array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3567688"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/507-2005-72-ada-perempuan-simpan-20221111074219.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(102) "Annisa dan pacarnya tengah dimabuk cinta. Namun kebahagiaannya tidak lama karena tiba-tiba menghilang."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/507-2005-72-ada-perempuan-simpan-20221111074219.jpg"
      ["title"]=>
      string(22) "Ada Perempuan Simpanan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 19:42:35"
      ["content"]=>
      string(28313) "

Intisari Plus - Annisa dan pacarnya tengah dimabuk cinta. Namun kebahagiaannya tidak lama karena tiba-tiba menghilang.

-------------------

Tak ada kutu atau ketombe di kulit kepalanya. Namun, seperti biasa Annisa (37 tahun) tak kuasa menghentikan kebiasaan menggaruk kepala jika sedang merasa senang. Terlebih saat bermanis-manis dengan kekasih hatinya, meski cuma lewat kabel telepon. Beberapa helai rambutnya rontok, jatuh mengotori meja telepon di rumahnya. Sejak kecil, rambut Annisa memang gampang rontok.

Swear, honey. Aku belum cerita ke siapa-siapa. Baru Lola yang tahu. Dia ‘kan sohibku,” rajuk Annisa. 

Nada suara lelaki di seberang sana - yang sebelumnya penuh emosi - akhirnya merendah. “Ya ... sudahlah, aku percaya. Aku janji, bulan depan kita bereskan semuanya. Tapi aku minta, sebelum itu jangan cerita tentang calon bayi kita pada siapa pun. Curhat kamu ke Lola anggap saja kecelakaan.”

Bener nih, kamu enggak marah?” suara Annisa makin manja. 

Si lelaki (38 tahun) mengiyakan dengan mesra. 

Pasti tak ada yang menyangka, percakapan tadi menjadi percakapan terakhir dua sejoli yang tengah dimabuk cinta itu. Beberapa hari kemudian, Annisa dan anak lelakinya, Jordi (6 tahun), dilaporkan hilang dari rumah mereka yang asri di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur.

 

Hilang kontak

Lola (24 tahun) yang pertama kali melaporkan hilangnya Annisa pada aparat keamanan. Diantar adik laki-lakinya, sarjana ilmu sosial yang baru saja diwisuda itu menumpahkan kegundahan hatinya.

“Biasanya setiap Jumat sore kami selalu bertemu di pusat kebugaran. Tapi sore tadi Mbak Annisa enggak nongol. Padahal, tidak biasanya dia absen tanpa kabar. Kalaupun berhalangan hadir, pasti dia mengontak saya. Saya sudah berusaha menghubungi handphonenya dan menelepon rumahnya, tapi enggak ada yang angkat,” Lola menjelaskan alasannya mendatangi kantor polisi.

“Anda sudah menghubungi kerabat Bu Annisa?” tanya Komisaris Polisi (Kompol) Hadi Bhrata, Kapolsektro Pulogadung, yang ikut nimbrung mendengarkan laporan Lola. 

“Sebagian besar kerabat Mbak Annisa tinggal di Cibinong. Tapi setahu saya, dia jarang sekali ke sana.”

“Anda sempat mampir ke rumah Bu Annisa?” kali ini Asrul Gumara, anak buah Hadi, yang bertanya. 

“Itulah. Habis maghrib tadi, saya Iewat depan rumahnya. Gelap sekali. Tetangganya bilang, Mbak Annisa keluar rumah sejak jam dua belasan, sebelum bubaran salat Jumat.” Hadi dan Asrul menatap Lola sebentar. Ada kecemasan luar bisa terpancar dari wajah wanita muda berparas ayu itu.

 

Darah di kamar

Di lingkungan tempat tinggalnya, menurut Lola, Annisa cukup populer. Dia dikenal sebagai “janda kaya” yang baik hati dan dermawan. Suaminya, Wicak Abilawa, memang wiraswasta sukses yang sayangnya meninggal dunia di usia muda akibat kecelakaan pesawat tujuh tahun lalu.

Untungnya, Wicak meninggalkan warisan lebih dari cukup untuk menghidupi anak dan istrinya. Di antaranya rumah lumayan besar dan asri yang kini ditinggali Annisa bersama Jordi, serta tiga gerai sepatu, masing-masing di pusat perdagangan Pasar Baru, Mal Ciputra, dan Mal Metropolitan Bekasi.

Toyota Kijang yang dikemudikan Asrul berhenti persis di depan pintu pagar rumah Annisa. Lola, yang memaksa ikut, duduk tegang di samping reserse Polsektro Pulogadung itu. Seperti cerita Lola, Jumat malam itu kondisi rumah Annisa memang gelap gulita. Pintu pagarnya tak terkunci, sedangkan semua lampu dalam kondisi mati. Hanya lampu dapur yang tampak menyala.

Dari sanalah Asrul dan Lola mengintip ke dalam rumah. Asrul berpikir sejenak, sebelum akhirnya memutuskan masuk secara paksa lewat pintu belakang. “Maaf, Bu Annisa, pintunya terpaksa saya rusak. Saya hanya seorang polisi, bukan ahli kunci,” desah Asrul pelan. Lola yang ikut mendengar, tersenyum geli. Polisi yang satu ini kocak juga. “Mengapa tak memecahkan kaca jendela saja? Tanpa terali dan cukup lebar sebagai jalan masuk,” saran Lola. 

Namun terlambat, braaakkkk! .... Hanya dalam beberapa kali tendangan, pintu belakang itu roboh. Dalam hati Lola kagum juga pada “tenaga dalam” Asrul. Meski Herkules yang dikagumi itu malah berbalik memuji Lola, “lde kamu bagus juga, Lola. Kaca jendela kan lebih mudah diganti dan diperbaiki daripada pintu ya?” Sang detektif telat mikir rupanya.

“Kelihatannya Bu Annisa dan anaknya enggak ada di rumah,” komentar Asrul setelah menyisir dapur, ruang keluarga, dan ruang tamu. “Bagaimana kalau ternyata mereka sedang plesir ke luar kota? Aku bisa dipotong gaji karena merusak pintu.”

“Tidak mungkin,” elak Lola. “Lihat, pintu depan ternyata tidak terkunci.” 

“Alamak, kenapa kita enggak masuk baik-baik lewat pintu depan?” Asrul cengengesan. 

Sejenak, polisi berpakaian preman itu memelototi foto pengantin berukuran besar yang tergantung di dinding.

“Itu foto Mbak Nisa dan almarhum suaminya,” jelas Lola. 

“Hmm. Cantik juga, ya.” 

Lola manggut-manggut. Kakinya hendak melangkah ke kamar tidur Annisa ketika tiba-tiba dicegat Asrul. “Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di kamar tidur. Saya akan nyalakan lampu. Hati-hati dengan langkah, Lola.”

Dada Lola berdegup kencang. Benar saja, meja rias dan beragam perlengkapan dandan perempuan yang ada di atasnya tampak berantakan, seperti baru saja diamuk gelombang tsunami. Tak jauh dari tempat tidur, mereka menemukan ceceran darah. Tak banyak, tapi cukup untuk dijadikan barang bukti. “Sebaiknya kita keluar. Saya akan mencoba menghubungi komandan,” Asrul menuntun Lola keluar kamar. 

“Bisa antar saya dulu ambil minum di ruang makan, Pak?” Lola lampak gugup. Wajahnya memutih seputih kapas.

 

Diancam pengutang 

Malam itu juga Asrul yang diserahi tugas menangani kasus hilangnya Annisa dan Jordi mulai mengumpulkan barang bukti hingga fakta yang ditemukan di lapangan. Sampel ceceran darah dikirim ke laboratorium kriminal Mabes Polri untuk diteliti lebih lanjut.

“Sialnya, selain sampel darah dan kamar yang berantakan, tak ada lagi petunjuk yang dapat kita maksimalkan, Dan,” lapor Asrul pada Hadi Bhrata. 

“Kelihatannya pelaku cukup tenang dan profesional sehingga bisa kabur tanpa meninggalkan jejak dan sidik jari,” timpal Hadi. 

“Pelaku juga pasti dikenal baik oleh korban. Lihat saja, tak ada tanda-tanda seseorang masuk rumah secara paksa.” 

“Ada. Itu pintu belakang rusak akibat didobrak,” tutur sang komandan.

“Oh. Pintu itu saya yang mendobrak ketika datang kemari bersama Lola.” 

“Menurut kamu, korban masih hidup?” 

“Entahlah. Kalau melihat data, jarang sekali korban penculikan bisa lepas dengan selamat dari penculiknya. Terlebih jika mereka saling kenal.”

Setelah meneliti seluruh isi rumah, Asrul mengerahkan anak buah untuk mengorek informasi dari para tetangga. 

“Kami semua sayang padanya. Dia hampir-hampir tak punya musuh sini,” sebut Bu Fadli, tetangga Annisa, sembari sesenggukan. Dia mengaku sangat kehilangan.

“Kabarnya, ia memiliki banyak piutang, Bu?” pancing Asrul. 

“Betul. Jeng Annisa memang tak pernah segan meminjamkan uang pada tetangganya yang sedang mengalami kesusahan. Meski kadang ada juga tetangga yang tak tahu diri. Sudah bertahun-tahun pinjaman tak juga dikembalikan,” cerita Bu Fadli. “Bahkan saat menagih ke Pak Pipin, Jeng Nisa sempat diancam segala. Lucu, ngutang-nya mau, ditagih kok marah-marah. Kasihan Jeng Nisa. Kalau saja suaminya masih hidup…”

“Diancam bagaimana, Bu?”

“Orang-orang yang bilang, saya sendiri tidak melihat langsung kejadiannya. Tapi sepulang dari rumah Pak Pipin, saya lihat mata Jeng Nisa basah.”

Annisa, menurut Lola, kadang memang terlalu baik pada siapa saja. Gadis manis itu bercerita, sekitar sepekan sebelum menghilang, Annisa sempat adu mulut dengan Baskoro, mantan karyawan gerai sepatunya di Mal Metropolitan. Baskoro dipecat setelah untuk ke tiga kalinya dipergoki menyalahgunakan stok dari gudang tanpa izin.

“Dua kali dia saya maafkan. Tapi maaf yang saya berikan ternyata selalu disalahgunakan,” tutur Lola, menirukan cerila Annisa lewat telepon. “Saya sebetulnya enggak tega, tapi Baskoro memang harus diberi pelajaran.” Annisa sempat meminta Lola menjemputnya di Mal Metropolitan. Takut kalau-kalau Baskoro melakukan pembalasan.

 

Mobil dicuci bersih

Cuma ada satu tanda di benak Asrul sehari setelah hilangnya Annisa dan Jordi. Apalagi kalau bukan tanda tanya! Minimnya jejak pelaku, belum jelasnva motif serta ketidakpastian apakah korban sekadar diculik atau telah dibunuh, membuat reserse itu pusing tujuh keliling. Untuk sementara, dia menganggap kasus ini sebagai penculikan. Soalnya, jasad Annisa tidak ditemukan dan tak ada barang-barang pribadi Annisa yang hilang, kecuali sebuah mobil Toyota Kijang terbaru. “Kalau memang perampokan, pelakunya pasti memasukkan juga barang-barang lain ke dalam mobil. Lagi pula, untuk apa perampok membawa serta Annisa dan anaknya?” batin Asrul.

Dugaan penculikan masih diyakininya setelah siangnya Asrul menerima laporan mobil Annisa ditemukan di kawasan Sukabumi, Jawa Barat. “Mobilnya dalam keadaan bersih. Kelihatannya baru dicuci sebelum ditinggalkan begitu saja. Tak jauh dari areal persawahan,” lapor Sudirja, anak buah Asrul yang khusus dikirim ke Sukabumi.

Namun setelah lewat tiga hari, telepon sang “penculik” tak juga datang, Asrul mulai ragu pada teorinya. “Seorang penculik, apa pun alasannya, lazimnya minta tebusan. Kecuali pelaku menculik hanya sebagai kedok untuk membunuh korbannya,” batinnya lagi. Dering telepon dari Lola membuyarkan lamunan Asrul. Sejam kemudian, mereka bertemu di sebuah kedai ikan bakar di bilangan Tenda Semanggi.

“ltulah, Pak. Semalam saya bermimpi, Mbak Nisa berada di suatu tempat, bersama Jordi. Tapi tempatnya aneh, entah di mana. Mereka seperti minta tolong pada kita.”

Asrul menarik pelan-pelan lengannya yang menghangat, selepas bersentuhan dengan punggung tangan Lola. 

“Dan ada satu hal yang belum saya katakan. Sebenarnya, saya sudah janji sama Mbak Nisa untuk tidak menceritakan soal ini pada siapa pun. Tapi ....”

“Ayolah, siapa tahu cerita kamu bisa membantu.” 

Kali ini bukan lengan, tapi wajah Asrul yang menghangat. Baru kali ini wajahnya berdekatan dengan wajah Lola. Begitu dekat.

“Setahun terakhir ini, Mbak Nisa menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Mereka backstreet karena mau bikin kejutan buat keluarga masing-masing. Bahkan Jordi sendiri pun belum diberi tahu.” Lola mulai bercerita. “Terakhir, Mbak Nisa bahkan mengaku sedang mengandung tiga bulan.”

“O ya?” 

“He eh. Dia kelihatan bahagia banget. Setelah bertahun-tahun menjanda, dia bersyukur akhirnya menemukan orang yang tepat untuk kembali membina rumah tangga.”

“Kamu pernah bertemu lelaki itu?” 

“Itulah ....” 

“Itulah lagi.” 

“Eeeh ... mau dilanjutkan enggak?” 

“Itulah ... kamu ternyata gampang ngambek, he-he-he.” Lola menjawil lengan Asrul.

“Sampai saat ini, cuma saya teman curhat yang dipercaya Mbak Nisa. Tapi saya sendiri belum pernah bertemu pacarnya itu. Apakah mirip Brad Pitt, Tom Cruise, atau Tukul Arwana, saya enggak tahu. Bahkan namanya pun dirahasiakan.” 

Asrul menghabiskan tetes terakhir jus alpukatnya lalu bangkit dari kursi. Mendadak dia seperti mendapat energi tambahan. 

“Mo ke mana?” 

“Ke TKP.” 

“Saya ikut!”

 

Petunjuk tagihan

“Beberapa hari lalu, Anda merusak pintu belakang. Sekarang, merusak pintu-pintu lemari dan laci. Kalau Mbak Nisa tahu ....” 

Asrul tak memedulikan omelan “partner” bawelnya itu. 

Gotcha!” teriaknya tiba-tiba. “Bon-bon kafe, surat tagihan telepon seluler, karcis parkir ....” 

“Gila, dalam sehari, Mbak Nisa bisa menghubungi nomor 0815xxx sampai sepuluh kali. Ini pasti nomor telepon pacarnya,” seru Lola.

“Mereka juga selalu bertemu di sebuah kafe di Tebet. Kamu tahu letak kafe itu?”

“Tahu banget. Saya memang pernah mengajak Mbak Nisa ke sana. Tempatnya asyik. Pemiliknya mantan kakak-kakak kelas saya di kampus dulu. Kayaknya mereka join-an, gitu. Kita ke sana?”

“Sabar dong. Kita harus pastikan dulu, nomor ini betul-betul nomor telepon pacarnya Bu Annisa.”

Lola duduk di ruang keluarga rumah Annisa, memelototi acara teve yang selama ini paling dibencinya, telenovela. Terpaksa, karena saluran lainnya menyiarkan acara yang tak kalah menyebalkan. Di ruang tamu, Asrul sibuk dengan telepon selulernya.

Hampir setengah jam berlalu. 

“Namanya Lelono, Tondi Lelono.” 

“Dia terlibat?” 

“Entahlah. Kelihatannya dia shock mendengar Annisa hilang. Dia juga mengaku beberapa kali menghubungi handphone dan telepon rumah Annisa tapi tidak pernah dijawab.” 

“Kita jemput dia sekarang?” 

“Lola ... saya polisinya, bukan kamu!”

 

Selalu mesra

Menyimak curhat Annisa kepada Lola, mestinya tak patut mencurigai Tondi. Mereka saling menyayangi dan sudah sepakat untuk menuju pelaminan. “Tinggal menunggu saat yang tepat,” ujar Lola, menirukan ucapan Annisa. Apalagi saat ditemui di rumahnya, Tondi terus terang mengakui kedekatannya dengan Annisa.

Kawan-kawan Lola yang mengelola Kafe Seniani di bilangan Tebet juga berbicara tentang hal yang sama. “Mereka memang sering banget ke sini. Tapi gue enggak pernah ngeliat mereka bertengkar, La. Malah, kadang-kadang gue ama temen-temen iri ngeliat kemesraan mereka. Gimana gitu,” tegas Niken, salah satu anggota kongsi Sentani.

Motif “harta” juga tak masuk dalam hitungan Asrul. Tondi jelas tak lebih miskin dari Annisa. Dia punya toko bahan-bahan bangunan dan gerai LPG yang lumayan laris, dua-duanya terletak di Tebet.

“Anda tahu Bu Annisa sedang hamil?” pancing Asrul. 

“Ya pasti dong. Kami bahkan hendak mematangkan rencana pernikahan bulan depan. Saya sangat berharap polisi segera menemukan Annisa dan Jordi dalam keadaan sehat walafiat. Mereka berdua bagian dari masa depan saya. Mereka masih hidup, kan?”

Asrul dan Lola saling berpandangan. Jawaban apa yang mesti diberikan? 

“Saya juga berharap begitu, Mas,” Lola memecah kebuntuan. 

“Baiklah, kami permisi dulu. Tapi, saya sarankan Anda tidak bepergian jauh untuk sementara waktu, agar kami bisa cepat menghubungi jika ada sesuatu yang perlu dikonfirmasi,” tulur Asrul menutup pembicaraan.

Tondi mengantar Asrul dan Lola sampai pintu pagar. 

Di perjalanan Asrul lebih banyak berbicara dengan pikirannya sendiri. Kadang dahinya berkerut, kadang kepalanya menggeleng. Lola yang bosan diperlakukan seperti patung, akhirnya berinisiatif membuka percakapan.

“Saya punya firasat, siapa pun pelakunya, pasti punya masalah pribadi dengan korban. Ini bukan penculikan murni. Pelakunya kenal baik dengan Mbak Nisa. Mereka bertemu di satu tempat, lalu ke rumah dengan mobil yang sama. Di rumah, mereka terlibat pertengkaran. Mbak Nisa dibunuh, begitu pun Jordi yang ikut menyaksikan peristiwa itu. Lalu untuk menghilangkan jejak, mayatnya dikuburkan di sebuah tempat.”

“Teorimu boleh juga. Terus?”

“Para tetangga mengira, mobil Mbak Nisa, yang keluar-masuk rumah sejak pagi sampai siang, dikemudikan sendiri oleh pemiliknya. Bu Fadli dan tetangga lainnya mengaku tidak melihat dengan jelas siapa sopirnya, kan? Makanya, mereka tak sedikit pun menaruh curiga.”

Not bad.” 

“Jadi, apa rencana kita sekarang?” 

“Kita? Sekali lagi, saya detektifnya. Kamu cuma penumpang gelap.” 

“Penumpang gelap yang cantik. Ya, kan?”

Asrul mati kutu. Badannya boleh sekuat Herkules, tapi bujangan itu sering tak berkutik jika berdebat dengan perempuan yang satu ini. “Besok kamu istirahat saja di rumah, enggak usah ikut wara-wiri. Mbak Annisa ‘kan tak punya banyak musuh. Jadi, jika bukan Tondi, pelakunya tentu Pak Pipin, atau Baskoro, mantan karyawan yang dipecat beberapa hari lalu. Merekalah yang dalam seminggu terakhir bermasalah dengan Annisa.” 

“Saya benar-benar enggak boleh ikut?”

“Ini bukan tugas kampus, Lola. Ini kasus serius.” 

“Oke. Eh, siap, Komandan!”

 

Teguran karyawan

Jumat pagi, tepat seminggu sejak hilangnva Annisa dan Jordi, Asrul masih belum menemukan simpul yang menghubungkan hilangnya janda kaya dan anaknya itu dengan sejumlah orang yang dicurigai. Pak Pipin punya alibi sangat kuat dari istri dan anak-anaknya, sedangkan Baskoro masih dicari keberadaannya. Anak muda itu seperti tahu bakal bermasalah dengan pihak kepolisian, kini lenyap bak ditelan bumi.

Hanya satu hal yang mulai diyakini Asrul, yakni kecil kemungkinan menemukan Annisa dan Jordi dalam keadaan selamat. 

“Hai, La. Apa kabar?” sapa Asrul, begitu Lola tiba-tiba muncul di depan mejanya.

Yang disapa tampak tegang, matanya merah. “Saya membawa saksi penting, namanya Pak Zakaria.”

Asrul jadi ikut-ikutan tegang. Terlebih setelah lelaki berusia 49 tahun, yang telah bekerja di gerai LPG selama delapan tahun itu, mengaku beberapa hari lalu dipecat Tondi tanpa alasan jelas. “Saya hanya orang bodoh, buta huruf lagi. Jadi, kalau diminta berhenti, ya berhenti saja. Toh Pak Tondi memberi pesangon lumayan,” jelas Zakaria lancar.

Namun, yang lebih membuat Asrul kaget adalah pengakuan jujur Zakaria, bahwa bosnya itu kelihatan kurang suka ketika dia bertanya soal perempuan muda dan anak lelaki yang “tertidur” di kursi belakang Toyota Kijang berkaca gelap.

“Sebagai orang tua, saya hanya sekadar bertanya, mengapa tamunya tidak tidur di kursi depan atau belakang saja. Kursi belakang kan sempit?” Zakaria menirukan tegurannya saat itu. 

“Tapi entah mengapa, Pak Tondi tampaknya kurang senang. Besoknya, saya diminta pulang ke Sukabumi.” 

“Bapak tahu siapa penumpang di kursi belakang itu?” 

“Tidak, Pak.”

“Berapa lama Pak Tondi mampir di kios LPG?” 

“Sebentar. Dia cuma berganti kaus, kok. Mungkin sekitar lima menit. Saat itu, kios sedang sepi, sebagian besar karyawan sedang salat Jumat.”

Seketika dada Asrul lega. Sebaliknya, di sudut ruangan, Lola tersedu-sedan. Mulutnya komat-kamit berdoa, agar arwah Annisa dan Jordi mendapat tempat yang layak di sisi-Nya.

 

Dikubur di tanah

Sabtu sore. Langit cerah menyambut malam minggu yang indah. Asrul dan Lola sepakat bertemu di sebuah kafe di bilangan Jln. Jend. Sudirman, Jakarta. Mereka hendak makan minum untuk merayakan terbongkarnya kasus pembunuhan Annisa dan Jordi.

“Tondi mengaku membunuh Annisa dan Jordi. Dia kesal, Annisa hendak membatalkan rencana pernikahan setelah tahu Tondi ternyata memiliki wanita simpanan lain yang juga tengah hamil. Di puncak kemarahannya, Tondi akhirnya lupa diri sehingga berkali-kali memukul wajah Annisa sampai hidung dan mulutnya mengeluarkan darah. Dia lalu mencekik Annisa sampai mati lemas.”

“Bagaimana dengan Jordi.” 

“Jordi masuk ke kamar pada saat yang salah. Tondi membunuhnya dcngan cara yang sama. Untuk menghilangkan jejak, kedua mayat itu diangkut dengan Toyota Kijang milik Annisa, lalu dikuburkan di sebuah kebun kosong milik Tondi, di daerah Pamulang, Tangerang.’’ 

Dari hasil tes labkrim terhadap sampel darah di TKP dan di jenazah korban yang diautopsi setelah digali kembali dari pemakaman, Mabes Polri juga menemukan sampel darah di TKP positif milik Annisa dan Jordi. 

Lola tak dapat menahan sedihnya. 

“Sekarang giliran aku bertanya. Di mana kamu kenal Pak Zakaria?”

Mata cantik Lola sedikit terangkat.

“Saat Mas menyelidiki Pak Pipin dan Baskoro, saya memutuskan untuk mengamati gerai LPG Tondi. Dari sana saya tahu ada karyawan yang baru saja dipecat tanpa alasan jelas sehari setelah Mbak Nisa menghilang.” 

“Kamu mengejar Pak Zakaria sampai Sukabumi?”

Feeling hampir selalu benar.” 

“Lola, kamu memang berbakat jadi detektif.” 

“Atau istri detektif?” 

Ah, kini ada dua wajah yang bersemu merah.


Baca Juga: Termakan Gosip

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553567688/ada-perempuan-simpanan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668195755000) } } }