array(7) {
  [0]=>
  object(stdClass)#73 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3133927"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#74 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(102) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/senjata-makan-tuanjpg-20220208071805.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#75 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(12) "John Dunning"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9359)
          ["email"]=>
          string(19) "intiplus-4@mail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(146) "Maksud hati ingin membalas dendam kepada perempuan yang berselingkuh dengan suaminya. Namun ternyata racun yang telah dipersiapkan, salah sasaran."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#76 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(102) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/senjata-makan-tuanjpg-20220208071805.jpg"
      ["title"]=>
      string(18) "Senjata Makan Tuan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-02-08 19:28:43"
      ["content"]=>
      string(23548) "

Intisari Plus - Wilford Cahill (36) yang gagah dan berwajah cakep adalah petani terkaya di Propinsi Capetown, Afrika Selatan. Ia ditemukan tewas di tempat tidurnya pada hari Minggu, 13 Agustus 1978. Yang menemukannya adalah istrinya, Laura, seorang wanita rupawan berusia 32 tahun. Laura heran karena suaminya tak juga muncul pada saat sarapan.

Menurut tradisi suami-istri Cahill tidak berbagi tempat tidur. Mereka mempunyai kamar sendiri-sendiri. Jadi, tak mengherankan bila Wilford baru delapan jam kemudian ditemukan.

Hanya beberapa minggu yang lalu, dokter pribadi keluarga Cahill, dr. Ian Barton, memeriksa kesehatan Wilford. Karena tugasnya yang membuatnya harus bergerak ke sana kemari, Wilford malah dinyatakan ada dalam kondisi puncak.

Dr. Barton pernah mendengar gosip-gosip di sekitar daerah itu. Semula tak digubrisnya, sampai muncul kematian tanpa sebab-sebab yang jelas itu. Dengan rasa penyesalan yang sejujur-nya Barton menjelaskan pada janda Cahill bahwa ia tak mungkin mengeluarkan sertifikat kematian suaminya. 

Ia malah menyarankan untuk menghubungi Kantor. Pemeriksaan Mayat di Cape Town. Dia merasa tak perlu sekarang menyebut-nyebut polisi. Kalau pemeriksa mayat sependapat dengannya, otomatis polisi akan dipanggil.

 

Surat cinta

Dari Kantor Pemeriksaan Mayat Cape Town datang dr. Peter Drysdale. Mayat diperiksa sebentar. Peter mengatakan harus dilakukan autopsi. Dari pihak Cape Town Police Department of Criminal Investigation datang Inspektur Brian Harrison dan Sersan Detektif Morton Bagley.

Menjawab pertanyaan polisi tentang penyebab kematian korban, Peter memperkirakan Wilford mati diracun. Karena merasa kurang suka, Inspektur meminta Sersan untuk mendatangkan bantuan dari kantor polisi. 

Dalam waktu singkat tempat itu dipadati para penyelidik. Mayat Cahill sedang dalam perjalanan menuju tempat penyimpanan mayat di Cape Town, di mana dr. Drysdale segera memulai pemeriksaan meskipun hari itu hari Minggu. Janda serta anak tunggal Cahill, Carol (8), tak berhenti menangis. Carol menumpahkan air matanya, karena ia kehilangan ayah yang sangat dicintainya. 

Air mata Laura pun pahit dan murni, tetapi apakah itu karena kehilangan suami atau karena sebab lain yang sulit dijelaskan. Para penyelidik sengaja mereka-reka beberapa hal yang bisa memancing tangis setiap janda.

Para penyelidik itu mula-mula mengambil botol bir kosong dari peti di gudang dapur yang menurut laporan laboratorium kepolisian jelas mengandung strychnine. Jumlahnya sangat memadai untuk membunuh semua tikus di lumbung-lumbung pertanian.

Ketika menggeledah kamar Laura mereka menemukan sebundel surat yang menimbulkan kecurigaan. Mungkin itu duplikat surat-surat Laura yang sudah dikirimkannya, atau mungkin juga surat-surat asli dari kekasihnya.

Ternyata surat-surat itu memang diperuntukkan bagi kekasihnya. Semuanya diawali dengan beloved, sweetheart, dearest darling, dan Iain-lain nama panggilan kesayangan. Sayang sekali tak ada petunjuk kepada siapa surat-surat itu dialamatkan.

Menurut Laura, surat-surat tersebut ditujukan kepada kekasih yang cuma ada dalam khayalannya. Orangnya sendiri belum pernah dan takkan pernah ada.

Keterangan Laura tidak meyakinkan polisi. "Tak jadi soal dia mau memberikan nama laki-laki itu atau tidak," kata Inspektur. "Kalau mereka mengadakan kontak di daerah sekitar ini, para pegawai dan pembantu pertanian akan tahu siapa laki-laki itu. Tak mungkin ia bisa tetap merahasiakannya." Tampaknya pendapat Inspektur itu benar.

Buster Diggens (44), penanggung jawab mekanis untuk pemeliharaan mesin-mesin pertanian, melapor telah melihat secara kebetulan majikannya sedang bersama-sama kekasihnya beberapa kali. Kelihatannya mencurigakan.

Diggens tak melaporkan tingkah laku Laura pada majikannya karena bagi dia hal seperti ini bukan urusannya. Di situ dia dibayar untuk memperbaiki mesin-mesin pertanian.

Melani N'gomo (16), pembantu berkulit hitam yang mengatur tempat tidur dan pekerjaan rumah tangga lain di gedung utama (yang ditinggali keluarga Cahill), tak mengatakan apa-apa mengenai skandal nyonyanya. Dia akan dicaci maki kalau menyebarkan rahasia ini.

Seorang manajer pertanian bertubuh menarik berusia sekitar 30 tahun mulai bekerja pada Cahill pada bulan Mei 1974. Denis Hartson yang punya gelar dalam pengelolaan pertanian datang ke Cape Town dari Johannesburg. Ia pandai dan meyakinkan. Tidak hanya itu, ia datang sebagai bujangan dan di situ sukses besar dalam bidang percintaan.

Seminggu semenjak kedatangannya, dia berkenalan dengan Dorothy Ekquist, putri seorang petani rajin. Mereka bertemu dalam sebuah pesta dansa.

 Dorothy Ekquist dikaruniai kecantikan yang mencengangkan, dengan rambut yang pirang berombak keemasan, wajah kekanak-kanakan lembut seperti bintang film kanak-kanak serta tubuh yang indah. Ia gadis tercantik di daerah pertanian itu. Denis segan membuang waktu. Mereka segera menikah pada bulan Agustus tahun itu juga.

Pasangan ini mendiami sebuah rumah anggun kecil yang letaknya seperempat mil dari gedung utama. Setahun kemudian lahir Cynthia, putri mereka yang kini usianya sudah 5 tahun dan sangat mirip ibunya.

Semua itu membuat Inspektur bersedih. Apalagi sebetulnya yang kurang?

Jawabannya adalah istri majikannya. Atau juga pertaniannya. Laura Cahill adalah satu-satunya pewaris harta suaminya. Setelah Wilford meninggal sekarang semua menjadi miliknya. Kalau dia mau menikah lagi, bisa jadi hak milik itu berpindah ke tangan suami barunya. Laura sendiri cantik. Perpaduan yang amat menggoda.

 

Gara-gara pinjam telepon

“Kalau dipikir-pikir,” kata Inspektur, "Laura tidak mem punyai motif yang kuat. Otomatis dia pewaris tunggal kekayaan Wilford dan bisa memperoleh kepuasan seks apa pun dari Denis Hartson. Kematian suami tak memberinya keuntungan lebih apa-apa."

"Anda tak bermaksud menahan Ny. Cahill sama sekali?" tanya Sersan dengan heran.

"Oh, tentu," jawab Inspektur. "Jelas Hartson yang menghasutnya. Kemungkinan besar dialah yang memasukkan strychnine ke dalam botol bir ... dan dengan persetujuan serta sepengetahuan Ny. Cahill. Lebih dari itu kita harus bisa menahan Ny. Cahill dengan tuduhan berkomplot menjalankan pembunuhan. Kita lihat saja nanti!"

Ketika disodori berbagai pertanyaan dalam ruang terpisah di Kantor Polisi Cape Town, Denis Hartson dan Laura menyangkal keras tuduhan mereka terlibat dalam peristiwa pembunuhan Cahill.

Ketika dihadapkan pada pernyataan pembantu dan para pegawai mereka, keduanya mengakui telah berhubungan sejak September 1977.

Saat itu Cynthia terkena penyakit campak. Ibunya panik dan menyuruh Denis memanggil dr. Barton. Waktu menunjukkan pukul 22.00.

Karena di rumah Hartson tak ada pesawat telepon, ia pergi meminjamnya ke gedung utama, di mana ditemuinya Laura sedang seorang diri. Wilford Cahill pergi menghadiri konferensi pertanian dan rencananya akan pulang sehari sesudahnya.

Pernah sebelumnya Laura Cahill mengaku pada Dorothy Hartson yang datang ke gedung utama seminggu sekali untuk mengawasi cucian bahwa ia adalah seorang istri yang disia-siakan suaminya. 

Ia hampir tak tahu lagi bagaimana itu seks. Kemudian saat Denis datang, Laura menceritakan hal yang sama padanya. Bedanya, kali ini Laura berharap Denis mau melakukan sesuatu.

Wilford begitu sibuk dengan urusan pertanian, sampai-sampai tiba di rumah selalu sudah malam dan dalam keadaan letih. la lalu minum dua botol bir dan tidur lelap. Hari-hari rutin inilah yang mengusik Laura.

Pada malam pertama itu Denis Hartson tidak pulang ke rumahnya sampai pukul 01.00 lewat. Dia memberi alasan kepada istrinya bahwa dia tidak bisa menemukan dr. Barton di mana-mana. 

Barulah keesokan paginya dia menelepon dokter tersebut yang segera datang. Dorothy tidak menaruh curiga apa-apa. Sejak malam itu, hampir setiap hari Hartson datang ke gedung utama untuk tugas menyenangkan Laura di sore hari.

 

Orang lain?

Dengan situasi begini dan bahwa hampir tak ada orang lain yang menyentuh lemari es di dapur gedung utama, di mana Cahill menyimpan birnya, Inspektur berharap agar segera ada pengakuan. Rupanya ia terpaksa kecewa.

Baik Laura Cahill maupun Denis Hartson tak mau mengaku terlibat sedikit pun dalam kasus kematian Wilford Cahill. Dengan berlinang air mata mereka bersumpah tak pernah terlintas ide untuk menikah, apalagi merasa Wilford merintangi hubungan mereka.

"Tak ada apa-apa, kecuali daya tarik seks!" tutur Denis dengan bercucuran air mata. "Saya mencintai Dorothy! Untuk selamanya! Saya cuma terlena, lagi pula ia istri majikan saya. Apa yang bisa saya lakukan?"

"Normalnya," kata Inspektur kepada Sersan, "kalau kau mempunyai dua tersangka yang menceritakan kisah mereka yang sudah mereka atur sebelumnya, lalu menanyai mereka secara terpisah kau akan mendapatkan ada saja bagian yang terlupa mereka katakan. Lalu kau bisa memainkan kondradiksinya, sampai akhirnya mereka terpancing mengatakan yang sebenarnya."

Tapi lain dengan kasus Cahill Hartson. Cerita mereka tak berubah-ubah seujung rambut pun, berapa kali pun kita mengulang-ulangnya.

"Rasanya memang lucu," kata Sersan. "Apa Anda pikir bahwa kalau mereka repot-repot mengarang cerita itu lalu yang mereka lakukan semuanya berbeda membunuh Wilford sampai mereka memalsukan berbagai alibi untuk mereka sendiri atau sesuatu. Mestinya mereka sudah menyadari bahwa Barton tak akan bersedia mengeluarkan sertifikat kematian dengan situasi seperti itu."

"Seharusnya!" kata Inspektur. "Mereka berdua berpendidikan tinggi, orang-orang yang pandai. Sukar mempercayai bahwa mereka akan meracuni Cahill dengan sesuatu yang begitu terang-terangan seperti strychnine, lalu membuang botol bir yang mengandung racun itu sembarangan ke kotak sampah. Cuma orang bodoh yang bisa berlaku begitu."

Untuk beberapa lama tak ada yang bersuara.

"Banyak pegawai Cahill di pertanian itu yang bodoh," kata Sersan kemudian. "Tapi kalau yang biadab ... saya tak begitu tahu."

Cahill adalah seorang pekerja keras, amat serius dalam setiap aspek bisnis pertaniannya. Tak mudah orang bekerja dengannya. Dia baik hati dan logis terhadap pimpinan umumnya, tetapi juga banyak menuntut dari pekerjanya. Bahkan Buster Diggens tak bekerja secepat dan sekeras yang diinginkannya.

"Di samping itu, menurut catatan yang ada tentang Diggens, Diggens pernah dua kali diskors karena memukul pegawainya. Dengan temperamen kejam dan reputasinya seperti pendendam, bisa saja dia tega meracuni majikannya dengan strychnine. Dia pun tak akan sulit menyelinap masuk ke dapur di gedung utama tanpa terlihat."

 

Melani buka mulut

Inspektur ragu-ragu untuk menahan dan menanyai Diggens secara resmi karena tak ada alasan kuat. Mengapa baru sekarang dia membunuh majikannya, padahal hubungan mereka sekarang jauh lebih baik daripada sebelumnya? Dia sudah bekerja pada Cahill selama tujuh tahun.

"Kita pun tahu Ny. Cahill dan Hartson tak melihatnya dalam rumah pada hari kejadian tersebut," tutur Sersan. "Kecuali kalau mereka berniat melindungi sesama kawan. Paling ia seharian berada di rumah."

"Bisa saja waktu itu pembantu ada di loteng," kata Inspektur. "Lalu laki-laki tersebut menyelinap ke dapur, mencampurkan strychnine dalam bir dan membereskannya tanpa setahu pembantu wanita itu. Waktu yang dibutuhkannya hanya beberapa menit."

"Kita lihat saja," kata Sersan. "Saya pergi dulu sebentar dan akan kembali bersamanya."

Tanpa diduga siapa pun, Melani N'gomo tegas-tegas menyatakan bahwa dia melihat Buster Diggens masuk ke rumah pada sore kejadian.

"Dia kelihatan seperti maling," kata gadis itu. "Saya rasa dialah yang membunuh Tuan Wilford."

Buster Diggens segera ditahan dengan tuduhan tersangka pembunuhan. Ketika dihadapkan pada pernyataan Melani N'gomo, Buster Diggens menjawab dia tak berada di dalam rumah maupun sekitarnya pada tanggal 12 Agustus itu. Dia sanggup membuktikannya. 

Melani jelas mencoba melibatkannya dalam kesulitan karena Diggens pernah menangkap basah Melani sedang mencuri beberapa bulan yang lalu dan merangket gadis itu.

"Buktikan," kata Inspektur. "Buktikan bahwa Anda tidak berada di sekitar rumah pada saat itu."

Buster Diggens membuktikan dia bekerja dengan sekelompok pegawai lain dan dua petani tetangganya, di daerah lain sekitar 8 km dari tempat itu, sepanjang hari. la baru sampai di pertanian pada saat Cahill meneguk bir beracunnya.

Lebih-lebih lagi, bisa ditunjukkan bahwa Diggens tidak meracuni dua botol bir Wilford yang diminum sore itu. Kedua botol itu berasal dari peti baru yang dibawa sendiri oleh Wilford sekembalinya dari kota. Bir itu diberi racun pada sore hari dia minum atau sudah diracuni ketika dia mengambil peti tersebut dari kota.

"Gadis itu mengurusi seluruh rumah tangga, termasuk dapurnya," kata Inspektur pada Sersan. "Diggens mengetahuinya waktu mau mencuri. Mungkin Cahill tahu juga dan menghajarnya seperti apa yang dilakukan Diggens."

"Lalu gadis itu ingin Diggens digantung karena melakukan kejahatan," kata Inspektur.

"Aku ragu," kata Inspektur lagi. "Gadis itu masih begitu muda dan sederhana."

"Kalau begitu Diggens mesti berterima kasih pada kemujurannya. Kebetulan sekali dia punya alibi," kata Sersan. "Kita bisa menahan Laura dan Hartson. Mereka punya motif, kesempatan, dan tak punya alibi."

"Betul," Inspektur mengiakan. "Aku berada dalam posisi sulit, tidak bisa menahan orang yang dicurigai, tapi boleh menahan orang yang tak dicurigai."

"Jadi apa yang akan kita kerjakan," tanya Sersan.

"Kita tanyai si Melani N'gomo dan kalau tak berhasil kita serahkan semuanya pada kantor penuntut.”

Melani ternyata begitu keras kepala, seperti yang dikhawatirkan Inspektur. Dia mengaku cuma berbohong melihat Diggens memasuki rumah dengan diam-diam, tapi membenarkan ucapan Diggens yarig menangkapnya basah sewaktu hampir mencuri, meskipun dia tidak merasa bersalah.

Dia bahkan mengakui tahu kebiasaan majikannya minum bir dua botol setiap malam sepulang kerjanya, karena tugasnyalah menyimpan bir itu dalam kulkas. Tetapi pada hari kejadian, dia tidak melihat sesuatu yang aneh dengan botol-botol bir itu.

Dia juga yang melemparkan botol-botol tersebut ke tempat sampah malam itu, setelah majikannya pergi tidur. Ada fakta yang mengherankan polisi sampai saat ini. Tidak ada sidik jari selain sidik jari Wilford Cahill.

Melani membantah tak menyukai Cahill, karena memang ia jauh lebih menyukainya daripada Laura yang sering mencaci maki.

Dia diuji sekali lagi. Ternyata Melani dengan mudah bisa membuka tutup botol, tetapi tak bisa menutupnya kembali.

Melani disodori kotak yang diberi label stryhnine, tetapi sebenarnya berisi tepung jagung dan disuruh mencicipinya. Tanpa ragu-ragu Melani mengecapnya. Ditanya apa itu strychnine dan di mana bisa didapatkan, dia menjawab pernah mendengar tentang itu: biasa digunakan untuk membunuh tikus, tapi melihatnya dia belum pernah.

Tidak tanduknya yang begitu lugu kekanak-kanakan membuat Inspektur berkesimpulan bahwa dia sedang berhadapan dengan kriminal yang amat lihat, seorang aktris yang cerdik ... atau memang Melani bicara sejujurnya.

 

Dorothy membawa bukti

Dihadapkan pada pilihan sulit begini, satu-satunya kemungkinan tinggal menghadapkan Laura Cahill dan Denis Hartson ke kantor penuntut umum dengan rekomendasi resmi bahwa mereka terlibat pembunuhan dan persekongkolan menjalankan pembunuhan.

Pernyataan bersalah seperti itu sama dengan hukuman mati dan ini hampir tak mungkin dihindarkan. Benar memang tak ada bukti nyata mereka yang melakukannya, dan tak ada yang mau mengaku atau mencoba saling menyalahkan.

Walaupun demikian, penuntut merasa kasus ini cukup bisa membuktikan kesalahan mereka. Mereka sendiri yang mengaku berkasih-kasihan. Keduanya bisa saja memasukkan strychnine ke dalam botol dan menutupnya kembali tanpa berbekas. Dua-duanya sanggup mengajukan alibi.

Selain itu, tak ada orang lain yang bisa dicurigai. Kecuali satu bahwa kemudian pada tanggal 1 September Ny. Dorothy muncul di kantor Inspektur Harrison untuk menyampaikan suatu bukti.

Dorothy Hartson tidak segera mengatakannya, tetapi terlebih dahulu bertanya bagaimana keadaan suaminya dalam kasus ini. Semula Inspektur Harrison segan mengatakannya, tetapi karena didesak ia menjawab sedikit sekali kemungkinan Denis bisa merayakan hari ulang tahunnya yang ke-31.

Wanita itu menganggukkan kepalanya seolah-sudah tahu itulah jawabannya. Matahari pagi berkilau masuk menembus jendela kantor, membuat rambutnya yang pirang berombak menjadi seperti lingkaran emas di sekitar wajah mudanya yang sempurna.

"Denis tidak membunuh Cahill," ucapnya perlahan dengan suara dalam, "sayalah pembunuhnya."

Kemudian dia menerangkan betapa sebetulnya dia menjadi curiga ketika suaminya berdusta tidak bisa mendapatkan dr. Barton untuk Cynthia yang terserang campak. Keesokan harinya, waktu dokter datang, Laura menyampaikan bahwa mereka tak berhasil menemuinya semalam. Dokter mengatakan keheranannya, karena semalaman ia tidak pergi ke mana-mana.

Tak sampai seminggu kemudian, Dorothy datang ke gedung utama. Bukan pada hari Kamis seperti biasanya, tapi pada hari Senin. Dia mendengar di loteng ada suara orang sedang bercinta. Dengan merayap, dia naik, membuka kamar tidur sedikit, dan terlihat suaminya sedang bermain cinta dengan Laura Cahill yang tak mengenakan apa-apa di tempat tidur.

Sejak saat itu yang ada dalam benaknya hanya balas dendam. Tetapi baru setahun kemudian timbul ide untuk meracuni suami Laura, supaya Laura nantinya yang dipersalahkan dan dihukum gantung.

Tentu saja Dorothy mengetahui kebiasaan minum Wilford di malam hari dan dengan mudah- dia menyusup ke dapur sore itu, menuangkan strychnine pada salah satu botol bir dan menyegelnya kembali.

"Tidak ada yang melihat saya," katanya. "Semuanya berjalan sesuai dengan rencana saya. Satu yang tidak terpikirkan oleh saya bahwa Denis akan dicurigai. Saya mencintainya, meskipun dia punya skandal dengan Laura Cahill. Kalau dia dihukum mati, saya akan kehilangan segalanya. Lebih baik saya mati juga."

Dengan pengakuan ini Inspektur tidak punya pilihan lain, kecuali mencabut tuduhan terhadap Denis Hartson dan Laura Cahill dan mengajukan tuduhan terhadap Dorothy yang tak mengubah setiap detail ceritanya.

Tetapi tetap sulit bagi Inspektur untuk percaya. Baginya mungkin saja pengakuan Dorothy sengaja untuk menyelamatkan suaminya dari tiang gantungan.

Ibu muda ini tetap bertahan pada pengakuannya dan pada bulan Februari 1970 ia diajukan ke pengadilan.

Keraguan yang menyerang Inspektur juga rupanya mengganggu pengadilan. Karena ternyata kemudian, meskipun dinyatakan bersalah, Dorothy diberi keringanan. Ia mendapat hukuman penjara selama 20 tahun. (John Dunning)

 

" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553133927/senjata-makan-tuan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348523000) } } [1]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124155" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/ketukan-pengundang-mautjpg-20220203121306.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "John Dunning" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9359) ["email"]=> string(19) "intiplus-4@mail.com" } } ["description"]=> string(160) "Seorang anak mendapati ibunya telah tewas di apartemennya. Padahal ibunya hanya akan membuka pintu jika anaknya yang mengetuk. Akibatnya ia dijadikan tersangka." ["section"]=> object(stdClass)#80 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/ketukan-pengundang-mautjpg-20220203121306.jpg" ["title"]=> string(23) "Ketukan Pengundang Maut" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:13:21" ["content"]=> string(23251) "

Intisari Plus - Seperti biasa, kalau Adolf Wachter (53) pulang bekerja, pintu apartemennya yang terletak di puncak gedung bertingkat tiga selalu terkunci. Tanggal 15 Oktober 1982 sore, pintu tetap tak dibuka ibunya meski berulang-ulang ia mengetuknya dengan kode yang sudah disepakati bersama sang ibu.

Wachter pun putus asa. Karena tidak membawa kunci, ia turun menuju ke mobilnya, lalu kembali ke tanah pertanian tempatnya bekerja.

"Saya khawatir ibu saya mendapat serangan jantung," katanya kepada majikannya, George Heilmann. "Ibu saya tidak membukakan pintu."

Heilmann mengantarnya kembali ke apartemen. Mereka beriringan mengendarai mobil masing-masing. Apartemen Adolf Wachter bersama ibunya terletak di Schwarzenbergstrassse 14 di Bamberg, sebuah kota berpenduduk sekitar 80.000 jiwa di Jerman Selatan.

 

Bukan serangan jantung

Beriringan pula kedua pria itu menaiki tangga ke tingkat tiga. Heilmann memijat bel. Kemudian ia menggedor-gedor pintu. Wachter berkata, "Ibu saya pasti tidak akan membukakan pintu kalau digedor begitu. Ia tidak mau membiarkan orang tak dikenal masuk. Kami mempunyai kode ketukan khusus."

Namun, ketukan itu pun tidak menyebabkan pintu dibuka.

"Harus didobrak," kata Heilmann. "Mungkin ibumu mengalami kecelakaan."

Wachter bertubuh tinggi besar. Kadang-kadang ia bekerja sebagai buruh tani, kadang-kadang sebagai pengemudi truk atau pengangkut perabotan rumah tangga. Ia membenturkan bahunya yang berotot ke pintu apartemennya. Usahanya tidak sia-sia. Kunci jebol dan pintu terbuka.

Maria Wachter (88) ternyata rebah di lantai lorong tepat di balik pintu itu. Jelas itu bukan akibat serangan jantung ataupun kecelakaan. Lantai di dekatnya digenangi darah, yang masih mengucur dari luka menganga di kepala dan lehernya.

Heilmann begitu terkejut sehingga mundur ke belakang. lalu terbirit-birit turun sambil berteriak-teriak memanggil polisi. Saat itu sudah pukul 20.00. Di hari Jumat jalan-jalan sepi karena libur akhir minggu sudah dimulai.

Baru setelah bertemu rumah tempat minum ia berhasil menghubungi polisi lewat telepon. Sekalian dipanggilnya ambulans.

Heilmann memberanikan diri kembali ke apartemen Wachter. Heran juga dia melihat mobil polisi sudah diparkir di tepi trotoar. Ternyata Wachter, yang lebih tenang, sudah menelepon polisi lebih dulu dari apartemennya.

Sekali lihat, polisi tidak meragukan bahwa Maria Wachter sudah tewas. Namun, untuk mematuhi peraturan, mereka memeriksa juga tubuh wanita itu. Tanda-tanda kehidupan memang sudah tidak ada. Heilmann dan Wachter tidak diperkenankan pergi. Mereka diminta menunggu kedatangan polisi dari bagian pembunuhan yang tiba tiga perempat jam kemudian.

Dr. David Diedrich yang wajahnya pucat tapi artistik (karena bentuk hidungnya indah, rambutnya merah keemasan dan bercambang panjang) memberi keterangan bahwa Maria Wachter tewas kira-kira dua jam sebelumnya. Tengkoraknya pecah di beberapa tempat, sedangkan urat nadi lehernya putus. Keterangan lebih rinci dan pasti baru akan diberinya setelah autopsi.

"Siapa yang melapor?" tanya Inspektur Peter Altbauer yang bertubuh pendek kekar dan berumur 50-an. la termasuk orang yang perlu bercukur sehari dua kali, tetapi cuma melakukannya sekali.

"Putranya dan majikan putranya," jawab Sersan Detektif Joachim Hart. "Mereka ada di bawah, di mobil patroli." Sersan ini masih muda belia dan pipinya merah jambu.

"Kau tunggu di sini. Awasi para petugas teknis. Jangan ada yang luput dari perhatian mereka. Aku akan menanyai putra korban dan majikannya," pesan Inspektur Detektif Altbauer.

 

Tak mungkin orang lain

Kartu identitas Heilmann dan Wachter diminta. Setelah memeriksa kedua kartu itu, Inspektur memberi tahu keterangan yang mereka berikan padanya akan direkam. la meminta Wachter menceritakan cara ia menemukan jenazah ibunya.

"Mengapa Anda tidak memiliki kunci apartemen Anda sendiri, Pak Wachter?"

"Ibu selalu di rumah. Saya tidak perlu membawa kunci."

"Tadi Anda bilang, Anda mempunyai kode ketukan rahasia. Siapa saja yang tahu kode itu selain Anda dan ibu Anda?"

"Tidak ada," jawab Wachter.

"Apakah ada orang lain selain ibu Anda yang memiliki kunci apartemen Anda?"

"Tidak. Kami cuma mempunyai satu kunci."

"Anda ditahan dengan tuduhan membunuh," kata Inspektur dengan resmi. "Anda harus ikut dengan saya ke kantor polisi. Anda diperingatkan bahwa apa pun yang Anda katakan akan dicatat atau direkam dan bisa digunakan untuk memberatkan Anda. Anda ingin membuat pernyataan?"

"Ya," jawab Wachter. "Anda gila. Mengapa saya ingin membunuh ibu saya sendiri?"

"Saya tidak tahu," jawab Inspektur. "Tapi berdasarkan pernyataan Anda, tidak ada orang lain yang bisa masuk ke apartemen Anda."

George Heilmann begitu tercengang. Ia disuruh pulang, sedangkan Wachter diangkut ke kantor polisi dan dituduh membunuh ibunya. Ia dihadapkan ke sejumlah detektif untuk diinterogasi.

Inspektur Altbauer kembali ke Schwarzenbergstrasse. Para teknisi hampir selesai melaksanakan tugas mereka. Jenazah Maria Wachter dimasukkan ke dalam peti logam dan digotong ke kereta jenazah polisi. Dokter sudah pergi. Tinggal Sersan Hart di sana. la melapor kepada Inspektur Altbauer.

"Ada tanda-tanda yang menunjukkan apartemen itu digerayangi," katanya. "Tapi kami tidak bisa menentukan apa yang diambil. Korban masih memegang kunci. Diperkirakan ia dibunuh begitu pintu dibuka."

"Mungkin petunjuk palsu," kata Inspektur. "Menurut putranya, ia hanya membukakan pintu kalau pintu diketuk dengan kode yang sudah disepakati bersama anaknya. Tak seorang pun, kecuali mereka berdua, yang mengetahui kode itu."

"Anda maksudkan, putranya mengaku membunuh? Apa motif nya?"

"Anaknya sih menyangkal. Tapi menurut pengakuannya, tak seorang pun bisa masuk ke aprtemennya kecuali dia sendiri. Petugas lab menemukan tanda-tanda perlawanan?"

Sersan Hart menggelengkan kepala. "Sepanjang yang bisa mereka katakan, korban dibunuh begitu pintu dibukakan. Kecuali anaknya gila, saya tidak melihat alasan yang mendorong ia membunuh ibunya."

"Saya juga tidak," kata Inspektur. "Saya juga tidak melihat alasan ia menggeledah apartemen, kecuali kalau ia sengaja memberi petunjuk palsu untuk menyesatkan kita. Apakah para petugas lab menemukan alat yang diduga dipakai melakukan pembunuhan?"

"Tidak," jawab Hart. "Kalau anaknya membunuh, mungkin senjata itu ia buang dalam perjalanan memanggil Heilmann."

"Kalau Diedrich bisa memberi gambaran kepada kita perihal senjata yang dipakai untuk membunuh, mungkin kita bisa memeriksa selokan sepanjang jalan antara apartemen dan tanah pertanian Heilmann besok," kata Inspektur Altbauer.

Malam itu Wachter tetap tidak mengaku membunuh ibunya. Pukul 11.00 keesokan harinya. Dr. Diedrich memberi gambaran senjata yang dipakai membunuh korban.

Menurut laporan sementara Diedrich, tengkorak korban retak di sembilan tempat akibat 16 pukulan dengan benda keras yang berpermukaan licin dan bergaris tengah kira-kira 5 cm. Beberapa serpihan kayu tertancap di kulit kepala, menunjukkan bahwa benda itu terbuat dari kayu.

Korban ditikam tiga kali di leher. Salah satu tikaman memutuskan pembuluh nadi leher, yang menyebabkan kematian 40 atau 50 detik kemudian karena aliran darah ke otak terhenti. Diperkirakan korban sudah pingsan akibat pukulan di kepala saat disembelih. Anehnya, luka di leher itu dibuat seperti tikaman jagal babi, bukan berupa gorokan.

Korban tampaknya sempat menginsafi bahaya dan ketakutan, karena tingkat adrenalin darahnya tinggi. Fungsi tubuhnya semua normal, kecuali ada tanda-tanda arteriosklerosis. Pakaian dalam wanita itu tidak terganggu dan tak ada tanda-tanda ia dibunuh karena motif seksual. Saat kematian diperkirakan antara pukul 19.00 - 19.15, tanggal 15 Oktober 1982.

Laporan dari laboratorium jauh lebih singkat. Tidak ada tanda-tanda apartemen itu dimasuki dengan kekerasan, kecuali pintu yang didobrak Wachter dengan disaksikan oleh Heilmann. Senjata tidak dijumpai. Sidik jari yang ditemukan cuma milik korban dan putranya.

"Pembunuhnya tidak bisa lain daripada Wachter, waktunya pun cocok," begitu Inspektur menyimpulkan.

 

Goblok alau genius

Menurut pengakuan Adolf Wachter, yang dikuatkan oleh George Heilmann, Wachter meninggalkan tanah pertanian beberapa menit sebelum pukul 19.00. Ia kembali ke tanah pertanian kira-kira pukul 19.35. Kalau ia ngebut, perjalanan ke apartemnnya cuma makan waktu kira-kira 15 menit. Berarti ia cuma mempunyai waktu 10 menit untuk membunuh. Namun, sepuluh menit sudah lebih dari cukup untuk membunuh. Begitu menurut petugas laboratorium.

Kata Wachter, ia tidak ngebut dalam perjalanan ke apartemennya. Ia juga rriengetukngetuk pintu cukup lama.

"Mengapa Anda tidak memanggil petugas pemadam kebakaran saja waktu Anda tidak dibukakan pintu?" tanya Inspektur. "Petugas pemadam kebakaran mempunyai ahli yang bisa membuka pintu."

"Saya tahu," jawab Wachter. "Tapi saat itu pikiran saya tak sampai ke sana."

Inspektur menyerahkan Wachter ke tangan tim interogasi, lalu kembali ke ruang kantornya.

"Wachter itu mungkin manusia goblok, mungkin pula penjahat genius," katanya kepada Sersan Hart. "Ia goblok karena bersikeras ibunya tak akan membukakan pintu kepada siapa pun, kecuali kalau pengetuk pintu menggunakan kode yang cuma diketahui oleh ibunya dan dia. Ia penjahat licin kalau bisa meyakinkan pengadilan bahwa ia berterus terang. Bukankah kita tidak bisa menemukan motif yang mendorongnya melakukan pembunuhan?"

"Wanita itu sudah tua renta dan tidak mempunyai banyak harta. Kalau putranya menginginkan kematiannya, paling-paling ia tinggal menunggu beberapa tahun lagi. Satu-satunya motif yang terpikir olehku ialah: mereka bertengkar, lalu Wachter memukul ibunya terlalu keras. Ia menjadi panik dan membunuhnya sekalian."

"Kalau begitu pertengkaran mereka singkat sekali, dong," kata Sersan Hart.

"Memang terlalu singkat," Inspektur Altbauer mengakui.

"Kalau orang lain membunuhnya, berarti ia meninggalkan tempat itu hanya beberapa menit sebelum Wachter datang," kata Hart. "Atau ia sudah berada di apartemen itu ketika Wachter pertama kali datang, lalu pergi ketika Wachter sedang memanggil Heilmann."

 

Kesaksian mantan islri

Adolf Wachter tidak pernah mengaku membunuh ibunya. Namun, karena ia tetap bersikeras tidak ada orang lain yang bisa masuk ke apartemennya, ia diadili sebagai pembunuh ibunya tanggal 12 Juli 1982. Jaksa tidak bisa mengemukakan motif pembunuhan dan senjata yang dipakai membunuh tidak pernah ditemukan.

Pakaian yang dikenakan Adolf Wachter pada tanggal pembunuhan terjadi diperiksa dengan saksama di laboratorium polisi. Tak ditemukan tanda-tanda darah sedikit pun, walaupun para ahli menyatakan tidak mungkin bagi seseorang untuk membunuh dengan cara itu tanpa pakaiannya terciprat darah.

Sementara itu delapan saksi menyatakan bahwa hubungan Wachter dengan ibunya baik sekali.

Jaksa lantas memanggil mantan istri Wachter, yang menyatakan mantan suaminya bisa saja melakukan tindak kekerasan, sebab pada tahun 1963 kepalanya pernah dipukul dengan kaki kursi. 

Namun, mereka baru bercerai tanggal 24 April 1967 dan si bekas istri kembali ke Wachter pada tahun 1970 - 1973. Ketiga putra mereka yang berumur 24, 23, dan 14 tidak dimintai kesaksiannya.

Dokter yang biasa merawat Maria Wachter menyatakan ia pernah merawat korban ketika korban menderita bilur-bilur yang katanya akibat jatuh. Sekali ia merawat korban ketika sebelah matanya bengep. Menurut korban, bengep itu disebabkan karena sumbat botol anggur mental ke matanya.

Ketika jaksa bertanya apakah memar semacam itu bisa diakibatkan oleh pukulan, dokter menjawab, "Bisa saja."

Namun, ketika pembela bertanya apakah memar seperti itu bisa disebabkan oleh hal-hal yang dikatakan oleh Maria Wachter, dokter menjawab, "Bisa saja" juga.

Seorang tetangga di gedung yang sama, sering mendengar Maria berseru, "Aduh!" Namun, wanita berumur 60 tahun yang bernama Helga Auernheimer itu menyatakan bahwa seruan itu beberapa kali didengarnya pada saat Adolf Wachter tidak di rumah.

Pengantar koran menyatakan Ny. Wachter beberapa kali mengeluh kepadanya bahwa ia tidak bahagia dan putranya tidak sayang kepadanya.

Sebenarnya kesaksian itu tidak terlalu meyakinkan kalau saja Adolf Wachter tidak bersikeras bahwa tidak ada orang lain, kecuali ia sendiri yang bisa masuk ke apartemennya.

Setelah sembilan hari bersidang, pengadilan memutuskan Adolf Wachter bersalah melakukan pembunuhan tidak terencana terhadap ibunya. Ia dijatuhi hukuman 11,5 tahun penjara, sedangkan SIM truknya dicabut.

Adolf Wachter tetap berkata ia tidak bersalah. Ia menganggap pencabutan SIM-nya keterlaluan, sebab ia belum pernah melanggar peraturan lalu lintas yang berarti.

Wachter naik banding dan pengadilan tinggi menemukan banyak kekurangan dan kealpaan yang dilakukan pengadilan, sehingga memerintahkan sidang diulang. Hal itu dilakukan tanggal 8 Februari 1985.

Sekali ini Adolf Wachter dibebaskan. Jaksa menangis. Di tengah ruang pengadilan, jaksa menuding Wachter dan berteriak dengan suara gemetar karena marah, "Baik, Pak Wachter. Anda berhasil mengelak dari hukuman, tapi saya tahu dan Anda pun tahu, Andalah pembunuh ibu Anda sendiri!"

Para penonton terpengaruh olehnya dan berteriak-teriak, "Gantung anak durhaka itu!"

Walaupun dibebaskan, pria berumur senja itu tidak bisa hidup dengan tenang. Semua orang di Kota Bamberg yang cantik dan tidak terlalu besar tahu perihal Adolf Wachter yang dituduh membunuh ibunya. Ada juga orang yang mau memberi pekerjaan kepadanya, tetapi hubungan mereka terbatas pada memanfaatkan otot-ototnya. Dalam pergaulan ia dikucilkan.

Saat itu Inspektur Altbauer sudah tidak menganggap Wachter sebagai pembunuh lagi. Namun kalau bukan dia, siapa pembunuh Maria Wachter?

 

Sesumbar

Tiga tahun setelah pembunuhan terjadi dan hampir setahun setelah Wachter dibebaskan, Inspektur Altbauer menerima laporan bahwa seorang gadis berumur 18 tahun diculik dan diperkosa bergantian oleh dua orang pembantu jagal, yaitu Thomas Schaubert dan Herbert Friedemann. 

Begitu dibebaskan, gadis itu mengadu ke kantor polisi. Schaubert dan Friedemann ditahan dan terbukti melakukan hal yang dituduhkan. Mereka dijatuhi hukuman penjara masing-masing 4 tahun pada tanggal 30 April 1986.

Di Jerman, hukum rupanya lebih bersimpati pada orang-orang muda daripada orang seumur Wachter, karena mereka boleh hidup di luar penjara setelah menjalani setengah dari masa hukuman.

Di penjara, Friedemann merasa khawatir dianggap anak kecil oleh rekan-rekan narapidana lain. Soalnya, penampilannya masih seperti remaja tanggung dan janggutnya tidak mau tumbuh. 

Untuk mengesankan sesama penghuni penjara, ia sesumbar perihal pembunuhan yang pernah dilakukannya bersama Thomas Schaubert. Sikap seperti ini memang umum terjadi.

Celakanya, Friedemann menyebut dengan rinci namanama, tempat, tanggal, dan hal-hal yang berkenaan dengan pembunuhan atas Maria Wachter, pembunuhan yang belum terpecahkan.

Di antara pendengarnya terdapat seorang oportunis yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk mendapat keringanan hukuman. Tanggal 17 Juli 1986, si pencari kesempatan dibawa ke kamar kerja Inspektur Altbauer dan menceritakan dengan saksama yang didengarnya dari Herbert Friedemann di penjara. 

Altbauer sangat terkesan, karena keterangan itu berisi detail yang cuma diketahui polisi dan si pembunuh. Sebagai orang yang pada dasarnya penuh kecurigaan, Inspektur Altbauer menyelidiki, di mana si pengadu berada pada saat pembunuhan. Ternyata orang itu sedang dihukum di penjara lain.

Kini Inspektur sudah mempuyai dua orang yang patut dicurigai sebagai pembunuh Maria Wachter. Namun, bagaimana caranya mereka bisa masuk ke apartemen wanita itu?

Inspektur Altbauer segera pergi mencari Adolf Wachter. Pria malang itu dijumpainya sedang bekerja sebagai buruh tani. Altbauer bertanya, apakah Wachter kenal pada Schaubert dan Friedemann.

"Oh, saya kenal mereka. Mereka itu asisten jagal," jawabnya. "Kalau sedang banyak uang, mereka minumminum di tempat yang sama dengan saya."

 

Remaja rusak

Schaubert dan Friedemann dibawa ke kantor polisi tempat Inspektur Altbauer bekerja. Mereka diinterogasi secara terpisah. Friedemann yang lebih muda diintimidasi, menjadi panik dan mengaku setelah mendengar pernyataan teman sepenjaranya yang direkam polisi. 

Katanya, gagasan untuk membunuh Maria Wachter yang tidak mereka ketahui namanya, berasal dari Schaubert. Saat itu mereka kekurangan uang. Mereka memilih Maria Wachter bukan karena ia kaya, tetapi karena secara tidak sengaja mereka mendengar perihal kode mengetuk pintu dari Wachter. 

Suatu ketika Wachter bekerja pada orang tua Schaubert dan bercerita tentang kode mengetuk pintu demi keamanan. Schaubert yang waktu itu berumur 18 tahun merasa tertarik dan membuntuti Wachter pulang. Wachter tidak sadar ketukannya didengarkan oleh remaja ini.

Pada tanggal 15 Oktober, keduanya bersepeda ke apartemen Wachter sambil membawa kantung plastik berisi pisau jagal untuk menikam babi. Friedemann membawa tas olahraga berisi dua pasang sarung tangan plastik, seutas tali dan sebuah kaki meja.

Sebenarnya mereka tidak berniat membunuh korban. Schaubert mengikatkan saputangan ke wajahnya supaya jangan dikenali, sedangkan Friedemann menutupi kepalanya dengan kerudung jaketnya.

Setelah mengenakan sarung tangan plastik, mereka mengetuk pintu menurut kode yang didengar Friedemann. Ny. Wachter yang sedang menunggu kedatangan putranya membukakan pintu. 

Mereka mendesak masuk. Ny. Wachter berteriak dan mencoba melarikan diri. Schaubert memukul kepala wanita malang itu dengan kaki meja. Wanita itu jatuh dan Friedemann ganti memukulinya.

Mereka berjanji akan menanggung kejahatan ini bersama-sama dan tidak akan saling mengkhianati. Ketika mereka menggerayangi apartemen, Ny. Wachter yang ternyata belum meninggal, mengeluarkan suara mengerang. 

Schaubert mengeluarkan pisau jagal dan menikam leher Ny. Wachter dengan teknik menikam leher babi. Friedemann ikut-ikutan. Mereka segera meninggalkan tempat itu dengan membanting pintu agar terkunci kembali. Ketika keluar gedung, mereka melihat Adolf Wachter lewat dengan mobilnya.

Mereka tidak berhasil memperoleh uang sepeser pun dari rumah korban. Tak terpikir oleh mereka Adolf Wachter akan dicurigai sebagai pembunuh ibunya. Namun, ketika hal itu terjadi, mereka merasa geli.

Pakaian dan tangan mereka yang berlumuran darah mereka cuci. Kaki meja mereka bakar, sedangkan pisau jagal dikembalikan ke fungsi semula.

Tanggal 18 Juni 1987 Thomas Schaubert dan Herbert Friedemann dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan atas Maria Wachter. Namun, karena saat melakukan kejahatan itu umur mereka baru 18 dan 16 tahun, mereka cuma mendapat hukuman penjara 8,5 tahun. (John Dunning)

" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124155/ketukan-pengundang-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890401000) } } [2]=> object(stdClass)#81 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123169" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#82 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-05-paca-20220201084712.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#83 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "John Dunning" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9359) ["email"]=> string(19) "intiplus-4@mail.com" } } ["description"]=> string(42) "Seorang wanita tukang serong menemui ajal." ["section"]=> object(stdClass)#84 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-05-paca-20220201084712.jpg" ["title"]=> string(16) "Pacarnya Belasan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:53:14" ["content"]=> string(26528) "

Intisari Plus - Meski umurnya baru 34 tahun, Nigel Kearns sudah jadi orang terkaya di Adelaide, Australia. Semua hartanya hasil jerih payahnya sendiri. la pedagang valuta asing. 

Istrinya, Pamela, sangat cantik. Maklum bekas Miss Australia sampai tiga kali, yaitu ketika ia berumur 13, 19, dan 21 tahun. 

Pernikahan mereka sembilan setengah tahun sebelumnya dilangsungkan besar-besaran. Mereka tinggal di sebuah rumah besar dan megah, dikelilingi taman luas. Sebagai layaknya orang kaya, Pamela tidak usah repot-repot memasak maupun merawat rumah, sebab Nigel mampu menggaji beberapa pembantu dan tukang kebun.

 

Pembantu bosan menunggu

Salah seorang pembantu rumah tangga keluarga Kearns adalah Nellie Cooper (19 tahun). Wajahnya cantik dan tubuhnya atletis.

Hari Minggu, 15 Januari 1980, Nellie malas sekali turun dari ranjangnya. Hari itu gilirannya menjaga rumah. Kedua rekan sekerjanya libur. Padahal kalau giliran libur, pagi-pagi Nellie sudah melompat turun dari ranjang, untuk pergi berenang ke pantai.

Ketika Nellie memaksa dirinya menggosok gigi dan mencuci muka, terpikir olehnya bahwa ia masih beruntung, karena mendapat libur dua hari minggu. Dua tukang kebun di rumah itu cuma bisa berlibur dua hari dalam sebulan. 

Cuma juru masak yang mendapat libur setiap minggu. Soalnya, juru masak sulit diperoleh, jadi majikan mereka tidak banyak cingcong. Para pelayan itu tinggal di puncak rumah bertingkat tiga itu.

Setelah berdandan, Nellie menuruni tangga menuju ke dapur. Di sana dibuatnya kopi dan roti bakar untuk sarapannya sendiri. Ia tidak perlu terburu-buru, sebab Ny. Kearns pasti tidak akan memanggilnya sebelum pukul 10.00. 

Majikan perempuannya bukan orang yang biasa bangun pagi-pagi. Apalagi hari Minggu. Majikan laki-lakinya sedang tidak berada di rumah.

Nigel Kearns sedang menginap di rumah kakaknya, yang juga kaya, di luar kota, ± 90 km dari Adelaide. Dia baru akan kembali hari Senin atau Selasa.

Selesai sarapan, Nellie bebenah di dapur, lalu keluyuran di dalam rumah yang besar dan megah itu. Rumah sebesar itu memerlukan banyak tenaga untuk mengurusnya, tetapi memang enak dilihat.

Pukul 10.00 Ny. Kearns belum juga mengebel untuk meminta sarapannya disiapkan dan dibawa ke kamar. Nellie jadi bosan menunggu. Tahu begini, ia tidak buru-buru bangun!

Akhirnya, ia memutuskan untuk memeriksa Ny. Kearns di kamarnya. Siapa tahu majikan perempuan tidak pulang semalam. Tetapi, Para pembantu tahu, kalau majikan perempuan mereka sering pergi meninggalkan rumah jika suaminya sudah pulas atau tidak ada di rumah. 

Nigel Kearns, yang pekerja keras itu, hampir setiap hari pulang dalam keadaan sangat lelah. Biasanya, ia lantas tertidur. Istrinya yang menganggur sepanjang hari merasa jemu. Jadi, malam hari Pamela sering pergi sendirian ke pelbagai kafe mahal atau ke pantai. Di sana ia mendapat banyak teman menarik. Semuanya muda dan pria jantan.

Nellie perlahan-lahan meniti tangga ke tingkat dua, lalu perlahan-lahan pula membuka pintu kamar majikannya untuk mengintip ke dalam. Ia yakin akan menemukan kamar kosong dengan ranjang tidak menunjukkan bekas ditiduri.

 

Yang pria bukan majikannya

Nellie keliru. la kaget setengah mati karena mendapatkan seorang wanita telanjang sedang berduaan di ranjang dengan seorang pria. Walaupun wajah wanita itu teralang sebagian oleh tubuh si pria yang menindihnya, ia yakin wanita itu Ny. Kearns. 

Namun, pria yang cuma kelihatan belakangnya itu pasti bukan Nigel Kearns. Rambut majikan prianya berwarna coklat muda, hampir hitam. Lagi pula, tubuh telanjang itu lebih besar dibandingkan dengan Nigel Kearns.

Saking terperanjat, dahi Nellie sampai terantuk ke pintu dan pintu pun menjeblak. Nellie hampir terjerembab ke dalam.

Walaupun ada kegaduhan kedua makhluk itu diam saja. Apakah mereka begitu pulasnya sampai tidak bereaksi sedikit pun? Tapi apakah mungkin orang bisa pulas dengan posisi begitu?

Nellie jadi waswas. Pasti ada yang tidak beres. Mungkin majikan dan kekasihnya mabuk, atau teler akibat obat bius. Ia harus berbuat sesuatu. Namun, kalau Nellie membangunkan majikannya yang sedang tidur dengan seorang pria yang bukan suaminya, jangan-jangan ia malah dipecat.

Karena merasa tegang dan takut, Nellie gemetar sedikit. Saat itulah ia melihat bahwa di atas alis mata kanan Pamela ada lubang kecil berwarna coklat, dikelilingi warna biru kehitaman. 

Aliran darah yang cuma berupa alur kecil, terlihat dari lubang itu ke mata, terus ke pipi, dan ke sarung bantal. Wajah Pamela tenang saja dan matanya terpejam. Kini Nellie yakin, majikan bukan sedang tidur, melainkan sudah tewas.

Saking ketakutan, pikiran Nellie menjadi kacau. Ia mengira pria itu pembunuh Pamela Kearns. Ia mundur lalu melesat ke luar. Ia kabur ke kamarnya di tingkat tiga, mengunci pintu, lalu mendorong perabot untuk mengganjal pintu dari dalam. Barulah ia bisa berpikir rasional.

Pasti pria di ranjang Ny. Kearns pun sudah tewas, pikirnya. Dengan hati-hati ia menarik perabot dari pintu, lalu perlahan-lahan keluar kamarnya. Di luar ia merasa takut lagi, sebab terpikir olehnya bahwa si pembunuh jangan-jangan masih bersembunyi di dalam rumah besar ini. 

Sambil berjingkat, ia menuju ke kamar tukang kebun. Supaya tidak mengeluarkan bunyi, ia tidak mengetuk pintu, tetapi perlahan-lahan membukanya. Ternyata kamar itu kosong. Tukang kebun pasti sudah bekerja di halaman.

Nyali Nellie menciut. Dia berada sendirian di rumah yang besar dan kosong itu, dengan dua mayat dan mungkin dengan si pembunuh. Dia ingin memberi tahu tukang kebun, tetapi berarti dia mesti melewati tangga dan ruang tengah yang luas sendirian. 

Kalaupun ia selamat menemui Patrick, si tukang kebun, pasti Patrick akan masuk memeriksa. Bagaimana kalau Patrick dibunuh juga? Ah, jangan! Nellie naksir Patrick yang tampan dan masih bujangan itu.

Nellie memutuskan untuk menelepon polisi, tetapi takut pembunuh memergokinya? Akhirnya, Nellie ingat bahwa di dapur ada telepon untuk memesan bahan makanan. 

Pintu dapur itu kokoh dan bisa dikunci. Jadi ia menyelinap ke dapur. Sesudah mengunci pintu, ia panik lagi. Bagaimana kalau si pembunuh sudah memutuskan kabel telepon?

Ternyata ketakutannya tidak beralasan. Telepon berfungsi dengan baik. Sesaat kemudian Nellie Cooper sudah berbicara dengan polisi di markas besar kepolisian di tengah Kota Adelaide.

Nellie berusaha memberi keterangan setenang mungkin. Ia memperkenalkan dirinya dan memberi tahu bahwa ada perampok masuk ke rumah Nigel Kearns. Ny. Kearns dan seorang pria tewas terbunuh. Saat itu, Nellie sedang mengunci diri di dapur. Ia memohon polisi datang secepat mungkin.

Beberapa menit kemudian sebuah mobil patroli tiba. Dua orang polisi melompat ke luar. Mula-mula mereka pergi ke dapur untuk melihat apakah Nellie baik-baik saja. Nellie meminta mereka memperlihatkan dulu lencana polisi lewat lubang kunci, sebelum membukakan pintu.

Setelah itu dengan gemetar, Nellie mengantar mereka ke kamar majikannya. Ny. Kearns dan pria yang berada bersamanya memang sudah tewas, akibat tembakan di kepala masing-masing. Tembakan tampaknya dilepaskan seseorang pada saat mereka sedang asyik bermesraan.

Kedua polisi tidak menanyakan kepada Nellie, siapa pria yang tewas itu. Mereka menganggap itu Nigel Kearns. Karena Nellie melontarkan sangkaan bahwa pembunuh mungkin masih berada di dalam rumah, salah seorang polisi menelepon dari kamar ke markas besar, untuk membenarkan laporan Nellie dan meminta rumah dikepung.

Beberapa menit kemudian, mobil patroli sudah berdatangan dari segala penjuru, tanpa menyalakan sirene ataupun lampu. Tak lama sesudah itu polisi memeriksa rumah dengan saksama.

Inspektur detektif dari Departemen Penyidikan Kejahatan pun ikut datang membawa seorang sersan detektif. Maklum yang mengalami musibah adalah Nigel Kearns, orang paling beken di Adelaide. 

Ketika inspektur tiba, didapatinya penjagaan di rumah itu begitu ketat, sehingga seekor tikus pun tak bakal lolos. 

Rumah diperiksa mulai dari langit-langit sampai ruang bawah tanah, tanpa mereka menjumpai si pembunuh. Tidak pula ada tanda-tanda perampokan.

 

Tidak terdengar tembakan

Begitu memasuki kamar 1 Ny. Kearns, inspektur berseru, "Ini 'kan bukan Nigel Kearns!"

Sersan detektif mengitari ranjang untuk bisa melihat wajah pria yang tewas itu.

"Betul! Bukan Nigel Kearns!" katanya. "Nigel Kearns 'kan fotonya sering kita lihat di koran. Tapi wanita ini memang istrinya. Tak ada orang di Australia yang tidak mengenalinya."

Seperti halnya dengan inspektur, sersan itu segera mengerti mengapa tidak dijumpai perampok dan tanda-tanda perampokan. Kemungkinan besar Ny. Kearns dan kekasihnya itu dibunuh Nigel Kearns.

"Kearns orang pandai. la juga bisa membayar pengacara paling hebat. Kita harus berhati-hati menangani kasus ini," pesan inspektur kepada anak buahnya.

Kalau benar pembunuh mereka Nigel Kearns, berarti ia masuk pada saat kedua korbannya sedang berhubungan intim. Ia menembak kepala mereka, lalu keluar lagi dan menutup pintu. Namun di gerendel pintu tidak ditemukan sidik jarinya. Ada tanda-tanda samar, bahwa pintu itu pernah dibuka seseorang yang memakai sarung tangan.

Sebaliknya, di kamar dijumpai banyak sidik jari Nigel Kearns. Sebetulnya lumrah saja, sebab itu 'kan kamar istrinya sendiri. Malah aneh, kalau sidik jarinya tidak ditemukan di sana.

Para teknisi memeriksa kamar dan dokter memeriksa kedua mayat Sementara itu inspektur dan sersan detektif menanyai Nellie dan Patrick.

Keterangan Nellie panjang lebar. Keterangan Patrick sebaliknya, sangat singkat. Ia bangun pagi seperti biasa dan bekerja di kebun seperti biasa pula. Ia tidak tahu ada orang dibunuh di dalam rumah. Ia juga tidak terbiasa melongok-longok ke dalam kamar majikan perempuannya sebelum pergi bekerja.

Keduanya mengaku tidak mendengar suara tembakan atau bunyi-bunyi yang mencurigakan semalam, walaupun keduanya ada di kamar masing-masing. Ketika polisi mengadakan percobaan dengan menembakkan pistol kaliber .38 di dalam kamar Ny. Kearns ternyata bunyinya memang tidak cukup nyaring untuk membangunkan orang yang sedang terlelap di tingkat tiga.

Peluru pistol kaliber .38-lah yang diperkirakan mencabut nyawa dua sejoli itu, walaupun untuk memastikannya, peluru perlu dikeluarkan dulu dari otak mayat. Namun, itu baru akan dikerjakan di ruang autopsi.

Dokter menduga, si pembunuh menunggu di luar pintu dan masuk pada saat Ny. Kearns dan pasangannya lengah. Dokter itu pun segera mengenali bahwa pria yang tewas itu bukan Nigel Kearns.

Tidak sulit untuk mengetahui identitas pria yang tewas bersama Pamela Kearns, sebab SIM dan kertas-kertas identifikasi lainnya terdapat dalam dompetnya. Namanya Kenneth Craig, berumur 29 tahun. la karyawan sebuah perusahaan asuransi.

Seorang polisi diutus untuk memberi tahu orang tua Craig perihal musibah yang menimpa anaknya, sambil meminta salah seorang dari mereka untuk mengidentifikasi mayat di ruang penyimpanan mayat. Polisi juga menanyai kalau-kalau mereka tahu mengenai hubungan Kenneth Craig dengan Ny. Kearns.

Tiga detektif lain menemani sersan detektif ke rumah kakak Nigel Kearns, Ronald. Mereka bertugas membawa Nigel ke markas besar polisi, sebab Nigel memiliki motif dan kesempatan yang cukup untuk membunuh istrinya yang serong. Inspektur berpesan agar mereka bersikap sangat sopan, sebab Nigel orang berpengaruh.

 

Tidak ke mana-mana

Sementara itu inspektur menanyai Ronald Kearns (39) dan istrinya, Sheila (36). Ronald Kearns memiliki rumah besar di luar kota, yang dikelilingi kebun luas. Suami-istri ini membenarkan bahwa Nigel menginap di rumah mereka pada hari Sabtu. 

Tidak mungkin Nigel menyelinap pergi pada malam hari, kata mereka. Soalnya, semua mobil berada dalam garasi yang terkunci. Satu-satunya yang berada di luar adalah mobil sport milik Sheila. Mobil itu diparkir tepat di bawah jendela kamar Sheila. Kalau Nigel memakainya, pasti ia tahu karena mobil sport itu mengeluarkan suara bising apabila dihidupkan.

Sementara itu autopsi sudah selesai dilakukan. Peluru yang menewaskan kedua korban ditembakkan dari pistol berkaliber .38. Departemen balistik menyatakan pistol itu tidak terdaftar.

Menurut dokter, Kenneth Craig dan Pamela Kearns meninggal hampir berbarengan antara pukul 01.15 dan 01.30 hari Minggu, tanggal 15 Januari 1980. Padahal menurut keterangan Ronald dan Sheila Kearns secara terpisah, mereka mengobrol dengan Nigel sampai kira-kira tengah malam.

Kalau setelah itu Nigel meninggalkan rumah kakaknya, berarti ia harus ngebut sekeras-kerasnya dengan mobil, supaya pada pukul 01.15 bisa berada di rumahnya sendiri. 

Menurut kakak dan kakak iparnya, mereka masih melek beberapa waktu setelah berpisah dengan Nigel, tetapi tidak mendengar bunyi mobil -meninggalkan rumah. Mereka bersedia memberi keterangan di bawah sumpah.

Mungkinkah mereka berbohong karena ingin melindungi Nigel?

"Aku sangsi mereka berbohong," kata inspektur. "Mereka ditanyai secara terpisah dan memberi keterangan yang sama. Kalau keterangan mereka tidak benar, pasti sudah direncanakan terlebih dahulu. 

Namun mereka orang-orang terhormat, bukan jenis orang yang bisa berbohong seperti itu, walaupun untuk melindungi saudaranya. Lagi pula aku sudah sering menanyai orang dan rasanya aku bisa membedakan mana keterangan palsu dan mana yang benar."

Ronald dan Sheila Kearns yakin bukan Nigel yang membunuh korban. Mereka lega ketika mengetahui bahwa hampir tidak mungkin Nigel melakukannya.

Polisi menyelidiki dengan saksama teman-teman sepergaulan Pamela dan mendapat keterangan bahwa Pamela sudah hampir lima tahun tidak setia kepada suaminya. Berarti Nigel memang mempunyai motif kuat untuk membunuhnya.

Ketika menikah, banyak orang menganggap Nigel dan Pamela pasangan impian. Keduanya sama-sama muda, yang satu kaya, yang lain cantik. Mereka pertama kali bertemu bulan Maret 1970. Saat itu Pamela sedang di puncak kariernya sebagai wanita tercantik di Australia. Sedangkan Nigel sudah menjadi pria terkaya di Adelaide.

Walaupun cantik, pergaulan Pamela dengan lawan jenis sangat terbatas. Secara terbuka ia menyatakan tidak mau berpacaran, kecuali dengan orang kaya yang sungguh-sungguh berniat menikahinya.

Nigel pun bukanlah pria yang suka berpacaran. Ia selalu sibuk mengejar duit. Ia tertarik kepada Pamela, mungkin karena Pamela itu terkenal seperti dia. 

Memperoleh Pamela berarti menambah suksesnya, karena berhasil merebut sesuatu yang didambakan banyak orang lain. Seperti layaknya pengusaha yang tidak mau bertele-tele dan membuang waktu, perkenalan mereka pun berjalan singkat saja. 

Mereka bertemu bulan Maret, bulan Mei bertunangan resmi, dan bulan Juli menikah. Pernikahan mereka termasuk yang paling mengesankan di Adelaide pada tahun 1970.

Seperti layaknya orang kaya, mereka mesti berbulan madu. Hal itu dilaksanakan. Seperti layaknya orang kaya, mereka mesti tinggal di rumah besar berhalaman luas. Itu pun dilaksanakan. Nigel bukan cuma menyediakan rumah untuk istrinya, tetapi juga sejumlah pelayan dan uang yang tidak terbatas.

Setelah itu, Nigel kembali memburu uang. Orang menganggap Nigel mencintai istrinya, karena apa pun yang diinginkan istrinya, pasti dibelikan. Nigel memang mencintai Pamela, tetapi ada yang lebih dicintainya lagi, yaitu uang. Atau lebih tepat: proses memperoleh uang.

Hampir seluruh waktunya dipakai untuk uang. Kemesraan tidak kebagian. Sepulang bekerja keras, ia cuma sempat makan malam lalu tidur kelelahan sampai pagi. Dalam waktu lima tahun saja pernikahan mereka sudah hambar. Mulai waktu itulah Pamela mempunyai kekasih. Polisi tidak berhasil menemukan pria lain dalam hidup Pamela sebelum waktu itu.

 

Mau bunuh-bunuhan

Polisi berhasil menemui pacar Ny. Kearns. Kabarnya mereka bertemu pertama kali di pantai. Saat itu, si pria baru berumur 25 tahun. Ia tampan dan pirang. Pamela begitu rindu kemesraan, sampai pada hari itu juga menjalin hubungan asmara. 

Ketika si pria mengetahui bahwa Pamela istri orang terkaya di Adelaide, ia begitu bangga, sampai tidak pernah melupakan hubungan mereka.

Padahal hubungan itu singkat saja, karena Pamela lekas bosan. Ia pun berganti-ganti pacar. Selama lima tahun terakhir, Ny. Kearns diketahui pernah tidur dengan belasan pria intim lain. 

Kebanyakan muda dan berasal dari keluarga baik-baik. Sebagian mempunyai pekerjaan tetap, sebagian lagi tidak perlu bekerja. Kalau bekerja, biasanya mereka menduduki jabatan lumayan. Pamela tidak mau bergaul dengan orang sembarangan.

Semua hubungan berlangsung singkat, kecuali dengan Kenneth Craig. Diketahui mereka sudah bergaul sejak Agustus tahun sebelumnya, berarti sudah empat bulan. Tampaknya Craig menganggap hubungan mereka serius.

Sebenarnya, sebelum Craig muncul dalam hidup Pamela, pernah juga ada beberapa pria yang menganggap hubungannya dengan Pamela serius. Contohnya, Bill Rood (28) dan Tom Drysdale (26). Hampir saja mereka tewas gebuk-gebukan memperebutkan Ny. Kearns. 

Keduanya kaya dan ingin Pamela menceraikan Kearns untuk menikah dengan mereka. Mereka saling tuduh sebagai lawan dalam merebut Pamela. Penelitian polisi tidak bisa menunjukkan siapa di antara mereka yang lebih dulu menjadi pacar Ny. Kearns. Mungkin Pamela memacari mereka pada saat bersamaan.

Kedua orang itu diperiksa dengan saksama, tetapi tidak ditahan, karena tidak ada bukti untuk menahan mereka. Lagi pula siapa yang mesti ditahan? Tak mungkin mereka ditahan, sebab walaupun keduanya memiliki motif yang sama, pembunuhan atas Pamela Kearns dan Kenneth Craig jelas dilakukan hanya oleh satu orang.

Melihat sejarah perpacaran Pamela selama lima tahun terakhir, Kenneth Craig memang menduduki tempat istimewa. la bertahan empat bulan dan satu-satunya pacar yang dibawa menginap ke rumah.

Hal itu baru terungkap ketika polisi mewawancarai sahabat Pamela, Martha Decker (30). Menurut orang kepercayaan Pamela ini, Craig mendapat tempat khusus dalam hati Pamela. 

Untuk pertama kalinya Pamela terlibat hubungan emosional dengan pria intimnya. Craig ingin Pamela meminta cerai dari Kearns, agar bisa menikah dengannya, tetapi Pamela masih berat melepaskan uang Kearns.

Pamela ingin Kearns menceraikannya, supaya ia mendapat banyak uang pisah. Jadi, ia sengaja bersikap mencolok dalam hubungannya dengan Craig. Bahkan, diajak bermesraan di rumahnya segala.

Nigel, kata Martha, mengetahui hubungan istrinya dengan Craig sejak November tahun sebelumnya. Keterangan ini mengembalikan Nigel Kearns ke tempat semula, yaitu sebagai tersangka nomor satu. Namun, apa daya, alibi Kearns ketat sekali.

 

Gara-gara didenda

Tampaknya perkara itu akan terkatung-katung, kalau saja markas besar polisi tidak didatangi seorang wanita yang marah-marah karena merasa dituduh melakukan perbuatan yang tidak dilakukannya.

Pada tanggal 21 Januari 1980, Ny. Sheila Kearns menerima surat panggilan untuk membayar denda karena mobilnya ngebut melewati batas kecepatan yang diperbolehkan. 

Buktinya berupa foto yang dibuat oleh radar kontrol. Di tempat di mana orang cuma boleh mengendarai mobil sampai 50 km/jam di luar kota Adelaide, ia dinyatakan ngebut sampai hampir 150 km/jam.

Sheila Kearns menyatakan ia tidak pernah ngebut secepat itu. Lagi pula, pada saat kejadian, ia sedang tidur nyenyak di rumahnya, 90 km dari tempat pelanggaran.

Ia menuduh alat pencatat pelanggaran yang dipakai polisi rusak, sehingga menghasilkan kekeliruan besar.

Polisi pun mengecek alat itu. Ternyata tidak rusak. Nomor polisi mobil yang terpotret sedang ngebut itu tertera dengan jelas, yaitu mobil Ny. Sheila Kearns. Jadi bagaimanapun, ia mesti membayar denda. Walaupun masih penasaran ia membayar juga.

Karena menganggap hal itu aneh, departemen lalu lintas mengirimkan laporan ke departemen kejahatan. Sebenarnya, kalau pembunuhan atas Pamela Kearns sudah tidak diingat jelas lagi, mungkin perkara ini luput dari pengamatan polisi. Namun, peristiwa pembunuhan itu baru lewat seminggu. Polisi segera menyadari saat pelanggaran lalu lintas terjadi, bertepatan dengan saat pembunuhan atas Pamela Kearns. Begitu membaca laporan, inspektur lantas tahu bahwa kasus pembunuhan itu sudah terpecahkan.

Ternyata pada tanggal 15 Januari itu, tanpa sepengetahuan kakak dan kakak iparnya, Nigel memakai mobil sport iparnya. Ia ngebut secepat mungkin ke rumahnya. Setelah membunuh istri dan pacar istrinya, ia kembali ke rumah kakaknya. Kalau saja radar kontrol tidak memotretnya, pasti ia lolos dari jangkauan hukum.

Ketika dihadapkan pada bukti-bukti itu, Kearns mengaku dan menjelaskan. Ia tahu istrinya tidak setia. Ia juga tahu rencana istrinya untuk memanas-manasi dia, agar diceraikan dan diberi uang pisah yang besar. Jadi ia merencanakan pembunuhan. Untuk memperoleh alibi, ia menginap di rumah kakaknya.

Begitu kakak dan kakak iparnya masuk ke kamar, ia menyelinap ke luar rumah. Mobil sport kakak iparnya ia gelindingkan dengan mesin mati, sampai cukup jauh. 

Kebetulan jalan agak menurun. Setelah jauh, barulah mesin dihidupkannya, sehingga kakak dan kakak iparnya tidak mendengar ia pergi.

Ia ngebut sekencang-kencangnya ke rumahnya. Tepat seperti dugaannya, istrinya berada di kamar tidur bersama Kenneth Craig. Ia menunggu sampai mereka lengah, lalu masuk dan menembak mereka. 

Berdasarkan pengakuan itu, disimpulkan bahwa Nigel Kearns melakukan pembunuhan ganda yang direncanakan lebih dahulu. 

Namun pengacaranya mengemukakan bahwa berat sekali bagi seorang pria, mengetahui istrinya serong pada saat ia sedang bekerja. Selain itu, istrinya juga berusaha mengeduk uang dari si suami, agar bisa hidup sama mewahnya dengan suami baru.

Pada tanggal 8 Januari 1982, Nigel Kearns dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

(John Dunning)

" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123169/pacarnya-belasan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643748794000) } } [3]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123168" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-05-fira-20220201084258.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "John Dunning" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9359) ["email"]=> string(19) "intiplus-4@mail.com" } } ["description"]=> string(72) "Tiga wanita lanjut usia harus meregang nyawa di tangan orang terdekatnya" ["section"]=> object(stdClass)#88 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-05-fira-20220201084258.jpg" ["title"]=> string(21) "Firasat Seekor Anjing" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:53:07" ["content"]=> string(23085) "

Intisari Plus - Seperti biasa setiap hari kerja, Robert Farouelle (46) meninggalkan rumahnya sebelum pukul 07.30. la ditemani anjingnya, si Luki. Walaupun cuma anjing geladak, Luki piaraan yang menyenangkan. 

Hari Kamis, 2 Oktober 1986, cuaca sangat bagus. Kalau saja bukan hari kerja, Farouelle sangat ingin berjalan-jalan. Apalagi kawasan timur laut Prancis yang berpenduduk sekitar 100.000 jiwa itu memang lebih cocok untuk tempat bertamasya daripada tempat bekerja.

 

Luki mogok masuk  

Setiap pagi, dalam perjalanan ke tempat kerja Farouelle menitipkan anjingnya ke flat mertuanya,  Lucienne Grandjean (79), yang tinggal di 9 rue Giorne - Viard. Letaknya cuma berseling dua jalan dan rumah Farouelle di 9 Cours Albert Premier.  

Luki dititipkan karena Micheline, istri Farouelle, juga bekerja. Putra mereka, Paul (22), menjadi mahasiswa di Paris dan Thierry (21), sedang mencari pekerjaan. Daripada waktu ditinggal sendirian di rumah,lebih baik Luki dititipkan pada Ny. Grandjean. 

Kebetulan Luki sangat senang kepada mertua Farouelle. Ny.Grandjean memang penyayang binatang. Sejak menjanda tahun 1953, ia melimpahkan kasih sayang kepada anjing dan kucing terlantar, serta kepada kedua cucunya, Paul serta Thierry. Juga kepada anak-anak TK tempatnya bekerja paruh waktu sebagai tukang pel.  

Farouelle heran, karena Luki tiba-tiba berhenti di muka pintu rumah Ny.Grandjean dan tidak mau maju lagi walaupun diseret-seret. Biasanya anjing ini selalu bersemangat untuk cepat-cepat menemui Ny. Grandjean. 

Sekali ini Luki malah mengangkat kepalanya dan melolong-lolong. Farouelle penyayang binatang. Namun ia harus buru-buru ke kantor. Karena tidak sabar menghadapi tingkah Luki, diangkatnya anjing itu dari tanah. Sambil menggendong binatang itu ia menaiki tangga muka di pintu bangunan bertingkat dua itu. 

Luki berontak sekeras-kerasnya sampai terlepas dari pegangan majikannya. Ia lalu kabur kembali ke rumah keluarga tuannya.  

Robert Farouelle tercengang dan juga was-was. Ia coba membuka pintu. Terkunci.

"Lucienne!" panggilnya sambil menggedor pintu. "Anda tidak apa-apa?" 

Mertuanya tidak menjawab. Farouelle bertambah khawatir. Lucienne Grandjean sehat walafiat, walaupun umurnya diambang 80 tahun. Tapi siapa tahu wanita itu mendapat serangan jantung?  

 

Diduga orang gila

Cepat-cepat Farouell kembali ke rumahnya, mengambil duplikat kunci-kunci kediaman mertuanya. Luki sudah ada di rumah. Anjing itu bersembunyi di kolong tangga, tempatnya berlindung kalau sedang ketakutan. 

Farouelle tidak mempunyai waktu lagi untuk memperhatikan Luki. Ia bergegas kembali ke rue Giorne - Viard. Pintu dibukanya. Di lorong depan tidak ada apa-apa. Namun, begitu masuk ke ruang duduk, lututnya terasa bergetar. 

Ada tiga mayat bergelimpangan. Semua wanita. Rok mereka tersingkap dan pakaian dalam mereka robek. Bagian bawah perut mereka berdarah. Leher mereka digorok. 

Percikan darah bukan cuma menodai pakaian, melainkan juga karpet, dinding, dan meja-kursi. Wajah mereka bengkak dan rusak. Namun, ia yakin salah satu pasti mertuanya. Ia tak tahu siapa yang dua lagi.

Baru beberapa saat kemudian ia mampu mengangkat kakinya untuk bergegas meninggalkan tempat itu dengan ketakutan. Ia bukan takut pada pembunuh, melainkan ngeri melihat kenyataan yang di luar batas peri kemanusiaan. Pantas Luki ketakutan! Rupanya anjing itu segera menyadari kejadian di balik dinding. 

Robert Farouelle berjalan sempoyongan ke rumahnya. Rasanya ingin ia ikut berlindung ke kolong seperti Luki. Namun karena ia manusia, bukan anjing, ia memanggil polisi.

Polisi sama shock-nya dengan Farouelle. Nancy bukanlah kota yang sering dilanda kejahatan dengan kekerasan. Pembunuhan keji terhadap tiga wanita lanjut usia belum pernah terjadi dalam sejarah
departemen penyidikan pembunuhan di kota itu.

Dr. Marcel Loup, seorang ahli ilmu kedokteran forensic yang masih muda, baru pernah membaca kasus seperti itu di buku-buku teks.

"Pembunuhnya orang sakit jiwa paling buas," katanya. "Sadis dan mengidap kelainan seksual. Mungkin ia baru . melarikan diri dari rumah perawatan penderita penyakit jiwa."

Inspektur Charles Lebeau memerintahkan anak buahnya, Sersan Detektif Francois Mocky, mencari tahu kalau-kalau ada penderita penyakit jiwa seperti itu melarikan diri dari rumah perawatan.

"Di seluruh Prancis Timur?" tanya Sersan Mocky yang sedang merangkak di lantai untuk memeriksa kalau-kalau pembunuh meninggalkan jejak.

"Di seluruh Prancis!" jawab atasannya. "Soalnya, orang itu bukan cuma membunuh, tetapi juga memperkosa dan merampok!" Kotak tempat uang Ny. Grandjean memang ditemukan tergeletak di lantai dalam keadaan kosong. 

 

Pisaunya sampai bengkok

Hasil autopsi menunjukkan bahwa ketiga korban tidak diperkosa, walaupun organnya disakiti.  aat kematian diperkirakan pukul 21.00 dan 21.30 Rabu malam. Diperkirakan ketiganya pingsan akibat pukulan-pukulan di kepala. Penggorokan dan perusakan organ seksual dilakukan setelah mereka tak sadar. Tak seorang pun dari korban sadarkan diri lagi setelah itu.

Kadar adrenalin dalam darah Ny. Grandjean normal, sedangkan dalam darah kedua korban lain tinggi. Ini bias diartikan bahwa Ny. Grandjean tidak menyadari bahaya. Mungkin ia korban pertama. Kedua temannya mungkin menyaksikan pembunuhan atas mertua Robert Farouelle itu. Keduanya  ternyata Odette Gatinot (61) dan Michelle Gatinot (57).

Leher ketiga korban hampir putus. Ny. Grandjean menderita 17 luka, Odette 11 luka, dan Michelle 14 luka.

Senjata untuk melukai mereka ditemukan masih menancap di tubuh Odette, yaitu sebilah pisau daging.

Odette Gatinot, pemilik toko sayur-mayur di jalan berdekatan, yaitu di rue de la Colline. Adiknya, Michele, guru sejarah dan ilmu bumi di Lyceé Chopin. Mereka tinggal di flat yang berada di atas kediaman Ny. Grandjean.

Pisau daging itu dikenali oleh Robert Farouelle sebagai milik mertuanya. Berarti pembunuh datang tanpa alat pembunuhan. Mungkin juga ia tidak berniat membunuh.

"Orang itu mungkin sakit jiwa, mungkin di bawah pengaruh obat bius," kata dokter keesokan harinya. "Atau mungkin cuma mabuk. Pisau ini sampai bengkok. Untuk mencabutnya, rusuk Nona Odette Gatinot mesti saya gergaji."

"Saya malah mengira pembunuh ini berkepala dingin," jawab Sersan Mocky. "Soalnya, semua barang berharga dari kediaman Ny. Grandjean dikuras bersih."

Inspektur berpendapat, pembunuh mestinya remaja yang ketagihan obat bius. "Saat ini rata-rata seminggu sekali ada orang lanjut usia dibunuh di Timur Laut ini. Umumnya pembunuhnya remaja yang kecanduan obat bius. Bedanya dengan kasus yang kita hadapi adalah jumlah korbannya tiga dan tingkat kekejamannya luar biasa."

"Mungkin ia terpaksa membunuh tiga orang. Ia datang untuk merampok Ny. Grandjean, tapi Gatinot bersaudara mendengar suara ribut-ribut sehingga turun ke bawah. Pembunuh merasa tiga saksi mata terlalu berbahaya. Mereka bisa mengenali dia. Jadi dia membunuh mereka," kata Sersan Mocky.

"Masuk akal," jawab Inspektur. "Kau bilang tadi tak ada penderita sakit jiwa yang kabur."

"Tidak ada selama enam bulan terakhir ini. Kini saya sedang meminta daftar pecandu obat bius yang pernah melakukan tindak kekerasan."

 

Mandi dulu baru pergi

Ternyata daftar itu panjang. Pengangguran sedang tinggi di Prancis.Begitu pula jumlah penganguran muda yang kecanduan obat bius. Menganggur dan obat bius merupakan kombinasi berbahaya, sebab obat bius memerlukan banyak uang sedangkan penganggur memiliki sedikit uang.

Kebanyakan pecandu muda tidak merampok bank dsb. melainkan menodong wanita tua. "Mungkin pembunuh datang tanpa bermaksud membunuh. Ia menemukan situasi yang tak dapat dikendalikannya. Tapi anehnya, mengapa nenek itu membiarkan seseorang masuk ke tempat tinggalnya pukul 21.00?" kata Inspektur.

"Kami sudah berbicara dengan para tetangga. Kata mereka, Ny. Grandjean akan menerima siapa saja dengan tangan terbuka. Seumur hidup ia tinggal di sana dan merasa aman di situ. Ia sangat percaya pada orang-orang muda."

"Kepercayaan yang harus dibayar mahal," komentar Inspektur. 

Saat itu polisi belum berhasil menemukan orang-orang yang patut ditahan. Mereka mempunyai sangkaan terhadap lima orang dan mencoba menemukan saksi yang memergoki salah seorang dari tersangka di sekitar tempat itu pada malam pembunuhan.

Bagian sidik jari pun belum menemukan petunjuk berguna. Para detektif melacak gerak-gerik para tersangka. Mereka yang memiliki alibi kuat bisa dikesampingkan dan yang tidak kuat diselidiki dengan saksama. 

Sebelas sidik jari ditemukan di tempat kejadian, tapi tak satu pun dianggap ada hubungannya dengan kasus pembunuhan ini. Semuanya sidik jari anggota keluarga. Di kotak tempat Ny. Grandjean menyimpan tabungan tak ditemukan sidik jari siapa pun. 

"Pembunuh itu melakukan pembunuhan dengan pura-pura beralasan seks, padahal sesungguhnya ia merampok. Berarti ia cukup cerdik dan tidak akan meninggalkan sidik jarinya di kaleng tabungan," kata Inspektur. 

Para teknisi kepolisian menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pembunuh tidak langsung pergi setelah membongkar kaleng tabungan, tetapi berada cukup lama di tempat kejadian. 

Handuk di kamar mandi bernoda darah. Pipa pembuangan air dari kamar mandi juga mengandung cukup banyak darah. Rupanya pembunuh mengobrak-abrik isi rumah, lalu mandi dulu sebelum meninggalkan tempat itu. Soalnya, ada noda darah di lemari, dan sebagainya. 

"Ia mandi," kata Inspektur. "Tapi bagaimana pakaiannya? Pasti basah oleh darah. Tak mungkin ia pergi ke jalan dengan pakaian seperti itu. Pasti orang-orang yang bertemu dengannya akan melihat noda-noda di pakaiannya."

"Mungkin ia mengambil pakaian cucu korban," kata Sersan. "Di salah sebuah lemari ada pakaian laki-laki. Kata Farouelle, mertuanya biasa mencucikan pakaian cucunya, Thierry."

"Tanyakan pada Thierry apakah pakaiannya ada yang hilang. Kalau ada, kita bisa mendapat gambaran perihal perawakannya." 

Thierry datang memeriksa pakaiannya. "Tak ada yang hilang," katanya. 

 

Beni El Daba

Polisi menemu jalan buntu. Suatu hari Inspektur memanggil semua anak buahnya yang menangani kasus ini. 

"Yang kita ketahui sampai saat ini adalah tanggal 1 Oktober malam, Ny. Grandjean membiarkan seorang pria masuk ke tempat tinggalnya. Ia mungkin kenal pada orang itu. Atau ia mempunyai alasan kuat untuk membiarkan orang itu masuk. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pembunuh masuk dengan kekerasan." 

"Pria itu meninju wajah Ny. Grandjean dengan keras berulang-ulang. Korbannya segera pingsan, sebab autopsi tak menemukan memar tanda perlawanan di tangan maupun lengannya." 

"Tak diketahui, saat itu kakak-beradik Gatinot menyaksikan atau tidak. Mungkin mereka baru turun kemudian dari flat mereka, yaitu ketika mendengar ribut-ribut. Yang jelas mereka pun segera ditinju sampai pingsan."

"Pria itu mengambil pisau dari dapur, lalu membantai dan menikam ketiga wanita itu. la juga mengatur agar ketiganya tampak sebagai korban perkosaan." 

Saat itu kepala laboratorium polisi menyela. "Pak, orang itu datang tanpa membawa senjata. Tampaknya ia tidak bersiap-siap membunuh. Mengapa ia membawa pakaian untuk ganti?" 

"Betul!" jawab Inspektur. "Ada beberapa hal lain yang tidak konsisten. Menggorok leher tiga wanita lanjut usia dan merusak organ seksual bukanlah tindakan normal. Tapi caranya menguras isi flat sangat sistematis. Ia juga menjalankan langkah-langkah efektif dan rasional untuk menyembunyikan identitas dan motif kejahatannya." 

"Ada kasus yang mirip di Strasbourg tahun lalu," kata seorang detektif senior. 

"Remaja yang minum macam-macam obat bius tiba-tiba bisa berubah kepribadiannya. Ia bisa sangat rasional, lalu semenit kemudian berubah menjadi gila dan ganas. Ia masuk ke rumah seorang wanita tua dengan maksud merampok. 

Lalu tiba-tiba ia jadi ganas dan hampir membunuh korbannya. Setelah waras kembali ia berusaha menutupi perbuatannya. Untung saja ia grogi ketika diinterogasi. Kalau tidak, ia lolos dari jangkauan hukum." 

"Korbannya lolos dari maut?" 

"Ya,tapi tak mampu mengenali penyerangnya." 

Inspektur menyela, "Tak mungkin orang itu pembunuh Ny. Grandjean dkk. Soalnya, pasti ia masih meringkuk di penjara." 

"Perlu dicek dulu, apa betul ia masih dipenjara," kata Dr. Loup. 

"Cek, Francois!" perintah Inspektur kepada Sersan Mocky. 

"Siapa nama remaja itu?" tanya Sersan Mocky. 

"Beni El Daba," jawab detektif yang tadi bercerita. "Orang Aljazair." 

Sersan Mocky segera menelepon ke Penjara Stras bourg. "Beni El Daba sudah keluar dari penjara," begitu jawaban yang diterimanya. la bisa keluar berkat jasa seorang hakim yang sangat bersimpati kepada pemuda asing yang miskin dan kecanduan obat bius itu.Di mana Beni El Daba sekarang? Tak seorang pun tahu. 

 

Telepon gelap

Beni El Daba dicari. Strasbourg cuma ±150 km dari Nancy. Dari berkas di kantor polisi Strasbourg diketahui El Daba tak kenal wanita yang hampir dibunuhnya. Namun, ia mengaku kepada polisi, wanita itu neneknya! 

Ada polisi yang ingat bahwa sehari setelah pembunuhan atas Ny. Grandjean dkk., polisi menerima telepon gelap dari seorang berlogat asing. Orang itu berkata, wanita yang dibunuh itu neneknya. 

Rekaman pembicaraan telepon itu diputar kembali. Keterangan orang itu cuma singkat saja: "Nenek saya dibunuh. Saya duga ...ada orang membunuh nenek saya ... Tapi bukan saya ... De rue Giodi rue General de Gaulle ...." 

"Tak ada Jl. Jenderal de Gaulle di Nancy," kata Inspektur. "Yang ada Place General de Gaulle." 

"Sudah diperiksa, Pak," lapor Sersan Mocky. "Tak ada apa-apa." 

"Kau dengar 'kan tadi, dia bilang rue Gio ... Dia mau bilang rue Giorne – Viard tuh! 

Tapi buru-buru dia ganti jadi General."

Segera saja nama Beni El Daba menempati peringkat teratas daftar orang-orang yang dicurigai. 

"Tapi walaupun suaranya seperti orang asing, kok logatnya bagus," kata seorang detektif. 

"Kata polisi Strasbourg, kalau sedang tenang, bahasa Prancis El Daba relatif bagus. Tapi kalau sedang menggebugebu atau senewen, logat Aljazairnya lantas berubah medok," ujar Mocky. 

"Lo, orang yang menelepon ini kentara sedang senewen," kata detektif itu pula. 

Namun El Daba tetap dianggap paling patut dicurigai. Kini karena ia mempunyai banyak uang, tentu ia membeli banyak obat bius. Ia dicari lewat para informan di bidang obat bius. Ternyata Beni El Daba tak ditemukan. Tak didapati pula orang-orang yang mirip dengannya. 

Karena kakak-beradik Gatinot cuma korban sampingan, polisi menganggap sebaiknya penyidikan dilakukan sekitar kematian Ny. Grandjean. 

Polisi kini sangsi pembunuhnya pria. Bukankah tidak ditemukan cairan mani di tempat kejahatan? 

"Selidiki kenalan dan keluarganya, yang laki-laki maupun wanita," perintah Inspektur. Segera anggota keluarga dan kenalan wanitanya bisa dikesampingkan, sebab mereka memiliki alibi kuat. 

"Lagi pula, mana kuat wanita meninju wajah korban-korbannya sekeras itu," kata Sersan Mocky. 

Diketahui Ny. Grandjean memiliki dua orang putri: Jeannie dan Micheline. Suami Jeannie maupun Farouelle (suami Micheline) diketahui punya alibi yang tidak bisa disangsikan. Begitu pula keponakan laki-lakinya dan empat sepupu Ny. Grandjean. 

"Tinggal kedua cucunya, dong," kata Inspektur. "Bukan cucunya, Pak. Cucu angkat," kata Sersan Mocky mengingatkan. "'Kan Jeannie maupun Micheline tidak mempunyai anak." 

"Si Paul sih saat itu ada di universitas, 300 km dari sini." 

"Jadi si Thierry itu pembunuhnya, ya?" Sersan Mocky kelihatan kikuk. "Dia memang satu-satunya yang mungkin, Pak." 

"Kenapa kamu kikuk?" 

"Soalnya, ia tidak cocok menjalankan kejahatan seperti ini, Pak. Ia tidak kecanduan obat bius maupun peminum. Memang di sekolah ia tak sepandai kakaknya, tapi waktu berdinas militer ia diangkat menjadi kopral. 

Setelah selesai dinas militer ia menjadi satpam, tapi dipecat gara-gara memiliki pistol tanpa surat izin. Kini ia sedang mencari pekerjaan. Kegiatannya antara lain main kartu di tempat minum Chez Jean." 

"Dengan taruhan uang?" "Ya, berjudi. Ia bukan penjudi ulung. Mana bisa menang melawan The Coco Girls." 

"Apa tuh The Coco Girls?" "Itu, Pak, empat gadis muda dan seksi yang populer garagara muncul di TV. Tapi di TV sih mereka tidak disebut-sebut sebagai penjudi." 

"Coba kau usut dengan saksama." 

"Sudah, Pak! Ia tak punya uang sedikit pun tanggal 1 Oktober, tapi tanggal 2Oktober ia membayar semua utang judinya." Gerak-gerik Thierry diikuti dengan cermat.

 

Cincin pertunangan

Lima hari kemudian, detektif yang ditugaskan, berjudi dengan Thierry Farouelle melaporkan bahwa pemuda itu mulai berutang. Keesokan harinya ia menawarkan sebuah cincin intan kepada peramu minuman di bar. Detektif yang mengamatinya sudah siap. Ia tertangkap basah. Cincin itu cincin pertunangan Ny. Grandjean. 

Thierry Farouelle menyangkal keras. Ia menyatakan cincin itu hadiah dari neneknya. Laboratorium polisi menemukan bekas darah manusia di cincin itu, sedangkan buku-buku jari Thierry memperlihatkan bekas-bekas luka akibat meninju keras-keras. 

Akhirnya, ia mengaku juga. Katanya, ia ingin meminjam uang 1.000 frank kepada neneknya untuk berjudi. Biasanya neneknya memberi, karena ia tidak pernah memberi tahu uang itu untuk judi. 

Sekali ini Ny.Grandjean menolak. Thierry lantas meninju neneknya sampai pingsan. Ketika sedang mengobrak-abrik lemari neneknya, kakak-beradik Gatinot datang karena mendengar ribut-ribut. Mereka kenal Thierry. Jadi Thierry membunuh ketiga wanita itu. 

Di depan hakim Thierry bersikap kasar. Ia bahkan mencoba menyerang para pejabat pengadilan, para wartawan, dan para saksi. Sikap itu merugikannya di mata juri. Tanggal 24Juli 1987 pengadilan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepadanya. 

Tidak diketahui siapa penelepon gelap yang diperkirakan orang asing itu. Beni El Daba pun tak diketahui rimbanya. 

(John Dunning) 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123168/firasat-seekor-anjing" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643748787000) } } [4]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123143" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-04-pria-20220201081840.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "John Dunning" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9359) ["email"]=> string(19) "intiplus-4@mail.com" } } ["description"]=> string(52) "Menolonglah dengan ikhlas tanpa berpikir macam-macam" ["section"]=> object(stdClass)#92 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-04-pria-20220201081840.jpg" ["title"]=> string(28) "Pria Telanjang di Tepi Jalan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:24:58" ["content"]=> string(24823) "

Intisari Plus - Pukul 03.00 itu Werner Schmidt dan istrinya baru pulang merayakan malam tahun baru 1971. Dalam perjalanan dari Hennef ke rumah mereka di Bensburg, Ny. Schmidt tidur kelelahan di samping suaminya yang mengemudikan Mercedes besar.

Karena jalan tertutup salju, Werner Schmidt amat hati-hati. Ia mengambil jalan yang mele￾wati Much, walaupun keadaan jalan itu tidak begitu baik. Soalnya, di jalan bebas hambatan yang membentang lewat Koln banyak pemabuk di belakang setir dan juga banyak polisi lalu lintas. 

Schmidt khawatir distop polisi, sebab ia minum terlalu banyak alkohol di pesta, melebihi batas yang diizinkan untuk pengemudi kendaraan.

Angin yang dingin menusuk kadang-kadang menerbangkan salju dari jalan. Suhu cuma 5°C. Di dalam mobil alat pemanas dijalankan, sehingga rasanya hangat menyenangkan. Namun, kenikmatan itu ada bahayanya. Werner Schmidt jadi mengantuk.

Ia baru saja hendak mengulurkan tangan ke alat pengatur suhu, dengan maksud menurunkan temperatur, ketika lampu mobilnya menyoroti sesosok tubuh di tepi jalan. Rasa kantuknya mendadak hilang digantikan rasa tercengang. Sesaat kakinya diangkat dari pedal gas, sehingga Mercedes itu berkurang kecepatannya.

"Elsie!" serunya sambil menyikut istrinya. "Kau lihat tidak?"

"Ah, tidak ada apa-apa," gumam istrinya sambil membuka mata sedikit dengan eng￾gan.

"Ada pria telanjang," kata Schmidt. "la berdiri melompat-lompat di tepi jalan seperti orang gila."

"Mungkin memang gila," kata Ny. Schmidt. "Atau mabuk. Jangan memandang ke kanan kiri. Hati-hati, lihat jalan." Lalu Ny. Schmidt pun jatuh tertidur lagi.

Kaki Schmidt menginjak pedal gas lagi. Salju berhamburan di belakang roda. Sosok tubuh itu kini berhenti melompat. Suaranya yang seperti ratapan putus asa pun berhenti.

Air mata yang mengalir di pipinya membeku. Kakinya terikat kawat Tempat itu hampir tepat di tengah perjalanan antara Neunkirchen dan Wohlfahrt.

Baru pukul 05.00 ada kendaraan lain dari arah Wohlfahrt yang melewati tempat itu. Hans-Dieter Miiller berangkat ke tempat kerjanya di pabrik baja yang tidak kenal hari libur. Ia kebetulan harus berdinas pagi￾-pagi sekali di hari tahun baru1971 ini.

Tubuh telanjang yang dua jam sebelumnya terlihat oleh Schmidt tidak luput dari pandangan mata Muller. Cuma saja sekarang pria itu tidak melompat-lompat lagi, tetapi terbujur di salju, di tepi jalan.

Muller tidak berhenti. Soalnya, tempat itu sunyi dan gelap. Ia khawatir dijebak perampok. Namun, berlainan dengan Werner Schmidt, Muller lebih manusiawi. Ia memutarkan mobilnya ke Wohlfahrt kembali untuk melaporkan hal itu kepada polisi. Temyata polisi mesti dibangunkan lebih dulu.

"Astaga, mengapa Anda tidak berhenti dan menolongnya?" sesal polisi bernama Gunther Weber itu. "Nanti Anda saya tuntut, karena tidak mau menolong orang yang sedang dalam bahaya."

"Saya takut dijebak, dong!" jawab Muller dengan mangkel. Sudah susah-susah melapor, malah disesali dan diancam.

"Sekarang saya mau pergi kerja dulu."

Weber cepat-cepat berpakaian, lalu membawa mobil dinasnya ke tempat yang ditunjukkan. Pukul 05.30, ketika ia tiba di sana, orang yang terbujur itu sudah dingin dan kaku, sudah tewas. Pria itu cuma mengenakan celana dalam, sedangkan kakinya diikat dengan kawat.

Weber jadi serba salah. Ia berniat pergi ke Neunkirchen atau Wohlfahrt untuk menelepon ke Koln, tetapi takut ada orang yang mengusik tempat itu. Sekarang saja dilihatnya ada tapak sepatu dari tepi jalan ke mayat, padahal menurut Miilller, ia tidak turun dari mobil.

Ketika Weber sedang berpikir-pikir, muncul mobil polisi dari arah Neunkirchen. Tiga pria berpakaian preman keluar dari mobil untuk menghampiri Weber. Seorang di antaranya memperkenalkan diri sebagai Inspektur Karl Josef dari Polisi Kriminal Koln.

"Anda mendapat laporan dari Hans-Dieter Miiller?" tanya Weber.

"Bukan, dari Adolf Meinhof, sopir bus rute Much - Hennef. Ia dan seorang penumpangnya menemukan mayat ini lalu menelepon kami dari Neunkirchen.

"Oh, kalau begitu, yang tampak di salju itu tapak kakinya," kata Weber.

Dua polisi Koln yang lain mendekati mayat, yang seorang, Dr. Arnim Baumgartner membungkuk untuk memeriksa.

"Dibunuh dengan dibiarkan membeku," katanya. "Sebetulnya korban digebuki dulu, tetapi yang mematikan ialah pembekuan. Ia tewas beberapa jam yang lalu."

 

Tukang listrik

Rekannya memeriksa jejak di salju. "Jejak-jejak menuju ke pepohonan, Pak," katanya kepada Inspektur Karl Josef. Kira-kira 10 m dari tepi jalan memang ada hutan.

"Coba periksa, Franz," perintah Inspektur, "kalau jejak ditemukan sampai jauh, jangan terus mencari. Kembali dulu. Nanti kita minta bantuan anjing." Jejak itu ternyata tidak sampai jauh.

"Ia diikat ke sebuah pohon, 200 m dari jalan," kata Sersan Franz Monch yang ditugaskan menyelidiki itu.

"Mau lihat tempatnya, Pak?" 

Inspektur, dokter, dan Weber berjalan hati-hati mengikuti jejak bekas Sersan Monch. Di sebuah pohon ada beberapa potong kawat seperti yang terdapat pada kaki korban.

"Tampaknya ia berhasil meloloskan diri, tetapi tangannya terlalu kaku untuk membuka ikatan kaki. Jadi ia melompat-lompat ke jalan," kata Sersan itu.

"Mungkin ia sudah cukup lama berada di sini, sebelum melepaskan diri," kata dokter.

"Jejak bekas lompatannya makin lama makin pendek, tentu karena tenaganya berkurang. Di beberapa tempat ada tanda bekas terjatuh."

"Hebat juga ia bisa mencapai jalan," kata Sersan. "Suhu semalam pasti cuma beberapa derajat di atas nol. Sayang, tidak ada mobil yang lewat sebelum ia tewas."

"Pembunuhan yang kejam," kata Inspektur. "Mestinya tidak sulit dipecahkan, karena mustahil ada orang yang mempunyai lebih dari satu musuh yang begitu membencinya sampai tega berbuat begini."

"Kini kita harus mencari identitas korban. Kalau sudah jelas, rasanya identitas pembunuhnya tidak sulit ditemukan."

Ternyata Inspektur itu keliru. Identitas korban mudah diketahui. Ia tukang listrik bernama Ulrich Nacken. Karena pada hari tahun baru ia tidak pulang, orangtuanya segera melapor ke polisi. Mereka khawatir putra mereka mengalami kecelakaan lalu lintas.

 

Diskotek Toeff-Toeff

Nacken tinggal di Koln. Ia baru membeli mobilnya yang pertama pada bulan Desember. Umur Naeken 18 tahun.

"Anak umur 18 tahun kok sudah bisa punya musuh yang begitu membencinya," kata Inspektur Josef kepada anak buahnya.

"Pembunuhannya dilakukan secara hampir profesional," kata Sersan Monch. "Kami meneliti daerah itu dan memeriksa salju sekeliling pohon dengan cermat. Tak ada satu pun barang yang kami dapat. Pakaiannya tidak ada, mobilnyapun tidak."

"Kau. memberi gambaran mobil itu kepada patroli jalan raya?" tanya Inspektur. Sersan itu mengangguk. "Ford 1966, 17-N. Kelabu sedang dengan gambar  mawar hitam di bagasinya. Bukan mobil' mahal."

Nacken' sendiri tidak banyak uang, kata orang tuanya. Semua uangnya sudah ia gunakan untuk membeli mobil. Inspektur Josef sudah bertemu dengan orang tua korban. Menurut -mereka, anaknya "bersih", serius, rajin bekerja, dan bukan jenis pemuda yang senang bergaul dengan berandalan. Keterangan orangtua tentang anaknya memang biasanya baik-baik saja.

Jadi Inspektur juga mengecek ke teman-teman Ulrich Nacken. "Siapa tahu ia meninggalkan suatu tempat bersama-sama para pembunuhnya," katanya.

"Memang pembunuhnya lebih dari satu, Pak?" tanya Sersan Monch.

"Arnim bilang begitu. Korban ditinju wajahnya dengan dua ukuran kepalan."

Menurut Dr. Arnim Baumgartner, autopsi mengungkapkan kematian korban pukul 04.30. Isi lambungnya memperlihatkan makan malam yang normal dan dua botol bir.

"Arnim bilang, korban digebuki dan diikat ke pohon menjelang tengah malam. Jadi penting kita ketahui tempat ia tampak terakhir kalinya," kata Inspektur kepada Sersan Monch.

Ternyata tempat itu tidak sulit dicari. Ulrich Nacken mempunyai banyak teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka sependapat bahwa tempat yang paling disukai Nacken kalau sedang tidak bekerja adalah Diskotek Toeff-Toeff di Koln. Teman-temannya juga berkata pemuda itu "bersih", serius, rajin bekerja, dan rasanya tidak mempunyai musuh.

 

Terlibat obat bius?

Sersan Monch sudah mengecek sendiri ke Toeff-Toeff. Sejumlah orang melihat Nacken meninggalkan Toeff-Toeff seorang diri sesaat sebelum tengah malam pada hari yang naas itu. 

"Apakah Nacken dijebak di jalan?" tanya Inspektur bertanya-tanya.

"Mungkin saja ada gadis berdiri di tepi jalan, minta tolong. Lalu ketika Nacken menghentikan mobilnya, komplotan si gadis menyergapnya.

Hal seperti itu pernah terjadi.""Bukan pernah lagi, tapi sering," kata Sersan Monch.

"Karena itu pengendara mobil kini segan berhenti, kalau ada orang yang minta tolong di jalan."

"Betul!" jawab atasannya.

"Mungkin para perampok membunuhnya untuk menghindari dikenali kemudian. Namun, mengapa ia mesti ditelanjangi, diikat di pohon, dan segala macam lagi? Rasanya sulit untuk percaya bahwa tidak ada masalah kebencian pribadi dalam pembunuhan ini."

"Aku sudah minta orang mengamat-amati tempat korban ditemukan," kata Inspektur.

Sersan Monch jadi tercengang.

"Memangnya si pembunuh akan kembali ke tempat kejadian, Pak?" tanyanya skeptis.

"Itu 'kan hanya terjadi di dalam cerita-cerita kriminal fiksi."

"Ya, mungkin saja. Tetapi kita 'kan tidak membocorkan adanya pembunuhan kepada pers. Tidak ada yang tahu bahwa Nacken tewas, kecuali polisi, orang tuanya, dan orang-orang yang kau tanyai. Para pembunuhnya sudah hampir pasti bukan dari golongan itu.

Aku pikir para pembunuh itu mestinya ingin tahu korbannya tewas atau tidak. Kalau Nacken masih hidup, mereka ada kemungkinan dikenali."

"Saya kira para pembunuh itu cukup mengenal korban," kata Monch. "Mengapa tidak mereka cek saja di tempat kerjanya atau di rumahnya?"

"Coba kau tanyakan kepada orangtuanya, kalau-kalau ada orang menanyakan Nacken. Jika teorimu betul, mesti ada motifnya."

"Saya tidak tahu harus menyelidiki ke mana lagi, kecuali ke Toeff-Toeff. Kalau dia kenal dengan seseorang, kebanyakan pasti terjadi di situ," kata Monch pula.

"Pergilah ke sana. Kita harus mengikuti setiap garis penyelidikan yang bisa kita temukan."

Keesokan malamnya barulah sersan itu muncul kembali di kantor. Bosnya sudah bersiap-siap untuk pulang.

"Saya kira soya menemukan suatu motif yang masuk akal dalam kasus Nacken, Pak," katanya. "Nacken mungkin terlibat perdagangan obat bius. Di Toeff Toeff itu kadang-kadang muncul Abil Frankenthal dan Klaus Harker, yang kerjanya membujuk orang mempergunakan obat bius. Malam itu mereka minum-minum dengan Nacken."

Inspektur Josef berpikir-pikir. "Dasar kecurigaan lemah," katanya kemudian. "Taruhlah mereka membujuk orang untuk mempergunakan obat bius. Namun, hal itu tidak otomatis memberi implikasi bahwa mereka pembunuh."

"Mungkin saja Nacken menipu mereka," kata Monch penasaran. "Saya sudah meng￾hubungi orang-orang bagian penanggulangan narkotik.

Kata mereka (pemabuk), kedua orang itu tidak menjual sendiri. Mereka menjadi pemasok suatu jaringan yang terdiri atas para remaja. Mungkin Nacken salah satu dari remaja itu dan ia dibunuh agar remaja lain tidak berani meniru jejaknya."

"Mungkin juga," jawab atasannya. "Orang yang mengkhianati pentolan obat bius memang biasanya dibunuh dengan kejam. Namun, Nacken mestinya kecanduan juga. Arnim tidak menyebut-nyebut perihal Nacken memperlihatkan tanda-tanda kecanduan."

"Menurut bagian narkotik, memang betul sebagian besar remaja yang terlibat penjualan obat bius kecanduan, Pak. Tetapi ada juga yang tidak, yaitu yang melakukannya demi uang, bukan karena ketagihan."

Mereka merencanakan akan membawa Frankenthal dan Harker ke markas besar, untuk ditanyai. Malam itu mereka akan pulang dulu supaya bisa beristirahat.

 

SIM dan STNK ditemukan

Pukul 19.00 langit sudah gelap gulita. Kira-kira 35 km dari kantor mereka, di tepi hutan antara Wohlfahrt dan Neunkirchen, dua orang polisi yang bertugas meronda di tempat bekas pembunuhan sudah jemu. Dua polisi muda itu bernama Arnold Klein dan Leopold Brettweiler. Mereka merasa sebal mendapat tugas ini. Soalnya, dinginnya bukan main.

"Huh, masih berapa abad lagi sih kita mendapat tugas berjaga di sini?" gerutunya.

"Sabar!" bujuk temannya yang duduk di belakang kemudi.

"Ah! Jangan berkhayal! Kalau kita betul-betul harus merondai tempat sial ini selama berbulan-bulan, matilah kita!"

"Eh, ada apa?"

"Lihat! Lihat!" bisik Brettweiler. "Ada Ford kelabu."

Sebuah Ford kelabu muncul perlahan-lahan ke arah mereka.

"Betul Ford. Kelihatannya buatan tahun '66, tapi wamanya tidak kelihatan," jawab Klein yang lantas menstarter mobil.

"Kelabu! Brettweiler bersikeras. "Awasi nomornya kalaudia lewat." Nomor itu jelas kelihatan oleh mereka berdua, KHM 943.

Klein membunyikan sirene dan seperti kucing kelaparan, mobil polisi mengejar mobil Ford kelabu itu. Lampu biru di atas mobil berputar-putar.

Mobil kelabu melesat menjauh. Mobil polisi yang masih dingin mesinnya itu melempem. Brettweiler mengeluarkan pistol dinasnya dan mengeluarkan sebagian badannya dari jendela untuk menembak ban mobil. Tembakan pertama luput. Mobil yang buron itu mematikan lampu-lampunya.

Di jalan itu banyak jalan simpang. Ada yang tembus ke jalan lain, ada yang buntu beberapa ratus atau ribu meter kemudian. Ford itu berada jauh di depan mereka. Polisi itu cuma melihatnya sebagai bayangan hitam di antara dua tepi jalan yang putih tertutup salju.

"Awas, dia berbelok ke kanan!" teriak Brettweiler.

"Yakin?" teriak temannya.

"Kalau salah ...."

"Ke kanan!" Brettweiler bersikeras sambil menyiapkan senjatanya lagi.

Mobil itu masuk ke jalan simpang yang seperti ditelan hutan. Klein membelokkan mobil ke kanan. Suara bannya mencicit. Tidak lama kemudian ia menginjak rem tiba-tiba sekuat tenaganya, karena hampir menubruk bagian belakang Ford yang hidungnya tenggelam di tumpukan salju. Jalan itu buntu.

"langan bergerak!" teriak Brettweiler garang, sambil keluar dari mobil polisi dengan mengacungkan pistol. "Tangan di belakang kepala!"

Pria itu menurut dengan terpaksa.

"Mestinya ada dua orang," kata Klein yang sudah keluar juga dari mobil. "Pintu di sebelah pengemudi terbuka dan ada tapak sepatu di salju."

"Ada orang lain bersama Anda?" tanyanya. Orang tangkapan mereka tidak menjawab.

"Tidak apa-apa deh, kalau Anda tidak mau berbicara," kata seorang dari mereka seraya memborgol tangan orang itu dan borgol dicantelkan ke kemudi Ford.

"Bagaimana kalau kita kejar yang seorang lagi, Arnie?" 

Klein menggelengkan kepalanya. "Ia tidak bakal lari jauh. Kini aku mau memanggil bantuan dari Koln, meminta mereka datang membawa anjing. Kalau kita berdua keluyuran dalam keadaan begini, siapa yang tahu nasibmu."

Kemudian mereka memeriksa saku pria yang tidak mau menjawab tadi. Dari kartu penduduknya diketahui ia orang Yugoslavia.

"Pantas ia tidak menjawab. Jangan-jangan ia tidak bisa berbahasa Jerman," kata Brett￾weiler.

Pria bernama Slobodan Nucetic itu jangkung, berambut hitam, dan wajahnya sangat tampan. Umurnya 27 tahun dan pekerjaannya buruh bangunan.

Padanya ditemukan pula SIM atas nama Ulrich Nacken dan STNK mobil.

 

Membunuh tanpa alasan

Pukul 20.05 malam itu, Inspektur Josef dan Sersan Monch yang sedang menonton TV di rumah masing-masing diberi tahu perihal penangkapan Slobodan Nucetic.

Slobodan Nucetic masih terborgol di kemudi Ford pada saat regu pencari masuk hutan. Ternyata Nucetic bisa berbahasa Jerman, walaupun patah-patah.

"Simic bunuh pemuda,” katanya. "Saya tidak. Simic bunuh."

"Apakah Simic.orang yang semobil dengan Anda?" tanya Inspektur. Nucetic mengangguk.

"Ia juga Slobodan. Slobodan Simic. Ia bunuh. Saya tidak." .

Inspektur memerintahkan anak buahnya agar Nucetic dibawa ke markas besar dan ditahan dengan alasan dicurigai sebagai pembunuh.

Kurang dari sejam kemudian, Slobodan Simic dikepung anjing di balik tumpukan jerami yang disediakan Kementerian Kehutanan untuk rusa.

Menurut Simic, justru Nucetic pembunuh Nacken. Ia tidak berbuat apa-apa. Simic yang baru berumur 22 tahun itu jelas sekali sangat ketakutan. Pada saat tiba di kantor polisi, ia sudah melibatkan seorang Yugoslavia lain dalam perkara ini, yaitu Vjekoslav Potkonjac yang berumur 29 tahun.

Beberapa orang detektif menjemput Potkonjac di rumah nya. Ia membantah melakukan pembunuhan dan menuduh teman-temannya yang melakukannya.

Inspektur Josef paling ahli dan berpengalaman menyortir pertanyaan bohong dan benar, sedangkan orang Yugoslavia itu tidak terlalu cerdas. Sebelum lewat tengah ma￾lam, Slobodan Nucetic dan Slobodan . Simic mengaku melakukan kejahatan. Potkonjac mengaku hadir, tetapi tidak ikut ambil bagian.

Ternyata motifnya hampir tidak ada, sampai Inspektur  Josef khawatir juri tidak bakal percaya. Kalau motifnya mencuri mobil, rasanya kurang kena.

Ketiga orang Yugoslavia itu penghasilannya lebih tinggi daripada Ulrich Nacken dan dengan mudah bisa membeli mobil yang lebih bagus. Mereka sendiri heran mengapa sampai membunuh tukang listrik itu. Pembunuhan itu begitu saja terjadi.

 

Kebagian ganjaran

Menurut Nucetic, mereka berada di Toeff-Toeff malam itu. Mereka minum-minum bir. "Tidak mabuk. Girang sedikit," kata Nucetic.

Ketika keluar mereka bertemu seorang pemuda yang akan masuk ke mobilnya. Simic berkata kepada teman-temannya, ia punya pacar di Siegburg. Ia mengajak kedua temannya mengambil mobil pemuda itu untuk dipakai ke Siegburg.

Nucetic menodongkan pisau ke leher Nacken. Simic menemukan kabel di bagian belakang mobil dan mengikat pemuda itu, lalu ditaruh di bagasi. Kemudian mereka pergi ke Siegburg.

Sesudah mengunjungi pacar Simic, ketiga orang Yugoslavia itu meninggalkan Ulrich Nacken di hutan antara Wohlfahrt dan Neunkirchen. Mereka tidak bisa menjelaskan mengapa hal itu mereka lakukan. Mereka buka dulu pakaian pemuda itu. "Pukul sedikit, ikat di pohon, pergi," cerita Nucetic.

"Anda tahu ia akan meninggal tak lama kemudian?" tanya Inspektur Josef.

"Tahu," jawab Nucetic. "Tiap hari lihat koran. Tidak ada. Pemuda lari?" Kalau pemuda itu berhasil meloloskan diri, lebih baik mereka pulang ke Yugoslavia, pikir Nucetic. Namun, Simic menganjurkan agar mereka mengeceknya ke hutan.

Pagi itu juga berita pembunuhan Nacken muncul di surat￾-surat kabar. Siang hari, Werner Schmidt, pengemudi Mercedes yang melihat Nacken melompat-lompat minta tolong, menelepon sebuah surat kabar di Koln. 

Ia mengatakan mungkin sekali ia orang terakhir yang melihat Ulrich Nacken dalam keadaan masih hidup. Ia bersedia diwawancarai dan dipotret di tempat kejadian.

Surat kabar itu lebih mengutamakan tertib hukum daripada sensasi. Mereka menelepon polisi dan Schmidt ditahan dengan tuduhan tidak mau menolong orang yang sedang  berada dalam bahaya, yaitu suatu pelanggaran hukum yang dianggap serius di Jerman.

Schmidt diadili, dinyatakan bersalah, dan dihukum enam bulan penjara, ditambah denda DM 3.000. Slobodan Nucetic, Slobodan Simic, dan Vjekoslav Potkonjac dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan atas Ulrich Nacken dan dijatuhi hukuman seumur hidup. 

(John Dunning)

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123143/pria-telanjang-di-tepi-jalan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643747098000) } } [5]=> object(stdClass)#93 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123134" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#94 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-04-mary-20220201081003.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#95 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "John Dunning" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9359) ["email"]=> string(19) "intiplus-4@mail.com" } } ["description"]=> string(51) "Korbannya bersedia diikat dengan tali tanpa paksaan" ["section"]=> object(stdClass)#96 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-04-mary-20220201081003.jpg" ["title"]=> string(27) "Mary Tiba-tiba Jadi Pesolek" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:24:41" ["content"]=> string(20765) "

Intisari Plus - Mary Jones yang berusia 34 tahun menyadari datangnya bahaya maut, ketika pria yang mengikatnya itu menaruhnya dalam sebuah koper dan memuat juga batu-batu besar sebagai pemberat.

Ia panik dan meronta-ronta, tetapi tali pengikatnya terlalu kuat. Ia mencoba berteriak, tetapi cuma erangan lemah yang berhasil keluar dari mulutnya yang dibekap dengan kain. Suaranya tidak terdengar oleh siapa pun di tempat terpencil di tepi sungai itu.

Saking takutnya hampir saja ia semaput. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap, karena koper ditutup. Hanya dari lubang-lubang kecil cahaya menembus.

Mary berontak sekeras-kerasnya, sehingga koper seperti melonjak-lonjak, ketika diseret ke bibir sungai.
Koper itu diceburkan ke dalam air. Bunyinya berdebur dan air pun merembes masuk ke dalam koper, yang segera tenggelam ke dasar sungai.

Sungai itu sebetulnya tidak dalam. Kalau saja Mary bisa berdiri, ia tidak akan mati lemas. Namun, ia dalam keadaan terbaring dan terikat, sedangkan koper itu diberati dengan batu.

Mary mencoba menahan napasnya, tetapi mana bisa lama-lama. Hari itu Rabu, 15 November 1978.

 

Pria berjanggut yang misterius

Sore harinya, ketika Mary tidak pulang-pulang juga ke rumahnya yang kecil di luar Kota Liverpool, Inggris, suaminya menelepon teman-teman Mary untuk bertanya kalau-kalau Mary ada di rumah mereka. Ternyata tidak ada.

Paginya Henry Jones yang berumur 35 tahun itu merasa lebih baik melapor kepada polisi. Ia diterima seorang detektif yang meminta keterangan yang diperlukan.

Kata suaminya, hubungan mereka baik-baik saja. Mereka juga tidak mengalami kesulitan keuangan. Mereka pertama kali bertemu akhir tahun 1968. Saat itu Henry baru menjadi manajer sebuah perusahaan ekspor-impor dan Mary sekretaris di sebuah perusahan ekspor-impor lain.
Mary seorang janda muda yang menarik. Suaminya yang pertama meninggal beberapa tahun sebelum itu. la dan Henry Jones menikah bulan Mei 1969 dan mereka menetap di rumah peninggalan suami pertama Mary..
Henry tidak bisa menemukan alasan mengapa istrinya tidak pulang.

Detektif yang melayani Henry Jones itu selama kariernya biasa mengurus orang hilang. la tidak segan-segan mengajukan pertanyaan yang mungkin menyinggung.
"Apakah istri Anda mempunyai banyak teman pria?" tanyanya.

Henry Jones yang tampan dan klimis menjadi merah wajahnya. Namun, setelah dijelaskan apa perlunya pertanyaan itu ia mulai berpikir-pikir dan bercerita.

"Ketika istrinya tidak pulang, ia memeriksa buku alamat milik si istri dan meneleponi kawan-kawan istrinya untuk menanyakan kalau-kalau istrinya ada bersama mereka. Ia mengenal semua nama yang tercantum di buku telepon itu, kecuali nama Tony Saunders.

Istrinya tak pernah menyebut-nyebut nama itu. Namun, Henry Jones dengan tegas menyatakan tak mungkin istrinya berbuat senang.
Detektif meminta diperbolehkan pergi ke rumah Henry Jones, karena ia ingin memeriksa buku alamat itu. Nama Tony Saunders ternyata ada di bagian yang disediakan untuk nama-nama yang dimulai dengan huruf S dan tercantum paling akhir. Alamat dan nomor teleponnya tak ada.

Setelah menanyakan jam kerja Henry Jones, detektif itu meninggalkan tuan rumah untuk mendatangi rumah para tetangga. Ia bertanya kepada mereka, kalau-kalau mereka tahu pria mana saja yang sering bertamu ke rumah Ny. Jones pada saat suaminya sedang di kantor. Tidak ada.

Di salah sebuah rumah ia bertanya kalau-kalau nyonya rumah mengenal seorang pria bernama Saunders. Di luar dugaan, ibu rumah tangga itu ingat pada nama Saunders.

Minggu yang lalu, katanya, ia kedatangan seorang pria muda berkacamata dan berjanggut rapi. Pria itu mengaku karyawan perusahaan Brown Company. Ia ingin menawarkan sesuatu.

Nyonya itu sedang sibuk dan tak berminat membeli sesuatu. Ia cepat-cepat menutup pintu sebelum pria itu sempat berbicara lebih lanjut. Ia tak tahu barang apa yang akan ditawarkan pria berjanggut itu.

Pak detektif pun mendatangi lagi rumah-rumah yang tadi sudah dikunjunginya untuk bertanya tentang Saunders. Ternyata ada dua ibu rumah tangga lain yang pernah kedatangan Saunders.

Ibu yang seorang tak mempunyai waktu untuk melayaninya, ibu yang lain sempat menyuguhkan teh bagi Saunders. Tidak begitu jelas apa yang ingin dijual Saunders, katanya, tetapi orangnya cukup meyakinkan.

Detektif itu pulang ke kantor untuk membuat laporan. Ia menyatakan, ada kemungkinan Mary Jones kabur dengan Tony Saunders, yaitu seorang penjual yang menawarkan barang dari rumah ke rumah.

Walaupun Henry Jones menyatakan kehidupan pemikahan mereka baik-baik saja, Mary mungkin berpendapat lain. Mereka sudah menikah sepuluh tahun dan tak punya anak. Siapa tahu Mary jemu tanpa suaminya sadar.

 

Lututnya seperti ongol-ongol

Beberapa hari berlalu. Mary Jones tak pulang juga. Sementara itu polisi tidak berhasil menemukan titik terang. Henry Jones berulang-ulang menelepon, untuk mengetahui sampai di mana usaha polisi.

Seorang polisi yunior dari bagian orang hilang dikirim untuk mengecek ke perusahaan yang bernama Brown Company. Ternyata perusahaan bernama demikian ada beberapa buah, tetapi tak sebuah pun mempekerjakan Tony Saunders.

Polisi tetap mengira Ny. Jones kabur. Mereka tentu tak bisa mengembalikan nyonya itu kepada suaminya, kalau ia tidak mau. Namun, mereka berkewajiban untuk mengetahui keadaan wanita itu.

Hari Senin pagi, tanggal 20 November, seorang pria berumur 26 tahun, petugas Jawatan Jalan dan Jembatan, menemukan sebuah koper besar di sungai. Saat itu hujan sedang turun dan udara sangat dingin. Petugas yang bersepatu bot karet dan berjas hujan itu turun ke air untuk memeriksa koper.

Ketika koper berhasil dibukanya, ia sangat kaget, sehingga jatuh terjengkang dan terseret air. Ketika berhasil berdiri kembali, ia berusaha mencapai tepi sungai dengan susah payah, karena dengkulnya lemas seperti ongol-ongol. Begitu mencapai tepian, ia berlari ke desa terdekat untuk menelepon polisi.

Polisi dari Manchester datang ke tempat koper ditemukan. Benda itu berisi mayat. Jenazah wanita yang terikat itu mudah dikenali, sebab air yang dingin tidak merusakkannya. Apalagi ada tas korban yang berisi SIM dan surat-surat lain. Ia tak lain dari Mary Jones.

Karena alamatnya jelas, beberapa menit kemudian bagian orang hilang di Liverpool sudah mendapat kabar. Jelaslah sekarang mengapa Mary Jones tidak pulang ke rumahnya.

Diikat secara sukarela

Henry Jones dikabari dan diminta-mengenali jenazah di tempat penyimpanannya di Manchester. Betul, itu istri. Henry Jones, Mary, yang lenyap sejak lima hari yang lalu.

Karena jenazah terikat dan kopernya diberati dengan batu-batu besar, bisa dipastikan Mary Jones korban pembunuhan. Mayat segera dipindahkan ke tempat penyimpanan mayat di Liverpool.

Menurut laporan dokter yang melakukan autopsi, korban sudah meninggal kira-kira lima hari dan berada dalam air kira-kira selama itu pula. Ia mati lemas. Diketahui bahwa korban sadar pada saat dibenamkan karena sejumlah pembuluh darahnya yang kecil-kecil pecah akibat menahan napas.

Pada tubuh korban tak ada bekas-bekas penganiayaan. Pergelangan tangannya memang terluka cukup dalam,tetapi hal itu diakibatkan karena korban rupanya berontak sekuat tenaga.

Lutut, pinggul, dan pantat korban lecet. Kemungkinan besar akibat gesekan dengan koper pada saat ia meronta-ronta menjelang ajal.

Pemeriksaan mengungkapkan bahwa korban melakukan hubungan seksual secara sukarela dengan seorang pria tidak lama sebelum meninggal.

Dari pemeriksaan ikatan, diketahui juga korban diikat tanpa kekerasan. Kadang-kadangmengikat lengan dan kaki memang menjadi bagian dari kegiatan seksual orang-orang tertentu. Mungkin korban tidak mengira bahwa kemudian ia akan ditenggelamkan.

Inspektur detektif yang ditugasi membongkar kasus kejahatan itu segera memerintahkan anak buahnya memeriksa catatan polisi. Siapa tahu pernah terjadi kejahatan yang serupa.

Biasanya pembunuh berdarah dingin seperti itu mempunyai kelainan jiwa dan melakukan kejahatannya berulang- ulang dengan cara yang sama.

Sersan detektif yang mendapat tugas itu memeriksa semua catatan yang ada dan melaporkan bahwa di Inggris tidak pernah tercatat kejahatan serupa.

Inspektur detektif menduga, jangan-jangan sang penjahat baru memulai kariernya dan para wanita yang kurang waspada bisa menjadi korban-korban berikutnya.

Para ahli di bidang kedokteran sependapat bahwa kejahatan itu mestinya dilakukan oleh seorang yang menderita ketidakseimbangan jiwa yang parah. Soalnya, sulit membayangkan seorang manusia waras menenggelamkan seorang wanita yang menarik sesaat setelah melakukan hubungan intim dengannya.

Ataukah pembunuh sengaja menciptakan gambaran itu untuk mengecoh polisi?

 

Mungkin penjual gadungan

Inspektur detektif sudah berbicara dengan suami korban dan kini ia meminta laporan penyelidikan yang dilakukan oleh bagian orang hilang. Sesudah membaca laporan itu, segera dikerahkannya polisi Liverpool untuk mencari Tony Saunders.

Sebagian polisi dikirim menanyai para tetangga korban untuk menemukan sebanyak mungkin saksi yang pernah melihat Tony Saunders yang misterius itu. Hasilnya tidak banyak.

Selain tiga ibu rumah tangga yang dulu pernah ditanyai, hanya ada seorang ibu lain yang pernah melihat penjual itu. Namun, gambaran perihal Saunders semua sama. Pria itu tinggi, tegap, berkumis, dan berjanggut lebat berwarna hitam. Ia mengenakan kacamata.

Dandanannya rapi, tetapi agak terlalu ramai, karena setelannya kotak-kotak. Ia berbicara dengan teratur, tetapi suaranya agak serak.

Buku catatan alamat milik Mary Jones dibawa pulang ke markas besar untuk diteliti. Ternyata cuma Tony Saunders yang tidak ada alamatnya di situ. Mungkin Ny. Jones tidak tahu alamat pria itu.

Apakah Tony Saunders betul seorang penjual ataukah ia pura-pura menjadi penjual? Para ibu rumah tangga yang pernah dikunjunginya, dua menolak kedatangannya, seorang sempat menyuguhinya teh.

Namun, di rumah ibu yang menyuguhi teh itu pun ia tidak berusaha menawarkan barang dagangannya atau bahkan menjelaskan apa persisnya yang ia tawarkan. Mungkinkah ia bukan penjual, melainkan cuma mengaku sebagai penjual? Mungkinkah kunjungannya itu mempunyai maksud lain? Mungkin saja nama aslinya bukan Tony Saunders.

Inspektur merasa pusing juga, namun ia tidak mau menyerah kalah. Kalau Saunders pernah keluyuran di sekitar rumah keluarga Jones, mungkin ia pernah keluyuran juga di tempat lain.

Siapa tahu ada ibu-ibu lain yang lebih jeli matanya, yang bisa menunjukkan sesuatu yang bisa menuntun polisi kepadanya. Mungkin saja di tempat lain namanya bukan Saunders. Jadi inspektur meminta dibuatkan skets wajah si Saunders. Anak buahnya dibekali skets itu pada saat menanyai para ibu di pelbagai daerah pemukiman sekitar Liverpool.

Gara-gara ditertawai

Rupanya usaha itu membuahkan hasil. Diketahui ada seorang penjual berusia 28 tahun yang memakai janggut lebat dan kacamata. Namanya Thomas Henley. Polisi memeriksa masa lalunya.

Diketahui Henley pernah dijatuhi hukuman empat belas bulan penjara gara-gara mencoba memperkosa seorang gadis remaja di sebuah taman. Hal itu terjadi enam tahun yang lalu. Sesudah menjalani hukuman penjara delapan bulan, Henley boleh keluar dari penjara.

Mengapa ia melakukan perbuatan itu? "Habis. ia menertawai saya," jawab Henley. Karena marah, ia lantas merobek-robek pakaian gadis itu, tetapi katanya, sebenamya ia tidak mencoba memperkosa.

Henley diciduk dan diinterogasi. Ia menyangkal keras. Katanya, seumur hidup ia tidak pernah berada dekat-dekat daerah Lodge Road, yaitu daerah tempat kediaman keluarga Jones.

Ia lantas dijajarkan bersama sejumlah pria yang penampilannya mirip, yang berjanggut dan berkacamata. Setelah itu polisi meminta para ibu rumah tangga yang pernah kedatangan Tony Saunders untuk menunjukkan, pria mana yang mendatangi mereka.

Dua di antara ibu rumah tangga itu menunjuk Thomas Henley, tetapi sisanya menunjuk orang lain. Artinya, para saksi mata tidak sepakat.

Henley diinterogasi lagi. Sementara itu polisi tidak menghentikan pencarian atas pria lain yang penampilannya seperti digambarkan oleh para saksi mata. Siapa tahu Henley benar dan ada orang lain yang mengaku bernama Tony Saunders. Hasilnya tidak ada.

Polisi lantas mengarahkan sebagian petugasnya ke arah lain. Mereka ingin tahu apakah tempat koper ditemukan merupakan tempat Mary Jones diceburkan pula. Mereka melakukan percobaan. Koper diisi dengan batu dan sebagai pengganti tubuh Mary ditaruh karung pasir seberat tubuh korban.

Koper itu diceburkan ke sungai. Ternyata benda itu terseret air ke arah hilir. Mungkin Mary diceburkan lebih ke hulu dari tempat mayatnya ditemukan.

Penelitian dilakukan ke arah hulu. Tidak sampai 1 km dari sana, di tepi sungai ditemukan beberapa potong tali pendek dan tali itu sama seperti yang dipakai mengikat Mary. Tanah di sana menunjukkan bekas-bekas koper diseret ke bibir sungai.

Di semak-semak, di belakang sebuah pohon besar, didapati sehelai celana dalam wanita. Celana itu tidak robek, tidak pula menunjukkan bekas dibuka dengan kekerasan. Benda itu diperlihatkan kepada Henry Jones.

Benar, istrinya memiliki celana semacam itu, katanya.

Di tanah ada juga tanda bekas ban mobil, tetapi hujan menghapuskan ciri-cirinya, sehingga nilainya untuk identifikasi hampir tak ada. Lagi pula tak diketahui apakah bekas ban itu ada hubungannya dengan pembunuhan atas Mary Jones.

 

Tiba-tiba jadi pesolek

Polisi tak berhasil menemukan apa-apa lagi. Kini inspektur detektif memerintahkan bawahannya mencari keterangan dari teman-teman korban. Siapa tahu ada percakapan atau cerita yang membukakan jalan ke arah si pembunuh.

Dari cerita teman-temannya diketahui pada tahun 1975 Ny.Jones tiba-tiba menjadi pesolek. Rambutnya dicat pirang dan pakaiannya lebih menarik.

Menurut Mary kepada beberapa temannya, suaminya mempunyai pacar yang usianya lebih muda dari Mary. Jadi Mary berusaha untuk tampil lebih menarik, untuk merebut kembali cinta suaminya.

Kemudian ada lagi cerita lain. Konon Henry Jones minta cerai dari istrinya, tetapi Mary menolak. Inspektur detektif menarik napas lega. Kasus itu tampak lebih lazim sekarang.

Seorang suami berumur 30-an yang sudah menikah sepuluh tahun rupanya merasa mulai bosan kepada istrinya yang sebaya. Ia terpincuk wanita yang lebih muda. Jadi ia minta cerai, tetapi ditolak.

Biasanya kalau si suami memiliki kedudukan baik, ia takut menghadapi skandal; maka pembunuhanlah jalan yang ditempuh. Skenario seperti itu sering terjadi.

Inspektur yakin Henry Jones pembunuh istrinya, tetapi ia tidak melakukannya sendiri, melainkan mengupah Tony Sounders yang misterius itu.
Namun, betulkah demikian? Siapa tahu Mary mengarang-ngarang cerita yang disiarkan kepada teman-temannya.

Diam-diam inspektur detektif meminta bawahannya menyelidiki betulkah Henry Jones berhubungan akrab dengan seorang wanita muda pada musim panas 1975.
Penyelidikan itu cepat berbuah.

Diketahui Henry Jones yang tampan itu memang terlibat hubungan cinta dengan Mildred Masters, yaitu anak tunggal pemilik perusahaan tempatnya bekerja sampai sekarang.

Henry Jones berada dalam posisi yang sangat menguntungkan, bila ia bisa mempersunting putri majikannya. Suatu hari kelak ia bisa menjadi bos,bukan sekedar karyawan.

Godaan mungkin terlalu besar bagi Henry Jones. Apalagi Mildred Masters itu cantik dan umurnya baru 22 tahun, dua belas tahun lebih muda daripada istrinya.

Namun, apa daya: Mary bersikeras -tak mau diceraikan.
Inspektur detektif berpikir, Henry mungkin menganggap istrinya sebagai satu-satunya pengalang ke arah kebahagiaannya. Jadi ia mengupah Tony Saunders untuk menggoda si istri dan membunuhnya.

Masalahnya kini: bagaimana caranya inspektur bisa membuktikannya? Saunders pasti nama palsu. Ia mungkin minggat begitu selesai membunuh. Bagaimana ia bisa dilacak kalau keterangan tentang dirinya sangat minim? Lagi pula di Inggris banyak orang muda yang berjanggut dan berkacamata. Salah satu si Thomas Henley ....

Henley tetap menyangkal mempunyai hubungan dengan Mary Jones. Penyangkalannya sempuma. Karena tak ada bukti fisik yang mengaitkan Henley dengan Mary maupun Henry Jones, ia terpaksa dibebaskan.

 

Dikira bergurau

Kini penyelidikan dipusatkan pada Henry Jones. Gerak-gerik dan orang-orang yang berhubungan dengannya selama tiga bulan terakhir ditelusuri. Sementara itu buku alamat milik Mary Jones diperiksa lagi entah untuk beberapa puluh kali.

Ada peneliti yang menyatakan nama Tony Saunders ditulis dengan tulisan tangan yang agak berbeda dengan tulisan lain di buku itu. Jadi buku itu dibawa ke laboratorium mereka untuk diperiksa oleh seorang ahli tulisan.

Segera ahli itu bisa menentukan bahwa nama Tony Saunders ditulis dengan tulisan yang tidak identik dengan tulisan lain di buku itu, walaupun penulisnya mencoba menirunya.

Polisi berusaha memperoleh tulisan tangan Henry Jones. Ahli tulisan menduga keras bahwa nama Tony Saunders ditulis oleh Henry Jones, walaupun mereka tidak bisa memastikannya 100%.

Walaupun demikian, polisi tidak bisa mendapat bukti yang menyatakan Henry Jones pernah berhubungan dengan Tony Saunders.

Sekali ini inspektur detektif sudah berniat menghentikan saja penyelidikan atas kasus Mary Jones. Ia mengumumkan kepada pers sebagian hasil penyelidikan, antara lain tempat koper diceburkan ke sungai. Sebagian keterangan lain ia simpan.

Koran-koran Manchester memuatnya. Tahu-tahu polisi ditelepon seorang pria berumur 68 tahun. Kata pria itu, tanggal 15 November, lewat tengah hari, ia lewat dekat tempat kejadian.

Di sana ia melihat sebuah pikup tertutup diparkir dekat semak-semak di tempat sepi itu. Dari tulisan di badan pikup itu ia tahu kendaraan itu milik sebuah perusahaan impor-ekspor. Ia merasa aneh, untuk apa pikup perusahaan itu ada di situ pada pukul sekian. Ia tak melihat seorang pun ada di sana.

Inspektur detektif berdebar-debar, sebab perusahaan impor-ekspor yang disebut pria penelepon itu tidak lain daripada perusahaan tempat Henry Jones bekerja! Padahal ia tidak pernah memberi keterangan perihal tempat kerja suami korban tersebut.

Henry Jones ditahan, tetapi polisi tak bisa menemukan bekas-bekas kejahatan di pikup yang biasa dikendarai pria itu. Secara sambil lalu, polisi yang ditugaskan menyelidiki menyatakan cuma menemukan sejumlah pakaian sandiwara. Tidak ada orang yang menaruh perhatian. Henry diketahui sejak kecil senang main sandiwara.

Namun, tiba-tiba inspektur detektif sadar. Ia telah menemukan Tony Sounders! Mula-mula Henry Jones menyangkal menyamar sebagai Tony Sounders, yang "setor muka" ke rumah-rumah tetangga untuk menciptakan tokoh fiktif pembunuh istrinya. Akhirnya, ia terpaksa juga mengakui perbuatannya.

Katanya, ia mencintai Mildred Masters dan masa depannya tergantung pada gadis itu, tetapi Mary tidak mau diceraikan, sehingga terpaksa harus disingkirkan.

Awal Oktober diam-diam ia membeli kacamata, janggut, dan kumis palsu serta setelan kotak-kotak.

Suatu hari, dengan pakaian itu ia mendatangi rumahnya. Ia memijat bel pintu. Mary tidak mengenalinya. Istrinya begitu tercengang, ketika ia tiba-tiba mencopot janggut dan kumisnya. Ketika ia memeluk istrinya, mereka berdua begitu terangsang, sehingga ia sering muncul dengan penyamaran itu.

Mary menganggap hal itu sebagai gurauan yang menyenangkan. Mary bahkan .setuju untuk memanggilnya Tony Saunders, kalau ia sedang dalam penyamaran dan berpura-pura ia itu kekasihnya, bukan suaminya.

Pada hari ia membunuh Mary, diam-diam Henry menyelinap ke luar dari kantor dan menjemput Mary untuk bermesraan di tepi sungai. Mary tidak tahu ia menyediakan koper di belakang. Mary juga setuju, ketika ia bilang sebaiknya Mary pura-pura jadi budak yang diikat dengan tali. Mary baru sadar bahwa ia akan dibunuh ketika kopernya dimuati batu.

Tanggal 26 Oktober 1979 Henry Jones, yang tega menenggelamkan istri seperti menyingkirkan kucing yang tak dikehendaki itu, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

 

 

(John Dunning)

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123134/mary-tiba-tiba-jadi-pesolek" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643747081000) } } [6]=> object(stdClass)#97 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3117284" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#98 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-01-kank-20220201064514.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#99 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "John Dunning" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9359) ["email"]=> string(19) "intiplus-4@mail.com" } } ["description"]=> string(65) "Setiap sendok yang disuapkan, membawanya lebih dekat ke kematian." ["section"]=> object(stdClass)#100 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-01-kank-20220201064514.jpg" ["title"]=> string(27) "Kanker Lever Yang Misterius" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:21:50" ["content"]=> string(18666) "

 

Intisari Plus - Saya harus menyampaikan berita buruk buatmu, Siegfried," kata dokter. Badannya membungkuk di meja dan matanya menatap tabung yang ada di tangannya. "Tes ini positif. Ingeborg menderita kanker lever."

Lelaki berjanggut putih keperakan dan berkumis yang duduk di hadapan dokter itu mengempaskan badannya ke belakang, seolah-olah baru dipukul.

"Oh, Tuhan!" serunya berbisik "Apakah Anda yakin? Tidak ada cara untuk...?"

"Tak ada satu pun," kata dokter itu dengan suara rendah tetapi tegas. "Tidak ada harapan Anda ingin dia mengetahuinya?”

Siegfried Ruopp (47) ragu-ragu. Kepalanya tertunduk dan bahunya berat oleh beban penderitaan yang besar. "Jangan," katanya kemudian. "Biarkan dia menikmati sisa kebahagiaannya."

Dengan berat dia bangkit, berjalan menuju pintu, kemudian berhenti. Tangannya diletakkan di pegangan pintu.

"Berapa lama lagi?" tanyanya tanpa menoleh kepada dokter. "Apa yang harus saya katakan pada anak-anak?"

"Setahun lagi," jawab dokter "Paling banyak 1,5 tahun. Dia harus diopname lama sebelumnya, tentunya.

 

Selai kebanggaan suami

Profesor Ruopp lalu meninggalkan kantor. Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya yang rapi di Wiblingen, di pinggiran Kota Ulm, dia tampaknya memutuskan untuk tak berbicara apa-apa pada anak-anaknya tentang penyakit ibu mereka yang sudah tidak bisa disembuhkan lagi itu.

Usia Bernd 20 tahun dan Virenna 14 tahun. Keduanya akan memasuki perguruan tinggi. Mungkin saja profesor itu menganggap tak ada gunanya merusak semangat belajar mereka dengan sebuah tragedi yang tak mungkin mereka hindarkan.

Dia juga tak mengatakan apa-apa pada Ingeborg, istrinya yang berusia 42 tahun. Ingeborg tahu bahwa suaminya pergi ke dokter keluarga mereka, dr. Arnold Weissmann, yang mengetes kesehatannya pada musim dingin dan gugur di tahun 1976. Siegfried melaporkan pemeriksaan itu negatif dan tidak ada perkembangan yang perlu dikhawatirkan. Ingeborg menerimanya dengan perasaan lega.

Tetapi badannya terasa tidak membaik. Rasa sakit yang samar-samar di punggung dan dada bawahnya malah memburuk. Ada yang tidak beres di dalam tubuhnya. Kalau ini bukan kanker, lalu apa?

Dr. Weissmann tidak memberi keterangan yang pasti. Dia mengatakan ada sumbatan di usus, kemungkinan borok usus dan peradangan di perut. Dia hanya memberi obat penenang dan penghilang rasa nyeri.

Obat-obat itu makin banyak jumlahnya dan dosisnya makin tinggi. Dokter itu berusaha meringankan penderitaan pasiennya dalam menghadapi saat-saat terakhir. Belum pernah Prof. Ruopp tampak begitu gembira, penuh humor, dan penuh perhatian pada istrinya seperti sekarang.

Prof. Ruopp seorang juru masak yang hebat, terutama dalam membuat selai, jelly, dan manisan lain. Istrinya selalu dibikinkan macam-macam makanan dengan selai itu sampai mulai menjadi gemuk. Profesor itu benar-benar bangga dengan selai blackberry-nya. Buah itu dia kumpulkan selama musim panas. Rasa manisnya tak tertandingi oleh buah lain di Jerman.

Selai harum, lezat, kental, seluruhnya terdiri atas buah. Warnanya merah gelap, begitu gelap sampai hampir berwarna hitam, seperti warna darah yang hampir mengering ... atau juga warna lever yang membusuk.

Cukup mengherankan juga, profesor ini sendiri tidak menyukai manisan dan tak pernah menyentuh selai dan jelly buatannya. Pada akhirnya Ingeborg ditempatkan di kamar tersendiri, di rumah sakit. Karena dianggap penyakitnya tak tersembuhkan, dia tidak mendapat perawatan lagi, selain diberi sejumlah obat penghilang rasa nyeri. Dokter meyakinkan dia dan suaminya bahwa dia dirawat di situ karena ada borok di perutnya.

Sekarang Ingeborg sudah tahu ia menderita kanker, tetapi dengan tabah ia pura-pura tidak tahu. Dia tahu, tak mungkin ia menderita borok di perutnya. Penderita penyakit tersebut tak akan diperbolehkan terus makan manisan seperti selai blackberry. Hampir setiap hari Siegfried membawakannya.

Sesungguhnya Ingeborg sudah mulai jemu dengan selai hitam itu, tetapi tentu saja dia tidak sampai hati berterus terang kepada suaminya. Terlebih-lebih selai itu kebanggaan suaminya, yang sudah berusaha sekuat tenaga menyenangkan istrinya.

Ingeborg merasa bersalah. Suaminya melalui hidup yang sukar bersamanya. Walaupun demikian, suaminya tetap bersabar. Belum tentu ada pria lain yang mau menerima kegilaan yang pernah dilakukannya 10 tahun yang lalu.

 

Nyeleweng dibalas serong

Sambil terbaring dalam kesepian, dia menikmati sesendok selai yang botolnya terletak di meja sebelah ranjang. Saat itu dia tak merasakan nyeri sama sekali. la merasa di awang-awang. Ini semua akibat morfin.

Sepuluh tahun yang lalu, tahun 1967, ia jatuh cinta pada pria lain yang sudah beristri. Mereka sama-sama sudah mempunyai anak. Dia tak ragu bahwa dia sangat mencintai laki-laki itu, sama seperti laki-laki itu mencintainya. Mereka sempat berbahagia, meskipun cuma sebentar.

Ini betul-betul satu kegilaan, tetapi yang amat manis. Ia tidak menyesal. Sambil terbaring menunggu ajal dalam ruang rumah sakit yang dingin, putih, steril, dan kecil itu, ia membayangkan seandainya ia bisa mengulangi hidup ini, dengan senang hati ia akan mengulangi kegilaan itu dan menanggung akibatnya.

Sayang, kekasihnya yang tampan dan terhormat, dr. Andreas Boltzer, tewas dalam kecelakaan mobil sport Porchenya dengan kecepatan tinggi. Waktu itu kekasihnya berusia 32 tahun, sama seperti dia sendiri. Mereka sama-sama tinggal di Dietenheim, sebuah desa sejauh 15 mil ke selatan Ulm.

Keluarga Ruopp tidak lagi tinggal di situ semenjak terjadinya kecelakaan itu. Prof. Ruopp menyadari adanya hubungan cinta antara dr. Boltzer dan istrinya. Dia langsung menjual rumah mereka dan pindah ke Wiblingen di pinggiran Kota Ulm. Seandainya Andreas tidak tewas, mungkin Ruopp akan pindah lebih jauh lagi. Dia merasa sangat terhina, karena semua orang Dietenheim tahu tentang hubungan gelap istrinya itu.

Memang, kalau melihat tingkah laku Ingeborg, bisa dikatakan Prof. Ruopp terlalu bersabar. Mereka pernah merencanakan perceraian, tetapi karena Andreas tewas, tentu saja Ingeborg tidak bermaksud lagi minta cerai. Siegfried pun tak pernah membicarakannya lagi.

Siegfried menghukum istrinya dengan membalas berbuat serong, yaitu dengan seorang muridnya yang muda dan sangat cantik.

Demi suaminya, Ingeborg berpura-pura sakit hati dan menderita. Tetapi penderitaannya karena kematian Andreas tidak melowongkan hatinya untuk penderitaan lain. Ingeborg khawatir Siegfried mengetahui kepura-puraannya. Hubungan Siegfried dengan gadis itu tak berlangsung lama, meskipun masih menyusul gadis-gadis lainnya.

Dalam segalanya, Ingeborg merasa sangat puas terhadap suaminya, melebihi kepuasannya terhadap anak-anaknya. la juga puas akan hidupnya. Sayang, hal ini tak berlangsung lama. Usia 42 tahun masih terlalu dini untuk menemukan kematian.

Ya, Siegfried orang baik dan tentu dia akan menjadi duda yang diincar wanita. Dia masih tetap tampan, cakap, terpandang, dan dunia tahu bahwa ia seorang juru masak istimewa. Atau lebih tepatnya juru masak selai dan jelly istimewa.

Ingeborg memasukkan lagi setengah sendok selai ke mulutnya dan menikmati makanan yang meleleh di lidahnya itu. Kelezatan yang sempurna. Siegfried pantas berbangga hati, meskipun dia sendiri tak mencicipinya, tidak juga anak-anak ....

Mungkin karena itulah Siegfried selalu mendesaknya menambah lagi. Aneh, dia tak pernah mendesaknya memakan makanan lain. Padahal dulu pernah ia menyuruh Ingeborg mengurangi makanannya, agar berat badannya turun beberapa kilo. Lucu, dia menyuruh mengurangi segala macam makanan tetapi mendesak selai blackberry agar dimakan terus. Dia tak membawakan Ingeborg apa-apa ke rumah sakit, kecuali selai. Selai blackberry dipaksakan pada Ingeborg di rumah dan kini selalu didesak untuk, dimakan setiap waktu ia berkunjung ke rumah sakit .... Mungkinkah...?

 

Dokter terguncang

Ingeborg tiba-tiba saja melemparkan sendok selai itu jauh-jauh. Apakah ia mencurigai Siegfried hanya karena ia dalam keadaan tidak ada harapan? Tetapi bukankah Siegfried seorang ahli kimia? Dia punya segala pengetahuan dalam bidang racun. Sebagai kepala bagian di sekolahnya, dia berhak memesan obat atau zat-zat kimia apa pun, dan dia bisa memperolehnya tanpa mendapat pertanyaan dan dengan biaya sekolah!

Tiba-tiba saja harapan timbul dalam hati Ingeborg. Jangan-jangan dr. Weissmann betul bahwa ia tidak menderita kanker, tetapi mendapat gangguan pada pencernaannya. Karena racun? Betapa untungnya dia punya pikiran seperti itu sebelum semuanya terlambat! Dengan hati bergelora seperti seorang narapidana yang memperoleh penangguhan hukuman mati, Ingeborg Ruopp meraih tombol untuk memanggil perawat.

"Saya ingin berbicara dengan dokter saya," katanya ketika perawat muncul. "Segera! Ada hal sangat penting!"

Dr. Weissmann menanggapi dengan sabar. "Tentu Ingeborg," katanya. "Selai itu akan dianalisis. Mungkin kau benar. Mungkin memang ada zat kimia dalam selai itu yang menyebabkan gangguan pada lambungmu."

Tentu saja dr. Weissmann tahu bahwa bukan sekadar gangguan lambung yang diderita Ingeborg, melainkan kanker lever. Tetapi yang penting kini adalah memelihara semangat hidup Ingeborg, supaya tidak terlalu cepat "pergi". Dia harus menyenangkannya, dan untuk itu ia tak berkeberatan menyuruh menganalisis selai itu.

Ingeborg Ruopp bisa menebak apa yang terpikir oleh dr. Weissmann. "Saya ingin melihat sendiri hasil laporan tes laboratorium itu," katanya tegas, "di tempat pemeriksaan resmi dan ditandatangani pihak yang bertugas. Jangan coba-coba memperlakukan saya sebagai anak kecil, Arnold."

"Saya tidak akan berbuat demikian, Ingeborg, percayalah," kata dr. Weissmann.

Empat puluh delapan jam kemudian, gagang telepon terjatuh dari tangan dr. Weissmann. Kepala analis di laboratorium menyebutkan suatu kimia yang begitu mengerikan, sampai hampir-hampir ia tak mempercayai pendengarannya.

"Yakinkah Anda?" tanyanya hampir berteriak. "Mungkinkah zat itu masuk secara kebetulan ke dalam selai?"

"Saya tidak akan bikin laporan seperti itu, kalau saya tidak yakin," kata analis itu dengan nada dingin. "Itu benar-benar 'X' dan dua ekor tikus percobaan yang diberi zat itu kemarin dulu mati. Mungkin harus dicari sebabnya, mengapa zat itu masuk ke dalam selai. Seandainya Anda saya, saya akan segera melapor kepada polisi. Kalau Anda tidak melapor pun kami akan bertindak.Ini bukan lagi hanya kasus di laboratorium, tapi juga kasus untuk polisi."

"Zat itu penyebab kanker yang sangat kuat," kata dr. Weissmann ketika melapor di kantor Inspektur Gottlob Foerster dari bagian Pengusutan Kejahatan di Ulm. "Zat ini sangat ampuh dalam menyebabkan kanker lever. Meskipun jumlahnya sedikit, tetapi sangat cepat ia muncul dalam tubuh. Pada waktu pemeriksaan mayat mungkin tidak akan tampak jejaknya, kecuali kalau pemeriksaan segera dilakukan setelah kematian."

Inspektur polisi itu menatap dengan tenang pada Weissmann, seolah-olah dokter itu tidak sehat akal. Dokter itu tampak terguncang sekali.

"Kalau saya tak salah terka," kata Inspektur itu setelah beberapa saat, "Anda bermaksud mengatakan Prof. Ruopp mencoba membunuh istrinya dengan sengaja lewat kanker."

"Bukan lagi percobaan," kata dokter. "Kalau dia yang menaruh atau tahu kehadiran 'X' itu dalam selain, maka dia memang telah membunuh istrinya. Kanker itu telah menjalar ke seluruh tubuh istrinya. Tak ada apa pun yang sanggup menyelamatkannya."

"Apakah ini termasuk suatu zat yang bisa begitu saja muncul?" tanya Inspektur. "Dapatkah ia masuk ke dalam selai secara bebas?"

"Menurut saya tidak mungkin," kata dokter, "ia tidak bisa muncul begitu saja, dan efeknya sudah terkenal, tidak sembarang orang mudah memilikinya. "X" memang terlalu berbahaya

"Alat pembunuhan yang amat sempurna," kata Inspektur itu perlahan. "Bisa membunuh seperti penyakit biasa dan tidak meninggalkan jejak dalam tubuh. Tetapi toh saya tidak bisa membayangkan sesuatu yang luar biasa."

"Mengapa tidak?" tanya dokter itu heran.

"Tidak banyak orang di dunia ini mampu membunuh seseorang dengan cara lambat dan membuat menderita seperti kanker," jawabnya. "Seumur hidup saya berurusan dengan kejahatan. Kalau Prof. Ruopp memang benar melakukan apa yang Anda katakan, dia tentu seorang monster yang paling tidak manusiawi."

Inspektur polisi bekerja sama dengan asisten pribadinya, Sersan Detektif Ede Pochert. Hal itu dirahasiakan. Hanya mereka berdua, dr. Weissmann dan kepala laboratorium saja yang tahu. Masalahnya, mereka takut keliru. Apalagi Prof. Ruopp seorang ilmuwan ternama.

 

Ingin menikah lagi

Pertama kali Prof. Ruopp membeli zat ini pada bulan November 1975," kata Sersan Ede Pochert membacakan laporannya, "sebanyak 30 grain.
Pembelian 30 grain berikutnya adalah pada bulan Juli 1976, dan pembelian terakhirnya 25 grain pada bulan Mei tahun ini. Dibayar oleh sekolah, tentu saja."

"Apakah penyalurnya memberimu indikasi bahwa jumlah tersebut mematikan?" tanya Inspektur.

"Ya, katanya jumlah itu cukup untuk mematikan semua laki-laki, wanita, dan anak-anak di Ulm," kata Sersan Ede Pochert.

"Apakah kau bisa mengemukakan motif yang mendorong Prof. Ruopp untuk membunuh istrinya?" tanya si inspektur.

"Ada dua motif. Pertama, ia mempunyai hubungan serius dengan seorang wanita bernama Annegret Beuchert. Usianya 24 tahun, sangat manis. Dia seorang guru di Schubart School, kolega Prof. Ruopp. Sejak musim panas 1975 profesor banyak mengadakan affair, umumnya dengan para muridnya, tetapi yang paling serius kelihatannya hanya dengan Nona Beuchert."

"Motif kedua," kata Sersan Ede, "dibuat oleh Ny. Ruopp sendiri. Pada tahun 1967 ia jatuh cinta dan tergila-gila pada dr. Andreas Boltzer yang sudah menikah juga. Skandal ini terjadi di Dietenheim. Keduanya merencanakan perceraian dari pasangan masing-masing, lalu akan menikah. Tetapi kemudian Boltzer tewas dalam kecelakaan mobil dan segalanya berakhir."

"Apakah itu benar-benar kecelakaan?"

"Ya, menurut laporan polisi lalu lintas memang kecelakaan. Dia masuk daftar pengebut. Waktu itu dia menikung dengan kecepatan 145 km/jam. Dia hanya sendiri dalam mobilnya dan tidak ada kerusakan mekanis."

"Baiklah, kita nampaknya sudah punya cukup bukti untuk melakukan penahanan. Jemput dia. Beri kesempatan kalau dia ingin memanggil pengacaranya. Untuk sementara waktu persoalan ini jangan sampai masuk surat kabar. Saya ingin tahu mau bilang apa dia."

"Saya juga," kata Sersan Ede. "Tapi dengan alasan apa kita menahannya, karena Ny. Ruopp belum lagi meninggal?"

"Benar," tutur Inspektur. "Satu-satunya alasan hanyalah percobaan pembunuhan. Kalau ternyata wanita itu meninggal, tuduhan berikutnya adalah pembunuhan."

Prof. Ruopp ditahan dan di bawa ke kantor polisi. Di sana dengan tegas dia membantah bahwa ia mempunyai hubungan dengan penyakit kanker istrinya. Dia juga menyangkal mengetahui zat kimia "X" mampu memproduksi kanker.

Tapi dia tak bisa membantah tentang namanya yang tercantum pada bon pembelian dan minta ganti pembayaran pada sekolah.

"Itu salah satu zat kimia yang secara rutin saya beli dalam jumlah besar, untuk eksperimen pelajaran kimia yang saya berikan. Mungkin juga masih banyak lagi zat lain yang mengandung zat penyebab kanker dan yang beracun di lab, tetapi bukan berarti saya memilikinya untuk maksud meracuni istri saya," kata Prof. Ruopp.

"Tidak juga artinya istri Anda keracunan," kata Inspektur."Dia dicekoki zat kimia yang jauh lebih berbahaya, karena tak bisa dihindarkan lagi akan menyebabkan kematian oleh kanker, sesuatu yang lebih buruk daripada racun mana pun."

Inspektur mencoba menggugah perasaan Prof. Ruopp agar ia menyesal, tetapi profesor ini tak bergeming sedikit pun. Dia tetap tenang, tak tergugah, sikap seorang ilmuwan objektif yang sejati!

Meskipun selai blackberry itu memang buatan sendiri, kata Profesor, bisa saja zat "X" itu masuk ke dalamnya secara ke kebetulan. Dia sering membawa pulang zat kimia tersebut untuk membersihkan kolam ikan emasnya dari ganggang. Bisa jadi seluruh perabotan rumah tangga sudah terkena. Dia tidak begitu memperhatikannya, karena tak tahu-menahu keampuhan zat itu sebagai penyebab kanker.

Perkara ini disidangkan bulan April 1978 dan Prof. Ruopp tetap mengaku tak bersalah. Dia meminta jasa seorang pengacara terbaik di seluruh Jerman dengan pembayaran tinggi, tetapi pembelaannya sederhana saja.

Tetap pada pendiriannya, dia tak tahu "X" adalah penyebab timbulnya kanker, dia tak sengaja memasukkannya ke dalam adonan selai, bahkan di rumah sakit pun dia masih sempat menyuguhkannya pada istrinya. Dia heran bagaimana zat ini bisa menyusup ke situ.

Pihak penuntut sama sekali tidak menerima pembelaan ini. Para saksi ahli mengatakan, tak mungkin Prof. Ruopp bisa menerima gelar profesor dalam bidang kimia tanpa memahami apa itu dan efek-efek apa saja yang ditimbulkan zat "X".

Mereka menggambarkan rasa tidak tanggung jawab Prof. Ruopp dari tindakannya menggunakan zat "X" di dalam kolam ikan emasnya. Seandainya seluruh perabotan rumah tangga sudah tercemar, tentu seluruh keluarga pun akan mengidap penyakit yang sama. Setelah
diperiksa ternyata tidak ada anggota keluarga Ruopp yang kena. Mereka juga khawatir zat yang namanya sangat dirahasiakan itu akan disalahgunakan oleh orang lain karena keampuhannya.

Pemeriksaan membuktikan Ingeborg mendapat zat "X" itu dalam dosis yang sangat kecil untuk jangka waktu yang lama. Dosis yang lebih besar dapat mematikan Ny. Ruopp lebih cepat, tetapi meninggalkan jejak dalam tubuhnya kalau diadakan pemeriksaan mayat.

Prof. Ruopp mengetahui benar hal itu. Meskipun ia cuma dituduh melakukan percobaan percobaan pembunuhan, dalam benak juri ia melakukan kesalahan membunuh. Pada tanggal 13 April, tak ada alasan yang bisa meringankan kesalahannya. Dia dikenakan hukuman penjara seumur hidup.

Tiga bulan kemudian, ketika Prof. Ruopp memperingati ulang tahunnya yang ke-51 di penjara, istrinya meninggal dunia dalam penderitaan yang hebat. Mungkin Ny. Ruopp satu-satunya orang dalam sejarah kejahatan yang telah memecahkan rahasia pembunuhan atas diri sendiri dan bisa menyaksikan pembunuhnya dipenjarakan. (John Dunning)

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553117284/kanker-lever-yang-misterius" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643746910000) } } }