array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3309920"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/penjelajahan-di-tanah-tak-berad-20220603065033.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(143) "Ernest Giles dan Alfred Gibson mengarungi bentangan bagian barat Australia yang tak dikenal - hanya salah satu dari mereka yang kembali pulang."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Histori"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "history"
        ["id"]=>
        int(1367)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Histori"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/penjelajahan-di-tanah-tak-berad-20220603065033.jpg"
      ["title"]=>
      string(35) "Penjelajahan di 'Tanah Tak Beradab'"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-03 18:50:59"
      ["content"]=>
      string(23526) "

Intisari Plus - Ernest Giles dan Alfred Gibson mengarungi bentangan bagian barat Australia yang tak dikenal - hanya salah satu dari mereka yang kembali pulang. Padahal tim-tim lain yang melintas di rute mereka rata-rata menempuh keberhasilan.

-------------------------

Sejauh mata memandang yang tampak adalah belantara tandus. Di barat, terlihat bukit-bukit berpasir merah tak berujung. Membentang dari barat laut, tanahnya lebih rata, tapi seragam. Tak ada yang menarik untuk dilihat di selatan. 

Menyapu pemandangan dengan binokulernya, satu-satunya sosok jelas yang dapat dilihat penjelajah itu terletak di barat daya. Di sana, di kejauhan, di antara kabut yang berpendar, Ernest Giles melihat gunung.

Ia mengamatinya dengan cermat. "Ada bukit barisan membentang panjang," ia memberitahukan temannya sambil merendahkan binokulernya. "Bisa berarti air. Aku perkirakan jaraknya sekitar 80 kilometer. Ke sanalah tujuan berikut kita."

William Tietkens, pria di sebelahnya, mengangguk setuju. la tidak punya banyak pilihan—Ernest Giles adalah pemimpin ekspedisi. Hanya bersama dua pria lain, Tietkens bergabung dengan Giles dalam usaha yang keras untuk menyeberangi Australia Barat.

Saat itu Januari 1874. Australia memberikan tantangan yang besar kepada penjelajah Inggris, yang ingin mempertaruhkan klaim mereka terhadap tanah "tak beradab" yang luas ini. Para penjelajah Inggris itu kurang menghormati orang-orang yang sudah lama menetap di sana, suku Aborigin yang mengenal tanah itu dengan baik. 

Malahan mereka menganggap penjelajahan mencapai sudut terjauh itu sebagai tugas yang secepatnya melawan suku Aborigin di sepanjang perjalanan. Dalam perjalanan, mereka memberikan nama setiap sosok lanskap—seakan-akan tak seorang pun pernah melihat sebelumnya.

Tahun 1862, John McDouall Stuart menjadi orang kulit putih pertama yang menyeberangi benua itu dari utara ke selatan. Tahun 1872, sebuah jalur telegraf yang luas dibangun sepanjang rute Stuart. Sekarang, yang menjadi tantangan adalah menyeberangi Australia dari garis telegraf itu ke pantai barat. Kebanyakan wilayah ini merupakan gurun pasir.

Perlombaan pun dipacu. Ernest Giles melakukan usaha pertamanya tahun 1872. la mencapai Gunung MacDonnel, tapi kehabisan air dan terpaksa kembali. Ia bermaksud kembali lagi tahun berikutnya. Akan tetapi, saat itu, dua penjelajah lain juga berlomba. Mereka adalah Peter Warburton dan William Gosse. Bertekad untuk mengalahkan mereka berdua, Ernest Giles berangkat pada 4 Agustus 1873.

Pada Januari 1874, Giles telah mencapai pegunungan yang ia namakan Rawlinson Range—Pegunungan Rawlinson. Ia menjelajahi wilayah itu dan mendirikan sebuah perkemahan bernama Fort McKellar. Ia merasa kecewa, gunung-gunung itu meredup. Jauh dari mereka, menuju arah barat, tampak tidak ada apa-apa kecuali lebih banyak gurun pasir.

Ini ia ketahui ketika mengintai gunung ke arah timur laut bersama temannya, William Tietkens. Dua pria itu kembali ke kemah dan menceritakan pada yang lain—pemuda Jemmy Andrews yang baru berusia 20 tahun dan Alfred Gibson, yang jebih tua. Pada 1 Februari 1874, empat pria itu bersama lebih dari 20 ekor kuda, berangkat menuju gunung yang memikat itu.

Perjalanan itu merupakan kesalahan besar. Perkiraan Giles tentang jarak ternyata salah, dugaan lain bahwa mereka akan mendapati air juga salah. Kuda-kuda mereka kelelahan, dan di sepanjang jalan tidak ditemukan air. Ditambah lagi saat itu adalah pertengahan musim panas, yang panasnya membakar.

Segera setelah mereka mengetahui bahwa gunung itu kering, Giles sadar bahwa mereka harus kembali ke Rawlinson Range secepatnya. Mereka berjalan pada malam hari ketika temperatur lebih sejuk. Meskipun demikian, bagi sebagian kuda, jalur tersebut terlalu berat. Sesampai di Fort McKellar, empat kuda mati karena kehausan dan kelelahan.

"Mount Destruction—Gunung Penghancur—itulah nama yang paling tepat untuk tempat ini," kata Giles putus asa.

Jadi, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Tampaknya ke arah barat tidak ada apa-apa kecuali gurun pasir. Mengetahui orang lain mungkin telah mendahuluinya dalam perlombaan itu, Giles mati-matian tidak mau mengakui kekalahan. Ketika kuda-kuda kembali pulih, ia mempertimbangkan niatnya.

Akhirnya, ia memutuskan melakukan perjalanan singkat ke gurun pasir—sejauh yang dapat mereka capai dalam beberapa hari untuk melihat apa yang ada di kaki langit. Mungkin saja gurun pasir itu tidak membentang terlalu jauh; mungkin pula ia menemukan sumber air lain. Kali ini, ia tidak mau mempertaruhkan semua orang dan kuda. Ia hanya akan membawa empat ekor kuda dan seorang pria lain. Akan tetapi, mana dari tiga pria itu yang ikut dengannya?

Pilihannya adalah William atau "Tuan" Tietkens. Ia sangat cakap dan Giles menyebutnya dengan panggilan "Tuan" karena ia berasal dari kelas sosial yang sama dengannya. Mengajak Jemmy Andrews tidak mungkin. Sekalipun pekerja keras dan berkemauan, tapi Andrews masih muda, tidak berpendidikan, tidak cerdas.

Akan tetapi, pria ketiga, Alfred Gibson, menyatakan bahwa ia sangat ingin pergi bersama Giles. Seperti Andrews, Gibson juga tidak berpendidikan, tapi ia sedikit lebih tua, bersifat pemarah dan pemurung. 

Giles tidak menyukainya, dan benar-benar tidak mau pergi dengannya. Ia tidak pernah mandi, sangat bau, dan selalu berbohong. Meski telah menunjukkan bahwa dirinya cukup bertanggung jawab, ia bisa bersikap ceroboh. Akan tetapi, Gibson bersikeras dan—akhirnya—Giles mengalah.

Pada 20 April, mereka mengemas seluruh barang yang diperlukan, ke atas empat kuda. Mereka membawa dua kuda, kuda berkaki pendek yang besar berwarna kemerah-merahan jenis cob, dan kuda lain bernama Darkie, serta cukup banyak perbekalan daging kuda kering dan air untuk persediaan satu minggu. 

Giles menunggang kuda terbaiknya, The Fair Maid of Perth, sementara Gibson menunggang Badger, kuda yang kuat dengan stamina penuh. Mereka berangkat ke Circus, tempat terakhir di Range Rawlinson yang terdapat air. Mereka bermalam di sana, dan berangkat ke tempat yang tidak diketahui pagi hari berikutnya. 

Hari itu, Gibson sedang gembira. Dia bercakap dengan bebas, sesuatu yang mengherankan Giles karena Gibson sering kali merengut dan merajuk.

"Bagaimana bisa," Gibson bertanya pada Giles, "begitu banyak orang pergi dalam ekspedisi seperti ini dan tewas?"

Giles mempertimbangkan jawabannya. "Well, Gibson," ia berkata dengan bijak. "Banyak bahaya terjadi dalam penjelajahan—selain risiko kecelakaan, tentunya. Akan tetapi, menurutku, kebanyakan orang tewas karena tidak adanya pertimbangan, pengetahuan, atau keberanian. Dan lagi, tentu saja, kita semua akan mati, cepat atau lambat."

"Aku tidak ingin mati di tempat ini," sahut Gibson.

"Aku juga tidak!" Giles menyetujui.

Setelah itu, mereka berkuda dalam kebisuan, melalui bentangan bukit pasir yang ditutupi spinifex, tumbuhan yang paling umum di gurun pasir bagian barat. Setelah beberapa jam, mereka berhenti dan membiarkan kuda-kuda beristirahat.

Saat itu, mereka sangat lapar, Giles pun mengambil sebagian daging kuda dari punggung Darkie. Giles terkejut. "Gibson!" ia berteriak. "Kupikir aku sudah bilang untuk berbekal daging kuda yang cukup untuk seminggu."

Gibson memandangnya dengan merengut. "Aku sudah melakukannya," ia bersikeras.

"Di sini, cuma cukup untuk satu orang," kata Giles dengan kesal. "Yang pasti, bukan berdua."

Ia telah menugaskan Giles mengemasi daging dan tidak memeriksanya lagi. Gibson diam, Giles menarik napas. Tak ada gunanya mempertentangkan masalah itu; mereka harus bisa memanfaatkan yang ada. Sementara waktu, mereka beristirahat di bawah rerimbunan, kemudian berangkat lagi dalam panas hari petang hari yang membakar. Menjelang malam, mereka telah mencapai jarak yang memadai.

"Empat puluh mil (65 kilometer) dalam sehari," ujar Giles sewaktu mereka memasang tenda. "Lumayan sekali."

Giles tak dapat tidur. Semut mengelilinginya di mana-mana dan ia heran melihat temannya dapat tidur sementara semut-semut merayapi badannya. Malam ini tanpa kecuali Gibson tidur nyenyak.

Saat fajar, mereka berangkat lagi dan berjalan sepanjang 30 kilometer melalui sebuah lanskap yang berangsur-angsur berganti—tapi hanya berpindah dari satu jenis gurun pasir ke lainnya. Bukit-bukit berpasir berlalu, diganti jalan berkerikil, kemudian batu-batu yang lebih besar. Berat rasanya melanjutkan perjalanan dengan berkuda. 

Kemudian mereka berhenti untuk istirahat, Giles mendapati salah satu kantung air bocor. Tidak saja daging kuda yang jumlahnya sedikit untuk dimakan, persediaan air mereka pun sedikit.

"Sebaiknya kita mengenyahkan kuda-kuda pengangkut bekal," kata Giles. "Kita akan mengembalikannya. Jadi, sisa air ini untuk kita sendiri dan kuda-kuda lain."

Gile berharap, dengan nalurinya kuda-kuda itu akan mengikuti jejak yang telah mereka tempuh, dan perlahan-lahan mencapai lokasi terakhir tempat air tersedia.

"Well, aku lebih suka menunggangi cob daripada Badger," kata Gibson. "Aku akan mengirim Badger dan Darkie kembali."

Giles kelihatan ragu-ragu. "Gibson, aku pilihkan Badger untukmu karena aku tahu ia tahan menempuh jarak jauh. Ia memiliki stamina."

Gibson dengan keras kepala menggelengkan kepalanya. "Aku lebih suka cob," ia memaksa."Ia cukup bugar sekarang."

"Ya," sahut Giles dengan sabar. "Tapi, kita belum mengujinya sampai pada batas itu. Mungkin ia tidak mampu mencapainya. Kita hanya paham tentang Badger dan Fair Maid of Perth."

Gibson mengangkat bahu dengan merengut. "Aku ingin menunggang cob," ia mengulangi.

Giles menghela napas dengan jengkel. Kadang Gibson memang benar-benar ajaib. "Baiklah," kata Giles. Mereka perlu membuat keputusan dan melepas kuda-kuda itu ke jalannya. "Kau akan menunggang cob." 

Keputusan itu amat penting. Giles mungkin mengingat jelas kata-katanya sendiri tentang hal ini—bahwa orang menemui ajalnya di gurun pasir karena tidak adanya pertimbangan, pengetahuan, atau keberanian ... Kesalahan serius dalam membuat keputusan baru saja dilakukan.

Di tempat itu mereka meninggalkan beberapa guci berisi air yang amat diperlukan sekembalinya dari perjalanan mereka nanti. Mereka beristirahat hingga panas mulai mereda, kemudian berangkat lagi menempuh 30 kilometer (20 mil). Masih tak ada tanda-tanda gurun pasir itu akan berujung. Gurun itu membentang ke seluruh penjuru, ke kaki langit, dan seterusnya.

Malam ini mereka berusaha tidur, tapi kedua kuda itu mengusik mereka. Makhluk yang putus asa itu mengendus-ngendus kantung air, ingin minum. Giles telah menggantung kantung berisi setengah liter air mereka yang terakhir di pohon. Mencium bau air itu, Fair Maid of Perth berjingkat dan merenggut kantung itu dengan giginya. 

Ketika ia menarik kantung itu, sumbatnya terloncat, dan air pun memancur ke udara dan menyembur ke tanah. Giles dan Gibson memelototi kejadian itu tidak percaya, tenggorokan mereka kering dan tersedak. Sekarang, mereka hanya memiliki setengah liter air yang tersisa.

Cob bahkan lebih putus asa dari si kuda betina. Ia mengendus di sekeliling kemah dengan kalut, mencari air. Gibson memandang hewan yang malang itu dengan amat kesal.

"Seandainya aku memilih Badger," ia berujar. "Cob semakin lambat sepanjang petang ini. Aneh. Sebelumnya ia selalu kuat."

Giles diam. Lagi pula, ia bisa bilang apa? 

Mereka memulai perjalanan lagi sebelum fajar, dan menyusuri jarak 15 kilometer. Di sana, di hadapan mereka, tampak sebagian barisan bukit—akhirnya pemandangan pun berubah. Sedikit lebih jauh, keadaan jelas tampak penuh harapan. 

Di kejauhan terdapat barisan pegunungan, yang jaraknya kira-kira sehari perjalanan. Giles memandang pegunungan itu dengan merindu, tapi mereka telah berjalan 160 kilometer dari air yang terakhir. Keadaan tidak berjalan dengan baik. 

"Giles!" Gibson yang berkuda di belakangnya memanggil. Menurutku, cob sekarat."

Giles berpaling dan memandangi makhluk yang malang itu dengan cemas. Kepala cob menggelantung rendah, ia sulit menjejakkan satu kaki di depan yang lainnya. Tidak diragukan lagi, mereka harus kembali. Secepatnya.

"Aku namakan pegunungan itu barisan pegunungan Alfred dan Marie," kata Giles dengan pandangan akhir penuh sesal ke arah mereka. "Atas nama Duke dan Duchess of Edinburgh. Aku memohon, ya Tuhan, suatu hari aku akan menjejakkan kakiku di sana."

Akan tetapi, penderitaan cob begitu mengerikan. Ia tidak mampu berjalan jauh setelah berhenti di jalurnya.

"Aku akan turun," ujar Gibson. "Kita harus menyeretnya terus."

Cob bergerak sedikit jauh, tapi kemudian kaki-kakinya roboh. Ia terkulai, matanya pudar dan berkaca-kaca. Jelas ia tak akan pernah bangkit lagi.

Giles dan Gibson kini berada dalam keadaan yang berbahaya, Dua pria dan seekor kuda—semuanya kelelahan dan nyaris tanpa bekal air. Giles turun dan membiarkan Gibson menunggang Fair Maid of Perth sementara ia sendiri berjalan kaki. Perjalanan yang sukar. Setelah satu atau dua jam, mereka berhenti dan meneguk air terakhir mereka. Giles berpikir keras.

"Gibson," katanya. "Kita tak bisa terus seperti ini. Salah satu dari kita harus terus maju dengan berkuda. Aku akan tinggal. Sekarang, dengarkan aku. Pergilah ke tempat kita menyimpan pundi air, beri minum kuda betina itu atau ia akan mati.” 

“Tinggalkan air buatku sebanyak yang kau bisa. Tetaplah pada jalur yang telah kita buat, dan jangan keluar jalur. Bila kau mencapai kemah, kirim Mister Tietkens bersama air dan kuda-kuda baru. Aku akan mengikuti dan terus melanjutkan sejauh aku bisa dengan berjalan kaki."

"Baiklah," kata Gibson. "Tapi, akan lebih baik lagi kalau aku membawa kompas."

Giles ragu. Gibson tidak paham betul cara membaca kompas, ia yakin itu. Selain itu, ia hanya punya satu. Dengan enggan diberikannya kompas itu dan Gibson mengantunginya. Gibson menaiki kuda dan berangkat.

"Ingat—tetap pada jalur!" kata Giles. 

"Baik," Gibson menyahut.

Dan ia pun pergi.

Dengan kepergian Gibson, Giles berjalan dengan susah payah melalui gurun pasir, dalam keadaan yang semakin haus. la tahu, pundi-pundi air itu letaknya masih 50 kilometer lagi. "Jika, aku jalan terus, aku akan mencapainya besok petang," ia berkata pada dirinya sendiri.

Dengan usaha dan tekad yang penuh, Giles mencapai pundi-pundi itu hari berikutnya. Gibson sudah di situ dan pergi, meninggalkannya sekitar sembilan liter air serta beberapa potong daging kuda asap. 

Giles kelaparan dan tercekik karena kehausan, tapi ia sadar ia harus membatasi dirinya dengan hati hati. Ia duduk dan memikirkan situasi yang ada. Ia berada 100 kilometer dari Circus, dan 130 kilometer dari perkemahan. 

Sekurangnya butuh enam hari bagi siapa saja untuk menjemputnya kembali. Haruskah ia cuma duduk dan menunggu, ataukah terus berjalan? Berjalan jauh berarti membawa pundi air, yang amat berat dan menyusahkan. Sebuah dilema yang amat buruk.

"Setelah mencerna dengan saksama seluruh keadaanku, aku menyimpulkan jika aku tidak menolong diriku sendiri, nasib tidak akan menolongku juga," tulis Giles kemudian. Dengan memikul pundi air yang berat, Giles terhuyung-huyung melangkah mengikut jalur—seperti yang dikatakannya pada Gibson.

Hari-hari selanjutnya berlalu dalam kesamaran. Giles hanya mampu berjalan amat lambat karena panas terik dan beban pundi. Dua puluh lima kilometer dari tempat pundi itu, ia berhenti.

"Aneh," ia bergumam sendiri.

Garis utama jejak kuda lurus di depannya, tapi jejak dua kuda yang telah mereka lepas mengarah ke selatan. Selagi ia mengamati jejak itu dengan cermat, jantungnya berdegup kencang. Jelaslah bahwa Gibson mengikuti jejak kuda-kuda yang hilang itu.

"Mungkin mereka semua akan segera kembali ke garis utama," pikir Giles. Dengan cemas ia berjalan sempoyongan mencari jejak Gibson dengan harapan Gibson menyadari kekeliruannya dan kembali. Akan tetapi, tanda-tanda Gibson tak pernah ada.

Giles terus melangkah dengan tabah, semakin lemah dan lemah. Setiap kali ia duduk beristirahat, kepalanya terasa melayang-layang ketika ia berusaha untuk mengangkatnya lagi. Ia berkali-kali terjatuh, tapi memaksakan dirinya untuk berjalan terus. 

Sewaktu meneguk airnya yang terakhir, ia masih 30 kilometer dari Circus. Akan tetapi, karena sekarang ia dapat membuang pundi yang berat, ia pun melakukan usaha besar terakhir. Ia mencapai Circus waktu fajar, setelah berjalan kaki semalaman. Ketika itu tepat seminggu sejak Gibson meninggalkannya. 

Giles duduk di tepi lubang mata air, lalu minum dan minum. Sekarang jaraknya hanya 30 kilometer menuju perkemahan, tempat ia akhirnya akan mendapat sedikit makanan. Akan tetapi, ia amat putus asa sehingga mencari cara lain untuk mendapat makanan.

"Ketika aku meninggalkan Circus," tulisnya, "aku memungut seekor wallaby kecil yang sekarat, yang dibuang induknya dari kantung perut. Beratnya kira-kira 60 gram dan belum berbulu rata. Begitu aku melihatnya, seperti seekor elang, aku melompat dan memakannya mentah-mentah, selagi sekarat, dengan bulu, kulit, semuanya. Rasa lezat makhluk itu tak akan pernah kulupa."

Sekarang, tak ada bahaya yang berarti, Giles mencapai 30 kilometer terakhir dan tiba di Fort McKellar ketika fajar sekitar dua hari kemudian. Ia membangunkan Mister Tietkens yang memandangnya seakan-akan dirinya hantu.

"Aku minta—makan," Giles berkata dengan suara parau. 

Tietkens segera memenuhi permintaannya. "Di mana Gibson?" ia bertanya segera setelah Giles dapat berbicara dengan jelas.

Giles menggelengkan kepalanya dan mereka menyadari dengan rasa takut bahwa Gibson pasti sekarang sudah tewas. Tak ada tanda-tanda dirinya, baik di perairan Circus atau di perkemahan. Giles menceritakan Tietkens tentang jejak Gibson, dan bagaimana mereka meninggalkan jalur utama.

"Kita harus kembali dan mencarinya," ujar Giles meskipun ia hampir tidak bisa bergerak. Ketika ia cukup kuat, mereka mengemasi kuda-kuda itu dan melakukan pencarian. Namun, meski seluruh usaha dijalankan, mereka sama sekali tidak menemukan apa-apa.

 

Kemudian

Dengan dugaan bahwa Gibson telah tiada, Giles terpaksa mengakhiri ekspedisi itu. Ia menamakan gurun pasir itu Gurun Pasir Gibson untuk mengenang teman seperjalanannya.

Sayangnya, rombongan itu mundur dan mencapai Perairan Charlotte pada 13 Juli 1874. Di sana, Giles menerima kabar yang amat mengecewakan. Meski Gosse, lawannya, terpaksa kembali, Warburton telah mengambil rute yang lebih ke utara menyeberangi gurun yang kemudian dikenal dengan nama Gurun Pasir Raya (Great Sandy Desert). Dengan menggunakan unta, alih-alih kuda, ia telah mendahului menuju tempat Giles gagal.

Yang lebih buruk lagi, penjelajah lain—namanya John Forest—berangkat dari Perth dengan harapan menyeberangi gurun pasir dari barat. Ia juga berhasil.

Tapi, hari-hari penjelajahan Giles jauh dari kesudahan. Tahun 1875, ia mengambil rute yang lebih selatan dan mencapai pantai barat melalui Gurun Pasir Victoria Raya. Kemudian, tahun 1876, ia menyeberang kembali, kali ini melalui Gurun Pasir Gibson yang membawa sial. Ia berharap menemukan beberapa petunjuk teman lamanya itu; tapi—hingga hari ini—Gibson tak pernah ditemukan.

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309920/penjelajahan-di-tanah-tak-beradab" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282259000) } } }