array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#50 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3110544"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#51 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/siapa-pembunuh-nona-kwitangjpg-20220208043944.jpg"
      ["author"]=>
      array(2) {
        [0]=>
        object(stdClass)#52 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(12) "Tan Boen Kom"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9360)
          ["email"]=>
          string(19) "intiplus-5@mail.com"
        }
        [1]=>
        object(stdClass)#53 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(9) "Java Bode"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9361)
          ["email"]=>
          string(19) "intiplus-6@mail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(57) "Orang ragu karena tak mengira ia tega menyiksa kekasihnya"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#54 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/siapa-pembunuh-nona-kwitangjpg-20220208043944.jpg"
      ["title"]=>
      string(28) "Siapa Pembunuh Nona Kwitang?"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-02-08 19:27:55"
      ["content"]=>
      string(36780) "

Intisari Plus - Pada hari Jumat pagi, 18 Mei 1912, Kota Betawi digemparkan dengan ditemukannya sebuah karung yang terapung di Kali Baru, di kawasan Tanah Abang. Karung itu berisi mayat seorang wanita yang sudah dalam keadaan rusak, sebab sudah beberapa hari terendam dalam air. Dalam pemeriksaan mayat ternyata bahwa wanita itu tewas oleh tindak kekerasan. Dokter pemeriksa menemukan bekas cekikan pada lehernya.

Ujung lidahnya terpotong oleh benda tajam, sedangkan di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka-luka akibat penganiayaan. Setelah beberapa hari polisi dapat menentukan identitas mayat itu: Nona Fientje de Feniks, umur 19 tahun, tinggal di Kwitang.

Kematian Fientje banyak disayangkan orang. Mengapa wanita masih muda dan cantik itu harus mati secara menyedihkan. Sampai hati benar orang membunuhnya, demikian salah satu reaksi orang ramai. Yang paling kehilangan ialah pria-pria muda berduit yang tergclong
playboy, sebab mereka yang paling tahu wanita penghibur ini. Menurut penulis kisah yang sezaman, Nona Fientje de Feniks di kalangan itu terkenal sebagai nomor satu, hingga di bilangan Betawi, Weltervreden dan Meester Cornelis tidak ada orang muda yang tidak kenal namanya.

Melihat fotonya, Fientje memang termasuk wanita yang rupawan, meskipun dia lebih mirip dengan wanita pribumi daripada Indo atau keturunan Belanda. Menurut penulis kisah dalam bahasa Melayu pasar itu, kulit mukanya halus dan bersih, rambutnya hitam serta lebat. Hidungnya mancung, matanya jeli. Kalau tertawa di kedua pipinya nampak lesung pipi. Dari sanggulnya dapat dikenali sebagai peranakan Belanda. Walaupun peranakan Belanda, tentu kalau berdandan sebagai perempuan Melayu, dengan konde yang khas, kain dan kebaya panjang, banyak yang mengira bahwa ia wanita Betawi asli.

Fientje memang pandai bersolek. Sekalipun pekerjaannya ialah wanita penghibur yang dapat dipanggil kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja asalkan berduit, kadang-kadang ia mengaku sebagai peliharaan atau simpanan seorang laki-laki tertentu.

Seandainya mempunyai status itu pun belum berarti bahwa ia meninggalkan profesi utamanya sama sekali. Seperti seekor burung, ia gemar terbang ke sana-sini, hinggap di pohon yang disukai, tapi enggan dikurung, dalam sangkar emas sekalipun.

 

Gonta-ganti pacar

Bulan Oktober 1911, kurang lebih tujuh bulan sebelum ia ditemukan sebagai mayat terbungkus karung di Kali Baru, Tanah Abang, Fientje mempunyai dua orang "pacar" tetap. Foto kedua laki-laki ini terpampang di dalam kamar tidurnya di Kampung Kwitang, tempat ia menghuni sebuah rumah berukuran sedang bersama seorang pembantu. Satu di antaranya anak seorang pedagang kaya dari Pasar Baru yang namanya tak disebutkan. Seorang lagi disebut dengan nama Sia Kacamata, anak seorang pemimpin golongan Cina yang nama aslinya juga tidak disebutkan.

Hati Fientje terombang-ambing antara kedua pacar ini. Yang satu, Sia Kacamata, orangnya baik budi dan tampan, lagi pula ia cukup royal. Anak orang kaya dari Pasar Baru ini pun cukup berimbang, baik rupa maupun uangnya, tapi seminggu lalu mereka bertengkar dan ia tidak muncul-muncul lagi. Sebenarnya Fientje diam-diam mengharapkan bahwa salah satu dari keduanya pada suatu hari akan memeliharanya sebagai simpanan tetap, sehingga paling sedikit hidupnya terjamin, supaya ia tidak perlu menerima langganan lain, kecuali kalau memang dikehendakinya sendiri.

Dengan menyimpan harapan itu di dalam hatinya, Fientje mengadakan janji untuk menonton komedi kuda (sirkus) di Lapangan Gambir dengan Sia Kacamata. Di dalam pertunjukan itu ia menarik perhatian dua orang laki-laki Indo Belanda, yang juga sedang menonton. Sehabis pertunjukan pasangan itu minum-minum di bufet dan kesempatan itu digunakan oleh salah seorang pria Indo itu untuk menyapa Fientje. Usahanya itu ternyata mendapat tanggapan baik, sehingga beberapa hari kemudian ia menulis surat kepada wanita yang didambakannya itu. Meskipun sebenarnya sudah menanyakan alamat Fientje, ia belum berani langsung mengunjungi rumahnya, sebab ia khawatir bertemu dengan pemuda Cina yang dikiranya menjadi pengawal tetapnya. Untuk menghindari pertemuan yang mungkin mempunyai akibat tidak enak, ia menyatakan akan berkunjung pada hari Minggu.

Bagi Fientje datangnya surat yang tak terduga-duga itu merupakan pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera membalas bahwa pria itu dipersilakan datang pada hari yang telah ditentukan. Dari suratnya ternyata bahwa laki-laki Indo mata keranjang itu bernama W.F.G. Brinkman. Ternyata nama itu bukan tidak dikenal oleh Fientje. Nama itu sering disebut-sebut oleh rekan-rekannya sendiri sebagai seorang pria muda yang kaya lagi berkedudukan, di samping seorang playboy yang biasa menghamburkan uang dengan mudah. Kerjanya di gouvernementsbedrijven (perusahaan negara). Menduga mendapat kakap, Fientje tak membuang waktu lagi membalas suratnya.

Brinkman sendiri juga tak menyia-nyiakan waktu lagi ketika hari Minggu tiba. Yang langsung ditanyakan ialah, apakah Sia Kacamata tinggal di rumah itu? Ketika dijawab tidak, ia mendesak lebih jauh ingin tahu seberapa jauh hubungan Fientje dengan Babah Sia itu. Fientje menerangkan bahwa ia tidak dipelihara oleh pemuda Cina itu, tetapi hubungannya erat. Dengan cerdik ia sengaja tidak mengungkapkan terlalu banyak, karena ia belum tahu benar apa sebenarnya keinginan pria baru ini. Brinkman pun sudah cukup berpengalaman. Walau semangatnya sudah menggebu-gebu untuk segera memiliki Fientje, ia dapat mengendalikan nafsunya. Setelah minum-minum dan mengobrol sebentar, ia minta diri sambil mengadakan janji untuk datang lagi pada suatu hari. Mereka merencanakan untuk berjalan-jalan berkeliling kota dengan mobil.

 

Retak

Sementara itu Fientje mendengar berita bahwa Sia Kacamata akan kawin bulan depan. Setelah mendengar berita tidak enak, tetapi boleh dipercaya ini, Fientje makin mengarahkan perhatiannya kepada Brinkman. Pada kunjungan berikutnya laki-laki Indo itu terang-terangan menanyakan apakah Fien peliharaan Sia Kacamata, atau sudah menjadi pacar tetapnya.

Secara hati-hati Fieri menjawab bahwa laki-laki Cina itu memang ada mat untuk menjadikan dirinya impanannya, tetapi belum tentu ia bersedia.

Jawaban ini membebaskan Brinkman dari keraguannya. Setelah minum-minum dan mengobrol beberapa saat, Brinkman dapat melepaskan hasratnya untuk bermain cinta dengan Fientje. Setelah itu ia secara resmi meminang Fientje agar mau dijadikan pacar tetapnya. Fientje tanpa ragu menyambut baik usulnya itu, karena ia tahu bahwa Brinkman orang yang punya kedudukan dan uang, di samping terkenal biasa menghamburkannya untuk bersenang-senang. Brinkman kemudian mendesak agar si kekasih berjanji tidak akan menerima tamu lain, karena sejak hari itu ia sudah menjadi kepunyaannya.

Hubungan ini berlangsung beberapa bulan. Selama itu cara hidup kedua orang itu juga tampak berbeda daripada waktu-waktu sebelumnya. Brinkman jarang dilihat teman-temannya berfoya-foya di tempat dia biasa dijumpai. Hampir setiap sore sepulang dari kantor, ia langsung ke rumah Fientje dan bermalam di sana. Setiap waktu luangnya dilewatkan bersama-sama kekasihnya yang baru ini. Fientje pun tidak lagi muncul di rumah-rumah hiburan tempat dia biasa beroperasi. Bahkan kebiasaannya untuk berjalan kian kemari juga ditinggalkannya. Ia hanya keluar untuk mengunjungi kenalan-kenalan dan teman-teman lamanya yang jenis.

Rupanya bagi Brinkman perubahan itu hanya sementara. Meskipun mempunyai Fientje sebagai simpanan tetap, sifat mata keranjangnya kambuh lagi. Ternyata diam-diam ia mempunyai hubungan lagi dengan seorang wanita lain. Pada suatu hari Sabtu ia tidak muncul di rumah Fientje. Baru esoknya ia menampakkan diri. Kepada Fientje ia menerangkan bahwa ia tidak pulang malam itu sebab penasaran kalah main kartu, sehingga main terus sampai pagi untuk memenangkan kembali modalnya.

Rupanya Fientje menerima keterangan bohongnya dan mereka berpiknik ke Bogor, tetapi tampaknya hubungan mereka tidak semesra dulu. Anehnya, malah Brinkman yang menunjukkan rasa cemburu yang berlebihan. Hal itu diungkapkan Fientje kepada salah satu temannya.
Temannya bertanya, apakah Fientje melakukan sesuatu yang menimbulkan cemburu Brinkman? Fientje menjawab bahwa ia tidak pernah berhubungan lagi dengan pria lain sejak dipelihara Brinkman.

Ketika hubungan itu sudah berlangsung enam bulan, keretakan pasangan itu sudah menjadi bahan pergunjingan orang luar. Mereka sudah jarang sekali kelihatan keluar bersama-sama.

Memasuki bulan ketujuh, Brinkman sudah mempunyai pacar baru, seorang nona Indo lain yang namanya tidak disebutkan. Fientje pun akhirnya mengetahui hal itu. Mula-mula ia berusaha membujuk Brinkman agar tidak meneruskan hubungan dengan pacar yang baru itu, tetapi tidak berhasil. Akhirnya, masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Brinkman tetap mengunjungi pacarnya dan tempat-tempat hiburan yang biasa disinggahi, sedangkan Fientje mulai keluyuran lagi seperti itu.

Susahnya, Brinkman masih tetap beranggapan bahwa Fientje merupakan hak milik pribadinya. Jadi, dia sendiri boleh saja menyeleweng, tapi Fientje tidak. Rasa cemburunya memuncak kalau ia mendengar per pergunjingan orang luar tentang tingkah laku Fientje yang mungkin benar atau mungkin juga tidak. Ketegangan mencapai puncaknya ketika suatu sore Brinkman tidak menemukan Fientje di rumah. Ia menunggu sampai kekasihnya itu pulang, kemudian menyambutnya dengan pukulan bertubi-tubi tanpa kata pembukaan.

Setelah menganiaya Fientje sampai babak belur ia meninggalkan rumah naik sado menuju ke tempat pacarnya yang lain. Fientje hanya bisa menerima nasib, tetapi hatinya geram, karena selama dia berhubungan dengan sekian banyak pria, baru satu ini yang pernah memukulnya.

Keesokan harinya Fientje mengadukan nasibnya kepada Ny. Doerleben, salah seorang sahabat lamanya. Ny. Doerleben adalah seorang janda yang tinggal di Gang Kernolog. Ia diketahui biasa memberikan kesempatan berjudi gelap di rumahnya. Mendengar keluhan Fientje, nyonya itu malah memberikan nasihatnya agar dia jangan terlalu sering keluar rumah, yang membuat Brinkman makin kalap, tetapi Fientje menolak gagasan itu. Ia beranggapan bahwa walaupun statusnya peliharaan, ia berhak untuk ngelayap sesuka hati, justru karena Brinkman sendiri tidak setia. Karena itu menurut Fientje ia tidak berhak melarangnya.

Dalam percakapan itu Fientje menunjukkan kepada Ny. Doerleben bahwa ia menyimpan sepucuk revolver kecil berisi lima peluru dalam sebuah kantung yang diselipkan di dalam kutangnya.

"Akan aku tembak dia, kalau dia berani memukul aku lagi," katanya kepada Ny. Doerleben.

 

Terbujuk rayuan

Dari tempat itu Fientje tidak langsung pulang, tetapi mampir lagi ke rumah Jeanne Oort, seorang wanita Eropa bekas simpanan yang telah beralih usaha membuka rumah pelesiran di Gang Pinang. Rumah ini dulu memang merupakan tempat Fientje bertemu dengan langganannya, sehingga hubungan dengan nyonya rumah cukup akrab. Kepada Jeanne Oort kembali ia menceritakan duka nestapanya dan hubungannya dengan Brinkman yang memburuk. Jeanne tidak banyak memberikan komentar, sebab ia sibuk mengisap candu. Hanya ia menambahkan bahwa Brinkman juga sudah lama tidak datang, sebab katanya sudah mempunyai kekasih baru.

Setelah mengobrol beberapa lama Fientje minta diri. Di dalam perjalanan pulang dengan sado tiba-tiba ia menyuruh kusir beralih ke arah Gang Kenanga, ke rumah seorang teman lamanya. Kebetulan teman itu sedang seorang diri, karena ditinggal pacarnya ke luar kota. Malam itu ia bermalam di sana, karena sengaja menghindari bertemu dengan Brinkman. Demikianlah hari-hari selanjutnya ia tidak pulang, hanya beralih dari satu teman ke teman lainnya yang bersedia menerimanya bermalam.

Sementara itu Brinkman yang berkali-kali tidak mendapatkan selirnya di rumah, panas hatinya. Ia mencoba menyusul ke sana-sini menurut info yang diperolehnya, tetapi ia tidak berhasil menjumpai Fientje. Pada suatu ketika ia tahu bahwa Fientje sedang tinggal bersama seorang nyonya Cina di Gang Kenanga. Ia bergegas ke sana, tetapi Fientje tidak mau keluar. Kemudian Brinkman meminta orang mengirimkan surat meminta dia pulang. Akhir surat itu berisi ancaman bahwa jika Fientje tidak pulang, ia akan menyuruh anggota perkumpulan rahasia untuk mengganggu Fientje. Fientje meremas lalu membuang surat itu. Kemudian ternyata bahwa nyonya rumah memungut kembali dan membacanya.

Meskipun merasa tidak cinta lagi, bahkan benci, Fientje dalam hati merasa agak ngeri juga terhadap ancaman Brinkman. Ia kembali ke rumahnya sendiri di Kwitang. Sementara itu kedua orang itu sudah tidak lagi serumah. Fientje tidak terlalu menghiraukannya. Ia merasa hubungannya telah putus dan ia kini bebas dari Brinkman yang ringan tangan.

Tanggal 14 Mei 1912 sore hari Fientje ingin menonton bioskop di Gedung Globe, Pasar Baru. Ia berdandan gaya Betawi asli dengan mengenakan sarung Jawa warna merah dan kebaya panjang berkembang-kembang hijau.

Sampai di Pasar Baru ternyata ia terlambat seperempat jam, sehingga mengurungkan niatnya untuk menonton. Ia naik delman lagi menuju ke Mangga Besar. Di Mangga Besar delmannya disusul oleh sebuah sado berlentera karbit dan bercambuk panjang. Ternyata Brinkman sejak sore hari sudah berputar-putar dengan kendaraan ini untuk mencari bekas kekasihnya di tempat-tempat yang biasa dikunjunginya. Setelah jelas bahwa yang duduk dalam delman itu orang yang dicarinya, Brinkman turun dan menghampirinya. Dengan wajah tersenyum dan penuh keramahan Brinkman menegurnya, "Zo Fien, apa kabar? Kau dari mana saja?" Fientje tidak menjawab. Ia tertegun karena tidak mengira akan berjumpa dengan Brinkman di jalan.

Beberapa minggu lamanya ia sengaja menghindari pertemuan dengan Brinkman, karena ia masih khawatir akan dipukuli lagi oleh laki-laki ini, apalagi setelah ia mengancam lewat surat. Tetapi dalam pertemuannya yang terakhir tidak tampak tanda-tanda bahwa dia akan melakukan kekerasan. Sekarang sikapnya malah sangat ramah dan ingin memperbaiki hubungan. Brinkman mengatakan bahwa ia mencarinya di rumah dan ke mana-mana.

Fientje berbalik bertanya, untuk apa, bukankah ia sudah mempunyai pacar lain. Brinkman menyatakan bahwa ia masih mencintai Fientje. Kemudian karena bujuk rayunya yang lihai wanita muda itu berhasil disuruh menaiki sadonya untuk diajak berjalan-jalan. Hari sudah cukup malam, ketika sado itu dilarikan kusirnya ke arah Tanah Abang, kemudian terus ke Palmerah. Di situ kendaraan itu diperintahkan berhenti di dekat seorang tukang mi dan penjual kacang.

Tak jauh dari kedua pedagang itu berdiri seorang laki-laki. Dia seorang peronda.Pasangan itu menarik peirhatian ketiga orang tadi, sebab tidak biasa orang-orang dari golongan itu malam-malam ada di daerah udik seperti Palmerah. Mereka tadinya mengira bahwa Fientje seorang wanita keturunan Cina, tetapi setelah sepintas mendengarkan percakapan pasangan itu, mereka tahu bahwa pembicaranya orang Belanda.

Tak lama kemudian pasangan itu berangkat lagi dengan sado lain menuju ke Kampung Pakembangan di daerah Tanah Jepang. Kendaraan berkuda itu masuk kampung, lalu berhenti di depan rumah berdinding bambu dan beratap genting. Rumah ini sebuah rumah pelesiran yang terkenal di kampung itu sebagai rumah Umar. Mereka berdua memasuki rumah itu dan pintunya ditutup kembali dari dalam.

 

Diajari

Di dalam rumah Umar itu ada dua WTS yang tinggal intern, namanya Idup dan Raona. Hari itu rupanya sepi pengunjung, sehingga mereka sudah merebahkan diri sejak tadi. Menjelang tengah malam Idup yang belum nyenyak merasa perutnya sakit, lalu keluar untuk membuang hajat. Sekembali ke kamarnya, baru saja ia hendak merebahkan diri lagi, tiba-tiba terdengar jerit kesakitan seorang wanita. "Aduh! Aduh!" Idup terhenyak. Ia berusaha mengira-ngira dari arah mana datangnya suara itu, tetapi semuanya sunyi senyap. Ia membangunkan Raona. Rupanya Raona tidurnya lelap, ia tidak mendengar apa-apa. Karena penasaran Idup keluar untuk mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi. Raona terduduk di tempat tidurnya. Ia mendengar suara-suara dari kamar sebelah. Rasa ingin tahunya terangsang. Ia bangkit untuk mengintip lewat celah-celah dinding bambu.

Ia melihat seorang wanita muda duduk di kursi sedang dalam keadaan dicekik oleh seorang pria. Sejenak kemudian nampak wanita itu roboh ke lantai. Setelah itu pria tersebut mengeluarkan sebilau pisau yang berkilauan. Melihat adegan itu jantung Idup berdebar-debar, kakinya lemas. Tetapi ia masih sempat melihat beberapa orang laki-laki membantu membereskan mayat itu, kemudian memasukkannya ke dalam karung goni, dijahit, dan digotong ke luar.

Setelah mayat di dalam karung itu akhirnya dapat dikenali sebagai Fientje de Feniks, tak lama kemudian polisi di bawah Komisaris Besar Polisi Ruempol mencium jejak sampai ke Brinkman. Ia ditangkap bersama seorang bernama Mardjuki dari Kampung Pakembangan yang, dituduh terlibat perkara ini. Juga Umar, pemilik rumah pelesiran dan anaknya yang bernama Jamhari ikut ditahan, sedang Raona dan Idup didengar keterangannya oleh wedana dan polisi. Kendati yang diduga menjadi para pelaku telah berada di dalam tahanan, pengusutan perkara ini memakan waktu cukup lama. Baru lebih dari satu tahun kemudian perkara pembunuhan ini disidangkan oleh Raad van Justitie (pengadilan negeri) dalam bulan Juli 1913.

Dalam sidang pertama ini beberapa puluh orang saksi didengar keterangannya, di antaranya Raona dan Idup, wedana, polisi, dan pegawai polisi lainnya. Ternyata keterangan saksi saling bertentangan. Umar dan Jamhari yang juga dihadapkan sebagai saksi, bukan sebagai tertuduh, akhirnya dituntut karena dituduh melanggar sumpah dengan memberikan keterangan palsu. Kemudian sidang-sidang berikutnya ditunda untuk
memberikan kesempatan kepada pengadilan meneliti kembali perkara ini.

Ternyata penundaan ini berlangsung cukup lama, sebab sidang berikutnya baru diadakan pada tanggal 14 Januari 1914. Sidang mulai memeriksa Umar dan Jamhari mengenai sumpah palsu. Keduanya tetap pada ke keterangan terdahulu dan menarik kembali keterangannya pada pemeriksaan pendahuluan. Umar menyatakan bahwa ia terpaksa membuat keterangan palsu, sebab ditekan, dibujuk, dan diajari.

Sesudah Umar, didengar keterangan saksi Jamhari. Ia ditanya apakah disuruh menunjuk kepada Brinkman yang dibenarkan olehnya. Selanjutnya ia menarik kembali keterangannya di dalam proses verbal. Hakim ketua menanyakan apakah saksi kenal pada tertuduh, dijawab ia kenal muka, tetapi tidak tahu namanya. Jamhari menceritakan bahwa bertemu dengan tertuduh waktu ia datang ke rumah Umar dengan membawa seorang wanita. Wanita itu tak terlihat wajahnya, sebab memakai kerudung. Ia dapat mengenali Brinkman ketika mereka lewat di bawah sinar lampu gantung.

Kemudian dihadapkan saksi Idup. Setelah ditanyai pelbagai hal mengenai dirinya sendiri, Idup menceritakan kembali secara panjang-lebar apa yang disaksikannya pada malam Selasa di rumah Umar. Antara lain ia melihat bagaimana pembunuhan itu terjadi, kemudian Umar, Entong, Kacung, dan seorang lainnya memasukkan mayat korban ke dalam sebuah karung, lalu mengikatnya.

Dari karung itu masih menonjol kaki dan tangan korban. Tetapi waktu hakim ketua menanyakan agak teliti sampai soal kecil-kecil saksi tidak bisa menjawab. Dalam pemeriksaan ini beberapa kali hakim harus memberikan peringatan keras agar saksi menceritakan duduk perkara yang sebenarnya dan tidak berbelit-belit. Sidang untuk memeriksa soal sumpah palsu itu berlarut-larut sampai menjelang akhir bulan.

Pada tanggal 28 Januari didengar lagi kesaksian Raona dan Idup, yang nampaknya makin berbelit-belit, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran jelas apa yang terjadi sebenarnya. Akhirnya, pengadilan memutuskan untuk membebaskan terdakwa Umar dan Jamhari dari tuduhan membuat sumpah palsu.

 

Surat ancaman

Ketika sidang dimulai lagi penanggalan telah menunjukkan tanggal 5 Mei 1914. Di dalam sidang Brinkman nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum sedikit. la duduk di bangku terdakwa bersama Mardjuki. Yang memimpin sidang itu Hakim Mr. Luyke Roskott, didampingi Mr. Visser dan Mr. Taytelbaum sebagai anggota, dibantu Panitera Mr. Smit. Sedangkan yang bertugas sebagai jaksa ialah Mr. Struby. Brinkman sebagai terdakwa utama dibela oleh Pengacara Mr. Hoorweg. Sidang dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan para saksi yang seluruhnya berjumlah 59 orang. Dalam keterangan para saksi antara lain Komisaris Besar Ruompol menerangkan bahwa Jamhari dalam pemeriksaan polisi mengaku membantu Brinkman. Brinkman mencekik, kemudian membanting korban ke tanah dan Jamhari memukulnya dengan pipa besi.

Waktu dikonfrontasi dengan Brinkman, yang disebut belakangan ini marah, lalu berseru, "Lu, nyang bunuh!" Dijawab oleh Jamhari, "Siapa nyang suruh!" (Dalam sidang pengadilan Jamhari menarik kembali keterangan itu. la mengatakan mengaku sebab takut kepada komisaris yang waktu itu marah-marah. Pengakuannya itu "diajarkan" kepadanya, katanya). Saksi Opziener Polisi Frank menyatakan dalam kesaksiannya bahwa saksi Idup dapat mengenali topi Brinkman yang ditunjukkan kepadanya di antara beberapa topi berwarna hijau. Ia menyebutnya topi sinyo besar yang bermata besar.

Kemudian juga didengar saksi Ny. Dourleben-Demmeni yang mengatakan mengenal baik korban. Saksi yang mengaku berumur 45 tahun ini bertubuh kurus kecil, fisiknya lemah, sehingga harus dibantu waktu menaiki tangga. Saksi mengatakan bahwa korban datang ke rumahnya dan dia tahu bahwa Fientje dipelihara Brinkman. Menurut saksi, mereka belakangan sering bertengkar hebat. Pada suatu hari Fientje pernah menjumpai seorang wanita lain di rumah Brinkman. Ia melabrak wanita itu, kemudian menyerangnya sampai pakaiannya robek-robek. Terjadi pertengkaran hebat antara Fientje dan Brinkman. Dalam heboh itu Fientje mengancam akan membuka rahasia Brinkman di muka umum.

"Rahasia apa?"

"Rahasia kantor. Kalau ketahuan pasti Brinkman dipecat."

Saksi juga pernah membaca surat ancaman yang diterima korban. Ia menemukannya dalam keadaan dicabik-cabik, tetapi saksi menempelkan kembali cabikan-cabikan itu, sehingga terbaca. Isinya adalah sebagai berikut: ''Zorg dat je van vanavond tusschen 7 en 8 verscholen bent. Als je je leven tenminste nog lieghebt." — De Broeders van de Zwarte Hand (Usahakanlah bahwa kau tidak menampakkan diri antara pukul 7 - 8 malam, kalau kau masih sayang jiwamu. Persaudaraan Tangan Hitam).

Saksi waktu ditanya hakim tidak tahu siapa pengirim surat ancaman itu ataupun apa arti singkatan PMW pada surat itu. Ia hanya menduga bahwa surat itu berasal dari terdakwa. Ny.Doerleben lebih jauh juga mengatakan melihat bekas-bekas pukulan yang membiru di tubuh
korban dan bahwa korban memang menyimpan sepucuk pistol kecil dengan lima peluru. Sehubungan dengan surat ancaman korban akan membuka rahasia tertuduh, nyonya ini mengatakan bahwa korban bertanya apa maksud Brinkman dengan kata-kata "voor die tijd zalk ik je tong tot zwijgen brengen". Ia menerangkan kepada korban bahwa kata-kata itu bermaksud mengancam akan menyingkirkan korban sebelum ia sempat membuka rahasia itu.

Atas keterangan saksi, Brinkman membenarkan bahwa Fien sering pergi ke rumah saksi untuk mengisap candu. Saksi membantah itu. Katanya, korban bukan pecandu madat, sekaligus membenarkan bahwa saksi sendiri yang memang pengisap madat, tetapi berusaha menghilangkan kebiasaan itu. Brinkman kemudian menyatakan bahwa ia tak pernah menganiaya korban. Semuanya bohong, khayalan pemadat.

 

Tengah malam di Palmerah

Kemudian hakim ketua bertanya apa yang dilakukan Brinkman pada tanggal 13 Mei malam. Brinkman menjawab bahwa ia naik sado kepunyaan Harun, yang hari Sabtu sebelumnya pernah disewanya untuk ke Palmerah, untuk membawa cewek yang dipungutnya dari Noordwijk (sekarang Jl. Ir. H. Juanda). Dengan sado itu ia pergi ke Palmerah, ke rumah Umar. Setibanya di sana, ada anak laki-laki keluar dari rumah, memberitahukan bahwa malam itu tidak ada "nona manis". Karena tidak bersedia menunggu, ia langsung pulang ke rumahnya.

Atas pertanyaan hakim ia mengaku bahwa Fientje datang ke rumahnya antara pukul 22.00 dan 23.00.

"Apa yang diperbuatnya pada malam tanggal 14 Mei?'

"Pada malam itu saya ke Gang Ketapang untuk menemui seorang ahli nujum, setelah itu terus pulang."

Saksi kusir sado Harun ketika ditanya menyatakan kenal pada tertuduh. Pada malam Selasa, sekitar pukul 23.00 ia mangkal di Pasar Tanah Abang, ketika sebuah sado lain dari jurusan Kota berhenti di dekatnya. Di dalamnya terdapat Brinkman dengan seorang wanita asing berkulit bersih, yang mengenakan kebaya panjang berkembang-kembang hijau.

Ketika diperlihatkan baju korban, saksi mengenalinya sebagai baju yang sama dengan yang dipakai wanita dalam sado malam itu.

Kemudian keduanya menaiki sado Harun. Ia diperintahkan ke Palmerah. Setibanya di dekat Pasar Palmerah ia disuruh berhenti dan kedua penumpangnya turun. Mereka berjalan mondar-mandir. Waktu itu masih ada orang berdagang dan di pasar masih ada kegiatan. Selang beberapa lama keduanya naik kembali ke sado, menuju ke rumah Umar. Setelah mereka masuk ia menunggu dan setelah sekian lamanya mereka keluar lagi lewat pintu belakang. Kemudian ia mengantarkan pasangan itu sampai ke rumah Brinkman di Gang Ajudan.

Mendengar keterangan Harun, Brinkman tetap pada keterangannya yang terdahulu. Ia bertahan bahwa wanita itu tidak berkebaya hijau, tetapi merah jambu.

Saksi Arbi, si tukang mi di Palmerah, menyatakan melihat tertuduh bersama seorang wanita di Palmerah pada malam Selasa. Dalam pemeriksaan pendahuluan ia dapat menunjuk Brinkman di antara sekelompok orang Belanda. Brinkman menyangkal bahwa ma lam Selasa itu ia pergi ke Palmerah. Ia tetap bertahan bahwa waktu itu malam Minggu. Saksi Arbi menyatakan bahwa malam Minggu ia tidak ada di Palmerah. Saksi berikutnya ialah Gomang, penjaga malam dari Palmerah. Ia menerangkan melihat tertuduh dalam sado yang diterangi lampu karbit sekitar pukul 13.30 di dekat Pasar Palmerah.

"Malam apa?"

"Malam Selasa."

"Bagaimana kau bisa memastikannya?"

"Ya, sebab saya hanya meronda pada malam Selasa."

"Apakah terdakwa seorang diri?"

"Tidak. Ia bersama seorang wanita. Mereka naik sado kepunyaan Harun (saksi kenal kusir Harun). Wanita itu berpakaian sebagai pribumi, dengan kebaya panjang berkembang-kembang hijau, tapi kulitnya bersih. Kemudian keduanya turun, lalu berjalan-jalan melewati para pedagang yang masih mangel. Nona itu berhenti membeli kacang."

"Kenapa kau sebut nona?"

"Sebab mereka bercakap-cakap dalam bahasa Belanda."

"Apakah saksi sudah pernah bertemu sebelum peristiwa ini?'

"Belum pernah. Tetapi waktu itu cukup banyak cahaya untuk bisa melihat mukanya dengan jelas. Lagi pula ia jalan mondar-mandir sambil makan kacang selama kira-kira setengah jam."

Menanggapi keterangan saksi, tertuduh tetap pada keterangannya bahwa ia ke Palmerah malam Minggu.

Saksi Velthuis sebagai kawan tertuduh ditanya mengenai hubungan antara korban dan tertuduh. Ia menjawab bahwa antara keduanya baik-baik saja. Mengapa korban kemudian meninggalkan tertuduh, ia tidak tahu sebabnya.

Brinkman baik sebagai teman, ia juga termasuk dalam pergaulan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan menjadi perkumpulan Concordia yang terpandang. Dia juga tahu bahwa terdakwa terkenal "terlalu banyak bergaul dengan perempuan".

 

Perempuan tak berharga?

Velthuis menduga bahwa sebab Fientje meninggalkan rumah Brinkman ialah sebab Brinkman mendatangkan perempuan lain ke rumahnya. Pada Sabtu malam saksi berjanji dengan Brinkman dan Van der Leeuw akan ke Kebun Binatang. Kemudian Van der Leeuw menelepon bahwa Brinkman tidak jadi pergi sebab terjadi kericuhan di rumahnya. Pada Rabu malam mereka bertiga bertemu lagi. Dalam kesempatan itu Brinkman mengatakan bahwa Fientje datang ke rumahnya untuk berpamitan. Ia tidak akan mengganggu lagi, katanya. Saksi tidak terlalu terkesan oleh berita ini, sebab Fientje sudah beberapa kali minggat, tetapi kembali lagi.

Hari Minggu, 20 Mei, mereka pergi ke rumah bola Concordia. Di tempat itu Brinkman mencerima surat dari Mikola, temannya, yang isinya mengabarkan penemuan mayat Fientje. Ia memperlihatkan surat itu kepada saksi. Brinkman pergi ke kamar mayat untuk melihat. Ia tidak menunjukkan emosi apa-apa. Kemudian ia kembali ke rumah bola. Ia tidak melanjutkan permainannya dan tampak tegang. Tak lama kemudian
ia pulang.

Brinkman menyangkal bahwa ia pefnah bercerita tentang perginya Fientje pada hari Rabu. Ia hanya mengeluh bahwa Fientje suka mabuk-mabukan. Ia juga membantah bahwa Fientje datang ke rumahnya pada malam Minggu, sebab ia sendiri pergi ke Gang Thibault (sekarang Juanda III) untuk mendapatkan nyainya.

Kemudian atas pertanyaan sidang ia menggambarkan korban sebagai perempuan tak berharga, suka mencuri, dan berkeliaran dengan anak-anak muda. Dia (Brinkman) menganggapnya tidak lebih dari seorang pelacur biasa. Ia tidak cocok sebagai pengurus rumah tangga. Seorang perempuan tak berguna, peminum, dan mungkin kleptoman, Pokoknya, tidak ada sesuatu yang baik padanya.

Hakim ketua mengingatkan bahwa ada saksi yang menyatakan bahwa ia pernah menebus Fientje dengan uang F 100 agar tidak jadi ikut seorang Arab ke Padang, Brinkman menjawab bahwa ia melakukannya hanya terdorong rasa kasihan dan atas desakan kawannya yang bernama Mikola.

Di antara deretan saksi yang dimintai keterangannya terdapat ibu Fientje, Ny. de Feniks, yang nama aslinya Siti Rafia. Wanita setengah baya ini mula-mula tampak tenang, tetapi .. tiba-tiba menangis tersedu-sedu ketika dihadapkan pada barang-barang bukti. Ia mengakui bahwa barang-barang itu memang milik anaknya. Kebaya itu dibuatnya sendiri beberapa hari sebelum terjadi pembunuhan. Juga perhiasan yang ditemukan pada mayat dan di kebun dikenalinya, kecuali kalung emas.

Ibu ini menyatakan bahwa sejak semula ia sudah tidak setuju hubungan anaknya dengan Brinkman. Sebenarnya Fientje sudah bertunangan dengan seorang bernama Grauw, tetapi hubungan itu terputus karena Grauw dipindahkan ke Surabaya. Ia pernah mengusir Fientje dari rumahnya ketika di ketahui bahwa ia bermalam di rumah Brinkman.

Kalau mereka habis bertengkar hebat, anaknya pulang lagi ke rumah orang tua. Fientje pernah pulang dengan pakaian robek-robek dan benjol-benjol pada kepala serta memar-memar pada tubuhnya bekas pukulan.

Pada malam Selasa Fientje, katanya, pergi ke Jatibaru untuk mencari rumah sewa bersama Brinkman. Ny. de Feniks juga mengatakan bahwa Fientje pernah menyatakan keinginannya untuk membeli revolver kecil agar bisa membela diri kalau ia dianiaya lagi.

Atas keterangan nyonya ini Brinkman menyatakan bahwa semuanya bcihong. Ia tidak pernah menganiaya korban. Ny. de Feniks memberikan keterangan yang memberatkan, sebab sakit hati karena ia pernah mengadukan saudara laki-laki Fientje mencuri di rumahnya. Lagi pula, katanya, kalau benar Fientje dianiaya olehnya, kenapa ia selalu balik lagi.

Hal itu ditanggapi oleh hakim ketua, "Wanita itu cinta kepada Anda, Tuan Brinkman!"

Waktu Fientje hendak kabur ke Padang, ia bersembunyi di rumah rendezvous Jet Goert di Mangga Besar. Brinkman dan Mikola naik taksi untuk menjemputya dan memaksanya pulang. Hakim ketua bertanya, "Kalau benar Fientje memang perempuan bejat seperti yang Anda gambarkan dulu, mengapa Anda menebus dan menjemputnya?

Brinkman menjawab bahwa ia dibujuk oleh Mikola. Dalam perjalanan pulang dengan taksi terjadi pertengkaran antara Fientje dan Brinkman. Brinkman mengakui bahwa Fientje tersentuh sedikit oleh tangannya ketika mereka bertengkar dalam mobil.

"Dengan akibat benjol-benjol di kepala?"

"Itu terlalu dilebih-lebihkan."

"Tapi sopir taksi itu menyatakan di bawah sumpah bahwa ia mendengar suara benturan yang keras dan suara Fientje menangis."

"Tapi sebenarnya saya waktu itu hanya membela diri. Ia mau memukul atau mencakar saya, sehingga saya sibakkan tangannya."

J. Nieuwenhuis, karyawan perusahaan trem uap, merupakan tetangga terdekat Brinkman di Gang Ajudan (daerah Mangga Besar). la kenal Fientje dan tahu hubungannya dengan tertuduh. Di antara kedua pasangan itu sering terjadi pertengkaran.

Tentang apa, saksi tidak tahu. Di suatu malam pada permulaan bulan Mei 1912 ia terbangun oleh suara ribut-ribut di tengah malam. Ia mengenali suara Fientje di tengah hiruk-pikuk itu.

Brinkman menyatakan bahwa itu buka suara Fientje, tetapi perempuan lain. Saksi merasa pasti bahwa itu benar suara Fientje.

Brinkman disuruh mengenali barang-barang peninggalan korban. Ia mengatakan tidak mengenali pakaian yang lusuh berupa kain sarung, baju kebaya, dan Iain-lain yang telah lusuh karena terendam lumpur kali. Ia disuruh mendekat sampai ke meja hakim ketua. Sebuah kotak dibuka, berisi karung dan tambang pengikat. Hakim ketua memperhatikan wajah tertuduh dengan saksama. Adakah perubahan pada wajahnya yang keras itu?

"Tuan Brinkman, Anda nervous?"

"Tidak, Tuan Ketua. Itu hanya pikiran Anda."

Dalam rekuisitornya jaksa antara lain menyatakan bahwa Brinkman seorang yang menuntut kehidupan ganda, yang satu sebagai orang baik-baik dan terpandang di masyarakat, sedang yang lainnya sebagai buaya yang sering keluar-masuk kampung dengan maksud-maksud yang tidak baik: Keterangan terdakwa bahwa korban sering berkeliaran dengan lelaki lain tidak terbukti. Sebaliknya, hakim beranggapan bahwa Fientje cinta kepada tertuduh, sehingga rela diperlakukan secara sewenang-wenang. Juga ternyata bahwa korban takut dan merasa terancam oleh terdakwa, sehingga menyimpan senjata api untuk membela diri sebagaimana dinyatakan oleh para saksi.

Menurut jaksa, terbukti terdakwa mengajak korban ke rumah Umar, lalu dibunuh dalam kamar dengan bantuan Umar, Entong, Kacung, seorang Eropa lain yang tak dikenal oleh Leleng alias Mikola. Tidak jelas mengapa Brinkman harus turun tangan sendiri, entah apakah dia harus memastikan sendiri atau mungkin seorang yang sadis. Jaksa juga menegaskan bahwa Raona dan Idup bisa dipercaya, hanya mereka keliru dalam soal hari. Menurut mereka terjadinya pada malam Selasa, seharusnya. malam Rabu.

Yang paling utama adalah saksi Raona, yang tetap berpegang pada keterangannya meskipun dibantah dan diragukan. Lagi pula terdakwa tidak dapat membuktikan dia sedang di mana pada malam terjadinya pembunuhan. Akhirnya, jaksa menuntut hukuman mati untuk terdakwa pertama, Brinkman, sedangkan Mardjuki dibebaskan sebab tidak terbukti kesalahannya. Pembela terutama menyerang keterangan para saksi yang dikatakannya tidak bisa dipercaya. la beranggapan bahwa pengadilan ini berat sebelah sebab sudah mempunyai prasangka terhadap tertuduh yang menurut anggapannya diadili oleh pendapat umum. Setelah replik dan duplik dengan pihak jaksa, akhirnya sidang ditunda lagi untuk memberikan kesempatan kepada para hakim menjatuhkan keputusan.

Keputusan itu jatuh pada tanggal 30 Mei 1914. Karena bukti-bukti kurang meyakinkan dan keterangan saksi banyak yang simpang siur dan bertentangan, maka tertuduh Brinkman dibebaskan, demikian juga Mardjuki. Atas berakhirnya sidang pengadilan itu Surat Kabar Java Bode memberikan ulasan bahwa perkara ini berakhir dengan tidak memuaskan. Pengusutan perkara yang berlarut-larut ternyata tidak berhasil memberikan gambaran jelas tentang perkara pembunuhan ini. Kalau pengadilan memutuskan bahwa bukan Brinkman pelakunya, maka para pembunuh sebenarnya masih berkeliaran dengan bebas. (Tan Boen Kim & Java Bode)

 

 

Catatan penyadur:
Kisah ini disadur dari buku Tan Boen Kim, Nona Fientje de Feniks, atawa Djadi Korban dari Tjemboeroean, Batavia 1917. Sedangkan sidang pengadilannya diambil dari Surat Kabar Java Bode. Dibandingkan dengan laporan sidang, ternyata penulis buku tidak teliti dan mungkin mencampurkan fakta dengan khayalannya sendiri, agar bisa dikarang menjadi cerita. Kisah Gramser Brinkman belum berakhir dengan pembebasannya dari tuntutan hukum dalam perkara Fientje de Feniks. Setahun kemudian ia akan dihadapkan lagi ke pengadilan karena soal pembunuhan lain dan kejahatan-kejahatan Iain.

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553110544/siapa-pembunuh-nona-kwitang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348475000) } } }