array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3456986"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/7-menit-itu-misteri_petr-machace-20220905032254.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(142) "911 menerima laporan tentang pengacau. Beberapa menit kemudian, telepon masuk lagi, kali ini tentang kasus penembakan suami terhadap istrinya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/7-menit-itu-misteri_petr-machace-20220905032254.jpg"
      ["title"]=>
      string(19) "7 Menit Itu Misteri"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-09-05 15:23:21"
      ["content"]=>
      string(26515) "

Intisari Plus - Suatu malam, 911 menerima laporan tentang pengacau di satu rumah. Beberapa menit kemudian, telepon masuk lagi, kali ini tentang kasus penembakan suami terhadap istrinya. Apa yang terjadi?

-------------------

Telepon di 911 berdering. “Ada pengacau di rumah saya!” teriak lelaki di seberang sana. Suaranya terdengar sangat panik sekaligus geram. 

Petugas 911 yang menerima telepon ini menjawab dengan tenang. “Anda ada di mana saat ini?”

Lelaki yang sedang gusar itu menjawab dengan cepat “2424 Coker Avenue.”

Petugas di 911 melirik kalender. Sabtu, 10 Maret 2007. Jam menunjukkan pukul 21.00, masih cukup sore untuk teriakan gusar seperti ini. “Ada pengacau di rumah Anda. Apa yang Anda sebut dengan pengacau itu?”

“Orang paling kurang ajar,” suara di seberang sana terdengar seperti menggeram. 

Petugas waspada, “Anda mengenal orang itu?”

“Ya.” 

“Siapa dia?” petugas sigap mendesak agar penelepon tak punya kesempatan mengulur waktu. 

Suara di seberang mendengus kesal. “Dia yang selalu memburu istri saya.”

“Apa yang dilakukannya? Maksud saya, apa yang terjadi saat ini?” 

“Dia melakukan kesalahan besar. Dia bersama istri saya.”

Setelah itu sambungan telepon terputus. Ah, mungkin pertengkaran suami-istri. Biasalah, pikir petugas di 911. Tetapi sebentar kemudian panggilan dari saluran yang sama masuk lagi.

Masih lelaki yang tadi. “Sekarang dia sudah pergi.” 

“Oke, apakah Anda ingin berbicara dengan .... “ 

“Oh, tidak. Dia sudah pergi.” Sambungan telepon putus lagi. 

Artinya, persoalan itu sudah selesai. Sedemikian cepat. Tujuh menit kemudian, saluran telepon itu aktif lagi. Kali ini suara perempuan. 

“Suami saya membunuh,” kata perempuan di seberang dengan suara seperti tercekik. 

“Apakah dia ada bersama Anda sekarang?” tanya petugas 911. 

“Tidak, dia sudah pergi. Tetapi tubuh ... eh... darah ... ada di sini. Mengerikan!” perempuan itu sangat panik. “Cepat datanglah! Di sini penuh darah. Dia menembak dengan senapan!”

Polisi tak perlu waktu lama untuk sampai di titik mencekam, di 2424 Coker Avenue. Wajah panik sekaligus ngeri dari perempuan yang usianya belum menginjak 30 tahun itu sudah menunjukkan apa yang terjadi. Perempuan itu terduduk menempel dinding sambil matanya tak berkedip menatap pintu Mercedes lama yang terbuka.

Dari pintu yang terbuka itu, detektif Andrew Boatman dan Russell Whitfield dari kepolisian melihat sosok lelaki tampan, muda - “sangat muda” - tertelungkup di setir mobil. Sebenarnya tak bisa dikatakan tampan saat melihat sosok itu karena sisi kepala dan sebagian wajahnya tertutup darah.

“Erin McLean,” kata perempuan itu dengan suara nyaris tak terdengar ketika polisi menanyakan identitas. Dia menjawab dengan gugup. “Suami saya, Eric McLean… ” Dia tak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia hanya menunjuk, menggeleng, menangis.

“Suami saya yang menembak dia. Dengan senapan. Dia sudah lari.”

 

Dipergoki berduaan 

Knoxville bukan kota besar yang hiruk-pikuk. Ini kota yang relatif tenang. Di tempat ini Eric McLean lahir dan dibesarkan dalam keluarga berada yang hangat. Perasaannya yang halus membuat seluruh keluarga maklum saat dia menjatuhkan pilihan pada musik sebagai jalan hidupnya.

“Aku ingin mengajar musik,” kata Eric. “Aku juga ingin memiliki kelompok musik.”

Saat dia berkata seperti ini usianya baru 18 tahun. Saat itu dia melihat persamaan pada diri gadis yang dua tahun lebih muda, Erin Myers. Erin setali uang dengan Eric. Dia ingin menjadi guru. Alangkah mulia cita-cita gadis ini, pikir Eric. Ini pula yang membuat Eric jatuh cinta dan menetapkan pilihannya - “yang selalu dianggap paling tepat” - menikahi Erin, calon guru.

Dia tak ingin gadis pilihannya ini lepas dari tangannya. Saat menikah pada tahun 1996, Eric berusia 21 tahun dan Erin 19 tahun. Masih terhitung muda. Kebahagiaan mereka menjadi lengkap ketika Eric Jr. lahir tahun itu pula.

Mereka tinggal di 2424 Coker Avenue, di dalam rumah mungil yang hangat. Tak ada yang menyangkal mereka adalah potret keluarga muda yang bahagia. Apalagi ketika Ian, anak keduanya lahir tujuh tahun kemudian. Ini keluarga yang tenang, sangat tenang. Eric mengambil jurusan pendidikan seni musik di Universitas Tennessee. Saat itu dia sudah memiliki kelompok musik dan kerap mendapat job. Musik, musik, dan musik adalah puncak hidup Eric.

Erin pun sudah menikmati posisinya sebagai asisten guru di West High School. Menurut Shiloh Jines, mantan muridnya, Erin guru yang lembut dan sabar. Shiloh mengakui pesona Erin karena dia langsung bisa mengambil hati para siswa.

Salah satu siswa yang dekat dengan ibu guru ini Sean Powell. Sean masuk kategori siswa bermasalah. Dia merokok, mabuk, dan menjadi biang onar. Di tangan Erin, Sean takluk. Erin memahami perubahan pada pribadi Sean.

Ketika berumur tujuh tahun, Sean diadopsi keluarga berada. Masalahnya, saat itu ibunya, Debra Flynn, tersandung masalah hukum dan dipenjara: Padahal dia tak bersuami. Selama tinggal bersama keluarga baru, Sean hidup berkecukupan. Tetapi semua berubah ketika Flynn bebas dari penjara saat Sean berumur 17 tahun. Dia mengambil anaknya kembali dan tinggal di apartemen sempit. Ini membuat Sean berontak. Tetapi dia tak punya pilihan lain karena usianya belum 18 tahun, belum bisa menentukan nasibnya.

Erin merasa perubahan ini yang membuat Sean menjadi bengal. 

“Ah, siapa bilang Sean tidak bahagia? Saya ibu kandungnya, tentu dia senang bisa kembali hidup bersama saya,” kata Flynn yang melihat kebengalan Sean sebagai sesuatu yang wajar.

Di rumah, Sean tak mendapatkan apa yang dimaui. Tidak seperti ketika dia tinggal bersama keluarga Powell. Agaknya Sean bersimpati pada cara Erin memperlakukan dirinya. Sampai ketika lulus dari SMA, dia tak bisa melupakan Erin.

Mereka bertemu kembali saat musim dingin 2006, bukan lagi sebagai guru dan siswa tetapi sebagai perempuan dewasa yang kesepian karena hidup suaminya larut untuk musik dan lelaki yang baru tumbuh. Hubungan keduanya menjadi makin dekat.

Eric tak pernah menyangka ada api lain yang menghangatkan istrinya sampai suatu ketika Eric Jr, anak sulungnya, melapor dengan sebal. “Dad, aku melihat Mom memegang tangan muridnya itu. Mereka sangat dekat. Lalu Mom mencium lelaki itu di sofa ini. Aku muak melihatnya,” kata Eric Jr.

Eric kaget tetapi dia masih yakin Sean dan Erin hanyalah guru dan mantan siswa yang bermasalah. Musisi ini baru yakin hatinya telah disayat ketika dia datang ke sebuah bar di Knoxville. Duduk di sudut, Eric melihat dua sosok yang sangat dikenal. Erin dan ... Sean. Benar kata anaknya. Erin menggenggam tangan Sean dan berkali-kali dia mendekatkan bibir ke telinga Sean seperti tengah berbisik. Wajah Erin begitu bahagia. Dia kelihatan sangat muda dan bergairah.

Mata Eric panas. Apalagi di kota kecil yang membuat setiap orang saling mengenal, beberapa mata memandangnya dengan ganjil. Eric tak bereaksi. Seperti biasa dia tak menunjukkan emosi apa pun sampai Erin dan Sean berlalu melewati tempatnya duduk. Mata Erin dan Sean berpandangan mesra.

 

Pesan di ponsel

Kasus pembunuhan yang membuat koran-koran lokal memuatnya sebagai headline selama berminggu-minggu tak menunjukkan kemajuan. Mereka hanya menemukan nama Sean Powell yang menjadi korban. Judulnya pun mengerikan: suami membunuh mantan siswa sekaligus kekasih istrinya.

Flynn sangat terpukul mengetahui kematian anak tunggalnya. Dia bercerita, malam itu mendapat telepon dari perempuan bernama Erin. Dia mengabarkan Sean mati tertembak. “Ditembak psikopat!”

“Siapa psikopat itu?” tanya Flynn memburu. 

Dia menjawab, “Eric.” 

“Siapa itu?” 

“Suamiku,” jawab Erin. 

Flynn tidak mengenal Erin sebelumnya. Tetapi begitu melihat kenyataan anaknya menjalin cinta dengan mantan mentornya, Flynn berusaha merangkai fakta.

“Sean tak pernah bercerita banyak tentang sosok yang disebutnya sebagai kekasihnya. Saya beberapa kali menangkap pembicaraan lewat telepon. Sepenggal-sepenggal tetapi cukup membuat saya mengerti, Sean memiliki kekasih,” kata Flynn.

Flynn mengungkapkan, dia pernah mendapati pesan dalam ponsel Sean yang isinya: I love you. Kali lain ada pesan: Come home.

Setelah pembunuhan yang sadis itu, jejak Eric berhenti di depan West High School. Dia memarkir mobilnya di depan sekolah tempat istrinya bertemu Sean Powell kali pertama. Ketika polisi masih mengendus jejak Eric, suatu pagi lelaki bertutur lembut ini menyerahkan diri setelah berusaha melarikan diri keluar kota.

Sederet pemeriksaan dan wawancara eksklusif dengan Matt Lauer dari media Today tak banyak mendatangkan hasil. Eric tak banyak bicara. Pemeriksaan hanya berjalan sesuai prosedur tanpa bisa menggali apa yang sebenarnya terjadi.

Polisi dan detektif memakai kata kunci “tujuh menit yang misterius”, sesaat setelah Eric menelepon 911 dengan gusar hingga ketika Erin juga menelepon dengan panik ke 911. Apa yang terjadi dalam tujuh menit itu, hanya bisa dikorek dari Eric, sang tersangka pelaku.

“Bukan hanya apa yang terjadi, tetapi supaya terbuka apakah pembunuhan ini direncanakan atau tidak,” kata Andrew Boatman.

Di depan Matt Lauer, Eric hanya bisa menggeleng lemah. Berkali-kali dia mendesis, “Saya salah. Saya bersalah. Seharusnya ini tak perlu terjadi. Ini kecelakaan.”

Tentu tak mudah bagi polisi untuk menerima begitu saja pengakuan kecelakaan ini. Lauer mendesak dengan lembut. Dia tahu, Eric sangat perasa.

“Apakah Anda tahu istri Anda menyeleweng?” tanya Lauer. 

“Ya, saya tahu.” 

“Kalau tahu seperti itu, mengapa tidak tinggalkan saja istrimu?” desak Lauer. 

Eric menggeleng. “Tidak bisa. Saya tidak bisa.” 

“Mengapa?” 

Eric mendesis, “Karena saya mencintainya. Sangat mencintai istri saya.”

 

Menyiapkan senapan

Ayah dua anak ini akhirnya membuka sisi hatinya yang terluka. “Saya bisa merasakan ada yang tidak beres pada sikap istri saya tetapi saya pikir itu bisa kembali normal. Ternyata tidak. Makin hari, saya melihat Sean makin dekat meski saya hanya mendengar cerita dari anak-anak. Saya sangat memuja Erin, dan wajar bila orang lain juga melakukannya karena Erin memang patut dicintai. Dia perempuan luar biasa.”

Tetapi peristiwa di bar itu membuat Eric tak bisa melupakan wajah Sean dan Erin yang tengah mabuk kepayang. Bagi Eric, itu bisa berlalu, cepat atau lambat. Tetapi perhitungan Eric kali ini meleset. Keduanya makin intim.

Jika di bar muka Eric serasa ditampar oleh rasa malu, pada 10 Maret 2007, kembali Eric seperti disabet harga dirinya. Ketika pulang, Eric seperti biasa masuk lewat pintu samping. Saat itu dia melihat istrinya bergumul dengan Sean Powell di dalam rumahnya. Darahnya menggelegak. Apalagi ketika Sean hanya meliriknya.

Erin membentak suaminya, “Jangan buat keributan. Aku tidak ingin anak-anak bangun karena kamu.” 

Sean hanya menyeringai saat Eric menghardik dan menyuruhnya keluar dari rumah. Sean memang keluar rumah sambil berpakaian asal-asalan. Dengan tenang dia masuk ke dalam Mercedes lamanya dan mulai merokok. Dia sengaja tidak menutup pintu penumpang di sebelahnya. Eric melihat pintu yang terbuka itu dengan mata nanar. Jangan-jangan istrinya ....

Eric segera menghampiri Erin. Langkah istrinya bergegas menuju mobil Sean. Eric tersengat. Dia memohon dengan suara lirih. “Please, aku tak ingin kamu pergi.”

Erin menghardik. “Kamu bisa mengambil dua anakmu, kamu bisa memiliki rumah ini dan isinya, tetapi kamu tidak akan pernah bisa merampas kebebasanku.”

Hati Eric mencelos. Dia tak pernah membayangkan ini semua, bahkan dalam konser paling kacau pun, ini tak akan ada dalam partitur. Eric menahan Erin agar tidak pergi.

Tetapi Erin tidak menggubris. Eric kembali memohon agar ibu dua anaknya itu tidak keluar rumah. Istrinya tetap melangkah di bawah tatapan kemenangan Sean yang duduk di belakang setir sambil mengembuskan asap rokok.

Russell Whitfield memotong, “Dan Anda marah lalu pergi ke truk Toyota yang sudah disiapkan di belakang Mercedes milik Sean. Lalu Anda mengambil senapan yang sudah ada di truk itu kemudian mendekati Sean dan... door!

Eric menggeleng. 

Hakim, jaksa, pengacara, dan para juri menunggu jawaban Eric dalam sidang dengan tuduhan melakukan pembunuhan berencana. Lelaki itu bisa dikenai hukuman seumur hidup. Data dari polisi menunjukkan Eric sudah merencanakan pembunuhan karena cemburu itu.

Sebuah truk, senapan, situasi yang patut menjadi alasan untuk membunuh. Sidang ini akan dengan mudah menjatuhkan vonis sangat berat karena Eric satu-satunya terdakwa yang tampaknya sangat lemah, bahkan untuk membela dirinya sendiri.

 

Masuk rehabilitasi mental

Saksi kunci satu lagi menghilang. Erin McLean memakai nama gadisnya, Erin Myers. Dia menghilangkan semua jejak masa lalunya dan berhasil menjadi guru di sebuah sekolah di Nashville. Tetapi lagi-lagi dia tersandung masalah. Salah satu orangtua siswa protes karena anaknya yang berusia 17 tahun dipaksa Erin menginap di motel dan dicekoki alkohol.

Ketika diusut pihak sekolah, Erin mengelak, “Saya tidak memaksa anak itu. Dia siswa bermasalah karena itu saya butuh pendekatan untuk menyelesaikan masalahnya.”

Tetapi akhirnya jejak rekam Erin terdeteksi. Polisi menemukan Erin lagi. Erin dipersilakan keluar dari sekolah. Perempuan yang awet cantik ini masuk rehabilitasi mental. Dua anaknya dititipkan ke ibunya; Tetapi sebelum proses rehabilitasi selesai, saudara Erin menelepon polisi.

“Erin mengambil dua anaknya ketika ibunya tidur. Sekarang kami tidak tahu dia ke mana. Saya khawatir dengan nasib anak-anak,” kata saudara Erin.

Pengacara Erin, Gary Blackburn, mendapati Erin menjadi buruh harian di Texas. Mereka tinggal di apartemen sempit. Dua anaknya tampak tak terurus. Ketika berhasil menemui Erin, Blackburn mengajaknya bicara. Erin bersedia dan mulai bercerita tentang tujuh menit misterius itu. Sekali-sekali mata perempuan ini melirik dua anaknya yang melahap pizza dengan rakus.

“Erin sangat kesepian. Meski hidupnya berkecukupan, dia merasa ada yang kurang dalam kehidupan perkawinan dengan Eric. Ini jenis perkawinan klasik, sangat klasik, yang membuat Erin bosan. Dan dia menemukan gairah baru lagi di sekolah, dalam diri Sean,” kata Blackburn.

 

Niat bunuh diri

Delapan bulan setelah penembakan itu, di depan juri yang akan menentukan nasibnya di pengadilan, Eric tampil agak gugup. Didampingi pengacaranya, Bruce Poston, berkali-kali dia menggelengkan kepala sambil mengaku bersalah. “Saya bersalah, saya sungguh menyesal. Itu kecelakaan.”

Tak ada yang percaya. Debra Flynn yang selalu mengikuti jalannya sidang terus mengumpat Eric sebagai pembunuh berdarah dingin. Seperti kata Jaksa Bill Crabtree, “Ini pembunuhan yang sudah direncanakan.”

Eric mengaku mengambil satu senapan dari koleksi senapan ayahnya. Senapan itu disimpan di ruang cuci.

“Untuk apa menyimpan senapan?” tanya Hakim Mary Beth Leibowitz. 

Eric menggigit bibir bawahnya. “Sejak melihat istri saya dan Sean di bar, saya sudah menyiapkannya.” 

Tak ada lagi yang bisa dipertahankan. Eric merasa hidupnya sudah hancur. Senapan ini satu-satunya cara paling mudah untuk mengakhiri perselingkuhan itu. “Saya ... akan bunuh diri dengan senapan itu,” kata Eric lirih.

Semua yang mendengar terdiam. Eric menyangkal tuduhan polisi dengan data truk dan senapan yang ada di dalamnya. Truk itu diparkir di belakang mobil Sean karena Sean sudah lebih dulu datang. Tempat yang biasa menjadi tempat parkir truk sudah ditempati Sean. Bukan hanya istri yang didului Sean, bahkan tempat parkirnya pun direbut.

“Saya tahu ini akan berakhir, cepat atau lambat. Saya tak punya pilihan lain. Ketika satu-satunya orang yang saya cintai memilih meninggalkan saya dan pergi dengan laki-laki lain, saya memutuskan untuk mengakhiri hidup saya.”

Ketika menemukan istrinya bersama mantan murid yang bermasalah itu, kepanikan muncul di kepala Eric. Apalagi saat Erin melenggang pergi bersama Sean. 

Mata Eric menatap para juri dan hakim dengan nanar. “Saya sangat mencintai Erin. Dia gadis yang bisa membuat saya jatuh cinta. Saya tidak ingin dia pergi. Saya mencintainya. Saya sangat mencintainya.”

Sean menyeringai penuh kemenangan. “Biarkan dia memilih yang terbaik untuk hidupnya. Dan dia memilih aku, bukan kamu. Hei ... tentang anak-anak, jangan khawatir. Mereka akan memanggil aku Dad, paling lama dua minggu lagi.”

Darah Eric bergolak. Erin lepas dari tangannya saja sudah membuat darahnya mendidih, apalagi ketika dua anaknya akan dibawa serta. Dua minggu lagi, dua minggu lagi mereka akan benar-benar pergi. Tak ada waktu lagi.

Eric menahan marah berjalan ke ruang cuci, tempat dia menyimpan senapan. 

“Saya tidak ingin menyakiti siapa pun meski saya mengambil senapan,” kata Eric.

Sosok Eric sama sekali tidak seperti jagoan dalam film yang tampil gagah dengan senapan. Tangan Eric yang lentik seperti memegang tongkat konduktor di atas panggung tempat orchestra.

Sean sama sekali tidak ngeri melihat tangan Eric memegang senapan. “Pergi!” seru Eric parau. “Tinggalkan istriku!” 

Sean malah terkekeh.

“Istrimu yang memilihku.”

 

Gagal bunuh diri

Tangan Eric menyentuh pelatuk. Sean tetap terkekeh dengan asap rokok di mulut. Langkah Erin mendekat. Eric gugup, istrinya benar-benar pergi. Pasti disusul dua anaknya. Tangan yang menyentuh pelatuk bergerak. Gerakannya yang gugup membuat ledakan keras. Begitu kerasnya sampai tubuh Eric terjengkang menabrak dinding. Peluru muntah dengan deras mengenai lengan kanan Sean sebelum kemudian menembus kepala.

Menurut Detektif Andrew Boatman, peluru itu menyerempet lengan kanan lebih dulu. Dokter yang mengautopsi mayat Sean juga mengungkapkan bukti, peluru itu nyasar di tangan kanan sebelum sampai di kepala. “Jika dia menginginkan nyawa Sean, peluru itu mestinya langsung ke kepala, tanpa mampir di tempat lain.” Semua mendengar rekaman saat Erin menelepon ke 911. Di belakang suara Erin terdengar keributan. Lamat-lamat terdengar suara Eric yang panik sebelum suara Eric hilang.

Eric tertunduk, “Saya bersalah. Seharusnya dia tidak mati. Seharusnya senapan itu untuk kematianku.” 

“Bisakah Anda membedakan, yang ditembak itu lelaki muda yang menjadi kekasih istri Anda atau mantan siswa bermasalah yang menjadi kekasih istri Anda?” tanya Jaksa Bill Crabtree.

Eric menggeleng. “Saya tidak tahu. Saya hanya ingin istri saya kembali. Ketika dia tidak kembali, saya harus bunuh diri.”

Dia diminta memeragakan cara menggunakan senapan. Awalnya Eric sudah ngeri duluan melihat senapan yang membuatnya masuk dalam kesulitan besar ini. Sambil memejamkan mata Eric memegang senapan itu. Tangannya yang menyentuh pelatuk agak bergetar di bawah pinggang, dekat dengan pinggang bawah.

Caranya memegang senapan sangat tidak meyakinkan, apalagi ketika diminta mengarahkan senapan pada benda yang diibaratkan menjadi sosok Sean. Sejenak mata Eric nanar melihat benda itu tetapi dia kembali konsentrasi pada senapan. Seperti memegang gitar, posisi Eric memang janggal. 

Setelah enam hari mendengarkan dan menyaksikan dua lusin testimoni, juri mengambil keputusan selama 11 jam dalam waktu dua hari. Dalam sidang pembacaan vonis, ketua juri, Rohr, berkata: “Dia tidak bersalah!”

Patricia Kerschieter, anggota dewan juri, angkat bicara. “Lepas dari peluru yang dimuntahkan, Eric ada di posisi terjepit. Dia harus kehilangan istri yang dicintai sekaligus dua anaknya. Istri dan kekasihnya sudah memberi vonis mematikan untuk Eric. Berdasarkan autopsi, peluru itu muntah tak terkendali. Bahkan Eric tak bisa menahan getaran senapan hingga terjatuh. Kepanikan membuat dia gugup dan menarik pelatuk. Dia tidak bersalah.”

Tiga kali hakim bertanya, tiga kali juga juri menjawab, “Dia tidak bersalah.”

Keluarga Powell tidak terima. Flynn mengumpat juri dan hakim. Tetapi vonis yang dijatuhkan tetap: Eric tidak bersalah. Eric menjalani hukuman percobaan enam bulan. 

Eric dan Erin bercerai Februari 2008. Sejak itu Erin dan dua anaknya tak pernah muncul. Sampai hari ini. (Endah Imawati)






" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553456986/7-menit-itu-misteri" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391401000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400607" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/malapraktik-sang-psikolog-gaek_t-20220803021312.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(135) "Felix Polk, yang baru bercerai, ditemukan tewas dengan puluhan luka. Rupanya pembunuh memendam sakit hati selama puluhan tahun padanya." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/malapraktik-sang-psikolog-gaek_t-20220803021312.jpg" ["title"]=> string(30) "Malapraktik sang Psikolog Gaek" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 14:13:41" ["content"]=> string(25413) "

Intisari Plus - Felix Polk, yang baru bercerai, ditemukan tewas dengan puluhan luka. Rupanya pembunuh memendam sakit hati selama puluhan tahun padanya.

-------------------

Ketika tersiar kabar bahwa Frank Felix Polk, seorang terapis dan psikolog anak terkemuka, mendadak meninggal di rumahnya, banyak pihak terkaget-kaget. Felix selama ini dikenal sebagai terapis dan psikolog anak yang cukup andal. Kariernya cukup cemerlang. Sebagai ilmuwan pun kapasitasnya tak pernah diragukan.

Yang lebih membuat orang tercengang, Felix tewas secara mengerikan, dengan puluhan luka di tubuh, beberapa di antaranya luka bekas tusukan benda tajam. “Siapa pun pembunuhnya, pasti bersekutu dengan setan. Mana ada manusia yang tega melakukan tindakan sekeji itu?” komentar seorang tetangga Felix, di rumahnya di Oakland, California, Amerika Serikat (AS).

Tragisnya, Felix ternyata dibunuh oleh “orang dalam”, yang telah mendampinginya selama puluhan tahun. Seiring kerja keras polisi mengungkap kasus ini, akhirnya tersingkap pula latar belakang tewasnya sang praktisi kesehatan mental itu. Felix yang selama ini disegani pasien dan kolega ternyata bukan “orang suci” yang tak punya cela. Borok masa lalunya banyak yang tak diketahui awam.

Berdasarkan kesaksian Gabriel, anak bontot korban, dan barang bukti yang dikumpulkan di lapangan, polisi dengan mudah   si pembunuh. Namun, tetap tak gampang bagi juri untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak.

“Ini bukan pembunuhan. Ini dampak perlakuan buruk korban terhadap klien kami selama bertahun-tahun, dan apa yang dilakukan klien kami murni aksi bela diri,” bela pengacara tersangka. Di pengadilan banyak orang setuju pada pernyataan pembela, tapi tak sedikit yang antipati. Sebuah surat kabar Amerika Serikat melukiskan kasus ini sebagai salah satu pembunuhan paling kontroversial, mengerikan sekaligus mengharukan, dalam sejarah peradilan AS.

 

Tak ada cinta lagi

Bulan Oktober 2002 pasti akan tercatat sebagai masa paling kelam buat pasangan Susan Polk (saat itu 45 tahun) dan suaminya, Felix Polk (saat itu 70 tahun). Mahligai rumah tangga yang susah payah mereka bangun selama puluhan tahun roboh begitu saja, dengan hanya menyisakan puing-puing. Cinta yang dulu menjadi modal utama telah berubah menjadi benci, seperti bergantinya rindu menjadi dendam. Tutur kata yang dulu manis berganti menjadi caci-maki.

Bara permusuhan Susan - Felix merebak menjadi api sejak tahun 2000. “Bertahun-tahun saya mencoba menahan diri. Tapi sekarang, setelah anak-anak menginjak usia remaja, saya tak bisa lagi berdiam diri, berpura-pura tak ada masalah, di tengah sikap dan perlakuan buruk Felix terhadap saya dan anak-anak,” tegas Susan Polk.

Sejak tahun 2000 itu pula, setelah Susan memasukkan gugatan cerai ke meja hijau, pasutri itu sepakat pisah tempat tidur. Susan tinggal di paviliun utama, sedangkan Felix menempati cottage, tak jauh dari kolam renang. Setelah pisah ranjang, alih-alih membaik, hubungan mereka malah makin tak keruan.

Keputusan pisah ranjang itu akhirnya dipertegas dengan amar putusan cerai yang dikeluarkan pengadilan di awal Oktober 2002. Selain menetapkan secara resmi perpisahan Felix - Susan, majelis hakim juga membuat keputusan lain yang secara tersirat “memenangkan” Frank Felix Polk. Misalnya, lelaki gaek itu diperbolehkan tetap tinggal di rumah besar (sebaliknya, mengharuskan Susan mencari tempat tinggal baru). Felix juga mendapat hak untuk menjadi wali dan mengasuh anak bontot mereka, Gabriel.

Keputusan pengadilan itu menjadi sebuah pukulan telak buat Susan, sekaligus “pukulan mematikan” buat Felix. Mematikan dalam arti sesungguhnya. Karena sekitar dua minggu kemudian, persisnya 14 Oktober 2002, Felix ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di cottage-nya. Sepertinya sudah suratan, hanya kematian yang bisa mengakhiri persoalan suami-istri yang memiliki tiga anak laki-laki itu.

 

Mengarah pada Susan 

Tak susah buat polisi untuk langsung menangkap pembunuh Felix. Seperti dituturkan Gabriel yang pertama kali menemukan mayat Felix kepada petugas 911, pembunuh ayahnya tak lain tak bukan adalah Susan Polk. Gabriel tak punya nama lain untuk disebut, selain ibunya, karena ia ingat, tanggal 13 Oktober 2002, pukul 23.00 Susan sempat mampir ke rumah mereka.

Setelah itu, hampir tak ada tamu lain yang menemui ayahnya. “Yang saya tahu, mereka langsung bertengkar. Meski saya tidak tahu persis kejadiannya, tapi saya yakin, Mum yang membunuh Daddy,” tutur Gabriel lirih. Hanya kalimat itu yang selalu diucapkan Gabriel, baik kepada polisi maupun petugas 911. Tak ada kalimat lain yang keluar dari mulutnya. Gabriel adalah satu-satunya anak Felix - Susan yang tinggal di rumah besar itu. Dua lainnya, karena urusan sekolah, tinggal di luar rumah.

Saat ditemukan, tubuh Felix sudah hampir membusuk. Sang psikolog diperkirakan telah menjadi mayat selama hampir 24 jam. Di lokasi kejadian polisi menemukan tanda-tanda adanya perkelahian hebat. Puluhan luka, tepatnya 27 luka - 15 di antaranya luka bekas tusukan - juga ditemukan di sekujur tubuh Felix. Di kepalanya ada memar bekas pukulan benda tumpul. Fakta lain yang membawa polisi pada keterlibatan sang istri adalah sejumput rambut perempuan yang melingkar di tangan Felix. Setelah diselidiki, memang betul rambut Susan.

Dengan bukti-bukti itu, gampang saja buat pihak berwajib untuk langsung memasukkan Susan ke balik terali besi. Susan dianggap punya motif kuat - sangat kuat, bahkan - untuk melakukan pembunuhan berencana yang ancamannya hukuman mati. Polisi menyebut posisi Susan sebagai pihak yang “kalah” di pengadilan, sehingga harus meninggalkan rumah, kehilangan sejumlah warisan dan hak asuh atas Gabriel. Semua itu dipercaya menjadi penyebab tidak stabilnya jiwa ibu paruh baya itu, sehingga tega menghabisi nyawa mantan suaminya.

Teori yang masuk akal dan tanpa banyak cincong diakui oleh Susan. “Saya memang ada di sana malam itu, tanggal 13 Oktober, untuk mengambil barang-barang yang masih tersisa,” Susan mengawali cerita. “Tapi saya tak pernah merencanakan pembunuhan, apalagi mempersiapkan senjata untuk membunuh Felix. Semuanya terjadi begitu saja. Kalau saya tak membela diri, mungkin saya yang mati,” bantah Susan berkali-kali.

Masih versi Susan, ketika bertandang malam itu, sekitar pukul 23,00 - seperti biasa - Felix langsung menyambutnya dengan sikap bermusuhan. Di cottage mereka saling berhadapan bak anjing dan kucing.

“Kami bertukar argumentasi, saling hardik dan saling lempar caci-maki, bahkan saling mengancam,” terang Susan. Saking hebatnya pertengkaran itu, sampai-sampai Felix bersumpah, “Perempuan laknat, kamu pikir saya akan membiarkan kamu pergi begitu saja, setelah apa yang kamu katakan malam ini?” Omongan setengah mengancam itu membuat Susan bergidik. Untuk menghindari tindakan fisik Felix, Susan sempat melempar botol merica ke arah mantan suaminya itu.

Namun, tindakan itu malah membuat Felix tambah naik darah. la langsung menjambak rambut Susan, lalu menjerembabkan istrinya ke lantai, untuk kemudian memberinya satu pukulan di wajah. Tak puas sampai di situ, Felix lalu mengambil pisau. Sembari menghunus senjata tajam, Felix balas melempar botol merica ke wajah Susan, sehingga isinya berhamburan. “Penglihatan saya jadi terganggu, tapi samar-samar saya sempat melihat dia mencoba menghujamkan pisau pada saya,” aku Susan.

Perempuan berpembawaan tenang itu mengaku menghadapi situasi yang paling sulit sepanjang sejarah perkawinannya dengan Felix: membunuh atau dibunuh. “Jika tak segera bertindak, pisau itu pasti akan mengoyak-ngoyak tubuh saya. Untunglah, saya seperti diberi kekuatan ekstra. Spontan saya tendang dengkulnya. Pada saat bersamaan, tangan saya menahan tangannya yang memegang pisau.”

Nah, saat Susan menendang itulah, pisau di tangan Felix terlepas. “Saya berusaha meraih senjata itu. Berhasil. Lalu saya berteriak. ‘Hentikan Felix, hentikan! Saya memegang pisau.’ Tapi dia tak juga berhenti, malah semakin nekat, makin mendekat, dan mencoba meraih kembali pisau dari tangan saya. Felix bahkan sempat melayangkan satu pukulan lagi di wajah saya,” ujar Susan sembari menirukan aksi Felix yang terus merangsek.

Susan tak punya pilihan lain. “Saya menusuknya persis di pinggang. Tapi karena dia masih juga berusaha merebut pisau dari tangan saya, terpaksa saya menusuknya lagi dan lagi. Beberapa kali, di bagian tubuh yang berbeda. Mungkin sampai sekitar lima kali.” Susan baru berhenti setelah tubuh Felix roboh. “Badannya berlumuran darah dan tak kuat lagi berdiri. Saya mencoba membantunya berdiri, tapi tubuhnya terlalu berat.”

“Dia sempat bilang ‘Mati, sepertinya aku akan mati’, sebelum akhirnya tak bergerak sama sekali. Saya sadar, Felix telah meninggal,” imbuh Susan. Setelah itu, Susan mengaku hanya bisa duduk terdiam di tangga, di dalam cottage, tak jauh dari tubuh Felix tergeletak. Sejenak ia membayangkan masa-masa indah saat masih bersama.

“Apa yang harus saya katakan pada anak-anak tentang kejadian ini?” pekiknya dalam hati, sambil memandangi noda darah di tangannya. Sayangnya, setelah kejadian itu, Susan tak langsung melapor pada polisi atau setidaknya mengontak 911, agar mayat Felix diurus sebagaimana mestinya. Dia malah membersihkan darah di tubuhnya, membersihkan darah yang berceceran di lokasi, lalu pergi tidur.

“Saya sengaja tidak menelepon 911, karena khawatir mendapat perlakuan yang tidak pantas dari mereka,” Susan beralasan. Banyak pihak menyesalkan tindakan Susan ini. Karena dengan begitu, Susan merasa tindakannya pergi tidur dan membiarkan tubuh berdarah Felix begitu saja di lantai jauh lebih pantas ketimbang membawa suaminya ke rumah sakit.

 

Borok masa lalu

Kasus matinya Felix, memang dianggap bukan tipe kasus yang akan menantang atau menyulitkan pihak kepolisian. Satu-satunya saksi mata dalam peristiwa itu, ya Susan Polk sendiri, yang mengakui terus terang telah membunuh mantan suaminya. Persoalan apakah kronologi yang diceritakan Susan benar adanya, sulit dipastikan, dan tak terlalu penting untuk dipermasalahkan.

Sepanjang pembunuhnya ada dan mengakui terus terang perbuatannya, kasus selesai. Segalanya menjadi begitu mudah buat para detektif. Mereka tinggal mengemas barang bukti untuk dipergunakan di pengadilan, menyelipkan surat visum dokter, mengetik pengakuan tersangka, mencocokkannya dengan keterangan para saksi, lalu membuat berkas, untuk kemudian melimpahkannya ke pengadilan. Beres dalam waktu singkat.

Namun, tidak demikian dengan jalannya proses peradilan. Para juri yang mengadili kasus ini justru menanggung tugas mahaberat. Berdasarkan fakta-fakta yang berkembang di pengadilan, sangat banyak faktor yang mesti dipertimbangkan. Susan misalnya, bersikukuh apa yang dilakukannya adalah upaya bela diri. Juri juga “dipaksa” mempertimbangkan masa lalu Susan dan Felix yang terlalu menyentuh, jika tidak mau dibilang mengejutkan.

Di pengadilan Susan membuka borok rumah tangga yang disimpannya selama 20 tahun. Borok yang selama ini sama sekali tak diketahui orang luar, bahkan ibunya sendiri, Helen Boiling. “Dari luar, keluarga Polk selalu terlihat harmonis, tak pernah bermasalah. Itu sebabnya, saya.dan para tetangga tak pernah mengira, selama 20 tahun terakhir ini Susan memendam sesuatu yang sangat buruk,” timpal Helen.

Tali kasih antara Susan dan Felix bermula di tahun 1970- an, ketika Susan remaja masih tinggal bersama ibunya, Helen Boiling, yang saat itu sudah menjadi orang tua tunggal. Helen bercerai dari suaminya ketika Susan masih kecil. Barangkali lantaran kehilangan figur bapak, Susan tumbuh menjadi remaja yang lebih suka bersembunyi dari kebisingan dan menenggelamkan diri pada bahan bacaan.

Di usia 14 tahun, misalnya, Susan sudah terbiasa melahap bacaan-bacaan (yang buat orang dewasa sekali pun terasa berat) semisal karya Turgenev, Chekhov, atau Tolstoy. Namun, hobi Susan remaja itu di mata gurunya justru jadi masalah, karena ia sering tak peduli dan mengabaikan tugas-tugas sekolah. Helen menduga, Susan bersikap seperti itu lantaran kecewa pada perceraian kedua orang tuanya. Agar kembali normal, Helen lalu membawanya ke seorang psikolog anak.

Di ruang praktik psikolog anak itulah, Susan yang baru berusia 15 tahun untuk pertama kali bertemu Frank Felix Polk, terapis berusia 40 tahun yang sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Awalnya, seperti dituturkan Helen, terapi itu berjalan dengan baik. Susan tampak bisa menerima pendekatan yang dilakukan Felix.

Namun lambat laun, keanehan mulai terasa, ketika Helen sering melihat Felix meminta Susan remaja duduk di pangkuannya. Toh Helen tak menganggap hal itu serius. “Mungkin bagian dari proses penyembuhan,” pikirnya. Bukankah tiap psikolog punya metode sendiri, yang tak sama dengan psikolog lainnya?

Lucunya, Susan sendiri nyaris tak mengerti secara persis, terapi apa sebenarnya yang dilakukan Felix terhadap dirinya di masa lalu. “Terutama ketika kami berdua di ruang praktik, dan Felix mulai menghipnosis. Yang saya ingat, dia begitu baik dengan menyuguhkan secangkir teh, lalu meminta saya memperhatikan bandul jam. Setelah itu, dalam kondisi terhipnosis, saya tak pernah tahu apa yang terjadi. Bertahun-tahun saya bahkan tak pernah mencoba memikirkan hal itu,” jelas Susan.

Sampai suatu hari Susan menyadari, “sesuatu” telah terjadi pada dirinya, sesuatu yang mengarah pada pelecehan seksual. Bahkan lambat laun, Felix - yang masih terikat perkawinan - tak sekadar menganggap Susan sebagai pasien, tapi “kekasih”. Jika cerita Susan benar, sang psikolog jelas tak hanya melanggar hukum dengan melakukan tindakan tidak senonoh terhadap pasien di bawah umur. Tapi juga melanggar kode etik psikolog, dengan membuat skandal di ruang praktik. Rahasia malapraktik itulah, menurut Susan, yang coba disembunyikan Felix dari khalayak sampai akhir hayatnya.

Beberapa tahun terapi berjalan, ketika sudah duduk di bangku kuliah, Susan pernah berusaha memutuskan hubungan “anehnya” dengan sang psikolog gaek. Namun, ketika mereka berbicara di telepon, sambil menangis Felix mengancam hendak bunuh diri, jika Susan benar-benar memutuskan tali cinta. Felix, lewat kemampuannya menghipnosis, mengendalikan pikiran dan tingkah laku orang lain, mencoba membentuk “pasien istimewanya” itu menjadi “istri idaman”.

Felix ibarat sutradara panggung boneka yang bebas melakukan apa saja, berbekal ilmu yang dikuasainya, terhadap jalan hidup “aktor-aktrisnya”. Termasuk membuat Susan (saat menginjak usia 25 tahun) menikahinya (meski ketika itu umur Felix sudah mencapai 50 tahun). Awalnya, banyak orang menganggap pernikahan pasangan yang usianya terpaut dua kali lipat itu sebagai pernikahan ganjil. Namun, karena mereka selalu terlihat “bahagia”, semua omongan miring pun pergi ditiup angin.

Padahal, untuk menikahi Susan, Felix terlebih dahulu harus menceraikan istrinya. Susan mengaku sempai menelepon mantan istri Felix untuk minta maaf. “Dia wanita yang baik, bahkan sangat baik. Dia tidak marah dan tidak menganggap saya merebut Felix. Dia justru memperingatkan saya untuk lebih berhati-hati terhadap mantan suaminya.”

“Dia bilang, Felix punya kecenderungan memaksakan kemauannya pada orang lain, dan ingin selalu terlihat sebagai ‘orang baik’, dalam kondisi apa pun. Celakanya, baru sekarang saya mengerti maksud perkataannya,” terang Susan. Penyesalan tampak di wajahnya.

Tak lama setelah menikah, karier Frank Felix Polk meningkat pesat. Dia tumbuh menjadi salah seorang terapis dan psikolog anak beken yang sangat dihormati dan punya tempat praktik sendiri. Di akhir tahun 1980-an itu pula, Felix sempat merangkap jadi dosen di sejumlah perguruan tinggi. Sedangkan Susan, seperti ibu rumah tangga lainnya, sibuk membesarkan ketiga anaknya.

 

Penghinaan bertahun-tahun

Tahun 2000, Susan, Felix, dan ketiga anaknya pindah ke sebuah rumah besar nan mahal di Oakland Hills, masih di Negara Bagian California. Keberuntungan dan kebahagiaan sepertinya sedang terus merundungi keluarga ini. Eli Polk, anak kedua mereka bercerita, “Tak hanya tinggal di rumah bagus, kami juga punya mobil bagus, menuntut ilmu di sekolah pilihan, dan sering jalan-jalan ke luar negeri.”

Namun di luar itu, tak seorang pun tahu, apa yang sesungguhnya terjadi pada keluarga besar Polk. Pihak keluarga, kerabat, dan tetangga, yang melihat mereka dari luar pagar, tak mendapat kesan lain kecuali keluarga rukun yang bahagia. Mereka sama sekali tak tahu, selain rahasia pelecehan seksual yang dilakukan Felix terhadap Susan di ruang praktik puluhan tahun lalu, pasangan ini juga kerap bertengkar tentang banyak hal.

Felix yang pintar selalu ingin mendikte istri sekaligus mantan pasiennya. Eli Polk berkomentar, “Dad tak pernah menghormati dan selalu merendahkan Mum. Mereka sangat sering bertengkar. Makin lama saya sadar, mereka makin susah disatukan.” Selama ini, hanya Eli yang bersedia menyampaikan kesaksian dan berbicara banyak, baik kepada polisi, majelis hakim, maupun wartawan. Dua anak Susan - Felix yang lain, lebih memilih berkata satu dua kalimat pada polisi, lalu membisu.

“Saat bertengkar, tingkah laku Dad sangat menghina dan melecehkan Mum. Bertahun tahun, Dad menyebut Mum sebagai orang gila dan perempuan yang suka berhalusinasi” tambah Eli. Felix yang notabene profesional di bidang ilmu kesehatan mental, seperti tahu bagaimana cara “menyiksa” batin dan pikiran Susan.

Dad juga sering menghipnosis kami, semua anak-anaknya. Saya tak tahu untuk apa. Tapi jika kami menolak, dia tak segan-segan membalasnya dengan kekerasan. Jika ia ingin kami melakukan sesuatu, kami harus melakukannya, tak bisa tidak. Dia hampir tidak pernah memberi kami pilihan dan menjadi diri sendiri,” tambah Eli.

Tak tahan dengan perlakuan Felix, pada Januari 2001, Susan sempat melakukan percobaan bunuh diri, dengan menenggak aspirin melebihi dosis. Beruntung, saat itu nyawanya masih dapat diselamatkan. Namun, upaya bunuh diri itu tak juga menyadarkan Felix. Sikap Felix tak kunjung berubah.

Mum benar-benar menghadapi masa-masa sulit, secara fisik maupun mental. Cap sakit mental, hinaan, dan ancaman fisik dari dad berlangsung terus-menerus, nyaris setiap hari. Mum hidup dalam tekanan,” sebut Eli Polk. 

Karena tak tahan lagi, beberapa bulan setelah percobaan bunuh diri itu, Susan memasukkan gugatan cerai ke pengadilan.

“Anak-anak sekarang sudah remaja. Mereka sudah bisa berpikir jernih dan mandiri. Saya pikir, inilah saatnya mengambil keputusan terbaik untuk diri saya sendiri,” sebut Susan.

Toh rencana perceraian itu tidak mengendurkan genderang perang. Mereka tetap sering cekcok, saling memaki dan saling mengancam. “Felix pernah bilang, perkawinan kami harus berlangsung seumur hidup. Saya tahu, dia tak akan pernah membiarkan saya pergi. Makanya, saya katakan padanya, ‘Saya tak akan membiarkan kamu terus menghipnosis saya dan anak-anak.’ Saya tak tahan lagi,” seru Susan.

Dia yakin, Felix takut bercerai karena tak mau istrinya membeberkan aib rumah tangga mereka pada orang lain. “Jika semua cerita ini berembus ke luar rumah, karier dan reputasinya akan berantakan,” Susan menambahkan. Keandalan Felix sebagai terapis dan psikolog anak bakal dipertanyakan jika skandal percintaan ilegalnya 20 tahun silam dan obsesinya mengontrol perilaku orang lain tercium khalayak.

Apalagi jika aib itu keluar bersamaan dengan dipublikasikannya laporan tentang Felix sewaktu berdinas di Angkatan Laut. Pengacara Susan menemukan, Felix ternyata pernah mencoba bunuh diri sewaktu bertugas di kemiliteran, sehingga perlu mendapat perawatan psikiater selama berbulan-bulan. Saat itu, Felix diduga mengidap gangguan kejiwaan. Apakah penyakit ini yang membuat Felix terobsesi membentuk anak dan istrinya seperti aktor dan aktris panggung sandiwara boneka?

Yang pasti, di persidangan banyak kalangan yang tadinya mengecam Susan, akhirnya berbalik memahami tindakan istri yang batinnya tersiksa dan jiwanya tergadai selama bertahun-tahun itu. Namun buat Susan, apa pun keputusan juri, tampaknya tak akan banyak memengaruhi jalan hidupnya. Setidaknya, keinginannya selama ini untuk lepas dari kontrol sang “sutradara boneka” terkabul sudah. la kini bisa menjadi diri sendiri.

Satu-satunya penyesalan Susan adalah soal rumah tangganya yang hancur total. Pascakematian Felix, tiga anak mereka terbelah ke dalam dua kutub. Eli, anak kedua (kini 20 tahun), memilih untuk mendampingi Susan melewati hari-hari sulit di pengadilan. Sedangkan si sulung Adam (kini 22 tahun) dan Gabriel (kini 18 tahun) lebih suka memihak almarhum Felix. Anak-anak yang dulu saling mendukung, kini bermusuhan, bak meneruskan tradisi permusuhan Felix - Susan.

Kasus Susan Polk seperti ingin menunjukkan, “Jarang ada kejahatan yang murni kejahatan, atau kebaikan yang murni kebaikan.” Kadang keduanya seperti air dan minyak: mudah dibedakan tapi sulit dipisahkan. (Keith Morrison)



" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400607/malapraktik-sang-psikolog-gaek" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659536021000) } } }