array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3106403"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/01/21/thumbnail-intisariplus-buku-per-20220121072133.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(14) "H Ashton-Wolfe"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9354)
          ["email"]=>
          string(17) "intiplus@mail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(67) "Sebuah upacara pemanggilan arwah, malah membuat seseorang terbunuh."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/01/21/thumbnail-intisariplus-buku-per-20220121072133.jpg"
      ["title"]=>
      string(26) "Almarhum Menuntut Keadilan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-01-28 19:56:13"
      ["content"]=>
      string(22787) "

Intisari-Plus - Terjadinya di Neuilly, Prancis, pada awal abad XX di mana orang masih percaya pada kemungkinan untuk bertemu dengan arwah orang-orang yang sudah almarhum.

Orang yang dianggap bisa mengundang arwah almarhum disebut medium atau perantara. Pertemuan dengan arwah orang yang telah meninggal disebut seance.

Di bawah ini bunyi laporan Rousseau, seorang anggota kepolisian, kepada atasannya, Bertillon, mengenai jalannya peristiwa. "Kemarin sore, delapan orang mengadakan seance di rumah Pal Cainette, seorang medium, di Vila Plaisance, Neuilly. Seance diorganisir oleh Madame Lafargue yang rupanya sangat percaya pada kekuatan medium dan telah beberapa kali menyelenggarakan seance dengannya.

Ternyata Canette sendiri telah berulang kali menipu, tetapi masih banyak orang percaya kepadanya. "Seperti biasa lampu-lampu dipadamkan dan semua hadirin meletakkan tangan mereka di atas sebuah meja bundar. Lama tidak terjadi apa-apa. Tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dalam bahasa Spanyol. Jelas bukan suara Canette. Sebagai medium dia tidak berbicara. Nampaknya tak seorang pun di antara hadirin bisa berbahasa Spanyol."

"Setelah suara berhenti (ia berbicara sebentar saja) terdengar teriakan, kemudian suara orang jatuh. Segera lampu dinyalakan. Medium pingsan, terkulai di kursinya masih dalam keadaan terikat dengan tali seperti ketika lampu belum dipadamkan. Seorang bernama Janos tergeletak di lantai. la telah mati. Di dadanya tertancap sebuah pisau belati."

Sekian laporan Rousseau.

Segera setelah kejadian itu Madame Lafargue memanggil polisi dan dokter. Hadirin tak boleh meninggalkan ruangan.

Medium nampaknya sama sekali tak sadar dan harus dibawa ke kamar lain. Mengenai korban, ia dibiarkan tergeletak di tempat jatuhnya, demi penyelidikan oleh pihal kepolisian.

 

Noda tangan berdarah di dada korban

Di bawah pimpinan Bertillon polisi mengadakan penyelidikan saksama. Vila Plaisance bentuknya berbeda dengan rumah-rumah sekitarnya. Coraknya kuno, di depan rumah ada halaman luas berpagar besi kuat- Bagian belakang berbatasan dengan jalan trem. Di seberang rel terbentang hutan.

Kamar seance terletak di tingkat pertama. Di depan pintu kamar tergantung gorden beludru, hitam dan berat. Demikian pula di depan semua jendela ada gordennya dan dari bahan yang sama. Langit-langit kamar itu tinggi, dicat hitam.

Pada langit-langit itu tertempel bintang-bintang perak dan bulan sabit. Lantai dilapisi permadani tebal sehingga langkah-langkah orang takkan terdengar. Ketika polisi masuk masih tercium wewangian yang khas baunya.

Ketika seance berlangsung, katanya, semua pintu terkunci dari dalam.

Anak kunci diselidiki, ternyata tidak berlubang. Tetapi dari luar, ujung anak kunci itu bisa dicapit dengan ouistiti, sebuah tang spesial yang cocok untuk semua lubang kunci. Sistem peredaman suara di dalam ruangan seance itu demikian sempurnanya, hingga dari dalam tak mungkin orang mendengar suara "klek" kunci yang diputar.
Di dalam kamar ada beberapa lampu dinding, di samping lampu gantung di tengah ruangan. Semua lampu ini dapat dinyalakan dengan tombol-tombol pada pintu masuk.

Sepanjang dinding berderet beberapa meja, sedangkan di tengah ruangan ada meja bundar dari kayu mahoni. Di sekitar meja masih ada beberapa kursi yang dua di antaranya terbalik.

Korban menggeletak di lantai, kakinya yang satu tersangkut pada kaki kursi yang didudukinya. Tangkai pisau belati yang menamatkan hidupnya nampak mengkilap di dadanya, tepat di atas jantung. Permadani di bawahnya berlumuran darah.

Korban pembunuhan itu seorang lelaki setengah umur, mukanya bulat gemuk dan berkumis pendek. Rambutnya yang hitam mengkilap dan warna kulitnya yang kelam menimbulkan dugaan bahwa ia orang Eropa Selatan. Sebuah cincin emas mengkilap menghiasi tangannya yang berlumuran darah. Nama orang itu Kurt Janos.

Tak jauh dari tempat korban menggeletak ada kursi bersandaran tangan. Di kursi itu masih nampak tali-temali yang diputus pada beberapa tempat.
Inilah tempat duduk Canette, yang sebagai medium biasa diikat erat pada kursinya. Tali-temali diputus untuk melepaskan medium yang ternyata pingsan ketika lampu-lampu dinyalakan kembali.

Bertillon memerintahkan agar anak buahnya bekerja dengan hati-hati. Terutama meja bundar jangan disentuh permukaannya, karena benda ini akan merupakan "buku terbuka" bagi polisi. Sebab dalam séance semua hadirin meletakkan tangannya di atas meja itu. Juga kursi-kursi diperlakukan dengan hati-hati.

Ketika diperiksa ternyata di atas meja bundar itu sidik jari para hadirin nampak jelas. Dua orang yang duduk di kiri-kanan medium hanya meletakkan satu dari kedua tangan mereka di atas meja. Pada semua bekas jari di atas meja itu tidak nampak bekas jari kelingking satu pun.

Ini semua cocok dengan cara seance dilangsungkan. Para hadirin saling berpegangan dengan jari kelingkingnya. Dua orang yang duduk di samping medium memegang yang terakhir ini dengan tangannya yang satu. Maka mereka juga hanya meninggalkan bekas satu tangan.
Kurt Janos jelas ditikam dari depan. Tetapi menurut polisi, tak mungkin perbuatan ini dilakukan oleh hadirin yang duduk berhadapan dengannya. Sebab meja bundar itu bergaris tengah 1,5 m. Kini mayat korban diperiksa dengan teliti. Bertillon terkejut. Tepat pada bagian tengah kemeja putih korban nampak bekas tangan berdarah dengan jari-jari yang dikembangkan.
Seolah-olah pembunuh sengaja hendak meninggalkan petunjuk tentang identitasnya.

Bekas tangan berdarah ini menimbulkan teka-teki bagi polisi. Sebab, menurut laporan, belum lagi satu menit setelah korban jatuh, lampu-lampu sudah dinyalakan. Dalam waktu sesingkat itu di ruangan yang gelap gulita, bagaimana mungkin seseorang dapat membuat tanda bekas itu, tepat di tengah kemeja?

Bekas itu merah darah. Tetapi pada saat korban ditikam, darah belum mengalir di atas permadani. Bekas-bekas darah di atas meja juga sama sekali belum disentuh orang. Apalagi berkat kesigapan tindakan Madame Lafargue, para hadirin tak sempat meninggalkan ruangan untuk mencuci tangan mereka. Polisi melihat sendiri bahwa tak seorang pun di antara mereka yang tangannya berlumuran darah.

Bertillon selanjutnya memeriksa letak pisau belati. Jelas bahwa senjata tajam itu ditusukkan dari atas, menyerong ke bawah. Belati segera dikirim ke laboratorium untuk diperiksa, apakah ada bekas-bekas sidik jarinya. Bagian kemeja yang ada bekas tangan berdarah digunting dan juga dikirim ke laboratorium guna pemeriksaan.

 

Sinar hijau lemah di atas meja

Menyusul kini penyelidikan atas semua hadirin pada seance di Vila Plaisance. Keterangan yang diperoleh adalah sebagai berikut. Madame Lafargue terkenal sebagai seorang wanita yang mempunyai minat besar terhadap masalah-masalah psikologi.

la mengundang beberapa sahabat dan kenalannya untuk menghadiri seance di Vila Plaisance untuk menguji medium Canette.

Ketika untuk pertama kalinya datang di Paris,' Canette menarik perhatian besar kalangan orang-orang yang percaya kepada spiritisme, tetapi beberapa kali kemudian ia terlibat dalam penipuan, sehingga pengaruhnya berkurang. Namun masih ada juga orang yang percaya kepadanya. Dalam surat-surat kabar terjadi perdebatan mengenai dia. Sementara orang masih percaya akan kemampuannya sebagai medium sekalipun ia kadang-kadang menipu.

Tujuan Madame Lafargue dengan seance-nya adalah menyelidiki dan menentukan sejauh mana Canette bisa dipercaya.

Canette setuju. Hanya saja ia minta agar seance itu dihadiri oleh wartawan, yang diundang oleh medium untuk menyaksikan seance, kemudian membuat laporan. Dialah Kurt Jonas, seorang reporter majalah "spiritisme".
Madame Lafargue berusaha mencegah segala kemungkinan penipuan. Dia sendirilah bersama Janos yang mengikat Canette pada kursinya. Dia pulalah yang memadamkan lampu untuk kemudian duduk di samping Janos.

Medium segera "kerasukan roh" dan dalam kegelapan terdengar suara yang parau seperti orang mendengkur. Sesaat kemudian dari sudut ruangan bergema suara keras tajam yang berteriak, "Rafael Cortez, Rafael Cortez."

"Lafalnya jelas bukan lafal Prancis, terutama 'o'-nya," demikian Madame Lafargue.

Sebentar suasana sunyi senyap. "Saya kira itulah roh ', yang datang. Baru saja saya mau mengajukan pertanyaan kepadanya, tiba-tiba tangan saya yang memegang Janos diguncang-guncangkan."

"Lalu menyusul kalimat-kalimat menggeledek, saya kira bahasa Sapnyol. Saya tak dapat menangkap artinya. Yang jelas nadanya mengancam dan penuh sorak kemenangan. Setelah sorak berhenti saya melihat sinar hijau lemah di atas meja. Pada saat itu juga Janos menggeram kesakitan. Saya dengar kursinya terbentur meja sebelum orangnya jatuh terkapar di lantai."

"Semua hadirin berteriak-teriak ketakutan. 'Lampu, lampu, lekas!' teriak seseorang. Sebelum saya mencapai tombol lampu, ternyata telah ada orang lain yang berhasil mencapainya lebih dahulu. Setelah lampu menyala, jelaslah apa yang terjadi."

Cerita Madame Lafargue ini dibenarkan oleh hadirin lainnya.

 

Polisi diintip

Mengenai medium Paul Canette, setelah sadar kembali ia menyatakan bahwa selama terjadi keributan ia sendiri dalam keadaan trance, seperti kesurupan roh sebagaimana terjadi pada seorang medium. Dalam keadaan itu ia hanya merasa samar-samar akan apa yang sedang terjadi. Tepatnya apa, ia tak tahu.

Canette gemetar ketakutan, hampir seperti orang histeris. Dokter menyatakan bahwa jiwanya menderita guncangan hebat. Maka dokter menganggap perlu menugaskan seorang perawat untuk menjaganya bersama seorang polisi.

Setelah mengambil sidik jari dan membuat foto dari setiap hadirin, polisi meninggalkan Vila Plaisance. Hari berikutnya pemeriksaan di laboratorium memberikan data-data lebih lanjut. Pada tangkai pisau belati memang terdapat bekas jari, satu saja.

Tak dapat disangsikan bahwa bekas jari itu sama seperti yang terdapat pada kemeja korban. Yang lebih penting lagi: tak seorang pun di antara mereka yang menghadiri seance maut itu sidik jarinya sama dengan sidik jari pada belati dan kemeja Janos.

Kalau pembunuh bukan salah satu di antara hadirin, lalu siapa? Koran-koran Paris mulai membuat tafsiran-tafsiran yang penuh dengan fantasi dan khayalan tentang pertemuan dengan roh halus yang minta korban jiwa ini.
Sekali lagi petugas kepolisian menyelidiki ruangan seance, untuk melihat apakah ada kamar-kamar atau jalan-jalan rahasia.

Petugas tertarik pada langit-langit ruangan seance yang dihiasi dengan bintang-bintang dan bulan sabit. Maka ia naik ke tingkat atasnya, untuk menyelidiki apakah dari sana ada lubang-lubang rahasia yang menuju ke kamar seance.

Ruangan di atas kamar seance itu sedikit mebelnya dan lantainya yang terbuat dari papan tidak tertutup permadani. Sambungan papan-papan diperiksa satu per satu oleh petugas. Ternyata semuanya terpaku kokoh.
Petugas kemudian mengeluarkan lensa pembesar untuk dapat melihat jelas. Pada saat itu ia merasa diintip oleh seseorang.

Cepat-cepat ia berpaling. Terlihat kelebat lelaki masuk kamar di ujung gang. Kemudian terdengar seorang wanita berteriak ketakutan. Ternyata lelaki itu Paul Canette yang meninggalkan kamar tempat ia dirawat untuk mengintip polisi yang sedang menyelidiki. Wanita yang berteriak ialah perawat yang menunggui Paul Canette atas perintah dokter setelah medium itu jatuh pingsan ketika Jonas terbunuh.

Atas pertanyaan polisi, Canette menyatakan bahwa setelah terjadi peristiwa pembunuhan sarafnya terus-menerus menegang. Karena perawat tidur dan ia mendengar sesuatu, ia keluar ingin melihat apa yang terjadi demi ketenangan sarafnya.

Polisi menjadi curiga dan sejak itu penjagaan terhadap Canette diperkeras secara bergilir.

 

Sidik jari orang mati

Sementara itu Bertillon telah memperoleh data baru tentang Canette. Nama sebenarnya adalah Rafael Cortez, berasal dari Meksiko. Namanya tidak baik, tetapi bisa juga disebut penjahat. Sejak muda ia sahabat Janos yang dilahirkan di Hongaria dan sepanjang pengetahuan polisi belum pernah dihukum.

Hanya saja, kedua orang itu anggota sebuah perkumpulan rahasia. Beberapa tahun yang lalu mereka ditangkap bersama seorang Italia bernama Marinetti. Cortez dan Janos dibebaskan, sedangkan Marienetti dijatuhi hukuman penjara tidak begitu lama dan dibuang.

Dua tahun kemudian seorang wanita kaya bernama Yvonne d'Argent terbunuh dan perhiasannya dirampas. Saat itu Marinetti diam-diam telah kembali ke Paris. Berdasarkan petunjuk yang ada ia ditunjuk sebagai pembunuh Yvonne d'Argent. Saksi utama yang memberatkannya adalah Cortez, sahabat almarhumah.

Marinetti dijatuhi hukuman mati, tetapi keputusan ini kemudian diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup di Cayenne. Beberapa tahun kemudian Marinetti tertembak mati. Laporan kematiannya tercantum dalam kartu dan buku catatan penjara.

Dufresne, seorang petugas yang menghadiri proses Marinetti, melaporkan bahwa tertuduh sampai saat terakhirnya menyangkal kejahatan yang dialamatkan kepadanya. Ia mengatakan bahwa Cortez dan Janos-lah yang membunuh wanita itu, tetapi dengan liciknya mengusahakan Marinetti-lah yang namanya bersalah.

Ketika keputusan hakim dibacakan, Marinetti berteriak, "Hidup atau mati aku akan menemukan kalian, setan! Josetta akan menolongku!" Tidak diketahui siapa Josetta. Tetapi sidik jari pada pisau belati dan kemeja Kurt Janos adalah sidik jari penjahat almarhum.

Terjadi perdebatan antara petugas-perugas kepolisian. Pihak yang satu rupanya percaya bahwa roh masih dapat berkeliaran di dunia untuk melakukan kejahatan, sedangkan pihak lain menganggap hal itu tak masuk akal.
Yang terakhir ini berpendapat bahwa di belakang peristiwa pembunuhan di kamar séance itu tersembunyi tipu muslihat yang lihai. Siapa tahu wanita misterius "Josetta" memegang peranan penting.

Akhirnya, diputuskan untuk melakukan rekonstruksi kejahatan pada hari berikutnya. Sementara itu dari gubernur Cayenne telah diterima kawat yang menyatakan bahwa Marinetti tertembak kepalanya oleh seorang penjaga penjara, dan dikubur di tempat ia menemui ajalnya.

 

"Ingat pada Josetta!"

Ketika rekonstruksi seance akan dilakukan, Canette masuk ke dalam ruangan. Tetapi polisi membentaknya, "Masa lampau Anda telah kami ketahui. Jika tak mau ambil bagian dalam rekonstruksi, Anda akan kami tahan sebagai pembunuh Janos."

Meja dibersihkan dan semua yang dahulu menghadiri seance maut (Kecuali Janos tentu saja, yang kini digantikan oleh polisi Rousseau) meletakkan tangan mereka di atas meja. Segala-galanya dilakukan tepat seperti pada malam pembunuhan. Rafael Cortez diikat pada kursinya, seperti dulu juga.

Baru saja polisi mengamat-amati cara duduk dan sedang memberi komentar bahwa Janos tak mungkin ditusuk oleh orang yang berhadapan dengannya mengingat garis tengah meja yang cukup panjang, tiba-tiba lampu mati.
"Cepat! Nyalakah lagi lampunya!" perintah Dufresne kepada seorang anak buahnya.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan, "Jangan sekali-kali bergerak!"

Seketika itu juga Madame Lafargue menjerit, "Si pembunuh! Si pembunuh! Itulah suaranya!"

"Siapa kau?!" teriak Dufresne keras. Terdengar lagi, "Rafael Cortez, Rafael Cortez, La muerte esta aquil (Almarhum di sini). Ingat pada Josetta!"

Menyusul kemudian erang orang kesakitan. Semua hadirin berteriak dan menjerit. Terdengar bunyi kursi-kursi yang jatuh dan terbalik. "Gunakan lampu senter!" teriak Dufresne putus asa.

Baru setelah itu seorang hadirin sadar dan menyorotkan senternya. Nampak para peserta rekonstruksi kejahatan gemetar dan saling berpegangan tangan, sedangkan Rousseau memegang pistolnya.

Ketika berkas cahaya jatuh pada Canette, jelaslah apa yang telah terjadi. Medium itu terkulai di depan kursinya, tertahan oleh tali-temali yang mengikat tubuhnya. Di tengkuknya tertancap pisau belati dan di atas kepalannya yang botak terlihat bekas bekas merah sebuah tangan.

"Nyalakan lampu," perintah Bertillon. "Masakan cuma ada satu lampu senter," tambahnya. "Tenang! Pintu jangan dibuka sebelum segelnya diperiksa."

Lambat laun hadirin agak tenang. Dengan seorang rekan, Rousseau turun ke bawah untuk menyelidiki mengapa lampu mati. Maka diambillah lampu dari mobil polisi yang diparkir di halaman rumah. Paul Canette diperiksa lebih lanjut.

Pisau ternyata tertanam di celah-celah tulang lehernya. Dokter yang segera datang hanya dapat menyaksikan bahwa medium itu sudah tak bernyawa.

Sementara itu Rousseau dan rekannya kembali. Lapornya kepada Bertillon, "Seseorang telah mencabut stopkontak utama. Mestinya tangan orang itu terbakar karena aliran listrik besar sekali." Memang stopkontak utama itu tidak dijaga polisi. Yang dijaga hanya schakelbord di dapur.

Semua pelayan rumah diperiksa. Ternyata ada seseorang bernama Jules Ruick, yang terbakar jari tangannya. la segera dibawa ke kantor polisi. Sampai tengah malam ia "digarap" oleh polisi hingga akhirnya membeberkan seluruh latar belakang peristiwa.

Ruick bekas anggota perkumpulan rahasia yang dipimpin oleh Cortez, seperti juga Marinetti. Ia mempunyai rasa dendam terhadap Cortez yang meninggalkan anak buahnya ketika komplotan jahatnya terbongkar.

Maka ketika tiba-tiba "almarhum" Marinetti muncul kembali untuk menuntut balas pada Cortez, Ruick bersedia menolongnya. Setelah lama mencari akhirnya mereka menemukan Cortez di bawah nama Paul Canette yang menjadi medium dan dibantu Janos. Ruick melamar sebagai pelayan Canette dan diterima.

Setelah beberapa bulan, Ruick diberi tahu tentang pintu rahasia yang menuju kamar seance. Melalui pintu itulah ia diharapkan menolong "pengundang arwah-arwah" yang dilakukan oleh Canette.

Pengetahuan ini digunakannya untuk menolong Marinetti menuntut balas pada Cortez dan Janos. Melalui pintu rahasia itulah Marinetti masuk kamar seance untuk membunuh keduanya. Dari situ juga ia masuk ke kamar yang sama untuk meninggalkan bekas tangan berdarah pada kemeja Janos, yaitu setelah mayat dikunci polisi dalam kamar seance untuk diperiksa lebih teliti pada kesempatan berikutnya.

Kisah Ruick memudahkan pekerjaan polisi. Seminggu kemudian Marinetti tertangkap, yaitu ketika pembunuh itu dengan menyamar sebagai perempuan tua hendak naik perahu yang akan membawanya ke Calao.

 

Dikuntit terus

Riwayat hidup Marinetti, seperti yang terungkap kemudian, merupakan suatu tragedi yang menyedihkan. Orang tuanya berasal dari Palermo dan pindah ke Amerika ketika ia masih kanak-kanak. Setelah dewasa ia bekerja pada suatu peternakan sapi di Colpaz. Di sini ia berkenalan dengan Cortez dan bergabung dengan gerombolannya.

Josetta adalah istrinya yang berasal dari keluarga orang kaya berdarah Spanyol. Karena jatuh cinta pada Marinetti, gadis ini sampai-sampai meninggalkan orang tuanya untuk mengikuti lelaki yang mencintainya setulus hati.

Josetta mempunyai pengaruh baik terhadap suaminya, yang atas desakannya mau meninggalkan gerombolan Cortez. Pasangan bahagia ini meninggalkan Amerika dan pergi ke Marseille, Prancis, di mana mereka sebentar hidup tenang.

Marinetti bekerja pada sebuah perusahaan impor di kota pelabuhan itu. Tetapi Cortez yang tergila-gila pada Josetta bertekad mencari jejak bekas anak buahnya. La berhasil juga. Ditarik-tarik untuk kembali agar masuk komplotan Cortez, Marinetti tetap tak mau.

Sementara itu Cortez mencari akal agar dapat mencapai maksudnya dengan Josetta. Pertama kali ia mengusahakan agar Marinetti terlibat dalam perkelahian dengan senjata tajam. Hasilnya, Marinetti dihukum penjara dan dibuang, sekalipun ia menyatakan bahwa
ia berkelahi semata-mata untuk membela diri.

Namun Josetta tetap setia kepada suaminya. Diam-diam ia pindah ke Paris. Setelah selesai menjalani hukumannya, Marinetti menyusul istrinya yang sementara itu memakai nama lain. Sekali lagi suami-istri itu dapat mengecap kebahagiaan. Marinetti bekerja pada perusahaan pelayaran, sedangkan Josetta yang cantik itu menjadi wanita model pada sebuah sekolah seni lukis.

Cortez tetap menguntit mereka. Ia tetap memasang perangkap kedua, yaitu dengan peristiwa pembunuhan Yvonne d'Argent, kekasih Cortez sendiri dan yang dibunuhnya sendiri.

Cortez dan Janos di bawah sumpah memberikan kesaksian bahwa mereka melihat Marinetti masuk ke rumah wanita itu. Celakanya, pembantu Yvonne d'Argent pun memberikan kesaksian palsu yang sama. Marinetti dijatuhi hukuman mati yang kemudian diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup di Cayenne.

Josetta lalu lari pulang ke keluarganya di Meksiko. Di sana ia menulis surat kepada Marinetti bahwa ia akan pindah ke Pernambuco. Marinetti tahu apa maksud istrinya, yaitu akan mengusahakan agar suaminya bisa melarikan diri dan menemuinya.

Marinetti berhasil melarikan diri dengan tiga orang tahanan. Terjadi kejar-kejaran yang berakhir dengan tertembaknya salah seorang pelarian. Marinetti menukar pakaiannya dengan rekan yang tertembak mati dan memasukkan semua surat-surat keterangannya ke dalam saku pakaian yang di tinggalkannya dengan maksud agar ia disangka telah mati. Karena keteledoran para pengejar, maksud itu tercapai.

Marinetti berhasil bertemu kembali dengan istri tercinta di sebuah tempat terpencil dekat pantai. Dari sana mereka meneruskan perjalanan ke Pernambuco. Tetapi sebulan kemudian Josetta meninggal akibat segala penderitaan lahir batinnya.

Untuk beberapa lama Marinetti terganggu sarafnya hingga terpaksa dirawat di rumah sakit jiwa. Setelah sembuh, ia menjadi lelaki yang jiwanya penuh dendam kesumat. Cita-citanya hanya satu: menuntut balas pada orang-orang yang telah menghancurkan kebahagiaan
hidupnya selama-lamanya. Ini hampir-hampir sempurna andaikata Ruick tidak terbakar tangannya.

Perkara Marinetti dan Ruick disidangkan enam bulan kemudian.

Kisah hidup Marinetti yang malang itu begitu berkesan pada para hakim pengadilan Paris, sehingga ia hanya dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara. Ruick dihukum lima tahun penjara. Pembela Marinetti kemudian mengajukan permohonan kepada Presiden Republik Prancis Fallieres untuk meninjau kembali proses Marinetti.

Tetapi sayang, sebelum sempat diambil keputusan, Marinetti menjadi gila. Ia meninggal di Rumah Sakit Jiwa Charenton. (H. Ashton-Wolfe)

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553106403/almarhum-menuntut-keadilan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643399773000) } } }