array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3608971"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/10/kunci-duplikat-pembuka-kartu_joz-20221210031726.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(128) "Seorang perempuan tewas bersamaan dengan hilangnya sejumlah uang di brankas perusahaan. Kunci brankas itu memang sempat terbawa."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/10/kunci-duplikat-pembuka-kartu_joz-20221210031726.jpg"
      ["title"]=>
      string(28) "Kunci Duplikat Pembuka Kartu"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-10 15:17:42"
      ["content"]=>
      string(32230) "

Intisari Plus - Seorang perempuan tewas bersamaan dengan hilangnya sejumlah uang di brankas perusahaan. Kunci brankas itu memang sempat terbawa beberapa hari sebelumnya.

--------------------

Frans bukan pria tampan, wajahnya biasa saja. Namun, penampilannya yang selalu rapi, badannya yang atletis, dan pembawaannya yang tenang membuat banyak karyawati terpesona, bahkan ada yang diam-diam jatuh hati. Senyum dingin yang menjadi ciri khasnya membuat dia dijuluki “Mr. Cool”.

Di perusahaan garmen tempat Frans bekerja, tak ada hari tanpa gosip tentang dirinya. Namun, mengapa Frans tiba-tiba bisa begitu dekat dengan Ami, karyawati yang baru lima bulan bekerja di situ?

Gosip yang terus beredar seputar hubungan Frans dan Ami membuat Risva - yang rupanya juga menaruh hati pada Frans - gerah. Meski berusaha tak menunjukkan perasaan dan pura-pura tak menanggapi gosip itu, diam-diam ia menyelidiki siapa perempuan yang “merampas” pujaan hatinya. Gadis ayu berusia 25 tahun itu memang ramah, humoris, dan pandai bergaul. Buktinya, baru lima bulan bekerja, ia sudah mendapat banyak teman, dan hampir seluruh bagian produksi mengenalnya.

Risva mengenal Frans, tiga tahun lalu, ketika baru bergabung di perusahaan itu. Semula ia tidak memedulikan pemuda itu, kecuali untuk urusan pekerjaan. Baginya, meraih jenjang karier lebih tinggi lebih menantang ketimbang memperhatikan orang yang menurutnya tidak begitu menarik. Tapi itu dulu.

Kini ia justru sedang mencari jalan untuk mendekati Frans secara halus, tanpa perlu menunjukkan perasaan yang sesungguhnya. Besarnya rasa percaya diri membuat Risva yakin, akhirnya Frans akan jatuh hati juga padanya. Persis seperti ketika ia mampu melunakkan hati Diaz yang temperamental.

Keyakinan kuat, itu memang kelebihan Risva. Buktinya, ia bisa meraih posisi lebih tinggi dalam waktu cukup singkat. Kini jabatan kepala bagian keuangan sudah digenggamnya, setelah “mengalahkan” Hermawan beberapa bulan sebelumnya. Meski bisa juga dikatakan, Hermawan tersandung langkahnya sendiri. Ia melakukan kesalahan fatal yang kemudian ketahuan oleh bos. Begitulah, ia kemudian mendapat kepercayaan penuh dari Mr. Chan, pimpinan perusahaan.

Risva pun mulai melancarkan taktik. Ia tak secuek dulu lagi. Pintar, berwawasan luas, memiliki kemampuan berkomunikasi yang luar biasa, ditambah dengan penampilan yang meyakinkan membuat siasatnya sukses. Ia kini lebih akrab baik dengan rekan maupun atasan. Saat makan siang di kantin, tak jarang ia berbaur dengan para operator di bagian produksi. Dengan senyum manisnya, orang segera bersimpati padanya.

Padahal dulu Risva tak mau berurusan dengan orang-orang yang dianggap tak dapat menguntungkan karier dan dirinya.

Ternyata, perubahan sikap itu tidak membuat semua orang senang. Diaz, salah satunya. Rekan kerja yang sering diajak berbagi pikiran dan berdiskusi itu justru gelisah. Kepala personalia ini mengenal karakter Risva sebenarnya. Ia tahu, Risva sebenarnya jatuh hati pada Frans. Padahal tadinya ia sudah bersyukur begitu tahu bahwa Frans menjalin hubungan pribadi dengan Ami. Itu berarti kesempatan semakin terbuka baginya untuk menarik perhatian Risva. 

Sayangnya, Risva tetap Risva. Hubungan Frans dan Ami yang makin akrab, justru mengobarkan semangatnya untuk memenangkan persaingan. Kelihatannya, lambat tapi pasti ia mulai berhasil.

Melihat itu, Diaz geram. Apalagi saat matanya memandang Risva dan Frans berdua asyik berbincang-bincang. 

 

Bersaing dengan teman sekantor

Siang itu Risva sedang memasukkan uang gaji karyawan yang baru diambilnya dari bank. Tiba-tiba Diaz masuk ke ruangannya dengan wajah muram.

“Kalau masuk ketuk pintu dulu, dong!” 

“Kita harus bicara, Ris,” katanya serius.

“Tentang apa?” 

“Kamu serius dengan Frans? Apa yang kamu harapkan darinya?” serang Diaz.

“Itu urusan saya! Kamu jangan ikut campur. Saya tahu siapa Frans.” 

“Kamu tahu apa tentang dia? Kamu hanya melihat penampilannya, tidak tahu siapa dia yang sebenarnya. Aku enggak ingin kamu menyesal nanti.” 

“Memangnya kamu tahu siapa saya?” tiba-tiba terdengar suara lain menyahut.

Risva dan Diaz serempak menoleh, Frans sudah di depan pintu. Matanya tajam menatap Diaz.

“Tentu saja. Kau pandai memengaruhi orang. Kau juga yang berada di balik perbuatan Hermawan, ‘kan?” suara Diaz meninggi. “Saya tahu maksudmu mendekati Risva.”

“Saya tak mengerti maksudmu. Rasanya, saya mencium aroma kecemburuan di sini. Tapi tolong, Diaz, jangan campuri urusan saya. Oh ya Ris, nanti malam saya jemput,” Frans mengalihkan pandangannya ke Risva. Ia tidak memedulikan Diaz lagi dan sibuk mengerjakan sesuatu di meja lain.

Diaz hanya terdiam, sembari mengepalkan tangannya karena kesal. Wajahnya memerah. Risva buru-buru menurunkan tirai ketika beberapa pasang mata di luar menatap ke dalam ruangan itu. “Diaz, kamu kenapa sih?” ujarnya berbisik.

Sambil memandang tajam Risva, Diaz berkata dengan suara rendah, “Lihat saja nanti. Begitu tahu, kamu akan menyesal.” Serentak ia meninggalkan Risva, yang dibuat penasaran dengan ucapan terakhirnya.

“Hei, tunggu dulu! Saya belum selesai bicara,” teriak Risva tanpa pikir panjang beranjak menyusul Diaz. “Frans, tolong masukkan uang itu ke brankas!” Ia memang sudah sering saling membantu dalam pekerjaan dengan Frans. Giliran Frans yang tertegun menatap tumpukan uang di atas meja.

Risva mendesak Diaz untuk menjelaskan maksud ucapannya, tapi Diaz tak berkomentar. Ia sudah sibuk dengan komputer di mejanya.

“Kamu pikir saya merebut Frans dari Ami? Itu tidak benar! Kami memang saling menyukai. Lagi pula, katamu, selama urusan pekerjaan terpisah dengan urusan pribadi, itu bukan masalah. Kenapa tiba-tiba jadi begini?” seru Risva jengkel, tapi Diaz tetap diam.

Kekesalan Risva pada Diaz sudah terhapus kala malamnya ia bersama Frans menikmati makan malam di sebuah restoran Italia di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Keduanya saling melempar pandangan mesra.

Baru saja makanan yang dipesan diantar, tiba-tiba, “Halo Frans,” suara yang tak asing bagi keduanya. Frans menegakkan kepalanya lalu berdiri, “Oh, halo Todi.” Suaranya agak tertahan.

“Halo, Ris,” sapa Todi seraya menoleh ke arah Risva. 

“Todi?” sahut Risva dengan wajah pucat seperti melihat hantu.

“Aha, rupanya kalian sudah saling kenal? Ris, Todi ini teman kuliah di Bandung dulu,” Frans menjelaskan. Meski tak sejurusan, mereka pernah mengambil mata kuliah yang sama. 

“Enggak nyangka kita ketemu lagi di sini,” lanjut Todi yang masih menatap Risva. “Apa kabar, Ris? Kami dulu….”

“Teman lama,” potong Risva. 

“Ha-ha-ha, Risva, Risva. Omong-omong, kamu masih seperti dulu, malah tambah cantik,” goda Todi.

Selera makan Risva nyaris hilang khawatir Frans mengajak Todi duduk bersama. Untung tidak. “Oke, Frans. Aku tak mau mengganggu kalian. Lain kali aku hubungi kamu. Oke?”

Todi beranjak pergi. 

“Ada urusan apa kamu dengan dia?” tanya Risva. 

“Ia pengangguran, e ..., aku ingin mencarikan pekerjaan untuknya,” jawab Frans.

“Jadi, dia pengangguran. Tapi kamu tidak bermaksud memasukkannya ke tempat kerja kita ‘kan?” tanya Risva cemas.

“Sepertinya kamu takut pada Todi, ada apa sebenarnya?” 

“Enggak ada apa-apa,” Risva mengakhiri pembicaraan tentang Todi.

Mobil Frans merayap perlahan dan berhenti di depan rumah berpagar hijau. “Oh iya, ini kunci brankas. Tadi saya lupa mengembalikannya padamu, Ris,” kata Frans sambil mengangsurkan kunci itu. Oh, Risva terkesiap. Kenapa ia tak ingat memintanya sejak tadi? Bunga-bunga cinta ternyata bisa membuat orang lupa.

“Terima kasih, Frans. Hati-hati, ya!” ujarnya agak tersipu. 

Frans mengangguk dan tersenyum. Matanya menatap penuh makna. “Selamat malam, Sayang. Sampai besok!” Dikecupnya kening Risva sebelum berpisah.

 

Sekaligus dua kemalangan 

Esok paginya pukul 12.00, Risva masih sibuk di kantor mengerjakan pembukuan. Telepon di mejanya berdering. Frans memberi tahu nanti malam ia tak bisa menemuinya karena kemungkinan harus lembur.

Tiga puluh menit lewat dari pukul 17.00, Risva baru mengunci pintu ruang kerjanya. Kantor sudah sepi. Ia bermaksud mendatangi Frans di bagian produksi di gedung dua. Namun, ia mengurungkan niatnya. Bukan karena takut mengganggu pekerjaan Frans, tetapi ia hanya ingin menjaga kesan. Apa kata orang kalau melihatnya malam-malam datang hanya untuk bertemu Frans. Ia pun berjalan menuju pelataran parkir.

Beberapa kali Risva mencoba menyalakan mesin mobilnya, tetapi tak berhasil. Kap mesin dibukanya sekadar melihat-lihat, sayangnya tak ada yang bisa ia lakukan. Sekelilingnya sepi. Bahkan satpam pun tak tampak batang hidungnya.

Risva berjalan menuju pintu keluar. Terlihat seseorang bersandar di tembok. Setelah agak dekat ia mengenali sosok itu, Ami. Ia kelihatan sedang gelisah. Keduanya sempat beradu pandang. Namun sebelum sempat bertegur sapa, Ami membalikkan tubuh, lalu pergi begitu saja. Risva jadi bertanya-tanya dalam hati. Untunglah satpam segera muncul dan ia cukup terampil dapat membantunya menghidupkan mesin mobil.

Risva menjalankan mobilnya perlahan-lahan. Di pelataran parkir Ami tampak masih bersandar di sebuah sedan. Sedang apa ia sendirian malam-malam begini? Selain itu, bukankah itu mobil Frans? Sejurus kemudian, tampak Frans muncul, duduk di belakang kemudi dan Ami duduk di sebelahnya. Risva tertegun. Dengan dada bergemuruh ia mengikuti mereka yang rupanya menuju sebuah hotel.

Keesokan harinya Risva terlambat datang ke kantor. Ia kesiangan. Dengan terburu-buru ia berjalan ke ruangannya. Perasaannya tidak enak. Stafnya memandang tak seperti biasanya, lalu menyapa dengan suara yang juga lain dari biasa. Namun, ia menepis perasaan itu. 

Sampai di ruangannya, Risva segera duduk bersandar. Matanya terpejam. Ia menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan gejolak emosi yang terus bergemuruh sejak tadi malam. Ketika membuka matanya, Diaz sudah berdiri menatapnya.

“Ris, ada yang ingin saya sampaikan,” katanya. 

Risva ingin mengacuhkannya, tetapi tak bisa. “Ada apa? Tolong katakan segera, saya sedang sibuk,” kata Risva memutar kunci brankas.

“Baik, saya harap kamu tidak terkejut mendengarnya. Ada kabar Frans meninggal.”

Risva terdiam. Wajahnya memucat, lututnya lemas. Matanya menatap ke dalam brankas yang kosong melompong. “Apa?” hanya itu yang keluar dari mulutnya, setelah itu tubuhnya ambruk ke lantai tanpa sempat diraih Diaz.

Dalam sekejap dua kenyataan pahit tak terduga menimpanya. Pertama, uang Rp 120 juta lenyap dari brankas. Namun, itu tak banyak diketahui orang. Polisi yang mengusut kasus ini diminta merahasiakan, penyelidikan mereka sampai pelakunya tertangkap.

Yang kedua, kematian Frans yang tiba-tiba. Peristiwa kedualah yang menjadi buah bibir, apalagi ketika polisi datang menanyai beberapa orang tentang Frans. Tak banyak keterangan yang didapat, karena ternyata sedikit sekali orang yang mengetahui kehidupan dan pribadi Frans. Diaz juga tak banyak memberikan keterangan. Frans tinggal sendiri di rumah kontrakan, satu-satunya alamat yang tersimpan di arsip perusahaan.

Perasaan Risva masih tak keruan saat dimintai keterangan di kantor polisi. “Saat meninggalkan ruang kerja, apakah Ibu yakin pintu brankas sudah dikunci?” tanya Iptu Anwar. Sebagai kepala keuangan, Risva memang bertanggung jawab penuh. Hanya dia dan Mr. Chan yang memegang kunci brankas dan tahu nomor kodenya. Pertanyaan itu memojokkan dirinya. Sementara itu Mr. Chan terbebas dari tuduhan karena pada saat kejadian ia sedang berada di Singapura.

Untungnya, Mr. Chan masih mempercayai Risva. Ia tidak dijebloskan ke penjara, tetapi harus mengganti uang yang hilang! Terpaksa Risva menjual mobil yang baru lunas dicicil. Sayang, meski ditambah dengan tabungan, jumlahnya belum cukup. Terpaksa Risva memutuskan berutang pada bank. la tak mau masalah itu diketahui oleh keluarganya.

“Diaz, bagaimana cerita yang kaudengar tentang Frans?” tanya Risva siang itu.

Meski enggan membicarakan hal itu, Diaz akhirnya bercerita. Menurut polisi, Frans dirampok, kemudian dibunuh. Mayatnya ditemukan di pinggir jalan tol. Kini disimpan di kamar jenazah, karena belum ada keluarga yang bisa dihubungi. Frans memang tidak suka bercerita tentang keluarganya.

“Aku rasa Ami ada di balik kejadian ini!” tiba-tiba air muka Risva berubah. Ia menceritakan kejadian malam itu, ketika membuntuti mobil Frans menuju sebuah hotel.

 

Status rahasia

Risva layak berprasangka pada Ami karena semenjak kematian Frans, gadis itu tidak pernah muncul. Polisi pun berusaha mencarinya untuk dimintai keterangan. Untung dari fotokopi KTP yang terlampir dengan surat lamaran pekerjaan, alamat rumah orang tuanya di Tasikmalaya dapat ditemukan.

Anehnya, begitu mendengar kabar tentang kematian Frans, Ami pun tampak sangat syok dan tak mampu lagi menahan tangis. la sepertinya benar-benar baru mendengar kabar itu. Iptu Anwar dan anak buahnya terpaksa menunggu beberapa saat sampai Ami kembali tenang.

Dengan-terbata-bata, Ami bercerita tentang malam terakhirnya bersama Frans. Malam itu Frans mengantarkannya ke Terminal Kampung Rambutan setelah mendapat kabar bahwa ayahnya sakit. “Frans tampak sangat lelah. Tak seperti biasanya ia tidak banyak bicara,” kata Ami.

“Seperti biasanya? Artinya, Anda cukup akrab dengan Frans. Bagaimana sebenarnya hubungan Anda dengan korban?” tanya Iptu Anwar.

Ini yang mengejutkan. Ternyata, mereka telah menikah setahun sebelumnya. Keduanya terpaksa merahasiakan hubungan itu karena Frans tidak mau statusnya diketahui orang-orang di kantor. “Belum saatnya,” katanya. Malah saat ini Ami tengah mengandung anak pertamanya.

Sejak menikah, mereka hanya bertemu dua minggu sekali. Malam itu seharusnya mereka pulang bersama. “Tapi Frans tidak bisa. Katanya, ada pekerjaan yang perlu diselesaikan.”

Ami juga menceritakan pertemuannya dengan Risva di pelataran parkir malam itu. Ia tahu Risva begitu menginginkan Frans. Tak heran bila Ami berprasangka Risva terlibat dalam peristiwa itu. “Semua orang di kantor tahu, kalau Ibu Risva menginginkan sesuatu, ia akan berusaha dengan cara apa pun untuk mendapatkannya,” ujarnya.

“Sebenarnya, saya ingin memberitahukan hubungan kami, tetapi Frans melarang. Ia khawatir kalau Ibu Risva malah berbuat macam-macam kalau tahu kami sudah menikah. Saya bingung harus bagaimana, apalagi kami sedang menunggu kelahiran anak pertama.”

Selama dua hari berikutnya di Tasikmalaya, Iptu Anwar bekerja keras menggali berbagai informasi dari orang-orang yang mengetahui hubungan Frans dan Ami di kota kecil itu. Umumnya mereka mengatakan, pasangan itu sangat harmonis. Frans sangat menyayangi Ami. Ia sudah menyiapkan sebuah rumah mewah lengkap dengan perabot modern. Bahkan sebuah sedan mewah baru ada di garasinya.

Kondisi itu sangat kontras dengan keadaan di sekitarnya. Iptu Anwar heran, bagaimana Frans membiayai itu semua? Tak mungkin rasanya ia mengandalkan gaji karena jabatan Frans di perusahaan belum cukup tinggi. Herannya, Ami pun tidak tahu dan tidak peduli dengan cara apa Frans mendapat uang sebanyak itu.

Dua wanita berebut cinta, motif cemburu mungkin menjadi akar dari peristiwa ini. Tak hanya Ami, Iptu Anwar belum mencoret nama Risva sebagai orang-orang yang pantas diawasi.

Namun, masih ada kasus lain yang mengganggu pikiran Iptu Anwar, yakni hilangnya uang di dalam brankas. Bisa jadi dua kasus itu berkaitan, meski bisa pula tidak.

 

Calon karyawan

Laporan autopsi menunjukkan, Frans meninggal akibat pukulan benda tumpul yang menyebabkan perdarahan di otak. Selain itu, ditemukan beberapa tulang iga patah dan perdarahan di rongga paru. Meski tas yang biasa dibawa Frans hilang, Iptu Anwar belum sampai pada kesimpulan motif pembunuhan adalah perampokan. Alasannya, mobil Frans ditinggal begitu saja, begitu pula dompetnya masih tersimpan di saku lengkap dengan beberapa lembar uang dan kartu kredit.

Iptu Anwar kembali meminta keterangan Diaz dan Risva secara terpisah. Naluri polisinya menangkap kesan, Diaz sangat melindungi Risva. Sebenarnya, ada apa di antara keduanya?

Siang itu sambil menunggu Diaz yang sedang mewawancarai calon karyawan, Iptu Anwar mendatangi Risva di ruang kerjanya.

“Selamat siang, Bu Risva. Boleh saya minta waktu untuk sedikit bertanya lagi?” 

“Oh, silakan, Pak,” jawab Risva setengah kaget.

Iptu Anwar meminta Risva kembali menceritakan terakhir kali ia bersama Frans. “Terakhir kali saya bertemu Frans malam sebelum kejadian untuk makan malam. Lalu ia mengantar saya pulang. Esoknya Frans hanya menelepon, karena ia sibuk sampai malam,” papar Risva.

“Malam terakhir Anda sempat melihat Bu Ami ‘kan?” pancing Iptu Anwar.

“Ya, hanya sekilas. Mobil saya mogok. Ami sedang menunggu entah siapa,” Risva mencoba mengelak.

“Bukannya Frans Bimansa?” sela Iptu Anwar. 

Air muka Risva berubah, tetapi ia cepat menguasai perasaannya. 

“Malam itu Bu Ami menunggu Pak Frans yang hendak mengantarkannya ke Terminal Kampung Rambutan. Anda tahu hal itu?”

“Sialan,” gumam Risva geram, sambil matanya nanar ke pintu ruangan Diaz yang tiba-tiba terbuka. Tampak Diaz berjabat tangan dengan pria yang telah dia kenal.

“Apa yang sialan?” sahut Iptu Anwar. 

“Eh, maaf Pak, saya masih ada pekerjaan. Pak Diaz sudah selesai. Anda hendak menemuinya?” Risva mengelak. 

Iptu Anwar tahu diri dan segera meninggalkan ruangan. 

Saat menemui Diaz, Iptu Anwar memancing dengan pernyataan menggelitik. “Wanita itu sungguh menarik, apalagi kalau sedang mengomel,” pancing Iptu Anwar.

“Memang, sayangnya ia sulit didekati.” 

Aha, pancingan Iptu Anwar berhasil. Dengan mulus ia melanjutkan dengan berbagai pertanyaan untuk mengorek sejauh mana hubungan mereka.

Benar, Diaz masih berharap Risva mau menerimanya. Namun, selain motif cemburu, rasanya tak ada alasan kuat yang mendukung kecurigaan Iptu Anwar mengenai kemungkinan Diaz berada di balik pembunuhan itu. 

“Pak Diaz, siapa tamu Anda barusan?”

“Oh, Todi Hermansyah. Dia calon pegawai yang akan mulai bekerja minggu depan. Anda kenal dia?” tanya Diaz penasaran. 

“Ah, tidak, hanya ingin tahu saja. Tapi mungkin Bu Risva kenal.”

Kalimat terakhir itu mengusik Diaz. 

Saat makan siang di kantin. 

“Halo Ris, bagaimana kabarmu?”

Risva nyaris tersedak, lalu menoleh. Di sampingnya Todi berdiri. “Ris, saya mohon maaf.”

“Untuk apa kamu kemari? Tolong, jangan ganggu saya. Kamu ‘kan tahu, sampai kapan pun saya tak akan mau bersamamu lagi!”

“Jangan begitu, Ris, saya masih sayang sama kamu. Kamu sedang membutuhkan uang, ya? Saya dengar kamu mau menjual mobilmu, berapa harganya? Mungkin saya bisa membantu?” 

“Terima kasih, tapi saya tak bisa menerima bantuanmu,” lanjut Risva.

“Apakah Frans bikin susah kamu?” 

“Apa urusanmu? Frans itu orang baik. Tidak mungkin dia menyusahkan saya. Tidak seperti kamu!” suara Risva meninggi. 

“Ha-ha-ha orang baik? Ris, kamu buta! Dia justru lebih busuk daripada aku. Ah, sudahlah, tak baik membicarakan orang yang sudah meninggal. Bagaimanapun saya turut berduka cita, Ris. Saya rela menjadi ayah untuk anak yang kamu kandung.”

Kalimat itu disambut dengan semburan teh di wajah Todi. 

“Brengsek kamu!” semprot Risva sambil berlalu.

Cinta dan benci, ibarat dua sisi sebuah keping mata uang, cepat dan mudah sekali saling berganti posisi. Dulu Risva pernah sangat mencintai Todi, sebaliknya kini justru menjadi orang yang paling ia benci. Dua tahun mereka bersama, Todi hanya menjadikan dirinya sebagai objek pelampiasan nafsu.

Kalimat terakhir Todi terngiang-ngiang di telinga Risva. 

“Anak? Siapa yang hamil? Pasti perempuan jalang itu,” Risva geram.

 

Kunci brankas

Siang itu, Mr. Chan memanggil Risva ke ruang rapat. Puluhan pasang mata menatap ketika ia masuk. Matanya sempat beradu pandang dengan Ami, yang duduk di sebelah Mr. Chan. Risva dan Ami saling tatap dengan penuh kebencian. Risva sempat heran, mengapa Ami berada di sini?

“Atas nama suami saya, saya mohon maaf sebesar-besarnya, kalau selama hidupnya ia melakukan kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak. Saya berharap, pembunuhnya segera tertangkap ...,” Ami tak melanjutkan kata-katanya. Ia terisak.

“Memang siapa suaminya?” kata Risva sambil mengerutkan keningnya. 

“Ibu belum tahu ya, dia ‘kan istri Frans,” kata Diko yang di sebelahnya.

Bagai disambar petir, tubuh Risva mendadak lunglai, matanya mulai panas, dan sebelum air matanya mengalir, Risva cepat-cepat mengusapnya. Tanpa menunggu Ami menyelesaikan kalimatnya, ia pun pamit keluar dari ruangan itu.

Perasaan Risva campur aduk, marah, malu, dan benci. Ia benci pada dirinya sendiri, pada Ami, pada Frans.

Risva berjalan cepat menuju ruangannya. Saat melewati ruangan Diaz, pintunya terbuka. “Ris, ini Todi karyawan baru yang akan menjadi staf di sini,” kata Diaz.

“Astaga, Todi, rupanya kamu belum puas ingin menghancurkan hidupku, ya? Pergi kamu! Enyahlah dari kehidupanku!” Risva merampas sambil memukul tangan Todi sampai tas tangan Todi jatuh ke lantai dan sebagian isinya berserakan.

“Ris, apa-apaan kamu?” Diaz menyadarkan Risva lalu membantu Todi mengambil barang-barangnya. Risva hanya mengamati dengan dada bergemuruh.

“Tunggu, saya tahu kunci itu. Dari mana kamu dapatkan benda ini?” Ia menyambar sebuah kunci bulat dan besar. Risva mengeluarkan kunci miliknya. Persis sama!

“Kenang-kenangan dari seorang teman, memangnya kenapa?” jawab Todi.

“Dasar pencuri! Ternyata kamu yang mengambil uangnya!” 

Risva segera mengangkat telepon dan menghubungi Iptu Anwar. Todi hanya termangu. Kunci itu memang kunci brankas di ruangan Risva. Bagaimana mungkin kunci itu bisa berada di tangan Todi? 

Hanya satu jawabannya, pikir Risva. Pasti Frans yang memberikan. la ingat, malam hari ketika Frans mengantarkannya pulang.

Iptu Anwar datang tak lama kemudian dan segera membawa Todi ke kantor polisi untuk ditanyai lebih Ianjut. 

Todi bersikukuh, ia tidak tahu mengenai pencurian uang di perusahaan itu. Ia mendapat kunci itu dari Frans Bimansa, teman kuliahnya. Di mana Frans tinggal dan bekerja, ia tidak tahu pasti. Ia juga tidak tahu apakah Frans yang mengambil uang itu. Dengan yakin ia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Iptu Anwar.

Risva teringat kembali siang itu ketika Frans dan Diaz bertengkar di kantornya. “Mungkin Frans yang mengambil uang itu, Pak,” ujar Risva sambil menceritakan kejadian siang itu. Ia meminta tolong Frans memasukkan uang ke brankas dan menutup pintunya. Frans memiliki cukup waktu untuk menggandakan kunci itu, sebelum mengembalikan kunci itu pada Risva. Ia teringat, keesokan paginya kode di pintu brankas itu masih sama, 12075, artinya Frans tahu kode itu dan tidak mengubahnya. 

Iptu Anwar kembali ke ruang interogasi. Giliran Todi dicecar kembali. Tidak mudah membuat orang yang ternyata mantan residivis itu bicara. Namun, Iptu Anwar tidak kehilangan akal. Dengan membuka masa lalu Todi, ia berhasil memojokkan Todi yang akhirnya mengaku.

Malam itu, ia melihat Frans keluar dari hotel bersama seorang wanita. Todi dan dua orang temannya segera membuntuti. Mereka mencegat Frans setelah ia menurunkan wanita itu di Terminal Kampung Rambutan.

“Saya hanya meminta uang bagian saya yang dulu dia curi. Dia malah menghina saya. Tentu saja saya marah. Saya minta teman saya menghajarnya, sekadar memberi pelajaran.”

“Tapi Anda malah membunuhnya, ‘kan?” desak Iptu Anwar.

“Saya tidak sengaja, saya kalap. Dia membuat saya kesal.”

Menurut Todi, dulu Franslah yang menipu dia dan membuatnya meringkuk di penjara. Ditambah lagi dengan hubungan asmara Frans dan Risva, mantan kekasihnya, kalapnya tak terbendung. Di antara hujan bogem mentah dari kedua rekan Todi, Frans mengiba dan menawarkan sejumlah uang. Tapi ia ingin tetap bisa menunggu kelahiran anaknya. Mendengar kata anak, Todi tambah berang. la mengira Risvalah yang mengandung anak Frans.

Selain mengambil tas berisi uang tunai - plus kunci duplikat brankas - Todi juga yang menghabisi nyawa Frans.

Risva menatap nanar tulisan di batu nisan, “Di sini beristirahat dengan tenang, Frans Bimansa. Lahir 12 September 1966, wafat 20 Juni 2001”. Risva membiarkan air matanya mengalir membasahi pipi. Perasaan terluka, pedih, benci, marah, dan kecewa berbaur menjadi satu menyesakkan dadanya. Berjuta pertanyaan masih menghantui dirinya. Seandainya Frans tidak habis digarap Todi, bagaimana ia bisa yakin akan lolos dari aksi pencurian yang begitu berani? Benarkah Todi tak tahu apa-apa soal pencurian itu? Kini setelah nasi telanjur jadi bubur, baru disadarinya kebenaran kata-kata Diaz selama ini. Dia hanya dimanfaatkan oleh Frans. Tetapi dari mana Diaz tahu? (R. Yuliantina)

Baca Juga: Termakan Gosip

 

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553608971/kunci-duplikat-pembuka-kartu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670685462000) } } }