kemudian Iris turun ke bawah dengan mengenakan gaun malam keemasan milik Geraldine Wheeler. Dandanan yang berlebihan menghiasi wajahnya. Rambutnya yang mirip sabut itu disisir ke belakang dan diikat dengan cara yang aneh. David dan Rowena melongo dibuatnya, sementara Bibi Faith sedikit gelisah. 

“Iris, sayang,” ujar Bibi Faith, “apa yang kaulakukan?”

Iris melangkah ke tengah ruangan. 

“Kembalilah ke kamarmu dan lepaskan gaun itu,” ujar David. “Kau tidak berhak memakai pakaian saudaraku.”

Wajah Iris berubah kecewa. “Oh, Bibi Faith!” ratapnya. “Anda mengerti apa yang telah saya katakan pada Anda! Saya harus mengenakan pakaian keponakan Anda untuk merasakan ... rohnya!”

“Apa, roh?” tutur David. 

Iris menatap David. Sesaat kemudian tubuhnya terkulai lemas menimpa kursi dekat perapian. la terisak-isak. Bibi Faith memarahi David. 

Dengan sabar Bibi Faith menunggu sampai isak tangis Iris mereda. la mendekati gadis itu dan berbisik di telinganya. “Iris, dengarlah. Ingatkah kau tentang apa yang pernah kaulakukan di panti asuhan? Caramu menemukan barang-barang untuk Suster Theresa?”

Iris mengusap air matanya. “Ya.” 

“Menurutmu, apakah kau bisa melakukannya lagi, Iris? Sekarang, untuk kami?” 

“Saya ... saya tidak tahu. Akan saya coba.” 

“Biarkan dia mencoba, David!” Rowena menyela, “David, kau ingat? Suatu kali kau pernah bercerita padaku tentang boneka kucing dari wol yang kaumiliki semasa kecil. Kau bilang, ia hilang di rumah ini waktu kau berusia lima tahun, dan kau begitu sedih hingga selama beberapa hari tidak mau makan.”

“Gila! Itu sudah tiga puluh tahun yang lalu ....” 

“Sudah, sudahlah,” ujar Bibi Faith. “Apakah kau bisa menemukan boneka itu, Iris?”

“Saya tidak yakin. Saya tidak pernah yakin, Bibi Faith.” 

“Cobalah, Iris. Kami tidak akan menyalahkanmu kalau kau tidak berhasil.”

Iris berdiri. Ditutupnya wajahnya dengan kedua belah tangannya. 

Matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak. Dari kedua ujung bibirnya, menetes air liur.

“Apa yang dia ucapkan?” tanya Rowena. “Aku tak bisa mendengarnya.” 

“Tunggulah! Kalian harus menunggu!” Bibi Faith mengingatkan. 

Suaranya kian terdengar jelas. “Panas,” katanya. “Oh, panas sekali ... panas sekali ....” la menggeliat-geliat di atas kursi, dan jari-jari tangannya menarik-narik kerah gaun malam itu. “Oh, tolong! Tolonglah! Kitty kepanasan! Kitty kepanasan!”

Sesaat kemudian Iris menjerit keras dan David pun berdiri. Rowena memegang lengan suaminya. 

“Dia berpura-pura!” ujar David.

“Diam kau, David!” kata Bibi Faith. “Gadis itu kesakitan!” 

Iris mengerang-erang dan tubuhnya terhempas di kursi. Butir-butir keringat kini membasahi keningnya.

“Panas! Panas!” jeritnya. “Di balik perapian! Oh, tolong, tolong, tolonglah ... panas sekali ... Kitty kepanasan ....” Kemudian la terkulai di atas kursi sambil merintih-rintih.

Bibi Faith berlari ke sisinya. Diangkatnya pergelangan tangannya, lalu dielusnya sambil berkata, “Kaudengar dia, David? Kaudengar sendiri, ‘kan? Kau masih meragukan gadis itu sekarang?”

“Saya tidak mendengar apa-apa. Apa maksud igauannya itu?” 

“Kau bodoh! Boneka kucing itu ada di belakang perapian tentu saja. Barangkali boneka itu kau selipkan di sana waktu kau masih anak-anak dan bandel!” 

“Mari kita lihat, David!” desak Rowena.

Ternyata boneka itu ada di sana. Sebuah boneka dari kain yang sudah berlumur debu, warnanya cokelat nyaris hancur termakan panas selama 30 tahun. 

Wajah David berubah pucat.

 

Ketahuan serong 

Di awal bulan Mei sinar matahari menyiram bumi. Iris Lloyd mulai banyak bermain di luar rumah.

Di suatu sore, David mendapatinya terbaring di tengah rerumputan yang sedang berbunga. 

“Bagaimana Iris? Sudah lebih dari seminggu kau tinggal di sini dan kau belum berbuat apa-apa. Ini hanya piknik besar buatmu, bukan?”

“Kau kira aku ingin kembali ke asrama yang menjemukan itu? Lebih enak tinggal di sini.”

Iris menutup kedua matanya dengan tangannya. “Istrimu membencimu,” katanya. “Ia anggap kau curang. Belum setahun menikah, kau sudah mulai bergaul dengan wanita lain. Kau hampir tidak mengurusi penggilingan itu. Paling-paling kau cuma pergi satu atau dua kali sebulan. Yang kau lakukan cuma menghambur-hamburkan uang.”

Wajah David bertambah lama bertambah pucat. Tiba-tiba ia menarik lengan Iris. “Kau berandal kecil! Kau bukan peramal! Kau cuma tukang nguping.” 

“Lepaskan tanganku!” 

“Kamarmu bersebelahan dengan kamarku. Jadi, kau cuma mendengar secara diam-diam omongan kami!”

Iris tertawa terbahak sambil mengaku bahwa ia tadi cuma bergurau. Tiba-tiba ia memeluk David dan mencium bibirnya. 

David mendorong tubuh Iris dengan jijik. Ia tak habis mengerti. “Apa-apaan kau ini?” bentaknya kasar. “Anak tolol!” 

“Aku bukan anak-anak!” ujarnya. “Usiaku hampir 17!” 

Kemudian Iris beranjak dan berlari menuruni bukit itu menuju ke rumah.

 

Mirip lembu tua

Sementara itu David pun menyusul pulang lewat belakang rumah melalui dapur. Bibi Faith bertanya, “Kau memanggil taksi, David?”

“Taksi? Tidak, mengapa?” 

“Lho, taksi Lucas ada di depan. Katanya, ia sedang menunggu kau.”

Lucas meloncat turun dari taksinya waktu David mendekatinya. 

“Kau mau apa, Lucas?” 

“Mau bicara, Pak Wheeler, seperti yang saya bilang tempo hari.”

David duduk di jok belakang taksi. “Baiklah,” ujarnya, “jalankan ke mana saja. Kita bisa omong-omong sambil berjalan.” 

“Baik, Pak.”

Kata Lucas kemudian setelah mereka jauh meninggalkan kawasan rumah itu, “Saya sudah lakukan persis seperti yang Anda minta, Pak Wheeler. Saya pukul kepalanya dengan mulus. la tidak terluka sedikit pun dan tidak berdarah. Mirip lembu tua habis disembelih.”

“Aku tak mau mendengar itu lagi, Lucas. Aku puas. Kau pun mestinya begitu. Nih uangmu, sekarang lupakan itu.” 

“Saya bawa dia masuk ke hutan, seperti yang Anda bilang, dan saya menggali lubang sedalam mungkin. Waktu itu, tanahnya keras sekali. Saya timbun lagi lubang itu sedemikian hingga tak seorang pun bisa mengira apa yang ada di balik timbunan itu. Tak seorang pun ... kecuali ....”

“Kecuali gadis itu? Apakah hal ini yang merisaukanmu?” 

“Saya mendengar hal-hal yang sangat aneh tentang dia, Pak Wheeler. Tentang menemukan barang-barang yang hilang, menemukan anak kecil yang jatuh dekat Danau Crompton. Barangkali ia bisa melihat ke dalam kuburan wanita itu….”

“Stop, stop, Lucas!” 

Lucas menginjak rem mobilnya. 

“Iris Lloyd tidak akan menemukannya,” ujar David bernada pasti. “Tak seorang pun akan menemukannya. Kau jangan lagi cemas soal itu. Makin cemas, rahasiamu akan makin terbuka.” 

“Tapi, ia persis di belakang rumah, Pak Wheeler! Ia begitu dekat, di hutan itu.”

“Lupakanlah, Lucas, anggap saja tidak pernah terjadi. Saudara perempuanku hilang dan tidak kembali lagi. Titik. Soal gadis itu, biarlah aku yang mengurusnya.” 

Ia menepuk-nepuk bahu Lucas untuk menentramkan hatinya, tetapi tepukan itu malah bikin Lucas tambah tegang. 

“Sekarang, antarkan aku pulang,” kata David.

 

Damai sajalah kita!

David cemas tentang Iris belakangan ini, tetapi Iris tampaknya sungguh lupa akan tujuannya semula tinggal di rumah itu. Rupanya, tak ada habisnya pula kesabaran Bibi Faith menanti datangnya keajaiban dari gadis peramal itu.

Pada malam Kamis berikutnya, di atas ranjang mereka, Rowena mulai bicara tentang perusahaan penggilingan itu. 

“Diamlah, sayang,” ujar David lembut. “Jangan teruskan bicaramu. Iris bisa mendengar setiap pembicaraan kita di kamar ini. Karena itu damai sajalah kita.”

“Ia tidak perlu mendengar secara diam-diam. Ia bisa membaca pikiran orang. Ia bukan satu-satunya peramal di rumah ini. Aku pun bisa membaca pikiran orang.”

“Oh?” 

“Ia jatuh cinta padamu,” kata Rowena sengit. 

“Tidurlah, Rowena.” 

“Masih ada satu rintangan kecil lagi yang harus dia hadapi. Istrimu. Tapi, aku tidak terlalu banyak mengalangi percintaan kalian, bukan?”

“Aku minta, kita damai saja,” tutur David. 

Rowena tertawa. “Kau memang orang yang cinta damai, David. Untuk itu kau manfaatkan pesonamu yang termasyhur itu. Itulah sebabnya kau datang kemari bulan Maret itu, bukan? Untuk membuat perdamaian dengan Geraldine?”

“Aku datang ke sini untuk urusan bisnis.” 

“Ya, aku tahu. Mencegah Geraldine menjebloskan kau ke dalam penjara, itukah yang kau maksud dengan bisnis itu?” 

“Kau tidak tahu apa-apa soal itu!”

“Aku punya mata, David. Tidak seperti Iris Lloyd, tapi mata. Aku tahu kau mengambil uang terlalu banyak dari penggilingan itu. Geraldine pun tahu itu. Berapa lama ia memberimu waktu untuk menutup kerugian itu?” 

“Jangan bicara lagi, kaudengar? Aku tidak ingin kau berpanjang kata!” 

Setelah Rowena tak lagi bicara, mata David tak juga mau terpejam.

 

Dia kesurupan

Ia masih belum tertidur ketika telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki orang berjalan di lorong dan mendengar gerendel pintu dibuka pelan.

Dilihatnya Rowena terlelap. Tanpa menimbulkan suara, ia melangkah ke pintu dan membukanya.

Iris, Lloyd, dengan gaun tidurnya, menapak kaku pelan-pelan menuruni tangga. Rambutnya yang pirang itu tergerai di pundaknya. 

Di ujung ruang itu, Bibi Faith membuka pintu kamarnya, mengintip keluar. “Kaukah itu, David?”

“Iris, Bi,” ujar David. 

Bibi Faith keluar dari kamarnya dengan gemetar. Ia bersikeras mengikuti gadis yang sedang tidur berjalan itu ketika David mencoba mencegahnya.

Iris berputar-putar tak keruan di ruangan bawah. 

“Sekarang waktunya kita berangkat,” katanya. Ia memutar tubuhnya dan seolah menatap lurus ke arah kedua pengintai itu, tapi ia tak melihat mereka. 

“Kita harus berangkat!” ucapnya bernada sedih. “Oh, tolong bawakan barang-barangku. Aku takut. Aku takut ....”

“Dia kesurupan,” bisik Bibi Faith, sembari meremas tangan David.

“Mungkin ada yang terlupa?” kata Iris gemetar. “Gas, listrik, telepon, perapian. Apakah perapian itu masih menyala? Oh!” la tiba-tiba terisak, tangannya menutupi wajahnya.

David bertindak selangkah, tetapi Bibi Faith mencegahnya, “Jangan! Jangan kau bangunkan dia!” 

Iris, yang tampak seperti hantu bergaun komprang, berjalan ke arah dapur dan membuka pintu yang menuju keluar.

“Ia keluar!” ujar David. “Kita tidak bisa membiarkannya ....” 

“Biarkan saja, David! Biarkan!” Iris berjalan ke luar menuju halaman belakang, mengikuti jalan yang diterangi sinar bulan, menuju ke hutan yang gulita di ujung sana.

“Iris!” teriak David. “Iris!” 

“Jangan!” sergah Bibi Faith. “Jangan bangunkan dia!” 

“Bibi ingin gadis itu menderita radang paru-paru?” kata David beralasan. “Iris!” panggilnya lagi.

Mendengar namanya dipanggil, ia menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah sumber suara. Tatapan matanya yang tadinya kosong berubah kebingungan. David merentangkan lengannya. Iris menjerit dan menghamburkan diri ke pelukannya. Setengah menyeret David mengajak gadis itu kembali ke rumah.

Bibi Faith menangis. “Oh, mengapa kau lakukan itu, David?” ujarnya di sela-sela isaknya. “Kau tahu, tidak seharusnya kau membangunkan orang yang sedang tidur berjalan!”

“Saya tidak akan membiarkan gadis itu mati kedinginan! Apa yang harus kita ceritakan kepada suster-suster itu nanti kalau kita membiarkan anak asuh mereka mati karena radang paru-paru?” 

Iris sudah tenang. Matanya menatap dan mengamati wajah-wajah tegang mereka. “Bibi Faith ....”

“Kau baik-baik saja, Iris?” 

Tatapan kosong masih tersisa di matanya yang bulat itu. “Ya,” jawabnya. “Ya, saya tidak apa-apa. Saya kira, kini saya siap, Bibi Faith. Saya bisa melakukannya sekarang.” 

“Melakukannya sekarang? Maksudmu ... mengatakan di mana Geraldine berada?” 

“Saya bisa coba, Bibi Faith.” Hati wanita itu menjadi harap-harap cemas. “Kita mesti memberi tahu Letnan Reese, David. Sekarang. la tentu ingin mendengar apa yang dikatakan Iris.”

“Reese? Sekarang sudah lebih dari pukul 02.00!” 

“Ia mau datang,” kata Bibi Faith yakin. “Aku tahu, ia pasti mau. Akan kutelepon sendiri dia. Bawalah Iris ke kamarnya.”

 

“Aku sudah menikah….”

David memapahnya naik ke tangga, mukanya cemberut karena Iris merapatkan tubuhnya. Begitu sampai di kamarnya, Iris menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan tersenyum. “Kau ketakutan,” ujarnya kepada David.

David menelan ludah dengan susah, sebab yang diucapkannya itu benar. “Kau akan kuantar pulang,” katanya parau. “Aku tidak akan membiarkan kau tinggal di rumah ini lagi. Kau ternyata memang merepotkan.

Iris tertawa. David membungkam mulut gadis itu. 

“Tutup mulutmu, tolol!”

Iris pun diam. Masih dengan mulut terbungkam, ia menatap David seolah hendak menembus jantungnya. David pun melepaskan dekapannya. Iris menyandarkan tubuhnya kepadanya. “David,” ujarnya manja. “Aku tidak ingin kau pergi dariku, biarpun kau tidak menginginkan aku.”

“Kau penipu,” kata David. Iris makin merapatkan tubuhnya. David ragu-ragu, tetapi lalu menarik tubuhnya dan mencium bibirnya.

Sesudahnya, David menyeka bibirnya dengan jijik. 

“David,” ujar Iris lembut, “Kau tidak akan membiarkan aku kembali ke panti, bukan?” 

“Kau gila! Kau tahu, aku sudah menikah ....”

“Itu bukan masalah. Kau bisa menceraikan istrimu, David. Bukankah kau tidak lagi mencintainya?” 

Pintu kamar itu terbuka. Rowena yang tampak angkuh menatap mereka dengan pandangan penuh penghinaan dan amarah.

“Keluar kau!” teriak Iris. “Aku tak ingin kau masuk ke kamar ku!” 

“Rowena ....” ujar David. 

“Aku cuma ingin mengatakan sesuatu padamu, David. Kau benar tentang dinding-dinding yang memisahkan kamar-kamar ini,” kata istrinya. 

“Aku benci kau!” teriak Iris. “David pun membenci kamu! Katakan padanya, David. Mengapa kau tidak mengatakannya?”

“Ya,” kata Rowena. “Mengapa tidak, David? Itulah satu-satunya yang tidak kau lakukan sampai sekarang.” 

David menatap mereka bergantian, gadis remaja bermata hangat dengan gaun malam dari flanel, wanita bermata dingin dengan gaun sutera, menanti jawaban. 

“Bangsat semua kalian!” umpatnya. la bergegas keluar dari kamar itu.

 

Tolong! Di sini gelap!

Letnan Reese masih tampak setengah mengantuk. Iris duduk di kursi. Tangannya tersimpul di atas pangkuannya, wajahnya mengekspresikan teka-teki. 

Kata Bibi Faith kemudian, “Kau sudah siap, anakku?” Iris yang bibirnya pucat itu mengangguk.

David menangkap sorot mata gadis itu sebelum kedua matanya terpejam pertanda ia mulai kesurupan. Rupanya Iris menangkap pula makna pandangan mata David yang menyiratkan permintaan belas kasihan, tapi Iris tidak membalas lewat isyarat apa pun. 

Berangsur-angsur tubuh Iris Lloyd mulai bergoyang ke kiri dan ke kanan di kursinya. Ia merintih seolah menahan sakit yang menyiksa. Napasnya memburu. Mulutnya menganga dan mengeluarkan busa yang meleleh membasahi dagu. 

“Kita harus menolongnya,” ujar David dengan suara gemetar. 

“Ia terserang ayan,” Letnan Reese tampak khawatir.

“Tenanglah!” tukas Bibi Faith. “Dia sedang kesurupan. Kau pernah menyaksikannya, David, kau tahu ....” 

Terdengar Iris berteriak. Reese berdiri. Iris menjerit-jerit ketakutan sampai kaca di kamar itu tergetar. Rowena menutupi kedua telinganya. 

“Bibi Faith! Bibi Faith!” jerit Iris. “Aku di sini! Aku di sini, Bibi Faith. Kemarilah! Tolonglah aku, Bibi, di sini gelap! Gelap sekali! Oh, tidak adakah yang mau menolongku?”

“Di mana kau?” ujar Bibi di sela tangisnya. “Oh, Geraldine, anakku yang malang, di mana kau? Katakan, sayang!” 

Beberapa saat kemudian, napasnya yang memburu itu mereda. Pelan-pelan matanya terbuka.

David mencoba mendekatinya, tetapi Letnan Reese mengalanginya. “Sebentar, Pak Wheeler.” 

Reese berlutut, lantas jarinya meraba denyut nadi di pergelangan tangan gadis itu. Sementara itu dengan tangannya yang lain, ia membuka kelopak mata kanan Iris dan mengamati biji matanya. “Kau bisa mendengar aku, Iris? Kau baik-baik saja?” 

“Ya, Pak. Saya baik-baik saja.”

“Kau tahu apa yang baru saja terjadi?” 

“Ya, saya tahu semuanya.” 

“Kau tahu di mana Geraldine Wheeler berada?” 

Pandangan matanya menyapu wajah-wajah tegang di hadapannya. Ia berhenti ketika tatapannya bertemu dengan tatapan mata David. Sorot mata David mengisyaratkan permohonan kepada dirinya.

“Ya,” jawab Iris setengah berbisik. 

“Di mana dia?” 

Tatapan matanya kini menerawang jauh. “Di suatu tempat yang jauh. Ada kapal-kapal. Matahari bersinar cerah. Saya melihat bukit-bukit, pepohonan yang menghijau .... Saya mendengar lonceng-lonceng berdentang di jalan-jalan ....”

Reese memutar tubuhnya menghadap ke arah mereka. Mereka saling bertukar pandang tak mengerti. 

“Tempat itu sebuah kota,” Iris memecah kesunyian. “Jauh dari sini.”

“Di seberang lautan? Di sanakah Geraldine berada?” 

“Tidak! Di suatu tempat di sini, di Amerika. Ada kapal-kapal. Saya melihat sebuah teluk, jembatan dan air yang biru.”

“San Francisco!” ujar Rowena. “Saya yakin, yang dimaksudkannya adalah San Francisco, Letnan.”

“Iris,” ujar Reese agak keras. “Kau harus menentukan tempat itu. Kami tidak bisa mengejar ke seantero negeri ini. Benarkah tempat itu San Francisco? Di sanakah kau melihat Geraldine?”

“Ya!” jawabnya. “Sekarang aku tahu. Di jalan-jalan itu ada trem listrik, trem-trem aneh yang memanjati bukit ... Tempat itu San Francisco. la berada di San Francisco!”

Reese berdiri sembari menggaruk-garuk belakang lehernya. “Apakah Geraldine pernah ke San Francisco sebelumnya?” 

“Belum pernah,” ujar Bibi Faith.

David cuma menyeringai. la menghampiri Iris dan menepuk-nepuk bahunya. “Itulah tempat di mana ia berada, seperti dikatakan Iris dan saya kira roh-roh itu tahu tentang apa yang mereka bicarakan. Bukan begitu, Iris?”

“Saya ingin pulang,” ujar Iris. “Saya ingin bertemu Suster Clothilde ....” Iris mulai terisak-isak menangis, seperti anak-anak. 

“Aku tak habis mengerti,” kata Bibi Faith. “Bukan kebiasaannya pergi jauh tanpa sepatah kata pun. Mengapa ia begitu?” 

“Saya juga tidak tahu,” jawab David.

 

Di mana, tolol!

Suatu hari David pergi ke kota. Ketika ia melihat Lucas berdiri di samping taksi hitamnya di pangkalannya, ia menghentikan mobilnya dan melompat ke luar. Senyum lebar menghiasi wajahnya. “Hai, Lucas. Bagaimana bisnis taksimu?”

“Lumayan.” Lucas mengamati wajahnya. “Ada kabar untuk saya, Pak Wheeler?” 

“Tampaknya begitu. Lebih baik kita ke kantormu saja.”

“Sekarang semua beres,” ujar David yang tampak cerah itu kemudian. “Aku baru saja tiba dari Panti Asuhan Medvale, mengantarkan Iris Lloyd kembali ke sana.” 

Lucas lega. “Jadi, ia tidak tahu di mana may... eh ... maksudku wanita itu berada?”

“Ia tidak tahu, Lucas.” 

Supir taksi itu menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil meremas-remas kedua telapak tangannya. “Kalau begitu yang telah saya lakukan itu benar, Pak Wheeler, tapi saya tidak mau mengatakannya kepada Anda.”

“Apa maksudmu?” 

Lucas menatap David dengan mata berbinar-binar, seolah-olah ia telah melakukan sesuatu yang hebat. “Saya kira, gadis itu bakal tahu kalau mayat itu saya tanam tak jauh dari rumah itu. Jadi ....”

David melompat dan menarik kerah jas Lucas. “Jadi, apa yang kau lakukan?” Lucas tampak amat ketakutan. “Apa yang telah kau lakukan?” bentak David. 

“Saya khawatir Anda marah besar,” ujar Lucas takut-takut. “Pada suatu malam, saya masuk ke hutan itu dan menggali lagi mayat wanita itu. Saya masukkan ke kopor miliknya, Pak Wheeler, lalu saya kirim dengan kereta api ke tempat yang paling jauh yang saya ketahui. Itulah sebabnya Iris Lloyd tidak bisa menemukannya. Barang itu sekarang berada di tempat itu.” 

“Di mana? Di mana, tolol? San Francisco?”

Lucas gemetar ketakutan, tetapi kemudian ia mengangguk pelan. David Wheeler putus asa. Terbayang olehnya pengadilan dan penjara.

Sementara itu di San Francisco, dua detektif berpakaian preman mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada petugas urusan bagasi di stasiun. Petugas mengangkat bahu ketika mereka menunjukkan selembar foto seorang wanita. Mereka kemudian diantarkannya ke ruang tempat menyimpan bagasi yang tak bertuan di bagian belakang stasiun. Kedua detektif itu saling berpandangan, ketika ia menunjuk ke arah kopor yang bertuliskan inisial: G.W. Setelah merusak kuncinya, mereka berhasil membuka kopor itu. Di dalamnya ada sisa jenazah Geraldine Wheeler ... (Henry Slesar)

Baca Juga: Pengakuan di Selembar Kertas

 

" ["url"]=> string(54) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682657/kesurupan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301913000) } } [4]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682819" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/nyonya-cerewet-buka-rahasiajpg-20230213032404.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Setelah mengonsumsi cokelat yang diperoleh suaminya, Ny. Beresford meninggal. Cokelat yang rasanya amat kuat itu ternyata mengandung racun." ["section"]=> object(stdClass)#136 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/nyonya-cerewet-buka-rahasiajpg-20230213032404.jpg" ["title"]=> string(27) "Nyonya Cerewet Buka Rahasia" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:24:28" ["content"]=> string(40013) "

Intisari Plus - Setelah mengonsumsi cokelat yang diperoleh suaminya dari Sir William, Ny. Beresford meninggal tak lama setelah koma. Cokelat yang rasanya amat kuat itu ternyata mengandung racun mematikan.

--------------------

Di suatu pagi hari Jumat, 15 November, pukul 10.30, sesuai dengan kebiasaan rutinnya, Sir William Anstruther masuk ke dalam klubnya di Piccadilly. Klub itu, Rainbow Club, sangat eksklusif. Sir William menanyakan surat-surat untuknya. Portir menyerahkan tiga pucuk surat dan satu bungkusan kecil. Lalu ia menuju ke pendiangan untuk membuka semua kiriman itu.

Beberapa menit kemudian seorang anggota klub yang lain, Graham Beresford, juga masuk. Setelah menerima sepucuk surat dan dua buah selebaran, ia pun berjalan menuju pendiangan. Di sana ia menganggukkan kepala kepada Sir William, tanpa mengatakan apa-apa. Kedua orang itu memang tidak begitu saling mengenal.

Setelah membuka surat-suratnya, Sir William mulai membuka bungkusannya. Tapi tak lama la mendengus jengkel. Beresford menoleh kepadanya dan dengan bersungut-sungut Sir William melemparkan begitu saja sepucuk surat yang tadinya terlampir di dalam bungkusan itu. Dengan menahan senyum (di antara sesama anggota klub, tingkah laku Sir William memang dianggap lucu), Beresford membaca surat tersebut. 

Ternyata surat itu dikirim oleh sebuah perusahaan besar pabrik cokelat, Mason & Sons. Pabrik itu akan melempar ke pasaran sebuah produk baru, cokelat yang diisi minuman keras dan dirancang khusus untuk menarik konsumen pria. Sir William dimohon dengan hormat untuk menerima dan mencicipi produk baru tersebut, untuk kemudian mengirimkan pendapatnya kepada mereka.

“Apa mereka pikir saya ini orang tolol?” gerutu Sir William. “Menulis surat pujian tentang cokelat! Enak saja! Akan saya adukan kepada komite. Hal begini tak bisa dibiarkan terjadi di sini.”

“Wah, surat itu mengingatkan saya. Tadi malam istri saya dan saya menonton di Imperial. Kami bertaruh menebak tokoh jahat di babak kedua. Taruhan saya sekotak cokelat, sedangkan istri saya seratus batang sigaret. Ternyata istri saya yang menang. Sekarang saya harus membayar taruhan berupa cokelat itu. Apa Anda sudah menontonnya — The Creaking Skull? Tontonan yang tidak jelek.”

Sir William belum menontonnya. 

“Membutuhkan sekotak cokelat, Anda bilang tadi?” Lalu ia menambahkan dengan lebih halus, “Ambillah ini saja. Saya tidak butuh.” 

Mula-mula Beresford menolak dengan sopan, tetapi akhirnya diterimanya juga. Harganya memang tak seberapa karena ia juga seorang kaya, tapi kini tak perlu lagi ia bersusah-payah membeli cokelat.

 

Menyengat lidah

Sungguh sangat kebetulan bahwa baik kertas pembungkus maupun surat pengantarnya belum dibuang ke dalam api. Memang kertas pembungkus, surat dan talinya sudah diikat menjadi satu oleh Sir William, tetapi lalu diserahkannya kepada Beresford. Oleh Beresford bundel itu dibuang begitu saja di pinggir pendiangan. Portir yang terbiasa rapi, memasukkan bundel itu ke keranjang sampah. Dari situlah polisi mendapatkan bundel tersebut. 

Dari ketiga tokoh di atas, jelas Sir William-lah orang yang paling menonjol. Usianya masih satu dua tahun di bawah lima puluh. Dengan wajahnya yang merah membara dan tubuhnya yang gemuk, ia betul-betul merupakan gambaran khas seorang tuan tanah yang berpendidikan kuno. Tingkah laku dan bahasanya pun sesuai dengan tradisi. Kebiasaan-kebiasaannya, terutama yang berhubungan dengan wanita, juga sesuai dengan tradisi — pemberani tetapi buruk.

Dibandingkan dengan dia, Beresford biasa saja. Tinggi, warna kulitnya gelap, seorang pria berusia 32 yang bukannya tidak tampan, tenang dan terkendali. Karena warisan ayahnya, ia jadi kaya. Tetapi ia bukan orang malas. Ia menanam modal di banyak usaha bisnis.

Uang menarik uang. Graham Beresford mewarisi uang, menghasilkan uang dan tak bisa dihindari lagi, juga mengawini uang. Istrinya, anak seorang pemilik kapal yang sudah almarhum, mempunyai warisan tak kurang dari setengah juta ponsterling. Tetapi uang bukan faktor penting. Pasalnya, Beresford memang membutuhkan istrinya dan bagaimanapun akan tetap mengawininya (menurut teman-temannya), meskipun seandainya istrinya tak memiliki sepeser pun. Ia merupakan istri yang ideal untuk Beresford: tinggi, agak serius, amat berbudaya, sudah dewasa. Maka tidak heran jika kepribadiannya pun telah berkembang (ia berusia 25 tahun waktu menikah dengan Beresford tiga tahun yang lalu). Ia juga cenderung puritan, tetapi Beresford yang waktu itu sudah puas menikmati masa muda, siap melakukan segalanya, termasuk menjadi puritan pula, bila istrinya memang puritan. Lebih sempurna lagi, kedua orang itu pun berhasil membina perkawinan yang berbahagia pula.

Di tengah sukses dan kebahagiaan ini, jatuhlah tragedi itu. Tragedi kotak cokelat. Setelah makan, Beresford menyerahkan kotak itu kepada istrinya. Ia langsung membukanya dan melihat bahwa cokelat-cokelat itu lapisan atasnya nampak hanya berisi kitsch dan maraschino (jenis minuman keras). Karena masih menikmati kopinya, Beresford menolak tawaran istrinya, sehingga istrinya memakan cokelat yang pertama sendiri saja. Saat mencobanya, ia berseru kaget karena isi cokelat itu begitu keras sampai mulutnya serasa terbakar.

Beresford menerangkan bahwa cokelat itu adalah contoh dari suatu produk baru sebuah pabrik cokelat. Karena ingin tahu, ia pun ikut mencicipinya. Cairan yang ada di dalam cokelat itu terasa begitu panas, keras, lagi pula aroma almonnya terlalu berlebihan.

“Astaga,” katanya, “keras sekali. Pasti cokelat ini diisi alkohol.”

“Ah, tak mungkin,” sahut istrinya sambil menjumput satu lagi. “Tetapi memang rasanya amat keras. Kupikir aku akan menyukainya juga, lho.”

Beresford mencicipi lagi satu dan semakin tak suka. “Saya tidak,” katanya dengan mantap. “Cokelat ini membuat lidah saya kelu. Kalau saya jadi kau, saya takkan mengambil lagi. Saya pikir ada yang tidak beres dengan cokelat-cokelat ini.”

“Ya, cuma eksperimen saja, saya kira,” kata istrinya. “Tetapi memang amat panas. Saya tak tahu apakah saya suka atau tidak.”

Beberapa menit kemudian Beresford pergi untuk urusan bisnis. Ditinggalkannya istrinya yang masih juga berusaha memutuskan suka atau tidak kepada cokelat itu dengan terus memakannya. Beresford ingat percakapan itu dengan jelasnya, karena itulah saat terakhir ia melihat istrinya dalam keadaan hidup.

 

Cokelatnya ditambal

Waktu itu kira-kira pukul 14.30. Pukul 15.45 Beresford tiba di klub dengan taksi dalam keadaan pingsan. Ia masuk ke gedung ditolong oleh supir dan portir. Kedua orang tersebut menggambarkan keadaan Beresford sebagai amat pucat, mata melotot, bibir abu-abu kebiruan dan tubuh dingin lembap. Namun, agaknya pikirannya tak sampai terpengaruh, oleh karena setelah melewati anak tangga, ia bisa berjalan dengan ditolong portir menuju lobby.

Ketika portir ingin memanggil dokter, Beresford menolak. Ia tak mau merepotkan orang. Lagi pula ia yakin ini hanyalah salah makan dan dalam beberapa menit tentulah ia akan sembuh. Kepada Sir William yang waktu itu kebetulan ada di situ ia menambahkan (setelah portir pergi), 

“Ya, saya yakin, ini pasti karena cokelat yang Anda berikan kepada saya. Sekarang saya ingat. Waktu itu memang saya pikir ada yang tak beres dengan cokelat-cokelat itu. Sebaiknya saya pergi dan melihat istri saya ....” Kata-katanya terputus tiba-tiba. Tubuhnya menjadi kejang, tangannya mencengkeram pegangan kursi. Sir William membaui aroma almon pahit.

Sir William berteriak memanggil portir dan dokter. Bersama orang-orang lain yang ada di lobby, ia membetulkan posisi Beresford yang pingsan itu. Namun sebelum dokter datang, ada telepon menanyakan Tuan Beresford, menyuruhnya pulang karena istrinya sakit parah. Padahal kenyataannya waktu itu istri Beresford telah meninggal.

Beresford tidak mati. Racun yang masuk ke tubuhnya tidak sebanyak yang masuk ke tubuh istrinya. Sepeninggal Beresford pastilah istrinya mengambil paling tidak tiga buah cokelat lagi. Singkat kata, dosis pada Beresford tidak fatal. Kira-kira pukul 20.00, malam itu juga, ia sudah sadar kembali; keesokan harinya praktis ia telah pulih.

Sedangkan Ny. Beresford yang malang, meninggal sangat cepat dalam kondisi koma hebat. Dokter terlalu lambat datang untuk sanggup menolongnya.

Begitu memperoleh laporan, polisi segera bertindak. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai pada kesimpulan bahwa cokelatlah penyebabnya.

Sir William diinterogasi, surat dan kertas pembungkus dicari kembali. Dan bahkan sebelum Beresford sembuh, seorang inspektur detektif telah menyatakan ingin mewawancarai direktur Mason & Sons.

Dari keterangan yang diperoleh dari Sir William dan kedua dokter, teori polisi adalah, ada pegawai Mason & Sons yang berpura-pura lalai memasukkan minyak almon pahit berlebihan ke dalam cokelat. Karena menurut dokter, minyak itulah yang mestinya telah menjadi biang keladinya. Namun menurut sang direktur, minyak almon pahit tak pernah dipakai di pabriknya. Selain itu ia menyatakan bahwa telah terjadi pemalsuan. Pabriknya tak pernah membuat surat pengantar semacam itu dan tidak membuat atau mengirimkan contoh-contoh produk semacam itu. Pabriknya sama sekali tidak sedang mencoba produk baru. Merk cokelat yang mematikan itu memang merk yang biasa mereka pakai.

Kemudian ia menemukan sebuah bekas lubang di bagian bawah kotak. Lubang kecil itu mungkin telah dipakai untuk mengisap cairan di dalam cokelat yang asli, kemudian untuk memasukkan cairan palsu beracun. Lubangnya kemudian ditutup kembali dengan cokelat lembek. Operasi yang sangat sederhana.

Kemudian diteropongnya lubang itu di bawah kaca pembesar dan inspektur pun setuju. Ada orang yang dengan sengaja ingin membunuh Sir William Anstruther.

 

Wanita gila

Cokelat-cokelat itu dikirim untuk dianalisis. Sir William diinterogasi kembali. Begitu pula Beresford yang kini telah sadar. Dokter mendesak agar berita kematian istrinya tidak segera disampaikan saat itu kepada Beresford karena khawatir kondisi fisiknya belum cukup kuat. Ia baru akan diberi tahu keesokan harinya. Sehingga darinya tak diperoleh informasi berarti.

Begitu pula dengan Sir William. Tak ada petunjuk untuk menguak misteri ini dan ia pun tak dapat mengungkapkan adanya seseorang yang mungkin ingin membunuhnya.

Dari analisis laboratorium diperoleh dua fakta menarik. Racunnya ternyata bukan minyak almon pahit, melainkan zat yang sejenis, yaitu nitrobenzena yang banyak dipakai dalam pembuatan pewarna aniline. Dalam tiap cokelat yang ada di lapisan atas kotak ditemukan racun tersebut tercampur dengan kirsch dan maraschino. Sedangkan yang terletak di deretan-deretan lain tidak beracun.

Petunjuk-petunjuk lain tampaknya juga sama tak ada gunanya. Kertas catatan Mason diakui sebagai produk dari percetakannya yaitu Merton. Namun, tak ada petunjuk bagaimana caranya kertas itu dapat sampai ke tangan si pembunuh. Yang dapat disimpulkan hanyalah bahwa kertas itu pastilah sudah tua, karena tepi-tepinya sudah samar-samar menguning. Mesin ketik yang telah dipakai pun sudah tentu tak dapat dilacak. Dari kertas pembungkusnya tak ada yang dapat disimpulkan, kecuali bahwa paket itu pastilah diposkan di kantor pos Jalan Southampton antara pukul 20.30 — 21.30 malam sebelumnya.

Hanya satu hal yang jelas. Siapa pun yang telah menginginkan kematian Sir William, tak ada yang ingin membayar dengan hidupnya sendiri.

“Nah, itulah yang sampai sekarang telah kami ketahui, Tuan Sheringham,” ujar Inspektur Kepala Moresby, “dan bila Anda dapat menyebutkan siapa yang telah mengirim cokelat itu kepada Sir William, Anda akan tahu lebih banyak lagi.”

Roger mengangguk serius. 

“Kasus yang berat. Kemarin saya berjumpa dengan seseorang yang pernah satu sekolah dengan Beresford. Ia tak begitu mengenalnya, karena Beresford orang yang modern, sedangkan teman saya itu termasuk golongan klasik, tetapi mereka pernah serumah. Katanya, Beresford benar-benar terpukul oleh kematian istrinya. Saya harap kau dapat menemukan pengirim cokelat itu Moresby.”

“Begitu juga harapan saya, Tuan Sheringham,” kata Moresby dengan muram. 

“Kemungkinannya bisa luas sekali,” Roger merenung. “Bagaimana dengan kecemburuan wanita, misalnya? Kehidupan pribadi Sir William kelihatannya tidak terlalu alim. Saya berani memastikan ia sering berganti-ganti pacar.”

“Ya, justru itulah yang sedang saya selidiki, Tuan Sheringham,” kata Inspektur Kepala Moresby. “Itu hal pertama yang terpikir oleh saya. Karena soal ini pastilah tindak kriminal dari seorang wanita. Tak seorang pun kecuali wanita yang akan mengirimkan cokelat beracun kepada seorang laki-laki. Seorang pria tidak akan mengirimkan cokelat, tetapi mungkin contoh wiski atau yang sejenisnya.”

“Pendapat yang sangat masuk akal, Moresby,” Roger merenung. “Sangat masuk akal. Sir William tak dapat menolongmu?”

“Tidak,” jawab Moresby dengan kesal, “atau tidak mau. Mula-mula saya berpendapat ia pasti mencurigai beberapa wanita, tetapi berusaha melindungi mereka. Namun, sekarang saya tidak lagi berpikir demikian.”

“Segala macam teori telah saya terapkan dan tak saya temukan satu orang pun yang mungkin menginginkan kematian Sir William, baik dari motif keuntungan, balas dendam atau apa saja. Singkatnya, saya sudah mantap bahwa si pengirim pastilah seorang wanita gila, seorang yang fanatik agama ataupun tingkat sosial yang mungkin bahkan belum pernah melihat Sir William.”

“Bila itulah kasusnya,” Moresby mendesah, “kemungkinan besar saya tidak akan pernah dapat menangkapnya.”

 

Nyonya cerewet

“Kecuali faktor kebetulan mengambil peranan, seperti yang sering terjadi,” kata Roger dengan riang, “dan menolongmu, bukankah banyak kasus yang terpecahkan hanya karena nasib baik?”

Faktor kebetulanlah yang kemudian menyeret Roger untuk langsung melibatkan diri.

Waktu itu seminggu hampir lewat. Roger ada di Bond Street hendak membeli topi baru. Tiba-tiba tampaklah Ny. Verreker-le-Flemming sedang berjalan ke arahnya. Selain mungil, elok, kaya dan seorang janda, nyonya ini bersedia melakukan apa saja untuk Roger. Sayangnya, ia amat cerewet. Demikian cerewetnya sampai Roger tak tahan. Jadi Roger berusaha menyeberangi jalan, tapi Ny. Verreker-le-Flemming berhasil juga mencegatnya.

“Oh, Tuan Sheringham! Orang yang memang ingin saya temui. Tuan Sheringham, katakanlah. Apa Anda menangani kasus kematian Joan Beresford yang mengerikan itu?”

Roger yang masih berusaha menguasai diri, tak dapat menjawab. 

“Waktu mendengar itu, saya ngeri. Betul-betul ngeri. Soalnya, saya teman akrab Joan. Sangat intim. Yang paling mengerikan adalah semua itu seperti senjata makan tuan bagi Joan!”

Roger tak bisa lagi beringsut dari hadapan Ny. Verreker-le-Flemming.

“Apa Anda bilang tadi?” Koger berhasil menyelipkan nada tak percaya. 

“Mungkin ini yang disebut ironi yang tragis,” Ny. Verreker-le-Flemming terus berkicau. “Anda ‘kan tahu tentang taruhan antara dia dan suaminya, sehingga suaminya harus mendapatkan sekotak cokelat untuk membayar taruhannya. Padahal seandainya tak ada taruhan itu, tentunya Sir William tak akan memberikan cokelat beracun itu kepadanya, malah ialah yang akan memakannya sendiri dan selamatlah Joan. Sebetulnya, Tuan Sheringham ...,” Ny. Verreker-le-Flemming merendahkan suaranya serendah-rendahnya sambil melihat sekelilingnya. “Saya belum pernah menceritakan ini kepada siapa pun, tapi kepada Anda saya katakan, karena saya tahu Anda akan menghargainya. Waktu itu Joan tidak fair.”

“Maksud Anda?” tanya Roger kebingungan. 

Ny. Verreker-le-Flemming benar-benar puas dengan sensasi ciptaannya. 

“Tentu saja, karena ia sudah pernah menonton drama itu dengan saya. Dengan sendirinya ia sudah tahu jawaban taruhan mereka.” 

“Masya Allah,” Roger tampak begitu terkesannya, seperti yang diharapkan oleh Ny. Verreker-le-Flemming.

“Ya, tetapi mengapa Joan Beresford berbuat begitu? Saya tak pernah membayangkan Joan bisa melakukan hal semacam itu. Ia begitu baik, meski memang agak pelit. Meski semua itu cuma main-main, tapi biasanya Joan serius. Orang biasa tidak peduli soal kehormatan, kebenaran, permainan yang adil dan sebagainya, tetapi Joan sangat peduli pada soal-soal macam itu. Demikianlah kali ini ia harus membayar ketidakadilan dalam permainannya itu. Kasihan bukan? Meskipun demikian ini semua membuktikan kebenaran sebuah peribahasa lama.”

“Peribahasa apa?” ujar Roger yang sudah demikian terpana oleh arus kata-kata yang begitu deras.

“Bahwa air tenang menghanyutkan. Saya rasa Joan air yang amat tenang.” Ny. Verreker-le-Flemming mendesah. “Maksud saya, saya benar-benar telah terkecoh. Tentunya sebetulnya ia tidak sejujur dan sedemikian terhormat seperti kelihatannya. Saya tak dapat menahan diri menduga-duga bahwa seorang wanita yang dapat menipu suaminya dalam soal sekecil itu, tak dapat pula .. ah, sudahlah, saya tak ingin mengatakan apa pun yang buruk tentang Joan yang sudah meninggal ini. Maksud saya,” tambahnya, “psikologi benar-benar sangat menarik, bukankah demikian Tuan Sheringham?”

“Kadang-kadang memang ya,” Roger menyetujui dengan serius. “Tadi Anda menyebut tentang Sir William Anstruther. Apakah Anda juga kenal dia?”

“Dulu,” ia menjawab acuh tak acuh. “Orang brengsek! Selalu mengejar-ngejar wanita. Kalau sudah bosan, dibuangnya begitu saja. Setidak-tidaknya,” tambahnya cepat-cepat, “begitulah yang saya dengar.”

“Apa yang terjadi kalau si wanita tak mau dibuang begitu saja?” 

“Oh, tak tahulah saya. Mungkin Anda sudah mendengar juga tentang yang terakhir? Sekarang ia sedang mengincar Nyonya Bryce. Nyonya itu, istri pedagang minyak, atau bensin atau entah apa. Mulainya tiga minggu yang lalu. Mungkin Anda akan berpikir soal kematian Joan seharusnya sedikit mengeremnya bukan? Tidak, sama sekali tidak; ia ....”

Roger sedang mengikuti jalur pemikiran lain. 

Sebelum berpisah, Roger telah mendapat izin untuk meminjam foto Ny. Beresford dan Sir William Anstruther. Begitu nyonya itu menghilang dari pandangannya, ia pun segera memanggil sebuah taksi, menuju ke alamat Ny. Verreker-le-Flemming. Setelah memperhatikan satu-persatu, akhirnya Roger mengambil tidak hanya dua, melainkan enam buah foto, yaitu foto-foto Sir William, Ny. Beresford, Beresford, dua laki-laki aneh yang tampaknya satu grup dengan masa Sir William dan Ny. Verreker sendiri.

 

Wanita itu mengenali foto

Sepanjang sisa hari itu ia benar-benar sibuk. 

la mengunjungi perpustakaan umum untuk melihat sebuah buku referensi, kemudian memanggil taksi menuju kantor Pabrik Parfum Anglo Eastern. Di sana ia menanyai seorang bernama Joseph Lea Hardwich. Agaknya Roger amat jengkel mendengar bahwa orang yang dicarinya tidak dikenal di situ dan pasti juga tidak bekerja di cahang-cabangnya. Setelah banyak bertanya tentang perusahaan tersebut dan cabang-cabangnya, akhirnya ia bersedia melupakan pertanyaan tadi.

Kemudian ia pergi ke Messrs. Weall & Wilson, sebuah lembaga terkenal yang memberi perlindungan kepada usaha-usaha bisnis perorangan dan juga usulan yang berhubungan dengan penanaman modal. Di sini ia mendaftarkan diri untuk menjadi pelanggan di sana. Ia menerangkan bahwa ada sejumlah besar uang yang ingin ditanamnya, lalu mengisi sebuah formulir khusus yang di atasnya tertulis Sangat Rahasia.

Kemudian ia menuju Rainbow Club di Piccadilly. 

Tanpa sungkan ia menyatakan mempunyai hubungan dengan Scotland Yard. Diajukannya beberapa pertanyaan remeh yang menyangkut tragedi itu. 

Akhirnya ia bertanya, seolah-olah sambil lalu saja, “Sir William tentunya tidak makan malam di sini malam sebelumnya?”

Agaknya Roger salah, karena malam itu Sir William makan di sana seperti biasanya, tiga kali seminggu.

“Saya kira ia tidak berada di sini malam itu?” 

Portir dan seorang waiter ingat betul bahwa Sir William makan agak lambat dan tidak meninggalkan ruang makan sampai kira-kira pukul 21.00. Setelah itu pun ia tidak meninggalkan klub, karena waiter itu sendiri yang menyajikan segelas wiski soda kepadanya kira-kira setengah jam kemudian di lobby.

Roger berhenti bertanya. Ia menuju ke Percetakan Merton dengan taksi.

Kelihatannya ia ingin mencetak bloknot yang istimewa. Ia menerangkan apa yang diinginkannya sampai ke detail-detail kepada wanita penjaga di sana. Kemudian wanita itu menyodorkan beberapa contoh cetakan untuk dilihat, apakah ada yang cocok dengan seleranya. Sambil melihat-lihat contoh tersebut, Roger bercerita bahwa ia ke sana karena diberi tahu oleh seorang teman yang fotonya kebetulan terbawa di kantungnya sekarang.

“Kira-kira dua minggu yang lalu saya rasa,” kata Roger sambil mengeluarkan foto itu, “ia kemari. Masih mengenalnya?” 

Wanita itu mengambil foto tersebut dengan agak tak acuh. “Oh, ya. Saya ingat. Juga tentang bloknot bukan? Oh, jadi dia teman Anda? Dunia memang kecil. Akhir-akhir ini penjualan kami di bidang ini memang sangat baik.”

 

Mewawancarai supir

Roger pulang untuk makan malam. Kemudian karena gelisah ia pergi berjalan-jalan sambil berpikir keras. Tak disadarinya tiba-tiba ia sudah berada di luar Imperial Theater. Pada iklannya tentang The Creaking Skull terpampang jam mulai mainnya 20.30. Waktu itu sudah pukul 20.59. Untuk melewatkan waktu, ia masuk.

Besoknya, masih terlalu pagi untuk kebiasaan Roger, ia menelepon Scotland Yard.

“Moresby,” katanya langsung. “Aku ingin minta tolong. Carikanlah seorang supir taksi yang pada malam sebelum peristiwa Beresford membawa penumpang dari Sirkus Piccadilly atau daerah sekitarnya ke Strand dekat ujung Southampton Street kira-kira pada pukul 21.10, lalu supir taksi lain yang mengambil arah sebaliknya. Aku tak begitu yakin dengan yang pertama. Mungkin juga hanya satu taksi dipakai untuk kedua jurusan sekaligus, tapi aku ragu tentang itu. Cobalah, tolong carikan?”

“Apa yang sedang Anda cari, Tuan Sheringham?” tanya Moresby curiga. 

“Melumpuhkan sebuah alibi yang menarik,” sahutnya. “Oh ya, saya sudah tahu siapa yang mengirimi Sir William cokelat. Waktu ini saya hanya sedang menyusun bukti-buktinya untuk Anda. Teleponlah saya jika supir-supir itu telah Anda dapatkan.”

Sisa hari itu dilewatkan Roger dengan mencoba membeli mesin ketik bekas. Yang dimintanya harus merk Hamilton No. 4. Kalau si penjaga toko berusaha membujuknya untuk melihat merk lain, ia sama sekali tak mau melihat dengan alasan ada seorang kawan yang sudah membeli Hamilton No. 4 kira-kira tiga minggu yang lalu dan sangat menganjurkannya untuk membeli merk yang sama. Mungkinkah di toko ini? Tidak? Mereka belum menjual Hamilton No. 4 sejak tiga bulan yang lalu?

Namun, salah satu toko mengaku telah menjual sebuah Hamilton No. 4 bulan lalu.

Pukul 16.30, ia kembali ke tempat tinggalnya, menunggu telepon dari Moresby. Telepon berdering pukul 17.30.

“Ada 14 supir taksi di sini memenuhi kantor saya,” kata Moresby agak keras. “Akan saya apakan mereka?” 

“Suruh mereka menunggu sampai saya datang, Inspektur Kepala,” sahut Roger dengan mantap.

Wawancara dengan keempat belas supir itu ternyata cukup singkat. Kepada setiap supir, Roger menunjukkan sebuah foto dan bertanya apakah ia mengenalinya. Foto dipegangnya sedemikian rupa, sehingga Moresby tak dapat ikut melihatnya. Orang yang kesembilan menyatakan mengenalinya, tanpa ragu.

Dengan sebuah anggukan dan Roger, Moresby menyuruh mereka bubar, lalu duduk di kursinya dan berusaha tampak resmi. Roger duduk di atas meja, sangat santai dan menaikkan kaki.

 

Tak salah alamat

“Baiklah Tuan Sheringham,” kata Moresby, “mungkin kini dapat Anda ceritakan apa yang telah Anda kerjakan selama ini?”

“Tentu saja, Moresby,” sahutnya. “Saya betul-betul telah memecahkan masalahnya. Inilah buktinya.” la mengambil sepucuk surat lama dari kotak catatannya dan menyerahkannya kepada sang inspektur kepala. “Apakah mesin ketiknya sama dengan yang dipakai untuk mengetik surat palsu dari Mason itu atau tidak?”

Setelah memperhatikan sebentar, Moresby mengambil surat palsu itu dari lacinya dan membandingkan keduanya. 

“Tuan Sheringham,” katanya muram, “di mana Anda menemukan ini?” 

“Di sebuah toko mesin ketik di St. Martin’s Lane. Mesin ketik itu dijual kepada seorang pembeli tak dikenal kira-kira sebulan yang lalu. Mereka mengenali pembeli tersebut dengan foto yang sama pula dengan yang tadi saya tunjukkan kepada supir-supir taksi. Sebelum dijual kepada orang itu, mesin ini sudah diperbaiki terlebih dahulu. Untuk mengetahui apakah kerjanya sudah kembali baik, mereka memakainya dulu sebelum dijual. Begitulah, saya memperoleh contoh hasil ketikannya ini.”

“Di mana mesin ketiknya sekarang?” 

“Oh, saya kira sudah ada di dasar Sungai Thames,” sahut Roger tersenyum. “Pelakunya betul-betul tidak ingin mengambil risiko. Namun, itu tak penting. Yang jelas inilah buktinya.” 

“Hem! Sampai tahap ini memang oke,” kata Moresby. “Tetapi bagaimana dengan kertas bloknot Mason itu?”

“Itu diambil dari buku contoh-contoh kertas bloknot yang ada di Merton, seperti yang sudah saya duga, karena tepi-tepinya sudah menguning. Hubungan antara buku contoh itu dan si kriminal bisa saya buktikan dan juga akan dapat ditemukan bahwa ada sebuah halaman yang tadinya diisi oleh kertas itu.” 

“Bagus,” Moresby sudah lebih cerah.

“Sedangkan bersangkutan dengan supir taksi, si kriminal mempunyai alibi. Namun, alibi telah dilumpuhkan. Antara pukul 21.10-21.25, waktu pengiriman bungkusan tersebut, si kriminal berangkat ke daerah itu, dengan bus atau kereta bawah tanah, sedangkan kembalinya dengan taksi, karena waktu sudah mendesak.”

“Pembunuhnya, Tuan Sheringham?” 

“Orang yang fotonya ada di kantung saya,” kata Roger. Karena faktor kebetulan, saya bertemu dengan seorang wanita di Bond Street. Di saat itulah segera saya memahami keseluruhannya. Tentu saja ada kemungkinan-kemungkinan lain, tetapi setelah dites, ternyata dugaan saya itu yang benar.”

“Siapakah pembunuhnya, Tuan Sheringham?” ulang Moresby. 

“Benar-benar direncanakan begitu indahnya,” ujar Roger setengah melantur. “Kita tidak sadar bahwa kita melakukan kesalahan mendasar yang memang dikehendaki oleh si pembunuh.”

“Kesalahan apakah itu?” 

“Bahwa seolah-olah rencana pembunuhan telah keliru dilaksanakan. Bahwa yang mati justru orang Iain. Padahal sebenarnya rencana pembunuhan itu tidak keliru dilaksanakan. Yang mati adalah memang yang menjadi sasaran pembunuhan.”

Mulut Moresby menganga. 

“Oh, oh, bagaimana Anda bisa menyimpulkan begitu?”

 

Beli racun di toko parfum

Nyonya Beresford memang sasaran pembunuhannya. Itu sebabnya plot disusun begitu lihai. Semuanya sudah dipikirkan masak-masak. Wajar jika Sir William menyerahkan cokelat itu kepada Beresford. Juga sudah diduga bahwa kita pasti akan mencari kriminalnya di antara kawan Sir William. Bahkan mungkin sudah diperhitungkan pula bahwa pembunuhan ini diduga dilakukan oleh wanita!”

Moresby sudah tak dapat menahan diri lagi. Disambarnya sebuah foto yang sejak tadi terjatuh dari kantung Roger. 

“Astaga! Tapi Tuan Sheringham, Anda toh tidak hendak mengatakan bahwa ... Sir William sendiri!”

“Ia ingin menyingkirkan Ny. Beresford,” Roger meneruskan. “Mula-mula tentunya ia cukup suka kepada Ny. Beresford, tak ragu lagi, meskipun sebenarnya uangnyalah yang ia kejar sejak semula.”

“Masalahnya, Ny. Beresford, terlalu pelit. Ia amat membutuhkannya, tetapi Ny. Beresford tak mau membagi uangnya. Motifnya jelas. Aku sudah menyusun daftar perusahaan tempat ia menanamkan modalnya. Semua dalam keadaan guncang. Ia sudah kehabisan modal dan ia harus memperoleh tambahan.”

“Sedang tentang nitrobenzena yang membingungkan itu, ternyata sederhana saja. Saya lihat di buku, ternyata zat itu juga digunakan secara luas di pembuatan parfum. Ia juga terjun dalam bisnis parfum. Perusahaan Parfum Anglo Eastern. Jadi dari situlah ia tahu bahwa zat itu beracun. Namun, saya kira ia tidak mengambil bahan itu dari sana. Mungkin ia membuatnya sendiri. Anak sekolah saja tahu cara mencampur benzol dengan asam nitrat sehingga menjadi nitrobenzena.”

“Tapi,” gagap Moresby, “tapi Sir William ... Ia ‘kan sedang berada di Eton.” 

“Sir William?” sahut Roger tajam. “Siapa bicara soal Sir William? Sudah saya katakan, foto si pembunuh ada di saku saya.” Ia menyambar foto itu dari sakunya dan menunjukkannya ke depan hidung inspektur kepala yang sedang terbengong-bengong. “Beresford, Tuan! Beresford adalah pembunuh istrinya sendiri.”

“Beresford yang tetap masih mengidamkan hidup bersenang-senang saja,” kilahnya, “sebenarnya tidak menginginkan istrinya. Yang diinginkannya adalah uangnya. Maka disusunnya plot ini dengan secermat-cermatnya. Ia mempersiapkan alibi, siapa tahu ia dicurigai, dengan mengajak istrinya menonton di Imperial, tetapi menyelinap ke luar pada saat istirahat pertama. (Tadi malam aku sendiri menonton babak pertamanya untuk mengetahui kapan saat istirahatnya. Cepat-cepat ia ke Strand, memposkan bungkusan itu, lalu kembali dengan taksi. Ia punya waktu sepuluh menit, tetapi seandainya pun ia terlambat satu menit, tak akan ada orang tahu.”

“Sisanya mudah saja. Ia tahu bahwa setiap pagi, pukul 10.30, Sir William datang ke klub. Ia juga tahu bahwa cokelat itu pasti akan diberikan kepadanya, jika ia secara samar-samar memberikan tanda-tanda bahwa ia membutuhkan cokelat itu. Kertas pembungkus dan surat palsu itu sengaja tidak dimusnahkannya; selain untuk mengurangi kecurigaan, juga dimaksudkan agar bukan ia, tetapi orang kurang waraslah yang kita tuduh.”

“Wah, Anda betul-betul pandai, Tuan Sheringham,” ujar Moresby dengan sedikit mendesah tapi tulus. “Sangat pandai. Apa yang dikatakan wanita itu sehingga Anda bisa memahami semua ini secepat kilat?”

“Sebenarnya bukan persis karena kata-kata wanita itu. Tapi ia mengatakan bahwa Ny. Beresford sebenarnya sudah tahu jawaban dari taruhan itu. Karena sifatnya, saya pikir tak mungkinlah Ny. Beresford bermain curang, membuka taruhan yang jawabannya sudah ia ketahui. Jadi, Ny. Beresford tidak bertaruh. Jadi, tak pernah ada taruhan semacam itu. Jadi, Beresford berbohong. Jadi, Beresford menginginkan cokelat itu karena sebab lain. Apalagi adanya taruhan hanya kita dengar dari dia, bukan?”

“Tentu saja sore itu ia tidak akan meninggalkan istrinya, kalau ia belum yakin benar bahwa istrinya telah memakan, atau membuatnya telah memakan pula, paling tidak enam buah cokelat yaitu lebih dari dosis yang mematikan. Itu sebabnya setiap cokelat dengan hati-hati hanya diisi enam minim (± 22 cc) saja, sehingga ia pun dapat memakannya dua buah. Lihai sekali.”

Moresby bangkit. 

“Wah, Tuan Sheringham, saya sangat berterima kasih kepada Anda. Sekarang saya juga harus bekerja.” Ia menggaruk kepalanya. “Bagaimana seandainya Sir William tidak memberikan cokelatnya kepada Beresford? Misalkan saja ia menyimpannya, lalu memberikannya kepada salah satu pacarnya?”

“Sama sekali tak apa-apa, Moresby. Apakah Anda kira ia akan memberikan cokelat yang benar-benar beracun kepada Sir William? Tentu saja tidak! Yang dikirimnya adalah cokelat biasa. Cokelat ini lalu ditukar dengan yang beracun dalam perjalanan pulang. Ia benar-benar tidak memberi kesempatan kepada faktor kebetulan.” 

“Jika,” tambah Roger, “faktor kebetulan memang istilah yang tepat untuk itu.” (Anthony Berkeley)

Baca Juga: Pergulatan di Padang Safari

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682819/nyonya-cerewet-buka-rahasia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301868000) } } [5]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682827" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/istri-polisi-disanderajpg-20230213032326.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Rewelnya bayi pada malam itu rupanya menjadi pertanda akan datang seseorang membalas dendam kepada ayah si bayi yang berprofesi sebagai detektif." ["section"]=> object(stdClass)#140 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/istri-polisi-disanderajpg-20230213032326.jpg" ["title"]=> string(22) "Istri Polisi Disandera" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:23:40" ["content"]=> string(36270) "

Intisari Plus - Rewelnya bayi pada malam itu rupanya menjadi pertanda akan datang seseorang membalas dendam kepada ayah si bayi yang berprofesi sebagai detektif.

--------------------

Bayi itu masih saja menangis tak menentu. Kadangkala terdengar lirih, kadang pula melengking keras, seperti hendak mengatasi kesunyian yang menyelimuti rumah itu.

Linda tak habis mengerti, mengapa sore itu hatinya begitu gelisah. Suara tangis anaknyakah yang membuat hatinya cemas? Ataukah kesunyian yang mencekam kala bayi itu sekali-sekali berhenti menangis?

Entahlah. Belum pernah Linda merasa segelisah seperti sore itu. Barangkali itu pertanda bakal terjadi sesuatu, pikirnya. Tetapi, pertanda apa?

Sore sudah menjelang malam. Matahari pun sudah tenggelam di ufuk barat. Lalu ....

la melangkah menuju ke pintu depan rumahnya. Dikaitkannya rantai pengaman pintu ke selotnya. Itu bukan kebiasaannya, namun sore itu ....

Terdengar anaknya menangis lagi. “Ya, ya sayang. Mama segera datang!”

Digendongnya bayi itu. Tangisnya pun mereda setelah ia terbaring di pelukan lbunya. “Aduh, hari ini kau rewel sekali. Ada apa, sayang?”

Mungkin, naluri bayi itu menangkap isyarat akan datangnya bahaya di rumah itu. Tak ubahnya seperti anjing yang punya naluri yang peka akan adanya sesuatu yang tak beres.

Ada baiknya ia memelihara anjing di rumahnya yang terpencil itu, begitu pikirnya. Kalau Geoff, suaminya, pulang nanti, ia akan mengatakan soal itu kepadanya.

 

Kukira tukang penatu

Ketika la hendak membaringkan anaknya di tempat tidur, tiba-tiba terdengar bel pintu rumahnya berdering.

“Siapa di luar?” tanyanya ketika sampai di pintu. 

“Ini saya. Janet!” terdengar suara seorang wanita di luar menyahut. 

Ia melepaskan rantai pengaman, lalu membuka pintu. Janet merasakan getaran tajam suara Linda ketika ia bertanya tadi. “Hai, Linda! Apakah kedatanganku begitu mengejutkanmu?”

“Oh, ... eh, tidak, Janet! Cuma ... itu, anakku sejak tadi rewel melulu ... dan kukira tukang penatu yang datang ... Soalnya, aku belum menyiapkan pakaian-pakaian kotor yang hendak diambilnya…”

“Oh, begitu! Aku tak lama, Linda,” kata Janet kemudian. “Aku cuma mampir sebentar. Kebetulan aku lewat di depan rumahmu. Anakmu tampaknya sudah tenang lagi?”

“Ya. Kau tidak minum dulu?” 

“Terima kasih, Linda. Ketika aku keluar rumah tadi, aku jadi ingat hendak memberimu tiket dansa untuk hari Sabtu nanti. Kalau kau mau berangkat, panggil saja pramusiwi untuk menjaga anakmu!”

“Aku mau minta tolong saja sama ibu mertuaku supaya datang kemari menjaga anakku.”

“Bagaimana dengan Mary yang biasa kemari itu?” tanya Janet.

“Dia takut kalau ditinggal sendirian di rumah ini.”

“Eh, ngomong-ngomong, kau tidak merasa terpencil tinggal di daerah ini?”

“Ya. Itulah sebabnya tanah ini harganya murah waktu kami beli,” jawab Linda. “Tetapi, lama-kelamaan aku toh akan terbiasa dengan keadaan seperti ini.”

Janet tampak mengerutkan keningnya. “Kau merasa aman tinggal di sini?”

Hari ini mungkin tidak, jawab Linda dalam hati. la tidak mengatakannya kepada Janet. Sebaliknya, ia malah tersenyum. “Tentu. Mengapa kau bertanya begitu?”

“Geoff ‘kan sering meninggalkan kau sendiri di rumah. Lalu ... bukankah sekali waktu kau bisa menjadi sasaran penjahat lantaran pekerjaan suamimu itu?”

“Sasaran penjahat?” Linda tertawa lagi. “Janet, kau benar-benar sudah mabuk film detektif di TV. Apakah hanya karena Geoff itu seorang sersan detektif, lantas berarti setiap saat harus baku tembak dengan penjahat, begitu?”

Kedua sahabat itu pun tak bisa menahan gelak tawa mereka.

“Bukan, bukan begitu maksudku. Andaikata aku ini istri seorang detektif, yang kerapkali harus tinggal di rumah sendirian seperti kau, tentu aku khawatir dengan para penjahat yang telah keluar dari penjara dan membawa dendam terhadap suamiku.”

“Kalau kau jadi istri seorang detektif, kau pun akan menjadi terbiasa dengan keadaan itu, seperti aku,” begitu komentarnya kepada Janet.

“Apakah suamimu akan segera pulang?” tanya Janet sembari menengok jam di tangannya.

“Pukul 18.00 kira-kira. Itu kalau dia sudah tak ada urusan lagi yang harus ditanganinya.”

Sementara mereka asyik mengobrol, di kamar lain terdengar si kecil menangis lagi. “Aduh, dia mulai lagi!”

“Tengok dulu anakmu, Linda!” kata Janet. “Sebenarnya aku ingin singgah lebih lama, tetapi aku harus segera pergi, sebab ada janji menjemput seseorang di stasiun. Oke, Linda. Sampai ketemu hari Sabtu. Sampaikan salamku untuk Geoff!”

“Baik, Janet!” 

Linda menutup pintu setelah mobil Janet menghilang di ujung jalan.

 

Macam jagoan Chicago

Rumah itu sepi lagi. Hanya tinggal isak tangis anaknya yang terdengar. “Cup, cup sayang!” Linda mencoba meredakan tangis anaknya. Ada apa sebenarnya dengan anak ini, begitu pikirnya.

Kesunyian pun makin melilit hati Linda, tatkala tak terdengar lagi tangis bayinya.

Tiba-tiba bel pintu berdering lagi. Deringnya terasa nyaring di tengah kesunyian malam itu. 

Ia pun melangkah ke pintu, lalu dari dalam ia berteriak, “Apakah yang di luar tukang penatu?” Karena tak terdengar jawaban, ia pun mengulanginya lagi.

Kemudian di luar terdengar suara lelaki menjawab, “Ya!” 

Ketika yang berdiri di depan pintu bukan orang yang dimaksudkannya, hatinya tercekat. Dicekam rasa takut, ia berkata lirih, “Kau bukan ...!”

Dengan cepat laki-laki itu menerobos ke dalam. Teriakan Linda segera terhenti setelah tangan kokoh laki-laki itu membungkam mulutnya.

Linda meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari dekapan orang itu. Namun, sia-sia. Tamu tak diundang itu lalu menutup pintu dengan tendangan kakinya.

Akhirnya laki-laki itu melepaskannya. Sambil bersandar di pintu dengan sikap menantang, matanya tajam menatap Linda. Tatapan itu terasa aneh dan tampak memancarkan amarah.

Linda tak mau memperlihatkan rasa takutnya di depan orang itu. Dengan napas tertahan, ia pun bertanya kepada orang itu, “Apa yang kauinginkan?”

Laki-laki yang masih sangat muda itu tersenyum. Hanya sekejap. Wajahnya berubah kejam dengan sorot mata penuh dendam.

Mungkin orang ini hendak memerkosaku, pikir Linda cemas saat mata lelaki itu menjelajahi tubuhnya. Ia merasa takut, sebab seperti pernah dikatakan suaminya, selesai memerkosa biasanya si pelaku lantas membunuh korbannya pula ....

“Jangan takut, manis! Kau tidak akan kuapa-apakan, asal kau tidak berbuat macam-macam,” lagaknya macam jagoan dari Chicago.

Degup jantungnya terdengar begitu keras di telinganya. Ia berdiri mematung, menatap laki-laki itu. Meskipun Linda tampak begitu tenang, namun di balik wajahnya tersembunyi rasa takut yang amat dalam.

“Tapi ... apa artinya ini? ... Apa yang kauinginkan?” Linda terus mendesak. 

“Aku punya sedikit urusan dengan suamimu, nyonya manis,” jawab laki-laki itu.

“Oh ...!” Mereka pun diam. Tak lama kemudian Linda berteriak memanggil suaminya, “Geoff! Geoff! Turun ke sini sebentar, Geoff!” 

Tak ada jawaban. Sunyi. Mereka bungkam dan tegang seperti karet yang direntang. Tetapi kemudian, sayup-sayup terdengar lagi tangis bayi itu di kamarnya.

Laki-laki itu melempar senyum padanya. “Gertakanmu tak mempan, Ny. Mason. Aku sudah mengamati dan mendengar ... dan aku tahu saat ini suamimu tak ada di rumah.”

 

Kubunuh suamimu!

Mendengar anaknya menangis lagi, Linda pun memohon kepada orang itu, “Boleh aku menengok anakku?”

Laki-laki itu mendekatinya sambil mengancam, “Tetap di tempat dan jangan bergerak!” Suasana kembali sepi. “Apakah suamimu akan segera pulang?”

“Ya,” jawabnya. 

“Bagus!” katanya. 

Namun, Linda cepat-cepat menambahkan, “Tidak, tidak! Aku tidak tahu.”

“Kan bohong. Kau pun mengharapkan dia segera pulang.” 

“Malam ini ia ... ia mungkin terlambat pulang.”

“Berapa lama?” 

“Aku ... aku tidak tahu. Aku tak pernah bisa memastikannya. Kalau ia hendak pulang terlambat, biasanya ia menelepon aku dulu.” 

“Akan kutunggu,” katanya. 

“Percuma saja kau menunggu!”

“Masa bodoh,” kata laki-laki itu. 

Tatapan mereka saling beradu. Tak disadari oleh orang itu, pelan sekali ia melangkah mundur. Begitu sampai ke tempat yang dituju, dengan cepat Linda menyambar gagang telepon.

Sia-sia. Orang itu cepat menyadari apa yang diperbuat nyonya rumah itu. Dengan cepat disambarnya pula gagang telepon itu dari tangan Linda, lantas ditaruh kembali ke tempatnya.

“Kalau aku jadi kau, tak akan kuulangi lagi perbuatan itu,” ancamnya. “Kalau kaulakukan lagi, ini yang akan berbicara!” Tahu-tahu, sepucuk pistol otomatis sudah berada di genggaman laki-laki itu.

“Asal kau tahu, aku tak mudah takut melihat senjata semacam itu. Aku sudah sering melihatnya. Senjata-senjata macam itu tak membuatku pingsan karena ketakutan.”

“Kalau begitu, kau tak merasa apa-apa kalau pistol ini tetap di tanganku? Soalnya, pistol ini bikin aku tenang.”

“Ya. Aku percaya.” 

“Kita ke ruang tamu!” perintahnya kemudian. 

Linda ragu-ragu. “Lihat, aku ....”

“Lakukan perintahku, cepat!” bentak orang itu. 

“Izinkan aku menengok dulu anakku,” pintanya ketika ia mendengar anaknya menangis lagi.

“Nanti saja! Ayo, ... jalan!” Linda melangkah ke ruang tamu diikuti laki-laki itu. 

“Sekarang ... duduklah!” Melihat Linda tampak ragu-ragu lagi, laki-laki itu pun membentak marah, “Aku bilang, duduk!” Linda pun menuruti perintahnya. “Bagus. Sekarang kita tunggu dia. Kalau kau berbuat macam-macam ... ingat yang kugenggam ini! Jangan kau kira ini pistol mainan.”

“Rupanya kau banyak menonton film, sampai bisa bicara seperti itu?” 

“Ya, mungkin.” Dahinya berkerut sampai kedua ujung alisnya yang hitam tebal itu berimpit. “Aku suka membuat orang menjadi ketakutan. Aku memperoleh kepuasan menjadi penjahat.”

“Kalau begitu, kau cuma akan menakut-nakuti suamiku?” tanya Linda. 

“Oh, tidak. Aku tak akan bikin takut suamimu,” katanya, “aku cuma akan membunuh suamimu.” 

“Oh, jangan ... kumohon jangan bunuh suamiku” teriak Linda.

 

Balas dendam

Orang itu tampak mengerutkan keningnya lagi. “Aku sedang mencari-cari cara yang terbaik untuk melakukannya .... Kalau ia membawa kunci untuk membuka pintu itu, ia langsung masuk ke dalam ... saat itulah kesempatanku untuk menghabisinya ....”

“Atau kutembak saat ia keluar dari mobilnya ... dari jendela ini?”

“Ya, sebaiknya kupilih cara yang tak memberinya kesempatan untuk melawan atau menghindar.”

Linda merasakan darahnya mengalir deras ke wajahnya. Meskipun begitu, ia tenang sekali ketika bertanya kepada orang itu, “Mengapa kau hendak membunuh suamiku? Hanya karena ia seorang detektif?”

“Oh, rupanya kau belum kenal siapa aku,” katanya.

Linda hanya menggeleng. 

“Namaku Terry Hagan. Apakah nama ini mengingatkanmu akan sesuatu?”

Linda menggeleng lagi. 

“Aku punya adik laki-laki,” kisahnya. “Paddy Hagan namanya. Sejak kecil, kami selalu bekerja bersama. Ketika itu kami membongkar gudang besar yang berisi dokumen-dokumen berharga. Ingat?”

Linda hanya diam. 

“Para polisi berdarah dingin itu mencoba memerangkap kami ... di sana, di atas atap. Di situlah kami tertangkap. Namun, Paddy sempat tertembak. Mereka lalu membawa saudaraku ke rumah sakit, tetapi kemudian ia mati karena sebutir peluru bersarang di perutnya. Kautahu, siapa yang menembaknya? Suamimu! Sersan detektif berdarah dingin, Mason. Tahu?”

“Tidak, aku tidak tahu.” 

“Tetapi sekarang kautahu, bukan?” 

“Kukira suamiku sekadar menjalankan tugasnya,” kata Linda membela suaminya. 

“Tapi ia membunuh saudaraku!” 

“Kau pun menembak salah seorang polisi,” katanya. 

Tampaknya orang itu marah. “Itu tidak kusengaja, sementara mereka membunuh saudaraku dengan keji.”

“Aku tak percaya.” 

“Aku bilang, mereka benar-benar polisi berdarah dingin.” 

“Kalau kau membunuh suamiku,” katanya, saat itu wajahnya tampak sepucat kertas, “kau akan menjadi penghuni penjara selama hidupmu.” 

“Aku tak peduli,” katanya geram. “Geoff Mason yang memulai semua ini!”

 

Simon sakit

Linda diam. Ia duduk sambil menatap wajah laki-laki itu. “Sekarang atau tidak sama sekali,” katanya. “Sudah berminggu-minggu aku menunggu kesempatan seperti ini untuk membunuh suamimu, seperti yang dilakukannya terhadap Paddy. Cukup besar risiko yang kuhadapi untuk datang kemari ... dan kupikir tak ada lagi kesempatan seperti ini!”

Tiba-tiba terdengar tangis anaknya meledak lagi. 

“Ada apa dengan si bandel itu? Bikin aku cemas saja dia!” 

“Kau boleh angkat kaki, kalau kau tak suka mendengarnya,” jawab Linda.

“Apa ia sakit?” 

“Iya, anakku sedang sakit.” 

“Oke, tengoklah dia dan usahakan dia jangan lagi menangis!”

“Aku harus segera ke kamarnya,” kata Linda dengan tenang. 

“Baik ... cepat. Jangan coba-coba berbuat macam-macam. Aku tetap di belakangmu. Tapi ... tunggu! ... dengar!”

Dari jauh terdengar derum mobil. “Itu mobil suamimu?” tanya orang itu. 

“Aku tidak tahu,” jawabnya agak cemas. Suara mobil pun lenyap setelah melewati rumah itu. Lalu kata orang itu, “Oke .. pergilah dan tengok si bandel itu.”

Ketika Linda hendak melangkahkan kakinya, telepon berdering. Laki-laki itu sedikit tegang, lalu berkata, “Tunggu! Jangan bergerak!” Telepon masih terus berdering. “Itu dari suamimu, bukan?”

“Mungkin.” 

Laki-laki itu tampak menggigit bibirnya. “Sebaiknya kau angkat saja telepon itu. Kalau tidak, ia akan mengira ada yang tak beres di rumah ini.”

Dikawal ketat orang itu, Linda berjalan menuju ke ruang di mana telepon berada. 

“Nah, sekarang ... jawab telepon itu ... Berbuatlah biasa saja. Satu kata saja kau keliru, nih!” katanya sambil mengacungkan moncong pistolnya ke wajah Linda.

Linda pun mengangkat telepon itu. Ia merasa aneh, mengapa suaranya tenang sekali ketika menjawab telepon itu. “Bushmill 47 ....”

Terdengar suara suaminya di seberang sana, “Halo ... Linda?” 

“Ya, sayang. Ini Linda.” 

“Agak lama kau mengangkat telepon,” kata Geoff Mason.

“Memang, Geoff,” katanya, “aku sedang menengok Simon anak kita!” 

“Simon?” 

“Ya, tadi pagi ketika kau berangkat, Simon sedang sakit. Kau sendiri pun tahu ‘kan? Tapi, sampai saat ini ia belum juga baik.”

“Tetapi Linda, aku tidak ....” 

“Geoff, aku tahu, kau tentu khawatir bahwa aku begitu repot mengurusi Simon, tetapi rupanya obat yang kuberikan padanya tidak membuatnya sembuh. Aku cemas memikirkan keadaannya. Kupikir sebaiknya kau panggil saja dr. Carter ....”

“Mengapa bukan dokter yang biasanya?” tanya Mason.

“Jangan,” jawab Linda, “dr. Carter saja. Dokter lain mungkin tak bisa menolongnya, sebab kelihatannya ia agak parah. Kupikir dr. Carter bisa menolong kita .... Kata orang, ia dokter yang ahli.”

“Baik, kalau begitu.”

“Kalau kau pulang nanti, langsung saja kau ke dokter itu!” 

“Sekalian menjemputnya, maksudmu?” 

“Ya.” 

“Baik, Linda.” 

“Ia sih tidak apa-apa, cuma rewel saja. Sebaiknya segera saja kau pulang!” 

“Tentu ... tenangkan hatimu! Mudah-mudahan Simon akan segera sembuh. Oke?” 

“Oke, Geoff.”

 

Ingat, anakmu masih kecil!

Linda meletakkan kembali teleponnya. Ia berdiri sebentar sambil menutupkan kedua matanya. Anaknya sudah tak menangis lagi.

“Bagus,” komentar laki-laki yang masih saja menggenggam pistolnya. “Kau sudah melakukan dengan baik apa yang kuperintahkan. Kalau cuma membawa pulang dokter saja, kupikir tak akan menolong suamimu, nyonya manis.”

Dengan kasar Linda menarik tangannya ketika orang itu memegangnya. Kata laki-laki itu kemudian, “Jangan coba-coba berlaku kasar! Tak seorang perempuan pun pernah berlaku kasar terhadap Terry Hagan, kecuali nenek-nenek.”

Dengan suara yang letih, Linda pun bertanya, “Apa lagi yang kauinginkan dariku sekarang?”

“Si bandel sudah berhenti menangis, karena itu kita bisa bersenang-senang sendiri di ruang tamu itu.” Didorongnya Linda ke sana. “Baik. Sekarang silakan duduk. Yang kita Iakukan sekarang hanyalah menunggu ... ya, menunggu ...”

“Aku tidak mengenalmu, nyonya manis. Karena itu kalau kau bersikap baik dan melakukan apa yang kukatakan, kau akan selamat .... Yang kuinginkan ... cuma suamimu. Bukan salahmu kalau kau menikah dengan detektif busuk itu ....”

“Oh, ya, nanti kita akan …. mendengar mobilnya datang ... Lalu suara suamimu memutar kunci .... Itulah yang kita tunggu-tunggu, bukan? Tapi kuperingatkan, kau jangan coba-coba berbuat macam-macam. Jangan berteriak atau melempar sesuatu. Mengerti? Jangan sekali-sekali memberi isyarat apa pun kepadanya. Kau harus tetap diam dan tenang, seperti sekarang ini ....”

“Kalau kau tidak menuruti perintahku, peluru pistol ini akan merobek dadamu yang indah itu. Kau yang pertama ... kemudian giliran suamimu yang saat itu masuk ke ruang ini .... Aku tahu, kau pasti belum ingin mati, mengingat anakmu masih kecil. Ya, ‘kan?”

“Aku masih ingat, ketika itu Paddy Hagan pun seperti anakmu yang bandel itu .... Ya, kita kembali ke beberapa tahun yang lalu .... Suatu hari ibuku tertabrak mati oleh truk besar yang sedang melaju kencang di jalan .... Ibuku seorang pemabuk berat. Aku tak pernah tahu ayahku, sebab ketika itu umurku baru tujuh tahun ....”

Laki-laki itu berhenti bicara. Dipandangnya wanita yang duduk dengan tenang di hadapannya. Linda hanya diam. Matanya tertuju pada jari-jari lentik kedua tangannya yang terjalin di pangkuannya.

Melihat ‘teman’ bicaranya hanya diam membisu, laki-laki itu kesal rupanya. “Hai, mengapa kau diam saja? Aku tak suka bicara sendiri. Kesenyapan ini lebih membuatku gelisah .... ketimbang rengekan bayimu.”

Linda masih saja diam. Matanya tak juga menatap laki-laki itu.

“Kau ternyata seorang ‘gadis’ manis dan berhati baik,” ujarnya. “Maksudku, dari tadi kau tidak berbuat macam-macam atau berteriak-teriak atau berbuat sesuatu yang lain. Kau sungguh baik, manis, sekalipun kau berhadapan dengan orang yang hendak membunuh suamimu tercinta ....” Linda masih saja tak bersuara.

“Oke ... kalau kau memang tak mau bicara ... jangan bicara!” kata laki-laki itu dengan geram.

 

Seperti macan

Saat itu hanya terdengar bunyi tik-tak-tik-tak dari jam tua membelah kesenyapan yang mencekam di ruangan itu.

Linda menunggu dengan harap-harap cemas akan bunyi gemeresiknya ban mobil yang beradu dengan hamparan kerikil di halaman, menandai kedatangan Geoff. Lalu suara langkahnya menaiki tangga. Setelah itu suara kuncinya membuka pintu ....

Namun, suara-suara yang dicemaskannya itu tak terdengar. 

Akan tetapi kemudian, sayup-sayup terdengar suara gemeresik dekat jendela depan rumahnya. Sepertinya suara orang yang sedang berjalan menerobos kerimbunan semak-semak.

Serta merta Linda menatap Terry Hagan. Sorot mata mereka beradu, seperti sudah direncanakan. la tahu, Terry pun menangkap suara itu. Kini ia tampak seperti seekor macan yang siap menerkam mangsanya. Tubuhnya tegang penuh waspada.

Terlihat pistol di tangan laki-laki itu terarah ke pintu dan setiap saat siap memuntahkan pelurunya. Jari-jari tangan Linda yang pucat bagaikan kapas itu, tampak meremas lengan kursi tempat duduknya. Tampak sekali wajahnya tegang menahan napas.

“Suara apa itu?” tanya orang itu hampir tak terdengar. 

“Aku tak mendengar apa-apa.” 

“Ah, kau tentu mendengar suara itu,” kata Hagan tak percaya. “Sebab, kulihat wajahmu berubah. Kau pasti mendengarnya pula. Duduklah ... dan jangan ke mana-mana!” Dipasangnya telinganya tajam-tajam. “Dengar, suara itu lagi!”

“Itu suara angin,” kata Linda. 

“Mana ada angin,” jawab Hagan. “Bunyi gemeresik di luar jendela itu ... sssstttt ... dengar ... seseorang bergerak-gerak di luar ... tetaplah diam ... jangan berisik ....”

Ketika Linda menemukan keberaniannya kembali, ia pun berteriak kuat-kuat, “HATI-HATI, GEOFF!” 

Kedua matanya yang hitam mengilap melotot tajam ke arah Linda. “Tutup mulutmu, sialan kau! Atau pistol ini membungkam mulutmu!”

Namun, senjata otomatis itu tetap saja terbidik ke pintu tepat ke arah masuknya Geoff Mason nanti. 

Linda tak peduli dengan ancamannya. Kalaupun ia menembaknya, Geoff tentu akan mendengar letusan itu .... “JANGAN MASUK, GEOFF! JANGAN, JANGAN, GEOFF!”

Tiba-tiba terdengar bunyi kaca pecah bagaikan ledakan bom membelah keheningan ruangan itu. 

Terdengar Terry Hagan mengerang bagaikan harimau kesakitan, menyusul suara ledakan itu. Sebutir peluru merobek daging dan tulang pergelangan tangannya. Seketika itu pula Linda melihat pistol itu terlempar dari genggamannya, jatuh berdebam di lantai.

“Oh, Tuhan!” Hagan menyebut namaNya sambil merengek mirip si bayi yang menangis di kamar itu. la menggoyangkan tangannya serta memandangi pergelangannya yang terluka. Darah segar mengucur dari lukanya, mengalir di antara jemarinya bagaikan anak sungai, membasahi lengan bajunya.

 

Berkat istri saya

“Polisi-polisi busuk!” Terry merintih kesakitan. “Kalian bangsat semua!” 

Kemudian terdengar pintu didobrak dari luar. Tak ayal kaca pintu pun pecah berhamburan.

Saat laki-laki bersenjata itu hendak berlari ke arah pintu, Geoff Mason berlari dari arah ruangan itu. 

“Oke, tangkap orang itu, Tony!” perintah Mason.

Seorang detektif, kawan Mason, segera melingkarkan lengannya ke leher Hagan. la berteriak kesakitan ketika detektif itu mengangkat sedikit tubuhnya dan menariknya ke belakang dengan lengannya. 

Kata Mason kemudian, “Baik, orang ini sudah tidak menggenggam senjata lagi.” Benar, pistol itu memang masih tergeletak di lantai. 

Detektif kawan Mason pun angkat bicara, “Ya, tembakanku tepat mengenai sasaran. Tembakan yang tak jelek, bukan?”

Geoff Mason berbalik menghampiri istrinya dengan cemas, “Kau tidak apa-apa, Linda?” 

la mengangguk. “Aku baik-baik saja, Geoff.” 

“Anak kita?” 

“Ya. Orang itu tidak melukai siapa-siapa.” 

“Ah, syukurlah!” 

“Orang itu pingsan, Geoff,” kawannya memberi tahu. 

“Bukankah dia Terry Hagan?” tanya Mason.

“Benar.” 

“Cepat saja di bawa ke rumah sakit, Tony. Aku akan menelepon Inspektur Brooker.” 

“Kau tak perlu pusing, Geoff. Dia sudah ada di sini.” 

“Syukurlah. Benar-benar gesit kerjamu,” komentar Mason. “Kau sungguh tidak apa-apa, Linda?”

“Sungguh, Geoff. Aku tak apa-apa.” 

Inspektur Detektif Brooker tampak terburu-buru ketika masuk ke ruang itu. 

“Selamat malam, Pak,” Mason menyalaminya. “Ini istri saya.” 

Sang inspektur menjawabnya dengan senyum hormat.

“Terry Hagan menyandera istri saya. Tetapi, berkat istri saya ini, saya lolos dari ancaman penjahat itu.” 

“Tampaknya begitu, Sersan.” Inspektur tampak mengerutkan dahi. Rupanya ada yang belum ia mengerti. “Bagaimana Sersan tahu di rumah terjadi hal yang tidak beres?” tanya inspektur kemudian kepada Mason.

Geoff tersenyum pada istrinya, lalu kembali berhadapan dengan atasannya. 

“Begini, Pak. Itu bermula ketika saya menelepon Linda di rumah .... Mula-mula saya pikir, saya salah sambung .... Tapi kemudian, ternyata tidak, sebab istri saya lalu menyebut nomor telepon rumah ... Bushmill 47 .... Memang benar itu suara Linda ... saya hafal suaranya ... Tapi, selama pembicaraan itu, istri saya selalu menyebut nama saya dengan Geoff ... Kemudian, ia bercerita soal anak kami yang sore tadi rewel melulu ....”

“Inspektur, mula-mula ia mengatakan bahwa anak itu sakit tadi pagi. Tapi, saya tahu persis, tadi pagi anak saya baik-baik saja ketika saya berangkat. Apalagi ia menyebut anak itu dengan Simon. Padahal, Simon adalah nama permandian saya. Nama itu tak pernah saya pakai dan itu pun bukan nama anak saya.”

“Lalu ia menyuruh saya menjemput dr. Carter. Dokter yang bernama Carter ini pun sebenarnya tidak ada .... Kami hanya kenal satu orang yang namanya Carter .... Dialah Sersan Detektif Tony Carter .... Dia bukan saja kawan kita yang sangat baik, melainkan juga satu-satunya penembak jitu yang kita miliki ....”

Inspektur Brooker mengangguk-angguk bangga. “Lalu, kau menangkap isyarat dari istrimu, kemudian kau pulang bersama Carter, begitu?”

“Benar, Pak. Carter menembak kaca jendela itu dan seperti biasanya, tembakannya tepat mengenai sasaran.” 

Inspektur pun tersenyum. “Kalau nama anakmu bukan Simon, lantas siapa namanya?” 

Geoff Mason tersenyum lagi. “Kau saja yang mengatakannya, Linda!” 

“Anak kami perempuan, Inspektur. Namanya Hope.” jawab Linda sambil tersenyum. (Herbert Harris)

Baca Juga: Cemburu Buta Mantan Menteri

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682827/istri-polisi-disandera" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301820000) } } [6]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682473" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(100) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/pak-kep-kesetrumjpg-20230213032155.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(128) "Di hari Natal, Pak Sep ditemukan tewas di depan radio kesayangannya. Dari jari-jarinya yang menghitam, ia diduga tewas kesetrum." ["section"]=> object(stdClass)#144 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(100) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/pak-kep-kesetrumjpg-20230213032155.jpg" ["title"]=> string(16) "Pak Sep Kesetrum" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:22:06" ["content"]=> string(32144) "

Intisari Plus - Di hari Natal, Pak Sep ditemukan tewas di depan radio kesayangannya. Dari jari-jarinya yang menghitam, ia diduga tewas kesetrum.

--------------------

Hari Natal tanggal 25 Desember pukul 07.30. Emily Parks, pembantu rumah tangga di rumah Septimus Tonks, masuk ke kamar kerja majikannya. Ia membawa lap, sapu dan sikat. Kamar itu gelap. Jadi ia kaget setengah mati waktu tiba-tiba terdengar suara, “Selamat pagi, saudara-saudara. Selamat Natal!” 

Untung Emily sadar suara itu asalnya dari radio. Pasti majikannya lupa mematikan alat itu sebelum tidur.

Emily membuka tirai dan menyalakan lampu. Saat itulah dilihatnya majikannya duduk di muka radio, membelakangi Emily. Tubuhnya condong ke arah benda mahal itu. Tangannya berada di meja, di bawah kenop-kenop. Dadanya bersandar pada laci meja dan kepalanya menempel pada radio, seperti sedang asyik mendengarkan sesuatu dari dalam benda itu.

“Maaf, Pak,” kata Emily yang tidak menyangka menemui majikannya sepagi itu di muka radio. Septimus tidak menjawab. Mata Emily membelalak ketika mendapati majikannya masih memakai pakaian lengkap seperti yang dipakai di meja makan kemarin malam. la membuka mulutnya dan berteriak-teriak seperti gila. Chase, pelayan kepala, muncul di pintu. 

“Kenapa kau?” tanyanya dengan marah. Begitu melihat Septimus, ia segera menghampiri. la membungkuk memperhatikan wajah majikannya, lalu berseru: “Astaga!” la membekap mulut Emily dan mendorongnya ke luar. Di pintu mereka berpapasan dengan Hislop, sekretaris Septimus. Hislop masih memakai kimono.

“Masya Allah, Chase. Apa-apaan, sih!” 

“Silakan ke kamar kerja, Pak! Emily, pergi sana ke kamarmu!” Emily berlari turun dari tingkat dua, disambut para pembantu lain dengan penuh rasa ingin tahu. 

Chase dan Hislop masuk ke kamar kerja. Chase segera mengunci pintunya. “Ia ... ia sudah meninggal,” kata Hislop. Mayat itu sudah kaku.

 

Jarinya hitam

Chase menunjuk ke tiga jari tangan kanan Septimus: ibu jari, telunjuk dan jari tengah. Ketiganya kehitam-hitaman. Sementara itu suara genta menggema dari radio: ding, dong, dang, ding! Chase mencabut steker dari dinding supaya suara yang mengganggu itu berhenti.

“Hislop, ada apa sih?” tanya Guy Tonks dari luar. Putra sulung Septimus itu sia-sia mencoba membuka pintu yang terkunci. 

“Anda saja yang keluar memberi tahu,” kata Chase. Hislop pun pergi ke luar dan di hadapan istri serta anak-anak Septimus mengumumkan dengan suara gemetar bahwa Septimus Tonks ditemukan sudah menjadi mayat.

“Apa yang menewaskannya?” tanya Guy, ketika ia sudah ada bersama Hislop dan Chase di kamar kerja. 

“Tampaknya, tampaknya ... ia…”

“Kena setrum,” potong Guy. 

“Kita mesti memanggil dokter,” usul Hislop ragu-ragu. 

“Oh, ya, tentu saja. Tolong panggil dr. Meadows.”

Hislop menelepon, sementara Guy kembali ke tengah ibu dan saudara-saudaranya. Dr. Meadows tinggal tidak jauh dari sana. Lima menit kemudian ia sudah tiba dan memeriksa tubuh Septimus tanpa mengubah posisinya. Ia menanyai Chase dan Hislop. Chase sangat bersemangat perihal jari-jari yang terbakar. Berulang-ulang ia menyebut kata “kesetrum”.

Dr. Meadows lalu menanyai Emily sebelum menemui anggota keluarga Septimus, yaitu Guy, Arthur, Phillipa dan istri Septimus, Isabel. 

“Apa yang menyebabkan kematian?” tanya Arthur.

“Kelihatannya kesetrum. Guy, saya ingin berbicara denganmu, Phillipa, tolong dampingi ibumu. Beri kopi dengan brendi.” 

Ketika sudah berdua dengan Guy, dr. Meadows menyatakan mereka harus memanggil polisi. Begitu mendengar kata polisi, Guy jadi pucat. “Mengapa mesti memanggil polisi?” 

“Ayahmu kesetrum. Tanpa polisi, saya tidak bisa memberi sertifikat kematian.” 

Betapapun Guy meminta agar dr. Meadows memberi surat kematian tanpa membawa-bawa polisi, dokter itu tidak mau.

“Begini saja, Nak,” kata dr. Meadows. “Saya punya teman di bagian penyidikan pembunuhan Scotland Yard. Nanti saya telepon. Sekarang kau hibur dulu ibumu.”

Inspektur Detektif Kepala Roderick Alleyn datang memenuhi permintaan dr. Meadows. Ia ditemani Inspektur Fox, seorang dokter polisi bernama Curtis, seorang juru potret dan para teknisi.

Menurut dr. Curtis, tampaknya Septimus kesetrum ketika memutar kenop radio. 

Fox yang memakai sepatu karet sehingga tidak takut kesetrum, memasang steker dan radio pun mulai berkaok-kaok lagi. Steker itu lalu dicabutnya. Sementara itu tubuh Septimus yang sudah selesai diperiksa diangkut ke ruang bawah, ditemani dr. Meadows.

Ketika Meadows naik lagi ke kamar kerja, dilihatnya seorang polisi sedang memeriksa sidik jari sekitar tempat radio. Radio itu sendiri diperiksa dengan saksama. Ternyata baik-baik saja keadaannya. Cuma ada sedikit keanehan: ada lubang yang baru dibor di panel di atas kedua kenop. Lubang itu garis tengahnya kurang dari 0,5 cm. Kalau kenopnya tidak dicopot, lubang itu tidak kelihatan.

 

Galak

Alleyn meminta dr. Meadows menceritakan perihal Tonks dan keluarganya. 

“Dia orang yang tidak menyenangkan,” kata dokter keluarga Tonks itu. “Ia seorang yang berhasil maju atas usaha sendiri, orangnya keras dan kasar.” Dr. Meadows ternyata sudah mengenalnya selama seperempat abad. “Istrinya tetangga kami dulu di Dorset. Sayalah yang menolong kelahiran semua anak-anaknya. Mereka keluarga aneh. 10 tahun terakhir ini Isabel, Ny. Tonks, mengalami neurosis. Ia takut sekali kepada suaminya. 18 bulan yang lalu saya membicarakan keadaan Isabel kepada Sep. Tapi ... ah, saya tidak boleh berbicara tentang pasien saya seperti ini.”

Tentang Septimus Tonks sendiri, menurut dr. Meadows, ia menderita tekanan darah tinggi dan jantungnya lemah. Putra sulungnya, Guy, saat ini bekerja di kantor ayahnya, sedangkan Arthur ingin belajar seni tetapi dipaksa belajar hukum. Phillipa ingin belajar main sandiwara tetapi dilarang.

“Galak pada anak-anaknya,” komentar Alleyn. Dr. Meadows yang merasa terlalu banyak mengungkapkan rahasia keluarga pasiennya lekas minta diri, tetapi di pintu ia berbalik. “Semalam ada pertengkaran hebat di sini,” katanya. “Sudah sejak lama saya memesan Hislop agar ia memberi tahu saya kalau terjadi apa-apa yang menyebabkan Isabel risau.”

“Semalam Sep meneguk banyak minuman keras dan memaki-maki Phips, maksud saya Phillipa, di kamar anaknya itu. Saat Hislop menelepon, hari sudah pukul 22.20. Katanya, Isabel sudah tidur, tetapi Sep belum berhenti mengamuk. Sementara itu semua pembantu libur. Saya pesan, kalau setengah jam lagi kemarahan Sep belum reda, harap saya ditelepon kembali. Sebaiknya Hislop sendiri jangan ikut campur. Kalau ia dengar Sep sudah keluar dari kamar Phillipa yang terletak bersebelahan dengan kamarnya, tolong ia tengok gadis itu, takut terjadi apa-apa.”

“Setengah jam kemudian, saya menelepon. Tidak ada yang mengangkat telepon. Artinya semua sudah beres, mereka sudah tidur. Jadi saya pun tidur.” 

Begitulah keterangan Meadows.

 

Kenop maut

Sementara itu para teknisi yang memeriksa radio tidak menemukan apa pun yang bisa menyebabkan Septimus Tonks kesetrum. Pesawat radionya sempurna. Anehnya, tak ada satu sidik jari pun di alat itu! 

Namun Alleyn mendapatkan keanehan lain. Ketika kenop-kenop bakelit yang menempel pada batangan baja dicabut, ada sisa-sisa kertas penyerap tinta di batangan itu. 

“Biasa dilapisi kertas tinta, Fox?”

“Kertas tinta? Tidak, Pak. Buat apa?” Pentol-pentol tali penarik tirai ternyata sama persis dengan kenop radio itu. Pentol-pentol itu ia cabut hati-hati dengan tangan bersarung, lalu dipasang di batang. Ternyata pentol itu terlalu longgar.

Sepuluh menit kemudian Alleyn memanggil Guy Tonks. 

“Apa yang membunuh ayah saya? Serangan otak?” tanya Guy. 

“Belum tahu, harus dilakukan pemeriksaan jenazah dulu.” 

Guy kaget. “Pemeriksaan resmi?” tanyanya. 

“Saya kira begitu.” Alleyn bertanya siapa yang kira-kiranya mengotak-atik radio. Guy pucat dan tidak bisa berbicara.

“Kalau begitu ia meninggal gara-gara radio?” tanyanya akhirnya. 

“Hal itu akan ditentukan oleh pemeriksaan jenazah.”

“Saya tidak tahu apa-apa tentang radio,” kata Guy tiba-tiba.

“Tidak seorang pun pernah menyentuhnya, kecuali ayah saya. Tidak boleh ada orang lain dekat-dekat benda kesayangannya itu.”

“Selain ayah Anda, siapa di rumah ini yang senang radio?” 

“Adik saya, Arthur, pernah senang, tetapi ayah tidak mengizinkan ada radio lain di rumah ini.”

“Ada orang yang tidak puas terhadap ayah Anda di rumah ini?” 

Guy Tonks mengangkat dagunya. Ia memandang tajam mata Alleyn. “Semua orang.” 

Alleyn menunjuk ke dua buah tombol hitam di dalam asbak. 

“Anda,tahu apa ini?” 

“Tidak. Apa itu?” 

“Saya kira benda inilah yang menyebabkan ayah Anda meninggal.”

 

Ada yang mengotak-atik

Saat itu pintu terbuka. Arthur masuk. 

“Guy, ada apa, sih? Apa yang menyebabkan ayah meninggal?” 

Guy menunjuk ke dua kenop di asbak. “Mereka bilang itu,” jawabnya. 

Arthur kelihatan gugup dan buang muka. 

“Silakan Anda pasang pada batangan untuk mengatur volume suara,” pinta Alleyn. 

“Tapi itu ‘kan logam!” kata Arthur. 

“Stekernya dicabut, kok.” 

Arthur mengambil sebuah tombol dan memasangnya di tempat yang diminta. 

“Terlalu longgar,” katanya. “Bakal copot terus.”

“Tidak copot kalau diganjal, dengan kertas penyerap tinta umpamanya.” 

“Dari mana Anda peroleh benda ini?” tanya Arthur. 

“Kelihatannya Anda tahu, Anda melirik ke tali penarik tirai.” 

“Saya memang tahu. Soalnya, waktu ayah saya pergi tahun lalu, saya melukis Phillipa di sini dengan latar belakang tirai.”

“Eh, Pak Alleyn!” kata Guy. “Apakah Anda menuduh adik saya ....” 

“Saya?” seru Arthur. “Kenapa saya?” 

“Saya menemukan kertas pengisap tinta di kenop yang ada di radio,” potong Alleyn. “Kenop yang ditiru itu mirip betul dengan kenop bakelit. Dilihat sepintas lalu tidak kentara bedanya, cuma saja kenop ini dari logam.”

Arthur mengamati radio dengan saksama lalu berkata, “Kalaupun kenop metal ini dipakai mengganti kenop bakelit, tidak mungkin ayah terbunuh. la tidak akan kesetrum sebab kedua alat pengatur ini diamankan, dihubungkan dengan tanah.”

“Tapi lihatlah dua lubang yang dibor di situ,” kata Alleyn. Arthur memperhatikan lagi. 

“Astaga! Dia benar, Guy,” katanya. 

“Menurut Inspektur Fox, kedua lubang itu bisa dipakai untuk memasukkan kawat pengantar listrik. Dengan memanipulasi transformator, menghubungkan kawat dengan kenop dan mengotak-atik sedikit, orang yang memegang kenop bisa kena aliran listrik sekitar 300 volt.” 

Arthur membantah kemungkinan itu. “Setrumnya tak cukup kuat,” katanya.

 

Si bungsu kepergok berciuman

“Sekarang polisi ingin tahu apa yang dilakukan oleh penghuni rumah itu semalam, sebab menurut dr. Meadows, Tonks meninggal antara 3- 8 jam sebelum ditemukan.

“Saya bertemu dengannya kurang lebih pukul 20.45,” kata Guy. “Ketika saya akan berangkat ke pesta di Savoy, saya melihatnya menyeberangi ruang tengah dari ruang duduk ke kamarnya.” 

Setelah Guy pergi ternyata Arthur masih mendengar ayahnya mendiktekan sesuatu kepada Hislop. Waktu itu Hislop sebenarnya minta izin pergi merayakan Natal, tetapi ayahnya ingin Hislop menyelesaikan pekerjaan yang dianggapnya mendesak.

“Dia ‘kan biasa begitu,” kata sang putra. “Begitu ‘kan dr. Meadows?” 

“Menurut Arthur, ketika ia akan pergi ke pesta pukul 22.00, ia mendengar ayahnya marah-marah kepada Hislop.”

“Pukul berapa kalian berdua pulang?” tanya Alleyn. 

“Saya pulang pukul 00.12,” jawab Guy. Waktu itu didengarnya suara radio keras sekali, tetapi tak ada suara lain.

Arthur tak ingat pukul berapa tepatnya ia pulang, tetapi pasti setelah pukul 01.00. Rumah gelap dan sunyi.

“Anda punya kunci?” 

“Ya, kami punya masing-masing sebuah,” kata Guy. “Kunci-kunci itu selalu digantung pada paku di lobi.” Saat ia pulang, kunci Arthur tidak ada. Ibunya tak punya kunci, sedangkan kunci Phips hilang beberapa minggu sebelumnya. Guy yakin ibu dan adik perempuannya ada di rumah, tapi Arthur tidak ada.”

Alleyn meminta mereka berdua kembali ke kamar duduk dan memanggil Phillipa. 

Alleyn menjelaskan kepada si bungsu bahwa kemungkinan besar Septimus Tonks tewas kesetrum. Ia sengaja tak mau memberi kesan bahwa ia curiga Septimus Tonks dibunuh.

“Siapa yang terakhir melihat ayah Anda dalam keadaan hidup?” tanyanya. 

“Saya kira saya,” jawab Phillipa dengan tenang saja. “Saya bertengkar dengannya sebelum pergi tidur.”

Mula-mula ia tidak mau menjelaskan apa yang mereka pertengkarkan, tetapi kemudian ia mengaku juga. 

Katanya sekitar pukul 22.05, setelah Arthur pergi, ia memergoki sekretaris ayahnya, Richard Hislop, menangis. Richard itu sekretaris ayahnya yang paling awet, yang betah bekerja sampai dua tahun. Sekretaris-sekretaris sebelumnya tidak ada yang bertahan selama itu. Hislop sebenarnya sudah lama ingin berhenti, tetapi ia khawatir tak mendapat pekerjaan, sebab sebagai duda beranak dua, ia harus menghidupi dua anaknya yang sering sakit.

“Saat itu saya sadar bahwa saya mencintai dia dan dia mencintai saya. Ketika saya menciumnya, ayah muncul dan mengamuk. Ayah memerintahkan Richard pergi ke ruang kerja dan saya disuruhnya masuk ke kamar. Ayah berteriak-teriak memaki saya seperti orang gila. Mungkin karena ia banyak minum. Ia memang peminum. Ah, mestinya saya tidak menceritakan hal ini,” kata Phillipa seraya menutup matanya dengan tangan. 

“Tapi saya tak membunuhnya. Kakak-kakak saya juga tidak. Kami tidak berani.”

 

Suara radio terganggu

Ketika ayah Anda berteriak-teriak, apakah ada orang yang mendengar?” 

“Ibu mendengarnya. Ibu datang, tapi saya minta ibu cepat-cepat pergi. Saya tidak mau ibu terlibat. Soalnya, ayah pernah mau membunuh ibu. Kadang-kadang ayah ... kami tidak tahu apa yang sering terjadi antara ayah dan ibu di balik pintu tertutup.”

“Kemudian?” 

“Kemudian ayah juga menyuruh ibu pergi. Ayah lkut pergi setelah mengunci pintu kamar saya dari luar.” 

“Anda terkunci sepanjang malam?” 

“Tidak, Hislop, yang kamarnya di sebelah kamar saya, mau membukakan pintu. Cuma saya larang. Ketika Guy pulang dan lewat di depan kamar saya, saya minta ia membukakannya.” 

“Kakak Anda tahu apa yang terjadi?”

“Saya cuma bilang saya bertengkar dengan ayah.” 

“Anda bisa mendengar bunyi radio?” 

“Ya, samar-samar.” 

“Anda mulai mendengarnya setelah ayah Anda kembali ke kamar kerja?”

“Saya tidak ingat.” 

“Coba Anda ingat-ingat.” 

“Saya coba, ya? Waktu ia memergoki Richard dan saya, rasanya saya tidak mendengar suara radio. Waktu itu ‘kan ayah baru saja selesai bekerja dengan Richard. Kemudian ketika ayah baru kembali ke kamar kerja dari kamar ibu, saya mendengar suara radio terganggu. Bising sekali, lalu sunyi. Rasa-rasanya saya mendengar gangguan sekali lagi. Oh, ya sehabis bunyi gangguan itu, radiator di sebelah tempat tidur saya mati. Saya kira listrik mati. Radiator menyala lagi kira-kira 10 menit kemudian.”

“Radio ikut berbunyi?” 

“Saya tidak ingat dengan pasti seingat saya radio berbunyi lagi tak lama sebelum saya tidur.” 

Sekarang giliran Chase, si pelayan kepala, ditanyai. la baru bekerja dua bulan dan akan minta berhenti akhir minggu ini. Soalnya ia tidak betah. Menurut pendapatnya, majikannya gila.

Malam itu, kata Chase, semua pelayan merayakan Natal di luar. Mereka beramai-ramai pergi pukul 21.00. Chase berangkat terakhir, pukul 22.00 lewat. Ia kembali pukul 23.20. Pelayan lain sudah kembali dan tidur. Chase sendiri juga tidur. Mereka masuk rumah lewat pintu untuk pelayan di belakang. Dari tempat mereka tak ada yang mendengar radio.

 

Biasa menjilati jari

Dari Chase, Alleyn mengetahui bahwa Tonks mempunyai kebiasaan aneh yaitu memutar tombol tuning dan volume sekaligus. Yang satu dengan tangan kiri, yang lain dengan kanan sekaligus. Anehnya lagi ia biasa menjilat dulu jarinya. Dokter Meadows pernah memperingatkan bahwa kebiasaan menjilat jari itu berbahaya.

Chase diminta memanggilkan Richard Hislop. Pada saat Chase meninggalkan ruangan itu Fox berkata kepada Alleyn, bahwa jari basah berbahaya sekali dipakai memegang tombol yang kontak. Apalagi kalau kedua belah tangan dipakai sekaligus memutar tombol-tombol logam. 

Sementara itu diketahui bahwa di switchboard yang berada di bawah tangga, ada tanda-tanda sebuah sekring baru saja diganti. Dalam lemari di bawahnya ada potongan kabel listrik dari merek yang sama seperti yang dipakai radio dan radiator.

Hislop datang. Katanya, sehabis makan pukul 20.00, majikannya mendiktekan beberapa surat. Ia menyangkal bertengkar dengan Tonks. Namun, setelah tahu Phillipa menceritakannya kepada Alleyn, ia mengaku bahwa semalam, sebelum dipergoki berciuman dengan Phillipa, ia dimaki-maki majikannya karena membuat beberapa kesalahan. Ia menelepon dr. Meadows untuk memberi tahu pertengkaran Phillipa dengan ayahnya. Ketika suami-istri Tonks keluar dari kamar Phillipa, ia berniat menelepon dr. Meadows lagi, tetapi dicegah oleh Phillipa yang sedang dikuncikan di kamar. Ia dipesan Phillipa agar diam saja di kamarnya sendiri.

“Setelah Pak Tonks kembali ke kamar kerjanya, Anda bisa mendengar suara radio?” tanya Alleyn. 

“Ya, setidak-tidaknya saya mendengar bunyi gangguan pada radio.” 

“Anda tahu banyak tentang radio?” 

“Tidak banyak.”

Hislop dipersilakan memanggil Ny. Tonks. Isabel Tonks kelihatan pucat seperti mayat. Alleyn menanyainya dengan lemah-lembut. Kata Ny. Tonks, malam kemarin ia tidak enak badan sehingga makan di kamar. Lalu ia mendengar teriakan-teriakan suaminya memaki Phillipa. Jadi ia naik ke kamar Phillipa. Suaminya menuduh putrinya “yang tidak-tidak”. Kemudian suaminya ikut dia ke kamarnya dan terus mengatakan “yang tidak-tidak”. Ny. Tonks menduga suaminya kebanyakan minum minuman keras.

Setelah sekitar seperempat jam marah-marah di kamar Ny. Tonks, Septimus Tonks pergi melewati kamar Phillipa. Entah ke mana, mungkin ke bawah. Ia tak bisa mendengar suara radio dari kamarnya.

 

Mengigau

Kini giliran Alleyn berpikir. Guy dan Arthur mempunyai alibi. Tinggal Phillipa, Ny. Tonks, Hislop dan para pelayan.

Menurut Fox, kenop bakelit pada radio sengaja diganti dengan kenop logam dari tirai. Lalu dibuatlah lubang dekat kenop supaya bisa menyetrum orang yang memegang tombol, kawat dari adaptor ke radiator dipotong. Ujung-ujungnya dimasukkan ke dalam kedua lubang itu yang dihubungkan dengan dua tombol. Jadi ada kutub positif dan negatif. Tonks memegang sekaligus kutub positif dan negatif dengan kedua tangannya yang basah sehingga setrum melalui tubuhnya. Sekering di switchboard segera meledak. Mungkin sekali pembunuh menyiapkan hal itu pada saat Sep bertengkar dengan putri dan istrinya, yaitu setelah Arthur berangkat. Ketika Sep kembali ke kamar kerjanya sekitar pukul 22.45, ia kena setrum. Pembunuh cepat-cepat memasang lagi kawat ke radiator, mengangkat kawat-kawat maut, mengganti kembali tombol dan membiarkan radio berbunyi.

“Apakah bunyi gangguan yang didengar Phillipa dan Hislop disebabkan korsleting yang membunuh Sep?” tanya Alleyn. 

“Ya!” jawab Fox. Menurut Fox, untuk melakukan itu pembunuh paling-paling memerlukan waktu 15 menit. Fox curiga Hisloplah yang melakukannya. 

“Ini bukan pekerjaan perempuan,” katanya.

Chase dipanggil, dimintai keterangan tentang Hislop. Kata Chase, waktu Hislop sakit, ia pernah mengigau, menyatakan ingin membunuh sang majikan. 

“Tanya saja dr. Meadows,” katanya. Dr. Meadows ditelepon, diminta datang. Ia segera muncul.

“Nonsens!” katanya. “Pasti Sep kesetrum karena ulahnya sendiri. la mengotak-atik sendiri mainannya itu!”

“Mana mungkin ia membetulkannya lagi setelah tewas,” kata Alleyn. 

“Tapi Anda tak bisa menangkap orang gara-gara igauannya,” jawab dokter keluarga itu. 

“Tapi Hislop mempunyai motif lain,” ujar Alleyn. 

“Phips?” tanya dr. Meadows. 

“Ya.” 

“Astaga. Anda yakin pada alasan Anda?” 

“Ya!” jawab Alleyn tegas. “Saya harus melaksanakan tugas saya. Anda boleh pulang, Meadows.”

 

Menyimpang dari skenario

Hislop dipanggil. Ia diinterogasi. Ia mengaku membenci majikannya dan ingin membunuhnya, tetapi ia menyangkal keras membunuhnya. 

“Bukan saya! Pasti orang lain!” katanya bersikeras dengan tubuh gemetar. 

Tahu-tahu Chase muncul. “Surat buat Anda, Pak,” katanya kepada Alleyn. “Tadi diantar seseorang.”

Alleyn membuka sampul surat dan membaca beberapa kalimat, lalu berkata. 

“Anda boleh pergi, Pak Hislop! Saya sudah mengetahui siapa yang bertanggung jawab.” 

Bunyi surat itu begini: 

Alleyn yang baik,

Jangan tangkap Hislop. Sayalah yang melakukannya. Saya mencintai Isabel sejak ia belum bertemu Sep. Ia tidak mau minta cerai demi anak-anak. Namun, Sep mencurigai kami dan meneror Isabel sampai hampir gila. Saya pikir, saya harus bertindak. Beberapa minggu yang lalu saya ambil kunci Phips dari gantungannya. Saya juga menyiapkan peralatan, kabel, kawat dan semuanya. Saya tahu switchboard utama ada di bawah tangga.

Saya ingin menunggu mereka semua pergi pada malam tahun baru, tetapi semalam Hislop menelepon tentang pertengkaran itu. Saya kira saya harus bertindak cepat.

Menurut Hislop, anak laki-laki dan para pelayan sedang pergi, sedangkan Phips dikunci di kamar. Saya minta ia tinggal di kamarnya dan menelepon setengah jam lagi, kalau keadaan belum tenang. Ia tidak menelepon. Ketika saya telepon, tak ada yang mengangkat. Jadi berarti Sep tak ada di ruang kerjanya.

Saya datang dan diam-diam masuk ke kamar. Lampu di ruang kerja masih menyala. Artinya Sep akan kembali ke sana. Ia memang ingin mendengar siaran tengah malam.

Saya kunci pintu dan mulai bekerja. Cuma makan waktu 12 menit. Lalu saya pergi menunggu di ruang tamu.

Sep turun dari kamar Isabel dan masuk ke kamar kerjanya. Terjadilah yang sudah direncanakan. Diam-diam saya masuk dan membereskan semuanya.

Saya menyalakan lagi radio. Saya tahu saya akan dipanggil begitu ia ditemukan meninggal. Rencananya saya akan menyatakan ia tewas karena stroke. Saya sudah memperingatkan Isabel bahwa hal itu bisa terjadi setiap waktu.

Namun, ternyata jari Sep hitam dan Chase berkoar-koar tentang hal itu dan tentang majikannya kesetrum. Hislop juga melihat jari hitam itu. Terpaksa saya harus melapor kepada polisi. Tak saya duga kalian akan mencurigai kenop.

Saya tidak mau kalian menggantung Hislop. Bersama surat ini saya lampirkan surat untuk Isabel, yang tak akan bisa memaafkan saya. Terlampir juga surat resmi untuk keperluan Anda. Kalian akan menjumpai saya di kamar saya. Saya mempergunakan sianida. Kerjanya cepat. Maaf Alleyn. Saya harap Anda maklum. Selamat tinggal!

      Henry Meadows 

 

(Ngaio Marsh)

Baca Juga: Pembantaian Ala Nazi

 

" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682473/pak-sep-kesetrum" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301726000) } } [7]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682475" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(98) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/detektif-cilikjpg-20230213032025.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Memiliki ayah seorang sheriff membuatku jadi anak paling beruntung. Ayah kerap membawaku untuk membantu memecahkan kasus kejahatan." ["section"]=> object(stdClass)#148 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(98) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/detektif-cilikjpg-20230213032025.jpg" ["title"]=> string(14) "Detektif Cilik" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:20:47" ["content"]=> string(30608) "

Intisari Plus - Memiliki ayah seorang sheriff membuatku jadi anak paling beruntung di Pierson County. Ayah kerap membawaku untuk membantu memecahkan kasus kejahatan berkat kecerdikanku.

--------------------

Aku anak paling beruntung di Pierson County, sebab ayahku sheriff. Waktu aku meninggalkan bangku sekolah, ayah menjadikan aku sebagai anak buahnya, meski tak resmi. Terkadang aku ikut mobil patrolinya atau membantu-bantu di kantor.

Ibu sebenarnya tak setuju. Minggu lalu ia bilang pada ayah, pekerjaan sheriff itu tidak sehat buatku. Katanya, aku akan tumbuh menjadi orang yang berpikiran bahwa senantiasa manusia saling membunuh sepanjang waktu. Kubilang pada ibu, kebanyakan pembunuhan terjadi pada tengah malam, di pagi subuh dan di akhir pekan. Bukan sepanjang waktu. Ibu masih belum puas.

Pekerjaan sheriff bukan hanya melibatkan soal-soal pembunuhan. Tetapi sebenarnya lebih banyak mengurusi soal-soal, misalnya kalau ada sekawanan ternak domba seseorang tercampur dengan milik orang lain. Bukan berarti soal-soal macam itu menjemukan atau tidak penting, tapi untuk memecahkan kasus kejahatan perlu otak yang lumayan.

Sampai saat ini aku sudah ikut membantu memecahkan sejumlah kasus kejahatan. Bahkan kata ayah, aku sudah sedikit lebih cerdik daripada beberapa orang anak buahnya. Namun, ayah tidak memasukkan namaku dalam daftar gaji. Maklum, umurku baru 12 tahun.

Namun, seperti sudah kubilang, aku banyak membantu membongkar sejumlah kasus. Bahkan beberapa bisa kupecahkan sendiri. Salah satunya adalah kasus pembunuhan Cory Sampson, pembunuhan pertama yang pernah kubongkar.

Waktu itu di ujung musim panas, tepatnya hari Minggu di bulan Juni, telepon berdering di markas sheriff. Seseorang dibunuh, atau tewas dengan beberapa lubang di tubuhnya, di areal perkemahan hutan di tepi sungai. Ayah memintaku menyudahi pekerjaanku supaya kami bisa cepat pergi ke tempat kejadian untuk segera menangani perkara itu.

Joe Barton, pemilik areal perkemahan itu, bertemu dengan kami di pintu masuk. Ayah mengajaknya masuk ke mobil sebelum kami meneruskan perjalanan melewati jalan berdebu menuju perkemahan.

“Korban pembunuhan itu Cory Sampson,” kata Joe. “Bersama istrinya ia berkemah di situ sejak hari Jumat. Tak ada yang tahu siapa pelakunya.” Joe diam sejenak sebelum melanjutkan bicaranya dengan nada sedikit cemas, “Anda tidak berpikir bahwa orang gila masih berputar-putar di hutan itu sambil mencari korban lain untuk dibunuh, bukan?”

“Itu akan luar biasa,” kata ayah. “Ada keributan lagi akhir pekan ini?” tanya ayah lagi. 

“Itulah,” jawab Joe. “Kemarin beberapa orang yang berkemah di sini mengeluh karena keluarga Sampson kelewat keras memutar musik rock and roll-nya. Rupanya mereka memasang pengeras suaranya di belakang truk yang dihubungkan dengan tape deck mobil itu. Saya sudah minta Cory untuk mengurangi suaranya dan malah ia mematikannya sama sekali. Habis itu tak ada persoalan. Tampaknya, hampir tidak tampak cukup alasan bagi seseorang untuk membunuhnya.

“Hampir tidak,” gumam ayah.

Kami adalah rombongan petugas pertama yang tiba di lokasi perkemahan keluarga Sampson. Tempat itu sudah dikerumuni orang-orang lain yang berkemah bersama anak-anak mereka. Rupanya, ada yang berbaik hati memasang tali plastik di sekitar tubuh yang tergeletak tak bernyawa itu.

Sebelum kami turun dari mobil, orang-orang pada berkerumun di luar jendela ayah, berebut menyampaikan pernyataan dan informasi. “Seseorang terbunuh dengan tubuh penuh lubang,” dan “Tak ada orang tahu siapa yang melakukannya,” begitu antara lain kata mereka. Ayah segera menemui Sylvie Sampson, istri korban, dan mengajaknya masuk ke mobil patroli. Lantas ayah menyuruh semua orang berbaris berurutan menurut abjad nama belakang mereka. Ayah akan meminta keterangan dari mereka, selesai memeriksa tempat kejadian dan berbicara dengan Sylvie. Meski orang-orang itu pada menggerutu, lebih-lebih pasangan suami-istri Wynfeldt, toh mereka tetap melakukannya seperti yang diminta.

 

Kenapa bukan tiga

Cory Sampson ditemukan tewas tertelentang di atas tanah berumput alang-alang setengah meter tingginya. Tubuhnya ditembus tiga butir peluru dari depan. Satu di paha, satu di pundak dan satu lagi tepat menembus jantungnya. 

Persis di sisi kanan tubuhnya, tampak rerumputan hijau roboh bekas tertindih tubuh dan genangan darah yang sudah mengental. Kukira tubuh Cory terguling sebelum ia mengembuskan napas yang terakhir.

Tak ada petunjuk di sekitar lokasi perkemahan untuk mengira dari mana si pelaku pembunuhan bertindak. Yang ada cuma tiga luka bekas peluru menjebol keluar di bagian belakang tubuhnya. Penyelidikan lebih lanjut pada tempat itu mungkin akan memberikan beberapa petunjuk. Kami perlu menemukan paling tidak satu butir peluru supaya bisa tahu dari mana si pembunuh beraksi dan juga senjata apa yang dipakai.

Ketika rombongan petugas berikutnya tiba, ayah mulai membagi tugas. la menyuruh sejumlah anak buahnya untuk menemukan senjata, peluru dan apa saja yang tampaknya ganjil. Umpamanya sarung tangan. la juga menghubungi lewat radionya meminta sejumlah alat deteksi logam.

Kemudian ayah kembali ke mobil untuk menyatakan ikut berkabung pada Sylvie, lalu mengajaknya pergi menjauhi keramaian orang-orang untuk dimintai keterangan. Melihat wajahnya, aku berani bertaruh, Sylvie tidak sepenuhnya bersedih atas kematian suaminya.

Bukan tugasku mewawancarai orang dalam suasana dukacita. Karena itu aku berjalan-jalan sendiri sekadar melihat-lihat. Kepada Joe aku minta ditunjukkan siapa-siapa yang mengeluh soal musik Sampson yang diputar keras-keras itu. Namun, kulihat mereka tidak punya tampang untuk membunuh.

Aku mengitari mayat itu dan kutemukan sesuatu yang tidak kulihat sebelumnya. Di tempat yang rumputnya roboh rata dengan tanah di sisi mayat, tempat tubuh Cory tertelungkup sebelumnya, sebagian besar darah sudah mengering. Namun, ada dua genangan kecil yang tampak masih basah. Kenapa bukan tiga, tanyaku dalam hati. Padahal ketiga lukanya sama-sama mengucurkan darah?

 

Nyanyian kematian 

Kemudian aku berjalan menghampiri truk milik Sampson. Jendela-jendelanya terbuka. Ketika semakin dekat, kudengar bunyi klik-klik-klik yang lembut dari dalam. Kulongokkan kepalaku lewat jendela, sambil berhati-hati agar tidak menyentuh sesuatu. Tape deck dalam mobil itu masih menyala. Rupanya tape deck itu tidak mau mati dan berbunyi klik-klik-klik, meskipun kaset sudah habis. Di jok mobil itu terlihat sebuah kotak kaset. Kelompok itu bernama Demon Freshened Borax dengan albumnya berjudul Songs of Death and Parties.

“Ayah? Maaf, aku mengganggu. Tape deck milik Bu Sampson di mobilnya masih hidup. Boleh kumatikan supaya tidak habis baterainya?” Pada saat itu aku menyadari baterai habis bukan persoalannya dan aku segera minta maaf pada Bu Sampson setelah kata-kata itu meluncur dari mulutku.

Ayah bilang padaku, ia masih akan bicara dengan Bu Sampson beberapa saat lagi. Kemudian, sambil berpaling ke arah wanita itu, ia mengatakan Bu Sampson boleh mematikan sendiri tape deck-nya. Namun, ia menambahkan sambil berucap maaf, untuk sementara Bu Sampson terpaksa meninggalkan mobil dan perlengkapan perkemahannya. Ayah berjanji akan mengembalikan semua itu secepat mungkin, barangkali besok. Ayah lantas meminta salah seorang anak buahnya mengantar Bu Sampson pulang.

Ketika wanita itu sudah pergi, aku menarik ayah ke tempat mayat itu tergeletak untuk memperlihatkan penemuanku. Namun, ternyata genangan darah itu sudah mengering, tak tampak lagi apa yang sebelumnya kulihat. Aku mencoba menunjukkan padanya bagaimana darah lebih tebal di kedua noda yang tadi kulihat, tetapi ia tidak tertarik.

“Petugas pemeriksa sebab-sebab kematian sebentar lagi ‘kan datang,” katanya. “Kau boleh bilang kepadanya tentang apa saja yang kau ketahui. Sekarang kau boleh duduk-duduk saja, sementara aku menanyai para saksi.”

 

Pinjam korek api

Pertama ayah meminta keterangan pada keluarga Wynfeldt, yang lokasi perkemahan nya paling dekat dengan keluarga Sampson. Malah Sylvie sedang berada di sana saat tembakan yang menewaskan Cory terdengar.

Bu Wynfeldt yang lebih banyak bicara atau paling tidak suaranya lebih lantang ketimbang suaminya. Sekitar pukul 15.00 Sylvie datang ke perkemahan mereka hendak meminjam korek api. Bu Wynfeldt meminta tolong suaminya untuk mengambilkan sebuah buku, sementara kedua wanita itu mengobrol. Ketika Pak Wynfeldt kembali dengan buku itu, kedua wanita itu masih terus bercakap-cakap, dan saat itulah terdengar suara tembakan beruntun tiga kali yang keras dan amat dekat. Bu Wynfeldt membiarkan suaminya menirukan bunyi tembakan itu, “dor ... dor ... dor.” Masing-masing terdengar berselang satu detik atau malah kurang.

Ledakan tembakan itu terdengar seperti datang dari lokasi perkemahan Sampson. Belum sesaat setelah bunyi itu berlalu, Sylvie Sampson yang tampak cemas berlari “bagaikan angin” - menurut istilah Bu Wynfeldt - untuk menemui suaminya yang malang. Bu Wynfeldt menggeleng-gelengkan kepala dengan muka sedih.

Keterangan para saksi selebihnya tak cukup penting untuk ditambahkan. Cuma, mereka sependapat bahwa rentetan tembakan itu terdengar cepat dan teratur. Tak ada orang yang mendengar atau melihat seseorang berlari dari tempat kejadian.

Hari mulai gelap ketika kami selesai menanyai para saksi. Ayah mengecek anak buahnya dan petugas pemeriksa sebab-sebab kematian untuk mengetahui apa yang mereka temukan sementara itu. Rupanya mereka berhasil menemukan dua butir peluru. Sementara itu bagai orang gila mereka coba menemukan peluru ketiga, tetapi hasilnya nihil. Tidak juga senjata dan sarung tangan. Dari kedua peluru itu mereka menduga senjata yang dipakai murahan dan meskipun peluru bisa ditemukan, tetapi senjata itu tetap tak bisa dilacak.

Sebentar aku berkeliling lagi sementara mereka berkemas-kemas. Kutengok ke dalam truk itu. Sylvie rupanya sudah mematikan tape deck-nya. Malah, kasetnya pun ikut diambilnya. Karena hasil penyelidikanku yang pertama tadi tak banyak menarik perhatian ayah, temuanku kali ini pun tak kuceritakan padanya.

 

Mereka tampak bahagia

Dalam perjalanan pulang, aku bertanya apa yang ayah pikirkan. Katanya, karena bukti-bukti fisik itu tidak memberikan petunjuk, ia akan menempuh cara lain lewat pendekatan pribadi. Seperti mengorek kehidupan rumah tangga Cory dan Sylvie, melihat apakah mereka baru saja ikut asuransi jiwa, melihat bagaimana hubungan kedua suami-istri itu, mengecek hubungan bisnis Cory dan apakah ia berutang pada seseorang.

Aku bertanya apakah terpikir oleh ayah bahwa rasanya aneh Cory terbunuh pada saat Sylvie berada di tempat lain.

“Maksudmu, barangkali Sylvie yang membunuhnya dan dengan keberadaannya di tempat lain ia jadi punya alibi yang kuat?”

Aku mengangguk. 

“Ya, itu mungkin,” kata ayah. “Tapi yang lebih mungkin, siapa pun pembunuhnya ia menunggu saatnya di balik kerimbunan semak sepanjang hari.”

Hari berikutnya pun tidak diperoleh keterangan tambahan tentang kematian mendadak Cory Sampson. Senjata yang merenggut nyawanya tidak bisa dilacak. Juga tak berhasil ditemukan peluru yang ketiga atau bukti fisik lainnya. Penembakan diduga dari arah hutan, sehingga mungkin pelakunya melarikan diri bukan dengan mobil. Sebab, tak ada satu saksi pun yang melihat atau mendengar mobil meninggalkan tempat kejadian.

Teman-teman dan kerabat dekat, juga para tetangga mereka menyatakan Cory dan Sylvie tak pernah terlihat sebagai pasangan yang harmonis. Namun, belakangan ini mereka kelihatan begitu bahagia. Aku belum tahu-menahu soal perkawinan, tapi dugaanku mengarah pada Sylvie. Sebab, menurut perhitunganku andaikata seorang istri berniat hendak membunuh si suami, ia akan bersikap manis didepan suaminya, sehingga diharapkan orang tak akan punya pikiran sang istrilah pelakunya.

Tak ada asuransi baru yang diikuti dalam kehidupan Cory, tetapi polis yang sudah dia miliki tak akan membuat Sylvie berpaling pada pria lain.

Sewaktu pulang ke rumah malam itu, aku bertanya pada ayah apa yang akan dilakukannya kemudian. Ayah menatap jalanan gelap di depannya sambil mengangguk-angguk. “Aku tidak tahu,” gumamnya. Karena itu aku putuskan untuk bekerja sendiri di hari berikutnya.

 

Bikin sakit jiwa

Pagi harinya, segera setelah bangun, aku meloncat ke atas sepedaku dan kudayung menuju kota. Ternyata aku lupa, toko kaset itu baru buka pukul 10.00. Kusandarkan tubuhku ke dinding toko itu. Semakin aku berpikir soal itu, Demon Freshened Borax kian menancap di benakku. Mengapa Sylvie membeli kaset itu? Bisa juga, kaset itu dibeli tanpa maksud apa-apa. Namun, ada baiknya diketahui. Aku tidak tahu apa yang ingin kudengar dari kaset itu, tapi perlu juga dicoba.

Persis pukul 10.00 Pak Stone muncul dan mengajakku masuk ke tokonya. Rupanya Pak Stone tak punya album Songs of Death and Parties. “Itu bukan musik untuk anak-anak ‘kan?” ujar Pak Stone tua itu.

“Untuk ibuku,” aku berdusta. 

Pak Stone mengernyitkan kening. “Aku mau menolongmu menelepon toko-toko lain, siapa tahu ada yang punya.” Aku sangat menghargai pertolongannya.

Akhirnya Pak Stone menemukannya di The Headbanger’s Ballroom, sebuah toko kaset sekitar 10 km dari kota. 

“Musik serius, Nak,” kata orang yang hidungnya dicocok cincin, dari balik counter toko itu. Tampaknya ia senang dengan pilihanku.

Pada bungkus kaset itu tertulis, “Album ini berisi lirik yang bisa membuat luka hati seseorang.” 

“Album ini juga bisa membuat orang sakit jiwa,” kata orang itu pula. 

Kubilang padanya betapa sulitnya aku mencari-cari album ini. Begitu kubayar, aku bergegas pulang.

Tak sampai sepuluh detik sejak aku memasang album itu di tape milik ayah, ibu menutup pintu karena tak mau ikut mendengar musik itu. Sambil berbaring di ranjang aku menyimak lirik-lirik lagunya dan mencoba mengikutinya. Cara mereka bernyanyi sulit diikuti. Lagu pertama berjudul Things Me and Sis Do with Knives. Anjing pun bisa berang bila mendengar syair lagu ini. Lagu itu ditutup dengan sebuah teriakan, sepertinya Sis akhirnya menghunjamkan pisaunya ke tubuh lelaki yang dikisahkah dalam lagu itu.

Let the Party Begin judul lagu kedua. Ternyata lagu ini diawali dengan bunyi tembakan beruntun tiga kali “dor ... dor ... dor”, yang terdengar amat keras. Sebab, tak dilatarbelakangi alunan musik. Rupanya irama dentuman tembakan beruntun itu menjadi penentu tempo lagu selanjutnya.

 

Untung bukan jidatku

Aku menelepon ayah dan minta segera dijemput. Waktu ayah datang, aku sudah siap dengan sebuah sekop, gunting kebun dan sebuah mesin peniup sampah yang kupinjam dari tetangga. Aku juga mengantungi kaset berisi suara tembakan yang kurekam di rumah dari album yang kubeli itu. 

“Ada apa?” tanya ayah ketika aku sedang memasuk-masukkan perkakas kebun itu ke dalam wadahnya.

“Akan kutunjukkan bagaimana Sylvie membunuh Cory,” jawabku. “Ayo, kita ke lokasi perkemahan itu.”

Mula-mula ayah memandangi perkakas yang kubawa itu, lantas menatapku seolah aku ini sudah sinting seperti kata pemilik toko kaset tempat aku membeli album itu. “Ia tidak dibunuh dengan mesin peniup sampah,” ujar ayah sinis.

“Ingat pencuri-pencuri itik itu,” kataku tentang kasus yang pernah kubongkar. “Ingat Peeping George?” Kuperlihatkan kejengkelanku padanya, yang hampir selalu membawa hasil. “Bukankah aku ini juga seorang anak buah sheriff, meski tak resmi?” kataku merengek.

“Baik, baiklah,” kata ayah kemudian. 

“Ayo.” Dalam perjalanan kupasang kaset itu pada tape mobil ayah sambil kuperhatikan jam, sebab tiga menit sebelum berbunyi kaset itu tak mengeluarkan suara apa-apa. Kuputar tombol suaranya. “Aku memasang kaset,” kataku.

“Tak terdengar apa-apa,” ujar ayah. 

“Sebentar lagi,” kataku. 

Tepat pada saat kaset itu mengeluarkan bunyi rentetan tembakan, tombol suara kuputar sedikit lebih keras. Ayah kontan menginjak pedal rem kuat-kuat sampai-sampai mobil berputar. Cepat-cepat ayah menyuruhku membungkuk untuk berlindung di jok depan, lantas ia turun dari mobil sambil mencabut pistolnya.

“Aduh, Ayah,” kataku dengan perasaan agak takut. “Itu ‘kan suara dari kasetku.” 

Untung saja ayah tidak lantas mengarahkan pistolnya ke jidatku.

Dalam sisa perjalanan ke lokasi perkemahan itu, kuceritakan padanya tentang pikiranku bahwa dalam kasus itu Sylvie menggunakan kaset persis seperti yang baru saja kulakukan. Sylvie berbuat begitu agar seolah-olah Cory tertembak pada saat Sylvie sedang mengobrol di lokasi perkemahan keluarga Wynfeldt. Kukatakan padanya, Sylvie menyembunyikan kaset itu sebelum meninggalkan tempat kejadian. Juga sekali lagi kukatakan bagaimana tape deck itu menyala waktu kita sampai di tempat kejadian. Semua itu amat menarik, kata ayah, tetapi dia tak melihat bagaimana cara membuktikannya.

Itulah sebabnya, kataku, kenapa sekarang kita pergi ke lokasi perkemahan itu. Kujelaskan juga padanya, aku perlu mengaduk-aduk tempat itu. Namun, ayah bilang itu sudah dilakukan oleh para anak buahnya dan mereka tidak menghasilkan apa-apa.

 

Enak juga punya bawahan

Sampai di tempat tujuan, kami keluarkan semua perkakas kebun yang kubawa. Sepertinya ayah tidak percaya sepenuhnya kepadaku dan nyatanya aku sendiri pun tidak terlalu yakin bahwa dugaanku selama ini akan terbukti benar.

Yang pertama kulakukan adalah membabati rumput-rumput yang tumbuh di atas tanah yang terlumuri darah itu, di sisi mayat ditemukan. Sambil bekerja, kusampaikan pada ayah jalan pikiranku.

“Bagaimana menurut Ayah,” tanyaku, “tubuh Cory berguling sendiri atau ada yang menggulingkannya setelah ia ditembak?”

Ayah cuma mengangguk-angguk. 

“Baik,” lanjutku, “kupikir kita bisa menentukan bahwa tubuh Cory tidak berguling sendiri. Orang yang baru saja tertembak tentunya masih akan mencoba melarikan diri dan mencari pertolongan. Cory barangkali sudah tak mampu lagi berdiri, tetapi aku tidak berpikir ia memilih berjalan seperti kepiting daripada merangkak. Jika begitu tertembak ia roboh dalam posisi tengkurap, ia akan tetap begitu dan mencoba merayap sebisa mungkin dalam posisi itu.”

Ayah mengangguk-angguk lagi dan tampaknya kali ini ia terkesan oleh kata-kataku. Sebelumnya ia tidak punya pikiran seperti yang kuutarakan itu. “Lalu menurutmu apa yang terjadi kemudian?”

“Kukira Sylvie yang menggulingkannya hingga telentang.” 

“Mengapa?”

Aku tidak menjawab sebab aku sudah memegang gunting dan mulai mencukuri rerumputan itu. Lantas kunyalakan mesin peniup sampah untuk menyingkirkan potongan-potongan rumput. Seperti sudah kuduga, tanah berwarna jingga tua itu berlumur darah yang sudah mengering. Kuambil sekop lantas kusodorkan pada ayah.

“Kau suruh apa aku?” tanya ayah. 

“Ambil satu inci tanah itu,” kataku. “Satu inci, jangan lebih.”

Ayah melakukannya seperti yang kuminta. Ternyata enak juga punya anak buah yang bisa disuruh-suruh, pikirku.

“Kenapa aku mesti melakukan ini?” tanya ayah.

“Mungkin Ayah lupa,” kataku, “sebab Ayah tidak melihat persoalan ini secara serius. Begitu kita sampai di tempat kejadian waktu itu, aku ‘kan sudah mencoba bilang bahwa Cory hanya ditembak dua kali sebelum roboh.”

“Tidak mungkin,” kata ayah. “Cory tidak mungkin roboh secepat itu. Rentetan tembakan itu berlangsung amat singkat.

Karena itu mustahil ketiga peluru itu dilepaskan pada dua keadaan, dua ketika Cory dalam posisi berdiri dan satu lagi setelah roboh.”

“Kaset itu,” aku mengingatkan ayah. “Umpamanya saja tembakan yang terakhir itu dilepaskan sewaktu Cory sudah roboh, apakah ayah akan percaya bahwa Sylvie memalsukan suara-suara tembakan yang didengar oleh orang-orang itu?”

 

Cuma dua noda

Ayah selesai menggali dan ketika kulihat ke tanah aku merasa agak senang. Hanya dua tempat di tanah itu yang ternoda oleh tetesan darah. Dan posisi kedua tempat itu sesuai dengan kedua luka tembakan di pundak dan di paha. Meskipun, luka pada jantung yang paling banyak mengucurkan darah. Aku menatap ayah. “Karena tubuh Cory tengkurap di sini, darahnya merembes ke dalam tanah. Benar?”

“Benar,” ayah mengakui. 

“Pundak,” kataku sambil menunjuk noda darah bagian atas. “Paha,” sambil menunjuk noda bagian bawah.

Aku meraih gunting dan mulai memotongi rumput di tempat Cory ditemukan tewas terbaring menghadap langit. Kupilih tempat yang kira-kira pas dengan dadanya. Kucukur rumput-rumput di sekitar tempat itu, lalu kuhidupkan mesin peniup sampah dengan menarik tali starternya. 

“Ayah akan melihat sebuah lubang kaliber 38 di tanah yang kucukur ini,” teriakku di sela-sela gemuruh mesin peniup sampah.

Sebutir peluru kaliber 38 yang kutemukan menembus tanah sedalam 15 cm, menjadi bukti terakhir bahwa ketiga tembakan yang terdengar oleh orang-orang itu bukan tiga tembakan yang menewaskan Cory Sampson.

 

Kelewat hati-hati

Waktu dihadapkan dengan fakta-fakta dan juga barang bukti lainnya, Syivie tidak membuang-buang waktu untuk mengakui perbuatannya. la memang sudah berbulan-bulan berpikir untuk bisa menghabisi Cory, tapi selama itu ia belum menemukan caranya. Suatu malam Cory membawa pulang album lagu-lagu dari kelompok Demon Freshened Borax yang tak disukai Sylvie. Namun, lagu kedua dari album itu justru melahirkan inspirasi dalam benaknya.

Syivie mengaku hanya melepaskan tiga tembakan dengan senjata gelap kaliber 38 yang dibelinya berikut sebuah peredam suara. Senjata itu hanya diisinya dengan tiga peluru. Tidak lebih. Akhir pekan di bumi perkemahan itu Sylvie menunggu suasana yang ramai untuk menembak Cory, hanya untuk meyakinkan bahwa peredam suara itu berfungsi dengan baik.

Ketika terdengar ada orang mulai menebang pohon dengan gergaji mesin yang suaranya bergemuruh, Sylvie beroleh kesempatan. Dari arah hutan, Sylvie memanggil-manggil nama Cory sehingga suaminya itu menghadap ke arahnya. Saat itulah ia melepaskan dua tembakan. Tak puas dengan hasil bidikannya, meski sasarannya sudah roboh ke tanah, dibalikkannya tubuh Cory hingga telentang. Dari jarak semeter dilepaskannya peluru terakhir, yang kali ini telak menembus jantung suaminya.

Sylvie berjalan dengan tenangnya ke pinggir sungai membuang senjatanya serta sarung tangan yang dikenakannya untuk berjaga-jaga andaikata senjata itu ditemukan. Kembali ke mobil, dinyalakannya tape deck dan diputarnya tombol suara pada tanda keras sebelum memasang kaset itu. Segera Sylvie bergegas menuju ke perkemahan keluarga Wynfeldt yang cuma berjarak 150 m dari tempat kejadian. Di sana ia mengobrol bersama Bu Wynfeldt sampai rentetan suara tembakan itu terdengar.

Kelewat berhati-hati, itulah kesalahan Sylvie. Yakni mencoba menyingkirkan kaset yang sudah diketahui seseorang, dalam hal ini aku. Kalau tidak, barangkali Sylvie akan bersih dari persoalan ini.

Diketahui bahwa Sylvie sampai hati membunuh suami sendiri karena rasa cemburu. Semakin panas hatinya ketika untuk kesekian kalinya ia memergoki Cory ada main dengan seorang wanita teman kerja suaminya.

Ayah berjanji padaku. Ia akan meyakinkan supaya aku mendapat penghargaan karena berhasil membongkar kasus pembunuhan Cory Sampson. Asal, aku pun berjanji tidak mencalonkan diri menjadi sheriff melawan ayah tahun berikutnya. Aku setuju dan kupikir aku bisa menunggu sampai umurku 15 tahun. (Steve Barancik)

Baca Juga: Bumerang Cinta Karla

 

" ["url"]=> string(59) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682475/detektif-cilik" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301647000) } } [8]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682499" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/maut-di-teluk-busukjpg-20230213031949.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Setelah berhasil membunuh istrinya, Hector mengincar putri tirinya. Untuk itu ia membuat rencana terperinci demi mendapatkan harta warisan." ["section"]=> object(stdClass)#152 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/maut-di-teluk-busukjpg-20230213031949.jpg" ["title"]=> string(19) "Maut di Teluk Busuk" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:20:01" ["content"]=> string(42173) "

Intisari Plus - Setelah berhasil membunuh istrinya, Hector mengincar putri tirinya. Untuk itu ia membuat rencana terperinci demi mendapatkan harta warisan.

--------------------

Bukan cuma perusahaan besar, tetapi pembunuhan juga membutuhkan perencanaan yang cermat. Begitu kesimpulan Hector Griffiths, manajer produksi pada Perusahaan Gliss yang bergerak di bidang industri pembuatan cairan pembersih untuk rumah tangga. Perkawinannya dengan Melissa Wintle, janda kaya beranak satu, juga berkat kemampuannya menyusun rencana. Bahkan juga kematian Melissa tiga tahun kemudian, akibat mengisap gas dari alat pemanas ketika Griffiths sedang ke luar negeri.

Sialnya, wasiat Melissa menyatakan seluruh harta kekayaannya menjadi milik Janet. Bukan Hector Griffiths, suaminya yang kedua itu. Janet (15) adalah anak perempuan Melissa dari perkawinannya yang pertama. 

 

Rencana gaya manajer

Maka, ketika Hector Griffiths (52) menyadari penghasilannya dari Gliss terus tersedot untuk merawat sebuah flat, cottage, mobil Mercedes dan perahu motor, dan juga tanggung jawab mengasuh Janet, anak tirinya, mulailah ia menyusun rencana.

la memiliki catatan sebagai bahan kuliah yang diajarkannya pada kursus latihan staf di perusahaan tempatnya bekerja.

Catatan itu berisi tentang langkah-langkah untuk melemparkan sebuah produk baru ke pasaran. Tak kurang direktur pemasaran untuk Eropa pada perusahaan itu memberinya acungan jempol atas bahan kuliah yang dibuatnya itu.

Catatan yang sudah diketik rapi oleh sekretarisnya itu tersimpan dalam map plastik biru. Pada halaman terdepan dari catatan tersebut ditulisnya dua petunjuk.

Pertama, sediakan waktu untuk membuat perencanaan, meski harus menunda pelemparan produk ke pasaran. Ketidaksabaran melahirkan kesalahan dan kesalahan itu mahal.

Kedua, Anda harus membuat keputusan pokok tentang produk itu dan waktu yang tepat untuk melemparnya ke pasaran. Jangan terpengaruh oleh pikiran-pikiran yang timbul kemudian. Jadwal yang tertunda merugikan.

Petunjuk ketiga yang tak tertulis, tetapi sama pentingnya, menyatakan, sebelum tindakan diambil terhadap sebuah produk baru, sebaiknya sediakan waktu untuk melakukan desk work. Maksudnya, proyek harus dikaji dari pelbagai segi, dicek seteliti mungkin dsb. Hal ini akan memudahkan jika kelak timbul masalah ketika waktu untuk berpikir sudah menjadi barang mewah.

Hampir tiga bulan setelah kematian Melissa, Griffiths baru melakukan desk work terhadap rencana barunya.

Kematian Melissa bertepatan dengan Hari Raya Paskah. Waktu itu Janet ada di rumah sebab ia sedang liburan sekolah. Ia tinggal di asrama sekolahnya di Yorkshire, sementara orang tuanya di London. Gadis yang pendiam itu sedang tidur ketika kecelakaan di kamar mandi yang merenggut nyawa ibunya itu terjadi. Sayang bagi Griffiths, kenapa anak tirinya tidak bersama ibunya ketika itu. Kalau itu terjadi, Griffiths tak perlu repot-repot lagi.

Namun, seperti selalu diutarakannya di depan peserta kursus latihan staf, keberhasilan jarang diperoleh dengan mudah. 

Griffiths belum tahu persis apa yang hendak dilakukannya terhadap Janet. Namun, sementara ini ia harus bersikap sebagai ayah tiri yang baik bagi Janet yang kini jutawan itu.

 

15 bulan lagi

Gadis-gadis seusia Janet jarang ditemukan meninggal secara mendadak. Jadi tak bisa dielakkan, Janet harus dengan sengaja dibunuh.

Ia memutuskan akan melakukannya sendiri, sebab pernah memiliki pengalaman buruk di kantor ketika ia melimpahkan tanggung jawabnya kepada orang lain untuk pelemparan satu produk Gliss ke Eropa.

Waktu yang tepat untuk “memasarkan produk” (membunuh) amat penting.

Ia memutuskan harus menunda pembunuhan. Soalnya, kematian Melissa baru saja terjadi. Kecelakaan yang terjadi beruntun akan bisa mendorong pihak berwajib melakukan penyelidikan secara lebih teliti. Untuk membunuh benih-benih kecurigaan, Griffiths harus terus menanamkan kesan bahwa ia penuh perhatian kepada anak tirinya.

Namun, lamanya penundaan harus dibatasi. Dalam wasiatnya, Melissa memang sedikit memberi bagian kepada Griffiths yang hanya cukup untuk menopang gaya hidupnya yang sekarang selama 18 bulan. Itulah batas paling lama penangguhan pembunuhan.

Di mana pembunuhan akan dilakukan? Selama ini Janet tinggal di asrama sekolah di Yorkshire. Kehadiran Griffiths di asrama tentu akan mengundang pertanyaan. Jadi pembunuhan harus dilakukan pada masa liburan sekolah. 

Pertimbangan-pertimbangan di atas dan juga faktor-faktor lain membawa Hector kepada kesimpulan bahwa pembunuhan dilakukan pada liburan musim panas tahun berikutnya. Sekitar 15 bulan lagi. Penantian yang cukup lama memang, tapi seperti disadarinya, ketidaksabaran melahirkan kesalahan.

Pembunuhan yang akan dilakukannya mestinya harus sedemikian rupa, sehingga seolah-olah ia tak terlibat.

Griffiths bisa memilih. Kematian Janet harus tampak seperti kecelakaan atau ia harus punya alibi yang kuat pada saat kematian Janet. Atau lebih baik lagi gabungan dari keduanya.

Ia memilih, kematian Janet seolah akibat kecelakaan. Untuk menghindari penyelidikan polisi terhadap dirinya, sebaiknya kecelakaan itu terjadi pada saat ia sedang bertugas di luar negeri. Padahal, pembunuhan itu hendak ditanganinya sendiri. Akibatnya pada saat yang sama ia harus berada di dua tempat yang berbeda. Bagaimana mungkin?

Akhirnya, Griffiths memutuskan untuk “memainkan” waktu terjadinya pembunuhan.

Itu memerlukan banyak penelitian, banyak membaca buku-buku tentang masalah peradilan yang menyangkut kematian.

 

Telur busuk

Ketika Janet libur panjang di musim panas, anak tirinya itu setuju untuk tinggal bersamanya di pondok peristirahatan di Cornwall sepanjang bulan Agustus. Waktu Melissa masih hidup, mereka memang biasa tinggal di sana setiap akhir pekan. Awal bulan Juli Griffiths pergi ke sana untuk mengecek pondok itu.

Griffiths suka sekali naik perahu motor di sana. Bahkan Letkol Donleavy, yang sering minum bersama Griffiths di Yacht Club pun senang sekali memandang ke arah teluk tempat perahu itu tertambat. Ia mengagumi bangunan bercat putih yang berdiri di kaki bukit di tepi pantai. “Pondok itu indah sekali,” ujar Donleavy. Perahu motor itu pun tak kalah indahnya. Griffiths tak mau kehilangan keduanya.

Pada masa-masa perkenalan dengan Melissa, ia suka membawa Melissa ke tempat-tempat yang terpencil dan sulit dijangkau, antara lain ke sebuah gua di tengah laut. Orang hanya bisa masuk pada saat air laut surut begitu rendah. Gua yang tersembunyi itu ia temukan dengan tak sengaja waktu pertama kali ia pergi bersama Melissa naik perahu. Kurangnya pengalaman soal navigasi membawa perahu mereka menghampiri bukit-bukit karang yang berbahaya. Ketika hendak mencoba menghindar, ia tercebur ke laut. Sekilas matanya menangkap ruang gelap di bawah sebuah lengkungan di sebuah bukit karang.

Disuruhnya Melissa membuang sauh, sementara ia berenang ke mulut gua dan lenyap di balik lengkungan batu karang. Pantulan sinar matahari dari permukaan air laut cukup menerangi gua kecil berlantai pasir itu.

Ketika Griffiths muncul kembali, ia memanggil Melissa untuk mengikutinya. Di dalam gua itulah janji Melissa untuk menikah dengan Hector Grifftihs diikrarkan.

Bila cuaca panas, bau busuk yang menusuk akibat ganggang laut yang membusuk tersebar di sekitarnya. Tak heran kalau tempat itu kemudian dijuluki Teluk Busuk.

Ketika ia melewati kembali mulut gua yang tersembunyi itu, rencana pembunuhan itu pun mulai terbentuk dalam benaknya.

Adalah Donleavy yang banyak berjasa kepada Hector memberi tahu tentang hal-hal yang menyangkut pelayaran. Terutama soal siklus pasang surut air laut yang berperiode 28 hari itu. Ditunjukkannya pula tabel-tabel pasang surut. Juga Donleavy yang memberi tahu bahwa tanggal terjadinya pasang surut bisa diramalkan sebelumnya.

 

Tempat ideal untuk pembunuhan

Selama liburan, Janet yang memang pendiam itu terlihat lesu dan tak bergairah. la seperti masih tenggelam dalam kesedihan akibat kematian ibunya. Selain mencorat-coret membuat sketsa, kelihatannya Janet tidak punya keinginan lain. Kawan pun tampaknya ia tak punya. Cuma kepada dua orang bibi Melissa yang sudah tua yang tinggal di Stockport, Janet selalu menyempatkan diri berkirim kartu pos.

Saat air laut mengalami surut yang terendah, Griffiths berlayar sendirian menuju gua itu.

Griffiths mematikan lampu senternya ketika sudah berada di dalam gua setinggi kapel itu. Di sana teronggok reruntuhan batu karang yang menyerupai sebuah pilar yang tinggi. Gua itu sendiri cukup bersih. Tak nampak bekas-bekas seperti kaleng minuman atau bungkus kue yang menandai orang lain pernah pula menemukan tempat itu.

Di tengah gua mengalir parit kecil yang berasal dari rembesan dinding gua. Ia lega, jejak-jejak kakinya lenyap terendam air setelah mencoba menginjak-injak lantai pasir itu.

Rasanya tak mudah menaiki pilar itu sebab batu-batu besar itu bergoyang-goyang ketika dipegang, sementara batu-batu kecil berguguran terinjak kaki. Meski begitu, sampai juga ia di puncak reruntuhan yang tingginya sekitar 4,5 m itu.

Ia merogoh sakunya mengambil selembar kantung kertas, yang lantas ditiupnya hingga sebesar kepala. Dilepasnya kantung kertas itu ke bawah, lalu ia mencoba melemparinya dengan batu-batu besar. Kantung itu akhirnya meledak, setelah lemparannya telak mengenai sasaran. Serpihan kertas berserakan di hamparan pasir yang lembap.

Hector Griffiths meninggalkan gua dan kembali untuk makan siang bersama anak tirinya.

 

Kartu pos tidak dikirimkan

Dalam pekerjaannya sebagai manajer, Griffiths tahu kemasan bisa mematikan produk yang baik, tapi sebaliknya bisa membuat produk yang tidak baik jadi laku dijual. Kemasan juga bisa membuat produk asli tampak palsu, tetapi dapat pula membuat produk lama tampak seperti baru.

Dengan pengertian itu, Hector Griffiths yakin bisa membuat polisi percaya bahwa suatu pembunuhan merupakan kecelakaan dan mayat yang sudah agak lama menjadi tampak seperti agak baru.

Seperti terhadap hal-hal yang lain, ia biasa menyusun rencana dengan baik. Kebetulan korban yang hendak dibunuhnya memiliki sifat yang bisa dimanfaatkannya untuk mendukung keberhasilan rencananya, yakni sikap malas. Ketika itu Janet meminta tolong ayahnya mengeposkan kartu-kartunya untuk kedua bibi Melissa di Stockport.

Griffiths tidak mengeposkannya, tetapi menyimpan saja kartu-kartu itu ke dalam map biru.

Tak banyak yang harus dilakukan Griffiths setelah itu. Maka ia menghabiskan sisa waktunya di Cornwall untuk bermanis-manis dengan Janet dan minum-minum bersama Donleavy di Yacht Club.

Di sana ia mendengarkan pengalaman Donleavy tentang kelautan. Sementara ia sendiri bercerita soal anak tirinya. Griffiths mengaku tak merisaukan apa-apa tentang Janet, kecuali bahwa Janet terlalu pendiam. Ia sudah berusaha menyenangkan hatinya, tetapi tampaknya yang ingin dilakukan Janet hanyalah bermenung-menung di sekitar pondok atau berjalan-jalan sendiri. Janet memang sedikit suka melukis. “Bukankah yang berbaju biru dan keluar lewat pintu belakang pondok itu Janet?” kata Griffiths. Donleavy menatap lewat kacamatanya dan mengiyakan, meski terlalu jauh baginya untuk melihat sosok itu dengan jelas.

Bila Griffiths berada di Yacht Club pada malam hari, ia berusaha menarik perhatian Donleavy untuk melihat lampu-lampu pondok yang dipadamkan ketika Janet hendak pergi tidur. Ia selalu tidur menjelang pukul 22.30. Janet memang gadis yang aneh.

Donleavy tertawa. Katanya, setahun lagi gadis itu akan berubah menjadi gadis yang siang malam dikunjungi teman-teman prianya. Tetapi Griffiths tidak berharap demikian.

 

Menyimpan koran

Liburan musim panas itu pun berlalu.

Ketika Griffiths kembali ke kantornya, ia menemukan surat berisi pemberitahuan tentang akan dilangsungkannya Intersan, sebuah pameran internasional pembersih untuk rumah tangga di Hamburg yang dimulai tanggal 9-17 September tahun depan.

Ini kesempatan baik, pikirnya. Ia menelepon wakilnya dan meminta dia mewakili perusahaan ke pameran yang masih akan berlangsung cukup lama itu.

Pada tanggal 14 September, Hector Griffiths menyimpan secarik Surat Kabar Daily Telegraph dalam map biru bersama kartu-kartu pos Janet.

Tampaknya, tak ada masalah untuk “memainkan” waktu pembunuhan. Namun, rasanya masih ada sesuatu yang kurang ketika ia meneliti kembali rencananya. Ya, ia memerlukan barang bukti yang mendukung keberhasilan proyeknya. Maka, sementara ia mencurahkan pikirannya pada soal pemasaran sikat serba guna yang akan datang, ia tetap membuka pikirannya. Siapa tahu ada inspirasi lain.

Bulan demi bulan berlalu. Griffiths dan Janet berhari Natal dengan tenang di London. Ia merasa lega sebab Janet tidak tampak berubah seperti diramalkan Donleavy. Janet justru semakin pendiam. Satu-satunya perubahan hanyalah bahwa ia ingin meninggalkan sekolahnya. Griffiths setuju, bahkan menyarankan agar Janet meninggalkan sekolahnya pada akhir musim panas, lantas bergabung dengannya selama bulan Agustus di cottage. Di sana mereka bisa memikirkan masa depan Janet.

 

Cokelat memberi ilham

Beberapa bulan sebelum produk sikat serba guna dilempar ke pasaran, Griffiths harus datang ke biro iklan untuk menyetujui kampanye iklan produk baru itu. Ia pun menemui petugas pelaksana jasa periklanan pada biro iklan tersebut.

Tampaknya ia merasa kurang puas. Kepada si petugas ia minta diputarkan iklan TV bagi produk itu, melihat artwork dan rancangan kampanye iklannya.

Setelah menyaksikan iklan TV untuk sikat serba guna itu, Griffiths iseng-iseng bertanya kepada petugas itu, proyek apa lagi yang sedang dikerjakannya.

Pria muda itu menjawab, ia sedang menangani iklan permen cokelat kacang baru untuk suatu perusahaan makanan terbesar di negeri ini. Nama permen itu Nuggy Bar. Kampanye besar-besaran akan dilakukan di seluruh negeri lewat surat kabar, gedung bioskop, TV dan radio. Produk itu sudah diuji coba di wilayah Tyne-Tees dan baru setelah tanggal 10 September makanan itu dilempar ke pasaran dan akan bisa dibeli di setiap toko di negeri itu. Griffiths mencicipi sepotong Nuggy Bar yang dibungkus kertas warna emas dan biru. Pria muda itu mempersilakan ia mengambil sebanyak ia suka. Hati Griffiths berdebar karena ia merasa bisa memanfaatkan Nuggy Bar untuk rencana pembunuhannya.

Dimasukkannya cokelat itu ke dalam sakunya. Sebelum pergi, ia berpesan kepada petugas biro iklan itu untuk memperbaiki iklan TV sikat serba guna yang sepertinya dibuat serampangan itu.

 

Belanja untuk peralatan

Untuk menunjang proyek pembunuhannya, pada bulan Juni Hector Griffiths membeli sebuah perahu karet dan sebuah motor tempel pada agen perahu yang kurang dikenal di London Utara.

Akhir minggu berikutnya ia pergi ke Cornwall. Setelah berkonsultasi dengan Donleavy, ia membeli perahu karet satu lagi berikut motornya.

Tiga hari kemudian di toko yang tak bernama, ia membeli semacam alat yang bisa disetel untuk mematikan lampu secara otomatis. Lantas dengan sembunyi-sembunyi dibelinya boneka karet berbentuk wanita yang bisa ditiup. Di toko lain, ia membeli sepasang sarung tangan dari karet.

Pelemparan produk sikat serba guna ke pasaran berlangsung sukses. Selama menunggu keberangkatannya ke Hamburg, wakil Hector mengambil cuti selama dua minggu pada bulan Juli. Sebelum pergi, ia menyiapkan berkas yang harus ditandatangani manajer produksi untuk kelanjutan produksi pembersih noda. Berkas itu merupakan pemberitahuan resmi kepada bagian produksi agar menyediakan suplai yang cukup untuk memenuhi pesanan bulan November.

Sang wakil manajer menaruh berkas itu di meja Griffiths. Ia senang ketika mendengar Griffiths akan mengambil cuti musim panas sepanjang bulan Agustus, ditambah dua minggu bulan September. Rupanya, sang manajer hendak memberi kesempatan kepada pejabat muda untuk menambah pengalaman. Buktinya, ia dikirim untuk mewakili sang manajer ke pameran internasional itu.

Namun, wakil Griffiths yang masih muda itu tidak tahu bahwa akhirnya berkas itu dibakar oleh Griffiths.

 

Agak bau

Akan halnya Janet, akhirnya ia meninggalkan sekolahnya di Yorkshire dan tinggal bersama dengan ayah tirinya di London. Seperti direncanakan, awal buIan Agustus mereka pergi ke Cornwall.

Sikap Janet tetap pendiam seperti biasa. Griffiths memintanya untuk terus melukis dan tak jarang Griffiths mengajaknya naik perahu motor atau perahu karet barunya. Bila bertemu Donleavy di Yacht Club, ia mengadu tentang sikap anak tirinya itu. Dari tempat itu Griffiths menunjuk ke luar, ke arah Janet yang tampak sedang melukis di luar pondok. Donleavy cuma melihat samar-samar sosok gadis itu lewat kacamatanya.

Malam itu Griffiths mencoba berbicara dengan Janet tentang kariernya, tetapi Janet sulit diajak bicara soal itu. Apakah Janet sudah membicarakannya dengan temannya? Atau gurunya di sekolah? Tak adakah orang yang bisa ia hubungi lewat telepon dan bicara soal itu?

Janet akhirnya memberi ayahnya nomor telepon dan nama ibu asramanya. Nomor telepon itu ditulisnya di atas secarik kertas yang disodorkan Griffiths. Janet tidak tahu bahwa kertas itu adalah sobekan Koran Daily Telegraph. Tulisan yang masih tersisa dari koran itu hanyalah tanggal terbitnya: 14 September 19...

Griffiths terus berusaha membuat hati Janet senang. Diberinya gadis itu sepotong cokelat Nuggy Bar, yang belum beredar di pasaran. Untuk menyenangkan hati ayah tirinya, Janet memakan juga cokelat itu, walaupun terasa agak berbau.

 

Mengajak boneka berperahu

Tanggal 17 Agustus 1941 air laut mengalami surut yang terendah. Griffiths membujuk Janet ikut melakukan perjalanan dengan perahu motor pada pukul 18.30 malam itu. Gadis itu tak begitu bergairah, tetapi juga tidak menolak.

Dengan perahu motor dan sampan karet yang diseret di belakang, mereka meluncur menuju ke Teluk Busuk. Tangan ayahnya yang memegang kemudi terbalut sarung tangan karet. Alasannya, takut kotoran masuk ke dalam lukanya akibat tergores tali pancing sehari sebelumnya.

Sepanjang perjalanan pun Janet tampak tidak ceria. Sebaliknya, Griffiths begitu senang ketika melihat sebuah lubang di batu karang. Ia membawa perahunya mendekati batu karang itu. Bau busuk semakin tajam menusuk. Setelah melabuhkan perahunya, setengah memaksa ia menyuruh Janet naik ke perahu karet. Mereka meluncur dengan susah payah menuju ke batu karang itu.

Ombak laut mendorong perahu karet itu ke atas pasir di dalam gua.

Griffiths menunjukkan sikap heran kepada Janet, seolah baru kali ini menemukan tempat itu. Ia melompat turun ke air yang dangkal, sambil memberi isyarat kepada Janet untuk mengikutinya. Macam anak kecil kegirangan menemukan apa yang diinginkan, Griffiths mengajak Janet menjelajahi gua. Mungkin lubang kecil ini menuju ke gua yang lebih besar. Siapa tahu di puncak reruntuhan batu itu ada pintu Iain? la memanjat pilar itu diikuti Janet.

Ketika sampai di puncak pilar, tiba-tiba Griffiths pura-pura terpeleset. Tubuhnya melorot menimpa Janet hingga gadis itu terjerembab di dasar gua. Karena wajahnya menghadap ke bawah, Janet tidak tahu sebuah batu besar melayang dan menghantam kepalanya.

Suara ledakan itu mirip letupan kantung kertas pernah diledakkannya. Cuma yang ini lebih keras. Guncangan yang timbul akibat benturan itu cukup membuat batu-batu kecil dari langit-langit gua berguguran. Keadaan ini justru menguntungkan Griffiths, sebab kesannya Janet tewas akibat runtuhnya batu-batu gua.

Griffiths pun merasa puas sebab Janet tidak mendarat di parit kecil di dalam gua. Bila mayatnya nanti ditemukan, pakaian Janet tidak basah kena air. Sehingga kesannya Janet masuk ke gua itu dengan perahu karet pada saat air laut surut paling rendah.

Dengan hati-hati Griffiths turun. Darah dan otak dari kepala Janet yang terluka tampak memerciki pasir. Gadis itu tewas.

Dengan tangan terbungkus sarung, diselipkannya sobekan koran bertuliskan nomor telepon itu ke saku Janet. Juga sepotong cokelat Nuggy Bar yang dikit terbuka bungkusnya.

Kembali ke perahu, ia membuka kain terpal penutup perahu karet satunya lagi dan menggandengnya di belakang. Kemudian ia meluncur kembali ke pondoknya. Air laut pun kian meninggi.

Hector Griffiths masih punya sisa waktu hampir sebulan dari liburan enam minggunya di Cornwall. Hari-hari itu dilewatinya dengan tenang dan damai. Ia banyak menggunakan waktunya untuk minum-minum bersama Donleavy di Yacht Club.

Ia menyatakan kepada Donleavy, dan orang-orang yang kebetulan mendengarnya, pekerjaan apa yang sesuai bagi gadis pendiam macam Janet. Bila sedang makan siang, tak jarang ia akan menunjuk ke luar pada sosok berbaju biru yang sedang melukis di luar pintu belakang pondoknya. Bila malam hari, ia akan berkomentar waktu melihat lampu pondok dipadamkan.

Setiap pagi sebelum pergi, ia mengecek alat pemadam lampu otomatis itu. Karena tak ingin cepat menimbulkan kecurigaan, Griffiths memindah-mindahkan boneka wanita itu. Seringkali juga ditaruhnya di dalam pondok. Bahkan satu dua kali ketika hari mulai gelap, ia membawa boneka itu naik perahu karet. Setiap kali melewati pelabuhan, ia melambai-lambaikan tangan kepada para nelayan di dermaga.

Di akhir bulan Agustus, ia mengeposkan kartu-kartu Janet kepada para bibi Melissa di Stockport. Kartu-kartu itu sebetulnya ditulis Janet setahun sebelumnya.

Pada minggu pertama bulan September, ia masih terus berkeliling dengan perahunya sambil menanti datangnya kejutan dari perusahaan tempatnya bekerja.

 

Memfitnah

Tanggal 5 September muncullah kejutan yang ia nantikan. Kejutan itu berupa telegram — pondok itu memang tak punya telepon — dari wakil manajernya yang menyatakan bahwa Gliss sedang mengalami kesulitan. Ia diminta segera menelepon.

Griffiths menelepon wakilnya dari Yacht Club. Rupanya ada yang tak beres dengan berkas yang menjamin kelanjutan produksi bahan pembersih noda. Pihak pabrik merasa belum menerima berkas itu. Akibatnya, tidak ada stok untuk memenuhi pesanan bulan November.

Hector Griffiths marah besar kepada wakilnya yang tak bisa dipercaya melaksanakan tanggung jawab yang paling sederhana sekalipun. Tentu orang muda itu protes, sebab ia yakin sudah melakukan pekerjaannya dengan benar. Untuk mengatasi hal itu, dimintanya sang wakil manajer menemui semua agen dan minta maaf. Alasannya, masalah ini tak bisa diselesaikan begitu saja lewat telepon, apalagi surat.

Griffiths pun membatalkan kepergian wakil manajernya ke pameran internasional di Hamburg. Terlalu banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan orang muda itu gara-gara keteledorannya. Namun, di pihak lain perusahaan harus mengirimkan wakilnya. Untuk itu Griffiths sendirilah yang hendak berangkat ke sana.

Griffiths meletakkan gagang telepon. Sambil menggerutu, ia menemui Donleavy di bar. Dikatakannya kepada Don, ia terpaksa mengakhiri liburannya yang masih beberapa hari itu hanya karena kecerobohan wakilnya. Orang-orang muda tidak punya rasa tanggung jawab, begitu gerutunya.

Griffiths pun menelepon orang-orang manajemen Gliss dan mengatakan betapa ia mendadak harus pergi ke Hamburg. Ia kecewa dengan perubahan rencana itu. Pada tanggal 6 September, hari terakhir Griffiths berada di Cornwall, ia membuang ke tengah laut semua peralatan yang sudah tidak diperlukan lagi. Perahu karet, boneka wanita, sarung tangan dan pemadam lampu dibebaninya dengan batu-batu dan motor tempel supaya tenggelam.

Malamnya ia datang dan berpamitan kepada Donleavy di Yacht Club. Ia mengaku agak cemas tentang Janet dan mengatakan bahwa Janet kini terserang depresi berat. Sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Janet sendirian di pondok itu. Meski Janet bilang mau ikut pulang, Griffiths tidak yakin akan lebih bahagia bersama Janet di London. Lagi pula ia harus melakukan perjalanan sialan itu. Bahkan ia pun tidak mampu lagi mengubah sikap Janet. Donleavy cuma berkomentar, wanita memang makhluk aneh.

 

Cokelat kacang untuk menyesatkan

Dalam perjalanan pulang ke London dengan Mercedesnya tanggal 7 September, Grifftihs menilai kembali hal-hal yang perlu dilakukan sepulang dan Hamburg. Gara-gara krisis produksi sikat serba guna itu, ia jadi punya alasan yang sah untuk menunda kepergiannya kembali ke Cornwall selama satu atau dua minggu lagi. Jika Janet tidak mengadakan kontak dengannya, ia akan mengiriminya surat.

Jika surat-suratnya tak juga dibalas, ia mulai memperlihatkan kecemasannya, lantas pergi ke Cornwall menengok Janet.

Begitu menemukan surat-suratnya masih tertutup, ia akan langsung kembali ke London dengan membawa kabar bahwa anak tirinya hilang. Lalu ia akan menelepon ibu asrama Janet dan kedua bibi Melissa di Stockport. Bila tidak mendapat keterangan tentang Janet dari mereka, ia akan menelepon polisi.

Kepada mereka ia juga akan menyatakan bahwa Janet memang ingin ikut pulang ke London, ketika Griffiths terpaksa mengakhiri liburan sebelum waktunya. Ia pun harus mengatakan bahwa Janet tampaknya mengalami depresi. Namun, bahwa ia kehilangan perahu karet, baru akan dilaporkannya belakangan.

Ia berharap mayat Janet baru ditemukan polisi empat bulan setelah pembunuhan yang terjadi tanggal 17 Agustus. Sebab, menurut buku yang dibacanya, sulit memastikan tanggal kematian secara tepat setelah mayat berumur empat bulan. Lantas polisi akan segera menemukan mayat Janet setelah ia melaporkan bahwa suatu kali anak tirinya itu pernah bercerita tentang sebuah gua yang ditemukan Janet pada saat air pasang rendah.

Karena tanggal kematian sulit dipastikan dari mayat sudah membusuk, pihak polisi akan menetapkannya lewat barang bukti lain. Keberadaan perahu karet dalam gua dan keringnya pakaian Janet akan menjadi petunjuk bahwa ia masuk ke gua itu pada saat air laut surut, sehingga perkiraan tanggal kematian bisa ditentukan dari situ.

Selain mungkin pernyataan penduduk setempat yang melihat perahu itu, kalau bukan gadis itu, sampai beberapa hari sebelum Griffiths berangkat ke London pada 7 September, ada bukti-bukti lain, yang bisa ditemukan dalam saku Janet. Pertama, sepotong Nuggy Bar, yakni permen cokelat kacang yang belum beredar di toko-toko sampai tanggal 10 September. Kedua, secarik koran bertanggal 14 September yang bertuliskan nomor telepon. Karena tanggal 14 September termasuk dalam periode terjadinya spring tide (periode di mana permukaan air laut mengalami pasang naik yang tertinggi dan pasang surut yang terendah), polisi tidak akan ragu-ragu lagi menyatakan Janet Wintle tewas pada tanggal 14 September.

Padahal pada tanggal tersebut Griffiths akan berada di Hamburg pada pameran internasional itu.

Maka, bila Griffiths nanti mendengar kabar tentang musibah yang terjadi tak lebih dari dua tahun setelah kematian Melissa, ia harus ikhlas menerimanya. Warisan yang akan jatuh ke tangannya nanti akan tampak seolah kurang berarti ketimbang kesedihannya atas kematian istri dan kemudian anaknya.

 

Cokelat sialan

Pada hari sebelum berangkat ke Hamburg, tiba-tiba Griffiths merasa panik. Bagaimana jika salah seorang bibi Melissa di Stockport itu ternyata sudah meninggal? Mereka memang sudah agak tua, tetapi jika sudah meninggal, Janet pasti tahu. Janet takkan mungkin mengirim kartu pos kepada orang yang sudah meninggal.

Griffiths tak mau ambil risiko. Ia menelepon kedua nenek itu dengan berpura-pura menanyakan nama lengkap mereka yang hendak dicantumkannya dalam sebuah formulir yang harus diisinya. Ternyata keduanya masih segar bugar. Mereka malah menyatakan amat senang menerima kartu-kartu pos dari Janet.

Griffiths menarik napas lega. Kini semuanya beres. Ia bisa keluar negeri dengan dada lapang.

Kemudian ia menelepon ke Gliss untuk mengecek apakah ada hal-hal lain yang mendesak untuk dikerjakan sebelum ia pergi.

Ternyata ada sebuah pesan yang memintanya untuk segera menelepon biro iklan sehubungan dengan iklan TV sikat serba guna. Persis sebelum ia akan menaruh gagang telepon, Griffiths bertanya kepada petugas iklan yang masih muda itu, “Semua sudah diatur untuk melemparkan produk ke pasaran?”

“Melempar produk?” 

“Tanggal 10. Permen cokelat itu.” 

“Ya, Tuhan. Sudahlah, jangan bicara soal Nuggy Bar. Manajer produksi sialan itu merasa khawatir.” 

“Khawatir?” 

“Ya. Ia orang baru dan khawatir produk itu tidak akan laku.” 

“Apa?”

“Mereka menerima laporan dari Tyne-Tees tempat produk itu diuji. Hampir 40% sampel ternyata agak berbau.”

“Lalu, apa yang akan dilakukan?”

“Manajer produksi sialan itu akan menunda pelemparan produk itu ke pasaran.”

“Menunda?” 

“Ya. Tampaknya ia kebingungan.” 

“Tetapi, ia tidak bisa mundur dalam keadaan seperti Itu. Bukankah mereka sudah teken kontrak dengan pihak TV, surat-surat kabar dan ....”

“Bisa saja ia mundur, jika kontrak belum dibayar ...”

Tak pernah Griffiths melarikan mobilnya sekencang itu di jalanan menuju Cornwall. AC mobil itu pun tak mampu membendung keringatnya. 

Tak kalah kencang Griffiths melarikan perahu motornya menuju ke Teluk Busuk.

Air laut cukup rendah, tetapi tidak cukup banyak menampakkan mulut gua itu. Sudah lebih dari seminggu terjadi pasang naik yang tinggi. Ia harus menyelam berulang kali untuk menemukan mulut gua. Ketika gelombang datang menyapu, terasa punggungnya yang telanjang tergores batu karang. Namun, ia terus berjuang naik ke atas pasir yang basah.

Ia menyesal tidak membawa lampu senter ketika menyadari gua itu gelap. Namun, ketika ia terbaring kelelahan di atas pasir, lama-lama keadaan di dalam gua semakin jelas. Ada sedikit cahaya dari pantulan air di bawah mulut gua.

Tiba-tiba ia tersadar oleh bau busuk yang tajam menusuk. Sambil mendekap hidung, ia melangkah mendekati sumber bau tak sedap itu.

Dengan mata menatap ke arah lain, ia meraba-raba pakaian dari sumber bau tak sedap yang ternyata mayat Janet.

Rasa lega mengguyur seluruh tubuhnya setelah menemukan Nuggy Bar itu. Walaupun kondisi tubuhnya terasa lemas, ia masih merasa bahwa semua akan beres: keluar dari gua, naik perahu, kembali ke London, kemudian besoknya ke Hamburg. Meskipun penduduk setempat melihatnya, ia tak peduli. Toh sobekan koran dan keringnya pakaian Janet cukup kuat untuk menetapkan tanggal kematian Janet.

 

Seperti ledakan kantung kertas

Air pasang semakin naik, bahkan sempat masuk ke dasar gua. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mencebur ke dalam air. Sayang, gelombang laut mendorongnya kembali ke gua.

Ia terus mencoba dan mencoba, tetapi setiap saat justru semakin sulit. Kian lama gelombang makin kuat, sementara tubuhnya justru kian melemah. Griffiths terbaring kelelahan di atas pasir.

Ia coba memusatkan pikirannya untuk memiliki kembali kemampuannya menyusun rencana. Namun, serangan gelombang dan bau mayat yang membusuk membuyarkan konsentrasinya.

Akhirnya ia menemukan kemungkinan lain untuk keluar dari gua dan kepungan air laut. Ia ingat ia pernah membohongi Janet. Waktu itu ia mengajaknya memanjat pilar itu untuk melihat apakah ada pintu lain di sana. Bahkan Griffiths sendiri kini menduga ada jalan lain ke luar gua.

Akhirnya dengan sangat hati-hati ia memanjat pilar yang tersusun dari batuan lepas. Ia merasa menemukan harapan ketika matanya menangkap setitik cahaya.

Namun, ia hanya melihat tumpukan batu-batu karang yang lepas-lepas. Siapa tahu timbunan batu itu menutupi jalan masuk lain, sebuah gang atau lorong tua bekas sarang penyelundup.

Ia mencoba mati-matian menyingkirkan batu-batu itu sampai tangannya terluka. Sejumlah batu kecil berhasil disingkirkan, tetapi batu-batu yang lebih besar tak bergeming. Ketika ia berusaha menarik sebongkah batu besar, tiba-tiba sebuah batu besar lain tergeser. Griffiths melompat mundur waktu mendengar suara bergemuruh. Batu-batu berguguran, berderai-derai dan jatuh berdebam di dasar gua. Tampaknya sia-sia usahanya. Maka ia pun turun untuk mencoba kembali keluar lewat mulut gua yang berhadapan dengan gelombang laut.

Dengan sangat hati-hati ia melangkah maju. Namun, tanpa disadarinya sebongkah batu besar tiba-tiba terlepas dan melayang, lalu mendarat tepat di batok kepalanya. Suara letusan itu mirip kantung kertas yang meledak, cuma lebih keras. 

Hector Griffiths terguling di atas pasir dan tewas. Ketika itu tanggal 8 September.

Perahu yang ditinggalkannya di luar gua perlahan-lahan mulai hanyut terbawa ombak karena ditambatkan dengan terburu-buru.

 

Sepotong permen cokelat untuk patokan

Mayat Hector Griffiths ditemukan empat bulan setelah kematiannya. Polisi berhasil menemukannya berkat petunjuk yang mereka temukan dalam sebuah buku harian mendiang istrinya. Di sana diceritakan tentang sebuah gua rahasia tempat mereka pernah memadu cinta. Polisi menduga Griffiths pergi ke gua itu dengan perahunya lantaran terbawa oleh ingatan kepada mendiang istrinya. Namun, ia terjebak oleh air pasang dan tewas karena runtuhan batu. Pada pakaiannya ditemukan noda air garam sebab ia tergeletak begitu dekat dengan batas pasang naik yang tinggi.

Sulit untuk menentukan tanggal kematiannya secara pasti setelah sekian lama. Namun, berdasarkan tabel pasang surut, yang menurut Letkol Donleavy, Griffiths sangat tertarik pada soal itu, tampaknya sangat mungkin Griffiths tewas pada tanggal 14 September. Ini diperkuat dengan ditemukannya sepotong Nuggy Bar dalam sakunya, permen cokelat baru yang sudah beredar di pasaran sejak tanggal 10 September.

Jenis permen cokelat baru itu, akhirnya, jadi dilempar ke pasaran. Soalnya, sang manajer produksi Nuggy Bar — setelah membatalkan pelemparan produk itu — mendadak teringat satu petunjuk yang pernah didengarnya ketika ia mengikuti kursus manajemen di Perusahaan Gliss, yakni:

SEKALI ANDA MENGAMBIL KEPUTUSAN POKOK TENTANG PRODUK ITU DAN MENETAPKAN WAKTU PELEMPARANNYA KE PASARAN, JANGAN LAGI TERPENGARUH OLEH PIKIRAN YANG TIMBUL KEMUDIAN.

Karena itu ia mencabut kembali pikiran-pikiran yang timbul akibat pengaruh dari hasil uji coba yang menyatakan bahwa 40% sampel cokelat itu agak berbau. Kampanye iklan produk itu pun terus berlangsung seperti direncanakan.

Mayat anak tiri Hector Griffiths, Janet Wintle, malah tak pernah ditemukan. Adalah kedua wanita tua di Stockport itu yang beruntung mewarisi kekayaan Melissa yang tidak kecil itu. (Margaret Allingham).

Baca Juga: 'Kasih' Ibu Berakhir di Penjara

 

" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682499/maut-di-teluk-busuk" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301601000) } } [9]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682598" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(100) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/aku-takut-sayangjpg-20230213031914.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(136) "Jelang kematian anak tirinya, Cheryl cemas, karena pertemuan terakhir mereka meninggalkan kesan buruk akibat si anak sakit hati padanya." ["section"]=> object(stdClass)#156 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(100) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/aku-takut-sayangjpg-20230213031914.jpg" ["title"]=> string(17) "Aku Takut, Sayang" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:19:23" ["content"]=> string(39072) "

Intisari Plus - Jelang kematian anak tirinya, Cheryl cemas, karena pertemuan terakhir mereka meninggalkan kesan buruk akibat si anak sakit hati padanya.

--------------------

“Aku takut sayang,” kata Cheryl.

Reed Terner mengecup pipi istrinya yang masih muda dan cantik itu. “Mudah-mudahan ciuman ini meneguhkan hatimu. Ricky mungkin telah berubah setelah setahun ini ia kuliah jauh dari Joyce.”

“Oh, Reed, aku tak pernah berpikir untuk menyalahkan ibunya.”

“Joyce tak pernah bersikap seperti seorang bekas istri yang pendendam. Dengan jujur kukatakan, aku tidak melihat Joyce menghasut Ricky untuk memusuhiku.”

Reed terpaksa menyetujui ucapan Cheryl. “Joyce memang di pihak yang tidak bersalah dan Ricky tahu itu. Salahnya, dulu Joyce dan aku merahasiakan ketidaksesuaian kami dari Ricky, sehingga Ricky terpukul oleh perceraian kami. Tetapi sekarang mestinya ia sudah bisa menyesuaikan diri dengan situasi ....”

Cheryl menanggapinya dengan seulas senyum. “Aku masih tetap takut kalau mesti menjemput Ricky sendiri. Mungkin dalam perjalanan dari desa kemari tak sepatah kata pun akan keluar dari mulutnya, kalau ia masih menyimpan dendam lama yang membara.”

“Sayang, kalau saja aku sempat, akan kujemput sendiri. Tetapi kau ‘kan tahu, rapat panitia turnamen itu mengharuskan aku tetap di sini. Kau pun tahu pentingnya rapat itu.”

Rumah Penginapan Limberlost yang terletak di Pegunungan Allegheny dulunya cuma ramai di musim dingin, sebagai penginapan bagi para pemain ski. Namun, Reed melihat kemungkinan untuk memanfaatkannya sepanjang tahun. Ia membeli tempat itu dan melengkapinya dengan lapangan golf, jalan-jalan setapak untuk berkuda, lapangan tenis dan sebuah kolam renang. Rumah penginapan itu sendiri, yang berupa bangunan batu dan kayu, diperbarui dengan biaya mahal. 

Pemandangan dan penginapan yang letaknya di punggung bukit itu memang luar biasa indahnya. Menyelenggarakan turnamen besar golf tahunan di Limberlost akan merupakan semacam promosi yang luas bagi tempat itu.

 

Mencium ibu tiri

Cheryl ingat, tahun lalu Ricky datang dan tinggal bersama mereka selama dua minggu. Kenangan tentang kunjungan Ricky itu membuat Cheryl merasa hari-hari penuh ketegangan tiada akhir bakal dialaminya lagi.

“Reed, bersikaplah biasa saja bila kau menghadapinya nanti. Tetapi, jangan biarkan juga dia menimbulkan persoalan. Aku tidak mau lagi menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan selama kunjungannya nanti seperti tahun lalu.”

Reed mencoba menjernihkan masalah itu. “Namun, tak semuanya tidak menyenangkan.”

“Tidak semuanya? Lupakah kau kalau Ricky pernah mencoba membunuhmu? Anakmu sendiri mencoba membunuhmu!”

“Waktu itu kami sama-sama tidak mampu mengendalikan diri.” 

“Juga kejadian yang mengerikan di kamar makan itu. Waktu itu banyak orang yang mendengar Ricky mengancam hendak membunuhmu.”

“Sayang, dia dulu ‘kan masih anak-anak dan kala itu dia pun sedang menghadapi masa yang sangat sulit. Sudahlah, tiga perempat jam lagi bus yang ditumpanginya datang. Masih cukup waktu untuk turun menjemputnya.”

Reed mencium pipi istrinya, lantas mengantarnya ke jip yang hendak dipakai menjemput Ricky. Meski mencoba membesar-besarkan hati Cheryl, Reed sendiri sebenarnya merasa tidak tenang. la mencintai dua-duanya, Ricky maupun Cheryl. Reed cuma bisa menghibur diri, mudah-mudahan dendam Ricky yang menyala-nyala itu paling tidak menunjukkan betapa Ricky begitu penuh perhatian padanya.

Bus terlambat datang dua puluh menit dan itu membuat Cheryl cemas berkepanjangan. Cheryl sadar segalanya akan berawal dari kunjungan Ricky ini. Ketika bus akhirnya tiba, Cheryl segera pasang senyum, bahkan melambai-lambaikan tangannya meski orang yang dijemput belum tampak batang hidungnya.

Kesan pertama yang didapatnya ketika bertemu Ricky: anak itu tampak begitu muda dan menarik. Tampan, badannya tinggi dan dadanya bidang. Namun, wajahnya sedikit kurus dan tampak lebih dewasa. Sayangnya, wajah itu tampak begitu serius!

“Ricky!” sambut Cheryl. “Senang sekali ketemu kau lagi. Ya, Tuhan, sudah sebesar ini kau!” Barangkali Cheryl akan terus berbasa-basi, kalau saja ia tidak dibikin terkejut. Sebab, setelah meletakkan tas bawaannya, Ricky memeluk dan mencium pipi ibu tirinya itu. Tadinya Cheryl membayangkan, Ricky akan menyambut dingin kehadirannya dan ia siap menerima sikap itu. Namun, tindakan Ricky tadi justru membuat perasaan Cheryl jadi tidak menentu.

“Hai, sungguh kejutan yang menyenangkan,” kata Ricky. “Aku membayangkan ayah yang bakal menjemputku.”

“Ayahmu sebenarnya ingin menjemputmu tetapi ia terikat oleh sebuah pertemuan yang penting.”

Dengan tatapan penuh rasa haru Ricky berkata, “Kau pantas mendapat medali.”

“Aku?” 

Ricky menatap Cheryl lekat-lekat. “Kita akan selesaikan semua persoalan sekarang. Sepanjang perjalananku kemari, pikiranku terus mengulang-ulang ucapan minta maaf yang akan kusampaikan kepada kau dan ayah. Betapa saya ini anak yang tak tahu diri.”

“Kau punya hak sepenuhnya untuk berbuat apa pun sesuai dengan keinginanmu. Jadi, tak ada yang perlu dimaafkan.”

Ricky menarik napas lega sambil menghirup udara padang rumput yang segar di musim panas. Dimasukkannya tas-tas bawaannya ke dalam jip, lalu duduk di samping Cheryl. “Jauh dari rumah selama setahun tentu akan membuat orang jadi berpikir.”

“Oh, Ricky, aku senang sekali mendengar kau berkata begitu dan ayahmu tentu akan bahagia sekali.” Setelah beberapa saat menimbang-nimbang, akhirnya Cheryl pun berkata, “Bagaimana dengan ibumu?”

“Baik-baik saja. Dia titip salam juga.”

“Ibumu baik sekali.” 

“Iya, dia memang wanita yang baik.”

Walaupun sudah menjadi sekretaris Reed sebelum Reed menjual perusahaan-perusahaan keluarga Terner, Cheryl belum pernah bertemu dengan Joyce, istri pertama Reed. Joyce memang tak pernah berkunjung ke kantor suaminya.

Cheryl tidak membesar-besarkan ucapannya ketika ia bilang kepada Ricky bahwa Reed akan bahagia sekali bertemu dengan Ricky. Bahkan Reed sempat meneteskan air mata ketika dilihatnya sikap Ricky sudah berubah. Reed hampir tidak bisa melepaskan anak lelakinya itu dari pelukannya. 

Makan malam di ruang makan mewah di penginapan itu menjadi semacam perayaan pesta bagi ketiga orang itu. Apalagi Ricky pandai membuat suasana menjadi segar dengan cerita-ceritanya tentang betapa sengsaranya mengikuti masa perpeloncoan. “Belajar di kedokteran ternyata tidak mudah,” kata Ricky, “meskipun waktu di sekolah menengah dulu aku jagoan kimia dan biologi. Tetapi, rasanya aku bisa mengikutinya.”

Reed sendiri bercerita tentang rencananya untuk mengembangkan Limberlost. Sementara itu sambil mendengarkan ayah dan anak itu bertukar cerita, pandangan mata Cheryl silih berganti menatap mereka. Disimaknya wajah keduanya sambil mencari sampai di mana kemiripan kedua orang itu. Mereka memang dua orang pria gagah dan tampan.

 

Membunuh suami, menjebak anak

Selesai memeriksa bon makan malam dan mengerjakan sedikit lagi tugas-tugas malamnya, Chery berjalan melintasi lobby berkarpet tebal itu ke arah tangga yang menuju ruang olah raga dan kolam renang. Sambil merundukkan kepalanya ia berjalan di sepanjang lorong di depan kamar-kamar tamu. Ketika sampai di kamar terakhir, ia mengetuk lembut pintu kamar itu setelah merasa yakin tak ada orang di sekitar tempat itu.

Seseorang segera menarik lengan Cheryl ketika ia hendak melangkah masuk ke kamar itu. Orang itu adalah Clay Winslow, pelatih ski dan tenis dan juga pekerja apa saja di penginapan itu. Pria itu bertubuh atletis dengan sepasang mata yang senantiasa memancarkan semangat yang berapi-api.

“Kukira kita akan bertemu saat makan malam,” kata Cheryl.

“Aku makan lebih dulu. Pertemuan yang kurang menyenangkan kurasa.”

Cheryl menatap Clay dengan air muka kecewa. “Kau keliru. Mestinya kau hadir di sana. Oh, Clay, aku tak bisa percaya. Ricky sama sekali berubah sekarang. Ia berkali-kali meminta maaf atas perbuatannya tahun lalu itu. Sekarang kami sudah damai kembali.”

Wajah Clay berubah muram. “Kalau begitu, bagaimana dengan rencana kita?”

Cheryl hanya mengangkat bahu dan itu membuat Clay marah.

“Kau ini bagaimana,” kata Clay. “Kau bilang anak itu pernah mengancam untuk membunuh ayahnya dan setiap orang mendengarnya. Semua yang harus kita lakukan sudah kita susun: menghabisi suamimu dan menjebak anak itu. Kau bilang gampang.”

“Bagaimana aku tahu kalau Ricky sudah berubah? Waktu itu tingkahnya seperti orang gila. Kau akan tahu, bila saat itu kau ada di sini. Ricky membuat persoalan yang sulit.”

“Lalu?” 

Cheryl tampak berpikir sambil menggigit bibirnya. “Kita tetap pada rencana kita. Kita bunuh Reed dan kita bikin seolah-olah Ricky yang membunuhnya. Itulah satu-satunya cara agar aku bisa mewarisi kekayaannya. Seorang pembunuh tidak berhak atas warisan.”

“Namun, sekarang siapa yang bakal percaya kalau anak itu yang membunuh ayahnya?”

“Aku punya ide, tetapi mungkin kau tidak setuju. Aku pernah bercerita padamu, anak itu selalu mengatakan cerita bohong kepada Reed pada musim dingin yang lalu. Bahkan ia bilang pada ayahnya, aku mencoba menggodanya. Ricky melakukan apa saja agar Reed berpihak kepadanya untuk memusuhiku, tetapi dia tidak berhasil. Tetapi, andaikata Ricky menemukan alasan yang bisa dipercaya bahwa aku berbuat seperti yang dia katakan? Apa pun yang diceritakannya Reed tidak akan percaya?”

Winslow tertawa. “Tolol kalau Reed tak percaya.”

Cheryl menatap Clay dengan sengit. “Aku bukan tipe wanita penggoda. Aku tahu ketika Reed menikahiku, ia meninggalkan segalanya pada Ricky. Aku bahagia merebut Reed dan aku puas hidup bersamanya, sampai kau datang.”

“Kau belum mengatakan apa idemu tadi.”

“Seandainya aku ‘main-main’ dengan Ricky? Ia pasti akan melapor ke ayahnya, tetapi Reed tak akan percaya. Sebab, perubahan hati Ricky menjadi tampak pura-pura saja baginya. Cara ini yang barangkali bisa kita lakukan untuk mengadu kedua orang itu lagi.”

Clay tampak ragu-ragu. “Bagaimana kalau tidak berhasil?”

“Kita coba cara lain. Sekarang kita harus ekstra hati-hati, Sayang. Kalau sampai ada yang mencurigai kita ....”

“Toh kabin itu selalu ada,” kata Clay mengingatkan, sambil meraih Cheryl ke dalam pelukannya.

“Kita harus bekerja cepat,” kata Cheryl. “Waktu kita tinggal dua minggu.”

 

Mulai genit

Cheryl tahu ia tidak dapat dengan serta merta menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Ricky. Harus bertahap. Cheryl tersenyum sendiri. Barangkali lucu. Clay akan membunuhnya andaikata bisa membaca pikirannya. Cheryl adalah sosok wanita yang menyimpan daya pikat yang kuat bagi pemuda tanggung seperti Ricky. Karena itu Cheryl merasa yakin bisa menggiring Ricky masuk ke dalam perangkap godaannya. Keberhasilannya memikat ayah Ricky membuktikan hal itu, padahal Reed sudah beristri.

Meskipun Reed lebih suka menghabiskan waktunya bersama Ricky, Reed tidak dapat mengabaikan pekerjaannya yang cukup banyak itu. Karena itu tanggung jawabnya untuk menemani anak lelakinya itu dipercayakannya kepada Cheryl. Itu berarti tanpa disadarinya Reed ikut membuka peluang bagi Cheryl untuk melaksanakan rencananya.

Pada suatu ketika Cheryl pergi berkuda bersama Ricky. Mereka menyusuri jalan-jalan setapak di kawasan pegunungan itu. Pada mulanya Cheryl senantiasa menjaga sikapnya. Ia bersikap hati-hati dalam segala tindak langkahnya. Di tengah pembicaraan, bila mereka sedang berdua, Cheryl bercerita dengan nada penuh cinta tentang Reed. Juga tentang rencana-rencana yang ingin mereka lakukan bagi Limberlost.

Namun, setelah sekian hari berlalu, dengan cara yang tidak kentara Cheryl mulai bersikap genit. Ia mulai melepaskan jurus-jurus godaannya dengan senyum-senyum manisnya yang memikat, dengan sentuhan-sentuhan tubuh yang seolah-olah tidak ia sengaja, yang membuat Ricky tak perlu menaruh curiga. Cheryl pun mulai memperlihatkan penyesalannya mengarungi kehidupan perkawinannya bersama Reed.

“Terus terang Ricky, ayahmu sekarang bukan ayahmu yang dulu, ketika aku menjadi sekretarisnya. Aku sungguh tidak bisa menyalahkan ibumu yang merasa diabaikan. Bukan maksudku mau mengatakan, ayahmu juga melalaikan aku. Aku menyadari betapa banyak pekerjaan yang harus ditanganinya, tetapi itu membuatku kesepian. Kedatanganmu membangkitkan suasana yang lain. Kuharap kau mau tinggal di sini selama musim panas ini.”

“Rencanaku juga begitu,” kata Ricky. “Kau sungguh luar biasa. Tadinya aku khawatir kau akan menghindari aku seperti penyakit pes. Dan kalaupun kau bersikap begitu, aku tak bisa menyalahkan kau.”

Mereka berhenti untuk mengistirahatkan kuda-kuda mereka di tengah hutan pinus yang sejuk. Ketika Cheryl membiarkan Ricky menolongnya naik ke punggung kuda, ia pura-pura terpeleset dan jatuh di pelukan Ricky. Beberapa saat lamanya Cheryl membiarkan tubuhnya dalam pelukan Ricky, sehingga leher pria muda itu sempat tersentuh napas hangat dari hidung Cheryl. Kemudian sambil pura-pura mengomeli diri sendiri karena kekikukannya naik ke punggung kuda, Cheryl mencoba lagi. Sepanjang perjalanan pulang, kedua insan itu tak ada yang membuka mulut.

 

Kesepian

Cheryl ragu-ragu ketika pada malam berikutnya ia mengetuk pintu kamar Ricky. Jangan-jangan Ricky tidak akan mengizinkannya masuk. Ricky cepat-cepat mengenakan jeans-nya dan membuka pintu. “Ada apa, Cheryl?”

Ketika melangkah masuk, Cheryl bersikap pura-pura bingung. Jari-jari tangannya meraba-raba kerah bajunya yang rendah. “Tidak, tidak ada apa-apa. Aku cuma merasa kesepian. Reed kerja lembur lagi malam ini.”

Ricky menutup pintu dengan ragu-ragu. “Kau tampak agak kebingungan.”

Tanpa rasa bersalah dan sorot mata yang memperdayakan, dengan tenang Cheryl bicara, “Musim dingin yang lalu. Apa yang kaukatakan pada ayahmu tentang kita, tidak semuanya bohong. Kau pandai membaca pikiranku.”

“Cheryl ....” 

“Ricky, bukankah dalam hati kecilmu kau pun menginginkannya?”

“Apa maksudmu?” 

Cheryl sengaja menatap Ricky dengan tatapan yang memikat. “Kau tahu apa maksudku.”

Cheryl senang sekali menyaksikan wajah Ricky menampakkan ekspresi yang mencerminkan perang batin dalam hatinya. Namun, Cheryl tahu ia tidak bisa membiarkan sesuatunya berjalan di luar rencananya. Ketika Ricky mendekatinya, Cheryl malah berputar menghindarinya, tetapi kemudian ia berhenti, lalu mengecup lembut bibir anak muda itu. “Aku sekadar ingin tahu di mana sebenarnya kita berdiri. Sebaiknya aku pergi sekarang. Reed mungkin mencari aku. Besok kita bisa mengobrol dalam kabin di North Trail. Takkan ada yang melihat kita di sana.” Tanpa memberi kesempatan Ricky bicara, Cheryl membuka pintu lalu pergi.

Kembali ke kamarnya, Cheryl pergi mandi dan mencuci rambut. Ia sedang terbaring sambil membaca majalah di ranjang ketika Reed masuk ke kamar. Cheryl menguap, meregangkan tubuh, lalu bertanya kepada suaminya tentang pekerjaannya.

“Apa yang kau lakukan sepanjang petang tadi?” tanya Reed kemudian.

“Aku baru pulang beberapa jam yang lalu. Sungguh melelahkan menemani anakmu beberapa hari ini.”

“Maafkan aku, Sayang. Kau sungguh baik hati. Mulai sekarang kalau ada kesempatan, aku yang akan menemaninya.”

“Bagus. la meminta agar aku memaklumi perbuatannya pada musim dingin yang lalu. Sikapnya sungguh menyentuh perasaanku.”

 

Mereka bahagia

Pagi harinya Cheryl terbaring di ranjang sambil membayangkan Reed dan Ricky bercakap-cakap di meja makan. Bangun dari tempat tidur, ia lalu berdiri di muka cermin. Ia mencoba-coba bagaimana menampilkan air muka yang menunjukkan rasa kecewa yang mendalam. “Oh, sayang,” begitu dia akan mengeluh di depan suaminya nanti, “Maksudmu, Ricky berpura-pura selama ini? Sikapnya tidak sungguh sungguh berubah?”

Itulah langkah awal rencana yang akan dimainkannya nanti. Cheryl tersenyum sambil berpikir tentang semua cara yang dapat dia lakukan untuk memperkeruh perselisihan antara ayah dan anak itu dan membuat mereka saling menggunting satu sama lain. Selesai berdandan, Cheryl turun ke lantai bawah.

Clay menghentikan langkah Cheryl. “Bagaimana semalam?” 

“Tidak terjadi apa-apa. Aku sudah melakukan sebagian tugasku. Sekarang kita hanya tinggal menunggu hasilnya.”

Clay menatap cemberut ke arah Cheryl. “Mereka berdua tampak bahagia saat makan pagi tadi.”

Memang, ketika Cheryl bergabung dengan mereka setelah mereka baru saja menyelesaikan sembilan lubang golf, mereka tampak sangat akrab. Reed memeluk pundak anak lelakinya dengan penuh kasih sayang dan memberi Cheryl sebuah kecupan kilat. “Kau mau ikut berkuda bersama kami nanti sore?” kata Reed kepada Cheryl.

Sementara itu Ricky tampak menghindari setiap tatapan mata Cheryl dan sikapnya cuek. Cheryl menduga Ricky tidak mengatakan sesuatu kepada ayahnya tentang peristiwa tadi malam. Ricky bersikap seolah pria bijaksana. Rencana Cheryl ternyata tidak membawa hasil.

“Terima kasih, aku mau pergi,” gumam Cheryl.

Hari-hari berikutnya Ricky tampaknya ingin menghindari berdua-dua dengan Cheryl. Apa pun yang mereka lakukan, harus mereka lakukan bertiga.

Hari-hari berlalu dan Cheryl menjadi sangat sedih. 

“Ya, ya, aku salah,” begitu Cheryl mengaku, ketika menemui Clay di dalam kabin dekat puncak ski lift. “Itu ide yang bagus, tetapi tidak bisa berjalan.”

“Jadi, rencana kita itu menemui jalan buntu, anak manis? Kita terus saja bersembunyi-sembunyi seperti ini? Sampai mungkin kau menyatakan aku buang-buang tenaga saja?”

“Jangan tolol. Kita masih punya kesempatan lima hari lagi.” 

“Untuk melakukan apa lagi?”

Cheryl mengelus dada Clay yang berbulu lebat. “Gunakan otakmu. Barangkali rencana yang dulu itu memang kurang baik. Pengacara yang baik mungkin akan memenangkan anak itu meski rencana kita itu berhasil.”

Namun mereka harus melakukan sesuatu. Cheryl berpikir sejenak, lantas katanya, “Bagaimana kalau kedua orang itu kita bikin seperti mendapat kecelakaan?” 

“Kecelakaan apa?” 

“Oh, Clay, kau ini bagaimana, sih?”

 

Ibarat main ski

Sehari sekali Clay Winslow turun ke desa di kaki bukit untuk mengambil surat-surat dengan mengendarai jip. Sore itu, di antara surat-surat yang diambilnya terdapat surat untuk Ricky.

“Surat dari Ibu!” teriak Ricky senang sambil merobek sampul surat itu. Waktu itu ia duduk bersama ayahnya di lantai serambi sambil memandangi lembah.

“Semua baik-baik saja di rumah?” tanya Reed setelah Ricky selesai membaca suratnya.

“Ya. Ibu merindukan aku dan berharap aku betah di sini. Ibu juga menanyakan Ayah.”

Sambil memegangi bahu anak lelakinya, Reed berkata, “Kau betah di sini bukan?”

“Luar biasa, Ayah tahu sendiri. Sambutan Ayah dan Cheryl sangat menyenangkan.”

“Ah, lupakan itu.” 

Mereka duduk sambil menikmati pemandangan di luar. Kata Ricky kemudian, “Mungkin Ibu menyukai tempat ini.”

“Ia pernah datang ke tempat ini. Aku mengajaknya kemari pada salah satu ulang tahun perkawinan kami. Kukira itulah pertama kali muncul gagasanku untuk membeli tempat ini.”

Ricky memandang wajah ayahnya. “Kadang-kadang aku bertanya-tanya, kalau saja ayah menjual perusahaan itu dulu dan andaikata Ayah punya waktu lebih banyak bersama ibu dan aku, mungkin kita masih tinggal bersama-sama.”

Pandangan Reed menerawang jauh. “Siapa sangka bakal terjadi begini, anakku?”

Ricky melihat nada penyesalan di dalam suara ayahnya. “Tetapi andaikata Ayah harus mengulang kembali, apakah Ayah juga tetap akan menikahi Cheryl?”

Rupanya Reed merasa agak jengkel sehingga ia menjawab agak ketus. “Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan macam itu? Semua toh sudah terjadi.”

Ricky dengan cepat menjawab, “Aku mengerti. Semua sudah terjadi dan sekarang kita harus menjalaninya dengan sebaik-baiknya.”

“Aku tidak bilang begitu.” 

“Aku hanya ingin tahu mengapa hal itu terjadi.”

Reed cuma mengangkat bahu, kemudian tangannya menunjuk ke sisi kanan penginapan itu. Di sana tampak kabel penarik ski lift melintasi punggung bukit hutan pinus. “Kau tahu seperti apa di atas sana itu, bukan? Kau merasa tidak tenang, siap untuk meluncur. Untuk beberapa saat kau merasa takut, hati tidak menentu, dan kau bertanya-tanya apakah kau akan membuat dirimu bodoh atau lebih buruk.”

“Namun, kemudian kau mendorong tubuhmu dan terlambat untuk berhenti atau kembali lagi. Lalu, semua yang kau rasakan adalah suatu perasaan gembira yang luar biasa. Begitulah kira-kira yang kualami terhadap Cheryl.”

“Apakah Ayah pernah punya keinginan untuk berhenti? Atau berbalik lagi?” 

Reed tidak menjawab. Sambil menepuk-nepuk punggung anak lelakinya, Reed berdiri lalu masuk ke dalam.

 

Suara yang mencurigakan

Clay sedang menunggu di dalam kabin ketika Cheryl datang hari berikutnya. Clay tampaknya senang. 

“Kau bilang itu penting,” ujar Cheryl.

“Tidak sepenting ini,” kata Clay sambil menarik tubuh Cheryl ke pelukannya.

Kata Clay kemudian, “Upaya ini akan merupakan usaha pada saat-saat terakhir.”

“Apa?” 

“Kecelakaan itu, sayang.”

Wajah Cheryl yang menjadi merah itu mengarah kepada Clay. “Kau tampaknya sudah berpikir tentang sesuatu!”

“Sesuatu yang sempurna, asal kau melakukan tugasmu.”

Cheryl tersenyum. “Tugasku?” 

“Tenanglah. Kau harus yakin betul apakah Reed mengantar anaknya itu dengan mobil ke desa itu untuk pulang ke rumahnya. Kau bisa melakukannya?”

“Ya.” 

“Aku akan berbuat seolah-olah sibuk, sehingga ia tidak akan minta tolong padaku.” 

“Benar, Clay. Reed ingin mengantar Ricky dengan jip itu. Kenapa?”

“Mereka tidak akan pernah sampai di desa itu. Aku menyabotase rem mobil itu, sehingga mereka takkan bisa berbelok di tikungan tajam itu. Kemudian jurang yang dalam siap menelan mereka bulat-bulat dan mereka takkan pernah tahu sebabnya.”

“Kau yakin bisa melakukan hal itu?” 

“Kecilll!”

Cheryl menganggukkan kepala dengan bangga. “Aku suka dengan idemu itu.”

“Aku sudah menduga, kau akan suka.”

Tiba-tiba Cheryl mendadak tegang. “Suara apa itu?”

“Mana?” 

Cheryl menatap ke arah jendela yang terbuka. “Aku mendengar sesuatu. Coba tengok di luar.”

Clay kembali sambil menyeringai. “Simpanlah kecemasanmu sampai Sabtu nanti. Barangkali cuma seekor kijang.”

Namun, Cheryl masih belum lega. “Kadang-kadang aku masih suka waswas, jangan-jangan Reed curiga.”

“Bagaimana dia bisa curiga? Bukankah permainan kita selalu rapi?” 

“Beberapa hari ini sikapnya tidak seperti biasa.”

Clay mengelus pipi Cheryl dengan punggung tangannya. “Mungkin itu cuma perasaanmu saja.”

“Aku sebenarnya tidak mau Reed menyentuhku lagi, tetapi aku berusaha tidak memperlihatkan padanya. Toh tidak akan lama lagi.”

“Dua hari lagi, sayang, semua kekayaannya akan jadi milikmu dan kau akan jadi milikku.” Clay mengintip jam di tangannya. “Sebaiknya aku pulang dulu. Sudah hampir waktunya untuk mengambil surat-surat.” Clay tersenyum. “Aku ada janji sama Ricky.”

“Oh?” 

“Ia menyuruhku untuk membeli sesuatu di desa itu. Sebuah hadiah kenang-kenangan untukmu. Bukankah itu menyenangkan?” 

“Pergi dari tempat ini adalah hadiah paling baik yang dapat ia berikan padaku.”

 

Buat kekasihku

Ricky yang membawa ransel di punggungnya menghentikan mobil Clay Winslow ketika ia kembali dari desa itu. “Aku lelah sekali, Clay. Boleh aku ikut menumpang?”

“Naiklah,” kata Clay. Kemudian sambil menyerahkan barang yang dibelinya kepada Ricky, Clay menambahkan, “Kau beruntung. Ini adalah kotak terakhir yang mereka miliki.”

Ricky memasukkan kotak itu ke dalam ranselnya. “Terima kasih. Hadiah ini tidak seberapa, tetapi aku ingat tahun lalu betapa Cheryl menyukai French creams ini.” 

Clay tertawa kecil. “Gadis manis di toko tadi bertanya untuk siapa permen ini kubeli.” 

“Lalu, kau bilang kepadanya?”

“Yeah, kubilang permen itu untuk kekasihku.”

 

Ricky berbohong

Malam itu Ricky menemui ayahnya di kantornya yang berdinding papan kayu pinus. Diberikannya sebuah bungkusan tipis berisi hadiah kepada ayahnya. “Boleh dibuka sekarang kalau mau,” kata Ricky.

Wajah Reed menampakkan rasa terkejut bercampur malu saat membuka bungkusan itu. “Oh, bagus sekali. Terima kasih.”

Ricky tersenyum. “Aku tidak bermaksud supaya Ayah menaruhnya di atas meja.” ujar Ricky. “Aku tidak bilang pada Ibu kalau aku mencetak lagi satu untuk Ayah. Aku ingin Ayah melihat betapa Ibu tampak begitu hebat.”

Reed menatap dengan cermat foto Ricky bersama ibunya, Joyce. “Ia kelihatan lain. Tampak lebih muda.”

“Yeah. Kulihat Ibu benar-benar ikhlas meninggalkan Ayah. Penampilannya kini luar biasa. Model rambutnya sekarang lain.”

“Itu model yang biasa dipakainya,” ujar Reed.

“Kalau aku jadi Ayah, tidak akan kubiarkan Cheryl melihat foto ini. Bisa jadi ia tidak mau mengerti.”

Sambil tersenyum Reed memasukkan foto itu ke dalam laci bawah mejanya. “Kau juga akan memberikan sesuatu pada Cheryl? Semacam hadiah atas segala kebaikannya?”

“Akan kukirimkan saja dari rumah,” ujar Ricky. “Oh, ya, aku akan membeli satu kaleng French creams kegemaran Cheryl, tetapi Clay mendahuluiku.”

“Clay?” kata Reed tampak tidak mengerti.

“Ya, Clay justru membelinya untuk Cheryl.”

“Dari mana kau tahu?” 

Ricky memandang ayahnya dengan rasa tak bersalah. “Clay sendiri bilang padaku.” Ricky tersenyum lebar. “Hei, Ayah tidak cemburu pada Clay bukan?”

“Sembarangan kau ini.” 

“Aku cuma bercanda, Ayah. Aku melihat kaleng permen itu di dalam jip ketika tadi ia mengantarku. Lalu kutanya untuk siapa permen itu. Jawabnya, Cheryl yang menyuruh dia membelinya.”

 

Jip sudah pergi

Sehari sebelum berangkat pulang, Ricky masuk ke kamarnya setelah makan siang dan menulis beberapa kartu pos untuk teman-teman kuliahnya. Bukannya supaya tampak masuk akal, namun barangkali setelah itu bermanfaat kalau ia memiliki bukti bahwa kartu-kartu pos itu akan sampai di kantor pos di desa itu. Ia turun ke lantai bawah sambil membawa kartu-kartu posnya. Ketika itu kira-kira saatnya Clay akan turun bukit.

Jantung Ricky berdenyut kencang waktu ia melihat jip itu sudah pergi. Kemudian ia mendengar namanya dipanggil dan ketika ia memutar badannya, terlihat ayahnya melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Clay berdiri di samping ayahnya.

“Sebaiknya kau ikut kami, Ricky. Seorang tamu kita terlempar jatuh dari kudanya di North Trail. Wanita naas itu barangkali patah kakinya.” 

Ricky menatap kartu-kartu yang dipegangnya. “Tentu. Aku tadi cuma mau minta tolong Clay untuk membawa kartu-kartu ini ke kantor pos.”

Clay menyahut, “Kau terlambat, Ricky. Ny. Terner sudah berangkat menuju ke kantor pos. Maaf.”

Ricky berdiri memandang ke arah kaki bukit, lalu berbalik mengikuti kedua orang itu, sambil memasukkan kartu-kartu posnya ke saku jaketnya.

Wanita itu rupanya cuma menderita keseleo saja. Reed sungguh merasa prihatin, tetapi ia merasa lega setelah tahu cedera tamu itu tidak terlalu serius. Namun, ketika mereka kembali ke penginapan, rahangnya kembali terkatup erat waktu dua orang pria dan seorang berseragam polisi datang terburu-buru menemui mereka.

“Ayah, ada apa ini?” 

Wajah Reed tampak pucat, bibirnya bergetar. “Sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Jip itu ... masuk ke jurang.” 

“Kau bilang Cheryl ... Ya, Tuhan! Apakah dia ....” 

“Cheryl meninggal Ricky,” kata Reed dengan suara datar.

 

Sore di tengah hutan

Sore itu Ricky masuk ke kamarnya, membuka kopor dan memasukkan sesuatu ke dalam sakunya. Kemudian ia mengambil kotak French creams yang belum terbungkus dan membawanya. Ricky berjalan melewati lorong, naik tangga menuju pintu yang menuju ke emper di luar ruang olah raga. Menyeberangi emper itu, ia menuju ke hutan di luar sana. Ia merasa lega bahwa kecelakaan itu terjadi sesuai dengan rencananya meskipun tadinya Winslowlah yang dia perkirakan ada dalam jip yang remnya ia buat agar blong itu, bukan Cheryl.

Adalah Winslow yang secara tak sengaja memberinya gagasan tentang penyabotan rem mobil itu. Gagasan itu diperolehnya ketika Ricky diam-diam mengikuti Cheryl menuju kabin, lantas berdiri menguping di luar jendela. Namun, sekarang ia merasa tidak membenci pria itu. Siapa sih yang tidak tergiur bila menghadapi Cheryl? Seperti misalnya ayahnya dan juga Ricky sendiri. Tadinya ia bermaksud meracuni Cheryl dengan permen yang ia beri racun. Kini permen beracun itu tak berguna lagi.

Jauh di tengah hutan Ricky memendam kotak permen itu dalam-dalam bersama botol kecil berisi cairan bening. Kalau dibuang begitu saja takut dimakan binatang tak berdosa. Racun itu tadinya akan ia taruh di kamar Clay. Kini sudah tak perlu lagi. (Donald Oison)

Baca Juga: Cemburu Buta 110 Tahun Penjara

 

" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682598/aku-takut-sayang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301563000) } } [10]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682458" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/detektif-gedung-putihjpg-20230213031804.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Seorang wanita tewas dicekik di Gedung Putih. Setelah diselidiki, ia kerap menjamu para pejabat, memotret diam-diam lalu kemudian memeras mereka." ["section"]=> object(stdClass)#160 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/detektif-gedung-putihjpg-20230213031804.jpg" ["title"]=> string(21) "Detektif Gedung Putih" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:18:15" ["content"]=> string(36199) "

Intisari Plus - Seorang wanita tewas dicekik di Taman Mawar, Gedung Putih. Setelah diselidiki, ia kerap menjamu para pejabat di rumahnya, memotret diam-diam lalu kemudian memeras mereka.

--------------------

Malam itu Senator Everett E. Cranshaw menjadi tamu pribadi Presiden Franklin D. Roosevelt di Gedung Putih. Keduanya sama-sama alumnus Harvard. Bedanya, Roosevelt kini pimpinan Partai Demokrat, sedangkan Cranshaw pentolan Partai Republik.

Ny. Eleanor Roosevelt cuma sebentar ikut menemani mereka, karena tamunya sendiri sudah menunggu di ruang makan pribadinya. Missy LeHand-lah, sekretaris Presiden, yang kemudian menggantikannya.

Usai menemui tamunya, Presiden yang lumpuh itu dipapah ke kamarnya oleh seorang pelayan. Pakaiannya kemudian ia tukar dengan piama. Sementara itu, Missy memutar piringan hitam.

Presiden tengah menikmati makan malamnya di kamar bersama Missy ketika telepon berdering. Missy yang mengangkatnya. Stan Siegel, agen dinas rahasia yang bertugas menjaga keselamatan Presiden, melaporkan perihal penemuan mayat di Taman Mawar Gedung Putih. Missy merasa tidak perlu menyampaikan kabar itu sekarang kepada Presiden.

 

Putri senator

Ketika mengantar tamunya ke luar Gedung Putih, Ny. Roosevelt melihat kesibukan di Taman Mawar. la buru-buru mendekati. Di taman tampak seorang wanita berpakaian hitam tertelungkup di tanah.

“Tewas dicekik,” ujar Siegel. Di dalam tas tangannya ditemukan SIM atas nama Vivian Taliaferro (34).

“Ia putri almarhum Senator Jefferson Taliaferro,” pekik Ny. Roosevelt. “Saya dengar, rumahnya di Georgetown merupakan tempat pertemuan orang-orang terkemuka.”

Dinas rahasia menahan Frederick Hausser, karena dalam tas wanita itu ditemukan cek pribadi Hausser sebesar 100 dolar. Alasan lain, seorang sekretaris melihat Vivian Taliaferro di dekat kantor Hausser malam itu. Namun Hausser mengaku, Nn. Taliaferro datang kira-kira pukul 20.15 dan 5 atau 10 menit kemudian ia sudah pergi.

Hausser menyangkal telah membunuhnya. Tapi, ia mengakui kencannya dengan korban. Karena Nn. Taliaferro menolak ia nikahi, sebagai penebus dosa ia lalu menyantuninya 50 dolar sebulan. Ketika Vivian datang padanya pertengahan Juli ia beri sekaligus 100 dolar, sekalian dengan jatah bulan Juni yang belum ia berikan.

Keterangan itu membuat Siegel makin curiga pada Hausser. Bisa saja pembunuhan itu merupakan satu-satunya jalan agar Hausser bisa melepaskan diri dari pemerasan Vivian.

 

Bordil

Saat itu bulan Juli. Dua hari setelah penemuan mayat di Taman Mawar, Presiden berangkat berlibur ditemani putra-putranya. Sementara, itu Ny. Roosevelt dan Missy tetap tinggal di Gedung Putih untuk mempersiapkan kampanye pada bulan November nanti.

Sehari sebelum berangkat, Presiden membuat surat perintah penyidikan pembunuhan di Taman Mawar itu kepada dinas rahasia. Soalnya, Roosevelt tidak menghendaki John Edgar Hoover, pemimpin FBI, memata-matai Gedung Putih.

Dari pemeriksaan mayat tidak didapati bekas penganiayaan atau bukti kalau Nn. Taliaferro tadinya sedang mabuk. Ny. Roosevelt jadi penasaran begitu mendengar laporan Siegel itu. “Rasanya mustahil Fritz yang kurus itu bisa mencekik seorang wanita waras yang beratnya hampir sama dengannya. Lebih-lebih tanpa menganiayanya dulu sampai wanita itu tak berdaya,” pikirnya.

Rumah Nn. Taliaferro tidak besar, meski interiornya tak bisa dibilang sederhana. Di sinilah orang-orang terkemuka mulai dari jenderal sampai konglomerat dan presiden bursa New York biasa bertemu dan berbincang-bincang. Di kamar Nn. Taliaferro dijumpai pakaian mewah memenuhi lemari. Namun, yang paling menarik adalah cermin raksasa di dinding sebelah kiri ranjangnya.

Di sebelah kamar itu ada pintu yang sepintas kelihatannya seperti pintu lemari. Ternyata bukan. Itu pintu ke sebuah kamar sempit berbatas cermin dinding kamar tadi. Orang di dalam kamar sempit itu tidak akan tampak dari kamar tidur, tetapi ulah orang-orang di atas ranjang jelas sekali kelihatan dari situ. Di dalamnya ditemukan dua penyangga kamera yang dipasang tinggi-tinggi dan sebuah tangga. Dari sinilah biasanya tamu dan nyonya rumah difoto secara diam-diam.

“Astaga!” seru Letnan Detektif Kennelly. “Tempat yang tampaknya terhormat ini ternyata bordil!”

 

Sidik jari para penggede

Di ruang bawah tanah yang berfungsi sebagai kamar gelap ditemukan empat kamera canggih. Sayangnya, foto-foto berikut negatifnya tidak ditemukan satu pun. Polisi menduga ada orang lain yang mendahului mereka datang ke rumah ini.

Menurut pemeriksaan polisi, setiap bulan cuma Hausser sendiri yang memberikan cek. Kalau begitu, dari mana Nn. Taliaferro bisa memperoleh pakaian mahal, mobil baru, dan menjamu tamu setiap hari kalau penghasilannya cuma 200 dolar sebulan. 50 dolar dari Hausser, sisanya dari pensiun ayahnya, dan sedikit warisan.

Masih didapati pula bukti bahwa pada bulan Juni saja Nn. Taliaferro telah membelanjakan 65 dolar untuk minuman keras, 85 dolar untuk dua penjahit (belum lagi penjahit lain), 85 dolar untuk cicilan rumah bulanan, belum lagi gaji pembantu dan iuran perkumpulan eksklusif. Bulan November tahun sebelumnya ia membeli kontan sebuah mobil baru seharga 650 dolar. Sementara kamera-kameranya bernilai lebih dari 1.000 dolar.

Ny. Roosevelt tercengang ketika diberi tahu kalau sidik jari Menteri Perdagangan Herschel Rinehart ditemukan di gelas kamar mandi, sidik jari Hakim Federal Beresford Kincaid di ubin porselin di atas bak rendam, dan sidik jari Asisten Jaksa Agung William Wolfe di tiang ranjang.

Ada juga sidik jari di kamera yang tampaknya telah dihapus dengan terburu-buru. Jejaknya sama dengan yang ditemukan pada alat pembesar foto dan di balik cermin. Setelah dicocokkan dengan arsip polisi maupun FBI, sidik jari itu tak ditemukan. Diduga pemiliknya belum pernah ditahan polisi, belum pernah bekerja pada pemerintah, dan tidak pernah ikut dinas militer.

Frederick Hausser dilepaskan dari tahanan. Ny. Roosevelt menemuinya di kantornya. la kaget sekali ketika diberi tahu ada kamera di balik kaca kamar Nn. Taliaferro. la sendiri tidak pernah diperas dengan foto. Barangkali, karena tanpa foto pun ia sudah bersedia memberi.

Hausser bercerita, ia diperkenalkan dengan Vivian Taliaferro di sebuah klab eksklusif oleh Senator Cranshaw. Hausser merasa mendapat kehormatan ketika diundang Nn. Taliaferro datang ke rumahnya. Apalagi di sana ia bertemu dengan Wapres Gardner. Baru pada kunjungannya keempat ia dihela ke kamar oleh Nn. Taliaferro.

Ketika ia turun dari kamar, anggota Kongres Martin Dies menyapanya, “Selamat datang ke perkumpulan ini, orang muda!”

Sambil tertawa-tawa, Senator Steven Valentine pun menggodanya, “Mereka membuat foto Olimpiade, Nak. Mudah-mudahan kau menunjukkan penampilan seorang peraih medali emas.”

 

Wanita yang sama?

Pembunuhan atas Nn. Taliaferro terjadi Selasa malam, tanggal 14 Juli 1936. Pada hari jumat siang, Siegel mendatangi Hakim Kincaid. Sebelum sempat ditanyai ia sudah lebih dulu mempertanyakan keabsahan surat perintah Presiden.

Tapi ia tampak ciut ketika Siegel menjelaskan sidik jarinya ditemukan di tegel porselin di atas bak rendam pribadi Nn. Taliaferro. “Saya mengaku mandi di baknya, tapi silakan beri tahu saya kalau Anda bisa membuktikan hal lainnya,” tantangnya dengan congkak.

Sejam kemudian Siegel sudah berhadapan dengan Asisten Jaksa Agung William Wolfe. “Saya hampir tidak kenal pada Wanita itu. Anda bangga ya, bisa menggertak orang yang sidik jarinya dijumpai di rumah itu,” katanya galak.

“Cuma sidik jari Anda yang dijumpai di ranjang,” jawab Siegel kalem.

Saat makan berdua dengan Ny. Roosevelt, Missy teringat akan Alex Bushnell, suami Betsy, salah seorang teman baiknya. Bushnell bunuh diri karena khawatir kariernya akan hancur jika skandalnya terungkap. Apakah kasus ini ada hubungannya dengan Nn. Taliaferro?

Missy Ialu menelepon Betsy. Kata Betsy, pada suatu hari ia menerima kiriman foto mesum suaminya dengan seorang wanita. Dua hari kemudian suaminya ditelepon wartawan Times yang juga mendapatkan kiriman foto serupa. Setelah minta maaf pada istrinya, Bushnell Ialu bunuh diri. Ia mengaku cuma sekali berkencan dengan wanita yang disebutnya wanita terhormat itu, Ialu dimintai uang. Ketika ia menolak, tibalah foto itu di tangan istrinya dan redaksi Times.

Sayangi Betsy sudah merobek-robek foto itu.

 

Satu lagi tewas

Sabtu, Siegel memberi tahu Ny. Roosevelt bahwa Asisten Jakgung Wolfe menghilang dari kamar pondokannya.

Hari itu juga Siegel, Kennelly, dan Ny. Roosevelt mendatangi rumah Amy Curtis, wanita kulit hitam pembantu rumah tangga Nn. Taliafero. Ia biasa bekerja sore sampai larut malam, sehingga ia tahu tamu-tamu majikannya. Ia juga tahu sebagian dari mereka diajak Nn. Taliafero ke kamar.

Pintu di sebelah kamar Nn. Taliaferro dan pintu ruang bawah tanah, menurut Amy, selalu terkunci. Katanya lagi, ada tamu yang hampir setiap hari datang, yaitu Joe Bob Skaggs yang berjalan menggunakan dua buah tongkat. Ia berasal dari daerah yang sama dengan Nn. Taliaferro, Biloxi - Mississippi. Hanya saja, Amy tidak ingat apakah Skaggs pernah diajak ke atas.

Alamat Skaggs diperoleh Siegel dari polisi District of Columbia dan FBI. Ia tinggal di Alexandria, Virginia. Bertiga mereka ke sana, diantar polisi setempat. Pintu rumah tidak dibuka, walaupun mereka lama mengetuk-ngetuk.

“Sudah dua hari lampunya gelap saja,” kata seorang tetangga.

Akhirnya Kennelly terpaksa membukanya menggunakan alat khusus. Ternyata, Skaggs didapati telah terkapar dengan wajah mencium permadani di kamar tamunya! Di kepalanya ditemukan bekas pukulan benda tumpul. Kennelly menduga Skaggs sudah tewas dua atau tiga hari yang Ialu.

 

Foto orang-orang keren

Mereka Ialu menggeledah rumah itu. Dari foto-foto berikut negatifnya yang berserakan di ranjang dan di lantai ditemukan foto-foto Frederick Hausser, Hakim Beresford Kincaid, Senator Steven Valentine, anggota Kongres Gordon Pierce, Menteri Perdagangan Herschel Rinehart, dan Senator Everett Cranshaw! Ada juga foto Burton Oleander, Ketua Association of Coal Fired Utilities. Dialah orang yang sering menuduh Presiden itu komunis.

“Seseorang membunuh Nn. Taliaferro karena diperas,” duga Ny. Roosevelt. “Tapi fotonya tidak ada di rumah Nn. Taliaferro, sehingga ia datang ke sini.”

Wolfe dan Senator Rinehart yang sidik jarinya didapati di kamar dan kamar mandi Nn. Taliaferro ternyata fotonya tak dijumpai. Foto anggota Kongres Martin Dies juga tidak ada. Apakah salah seorang dari mereka pembunuhnya? Apakah ia mengambil foto-foto orang lain juga supaya tidak mudah dicurigai?

Mengapa pembunuh itu tidak mengambil semua foto, tapi meninggalkan foto tujuh orang? Mungkinkah pembunuh Skaggs sama dengan pembunuh Vivian Taliaferro? Jangan-jangan pada malam terbunuhnya Nn. Taliaferro itu Skaggs cepat-cepat datang ke rumah Nn. Taliaferro, lalu mengambil foto-foto itu untuk dibawa ke rumahnya. Tapi, dari mana ia tahu Nn. Taliaferro terbunuh? Atau, mungkinkah malam itu Skaggs mengantar Nn. Taliaferro ke Gedung Putih? Bagaimana pembunuhnya tahu foto itu ada pada Skaggs?

 

Penjudi berat

Senator Valentine ditemui Siegel di Capitol Hill. Ia menyangkal keras membunuh siapa pun, tetapi tidak mau memberi tahu di mana ia berada Selasa malam. “Saya bisa membuktikannya,” katanya. Sepanjang Jumat pagi ia rapat dengan Komite Tenaga Kerja Senat.

“Mestinya kedua kematian itu ada hubungannya,” katanya. “Vivian memainkan peran sebagai wanita baik-baik yang tidak membicarakan uang. Skaggs-lah yang bertugas memungut uang sekalian menjadi juru potret. Ia orang keras. Ke mana-mana membawa pistol. Entah kenapa ia tidak mempergunakan pistolnya menghadapi pembunuh. Mungkin karena si pembunuh itu orang yang ia percayai.”

Ketika Siegel menyatakan menemukan fotonya, Senator dengan halus memancing kemungkinan untuk membeli foto itu berikut negatifnya.

“Ada tuh, di lemari besi Ny. Roosevelt,” jawab Siegel. Tentu saja senator dari Partai Demokrat itu kaget setengah mati.

Dari pemeriksaan lebih saksama di rumah Skaggs ditemukan sebuah pistol Baby Browning. Sebutir pelurunya belum lama ditembakkan dan pistol itu belum dibersihkan. Di situ cuma ada sidik jari Skaggs. Ditemukan pula uang 1.000 dolar dalam sepatu usang.

Dari pelacakan di tempat-tempat perjudian diperoleh keterangan kalau Skaggs itu penjudi berat. Tak ada orang yang tahu dari mana ia mendapatkan uang.

 

Maling cantik

Malam sebelumnya, tetangga Skaggs memergoki seorang wanita memasuki rumah Skaggs lewat jendela. Polisi lalu menahan wanita cantik bernama Sally Partridge itu. Sally mengaku punya hak memasuki rumah Skaggs kapan saja, karena ia teman almarhum. Katanya, ia datang untuk mengambil pakaiannya yang tergantung di lemari.

Ia mengaku pernah diajak ke rumah Vivian Taliafero. “Mereka berdua brengsek,” katanya geram. “Mereka masih berutang pada saya.” Konon, mereka pernah meminta Sally “melayani” tamu-tamu penggede di tempat lain, tetapi dengan membayar kepada Taliafero - Skaggs.

Pada hari Selasa malam, kata Sally, Skaggs menjemputnya di tempat kerjanya di Airline Bar dan memberi tahu kalau Nn. Taliaferro terbunuh. Ia lalu diajak ke rumah Nn. Taliaferro untuk mengambil beberapa barang. Skaggs menjanjikan upah buatnya. Skaggs takut kalau sampai barang itu jatuh ke tangan polisi. Sally sendiri yakin bukan Skaggs yang membunuh Nn. Taliaferro, karena Nn. Taliaferro-lah satu-satunya sumber keuangannya.

Di rumah Nn. Taliafero, Skaggs menyuruh Sally menyeka semua barang yang telah disentuh Skaggs dengan cempal. Skaggs lalu mengambil foto-foto dari gudang bawah tanah.

“Dari mana ya Senator Valentine tahu Pak Skaggs membawa-bawa senjata?” tanya Ny. Roosevelt ketika Siegel bercerita padanya. “Kan senjata itu tertutup jas. Mustahil dipertontonkan.”

 

Menteri perdagangan gemetar

Dalam suatu perjamuan Ny. Roosevelt bertemu dengan Menteri Kehakiman AS Charles Evans Hughes. la lalu mengajaknya mengobrol perihal Asisten Jaksa Agung William Wolfe yang tengah ditahan di Alabama karena dicurigai membunuh Nn. Taliaferro.

Kata Hughes, tadinya ia tidak curiga sedikit pun pada pertemuan-pertemuan terhormat di rumah Nn. Taliaferro. Ia sendiri pernah beberapa kali diajak ke sana oleh Oliver Wendell Holmes dan menikmati percakapan produktif dengan tokoh-tokoh lain. Namun suatu ketika, dalam pertemuan di tempat lain, Senator Cranshaw yang sudah kebanyakan minum alkohol mengoceh. Katanya, Vivian Taliaferro itu setan yang akan menghancurkan banyak karier kalau tidak dihentikan.

Dalam percakapan dengan Menteri Perdagangan Rinehart yang malam itu hadir, Ny. Roosevelt mendengar Rinehart kecewa sekali karena kemungkinan Wolfe akan dibebaskan. Ia mengaku kenal Wolfe maupun Vivian Taliaferro. Wolfe pernah bercerita, ia memiliki ikatan khusus dengan Vivian dan wanita itu mendesak agar mengawininya, demi kehormatannya. 

“Kehormatannya?” tanya Ny. Roosevelt. “Sejumlah foto yang ditemukan menunjukkan Nn. Taliaferro bukan wanita terhormat.”

Mendengar dinas rahasia telah menemukan sejumlah foto, Menteri gemetar.

 

Pak hakim menjadi calo

Di hadapan Ny. Roosevelt, Siegel, serta Missy, Menteri Rinehart bercerita, setahun lalu ia diajak Hakim Kincaid ke rumah Nn. Taliafero. Tiga bulan kemudian Hakim Kincaid meminta sumbangan untuk membantu biaya perjamuan yang diadakan Nn. Taliafero. Ia memberinya 100 dolar lewat Hakim Kincaid. Setelah itu Rinehart masih memberi uang beberapa kali lagi lewat Kincaid, tapi setiap kali cuma 20 dolar.

Setelah mengencani Vivian di kamarnya, muncullah Skaggs membawa foto-foto mereka saat bermesraan. Terpaksalah Rinehart “menyumbang” 100 dolar sebulan lewat Skaggs. Ia lalu berkeras hendak membeli foto berikut negatifnya. Vivian setuju. Hanya saja, pembelian itu belum dilaksanakan.

“Orang yang ingin membunuhnya untuk mendapatkan foto akan memilih rumah Vivian, bukan Taman Mawar,” sambung Rinehart. “Pembunuhnya ‘kan tidak berhasil mendapatkan foto-foto itu. Malah Anda yang memperolehnya.”

“Kecuali foto Anda, Pak Rinehart,” jawab Ny. Roosevelt. 

“Goblok sekali kalau saya membunuh mereka berdua, lalu cuma mengambil foto saya sendiri,” sanggah Pak Menteri.

 

Diajak mencuri foto

Rinehart mengaku, Selasa malam Wolfe meneleponnya ke rumah, memberi tahu Vivian terbunuh. Wolfe mengajaknya secepatnya ke rumah Vivian, untuk mengambil foto-foto mereka. Ketika ia menolak, Wolfe marah lalu membanting telepon. Ia lalu buru-buru menelepon Burt Oleander, Senator Steve Valentine, dan Hakim Kincaid di rumah mereka. Tapi, cuma Oleander yang ada di rumah.

Sambil menunggu kedatangan Wolfe dari Alabama, Siegel mewawancarai Hakim Kincaid. Ia mengaku sepanjang Jumat pagi sampai siang berada di pengadilan. Selasa malam ia minum dengan Admiral Richard Horan di Army-Navy Club. Kira-kira pukul 20.30 atau 21.00 ia pulang dengan taksi dan tiba di rumahnya - yang cuma tiga blok dari rumah Nn. Taliaferro - pukul 21.15 atau 21.30.

Hakim berpendapat, pembunuh Nn. Taliaferro adalah Skaggs. Alasannya, wanita itu pernah bercerita, ia takut pada Skaggs karena menuntut persenan terlalu tinggi. “Kalau foto-foto itu cuma milik Joe Bob seorang, ia bisa memperoleh semua hasil,” begitu kata Kincaid.

“Tapi siapa yang membunuh Skaggs?” tanya Siegel. 

“Skaggs ‘kan tidak bisa bergerak leluasa,” kata Kincaid, “bisa saja ia mengajak pacarnya, Sally Partridge, untuk mengambil foto, lalu Sally membunuh Skaggs.”

“Taruhlah si Sally itu sanggup membunuh Skaggs. Mengapa ia tidak mengambil semua foto dan malah kembali Minggu malam, sehingga kami tangkap?” sanggah Siegel. 

“Mungkin dia panik.”

 

Pak senator berkencan

Siegel dan Ny. Roosevelt mendatangi Wolfe di Penjara Alexandria. Menurut Wolfe, Selasa malam saat ia berada di kamar pondokannya, ia ditelepon Hausser, diberi tahu kalau Vivian terbunuh. Kata Hausser, mesti ada orang yang bisa secepatnya ke rumah Vivian mengambil foto foto mereka. Hausser sendiri berhalangan. Ketika diberi tahu lewat telepon, Menteri Rinehart menolak ikut. Hakim Kincaid pun sedang tak ada di rumah ketika dihubungi.

Kata Ny. Roosevelt kepada Wolfe, ia lebih mudah dituding daripada yang lain, sebab fotonya tidak ditemukan tapi sidik jarinya ada di tiang ranjang.

“Kami mempunyai foto tujuh orang. Siapa saja mereka itu menurut Anda?” pancing Siegel.

“Rinehart, Hausser, Hakim Kincaid, Senator Valentine, Burt Oleander dan ... Alex Bushnell,” rinci Wolfe.

Siegel mendatangi anggota Kongres Gordon Pierce dan mengajaknya menemui Ny. Roosevelt. Pierce mengaku mulai diperas empat bulan lalu, sedangkan Wolfe dua minggu lalu. Selain mereka berdua, tamu Nn. Taliaferro yang diketahuinya mendapat perlakuan khusus adalah Senator Valentine, Burt Oleander, dan Menteri Rinehart.

Sally Partridge itu sebenarnya wanita panggilan, kata Pierce. Ia bekerja sama dengan Vivian dan Joe Bob. Tugas Sally adalah “melayani” tamu. Imbalan untuknya dibayarkan lewat Vivian.

 

Missy merekonstruksi

Kini Siegel dan Kennelly mendatangi Sally Partridge. Ia mengaku malam Selasa tinggal di rumah bersama Senator Valentine.

Ny. Roosevelt kebagian menanyai Senator Cranshaw.

“Seperti Anda tahu, Selasa malam saya berada dekat Presiden,” katanya. “Saya tidak yakin pukul berapa saya pamit. Rasanya tidak lebih awal dari pukul 20.45.” Ia pulang lewat Serambi Selatan dan berjalan ke Willard Hotel untuk minum kopi, karena kebanyakan minum alkohol. Di ruang makan ia bertemu dengan Burt Oleander.

Jumat pagi ia bertemu dengan Menteri Rinehart, mendiskusikan masalah impor kayu. Ketika keterangannya ini dicek ke Rinehart, Menteri itu membenarkan.

Untuk memastikan pukul berapa Senator Cranshaw meninggalkan Presiden, Missy mengadakan semacam rekonstruksi. Begitu Cranshaw pergi, kata Missy pada Siegel dan Ny. Roosevelt, ia memanggil pelayan untuk membantu Presiden mengganti pakaiannya dan mendudukkannya di ranjang. Missy sendiri naik ke apartemennya untuk mandi, kemudian ke kamar Presiden dan menemaninya makan malam. Ketika Simfoni ke-9. Beethoven masih mengalun, Siegel menelepon.

Dari rekonstruksi itu diketahui Senator Cranshaw meninggalkan mereka tidak lebih lambat dari pukul 20.26.

 

Ramai-ramai menggertak

Hari itu juga Hakim Kincaid bertemu dengan Ny. Roosevelt. la menggertak Ny. Roosevelt, mempertanyakan keabsahan surat perintah Presiden. Bukankah dinas rahasia hanya bertanggung jawab atas keselamatan Presiden? Tapi, Ny. Roosevelt tidak mempan digertak.

Pada saat yang hampir bersamaan Burt Oleander menggertak Siegel. Dengan tenang Siegel menyodorkan foto mesum Oleander. “Saya juga punya foto Hakim Kincaid dalam adegan serupa,” kata Siegel.

Akhirnya, Oleander mau juga menjawab di mana ia berada Selasa malam antara pukul 20.30 - 21.00. Katanya, ketika sedang makan sendirian di Willard Hotel pukul 21.00, muncul Senator Cranshaw, yang lalu duduk semeja dengannya untuk minum kopi dan brendi. Jumat pagi, katanya, ia berada di kantornya.

Sementara itu seorang, pengacara bernama James Townley membayar uang jaminan 5.000 dolar agar William Wolfe ditahan di luar. Anehnya, Wolfe sendiri tidak mengenal Townley.

 

Admiral minta berenti

“Kau mengaku berada bersama Senator Valentine Selasa malam,” kata Missy kepada Sally ketika ia menjenguknya di penjara.

“Skaggs pergi sendirian ke rumah Nn. Taliaferro.”

“Kalau begitu, Skaggs dong yang membunuhnya,” panang Siegel.

“Mana mungkin. Dengan sekali dorong saja dia sudah roboh,” jawab Sally.

Waktu itu Senator ingin ikut, tapi Skaggs mengancam akan menembaknya. Jadi Senator ditinggalkan di rumah Sally.

Sally pun dikeluarkan dari penjara. 

Ny. Roosevelt hari itu kedatangan Menteri Angkatan Laut Claude Swanson dan Admiral Horan. Kepada Ny. Roosevelt, Menteri AL itu menyatakan sayang sekali kalau Admiral Horan yang sangat dibutuhkan negara itu mengundurkan diri.

“Mengapa pengunduran diri saja dibicarakan dengan Ibu Negara?” tanya Ny. Roosevelt.

Papar Menteri pada Ny. Roosevelt, Horan kemarin ditelepon Hakim Kincaid. Katanya, Ibu Negara, agen-agen dinas rahasia, dan mungkin pula para detektif District of Columbia sudah melihat foto mesum Horan. Sebentar lagi rahasia itu akan dibeberkan. Nah, sebelum semuanya itu dipublikasikan, Horan merasa lebih baik kalau sekarang mengajukan permohonan berhenti.

la juga mendengar terbunuhnya Nn. Taliaferro dari Hakim Kincaid. Katanya, Kincaid ditelepon oleh Senator Valentine. Tapi, ia tidak tahu dari mana Valentine memperoleh kabar itu.

 

Wolfe lenyap lagi

Jumat, 24 Juli 1936, Senator Valentine dipanggil Ny. Roosevelt. Pada saat yang bersamaan Sally Partridge diantar Letnan Kennelly ke tempat Missy di sayap eksekutif.

Mereka lalu ditanyai bersamaan. Valentine mengaku, setelah Sally dan Skaggs meninggalkannya, ia mencari telepon ke sebuah bar dekat rumah Sally. Diteleponnya Hakim Kincaid, lalu menelepon Burt Oleander di rumahnya. Saat itu pukul 21.00 atau mungkin lewat beberapa menit.

Pada saat itu Siegel ditelepon polisi: Wolfe kabur lagi dari rumahnya. Setelah diselidiki, ketahuanlah kalau Townley itu pengacara perusahaan Burt Oleander! Apa perlunya Oleander menebus Wolfe dari penjara?

Ny. Roosevelt mencurigai Oleander dan Cranshaw yang mengaku berada di Willard Hotel pada pukul 21.00, hari Selasa. Atau, mungkinkah Senator Valentine dan Menteri Rinehart telah berbohong padanya?

 

Salah perhitungan

Di hadapan Ny. Roosevelt, Oleander mengaku tidak tahu-menahu soal lenyapnya Wolfe. Ia berani menjamin karena merasa Wolfe tidak bersalah.

“Di Burning Tree,” jawab orang kaya itu ketika Ny. Roosevelt menanyakan tempat tinggalnya. Ia membenarkan menerima telepon dari Menteri Rinehart dan Senator Valentine Selasa malam. Pukul berapa tepatnya ia lupa. Pokoknya, sepulang dari Willard Hotel.

“Pukul berapa Senator Cranshaw datang ke Willard Hotel?” tanya Ny. Roosevelt.

“Pukul 21.00.” 

“Ia minum kopi dan brendi. Mungkin perlu seperempat jam,” kata Ny. Roosevelt.

“Ah, mungkin cuma beberapa menit,” jawab Oleander yang mulai gelisah.

“Berarti Anda tidak mungkin menerima telepon sebelum pukul 22.15, ya? Tapi menurut Senator Valentine dan Menteri Rinehart, mereka bertelepon dengan Anda sejam sebelum itu.” 

Wajah Oleander merah. “Saya mungkin salah melihat arloji. Mungkin Senator Cranshaw datang lebih awal, sedangkan Senator Valentine dan Menteri Rinehart menelepon lebih malam.” 

“Senator Cranshaw berkata, ia berada bersama Presiden sampai pukul 20.45.”

 

Juara renang tewas terbenam

Kurang dari 12 jam setelah diketahui lenyap, Wolfe ditemukan sudah menjadi mayat di Tidal Basin. Sebab kematian: tenggelam. Menurut keterangan pengurus rumah pondokannya pada polisi, Wolfe meninggalkan rumah pagi-pagi buta. Pada hari terbunuhnya Nn. Taliaferro, ia tidak di rumah mulai sore sampai keesokan harinya.

“Ia dibunuh, ya?” tanyanya tiba-tiba. 

“Mengapa Anda mengira ia dibunuh?” tanya polisi.

Wanita itu merasa kaget juga ditanya begitu. “Habis, kamarnya penuh piala kejuaraan renang. Mana mungkin ia bisa mati tenggelam?”

Ketika dihadapkan pada penyidik di Ruang Kabinet, Ny. Tanner, pengurus pondokan Wolfe, mengaku telah menerima suap sebesar 100 dolar. Penyuap memerintahkan padanya agar ia mengatakan pada polisi bahwa Wolfe tidak ada di rumah Selasa malam, tanggal 14 Juli. Padahal, Wolfe ada di rumah. Setelah menerima telepon dan menelepon lagi beberapa kali, Wolfe lalu pergi.

Ny. Tanner tak mau mengatakan siapa penyuapnya, karena ia takut membeberkannya.

Orang kedua yang dipanggil masuk adalah Hakim Kincaid. Menurutnya, kematian Nn. Taliaferro diketahuinya dari Senator Valentine. Ia tidak ingat pukul berapa, tetapi pasti setelah pukul 21.00. Saat itu Valentine sudah menelepon Burt Oleander. Keesokan harinya ia dan kawan-kawan ditelepon Skaggs. Skaggs memberi tahu bahwa pembayaran bulanan tetap jalan sekalipun Vivian Taliafero terbunuh. Cuma, kini penerimanya adalah Skaggs.

Sekarang giliran Menteri Rinehart masuk. Ia terkejut ketika diberi tahu kalau Wolfe sudah meninggal.

“Itulah sebabnya Anda sekalian malam-malam dipanggil. Ada pembunuh berkeliaran,” kata Ny. Roosevelt. “Saya hanya ingin mengajukan satu pertanyaan: Anda berbohong kepada kami ‘kan?” Rinehart menunduk.

“Tidak benar Anda bertemu dengan Senator Cranshaw untuk membicarakan soal impor kayu hari Jumat pagi,” papar Ny. Roosevelt. 

Rinehart mengangguk. 

Sekarang giliran Cranshaw. “Saya bisa salah kapan tepatnya saya meninggalkan Presiden,” katanya. “Tapi itu bukan bukti bahwa saya membunuh Vivian.” la mengaku pergi ke Willard Hotel. Mungkin pukul 20.45 seperti yang ia duga, atau mungkin pukul 20.30, katanya.

Ketika Ny. Roosevelt menyatakan Cranshaw dan Oleander telah berdusta, mereka marah sekali. Pada saat itu Burt Oleander dan pengacaranya, James Townley, menyerbu ke ruangan. Kata Townley, pertemuan itu menyalahi hukum, dan memerkosa hak-hak asasi kliennya. “Saya protes dan menuntut agar dihentikan dengan segera!” serunya.

Tentu saja Ny. Roosevelt naik pitam. Ia bangkit dari kursinya dan menunjuk ke agen dinas rahasia di dekat pintu. “Keluarkan mereka,” perintahnya dingin. “Tindakan Anda menerobos Gedung Putih pada pukul sekian adalah melanggar hukum.”

 

Memelototi Ibu Negara

“Saya senang bertemu dengan Pak Townley,” kata Letnan Kennelly. “Saya memang ingin bicara dengan orang yang bersikeras mengeluarkan Wolfe dengan jaminan, hanya beberapa jam sebelum ia dibunuh.” Hasil autopsi memang menunjukkan Wolfe dibunuh.

“Senator Cranshaw,” kata Letnan Kennelly, “saya menahan Anda untuk pembunuhan terhadap Vivian Taliaferro dan Joe Bob Skaggs.”

Senator Everett Cranshaw mendelik.

Saat itulah anggota dinas rahasia memberitahukan kedatangan Senator Valentine. Juga Hakim Kincaid dan Nona Partridge.

James Townley protes lagi. Kesempatan ini dipergunakan Cranshaw untuk mencabut pistol. Ia mengancam semua orang lalu kabur. Ia larikan mobilnya ke tempat gelap di F Street. Di situ ia parkir dan menembak kepalanya!

Pembunuh Vivian Taliaferro dan Joe Bob Skaggs sudah diketahui. Tapi siapa pembunuh Wolfe? 

Letnan Kennelly tidak mendapat kesulitan menangkap empat begundal Oleander. Pembunuh bayaran itu dihukum mati di kursi listrik tahun 1937. Oleander sendiri tewas di jalan akibat salah tembak.

Ny. Roosevelt dkk. berhasil menjaga agar skandal Taliaferro - Skaggs ini tidak terpublikasikan, sehingga Presiden Roosevelt akhirnya terpilih kembali pada pemilihan presiden tahun itu. (Elliot Roosevelt)

Baca Juga: Mencari 'Mayat Hidup'

 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682458/detektif-gedung-putih" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301495000) } } [11]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3678528" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(97) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/pelayan-superjpg-20230213031618.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "The Black Widower bertemu setiap bulan untuk membahas kasus misteri yang belum terpecahkan. Salah satu bintangnya selalu punya jalan keluar unik." ["section"]=> object(stdClass)#164 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(97) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/pelayan-superjpg-20230213031618.jpg" ["title"]=> string(13) "Pelayan Super" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:16:31" ["content"]=> string(22763) "

Intisari Plus - Kelompok The Black Widower bertemu setiap bulan untuk membahas kasus-kasus misteri yang belum terpecahkan. Salah satu bintangnya adalah Henry yang selalu punya jalan keluar atas semua kasus.

--------------------

Seperti biasa, setiap bulan para anggota The Black Widower bertemu untuk makan bersama. Walaupun namanya seram, perkumpulan itu cuma wadah bagi pecandu cerita-cerita misteri.

The Black Widower hanya terdiri atas: 

Thomas Trumbull, ahli sandi. 

Geoffrey Avalon, pengacara. 

Emmanuel Rubin, penulis. 

Roger Halsted, guru matematika.

James Drake, ahli kimia organik. 

Mario Gonzalo, pelukis. 

Masih ada seorang lagi, yaitu Henry, pelayan yang meladeni mereka di meja makan. Tanpa kehadiran Henry, pertemuan The Black Widower terasa kurang afdal. Bukan hanya karena ia pandai melayani, tetapi terutama karena otaknya. Boleh dikatakan Henry-lah bintang perkumpulan itu.

 

Bos minta nasihat 

Setiap kali bertemu, anggota-anggota The Black Widower secara bergiliran membawa teman. Sang teman ini mesti orang yang pernah mengalami peristiwa misterius. la akan dipersilakan memaparkan pengalamannya. Para pendengarnya akan mencoba memecahkan misteri itu.

Sekali ini tamu yang berjanji untuk datang dan berbagi pengalaman adalah atasan Thomas Trumbull, yaitu Robert Alfred Bunsen.

“Tampaknya kau tidak terlalu senang bosmu datang kemari, Tom,” kata Roger Halsted kepada Thomas Trumbull, yang sejak tadi tampak gelisah dan dahinya berkerut saja.

“Betul,” jawab Trumbull. “Aku khawatir Henry jadi kikuk sehingga tidak bisa berpikir setajam biasanya. Kalau ia tidak berhasil memecahkan misteri, malu kita.”

“Kamu sih terlalu banyak bercerita tentang pertemuan kita,” sesal James Drake. Apa-apa yang dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan The Black Widower sebenarnya disepakati sebagai rahasia. Gara-gara Thomas Trumbull pernah menyombongkan dua misteri yang terpecahkan di pertemuan itu, bosnya tertarik datang. Soalnya, Robert Alfred Bunsen sedang menghadapi teka-teki yang berhubungan dengan kebocoran rahasia negara.

The Black Widower tidak sempat menyesali Trumbull terlalu lama, karena Bunsen sudah muncul. Pria itu tinggi besar. Wajahnya merah jambu. Rambutnya yang lurus tipis itu dibelah di tengah, lalu disisir ke belakang. Gaya kuno. la diperkenalkan oleh Trumbull kepada kawan-kawannya yang lima orang itu.

“Anda mau minum apa, Pak Bunsen?” tanya Geoffrey Avalon.

Bukan menjawab, Bunsen malah menjentikkan jari ke arah Henry “Diet cola, pelayan. Kalau tidak ada, apa saja, asal minuman diet.”

Mata Mario Gonzalo terbelalak. “Buset!” bisiknya kepada James Drake di balik kepulan asap. “Ngebos benar dia. Dasar penjahat!”

Henry sendiri tampaknya tenang-tenang saja. Ia datang membawa minuman ringan di nampan. Bunsen memeriksa dulu botol minuman itu. “Baik. Baik,” katanya. Henry membuka botol dan menuang setengah dari isinya ke gelas penuh es, lalu membiarkan gelegak busanya mereda. Bunsen mengambil gelas dan Henry mundur setelah meninggalkan botol di meja. 

Percakapan berlangsung kurang lancar. Soalnya, tamu mereka pejabat tinggi yang tidak mereka kenal. Cuma Rubin yang santai. Penulis itu bahkan mempergunakan kesempatan untuk menyerang pelbagai kebijaksanaan pemerintah yang diwakili oleh Bunsen.

Akhirnya selesai juga mereka bersantap. Kopi dihidangkan dan tiba saatnya bagi Thomas Trumbull untuk menyatakan bahwa kini mereka akan mendengar teka-teki dari bosnya. Henry pun berdiri diam-diam di tempat yang sepantasnya bagi pelayan. Bunsen meliriknya dengan waswas. Trumbull buru-buru berbisik, “Henry salah satu dari kita, Bob.”

Bunsen mulai. “Saya akan menceritakan garis besarnya saja, ya? Ada seorang pria. Katakan saja namanya Smith.”

“Kami sebetulnya hampir yakin bahwa Smith itu mata-mata lawan, tetapi tidak yakin 100%. Ia diduga menjadi mata rantai dari suatu jaringan yang ingin kami potong. Kemungkinan besar ia mentransfer informasi di sebuah restoran yang sering dikunjunginya.”

“Kami memutuskan untuk menjebak dia. Caranya rumit dan rasanya tidak perlu saya ceritakan. Pokoknya, Smith itu kami beri umpan informasi penting, tetapi tidak fatal kalau sampai lolos ke tangan lawan.”

“Kami mengamati dengan saksama, ketika Smith pergi makan ke restoran, sambil membawa objek yang akan ditransfer. Ketika ia keluar dari restoran, objek itu ternyata sudah tidak ada padanya. Sampai saat ini kami tidak tahu bagaimana cara dia mentransfer barang itu, kapan tepatnya dan kepada siapa barang itu diserahkan.”

Trumbull, yang bertugas semacam moderator bertanya kepada Gonzalo, “Kau ingin bertanya sesuatu, Mario?”

“Benda yang Anda sebut ‘objek’ itu berbentuk seperti apa?” 

“Objek itu garis tengahnya kira-kira 2,5 cm dan gepeng. Warnanya metalik, sehingga mudah terlihat. Benda itu terlalu besar untuk ditelan dengan mudah, terlalu berat untuk dijatuhkan tanpa bunyi. Juga terlalu berat untuk ditempelkan ke sesuatu. Bentuknya terlalu tebal untuk diselipkan di suatu celah dan bukan dari besi, sehingga tidak bisa ditarik dengan magnet. Objek itu memang sengaja kami rancang agar sulit ditransfer atau disembunyikan.”

“Apa yang dilakukan Smith di restoran. Makan?” tanya Mario Gonzalo lagi. 

“Ia makan seperti setiap kali dilakukannya kalau datang ke situ.”

“Restoran macam apa sih itu, maksud saya apakah restoran itu bereputasi baik?”

“Ya. Soalnya, Smith orang yang penuh sopan santun dan sangat memperhatikan tata krama.”

“Siapa yang makan bersama Smith?”

“Dia sendirian. Begitu memang kebiasaannya. Selesai makan, ia menandatangani cek. Lalu ia meninggalkan restoran dengan taksi. Kami segera menahannya, tapi objek itu sudah tidak ada padanya.”

“Tunggu. Anda bilang ia menandatangani cek. Apa yang ia tulis di situ?”  

“Kami tahu. Ceknya ada pada kami. Ia memberi tip kepada pelayan dan menandatangani namanya dengan pensil si pelayan, lalu mengembalikan pensil itu. la tidak memberikan benda lain lagi. Pelayan itu juga tidak lepas dari pengamatan kami dan pemeriksaan kemudian.”

“Saya menyerah deh,” kata Mario Gonzalo, si pelukis.

James Drake, ahli kimia organik itu, mematikan puntung rokoknya, ketika Trumbull memberi kesempatan kepadanya untuk bertanya.

“Sampai seberapa jauh Smith diamati di restoran itu?” 

“Kami memasang dua orang di sana. Masing-masing duduk di meja yang bersebelahan dengannya. Mereka pengamat yang terlatih dan kemampuannya tidak diragukan. Pokoknya, Smith tidak bisa melakukan sesuatu tanpa tampak oleh mereka. Menggaruk, memegang-megang kancing, membengkokkan jari, menggerakkan kaki ataupun mengangkat pantat semua tidak luput dari mata mereka.”

“Smith pergi ke kamar kecil?” 

“Tidak. Kalau umpamanya ia pergi, kami siap mengikuti dia.” 

“Apakah Smith tahu ia diamati?”

“Mungkin sekali ia tahu, sebab orang yang melakukan pekerjaan seperti dia selalu ekstra hati-hati, supaya tidak cepat ketahuan.” 

“Anda ikut mengawasi dia di restoran?”

“Tidak. Saya tidak mendapat pendidikan khusus untuk itu. Tubuh saya terlalu besar dan lebar untuk membuntuti atau mengamati orang tanpa kentara. Pengamat mesti memiliki penampilan yang tidak mencolok. Ketika itu saya berada di sebuah bangunan yang berada di seberang jalan, mengawasi dia diam-diam dengan teropong dari jendela. Saya melihat dia keluar dari pintu restoran. Penjaga pintu membukakan pintu taksi dan Smith berhenti sejenak, seakan-akan merasa diamati dan melihat berkeliling, seakan-akan mencoba mengenali siapa yang mengamatinya. Ternyata memang demikian ....”

“Anda yakin ia membawa objek itu ketika memasuki restoran dan sudah tidak memilikinya lagi ketika meninggalkan restoran dengan taksi?”

“Ya. Taksinya disupiri oleh orang kami yang terbaik. Sengaja kami sediakan di situ, supaya kalau dipanggil penjaga pintu, orang kami yang membawa Smith. Smith masuk tanpa curiga. Ketika beberapa saat kemudian ia kami tahan dan kami periksa sampai memakai sinar-X segala, objek itu tidak ditemukan padanya.”

“Ia tinggalkan di taksi,” sergah Drake.

“Supir kami mengamatinya dengan saksama dan taksi kami periksa juga. Kalau saya katakan mengamati atau menggeledah, maka hal itu dilakukan secara profesional,” kata Bunsen agak tersinggung, karena Drake seakan-akan meragukan kemampuan orang-orangnya.

“Saya tahu,” jawab Drake. “Tapi ‘kan kenyataannya luput juga. Kalau bukan sihir, artinya orang-orang Anda meleng.”

Roger Halsted, si guru matematika, cepat-cepat menyela, “Tangan bisa lebih cepat daripada mata. Nah, benda yang Anda maksudkan itu berkilat dan berat. Apakah ia tetap demikian? Smith ‘kan bisa membungkusnya dengan tanah liat, sehingga bentuknya jadi lain dan warnanya kusam. Benda itu bisa saja ia jatuhkan tanpa berbunyi nyaring atau ia tempelkan di balik meja.”

“Tangan memang bisa lebih cepat dari mata di depan orang awam,” bantah Bunsen. “Tapi kami ahli dalam mengamati. Tidak mungkin ia menjatuhkan benda apa pun bentuknya tanpa dipergoki.” Apalagi restoran itu sudah digeledah dengan saksama begitu ia berangkat.”

“Tak mungkin Anda menggeledahnya dengan saksama,” protes Halsted. ‘“Kan masih banyak orang lain yang makan di situ. Apakah mereka disuruh pergi?”

“Kami menggeledah meja Smith dan area sekitarnya dan akhirnya seluruh restoran,” Bunsen ngotot. “Ia tidak meninggalkan apa pun.”

Geoffrey Avalon, si pengacara, mengernyitkan keningnya. “Pak Bunsen,” katanya sambil tetap duduk dengan berpeluk tangan, “Apakah Anda mendapat izin dari atasan Anda untuk menceritakan hal ini kepada kami? Apakah Anda yakin kami semua bisa dipercaya? Anda bisa mengalami kesulitan dan menyesal nanti. Tapi bukan itu yang paling penting bagi saya saat ini. Yang penting ialah bahwa saya tidak mau menjadi objek penyidikan dan interogasi gara-gara Anda memberi kehormatan kepada saya dengan mempercayakan rahasia yang tidak saya minta.”

“Ah, jangan begitu, Jeff,” kata Thomas Trumbull.

Bunsen langsung menjawab, “Betul, Tom, saya kira Pak Avalon benar. Saya melampaui wewenang saya dan saya akan mendapat kesulitan apabila ada orang yang memerlukan kambing hitam. Percakapan malam ini menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Saya rasa, saya perlu mengambil risiko untuk memecahkan teka-teki ini. Tom meyakinkan begitu.”

Thomas Trumbull tersenyum kecut. “Berarti kalau departemen menyalahkan Anda, Anda akan menyalahkan saya?” 

“Betul. Tapi lepas dari jaminan Tom bahwa Anda sekalian bisa dipercaya, saya sudah melakukan penyidikan kecil terhadap Anda semua dan sepanjang yang saya ketahui, Anda semua bisa saya percaya!” 

 

Bersin pun tidak

Pada saat itu kedengaran orang berdehem pelan. Semua orang segera menoleh ke arah Henry. 

“Ada yang ingin kau katakan, Henry?” tanya Thomas Trumbull. Bunsen tampak tercengang. “Saya cuma ingin tahu,” jawab Henry perlahan. “Apakah saya termasuk orang yang sudah diteliti. Saya kira belum, maka saya minta diri.”

Bunsen berkata, “Sudah kepalang. Biarkan ia tetap di sini.” 

“Karena sudah kepalang,” kata Henry. “Boleh saya bertanya, ke mana Smith sekarang? Apakah ia masih dalam tahanan?”

“Ia sudah dibebaskan karena kami tidak mempunyai alasan untuk menahannya,” jawab Bunsen.

“Organisasi yang mempekerjakan dia berarti sudah tahu apa yang terjadi padanya dan mereka akan mengubah cara kerja mereka serta tidak mempergunakan Smith lagi,” pelayan itu melanjutkan.

Bunsen menjawab tidak sabar, “Ya, ya, ya. Tapi kalau kami tahu bagaimana cara dia mentransfer objek tersebut, pengetahuan kami bertambah.”

Setelah itu Henry menyatakan ia tidak bisa menambahkan apa-apa lagi. Kini giliran Emmanuel Rubin bertanya.

“Pak Bunsen, Anda tadi menceritakan anak buah Anda mengawasi dan memeriksa dengan saksama. Namun, mungkin Anda setuju kalau saya katakan bahwa ada hal-hal yang luput. Saya ingin bertanya: Apakah ia memesan sop kental?”

Alis mata Bunsen naik. “Betul, sop krim jamur. Pesanan lainnya adalah sandwich daging panggang dengan kentang goreng, sepotong pie apel dengan seiris keju dan kopi.”

“Sopnya mungkin cuma habis separuh.”

Bunsen berpikir sebentar, lalu tersenyum. “Saya tidak ingat ia menghabiskan sopnya atau tidak, tetapi pasti ada di catatan. Kalau tidak habis memang kenapa?”

“Ketika Smith masuk ke restoran, diketahui ia membawa objek tersebut. Di mana ditaruhnya?”

“Di saku celana sebelah kiri. Kami tidak melihat ia memindahkannya ke tempat lain.”

“Ia masuk ke restoran, duduk, memesan makanan, membaca koran.”

“Tidak, ia tidak membaca koran. Menu pun tidak dibacanya. Ia sudah kenal tempat itu dan tahu makanan apa saja yang bisa disajikan di sana.”

Rubin melanjutkan, “Ketika makanan sudah disajikan, ia bersin, atau ada kejadian sesuatu yang mengalihkan perhatian orang. Umpamanya saja di dapur ada kebakaran atau ada orang masuk membawa senjata.” 

“Tidak. Bersin pun ia tidak.”

Rubin memikirkan hal-hal yang bisa terjadi, tetapi yang sering luput dari perhatian: “Ia tersedak, atau batuk, lalu mengambil saputangan dari sakunya yang pura-pura dipakai menutupi mulut.”

“Ia tidak melakukan hal-hal itu,” jawab Bunsen yakin. “Pokoknya, tidak mungkin ia membawa suatu objek ke mulutnya tanpa kami sadari.”

Rubin belum menyerah. “Atau benda itu ia cemplungkan ke dalam sop.”

“Saya yakin tidak.” Segala tebakan Rubin gugur. Objek itu tidak mungkin dimasukkan ke mulut lewat sendok sop, karena terlalu besar. Lagi pula di dapur sudah ada anak buah Bunsen yang memeriksa semua barang yang datang dari meja Smith.

“Pelayannya bagaimana?” tanya Avalon yang tidak dapat menahan diri untuk ikut nimbrung.

“Pelayannya bukan orang kami, tetapi ia karyawan lama yang kami amat-amati juga dengan saksama.”

Akhirnya ketika segala jalan tampak buntu, Thomas Trumbull menengok ke arah Henry. “Ada yang ingin kau katakan, Henry?” 

Henry menarik napas panjang. “Ya, tapi rasanya terlalu sederhana, Pak. Bisa diabaikan saja.”

Avalon menengok kepada Bunsen. “Henry orang yang jujur dan polos. Kalau kita sering bingung karena pikiran kita rumit, maka Henry bisa berpikir jernih dan menemukan yang kita cari.”

Henry ragu-ragu untuk berbicara, tapi ketika dianjurkan oleh Avalon dan ketika Bunsen menyatakan tidak keberatan, ia berkata, “Ketika Pak Smith meninggalkan restoran, anak buah Anda tidak ikut keluar ‘kan, Pak?”

“Tentu saja tidak. Mereka mempunyai tugas di dalam. Mereka harus yakin ia tidak meninggalkan sesuatu,” jawab Bunsen.

“Petugas yang di dapur juga tetap di tempatnya semula?” 

“Ya.”

“Di luar, pengemudi taksi adalah anak buah Anda. Tetapi ia harus memecah perhatian supaya setiap saat bisa menembus arus lalu lintas, agar bisa tiba di restoran begitu dibutuhkan.”

“Betul. Begitu dipanggil penjaga pintu ia berhasil menyalip sebuah taksi lain.” 

“Penjaga pintu itu anak buah Anda juga?” 

“Bukan, dia karyawan tetap restoran itu.”

“Apakah saat itu ada orang lain di jalan?”

“Kalau yang kau maksudkan orang yang sedang berdiri di jalan, tidak ada.”

“Berarti ada saat di mana Smith tidak diawasi, maksud saya secara profesional, yaitu setelah ia meninggalkan restoran sambil masuk ke dalam taksi.”

“Kau lupa, saya ada di seberang mengawasi dengan teropong, dari jendela. Saya melihat dia jelas sekali. Saya melihat pengemudi taksi menjemputnya. Dari pintu restoran sampai pintu taksi paling-paling ia butuh waktu 15 menit. Selama itu ia saya awasi terus.”

Tiba-tiba Rubin menyela. “Juga ketika Anda mengawasi taksi menembus lalu lintas ke depan hotel?”

Bunsen ragu-ragu, tetapi menjawab juga, “Ya.”

“Saya yakin Anda mengawasi, Pak Bunsen. Tapi tadi Anda berkata bahwa Anda tidak mendapat pendidikan khusus untuk mengamati orang. Jadi Pak Smith tidak mendapat pengawasan profesional ketika itu,” kata Henry.

“Saya mempunyai mata,” jawab Bunsen angkuh. 

“Ya, tapi apakah ada hal yang walaupun tampak oleh mata Anda, namun Anda abaikan karena dianggap biasa, umpamanya saja kalau Pak Smith sebagai orang yang diketahui sangat memperhatikan tata krama itu memberi persen kepada penjaga pintu?”

“Ah!” seru Bunsen seperti orang disadarkan. Suasana menjadi hening. 

Kemudian Henry bersuara lagi. “Persennya ia ambil dari saku kiri celana, berupa objek pipih berkilat yang mirip mata uang.” Bunsen memang melihatnya.

Baca Juga: Misteri Potongan Mayat Wanita

 

" ["url"]=> string(58) "https://plus.intisari.grid.id/read/553678528/pelayan-super" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301391000) } } [12]=> object(stdClass)#165 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3678512" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#166 (9) { ["thumb_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/wanita-bertopi-lebarjpg-20230213031543.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#167 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "Mark Culledon ditemukan tewas di Mathis’s Cafe. Menurut saksi mata, ia tampak menghabiskan waktu dengan seorang wanita bertopi lebar." ["section"]=> object(stdClass)#168 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/wanita-bertopi-lebarjpg-20230213031543.jpg" ["title"]=> string(20) "Wanita Bertopi Lebar" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:15:52" ["content"]=> string(20811) "

Intisari Plus - Mark Culledon ditemukan tewas di Mathis’s Cafe. Menurut saksi mata, ia tampak menghabiskan waktu dengan seorang wanita bertopi lebar.

--------------------

Hari sudah lewat pukul 18.00, ketika dua orang pria berlari ke luar dari Mathis’s Cafe di Regent Street, London. Beberapa saat kemudian mereka masuk kembali ditemani dua orang polisi. Tiga menit setelah itu pintu rumah makan sudah dikerubungi manusia.

Di dalam restoran, para wanita pramusaji yang berpenutup kepala berenda dan bercelemek, berdiri diam-diam di sebuah sudut. Kadang-kadang beberapa di antaranya berbisik-bisik sambil melempar pandang ke arah salah sebuah bidang bersekat yang berjajar sepanjang dinding ruangan besar itu. Di situ dua orang polisi sibuk mencatat keterangan dari seorang wanita pramusaji berambut pirang yang berbicara sambil menangis. Jelas ia kebingungan. 

Di bidang bersekat itu seorang pria duduk sambil telungkup di meja marmer. Kedua lengannya menggeletak di meja juga, yang masih dipenuhi peralatan minum teh.

Melihat penampilan pria yang lunglai itu, dapat dipastikan ia sudah meninggal. Tidak heran kalau Inspektur Kepala Saunders muncul tak lama kemudian diikuti dr. Townson. Dokter polisi tersebut menduga pria itu tewas akibat morfin dosis tinggi, yang ditaruh di cangkir minuman cokelatnya.

 

Wanita misterius 

Menurut keterangan pramusaji, pria muda itu datang bersama seorang wanita muda kira-kira pukul 16.00. Saat itu musik baru saja mulai main dan kafe hampir penuh.

Wanita itu memesan teh untuk dirinya sendiri dan cokelat untuk pria yang kini tidak bernapas lagi. Selain itu dipesannya roti dan kue-kue. Lima menit kemudian, ketika pramusaji lewat di meja mereka, ia menangkap kata-kata wanita itu, “Saya rasa saya mesti pergi sekarang takut Jay’s keburu tutup. Tidak sampai setengah jam lagi saya akan kembali, tunggu, ya?”

“Ketika itu si pria tampak baik-baik saja?” tanya Saunders.

“Oh, ya,” jawab si pramusaji. “Ia baru saja mulai menghirup cokelatnya dan berkata, ‘daag’ kepada si wanita yang bangkit sambil mengambil sarung tangan dan syalnya.”

“Wanita itu tidak kembali?” 

“Tidak.” 

“Kapan Anda menyadari ada sesuatu yang tidak beres pada pria ini?”

Pramusaji tidak bisa memastikan. Katanya, ia beberapa kali lewat di sana. Ketika melihat pria itu seperti terlelap, ia melapor kepada manajer. Manajer berkata agar tamu itu dibiarkan saja. Karena setelah itu ia maupun manajer sama-sama sibuk, mereka tidak memperhatikan lagi si pria. Pukul 18.00 orang-orang yang minum teh mulai meninggalkan ruangan. Meja-meja perlu dibereskan untuk persiapan makan malam. Ketika itulah ia melapor sekali lagi kepada manajer dan manajer menyuruh dua orang karyawan memanggil polisi. 

Pramusaji diminta untuk menggambarkan rupa wanita yang datang bersama korban. “Susah,” katanya. “Saya harus melayani sekian banyak orang, jadi saya tidak ingat satu per satu. Lagi pula ia memakai topi lebar model jamur. Yang kelihatan jelas cuma dagunya.” Ia ragu-ragu bisa mengenali kembali wanita itu kalau mereka bertemu. 

“Kalau mengenali topinya bagaimana?” tanya polisi. 

“Mungkin bisa. Topi itu besar sekali, hitam, dari beludru dan dihiasi banyak bulu.” Tampak sekali ia kagum pada topi itu dan sangat ingin memilikinya. 

Polisi menemukan beberapa surat dalam saku pakaian mayat. Surat itu ditujukan kepala Mark Culledon. Ada yang dialamatkan ke Lombard Street, ada pula yang dialamatkan ke Fitzjohn’s Avenue, Hamstead. Karena tas kantor dan topi yang ditemukan di dekat mayat memakai inisial M.C., diduga pria itu bernama Mark Culledon. 

Dua orang polwan diutus mendatangi halaman di Fitzjohn’s Avenue. Rumah yang diberi nama Lorbury House itu memberi kesan orang berada. Seorang pembantu pria membukakan pintu. Polisi minta izin bertemu dengan nyonya rumah. Tak lama kemudian mereka sudah berhadapan dengan Lady Irene Culledon yang ternyata masih muda. Paling-paling berumur 25 tahun. 

Dengan hati-hati dan penuh tenggang rasa, polwan memberi tahu kepada wanita itu perihal kematian seorang pria yang diduga bernama Mark Culledon di Mathis’. Wanita bertubuh kecil dan tampak ringkih itu kelihatan terguncang. Namun, ia mampu mengendalikan diri dengan sangat mengagumkan. Tidak heran. Ia bukan sembarang orang, tetapi putri seorang bangsawan Irlandia, Earl of Athyville. 

Ia baru menikah selama enam bulan dengan Mark Culledon, seorang usahawan yang memiliki prospek baik. Rupanya Mark Culledon termasuk salah seorang pria yang beruntung mendapat istri bangsawan, sehingga menaikkan gengsinya dan meluaskan koneksinya di kalangan atas. Sementara itu Lady Irene termasuk wanita yang beruntung mendapat suami berada, karena saat itu banyak bangsawan yang jatuh miskin, termasuk keluarga Lady Irene. 

Siapa sih wanita bertopi luar biasa besar yang pergi minum teh bersama Culledon di sore yang naas itu? Kalaupun Lady Irene tahu, ia tidak mau mengakuinya. Ia tidak mau bercerita banyak tentang kehidupan suaminya. Para pembantu rumah tangga pun tidak bisa memberi banyak keterangan perihal latar belakang tuan rumah, sebab mereka semua baru. Mereka direkrut setelah suami-istri Culledon kembali dari bulan madu dan pindah ke Lorbury House. 

 

Dijamin “bersih”

Di rumah itu ternyata tinggal bibi almarhum Mark Culledon. Namanya Ny. Steinberg. Wanita tua itu sedang sakit payah. Salah seorang pembantu yang masih muda dan polos menceritakan perihal Mark Culledon ditemukan tewas di rumah makan akibat diracuni seorang wanita. Ny. Steinberg yang tampaknya bertabiat keras itu mengumpulkan segala kekuatannya dan bersikeras ingin membuat pernyataan tertulis. 

Ia ingin memberi kesaksian bahwa Mark Culledon pria baik-baik, bukan pria hidung belang. Kalau Mark bukan pria baik-baik, tidak akan ia dipilih sebagai ahli waris Ny. Steinberg. Keponakan-keponakan lain Ny. Steinberg tidak mendapat warisan apa-apa, karena hidup mereka cemar di matanya. 

Mark Culledon ternyata memiliki beberapa kakak dan adik, laki-laki maupun perempuan. Ia juga mempunyai beberapa sepupu. Semua tidak berkenan di mata Ny. Steinberg yang menuntut ahli waris yang “bersih”.

Beberapa hari setelah itu Ny. Steinberg meninggal karena serangan jantung. Ia sempat menyediakan hadiah sebesar 250 ponsterling untuk siapa saja yang bisa memberi keterangan ke arah tertangkapnya pembunuh Mark Culledon. 

Rupanya hadiah itu menarik juga, sebab salah seorang bekas pembantu rumah tangga di Lorbury House, Katherine Harris, merasa berkewajiban menyampaikan informasi kepada polisi. Hari itu tiga minggu sudah berlalu sejak Culledon ditemukan tewas. Semua karyawan Mathis’s tidak ada yang bisa memberi gambaran memadai mengenai wanita bertopi lebar yang minum bersama korban. Jadi polisi menaruh harapan besar kepada Katherine Harris.

 

Tamu asing

Keterangan Katherine sangat panjang lebar. Namun intinya adalah sebagai berikut:

Seminggu setelah Mark Culledon dan Lady Irene kembali dari berbulan madu, datanglah seorang tamu wanita. Wanita itu sangat cantik dan pakaiannya sangat indah. Katherine mengantarnya ke tuan rumah di ruang yang biasa disebut smoking room.

“Ia mengenakan topi yang lebar sekali?” tanya polisi.

“Lebar sih lebar, tetapi tidak lebar sekali,” jawab Katherine. “Topi itu hitam, dihiasi bulu burung. Selain sangat cantik, wanita itu juga sangat jangkung,” kata si bekas pembantu. 

“Kau bisa mengenalinya lagi kalau melihat dia?” tanya polisi.

“Rasanya sih bisa.”

Wanita itu bertamu kira-kira satu jam. Sesaat sebelum tamu itu pulang, Lady Irene pulang dari bepergian. Karena hari itu pembantu kepala sedang liburan, Katherinelah yang membukakan pintu. Nyonya rumah tidak bertanya apa-apa, jadi Katherine tidak langsung memberi tahu ada tamu.

Katherine kemudian pergi ke ruang para pembantu. Lima menit kemudian, bell untuk memanggil pembantu berbunyi. Jadi Katherine ke ruang depan. Dilihatnya wanita tamu tuannya sedang berdiri di situ, menunggu dibukakan pintu depan, sebab ia akan meninggalkan Lorbury House. Setelah mengantar tamu ke luar, Katherine melihat majikannya yang laki-laki keluar dari smoking room dengan wajah marah. Ia dimarahi majikannya itu karena lancang mengantar sembarang tamu ke dalam. 

“Rupanya Bapak mengadu kepada Ibu, sebab keesokan harinya saya diberhentikan oleh Ibu,” kata Katherine. 

Tidak banyak yang bisa ditambahkan oleh Katherine kecuali bahwa wanita itu mirip orang Prancis.

 

Tidak punya alibi

Berdasarkan gambaran Katherine, polisi membuat edaran untuk mencari wanita tersebut. Tahu-tahu dua hari kemudian muncullah ke kantor polisi seorang wanita jangkung yang bukan cuma sangat cantik, tapi juga sangat anggun. Ia mengenakan pakaian ungu dan topi yang dihiasi dengan bulu-bulu.

Wanita itu menjelaskan bahwa pemilik flat yang ia tinggali, teman-temannya dan bahkan pembantu, membaca bawa polisi mencari wanita yang ciri-cirinya seperti dia. Karena itu dia datang. 

Melihat dandanannya dan bahasa Inggrisnya yang agak berlogat asing, polisi mengerti mengapa Katherine Harris menyatakan tamu bekas majikannya wanita asing. Ternyata ia berasa dari Wina, Austria. Namanya Elizabeth Lowenthal. 

“Kedatangan saya ke sini untuk menjelaskan bahwa saya tidak membunuh Mark Culledon, walaupun ia pernah mempermalukan saya,” katanya. “Terus terang saya memang berniat membuat skandal untuk memberi pelajaran, tapi membunuh dan membuat skandal adalah dua hal yang sangat berbeda,” katanya dengan penuh rasa percaya diri. 

Pada kesempatan itu Elizabeth Lowenthal bersedia membuat pernyataan tertulis. Katanya, ia pernah bertunangan dengan Mark Culledon. Sebelum mereka keburu menikah, Culledon bertemu putri seorang bangsawan dan memutuskan lebih baik menikah dengan seorang lady daripada seorang biasa. Menikah dengan putri seorang bangsawan akan membuat Mark Culledon berkenan di hati bibinya yang kaya raya, yang mensyaratkan seorang istri “baik-baik”. Nona Lowenthal selain orang asing, juga seorang penyanyi, sehingga pertunangan mereka dulu dilakukan secara diam-diam. Kalau bibinya tahu, ia bisa tidak diberi warisan. 

Ketika Culledon tiba-tiba memutuskan pertunangan dan menikah dengan orang lain, Elizabeth Lowenthal merasa sakit hati. Ia ingin membalas dendam dengan menuntut di pengadilan, karena Culledon mengingkari janji. Sebelum tuntutan itu dilaksanakan, ia mendatangi Culledon di rumahnya untuk memberi peringatan. 

Begitulah keterangan wanita itu. “Di mana saja Anda antara pukul 15.00 – 18.00 pada hari Pak Culledon ditemukan tewas?” tanya polisi. 

“Saya berjalan-jalan sendirian di Bukit Primrose,” katanya. “Saya berangkat pukul 15.00 dan baru kembali lewat pukul 17.00.” Berarti ia tidak mempunyai alibi saat “wanita bertopi lebar” muncul di Mathis’. Namun, Elizabeth Lowenthal diperkenankan pulang. Cuma ia dipesan agar jangan keluar kota selama beberapa hari ini.

 

Serupa tapi tak sama

Beberapa hari kemudian Elizabeth Lowenthal ditangkap dengan tuduhan membunuh Mark Culledon. Wanita itu memprotes keras. Kecantikan dan daya tariknya membuat sebagian orang tidak percaya. 

Hari pertama ia dihadapkan ke pengadilan, ruang pengadilan dipadati pengunjung. Ia masih tetap cantik, tetapi tampang pucat dan risau. Langkah kakinya tidak sepercaya diri ketika ia pertama kali memasuki kantor polisi. 

Sulit dibuktikan dari mana ia memperoleh morfin. Mark Culledon sebenarnya dengan mudah bisa memperoleh obat terlarang itu, sebab salah satu usahanya adalah berdagang obat-obatan. Apakah Elizabeth Lowenthal memperolehnya dari korban sendiri? Diketahui ia pernah berkunjung ke kantor korban sebelum dan sesudah korban menikah. 

Kunjungan ini diakuinya, begitupun kunjungannya ke Lorbury House yang disaksikan oleh Katherine Harris. 

Para pramusaji Mathis’ diminta untuk melihat topi terdakwa yang dihiasi oleh bulu-bulu. Sebagian menyatakan itu topi yang dipakai oleh wanita yang datang bersama Mark Culledon almarhum, tetapi sebagian lagi menyatakan bukan. Setidaknya ada empat pelayan yang menyangkal dengan yakin. 

Elizabeth Lowenthal diminta mengenakan topi itu. Kebanyakan menyatakan mirip dengan wanita yang datang sore itu, tetapi ada bedanya. Apa bedanya tidak bisa mereka jelaskan. 

Yang tampak paling menderita adalah janda korban. Bukan cuma kematian suami, tetapi juga ia pasti merasa malu karena di pengadilan terungkap suaminya mengingkari janji menikah dengan Elizabeth Lowenthal. Lady Irene mengaku tidak tahu Elizabeth Lowenthal mengancam akan mengadukan suaminya ke pengadilan karena mengingkari janji. 

Kedua wanita ini kontras sekali. Yang seorang jangkung penuh daya tarik kewanitaan, yang seorang lagi ringkih memakai pakaian berkabung berpotongan sederhana. 

Karena bukti-bukti tidak cukup, Elizabeth Lowenthal dibebaskan. Sebagian orang bersorak karena puas. Namun, topik wanita misterius bertopi lebar masih tetap meramaikan surat kabar.

 

Ingin bertemu pelayannya

Dua hari kemudian dua orang polisi wanita minta izin untuk bertemu dengan Lady Irene Culledon di Lorbury House. Janda yang masih muda itu dari kepala sampai ujung kaki benar-benar mencerminkan kebangsawanannya. la mengenakan pakaian berkabung warna hitam. Duduknya sopan dan penuh perhatian.

la mengabulkan permintaan polisi, ketika mereka memintanya memanggilkan dua orang wanita pembantu, yaitu pembantu yang melayani Lady Irene pribadi dan yang mengurusi pakaiannya.

Di hadapan majikannya, kedua pembantu itu berdiri dengan sopan. Polisi menjelaskan bahwa untuk keperluan identifikasi, Scotland Yard membutuhkan bantuan sejumlah wanita muda untuk berparade di depan seorang pelayan wanita dari Mathis’. Dalam parade itu akan disertakan wanita yang dicurigai oleh polisi. Polisi ingin meminta agar Lady Irene memperbolehkan kedua pembantunya untuk ikut berparade.

Lady Irene mula-mula berkeberatan, sebab menganggap parade itu sebagai “lelucon”, tetapi kedua pembantunya tampaknya ingin sekali ikut. Akhirnya sang wanita ningrat mengizinkan.

“Kalian berdua harus memakai topi lebar,” kata polisi kepada dua pembantu itu. “Kalian tentu memilikinya.”

“Saya tidak mengizinkan mereka memakai hiasan kepala yang bukan-bukan,” protes Lady Irene. 

“Saya mempunyai topi yang ibu buang beberapa minggu lalu,” kata pembantu yang biasa mengurusi pakaian Lady Irene. “Saya menemukannya di tempat sampah dan bulu-bulunya sudah saya pasang kembali.”

Sesaat ruangan hening, lalu Lady Irene berkata, “Aku tidak paham kata-katamu, Mary. Aku tidak pernah memakai topi lebar.”

“Itu, Bu, topi yang dulu Ibu pesan dari Sanchia’s dan cuma Ibu pakai ke konser.”

“Hari apa konser itu?” tanya polisi.

“Oh, saya tidak pernah akan melupakannya. Hari itu Bapak meninggal.”

Polisi dengan tegas menyuruh Mary dan temannya mengambil topi yang dimaksud. Lalu ia bertanya kepada Lady Irene, “Kini apa yang akan Anda lakukan, Lady Irene?”

Dengan wajah pucat, tetapi dengan mata yang memancarkan ketabahan, janda Culledon itu menentang pandangan polisi. “Anda tidak akan bisa membuktikannya,” katanya mantap. 

“Saya yakin kami bisa. Saat ini di luar menunggu dua wanita pramusaji dari Mathis’. Saya sudah berbicara dengan pramuniaga yang melayani Anda di Sanchia’s, sebuah toko topi tidak terkenal dekat Portland Road. Saya juga bisa membuktikan Anda pernah bertemu dengan Nona Lowenthal di kantor suami Anda sehingga Anda tahu penampilannya.”

“Anda akan ditertawakan masyarakat,” kata wanita bangsawan itu. 

“Kami sudah melakukan penyidikan dengan saksama,” kata polisi. “Anda tahu hubungan suami Anda dengan Nona Lowenthal. Anda juga tahu syarat yang ditentukan Ny. Steinberg, sehingga Anda berusaha menutupi hubungan itu, supaya Ny. Steinberg tidak mengubah surat wasiatnya. Anda memecat Katherine Harris, karena ia mengetahui kedatangan Nona Lowenthal, ketika ia mengancam akan membuat skandal. Anda membunuh suami Anda, sebab menurut surat wasiat Ny. Steinberg, kalau suami Anda meninggal lebih dulu, Andalah yang akan menerima warisannya, karena kalau Ny. Steinberg yang Anda bunuh, akan segera ketahuan siapa pembunuhnya.”

Rupanya Lady Irene masih belum mau menyerah. Ia berhasil menghindari meja hijau dengan cara minum racun!

(Baroness Oray)

Baca Juga: Pembantaian Ala Nazi

 

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553678512/wanita-bertopi-lebar" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301352000) } } [13]=> object(stdClass)#169 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682450" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#170 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/berakhirnya-hari-hari-sibukjpg-20230213031425.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#171 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(147) "Anson dan 2 temannya mengamati sebuah bank selama beberapa minggu. Mereka berencana merampok uang gaji karyawan yang dikirim pada tanggal tertentu." ["section"]=> object(stdClass)#172 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/berakhirnya-hari-hari-sibukjpg-20230213031425.jpg" ["title"]=> string(27) "Berakhirnya Hari-Hari Sibuk" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:14:50" ["content"]=> string(31492) "

Intisari Plus - Anson dan 2 temannya mengamati aktivitas sebuah bank selama beberapa minggu. Mereka berencana merampok uang gaji karyawan yang dikirim pada tanggal tertentu.

--------------------

“Jumat yang akan datang merupakan hari sibuk buat kami,” kata gadis montok itu, sehabis mereguk Manhattan-nya. “Jumat yang akan datang ‘kan tanggal 15. Setiap tanggal 1 dan 15, repot deh kami mengurusi uang gaji karyawan pabrik baja dan pabrik pesawat.”

“Oh, ya?” jawab Anson Grubb dengan penuh minat, tetapi pura-pura cuek.

“Ya. Bayangkan, kami harus menangani uang tunai hampir setengah juta dolar!”

“Kalau begitu kau perlu bersenang-senang dulu sebelum Jumat tiba. Ayo, kita berdansa,” kata Anson merayu. Padahal ia muak pada gadis norak itu. “Bisa saya bayangkan,” sambung Anson, “pagi-pagi uang datang, lalu sorenya karyawan berbondong-bondong menguangkan cek mereka.”

“Oh, uangnya tidak datang hari Jumat, tapi Kamis lewat tengah hari,” cerita karyawati bank itu sambil berdansa.

“Ya, lumayanlah buat kalian kalau begitu. Pasti uang itu datang setelah bank tutup.” 

“Ah, tidak! Kami baru tutup pukul 15.00. Uang datang kira-kira pukul 14.00. Jadi pukul 15.00 sudah aman di dalam ruang baja.”

 

Persiapan yang saksama

Jeremy Thorpe berdiri di ujung meja tempat para pelanggan biasa menulis di bank, sambil memegang bolpoin. la mengeluarkan buku tabungannya, lalu mengambil sehelai formulir tabungan dari meja itu. Salah sebuah ujung formulir tabungan itu ia lipat, sehingga bagian belakang kertas yang kosong kelihatan. Ia mencorat-coret sesuatu di bagian kertas yang kosong itu. Dahinya berkerut seakan-akan ia sedang mengerjakan hitungan yang sulit, padahal yang dibuatnya adalah gambar segi empat. Di sisi utara dibuatnya dua garis dan diberinya keterangan: “pintu”. Di sisi kanan digambarnya segi empat kecil dan ditulisinya: “manajer”. 

Sepanjang sisi selatan ditariknya garis, untuk menggambarkan dinding setengah badan yang memisahkan tempat tamu dengan tempat karyawan. Di sepanjang dinding itu terdapat empat loket kasir dan lorong menuju ke belakang bank, yaitu tempat ruang baja berada. Lorong itu berpintu dan pintunya terkunci. Di sisi kiri, dekat pertemuan dinding timur dan utara ditulisinya: “meja tempat menulis”. 

Jeremy melipat kertas yang digambarinya itu, lalu memasukkan ke saku mantelnya. Diambilnya formulir baru untuk diisi. Hari ini ia akan menabung 5 dolar. Di tempat yang disediakan untuk menuliskan nama, ditulisnya “Arthur Samuels”. Dibawanya formulir itu berikut uang 5 dolar ke salah sebuah loket.

Ini untuk ketiga kalinya ia berada di dalam bank itu. Hampir sebulan yang lalu ia membuka tabungan dengan menyimpan 50 dolar. Minggu lalu ia menambah tabungannya dengan menyimpan 20 dolar lagi. Sekarang ia akan memasukkan 5 dolar. Setiap kali ia mencari kasir yang berbeda.

Kasir mengambil buku tabungan Jeremy, formulir yang sudah diisi dan uang 5 dolar. Kasir itu belum pernah melihatnya dan pasti tidak tahu namanya bukan Arthur Samuels. Kasir mencap buku tabungan, menyimpan uang 5 dolaran, dan formulir yang sudah diisi di lacinya, lalu mengembalikan buku tabungan kepada Jeremy. Jeremy mengambil bukunya, lalu berjalan langsung ke pintu kaca sambil melirik sekali kepada manajer. 

Saat itu pintu keluar dari perunggu dalam keadaan terpentang lebar. Satpam bank yang berseragam, sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita lanjut usia yang rambutnya sudah putih semua. Ini berlangsung pada hari Selasa.

 

Mata-mata

Di sebuah kafetaria seberang bank, Carl Semmer bisa melihat dengan jelas ke bank. Di sebelah kanan bank, ada jalan untuk mobil yang berakhir di muka sebuah pintu. Pada hari kamis, truk-truk yang membawa uang gaji karyawan American Steel dan Tartogue Aircraft akan diparkir di muka pintu belakang itu. Para satpam yang mengawalnya akan turun dari kendaraan dan mengangkut uang ke dalam bank lewat pintu tadi. Uang itu akan disimpan di ruang baja dan baru akan dikeluarkan lagi pada saat karyawan datang untuk menguangkan cek mereka hari Jumat. 

Carl sudah dua kali berturut-turut menyaksikannya dari kafetaria ini. Uang gaji untuk karyawan American Steel tiba dalam truk berlapis baja yang menggunakan lambang International Armored Car Corp. Tanggal 14 bulan lalu truk itu tiba pukul 14.01 dan tanggal 31 bulan lalu tiba pukul 14.07. pada kedua kesempatan itu para satpam memerlukan waktu kira-kira 6 menit untuk menurunkan uang sampai berangkat lagi. 

Tanggal 14, gaji karyawan Tartogue Aircraft yang dibawa oleh truk Safeguard Company tiba pukul 14.10. Pada tanggal 31, truk Safeguard Company tiba pada saat truk International Armored Car Corp masih diparkir di muka pintu. Jadi truk kedua ini menunggu di depan Pasar Swalayan A&P di dekat bank. Ketika truk pertama berangkat, truk kedua masuk dan tiba di muka pintu pada pukul 14.15. Pada kedua kesempatan itu truk-truk pembawa uang sudah lenyap dari penglihatan pada pukul 14.22. 

Carl mengamati peristiwa ini dengan sangat saksama. Sekarang ia mengawasi peristiwa lain dengan sama saksamanya.

Lonceng besar di dinding luar bank menunjukkan pukul 14.59. Carl melirik ke arlojinya untuk mencocokkan waktu. Matanya bergerak ke tangga di muka bank, ketika ia melihat Anson Grubb menaiki tangga menuju ke pintu kaca. Saat Anson masuk ke bank, Carl mengamati lonceng besar lagi. Dengan sangat perlahan, jarum panjang bergerak. Pukul 15.00.

Kini kelihatan Jeremy Thorpe menaiki tangga. Ketika tiba di muka pintu kaca, satpam yang berseragam menggelengkan kepala dengan senyum menyesal. Jeremy menjentikkan jarinya dan berbalik untuk menuruni tangga sementara satpam menutup pintu perunggu. Carl memandang arlojinya. Untuk menutup pintu perunggu diperlukan waktu 30 detik.

Carl tetap mengawasi. Pukul 15.05 salah sebuah daun pintu perunggu terbuka dan seorang wanita lanjut usia keluar. Pintu tertutup lagi. Pukul 15.07 pintu terbuka lagi dan dua orang tamu keluar. Pukul 15.10 empat tamu keluar. Pukul 15.17 dua tamu keluar dan pukul 15.21 Anson Grubb keluar. Carl tahu, Anson adalah orang terakhir yang meninggalkan bank.

Carl membayar kopinya dan kembali ke kamar sewaannya di bagian lain kota itu. Ini terjadi pada hari Rabu.

 

Berlatih lagi

“Truk uang akan sudah lenyap pada pukul 14.25,” kata Anson malam itu, “Taruhlah truk terlambat sampai pukul 14.30 dan di dalam juga terlambat. Tapi bisa dipastikan kalau pada pukul 14.35 uang itu sudah selamat masuk ke ruang baja.” Anson menggosok dagunya sambil berpikir. Ia jangkung; rambutnya hitam, dan matanya biru, sedangkan hidungnya mancung sekali. Setelan jasnya yang biru itu tidak tercela.

“Mana gambarmu, Jerry?” tanyanya. Jeremy Thorpe bangkit untuk mengambil bagan dari bank yang tadi ia gambar di balik formulir tabungan, tetapi kini sudah disalin ke kertas yang lebih besar.

Sekali lagi teman-temannya mempelajari bagan itu. Padahal entah sudah berapa kali mereka mengamatinya sampai hafal, sambil membayangkan dalam tiga dimensi.

“Cuma dua dari kita yang akan masuk. Paham?” tanya Anson.

“Nggak sebaiknya kita semua masuk?” tanya Carl yang gemuk pendek dan berhidung seperti anjing bulldog. 

“Tidak. Dua cukup. Kau paham, Jerry?” 

Hidungnya yang seperti hidung wanita itu kembang kempis. “Kalau perhitungan kita meleset, celaka dong yang meninggalkan bank paling akhir.”

“Perhitungan kita tidak mungkin meleset. Bagaimana kalau kita ulangi lagi?”

“Ya, lebih baik diulangi,” jawab Jeremy.

“Baik. Begini, ya! Truk-truk itu sudah akan pergi pukul 14.30, menurut yang sudah kita saksikan. Uang sudah berada di ruang baja pukul 15.35. Saat itu Carl mengawasi dari kafetaria di seberang jalan. Kalau ternyata truk-truk itu datang terlambat, ia akan menelepon supaya kita membatalkan rencana sampai tanggal 1 bulan depan. Jadi tak ada risiko meleset. Ya, ‘kan?”

“Ya.” 

“Baik! Jika pukul 14.45 tidak ada telepon dari Carl, kamu, Jerry, dan aku berangkat dari sini. Kita cuma memerlukan waktu 5 menit untuk mencapai tempat parkir di Main dan West Davis. Karena itu tempat parkir umum, di situ kita tidak usah berurusan dengan tukang parkir segala. Kita tinggal memarkir dan meninggalkan mobil. Pukul 14.50 kita meninggalkan tempat itu menuju bank. Kita cuma memerlukan waktu 4 menit. Tapi kita akan berleha-leha supaya bisa tiba pukul 14.58, sehingga tidak akan menemui kesulitan masuk ke bank. Kalau terlalu mepet ke pukul 15.00 kita bisa ditolak” 

“Aku akan langsung menuju meja manajer. Pada pukul 15.00 ada empat hal yang akan terjadi! Pertama: satpam akan menutup pintu logam sehingga tidak ada orang lain yang bisa masuk. Kedua: Kau Jerry, akan pergi ke satpam untuk memberi tahu bahwa sedang terjadi perampokan bank dan ia mesti bersikap normal. Tak ada orang yang boleh masuk ke bank. Mengerti?”

“Mengerti.”

“Ketiga: Aku akan duduk di muka manajer dan memberi tahu bahwa di sakuku ada pistol dan aku ingin ia membawaku ke ruang baja. Keempat: Carl akan meninggalkan kafetaria begitu melihat pintu perunggu tertutup dan menuju ke tempat parkir.”

“Sampai sekian sih tidak apa-apa, tetapi berikutnya mengkhawatirkan,” kata Jeremy.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan! Pukul 15.00 kau dan aku berada di dalam bank. Cuma ada dua orang di bank itu yang tahu bahwa bank sedang dirampok. Orang lain baru akan tahu kalau kita sudah kabur.”

“Carl memerlukan waktu 4 menit untuk mencapai mobil di tempat parkir. Pada saat ia tiba di mobil pukul 15.04, manajer bank dan aku akan meninggalkan mejanya dan melalui pintu yang harus dibuka dulu kuncinya di sebelah kanan loket kasir, kami akan pergi ke ruang tempat ruang baja. Kau tetap di pintu masuk bersama satpam bank, Jerry. Beberapa tamu akan keluar. Biarkan saja. Pukul 15.05 pintu ruang baja akan dibuka. Manajer dan aku akan masuk ke dalamnya.”

Carl tiba-tiba memotong. “Lampu lalu lintas di sudut Main dan West Davis akan merah pada pukul 15.06 dan baru akan hijau lagi pukul 15.07,” katanya. “Kita perlu waktu 2 menit dari situ sampai di muka pintu belakang bank.”

“Pada pukul 15.09 itu berarti aku sudah 4 menit berada di ruang baja,” sambung Anson. “Menurut perhitunganku, dalam waktu 6 menit aku sudah selesai menguras isinya. Aku ‘kan sudah latihan mengisi koper dan selalu berhasil menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 5 menit. Taruhlah selesai dalam 6 menit. Berarti pukul 15.11 aku sudah siap meninggalkan ruang baja. Carl sudah parkir di pintu belakang, tempat truk uang biasa diparkir.”

“Saat itu aku masih bersama si satpam,” kata Jeremy.

“Betul!” jawab Anson. 

“Pukul 15.11 aku meninggalkan ruang baja dan mengunci pintunya. Si manajer berada di dalam ruang itu. Percuma saja ia berteriak teriak, karena tidak akan terdengar dari luar. Dari sana aku akan berbelok ke kiri, ke pintu belakang. Jaraknya kira-kira 3 m. Aku buka pintu dan masuk ke mobil. Aku duduk di belakang dan Carl akan meIuncur dari pintu belakang itu menuju ke jalan. Taruhlah dua menit. Kami sudah akan berada di muka pintu bank pukul 15.13. Saat itulah kau bergabung dengan kami, Jerry.”

“Ini dia yang paling tidak kusukai,” kata Jeremy. “Nggak enak pergi paling belakang.”

“Ah, apa yang perlu kau risaukan? Pukul 15.13 kau suruh satpam buka pintu, lalu kau keluar menuju ke mobil. Kau cuma perlu waktu 20 detik untuk itu. Padahal satpam memerlukan waktu sedikitnya 30 detik untuk menghilangkan kagetnya. Berarti ada selisih waktu 10 detik. Saat itu kita sudah berbelok. Kita sudah meluncur di jalan bebas hambatan sebelum polisi tahu. Satpam mungkin berlari ke jalan untuk berteriak-teriak sebelum sadar bahwa ia harus membunyikan alarm.”

“Betapapun aku tidak mau meninggalkan bank paling akhir.”

“Kenapa tidak? Yang membawa uang ‘kan aku? Kalau kau meninggalkan bank, ‘kan kau sama saja seperti semua orang lain. Percayalah, kami sudah akan ada kalau kau keluar. Tidak bakal meleset.”

“Harap saja begitu,” jawab Jeremy masih sangsi.

 

Berganti hidung

Kamis tanggal 14 pun tiba. Matahari bersinar cerah, membuat orang ceria. Di dalam bank, semua karyawan ingin agar waktu makan siang lekas tiba. Mereka mendambakan sentuhan sinar matahari di luar gedung.

Anson, Carl, dan Jeremy makan siang di sebuah restoran kecil. Mereka tidak berkumpul, melainkan berpencar dan pura-pura tidak kenal. Lalu mereka kembali ke sebuah kamar sewaan untuk berdandan. Anson sudah memberi tahu teman-temannya bahwa mereka harus tidak dikenali. Namun mereka tidak boleh memakai topeng, sebab orang di dalam bank akan lekas menyadari kalau bank dirampok.

“Kita harus kelihatan normal, seperti semua orang lain,” kata Anson. “Jadi kita harus menyamar.”

Carl yang hidungnya seperti bulldog lantas menambal hidungnya dengan lilin yang biasa dipakai para aktor panggung, agar tampak bengkok. Jeremy menyulap hidungnya yang halus seperti perempuan menjadi “hidung cutbrai”. Anson memilih hidung model petinju, Iantas mereka mewarnainya dengan peralatan panggung yang disediakan oleh Anson.

Setelah rampung, ketiganya mengenakan rambut palsu. Carl memakai alis palsu yang lebat, sedangkan Anson memasang kumis. 

Pukul 13.32 truk International Armored Car Corp tiba di kantor American Steel. Dua satpam bersenjata api mengangkut uang gaji ke dalam truk itu. Pukul 13.35 truk dari Safeguard Company tiba di Tartogue Aircraft untuk mengambil uang gaji. 

Sementara itu pukul 13.37 Anson Grubb menyuruh Carl agar buru-buru menyelesaikan dandanannya. Carl mengenakan kemeja kuning dan dasi. Mereka bertiga mengenakan jaket, bukan jas. Di luar jaket itu mereka mengenakan mantel. Orang yang melihat mereka tidak akan menyangka kalau di balik mantel itu ada jaket yang biasa digunakan para pekerja kasar, bukan jas karyawan kantor. 

Nanti, kalau sudah berada di dalam mobil, mereka akan mencopot semua atribut penyamaran itu, mulai dari tambalan hidung sampai dasi dan mantel. Mereka cuma akan mengenakan kemeja dan jaket. Jadi beda sekali dengan penampilan yang dikenal oleh orang di dalam bank. 

Jeremy akan diturunkan di suatu tempat sambil membawa koper berisi atribut penyamaran. Di tempat itu ia akan berlari ke belakang mobil, untuk mencopot nomor palsu yang ditempel di nomor asli mobil. Anson akan diturunkan di tempat lain sambil membawa koper duit. Ia juga akan membawa senjata apinya dan senjata api Carl. Jadi percuma saja kalau polisi mencari tiga orang yang bermobil bersama-sama. 

Kalau Carl sampai distop polisi sehabis menurunkan kawan-kawannya, maka padanya tidak akan dijumpai senjata maupun uang. Nomor mobilnya pun lain. Ia tidak mengenakan jas, tetapi jaket pekerja. Tidak ada alasan untuk menahannya. 

Dua minggu lagi, di tempat yang jauhnya ribuan kilometer dari bank yang mereka rampok, mereka akan bertemu untuk membagi hasil rampokan. 

Carl berniat menggunakan uangnya untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita cantik. Jeremy akan kabur ke Meksiko karena di sana ia merasa aman. Anson tidak memberi tahu rencananya. 

Akhirnya tiba saatnya untuk berangkat. Mereka mencocokkan waktu di arloji mereka dengan arloji Anson, yang sudah lebih dulu dicocokkan dengan jam di bank pagi itu. 

Pukul 13.50 Carl meninggalkan kamar sewaan mereka.

 

Hai, Mister!

Carl merasa lega ketika pelayan kafetaria tidak mengenalinya. Kemarin, sebagai pria berhidung bulldog ia memesan kopi. Hari ini sebagai pria berhidung bengkok ia memesan cherry coke. Begitu pesanannya tiba, ia segera membayar, supaya nanti tidak perlu terburu-buru membereskan pembayaran. Setelah itu ia duduk menghirup coke-nya perlahan-lahan sambil memandang ke seberang jalan.

Pukul 14.03 truk International Armored Corp tiba. Carl mengawasi para satpam turun membawa uang gaji para karyawan American Steel. Mereka masuk ke pintu belakang bank. Pukul 14.08 para satpam itu masuk ke truk. Truk mundur meninggalkan halaman bank, lalu meluncur ke jalan raya. Pukul 14.10 truk lapis baja kedua tiba dan pukul 14.16 sudah berangkat lagi. Carl mengakurkan arlojinya dengan jam di dinding bank. Ia merasa lega. 

“Minta koran, dong,” katanya kepada pelayan kafetaria. Pelayan memberi koran dan Carl membayarnya. Sambil pura-pura membaca, sebentar-sebentar ia melirik ke bank. Tidak banyak orang yang datang ke bank itu. Syukurlah. Semua tampaknya berjalan dengan lancar. 

Carl sebetulnya sangat ingin menelepon Anson dan Jeremy, untuk memberi tahu bahwa harta mereka sudah tiba, tetapi ia tidak ingin mengagetkan mereka. Menit demi menit merayap dengan lamban. Pukul 14.45, ia tahu Anson dan Jeremy meninggalkan kamar sewaan. Jadi dilipatnya koran itu, lalu perlahan-lahan dihirupnya coke yang dipesannya tadi. Pukul 14.57 dilihatnya kedua konconya itu muncul di jalan. Carl bangun, lalu berjalan menuju ke pintu kaca kafetaria. 

“Hai, Mister!” seru pelayan kafetaria. Carl berbalik kaget. 

“Ya?”

“Koran Anda ketinggalan.”

“Ooh! Terima kasih. Ambil sajalah!”

Dari balik pintu kaca dilihatnya Anson dan Jeremy berjalan melewati Pasar Swalayan A&P, menyeberangi jalan semen tempat truk duit biasa lewat dan menuju ke tangga depan pintu. Satpam tersenyum ketika mereka masuk melewati pintu kaca. Jam dinding di atas pintu itu menunjukkan pukul 14.58. Semua berjalan lancar seperti rencana. Pukul 15.00 satpam bank mengatupkan pintu perunggu yang besar itu. Carl segera meninggalkan kafetaria, menuju ke mobil di tempat parkir umum. 

 

Ada pistol di sakuku

“Bank sedang dirampok,” kata Jeremy kepada satpam bank. 

“Apa?” kata satpam itu ketika ia berbalik dari pintu yang baru selesai ditutupnya.

“Ada pistol di sakuku. Tutup mulut kalau tak mau ada korban jatuh. Kalau kau berani buka mulut, semua manusia di sini habis kutembaki.”

Satpam itu terbeliak lalu memandang tonjolan di saku Jeremy. Tadinya ia berniat berteriak tetapi ketika beradu pandang dengan pria di depannya hatinya menciut. Pria ini bertampang pembunuh. 

“Jangan biarkan orang masuk, tapi kalau ada yang mau keluar, silahkan. Bersikaplah seperti biasa. Jangan mencoba berbuat yang aneh-aneh. Kita akan bercakap-cakap di sini seakan-akan tidak ada apa-apa. Paham?” Satpam itu mengangguk. 

Sementara itu Anson mendekati meja manajer. 

“Selamat siang, Pak,” kata manajer. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Aku membawa pistol,” jawab Anson perlahan. “Aku mahir sekali menggunakannya. Bangkit dan berjalanlah bersama aku ke ruang baja. Jika ada yang memandang dengan curiga, tersenyumlah kepada mereka seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Nanti kau harus membuka pintu ruang baja dan kita masuk bersama-sama. Berani beri isyarat sedikit saja kepada orang lain, kau akan menjadi mayat. Mengerti?”

“Me…mengerti,” jawab manajer itu. Ia menaksir jarak kakinya dengan bel alarm di lantai, lalu jarak jantungnya dari pistol di saku pria berambut merah dan berkumis di depannya. Ia memutuskan untuk mengikuti permintaan si rambut merah. Ia bangkit lalu berjalan bersama Anson ke pintu menuju ruang baja. Ia memberi isyarat dengan tangan ke kasir yang paling dekat pintu itu. Kasir pun menekan tombol dan pintu itu pun terbuka.  Manajer dan Anson melewati pintu itu lalu berjalan ke pintu ruang baja. Salah seorang kasir menoleh kepada manajer. Manajer tersenyum dan mengangguk, sehingga kasir pun meneruskan pekerjaannya. 

“Buka,” bisik Anson. Manajer menurut. Ia memutar beberapa tombol di pintu besar dari baja itu. Pukul 15.05 pintu baja itu terbuka. Manajer dan Anson masuk. Satpam bank mengawasi dari tempatnya berdiri. Ia menarik napas panjang lalu tersenyum kepada seorang pelanggan yang akan keluar dari bank. 

 

Duitnya masih baru

Carl duduk di belakang kemudi mobil dan melirik arlojinya. Pukul 15.06. ia melihat ke lampu lalu lintas di sudut Main dan West Davis. Ia menunggu sampai lampu hijau menyala pukul 15.07. Carl berbelok lalu meluncur ke bank yang letaknya di ujung jalan. Empat menit lagi Anson akan keluar dari pintu ke belakang bank, membawa tas berisi setengah juta dolar. Dua menit kemudian Jeremy akan meninggalkan pintu depan bank dan mereka bertiga akan melesat pergi sebelum orang-orang menyadari apa yang terjadi.

Carl meluncur santai di jalan. Di jalur yang berlawanan mobil antre, tetapi di jalur yang dilaluinya cuma ada sebuah mobil di belakangnya. Carl bisa melihat Pasar Swalayan A&P di depannya dan di sebelahnya terdapat jalan untuk mobil yang ingin memasuki halaman bank menuju pintu belakang. Ia memberi tanda dengan lampu sein bahwa ia akan berbelok ke halaman bank. Saat itulah ia melihat truk A&P melintang menutupi jalan masuk ke halaman bank. Truk itu bermaksud mundur ke depan pasar swalayan. Anson menyumpah-nyumpah di dalam hati sambil menginjak remnya. Truk raksasa itu seperti gajah dungkul, yang tidak lincah untuk dikendalikan, sehingga perlu waktu lama untuk sekadar parkir dengan benar di depan pasar swalayan. 

Carl memandang arlojinya. Pukul 15.09 dan moncong truk masih mengalangi mulut jalan ke halaman bank. Ia masih mempunyai waktu dua menit lagi. Pria di mobil yang berada di belakangnya mulai membunyikan klakson. “Diam kau!” maki Carl dari dalam mobilnya yang tertutup rapat sehingga suaranya tidak terdengar keluar. Pria di belakangnya membunyikan klakson lagi berulang-ulang. Ia meminta jalan. Carl jadi naik darah. Tiba-tiba ia menginjak gasnya sehingga mobil melejit ke sudut jalan lalu membuat putaran U melawan arus lalu-lintas. la meluncur lagi dan memberi tanda untuk berbelok ke kiri. la masuk ke jalan mobil di halaman bank, ketika truk mundur ke posisi di depan pasar swalayan. Saat itu sudah pukul 15.11. Beberapa detik lagi Anson akan keluar dari pintu belakang bank.

“Ya, ampun. Maju dikit dong!” kata seseorang dari pasar swalayan.

“Maju ke mana, tolol? Lihat enggak nih? Sudah hampir menutupi jalan orang,” jawab sopir truk.

“Persetan! Kau mundur terlalu dekat mobil ini. Aku tidak bisa buka pintumu.” Begitu Carl mendengar. Jantung Carl seperti mau copot ketika mendengar mesin truk dihidupkan lagi. 

Sementara itu di dalam ruang baja, Anson mengeduki duit yang masih baru-baru dengan gesitnya. “Berdiri di sudut sana!” perintahnya kepada manajer. Tangan Anson yang sebelah memegang pistol, sedangkan yang sebelah lagi menumpukkan gepokan uang di tas. Ketika koper ditutupnya, arloji menunjukkan pukul 15.10.

“Jangan berteriak-teriak. Dengan uang di tanganku, aku lebih siap membunuh, tahu!” katanya ketika mundur ke pintu ruangan itu. Lalu dimasukkannya pistolnya ke saku dan dibantingnya pintu. Diputarnya beberapa tombol. Ia berjalan cepat ke pintu belakang tanpa menoleh-noleh lagi. Jeremy melihat Anson bergegas keluar pintu ruang baja lalu keluar gedung. la melirik jam di dinding dekat loket kasir. Pukul 15.11. Dua menit lagi ia akan sudah keluar dari ini. 

Anson turun ke jalan mobil di samping bank. la membuka pintu belakang mobil. “Siap, jalan Carl!”

“Jalan ke mana? Jalan kita ditutupi truk!”

Anson menengok ke kaca belakang. Dahinya berkeringat melihat truk A&P mengalangi jalan keluar.

“Mundur sejauh yang kau bisa. Akan kusingkirkan truk itu ....”

“Bagaimana menyingkirkannya?”

“Pokoknya, mundur dulu!” 

“Lagi, Carl!”

“Tidak bisa lagi.” 

“Aku turun dulu memindahkan truk keparat ini. Begitu bisa keluar, segera keluar, aku susul kau di jalan.”

“Bagaimana”

“Ayo!” 

Anson berlari menuju truk, lalu memundurkannya. Terdengar teriakan dan bunyi logam menabrak logam, karena truk itu menggilas mobil di belakangnya. Ketika ia melompat keluar dari truk, dilihatnya Jeremy menuruni anak tangga. Wajah Jeremy pucat ketika tidak melihat kendaraan Carl di muka bank. Ia menengok ke belakang, ke arah pintu logam bank. Kedengaran bunyi mobil Carl mundur. 

“Jeremy!” teriak Anson. “Sini! Cepat!”

Jeremy melihat Anson dan cepat berlari. Saat itu pintu perunggu terbuka dan satpam bank berteriak, “Berhenti! Rampok!”

Jeremy tetap berlari tetapi sambil menoleh ke bank dan mengacungkan pistolnya. Anson berteriak, “Jeremy! Awas!” Saat itu mobil Carl mundur dengan cepat dan menabrak Jeremy. Jeremy berteriak. Tubuhnya terseret. Ia berteriak lagi ketika ban mobil menggilas badannya sampai gepeng. Setelah itu ia diam. 

Kini satpam bank sudah berada di kaki tangga. Tangannya memegang senjata api. Anson cepat membuka pintu belakang. Satpam membidik dengan cermat. Dua bunyi tembakan terdengar. Dua lubang berdarah terbentuk di punggung Anson. Ia terjengkang sambil masih berusaha berpegangan ke mobil yang mundur. Namun pegangannya terlepas. Ia terjerembab mencium tepi jalan. 

“Uang! Uang masih ada di mobil!” Itu yang terpikir oleh Carl. Saat itu kaca depan mobil berantakan. Carl masih mengira bahwa lubang-lubang di kaca ditimbulkan oleh peluru, sebelum lehernya lunglai dan wajahnya menimpa kemudi.

Hari yang sibuk sudah berakhir. Esok hari gajian. (Ed.McBain)

Baca Juga: Bob si Koboi Ternyata Perempuan

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682450/berakhirnya-hari-hari-sibuk" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301290000) } } [14]=> object(stdClass)#173 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682433" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#174 (9) { ["thumb_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/dihukum-mati-9-kalijpg-20230213032653.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#175 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(120) "Monster dari Düsseldorf meresahkan masyarakat. Pasalnya, ia membunuh korban-korbannya dengan sadis bak kerasukan setan." ["section"]=> object(stdClass)#176 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/dihukum-mati-9-kalijpg-20230213032653.jpg" ["title"]=> string(19) "Dihukum Mati 9 Kali" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:13:52" ["content"]=> string(31735) "

Intisari Plus - Monster dari Düsseldorf meresahkan masyarakat. Pasalnya, ia membunuh korban-korbannya dengan sadis bak kerasukan setan

--------------------

Malam itu Frau (Ny.) Apollonia Kühn berjaIan pulang sendirian di distrik Flingern, Düsseldorf. Ketika wanita berumur 50 tahun itu tiba di jalan yang sepi, ia merasa ada seorang laki-laki yang membuntutinya. Orang itu kemudian menyusulnya seraya mengucapkan selamat malam dengan suara yang menyenangkan. Belum sempat Frau Kühn menjawab, laki-laki tidak dikenal itu sudah menjambak kerah mantel wanita itu dan menikamnya dengan gunting. Tentu saja Frau Kühn terperanjat dan berteriak-teriak meminta tolong. Namun tak seorang pun mendengarnya karena di sekitar tempat itu tidak ada rumah.

Pria itu seperti kerasukan setan. Ia terus menikami Frau Kühn. Baru pada tusukan ke-24 ia berhenti. Itu pun karena senjatanya patah. Sebelah guntingnya tertanam di punggung korbannya. Setelah itu ia meninggalkan wanita malang tersebut tergeletak di jalan. 

Pasti Frau Kühn tewas akibat luka-lukanya, kalau tak ada orang yang kebetulan lewat. Ia diangkut ke rumah sakit dan para dokter berjuang menyelamatkan nyawanya. Mereka berhasil, walaupun Frau Kühn baru sembuh lama kemudian. 

 

Si monster dari Düsseldorf

Pada tanggal 9 Februari 1929, beberapa hari setelah Frau Kühn ditikam, beberapa buruh bangunan menemukan mayat seorang anak perempuan di dekat Gereja St. Vinzenz. Keadaan mayat sangat mengenaskan, penuh luka akibat tusukan. 

Jenazah itu dikenali sebagai Rosa Ohlinger (9) yang menghilang 3 hari sebelumnya. Anak itu tidak diperkosa, walaupun ada tanda-tanda percobaan perkosaan. Tubuhnya bukan cuma penuh luka, tetapi sebagian bekas dibakar.

Sebelum polisi berhasil menemukan jejak pembunuhnya, sudah terjadi pembunuhan baru. Pada tanggal 12 Februari, seorang montir setengah baya ditemukan tewas di sebuah selokan di Gerresheim yang terletak di pinggiran Kota Düsseldorf. Pada jenazahnya ditemukan bekas 20 tusukan. Tampaknya ia ditikami dengan gunting, seperti Frau Kühn. Montir itu, Rudolf Scheer, terakhir diketahui pulang sempoyongan bersama teman-temannya, setelah minum-minum semalaman.

Polisi berpendapat, pola penyerangan terhadap ketiga korban itu mirip, begitu pula senjata yang dipergunakan. Jadi mereka menduga pelakunya sama.

Makhluk macam apakah yang tega menikami korbannya secara bertubi-tubi? Ia pun tidak pandang bulu: wanita setengah baya, anak perempuan kecil, dan pria mabuk, semua digasak. Polisi menduga, pelaku kejahatan itu seorang penderita penyakit jiwa, yang siap membunuh setiap ada kesempatan.

Penduduk Düsseldorf dan sekitarnya menjadi ketakutan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, maupun anak-anak merasa terancam. Apalagi polisi tidak berhasil menemukan petunjuk apa pun untuk mendasari penyidikan mereka dan mengenali si pembunuh. Koran-koran lantas menjuluki pembunuh kejam itu sebagai si Monster dari Düsseldorf. 

Orang bertambah takut, ketika pada tanggal 2 April ada seorang gadis dijerat dengan laso oleh seorang pria yang tidak dikenalnya. Gadis itu, Erna Penning (16), melawan sekuat tenaga sambil berteriak-teriak. Karena Erna sangat kuat, pria itu rupanya gentar juga. la kabur.

Esok malamnya seorang wanita lain dijerat di jalan yang sepi. Wanita muda yang sudah bersuami itu bernama Flake. la sedang berjalan, ketika tali laso menjerat lehernya dari belakang. Pria itu menyeretnya di tanah yang tidak rata, sampai ke sebuah ladang. Untung, seorang pria dan seorang wanita mendengar teriakannya. Mereka berlari ke arah datangnya teriakan. Melihat gelagat tidak menguntungkan, penyerang Flake melarikan diri.

Kedua penolong Flake tidak berhasil melihat wajah penyerang sadis itu, sebab sudah keburu menghilang. Mereka menduga orang itu masih muda, sebab larinya kencang.

Ketika keterangan perihal pria muda yang larinya kencang muncul di koran, polisi mendapat masukan dan pembaca. Konon di Düsseldorf ada seorang pria terbelakang mental yang terkenal kencang larinya. Setiap ada orang yang mendekatinya, ia melesat kabur. Jangan-jangan dialah pembunuh gila itu! Begitu pendapat pemberi info tersebut.

Polisi sebenarnya sangsi, tetapi kalau petunjuk ini diabaikan lalu ternyata orang itu benar-benar si Monster, celakalah mereka. Jadi mereka menangkap Johann Strauβberg untuk ditanyai.

“Apakah Anda tahu perihal beberapa pembunuhan yang selama ini menggemparkan penduduk Düsseldorf?” tanya polisi.

“Oh, tahu!” jawab Strauβberg dengan berseri-seri. “Sayalah Monster dari Düsseldorf itu!”

Selain mengaku membunuh dan menyerang beberapa orang, ia juga mengaku membakar beberapa lumbung. Memang sejak bulan Januari ada beberapa lumbung terbakar secara misterius dan kasus itu belum terpecahkan.

Polisi sampai tercengang, meski mereka tetap sangsi. Apa betul pria sumbing yang terbelakang mental itu orang yang mereka cari?

Karena Strauβberg terbelakang mental, ia tidak bisa diadili. Ia dikirim ke rumah sakit jiwa dan diawasi dengan ketat.

Sementara itu koran-koran pun memasang headline: “Monster Mengaku”.

Penduduk Düsseldorf lega. Mereka mulai menikmati lagi hidup yang normal.

 

Matanya berapi-api

Setelah itu memang pembunuhan berhenti. Polisi dan penduduk lega.

Namun, baru empat bulan mereka terbebas dari ketakutan, eh terjadi lagi serentetan pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Tentu saja ketakutan yang dirasakan penduduk lebih besar daripada sebelumnya.

Kejahatan gelombang kedua ini diawali pada bulan Agustus tahun itu juga. Seorang wanita muda yang sudah bersuami ditikam punggungnya ketika pulang dari pasar malam di Lierenfeld, pinggiran Kota Düsseldorf. Tikaman itu kurang telak. Wanita bernama Mantel itu berbalik untuk melihat penikamnya. Sayang, pria itu sudah berlari ke kegelapan. Yang tampak cuma punggungnya. 

Belum sampai 12 jam kemudian sudah terjadi dua penikaman lain. Salah seorang korban bernama Anna Goldhausen. Punggungnya ditikam ketika ia sedang lewat di jalan sepi di Lierenfeld juga.

Korban kedua adalah seorang pria bernama Gustav Kornblum. Ia sedang enak-enak duduk di bangku taman di Lierenfeld ketika ada orang yang menikam punggungnya.

Kedua korban itu tidak meninggal, tetapi tidak bisa menjelaskan bagaimana rupa penyerangnya.

Kegemparan mencapai puncaknya pada tanggal 28 Agustus. Hari itu ditemukan jenazah dua anak perempuan. Gertrud Hamacher baru berumur 9 tahun, sedangkan Louise Lenzen 14 tahun. Mereka ditemukan di tanah kosong dekat Düsseldorf. Dua hari sebelumnya mereka pergi ke pasar malam di Slehe, lalu tidak pulang. Keduanya memperlihatkan tanda-tanda bekas dicekik dan digorok, tetapi tidak diperkosa.

Sehari sebelumnya, tanggal 27 Agustus, seorang pembantu rumah tangga yang masih muda, Gertrude Schulte, menelusuri tepi sungai untuk pergi ke pasar malam di Neuss. Di perjalanan ia didekati seorang pria, yang merayunya agar mau berjalan bersama-sama. Mendekati hutan, pria itu berusaha memerkosanya.

“Lebih baik mati daripada menyerah kepadamu!” seru gadis itu.

“Nah, matilah kau!” jawab si pria itu tenang saja, sambil menikami Gertrude dengan pisau sampai 14 kali.

Gadis itu luput dari maut, walaupun lukanya parah. Baru enam bulan kemudian ia keluar dari rumah sakit. Menurut Gertrude Schulte, “Wajah pria itu seperti setan dan matanya berapi-api.”

Sekeluar dari rumah sakit, polisi memberi Gertrude Schulte pekerjaan sebagai juru ketik di markas besar polisi. Setiap ada orang yang dicurigai sebagai Monster dari Düsseldorf, polisi selalu menjajarkan orang itu dengan sejumlah pria lain di hadapan Gertrude. Siapa tahu gadis itu mengenali penyerangnya.

 

Main palu

Awal September, ada dua gadis disergap dari belakang, lalu dicekik. Kedua-duanya luput dari maut, karena ditinggalkan sebelum tewas. Mereka tidak sempat melihat siapa penyerang mereka. Kemudian ditemukan seorang gadis yang retak tengkoraknya. Tadinya ia dikira terjatuh dari sepeda. Namun, pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa kepalanya bekas dipalu beberapa kali.

Pada suatu hari Minggu di akhir bulan September, seorang pembantu rumah tangga berumur 32 tahun, Aida Reuter, mendapat libur. Sampai malam ia belum juga pulang ke rumah majikannya. Keesokan harinya ia dijumpai sudah menjadi mayat di sebuah lapangan rumput di tepi Sungai Rhein, agak di luar Kota Düsseldorf. Aida Reuter menunjukkan tanda-tanda diperkosa. Kepalanya luka parah, bekas dipalu 13 kali.

Sepuluh hari kemudian, seorang pembantu rumah tangga juga, Elizabeth Dorrier (22), tewas dipukuli dengan palu di Grafenberg. Rupanya ia berjumpa dengan pembunuhnya ketika sedang menelusuri tepi Sungai Rhein.

Tanggal 23 Oktober, Frau Elizabeth Meurer (34) berjalan seorang diri di pinggiran kota. Kemudian seorang pria berjalan di sampingnya sambil berkata dengan sopan. 

“Boleh saya temani Anda pulang, Bu?”

Lampu jalan menerangi wajahnya dan Frau Meurer mendapat kesan pria itu “muda dan tampan”. Karena sikapnya sopan, Frau Meurer tidak curiga ataupun takut, walaupun media massa sering memuat berita kejahatan Monster dari Düsseldorf.

Frau Meurer mengira pria itu sedang membicarakan topik yang sedang hangat ketika itu, waktu ia berkata bahwa mereka mendekati tempat Rudolf Scheer dibunuh.

“Anda tidak takut diserang?” tanya pria itu. 

“Ah, tidak,” jawab Frau Meurer, masih tanpa curiga.

“Di sini tidak ada polisi, lo! Mereka sedang minum-minum di rumah minum jauh dari sini,” kata pria itu pula

Saat itu Frau Meurer waswas. Buru-buru ia mempercepat langkahnya seraya berkata bahwa suaminya akan menjemput dan sebentar lagi pasti muncul. Pria itu pun memperlambat langkahnya dan Frau Meurer menarik napas lega.

Wanita itu terbengong-bengong ketika mendapati dirinya tiba-tiba sudah berada di ranjang rumah sakit. Ia tidak tahu bahwa pria yang menemaninya di jalan itu memukul kepalanya dengan palu sampai ia pingsan beberapa jam.

Beberapa jam setelah Frau Meurer dipukul dengan palu, seorang wanita pelayan restoran, Wanders, ditemukan pingsan di taman Kota Düsseldorf. la pun menjadi korban palu.

 

Surat kaleng

Korban berikutnya adalah Gertrud Albermann, gadis cilik berumur 5 tahun. Tanggal 7 November orang tuanya melapor bahwa Gertrud hilang entah ke mana. Keesokan paginya, sebuah surat kabar di Düsseldorf menerima surat kaleng yang memberitahukan bahwa jenazah anak yang hilang itu bisa ditemukan di dekat Tembok Haniel.

Memang benar. Mayat anak kecil itu tergeletak di puing-puing dekat Tembok Haniel di Düsseldorf. Anak itu tewas dicekik. Setelah itu mayatnya ditikam 36 kali.

Dalam surat kaleng tersebut terdapat juga peta dengan tulisan “Pembunuhan dekat Papendell”. Papendell adalah tanah partikelir, yang terletak ± 1,5 km dari Düsseldorf. Peta itu menunjukkan kuburan salah seorang korban si pembunuh.

Polisi ingat, pada tanggal 11 Agustus, seorang pembantu rumah tangga bernama Maria Hahn dilaporkan menghilang. Tak lama setelah itu, seorang petani menemukan topi wanita, tas, dan serenceng kunci dekat Papendell.

Polisi pergi ke tempat yang ditunjukkan, tetapi tidak menemukan apa-apa. Peristiwa itu diberitakan di surat-surat kabar. Keesokan harinya, sehelai kartu pos tiba di markas besar polisi. Isinya cuma sekalimat: “Teruskan menggali”.

Polisi kembali ke Papendell. Lima hari kemudian ditemukan jenazah Maria Hahn, terkubur sedalam 2 m di tanah yang keras! Mayat telanjang bulat itu menunjukkan bekas perkosaan dan 20 luka tusukan.

Sejak bulan Agustus, polisi menerima 200 surat dari pelbagai pihak. Sejak mayat Maria Hahn ditemukan, jumlah surat meningkat. Sebagian surat kaleng. Mungkin dikirimkan oleh si pembunuh. Bunyinya seram-seram. Antara lain: “Darah! Darah! Aku harus memperoleh darah!” Kemudian ada surat yang bunyinya sebagai berikut:

“Aku akan memindahkan kegiatanku ke Berlin. Korban pertamaku di sana tidak lain daripada kepala polisi!”

Sejak itu, kalau ada peristiwa pembunuhan atau penyerangan di tempat-tempat lain, yang dituduh sebagai pelakunya pasti si Monster dari Düsseldorf.

Berbulan-bulan lewat. Si Monster tetap belum berhasil dikenali. Bulan April 1930, seorang perawat tewas ditikam dekat Bennekom, Negeri Belanda. Temannya selamat, walaupun luka-luka. Orang Belanda pun menyalahkan si Monster dari Düsseldorf. Padahal ternyata bukan. Pelakunya bekas napi yang baru dilepaskan dari penjara. Orang itu dulu dipenjarakan karena memerkosa.

Anda barangkali masih ingat pada Gertrud Albermann, salah seorang bocah korban si Monster. Pada tahun 1930 ini, tiba-tiba bibinya menerima surat kaleng, yang menggambarkan secara rinci perihal cara keponakannya menemui ajal. Surat itu memakai cap pos “Dortmund Aachen Express”.

Aachen adalah kota Jerman di perbatasan dengan Belgia. Polisi Düsseldorf khawatir. Jangan-jangan buruan mereka kabur ke Belgia. Sementara itu masyarakat Belgia ketakutan. Bukan cuma Belgia, tetapi juga tetangga Jerman yang lain, Polandia. Penduduk Polandia curiga, jangan-jangan si Monster itu orang Polandia yang pernah membunuh 7 orang gadis berumur 5 - 20 tahun tiga tahun sebelumnya. Pembunuhan yang terjadi di Warsawa itu belum berhasil terungkap pelakunya. Celaka kalau pembunuh itu mudik!

Saat itu surat yang diterima oleh polisi perihal si Monster sudah menjadi 13.000 pucuk! Banyak juga yang berisi petunjuk. Polisi mengikuti 2.650 diantaranya dengan hasil nihil. Polisi juga sudah menanyai 9.000 orang. Beberapa orang tertimpa sial gara-gara dikira si Monster.

Suatu malam di bulan November 1929, tidak lama setelah pembunuhan atas Gertrud Albermann, beberapa murid sekolah melihat seorang pria menuntun anak kecil menuju tanah tempat orang mendirikan bangunan. Tempat itu tidak jauh dari tempat mayat Gertrud ditemukan. Segera saja anak-anak itu memberi tahu buruh bangunan. Buruh bangunan melapor ke polisi. Polisi lekas bertindak. Pria itu disergap dan diangkut ke kantor polisi. Ternyata ia ayah anak yang dibimbingnya dan mereka sedang dalam perjalanan pulang.

Ratusan manusia yang berkerumun di muka kantor polisi tidak mau percaya. Mereka yakin pria itu si Monster dan mereka ingin mengeroyoknya. Terpaksa laki-laki malang itu diselundupkan ke luar lewat pintu belakang.

Kemudian muncul cerita perihal seorang wanita yang suaranya berat seperti laki-laki. Wanita itu kelihatan sedang membagi-bagikan permen kepada anak-anak pada hari Gertrud Albermann dibunuh. Ada orang yang menduga bahwa wanita itu sebenarnya laki-laki yang menyamar.

Begitu cerita itu dimuat di surat kabar, muncullah seorang wanita ke markas besar polisi.

“Sayalah wanita yang membagi-bagikan permen itu,” katanya. Ia berbuat demikian tanpa maksud apa-apa. Ia cuma senang kepada anak-anak. Ia memperkenankan dirinya diperiksa oleh dokter untuk membuktikan bahwa ia bukan pria.

Pada suatu malam di bulan Desember 1929 yang dingin, seorang pria menghentikan mobilnya di tepi jalan dekat Kota Köln. Ia berjalan hilir mudik sambil merentangkan dan menggerak-gerakkan lengannya. Seorang wanita melihatnya dan mengira pria itu akan menerkamnya. Jadi ia berlari untuk memanggil polisi. Polisi membawa pria itu ke kantor polisi. Ternyata ia pemain biola berkaliber internasional, Edward Saermus!

Saermus menjelaskan bahwa ia merasa pegal karena lama mengemudikan kendaraannya. Jadi ia berhenti sebentar untuk bergerak badan, supaya peredaran darahnya lancar.

Mereka itu cuma beberapa di antara sekian banyak orang yang ketiban sial akibat ulah si Monster.

Walaupun banyak orang berpendapat bahwa semua pembunuhan dan penyerangan itu dilakukan oleh satu orang, polisi menduga bahwa mestinya ada dua atau tiga pelaku. Soalnya, kejahatan itu tidak mengikuti pola tertentu. Korbannya wanita pelbagai umur dan berasal dan pelbagai golongan. Bahkan ada empat anak dan dua pria. Ada korban yang diperkosa atau coba diperkosa, ada yang tidak. Senjata yang dipergunakan pun beragam: gunting, laso, palu, pisau, dan ada pula korban yang tewas dicekik.

Akhir tahun 1929 dan awal tahun 1930 polisi menahan sejumlah orang. Salah seorang di antaranya buruh bangunan yang tampak berjalan bersama Maria Hahn tidak lama sebelum Maria menghilang. Buruh itu ditahan di Berlin. Setelah ditanyai bermacam-macam, polisi menarik kesimpulan, bukan dia si Monster yang membunuh Maria Hahn atau korban lain.

Di Cekoslowakia, seorang sopir diperiksa gara-gara wajahnya mirip dengan gambar yang dikirimkan oleh polisi Düsseldorf. la dibebaskan, setelah terbukti bahwa ia berada di Praha pada saat Monster dari Düsseldorf melakukan lima pembunuhan yang pertama.

Polisi pun sempat menggebrak rumah seorang penari pria. Penari itu ditahan karena di rumahnya ditemui gambar-gambar yang mengerikan. Salah satu melukiskan ibu Gertrud Albermann sedang memandangi dengan sedih jenazah putrinya yang penuh luka. Gambar lain melukiskan penari itu sedang menikam seorang gadis. Setelah diperiksa dengan saksama, ketahuan penari itu tidak mempunyai sangkut paut dengan pembunuhan.

Walaupun polisi rajin mengikuti info dari masyarakat dan memeriksa orang-orang yang dicurigai, tetap saja si Monster tidak bisa dijaring.

 

Perlu nasib baik

Sementara itu sebuah koran Inggris mempekerjakan seorang mantan inspektur kepala dari Scotland Yard untuk mengusut kejahatan-kejahatan yang menggemparkan itu.

Mantan Inspektur Kepala Gough menarik kesimpulan bahwa satu-satunya harapan untuk bisa memecahkan perkara-perkara ini cuma nasib baik dan kebetulan. Masalahnya, polisi Düsseldorf tidak mempunyai dasar yang mantap untuk melakukan penyidikan.

Nasib baik ternyata baru mengintip beberapa bulan kemudian. Tanggal 14 Mei 1930, seorang gadis bernama Maria Budlich, berangkat dari rumahnya di Köln menuju Düsseldorf, karena ia mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga.

Calon majikannya berjanji akan menjemput di stasiun Düsseldorf. Ketika Maria Budlich yang belum pernah bekerja itu tiba di stasiun, gadis itu menjadi gelisah, karena mengingat berita-berita tentang Monster dan Düsseldorf. la ketakutan ketika seorang pria yang tingkah lakunya aneh, memaksa mengantarkannya ke rumah majikannya.

Maria Budlich baru merasa lega, ketika seorang pria berpakaian rapi dan bersuara lembut menengahi mereka.

“Kau benar. Di sini mesti berhati-hati,” kata pria itu. Penampilannya yang mengesankan orang baik-baik menyebabkan Maria menerima tawaran pria itu untuk minum kopi dulu di rumahnya.

Di Mettmannerstraβe 71 itu Maria diperlakukan dengan sopan, sehingga ia sangat menikmati suguhan berupa susu dan roti ham. Setelah selesai makan minum, pria itu berkata akan mengantarkannya ke rumah majikan Maria.

Hari sudah mulai gelap, ketika mereka berjalan berdua. Makin lama mereka makin jauh meninggalkan jalan yang diterangi lampu. Kemudian di hadapan mereka tampak Hutan Grafenberger. Saat itulah Maria merasa waswas. Pria di sebelahnya menangkap kekhawatiran Maria.

“Alamat yang kita cari letaknya dekat hutan itu,” kata si pria. 

Begitu mereka tidak tampak lagi dari jalan, pria itu tiba-tiba saja mencekik Maria dan mencoba memerkosanya. Maria meminta-minta ampun. Ia mengiba-iba. Akhirnya pria itu bertanya:

“Kau ingat alamatku?” 

“Tidak!” jawab Maria. “Saya tidak ingat.”

Pengakuan itulah yang rupanya menyelamatkan nyawanya. Pria itu berlari ke jalan meninggalkan si calon pembantu rumah tangga.

Maria Budlich adalah seorang gadis yang sederhana. Tidak terpikir olehnya untuk melaporkan pengalamannya kepada polisi. Ia cuma menceritakannya dalam surat kepada seorang temannya. Surat itu tidak pernah diterima oleh si teman, sebab Maria salah menuliskan alamat. Di kantor pos, surat Maria jatuh ke bagian surat-surat buntu. Seorang karyawan kantor pos membukanya. Setelah membaca isinya, ia menyerahkan surat itu ke polisi.

Maria didatangi polisi dan dibawa ke Mettmannerstraβe. Ia sudah tidak ingat nomor rumah yang dikunjunginya, tetapi ia masih ingat bentuk rumah itu. Pemilik rumah menunjukkan kamar-kamar yang disewakannya. Maria mengenali perabot di sebuah ruangan, tempat ia pernah dijamu susu dan roti ham. Penyewa tempat itu adalah seorang buruh pabrik bernama Peter Kürten (47). Mustahil ia si Monster.

Kürten dikenal pendiam dan sopan santun. Walaupun pekerja kasar, ia sangat memperhatikan penampilannya. Ia kelihatan lebih muda daripada umurnya.

Tampaknya ia baik-baik saja kepada istrinya yang kurus dan tiga tahun lebih tua. Wanita itu kelihatan lebih tua daripada umurnya sebab mengabaikan penampilannya. Mereka berdua tidak pernah menyusahkan pemilik rumah.

Bagi majikannya pun Kürten karyawan teladan. Kecerdasannya lebih daripada yang dituntut oleh pekerjaannya. Namun, ia tidak mempunyai teman dekat. Bagi rekan-rekan sekerjanya, ia angkuh karena merasa lebih dari mereka.

Mungkinkah orang seperti ini meneror Kota Düsseldorf dan daerah sekitarnya? Paling-paling ia cuma bisa dituduh mencoba memerkosa Maria Budlich. Dengan tuduhan itulah ia ditahan.

Polisi bertanya apakah ia tahu perihal pelbagai pembunuhan dan penyerangan yang terjadi sejak Februari 1929.

“Ya. Sayalah orang yang Anda cari,” jawab Peter Kürten.

Ia bukan cuma mengakui kejahatan yang tercatat antara tahun 1929 dan 1930, tetapi juga yang terjadi sebelumnya, yang tidak diketahui oleh polisi.

Bukan cuma sekali ini polisi menghadapi orang yang mengaku-aku berbuat kejahatan yang tidak dilakukannya. Jadi mereka bersikap sangat hati-hati. Dari detail yang diceritakan oleh Peter Kürten, akhirnya polisi menarik kesimpulan bahwa memang Kürten-lah yang bertanggung jawab atas beberapa dari kejahatan itu.

 

Langsung pingsan

Untuk mengecek kebenaran dugaan mereka, Gertrude Schulte, salah seorang korban si Monster, dipanggil. Wanita yang kini menjadi juru ketik di markas besar polisi itu dihadapkan pada Kürten. Begitu melihat pria itu, Gertrude berteriak:

“Oh! Astaga! Ini dia orangnya ....” 

Setelah itu Gertrude langsung pingsan.

Bukan cuma Gertrude Schulte yang tidak ragu-ragu mengenalinya. Frau Meurer pun demikian.

Selain mengaku pernah membunuh dan melukai sejumlah orang, Kürten pun menyatakan pernah menipu, merampok, dan kira-kira 20 kali membakar lumbung dan rumah.

Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan bahwa ia pernah dipenjara beberapa tahun karena menipu, mencuri, mencoba menembak seorang gadis, menyerang beberapa pembantu rumah tangga, dan menembakkan senjata api di restoran.

Saking banyaknya kejahatannya yang mesti dicek, baru hampir setahun kemudian Peter Kürten dihadapkan ke meja hijau. Bulan April 1931, di Pengadilan Düsseldorf, ia dituduh membunuh 9 orang. Yang pertama dilakukannya ketika berumur 16 tahun. Delapan lagi antara Februari dan November 1929. Selain itu ia dituduh melakukan percobaan pembunuhan sebanyak tujuh kali.

Peter Kürten tenang saja menghadapi meja hijau. Ia mengenakan setelan jasnya yang paling bagus, yang disetrika dengan rapi. Dagunya klimis dan kukunya terpelihara dengan baik.

Frau Kürten termasuk salah seorang dari hampir 200 saksi yang dimintai keterangan. Saat itu Frau Kürten sudah menceraikan suaminya. Menurut Frau Kürten, selama 7 tahun hidup bersama, ia tidak pernah curiga bahwa suaminya menuntut kehidupan ganda. Peter Kürten senang kepada anak-anak dan sering bermain dengan anak-anak tetangga. Cuma saja Frau Kürten mencurigai suaminya serong. Pernah sekali ia menanyakan hal itu. Peter Kürten langsung menamparnya, tetapi kemudian meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Janji itu ditepati. 

Pernah Peter Kürten bergurau tentang pembunuh dari Düsseldorf.

“Penjahat itu digambarkan mirip aku,” katanya kepada istrinya. “Cuma saja ia dikatakan berumur 30, sedangkan aku 46.”

Tidak heran ia tampak awet muda. Kata istrinya, kalau akan keluar rumah pada sore hari, suaminya itu berhias dulu dengan mempergunakan kosmetik!

Ketika Frau Kürten memberi tahu bahwa polisi datang ke kediaman mereka, Peter mengajaknya berjalan-jalan menelusuri sungai sambil menceritakan bahwa dialah yang berbuat semua itu.

Istrinya begitu tercengang dan bertanya. 

“Kau membunuh anak-anak juga?”

“Ya! Aku rasa, aku harus membunuh mereka.” 

Lalu ia mengancam istrinya agar tutup mulut. Kalau tidak istrinya akan mengalami nasib seperti para korbannya.

Ternyata Peter Kürten itu anak ketiga dari 13 bersaudara. Saking miskinnya, mereka sampai pernah harus tinggal berlima belas dalam satu kamar. Ayahnya brengsek dan sadis. Tetangganya pun tidak keruan. Umur 8 tahun Peter kabur dari rumah. Namun ia kembali dan baru kabur lagi ketika umurnya 14 tahun. Sejak itu ia hidup dari mencuri dan merampok. Umur 15 tahun, untuk pertama kalinya Peter masuk penjara, akibat mencuri.

Di penjara ia bercita-cita menjadi pembunuh “untuk membalas dendam kepada masyarakat”.

Kemudian ia merasa kekerasan dan api ternyata menggugah dan memuaskan dorongan seksualnya. Pengakuannya di pengadilan itu mendirikan bulu roma.

Pembelanya berusaha agar Peter Kürten dinyatakan tidak waras, tetapi para pakar penyakit jiwa yang memeriksa Kürten tidak mendukung.

Tanggal 23 April 1931, Peter Kürten hukuman mati 9 kali. Kürten menerimanya. Ia dipancung dengan guillotine di Köln menjelang fajar tanggal 3 Juli 1931. Sebelum dibawa ke tempat eksekusi, ia meminta daging goreng yang dilapisi serbuk roti, kentang goreng, dan anggur putih. Peter Kürten begitu menikmati makanannya sampai ia meminta tambah. (Norman Lucas)

 

Baca Juga: Hutang Mata Dibayar Mata

 

" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682433/dihukum-mati-9-kali" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301232000) } } [15]=> object(stdClass)#177 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635604" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#178 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/hutang-mata-dibayar-mata_sora-sh-20230105071006.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#179 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(114) "Seorang jaksa senior diminta menjadi pembela atas seorang janda buta yang dituduh membunuh suaminya. Apa upayanya?" ["section"]=> object(stdClass)#180 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/hutang-mata-dibayar-mata_sora-sh-20230105071006.jpg" ["title"]=> string(24) "Hutang Mata Dibayar Mata" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 19:10:40" ["content"]=> string(31922) "

Intisari Plus - Seorang jaksa senior diminta menjadi pembela atas seorang janda buta yang dituduh membunuh suaminya. Apa upayanya?

--------------------

Matthew Robert segera menutup map merah berisi berkas perkara dan menaruhnya di atas meja. Saat itu perasaannya mulai tidak enak. Semula ia memang ingin menjadi pembela Mary Regina Banks, namun instingnya mengatakan ada yang tak beres dengan kliennya. Apakah Mary Banks benar-benar tidak bersalah seperti pengakuannya selama ini? Terus terang, ia meragukan kejujuran wanita itu.

Pria paruh baya dengan ribuan jam terbang sebagai jaksa senior ini pelan-pelan menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya agak terganggu dengan beberapa kejanggalan fakta dalam kasus yang akan ditangani. Selama menanti kedatangan pengacara yang akan memberi informasi lebih detail tentang Mary Banks, matanya menerawang ke luar jendela kompleks kantornya di kawasan Middle Temple. Matthew hanya bisa berharap semoga kali ini ia mampu membuat keputusan yang benar.

Kasus yang menyangkut tersangka Mary Banks sebenarnya hanyalah pembunuhan tunggal sederhana. Namun, gambaran kehidupan 11 tahun usia perkawinan korban dan tersangka justru akan membuat opini publik cenderung membenarkan tindakan tersangka. Betapa tidak? Si korban Bruce Banks oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai pria sadis yang gemar berkelahi. 

Kepada istrinya ia termasuk cengkiling, atau plak plek, alias ringan tangan. Kalau di antara anggota juri nanti terdapat banyak wanita, faktor psikologis ini tentu akan sangat berpengaruh saat mereka membuat keputusan. Bisa jadi, tindakan Mary Banks ini dianggap membela diri. Ini cukup untuk meloloskannya dari jeratan hukum.

Matthew menyalakan sebatang rokok dan menghirup asapnya dalam-dalam, sesuatu yang sebenarnya sangat dibenci oleh istrinya. Matanya memandang foto istri tercinta, Victoria, yang terpasang di atas meja dekat tempat alat tulis. Sejenak, wajah istrinya mengingatkan masa mudanya. Tapi sudahlah. Ia menghibur diri, kenapa harus tenggelam dalam kesedihan terus. Toh, Victoria sudah meninggal. Namun, yang sebenarnya mendera batinnya justru permintaan almarhumah istrinya sebelum meninggal. Victoria berpesan agar Matthew membela Mary Banks dalam kasus ini. Maklum, Mary Banks si tersangka, adalah sobat karib istrinya.

Dengan rasa berat pikirannya dipusatkan kembali ke perkara yang sedang dihadapi, serta permohonan Mary Banks yang meminta pembebasan hukuman. Ia membuka lagi map berkas perkara. Menurut pengakuan Mary Banks, sangat tidak mungkin dirinya tega memukul suaminya dengan kapak dan menguburkan di bawah kandang sapi. Persis ketika Matthew menghirup rokok yang kesekian kali, tiba-tiba terdengar ketukan pintu.

“Silakan masuk!” ujarnya setengah berteriak - bukan lantaran menyukai suaranya sendiri, melainkan karena pintunya sangat tebal, sehingga kalau tidak berteriak suaranya tidak akan terdengar dari luar. Pembantunya segera membuka pintu memberitahukan kedatangan Bernard Casson, diantar oleh Hugh Witherington.

Bernard Casson, seorang pengacara lulusan sekolah tinggi hukum London yang terkenal, selalu tampil resmi dan tepat waktu. Setelan jas dan celana dengan motif seperti bambu bermodel konservatif yang dikenakan sepertinya tak pernah berubah dari tahun ke tahun. Dalam hatinya Matthew berkata, kalau mau ia bisa membeli enam setelan seperti itu di toko obral. Dengan demikian dalam seminggu ia bisa berganti-ganti setiap hari.

Kumis dan rambutnya yang tak semuanya tercukur rapi membuat penampilan Casson tampak kuno. Bisa jadi, sosoknya yang demikian ini akan membuat lawan-lawannya di pengadilan kecut. Untungnya, kemampuan adu argumentasi Casson tidak terlalu baik, sehingga Matthew yakin bahwa asistennya akan bisa menghadapinya di sidang pengadilan. 

Tak jauh dari meja tamu, berdirilah asisten Matthew yang masih muda, Hugh Witherington. Rupanya, anak muda ini tidak begitu banyak menerima keberuntungan. Dari tampangnya saja sudah jelas menunjukkan ia bukan seorang yang berbakat, kalau tidak mau dikatakan lugu atau malah bloon. Setelah beberapa kali melayangkan lamaran kerja dan menjalani serangkaian wawancara, akhirnya ia diterima di Biro Hukum Matthew Robert Co. Semula para pegawai di kantor itu terheran-heran, mengapa Matthew mau menerima anak muda bertampang bego ini. Apalagi memilihnya untuk menjadi asistennya dalam menangani perkara Mary Banks.

“Saya ucapkan terima kasih atas kehadirannya di kantor ini,” sambut Matthew. “Dengan senang hati Pak Matthew,” balas Casson seraya menganggukkan kepala dengan amat santun. “Barangkali Anda belum mengenal Hugh Witherington, asisten saya dalam kasus ini,” ujar Matthew sambil menunjuk anak muda di sebelahnya. Yang dimaksud tersipu malu, lantas ia mengambil sapu tangan sutra dari kantung jas atas, untuk menyeka wajahnya yang tak keringatan.

 

Tak mungkin membunuh suami

Setelah basa-basi sejenak, si tamu kemudian mengambil map coklat dari balik tas kulitnya. Sambil membuka map ia mengatakan bahwa beberapa hari lalu telah menemui dan berkonsultasi dengan tersangka. Pada pokoknya, Mary Banks tetap tidak bisa menerima tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

“Ia masih mengaku bahwa dirinya tidak bersalah?” tanya Matthew. 

“Ya, Pak Matthew. Ny. Banks masih tetap menyangkal bahwa dirinya tidak melakukan kejahatan seperti dituduhkan kepadanya. Ia tak mungkin membunuh sang suami karena beberapa hari sebelum peristiwa itu matanya menjadi buta akibat perlakuan suaminya. Bahkan, persis pada waktu pembunuhan itu ia tengah dirawat di rumah sakit setempat.”

“Namun dari hasil pemeriksaan patologis, ‘kan waktu kematian korban belum bisa ditentukan secara jelas,” ujar Matthew mengingatkan, “selama kurang lebih dua minggu kemudian mereka baru bisa menemukan jenazah korban. Menurut analisa pihak kepolisian, pembunuhan itu sudah terjadi 24 atau 48 jam sebelum Ny. Banks dibawa ke rumah sakit.”

“Saya juga telah membaca laporan tersebut,” Casson menjawab, “dan telah saya sampaikan kepada Ny. Banks. Namun, ia tetap bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah. Ia yakin dirinya akan bisa memengaruhi para juri. Ia bahkan menekankan, ‘apalagi yang akan menangani kasus ini ‘kan Matthew Robert yang terkenal itu.’ Betul kalimat itulah yang ia katakan Pak.”

“Oh, begitu. Tapi saya tidak akan terbujuk dengan perkataan itu,” kata Matthew sambil menyalakan rokoknya lagi.

“Katanya Anda sudah menjanjikan hal itu kepada alm. Victoria,” Casson menyela.

“Kalau demikian saya harus mendapat kesempatan sekali lagi untuk menyakinkan dia.” Matthew mengatakan hal itu seolah ia tak menanggapi perkataan lawan bicaranya.

“Barangkali sebaliknya, Ny. Mary Banks juga harus mendapat kesempatan sekali lagi untuk meyakinkan Anda, Pak Matthew,” balas Casson.

“Oh, begitu?,” kata Matthew. “Mari kita kembali pada temuan kasus ini.” Matthew memeriksa berkas-berkas perkara yang ada di atas meja. “Pertama,” ujarnya sambil menatap lurus ke arah Casson, “ketika jenazah korban digali, terdapat bercak-bercak darah tersangka pada kerah kemeja korban.”

“Ny. Banks mengakui fakta tersebut,” ujar Casson sambil melihat kertas-kertas catatannya, “namun ....”

“Yang kedua,” tukas Matthew sebelum Casson sempat menanggapi lebih jauh, “ketika kapak yang dipakai untuk memukul korban diperiksa keesokan harinya, terdapat beberapa helai rambut Ny. Banks ditemukan menempel pada gagangnya.”

“Kami pun tak bisa menyangkalnya,” ujar Casson.

“Nah, kalau demikian kita tidak punya banyak pilihan,” jawab Matthew sambil bangkit dari duduk dan mulai melangkahkan kakinya keliling ruangan.

“Yang ketiga, ketika sekop yang dipakai untuk menggali kuburan korban diteliti, sidik jari klien Anda banyak ditemukan di situ.”

“Kami bisa menjelaskan hal itu juga,” kata Casson. 

“Namun, apakah dewan juri akan menerima penjelasan Anda?” tanya Matthew dengan nada suara yang tinggi. “Ketika mereka mengetahui bahwa korban adalah pria yang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh tindak kekerasan. Bahwa klien Anda secara rutin sering terlihat pulang dari ranch pertanian dengan mata lebam karena dipukuli atau dengan luka-luka di kepala yang masih berdarah. Bahkan ia pernah harus dirawat karena tangannya patah?”

“Klien kami selalu mengatakan bahwa luka-luka tersebut didapat ketika terjadi kecelakaan kerja di pertanian.”

“Argumentasi itu justru akan membuat orang seperti saya tak mudah percaya,” ujar Matthew setelah selesai mengelilingi ruangannya dan kembali duduk di kursi. “Dan kita tidak terbantu oleh kenyataan bahwa seorang saksi yang cukup dikenal dan sering mengunjungi ranch pertanian itu secara periodik hanyalah tukang pos. Apalagi penduduk desa itu segan masuk ke wilayah tersebut.” Matthew membuka lembaran buku catatannya.

“Saya kira justru hal itu mempermudah bagi seseorang untuk masuk dan membunuh Banks,” celetuk Witherington tiba-tiba.

 

Menyusun rencana rahasia

Matthew tak mampu menyembunyikan keterkejutannya mendengar suara asistennya. la nyaris lupa kalau selain mereka berdua di ruangan itu juga ada Witherington. “Ini poin yang menarik,” ujarnya sambil matanya menatap Witherington. Tampaknya, ia punya rencana memainkan taktik rahasia dalam kasus ini.

“Problem berikutnya yang kita hadapi adalah klien Anda mengeklaim dirinya menjadi buta setelah dipukul suaminya dengan wajan panas. Nah, apa yang ingin Anda katakan, Pak Casson?”

“Luka carutan di sisi kiri kening klien saya sampai sekarang masih bisa dilihat secara jelas,” ujar Casson. “Yang penting, sampai kini dokter yang merawatnya yakin Ny. Mary Banks betul-betul buta, tak bisa melihat.”

“Biasanya para dokter lebih gampang untuk meyakinkan orang daripada seorang jaksa penuntut dan pengacara, Pak Casson,” balas Matthew sambil membuka halaman berkasnya.

“Berikutnya, ketika contoh jaringan tubuh korban diperiksa, terbukti darahnya mengandung racun strychinin dalam jumlah yang amat banyak, bahkan jumlah itu mampu untuk merobohkan seekor gajah sekali pun.” 

“Tapi itu ‘kan baru pendapat sementara dari tim patologi saja,” bantah Casson.

“Tapi justru itulah yang akan menyulitkan saya di sidang pengadilan untuk membuktikan bahwa itu salah,” ujar Matthew, “karena jaksa penuntut pasti akan menyuruh Ny. Banks menjelaskan mengapa ia membeli 4 gram racun strychinin dari grosir pertanian di Reading, tak lama sebelum kematian suaminya. Seandainya saya berada dalam posisinya, saya akan mengulangi pertanyaan itu berkali-kali.”

“Bisa jadi,” balas Casson sambil melihat catatannya. “Tetapi Ny. Banks telah menjelaskan bahwa selama ini rumahnya sering diganggu oleh serangan wabah tikus yang memangsa ayam ternaknya. Ia takut akan datangnya binatang lain ke peternakan tersebut, tanpa menyebut kepentingan anaknya, Rupert.”

Rupert (9) adalah anak pasutri Banks yang selama ini tinggal di asrama. Hanya pada akhir minggu atau selama liburan saja ia tinggal bersama orang tuanya.

“Tapi, bukankah si Rupert berada di sekolah asrama?” sela Matthew. “Ketahuilah Pak Casson, yang saya permasalahkan cukup sederhana,” ujarnya seraya menutup berkas, “saya tidak percaya pada pengakuan Ny. Banks.”

Casson mengangkat alis matanya. 

“Tidak seperti suaminya, Ny. Banks adalah wanita yang amat pintar. Beberapa orang memberi kesaksian bahwa Mary Banks pernah beberapa kali berbohong agar orang percaya pada ceritanya. Namun saya yakin, kali ini ia tidak akan berhasil mengelabui saya.”

“Apa yang dapat kami lakukan, Pak Matthew, bila Ny. Banks tetap mendesak agar kami membelanya?” tanya Casson.

Matthew berdiri lagi dan kembali berjalan mengelilingi ruangan dengan diam, lantas ia berhenti di depan Casson. “Tak banyak,” katanya. “Namun saya berharap bisa meyakinkan wanita ini bahwa dirinya memang bersalah telah melakukan pembunuhan. Kami yakin akan memperoleh simpati dari anggota juri. Saya yakin, tak semua juri akan memihak tersangka. Kita masih bisa mengandalkan yang lain. Siapa pun hakim yang akan menjatuhkan putusan atas diri Mary Banks, pasti akan dicap chauvinistic dan melakukan diskriminasi seksual. Kalau mau, saya bisa mengeluarkannya dari penjara hanya dalam hitungan minggu. Tapi tidak, Pak Casson! Kita harus meyakinkan Mary untuk mengubah permohonannya akan pembebasan hukuman.”

“Tapi bagaimana kita bisa melakukan hal itu, bila ia tetap bersikeras bahwa tidak bersalah?” tanya Casson.

Sebuah senyuman tersembul dari wajah Matthew, “Witherington dan saya punya sebuah rencana, bukankah demikian Hugh?” kata Matthew sambil melirik ke asistennya.

“Betul, Pak Matthew,” jawab pengacara muda ini dengan suara gembira. Namun karena Matthew tidak menjelaskan lebih lanjut rencana rahasianya itu, Cason juga tidak berniat untuk mengejarnya lebih lanjut.

“Lantas, kapan kira-kira saya bisa ketemu dengan klien kita?” tanya Matthew. 

“Apakah Senin besok pukul 11.00 Anda bisa?” tanya Casson. 

“Pada saat itu ia berada di mana?” tanya Matthew. 

“Tentu ia berada di penjara Holloway.”

“Oke, kalau demikian saya akan berada di Holloway pukul 11.00, Senin depan,” ujar Matthew. “Sejujurnya saya sudah tak sabar lagi untuk menemui Ny. Banks. Wanita itu harus diberi pelajaran. Camkan pendapat saya ini, Pak Casson.”

 

Wawancara di penjara

Hari yang ditunggu tiba. Ketika Matthew memasuki ruang tamu penjara Holloway dan melihat Mary Banks untuk pertama kalinya, sejenak ia terkejut. Menurut data dari file yang ada, Mary berusia 37 tahun. Namun, wanita berambut abu-abu acak-acakan yang sedang duduk dengan kedua tangannya di pangkuan itu tampak seperti sudah berusia 40 tahun. Yang tak bisa tersembunyikan adalah pundaknya yang bagus serta pinggangnya yang langsing menunjukkan bahwa di waktu mudanya wanita ini amat cantik.

Atas perintah Matthew, Casson duduk persis di muka Ny. Banks. Di hadapan mereka berdua ada meja kayu berlapis formika. Ada beberapa jendela kecil seperti lubang udara di tembok yang menghadap luar, sehingga sinar matahari bisa masuk persis mengenai meja itu. Selebihnya, ruangan bertembok warna krem kusam ini kosong melompong. Sementara Matthew bersama dengan asistennya duduk di sisi kiri dan kanan Casson. Tanpa ada yang menyuruh, dengan tenangnya Matthew menuang kopi yang sudah tersedia di cangkirnya. Suara kucuran air kopi memecah keheningan.

“Selamat pagi, Ny. Banks,” sapa Casson. 

“Selamat pagi, Pak Casson,” jawab yang disapa sambil menggerakkan kepalanya mengikuti arah suara di depannya. “Sepertinya Anda membawa teman-teman?”

“Betul, Nyonya. Kehadiran saya di sini ditemani oleh Pak Matthew Robert, yang akan bertindak sebagai jaksa dalam kasus Anda.”

la membungkukkan badannya sedikit ketika mendengar bunyi derit kursi tertarik, Matthew berdiri dan memberi salam, “Selamat pagi, Ny. Banks,” sambil tiba-tiba menyorongkan tangannya seperti mau mengajak bersalaman. 

“Selamat pagi, Pak Matthew,” jawab wanita itu tanpa menggerakan tangannya, namun wajahnya tetap menatap ke arah Casson. “Saya sangat gembira Anda mau membela saya nanti di pengadilan.”

“Pak Matthew akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda, Ny. Banks,” ujar Casson. Ini perlu untuk memutuskan pendekatan atau pembelaan apa yang dirasa cocok dalam kasus ini.”

“Saya mengerti,” ujar Ny. Banks, “saya akan senang menjawab setiap pertanyaan Pak Matthew. Saya yakin tidak akan sulit bagi orang sekaliber Anda untuk membuktikan apakah wanita buta bisa membunuh seorang pria bengis.”

“Tentu sulit, kalau pria kuat yang sadis itu telah diracun terlebih dulu sebelum ia dikapak,” ujar Matthew dengan suara pelan.

“Itu merupakan prestasi luar biasa bagi seseorang wanita lemah yang terbaring di rumah sakit yang jaraknya sekitar 30 km dari tempat kejadian,” jawab Ny. Banks.

“Kalau pembunuhan benar-benar dilakukan pada saat itu,” jawab Matthew, “Anda mengaku bahwa kebutaan itu karena pukulan pada kening Anda?” 

“Ya, Pak Matthew. Suami saya mengambil wajan dari kompor sementara saya lagi memasak sarapan. Saat itu ia langsung memukul saya memakai benda tersebut. Saya sempat merunduk menghindarinya, namun tak ayal wajan itu mengenai kening saya, “ ujarnya sambil jari tangannya menyentuh luka carutan yang membekas di kening mata sebelah kiri. Bisa jadi luka itu akan menimbulkan cacat seumur hidup.

“Setelah itu apa yang terjadi?” 

“Saya lari ke luar dan jatuh pingsan di lantai. Ketika siuman kembali saya merasa ada orang lain berada di ruangan itu. Namun saya tidak tahu siapa, sampai kemudian terdengar suara yang saya kenal, yakni Jack Pembridge, tukang pos yang sering ke rumah. Dialah yang kemudian membawa saya ke rumah sakit.”

“Betulkah polisi baru menemukan mayat suami Anda setelah Anda dirawat di rumah sakit?”

“Betul demikian, Pak Matthew. Setelah berada di RS Parkmead selama kurang lebih dua minggu, saya bertanya kepada pendeta yang setiap hari membesuk, bagaimana kabar Bruce, suamiku.” 

“Apakah Anda tidak heran mengapa suami Anda tak pernah menengok selama dirawat di rumah sakit?” tanya Matthew seraya pelan-pelan menyorongkan cangkir kopinya ke pinggir meja.

“Tidak. Terus-terang saya memang pernah mengancam untuk meninggalkannya. Tapi saya tidak akan sampai ....” Persis pada saat itu cangkir kopi jatuh menimbulkan suara berisik ...krompyaaaaaang... pada lantai batu. Mata Matthew tetap memperhatikan Ny. Banks.

Lantaran terperanjat mendengar bunyi itu, Mary Banks sempat terlonjak dari duduknya. Tetapi ia sama sekali tidak menengok untuk melihat pada arah mana jatuhnya cangkir.

“Anda tidak apa-apa, Pak Casson?” tanyanya. 

“Maaf, ini salah saya,” jawab Matthew. “Betapa bodohnya saya.”

Melihat kejadian ini Casson tersenyum kecut. Rupanya ia segera tahu bahwa Matthew sengaja membuat ulah untuk mengetes kliennya. Sementara Witherington tetap tak bergerak. 

“Silakan dilanjutkan,” ujar Matthew seraya membungkukkan badan mengambil pecahan-pecahan keramik cangkir yang berserakan di lantai. “Anda tadi sedang mengatakan, ‘Saya tidak ...’” 

“Oh, ya. Saya yakin pasti Bruce tidak akan peduli apakah saya akan kembali ke ranch atau tidak.”

“Dengan demikian,” kata Matthew setelah mengumpulkan pecahan-pecahan cangkir itu dan menaruhnya di atas meja, “dapatkah Anda menerangkan kepada kami mengapa polisi mendapatkan beberapa helai rambut Anda pada gagang kapak yang dipakai untuk memukul Bruce?”

“Ya. Waktu itu saya baru saja memotong kayu untuk perapian, sebelum saya menyiapkan sarapan.” 

“Tapi mengapa justru tidak ada sidik jari Anda pada gagang kapak tersebut, Ny. Banks?”

“Karena saya memakai sarung tangan, Pak Matthew. Bila Anda pernah bekerja di pertanian di bulan Oktober, Anda akan tahu betapa dinginnya suhu udara pada pukul 05.00.”

Mendengar penjelasan itu terlihat Casson tersenyum simpul. “Apa komentar Anda mengenai adanya bercak darah pada kemeja suami Anda? Ketahuilah, setelah diperiksa tim forensik ternyata bercak darah itu sama dengan golongan darah Anda.” 

“Anda akan bisa mendapatkan bercak darah di banyak tempat di rumah. Mestinya Anda bisa lebih teliti lagi memeriksa, Pak Matthew.”

“Bagaimana dengan sekop yang ditemukan. Sidik jari Anda banyak terdapat di situ. Apakah Anda juga melakukan penggalian tanah sebelum sarapan pagi?”

“Tidak, tapi memang seminggu sebelumnya hampir tiap hari saya memakainya.”

“Oh, begitu,” ujar Matthew. “Oke, sekarang saya akan menyinggung soal tindakan yang barangkali tidak biasa Anda lakukan, yakni pembelian racun strychinin. Pertama-tama, mengapa Anda membutuhkan racun itu dalam jumlah yang banyak? Kedua, mengapa Anda merasa perlu pergi ke tempat yang jauh seperti Reading hanya untuk membeli barang itu?”

“Saya memang suka berbelanja ke Reading setiap hari Kamis,” jawab Ny. Banks. “Di sana ada toko peralatan pertanian.”

 

Terjerat perangkap mata

Entah kenapa Matthew tampak mengerutkan dahi dan bangkit dari kursinya. Pelan-pelan ia berjalan mengelilingi meja Ny. Banks, sementara Casson melihat dengan ekor matanya segala tingkah laku Matthew. Baik Casson maupun Ny. Mary Banks tidak bergerak. 

Ketika posisi Matthew persis di belakang Mary, ia mengecek arlojinya. Saat itu waktu menunjukkan pukul 11.17. Sangat kelihatan Matthew tidak sabar lagi menghadapi wanita cerdik dan licik ini. la membayangkan, barangkali beginilah caranya Mary bisa bertahan hidup bersama dengan pria macam Bruce Banks selama 11 tahun. la tahu, saatnya memasang perangkap sudah tiba.

“Oke, tapi tadi belum dijelaskan mengapa Anda membutuhkan begitu banyak racun strychinin,” ujar Matthew tetap pada posisinya berdiri di belakang kliennya. 

“Kami telah kehilangan banyak ayam ternak,” jawab Ny. Banks tanpa menggerakkan kepalanya. “Menurut perkiraan suami saya, itu pasti dimakan tikus. Itulah sebabnya ia menyuruh saya membeli racun dalam jumlah banyak untuk memberantas hama tikus itu. Biar sekali jalan, semua beres.”

“Tapi nyatanya justru suami Anda sendiri yang dibereskan. Anehnya, justru dengan racun yang sama,” ujar Matthew dengan suara pelan. “Saya juga mengkhawatirkan keselamatan Rupert,” ujar Ny. Banks seakan tak mempedulikan ucapan sarkastis Matthew.

“Tapi ‘kan anak Anda selama itu tinggal jauh di asrama. Apakah saya tidak keliru?”

“Ya, Anda keliru, Pak Matthew karena ia akan segera pulang liburan tengah semester minggu ini.”

“Apakah Anda selalu membeli di toko itu?” 

“Ya, sering,” jawab Ny. Banks. Saat itu Matthew sudah berjalan dan sekarang posisinya tepat berada di arah depan kliennya. “Paling tidak saya pergi ke sana sekali dalam sebulan, saya rasa manajer toko itu tahu.” la menggerakkan kepalanya ke sebelah kanan.

Matthew tetap diam, ia kembali melihat ke arlojinya, seakan sedang menunggu sesuatu yang tinggal beberapa detik akan terjadi. Benarlah. Beberapa saat kemudian pintu ruangan terdengar dibuka. Seorang bocah lelaki kira-kira berusia sembilan tahun masuk. Dialah Rupert. Suasana hening. Tak ada yang berbicara. Ketiga pria itu sama-sama memperhatikan reaksi Ny. Banks ketika bocah itu diam-diam berjalan ke arah ibunya. Persis di depan sang ibu, Ruperts Banks berhenti sejenak dan tersenyum. Namun, sang ibu tidak bereaksi. Bocah itu berdiri di situ sampai sepuluh menit, lalu membalikkan badan dan keluar, sepertinya sudah diinstruksikan sebelumnya. Sementara itu mata Ny. Banks tetap pada arahnya di antara Matthew dan Casson.

Melihat peristiwa yang menegangkan ini Casson kembali tersenyum. Senyuman yang seolah-olah mencibir Matthew. Tersirat sinar kemenangan di mata Casson.

“Apakah ada orang lain yang masuk ke ruangan ini?” tanya Ny. Banks. “Saya mendengar pintu terbuka.”

“Tidak ada,” jawab Matthew. “Hanya Pak Casson dan saya yang ada di sini.” Mendengar namanya tidak disebut, Witherington tampak tak sedikit pun bereaksi. Ia tetap terpaku di tempatnya.

Untuk kesekian kalinya, Matthew berjalan-jalan kecil kembali, mengelilingi Ny. Banks. Ini untuk yang terakhir kalinya. Dia agak ragu, nyaris ia bisa diyakinkan dengan tingkah Ny. Banks. Persis ketika berada di belakang kliennya, Matthew memberi isyarat anggukan kepala kepada asistennya. Witherington kemudian mendekat ke meja, mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya. Secara perlahan-lahan membuka lipatan-lipatannya dan segera meletakkannya di atas meja persis di depan Mary Banks. Tak ada reaksi apapun dari Ny. Banks. Dengan jari-jemari tangan kanannya Witherington bergerak menempelkan telapak tangan kanannya menutupi mata kiri. Tiba-tiba ia mencongkel bola matanya keluar dari pelupuknya. Lantas secara perlahan menaruhnya persis di tengah-tengah hamparan sapu tangan. Ia membiarkan bola mata itu di situ selama hampir satu menit, kemudian ia mulai menggosoknya.

Saat itu Matthew terus berkeliling dan mengamati Ny. Mary Banks. Dengan ekor matanya ia melihat butir-butir keringat muncul di kening Ny. Banks. Butir-butir keringat itu makin lama makin banyak.

Ketika Witherington selesai membersihkan benda bening sebesar buah almond itu, perlahan ia mengangkat kepalanya sampai persis bertatapan muka langsung dengan wanita itu. Setelah itu Witherington mengambil mata palsunya dan mengembalikan ke tempat semula. Terlihat wajah Ny. Banks menunjukkan emosi yang tak tertahankan. Tiba-tiba sambil menjerit wanita itu berdiri dan beranjak pergi. Tampak betul ia berusaha menenangkan perasaannya namun gagal.

Matthew Robert bangkit dari kursinya dan tersenyum melihat sang korban “masuk perangkap”. Sebagai balasannya wanita itu juga tersenyum kecut. Kini terbukalah semua misteri ini. Tak bisa diragukan lagi, kedoknya bahwa ia buta segera terpatahkan dengan perangkap terakhir yang baru saja dilakukan oleh Matthew.

“Saya harus mengakui Ny. Banks,” kata Matthew, “kini saya yakin bahwa tuduhan kepada Anda sebagai pembunuh tak bisa disangsikan lagi.” (Jefrey Archer

Baca Juga: Tamu Terakhir

 

" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635604/hutang-mata-dibayar-mata" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945840000) } } [16]=> object(stdClass)#181 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635612" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#182 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/pembantaian-ala-nazi_paolo-chiab-20230105070921.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#183 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "Seorang pria mencoba mencari penampungan pengungsi gipsi di Inggris. Namun yang ditemui adalah rekan-rekannya yang telah keracunan gas." ["section"]=> object(stdClass)#184 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/pembantaian-ala-nazi_paolo-chiab-20230105070921.jpg" ["title"]=> string(20) "Pembantaian Ala Nazi" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 19:09:38" ["content"]=> string(43922) "

Intisari Plus - Seorang pria mencoba mencari penampungan pengungsi gipsi di Inggris. Namun yang ditemui adalah rekan-rekannya yang telah keracunan gas.

--------------------

Meski seorang gipsi, Michael Vlado belum pernah berkelana ke mana-mana. la puas hidup bersama istrinya di kaki Pegunungan Alp-Transilvania, Rumania, beternak kuda dan bekerja bersama anggota sukunya. la menjadi kepala suku ketika usianya lewat 40 tahun. Namun, perlakuan tak semena-mena terhadap kaum gipsi di Eropa, bersamaan dengan pergolakan politik di Eropa Timur, mengubah gambaran itu. Atas permintaan pihak Uni Eropa, ia harus pergi untuk mencari tahu kenapa orang-orang Rumania mencari suaka politik.

Itu sebabnya, pada akhir Oktober 1997 ia berada di atas kereta api menyusuri terowongan bawah laut dalam perjalanan menuju Inggris. Ribuan gipsi yang menghadapi meningkatnya perlakuan buruk di Slovakia dan Republik Czech, tergiur untuk melarikan diri setelah menyaksikan sebuah acara televisi Kanada yang memperlihatkan kedatangan imigran asal Rumania disambut baik di negeri itu. Ketika Kanada memberlakukan peraturan yang lebih ketat, perhatian mereka beralih ke Inggris.

Michael bersama Kolonel Jugger, seorang pejabat dari Uni Eropa, pergi ke Dover guna meneliti masalah itu. Setelah kereta api menyusuri terowongan bawah air Selat Inggris yang seolah tak berujung, akhirnya Michael Vlado tiba di Inggris untuk pertama kali dalam hidupnya.

Kolonel Jugger telah mengatur kendaraan untuk menjemput mereka di stasiun. Setelah pensiun dan dinas ketentaraan di bekas Jerman Barat, ia bekerja pada Uni Eropa. Berhubung ahli soal migrasi di negara-negara di Eropa, otomatis ia juga ahli tentang gipsi. “Ada bekas panti asuhan di Starkworth, kira-kira 30-an kilometer dari sini,” kata Jugger. “Pemerintah menjadikannya penampungan darurat bagi kaum gipsi yang meminta suaka, setidaknya sampai pengadilan memutuskan permohonan mereka.” Ia memberi tahu sopir tujuan mereka.

“Saya tidak tahu populasi orang Rumania di Inggris,” Michael mengaku.

“Mereka juga sering disebut kaum ‘pengelana’, istilah untuk gipsi maupun mereka yang bicara dengan bahasa Shelta. Jumlahnya sekitar 50.000 orang, 20.000 orang lainnya di Irlandia.”

“Shelta?” 

“Itu bahasa prokem, sebagian berbasis bahasa Irlandia dan hanya dipakai oleh para gipsi di Kepulauan Britania. Ini masa sulit bagi kaum nomaden di sini. Dulu, para gipsi berkemah di kawasan luar kota. Jauh dari keramaian dan tidak mengganggu, malah terkadang dimanfaatkan sebagai pekerja musiman di pertanian. Begitu jumlahnya bertambah dan tanah-tanah kosong makin berkurang, konflik mulai timbul. Masyarakat pinggir kota ini tidak mau diusik oleh kedatangan mereka.”

Mobil berbelok menuju ke arah pantai dan memasuki kota kecil Starkworth. Mirip kota-kota lain, kota ini memiliki menara jam di balai kotanya dan sebuah gereja tua.

Sampailah mereka di tujuan, yaitu sebuah bangunan besar bercat putih dikelilingi pepohonan. “Berapa orang yang dapat ditampung di sini?” tanya Michael.

“Sekitar seratus. Mungkin sekarang dihuni setengahnya.”

Ketika mendekati pintu masuk, Jugger yang berjalan di depan Michael melihat seseorang tergolek di dekat pintu. Ketika menghampiri orang itu, Michael sempat melongok ke dalam. Tampak beberapa sosok lagi terkapar di lantai.

Anak muda itu membuka matanya sekejap. “Gas,” katanya. “Mereka semua ....”

 

Pesuruh itu tahu

Peristiwa yang beberapa jam kemudian dikenal dunia sebagai “Pembantaian di Starkworth” itu semakin jelas setelah polisi dan ambulans datang. Dua orang polisi memeriksa sekeliling bangunan, mengintip ke dalam lewat jendela-jendela besar. Ketika kembali mereka melaporkan bahwa ada mayat di mana-mana.

Dua petugas berjas karet dan masker dari pasukan pemadam kebakaran yang dipanggil kemudian masuk ke dalam sambil membawa alat pengukur polusi udara. Cepat sekali mereka keluar, lalu tampak beberapa petugas lain memasang kipas besar penyedot udara yang didongakkan ke atas di pintu masuk panti.

Sejam kemudian setelah petugas mengecek ke dalam, tercatat ada 53 mayat laki-laki, perempuan, dan anak-anak, ditambah dua orang wanita relawan yang mengurusi kebutuhan para imigran. Hanya anak muda itu yang selamat dan belakangan diketahui sebagai pesuruh. Di ruang bawah tanah di dekat pipa pemanas ditemukan dua kaleng kosong. Jugger minta agar kaleng-kaleng itu diperiksa.

Wajah Jugger memerah melihat kedua kaleng itu. “Ini seperti yang dipakai di Auschwitz,” kata Jugger geram. “Tablet sianida dilarutkan dalam asam untuk menghasilkan gas hidrogen sianida yang cepat kerjanya.” 

“Saya tahu soal Auschwitz,” kata Michael. “Orang Yahudi dan gipsi dibunuh dengan gas setiap hari. Apakah Anda mau mengatakan bahwa ada orang yang sengaja membunuh mereka dengan cara seperti digunakan di kamp kematian Nazi?”

Orang Jerman itu hanya tertunduk. “Saya khawatir ada tindak kriminal di sini.”

Mereka lalu memutuskan untuk menginap, setidaknya semalam, di sebuah hotel beberapa blok dari panti asuhan. Hotel itu berlantai lima dengan ruang makan dan ruang pertemuan di lantai paling atas menghadap ke laut. Tak pelak sore itu penuh dengan acara polisi minta keterangan pada mereka dan Jugger yang sibuk bolak-balik menelepon atasannya di Brussel. Mereka berhasil menghindari pers dan diam-diam pergi mencari makanan kecil dan minuman di pub terdekat. Saat itu stasiun-stasiun televisi menyela acara reguler mereka dengan liputan yang disebut Pembantaian di Starkworth.

“55 laki-laki, perempuan, dan anak-anak tewas,” penyaji berita melaporkan, “dan satu orang berada di rumah sakit dalam kondisi yang tidak mengkhawatirkan. Meski autopsi belum selesai, polisi yakin mereka korban serangan gas hidrogen sianida yang dialirkan lewat pipa penghangat dalam bangunan itu. Kedatangan kelompok besar kaum gipsi baru-baru ini di Dover dalam rangka mencari suaka, meningkatkan ketegangan meskipun tidak terjadi tindak kekerasan sebelumnya terhadap mereka. Pemerintah memperkirakan, sekitar 800 orang gipsi Eropa telah mendarat di Dover pada minggu belakangan ini, sementara upaya untuk menyediakan akomodasi dan pendidikan tengah dilakukan.”

“Anda percaya hal itu?” tanya Michael pada Jugger. 

“Saya tidak ingin mempercayainya. Mungkin ada orang gila sedang melancarkan teror. Apa Anda dapat membantu kami dengan petunjuk itu?”

Michael memberi isyarat betapa ia pun tak berdaya. 

“Bukankah ini urusan polisi setempat dan Scotland Yard?” 

“Uni Eropa menanggung risiko besar dalam persoalan ini. Tindakan teroris yang luput dari hukum terhadap kaum imigran dapat mendorong terjadinya tindakan serupa, terhadap kaum gipsi.” 

“Dari mana saya harus mulai?” tanya Michael. “Semuanya ‘kan tewas?” 

“Si pesuruh yang selamat itu. Ia mungkin tahu sesuatu.”

 

Pertemuan rahasia

Esok harinya Starkworth hiruk-pikuk. Para kru televisi dari BBC dan jaringan TV swasta memadati jalanan kecil dengan kendaraan-kendaraan mereka. Koresponden Eropa dan Amerika berdatangan pagi itu. Tim penyidik dari Scotland Yard ada di mana-mana. Kolonel Jugger dan Michael yang belum selesai dengan sarapan mereka, dimintai keterangan oleh dua orang penyidik dari London itu. Mereka menceritakan kisah penemuan mayat-mayat itu.

“Bagaimana dengan Mr. Isaacson?” tanya salah seorang penyidik dari Scotland Yard, Inspektur Drexell. “Siapa?” tanya Michael. 

“Satu-satunya yang selamat. Orang yang Anda temukan di pintu masuk panti. Kami ingin tahu persis apa yang ia katakan.”

Jugger berpikir sebentar sebelum menjawab. “Begini, ‘Gas, mereka semua tewas.’ Bukan begitu, Michael?”

“Tidak bilang apa-apa lagi?” Mereka berdua menggeleng. “Ia sulit bernapas,” kata Michael. 

“Bagaimana kondisinya sekarang?” 

“Menurut dokter, keadaannya terus membaik,” kata inspektur.

Ketika para penyidik itu pergi, Kolonel Jugger urung menghabiskan sisa sarapannya. “Mereka mungkin ....” 

Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba seorang wanita berambut pirang dan jangkung masuk ruang makan itu. Dibalut jaket kulit hitam dan rok mini ketat serta sebuah ransel di pundaknya, wanita itu nyelonong ke meja mereka, “Siapa di antara Anda yang bernama Michael Vlado?”

“Saya,” kata Michael sembari tersenyum. 

“Katie Blackthorn, dari Skywatch World Service. Saya ingin mewawancarai Anda sehubungan dengan peristiwa pembunuhan itu.”

“Yang saya ketahui tak jauh beda dengan yang ada dalam berita-berita,” kata Michael. 

“Saya mengerti Anda seorang kepala suku yang datang kemari khusus untuk bertemu dengan para korban. Itu yang ingin saya tanyakan.”

Meski agak enggan, Michael mengikuti wanita itu menuju suatu tempat yang sepi di lobi hotel, di mana juru kameranya menunggu. “Ini Dominick,” katanya. “Ia juru kamera saya. Dominick, saya perlu tiga menit bersama Mr. Vlado, mungkin dengan latar belakang dinding itu saja.”

“Apa kabar?” sapa Dominick sambil menjabat tangan dan mengatur kamera di pundaknya. Tubuhnya besar dan tegap, rambutnya hitam. Saat itu ia mengenakan kaus oblong bergambar kelompok musik rock. la membidikkan kameranya beberapa meter dari mereka. “Siap, Katie.”

Juru kamera itu merekam beberapa cuplikan ketika Katie memperkenalkan Michael kepada pemirsa, lalu Katie mengawali wawancara dengan pertanyaan seputar dirinya sebagai kepala suku gipsi.

“Anda percaya pembunuhan itu adalah upaya untuk membendung imigrasi kaum gipsi?”

“Saya tidak tahu. Saya masih terguncang akibat peristiwa itu.”

Katie Blackthorn tersenyum. “Terima kasih, Mr. Vlado,” ucap Katie. “Cukup, Dominick.”

Dominick berhenti merekam lalu memutar kembali hasil rekamannya untuk Katie. Ketika Michael diam mengamati, terdengar telepon Katie berdering dalam ranselnya. “Blackthorn di sini.” Sepertinya bukan dari orang yang dia kenal. Telepon tidak jadi ditutup karena apa yang dikatakan si penelepon tampaknya menarik perhatian Katie. “Cubberth? Dari mana Anda tahu nomor telepon saya? Baik, di dermaga satu jam lagi.”

Katie menyimpan telepon genggamnya. “Dari penggemar,” kata Katie kepada Dominick. “Kantor yang memberi tahu nomor telepon saya. Ambil beberapa gambar gereja dan balai kota sebagai ilustrasi. Kita ketemu lagi di hotel nanti siang.”

 

Kaum gipsi melarikan diri

Michael kembali ke meja melanjutkan sarapan. “Ini mungkin baru yang pertama dari serangkaian wawancara dengan Anda,” kata Jugger.

“Wanita itu baik sekali. Saya mesti nonton di berita malam.” 

“Saya harus lapor ke orang imigrasi. Anda mau ikut?”

Michael cuma menggeleng. “Lebih baik saya keliling kota saja. Saya datang kemari untuk berbicara dengan orang gipsi dan hingga kini belum bertemu dengan satu orang pun.”

Pelayan membawakan rekening. “Baru saja ada laporan di televisi, Pangeran Charles akan tiba sore ini untuk meninjau tempat kejadian.”

Michael segera berangkat sebelum jalanan menjadi macet. Polisi sedang berjuang agar lalu lintas di jalan-jalan utama lancar. la menghampiri seorang polisi untuk menanyakan jalan menuju lokasi karavan di kota ini. “Terus saja sampai rel kereta api, lalu belok kiri kira-kira 500 meter lagi,” kata polisi. “Tapi Anda tidak akan menemukan para gipsi di sana, kalau itu maksud Anda. Mereka sudah pergi. Takut, mungkin.”

Michael menengok arlojinya, baru pukul 10.30. Ketika dua puluh menit kemudian tiba di tempat yang dituju, lapangan itu betul-betul kosong. Namun, terlihat ada seorang laki-laki tua berjalan dengan tongkatnya yang besar dan tampak bingung. Begitu dekat, Michael bisa melihat dengan jelas tongkat itu berukiran cukup rumit. la pernah melihat tongkat serupa, dibawa oleh orang-orang gipsi yang sudah tua. “Maaf, Anda gipsi?”

Orang itu menjawab dengan bahasa yang asing di kuping Michael. Lalu ia coba pakai bahasa Rumania. Masih saja omongan orang itu sulit dipahami. Akhirnya, Michael ingat bahasa Shelta. “Shelta?” kata Michael.

Wajah orang tua itu mendadak ceria, lalu ia bicara lebih pelan. “Siapa nama Anda?” tanya Michael.

“Granza Djuric. Waktu saya pergi kemarin, karavan-karavan itu masih ada di sini.”

“Ada peristiwa tragis baru saja terjadi,” Michael mencoba menjelaskan. “Orang-orang gipsi yang baru tiba dari Eropa tewas di kota ini kemarin. Warga Anda mungkin pergi menyelamatkan diri.”

Tiba-tiba dari sudut lain lapangan itu muncul seorang penunggang kuda melaju ke arah mereka. Orangnya masih muda, 20-an tahun, bajunya warna-warni menggelembung terembus angin saat memacu kudanya. “Granza!” teriak anak itu.

Granza Djuric tersenyum. “Itu Dane, cucu saya.”

Ketika penunggang kuda itu turun, Michael memberi salam. “Michael Vlado. Saya kepala suku Rom di kaki pegunungan di Rumania.”

Dane menjabat tangannya. “Dane Morgan. Kami pergi dari sini pagi-pagi sekali. Saya kira kakek saya ini sudah ada di karavan lain. Kami baru sadar kalau ia ketinggalan, makanya saya kembali.”

“Kalian pergi karena peristiwa pembunuhan itu?”

Ia mengangguk. “Mengerikan. Ada yang mengira kami pelakunya. Tapi ada yang percaya, kami korban berikutnya. Sudah saatnya kami pergi.”

“Anda sudah dengar semuanya? Apakah penduduk Starkworth menolak kedatangan gipsi lebih lanjut?”

“Sebagian mungkin begitu, tetapi mereka tinggal di sini hanya sementara.” Dane lalu berpikir sejenak. “Ada orang yang ....”

“Siapa?” 

“Namanya Cubber atau Cubberth. Ia punya laboratorium yang membuat obat-obatan semacam LSD. Beberapa minggu lalu ia mencoba menjual beberapa kepada kami, tetapi dia kami usir.”

Cubberth. Ya, Michael ingat sekarang. Dia orang yang janjian dengan Katie Blackthorn lewat telepon untuk bertemu di dermaga. Ketika menengok arloji, saat itu beberapa menit menjelang pukul 11.00. Kalau cepat sampai, mungkin masih keburu menjumpai pertemuan itu. “Mana jalan ke dermaga?” katanya pada Dane Morgan.

“Ada jalan pintas dari sini.” Ia memberi tahu Michael sebelum membantu kakeknya naik ke punggung kuda.

 

Tukang mancing itu lenyap

Panjang dermaga Starkworth kira-kira 30 m dan tampaknya menjadi tempat orang memancing di kota itu. Ada pantai yang sempit dan berbatu di sisi lain tetapi tak mengundang orang berenang di situ. Saat tiba sekitar pukul 11.15, Michael melihat ada orang sedang duduk memancing sendirian di ujung dermaga. Topinya yang lebar melindungi kepalanya dari terik matahari. Lalu tampak ada seseorang naik ke dermaga. Rambutnya agak botak, tidak pakai topi, dan tampak ragu-ragu gerak-geriknya. Akhirnya, ia berjalan menghampiri orang yang tengah memancing itu.

Michael sempat mengira si pemancing itu Katie Blackthorn yang menyamar agar luput dari perhatian wartawan lain pesaingnya. Ternyata bukan, sebab dilihatnya Katie muncul dari balik sebuah bangunan, bergegas menuju dermaga, masih mencangklong ransel. Michael mengejar Katie, tapi terlalu jauh untuk bisa tiba bersamaan di dermaga. Lelaki botak itu sudah sampai di ujung dermaga dan duduk di dekat si pemancing.

Michael baru setengah jalan ke arah mereka ketika Katie sampai di tempat kedua orang itu. la tidak tahu persis apa yang dilakukan Katie karena tubuhnya mengalangi pandangan Michael. Tiba-tiba Michael melihat wanita itu meloncat ke belakang seperti tersengat sesuatu. Topi lebar si pemancing tergeletak di dermaga dan jaketnya teronggok di bawahnya. Katie Blackthorn berteriak dan Michael cepat berlari menghampirinya.

“Ada apa?” teriak Michael. 

la berpaling ke Michael, wajahnya tampak ketakutan. “Dia mati!”

“Orang yang mancing itu?” 

“Tidak ada yang mancing di sini. Saya kira dialah orang yang bernama Cubberth.”

Tubuh lelaki botak itu merosot di tonggak kayu, lehernya sobek oleh pisau bergerigi. Michael mengamati sekeliling. “Saya tadi melihat ada orang memancing di sini.”

“Jaket dan topi itu disangga dengan gagang sapu ini. Itu yang Anda lihat.”

“Lalu siapa yang membunuh?” 

“Saya tidak tahu.”

Katie merogoh telepon genggamnya dan memencet nomor. “Polisi! Ini darurat! Ada yang tewas di dermaga Starkworth. Saya reporter televisi. Nama saya Katie Blackthorn. Ya, saya tetap di sini sampai Anda tiba.” la lalu memencet nomor lain. “Dominick, saya di dermaga. Kemarilah dan bawa sekalian kameramu!”

Beberapa saat kemudian terdengar suara raungan sirene. “Anda sedang apa di sini?” tanya Katie kepada Michael.

“Saya ingat nama Cubberth ketika ia menelepon Anda di hotel tadi. Saya baru mengobrol dengan seorang gipsi lalu nama itu muncul. Saya memutuskan untuk bergabung dalam pertemuan Anda dengan orang itu.”

Inspektur Drexell termasuk salah satu yang datang pertama kali di dermaga. “Kalian sedang bersama-sama ketika menemukan mayat itu?” ia bertanya kepada Michael dan Katie sementara asistennya memeriksa mayat korban.

Michael menjelaskan ia datang persis ketika korban sedang berjalan menuju ujung dermaga. “Saya tahu Cubberth membuat janji dengan Katie Blackthorn dan mungkin dialah orangnya. Katie datang beberapa saat setelah orang itu.”

Inspektur berpaling ke arah wanita itu. “Katie Blackthorn?”

“Cubberth menelepon saya di hotel tadi pagi. Ia mengaku punya informasi tentang pembunuhan kemarin. Ia bilang ingin bertemu dengan saya di sini.”

“Lalu apa hubungan Anda dengan Cubberth?” tanya inspektur pada Michael.

“Seorang gipsi bercerita bahwa ia memiliki sebuah laboratorium di dekat sini. Ia membuat LSD dan bahan-bahan kimia lainnya. Jika ia punya sesuatu untuk disampaikan kepada pers, barangkali berkaitan dengan pembunuhan itu.”

Inspektur mengangguk. Dominick muncul sambil memanggul kameranya dan merekam situasi dermaga. “Mayatnya ada di ujung sana,” teriak Katie.

Dominick bergegas melewati mereka. “Saya tadi sedang merekam sekitar balai kota seperti yang kamu pesan. Saya punya cuplikan bagus untuk kamu.”

Sip-lah! Sekarang ambilkan saya cuplikan dengan sosok korban yang tergorok lehernya itu!”

“Bukankah Anda hanya berdua dengan korban saat ia tewas? Mr. Vlado melihat ia berjalan beberapa meter di depan Anda menuju dermaga,” kata inspektur. 

“Tadi ada orang memancing di ujung dermaga,” tutur Michael. Dominick yang memakai kaus garis-garis tampak berhenti merekam dan mengganti kaset.

“Ke mana dia sekarang?” tanya Inspektur Drexell. 

Mereka melongok ke air dan Michael melihat airnya tak dalam. Katie tidak menjawab, sebaliknya ia berkata, “Tadi pagi saya ke rumah sakit mau menemui Isaacson, pesuruh yang cedera itu. Tapi sudah tidak ada. Katanya, sudah disuruh pulang.”

“Sebelum kalian pergi, saya ingin tahu nama gipsi itu, Mr. Vlado.” 

“Dane Morgan. Ia bersama kakeknya bernama Granza Djuric. Mungkin mereka sudah meninggalkan Starkworth.”

 

Ditinjau Pangeran Charles

Mereka tiba di hotel beberapa saat menjelang tengah hari. Tanpa Drexell, Michael tidak yakin mereka boleh mewawancarai satu-satunya korban selamat dalam pembantaian itu, tetapi Kolonel Jugger mengaturnya. “Dia tidak tahu apa-apa, tapi kalian boleh mewawancarainya kalau ia mau.”

Carl Isaacson duduk di kursi dalam ruang pertemuan di lantai paling atas. Katie Blackthorn segera mengambil alih wawancara. “Seperti apa keadaan di dalam panti ketika gas itu mulai mengalir lewat pipa-pipa itu? Anda tahu apa yang sedang terjadi?” 

“Pada mulanya tidak. Saya mendengar beberapa gipsi mulai batuk-batuk dan tercekik. Lalu saya melihat Ny. Withers, salah seorang relawan, pingsan di lantai. Saat itulah saya menyadari sesuatu yang buruk sedang terjadi. Saya lari sambil berteriak minta tolong, tapi saya pingsan di dekat pintu.”

Ketika televisi disetel, tampak di layar iring-iringan kendaraan yang membawa Pangeran Charles, sementara para kru TV berebut posisi terbaik. “Ia akan meninjau panti asuhan itu,” kata Katie. la menelepon Dominick dan menyuruh dia datang ke tempat itu dengan kameranya. Jugger beranjak keluar untuk bergabung dengan panitia penyambutan.

Ketika Dominick tiba, ia menyerahkan kaset-kaset berisi rekaman tentang taman kota dan dermaga, lalu cepat-cepat keluar bergabung dengan yang lain. “Anda harus mengirim kaset-kaset itu ke London?” tanya Michael.

“Tidak. Kami mengirimnya lewat satelit dari mobil siaran kami langsung ke studio. Apa saja yang kami rekam saat ini akan muncul dalam berita petang.”

Sebelum Michael berkata lebih lanjut, sederet limusin Rolls Royce berwarna hitam muncul. Para pengawal berlompatan turun dan berkerumun di sekitar limusin utama. Michael melihat sekilas Kolonel Jugger menjabat tangan Pangeran Charles dan kamera-kamera terus menyorot mereka.

Michael menyaksikan dari jendela hotel ketika serombongan pejabat itu bergerak menuju panti asuhan dan berdiri di depan bangunan untuk difoto.

Beberapa saat kemudian di sore hari ketika kunjungan Pangeran usai, Inspektur Drexell kembali. Michael melihat ia kembali tak lama setelah Dane Morgan masuk ke hotel ditemani kakeknya.

“Anda menangkap mereka?” 

“Dane Morgan justru membantu penyelidikan kami.”

“Saya tidak melakukan kesalahan apa-apa,” Morgan menyela. “Begitu juga kakek saya. Mengapa kami harus membunuh warga kami sendiri? Kakek saya pun datang dari kawasan yang sama 60 tahun yang lalu.”

Di posko masih ada kegiatan ketika beberapa anak buah Drexell datang menyelesaikan tugas yang lain. Ia keluar sebentar untuk bicara dengan mereka dan masuk lagi bersama Kolonel Jugger yang mengikutinya dari belakang.

Drexell mengajak Michael dan si kolonel menjauh dari Dane dan kakeknya. “London minta tindakan cepat dan saya kira kita punya sesuatu. Soal Cubberth, korban yang tewas di dermaga itu, anak buah saya menemukan sebuah lab kecil di rumahnya seperti disebut Dane. Ditemukan pula tempat berisi tablet sianida dan asam seperti digunakan di panti asuhan itu. Jadi, Cubberth adalah tersangka. la mungkin bunuh diri dengan menggorok lehernya di dermaga itu.”

“Lalu bagaimana Anda menjelaskan jaket dan topi pada gagang sapu itu? Serta mengapa ia minta Katie menemuinya jika ia hanya akan bunuh diri tanpa lebih dulu mengatakan apa-apa?”

“Menurut Anda, apa yang terjadi?” tanya Drexell yang tampak ingin cepat-cepat menyelesaikan kasus ini. “Anda menduga Katie terlibat?”

“Saya tidak tahu. Saya rasa Cubberth memasok bahan-bahan kimia itu kepada seseorang dan orang itu menggunakannya. Lalu Cubberth dihabisi agar tidak bicara kepada pers. Begitu tahu bahan-bahan kimianya itu dipakai untuk kejahatan, ia ingin mengamankan diri.”

Drexell masih sibuk dengan informasi yang masuk. Michael turun mencari mobil van si Katie. Jalan antara hotel dan panti asuhan dipenuhi lima mobil van yang parkir berderet.

Ketika mendapati van Katie, Michael melongok ke dalam. “Masuk,” kata Katie. “Saya punya berita hebat. Kami sedang menyiapkan bahan untuk salah satu stasiun televisi besar di Amerika!”

“Lalu, apa artinya itu?” 

“Saya akan muncul di televisi Amerika itu dalam berita malam. Lihat rekaman ini!” Cuplikan itu dimulai dengan close-up wajah Katie yang sedang mengatur adegan. Lalu beralih ke pusat kota dan menara lonceng balai kota. “Dominick dapat cuplikan bagus di sini. Coba lihat.” Tepat tengah hari ketika lonceng berdentang, sekawanan burung terbang berhamburan ke luar menara. Adegan kembali menampilkan Katie yang berdiri di depan panti. Ia terus memutar cuplikan peristiwa hari itu termasuk pembunuhan di dermaga yang masih misterius dan kedatangan Pangeran Charles.

Dominick muncul dan berkata kepada Katie, “Ada perkembangan baru! Inspektur baru saja kembali bersama beberapa orang. Mereka terburu-buru.”

Michael mengikuti Katie yang setengah berlari, diikuti Dominick dengan kameranya. Ketika mereka sampai di lift, seorang petugas dari Scotland Yard menghadang mereka. “Maaf, hanya yang berkepentingan boleh naik. Ruang makan ditutup malam ini.”

“Saya Michael Vlado, teman Kolonel Jugger.”

“Katie Blackthorn dan ini juru kamera saya, Dominick Withers. Kami berdua ada dalam daftar Anda.”

Petugas tersenyum. “Tidak ada dalam daftar ini. Pers dilarang masuk. Anda boleh naik, Mr. Vlado.” 

“Michael, teman saya,” Jugger memulai setelah Michael duduk di ruang pertemuan.

“Apa yang terjadi?” 

“Kita menghadapi keadaan serius sekarang,” kata Drexell. “Beberapa informasi penting yang sampai ke tangan kami menunjuk pada kemungkinan tersangka baru.” 

“Maksud Anda si gipsi, Dane Morgan?” 

“Bukan, tapi Kolonel Jugger.”

 

Dendam turunan

Mendengar itu Michael seperti tersengat listrik. “Mana mungkin! Kami selalu bersama-sama dalam perjalanan. Saat terjadi pembunuhan, kami masih berada di Prancis.”

“Tolong dengarkan saya dulu,” kata inspektur. “Fakta yang kami temukan memang mengejutkan. Kolonel Jugger lahir di Jerman menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Usai perang, ayahnya diadili sebagai penjahat perang. Tuduhan yang dijatuhkan termasuk melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang gipsi dalam kamar gas di Auschwitz. Ayahnya diganjar hukuman seumur hidup tetapi belakangan dikurangi masa hukumannya karena alasan kesehatan. la dibebaskan dari penjara pada 1971 dan meninggal setahun kemudian. Betul demikian, Kolonel?”

“Betul,” kata Jugger dengan suara lirih. “Apakah dosa para ayah juga harus ditanggung oleh anak-anaknya?”

“Setelah apa yang terjadi pada ayah Anda, mungkin kebencian terus tumbuh dalam diri Anda terhadap kaum gipsi.”

“Justru sebaliknya, saya curahkan hidup saya untuk menghapus kejahatan yang pernah dilakukan ayah saya.”

“Tapi tindakan itu dilakukan dengan senjata yang sama seperti yang kita dapatkan di Starkworth. Ini lebih dari sekadar kebetulan.”

Michael merasa harus memotong pembicaraan. “Bagaimana dia bisa berada di dua tempat dalam waktu bersamaan, Inspektur?”

“Saya kira kita sepakat bahwa Cubberth dipaksa menyiapkan bahan-bahan kimia yang diperlukan atau bahkan sebagai kaki tangan seseorang. Sebaliknya, tidak ada alasan untuk melenyapkan Cubberth. Taruhlah kita berpikir lebih jauh. Barangkali ia dibayar untuk memasok bahan-bahan kimia itu dan menyerang orang-orang gipsi di panti asuhan dengan bahan itu. Jika Kolonel Jugger menyewanya dan tiba setelah peristiwa pembunuhan, jelas dia sama sekali tidak bisa dicurigai.”

“Anda tidak punya bukti atas tuduhan itu!” sergah Michael.

“Kami punya bukti fisik dari rumah Cubberth. Dengan penyelidikan sedikit lagi, saya kira akan kita dapatkan siapa yang menyewa Cubberth.”

Michael yang berada di sudut ruangan itu berjalan menuju jendela besar yang menampakkan pemandangan air laut yang bergulung-gulung. Pikirannya teraduk-aduk. Pada arah yang lain, ia melihat gelap malam mulai meliputi Starkworth. Hari makin larut, burung-burung di menara lonceng kota tak tampak lagi.

Michael kembali ke mejanya. “Tolong panggil para wartawan dan juru kamera kemari. Saya akan mengungkapkan siapa pembunuh Cubberth dan ke-55 orang itu berikut alasannya.”

 

Ingin membunuh ibunya

Semula inspektur tidak setuju. Sebenarnya ia belum ingin mengungkapkannya kepada pers sebelum tahu persis apa yang terjadi. Michael mengajak inspektur ke tempat menyendiri dan berbicara cukup lama di situ. Akhirnya, “Baik. Kita coba,” Kata Drexell.

Beberapa saat kemudian ruang pertemuan itu dipadati wartawan dan juru kamera TV. Malam makin menyelimuti Starkworth.

Michael melangkah ke mikrofon, matanya menatap Katie yang berdiri di baris depan. Kolonel Jugger telah mengumpulkan mereka yang terkait dengan kasus ini, termasuk Dane Morgan dan kakeknya Granza dalam ruang pertemuan itu. Seorang petugas membawa Carl Isaacson, satu-satunya yang selamat dalam tragedi, masuk ke ruangan itu juga.

“Saudara-saudara, maafkan bahasa Inggris saya pas-pasan,” kata Michael. “Saya datang dari pelosok desa di Rumania, tapi saya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan persaudaraan. Saya sendiri gipsi, juga kepala suku, tetapi saya telah bekerja sama dengan pihak kepolisian Rumania untuk membongkar sejumlah tindak kejahatan.”

Katie mengangkat tangan untuk bertanya, tetapi Michael mencegah karena nanti ada waktunya. “Mungkin pertanyaan paling besar adalah bagaimana orang sanggup melakukan kejahatan yang begitu mengerikan. Itu mengingatkan peristiwa pembantaian serupa di Auschwitz terhadap orang-orang Yahudi dan kaum gipsi, yang juga dibunuh dengan cara serupa pada masa Perang Dunia II. Apakah itu pekerjaan teroris atau orang gila?”

“Bagi saya, titik terang terbongkarnya kasus ini muncul tadi pagi ketika warga setempat bernama Cubberth terbunuh di dermaga. Sebelumnya saya sudah diberi tahu, Cubberth mengolah LSD dan bahan kimia lain di laboratorium di rumahnya, dan menjualnya sebagian kepada para gipsi di wilayah ini. Anak buah Inspektur Drexell menemukan bukti bahwa di rumahnya Cubberth mengolah bahan kimia yang dipergunakan untuk membunuh ke-55 orang itu. Si pembunuh sudah pasti menyewa Cubberth untuk melakukannya.”

Kali ini Katie tak tahan untuk tidak bertanya. “Bagaimana Anda tahu Cubberth bukan bunuh diri?” teriaknya.

Michael menjawab, “Cubberth menelepon dan meminta Anda menemuinya di dermaga tadi pagi. Apa yang ingin dia katakan pada Anda? Bahwa ia telah membunuh mereka semua? Yang lebih masuk akal, ia akan menyampaikan sesuatu yang ia ketahui tentang pembunuhan di panti itu dan siapa orang di belakangnya. Teori ini didukung oleh peristiwa pembunuhan terhadap Cubberth di ujung dermaga saat Anda datang hendak menemuinya.”

“Tetapi apa yang terjadi dengan si pembunuh?” 

“Bagaimana si pembunuh menghilang begitu saja, itu sederhana sekali. Jaket dan topi itu dia gunakan untuk menyamar. Cubberth menghampiri orang itu, mengira Andalah yang duduk di sana. Si pembunuh menggorok lehernya lalu menghilang di ujung dermaga dengan cara masuk ke dalam air sewaktu Anda berjalan mendekatinya. Saya perhatikan air di bagian itu tidak begitu dalam dan si pembunuh naik ke daratan lewat bawah dermaga. Pandangan Anda terfokus pada Cubberth serta jaket dan topi itu sehingga Anda tidak melihatnya. Hal serupa juga terjadi pada saya ketika mengikuti Anda ke sana. Si pembunuh berhasil meloloskan diri tapi pembunuhan itu meninggalkan petunjuk yang saya perlukan untuk mengetahui identitasnya.”

“Ia tidak meninggalkan petunjuk apa-apa,” Katie membantah. Konferensi pers itu berubah menjadi dialog antara mereka berdua namun dicatat oleh pers dunia.

“Coba pikirkan lagi. Bagaimana si pembunuh tahu Cubberth akan datang ke dermaga? Cubberth tidak berkata kepadanya dan saya melihat Cubberth sendirian berjalan ke dermaga. Si pembunuh sudah berada di ujung dermaga. Jadi, ia tidak membuntuti korbannya. Si pembunuh pasti sudah tahu sebelumnya kalau akan ada pertemuan itu. Saya ada di samping Anda ketika Cubberth menelepon Anda lewat telepon genggam, persis ketika Anda selesai mewawancarai saya. Anda tidak mengatakan apa isi percakapan itu, tetapi Anda menyebut nama Cubberth, waktu, dan tempat pertemuan. Itulah yang perlu diketahui si pembunuh.”

“Tetapi tidak ada orang lain lagi di sana kecuali Anda dan saya!” sergah Katie. 

Michael menggeleng. “Masih ada orang lain. Juru kamera Anda, Dominick.” 

Saat Michael berkata begitu, Dominick berhenti merekam dan meletakkan kameranya di lantai. Semua mata tiba-tiba tertuju pada Dominick. “Ini sih gila!” katanya marah.

“Oh ya? Si pembunuh basah kuyup setelah menyeberang ke daratan lewat bawah dermaga. Anda mengenakan kaus oblong bergambar kelompok musik rock waktu sarapan tadi. Tetapi ketika kemudian Katie memanggil Anda agar datang ke dermaga untuk merekam adegan pembunuhan, Anda sudah ganti dengan kaus garis-garis.”

Dominick membasahi bibirnya sambil maju beberapa langkah. Di belakangnya, Katie Blackthorn mengambil kamera Dominick. la memanggulnya dan mulai merekam. “Saya tidak berada di dermaga sampai Katie memanggil saya,” kata Dominick. “Saat itu saya ada di alun-alun merekam cuplikan menara balai kota. Anda bisa melihat di kasetnya.”

“Saya sudah melihatnya,” tutur Michael. “Anda merekamnya tepat pada tengah hari, terbukti dengan adegan burung-burung yang beterbangan karena takut bunyi lonceng. Sebuah gambar yang bagus, tetapi itu justru menjadi bukti bahwa Anda berada di sana hampir satu jam setelah pembunuhan itu, bukan pada saat Cubberth terbunuh.”

Wajah Dominick memucat, sementara Inspektur Drexell bergerak mendekatinya. “Mengapa saya harus melakukan perbuatan gila itu?” katanya pura-pura tidak mengerti. 

“Saya tidak bisa menjelaskan persisnya,” kata Michael. “Tapi yang jelas bukan orang gipsi, ‘kan? Mereka hanya kedok bagi Anda untuk menutupi motif yang sebenarnya, yaitu semacam motif meledakkan sebuah pesawat hanya karena jngin membunuh satu orang saja di dalamnya. Tadi, ketika petugas menghadang kami di pintu, Katie menyebut nama Anda dengan Dominick Withers. Salah seorang relawan yang tewas oleh gas beracun adalah Ny. Withers. Siapa wanita itu? Istri atau mantan istri Anda, barangkali?”

Dominick seperti makin ditelanjangi. Sebelum Drexell atau yang lain bergerak, Dominick berteriak lalu membenturkan diri pada kaca jendela yang menghadap ke laut.

Katie Blackthorn merekam semua peristiwa itu, tetapi akhirnya pihak stasiunnya memutuskan untuk tidak menayangkan peristiwa bunuh diri salah seorang karyawannya pada berita malam itu. Katie kembali ke London pagi harinya dan Kolonel Jugger datang menemui Michael untuk sarapan.

“Wanita itu ibunya, bukan bekas istrinya,” katanya kepada Michael. “Saya kira kita tidak akan pernah tahu lebih dari itu. Dominick tinggal di Maidstone, setengah perjalanan menuju London, maka tidak sulit bagi dia untuk naik kendaraan kemari dalam setengah jam dan menyiapkan gas dari Cubberth di panti asuhan itu.” (Edward D. Hock)

Baca Juga: Dendam Masa Lalu

 

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635612/pembantaian-ala-nazi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945778000) } } [17]=> object(stdClass)#185 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635667" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#186 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/kumis-yang-menyelamatkan_alan-ha-20230105070827.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#187 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(136) "Seorang pebisnis keturunan Irak merasa waswas ketika pesawatnya mendarat darurat di Baghdad. Pasalnya, ia seorang buronan kasus politik." ["section"]=> object(stdClass)#188 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/kumis-yang-menyelamatkan_alan-ha-20230105070827.jpg" ["title"]=> string(24) "Kumis yang Menyelamatkan" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 19:08:42" ["content"]=> string(33640) "

Intisari Plus - Seorang pebisnis keturunan Irak merasa waswas ketika pesawatnya mendarat darurat di Baghdad. Pasalnya, ia seorang buronan kasus politik.

--------------------

Hamid Zebari tersenyum dalam hati sambil menatap istrinya Shereen yang sedang duduk di belakang kemudi mengantarnya ke bandara. Sulit dipercaya, kehidupan mereka bisa seperti ini sejak pertama kali keluarga ini masuk ke Amerika sebagai buronan politik lima tahun lalu. Namun dari pengalaman yang mereka jalani, Hamid sadar di Amerika segalanya serba mungkin. 

“Papa kapan kembali?” tanya Nadim yang duduk di jok belakang di samping kakak perempuannya, May. 

“Saya janji, hanya dua minggu. Tidak lebih,” jawab Hamid. 

“Dua minggu itu berapa sih?” tanya Nadim lagi. 

“Empat belas hari,” Hamid menjawab sembari tertawa.

“Dan empat belas malam,” tambah istrinya saat mobil memasuki jalur yang bertanda arah menuju counter Turkish Airline. Setelah mengeluarkan barang bawaannya dari bagasi, Hamid masuk ke jok belakang. Dipeluknya May lebih dulu baru kemudian Nadim. May menangis, bukan karena ayahnya hendak pergi tetapi lantaran setiap kali mobil berhenti, ia pasti menangis. May dia biarkan membelai kumisnya yang tebal sebab dengan begitu biasanya ia berhenti menangis. 

“Empat belas hari,” ulang Nadim. Hamid memeluk istrinya dan merasakan perut buncit istrinya yang sedang hamil.

“Nanti kami jemput di sini,” kata Shereen. 

Setelah enam buah tas kosong miliknya diperiksa, Hamid menghilang masuk bandara. Ia sudah biasa menggunakan Turkish Airline, sehingga tidak perlu lagi minta petunjuk pada petugas loket. 

Setelah check-in dan mendapatkan pas naik, Hamid masih menunggu satu jam lagi sebelum dipanggil naik pesawat. Makanya ia santai saja ketika berjalan menuju gate B-27. Sewaktu lewat di depan meja check-in Pan Am pada B-5, ia melihat pesawat itu akan lepas landas sejam lebih awal dari pesawatnya; ini keistimewaan bagi mereka yang rela mengeluarkan ongkos ekstra AS $ 63.

Di ruang tunggu, seorang pramugari maskapai penerbangan Turki menyelipkan tanda nomor penerbangan 014 tujuan New York - London - lstanbul pada sebuah papan. Rencana keberangkatannya pada pukul 10.10.

Tempat duduk ruang tunggu tersebut mulai terisi kelompok penumpang kaum kosmopolitan seperti biasa: orang Turki yang mau pulang kampung menengok keluarga, orang Amerika yang mau berhemat AS $ 63, dan para pengusaha.

 

Sudah diperingatkan

Hamid pergi ke sebuah restoran, memesan kopi dan dua telur mata sapi dengan perkedel. Hal-hal sepele ini mengingatkannya pada hari-hari awal kebebasannya, serta betapa besar jasa Amerika Serikat pada dirinya. 

“Para penumpang tujuan lstanbul yang membawa anak-anak dipersilakan naik ke pesawat,” kata petugas melalui pengeras suara. 

Hamid menelan potongan terakhir perkedelnya, lalu menenggak habis sisa kopi pahitnya. Ia sudah rindu minum kopi Turki yang disuguhkan dalam cangkir kecil. Namun kerinduan itu nyaris tak berarti bila dibandingkan dengan kenikmatan hidup yang dia peroleh di negeri bebas ini.

Hamid mengambil kopernya, berjalan menyusuri lorong menuju pesawat dengan nomor penerbangan 014. Seorang petugas dari maskapai Turki memeriksa pas naiknya dan menyilakan dia masuk. 

Ia mendapat tempat duduk di pinggir gang nyaris paling belakang di kelas ekonomi. Sepuluh kali perjalanan lagi, katanya dalam hati, ia bakal selalu naik Pan Am di kelas bisnis. Pada saat itu ia pasti sudah sanggup membeli tiket kelas bisnis. 

Setiap kali roda pesawat yang ditumpanginya lepas landas, Hamid selalu melongok lewat jendela pesawat dan mengamati negeri yang menerima suaka politiknya sampai hilang dari pandangan. 

Sudah hampir lima tahun ia dipecat Saddam Hussein dari jabatannya sebagai menteri pertanian dalam kabinet Irak. Padahal posisi itu baru dia jalani selama dua tahun. Pada musim gugur kala itu hasil panen gandum payah. Setelah tentara rakyat dan kaum tengkulak mengambil bagiannya, jatah untuk rakyat Irak kurang. Dalam kasus ini harus ada orang yang dipersalahkan dan kambing hitam yang gampang dipegang tidak lain adalah menteri pertanian.

Ayah Hamid, seorang pedagang karpet, sudah sering mengajak dia bergabung dalam bisnis keluarganya. Bahkan memperingatkan Hamid sebelum ia meninggal; jangan pernah menerima jabatan sebagai menteri pertanian. Sebab tiga menteri terakhir pimpinan departemen itu mengalami pemecatan dan setelah itu menghilang. Setiap orang Irak sudah tahu artinya “menghilang”. Namun Hamid bersikukuh menerima posisi itu.

Panen tahun pertama hasilnya memang berlimpah. Dari situ Hamid semakin yakin, jabatan menteri pertanian merupakan satu-satunya batu loncatan untuk meraih posisi yang lebih baik. Apalagi dalam setiap kesempatan, Saddam Hussein selalu menyebut dirinya sebagai “teman dekat dan teman baik saya”.

Ayah Hamid terbukti benar. Musibah itu terjadi di tahun kedua. Untunglah teman setianya yang mengalami nasib serupa membantu Hamid melarikan diri. 

Satu-satunya tindakan antisipasi yang dia lakukan selama menjadi menteri yaitu menarik uang tabungannya di bank setiap minggu. Jumlahnya sedikit lebih banyak daripada yang biasa dia butuhkan. Sisanya dia tukarkan dengan dolar Amerika pada pedagang valuta pinggir jalan, tetapi setiap kali pada pedagang yang berbeda. Itu pun dalam jumlah yang tidak mengundang kecurigaan orang.

Pada hari ia dipecat, uang yang dia sembunyikan di bawah kasur - hasil penarikan dari tabungannya di bank itu - ternyata lumayan. Hampir AS $ 11.222.

 

Minta suaka politik

Kamis berikutnya - hari akhir pekan bagi orang Baghdad - pelarian dimulai. Dengan naik bus, Hamid dan istrinya yang sedang hamil meninggalkan Baghdad menuju Erbil. Sedan Mercedes miliknya dia tinggalkan secara mencolok di halaman depan rumahnya yang besar di pinggiran kota. Mereka tidak membawa apa-apa kecuali paspor dan segepok uang dolar yang disembunyikan dalam baju hamil istrinya yang longgar, serta sejumlah uang dinar untuk ongkos sampai di perbatasan.

Mustahil ada yang akan menemukan mereka di atas bus menuju Erbil di perbatasan.

Tiba di Erbil, perjalanan dilanjutkan ke Sulaimania dengan taksi. Malam harinya mereka menginap di sebuah hotel kecil jauh dari pusat kota. Namun malam itu mereka tidak mampu memejamkan mata sekejap pun karena diliputi rasa cemas menunggu datangnya pagi.

Esok paginya dengan bus pula mereka menuju ke daerah perbukitan Kurdistan. Tiba di Zakho saat hari menjelang malam.

Bagian akhir dari pelarian mereka rupanya menjadi perjalanan yang paling menyita waktu. Mereka harus naik keledai untuk mendaki perbukitan itu. Ongkosnya AS $ 200, sebab pemuda Kurdi penyelundup itu tak mau dibayar dengan dinar. Bekas menteri pertanian Irak dan istrinya itu akhirnya berhasil dia selundupkan dengan aman hingga di perbatasan beberapa jam menjelang pagi. Sesudah itu mereka harus berjalan kaki ke desa terdekat di kawasan Turki, sehingga malamnya baru tiba di Kirmizi Renga. Mereka bermalam di stasiun sambil menunggu kereta pertama menuju Istanbul. 

Hamid dan Shereen tertidur pulas di kereta api yang menempuh perjalanan cukup lama sebelum tiba di Istanbul. Ketika terbangun pagi berikutnya, status mereka sudah berubah menjadi buronan. Yang pertama kali didatangi Hamid di kota itu adalah Bank Iz. Di situ ia menyimpan uangnya sebanyak AS $ 10.800. Dari sana baru ia ke Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk meminta paspor diplomatik dan memohon suaka politik. Suatu kali ayahnya memang pernah berkata, menteri kabinet Irak yang dipecat selalu diterima dengan tangan terbuka oleh pihak Amerika. 

Kedutaan AS akhirnya memberi Hamid dan istrinya penginapan di sebuah hotel berbintang dan segera mengirim laporan tentang “kudeta” kecil itu ke Washington. Mereka berjanji akan kembali menemui Hamid secepat mungkin. Sambil menunggu, Hamid memanfaatkan waktu untuk mengunjungi pasar karpet di bagian selatan kota, yang sering dikunjungi ayahnya dulu. 

Banyak pedagang karpet yang masih ingat pada ayahnya: seorang pria jujur yang suka menawar kalau membeli karpet dan peminum kopi berat, juga sering membicarakan anak lelakinya yang terjun ke dunia politik. Mereka senang berkenalan dengan Hamid.

Pasutri ini akhirnya memperoleh visa setelah satu minggu menunggu. Mereka lalu diterbangkan ke Washington atas biaya pemerintah AS, termasuk biaya tambahan atas kelebihan beban bagasi berupa 23 buah karpet Turki.

Lima hari Hamid diperiksa secara intensif oleh pihak CIA. Mereka berterima kasih karena ia telah bekerja sama dan memberikan informasi yang berharga. Akhirnya, ia diizinkan memulai babak baru kehidupannya di Amerika. Hamid, istrinya, berikut 23 karpet naik kereta api menuju New York. 

Enam minggu mereka baru berhasil menemukan tempat yang pas untuk menjual karpetnya. Toko itu ada di lantai bawah gedung Manhattan sayap timur. Sementara Hamid menandatangani perjanjian sewa toko selama lima tahun, Shereen memasang nama baru mereka yang berbau Amerika di atas pintu toko. Tiga bulan pertama, tak satu pun karpetnya terjual. Padahal uang tabungan sudah makin menipis. Namun menjelang akhir tahun, 16 dari 23 karpetnya laku terjual. Karena itu ia perlu segera berangkat lagi ke Istanbul membeli karpet untuk persediaan.

 

Dihukum mati

Empat tahun berlalu. Toko keluarga Zebari pindah ke ruko yang lebih besar di sayap barat. Hamid belum ingin mengatakan pada istrinya bahwa semua ini baru permulaan dan bahwa Amerika merupakan negara yang serba mungkin. 

Kini ia sudah merasa sebagai warga Amerika. la pasrah dan menerima keadaan kalau dirinya tak mungkin kembali ke tanah air selama Saddam masih berkuasa. Rumah dan segala kekayaannya sudah lama dikuasai pihak pemerintah Irak. Hukuman mati pun sudah dijatuhkan tanpa kehadirannya. 

Setelah singgah di London, pesawat yang dia tumpangi mendarat di Bandara Kemal Ataturk Istanbul beberapa menit lebih awal dari jadwal. Seperti biasa Hamid memesan losmen langganannya, lalu menyusun rencana dan membagi waktu selama dua minggu. Ia bahagia sekali bisa berada kembali di tengah hiruk-pikuk Kota Istanbul.

Ada 31 pedagang yang akan dikunjungi karena rencananya ia harus pulang ke New York dengan membawa paling tidak 60 karpet. Itu artinya selama 14 hari kopi kental Turki akan terus mengguyur tenggorokannya. Ia juga perlu waktu lama untuk tawar-menawar, karena harga yang ditawarkan biasanya tiga kali harga jadinya. 

Menjelang akhir hari ke-14, Hamid berhasil memborong 54 buah karpet, modalnya AS $.21,000 lebih sedikit. Ia hati-hati dalam memilih karpet; hanya karpet yang diminati konsumen New York yang sangat kritis yang dia pilih. Ia yakin karpet yang dia beli sekarang ini akan menghasilkan hampir AS $ 100.000. Merasa sukses dalam perjalanan kali ini, Hamid lalu mengambil penerbangan Pan Am paling awal untuk pulang ke New York.

Ia berharap segera bertemu Shereen dan kedua anaknya. Pramugari pesawat Pan Am dengan aksen New York dan senyum ramahnya itu justru semakin membuat suasana hatinya seolah-olah sudah berada di rumah. Setelah makan siang disajikan dan malam menonton film, dalam kondisi setengah tidur Hamid bermimpi apa yang kelak akan ia alami di Amerika. Barangkali nanti anak laki-lakinya juga terjun ke dunia politik seperti dia. Tapi apakah Amerika memungkinkan adanya seorang presiden keturunan Irak menjelang tahun 2025? Hamid tersenyum dalam hati lalu jatuh tertidur.

 

Pendaratan darurat

Ladies and gentlemen,” suara berat beraksen Amerika Selatan meluncur dari pengeras suara, “this is your captain. Maaf kalau mengganggu acara Anda menikmati film suguhan kami atau membangunkan Anda yang sedang beristirahat. Ada sedikit masalah pada mesin sebelah kanan. Namun tidak perlu khawatir, peraturan otoritas penerbangan federal mewajibkan kita mendarat di bandara terdekat untuk perbaikan sebelum melanjutkan perjalanan. Setidaknya diperlukan waktu lebih dari satu jam untuk itu. Kami jamin perbaikan akan diusahakan selesai secepat mungkin.”

Mendadak Hamid terbangun mendengar pengumuman itu.

“Kita tidak akan meninggalkan pesawat karena ini bukan pendaratan yang dijadwalkan. Namun Anda bisa bercerita kepada keluarga di rumah bahwa Anda sempat mengunjungi Baghdad.”

Begitu pilot menyebut kata terakhir itu, Hamid merasa seluruh tubuhnya lemas. Kepalanya terkulai. Seorang pramugari bergegas menghampirinya.

“Anda tidak apa-apa, Pak?”

Hamid mendongakkan kepalanya dan menatap wajah pramugari itu. “Saya harus menemui kapten, segera. Segera.”

Melihat Hamid tampak begitu cemas, si pramugari segera mengantarnya menemui kapten. 

“Kap, ada penumpang yang ingin bicara dengan Anda. Penting.”

“Biarkan dia masuk,” kata suara dari dalam. Kapten berbalik dan melihat Hamid yang tampak gemetaran. “Apa yang bisa saya bantu, Pak?”

“Saya Hamid Zebari, warga Amerika,” katanya. “Jika pesawat mendarat di Baghdad, saya pasti akan ditangkap, disiksa, lalu dihukum mati,” ucapnya tergagap-gagap. “Saya ini buronan politik. Anda mesti paham, pemerintah Baghdad tidak akan segan-segan membunuh saya.”

Kapten pilot itu cepat menyadari bahwa Hamid tidak membual. “Tolong ambil alih, Jim,” katanya kepada kopilot. “Saya mau bicara dengan Pak Zebari. Panggil saya kalau sudah dapat izin mendarat.”

Kapten lalu mengajak Hamid duduk di bagian kosong di kabin kelas bisnis.

“Tolong Anda jelaskan masalahnya pelan-pelan,” kata kapten.

Hamid pun bercerita mengapa ia melarikan diri dari Baghdad dan bagaimana ia datang serta menetap di Amerika. Menjelang akhir cerita, kapten menggeleng dan tersenyum, “Tidak perlu panik,” katanya meyakinkan Hamid. “Kita tidak akan keluar dari pesawat sehingga paspor penumpang tidak akan diperiksa. Kalau mesin sudah beres, kita segera terbang kembali. Sebaiknya Anda tetap duduk di sini supaya bisa berbicara dengan saya kapan saja.”

 

Berdoa khusuk

“Sekali lagi, di sini kapten pilot. Kita sudah mendapat izin mendarat dari Baghdad. Sekarang kita mulai turun dan dalam dua menit lagi kita mendarat. Pesawat akan berhenti di ujung landasan tempat para teknisi sudah menunggu. Setelah problem kecil itu teratasi, kita segera terbang kembali.”

Serta-merta terdengar tarikan napas lega dari para penumpang, nyaris bersamaan. Sementara itu Hamid justru memegang erat-erat sandaran tangan. Ia terus gemetaran dan berkeringat dingin selama 20 menit menjelang pendaratan, bahkan nyaris jatuh pingsan ketika roda pesawat terasa menyentuh permukaan bumi tanah kelahirannya. 

Matanya mengintip lewat jendela saat pesawat meluncur melewati terminal bandara yang sangat ia kenal. Tampak pasukan bersenjata sedang berjaga-jaga di atas atap dan pintu-pintu yang menuju ke jalur pendaratan. Ia berdoa kepada Tuhan secara khusuk.

Dalam 15 menit berikutnya yang terdengar hanyalah suara mobil van melaju melintasi kawasan pendaratan, yang kemudian berhenti tepat di bawah mesin pesawat sebelah kanan. 

Hamid melihat dua orang teknisi membawa tas besar berisi peralatan keluar dari kendaraan, naik ke derek kecil yang dikerek ke atas hingga sejajar sayap pesawat. Mereka tampak mulai mengendurkan sekrup-sekrup pelat. 40 menit kemudian terlihat mereka mengencangkan sekrup-sekrup itu kembali sebelum dikerek turun. Van itu kemudian menuju terminal. 

Hamid merasa lega. Ia mengencangkan sabuk pengaman dengan penuh harap untuk segera terbang. Detak jantungnya menurun. Namun ia merasa masih belum normal, kecuali kalau pesawat sudah lepas landas dan merasa yakin kalau para teknisi itu tidak kembali lagi. Selama beberapa menit berikutnya suasana senyap. Tak ada tanda-tanda pesawat bergerak. Keadaan ini justru membuat Hamid bertambah cemas. Pintu kokpit terbuka, tampak kapten berjalan mendekatinya dengan senyum getir menghias bibirnya.

“Sebaiknya Anda bergabung dengan kami di atas,” kata kapten dengan suara berbisik. Hamid melepas sabuk pengamannya dan dengan malas mencoba berdiri. Dengan rasa tak menentu ia mengikuti kapten masuk kokpit, kakinya terasa lemas seperti benang. 

“Para teknisi belum berhasil menemukan kerusakan. Maka kita diminta meninggalkan pesawat dan menunggu di ruang transit sampai pekerjaan mereka selesai,” kata kapten. 

“Daripada begini lebih baik saya mati dalam tabrakan pesawat,” keluh Hamid dengan gemas. 

“Tenang, Pak Zebari. Sudah ada jalan keluarnya. Anda nanti mengenakan seragam awak kabin cadangan sehingga bisa terus bersama kami dan menggunakan semua fasilitas awak pesawat. Paspor Anda tidak akan diminta untuk diperiksa.”

“Tapi kalau ada orang yang kenal saya….”

“Begini, Anda cukur kumis, lalu pakai seragam opsir penerbang, kacamata hitam, dan topi. Ibu Anda sendiri pun pasti tak bakalan mengenali Anda.”

Hamid terpaksa mencukur klimis kumis tebal kebanggaannya. Bekasnya jadi kelihatan pucat. Tapi pramugari senior itu tak kurang akal. Ia memoles kulit Hamid yang pucat itu dengan make-upnya hingga sama dengan bagian lain. Hamid masih belum yakin. Tapi setelah memakai seragam kopilot dan mengaca di toilet ia harus mengakui, kalau ada yang bisa mengenalinya, orang itu pasti luar biasa.

 

Bertemu pandang

Para penumpang turun lebih dulu, lalu diangkut dengan bus bandara menuju terminal utama. Sebuah van muncul untuk mengangkut para awak pesawat yang sengaja bergerombol melindungi Hamid. Meski begitu, semakin dekat ke terminal, Hamid semakin bertambah cemas.

Petugas keamanan tidak menaruh perhatian ketika rombongan awak pesawat itu memasuki gedung. Petugas membiarkan mereka mencari tempat duduk sendiri di bangku-bangku kayu di ruangan yang berdinding putih itu. Satu-satunya hiasan di ruangan itu hanyalah potret besar Saddam Hussein lengkap dengan seragamnya sambil menenteng senjata kalashnikov. Hamid tak sanggup menatap foto “teman baik dan teman dekatnya” itu.

Di sekitar mereka juga ada para awak pesawat lain yang sedang menunggu naik ke pesawat mereka. Tetapi Hamid tidak berani mengajak bercakap-cakap dengan salah satu dari mereka.

“Mereka awak pesawat Prancis,” kata si pramugari senior. Pramugari itu lalu duduk di sebelah kapten pilot Air France itu dan mengobrol.

Kapten pilot Prancis itu bilang pada si pramugari bahwa mereka akan terbang ke Singapura lewat New Delhi. Bersamaan dengan itu Hamid melihat seorang laki-laki yang sangat dia kenal berjalan masuk ke ruangan. Gawat! Pikirnya. Dia ‘kan Saad al-Takriti, anggota pasukan pengawal Presiden Saddam. Dari tanda pangkat di pundaknya, tampaknya sekarang ia menjabat sebagai kepala satuan pengamanan bandara.

Hamid berdoa mudah-mudahan orang itu tidak memandang ke arahnya. Al-Takriti berjalan hilir mudik, menatap sekilas para awak pesawat Prancis dan Amerika itu, tapi matanya sempat “belanja”, melirik kaki-kaki ramping para pramugari cantik yang dibalut stocking hitam.

Kapten menyenggol bahu Hamid. Hampir saja tubuhnya copot dari kulitnya saking terkejut karena tegang. 

“Tenang, tenang. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa kepala teknisi sedang mengatasi kerusakan pesawat, maka mestinya tidak akan lama lagi.”

Hamid menatap pesawat Air France di kejauhan dan sempat melihat sebuah van berhenti di bawah mesin sebelah kanan pesawat Pan Am. Seorang lelaki dengan pakaian kerja berwarna biru melangkah ke luar dari kendaraan itu dan naik ke sebuah crane kecil.

Hamid berdiri untuk mengamati lebih dekat dan bersamaan dengan itu Saad al-Takriti berjalan kembali masuk ruangan. Tiba-tiba al-Takriti berhenti melangkah, lalu keduanya saling bertatap mata sebentar, sebelum Hamid cepat-cepat duduk kembali berlindung di samping kapten. Al-Takriti menghilang dari pandangan, masuk ke sebuah ruangan bertanda “Dilarang Masuk”.

“Kayaknya ia memperhatikan saya,” kata Hamid. Make-up di bekas kumisnya tampaknya mulai luntur menuruni bibirnya.

 

Paspor diperiksa

Kapten menghampiri pramugari senior itu dan menyela obrolannya dengan kapten Prancis. Wanita itu mendengarkan instruksi atasannya kemudian menanyakan sesuatu yang lebih serius pada kapten Prancis itu.

Saat al-Takriti keluar lagi dari ruangan kantornya dan menghampiri kapten Amerika, Hamid merasa wajahnya pasti terlihat pucat. 

Dengan suara cukup keras al-Takriti berkata, “Kapten, saya minta Anda menunjukkan manifes, jumlah awak pesawat Anda, sekalian paspor mereka.”

“Kopilot saya yang membawa semua paspor mereka,” jawab kapten. “Nanti saya temui Anda sambil membawa paspor-paspor itu.” 

“Terima kasih,” kata al-Takriti. “Kalau paspor sudah terkumpul, bawa semuanya ke ruangan saya untuk saya periksa. Sementara itu saya minta anak buah Anda tetap di sini. Dalam situasi apa pun mereka jangan coba-coba meninggalkan gedung ini tanpa seizin saya.”

Kapten menghampiri kopilotnya meminta paspor seraya membisikkan perintah yang membuat kopilotnya terkejut. Dengan menenteng paspor-paspor itu kapten masuk ke ruang keamanan. Persis ketika itu sebuah bus berangkat dari ruang transit membawa awak Air France ke pesawat mereka. 

Saad al-Takriti menaruh ke-14 paspor itu di atas meja. la tampak senang ketika memeriksa paspor satu demi satu. Tetapi begitu selesai, ia berkata dengan wajah heran, “Saya tidak salah, Kapten, saya hitung tadi ada 15 awak mengenakan seragam Pan Am.”

“Anda pasti keliru,” kata kapten. “Kami hanya berempat belas.”

“Kalau begitu, akan saya periksa lagi lebih teliti, betul begitu, Kapten? Tolong kembalikan paspor-paspor ini ke pemiliknya masing-masing. Andaikata ada yang tidak memiliki paspor, mereka harus melapor ke saya.”

“Tapi seperti Anda ketahui, ini melanggar hukum internasional,” kata kapten. “Kami sedang melakukan transit, dan karena itu, di bawah Resolusi PBB no. 238, tidak ada ceritanya kami harus mengikuti hukum negeri Anda.”

“Jangan banyak bicara, Kapten. Kami tidak menggunakan resolusi PBB di Irak. Seperti Anda ketahui, sesuai kepentingan kami, Anda bahkan melanggar hukum di negeri kami.”

 

Nyaris ketahuan

Kapten sadar ia hanya buang-buang waktu dan tidak punya bahan untuk menggertak lagi. Ia sengaja mengumpulkan paspor-paspor itu dengan perlahan sekali sebelum al-Takriti membawanya kembali masuk ruang transit. Saat mereka memasuki ruangan itu para awak pesawat Pan Am yang tadinya duduk menyebar di bangku-bangku mendadak berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir, ke sana-kemari, sambil dengan sengaja saling berbicara keras-keras.

“Perintahkan mereka duduk,” kata al-Takriti di tengah suasana hiruk pikuk di ruangan itu.

“Apa kata Anda?” tanya kapten sambil berlagak memasang telinganya.

“Suruh mereka duduk!” teriak al-Takriti.

Kapten memberi perintah setengah hati dan beberapa saat kemudian mereka pun duduk. Tetapi masih saja bercakap-cakap dengan suara keras.

“Suruh mereka diam!” 

Kapten berkeliling ruangan pelan-pelan sambil menyuruh anak buahnya satu demi satu agar jangan berbicara terlalu keras.

Mata al-Takriti menyapu bangku-bangku ruang transit. Sementara itu kapten melirik keluar ke arah jalur keberangkatan dan melihat pesawat Air France itu bergerak menuju landasan pacu.

Al-Takriti mulai menghitung. Ia terlihat geram ketika hanya menemukan 14 awal pesawat Pan Am di ruangan itu. Matanya menyapu seluruh ruangan dengan tatapan marah dan sekali lagi ia menghitung. 

“Keempat belas awak pesawat kami ada di sini,” kata kapten setelah menyerahkan kembali paspor itu ke pemiliknya masing-masing. 

“Di mana orang yang tadi duduk di samping Anda?” tanya al-Takriti sambil menuding kapten.

“Maksud Anda pramugari senior saya?”

“Bukan. Awak pesawat yang bertampang Arab.”

“Tidak ada orang Arab di antara anak buah saya,” kapten meyakinkannya.

Al-Takriti menghampiri pramugari senior itu. “Ia tadi duduk di samping Anda. Make-up di bekas kumisnya kelihatan luntur.”

“Yang duduk di sebelah saya kapten pesawat Air France,” kata si pramugari.

 

Menguber pesawat

Ketika Saad al-Takriti membalikkan badan dan menatap keluar, ia melihat pesawat Air France di ujung landasan pacu siap untuk lepas landar. Ia segera memencet tombol telepon genggamnya saat mesin jet itu dihidupkan. Al-Takriti berteriak-teriak memberi perintah dengan bahasanya sendiri. 

Saat itu semua mata awak pesawat Amerika tertuju pada pesawat Air France, sambil berharap pesawat itu segera bergerak. Sementara itu suara al-Takriti semakin meninggi saja setiap kali bicara.

Air France 747 melaju dan dengan perlahan mulai mengumpulkan tenaga untuk mengudara. Terdengar Saad al-Takriti berteriak memaki-maki sambil berlari ke luar ruang transit dan meloncat ke sebuah jip terbuka. Tangannya tampak menunjuk-nunjuk pesawat yang sedang akan tinggal landas itu dan memerintahkan sopir untuk mengejarnya.

Jip itu melejit, meluncur kencang, dan menerobos melewati celah-celah di antara pesawat yang sedang parkir. Saat mencapai landasan pacu, jip itu pasti berlari 140 km per jam. Beberapa ratus meter kemudian jip berhasil melaju sejajar pesawat Air France. Al-Takriti tampak berdiri di jok depan, badannya bersandar pada kaca depan sambil melambaikan tinjunya ke arah kokpit pesawat.

Kapten Prancis itu membalasnya dengan memberi hormat dengan tangannya. Ketika roda pesawat Boeing 747 itu terangkat, sorak kegembiraan membahana di ruang transit.

Kapten Amerika tersenyum dan berbalik ke arah pramugari seniornya. “Nah, teori saya terbukti ‘kan! Orang Prancis itu pasti akan berbuat apa saja untuk menolong kita.”

Hamid Zebari mendarat dengan aman di New Delhi enam jam kemudian. Segera ia menelepon istrinya untuk memberi tahu semua peristiwa menegangkan yang dia alami. Pagi berikutnya ia terbang dengan pesawat Pan Am kembali ke New York di kelas bisnis. Ketika Hamid keluar dari terminal bandara, istrinya melompat dari mobilnya dan menghamburkan diri ke pelukan suaminya.

Nadim menurunkan kaca jendela lalu berkata, “Papa keliru. Dua minggu itu 15 hari.” Hamid tersenyum pada anak lelakinya itu. Sementara May malah menangis, bukan karena mobil mereka mendadak berhenti, tetapi justru karena ia ketakutan melihat ibunya memeluk seorang pria “tak dikenal”. (Jeffrey Archer)



Baca Juga: Demi Santunan Asuransi

 

" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635667/kumis-yang-menyelamatkan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945722000) } } }