array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3456957"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/jack-the-ripper-dari-india_-tejj-20220905031947.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(149) "Pembunuhan Anitha memicu pertikaian kelompok Hindu dan Muslim. Keluarga dan pendukung mengancam akan melakukan kekerasan jika pelaku tidak ditemukan."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/jack-the-ripper-dari-india_-tejj-20220905031947.jpg"
      ["title"]=>
      string(26) "Jack The Ripper dari India"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-09-05 15:20:07"
      ["content"]=>
      string(22865) "

Intisari Plus - Pembunuhan Anitha memicu pertikaian kelompok Hindu dan Muslim di Puttur, India. Keluarga dan para pendukung mengancam akan melakukan kekerasan jika pelaku tidak ditemukan.

-------------------

Di sebuah siang yang hiruk pikuk akibat demonstrasi, kantor kepolisian Puttur menerima laporan pembunuhan. Korbannya seorang perempuan, Anitha, berusia 22 tahun. “Kami yakin Anitha dibunuh oleh kelompok Muslim,” demikian dugaan kuat keluarga Anitha. Dugaan ini cukup masuk akal karena mayat Anitha ditemukan di toilet sebuah terminal bus kota persis setelah terjadi pertikaian antara kelompok Hindu dan Islam. Namun, keluarga Anitha tak punya bukti apa-apa yang bisa disodorkan ke pihak kepolisian.

Hingga beberapa hari setelah laporan itu, tak ada kemajuan sama sekali. Polisi tak memperoleh petunjuk apa pun. Karena merasa polisi mengabaikan laporan itu, keluarga Anitha mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi di depan kantor kepolisian. Mereka membawa poster-poster yang menyudutkan kelompok Muslim dan menuntut polisi segera mengusut kasus itu sampai tuntas. “Jika polisi tidak segera bertindak, kami sendiri yang akan bertindak,” demikian bunyi ancaman salah satu poster mereka.

Merasa mendapat serangan dari kelompok Hindu, penganut Islam di kota itu pun melakukan demonstrasi tandingan. Akhir Juni 2009, kota Puttur hampir saja dilanda kerusuhan hingga akhirnya pihak kepolisian memutuskan untuk menyelidiki kasus ini dengan membentuk tim investigasi khusus.

Asisten Superintenden Chandragupta dari Kepolisian Puttur ditunjuk sebagai ketua tim investigasi. Ini bukan tugas mudah. Apalagi jika hilangnya Anitha ini benar-benar berkaitan dengan pertikaian antara kelompok Hindu dan Islam. Kota itu pasti akan benar-benar dilanda kerusuhan. Masjid-masjid dan kuil-kuil di kota Puttur pasti akan dibakar oleh massa yang sedang marah. Bahkan, bisa saja bom meledak di pusat-pusat kegiatan publik, seperti yang biasa terjadi di jika pertikaian antaragama sedang meletus.

Chandragupta memulai investigasi dengan mengumpulkan informasi dari semua anggota keluarga dan teman-teman Anitha. Tak ada yang bisa memberi petunjuk. Satu-satunya sumber informasi yang mungkin bisa membawa polisi ke pelaku kejahatan itu adalah salah satu ponsel milik Anitha. Ponsel ini tidak ia bawa pada hari ia dinyatakan hilang.

Di ponsel itu tersimpan seratusan nama dan nomor telepon. Juga nomor-nomor tanpa nama yang dihubungi oleh Anitha atau menghubunginya. Sebagian nama itu bisa dikenali oleh keluarga dan teman Anitha. Sebagian lainnya tidak. Polisi memusatkan perhatian pada nama-nama yang tidak dikenali oleh keluarga Anitha. Dari beberapa nomor telepon ini, Chandragupta menemukan informasi yang cukup penting. Salah satu nomor telepon yang dicurigai itu ternyata milik seorang perempuan dari kota lain yang sudah mati! Perempuan itu, Pushpalatha, umur 25 tahun, adalah korban pembunuhan misterius yang terjadi sebelumnya di kota lain.

Dari catatan kepolisian, mayat Pushpalatha juga ditemukan polisi di sebuah toilet umum di terminal bus kota. Hasil autopsi di Rumah Sakit Victoria menunjukkan Pushpalatha tewas karena racun sianida. Di saluran cerna mayat, ahli forensik menemukan senyawa racun ini dalam dosis mematikan. Namun, saat itu polisi menduga Pushpalatha melakukan bunuh diri dengan cara minum racun. Polisi tidak menemukan petunjuk yang mengarah kepada pelaku pembunuhan. Laporan kepolisian hanya menulis kasus itu sebagai “kematian yang tidak wajar”. Bukan pembunuhan, tapi bunuh diri.

Karena bukan dianggap pembunuhan, kasus kematian Pushpalatha pun ditutup begitu saja. Hingga hari itu pembunuh Pushpalatha belum ditemukan. Tapi tiba-tiba nomor ponselnya dipakai seseorang. Logikanya, siapa lagi yang memakai nomor itu kalau bukan si pembunuh? Namun, sampai di sini kepolisian sulit melacak keberadaan pemakai nomor ponsel itu karena catatan operator telepon menunjukkan nomor itu jarang dipakai. 

Jika ada hubungan antara matinya Anitha dan Pushpalatha, berarti kasus yang dihadapi Chandragupta ini adalah kasus pembunuhan berantai. Merasa mendapatkan petunjuk, Chandragupta kemudian mengumpulkan informasi dari kantor-kantor kepolisian terdekat tentang kasus-kasus yang mirip. Ternyata ia menemukan satu kasus lain yang serupa.  

Pada tanggal 22 Oktober 2005, polisi Bangalore juga menemukan mayat seorang perempuan di dalam toilet umum di sebuah terminal bus. Lagi-lagi di terminal bus kota. Mayat perempuan itu dikenali sebagai Shashikala. la dilaporkan hilang persis satu hari sebelumnya. Hasil autopsi di Rumah Sakit Victoria juga menunjukkan Shashikala tewas karena racun sianida. Di saluran pencernaannya ditemukan sianida dalam dosis mematikan. Lagi-lagi racun sianida. Tapi waktu itu polisi tidak menemukan petunjuk yang mengarahkan mereka kepada pelaku pembunuhan.

Sama seperti kasus kematian Pushpalatha, saat itu polisi pun menduga Shashikala melakukan bunuh diri dengan cara minum racun. Lagi-lagi catatan kepolisian hanya menulis kasus itu sebagai “kematian yang tidak wajar”.

Jika benar ketiga kasus ini saling berhubungan, berarti Chandragupta sedang berhadapan dengan seorang psikopat. Seorang pembunuh keji yang masih berkeliaran di Mangalore, Puttur, dan sekitarnya. la paling tidak sudah memulai aksinya sejak tahun 2005. Sangat mungkin korbannya lebih dari tiga. Selain Shashikala, Pushpalatha, dan Anitha, mungkin saja masih banyak perempuan lain yang menjadi korban.

Tiga nama korban ini membuat Chandragupta getir sekaligus lega. Getir karena itu berarti ia sedang berhadapan dengan seorang pembunuh yang keji dan licin. Lega karena itu berarti kasus ini tidak berkaitan dengan pertikaian antara umat Hindu dan Islam. Setidaknya, ia bisa meyakinkan keluarga Anitha dan para demonstran yang mengancam akan melakukan tindakan main hakim sendiri.

 

Korban dari kota berbeda

Berbekal dokumen kematian yang tidak wajar itu, Chandragupta kemudian mencari kasus-kasus lama yang masuk kategori “kematian tidak wajar” dari kantor-kantor kepolisian di seluruh Negara Bagian Karnataka. Hasilnya benar-benar mencengangkan sekaligus mengerikan. Chandragupta memperoleh tambahan lima kasus serupa! Korbannya selalu perempuan, belum menikah. Semua mayat perempuan ini ditemukan di dalam toilet umum terminal bus kota. Hasil autopsi menunjukkan bahwa penyebab kematian pun sama, yaitu racun sianida. Semuanya pun dimasukkan ke dalam kategori “kematian tidak wajar”. Semua korban diduga bunuh diri karena memang tak ada petunjuk yang mengarah ke pelaku pembunuhan. 

Kasus-kasus kematian ini terjadi di banyak kota. Tampak sangat jelas pelaku sengaja berpindah-pindah mencari korban supaya tidak ada satu pun pihak kepolisian yang menangani korbannya beberapa kali. Dengan tipu muslihat itu, catatan korban kejahatannya tersimpan di banyak kantor kepolisian sehingga tak ada polisi yang mencurigai kasus-kasus itu berhubungan satu sama lainnya.

Dari keluarga salah satu korban tahun 2007, Poornima, umur 35 tahun, polisi mendapat informasi tambahan. Beberapa hari sebelum mayatnya ditemukan di dalam toilet bus kota, keluarga Poornima kedatangan tamu seorang laki-laki yang mengaku bernama Anand Mogera. la minta izin sekaligus menawarkan diri untuk menikahi Poornima tanpa maskawin. Bagi Poornima dan keluarganya, tawaran ini adalah sebuah kesempatan yang sangat sulit ditolak.

Dalam tradisi masyarakat Hindu di India, yang wajib memberikan maskawin adalah pihak pengantin perempuan, bukan pengantin laki-laki. Tradisi ini membuat banyak perempuan mengalami kesulitan menikah. Maka, mendapat tawaran menggiurkan itu, keluarga Poornima tak membutuhkan waktu lama untuk menjawab ya. Apalagi umur Poornima sudah 35 tahun. Namun, beberapa hari kemudian, Poornima tiba-tiba menghilang dan tak lama setelah itu polisi menemukan mayatnya di dalam toilet sebuah terminal bus kota. Sayangnya, keluarga Poornima tidak bisa memberi informasi lebih banyak tentang laki-laki itu.

Dari keluarga korban yang lain, Sharada, perempuan, umur 24 tahun, belum menikah, polisi mendapat tambahan informasi berbeda. Sebelum ditemukan tewas, Sharada beberapa kali menerima panggilan dari sebuah nomor telepon. Yang aneh, nomor telepon ini tidak pernah bisa dihubungi saat keluarga Sharada mencoba menelepon. Tampaknya nomor telepon itu hanya digunakan oleh si pemiliknya untuk melakukan panggilan dan segera dimatikan begitu pembicaraan selesai.

Berbekal nomor telepon misterius itu, Chandragupta melanjutkan penelusuran. Dari catatan operator nomor telepon itu, Chandragupta memperoleh informasi yang makin menguatkan dugaannya bahwa pelaku semua kejahatan ini adalah orang yang sama. Ternyata nomor itu milik perempuan lain yang juga sama-sama menjadi korban. Kelihatan jelas, setelah pelaku membunuh korban, ia menggunakan ponsel korban untuk berkomunikasi dengan korban berikutnya.

Dari catatan operator telepon itu juga, Chandragupta mengumpulkan nomor-nomor yang pernah dihubungi si pelaku. Dari beberapa nomor yang didapat, Chandragupta memperoleh satu nomor yang ternyata masih bisa dihubungi: seorang laki-laki. Ketika polisi menemui laki-laki itu dan meminta ia menunjukkan ponselnya, polisi kembali menemukan satu petunjuk. Ternyata pesawat telepon yang dipakai laki-laki itu punya ciri yang sama dengan pesawat telepon milik seorang korban. 

Si laki-laki mengaku tak tahu-menahu tentang perempuan yang sudah mati itu. Tapi ia mengaku membeli pesawat telepon itu dengan harga yang sangat murah dari seorang laki-laki yang bernama Mohan. Mohan Kumar. Di sini Chandragupta menemukan data yang berbeda. Keluarga Poornima menyatakan bahwa laki-laki yang dicurigai membunuh Poornima itu mengaku bernama Anand Mogera. Sementara laki-laki yang menjual pesawat telepon ini bernama Mohan Kumar. Mungkin kedua nama ini milik dua orang yang berbeda. Mungkin juga milik satu orang yang menyamar dengan banyak nama.

Dengan bekal data dari pembeli ponsel itu, polisi tak kesulitan menemukan identitas Mohan. Namun, ketika Chandragupta membuka catatan tentang laki-laki ini, ia tertegun sekaligus ragu-ragu. Sejak tahun 1980, Mohan Kumar berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Apakah mungkin pelaku semua kejahatan ini adalah seorang guru? Ia melakukan tugas sebagai pendidik selama 23 tahun di beberapa sekolah yang berbeda dan pensiun tahun 2003. Catatan sipil menunjukkan dia menikah tiga kali. Istri pertama yang ia dinikahi tahun 1987 ia ceraikan. Saat ini ia hidup dengan dua orang istri yang tinggal di dua kota yang berbeda.

 

Telah membunuh 19 orang

Dengan masih menyisakan tanda tanya besar, polisi segera menjemput Mohan Kumar di rumahnya. Sama sekali tak ada perlawanan. Tapi ia menyangkal telah melakukan semua kejahatan itu. Tak kekurangan akal, Chandragupta kemudian mendatangkan orangtua Poornima, salah satu korban yang rumahnya sempat didatangi Mohan. Ketika melihat wajah Mohan, ayah dan ibu Poornima langsung berseru, “Ya. Itu dia!” Keduanya yakin betul laki-laki itulah yang datang ke rumah mereka dan mengajak Poornima menikah tanpa maskawin.

Setelah dihadapkan pada bukti-bukti yang tak bisa dibantah, Mohan akhirnya tidak bisa mengelak dari dakwaan polisi. Anand Mogera hanyalah nama samaran yang ia gunakan untuk mengelabui keluarga Poornima. Ia mengaku mulai melakukan aksi kejinya sejak tahun 2000. Itu berarti psikopat ini telah berkeliaran di Negara Bagian Karnataka selama sembilan tahun tanpa disadari kehadirannya oleh polisi.

Ia selalu memilih korban perempuan yang belum menikah, usia antara 22 - 35 tahun, yang ia kenal di tempat-tempat publik. Saat hendak memulai berkenalan, ia mengaku menggunakan jurus pura-pura kenal. Ia menghampiri perempuan yang diincarnya dan langsung menyapanya, seolah-olah ia sudah pernah kenal. Setelah itu kemudian memulai percakapan, lalu bertukar nomor telepon, untuk selanjutnya saling bertukar cerita hingga masalah-masalah pribadi tentang status pernikahan.

Korban pertamanya seorang perempuan, Rathna, belum menikah. Waktu itu Mohan membujuknya dengan mengatakan bahwa ia akan menikahinya. Tapi wanita ini menolak dan membuat Mohan murka. Mohan sempat mencoba membunuh Rathna dengan cara mendorongnya saat berada di jembatan di atas sungai tapi gagal. Percobaan pembunuhan yang gagal ini membuat Mohan mengubah modus tindak kriminalnya.

Korban selanjutnya, Kaveri, perempuan, umur 32 tahun, juga belum menikah. Mohan membujuknya dengan janji akan menikahi perempuan itu tanpa maskawin. Rayuan maut ini membuat Kaveri seperti terkena hipnotis. Ia langsung menyatakan bersedia menuruti apa saja kemauan Mohan. Begitu Kaveri menyatakan bersedia, Mohan kemudian mengajaknya pergi ke sebuah kota yang jauh dari rumahnya. Di sini, Mohan mengajak Kaveri menginap di sebuah motel lalu mengajak Kaveri melakukan hubungan seksual.

Setelah melampiaskan libidonya, Mohan mengajak Kaveri pergi ke kuil untuk melakukan ritual persiapan pernikahan. Sebelum berangkat, Mohan meminta Kaveri melepaskan semua perhiasan serta meninggalkan semua benda yang ia bawa di motel. Di tengah perjalanan menuju kuil, Mohan mengajak Kaveri berhenti di terminal bus kota. Di situ, Mohan meminta Kaveri minum pil berwarna putih. Pil itu ia katakan sebagai obat untuk mencegah kehamilan agar terhindar dari kemungkinan hamil akibat hubungan seksual yang baru mereka lakukan. Padahal, sebetulnya pil itu adalah racun sianida yang sangat mematikan.

Mohan meminta Kaveri minum obat itu di dalam toilet umum supaya ia tidak repot kalau perutnya terasa mulas. Segera setelah menenggak pil itu, dalam hitungan kurang dari dua menit, Kaveri langsung tewas di dalam toilet. Mohan kemudian pergi kembali ke motel untuk mengambil semua perhiasan dan barang milik Kaveri. Ketika polisi menemukan mayat Kaveri, tak ada satu orang pun yang curiga bahwa ia korban pembunuhan. Mereka menduga Kaveri melakukan bunuh diri.

Karena merasa sukses dengan cara ini, begitu selesai menghabisi Kaveri, Mohan pun mencari korban lain. Modus kejahatan yang ia lakukan tetap sama. Di tempat-tempat publik, ia mencari kenalan perempuan yang belum menikah. Kepadanya, ia menawarkan diri untuk menikahinya tanpa maskawin. Lalu ia mengulangi secara persis apa yang ia lakukan kepada Kaveri. Begitu seterusnya. Selesai membunuh satu korban, ia langsung mencari korban berikutnya. Bahkan, kadang ia mengincar dua korban pada waktu yang sama di dua kota yang berbeda.

Karena merasa tak terendus sama sekali oleh polisi, Mohan menjadi seorang maniak. Ia semakin menikmati kejahatan yang ia lakukan. Nafsu seksual dan nafsu membunuhnya tak terbendung. Selama sembilan tahun ia berkeliaran di kota-kota di Negara Bagian Karnataka sampai jumlah korbannya mencapai sembilan belas orang! Beberapa korban ditemukan oleh polisi tanpa identitas lalu dikubur sebagai mayat tak teridentifikasi karena tak ada keluarga yang mengambil jenazahnya.

Hingga akhirnya kejahatan Mohan tercium polisi ketika ia menghabisi Anitha. Kejahatan ini mendapat perhatian serius dari polisi karena terjadi persis saat meletusnya pertikaian antaragama di Puttur. Andai saja tidak terbongkar, mungkin saja setelah Anitha masih akan ada korban ke-20, 21, dan seterusnya. Pada saat ditangkap, Mohan mengaku sedang melakukan pendekatan kepada dua orang perempuan lain dari dua kota yang berbeda.

 

Membeli sianida dari pandai emas

Dengan pengetahuannya sebagai seorang guru, Mohan tidak mengalami kesulitan mendapatkan racun sianida dan meraciknya sendiri menjadi pil yang siap untuk diminum. la mengaku sengaja memilih sianida karena terinspirasi oleh kebiasaan yang dilakukan oleh anggota Pembebasan Macan Tamil Eelam, kelompok separatis di Sri Lanka.

Para gerilyawan pemberontak ini selalu membawa racun sianida saat mereka melakukan gerilya. Racun ini bukan digunakan untuk membunuh lawan tapi digunakan untuk bunuh diri jika tertangkap oleh tentara Pemerintahan Sri Lanka. Segera setelah ditangkap, gerilyawan akan langsung minum racun sianida sehingga ia akan segera mati dalam hitungan menit. Dengan begitu, para tentara Sri Lanka tak punya kesempatan untuk menginterogasi mereka. Cara ini mereka tempuh untuk merahasiakan informasi mengenai gerilyawan lain.

Selain karena bisa membunuh dengan cepat, Mohan sengaja memilih sianida karena racun ini bisa dibentuk menjadi pil kecil yang sekilas terlihat sebagai obat. Tak satu pun korbannya curiga. Semua percaya begitu saja ketika Mohan mengatakan itu sebagai pil kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.

Racun sianida juga mudah digunakan tanpa meninggalkan jejak sama sekali ke arah pelaku pembunuhan. Sianida bisa membunuh kurang dari dua menit. Karena waktu bunuhnya cepat, korban tidak sempat minta tolong kepada orang di sekitarnya. Mohan sengaja menyuruh korban meminum sianida di dalam toilet dengan tipu muslihat yang meyakinkan, yaitu supaya si perempuan tidak repot kalau perutnya terasa mulas sehabis minum obat itu. Padahal sebetulnya ia memilih toilet supaya tak ada orang yang melihat korban saat meregang nyawa. Ia selalu memilih toilet yang jauh dari kerumunan orang. Kalaupun korban sempat mengerang atau berteriak sebelum mati, tak ada orang yang mendengarnya.

Shanta, salah satu korban yang dibunuh tahun 2006 sempat dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan sekarat. Ia tidak langsung meninggal di dalam toilet sesudah menenggak racun sianida. Tapi ia keburu meninggal di dalam ambulans sehingga identitas Mohan tak sempat terungkap.

Selama sembilan belas kali Mohan tak pernah gagal melakukan tindak kriminal. Polisi tak pernah mencium kejahatannya. Kejahatannya baru bisa dilacak karena “kekeliruannya” menggunakan ponsel milik korban untuk menghubungi orang lain dan bahkan menjual ponsel korban kepada seseorang yang mengenalnya.

Pada saat polisi menangkap Mohan, mereka menemukan barang bukti berupa empat telepon genggam dan seperangkat perhiasan milik korban yang belum ia jual. Mohan mengaku menjual ponsel dan perhiasan korban untuk membiayai dua orang istri dan empat orang anaknya. Pengakuan yang cukup melankolis untuk ukuran seorang pembunuh keji seperti dia.

Di rumahnya, polisi juga menemukan delapan pil racun sianida. Jika satu pil bisa membunuh satu orang, maka delapan pil itu masih bisa membunuh delapan korban berikutnya kalau saja polisi tidak segera menangkapnya. Mohan mengaku membeli racun sianida itu dari beberapa pandai emas supaya tidak tampak mencurigakan. Garam sianida memang salah satu bahan kimia yang diperlukan untuk melarutkan emas.

Ketika polisi mengumumkan penangkapan Mohan, Negara Bagian Karnataka, bahkan seluruh India dibuat gempar. “Saya pernah menjadi muridnya. Tapi saya sama sekali tidak menyangka dia seorang pembunuh,” begitu komentar salah seorang yang pernah diajar oleh Mohan di sekolah. 

Sekalipun Mohan menikah tiga kali, tak ada satu orang pun yang menyangka dia seorang maniak seks. Semua orang yang pernah mengenalnya pun memberi kesaksian serupa. Mohan adalah seorang yang mudah bersahabat dengan orang lain. “Dia orang yang ramah,” kata orang-orang yang pernah mengenal Mohan. Tak mengherankan, dengan keramahan itu ia bisa dengan mudah memikat perempuan yang baru ia kenal di tempat umum. Licik dan mematikan. Untuk menutupi identitas yang sebenarnya, ia memberi nama samaran yang berbeda-beda kepada para perempuan itu.

“Dia guru yang pintar,” kata para guru yang pernah mengajar bersama Mohan. Dengan kecerdasan itu, tak mengherankan ia bisa meramu sianida menjadi pil yang kelihatan seperti obat. Dengan tipu muslihat itu, ia bisa mengelabui para korbannya karena mereka menyangka pil itu adalah pil kontrasepsi sungguhan.

Dia juga pandai mencari akal bulus untuk memikat perempuan dengan rayuan bahwa ia bersedia menikahi perempuan itu tanpa maskawin. Di masyarakat Hindu India, banyak perempuan yang tidak bisa menikah karena perkara maskawin. Pihak laki-laki sering kali meminta maskawin dalam jumlah yang sangat besar. Bagi para perempuan yang sulit menikah karena alasan ini, rayuan Mohan Kumar ibarat mantera yang langsung menghipnosis mereka.

“Sungguh sulit dipercaya. Ini benar-benar kisah pembunuhan berantai yang lebih menegangkan daripada film thriller Alfred Hitchcock,” demikian komentar situs berita lokal, Mangalorean. “Jack the Ripper dari India!” kata Inspektur Gopal Hosur, kolega Chandragupta di kepolisian. Ia menyamakan kasus Mohan Kumar dengan cerita pembunuhan berantai yang sangat kondang di Inggris pada akhir abad ke-19. (M Sholekhuddin) 



" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553456957/jack-the-ripper-dari-india" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391207000) } } }