array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3258519"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/dua-lelaki-dan-anjingnya_go2afri-20220428081944.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(131) "Selama Perang Dunia II, dua ahli geologi Jerman bersembunyi di belantara Gurun Pasir Namib. Tujuan mereka—sekadar bertahan hidup."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Histori"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "history"
        ["id"]=>
        int(1367)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Histori"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/dua-lelaki-dan-anjingnya_go2afri-20220428081944.jpg"
      ["title"]=>
      string(24) "Dua Lelaki dan Anjingnya"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-04-28 20:20:05"
      ["content"]=>
      string(23096) "

Intisari Plus - Selama Perang Dunia II, dua ahli geologi Jerman bersembunyi di belantara Gurun Pasir Namib. Tujuan mereka—sekadar bertahan hidup.

----------------------

Tampaknya dunia akan gila. Ketika itu tahun 1940, Perang Dunia II baru saja meletus, dan tentara Jerman berada di seantero Eropa. Nun jauh di Afrika, dua warga Jerman, Henno Martin dan Hermann Korn, mendengarkan berita di radio dengan ketakutan. Hawa panas peperangan itu bahkan dapat dirasakan sampai di Windhoek, ibukota Namibia, tempat mereka menetap. 

Warga Jerman ditangkapi, khawatir kalau dianggap anggota Nazi, kemudian dijebloskan di kamp tawanan. Mungkin saja giliran Henno dan Hermann tidak lama lagi tiba ....

Suatu sore, di beranda, Henno dan Hermann berpikir keras. Mereka adalah ahli geologi dan tidak mau terlibat dalam peperangan yang tidak beralasan dan menumpahkan darah. Mereka pun tidak terima jika mereka ditawan hanya karena berwarga negara Jerman.

"Kau tahu apa yang dapat kita lakukan," kata Hermann dengan suara pelan.

"Apa?" tanya Henno penasaran.

"Kita selalu bilang jika perang meletus, kita akan bersembunyi di gurun."

Henno menatapnya. Benar—mereka pernah mengumbar lelucon itu. Tapi, bisakah mereka melakukannya? Mereka tidak tahu sampai kapan perang akan berakhir, mungkin saja berlangsung tahunan.

"Bagaimana dengan Otto?" tanya Henno.

"Otto?"Hermann memandang anjing mereka, yang balik menatap seperti biasa dengan mata berbinar dan ekor yang dikibas-kibaskan. "Tentu kita akan mengajaknya."

Sepanjang perjalanan ke gurun, Otto menjadi teman setia mereka. Sampai saat itu, tak ada alasan untuk mengurungkan niat mereka ke gurun. Keputusan segera diambil. Mereka memuati truk dan berangkat. Gurun Pasir Namib menawarkan banyak tempat persembunyian. Mereka mempercayakan nasib baik mereka pada gurun yang ganas itu sampai perang usai.

Dalam empat hari, mereka sudah mengumpulkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Mereka membawa makanan pokok—makanan kering dan makanan kaleng, teh, kopi, gula pasir, dan selai, ditambah dengan perbekalan mewah seperti cokelat dan brandy. Mereka membawa beberapa peralatan dapur—pisau yang tajam dan belanga. 

Mereka perlu kantung tidur, selembar terpal, dan beberapa lembar pakaian; Hermann dan Henno menambahkan peralatan jahit dan perlengkapan P3K. Untuk truk, mereka butuh banyak bahan bakar, suku cadang, dan perkakas. Apa lagi?

"Biolaku," kata Hermann dengan tegas. "Aku tak akan meninggalkannya."

Yang terpenting dari semua perlengkapan itu adalah radio dan senjata. Melalui radio mereka bisa mendengar berita penting dari dunia luar dan perkembangan perang. Radio menyala dari baterai di truk dan akan mengabarkan saat yang aman untuk keluar dari gurun, sementara senjata adalah nyawa mereka. 

Cadangan makanan harus dijatah dengan cermat, dan mungkin tidak akan cukup untuk menghidupi mereka. Jika ingin bertahan hidup, mereka harus berburu. Senapan adalah alat berburu yang terbaik, sayangnya semua sudah disita pada awal perang. Mereka hanya memiliki sepucuk senapan laras panjang dan pistol—tidak ideal, tapi harus berfungsi.

Dengan truk sarat muatan, mereka bergerak sepanjang rute yang mereka ketahui sulit ditelusuri. Tidak banyak orang kulit putih yang mengenal gurun pasir sebaik mereka. Mereka berjalan menuju sebuah ngarai rahasia di jantung Gurun Pasir Namib.

Gurun Namib membentang di sebelah barat Namibia, sebuah daratan yang panjang berbatasan dengan laut. Bagian utara pantai itu dikenal dengan nama Skeleton Coast (Pantai Kerangka). Nama itu berasal dari korban kecelakaan kapal laut di masa lalu—mereka yang beruntung mencapai pantai tapi tidak menemukan air dan makanan untuk bertahan hidup, akhirnya tewas di gurun pasir yang kejam.

Sebagian gurun terdiri dari beberapa bukit pasir yang amat menakjubkan di dunia, bergelombang naik dan turun dalam corak warna kuning tua dan oranye. Bukit pasir ini memberi sedikit tempat bernaung atau kehidupan bagi kedua pelarian ini, sementara daerah lain bercadas dan dialuri ngarai yang dalam. Di sini, terdapat mata air—dan bila ada air, berarti ada kehidupan.

Dengan truk, Henno dan Hermann menempuh rute berbahaya, menerobos ke puncak ngarai Kuisib. Di situ, mereka berhenti dan mengamati pemandangan—sebuah bentangan darat yang sepi dan liar dengan batu-batu cadas menjulang dan jurang kecil yang dalam, tebing terjal, dan—jauh di bawah—palung ngarai berpasir.

"Mereka tidak bakal menemukan kita di sini," ujar Hermann.

Lega rasanya menyadari hal itu, tapi juga sedikit menakutkan. Tempat ini seluruhnya belantara, hewan paling kuat sekalipun harus berjuang untuk bertahan hidup. Bagaimana mereka yakin bisa mengatasinya?

Sudah terlambat untuk kembali. Henno dan Hermann meninggalkan truk di atas jurang, lalu menelusuri jejak zebra ke dalam ngarai, mencari air dan tempat tinggal. Palung sungai kering menandakan hujan tidak turun pada tahun itu. Tapi, masih terdapat cukup mata air. 

Yang menggembirakan mereka, ada ikan di salah satu kolam mata air—ikan mas yang gemuk dan sehat. Hermann berhasil menangkapnya dengan tangan kosong. Itulah tangkapan pertama! Mereka segera membuat api unggun, memasak, dan menyantapnya.

Mereka terus menyusuri ngarai hingga tiba di semacam gua, sebuah batu cadas menggantung yang memberikan perlindungan memadai. Hermann dan Henno memutuskan gua itu menjadi rumah mereka. 

Selama dua hari berikutnya, mereka mengeluarkan bekal dari truk, dan menjadikan gua itu senyaman mungkin. Selanjutnya, mereka menyembunyikan truk di bawah sebuah tebing yang menggantung sehingga tidak terlihat dari udara.

 

Henno dan Hermann merasa sangat lapar. Mereka telah menghabiskan sebagian bekal pasta, tapi tidak mau makan lagi. Setiap hari mereka menjatahkan secangkir terigu untuk sarapan pagi, yang dicampur dengan air dan satu sendok teh selai. Selain itu, tidak ada lagi yang dapat dikerjakan kecuali mencari makanan lebih banyak.

Menangkap lebih banyak ikan adalah jalan keluar yang nyata, meski tak mudah. Keberuntungan mereka pada hari pertama tidak terulang lagi. Henno dan Hermann membuat alat pancing dengan kabel, tapi mereka hanya mendapat katak. Lalu, dengan perut keroncongan, mereka memutuskan berburu. Perjuangan untuk bertahan hidup pun dimulai.

Dalam perjalanan ke ngarai, mereka mendapati jejak kawanan ternak liar—seekor banteng jantan, seekor lembu, dan anak sapi. Yang lebih menyenangkan, tak lama kemudian mereka melihat seekor banteng jantan sedang merumput di dasar ngarai. Tapi, bagaimana bisa mendekat untuk menembak?

"Aku akan kembali kemari dengan Otto dan senapan," kata Henno. "Kau terus siap dengan pistolmu. Bau badanku akan menggiring banteng jantan itu ke arahmu." 

Ide yang bagus. Henno beranjak dengan hati-hati, tak ingin mengusik makhluk besar ini. Ia merangkak lebih dekat, dan semakin dekat ... Kemudian banteng jantan itu menengok. Sapi itu memandang Henno dan menyerang. Henno menembakkan senapan langsung ke wajah sang banteng. Banteng itu tetap maju. 

Pada menit terakhir, Henno melompat ke bukit bercadas, keluar dari kejarannya. Banteng jantan itu menatapnya. Peluru kecil yang dilontarkan dari senapan Henno (yang biasanya dipakai untuk perburuan ringan seperti berburu burung) sedikit menggoresnya.

Tapi, sekarang Hermann berlari dan menembak dengan pistolnya. Peluru itu mengenai belakang telinga banteng, dan hewan besar itu pun terkulai ke tanah seperti batu.

"Sudah mati?" tanya Hermann terengah-engah.

Henno menyambit kepala banteng jantan itu dengan batu, hanya untuk memastikan. Secepat itu pula, banteng kembali berdiri tegak—benar-benar hidup! Sekarang, Otto—sangat girang—menyergap banteng itu dan mencengkeram hidungnya. Hermann mendekat, dan menembak dahinya. Tak ada pengaruh. Sang banteng cuma menggoyang-goyangkan kepalanya, sambil melempar Otto ke udara.

Otto kembali berdiri tapi kini ia menyeringai. Berburu tidak seasyik perkiraannya. Sekali lagi Hermann menembak belakang telinga banteng itu. Seperti sebelumnya, tembakan itu membuatnya kelengar dan terjatuh ke tanah lagi—hanya bangun bila sudah pulih.

Sekarang jelas si banteng makin lemah, hanya dapat memandang Hermann dan Henno dengan kesal. Mereka kelelahan dan kehabisan peluru karena tidak menyangka akan menjalani pertempuran sesengit itu.

"Kita harus pulang dan mengambil peluru lagi," ujar Hermann. "Dan merencanakan cara menghabisinya."

Henno mengangguk. "Kita juga harus membawa kantung tidur, dan segala sesuatu yang diperlukan. Banteng itu terlalu besar untuk diseret ke gua. Kita harus tinggal di sini sampai habis memakannya."

Mereka tertatih-tatih kembali ke gua, mengambil pisau, tali, kuali, dan alat-alat lain. Banteng jantan itu sekarang terkulai, tapi tetap berjuang untuk bangun dan menyerang lagi sewaktu Henno dan Hermann mendekat. Dua peluru lagi masih belum bisa mematikannya. 

Mereka tahu, mereka harus jantungnya. "Tapi, di mana letak jantung makhluk sebesar itu?" tulis Henno kemudian. "Baik Hermann atau aku belum pernah menyembelih lembu jantan dan kami tidak tahu caranya ... Ketika itu, Hermann dan aku agak terguncang. Peristiwa ini mengejutkan, dan kami jadi malu karena tidak mampu membereskan persoalan ini."

Akhirnya, mereka punya ide untuk mengikatkan seutas tali di sekeliling tanduknya dan mengikatkan tali itu ke sebatang pohon, sehingga banteng itu tidak dapat bergerak. Kemudian, dengan rasa lega yang luar biasa, mereka menebas tenggorokannya. 

Malam itu mereka melahap daging. Tapi, setelah itu mereka harus mulai mengawetkan sisa daging banteng itu. Daging cepat membusuk di bawah terik matahari. Mereka pun memotongnya, tapi tak satu pun peluru menembus tengkorak keras makhluk itu. Hermann dan Henno memotong daging menjadi irisan-irisan tipis untuk dikeringkan, menjadi biltong, sebutannya di penjuru Afrika Selatan.

 Sisa daging harus diasapi di atas api kecil. Teknik itu cukup rumit sehingga kedua pria itu harus berusaha berkali-kali sebelum berhasil. Selanjutnya daging banteng liar itu menjadi hidangan sarapan pagi, makan siang, dan makan malam pada hari-hari selanjutnya.

Membunuh banteng jantan adalah kesulitan utama dan pertama yang mereka temui ketika berburu. Mereka segera tahu bahwa pembunuhan seperti itu merupakan cara hidup yang brutal dan putus asa. Dengan sumber daya yang terbatas, mereka harus memikirkan kepentingan sendiri dan tidak bisa bersikap belas kasih. 

Sering kali, peluru mereka hanya melukai seekor hewan, dan mereka harus menyeret hewan itu berjam-jam untuk menghabisinya. Terkadang sang hewan benar-benar kabur. Bila si hewan terluka cukup parah, Henno dan Hermann hanya perlu menunggunya sampai melemah dan terkulai. Mereka tidak boleh membuang-buang peluru yang berharga agar sang hewan mati dengan bersih dan cepat.

Makan daging terus-terusan segera jadi membosankan, dan mereka berusaha mencari cara baru untuk menangkap ikan mas di kolam mata air. Akhirnya, mereka menemukan ide cemerlang untuk membuat jaring dari batang tanaman tamarisk dan celana dalam, yang kemudian mereka jadikan semacam pukat yang diletakkan di air di antara mereka. Usaha itu berhasil—dan untuk sementara, mereka memiliki banyak ikan untuk makan malam.

Tapi, kolam mata air itu lama-kelamaan mengering. Jelas, sumber makanan ini tidak akan tersedia selamanya. Lebih-lebih mereka memergoki ada pihak lain yang memanfaatkan kolam itu. Ikan mas di kolam itu dijarah pada malam hari. Jejak kaki menunjukkan pelakunya—seekor hiena.

Henno kesal. "Aku tak akan membiarkan hiena menjarah ikan kita!" cetusnya. "Aku akan mengintai dan menembaknya." 

"Jangan bodoh," ujar Hermann. "Jika kau berada di sekitar sini, ia akan mengendusmu. Dan bagaimana pun, kau tak bisa menembaknya dalam gelap."

Tapi, Henno nekat. Ia mengambil kantung tidurnya menuju kolam mata air dan berdiam di situ menunggu. Pada malam pertama, tak terjadi apa-apa. Paginya Henno kembali ke gua dengan tangan hampa. 

Hermann menyambutnya dengan senyum mengejek serta secangkir kopi. Hermann jelas tidak menyangka temannya itu akan berusaha lagi. Tapi Henno jengkel karena sikap Hermann. Ia pun kembali berjaga pada malam berikutnya.

la baru tidur sejenak sewaktu mendengar lolongan hiena yang menakutkan dari dekat. Ia menggapai senapan sewaktu hiena terus melolong dan mengaum. Mengerikan; tidak ada hewan lain di gurun pasir yang bersuara seperti itu. Tapi, cuma suara itu yang diperlukan Henno. Meskipun ia tidak dapat melihat makhluk seram itu, ia cuma mengarahkan senapan ke asal suara. Yang menggembirakannya, lolongan itu terhenti dan berganti dengan tangis kesakitan.

"Kena kau!" pikirnya, dan Henno meringkuk kembali di kantung tidurnya, lalu mendengkur sampai pagi hari.

Siang harinya, ia bangun dan mengamati tempat itu. Terdapat jejak yang ganjil, yang menunjukkan hiena tersebut tidak bisa lagi menggunakan kaki belakangnya. Ia mereka-reka seberapa jauh hiena itu dapat menyeret badannya. Henno mengikuti jejak tersebut sampai akhirnya ia menemukan hewan itu gemetar ketakutan di bawah pohon akasia.

la tidak mau menyia-nyiakan sisa pelurunya. Sebagai gantinya, Henno mulai memukuli belakang kepala hiena dengan batu-batu. Sebuah perjuangan lagi yang panjang dan mengerikan sebelum sang hiena akhirnya rubuh. Lelah, tapi entah bagaimana ia merasa menang. Henno menguliti hiena itu dan membawa kulitnya ke gua. Kali ini Hermann tidak menertawakannya.

Hari-hari berlalu, merajut satu sama lain. Henno dan Hermann mengamati musim yang berganti, dan harus membuat penyesuaian. Kolam ikan mas mereka mengering, dan mereka mulai menderita sakit kepala karena kekurangan vitamin. 

Mereka sadar, untuk mengatasi hal itu, mereka perlu minum darah lebih banyak dan makan daging mentah. Mereka menjadi kreatif. Mereka membuat sosis dari darah gemsbok dan memakai ususnya sebagai kulit.

Hermann dan Henno juga mulai kehabisan garam dan air—dua unsur penting untuk bertahan hidup. Seperti hewan-hewan di sekelilingnya, mereka pun harus berpindah untuk mencari kedua unsur itu. 

Rezeki tak akan mendatangi mereka di gua. Maka, mereka pun berjalan melalui ngarai yang tandus, di menahan rasa dahaga dan lapar, sampai menemukan cadangan garam dan mata air tawar.

Dalam salah satu pencarian itu, mereka beristirahat sejenak di bawah batu cadas untuk meneduhkan diri. Tanah yang mereka duduki dipenuhi kutu pasir, karena sebelum mereka duduk di situ sudah banyak hewan berada di tempat itu.

"Menurutku, aku baru saja digigit kutu," kata Hermann tiba-tiba sambil menggoyang-goyangkan tangannya. Kutu itu menggigit telapak tangannya—tidak mengejutkan, di lingkungan seperti itu. Tapi, dalam beberapa detik, ia mulai melunglai.

"Hermann!" seru Henno merasa khawatir sewaktu Hermann terkulai ke tanah. "Kau tidak apa-apa?"

"Kepalaku ..., "Hermann merintih. Henno memandangnya. Dari sekujur tubuh Hermann keluar bercak yang aneh. Henno segera mencari-cari kutu yang telah menggigit Hermann.

"Lihat ini!" Henno berseru, sewaktu menemukannya. Kutu itu penuh dengan darah yang sudah menghitam dan lama. Darah Hermann jelas keracunan akut karena gigitan itu—dan ia tidak dapat melihat apa pun. Ia muntah banyak. 

"Aku tidak bisa melihat," ia berguman. "Aku buta."

Karena panik, Henno mengiris gigitan kutu itu dan membubuhkan sedikit kalium permanganat (semacam antiseptik) ke dalam lukanya. Tak ada lagi yang dapat ia lakukan. Hermann hampir tidak bisa berdiri, dan sekarang nyaris buta, tapi Henno menggiringnya ke gua kecil di dekat situ. Mereka menghabiskan sisa hari dan malam di sana, menunggu racun surut.

Belum sampai petang berikutnya, Hermann merasa cukup kuat untuk bergerak lagi. Musibah itu merupakan kejadian menakutkan, yang menunjukkan betapa rapuhnya kehidupan mereka di alam belantara.

Sewaktu musim demi musim berlalu perlahan-lahan, keberuntungan mereka pun berubah. Saat kering, mereka terpaksa meninggalkan rumah pertama mereka untuk mencari air; mereka menetap di beberapa tempat, berkemah di tempat yang tersedia cukup air untuk mempertahankan hidup. 

Ada juga saat kelimpahan setelah hujan musiman, yang mengembalikan kehidupan gurun pasir secara dramatis. Henno selanjutnya menceritakan kekuatan dahsyat banjir bandang, dan pemandangan indah saat empat ribu ekor springbok merumput bersama-sama setelah hujan.

Otto melalui semua peristiwa itu bersama mereka. Anjing itu tak pernah lelah berburu, meskipun dua kali diseruduk tanduk gemsbok. Ia mempelajari cara bertahan hidup seperti halnya manusia, dan Henno serta Hermann dibuat takjub oleh cara hewan-hewan, bahkan hewan peliharaan, beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya yang berubah.

Namun, secara keseluruhan, Hermann dan Henno melemah, dan terus-menerus merasa lapar. Sewaktu musim kering kedua datang menyengat, mereka merasa terlalu lemah untuk berburu.

Mereka putus asa. Suatu hari, seekor tokek sedang melata, dan Henno menyergapnya. Ia menangkap ekornya saat setengah badan tokek itu masuk ke dalam batu cadas. "Daging tokek itu memberi kami dua porsi hidangan enak," tulis Henno. "Dagingnya kenyal dan putih, rasanya campuran antara daging ayam dan ikan salmon."

Tak lama, Hermann mulai jatuh sakit parah. Ia menderita nyeri punggung, yang bertahap menyebar ke tungkainya, dan akhirnya ke leher dan kepalanya. Henno berusaha keras untuk merawatnya, menembak hewan buruan segar, yang mereka makan mentah-mentah. Tapi, tampaknya tak ada yang menolong.

Hermann jelas perlu ke dokter. Ia tak mampu berburu lagi, dan bahkan hanya bisa merangkak. Hanya ada satu yang dapat mereka lakukan, meninggalkan gurun pasir, meskipun mereka sudah penat. Dengan berat hati, Henno mempersiapkan truk dan berjalan melalui jalan yang tandus kembali ke Windhoek.

Henno tidak menyerah begitu saja. Ia mengantar Hermann dan kembali lagi ke gurun pasir bersama Otto. Tapi, teman-teman membujuk Hermann untuk mengatakan tempat persembunyian Henno, dan tak lama polisi menemukannya.

Seperti yang sudah mereka duga, kedua warga Jerman itu ditahan di penjara; tapi sebentar. Mereka dipindahkan ke rumah sakit, tempat Hermann mulai pulih dari sakitnya. Ia menderita kekurangan vitamin B.

Selanjutnya keduanya harus menghadapi persidangan. Mereka dikenai banyak dakwaan, besar dan kecil, termasuk tidak membayar perizinan anjing mereka. Tapi mereka beruntung. Petualangan Hermann dan Henno sedemikian luar biasa sehingga mereka bebas dari hukuman dengan sedikit denda.

Tragisnya, setelah benar-benar sembuh, Hermann Korn tewas dalam sebuah kecelakaan mobil, tahun 1946. Otto hidup selama beberapa tahun, kemudian menghilang secara misterius. Henno Martin melanjutkan hidup di Namibia, dan menulis buku tentang perjuangan dua setengah tahun mereka di Gurun Pasir Namib. Buku itu berjudul The Sheletering Desert. Cerita ini ditulis berdasarkan kisahnya.

(Gill Harvey)

 

" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553258519/dua-lelaki-dan-anjingnya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651177205000) } } }