array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3123046"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/pernikahan-di-rumah-hantujpg-20220201070428.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(14) "Edward D. Hoch"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9375)
          ["email"]=>
          string(20) "intiplus-19@mail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(134) "Sebuah rencana pesta pernikahan di sebuah rumah tua, malah mengungkap peristiwa misterius yang terjadi pada sepuluh tahun sebelumnya. "
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/pernikahan-di-rumah-hantujpg-20220201070428.jpg"
      ["title"]=>
      string(25) "Pernikahan di Rumah Hantu"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-02-09 09:58:23"
      ["content"]=>
      string(36676) "

Intisari Online - Dr. Sam Hawthorn membuka pintu dan segera mengenali orang yang memijat bel, padahal mereka tidak bertemu selama 50 tahun!

"Masuk, masuk!" ajaknya. "Sudah lama ya, kita tidak bertemu! Sejak di Northmont itu. Tidak, tidak, Anda tidak mengganggu. Saya juga sedang menunggu seorang kawan yang sering mampir kemari untuk mendengarkan kisah-kisah lama. Anehnya, hari ini saya akan bercerita tentang Anda dan kejadian pada hari perkawinan Sheriff Lens itu."

Beginilah cerita dr. Sam Hawthorne:

 

Ingin kawin di rumah kuno

Hari Sabtu, 14 Desember 1929, di Northmont. Saya bangun pagi, pagi sekali, sebab Sheriff Lens meminta saya menjadi saksi perkawinannya. Ia kawan akrab saya, walaupun ia hampir dua puluh tahun lebih tua ketimbang saya.

Vera Brock, calon istrinya, adalah kepala kantor pos wilayah kami. Vera belum pernah menikah, sementara Sheriff Lens adalah duda tanpa anak. Vera Brock bilang kepada Sheriff Lens bahwa ia ingin pernikahannya dilangsungkan di bangsal segi delapan Eden House yang termasyhur itu.

Eden House adalah rumah kuno yang letaknya di pinggiran kota. Rumah indah itu dibangun oleh Joshua Eden pada pertengahan tahun 1800-an. 

Bangunan itu sangat sederhana. Ruang berbentuk segi empat yang awalnya dirancang untuk ruang studi itu, pada setiap sudutnya dipasangi lemari berpintu cermin yang tingginya mencapai langit-langit. Lebar pintu lemari-lemari itu sama dengan lebar dinding yang diapit lemari-lemari tersebut, sehingga bangsal itu menjadi benar-benar berbentuk segi delapan.

Bila masuk ke bangsal lewat satu-satunya pintu yang terbuka ke arah luar, pandangan orang akan langsung terarah ke sebuah jendela besar yang meneruskan sinar matahari ke seluruh bangsal. Pada dinding-dinding antarlemari tergantung lukisan-lukisan abad ke-19.

Di balik pintu-pintu lemari tersusun rak-rak setinggi langit-langit yang berisi buku-buku, vas, taplak meja, barang-barang perak, keramik, dan segala macam perhiasan kecil-kecil. Bangsal itu sendiri nyaris kosong, hanya terlihat sebuah meja kecil dengan sebuah vas bunga segar dekat jendela.

Paling tidak itulah yang terlihat waktu saya datang dan melihat-lihat ruangan itu beberapa hari sebelum upacara perkawinan. Yang mengantar saya waktu itu adalah Josh Eden muda, cucu pendiri bangunan itu.

 

Ada hantu penunggunya

Sebelum kami meninggalkan ruangan, saya perhatikaan dia memeriksa gerendel jendela apakah sudah terkancing dan dalam. Pintu bangsal itu memiliki sebuah kunci dan gerendel di bagian dalamnya. Pintu tidak bisa digerendel dari luar, hanya bisa dikunci dengan kunci panjang itu.

"Membiarkan hantu-hantu terkunci di dalam?" tanya saya iseng. Menurut cerita, ruangan itu ada penunggunya.

"Ada sejumlah barang antik yang sangat berharga dalam lemari-lemari itu," katanya. "Saya selalu menguncinya bila sedang tidak digunakan."

Kami bertemu dengan Ellen, istri Josh, di tangga depan. Ellen selalu tampil ceria, sehat, dan cantik, membuat saya senantiasa iri kepada Josh Eden. 

Dua sejoli itu bertemu di sekolah dan tak lama kemudian mereka menikah. Ayah Josh, Thomas, meninggalkan keluarganya seusai perang dan lebih senang menetap di Paris bersama seorang penari yang dia jumpai di sana.

Ibu Josh yang malang sangat menderita dan meninggal karena penyakit influenza pada tahun 1919. Ketika Josh masih di college, pihak pengadilan menyatakan bahwa ayahnya meninggal, walaupun tidak terdapat bukti-bukti tentang kematiannya.

Eden House diwariskan kepadanya berikut sejumlah kecil warisan lainnya. Ellen pernah bicara bahwa ia hendak mengubah seluruh rumah menjadi sebuah restoran, jika undang-undang yang melarang perdagangan minuman keras dicabut.

Jumat malam kami beramai-ramai melakukan latihan. Ellen membuat Vera dan Sheriff terkejut dengan memberikan hadiah perkawinan berupa selimut kapas bikinannya.

"Bagus sekali!" Vera memuji.

"Kami akan menaruhnya di ranjang kami."

Menjelang latihan selesai, Pak Pendeta yang angkuh mengingatkan, "Dr. Hawthorne, kebaktian besok pagi harus tepat dimulai pukul 10.00.Siangnya saya ada acara perkawinan lain di Shinn Comers. Di sebuah gereja."

Setelah kami bubar, dengan hati-hati Josh mengunci pintu bangsal, lalu berjalan bersama kami menuju ke mobil saya.

"Sampai jumpa besok pagi," katanya kepada kami.

 

Pintu macet

Esok harinya saya bangun pagi-pagi sekali karena saya berjanji menjemput April, perawat yang membantu saya, untuk bersama-sama berangkat ke perkawinan itu dengan mobil saya. Kami menjemput Sheriff Lens dan sungguh mati saya belum pernah melihat Sheriff berdandan setampan pagi itu.

Sewaktu kami berhenti di depan Eden House, Vera melangkah ke luar dari sedan kecil milik temannya, Lucy Cole. Lucy akan menjadi saksi bersama saya.

Vera Brock mengenakan gaun pengantin serba putih berenda yang ujungnya terjuntai menyentuh tanah. Mobil saya parkir, lalu saya bergabung dengan Lucy.

Vera muncul lagi di pintu depan dan tampak sedikit gusar.

"Mereka tidak bisa membuka pintu bangsal itu. Terkunci atau entahlah."

Saya melihat Ellen Eden dan suaminya. berdiri kebingungan di depan pintu bangsal itu.

"Pintu tak bisa dibuka," kata Josh. "Belum pernah terjadi begini."

Dengan kunci yang saya minta dari Josh saya coba membukanya. Meski kunci bisa diputar dan bekerja dengan baik, toh pintu masih belum bisa dibuka.

"Di dalam ada gerendelnya, bukan?"

"Ya,” jawab Josh, "tetapi gerendel itu hanya bisa digunakan dari dalam. Padahal di dalam tak ada orang."

"Anda yakin di dalam tak ada orang?"

Josh dan istrinya saling berpandangan. "Akan saya intip dari belakang lewat jendela," kata Ellen Eden.

Pada saat itu dr. Tompkins berjalan masuk, sambil melirik arloji saku yang dipegangnya.

"Saya harap, kita tetap sesuai dengan jadwal. Anda tahu, saya ada acara siang ini di ...."

"Hanya terlambat sebentar," kata saya kepadanya. "Pintu rupanya macet."

Ellen kembali dengan napas memburu. "Tirainya tertutup, Josh. Kau tidak meninggalkannya dalam keadaan tertutup, bukan?"

"Tentu tidak! Pasti ada orang di dalam."

"Namun, bagaimana ia bisa masuk?" tanya saya. "Saya tahu Anda mengunci pintu dan menggerendel jendela itu kemarin."

"Jendela pun masih terkunci," ujar Ellen memastikan.

Wajah Pak Pendeta mulai kecut, lalu katanya kepada Josh. "Kalau perlu, dobrak saja pintunya."

Josh menggedor-gedor pintu itu sambil berteriak, "Hai! Buka pintunya! Kami tahu ada orang di dalam!"

Namun, jawabnya hanya kesunyian dari balik pintu.

"Jangan-jangan perampok," duga Sheriff Lens. "Terpojok dan takut keluar."

"Kita bisa mendobrak masuk lewat jendela," usul saya.

"Jangan!" kata Ellen. "Kecuali kalau terpaksa. Kami tidak bisa memperbaiki jendela itu sebelum hari Senin, apalagi sekarang bulan Desember. Angin ribut yang datang mendadak akan memporak-porandakan ruangan ini.Coba lihat, bukankah kita bisa menarik pegangan pintu ini? Gerendel di balik pintu ini tidak terlalu kuat."

Dengan tali yang kami ikatkan pada gagang pintu, saya bersama Josh dan Sheriff menariknya sekuat tenaga. Tiba-tiba pintu menjeblak, melemparkan kami ke belakang. Setengah berlari Josh dan saya masuk ke dalam diikuti Ellen.

Meski hanya diterangi sinar redup yang berasal dari jendela yang tertutup tirai kami bisa melihat sesosok tubuh pria tergeletak di tengah ruangan. Kedua tangan dan kakinya terpentang, tubuhnya terbungkus pakaian seorang jembel. Saya belum pernah melihat orang itu. Pisau belati perak yang tertancap di dadanya membuat saya yakin orang itu sudah mati.

 

Rambutnya seperti serabut

Saya berjalan di sisi mayat, menyeberangi ruang yang agak gelap itu menuju ke jendela dan membuka tirainya. Jendela satu-satunya itu memang tergerendel dari dalam. 

Meski ujung gerendel cuma masuk setengahnya ke lubang, toh jendela itu terkunci dengan kuat. Gerendel bisa ditarik dengan mudah, lalu saya coba menutupnya dari luar. Temyata kusen dan jendela rapat satu sama lain, tanpa ada celah sedikit pun. Kacanya pun masih utuh.

Saya kembali ke tengah ruangan. Pintu hanya bisa dibuka ke arah luar, sehingga tak ada tempat untuk bersembunyi.

"Tidak Anda periksa mayat itu?" tanya Josh.

"Saya tahu dia sudah mati. Sekarang yang lebih penting memeriksa ruangan ini."

Saya tertarik dengan gerendel pintu yang terungkit dari papan kayu akibat tarikan kami. Gerendel itu menggantung pada kusen pintu. Dua buah sekrupnya terlepas. Melihat lubang-lubang dan bekas guratan kayu pada uliran sekrup, saya yakin sekrup itu tadinya kuat mencengkeram daun pintunya.

Saya melihat seutas tali terikat di gagang pintu. Saya coba mengingat-ingat apakah tali itu sudah ada di sana kemarin malam. Rasanya tidak, tetapi saya tidak yakin.

"la memang sudah mati," kata dr. Tompkins.

"Sudah beberapa jam, kalau melihat warna kulitnya. Ada yang mengenali orang ini?" saya menimpali.

Ellen dan Josh menggelengkan kepala, sementara Pak Pendeta bersungut-sungut,

"Mungkin gelandangan masuk kota. Sheriff, mestinya Anda tidak membiarkan ...."

"Saya kenal orang itu," ujar Lucy Cole dari arah pintu.

"Siapa dia?" tanya saya.

"Bukannya saya kenal, tetapi saya cuma pernah melihatnya. Kemarin saya lihat dua orang berjalan di dekat rel. Dua-duanya gelandangan, saya kira. Saya ingat rambutnya yang panjang seperti serabut itu, juga rompi merah dekil, dan parut-parut kecil di wajahnya."

Josh Eden menghampiri mayat itu dan berlutut di sisinya.

"Pisau ini seperti alat pembuka surat dari salah satu lemari kami. Ellen, tolong lihat, apakah alat itu masih ada."

Ellen melangkah hati-hati melewati mayat, lantas membuka pintu lemari di sebelah kiri jendela. Setelah meraba-raba sebentar ke dalamnya, ia berkata, "Tidak ada. Mungkin ada barang lain yang juga hilang. Saya tidak yakin. Sebaiknya kita cek keempat lemari di ruangan ini."

"Untuk apa?" tanya Josh.

"Ya, kalau si pembunuh tidak bersembunyi di dalam salah satu rak lemari besar ini, tampaknya kita berhadapan dengan suatu pembunuhan yang dilakukan di dalam ruangan yang terkunci dan tak bisa ditembus."

 

Tali yang mencurigakan

Kami teliti keempat lemari dengan cermat, tetapi tidak menemukan seorang pun bersembunyi di sana. Saya juga memeriksa apakah ada lemari yang punggungnya palsu. 

Setelah kami selesai memeriksa, saya pun merasa yakin, si pembunuh tidak bersembunyi di dalam ruangan. Bangsal itu tidak juga memiliki jalan atau pintu rahasia untuk keluar. Hanya ada satu pintu dan satu jendela yang masing-masing bisa digerendel dari dalam.

Saya pun sudah mempelajari gerendel pada jendela. Saya jongkok dekat pintu memeriksa seutas tali yang saya temukan melilit gagang pintu. "Tali ini selalu ada di sini?" tanya saya kepada Ellen Eden.

Ellen menatap tali itu. "Tidak, itu bukan milik kami ... entah kalau Josh mengikatkannya di sana untuk suatu keperluan."

Namun, Josh tidak melakukannya. Satu atau dua tahun sebelumnya saya membaca sebuah novel misteri karangan S.S. Van Dine berjudul The Canary Murder Case. 

Buku itu membuat gambar tentang bagaimana sepasang penjepit dan seutas tali dipakai untuk memutar gagang pintu dari luar sebuah ruangan. Sebuah ide yang cerdik, tetapi tidak bisa diterapkan dalam kasus ini.

Saya mencoba membayangkan bagaimana mengancing pintu dengan melilitkan tali pada gerendel, lalu menariknya dari luar. Namun, tali yang saya temukan tak cukup panjang untuk itu. Kecuali itu pintu begitu rapat ke kusennya, bahkan tak ada celah sedikit pun untuk bisa dilalui tali itu. 

Juga di bawah pintu bagian dalam, sebatang kayu kecil terpaku pada lantai. Tampaknya untuk mengurangi aliran udara yang masuk lewat celah di bawah pintu. Saya menemukan seutas tali yang lebih panjang, lantas saya selipkan di bawah pintu dan saya coba menutupnya. Pintu menjadi tertutup rapat sekali, sampai tali tidak bisa ditarik.

 

Bulan madu jalan terus

Walaupun Vera sangat menyukai bangsal segi delapan itu, tetapi ia tidak mau menikah di tempat yang masih belum kering dari darah. Tompkins merasakan semacam kemenangan dengan dipindahkannya upacara itu ke gereja.

"Bagaimana rasanya menikah lagi?" tanya saya kepada Sheriff sehabis upacara.

"Luar biasa!" katanya, sambil memeluk mesra istrinya. "Tetapi rupanya kami harus menunda bulan madu."

"Kenapa?"

"Yeah, aku masih sheriff di sini, dan ada pembunuhan di depan mataku."

"Kau bisa terus untuk berbulan madu, Sheriff. Bukankah masih ada wakil-wakilmu yang bisa menanganinya?"

"Mereka berdua?" dengusnya. "Mereka tidak akan bisa menemukannya!"

Saya menghela napas dalam-dalam. "Jangan khawatir, aku yang akan menangkapnya."

"Maksudmu, kau tahu siapa pembunuh orang itu?Juga bagaimana pembunuhan dilakukan di tempat yang terkunci?"

"Tentu. Jangan khawatir soal itu. Sebelum malam tiba kita sudah bisa memasukkan pembunuh itu ke dalam sel."

Namun, di dalam hati saya berpikir bagaimana saya akan memenuhi janji itu. Saya mengajak Lucy Cole naik ke mqbil saya. "Itu bukan jalan menuju ke tempat resepsi," kata Lucy beberapa saat kemudian.

"Ada yang lebih penting daripada resepsi itu," kata saya. "Kau bilang pernah melihat orang yang mati itu berjalan bersama dengan seseorang."

"Seorang gelandangan lain."

"Apa kau bisa mengenalinya lagi, jika bertemu dia?"

"Saya tidak tahu. Mungkin. Saya ingat betul, bagian belakang kepalanya botak dan sebuah syal kotal-kotak melilit lehernya."

"Ayo, kita temui."

 

Menguber si botak

Mobil saya bawa menyusuri jalan di sisi stasiun kereta api, keluar kota menuju ke perkamp'ungan jembel yang berada di antara pepohonan.

"Tunggu di sini," kata saya kepada Lucy. "Tidak lama."

Saya menyusuri jalan setapak sambil berjalan secara terang-terangan di antara pepohonan, agar orang-orang yang ada di sekitar api unggun itu tidak panik dan bubar. Salah seorang dan mereka .yang sedang menghangatkan tangannya dekat nyala api berpaling ketika saya dekati.

"Mau apa?" tanyanya

"Saya dokter."

"Di sini tak ada yang sakit."

"Saya sedang mencari seorang laki-laki yang lewat jalan ini kemarin. Dia memakai syal kotak-kotak dan kepalanya botak." Saya tambahkan, "Tidak memakai topi."

"Tak ada orang dengan ciri-ciri begitu," katanya. "Mau apa? Dia tidak sakit, bukan?"

"Kami tidak tahu dia sakit atau tidak. Itu sebabnya kami mencoba mencarinya."

Seorang lagi datang mendekat ke perapian. Perawakannya kecil dan bicaranya gugup dengan aksen Selatan. "Sepertinya yang dia maksud itu Mercy, bukan?"

"Diam kau!" bentak orang yang pertama saya temui. "Siapa tahu dia mata-mata dari jawatan kereta api." 

"Saya bukan mata-mata atau apalah namanya," kata saya menegaskan. "Coba lihat." Dari saku saya keluarkan bloknot resep yang bertuliskan nama dan alamat saya pada kopnya. "Tidakkah ini meyakinkan Saudara bahwa saya dokter?"

Orang yang pertama tiba-tiba berubah licik. "Kalau benar Anda seorang dokter, tuliskan resep bagi kami untuk sejumlah wiski."

"Ini cuma untuk obat-obatan," kata saya mulai merasa agak khawatir. Orang yang ketiga muncul dan berjalan mengitari saya.

Tiba-tiba terdengar Lucy membunyikan klakson. Sadar bahwa saya tidak sendiri, ketiga orang itu lantas kabur. Saya sempat menangkap orang yang bertubuh kecil tadi, karena ia paling dekat dengan saya, lantas saya tanya, "Di mana Mercy?"

"Lepaskan!"

"Katakan dulu, baru kulepas. Di mana dia?"

"Di rel bawah sana dekat menara air. Ia sedang menanti kawannya."

 

Di mana uang si Tommy?

Saya berlari kembali ke mobil. "Terima kasih atas bunyi klaksonnya," kata saya pada Lucy.

"Saya merasa takut waktu mereka mulai mengepung Anda."

"Aku juga," Mobil saya larikan masuk ke jalan di sisi rel. "Orang yang kita cari mungkin ada di dekat menara air."

Menara air itu mulai tampak. Tiba-tiba kami melihat seorang lelaki yang mengenakan jas kumal keluar dari persembunyiannya, berlari ke arah hutan.

"Saya kira dialah orangnya!" teriak Lucy.

Saya larikan mobil mengikuti orang itu. Kemudian saya turun dan berlari mengejarnya. Untungnya, saya lebih muda 20 tahun dari dia, sehingga bisa cepat menyusulnya.

Ia meronta-ronta dalam cengkeraman saya sambil merengek-rengek. Katanya, "Saya tidak berbuat salah!"

"Kau yang bernama Mercy?"

"Ya, kira-kira begitu."

"Aku tidak akan menydkitimu, cuma mau bertanya."

"Soal apa?"

"Kau tampak bersama seseorang kemarin. Rambutnya panjang seperti serabut, agak beruban, dan memakai rompi merah dekil. Umurnya 50-an, sepantar kau. Ada luka-luka parut di wajahnya."

"Yeah, kami datang dari Florida."

"Siapa dia?"

"Namanya Tommy, hanya itu nama yang saya ketahui. Kami sama-sama menumpang mobil boks dari Orlando ke New York, kemudian beralih naik kereta api kemari."

"Apa maksud kalian datang ke sini?" tanya saya. "Kenapa melakukan perjalanan dari Honda ke New England di bulan Desember? Kalian suka salju?"

"Dia yang ingin datang ke sini, sedangkan saya sendiri tidak punya pekerjaan yang lebih baik untuk dilakukan."

"Mengapa dia datang kemari?"

"Katanya, ia bisa mendapat banyak uang di sini. Uangnya sendiri."

"Lantas ia menyuruh kau menunggu di sini?"

"Ya. Saya ditinggalnya di sini tadi malam. Katanya, ia pasti akan kembali lagi menjelang siang, tetapi sampai sekarang saya belum melihat batang hidungnya."

"Kau tidak akan melihatnya lagi," 'kata saya. "Ia dibunuh semalam."

"Tuhan!"

"Apa lagi yang dikatakannya tentang uang yang katanya miliknya itu? Di mana uang itu?"

"Ia tidak biking apa-apa soal itu."

"Ia pasti mengatakan sesuatu. Kau terus bersama dia sejak dari Florida."

Mercy memalingkan mukanya ketakutan. "Dia bilang, mau pulang ke rumahnya. Ke Eden."

 

Perampok

Setelah mengantar Lucy ke restoran tempat resepsi perkawinan Sheriff, saya kemudian kembali ke Eden House. Matahari bulan Desember sudah lenyap ditelan cakrawala. Josh Eden menuju ke pintu bangsal itu. Ia tampak lesu dan kacau pikirannya.

"Bagaimana dengan pernikahan tadi?" tanyanya.

"Baik, semua lancar. Mereka akan segera berbulan madu."

"Saya bersyukur, kejadian yang mengerikan itu tidak merusak hari yang pantas jadi milik mereka."

"Boleh saya menengok bangsal ini lagi? Sheriff Lens meminta saya untuk membantu stafnya melakukan penyelidikan."

"Tentu." Pintu bangsal itu masih terbuka dan saya lihat ia sedang memperbaiki gerendel yang sebagian terlepas tadi.

Bangsal itu sendiri tampak remang-remang, hanya diterangi seberkas sinar redup yang menembus lubang kecil di tengah tirai jendela.

"Saya perlu menurunkan tirainya,” kata Josh Eden menjelaskan. "Anak-anak sekitar sini pada datang menonton peristiwa pembunuhan itu."

"Anak-anak memang begitu," kata saya. "Tetapi tirai itu selalu dibuka pada malam hari, bukan?"

"Oh, ya ... Anda sendiri melihatnya kemarin." '

"Kemudian si pembunuh, atau mungkin si korban harus menurunkannya."

"Rasanya begitu. Mungkin mereka tidak mau kegiatan mereka dilihat orang."

"Kegiatan ...?"

"Ya, merampok saya, tentunya! Tampaknya cukup jelas. Katanya, Lucy pernah melihat korban bersama dengan seorang gelandangan lain kemarin. Nah, mereka masuk kemari untuk mencuri barang-barang saya. Itu cukup beralasan. Lalu kawannya membunuhnya dengan alat itu."

"Bagaimana mereka bisa. masuk tanpa merusak pintu atau jendela? Lebih penting lagi, bagaimana si pembunuh kemudian keluar dari sini?"

"Saya tidak tahu," jawabnya.

"Orang yang tewas itu namanya Tommy."

Josh menatap mata saya.

"Bagaimana Anda bisa tahu namanya?"

"la datang dari Florida kemarin, ke Eden House, untuk mengambil kembali kekayaannya."

"Anda ini bicara apa, Sam?"

"Saya kira orang yang tewas itu adalah ayah Anda. Seorang ayah yang tak pemah kembali dari medan perang."

 

Saya tak berniat

Bangsal segi delapan itu semakin gelap. Kami hampir tidak bisa saling melihat. Josh menyentuh tombol lampu di dinding. Segera bayangan kami pada cermin-cermin itu tergambar jelas.

"Gila!" katanya. "Tidakkah Anda pikir, saya kenal ayah saya sendiri?"

"Ya. Anda mungkin cukup kenal ayah Anda untuk membunuhnya, ketika ia pulang setelah dua belas tahun untuk mengambil kembali rumah dan kekayaan Anda. Bagi Anda ia bukan ayah Anda lagi. Ia semata-mata adalah pria yang telah meninggalkan Anda dan ibu Anda selama ini."

"Saya tidak membunuhnya," kata Josh meyakinkan. "Saya bahkan tidak mengenalinya!"

Saya mendengar ada gerakan di belakang saya di bangsal itu. "Saya tahu Anda tidak melakukannya," kata saya. "Masuklah, Ellen, dan katakan kepada kami mengapa Anda membunuh ayah mertua Anda."

Ellen berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Saya melihat bayangannya di cermin dan saya tahu dia mendengar setiap kata.

"Saya ... saya tidak bermaksud ...," katanya gugup.

Josh berlari ke arah istrinya dan menjajari sambil memeluknya.

"Ellen, dia bicara apa? Itu tidak benar!"

"Oh, itu cukup benar," kata saya. "Jika Ellen tidak terlalu jauh menutupi jejaknya dengan berusaha mengunci ruangan, mungkin juri akan yakin bahwa kejadian itu merupakan kecelakaan. Ayah Anda, Tommy, datang ke sini tadi malam untuk mengambil apa yang menjadi miliknya. 

Sepanjang malam Anda tertidur, tetapi Ellen mendengar ayah Anda berdiri di depan pintu dan membiarkannya masuk. Saya kira Ellen mengantarnya ke bangsal ini agar tidak timbul suara-suara yang bisa membangunkan Anda. Setelah gelandangan itu meyakinkan kepada Ellen bahwa dirinya adalah ayah Anda, ia mengatakan bahwa ia tidak tewas dalam peperangan. 

Ia datang untuk mengambil kembali Eden House. Ellen melihat segala rencana bagi tempat ini - restoran dan sebagainya -bakal menguap. Ellen lantas mencari alat pembuka surat dari perak berbentuk belati itu, kemudian menancapkannya ke dada ayah Anda pada saat kemarahannya memuncak."

 

Lubang di tirai

Josh masih saja menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Bagaimana Anda bisa tahu semua itu. Bagaimana Ellen bisa membunuhnya dan meninggalkan ruangan ini terkunci dari dalam?"

"Saya baru tahu bagaimana itu dilakukan setelah saya kembali kemari. Saya melihat lubang kecil yang ditembusi sinar di tengah tirai jendela itu."

"Ada lubang di tirai?! Aneh, saya tidak pernah melihat sebelumnya."

"Saya yakin lubang itu tidak ada sebelum tadi malam. Anda tahu, bangsal segi delapan ini berbeda dengan ruang-ruang bentuk lain dalam dua hal: pintu dan jendelanya tepat saling berhadapan dan pintu hanya bisa dibuka dari luar."

"Saya tidak melihat ...."

"Ellen mengikatkan tali ke gagang pintu dan ujung lainnya diikatkan pada gerendel jendela. Ketika kita menarik pintu hingga terbuka pagi tadi, tali itu memutar gerendel dan mengunci jendela. Semudah itu."

Josh tampak melongo. "Tunggu sebentar ...."

"Saya memeriksa gerendel itu segera .setelah saya masuk ke ruang ini. Gerendel itu gampang sekali bekerja dan hanya bisa diputar setengah saja, tetapi cukup untuk bisa mengancing jendela. Kendur saja ia melilitkan tali pada gerendel itu dan ketika gerendel mencapai lubangnya, tali itu lepas seperti yang dia mau. 

Tentu saja hal itu tak pernah saya bayangkan karena tirai itu tertutup. Itulah kenapa Ellen membuat lubang kecil pada tirai yang digunakan untuk melewatkan tali. 

Setelah melompat ke luar lewat jendela, ia harus menutup jendela dan tirai bersamaan untuk menjaga agar tali tetap pada posisinya, tetapi itu tidak sulit. Tali yang agak kendur itu menjadi singset dengan cepat waktu kita membuka dengan paksa pintu tadi."

"Kalau itu benar, apa yang terjadi dengan tali itu?"

"Ikatan tali terenggut dari gerendel dan melewati lubang pada tirai itu. Mungkin tali itu terjuntai di lantai. Kita tak bisa melihatnya dalam penerangan yang redup pada saat kita menyerbu masuk ke ruangan ini. 

Saya segera mendekati jendela untuk memeriksanya dan Anda berdua persis di belakang saya. Ellen dengan mudah menarik tali itu dan memutuskannya dari gagang pintu. 

Maksud Ellen ingin melepaskan semuanya, tetapi tali itu terputus dan ia terpaksa menyisakan sepotong pada gagang itu."

"Meskipun saya percaya soal itu, tetapi mengapa harus Ellen? Ada beberapa orang hadir di sini. Saya, Lucy Cole ...."

"Pasti Ellen, Josh, tidakkah Anda melihatnya? Adalah Ellen yang berjalan ke belakang rumah dan mengatakan kepada kita bahwa jendela terkunci. 

Ellen jugalah yang membujuk kita agar tidak mendobrak jendela, tetapi justru menarik pintu. Itulah satu-satunya cara agar skemanya bekerja. Pasti Ellen, dan bukan orang lain."

"Tetapi mengapa harus mengunci ruang itu? Mengapa harus susah-susah begitu?"

"Ayah Anda kelewat berat untuk diangkatnya sendiri. Idealnya, Ellen harus membiarkan jendela tetap terbuka sehingga orang itu tampak seperti perampok yang dibunuh oleh kawannya sendiri. 

Namun, Anda lihat, Ellen tidak tahu orang itu punya kawan sebelum Lucy Cole menyatakan melihat dua orang gelandangan berjalan bersama. Hal itu membuat saya yakin bahwa Lucy tidak terlibat, karena seandainya Lucy terlibat, ia pasti akan membiarkan jendela tetap terbuka agar kawan orang yang tewas itu pun dicurigai.

"Tidak, Ellen harus meninggalkan mayat itu tetap di tempatnya, terkunci di dalam, sehingga timbul kesan seolah-olah orang itu mati karena berani berbuat kurang ajar di sana seperti dalam cerita-cerita lama tentang hantu di ruang ini."

 

Sama-sama lelah

Dr. Sam Hawthorne tua menyandarkan punggungnya di kursinya dan meraih minumannya. "Tentu saja itu benar, bukan, Ellen?"

Wanita tua yang duduk di seberangnya hampir setua dr. Sam, tetapi wanita itu masih memancarkan kesan tegar dan angkuh.

Wajahnya berkeriput dan rambutnya memutih, tetapi dia masih Ellen Eden yang dulu, meski umurnya sudah bertambah 50 tahun. "Tentu saja benar, Sam. Saya membunuhnya ketika itu dan saya tak menyesal. 

Saya tidak menyalahkan Anda karena Anda membantu saya masuk penjara. Yang membuat saya lantas menyalahkan Anda adalah karena saya kehilangan Josh."

"Saya tak bisa berbuat lain untuk ...."

"Saya masuk penjara dan tak lama kemudian ia menceraikan saya. Kemudian saya mendengar Josh menikah dengan Lucy Cole."

"Maafkan saya."

"Setelah saya dibebaskan dari penjara, saya menjelajahi negeri ini. Namun, saya tidak pernah melupakan Anda, Sam. Terkadang saya berpikir ingin membunuh Anda karena telah menghancurkan hidup saya."

"Anda menghancurkan hidup Anda sendiri, Ellen."

"Saya membunuh seorang laki-laki yang telah meninggalkan keluarganya demi wanita lain, yang kemudian datang kembali sebagai gelandangan untuk mencuri harta milik anak laki-lakinya. Apakah itu hal yang begitu buruk untuk saya lakukan?"

Sam Hawthorne mengamati wajah wanita itu beberapa saat sebelum menjawab. "Tommy Eden tidak pernah meninggalkan keluarganya demi wanita lain, Ellen. la tinggal di Prancis setelah perang usai, sebab wajahnya rusak sangat mengerikan karena luka-lukanya. Josh sampai tidak mengenali jenazah ayahnya sendiri. Saya tak pernah menyebutkannya pada persidangan, karena Josh sudah cukup menderita."

Wanita itu menarik napas dalam-dalam. "Sepuluh tahun yang lalu saya seharusnya membunuh Anda juga, Sam. Kini saya terlalu lelah."

"Kita semua lelah, Ellen. Nah, biarlah saya memanggilkan taksi untuk Anda." 

 

(Edward D. Hoch)

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123046/pernikahan-di-rumah-hantu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644400703000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123171" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-05-potr-20220201085033.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(14) "Edward D. Hoch" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9375) ["email"]=> string(20) "intiplus-19@mail.com" } } ["description"]=> string(51) "Pelaku pemerasan yang malah jadi korban pembunuhan." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-05-potr-20220201085033.jpg" ["title"]=> string(21) "Potret Perselingkuhan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:53:21" ["content"]=> string(30189) "

Intisari Plus - Kapten Leopold dari bagian penyidikan pembunuhan, merasa heran sekali ketika ditelepon Max Hafner, pemilik biro detektif swasta yang juga menyediakan tenaga sekuriti. Hafner mengundangnya makan siang di sebuah restoran Prancis. Padahal, Kapten Leopold hampir tidak mengenal Hafner, walaupun peneleponnya itu mantan polisi. Soalnya, Hafner sudah sepuluh tahun berhenti dan dulu bertugas di bagian lain. 

"Mau apa ya, dia?" tanyanya kepada anak buahnya, Sersan Connie Trent yang pernah menjadi bawahan Hafner. 

"Mau menawarkan pekerjaan barangkali, Kapten," jawab polwan itu. 

"Memang lebih enak menjadi detektif swasta daripada menjadi polisi. Penghasilannya jauh lebih besar," gurau Leopold. 

"Ah, tapi saya sih sangsi Anda mau berhenti jadi polisi," komentar Connie. 

"Mau pun sudah terlambat. Saya sudah hampir pensiun kok!" 

Makan siang berlangsung tanpa Hafner menyebut-nyebut maksud pertemuan mereka. Akhirnya, Leoold tidak tahan untuk tidak bertanya. 

"Saya harus cepat kembali ke kantor. Barangkali ada yang ingin Anda sampaikan." 

"Memang begitu. Anda 'kan tahu saya mengusahakan biro detektif yang memakai tenaga beberapa rekan mantan polisi." 

Nah, betul 'kan dugaanku? Dia mau menawarkan pekerjaan, pikir Leopold. Eh, ternyata dugaannya meleset.

"Kami memerlukan alat perekam suara bertenaga baterai dan dihidupkan bunyi. Alat itu mesti cukup kecil untuk bisa dibawa-bawa dalam tas wanita. Barangkali Anda bisa menyebutkan merek dan jenis yang baik," kata Hafner. 

Leopold sungguh tidak menduga kalau Hafner cuma ingin meminta jasa sepele itu, sehingga selama beberapa saat ia membisu saja. 

"Cuma itu saja yang ingin Anda tanyakan?" tanya Leopold seperti tidak percaya. 

"Ya, cuma itu yang bisa saya ingat saat ini." 

Leopold menyebut suatu merek yang saat itu dipakai di bagian penyidikan pembunuhan, lalu mereka berpisah. 

Begitu ia muncul di kantornya, Connie Trent bertanya, "Anda menerima tawarannya?" 

"Dia tidak menawarkan pekerjaan. Kok aneh ya, dia rela mengeluarkan uang 50 dolar untuk menjamu, padahal dia cuma ingin tahu merek alat perekam." 

"Anda menduga Hafner sebetulnya mempunyai maksud lain ketika ia mengundang Anda?" 

"Mungkin ia berniat menawarkan pekerjaan, tetapi ketika ia melihat saya sudah tua, ia membatalkan maksudnya."

 

Dikunci dan dirantai dari dalam

Dua hari kemudian, Leopold sudah lupa tentang peristiwa itu. Lewat tengah hari, Connie Trent menerima telepon dari St. George, yaitu salah sebuah hotel terbesar di kota mereka. Di sebuah kamar hotel itu ditemukdn jenazah. Tampaknya korban bunuh diri. 

Karena saat itu anak buahnya sedang sibuk menangani perampokan bank, maka Leopold turun tangan sendiri. Ia mengajak Sersan Connie Trent mendatangi Hotel St. George yang menduduki seluruh blok di seberang Veteran Park. 

Sebuah ambulans dan sebuah mobil polisi sudah diparkir. Mereka diantar ke tingkat 10 oleh seorang polisi yang memberi laporan di dalam lift. Katanya, bagian front desk di hotel itu menerima laporan bahwa ada wanita berteriak-teriak di kamar no. 1010. Lalu satpam hotel datang memeriksa. 

Pintu kamar terkunci dan wanita itu tidak mau membukanya, sehingga harus dibuka dengan obeng. Temyata daun pintu tetap tidak bisa dibuka penuh sebab rantai dari dalam masih tercantel. 

Satpam memotong rantai itu. Di dalam kamar dilihatnya seorang wanita menjerit-jerit kalap di samping jenazah seorang pria. 

Ketika Leopold tiba di kamar 1010, wanita cantik berambut warna gelap itu masih kalap. Seorang polisi dan para petugas kesehatan tidak ber hasil menenangkannya. Leopold meminta Connie membantu mereka, sementara ia mengamati jenazah yang terbujur di ranjang berukuran lebar. 

Pria itu masih bersetelan lengkap dan penutup ranjang masih rapi ditempatnya. Cuma saja pada pita berwarna merah jambu ada noda darah berbentuk lingkaran. 

Pria itu tampaknya sebaya dengan si wanita, yaitu umur 30-an. Dada dan perutnya menunjukkan luka bekas beberapa tikaman. Di karpet, dekat kursi yang diduduki si wanita, tergeletak sebuah pisau berlumuran darah. 

Connie dkk. akhirnya berhasil menenangkan si wanita yang segera diangkut kerumah sakit. "Tampaknya ia tidak luka, cuma histeris dan mungkin sekali dibawah pengaruh obat bius, entah obat bius apa." 

"Ia membunuh pria itu?" 

"Dia bilang sih tidak." 

Katanya, ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia tertidur. Ketika terjaga, ia melihat pria itu sudah tewas di sampingnya." 

Seorang pria berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar muncul di muka pintu kamar hotel. Ia mengenakan setelan yang terdiri atas tiga bagian dan masih membawa-bawa alat penggunting rantai ukuran besar. 

Ia satpam hotel, namanya Sam Mason. Leopold meminta Mason menceritakan apa yang terjadi. Cerita Mason sama dengan laporan polisi kepada Leopold. 

"Posisi jenazah masih sama seperti sekarang," kata Mason. 

"Wanita itu ngotot bukan pembunuhnya. Mana mungkin si pembunuh kabur dari kamar yang pintunya terkunci dan terkait rantai? Kecuali kalau wanita itu membiarkan si pembunuh kabur, lalu mengunci diri bersama mayat." 

Connie menyerahkan tas tangan si wanita yang ditemukan di sebuah kursi. Leopold membukanya tanpa mengharapkan menemukan petunjuk berarti. Tahu-tahu ia tertegun karena di dalam tas itu terdapat sebuah alat perekam kecil bertenaga baterai dan dihidupkan suara. Merek dan jenisnya sama seperti yang ia sarankan kepada Max Hafner. 

 

Suaminya diperas

Beberapa jam kemudian, Hafner sudah  duduk berhadapan dengan Leopold di markas besar. 

"Max, kau kenal dengan Anita Buckman?" tanya Leopold. Hafner semula ragu-ragu, tetapi kemudian mengaku wanita itu kliennya. 

"Kenapa dia?" tanya Hafner. 

"Menjelang senja tadi ia ditemukan berdua saja dengan seorang pria yang sudah menjadi mayat di dalam kamar hotel dengan pintu terkunci dan terantai dari dalam," jawab Leopold. 

"Siapa pria itu?" 

"Kent Amstrong. Ia bekas guru SMTA setempat yang kehilangan pekerjaan sejak dituduh menodai salah seorang siswanya. Sejak itu hidupnya tidak karuan. Tahun lalu ia ditahan dengan tuduhan menjadi germo. Tetapi tuduhan itu dicabut lagi." 

Max Hafner menjilat bibirnya, lalu bercerita. Katanya, Anita pernah datang kepadanya untuk meminta pertolongan karena suaminya, Rudolph Buckman, diperas. Suaminya itu, yang biasa dipanggil Rudy, wakil presiden suatu departemen di sebuah bank konservatif. 

Suatu hari ada orang diam-diam memotret Buckman saat bermesraan dengan seorang pelacur. Lalu, foto itu dipakai untuk memeras Buckman. Buckman takut foto itu jatuh ke tangan bosnya, sebab menurut peraturan perusahaan, karyawan mereka dilarang berhubungan di luar batas tertentu dengan wanita yang bukan istrinya. 

Setelah memeras Buckman, pemeras menghubungi Anita lewat telepon untuk meminta "uang bungkam". Anita khawatir suaminya dipecat. Ia juga tidak berani menghubungi polisi, karena khawatir pada publisitas. Jadi, ia meminta jasa Hafner. 

Hafner mengusulkan agar Anita bersedia menemui pemeras, tetapi Anita harus berbekal alat perekam. Transaksi dengan pemeras direkam dan hasilnya dipakai untuk memaksa pemeras menghentikan pemerasannya. 

"Karena itulah saya bertanya kepada Anda tentang perekam yang terbaik," kata Hafner mengakhiri ceritanya.

"Si Amstrong itu pemerasnya?" tanya Leopold. 

"Saya duga begitu." Menurut Hafner, Anita dan pemeras berjanji bertemu di lobi Hotel St. George. "Mungkin pemeras berhasil memancingnya ke kamar," komentar Hafner. Hafner mengaku memberi kisikan kepada Sam Mason, agar membantu menjaga keselamatan kliennya. 

"Saya rasa Anita membunuh demi membela dirinya," kata Hafner. 

"Ia menyangkal keras. Ia mengaku tidak sadar beberapa menit dan ketika terbangun dilihatnya Amstrong sudah menjadi mayat di sampingnya."

 

Tak perlu membunuh

Leopold mengeluarkan alat perekam suara darni tas Anita. Ia memijat tombol play. Mula-mula terdengar suara di lobi, lalu suara wanita bertanya, "Anda yang menelepon saya?" 

Suara pria menjawab, "Betul. Anda bawa uangnya?" 

"Di tas saya. Mana foto-foto suami saya?" 

"Di tingkat atas. Saya harus yakin Anda datang sendirian." 

"Saya sendirian." 

"Mari ikut keatas. Sebentar saja." 

"Baik." Kedengaran pelbagai bunyi, lalu bunyi bel lift. 

"Di sini."

 "Jangan kunci pintunya." 

"Kita 'kan tidak mau diganggu. Keluarkan uangnya." 

"Mana foto-fotonya?"

 "Di sini."

"Oh. Binatang kau!" 

"Ini suami Anda, Bu." 

"Siapa wanita itu?" 

"Sebut saja dia sebagai teman suami Anda dan teman saya juga. Namanya Rhoda." 

"Anda yang memotret?" 

"Betul. Bank si Rudy 'kan tidak akan menyukai foto-foto ini." 

"Brengsek!"

 "Tenang saja. Saya punya sebotol wiski. Anda mau minum?" 

"Tidak!" 

"Ah segelas saja 'kan tidak apa-apa. Saya campur dengan air banyak-banyak." 

"Begini caramu mencari nafkah, ya?" 

"Saya mencari nafkah dengan bermacam-macam cara. Dulu saya mengajar. Ini minum dulu lalu serahkan uangnya." 

"Apa ini? Rasanya tidak enak." 

"Cepat serahkan uangnya." 

"Tidak. Ah, kamar ini berputar."

"Cuma khayalan Anda saja."

Terdengar suara-suara campur aduk dan suara Amstrong lagi. "Apa yang kau lakukan?" Setelah itu yangkedengaran cuma suara teriakan-teriakan Anita sampai pita rekaman habis terpakai. 

Leopold mematikan alat rekaman danHafner bertanya, "Anda bilang, pintu terkunci dari dalam?" 

"Rantai pintu pun tercantel."

"Dari rekaman, tampaknya Anita yang membunuhnya, tapi mungkin saja saat ituia dibius. Anda memeriksa botol wiski?" 

"Sedang dianalisis." 

Hafner menggelengkan kepalanya. "Untuk apa dia membunuh kalau dari rekaman ia sudah bisa membuktikan kejahatan Amstrong? Amstrong sudah bukan ancaman lagi baginya maupun bagi suaminya." 

"Anda bilang Anda meminta Sam Mason mengamati Anita. Anda sudah meminta laporannya." "Belum. Saya belum tahu apa-apa ketika Anda memanggil saya ke sini."

 

Satu-satunya tersangka

Di rumah sakit untuk pertama kalinya Leopold bertemu dengan Rudy Buckman. Pria itu berumur 30-an. Rambutnya pirang dan kulitnya pucat. Leopold memperkenalkan dirinya dan Rudy Buckman bertanya mengapa pintu kamar istrinya perlu dijaga oleh polisi wanita segala. 

"Saya kira perlu, Pak Buckman. Istri Anda merupakan tersangka dalam kasus pembunuhan dan sampai saat ini merupakan satu-satunya tersangka."

"Anda datang untuk menanyai istri saya?" tanyanya. 

"Saya ingin berbicara dengan istri Anda, jika dokter menyatakan ia mampu diajak berbicara." 

Ternyata Anita Buckman sudah tenang, tetapi mesti menginap semalam di rumah sakit. Buckman mengantar Leopold ke ranjang istrinya. Anita terbaring tetapi tidak tidur. 

"Saya sudah sehat sekarang. Mengapa saya tidak boleh pulang?" tanyanya. 

"Dokter akan memperbolehkan pulang besok," kata suaminya menghibur. 

Leopold berdehem. "Saya ingin menanyakan sesuatu kepada Anda, Bu Buckman. Saya harus memberi tahu Anda bahwa Anda berhak untuk berdiam diri atau meminta kehadiran seorang pengacara. Pemyataan yang Anda buat dapat dipakai untuk memberatkan Anda." 

"Saya tidak membunuhnya!" 

"Itulah yang ingin saya pastikan." 

"Kau ingin kehadiran pengacara, Anita?" tanya suaminya. 

"Tidak! Saya tidak perlu menyembunyikan sesuatu." 

"Silakan Anda ceritakan apa yang terjadi," pinta Leopold. 

"Detektif itu, Hafner ...." 

"Max Hafner." 

"Ya. Saya datang kepadanya ketika diperas."

"Mengapa kamu tidak memberi tahu saya?" kata Rudy Buckman.

"Jika saya tahu Amstrong mengancammu juga ...." 

"Kamu 'kan tidak memberi tahu saya, Rudy. Jadi saya pun tidak perlu memberi tahu kamu. Hafner bilang, saya bisa berada di atas angin kalau berhasil merekam transaksi. Saya anggap sarannya benar, jadi saya jalankan. Pemeras itu - kamu bilang namanya siapa? Amstrong?" tanya Anita kepada suaminya. 

"Kent Amstrong," Leopold menjelaskan. 

"Katanya, foto-foto itu ada di kamamya. Jadi, saya ikut dia untuk mengambilnya. Saya melihat semuanya, Rudy. Menjijikan, kamu dengan wanita itu." 

"Kemudian apa yang terjadi?" tanya Leopold. "Ia memaksa saya minum wiski. Saya cuma minum seteguk, lalu saya pusing. Saya tidak ingat apa yang terjadi setelah itu. Tiba-tiba saja saya ada di sampingnya. Ia berlumuran darah. Saya lantas berteriak-teriak." 

"Amstrong memasukkan orang lain ke kamar?" 

"Tidak. Saya ingat ia mengunci pintu ketika kami masuk." 

"Mungkinkah ada orang yang bersembunyi di lemari atau di kamar mandi?" tanya Rudy. "Atau di kolong ranjang?" 

"Mungkin begitu." "Tapi mereka tidak mungkin bisa keluar," kata Leopold. "Sam Mason, satpam harus menggunting rantai supaya bisa masuk." 

"Saya ...."

"Jangan berkata apa-apa lagi, Anita. Saya akan mencarikan pengacara bagimu besok pagi." Buckman berbalik kepada Leopold. "Saya kira cukup sekian dulu, Kapten." 

"Baik. Kita lanjutkan besok di kantor." 

Disaksikan petugas pembersih kamar

Sam Mason sedang tidak bertugas ketika dicari di hotel St. George, tetapi ia bisa ditemukan di Bar Fountainhead yang remang-remang. 

"Anda sering melihat Kent Amstrong di hotel?" Tanya Leopold.

"Baru hari itu."

"Anda kenal temannya, Rhoda?"

"Rhoda Quigley? Setiap kali muncul di lobi, saya giring dia ke luar. Tapi akhir-akhir ini ia

tidak pernah kelihatan."

"Di mana ia tinggal?"

"Ah, pasti kalian punya alamatnya di markas besar."

"Kenal Max Hafner?"

"Detektif swasta itu?"

"Betul. Katanya, ia memberi Anda beberapa dolar untuk mengawasi Anita Buckman pada saat bertemu dengan Amstrong."

"Ah, Anda jangan membahayakan sumber nafkah saya. Kalau ketahuan bos, bisa di pecat saya. 'Kan saya tidak boleh menerima pekerjaan sampingan."

 "Saya tidak peduli soal itu. Saya cuma bertanya apakah Anda mengawasi Anita Buckman."

 "Ya. Saya mengikuti mereka, tapi begitu mereka masuk ke kamar 'kan saya tidak bisa apa-apa lagi. Saya turun untuk menelepon Hafner, tapi ia sedang tidak ada di tempat. Tahu-tahu saya dilapori wanita itu berteriak-teriak." 

"Lalu apa yang Anda lakukan?" 

"Saya meminjam obeng dari petugas pembersih kamar untuk membuka pintu. Lalu saya mengambil alat penggunting rantai. Ketika bersama petugas pembersih kamar saya masuk, saya lihat Ny. Buckman masih berteriak-teriak, sedangkan Amstrong tewas di ranjang." 

"Petugas pembersih kamar menemani Anda? Ia melihat Anda menggunting rantai?" 

"Ya. dong." 

Leopold mencoba tidak memperlihatkan kekecewaannya. Tadinya ia pikir Mason memotong rantai setelah menikam amstrong. Tapi dengan hadirnya petugas pembersih kamar sebagai saksi, kemungkinan itu buyar. 

Kembali ke kantornya Leopold memeriksa kembali semua benda yang ditemukan di kamar: pisau, botol wiski, kamera, tas Anita, pita rekaman. Di tas itu selain alat perekam, juga ada sebuah sampul penuh guntingan surat kabar bukan duit. Rupanya untuk menipu pemeras. Rencananya begitu transaksi direkam, Anita harus cepat-cepat keluar dari kamar. Ternyata ia tidak cukup gesit. 

Leopold memeriksa kamera 35 mm yang ditemukan dalam lemari dan tampaknya milik Amstrong. Kamera itu berisi film yang belum dipakai. "Buat apa kamera ini?" tanyanya kepada Connie Trent yang masuk membawa laporan laboratorium. 

"Saya duga sih Amstrong ingin membuat beberapa foto Ny. Buckman. Wiski itu 'kan berisi obat untuk bikin KO. Begitu Ny. Buckman pingsan, Amstrong akan menelanjangi dan memotret untuk modal memeras lagi." 

"Ah itu 'kan cuma spekulasi," bantah bosnya. 

"Habis buat apa ia membius wanita itu?" 

"Barangkali kau benar." 

"Mungkin Ny. Buckman berbekal pisau di tasnya dan menggunakan senjata itu ketika ia merasa terancam." 

"Tapi kenapa dia menyangkal mati-matian? Tidak ada juri yang akan menyalahkan dia kalau dia menikam Amstrong dalam situasi seperti itu." 

"Entahlah. Mungkin dia ketakutan." 

"Mana foto-foto yang diambil di tempat kejadian?" 

Lama sekali Leopold memandangi foto pintu kamar no. 1010. Foto itu memperlihatkan rantai yang terpotong. Seuntai menggantung di daun pintu, seuntai lagi di kusen pintu. Tiap untai terdiri atas lima mata rantai. Satu mata rantai lagi tergeletak di karpet, yaitu mata rantai yang digunting menjadi dua bagian. 

"Connie, coba periksa kalau-kalau ada berkas tentang Rhoda Quigley, teman Amstrong melakukan kejahatan," perintahnya. Tak lama kemudian Connie melapor. "Kapten, saya sudah membawa Rhoda Quigley ke markas besar." 

Rhoda Quigley ternyata seorang wanita berambut coklat yang sulit dibayangkan sebagai pelacur. Ia lebih tepat menjadi karyawan bagian penjualan di perusahaan realestat atau kantor asuransi. 

Ia mengaku kenal Kent Amstrong, yang kematiannya sore itu diumumkan di TV. Ia juga terpaksa mengaku pernah dipotret bersama Rudy Buckman dan beberapa pria lain atas permintaan Amstrong, tapi ia menyangkal ikut dalam pemerasan. Katanya pemotretan selalu dilakukan di kamar yang sama di St. George, yaitu kamar no. 1010. 

Kent Amstrong tidak bersembunyi di kamar, tetapi di luar. Di kamar itu pria pasangan Rhoda tidak bisa melihat ke pintu. Apalagi Rhoda membuatnya sibuk. Kent mempunyai cara untuk masuk tanpa ketahuan. 

Leopold meminta Rhoda didampingi pengacara pada saat membuat pernyataan resmi. Setelah itu ia meminta Connie pergi mencari hakim malam itujuga, untuk meminta surat perintah penggeledahan di alamat tertentu. 

"Tidak mungkin, Kapten. Sekarang 'kanhari besar, Hari Veteran. Kebanyakan hakim pergi ke luar kota melewatkan akhir minggu panjang." 

"Coba ke rumah Hakim Newman. Ia tidak keluar kota."

 

Sisa foto tak terbakar

Sejam kemudian Leopold dan Connie sudah berada dalam kendaraan yang membawa mereka ke rumah seseorang. Mereka berbekal surat perintah penggeledahan yang ditandatangani oleh Hakim Newman. 

"Sejak semula saya yakin Anita Buckman tidak membunuh Kent Amstrong. Mesti ada orang lain di kamar itu." 

"Mengapa Anda bisa begitu yakin?" 

"Karena ada barang penting yang hilang dari kamar itu. Amstrong membawa Anita Buckman ke kamar 1010 untuk memperlihatkan foto-foto suaminya dengan Rhoda. Kita tahu dari rekaman bahwa ia memperlihatkan foto-foto itu kepada Anita. Tapi ke mana foto-foto itu kemudian? Kita tidak menemukannya di kamar itu. Satu-satunya yang bisa terjadi adalah: seseorang masuk dan membawanya pergi." 

"Bisa saja Sam Mason, setelah ia menggunting rantai. Mengapa? Untuk dibawa ke Hafner. Apa gunanya? Foto-foto itu 'kan bisa menjadi bukti Anita diperas. Ia 'kan klien Hafner? Selain itu, petugas pembersih kamar mendampingi Mason ketika ia masuk ke kamar 1010. Foto-foto itu bukan diambil Mason, tetapi si pembunuh. Berarti bukan Anita." 

"Jadi siapa? Bagaimana ia bisa masuk kekamar itu? Mestinya seseorang yang menganggap foto itu penting bagi dirinya. Bukan pemeras lain atau Rhoda Quigley. Rhoda sering membuat foto begini. Saya yakin memiliki kunci palsu untuk kamar itu tidak sulit. Tapi bagaimana dengan rantai yang tercantel?” 

"Saya perhatikan Mason menggunting mata rantai yang paling tengah, meninggalkan lima mata rantai ke kiri dan lima mata rantai ke kanan. Ketika saya bandingkan dengan rantai cantel di rumah saya, saya dapati rantai di kamar 1010 itu lebih panjang daripada normal. 

Kemudian saya tahu dari Rhoda bahwa Amstrong selalu mempergunakan kamar 1010 itu menambahkan mata rantai pada rantai yang sudah ada, supaya cukup panjang sehingga daun pintu bisa dibuka cukup lebar untuk memasukkan tangannya. 

Dengan demikian ia bisa membuka cantelan untuk masuk dan mencantelkannya lagi dari luar. Connie mengangguk. 

Mereka tiba di alamat yang dituju. Sebelum keluar dari mobil Leopold berkata, "Si pembunuh tahu sistem ini atau menduganya dari pengalaman. Ia juga orang yang sangat berkepentingan untuk memperoleh foto-foto tidak senonoh yang dipakai memeras Anita Buckman. Orang yang memenuhi persyaratan ini cuma satu: Rudy Buckman." 

Buckman membukakan pintu. "Terlalu malam untuk bertamu, Kapten. Saya sudah hampir naik ke ranjang." 

"Kami memiliki surat penggeledahan, Pak Buckman."

"Apa?" 

"Perintah penggeledahan untuk mencari foto-foto yang Anda ambil dari kamar hotel pagi ini setelah Anda membunuh Amstrong." 

"Gila!" seru pria itu. Connie segera memeriksa ruang duduk. "Anda tahu bagaimana membuka rantai itu, Pak Buckman," kata Leopold. 

"Ketika Anda dengar Amstrong membius istri Anda. Anda keluar dari tempat persembunyian Anda dan menikam Amstrong. Rupanya Anda memutuskan bahwa Anda tidak keberatan istri Anda dipenjara sebagai pembunuh.” 

“Namun, Anda membuat suatu kesalahan besar: Anda mengambil foto-foto Anda. Setelah mengunci kembali pintu, Anda tidak mempunyai kesempatan menyembunyikan foto-foto itu di bank Anda, karena hari itu hari raya. Jadi Anda bawa pulang ke rumah." 

"Kapten, di perapian ada abu dan sebuah sudut foto yang tidak sempat terbakar." 

"Panggil petugas-petugas laboratorium. Mereka akan bisa membuat gambaran dari serpihan besar yang sudah hangus ini." Kemudian Leopold berbalik menghadapi Rudolph Buckman untuk membacakan hak-haknya dan mengalungkan borgol. 

Seminggu kemudian Max Hafner mengundang Leopold makan siang lagi. "Saya dengar Buckman mengaku," katanya. 

"Betul. Tinggal menunggu sidang pengadilan saja." Hafner terdiam sejenak, lalu katanya, "Kapten, saya ingin menawarkan sesuatu yang mestinya saya tawarkan sejak dulu-dulu. Apakah Anda tertarik untuk meninggalkan kepolisian dan bekerja di perusahaan saya? Saya memerlukan orang yang memiliki akal dan pengetahuan seperti Anda." 

Kapten Leopold tersenyum puas. "Terima kasih. Max.Saya menghargai tawaran Anda, tetapi saya belum ingin berhenti menjadi polisi. Hari ini giliran saya mentraktir Anda." 

(Edward D. Hoch) 

 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123171/potret-perselingkuhan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643748801000) } } }