array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3124198"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/tewas-sebelum-beraksijpg-20220203121803.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(15) "Agatha Christie"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9390)
          ["email"]=>
          string(20) "intiplus-33@mail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(101) "Seorang pembunuh buronan yang memiliki kelainan mental punya hobi hobinya membunuh wanita kekasihnya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/tewas-sebelum-beraksijpg-20220203121803.jpg"
      ["title"]=>
      string(21) "Tewas Sebelum Beraksi"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-02-03 12:18:14"
      ["content"]=>
      string(45961) "

Intisari Plus - Alix Martin sama sekali tidak cantik Meskipun sudah tidak remaja lagi, wajahnya memancarkan kesegaran dan kelembutan. Waktu masih bekerja di kantor dulu, ia dikenal serba efisien, cakap, tidak berbasa-basi, malah kadang-kadang menimbulkan kesan kasar. 

Di sekolah pun dulu ia anak disiplin. Sejak usia 18-33 tahun ia sibuk mencari nafkah. Belum lagi kesibukan merawat ibunya yang cacat selama 7 tahun dari jangka waktu 15 tahun. 

Kisah cinta tentu saja dialaminya, paling tidak semacam itulah yang terjadi antara dia dan Dick Windyford, rekan sekantornya. Alix sebenarnya sudah lama tahu bahwa Dick mempunyai perhatian khusus kepadanya. Ia pura-pura tak tahu saja. Gaji Dick kecil. Lagi pula ia masih harus membiayai sekolah adiknya. Menikah? Mana mungkin. 

Tiba-tiba Alix kejatuhan rezeki. Ada sepupu jauh yang meninggal dan mewariskan beberapa ribu ponsterling kepada Alix. Uang itu seperti pintu gerbang menuju kebebasan hidup dan kemandirian. Alix dan Dick tak perlu lagi mengulur waktu. 

Di luar dugaannya, reaksi Dick justru dingin-dingin saja. Alix tahu sebabnya: Dick terlalu peka dan bergengsi untuk melamar justru di saat Alix baru saja mendapat rezeki besar. 

Waktu itulah satu hal tak terduga terjadi pada Alix. Ia berkenalan dengan Gerald Martin yang serta merta tergila-gila kepadanya. Dalam seminggu saja mereka sudah bertunangan. 

Ironisnya, justru hal inilah yang berhasil memancing kemarahan Dick Windyford. Ia datang, gemetar saking marahnya. 

"Orang itu 'kan orang asing! Kau tak tahu sedikit pun tentang dia!" 

"Yang aku tahu: aku cinta padanya." 

"Mana mungkin cuma dalam waktu seminggu?" 

"Tidak semua orang butuh sebelas tahun untuk berpikir jatuh cinta atau tidak!" Kemarahan Alix meledak. 

Wajah Dick memucat. "Aku sudah menyayangimu sejak kita bertemu pertama kali. Semula kukira kau pun demikian terhadapku." 

Percakapan itulah yang sedang terlintas di benak Alix, di pagi yang begitu cerah sambil bersandar di pagar rumahnya. Pernikahannya sudah berumur sebulan dan ia betul-betul bahagia. 

Tapi di saat-saat suaminya tak ada, sepercik kekhawatiran menerobos masuk ke dalam kebahagiaan yang sudah sempurna itu. Penyebabnya adalah Dick Windyford. 

Sudah tiga kali sejak perkawiriannya, ia memimpikan hal yang sama. Meskipun situasinya berbeda-beda, fakta-fakta pokok dalam mimpi-mimpi itu selalu sama, Di dalam mimpinya ia melihat suaminya terbaring mati. Dick berdiri di sisi tubuh itu. Dalam mimpi-mimpi itu ia yakin Dick jadi penyebab kematian suaminya. 

Memang ngeri, namun lebih mengerikan lagi, di dalam mimpi-mimpi itu kematian Gerald merupakan sesuatu yang wajar, yang tak dapat lagi dihindarkan. Alix Martin, merasa senang atas kematian suaminya sendiri dan mengulurkan tangan dengan penuh rasa terima kasih kepada si pembunuh; bahkan kadang-kadang ia mengucapkan terima kasih! Semua impiannya selalu berakhir sama: ia berada di dalam pelukan Dick Windyford. Dering telepon menyadarkan Alix. 

"Siapa? Tolong diulang, siapa ini?" 

"Oh, Alix, kenapa suaramu? Aku hampir tak mengenali suaramu. Ini Dick." 

"Oh!" kata Alix. 

"Di mana, di mana kau?" 

"Aku di Traveller's Arm.Aku sedang berlibur, memancing di sini. Apa kau keberatan jika nanti malam aku mengunjungi kalian setelah makan malam?" "Tidak bisa," cetus Alix tajam. "Kau tak boleh datang." "Maaf," katanya dengan formal. 

"Tentu saja aku tak bermaksud mengganggumu ...." Alix cepat-cepat menimpali. Tentu saja bagi Dick ini betul-betul mengherankan. "Yang kumaksudkan, kami ada janji malam ini," Alix berusaha menerangkan dengan suara sewajar mungkin. "Bagaimana kalau kau datang besok saja untuk makan malam?" 

Tetapi jelas Dick telah melihat tak adanya kehangatan di dalam suaranya. "Terima kasih banyak," katanya masih dengan nada formal.

 

Rahasia tukang kebun

Ia lalu pergi ke kebun lagi, namun di teras ia berhenti sebentar untuk menatap nama yang terukir di atas beranda itu : Pondok Philomel.

Gerald yang menemukan Pondok Philomel. Waktu melihatnya, Alix pun segera terpikat. Meskipun jaraknya 2 mil dari desa terdekat, tetapi pondok itu begitu elok, fasilitasnya pun lengkap. Si pemilik hanya bersedia menjual, bukan menyewakan. 

Gerald Martin memang berpenghasilan cukup baik, tapi ia hanya sanggup menyediakan 1.000 ponsterling, padahal si pemilik rumah meminta 3.000 ponsterling. Alix yang sudah telanjur jatuh cinta tak berkeberatan menyumbang separuh dari harga pondok itu. 

Sampai kini tak pernah sedetik pun Alix menyesali pilihan mereka itu. Tak ada seorang pun pelayan di rumah mereka. Alix tetap menikmati hari-harinya. Ia telah begitu rindu pada kehidupan rumah tangga: memasak, mengatur rumah. 

Kebun yang begitu sarat dengan bunga-bungaan dirawat oleh seorang tukang kebun tua, yang datang dua kali seminggu. 

Waktu mengitari sudut rumah, Alix menjumpai si tukang kebun sedang sibuk bekerja mengurus bunga. Ia heran, karena hari kerja tukang kebun biasanya Senin dan Jumat, padahal saat itu hari Rabu. 

"Wah George, sedang apa kau di sini?" tanya Alix sambil menghampiri orang tua itu. 

George bangun, lalu menyentuh ujung topi tuanya, sebagai tanda salam.

"Memang sudah kupikir Nyonya bakal heran. Soalnya, Jumat akan ada festival. Aku pikir, pasti baik Tuan Martin maupun istrinya tak akan menganggap aku membolos, bila kali ini aku tidak datang pada hari Jumat, tetapi hari Rabu." 

"Tentu saja tak apa-apa," kata Alix. "Kuharap kau senang di festival itu." 

"Aku kira begitu," kata George. "Makan sekenyang-kenyangnya tanpa harus membayar sendiri selalu menyenangkan. Selain itu kupikir perlu juga menemui Nyonya sebelum Nyonya pergi. Tentang bunga-bungaan untuk pembatas. Mungkin Nyonya belum tahu akan kembali kapan?" 

"Tapi aku tidak akan pergi ke mana-mana." George terdiam menatapnya. 

"Bukankah Nyonya akan ke London besok pagi?" 

"Tidak. Siapa yang mengatakan itu?" 

George menggelengkan kepala. 

"Aku bertemu Tuan di desa kemarin. Katanya, Tuan dan Nyonya akan berangkat ke London besok dan belum tahu kapan akan kembali." 

"Omong kosong," kata Alix sambil tertawa. "Kau pasti salah paham." 

Meskipun demikian Alix ingin tahu juga, kira-kira apa yang telah dikatakan Gerald sehingga bisa menimbulkan kesalahpahaman macam itu. Ke London? la tak pernah ingin kembali ke London. 

"Aku benci London," katanya tiba-tiba dengan sedikit menyentak. 

"Ah!" sambut George tetap tenang saja. "Mungkin aku salah dengar. Tapi dia mengatakannya dengan cukup jelas, kok. Aku senang Nyonya memutuskan tetap tinggal di sini. Aku tak suka London. 

Terlalu banyak mobil, itulah susahnya zaman sekarang. Begitu orang punya mobil, tak dapatlah ia diam di satu tempat. Seperti Tuan Ames, yang dulu tinggal di rumah ini. Baik, tenang, sampai ia punya kendaraan bermotor. 

Belum sebulan, sudah dijualnya pondok ini. Padahal banyak juga yang sudah dikeluarkannya untuk membereskan rumah ini." 

"Tuan tidak akan mungkin memperoleh kembali semua pengeluaran itu," kataku kepadanya. 

"Tapi," dia menyahut, "aku akan mendapat 2.000 ponsterling untuk rumah ini." Memang betul itu yang didapatnya.

"Dia malah mendapat 3.000 ponsterling," kata Alix sambil tersenyum. 

"Dua ribu," ulang George. "Jumlah yang dimintanya itulah yang dibicarakan waktu itu." 

"Betul 3.000 ponsterling." kata Alix. 

"Apakah maksud Nyonya, Tuan Ames begitu tak tahu malunya meminta 3.000 ponsterling dengan terang-terangan?" 

"Dia tidak mengatakannya kepadaku," kata Alix, "ia mengatakan itu kepada suamiku." George kembali mengurus bunga-bunganya. 

Alix tak mau repot-repot berdebat dengan orang tua itu. Ia pindah ke bentangan bunga-bungaan berikutnya, lalu memetik banyak bunga. 

Selagi berjalan sambil membawa bunga itulah, ia melihat sebuah benda hijau tua mengintip dari balik dedaunan di tanah. Ternyata itu buku harian suaminya, yang segera dipungutnya. 

Dibukanya dan dibalik-baliknya buku itu dengan senang hati. Sejak awal perkawinan mereka, ia sudah tahu bahwa Gerald yang impulsif dan emosional itu sebenarnya punya sifat yang rapi dan metodik. Ia begitu rewel tentang perlunya waktu makan yang tepat dan selalu merancang acara sehari sebelumnya setepat-tepatnya. 

Dengan senang hati dibacanya acara pada tanggal 14 Mei: "Menikah dengan Alix, St. Peter, 14.30." 

"Si Tolol itu," gumamnya sambil membalik-balik halaman buku lagi. Tiba-tiba ia berhenti. 

"Rabu, 18 Juni 'lo, itu 'kan hari ini." 

"Di ruang yang tersedia, tertulis dengan rapi dan tepatnya: 21.00."Hanya itu.Apa yang telah direncanakannya pada pukul 21.00 nanti? Alix berpikir. Ia tersenyum sendiri mengingat seandainya ia seperti cerita-cerita yang sering dibacanya, tentu akan tersangkut nama wanita lain dan ia pasti akan menemukan sesuatu yang sensasional. 

Tapi ketika dibalik-baliknya buku itu, hanya ada satu nama wanita: ia sendiri. 

Meski demikian ketika ia menyelipkan buku itu ke kantung sambil berjalan ke arah rumah, dirasakannya ada kegelisahan yang samarsamar. Kata-kata Dick Windyford kembali mengawang, "Orang itu 'kan orang asing. Kau tak tahu sedikit pun tentang dia." 

Akan diceritakannya atau tidak bahwa Dick Windyford telah menelepon. 

Bila ia bercerita, pastilah Gerald akan mengusulkan untuk mengundang Dick ke Pondok Philomel. Maka ia pasti harus bercerita bahwa Dick sendiri telah mengusulkan itu dan bahwa kunjungan itu telah ditolaknya. Jika Gerald bertanya mengapa ia menolaknya, apa yang harus dikatakannya? Menceritakan mimpinya? Paling-paling ia akan tertawa atau menganggapnya hal yang remeh. 

Akhirnya, Alix memutuskah untuk tidak mengatakan apa-apa. Ini pertama kalinya ia merahasiakan sesuatu kepada suaminya dan ini membuatnya tak tenang. Waktu didengarnya Gerald kembali dari desa, cepat-cepat ia berpura-pura sibuk di dapur. 

 

Menguji suami

Setelah makan malam, mereka duduk-duduk di ruang tengahdengan jendela terbuka. Segarnya udara malam memenuhi ruangan. Waktu itu barulah Alix ingat tentang buku harian suaminya. 

"Ini sesuatu yang kau siramkan ke bunga-bunga," katanya sambil melemparkan buku itu ke pangkuan suaminya. 

"Oh, jatuh ya?" 

"Ya, sekarang aku sudah tahu semua rahasiamu. Bagaimana dengan rencanamu malam ini, pukul 21.00?" 

"Oh! Itu ...." Kelihatannya Gerald agak terkejut, sebentar kemudian tersenyum, seakan-akan ada sesuatu yang begitu menyenangkan hatinya. "Itu janji dengan seorang gadis yang cukup menyenangkan. Rambutnya coklat, matanya biru, dan ia sangat mirip denganmu." 

"Aku tak mengerti," kata Alix, merasa dipermainkan. "Kau menghindar." 

"Tidak. Itu sebenarnya cuma untuk mengingatkan bahwa malam ini aku akan memproses negatif film dan aku butuh bantuanmu." 

Gerald Martin adalah fotografer yang sangat bersemangat. Kameranya sudah ketinggalan zaman, tetapi lensanya amat bagus. Ia pun mencuci sendiri film-filmnya di gudang kecil di bawah tanah yang sudah diperbaiki menjadi kamar gelap. 

"Kita harus mulai tepat pukul 21.00," kata Alix menggoda. 

Gerald tampaknya agak jengkel. 

"Sayang," katanya dengan agak tak sabar, "orang harus merencanakan segala sesuatu pada waktu yang tepat, supaya pekerjaannya dapat selesai dengan baik." 

"Untuk beberapa menit Alix duduk terdiam. Ditatapnya suaminya yang sedang bersantai di kursi sambil merokok. Kepalanya bersandar ke belakang dan raut wajahnya yang tercukur rapi tampak begitu jelas dengan latar belakang agak suram. Tiba-tiba saja rasa panik menyerbu jiwanya sehingga Alix berteriak, "Oh, Gerald, jika saja aku tahu lebih banyak tentang kau!" 

Suaminya menoleh dengan wajah heran. 

"Tapi Alix sayangku, kau 'kan sudah tahu semuanya tentang aku. Bukankah sudah kuceritakan tentang masa kecilku di 'Northumberland' hidupku waktu di Afrika Selatan, dan sepuluh tahun di Kanada yang membawa sukses." 

"Oh! Bisnis!" Tiba-tiba Gerald tertawa. 

"Aku tahu yang kau maksudkan, kisah-kisah cinta. Kalian wanita memang sama saja. Yang diperhatikan hanyalah soal-soal pribadi." 

Sunyi kembali. Gerald Martin mengerutkan dahi, ada kebimbangan di wajahnya. Kemudian ia berbicara, kali ini serius. 

"Apakah bijaksana membicarakan soal begini, Alix? Tentu pernah ada wanita di dalam hidupku.. Namun, aku bersumpah tak ada seorangpun yang berarti bagiku." 

Keseriusan yang ada di dalam nada suaranya membawa ketenangan di hati Alix. 

Alix bangun dan mulai mondar-mandir dengan gelisah. 

"Sepanjang hari ini aku terus gelisah,"' katanya. 

"Aneh," gumam Gerald, seakan-akan sedang berbicara dengan dirinya sendiri. "Aneh sekali." 

"Kenapa aneh?" 

"Ah, sayang, jangan memelototi aku begitu. Aku cuma berkata itu aneh karena biasanya kau demikian manis dan tenang." Alix berusaha tersenyum. 

"Hari ini setiap hal membuatku jengkel," ia mengaku. "Bahkan si tua George pun sampai-sampai mempunyai gagasan lucu bahwa kita berdua akan pergi ke London. Menurut dia, kau mengatakan begitu." 

"Di mana kau bertemu dengannya?" tanya Gerald tajam. 

"Ia bekerja hari ini untuk pengganti hari Jumat." 

"Si Tolol tua sialan," kata Gerald geram. 

Alix terpana keheranan. Wajah Gerald penuh dengan amarah. Tak pernah ia melihat suaminya demikian marah. Melihat reaksi Alix, Gerald berusaha mengontrol dirinya. 

"Memang ia orang tua tolol dan sialan," protesnya. 

"Apa yang telah kau katakan sampai ia berpikir begitu?" 

"Aku? Tak pernah aku mengatakan apa-apa. Paling-paling ... oh, ya, aku ingat. Iseng-iseng aku pernah bergurau sedikit tentang 'berangkat ke London pagi-pagi'. Mungkin ia menganggapnya serius. Atau, ia salah dengar. Engkau memberitahukan yang sebenarnya?" 

Gerald menunggu jawaban Alix dengan cemas. 

"Tentu saja, tapi ia termasuk jenis orang tua yang kukuh.Tak mudah mengubah pendiriannya." 

Kemudian diceritakannya kengototan George tentang harga rumah mereka. 

Setelah diam sejenak, Gerald berkata perlahan, "Yang diminta Ames adalah 2.000 kontan dan 1.000 sisanya dalam bentuk gadai. 

Mungkin itu sumber kesalahpahaman kukira." 

"Mungkin sekali," Alix setuju. 

Kemudian ditengoknya lonceng, lalu Alix menunjuk ke arah lonceng itu dengan nakal. 

"Kita harus mulai cepat bekerja, Gerald. Terlambat lima menit." 

Wajah Gerald diliputi senyum amat ganjil. 

"Aku sudah berganti rencana," katanya dengan tenang. "Aku tidak akan mengerjakan fotografi malam ini." 

Batin wanita memang aneh. Rabu malam itu Alix tidur dengan rasa puas dan damai. Kebahagiaannya kembali seperti sebelumnya. 

Namun, sore keesokan harinya Alix sadar, di dasar hatinya masih bergumul ketidaktenangan. Memang sore itu Dick tidak menelepon lagi, tetapi pengaruh kata-katanya masih bekerja. 

Bersama itu pula kembali terbayang wajah suaminya waktu berkata, "Apakah bijaksana membicarakan soal begini, Alix?" Mengapa ia berkata begitu? 

Dengan kalimat itu seakan-akan suaminya hendak berkata, "Lebih baik jangan coba-coba menggali tentang hidupku, Alix. Kau bisa terkejut." 

Jumat pagi Alix telah yakin bahwa ada wanita lain dalam kehidupan Gerald. Rasa cemburunya yang bangkit perlahan kini tak dapat dikendalikan lagi. 

Wanitakah yang mestinya hendak ditemui Gerald malam itu pada pukul 21.00? Apakah memproses film hanya alasan yang dikarangnya waktu itu juga? 

Tiga hari lalu ia begitu yakin telah mengenal suaminya luar-dalam. Kini rasanya Gerald hanyalah seorang asing. Alix masih ingat bagaimana marahnya Gerald kepada George, kemarahan tanpa alasan, benar-benar tak cocok dengan sifat sehari-harinya yang begitu ramah dan baik.

 

Ternyata buronan

Hari Jumat itu ada beberapa keperluan kecil yang mesti dibeli di desa. Pada sore hari Alix mengusulkan pergi ke desa, sementara Gerald tetap tinggal di kebun. 

Tak disangkanya Gerald menolak mati-matian dan mendesak supaya ia saja yang pergi ke desa. Alix terpaksa mengalah dan tetap tinggal di rumah. Tetapi ia tak mengerti. Mengapa Gerald begitu bernafsu mencegahnya pergi ke desa? 

Setelah waktu minum teh sore hari berlalu, ia kembali gelisah. Akhirnya, dengan alasan ingin membersihkan dan merapikan ruangan, ia mengambil bulu ayam dan naik ke loteng, ke kamar kerja suaminya. 

Surat-surat dan dokumen digeledahnya, laci-laci dibuka, kantung-kantung pada pakaian suaminya pun tak ketinggalan. Hanya ada dua laci belum dijamahnya, keduanya terkunci. 

la yakin di dalam salah satu laci itulah akan didapatkannya bukti-bukti tentang wanita dari masa lalu Gerald, yang kini begitu mengganggu pikirannya. 

la ingat Gerald meletakkan kunci-kuncinya begitu saja di lemari bufet di bawah. la mengambilnya, lalu dicobanya satu per satu. Kunci ketiga cocok dengan laci meja tulis. 

Dibukanya laci itu dengan rasa penuh ingin tahu. Didalam ada buku cek, dompet penuh catatan, dan di sebelah dalam ada setumpuk surat yang diikat dengan pita. 

Dengan napas yang memburu tak karuan, Alix membuka ikatannya. Tapi seketika wajahnya merona merah. Dikembalikannya semua surat itu ke laci, lalu laci kembali dikuncinya. Surat-surat itu berasal dari dia sendiri, sebelum menikah dulu. 

Kini ia beralih ke laci satunya yang masih terkunci. Kali ini tak ada satu pun kunci yang cocok. Dengan penasaran Alix mengambil kunci-kunci dari kamar-kamar lain. Untunglah kunci lemari pakaian kamar tamu cocok. Di laci itu hanya ada segulung kliping surat kabar yang sudah kotor dan kuning saking tuanya. 

Alix menarik napas lega. Iseng-iseng dibacanya juga kliping itu. Hampir semuanya kliping surat kabar Amerika, dari kira-kira tujuh tahun lalu. Isinya, pengadilan terhadap penipu ulung, Charles Lemaitre, yang dicurigai telah membunuh para wanita korbannya. 

Sebuah kerangka manusia telah ditemukan di bawah lantai salah satu rumah yang disewanya, dan sebagian besar wanita yang telah "dinikahi" tidak diketahui kabar beritanya. 

Terhadap tuduhan itu ia mampu mempertahankan dirinya dengan sempurna, dibantu oleh beberapa pihak resmi yang paling berbakat di Amerika Serikat. 

Selain itu dalam sebuah pengadilan tanpa kehadirannya, ia dinyatakan tak bersalah terhadap tuduhan utama, meskipun tetap mendapat hukuman penjara untuk waktu lama terhadap tuduhan-tuduhan lain. 

Alix masih ingat kegegeran akibat kasus itu, juga sensasi yang meletup ketika Lemaitre berhasil melarikan diri sekitar tiga tahun kemudian. Sampai kini ia belum berhasil ditangkap kembali. 

Di surat-surat kabar Inggris waktu itu banyak dibahas kepribadian orang itu dan pengaruhnya yang begitu kuat atas wanita. Juga tentang semangatnya di pengadilan, protes-protesnya yang penuh perasaan dan kenyataan bahwa ia kadangkadang pingsan karena jantungnya lemah. 

Di salah satu kliping itu terdapat foto Lemaitre. Dengan penuh perhatian Alix menatapnya: seorang laki-laki berjanggut panjang dan bertampang orang berpendidikan. 

Alix terkejut sekali. Ia sadar, foto itu adalah Gerald sendiri. Mata dan alisnya sangat mirip. Alinea di sebelah gambar itu menerangkan bahwa tanggal-tanggal yang tercatat di buku catatan tertuduh mungkin adalah tanggal ia membunuh para korbannya. 

Menurut seorang saksi wanita, ada tahi lalat di pergelangan tangan kirinya, tepat di bawah telapak tangannya. 

Kliping-kliping itu terjatuh dari tangan Alix dan ia pun sempoyongan. Di pergelangan tangan kiri suaminya, peisis di bawah. telapak tangan ada torehan kecil. 

Seluruh kamar seolah berputar di sekelilingnya. Gerald Martin adalah Charles Lemaitre! Kini tampaklah arti mimpi-mimpinya. Alam bawah sadarnya sudah lama merasa takut kepada Gerald dan ia ingin melarikan diri darinya. 

Kepada Dick alam bawah sadarnya ini meminta pertolongan. Ia calon korban Lemaitre berikutnya. Sebentar lagi, mungkin .... 

Setengah menjerit ia teringat sesuatu. Rabu, pukul 21.00. Gudang bawah tanah, dengan ubin-ubinnya yang begitu mudah diangkat! Gerald pernah mengubur salah satu korbannya di gudang bawah tanah. 

Semuanya telah direncanakan untuk Rabu malam. Gerald selalu membuat catatan tentang kegiatan-kegiatannya. Baginya, pembunuhan juga merupakan semacam perjanjian bisnis. 

Apa yang telah menyelamatkannya? Apakah Gerald membatalkan niatnya begitu saja karena kasihan di saat-saat terakhir? Tidak. Seperti kilat jawabannya muncul di benak Alix: si tua George. 

Kini ia mengerti sebab kemarahan suaminya yang tak terkontrol. Pasti ia telah mengatur siasat dengan mengatakan kepada setiap orang yang ditemuinya bahwa mereka akan ke London keesokan harinya. Tanpa disangka-sangka George datang bekerja, menyebut-nyebut tentang London kepada Alix, yang lalu menyanggahnya. Membunuh Alix malam itu tentu berisiko amat besar. 

 

Menggelar Siasat

Didengarnya derit pintu pagar. Suaminya pulang. Dengan berjingkat diintipnya dari balik gorden jendela. 

Ya betul, suaminya. Laki-laki itu sedang tersenyum-senyum sendiri sambil ber senandung. Di tangannya ada benda yang hampir saja menghentikan detak jantung Alix: sebuah sekop baru! 

Secara insting Alix segera sadar: malam inilah saatnya. Namun, masih ada kesempatan. Sambil bersenandung Gerald pergi ke belakang rumah. 

Tanpa ragu Alix berlari menuruni tangga dan keluar dari rumah. Namun, baru saja kepalanya muncul dari pintu, suaminya muncul dari samping. 

"Halo," katanya, "mau ke mana kau begitu tergesa-gesa?" 

Alix berjuang mati-matian untuk tetap tampak tenang seperti biasa. Kali ini kesempatan hilang, tetapi jika ia berhati-hati sehingga tidak membangkitkan kecurigaan kesempatan itu pastilah datang lagi. 

"Aku ingin berjalan-jalan," di telinganya sendiri suara itu begitu lemah dan tak pasti. 

"Baiklah," sahut suaminya. "Aku ikut." 

"Oh, ... jangan Gerald. Aku ... tak enak badan, sakit kepala ... aku lebih suka pergi sendiri saja." 

Gerald menatapnya dengan penuh perhatian. Alix bisa merasakan munculnya kecurigaan di mata suaminya, namun hanya sementara. 

"Mengapa kau, Alix? Kau pucat ... gemetar lagi." 

Dipaksakannya sebuah senyum. "Aku pusing, hanya itu. Dengan sedikit berjalan-jalan tentu akan sembuh." 

"Tapi percuma saja kau katakan tak mau kutemani," sahut Gerald, sambil tertawa santai. "Aku ikut, kau setuju ataupun tidak." 

Alix tak berani lagi memprotes. Bila Gerald sampai curiga bahwa ia sudah tahu .... 

Ketika kembali ke rumah, Gerald mendesak supaya Alix membaringkan diri, lalu di usapnya kedua pelipis Alix dengan eau-de-cologne. Seperti biasanya, Gerald masih seorang suami yang penyayang. Alix merasa begitu tak berdayanya, seakan-akan kedua lengan dan kakinya terikat dalam perangkap. 

Tak semenit pun Gerald meninggalkan Alix sendiri. Waktu makan malam, Alix berusaha makan dan bersikap riang seperti biasanya. 

Padahal di lubuk hatinya ia sadar, ia sedang berjuang untuk tetap hidup. Kesempatan, satu-satunya hanyalah menjinakkan kecurigaan Gerald, sehingga ia bisa mempunyai sedikit waktu sendiri untuk menelepon bantuan dari luar. 

Ada sekilas harapan, seandainya saja Gerald membatalkan rencananya seperti yang sudah pernah terjadi. Seandainya saja ia mengatakan bahwa Dick Windyford akan datang malam itu. 

Namun, mulutnya tak jadi mengatakan itu. Jangan-jangan bahkan Gerald akan segera membunuhnya di situ, waktu itu juga, lalu dengan tenang akan menelepon Dick bahwa tiba-tiba ia harus pergi karena ada panggilan. Oh! Bila saja Dick datang malam ini! Bila Dick .... 

Sebuah gagasan melintas di benaknya. Semakin matang rencananya, semakin tumbuh keberaniannya. Ia menjadi demikian wajarnya sampai ia sendiri heran. 

Ia membuat kopinya, lalu menuju beranda, tempat mereka biasa duduk-duduk bila cuaca malam baik. 

"Oh, ya," kata Gerald tiba-tiba, "foto-foto itu akan kita kerjakan nanti." 

Alix merasakan bulu kuduknya berdiri, tetapi ia menjawab acuh tak acuh,"Tak dapatkah kau kerjakan sendiri? Malam ini aku agak lelah." 

"Ah, tak akan lama, kok."Ia tersenyum sendiri. "Kujamin setelah itu kau tak akan merasa letih." 

Kata-kata itu kelihatannya menyenangkan Gerald, namun Alix bergidik. Sekaranglah saatnya ia melaksanakan rencananya. 

Ia bangkit. "Aku akan menelepon tukang daging," ujarnya acuh tak acuh. 

"Tukang daging? Malam-malam begini?" 

"Tokonya tentu saja tutup tolol. Tapi ia pasti ada di rumahnya. Besok 'kan hari Sabtu dan aku ingin besok pagi ia mengantarkan daging sapi muda, sebelum habis diserbu orang lain. Si tua itu akan melakukan apa saja buatku."

 

Topeng telah dibuka

Dengan cepat ia berlalu ke dalam rumah, menutup pintunya. Didengarnya Gerald berkata, "Jangan tutup pintunya." Ia cepat berkilah, "Supaya ngengat tidak masuk. Aku benci ngengat. Apakah kau curiga aku akan bercinta dengan si tukang daging, tolol?"

Begitu di dalam, ia menyambar telepon, memutar nomor Traveller's Arm. 

"Tuan Windyford? Apakah ia masih di situ? Dapat saya bicara dengannya?" 

Kemudian debaran jantungnya menjadi tak karuan, karena pintunya didorong terbuka dan suaminya masuk. 

"Oh, pergilah Gerald," rajuknya. "Aku tak suka didengarkan pada saat menelepon." 

"Apa betul tukang daging yang sedang kau telepon itu?" tanyanya. Alix betul-betul putus asa. Rencananya gagal. Sebentar lagi Dick akan mengangkat telepon. Apakah ia akan nekat saja menjerit minta tolong? 

Kemudian ketika dalam gugupnya ia menekan-nekan tombol pada telepon yang membuat dapat tidaknya suaranya terdengar oleh lawan bicara, terlintaslah rencana baru di kepalanya. 

Waktu itu juga terdengar suara Dick Windyford. 

Alix menarik napas panjang. 

"Di sini Ny. Maitin daii Pondok Philomel. Datanglah (tombol dilepasnya) besok pagi dengan enam potong daging sapi muda (tombol ditekannya). Ini sangat penting. (Dilepasnya tombol lagi).” 

“Terima kasih banyak, Tuan Hexworthy; saya harap Anda tak keberatan saya menelepon begini larut, tapi daging-daging itu benar-benar merupakan soal (tombol ditekannya lagi) hidup atau mati (tombol dilepasnya lagi). Baiklah - besok pagi (ditekannya lagi) segera mungkin." 

Ia meletakkan telepon kembali, lalu menoleh kepada suaminya sambil bernapas amat berat. 

Alix hampir bergolak oleh semangatnya. Gerald tidak curiga sedikit pun. Namun,Alix pun tak mengerti, apakah Dick pasti akan datang? Ia menuju ruang duduk dan menyalakan lampu. Gerald mengikutinya. 

"Tampaknya kau kini demikian bersemangat," komentarnya sambil memperhatikan penuh rasa ingin tahu. 

"Ya, begitulah," sahutnya. "Pusingku telah sembuh." Ia duduk di kursinya yang biasa, tersenyum kepada suaminya, sementara yang terakhir ini juga duduk di hadapannya. Ia selamat. Sekarang baru pukul 20.25. Lama sebelum pukul 21.00 Dick pasti sudah akan tiba. 

"Aku tak begitu suka pada kopi yang kau buatkan tadi," keluh Gerald. "Rasanya amat pahit." 

"Oh, itu merek baru. Aku hanya mencoba saja. Jika kau tak suka, tak akan kupakai lagi." 

Alix mulai menjahit, sedangkan Gerald membaca. Kemudian ia melirik lonceng, lalu menyingkirkan bukunya. 

"Pukul 20.30. Waktunya ke gudang bawah dan mulai bekerja." 

"Ah,belum waktunya. Nanti saja pukul 21.00." 

"Tidak, sayangku. Setengah sembilan. Itu waktu yang sudah kurencanakan. Kau akan dapat pergi tidur lebih awal." 

"Tapi aku lebih suka menunggu sampai pukul 21.00 saja." 

"Kau sendiri tahu, begitu aku menetapkan waktu, aku akan menepatinya. Ayolah, Alix. Aku tak mau menunggu lebih lama lagi." 

Alix melihat keatas, kepada suaminya dan kepanikan pun menyerbu dirinya. Topeng telah dibuka. Tangan Gerald bergerak-gerak, matanya berbinar-binar dan ia terus menerus membasahi bibirnya dengan lidah. Ia sudah tidak peduli lagi untuk menyembunyikan gairahnya. 

Pikir Alix: "Benar- ia tak dapat lagi menunggu -ia seperti orang gila." 

"Ayolah, manisku .... atau kugendong kau ke sana." 

Suaranya riang, namun mengandung keganasan tak tersembunyi yang mengerikan. Mati-matian Alix berhasil melepaskan diri dari pegangan Gerald pada bahunya. Merapat ke tembok, ia benar-benar tak berdaya. 

"Sekarang, Alix ...." 

"Tidak ... tidak!" 

Ia menjerit, tangannya mengusir Gerald pergi. 

"Gerald ... berhenti ... Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan kepadamu, suatu pengakuan ...." 

Ia betul-betul berhenti. 

"Mengaku?" tanyanya penasaran. 

"Ya, mengaku." 

Cemooh mengambang di wajahnya. 

"Kekasih lama, kukira," katanya. 

"Bukan," ujar Alix. "Lain,ini lain. Mungkin kau menyebutnya ... ya kupikir kau pasti menyebutnya tindak kriminal." 

Segera saja tampak bahwa Alix telah tepat memilih kata. Ia berhasil memerangkap perhatian Gerald. Keberaniannya timbul lagi. 

"Lebih baik kau duduk kembali," katanya tenang. 

 

Saingan aktris terhebat

Ia sendiri kembali duduk di kursinya dan sempai duduk dti mengambil jahitannya. Tetapi di balik ketenangannya, ia sedang berpikir keras menciptakan kisah yang benar-benar akan membuat Gerald tertarik sampai bantuan tiba. 

"Sudah pernah kukatakan kepadamu," katanya perlahan-lahan, "bahwa aku pernah menjadi pengetik steno selama 15 tahun. Sebenarnya itu tak sepenuhnya betul. Dalam jangka waktu itu ada masa istirahatnya. Yang pertama, ketika aku berusia 22 tahun.” 

“Aku berkenalan dengan seseorang yang sudah agak tua dan agak kaya. Ia jatuh cinta kepadaku dan melamarku. Kuterima. Kami menikah." Ia berhenti sebentar. "Aku membujuknya sehingga ia mengasuransikan jiwa atas namaku." 

Segera saja tampak perhatian yang mendadak jadi besar di wajah suaminya. Alix meneruskan dengan lebih mantap: 

"Waktu perang aku pernah bekerja di bagian pelayanan rumah sakit. Di sana aku berurusan dengan berbagai jenis obat maupun racun yang langka." 

Ia berhenti berpura-pura mengenang kembali. Gerald sudah betul-betul tertarik, tak ada keraguan lagi tentang itu. Seorang pembunuh memang cenderung tertarik pada pembunuhan. Diliriknya lonceng. Pukul 20.35. 

"Ada sejenis racun - berupa bubuk putih. Sepercik saja membawa kematian. Mungkin kau tahu sedikit tentang racun?" 

Bila ternyata Gerald tahu, ia harus lebih berhati-hati. 

"Tidak," sahut Gerald, "aku hanya tahu sedikit sekali." 

Ia menarik napas lega. 

"Tentunya kau pernah mendengar tentang hyoscine? Nah, efeknya kira-kira sama, tetapi sama sekali tak dapat ditelusuri. Tiap dokter pasti akan menduga sebab kematiannya sebagai serangan jantung. Aku mencurinya sedikit dan menyimpannya." 

Alix berhenti sejenak, mengatur langkahnya. 

"Teruskan," kata Gerald. 

"Ah, tidak. Aku takut. Tak dapat kuceritakan sekarang. Lain kali saja." 

"Sekarang," ujarnya tak sabar. "Aku ingin mendengarnya sekarang." 

"Waktu itu kami telah menikah sebulan. Aku istri yang amat baik dan setia. Suamiku memuji-mujiku kepada semua tetangga. Setiap sore kubuat sedikit kopi untuknya. Suatu sore, kucampurkan sedikit racun tadi ke dalam kopinya ...." 

Alix berhentik untuk membetulkan jahitannya. Meskipun belum pernah berakting di panggung, saat itu pastilah kemampuannya berakting mampu menyaingi aktris terhebat di dunia. 

"Betul-betul sangat damai. Aku duduk memperhatikan dia. Mula-mula ia terengah sedikit dan minta dibukakan jendela. Aku menurutinya. Kemudian katanya ia tak dapat bergerak dari kursinya. Tak lama kemudian ia pun mati." 

Ia berhenti, lalu tersenyum. Pukul 20.45. Sebentar lagi mereka pasti datang. 

"Berapa," tanya Gerald, "uang asuransinya?" 

"Kira-kira 2.000 ponsterling. Aku berspekulasi, tapi gagal. Habis. Aku kembali bekerja di kantor. Tapi sebetulnya aku tak bermaksud berlama-lama di sana. Di kantor aku menggunakan nama gadisku.” 

“Maka ketika aku mengenal seorang laki-laki, muda, agak ganteng, dan sangat kaya, ia tak tahu jika aku sudah pernah menikah. Di Sussex kami menikah diam-diam. la tak mau mengasuransikan jiwa, tetapi tentu saja dibuatnya surat wasiat yang menguntungkanku. la juga suka aku sendiri yang membuatkan kopinya." 

Alix tersenyum penuh kenangan dan menambahkan, "Kopi buatanku memang sangat sedap." Lalu diteruskannya: 

"Di desa tempat kami tinggal, aku punya beberapa teman. Tentu saja mereka kasihan sekali kepadaku, ketika suatu malam mendadak suamiku meninggal karena serangan jantung. Suamiku mewariskan 4.000 ponsterling. Kali ini uang itu tidak kuspekulasikan, tapi aku tanamkan. Kemudian, kau tahu ...." 

Dengan wajah merah padam dan setengah tercekik, Gerald Martin menunjuk ke arahnya dengan telunjuk yang gemetar. 

"Kopi itu ... Masya Allah!" Alix diam menatapnya. 

"Kini aku mengerti mengapa rasanya begitu pahit. Kau setan! Kau ulangi lagi muslihatmu." 

Kedua tangannya mencengkeram kursi kuat-kuat. Gerald siap menyerang Alix. 

"Kau telah meracuniku." Alix sudah menjauhkan diri ke pendiangan. Kini dalam ketakutannya, bibirnya sudah membuka untuk menyangkal... tapi tak jadi. Dikumpulkannya seluruh kekuatannya. Ditatapnya kembali mata Gerald, menantang. 

"Ya," sahutnya. "Aku telah meracunimu. Racun itu sekarang sedang bekerja. Saat ini juga tak dapat lagi kau bergerak dari kursimu ... kau tak dapat bergerak ...." 

Kalau saja ia mampu menahan laki-laki itu untuk tinggal tetap di kursinya hanya beberapa menit lagi .... 

Tiba-tiba terdengar langkah kaki dan derit pagar. Lalu suara pintu luar dibuka. 

"Kau tak dapat bergerak," ulangnya lagi. 

Kemudian Dick menoleh ke seseorang yang berseragam polisi yang datang bersamanya. 

"Cobalah lihat apa yang telah terjadi di ruang itu." 

Dibaringkannya Alix di atas sofa, lalu Dick membungkuk di atas. 

"Sayangku," gumamnya. "Sayangku yang malang. Apa yang telah terjadi padamu?" 

Kelopak mata Alix bergerak-gerak dan bibirnya haya menggumamkan namanya. 

Dick sadar waktu sang polisi menggamit lengannya. 

"Tak ada apa-apa di sana, Pak. Hanya seorang laki-laki yang sedang duduk di kursi. Tampaknya ia seperti baru mengalami ketakutan yang hebat, dan ...."

 "Ya?" 

"Ia ... sudah mati."  (Agatha Christie) 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124198/tewas-sebelum-beraksi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890694000) } } }