array(5) {
  [0]=>
  object(stdClass)#65 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3726829"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#66 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(102) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/tamu-di-malam-butajpg-20230406123020.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#67 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(123) "Inspektur Maigret mendapatkan laporan soal pria yang menerobos masuk ke apartemen sebagai Bapak Natal.  Apa yang dicarinya?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#68 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(102) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/tamu-di-malam-butajpg-20230406123020.jpg"
      ["title"]=>
      string(18) "Tamu di Malam Buta"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-04-06 12:30:29"
      ["content"]=>
      string(43773) "

Intisari Plus - Inspektur Maigret mendapatkan laporan soal pria yang menerobos masuk ke apartemen sebagai Bapak Natal. Selain memberi hadiah, tamu di malam buta itu mencungkil lantai kamar. Apa yang dicarinya?

----------

Hari Natal itu Inspektur Maigret sarapan berdua dengan istrinya di apartemen mereka di Boulevard Richard Lenoir, Paris. Walaupun hari sudah pukul 08.00, jalan masih lengang.

Dari gedung di seberang tiba-tiba muncul dua orang wanita. Yang seorang berambut pirang, temannya berambut cokelat. Si pirang tampak ragu-ragu berangkat dan akan berbalik masuk kembali, tetapi si cokelat memaksa pergi. Wanita penjaga pintu rupanya berpihak pada si cokelat, sehingga kedua wanita itu pun menyeberangi jalan.

Madame Maigret kenal pada wanita berambut cokelat itu, yaitu Mademoiselle (Nona) Doncoeur yang tinggal di salah satu apartemen di gedung seberang.

“Rasanya mereka akan ke sini,” kata Maigret, ketika kedua wanita itu menengadahkan kepala ke arah jendela apartemen Maigret di tingkat keempat. Dugaan itu benar.

 

Bapak Natal memberi boneka

Mademoiselle Doncoeur, si cokelat yang berumur 40-an, kelihatan gugup, tetapi temannya yang jauh lebih muda, yang cuma mengenakan daster di balik mantelnya, tenang-tenang saja. Setengah berseloroh ia berkata, “Bukan saya Iho yang mengajak ke sini.”

Akhirnya Mademoiselle Doncoeur berhasil juga mengutarakan maksud kedatangan mereka. Katanya, mereka merasa perlu melaporkan sesuatu. Ia tinggal bersebelahan dengan Madame Martin (si pirang), yang suaminya sedang bertugas ke luar kota sebagai salesman perusahaan arloji.

Tadi pagi, sehabis pulang dari gereja, Mademoiselle Doncoeur datang ke apartemen Madame Martin, membawa kado untuk anak keluarga Martin yang sudah dua bulan terbaring di ranjang karena patah kaki. Rupanya ia datang terlalu pagi sebab Madame Martin belum bangun. Lalu berdua mereka masuk ke kamar anak perempuan berumur tujuh tahun itu. 

“Saya melihat Bapak Natal. Dia kemari semalam,” cerita anak itu.

“Lho, bagaimana kau bisa melihatnya. ‘Kan gelap,” kata Mademoiselle Doncoeur. 

“Ia membawa senter. Lihat Mama Loraine,” katanya sambil memperlihatkan sebuah boneka besar dan bagus dari balik selimutnya kepada Madame Martin. Anak itu menyebut Madame Martin ‘Mama Loraine’, sebab ia sebenarnya kemenakan Monsieur Martin yang tinggal bersama Madame Martin setelah ibunya meninggal.

“Bukan Anda yang memberi boneka itu Madame Martin?” tanya Maigret, memotong cerita Mademoiselle Doncoeur.

“Saya memang akan memberinya boneka tetapi tidak sebagus itu,” jawab Madame Martin.

Mademoiselle Doncoeur melanjutkan ceritanya: Kata Colette, Bapak Natal berjongkok melubangi lantai. Colette menduga agar bisa masuk ke apartemen di bawah, tempat tinggal keluarga Delormes, yang mempunyai seorang anak laki-laki berumur tiga tahun. Colette bilang, mungkin cerobong asap terlalu sempit untuk dimasuki Bapak Natal. Rupanya Bapak Natal merasa diawasi karena ia bangkit mendekati Colette dan memberinya boneka besar seraya menaruh telunjuk di bibirnya.

Setelah itu, katanya, Bapak Natal itu pergi lewat pintu yang menghadap ke lorong. Kamar itu memang mempunyai dua pintu. Pintu yang menghadap ke lorong itu setiap hari dikunci. Kedua wanita itu tidak keburu memeriksa apakah pintu itu dibuka secara paksa, sebab Mademoiselle Doncoeur terburu-buru mengajak Madame Martin melapor kepada Maigret.

“Lantai kamar itu berlubang?” tanya Maigret. Madame Martin mengangkat bahu, tapi Mademoiselle Doncoeour menjawab, “Sebenarnya bukan lubang tapi beberapa papan dilepaskan dari pakunya.”

Maigret bertanya apakah Madame Martin tahu apa kira-kira yang tersembunyi di bawah lubang itu. 

“Tidak Monsieur,” jawabnya.

Dari tanya-jawab dengan Madame Martin diketahui bahwa ia sudah lima tahun tinggal di apartemen itu, yaitu sejak ia menikah dengan Jean Martin. Sebelumnya Jean sudah tinggal di sana. Tak ada suatu barang pun terganggu semalam.

Mungkinkah Jean Martin yang datang semalam karena ingin membuat kejutan bagi putrinya? Entahlah, kata Madame Martin. Setahu dia, suaminya berada di Bergerac, sekitar 700 km dari Paris dan jadwal perjalanannya sudah direncanakan jauh di muka. Jean hampir tidak pernah menyimpang dari jadwal.

 

Ayahnya pemabuk

Madame Martin tidak mendengar apa-apa semalam sebab kamarnya dipisahkan oleh kamar makan dengan kamar Colette.

“Anda pergi semalam?”

“Tidak, Pak Inspektur,” jawab Madame Martin tersinggung. 

“Anda menerima tamu?” 

“Saya tidak menerima tamu kalau suami saya sedang pergi.”

Maigret melirik pada Mademoiselle Doncoeur yang air mukanya tidak berubah. Berarti Madame Martin menceritakan yang sebenarnya.

Sebelum mendatangi Maigret, Mademoiselle Doncoeur sudah bertanya kepada penjaga pintu, kalau-kalau ia membukakan pintu buat seseorang semalam. Penjaga pintu menyatakan tidak ada seorang pun yang datang.

“Dengan siapa anak perempuan itu sekarang?” tanya Maigret.

“Sendirian. Ia biasa sendirian. Saya ‘kan tidak bisa di rumah terus sepanjang hari. Saya harus belanja, pergi ke mana-mana,” jawab Madame Martin.

“Saya mengerti. Di mana ayahnya?”

Madame Martin terpaksa menceritakan bahwa kakak iparnya, Paul, setelah kematian istrinya, jadi pemabuk. Kalau sedang tidak mabuk, ia datang menengok Colette yang sejak ibunya meninggal tinggal bersama Monsieur dan Madame Jean Martin.

Kini Paul kadang-kadang keluyuran sekitar Bastille seperti peminta-minta. Kadang-kadang ia berjualan koran di jalan.

“Mungkinkah ia datang menjenguk anaknya dalam pakaian Bapak Natal?” 

“Itulah yang saya katakan kepada Mademoiselle Doncoeur, tapi ia bersikeras mengajak saya menemui Anda.”

“Karena tidak ada alasan baginya untuk mencungkil papan lantai,” kata Mademoiselle Doncoeur dengan ketus.

Maigret meminta Madame Martin menelepon suaminya untuk mengecek apakah ia masih ada di Bergerac. Karena wanita itu tidak punya telepon, Maigret meminjamkan teleponnya.

Ternyata Jean Martin masih ada di Hotel Bordeaux di Bergerac. Ketika ia berbicara dengan Maigret, kentara sekali ia cemas. 

“Anda yakin istri saya dan Colette tidak apa-apa?” tanyanya. “Kalau cuma boneka sih saya bisa menduga kakak saya, tetapi pasti ia tidak akan mencungkil lantai.” Ia menyatakan akan pulang saja cepat-cepat, tetapi Maigret bilang ia akan mengawasi mereka. 

Istrinya juga tidak menganjurkan suaminya pulang. “Nanti bisa merusak kesempatanmu untuk dipindahkan secara permanen ke Paris,” kata si istri. “Saya berjanji akan mengabarimu kalau ada apa-apa .... Ia sedang bermain dengan bonekanya .... Belum, saya belum sempat memberi hadiahnya. Baik, saya segera pulang untuk menyerahkannya.”

Setelah itu Maigret minta izin agar boleh menemui Colette.

 

Seperti dengungan tawon

Setelah kedua wanita itu meninggalkan apartemennya, Maigret menelepon markas kepolisian di Quai des Orfevres. Ia meminta anak buahnya, Lucas, untuk memberinya daftar nama hukuman yang dibebaskan dari penjara tiga bulan terakhir ini. 

“Yang saya inginkan hanya yang menjalani hukuman lebih dari lima tahun,” katanya. “Periksa apakah di antara mereka ada yang pernah tinggal di Boulevard Richard Lenoir. Selain itu cari Paul Martin, seorang pemabuk yang tidak punya tempat tinggal tetap, yang sering kelihatan di sekitar Place de la Bastille. Jangan ditangkap, jangan diapa-apakan. Saya cuma ingin tahu di mana dia berada pada malam Natal.”

“Masih ada lagi: Telepon Bergerac. Ada seorang salesman bernama Jean Martin, adik Paul Martin, tinggal di Hotel Bordeaux. Tolong selidiki apakah kemarin ia menerima telepon atau telegram dari Paris. Selidiki juga di mana ia melewatkan malam Natal.”

Sehabis berpikir-pikir, Maigret bercukur dan berdandan, lalu menyeberang. Mademoiselle Doncoeur mungkin sejak tadi sudah mengawasi dari jendela apartemennya, sebab begitu Maigret tiba di tingkat empat, ia sudah menunggu di kepala tangga.

Ia mempersilakan Maigret masuk ke apartemen Madame Martin. Nyonya rumah, katanya, pergi berbelanja bahan makanan sebab khawatir toko-toko keburu tutup. Jadi ia tidak menunggu Maigret lagi.

Maigret memeriksa dapur. Di sana ada mentega, telur, sayuran, daging, dan roti. Apartemen itu rapi, tapi seperti apartemen bujangan, bukan apartemen keluarga. Rupanya tidak ditambahi apa-apa lagi sejak lima tahun yang lalu.

Colette tidur di ranjang yang terlalu besar baginya. Wajahnya bertanya-tanya tetapi kelihatan ia percaya kepada Mademoiselle Doncoeur dan Maigret.

“Mama Loraine sudah pulang?” tanyanya Maigret menggigit bibirnya. Praktis anak itu adalah anak angkat Jean dan Loraine Martin, tetapi mengapa ia tidak memanggil mama saja?

“Mama Loraine tidak percaya yang datang semalam Bapak Natal,” kata Colette ketika Maigret menanyainya sambil duduk di sisi ranjang. Saat itu Mademoiselle Doncoeur sudah meninggalkan mereka.

Dari percakapan dengan Colette, ketahuan bahwa mereka tidak pernah kedatangan tamu, baik itu teman Colette, maupun teman orang tuanya. Yang datang cuma petugas pencatat meteran gas dan listrik. Lewat pintu kamar yang selalu terbuka kalau siang, Colette mengenali suara mereka. Pernah datang seorang lain dua kali. Kedatangan pertama terjadi sehari setelah kakinya patah. Ia ingat betul sebab dokter baru pulang. Ia tidak melihat wajah orang itu, cuma suaranya saja sebab Mama Loraine menutup pintu kamar.

Mereka bercakap-cakap tetapi apa yang dipercakapkan tidak kedengaran. Kemudian Mama Loraine berkata bahwa orang itu mau menjual asuransi. Lima atau enam hari yang lalu orang itu kembali lagi malam hari, pada saat lampu kamar Colette sudah dimatikan. Kedengarannya orang itu seperti bertengkar dengan Mama Loraine sehingga Colette takut. Kemudian Mama Loraine berkata kepada Colette, orang itu dari asuransi. Colette tak usah takut dan harus cepat tidur.

Colette tidak pernah melihat wajah orang itu, tapi mengenali suaranya, walaupun perlahan, sebab seperti dengungan tawon besar.

Colette bilang, Mama Loraine sekarang sedang pergi ke toko. Karena Colette sudah punya boneka bagus dari Bapak Natal, Mama Loraine akan mengembalikan boneka dari dirinya sendiri ke toko.

Maigret bangkit memeriksa lubang di bawah papan yang dicungkil oleh Bapak Natal. Tak ada apa-apa di dalamnya, kecuali debu. Pintu juga memperlihatkan tanda-tanda dibuka secara paksa. Pembukanya tampaknya bukan profesional.

Kata Colette, Bapak Natal tidak berbicara dengannya. Mungkin cuma tersenyum, tetapi tidak jelas, sebab wajahnya ditutupi janggut.

Ketika mereka masih bercakap-cakap muncullah Madame Martin. la berpakaian lebih rapi daripada sekadar untuk berbelanja tapi menenteng tas belanjaan. Tanpa senyum ia minta maaf karena tidak bisa menunggu Maigret. Katanya, ia harus belanja banyak, takut toko-toko keburu tutup.

Maigret curiga Madame Martin pergi lebih jauh dari Rue Amelot atau Rue de Chemin Vert, tempat toko-toko yang biasa dikunjungi oleh para ibu yang tinggal di daerah mereka. Ke mana?

 

Majikannya lenyap

Mademoiselle Doncoeur datang untuk bertanya apakah pertolongannya masih diperlukan. Madame Martin sudah mau menjawab “tidak” tetapi Maigret buru-buru memintanya menemani Colette sementara ia berbicara di ruang sebelah dengan Madame Martin.

“Mademoiselle Doncoeur repot tidak karuan. Itulah susahnya perawan tua. Apalagi perawan tua yang mengguntingi setiap berita tentang seorang inspektur polisi tertentu yang akhirnya bisa ia undang ke gedung tempat tinggalnya,” kata Madame Martin seraya mencopot topinya.

“Anda tidak bekerja, Madame Martin?” tanya Maigret. 

“Sulit untuk bekerja sambil mengurus rumah tangga dan seorang anak kecil, walaupun anak itu sudah bersekolah. Lagi pula suami saya tidak mengizinkan.”

Dari tanya-jawab Maigret tahu bahwa Madame Martin sebelum menikah bekerja di toko perhiasan dan mata uang kuno milik Monsieur Lorilleux di Palais Royal. Ia melayani pembeli, merangkap pengurus buku dan sekretaris. Kalau Monsieur Lorilleux pergi, pekerjaannya ditangani Madame Martin.

Setelah menikah dengan Jean Martin, ia masih tetap bekerja. Tapi empat bulan kemudian, ketika Madame Martin pergi ke tempat kerjanya, ia dapati pintu toko masih tertutup. Ketika lama tidak dibukakan juga, ia menelepon ke rumah Monsieur Lorilleux di Rue Mazarine. Kata Madame Lorilleux, suaminya sudah berangkat ke tempat kerja pukul 08.00 seperti biasa. Ketika majikannya itu tidak muncul juga, bersama Madame Lorilleux ia pergi ke kantor polisi untuk melapor. Sejak itu mereka tidak pernah melihat Monsieur Lorilleux lagi.

Sejak itu Jean Martin yang sudah menjadi salesman melarang istrinya bekerja lagi. Saat itu suami Madame Martin sudah mengerjakan pekerjaannya yang sama dengan sekarang.

Dari tanya-jawab, Maigret tahu beberapa hal lain, yaitu: Jean Martin sedang keluar kota waktu Monsieur Lorilleux lenyap dan toko perhiasan tidak memperlihatkan tanda-tanda diganggu. Madame Lorilleux kini hidup dari mengusahakan toko bahan makanan yang kecil saja di Rue du Pas de la Mule, karena toko lama terpaksa dijual. Anak-anaknya sekarang mungkin sudah menikah.

Maigret minta Madame Martin menggambarkan Monsieur Lorilleux.

“Orangnya lebih tinggi dari Anda. Badannya gemuk dan dandanannya sembarangan. Saya tidak tahu berapa umurnya, mungkin 50-an. Kumisnya berwarna kelabu.

“Setiap pagi ia berjalan kaki ke tempat bekerja. Biasanya ia tiba 15 menit sebelum saya datang. Orangnya pendiam dan pemurung. Sebagian besar waktunya dilewatkan dengan berkurung di ruang kerjanya yang kecil di belakang toko.”

Maigret bertanya, kalau-kalau Monsieur Lorilleux mempunyai kekasih. 

“Setahu saya tidak,” jawab Madame Martin yang mulai kesal ditanyai macam-macam gara-gara tetangga sebelah usil.

 

Tetangga usil

“Setiap kali saya keluar pintu untuk pergi, Mademoiselle Doncoeur muncul menawarkan diri untuk menemani anak itu. Jangan-jangan laci-laci saya semua dia periksa,” keluh wanita itu.

“Tapi kelihatannya Anda berhubungan baik juga dengan dia.” 

“Habis mau apa? Colette minta ia menemaninya. Suami saya juga dekat dengannya, sebab waktu menderita paru-paru basah di masa bujangan, dia yang merawatnya.”

Madame Martin marah sekali ketika ditanyai apa yang ia beli di Rue de Amelot dan Rue de Chemin Vert. Ia ambil kantung barang belanjaannya untuk digabrukkan di atas meja makan. 

“Lihat sendiri!” katanya. 

Maigret memeriksanya. Ada tiga kaleng sardencis, mentega, kentang, ham dan daun selada.

“Mau tanya apa lagi?” tanya wanita itu menantang. 

“Nama agen asuransi Anda.”

Madame Martin memandang tidak mengerti. Ketika Maigret menjelaskan agen yang ia maksudkan, Madame Martin bilang orang yang datang itu bukan agen asuransinya. Ia cuma menawarkan dan sulit sekali bagi Madame Martin untuk menyuruhnya pergi.

Wanita itu lupa nama perusahaan asuransi yang diwakili oleh salesman itu. 

“Pukul berapa Colette tidur?”

“Saya mematikan lampu kamarnya pukul 19.30, tetapi kadang-kadang ia masih ngomong sendiri sampai beberapa waktu.”

“Berarti agen itu datang lewat pukul 19.30?” tanya Maigret. Madame Martin tahu ia terjebak tapi tidak mundur.

“Ya, saat itu saya sedang mencuci piring,” katanya. “Saya tidak bisa menolak sebab orang itu sudah masuk.” 

“Apakah suami Anda mengasuransikan jiwanya?”

“Ya,” jawab wanita itu. 

Setelah itu barulah Maigret pamit untuk menanyai Mademoiselle Doncoeur. Ia berpesan kalau Paul Martin datang, harap ia diberi tahu.

 

Kenapa beli mentega lagi?

Apartemen Mademoiselle Doncoeur mirip kamar di asrama biarawati. Wanita itu mengaku sudah 25 tahun tinggal di apartemen yang sekarang. Ia tahu siapa yang tinggal di apartemen sebelahnya sebelum ditempati oleh Paul Martin.

Ia menjawab tidak pernah didatangi orang asuransi selama tiga tahun ini.

“Anda tidak suka pada Madame Martin?” tanya Maigret. Dengan malu-malu Mademoiselle Doncoeur akhirnya mengaku juga.

“Kalau saya mempunyai putra, saya tidak ingin bermenantukan Madame Martin. Apalagi Monsieur Martin sangat baik, sangat menyenangkan.”

“Madame Martin itu seperti bukan wanita,” katanya. “Betul ia merawat Colette dengan baik, tetapi tidak pernah berkata yang manis-manis kepada anak itu.”

“Colette tidak suka kepadanya?” 

“Colette itu penurut. Ia mencoba bertindak sesuai yang diharapkan darinya.”

Mademoiselle Doncoeur tidak kenal dengan ayah Colette, tetapi pernah bertemu di tangga dengannya. Tampaknya ia malu bertemu orang. Wanita itu yakin bukan Paul Martin yang datang semalam, kecuali kalau ia dalam keadaan sangat mabuk. Soalnya, orang seperti Paul Martin tidak cocok bertindak seperti semalam. Setelah selesai menanyai Maemoiselle Doncoeur, Maigret pulang.

Madame Maigret, yang tidak mempunyai anak, tampaknya sependapat dengan Mademoiselle Doncoeur tentang Madame Martin, walaupun Maigret tidak berkata sepatah kata pun tentang pertemuan-pertemuan di seberang.

Sementara itu Maigret mendapat keterangan baru: Penjaga pintu yang tadinya yakin bahwa semalam tak seorang pun datang tanpa ia tahu kini merasa ragu-ragu. Soalnya, ia menjamu beberapa tamu sampai lewat tengah malam. Selain itu, setelah tidur ia tidak tahu lagi siapa yang datang dan pergi.

Maigret yakin, kalau Madame Martin merupakan orang pertama yang mendengar kedatangan Bapak Natal dari Colette, ia akan menyuruh Colette untuk tutup mulut. Tapi karena Mademoiselle Doncoeur juga hadir dan mendesaknya melapor kepada Maigret, ia terpaksa menurutinya. Mengapa ia terburu-buru pergi dengan alasan harus berbelanja, padahal di rumah bahan makanan masih banyak? Kenapa ia membeli mentega, padahal masih ada 0,5 kg di lemari es?

 

Risau memikirkan anak-istri

Sementara itu Lucas memberi tahu, tidak seorang pun narapidana yang dibebaskan dalam empat bulan ini pernah tinggal di Boulevard Lenoir. Maigret minta keterangan itu sebab tadinya ia menduga ada penyewa apartemen yang menyembunyikan uang atau benda curian di bawah papan lantai sebelum ditangkap polisi. Setelah keluar dari penjara tentu orang itu akan berusaha mengambil barang yang disembunyikannya. Karena kamar itu ditempati siang-malam oleh Colette, ia masuk dengan menyamar sebagai Bapak Natal.

Namun, kalau benar demikian, rasanya Madame Martin tidak akan enggan melapor kepada Maigret. Ia juga tidak akan buru-buru meninggalkan apartemennya yang baru dimasuki orang.

Lucas juga melaporkan bahwa Paul Martin sudah ditemukan. Gerak-geriknya diketahui dengan jelas. Mula-mula ia antre makan malam di tempat amal, lalu pergi ke Latin Quarter untuk membuka dan menutupkan pintu mobil para pengunjung kelab malam. Setelah itu ia menenggak minuman keras sebanyak-banyaknya sampai mabuk dan tak sadarkan diri. Pukul 04.00 ia ditemukan di Place Maubert lalu dibawa ke tempat penampungan. Ia baru bangun pukul 11.00.

Jean Martin di Bergerac pun diketahui gerak-geriknya. Ia dalam perjalanan pulang ke Paris karena merasa tidak tenang setelah menerima telepon tadi pagi. Semalam, ketika sedang di kamar makan, ada seorang pria menelepon menanyakan Martin. Sebelum Martin sempat menerimanya, hubungan telepon diputuskan. Panggilan telepon itu mengkhawatirkan Martin sehingga dalam perjamuan dengan teman-temannya ia risau terus akan keadaan anak-istrinya.

 

Penelepon yang mencurigakan

Maigret meminta Lucas mencari alamat manajer arloji Zenith di Avenue de l’Opera. Sementara menunggu, ia mendengarkan obrolan istrinya. Tampaknya istrinya prihatin betul dengan keadaan Colette. 

“Saya tidak suka wanita itu,” kata Madame Maigret tentang Madame Martin. “Saya pernah beberapa kali bertemu dia di toko. Dia jenis orang yang sangat curiga. Timbangan diawasi dengan saksama. Uang dihitung keping demi keping, seakan-akan takut ditipu.”

Ketika itu telepon berdering. Lucas memberi alamat Monsieur Arthur Godefroy, general manager arloji Zenith di Prancis. Maigret berpesan kepada Lucas agar mencari keterangan mendetail tentang lenyapnya Lorilleux lima tahun yang lalu ke kantor polisi Palais Royal. Setelah itu Maigret menelepon Godefroy. Kata Godefroy, reputasi Jean Martin tiada cela. Minggu depan ia akan diangkat menjadi asisten manajer. Kemarin pagi seseorang menelepon Godefroy, menanyakan alamat Jean Martin, karena katanya ada urusan penting. Godefroy lupa nama pria itu. la menganjurkan si penanya untuk menghubungi Martin di Bergerac.

Mungkin si penanya itulah yang menelepon Martin pada malam Natal untuk memastikan bahwa Martin ada di Bergerac, bukan di rumahnya, pikir Maigret. Apakah dia yang semalam muncul sebagai Bapak Natal di kamar Colette?

Colette sudah dua bulan berada di kamarnya. Sebetulnya dua minggu yang lalu ia harus sudah bisa berjalan, tetapi ada komplikasi. Dalam beberapa hari lagi mungkin ia sudah bisa keluar dengan Madame Martin. Artinya kamarnya bisa dimasuki orang dengan lebih leluasa. Mengapa orang yang semalam masuk ke kamarnya itu tidak bisa menunggu?

 

Kolektor gambar porno

Maigret buru-buru menelepon Lucas lagi. “Cari supir taksi yang mengangkut seorang wanita berumur awal 30-an, pirang, langsing tapi kekar antara pukul 09.00 - 10.00 sekitar Boulevard Richard Lenoir. Wanita itu memakai rok setelan kelabu dan topi kelabu kecokelatan. Ia membawa tas belanjaan cokelat. Tanya ke mana ia pergi. Tidak banyak taksi tadi pagi jadi tidak akan sukar dicari.”

Tidak lama setelah itu seorang anak buah Maigret, Torrence, datang membawa Paul Martin yang menunduk saja. Ia habis menangis sebab khawatir terjadi sesuatu pada Colette.

Maigret menanyakan latar belakang pertemuan Jean dengan Loraine. Kata Paul, Jean bertemu dengan Loraine di sebuah restoran kecil dekat tempat kerja Loraine. Mereka tak lama berkenalan lalu kawin.

“Jean jujur sekali. Tidak mungkin ia menaruh benda berharga di bawah papan lantai tanpa istrinya tahu. Kalau ia pulang dari tugas ke luar kota pun, istrinya tahu pengeluarannya sampai ke sen-sennya.”

“Apakah istrinya pencemburu?” tanya Maigret. Paul enggan menjawab. “Harap Anda katakan terus terang apa yang Anda tahu. Ingat bahwa putri Anda terlibat,” kata Maigret. Paul buka mulut juga. Katanya, Loraine tidak cemburu pada wanita, tetapi cemburu soal uang. Almarhum istri Paul tidak cocok dengan Loraine, karena menurut istri Paul, Loraine itu dingin dan tertutup. Ia curiga Loraine menikah dengan Jean hanya karena Jean punya pekerjaan yang baik, rumah dan perabotan.

Paul tidak mau menjawab ketika ditanyai apakah menurut pendapatnya Loraine itu dulu kekasih Lorilleux, tetapi ia mau memberi tahu alamat dan nama keluarga Loraine sebelum menikah.

Setelah itu Maigret mempersilakan Paul ke seberang menemani anaknya sampai Maigret mengizinkan ia meninggalkan apartemen Jean Martin.

Maigret menelepon Lucas lagi, untuk menyuruhnya pergi ke bekas pondokan Loraine Boitel. Lucas harus mengorek keterangan tentang wanita itu. Apakah ia kekasih Lorilleux?

Pada kesempatan itu Lucas memberi keterangan yang diketahuinya tenang Lorilleux. Katanya, penjual perhiasan itu memiliki koleksi buku dan gambar porno di tokonya, juga sebuah dipan besar yang ditutupi sutra merah di kamar belakang. Pelanggannya banyak orang terkenal. Tempat maksiat terselubung memang bukan barang langka di daerah ini. Tapi di rumahnya Lorilleux itu bertindak sebagai orang baik-baik.

Lucas menyampaikan pula bahwa Lorilleux diketahui sering bolak-balik ke Swiss pada saat banyak terjadi penyelundupan emas. Beberapa kali ia digeledah di perjalanan, tapi tidak dijumpai bukti-bukti bahwa ia menyelundupkan benda berharga itu.

Menjelang sore, Lucas kembali dari bekas pondokan Madame Martin di Rue Pernelle. Katanya, bekas induk semang Madame Martin tak bisa ditemui sebab sudah tewas tergilas trem dua tahun yang lalu. Rumahnya kini didiami oleh seorang bekas centeng yang pernah berurusan dengan polisi, sehingga tidak sulit untuk membuka mulutnya. 

Kata bekas centeng itu, Loraine tinggal tiga tahun di sana. Ia tidak menyukai wanita itu sebab pelitnya minta ampun. Ia masak di kamar padahal melanggar aturan. Centeng mengenali foto Lorilleux yang dibawa oleh Lucas. Katanya, pria itu datang ke kamar Loraine dua tiga kali sebulan sambil membawa-bawa tas. Ia selalu muncul sekitar pukul 01.00 dan pergi lagi sebelum pukul 06.00.

 

Semua mengenalinya 

Menjelang pukul 17.00 Torrence menelepon. Katanya, ia bisa menemukan pengemudi taksi yang membawa wanita seperti yang digambarkan oleh Maigret, dari pertemuan Boulevard Richard Lenoir dengan Boulevard Voltaire tadi pagi. Wanita itu diantar ke sebuah toko tas yang buka terus pada hari Minggu maupun hari raya di Rue de Maubeuge. Maigret minta supir taksi itu dikirim ke apartemen Madame Martin untuk mengenali lalu melapor ke apartemennya. 

Sementara menunggu, Maigret menelepon toko tas. Ternyata wanita yang dimaksud membeli kopor murah yang dibawanya ke bar di sebelah. Dari sana wanita itu menyeberang ke sambil menjinjing kopornya.

Maigret meminta pemilik toko tas untuk pergi ke apartemen Madame Martin. Ia hanya perlu menekan bel. Kalau wanita yang membukakan pintu benar wanita yang tadi pagi membeli tas, ia harus pura-pura menyatakan salah alamat. Kalau orang lain yang membukakan pintu, ia mesti menanyakan Madame Martin. Setelah itu ia harus menyeberang untuk melapor pada Maigret. Maigret akan mengganti semua ongkos. 

“Baik, Inspektur,” kata orang itu.

Torrence sementara itu sudah menemukan supir taksi lain yang membawa wanita seperti yang digambarkan dari stasiun. Wanita itu tidak pergi ke Boulevard Richard Lenoir, tapi ke pertemuan Boulevard Beaumarchais dengan Rue du Chemin Vert. Maigret meminta supir itu dikirim kepadanya. 

Sementara itu ia meminta Torrence pergi ke stasiun untuk mengecek betulkah di situ ada tas seperti yang dibeli dari toko tas di Rue de Maubeuge. Torrence tidak bisa menggeledahnya tanpa surat resmi, jadi cukup ia mencatat nomor karcis penitipan. Ia mesti mencari penjaga yang pagi menerima tas itu dan membawanya ke apartemen Madame Martin.

Kemudian bel pintu berbunyi. Ada dua orang pria di sana. Yang seorang supir taksi dan yang seorang lagi penjual kopor. Mereka berdua baru saja pergi ke apartemen Madame Martin. Betul, itulah wanita yang bertemu mereka tadi pagi.

Pukul 07.30 supir taksi yang seorang lagi melapor. “Cakepan pakai baju tidur daripada pakai setelan kelabu,” katanya dengan mata nakal.

Setelah itu Maigret mengajak Lucas ke apartemen Madame Martin. Ia menugasi Lucas segera pergi menjaga Colette. Ia akan menangani Madame Martin.

Petugas tempat penitipan barang di stasiun datang bersama Torrence. Ia juga mengenali Madame Martin. Katanya, wanita itu memasukkan resi penitipan ke tas belanjaan berwarna cokelat. “Itu tasnya!” katanya, ketika diajak ke dapur Madame Martin. Tapi di tas itu resi tidak ditemukan.

 

Gepokan uang

Namun, Madame Martin menyangkal keras pernah melihat keempat orang itu. Ia mengaku bahwa Lorilleux memang kadang-kadang datang, tapi katanya untuk urusan bisnis.

“Bisnis pukul 01.00?” 

“Ia biasa tiba dari Swiss dengan kereta malam dan takut dirampok di jalan karena membawa-bawa banyak uang. Jadi ia menunggu pagi di rumah saya.”

“Ia membawa banyak uang waktu melenyapkan diri?” 

“Tidak tahu. Ia ‘kan tidak mempercayakan semua rahasianya kepada saya,” kata Madame Martin yang merokok terus-menerus. Ketika hari semakin malam, ia sering menoleh ke lonceng. Suaminya akan tiba dengan kereta malam.

“Orang yang datang semalam tidak menemukan apa-apa di bawah papan lantai, karena Anda sudah memindahkan barang yang disembunyikan di situ,” kata Maigret.

“Saya sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal itu,” jawab Madame Martin. Maigret tidak peduli pada sanggahan itu.

“Ketika tahu ia datang, Anda memutuskan untuk memindahkan benda berharga itu ke tempat penitipan barang di stasiun.”

“Saya sama sekali tidak pernah berada dekat stasiun. Di Paris ‘kan ada ribuan wanita pirang yang mirip dengan saya.”

Maigret memerintahkan Madame Martin menulis nama dan alamatnya pada sehelai kertas. Wanita itu tidak bisa menolak. Kertas itu diserahkan oleh Maigret kepada Lucas. 

“Minta kantor pos mengakurkan tulisan ini dengan tulisan pada sampul semua surat yang dialamatkan ke daerah ini, yang akan tiba malam ini. Saya bertaruh akan menemukan sebuah yang tulisannya sama dengan yang di kertas ini. Mungkin dialamatkan kepada Madame Martin. Di dalamnya ada resi.”

Untuk pertama kalinya Madame Martin kelihatan gugup, tapi ia belum menyerah.

“Anda akan menceritakan kepada suami saya tentang kunjungan Monsieur Lorilleux ke pondokan saya?”

“Kalau perlu.” 

“Anda manusia kurang ajar. Jean tak tahu-menahu soal ini.” 

“Tapi sial baginya, ia suami Anda.”

Kemudian Lucas muncul kembali. “Janvier akan mengurus surat itu, Pak. Saya bertemu Torrence di bawah. Katanya, pria itu ada di bawah, di bar yang letaknya dua rumah dari tempat Anda.”

Madame Martin melompat. “Pria mana?” tanyanya.

“Pria yang datang ke sini semalam. Anda pasti tahu ia akan datang kembali, sebab semalam ia tidak berhasil memperoleh yang dicarinya. Mungkin ia lebih nekat sekarang.”

“Anda tahu siapa dia?” 

“Saya bisa menebak. Ia Lorilleux. la ingin meminta kembali miliknya.” 

“Bukan miliknya!” 

“Pokoknya, ia menganggap itu miliknya. Tiga kali ia datang tanpa hasil. Kini ia akan datang lagi dan akan heran karena Anda ditemani banyak orang di sini. Ia akan lebih bersedia berbicara daripada Anda. Menurut Anda, ia datang membawa senjata atau tidak?”

“Tidak tahu!” 

“Rasanya ia bersenjata. Ia sudah bosan menunggu. Entah apa yang Anda katakan kepadanya, tetapi ia sudah tidak percaya lagi. Wajahnya sudah nekat.”

“Diam!” 

“Anda ingin kami pergi supaya bisa berdua saja dengannya?” tanya Maigret. Ketika itu pukul 22.38 dan Madame Martin pun terpaksa buka mulut karena khawatir dibunuh Lorilleux. Ia mau menjawab pertanyaan Maigret. Katanya, benda berharga yang tadinya tersembunyi di bawah papan dan kemudian dititipkan ke tempat penitipan barang di stasiun itu adalah gepokan uang kira-kira 1 juta frank. Uang itu bukan milik Lorilleux melainkan kepunyaan Julian Boissy yang dibunuh Lorilleux.

Lorilleux membunuh orang itu demi uangnya karena Madame Martin yang waktu itu sudah menikah dengan Jean bilang, ia mau kabur dengan Lorilleux kalau Lorilleux bisa menyediakan cukup uang kontan. Ia ingin kaya. Ia bosan hidup miskin dan dikelilingi orang-orang yang harus menghemat sesen demi sesen untuk bisa menyambung hidup.

Sebetulnya ia tidak mencintai Lorilleux seperti halnya ia tidak mencintai Jean. Ia bersedia kabur dan hidup bersama Lorilleux hanyalah untuk sementara, yaitu sampai ia bisa mendapat uang banyak.

 

Ditakut-takuti

Bagaimana caranya Boissy dibunuh? Boissy, duda kaya yang pelit itu, tinggal dalam kamar sewaan. Ia sering datang ke tempat Lorilleux karena Lorilleux menyediakan sarana untuk memuaskan gairah seksualnya yang tidak normal. Devaluasi frank menyebabkan Boissy ingin menukarkan uangnya dengan emas.

Monsieur Lorilleux yang biasa menyelundupkan emas dari Swiss bersedia membelikannya emas, tetapi Boissy diminta membayar lebih dulu.

Suatu hari Boissy datang membawa uang. Madame Martin disuruh pergi dari toko. Ketika ia kembali, dilihatnya Lorilleux sedang memasukkan mayat Boissy ke kotak besar. Menurut Madame Martin, ia tidak memeras majikannya, ia cuma menakut-nakuti. la bilang para tetangga curiga, jadi sebaiknya Lorilleux menitipkan uang Boissy kepadanya untuk disembunyikan di bawah papan lantai rumahnya. Hal itu bisa leluasa dikerjakan karena suaminya sering bertugas ke luar kota. Janjinya uang itu cuma dititipkan beberapa hari. Tapi ketika dua hari kemudian Madame Martin diajak kabur ke Belgia oleh Lorilleux, ia menolak. Ia menakut-nakuti lagi Lorilleux. Katanya, seseorang yang mirip inspektur polisi menanyai dia. Lorilleux ketakutan. Madame Martin memberinya sebagian dari uang Boissy supaya Lorilleux bisa kabur ke Brussel. Ia berjanji akan menyusul beberapa hari kemudian. Janji itu palsu.

“Dikemanakan jenazah Boissy?” tanya Maigret.

Lorilleux membawanya dengan taksi ke rumah peristirahatannya di tepi Sungai Marne. Mayat itu entah dikuburkan di sana, entah dibuang ke sungai, tetapi tidak pernah ada orang yang merasa kehilangan Boissy.

Selama lima tahun, Madame Martin selalu menakut-nakuti Lorilleux lewat surat. Katanya, polisi masih selalu datang menanyai Lorilleux kepadanya. Suatu kali bahkan Lorilleux sampai pergi ke Amerika Selatan saking takutnya. Karena jarang dikirimi uang, Lorilleux jadi nekat dan datang dua kali. Madame Martin memakai Colette sebagai alasan untuk tidak bisa mengambil uang, sementara ia berusaha mengenyahkan Lorilleux lagi.

“Suami Anda akan tiba di sini sepuluh menit lagi,” kata Maigret. “Saya rasa Lorilleux juga tahu, sebab ia sudah menghubungi Bergerac dengan telepon dan bisa membaca daftar kedatangan kereta. Anda ingin menunggu dua pria itu di sini?”

“Bawa saya pergi! Saya berpakaian dulu ....” 

“Di mana resi Anda?” 

“Di kantor pos Boulevard Beaumarchais.” 

“Suami Anda dan Colette? Mereka ditinggal saja?” 

“Biar saja.”

Madame Martin menggelayut ketakutan kepada Maigret dan Lucas ketika mereka menuruni tangga. Maigret kemudian bilang bahwa ia tidak akan ikut mengantar. 

Ketika melihat tidak ada mobil polisi di jalanan, Madame Martin berhenti. Ia takut berjalan kaki hanya dengan dilindungi Lucas seorang. 

“Jangan takut. Rorilleux tidak ada di sini, kok.”

Madame Martin pun mengamuk karena tadinya dikibuli.

Maigret menunggu kedatangan Jean Martin. Dua jam lamanya mereka berbicara. Ketika ia tiba di apartemennya di seberang pukul 01.30, didapatinya istrinya tertidur di kursi.

(Georges Simenon)

Baca Juga: Seorang Korbannya Maharaja dari India

 

" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726829/tamu-di-malam-buta" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680784229000) } } [1]=> object(stdClass)#69 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726517" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#70 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/27/intisari-plus-235-1983-40-ia-ter-20230327113449.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#71 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Bau busuk luar biasa tiba-tiba menyeruak dari apartemen seorang pensiunan yang hidup sendiri. Saksi mata melihatnya terakhir kali berbelanja." ["section"]=> object(stdClass)#72 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/27/intisari-plus-235-1983-40-ia-ter-20230327113449.jpg" ["title"]=> string(32) "Ia Terakhir Kelihatan Berbelanja" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-27 11:35:02" ["content"]=> string(34177) "

Intisari Plus - Bau busuk luar biasa tiba-tiba menyeruak dari apartemen Helmer, seorang pensiunan yang hidup sendiri. Saksi mata melihatnya terakhir kali ketika ia keluar berbelanja.

---------

Alexander Helmer, seorang pensiunan, hidup sendirian di apartemennya di Melrose, Bronx, New York. Kerjanya sehari-hari hanya menonton orang lewat dari jendela apartemennya di lantai tiga. Kalau tiba saat makan, ia makan sendirian di dapur, ditemani surat kabar.

Sebagai orang tua, kebutuhan Helmer akan makanan tidak seberapa. Tetapi setiap hari ia selalu berjalan jauh ke Supermarket A & P, yang letaknya sembilan blok dari apartemennya. Ia segan berbelanja di bodega milik orang Puerto Rico dan di toko-toko milik orang Italia di dekat apartemennya, karena suram dan lebih mahal beberapa sen. Helmer ini pelit. Celananya ia pakai sampai bagian paha dan bagian pantatnya sudah tipis berkilat.

Sebetulnya selisih harga beberapa sen tidak sesuai dengan pengorbanannya untuk berjalan begitu jauh. Tetapi Helmer senang pergi ke A & P yang besar, terang dan penuh orang. Di sana dan dalam perjalanan, ia bisa mengangguk pada orang-orang yang sering dijumpainya. Ia juga bisa bercakap-cakap dengan manajer supermarket. Pokoknya, pergi dan pulang dari supermarket itu merupakan puncak kegiatannya setiap hari. Belanjaannya hanya berupa seliter susu, satu roti tawar dan barang-barang kecil.

 

Sering membual

Tanggal 9 Oktober 1964, menjelang siang, ia pergi ke A & P. Hari Jumat itu matahari bersinar dan udara sejuk. Pria berumur 72 tahun itu memakai beberapa lapis pakaian, mengenakan alat bantu dengarnya dan pergi ke luar.

Sejak saudara perempuannya meninggal sepuluh tahun yang lalu, ia benar-benar sendirian dan hampir tidak pernah dikunjungi orang. Kalau kebetulan bertemu dengan pemilik bangunan itu, ia juga tidak menegur atau pun mengangguk. Empat tetangganya yang apartemennya di lantai tiga juga hampir tidak peduli padanya. Pernah ia masuk rumah sakit selama dua minggu dan tidak seorang pun dari mereka menyadari ketidakhadirannya.

Lewat dari 399 East 160th Street, ia tampak “hidup” dan bercakap-cakap dengan beberapa kenalan yang tua pula, di sebuah taman. Mereka itu pemilik toko dan manajer sebuah pompa bensin. Kadang-kadang ia juga melewatkan sebagian waktunya di situ.

Kepada orang-orang dan beberapa tetangga yang tidak dikenalnya dengan baik, ia sering membual dengan memberi tahu bahwa keuangannya mantap. Ia tidak mempunyai ahli waris dan bisa saja lawan bicaranya itu ia jadikan ahli waris dalam surat wasiatnya. Ia mempergunakan cara yang sama untuk memelihara hubungan perkenalannya dengan dua orang janda yang sudah sepuluh tahun tidak pernah bertemu dengannya. Dengan keduanya, ia berkirim-kiriman kartu Natal. Bersama kartu Natal itu, dikirimkannya juga kartu nama pengacaranya dengan pesan: Simpan kartu ini, saya akan mengingatmu dalam surat wasiat saya.

Helmer memang berhasil mengumpulkan uang sampai $ 22.000, yang ditanamkannya dalam saham-saham. Tetapi pada saat ini, ia tidak bermaksud mengeluarkan uang dalam jumlah cukup besar untuk siapa pun juga, termasuk untuk kakaknya, George, yang dirawat di rumah jompo. Ketika manajer rumah jompo itu meminta Helmer menyumbang untuk kakaknya yang sudah pikun dan yang keuangannya sudah surut, Helmer menolak dan buru-buru kabur dari rumah perawatan tersebut. Ia tidak pernah kembali ke sana.

Tetapi anehnya, ia kadang-kadang membawa uang beberapa ratus dolar di sakunya, sedangkan beberapa ratus lagi ditaruhnya di apartemennya, walaupun tidak dipergunakan.

Tengah hari, di A & P, Helmer memasukkan barang-barang yang dibutuhkannya ke kereta dorong dan kasir menghitung, berapa yang mesti dibayarnya untuk seliter susu, setengah liter es krim, beberapa tomat dan apel, sebuah roti tawar, setengah lusin telur dan beberapa benda kecil lain. Setelah membayar empat dolar dua puluh sen, Helmer membawa belanjaannya ke luar. Ia berjalan dengan santai di Melrose Avenue. Jalan itu cukup besar dan ramai. Bus lewat dari dua jurusan. Mobil-mobil lalu lalang dan sepanjang hari banyak orang berjalan di trotoar. Pemandangan ini menyenangkan untuk pria yang sepanjang hari tinggal di apartemen saja.

Di tepi jalan berderet bangunan-bangunan apartemen murah, yang terdiri atas dua sampai enam tingkat. Bagian bawah biasanya berupa toko kecil. Tidak ada tempat luang untuk pepohonan atau pun tanaman di muka gedung. Selain bangunan apartemen, di situ juga ada bank, bioskop dan bahkan pabrik kecil.

 

Tidak takut ditodong

Alexander Helmer tidak peduli pada pemuda-pemuda yang berkumpul di sudut-sudut jalan. Ia juga tidak takut ditodong dan dianiaya, walaupun dalam sakunya ia membawa 189 dolar. Di masa mudanya, ketika ia masih bekerja sebagai pengantar susu, ia pernah ditodong dua kali, tetapi tidak dianiaya.

Bahkan Helmer tidak curiga pada sekelompok pemuda yang luntang-lantung di muka toko Vega-Baja Self Service, yang letaknya tepat di muka gedung tempat apartemen Helmer berada. Mereka cuma berbisik-bisik sebentar dan pura-pura tidak peduli ketika Helmer mendekat. Orang tua ini mendorong pintu kaca berjeruji besi, yang merupakan pintu masuk gedung tempat apartemennya berada. Lalu ia menaiki tangga, mengeluarkan serenceng kunci untuk membuka sebuah pintu kayu, masuk melalui pintu itu, lalu membiarkannya tertutup sendiri.

Pintu kayu itu tidak selalu terkunci. Gedung itu bertingkat enam, di tengahnya ada tangga untuk mencapai tingkat-tingkat atas. Setiap tingkat terdiri atas lima apartemen. Bangunan ini dimiliki dan dikelola selama 40 tahun oleh Ny. Anna Ambos, janda seorang dokter. Wanita ini sudah berumur 72 tahun dan tidak puas dengan kejorokan serta ketidakamanan di daerah tempat tinggalnya, yang dahulu bersih dan aman. Untuk pengaman, ia memasang tiga gembok ekstra di pintu muka dan lubang untuk mengintip.

Dulu, di lantai bawah ada switchboard dan telepon. Kini cuma ada dua jajar tombol dan sebuah bel di pintu kayu.

Siang itu, ketika Helmer menghilang di belakang pintu kayu, pemuda-pemuda di seberang rumahnya berbisik cepat-cepat dan seorang di antaranya tiba-tiba lari menyeberang. Ketika ia mendorong pintu kayu dan pintu itu terbuka, ia memberi tanda kepada teman-temannya yang segera menyerbu masuk. Mereka menaiki tangga yang tadi dinaiki Helmer. Tidak seorang penghuni rumah pun yang melihat mereka masuk. Helmer sudah menaiki dua undak tangga dan kini berada di muka pintu apartemennya, No. 2-B. la membuka pintu dengan tangan kanan dan memeluk tas belanjaannya dengan tangan kiri. Ketika pintu terbuka, dicabutnya rencengan kunci dan dimasukkannya ke dalam sakunya. Begitu ia masuk, sejumlah pemuda tiba di sebelah kiri dan belakangnya. Tiba-tiba saja ia terjerembab ke dalam dan terdorong beberapa langkah ke pintu dapur di sebelah kanannya.

Dengan kaget dan takut, ia melihat dua pemuda di depannya dan pemuda ketiga di muka pintu. Yang dua orang mengambil tas belanjaan dari tangan Helmer yang tidak berdaya, untuk ditaruh di lantai di luar dapur. Yang ketiga masuk ke dapur. Helmer dengan panik berbalik dan berteriak serak. Ia mencoba menjambak pemuda itu dengan tangannya yang tua. Orang yang tadi mengambil belanjaannya, menangkap lengan Helmer dan orang tua ini berteriak lebih keras lagi. Tiba-tiba saja pemuda di depannya menghunus pisau dan menikam Helmer dengan kuat berkali-kali. Setiap kali mata pisaunya tenggelam dalam tubuh Helmer dan kalau ditarik ke luar warnanya merah darah.

Tiba-tiba saja Helmer berhenti berteriak. Tubuhnya lunglai. Pria yang memeganginya kini melepaskan Helmer, sehingga Helmer jatuh dengan wajah menimpa ubin dapur. Topi cokelatnya melayang jauh. Alat bantu dengarnya juga copot dan jatuh dekat muka Helmer, tetapi kawatnya yang halus masih menyangkut.

Helmer terbujur tanpa bergerak. Darah hangat membasahi pakaian yang ditindihnya dan mengalir ke lantai. Ia tidak mendengar para penyerangnya bergerak sekelilingnya menggeratak dapur, laci, dan peti. Ia tidak mendengar apa yang mereka katakan dan juga suara pintu dibanting ketika mereka meninggalkannya. Mereka menuruni tangga, berpencar dan keluar mengambil dua jurusan yang berlawanan, tanpa dicurigai siapa pun juga. Wajah mereka memudar dari otak Helmer yang perlahan-lahan mendingin dan berhenti bekerja.

 

Banyak lalat

Sembilan hari kemudian, pada hari Minggu pagi, tanggal 18 Oktober 1964, seorang saksi Jehovah masuk ke gedung di 399 East 160th Street. Ia memijat bel pada pintu bertuliskan 1-B. Begitu Ny. Smith membuka pintu, ia segera saja berbicara mengenai “kebenaran Tuhan” dengan cepat, karena memang sudah hafal. Kemudian ia menawarkan sebuah majalah The Watchtower, publikasi resmi sekte agama itu. 

Ny. Smith, yang tidak mau repot-repot melayani orang itu, mencari-cari uang kecil dari dompetnya. Ketika itulah pria itu berbisik, “Kalau dinilai dari baunya, di lantai tiga mestinya ada mayat.” 

Ny. Smith cuma mengira membaui makanan basi, ketika ia naik ke tingkat itu. Tetapi ia hampir muntah ketika sampai di atas, karena sangat bau. Ia cepat-cepat lari ke lantai bawah untuk memberi tahu Ny. Ambos.

Dengan berkeluh kesah dan bersusah payah, Ny. Ambos naik dibuntuti Ny. Smith. Di lantai tiga, ia mengendus-endus pada setiap pintu masuk apartemennya. Tiba-tiba ia berlari ke pintu bertuliskan A-2 dan meminta penghuninya, seorang wanita Italia setengah baya bernama Ena Varela, untuk menelepon polisi. 

“Cepat!” pinta Ny. Ambos. “Di gang sangat bau, seperti bau bangkai manusia. Rasanya dari pintu Helmer.”

15 menit kemudian, mobil polisi berhenti di muka gedung. Dua polisi muda disambut oleh Ny. Ambos yang tampak senewen. Walaupun sangat bau, tapi polisi-polisi itu bersikap tenang dan profesional ketika membuka pintu apartemen Helmer yang terkunci. Ny. Ambos tidak mempunyai duplikatnya. Tetapi ia memberi tahu polisi, bahwa mereka bisa masuk ke apartemen Helmer lewat sebuah jendela kamar, yang bisa dicapai dari apartemen A-2.

Polisi bisa mencapai jendela itu, tetapi terpaksa tidak jadi masuk karena bau busuknya bukan main, sementara gerombolan lalat tampak seperti awan tebal. Mereka kembali ke mobil, meminta pertolongan bagian darurat lewat radio.

 

Menurut polisi: mati wajar 

Dua petugas bagian darurat datang. Mereka masuk melalui jendela setelah memakai kedok gas. Mereka sudah terbiasa melihat hal-hal yang ngeri. Tetapi melihat tubuh Helmer yang gembung membusuk dan sebagian habis dimakani belatung, mereka tergugah juga. Dengan pertolongan gunting, mereka memotong saku belakang celana sebelah kanan pada mayat dan menemukan 189 dolar 80 sen. Mereka juga menemukan rencengan kunci, terdiri atas empat buah pada kantung lain. Sementara itu mereka tidak henti-hentinya diganggu lalat dan seperti akan tercekik karena pengap.

Mereka memeriksa ruangan-ruangan lain dan tidak menemukan barang berharga. Ada tiga buku bank yang seluruhnya mencatat jumlah uang $ 650 kurang sedikit.

Mereka tidak bisa mengetahui apakah Helmer mengalami kekerasan atau tidak. Mereka juga tidak mungkin membalikkan mayat itu. Jadi diduga Helmer seperti banyak penghuni kota besar lain - meninggal karena serangan jantung tanpa ketahuan.

Detektif Stephen McCabe datang ke apartemen itu pukul tiga siang. la diperbolehkan masuk oleh polisi penjaga yang merasa sial sekali, karena kebagian menjaga di tempat bau itu. McCabe menutup hidung dan mulutnya rapat-rapat dengan saputangan. la disambut serbuan lalat dan hampir saja terpeleset oleh darah dan belatung yang terinjak sepatunya. Tetapi ia memaksakan dirinya memeriksa tubuh Helmer. 

Ketika ia keluar, wajahnya pucat dan keningnya penuh keringat. McCabe menyalakan cerutu dengan harapan bisa mengusir bau busuk dan lalat, lalu kembali lagi ke dalam. Sesudah keluar masuk tiga kali (kalau dijumlahkan, ia berada di dalam tidak lebih dari sepuluh menit), ia merasa sudah cukup melihat yang perlu dilihatnya. Di kantor polisi, ia mengetik, memberi laporan pendek. Katanya, tampaknya kematian itu wajar.

 

Sudah acak-acakan

Kini tibalah giliran pemeriksaan kedokteran pada mayat. Keesokan harinya, pukul 10.30, Detektif Salvatore Russo dari bagian pembunuhan di Bronx, menerima telepon dari kenalan lamanya, dr. Charles Hochman, wakil kepala pemeriksa kedokteran di Bronx, yang sudah berpengalaman 35 tahun dalam bidang ilmu forensik. Ia meminta Russo datang ke tempat kerjanya. Di sana, Hochman menunjukkan lima bekas tusukan pisau pada tubuh Alexander Helmer, yang kini sudah dibuka pakaiannya. Tusukan pada bagian kiri tubuh itu ada yang terjadi di bagian jantung, ada pula di bagian atas lambung. Dari salah sebuah di antaranya menonjol usus.

Beberapa menit kemudian Detektif Stephen McCabe diberi tahu, bahwa mayat yang ditemukan kemarin adalah korban pembunuhan dan ia diminta datang ke kantor. Rasanya McCabe seperti ditinju. Ia malu, karena ia terlalu cepat memeriksa mayat sehingga “kecolongan”.

McCabe yang masih merasa malu karena kecerobohannya, memasuki lagi apartemen 2-B pada tanggal 19 Oktober pagi. Di lantai dapur, di atas genangan cairan coklat yang berbelatung, terdapat bubuk putih tebal, yaitu desinfektan yang disebarkan Ny. Ambos setelah mayat diangkat dan polisi pergi kemarin sore. Bubuk itu bukan hanya memudarkan bekas-bekas posisi tubuh, tetapi juga berarti sedikitnya satu orang sudah berada di apartemen itu tanpa pengawasan polisi. Jadi tidak ada jaminan keadaan di sana masih sama seperti ketika ditinggalkan oleh polisi.

McCabe yang berusaha menahan diri agar tidak muntah (karena bau bangkai hanya berkurang sedikit saja), juga mendapatkan tas belanjaan bukan lagi berada dekat pintu dapur, melainkan di ruang tengah. Petugas pengangkut mayat memindahkannya, supaya ada tempat lebih luas untuk mengeluarkan mayat dari dapur. Lebih gawat lagi: polisi-polisi yang memeriksa laci-laci dan sebagainya menyebabkan sidik jari pada pegangan laci dan Iain-lain jadi terhapus. Ketika itu juga Detektif Salvatore Russo datang. la merupakan penanggung jawab utama penyelidikan pembunuhan ini.

Apakah Helmer dibunuh karena sakit hati? Di lantai dapur ada permen karet yang masih terbungkus dan bungkusan permen karet di meja dapur milik Helmer. Apakah orang tua yang memakai gigi palsu itu makan permen karet? Ada tas belanjaan yang isinya sudah busuk. Rupanya orang tua ini tidak sempat membenahi belanjaannya. Apakah pembunuh menunggunya membuka pintu depan, lalu membuntutinya? Mengapa uang pada dompet di saku Helmer tidak diambil? Apakah pembunuh mencari barang yang lebih berharga di laci-laci, sehingga tubuh korban dibiarkan saja? Di dapur ada kotak logam kosong. Mungkin saja kotak uang Helmer. Tetapi di seluruh apartemen tidak ditemukan uang sesen pun.

 

Serba kurang cermat

Russo memberi tahu McCabe bahwa ia memerlukan juru foto dan orang-orang yang biasa mengambil sidik jari. McCabe menelepon ke kantor, lalu ia memeriksa isi kantong belanjaan Helmer. Isinya telur busuk, tomat yang berjamur, susu basi yang sudah keluar dari kantung kertasnya dan es krim yang sudah meleleh. Pokoknya, semua barang tidak berguna dan serba bau. Tetapi di atas barang-barang itu ditemukannya kertas bersih dari cash register A & P, bertanggal 9 Oktober. 

Pasti benda-benda semacam itu tidak akan dibiarkan sehari dua hari di luar lemari es. Jadi hampir bisa dipastikan, bahwa 9 Oktober merupakan tanggal terjadinya kejahatan. McCabe mengembalikan isi kantung ke tempat semula, tetapi kertas cash register yang dianggapnya berharga ini diselipkannya ke dompet.

Sekali lagi apartemen diperiksa dengan teliti. Juru potret sibuk dengan kamera dan blitz, petugas yang mengambil sidik jari membubuhkan bubuk pada pegangan pintu, laci dan sebagainya.

McCabe dan Russo memeriksa foto-foto, surat-surat, rekening-rekening dan kertas-kertas lain yang mungkin bisa memberi jalan untuk menangkap si pembunuh.

Petugas pengambil sidik jari cuma menemukan satu sidik jari yang dianggap berguna di atas pegangan pintu lemari es. Di bagian-bagian lain mereka cuma menemukan sidik-sidik buram yang tidak bisa dipakai dalam penyelidikan. Sayang petugas laboratorium polisi tidak mengambil darah kering dari pintu lemari es dan juru potret lupa memotret kantung belanjaan di dekat pintu. Jadi tidak ada bukti bahwa benda itu pernah ada dan di mana letaknya, kecuali dari keterangan para polisi.

McCabe juga mengambil permen karet dan bungkus kosongnya. Bersama dengan kertas dari cash register A & P, benda ini mestinya ia serahkan pada petugas khusus yang disebut Police Property Clerk. Tetapi McCabe lalai. Ia menyimpannya di lemari kantornya sendiri. Ini memberi peluang pada pembela kelak, untuk meragukan barang-barang bukti ini.

 

Ny. Ambos

Harta benda Helmer tidak menunjukkan siapa pembunuhnya. Polisi hanya bisa menemukan nama orang-orang yang bersurat-suratan dengannya, pengacaranya, toko yang mereparasi alat bantu dengar, rumah sakit tempat ia pernah dirawat dan hal-hal yang tidak bisa membantu polisi mengetahui identitas pembunuhnya.

Mereka mewawancarai tetangga-tetangga Helmer, tetapi tidak ada hasilnya. Mereka mewawancarai Ny. Ambos dan mengalami kesulitan. Bukan hanya wanita itu bercerita ngalor-ngidul, tetapi juga aksen Jermannya sulit diikuti dan keterangannya tidak tepat. Katanya, ia terakhir melihat Helmer satu setengah minggu yang lalu, pukul tujuh malam lewat sedikit. Ketika itu ia akan mengunci pintu depan gedung. Helmer masuk membawa kantung kecil. Sedangkan kantung yang ditemukan di apartemen Helmer berukuran sedang.

“Sekecil apa?” tanya polisi.

“Tidak besar, tidak kecil sekali, pokoknya kecil!” jawabnya sewot. “Helmer naik ke atas,” kata wanita tua itu. “Pemuda-pemuda Spanyol turun beberapa menit sebelum Helmer naik.”

“Pemuda Spanyol seperti apa?” 

“Dua pemuda yang kulitnya terang, yang menyatakan mencari sepupunya di atas. Mereka di atas cuma beberapa menit.”

“Mereka tidak kembali?” 

“Tidak. Saya sendiri yang mengunci pintu setelah Helmer naik dan saya naik ke tempat Ny. Varela. Saya melihat darah tercecer di lorong tingkat itu. Saya kira ada orang mendapat kecelakaan kecil. Jadi saya pinjam kain pel dari Ny. Varela untuk menyekanya.” Ny. Ambos tidak pernah melihat Helmer lagi.

“Tidak ada yang mengikuti Helmer ke atas dan tidak ada orang yang turun sebelum Anda naik ke tempat Ny. Varela?” 

“Pasti tidak.” 

“Hari apa itu?” 

“Kamis.” 

“Anda pasti bukan tanggal 9?” 

“Pasti.” Ny. Varela juga menguatkan bahwa hari itu pasti hari Kamis.

 

Mengajak polisi berdamai 

Pengacara Helmer dihubungi. la memberi tahu bahwa Helmer meninggalkan kira-kira $ 22.000 dalam bentuk saham. Sebagian besar diwariskannya pada Palang Merah. Sebagian kecil kepada seorang janda di Sheffield dan sebagian lagi untuk seorang janda tua. Kedua-duanya bebas dari kecurigaan dan kedua-duanya tidak mengira akan mendapat warisan.

Kakak Helmer, George, di rumah jompo juga tidak mungkin dicurigai. la sudah pikun.

Polisi juga mencari tahu, kalau-kalau ada orang sakit jiwa berasal dari Melrose yang baru dilepaskan dari rumah perawatan. Polisi mendatangi rumah-rumah sakit, untuk mengetahui kalau-kalau ada pasien yang minta dirawat karena luka bekas gigitan dan sebagainya. (Siapa tahu Helmer melawan.) Pemeriksaan laboratorium terhadap pakaian Helmer tidak menghasilkan apa-apa.

Polisi memperkirakan pembunuh Helmer seorang junkie dan mugger, yaitu seorang pecandu obat bius dan perampok yang biasa menganiaya korbannya, seperti yang banyak terdapat di daerah itu. Jadi polisi tidak mencari jauh-jauh.

Russo memberi tanda di peta-peta, kira-kira enam blok sekitar apartemen tempat tinggal Helmer. Ia memberi tahu McCabe bahwa mereka akan mencari pembunuh di antara kriminal dan punk yang tinggal di daerah itu. Mereka meminta bantuan polisi yang berpatroli di tempat-tempat itu, untuk mencarikan punk yang tadinya kesulitan uang, lalu tiba-tiba royal. Daftar nama orang-orang itu dikumpulkan, lalu seorang demi seorang ditanyai, antara lain di mana mereka berada pada tanggal 9 Oktober dan apa yang mereka lakukan. Setelah itu keterangan mereka diuji.

Walaupun sudah banyak orang Puerto Rico, Negro dan Italia yang diperiksa, tetapi hasilnya nihil. Suatu hari, tiba giliran Toro Ramirez. Itu bukan nama aslinya. Nama aslinya disembunyikan oleh polisi untuk alasan legal.

Toro yang berumur 20 tahun, tinggal kira-kira lima blok dari tempat Helmer dibunuh. la pernah empat kali ditahan dan saat ini sedang menjalani hukuman percobaan setelah merampok. la khawatir harus masuk penjara lagi. la mengajak polisi “berdamai” saja. Artinya ia akan memberi tips kepada polisi, tetapi polisi jangan menyusahkan dia.

 

Pecandu heroin

Entah apa yang dikatakan Toro kepada polisi. Mungkin ia berkata bahwa ia mendengar seseorang membual telah membunuh seorang tua. Mungkin juga ia menceritakan beberapa hal yang dilihatnya. Dari keterangannya, polisi mendapat sebuah nama yang tidak ada pada daftar, tetapi beberapa kali disebut dalam pemeriksaan orang-orang lain sebelum Toro.

Russo dan McCabe tidak mempunyai nama Doel Valencia dalam catatan mereka, karena ketika ia terakhir ditahan sudah dua tahun yang lalu. Ia terkenal sebagai pecandu obat bius dan maling. Di antara dua teman tetapnya, terdapat dua bersaudara Ortiz, yaitu Alfredo dan Carlos, yang tinggal di 406 East 160, yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal Helmer. Dari gedung itu, dengan mudah mereka bisa memandang ke jendela ruang duduk Helmer.

Nama kedua Ortiz bersaudara ada dalam daftar Russo tetapi mereka belum ditanyai. Dari catatan polisi diketahui, Carlos sudah sejak berumur 12 tahun menjadi langganan polisi, karena melakukan pelanggaran seks, obat bius dan mencuri. Alfredo, setelah merampok dijatuhi hukuman tiga tahun dengan masa percobaan, karena masih muda. Tetapi seminggu yang lalu ia dimasukkan ke penjara karena memiliki dan menjual heroin.

Russo dan McCabe saling berpandangan. Apakah sekali ini mereka memperoleh jejak yang berguna dalam pengusutan?

Polisi mulai menangani Doel Valencia malam itu juga. Valencia tidak mirip orang Puerto Rico. Tidak ada tanda-tanda Indian dan Negro pada penampilannya. Ia tidak berpendidikan, sehingga sulit baginya untuk mencari pekerjaan yang wajar. Pada umur 16 tahun ia sudah dijatuhi hukuman percobaan, karena mencuri bahan bangunan dari pekarangan sekolah. Pada umur 17 tahun ia sudah mempergunakan obat bius dengan teratur dan umur 18 tahun ia sudah mempunyai teman hidup yang memberinya seorang anak. Teman hidupnya itu tinggal di rumah ibunya sendiri.

Kebutuhan Valencia akan heroin ialah dua sampai tiga kantung sehari. Itu berarti 40-100 dolar seminggu, padahal sebagai tukang pak, gajinya cuma 60 dolar seminggu. Itu pun kalau ia bekerja penuh dan ini jarang terjadi karena ia kecanduan obat bius.

Ia tinggal di rumah kakaknya, Idalia, yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit. Ia diberi tahu, bahwa ia dibawa ke kantor polisi karena peristiwa perampokan bersenjata.

 

Ortiz bersaudara 

McCabe mencatat tanya jawab yang terjadi. Menurut Valencia, tanggal 9 Oktober ia pulang ke rumah pukul 07.00 malam, makan, mengunjungi “istrinya”, berjalan-jalan dan pergi ke Brook Avenue pukul 9,30 malam. Ia pulang pukul 11.30 malam. Ia menyangkal berada dekat-dekat 399 East 160 Street. Bahkan katanya, ia tidak tahu daerah itu dan tidak mengenal siapa pun di sana. 

Ketika diminta menyebutkan nama teman-teman akrabnya, ia tidak menyebutkan nama Ortiz bersaudara, meskipun diketahui ia banyak bergaul dengan mereka. Tetapi ia mengaku sering berada di 156th Street dan Melrose Avenue. Ia menyangkal segala tuduhan.

Pagi itu Russo dan McCabe menemui Alfredo serta Carlos Ortiz, yang sama-sama kecil, pucat dan kurus. Walaupun Alfredo berumur 18 dan Carlos 17, tetapi mereka tampak seperti berumur 13 atau 14 tahun. Ibu mereka baru berumur 35 tahun. Mereka berasal dari keluarga sangat miskin. Masa kanak-kanak Ortiz bersaudara hampir tidak berbeda dari Valencia.

Carlos selalu berganti-ganti pekerjaan: tukang cuci mobil, tukang antar barang dan sebagainya, tetapi cuma betah beberapa hari saja mengerjakan suatu pekerjaan. Ia juga pecandu obat bius. Sejak kira-kira dua bulan sebelum kematian Helmer, ia tidak bekerja.

Alfredo tidak banyak berbeda. Pecandu kelas berat ini pernah bekerja sebagai pengepak barang bersama-sama Valencia.

Mereka tinggal di 156th Street dan setengah tahun sebelumnya di 160th Street.

Tetapi ini baru merupakan permulaan saja dari pergulatan yang sulit antara polisi dalam menghadapi ketiga tersangka, yang kelak di pengadilan mengaku digebuki polisi.

Tanggal 8 Maret 1965, pengadilan Bronx County Courthouse, dipenuhi oleh manusia, padahal udara dingin sekali. Hari itu Alfredo Ortiz, Carlos Ortiz dan Doel Valencia dihadapkan ke pengadilan, dengan tuduhan membunuh Alexander Helmer.

Sidang dipimpin oleh Hakim D. Davidson. Penuntut dalam sidang ini ialah Alexander Scheer dan para pembela ialah Kenneth Kase (untuk Valencia) dan James Hanrahan (untuk Ortiz bersaudara). Sidang berlangsung 20 hari. Selama itu didengar lebih dari 20 saksi.

Kemudian tibalah saatnya Hakim Davidson mempersilakan juri membuat keputusan. Ia menerangkan, juri hanya boleh memilih satu di antara dua, yaitu menyatakan terdakwa bersalah melakukan pembunuhan yang disebut Murder in the First Degree atau menyatakan terdakwa tidak bersalah. Ternyata juri tidak bisa membuat keputusan, sehingga sidang pun harus diulangi lagi.

 

Pembela-pembela yang hebat 

Setahun lewat sejak sidang pertama berlangsung. Pada tanggal 21 Maret 1966, Alfredo, Carlos dan Doel yang selama ini ditahan di Brooklyn House of Detention, dibawa lagi ke pengadilan.

Pembela Kenneth Kase (yang cuma dibayar sebagian kecil saja oleh kakak Valencia) dan James Hanrahan (yang berhenti mendapat pembayaran dari Ny. Pomales) sudah meninggalkan mereka.

Karena mereka tidak mempunyai uang, pengadilan menunjuk pengacara-pengacara lain, yang masing-masing dibayar $ 1.000 oleh City of New York, bukan oleh pihak terdakwa.

Setiap terdakwa mendapat dua pengacara. Yang seorang sebagai pembela utama dan yang seorang lagi sebagai asistennya di ruang sidang. Asisten boleh dikatakan tidak mempunyai banyak pekerjaan, jadi pengadilan menawarkan jabatan ini pada Kase dan Hanrahan, supaya mereka bisa memperoleh masing-masing $ 1.000, sehingga kerugian tahun yang lalu tidak terlalu besar. Kase menerima jabatan ini dan menjadi asisten Ny. Mary Johnson Lowe yang membela Alfredo. Hanrahan menolak. Sekali ini Carlos dibela oleh Samuel Bernstein, yang mendapat asisten Thomas Casey. Valencia mendapat pembela Herbert Siegal dengan asisten Philip Peltz.

Alexander Scheer tetap menjadi penuntut. Ny. Mary Johnson seorang wanita Negro yang menarik. Setelah lulus dari Columbia University, ia tidak bekerja di perusahaan di New York untuk mendapat gaji besar, tetapi tetap tinggal di Bronx membela orang-orang miskin. Kantornya reyot di Melrose dan harus dikunci terus pintunya karena tidak aman, padahal ia pembela orang-orang kecil dengan bayaran yang luar biasa murahnya.

Siegal yang membela Valencia, juga pembela kriminal yang berhasil. Kantornya mewah di Wall Street. Dalam praktek pribadinya, ia mengenakan bayaran tinggi sekali pada kriminal kelas kakap yang bergerak dalam lalu lintas heroin. Ia menikmati pertarungan dengan penuntut dan lebih tertarik pada kasusnya daripada kliennya. Ny. Lowe, seperti juga Siegal, yakin klien mereka dipukuli supaya membuat pengakuan yang sesuai dengan perkiraan polisi.

Sekali ini Ny. Ambos mengoreksi keterangannya yang lalu. Katanya, ia terakhir bertemu dengan Helmer bukan hari Kamis, tetapi hari Jumat pukul 07.00 malam. Siegal menuduh McCabe yang menyuruh Ny. Ambos melakukan koreksi ini, tetapi McCabe menyangkal.

Sekali ini pun sejumlah saksi didengar keterangannya dan pengacara serta penuntut mengadu kecerdikan.

Tetapi sekali ini mereka menyatakan Alfredo dan Carlos bersalah.

Mengenai Valencia, enam juri menyatakan ia tidak bersalah dan enam lagi menyatakan ia bersalah.

Ny. Pomales pingsan, Alfredo hampir pingsan, tetapi Carlos lebih tenang. Setahun kemudian Pengadilan Tinggi menjatuhkan hukuman seumur hidup pada Alfredo dan Carlos Ortiz, sedangkan Valencia dibebaskan.

(Morton M Hunt)

Baca Juga: Agar Jadi Lelaki Sejati

 

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726517/ia-terakhir-kelihatan-berbelanja" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1679916902000) } } [2]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3641226" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/petunjuknya-sehelai-rambut-ok_ro-20230105041037.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(134) "Seorang ibu menemukan putrinya tewas di apartemen seperti menjadi korban pemerkosaan. Namun pernyataan para saksi saling bertentangan." ["section"]=> object(stdClass)#76 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/petunjuknya-sehelai-rambut-ok_ro-20230105041037.jpg" ["title"]=> string(26) "Petunjuknya Sehelai Rambut" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 16:10:55" ["content"]=> string(32627) "

Intisari Plus - Seorang ibu menemukan putrinya tewas di apartemen seperti menjadi korban pemerkosaan. Namun pernyataan para saksi saling bertentangan.

--------------------

Hari Senin malam, 22 Maret 1982, seorang wanita gemuk berwajah tak menarik terlihat menaiki tangga Residence fle de France, sebuah flat yang berlokasi di 35 rue Guy de Maupassant di Kota Rouen, Prancis. 

Dialah Ny. Thérèse Rangée (38), seorang karyawati sebuah perusahaan asuransi yang habis pulang belanja. Kini ia akan mempersiapkan makan malam untuk dirinya sendiri dan putrinya, Roselyne, yang berusia 13 tahun. Saat itu pukul 19.45.

Roselyne tidak membukakan pintu, ketika ibunya menekan bel. Ny. Rangée menurunkan tas belanjaannya dan membuka sendiri pintu dengan kunci yang dibawanya. Bagi Rangée, bukan sesuatu yang mengherankan kalau Roselyne tidak ada di rumah. Maklum, putrinya bukanlah gadis yang betah tinggal sendirian di rumah, apalagi sejak suaminya pergi dari situ setelah bercerai dua tahun yang lalu.

Setelah meletakkan tas belanjaannya di dapur, Ny. Rangée segera mencari putrinya di kamarnya. Berdasarkan pengalaman, setiap kali pergi keluar rumah, pasti kamar Roselyne berantakan dan ia merasa perlu menegur putrinya jika kembali.

Tetapi astaga! Ketika membuka kamar Roselyne, ia dihadapkan pada pemandangan yang mengerikan. Kamar putrinya berantakan dan di tengah-tengah kamar, di lantai dekat ranjangnya, tergeletak Roselyne. Blus rajutan yang dipakainya terbuka sampai ke pinggang, sehingga payudaranya yang tak disangga oleh BH terlihat dengan nyata. Roknya yang pendek juga tersingkap sampai di sekitar pinggang, sehingga dari pusar ke bawah ia benar-benar bugil. Sementara itu celana dalam nilon putih tergeletak di sampingnya. Dada dan perutnya dipenuhi oleh darah kering yang berwarna kecoklatan.

Terhuyung-huyung Thérèse Rangée keluar sambil memegangi pelipisnya dan membuang muka karena tidak bisa menahan kesedihan. la menjerit panjang dengan suara seperti lolongan seekor serigala.

Tetangga sebelahnya, Ny. Paulette Garaud, baru saja memulai makan malamnya ketika mendengar jeritan itu. la sempat menahan sendok yang baru akan disuapkan ke mulutnya. Walaupun itu tidak keras, tetapi sama seperti banyak bangunan modern lain yang tidak dilengkapi dengan perangkat akustik (kedap suara), jeritan itu cukup mengganggu orang yang mendengar.

Semula Ny. Garaud mengira, mungkin seseorang meninggalkan seekor anjing di koridor. Karena ia pencinta binatang, Ny. Garaud meninggalkan meja makan dan keluar melihat apa yang terjadi. Dilihatnya pintu yang berdempetan terbuka dan Ny. Rangée keluar sambil terhuyung-huyung, tergagap, dan berteriak, “Roselyne mati! Roselyne mati!”

Meski tidak kenal keluarga Rangée secara dekat, Ny. Garaud tahu, Roselyne adalah putri Ny. Rangée. Ketika Ny. Rangée yang sedang histeris itu semaput menabrak dinding koridor, Ny. Garaud cepat-cepat membawanya ke dalam. Setelah memeriksa dua pintu, ia menemukan kamar Roselyne.

Ketika melihat mayat Roselyne, Ny. Garaud justru lebih kaget dibandingkan dengan Ny. Rangée.

Ketika berlari kembali ke flatnya sendiri; Ny. Garaud segera memutar nomor telepon ambulans, polisi, dan pemadam kebakaran.

Dalam waktu sekejap telepon Ny. Garaud mendapat sambutan. Meskipun populasi warga Rouen di bawah 120.000 jiwa, penduduk yang hanya berjarak 90 mil ke arah barat daya Paris itu makmur dan semua layanan masyarakat umumnya sangat baik.

Ny. Garaud hampir tidak punya waktu meletakkan kembali telepon untuk melihat apa yang bisa dilakukannya untuk menolong Ny. Rangée, ketika sebuah mobil patroli tiba di depan bangunan itu.

Ketika Ny. Garaud memberikan nomor flat saat melapor, polisi segera memasuki flat tersebut dan langsung keluar lagi untuk mengonfirmasikan laporan pembunuhan melalui telepon Ny. Garaud.

Pada saat ini pula ambulans tiba dan seorang dokter segera berlari naik, diikuti oleh dua orang pembawa tandu.

Sementara pembawa tandu menunggu, dokter masuk ke kamar didampingi oleh seorang perwira polisi. Beberapa menit kemudian mereka keluar lagi. Menurut dokter tersebut, korban sudah meninggal beberapa waktu yang lalu.

Karena tidak ada yang harus dikerjakan, kru ambulans segera kembali ke pangkalan mereka.

Pada waktu itu, di kantor pusat kepolisian, laporan tersebut diteruskan ke bagian penyelidikan kriminal dan regu penyidik pembunuhan di malam hari sedang bersiap-siap meninggalkan tempat itu.

Regu tersebut terdiri atas Inspektur Detektif Rene Savarois, yang bertubuh ramping, berambut ikal kemerahan, dan bermata biru yang menampakkan kecerdasan. Tampangnya kelihatan lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Selain itu ada Maurice Depetry, dokter kepala, yang bertubuh gemuk pendek, berambut, berkumis, dan beralis serba hitam. Ia terlihat seperti penjahat kelas teri di dalam suatu melodrama. Anggota ketiga adalah Sersan Detektif Julien Barente, yang kebetulan sedang tidak ada di kantor saat laporan tersebut diterima.

Mereka siap siaga, tetapi belum akan bertindak sampai dilengkapi dengan seorang ahli sidik jari, fotografer dari kepolisian, dan seorang ahli senjata dari laboratorium kepolisian.

 

Celana dalam habis dicuci

Di blok sekitar flat tersebut, regu penyidik pembunuhan tidak menemukan orang lain, kecuali dua orang perwira yang tak berseragam dari mobil patroli. Ny. Garaud sudah membawa Ny. Rangée ke flatnya, di mana ia memberinya segelas brendi. Minuman itu segera memberi Ny. Rangée rasa tenang.

Sementara dokter memeriksa mayat Roselyne, Inspektur berjalan mengeliling flat, melihat segalanya, tanpa menyentuh sesuatu. Inspektur tidak mencari sesuatu yang umum, tetapi pengalaman telah menunjukkan penyelidikan seperti itu kadang-kadang memberikan keuntungan yang tak terduga di kemudian hari.

Karena flat itu kecil, dalam waktu singkat Inspektur Rene Savarois telah selesai melakukan penyelidikan. Ia berdiri mengamati dokter yang baru saja selesai menentukan apa yang jadi penyebab kematian itu dan mengalihkan perhatiannya kepada aspek seksual dalam kasus ini.

“Tampaknya korban tidak diperkosa,” komentar Dokter tersebut. “Selaput daranya robek, tapi bukan baru-baru saja dan aku tidak melihat ada tanda-tanda bekas tusukan atau bekas sperma, baik pada kemaluan ataupun pada tubuhnya.”

“Impoten atau ketakutan,” kata Inspektur.

“Mungkin tidak,” jawab Dokter. “Ada yang janggal bagiku. Kita mungkin harus mencari motif lain.”

“Waktu dan penyebab kematian?” tanya Inspektur.

“Tidak lebih dari delapan jam,” jawab Dokter. “Mungkin lebih. Kalau baru saja pasti terjadi perdarahan di dalam, meskipun beberapa organ vital itu juga sama-sama rusak. Aku tidak melihat sesuatu yang berguna bagi Anda.”

“Saya harap tidak,” kata Inspektur. “Menurut Anda, apakah pisau yang tergeletak di lantai itu senjata yang digunakan si pembunuh?”

“Sangat mungkin,” jawab Dokter. “Hei! Apa ini?”

Dokter mengangkat rambut hitam panjang yang menutupi muka korban, lalu menggeraikannya ke belakang. Pada kulit yang putih di dahi terdapat goresan merah luka bekas perkelahian, yang tampak seperti beberapa tulisan pendek yang eksotis.

“Apakah itu suatu tulisan?” tanya inspektur sambil membungkuk untuk mengamati. 

“Tak ada bentuk tulisan yang bisa dikenali,” kata Dokter. “Mungkin ini suatu pembunuhan untuk upacara ritual atau sebagainya.”

Pernyataan ini membuat Sersan melongokkan mukanya yang panjang dan pipih itu ke pintu seraya berkata, “Anda bilang pembunuhan ritual?”

“Mungkin,” kata Inspektur. “Hubungi kantor pusat dan katakan kita perlu tim penyelidik. Kita tak akan bisa memecahkan kasus ini hanya dengan memandangi sang korban.”

Pada keesokan harinya, para ahli dan petugas sudah berkumpul di flat tersebut. Namun, apa yang mereka temukan sangat membingungkan. Semua petunjuk menunjukkan kontradiksi.

Aspek seksual tindak kriminal ini pasti palsu. Kesimpulan laboratorium, darah di dada dan daerah kemaluan korban mungkin sengaja dioleskan oleh seseorang yang yakin bahwa korban masih perawan. Dengan demikian darah pada daerah kemaluan itu akan dianggap bukti percobaan perkosaan.

Yang kedua, blus gadis tersebut tidak terbuka karena dirobek, tetapi dibuka kancingnya setelah ia ditikam. Ada robekan di dalamnya, di mana pisau menembus dada sebelah kiri. 

Bahkan celana dalam nilon yang tergeletak di sebelah tubuh korban tidak disingkirkan oleh si pembunuh. Celana itu tampaknya baru diambil dari lemari yang memiliki banyak laci. Dari tes laboratorium diketahui, celana dalam itu belum pernah dikenakan sejak dicuci.

 

Korban melakukan perlawanan

Mayat Roselyne menutupi sebagian poster besar lama berwarna penyanyi rock Prands Johnny Hallyday. Poster itu dirobek dari dinding, di mana terpasang berbagai poster para penyanyi rock dan musisi lain.

Kamar tidur korban dilengkapi dengan sebuah tape, koleksi binatang mainan, sebuah raket tenis, buku, majalah, dan berbagai artikel pakaian. Pokoknya, khas kamar tidur seorang remaja putri.

Di atas poster Johnny Hallyday tergeletak sebilah pisau dapur bermata satu. Dari hasil tes diketahui pisau ini yang dipakai sebagai alat pembunuh. Ada darah yang masih menempel di pisau tersebut. Menurut Ny. Rangée, pisau itu berasal dari dapurnya sendiri.

Tanda-tanda aneh di dahi korban difoto dan hasilnya dikirimkan kepada para ahli bahasa di Universitas Sorbonne di Paris. Mereka tidak bisa mengenalinya, tetapi beberapa di antaranya mirip tanda-tanda okultisme yang digunakan oleh para pengikut ilmu hitam.

Tanda-tanda tersebut dibentuk dengan menggunakan alat pemecah es dari dapur, yang sudah dikembalikan ke tempat asalnya. Meskipun pegangan alat itu, seperti juga pisau, sudah dibersihkan dan sidik jari, tetap saja kelihatan ada bekas darah sedikit.

Para ahli menghadapi kesulitan untuk menginterpretasikan penemuan ini. Si pembunuh berusaha mengacaukan tindak kriminal itu, tetapi motifnya sama sekali tidak jelas.

Si pembunuh ingin mengesankan suatu tindak kejahatan seksual, tetapi anehnya tidak tertarik pada korban sama sekali. la hanya menyentuh tubuh korban seperlunya. Tidak ada petunjuk tindakan lebih lanjut.

Dan flat itu juga tidak ada barang yang hilang dan tidak ada tanda-tanda bahwa pelaku kejahatan memasuki tempat itu secara paksa. Pembunuh juga tidak melakukan suatu perampokan yang mengejutkan.

Bagaimanapun sulitnya, yang jadi masalah adalah pisau dan alat pemecah es. Pisau itu digunakan untuk membunuh, sedangkan alat pemecah es untuk membuat tanda di dahi korban. Bagian pegangan alat ini sudah dilap, jelas untuk menghilangkan sidik jari. Tetapi mengapa pisaunya sendiri secara mencolok masih dibiarkan berdarah? Juga mengapa alat pemecah es itu secara hati-hati dikembalikan ke tempatnya di dalam laci dapur, sementara pisau dibiarkan tergeletak di samping mayat?

Karena ketidakkonsistenan data itulah, laboratorium merujuk pada teori pembunuh gila. Meskipun demikian, mereka sendiri mengaku tidak merasa benar-benar yakin dengan kasus ini.

Sebagai contoh, apakah si pembunuh muncul dengan sengaja dan menunjukkan sikap tidak terkendali seperti umumnya seorang psikopat, karena pisau tersebut ditusukkan ke suatu daerah berbahaya.

Yang bisa disimpulkan, Roselyne dibunuh oleh seseorang yang mengenal flat itu secara cukup baik, sehingga tahu di mana tempat menyimpan pisau. Tapi itu pun belum pasti, karena seorang asing pun akan tahu bahwa pisau biasanya disimpan di dalam laci dapur.

Motif pembunuhan ini bukan seksual ataupun uang. Para ahli tidak bisa menduga hal lain lagi. Tampaknya gadis berusia 13 tahun ini memilih seorang musuh yang demikian benci kepadanya sehingga punya alasan untuk membunuhnya.

Hasil laporan autopsi pun tak cukup menolong. Kesimpulannya Roselyne tidak mengalami pemerkosaan dan penyebab kematiannya karena perdarahan sebagai akibat putusnya pembuluh darah utama dekat jantung. Jantungnya sendiri tak tersentuh apa-apa.

Menurut dr. Depetry, Roselyne berusaha mempertahankan hidupnya. Buktinya, dua jari tangan kanannya dan satu jari tangan kirinya patah, sementara tangan serta lengan bagian depannya memar.

 

Bukan gadis alim

Selain itu tangan kanan Roselyne dalam keadaan terkepal, dan ketika dibuka di kamar mayat, dokter menemukan sehelai rambut hitam panjang, yang semula dikira rambut Roselyne sendiri.

Dan penelitian mikroskopis diketahui bahwa rambut itu, meskipun mirip dengan rambut korban sendiri, bukanlah rambut Roselyne, tapi rambut orang lain yang lebih tua daripada korban.

Si pembunuh tampaknya memasuki tempat itu tidak lama setelah Ny. Rangée meninggalkan flat tersebut untuk pergi bekerja pada pukul 08.15.

Dalam keadaan normal, Roselyne akan meninggalkan flat itu setengah jam kemudian. la tercatat sebagai murid di Pasteur Technical School di Petit Couronne, daerah pinggiran sebelah barat daya kota tersebut, di mana Residence lie de France berada. Pelajaran pertamanya dimulai pukul 09.30.

Roselyne tidak mengikuti pelajaran tersebut. Jadi bisa dipastikan, waktu kematiannya antara pukul 08.15 dan 08.45 pada hari Senin tersebut. Hanya itulah yang dapat dipastikan secara akurat.

Yang jadi pertanyaan, mengapa Ny. Rangée mengeluarkan pernyataan ia tidak pernah berhubungan intim dengan seorang laki-laki pun sejak bercerai dan putrinya sendiri masih terlalu muda untuk melakukan hal itu.

Padahal itu ternyata tidak benar. Hasil autopsi menunjukkan bahwa Roselyne setidak-tidaknya pernah melakukan hubungan seksual sekali. Jadi ia sudah bukan perawan lagi dalam waktu cukup lama.

Menurut ibunya, Roselyne agak pemalu, penakut, dan pasti tidak akan pernah membiarkan orang asing masuk ke dalam flatnya, apalagi saat ia sendirian.

Tetapi menurut teman-teman sekolahnya kepada polisi, Roselyne bukanlah seorang pemalu dan penakut, terutama pada pria. Menurut beberapa orang di antaranya, Roselyne akan membiarkan setiap laki-laki masuk ke flatnya ketika ibunya pergi, asal laki-laki itu secara fisik benar-benar menarik.

“Tapi pada hari Senin, pukul 08.30?” tanya Sersan. “Gadis itu bukanlah pengidap kelainan seksual dan ia sudah siap untuk berangkat sekolah. Kalaupun ia mengizinkan seorang laki-laki masuk, pasti tidak ada hubungannya dengan masalah seksual.”

“Apakah kau sudah mengecek para petugas pelayanan masyarakat dan tukang pos?” kata Inspektur. “Hampir tak ada satu pun penghuni yang membiarkan orang lain masuk rumahnya sekali tak memiliki tanda pengenal.”

“Kita sudah mengecek petugas pelayanan masyarakat yang sesungguhnya dan tukang pos,” kata Sersan.

“Baiklah, mungkin saja ada,” kata Inspektur. “Kalau kita tidak tahu motivasinya, kita tidak tahu apakah dia orang asing atau bukan. Tetapi kita anggap saja demikian, ia ‘kan tidak tahu siapa yang tinggal di lantai tiga flat tersebut. Tentu ia akan memilih pintu secara acak untuk menemukan penghuni yang hanya seorang wanita. Itu suatu pola yang umum dalam tindak kriminal. Baiklah. Si pembunuh mulai dari tingkat atas ke bawah atau sebaliknya. Untuk alasan psikologi, biasanya dari tingkat atas ke bawah. Pada setiap kasus, kalau kita tidak benar-benar beruntung, si pembunuh akan memencet bel lain di bangunan tersebut antara pukul 08.00 dan 08.45. Jika kita menginterogasi semua penghuni, mungkin kita akan menemukan seorang saksi.”

 

Ada tiga saksi

Tampaknya, si pembunuh beraksi mulai dari tingkat atas ke bawah. Jadi Sersan Julien Barente mengawali penyelidikannya dari atas. Pada saat mencapai tingkat 3, ia sudah berhasil mengumpulkan tiga orang saksi. Dua di antaranya suami-istri yang tinggal di lantai 5. Menurut mereka, seorang lelaki muda bersuara serak dan berjanggut hitam membunyikan bel pintu mereka kira-kira pukul 08.15 dan menanyakan apakah Tuan Courtoux tinggal di situ.

Menurut sang istri yang membukakan pintu itu, ia tidak mengenal orang yang dicari, karena itu ia memanggil suaminya untuk menanyakan apakah si suami tahu ada orang bernama Tuan Courtoux yang tinggal di gedung tersebut. Ternyata si suami pun sama tidak tahunya. Laki-laki muda tersebut mengucapkan terima kasih dengan sopan dan pergi menuruni tangga.

Di lantai 4, laki-laki tersebut memencet bel flat Ny. Annie Trebuchon, seorang janda berusia akhir 60-an yang tinggal sendirian. Si pemilik flat yang masih ingat pada berbagai peristiwa pembunuhan dan perampokan yang menimpa sejumlah orang lanjut usia sudah melengkapi sistem kunci canggih pada pintunya. Ia hanya membuka sedikit dan membiarkan rantai tetap menempel di pintunya, untuk melihat siapa yang datang.

Lelaki muda itu mengajukan pertanyaan yang sama dan menurut Ny. Trebuchon, Tuan Courtoux tinggal di lantai dasar. Padahal ia mengaku pada polisi, ia belum pernah mendengar nama itu, tapi ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia memberikan informasi bohong kepada laki-laki tersebut. Gambaran yang diberikan oleh Ny. Trebuchon sama seperti yang diperoleh dari pasangan suami-istri di lantai 5, dengan tambahan detail bahwa laki-laki itu memakai kemeja kotak-kotak dengan warna sangat mencolok.

“Baiklah,” kata Inspektur, “tapi siapakah orang itu?” 

“Mungkin seorang psikopat atau sebagainya,” kata Sersan. “Dalam hal lain, mengapa ia mendatangi flat itu secara acak per blok untuk membunuh seseorang?”

“Tanpa alasan sama sekali? Apakah hanya karena alasan senang membunuh semata?” kata Inspektur. “Minta bagian pendataan untuk mencari modus operandinya, tetapi aku belum pernah mendengar suatu kasus seperti ini. Dr. Depetry sangat yakin, seks bukanlah motif dalam kasus ini.”

“Sulit untuk mengatakan bentuk penyimpangan seksual bagaimana yang terjadi,” kata Depetry. “Aku tidak tahu apakah ada kasus lain yang mirip kasus ini. Boleh jadi pembunuhan itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan seksual. Atau mungkin juga perjuangan untuk mengatasi perlawanan gadis tersebut. Pembunuhan itu sendiri mungkin dilakukan secara tidak sengaja atau dengan tujuan untuk menghilangkan saksi.”

“Jika motifnya adalah kelainan seksual, tentu ia telah melakukannya sebelumnya, atau jika ini untuk pertama kalinya, bukankah ia akan mengulanginya lagi?” kata Inspektur. 

“Ya,” kata Dokter dengan kalem.

 

Teman di malam hari 

Munculnya berbagai kemungkinan tersebut membuat kasus ini terasa begitu pelik. Apalagi selama 10 tahun terakhir tidak pernah terjadi pembunuhan serupa di tempat tersebut. 

“Mudah-mudahan Depetry benar bahwa hal itu hanya suatu kecelakaan atau tindakan untuk menghilangkan saksi,” kata Inspektur. “Aku kira tidak akan ada laporan mengenai seorang laki-laki berjanggut hitam.”

Ternyata yang masuk bukan hanya satu, tetapi beberapa laporan. Para hippy yang berpenampilan seperti itu cukup banyak, tetapi memelihara janggut dianggap bukan sesuatu yang umum. Karena itu sangat mungkin bagi Sersan Detektif untuk memperoleh masukan dari saksi yang melihat orang memiliki potensi untuk dicurigai di jalan.

“Pembunuh itu berdarah dingin,” kata Sersan. “Ia menghabisi nyawa seorang gadis di bawah umur beberapa menit sebelumnya. Setelah itu ia sempat meluangkan waktu dua jam duduk-duduk di kedai minum kopi, memakan croissants, dan membaca koran.”

“Dari pukul berapa sampai berapa?” tanya Inspektur. 

“Kira-kira pukul 09.30 - 11.30,” kata Sersan. “Tak seorang pun yang tahu waktunya secara persis.”

“Aku tak menyukainya,” kata Inspektur. “Itu bukanlah kebiasaan yang bisa aku bayangkan. Pasti ada sesuatu yang lebih dari itu atau teman laki-laki Ny. Rangée.” 

Pengakuan Thérèse Rangée tidak sepenuhnya benar bahwa ia tidak memiliki teman laki-laki. Nyatanya, ia memiliki beberapa orang, semuanya merupakan teman sekantor, di mana ia bekerja sebagai operator panel kontrol. Beberapa orang rekannya menggambarkan mereka sebagai “teman-teman di malam hari”.

Inspektur tidak merasa terlalu dipersulit dengan ketidakjujuran ini. Banyak ibu cerai yang memiliki anak gadis remaja berpura-pura menjadi lebih bermoral, misalnya.

Yang mengkhawatirkan Inspektur adalah kemungkinan bahwa Roselyne mengenal salah seorang teman laki-laki ibunya, atau ia tahu bagaimana akrabnya laki-laki itu, sehingga ia membiarkannya masuk ke dalam flat.

Sudah jelas bahwa Ny. Rangée tidak mencurigai salah seorang dari temannya, tetapi Inspektur mempunyai lebih banyak alasan. Penyelidikannya menunjukkan bahwa seorang laki-laki, sekurang-kurangnya, bisa bekerja atau tidak pagi itu. Bagaimanapun, Senin merupakan hari di mana orang absen cukup banyak. 

Sersan mengonsentrasikan diri pada laki-laki muda berjanggut, yang dilaporkan memiliki rambut panjang seperti yang ditemukan ada dalam genggaman Roselyne dan Sersan mengalami kemajuan. 

Kemudian diketahui nama laki-laki muda itu adalah Robert Courtoux dan tinggal di suatu tempat di sebelah utara kota itu.

Robert seorang mahasiswa di Centre Universitaire. 

“Nama yang ditanyakan di Residence He de France,” kata Sersan dengan perasaan puas. “Aku pikir kita telah mendapatkannya. Kita punya tiga saksi dari flat itu. Jika mereka memilih dia ....”

“Baiklah, akan kita coba,” kata Inspektur. “Aku setuju, kelihatannya memuaskan, tetapi, bagaimanapun aku tak menyukai hal ini.”

Sersan menangkap Robert Courtoux, meskipun pemuda itu tanpa ragu-ragu mengakui bahwa dia berada di Residence lie de France pada pagi hari pembunuhan itu.

“Aku mencari pamanku,” katanya. “Aku tahu ia tinggal di gedung itu, tetapi aku tidak tahu di lantai berapa. Aku pikir dia di lantai 5, tetapi penghuni di lantai itu tidak mengenalnya. Seorang wanita di lantai 4 mengatakan dia tinggal di lantai dasar.”

Paman Robert Courtoux menerima keponakannya hari Senin pagi itu pukul 08.30 kurang sedikit dan duduk mengobrol sampai pukul 09.00, saat ia harus berangkat kerja. Ketika pamannya tidak menawarkan apa-apa lagi selain secangkir kopi, Courtoux pergi ke kafe terdekat untuk sarapan dengan santai. 

“Tetapi wanita tua di lantai 4 mengatakan ia tidak pernah mendengar nama Courtoux!” kata Sersan. “Bagaimana hal ini bisa terjadi secara kebetulan?”

“Itu bukan suatu kebetulan,” kata Inspektur. “Wanita itu sudah pernah mendengar nama tersebut, tetapi ia tidak ingat. Hal serupa juga terjadi pada kita semua. Bagimu, kau mulai dari bagian atas rumah itu dan berhenti, ketika mencapai lantai 3. Jika kau mulai dari bawah, kau pasti sudah bertemu dengan nama itu.”

 

Anak lawan ibu

Penyelidikan itu dihentikan tanpa ada orang yang dicurigai lagi kecuali Pierre-Louis Massegrain, teman laki-laki Thérèse Rangée yang tidak bekerja pada hari Senin itu, tetapi ia pun tidak banyak memberikan harapan. Karena itu Inspektur kembali lagi pada rencana semula yang pemah dicobanya, meskipun kadang-kadang sukses, kadang-kadang gagal. 

Segala hal yang sudah diketahui dalam kasus ini telah dicatat. Inspektur dan Sersan duduk di kantor dan membaca seluruh file itu bagian demi bagian secara bergantian sambil mencari “lubang” dari apa yang sudah mereka baca.

Seperti biasa, hal ini menghasilkan berbagai ketidakkonsistenan. Banyak hal yang tak berguna untuk penyelidikan itu. Tapi ada satu hal yang berguna yaitu mengenai kesehatan jiwa Roselyne Rangée sendiri.

Menurut ibunya, Roselyne selalu mandi pagi sebelum pergi ke sekolah. Tapi laporan hasil autopsi mengungkapkan, banyak kotoran ditemukan di tubuh korban, juga pada dengkul kirinya, seperti ia habis jatuh di suatu tempat di luar rumah.

Jika pagi itu ia tidak keluar rumah, berarti kotoran itu berasal dari hari sebelumnya. Jadi ia tidak mandi, meskipun sudah berpakaian. 

“Mengapa?” tanya Inspektur.

Thérèse Rangée ditanyai. Menurutnya, Roselyne mandi seperti biasa pagi itu.

“Kemudian, ia pergi setelah ibunya berangkat dan kembali lagi,” kata Inspektur. “Beri tahu Depetry kita butuh waktu kematian yang lebih pasti.”

Menurut Depetry, ia hanya bisa memberikan waktu kematian yang tepat dengan melakukan suatu analisis organ bagian dalam tubuh. Ia akan mencobanya setelah bagian-bagian itu diawetkan secara terpisah.

Pada keesokan harinya, seorang dokter menelepon Inspektur untuk minta maaf. Ia menginformasikan bahwa Roselyne Rangée bukan dibunuh pada hari Senin pagi, tetapi pada Minggu malam, antara pukul 22.00 dan 23.00.

Sekarang hanya ada satu kesimpulan yang bisa diambil. Thérèse Rangée dikenai tahanan secara formal dengan tuduhan membunuh putrinya.

Tapi Thérèse menyangkal hal itu, mengakui, kemudian menyangkal lagi. “Aku tidak mungkin membunuh Roselyne,” katanya sambil menangis. “Ia ‘kan putriku sendiri!”

Meskipun Thérèse Rangée bersikeras ia tidak tahu mengapa ia benar-benar melakukan tindak kriminal itu. Para psikiater bisa merekonstruksikan, bahwa pembunuhan itu dilakukan pada malam hari.

Baik Ny. Rangée maupun putrinya, tampaknya, agak aktif terhadap lawan jenisnya dan keduanya saling menyalahkan satu sama lain. Roselyne menganggap ibunya terlalu tua untuk hal itu, sementara Thérèse menganggap putrinya terlalu muda.

Kerap kali terjadi pertengkaran dan pada malam itu mereka terlibat perkelahian fisik. Ibu dan putrinya berkelahi seperti yang terjadi di dalam bar antara seorang wanita dewasa melawan seorang gadis berusia 13 tahun yang menghunus pisau untuk mempertahankan dirinya.

Thérèse berhasil merebut pisau itu dan secara tidak sengaja atau bagaimana, ia menikamkan pisau itu ke tubuh putrinya sehingga menemui ajalnya. Rambut di dalam genggaman tangan Roselyne adalah rambut ibunya. 

Pengadilan cenderung menerima pembelaan Thérèse bahwa ia tidak berniat membunuh putrinya. Tetapi hal yang memberatkan Thérèse adalah ia mencoba menyesatkan penyelidikan dan kenyataannya ia menghabiskan malam setelah pembunuhan itu di flat tersebut bersama-sama mayat putrinya. Pada tanggal 4 Mei 1984 ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. (John Dunning)

Baca Juga: Ancaman Itu Jadi Kenyataan

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553641226/petunjuknya-sehelai-rambut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672935055000) } } [3]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517451" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/tak-menyangka-diajak-membunuh_st-20221009065022.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(15) "Intisari Online" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(224) ["email"]=> string(24) "onlineintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Sesosok tubuh setinggi 2 meter tergeletak di pintu apartemen. Dari kepalanya mengalir darah segar dengan obeng masih tertancap di tengkoraknya." ["section"]=> object(stdClass)#80 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/tak-menyangka-diajak-membunuh_st-20221009065022.jpg" ["title"]=> string(29) "Tak Menyangka Diajak Membunuh" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 18:53:32" ["content"]=> string(24781) "

Intisari Plus - Sesosok tubuh raksasa setinggi 2 meter tergeletak di pintu apartemen. Dari kepalanya mengalir darah segar dengan obeng masih tertancap di tengkoraknya. Siapa pelakunya?

-------------------

Pukul 22.34, alarm di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit di Cherbourg, Prancis, berbunyi. “Cite Fougere, 26,” ujar petugas ambulans yang langsung lari masuk ke dalam mobil ambulans. “Apartemen lantai bawah.”

Ambulans langsung meluncur dengan sirine memecah keheningan malam. Hari itu Senin, 23 Juni 1980. Cherbourg merupakan pusat pembuatan kapal yang penting dan dihuni oleh sekitar 35.000 penduduk, yang kebanyakan malam itu “lengket” pada pesawat televisi mereka.

Cite Fougere merupakan daerah pinggiran Kota Cherbourg yang sedang berkembang. Karena penduduknya masih relatif sedikit, banyak penghuni apartemen di Cite Fougere 26 kenal satu sama lain. Ketika ambulans datang, semua penghuni apartemen berkumpul di ruang depan atau tangga apartemen. Beberapa wanita terdengar menangis.

 

Dihormati tetangga

Petugas ambulans yang akan menolong korban pun ikut meneteskan air mata saat melihat kondisi korban. Sesosok tubuh raksasa, dengan tinggi lebih dari 2 m dan berat lebih dari 125 kg tergeletak di jalan masuk di salah satu kamar lantai bawah apartemen. Sungguh, sosok raksasa sebab tidak ada satu ons pun lemak di tubuhnya. Yang menyedihkan, kepalanya terluka. Darah menggenang di lantai dan masih keluar dari batok kepalanya.

Paramedis langsung meloncat turun dan memeriksa korban. Korban ternyata masih hidup. Namun, alamak ... obeng masih menancap di salah satu sisi kepalanya!

la mengerang. Petugas ambulans tadi langsung berusaha mencegah pendarahan lebih hebat. Setelah itu ia segera menyiapkan peralatan untuk membawa korban sesegara mungkin. Sayangnya, postur raksasa dan akses ke ambulans yang sempit membuat hal itu tidak mudah.

Para tetangga pun membantunya. Setelah masuk, ambulans langsung melesat diiringi kilatan lampu birunya yang berpendar-pendar serta raungan sirine. Perjalanan tidak makan waktu lama sebab jalanan memang senyap. Namun, setelah melihat kondisi korban, dokter jaga langsung menyuruh untuk mengirimnya ke rumah sakit di Caen, kira-kira 121 km dari Cherbourg, karena memiliki fasilitas kesehatan yang lebih bagus. Dalam pandangan dokter, dengan luka seperti itu peralatan yang terbaik pun masih disangsikan bisa mengatasi luka yang terjadi.

Kembali ambulans dipacu sampai lebih dari 160 km per jam. Pada saat bersamaan, polisi mulai berdatangan ke apartemen korban. Unit pertama yang datang hanyalah polisi patroli yang merespons laporan bahwa ada kecelakaan di Cite Fougere 26. Namun kemudian diikuti dengan tim jaga malam dari Departemen Investigasi Kriminal. Polisi patroli melaporkan kalau korban sudah dibawa ke rumah sakit. Ceceran darah masih terlihat di apartemen dan menunjukkan korban sepertinya tidak mampu bertahan dari lukanya. Pada saat itu tak seorang pun tahu bagaimana atau apa yang menyebabkan luka seperti itu.

Inspektur Jules Marechal, polisi senior dari tim itu, kemudian menghubungi RS Louis Pasteur. Namun, petugas rumah sakit menyatakan korban dibawa ke RS Caen yang memiliki peralatan kedokteran lebih lengkap. Petugas rumah sakit kemudian merinci luka yang diderita korban dan kecil kemungkinan korban selamat.

“Apakah luka itu akibat kecelakaan?” tanya Inspektur. Sulit baginya menerima kenyataan korban dibunuh. Cherbourg memang kota yang keras layaknya kota pelabuhan, sehingga orang terbunuh merupakan hal yang biasa terjadi, tapi biasanya akibat perkelahian di bar-bar tepi pantai dan tidak di apartemen atau di kota.

“Saya tidak tahu. Tapi masak iya orang menancapkan obeng ke kepalanya?” jawab dokter.

Inspektur tak melihat alasan buat menjawabnya dan kemudian meminta nomor telepon RS Caen yang sedang dituju. Seperti polisi Eropa lainnya, Jules Marechal adalah polisi bertipe pelayan masyarakat. la bekerja berdasarkan fakta dan tidak terburu-buru. Berbeda dengan asistennya, Detektif Sersan Anatole Bertrand yang masih muda. Meski kurang sabaran, secara teknik Bertrand lebih terlatih, sebab ia lulusan sekolah kepolisian yang di zaman Marechal belum ada.

“Haruskah saya menyelidiki apartemen ini dan mencari suatu bukti?” tanya Bertrand kepada Inspektur.

‘“Terus, apa yang kamu pelajari dari bangku sekolah?” sergah Inspektur.

Dengan muka kalem Bertrand nyerocos, “Salah satu penghuni bilang, korban bernama Francois Jeanne. la tukang kayu di galangan kapal. Umurnya 30-an tahun. Tidak kawin kelihatannya, dan semua penghuni di sini sangat menghormatinya ...”

‘‘Oke, datangi galangan kapal dan cari tahu soal lelaki ini. Senjata untuk membunuh masih tertancap di kepalanya. Jika tetangga tahu betul korban, mereka mungkin bisa mengira-ngira siapa pelaku pembunuhan.”

Sayang sekali, tetangganya tidak tahu.

 

Gara-gara obeng

Francois Jeanne, kata mereka, sangat disukai orang-orang yang pernah kenal dengannya. Tubuh yang besar ibarat domba tua yang kalem. la bukanlah pria temperamental. Melihat posturnya memang bisa dipertanyakan motif orang yang mengajaknya berkelahi. Mungkin hanya orang gila atau mereka yang mau bunuh diri saja yang berani menantangnya berkelahi. Meski begitu, Jeanne ternyata bukan tipe orang yang suka berkelahi. Bahkan jika ada orang yang menyakitinya, sepertinya ia akan membiarkan sampai orang itu capek sendiri. Pada satu atau dua kasus, ia memang pernah dongkol.

“Apakah itu motif penyerangan kali ini?” tanya Inspektur.

“Yang jelas bukan perampokan. Tukang kayu galangan kapal memang bisa hidup berkecukupan, tapi tentu tidak sampai membuat orang ingin membunuh demi uangnya. Tentu saja, ia mungkin menerima warisan atau yang lainnya. Orang dari laboratorium mungkin bisa menentukan hal itu setelah mereka sampai di sini,” ujar Sersan.

“Oke, aku mau balik ke kantor untuk menelepon RS di Caen. Aku ingin laporan kondisi Jeanne sesegera mungkin supaya tahu apakah kita menyelidiki kasus pembunuhan atau bukan. Juga apakah ia bisa menyebut siapa yang melakukan hal itu. Sampai kita memperoleh kepastian, sementara kita anggap ini pembunuhan. Suruh orang laboratorium untuk menyelidiki apartemen dengan hati-hati dan kemas dengan baik. Suruh polisi lain mewawancarai penghuni apartemen dan rekam pembicaraan itu. Cek juga apakah ada laporan korban menerima tamu wanita. Mungkin ini tidak berarti, tapi siapa tahu ada pacar atau suami yang cemburu,” Inspektur memberi perintah sambil bergegas menuju mobil patrolinya.

Inspektur kembali ke kantor dan menelepon rumah sakit di Caen yang memberitahu dirinya bahwa ambulans sudah sampai, namun Jeanne telah menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan.

“Kirim jasadnya bersama ambulans. Kita perlu untuk autopsi di sini,” kata Inspektur.

Autopsi dilakukan oleh ahli koroner RS Cherbourg, dr. Claude Terrance, yang melaporkan bahwa Jeanne meninggal akibat obeng sepanjang 15 cm yang ditancapkan di kepalanya. Ia juga menderita akibat sejumlah besar pukulan di kepala oleh benda berat. Meski bikin retak, tapi tidak cukup mengoyak batok kepalanya.

Penyelidik sudah tahu benda berat macam apa itu. Benda yang sama yang juga dipakai buat memalu obeng ke kepala Jeanne itu berupa kunci inggris sepanjang 60 cm itu. Sama seperti obeng, kunci inggris itu milik Jeanne yang disimpan di toilet di dekat dapur.

“Kok jadi begini kasusnya? Aneh ... ,” ujar Inspektur saat Sersan menceritakan hal itu.

“Maksud Anda?” Sersan bertanya.

“Ya, bagaimana pembunuh bisa memperoleh kotak perkakas itu? Padahal, orang laboratorium bilang, tidak ada tanda-tanda pembunuh masuk ke apartemen. Kotak peralatan itu disimpan di toilet di samping dapur. Apakah Jeanne membawa kotak itu ke ruang depan dan menyerahkannya pada seseorang yang kemudian digunakan untuk membunuh dirinya sendiri?” tanya Inspektur.

Hmmm, jadi sangat musykil ada orang membunyikan bel tamu, lalu Jeanne membuka pintu dan dipukul kepalanya. Kalau begitu, mungkin ada tukang kayu galangan kapal lain,” kata Sersan.

“Bagaimana kamu sampai pada kesimpulan itu?” tanya Inspektur.

“Saya beranggapan, peralatan yang dipakai membunuh itu kepunyaan Jeanne. Jadi, ada kemungkinan temannya meminjam dan kemudian mengembalikan kepadanya. Nah, saat mengembalikan itulah terjadi pembunuhan,” ucap Sersan.

“Pintar, tapi kamu melupakan satu hal. Kunci inggris dan obeng itu peralatan standar bagi tukang kayu yang bekerja di galangan. Jadi, bisa dipastikan setiap tukang kayu memilikinya. Alat itu pun bisa juga dipinjam oleh mereka yang bukan pekerja galangan kapal.”

 

Saling melindungi

Maka,pencarian tersangka semakin melebar, tidak lagi terfokus kepada tukang kayu. Dari sejumlah nama tersangka, satu-satunya lelaki yang pernah dikeluhkan Jeanne adalah tukang kayu galangan kapal yang tinggal di 56 Avenue de Paris, sekitar 182 m dari rumah Jeanne. Namanya Emile Montigny, usianya 34 tahun - tiga tahun lebih muda dari Jeanne. Lelaki ini kolega Jeanne di galangan kapal, namun dipecat karena suka buang-buang waktu saat bekerja. Sejak itu ia hidup sebagai pengangguran.

Karena memiliki banyak waktu luang, Montigny pun leluasa mengunjungi Francois Jeanne. Namun, kedatangannya selalu pada saat Jeanne berada di tempat kerja dan bukan di rumah. Ada alasannya memang, sebab di rumah Jeanne ada Hugette Pivain (31), janda bekas pelayan, yang tinggal bersama dengan Jeanne sejak 1973. Mereka tidak menikah, sebab Pivain selalu menolak upaya Jeanne ke arah itu. Entah apa alasannya. Yang jelas Jeanne tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka memiliki putri semata wayang, Katia, yang berumur empat tahun.

Entah mengapa, Hugette meninggalkan apartemen itu dan bersama Katia justru memilih hidup serumah dengan Emile Montigny yang pengangguran. Apakah ini yang jadi penyebab terbunuhnya Jeanne? Tapi kok sepertinya terbalik? Bukannya Jeanne yang membunuh mereka berdua daripada Jeanne yang terbunuh oleh mereka?

“Jika Pivain atau Montigny atau malah keduanya yang menjadi korban pembunuhan, kasusnya akan lebih mudah dipecahkan,” ujar Sersan. “Tetangga bilang, Pivain sesungguhnya tidak peduli dengan anaknya. Di lain pihak Pivain seperti menghalang-halangi Jeanne untuk menumpahkan rasa sayangnya pada Katia.”

Sersan akhirnya meluncur ke tempat tinggal Pivain dan Montigny, ingin mengorek lebih dalam soal pembunuhan. Kedatangan Sersan ternyata mengganggu pasangan yang sedang bercinta itu. Alhasil, keduanya hanya memberikan keterangan seperlunya dengan harapan segera menuntaskan gairah cinta mereka yang sempat terputus.

Maka Sersan pun langsung menukik pada pokok persoalan, “Apa yang Anda ketahui tentang penyerangan Francois Jeanne?”

“Tidak ada,” kata Montigny. Mereka pergi ke tempat tidur selepas pukul 20.00.

“Ya, tidak ada,” ujar Hugette Pivain. Sersan melihat ada pancaran dendam di mata wanita mungil ini.

Sersan mengucapkan terima kasih dan segera beranjak dari tempat itu. Apartemen itu begitu kotor sehingga ia enggan menyentuhkan bajunya pada debu yang ada di perabotan. la tidak pernah melihat wanita mungil itu dan tidak tahu keberadaannya, seperti terungkap dari omongan tetangga di nomor 26 bahwa Hugette itu gundik Jeanne dan sekarang tinggal bersama Montigny.

Uh ... semua orang bikin aku seperti gila saja!” ujar Sersan ketika dirinya dan Inspektur berdiskusi soal kemajuan kasus yang mereka hadapi. Sejujurnya sih ketidakmajuan. “Jeanne itu sosok orang yang baik hati dan sabar. Tapi kenapa harus mengalami penderitaan yang tak terbayangkan seperti itu? la tidak pernah mengumbar amarah kepada Pivain. Justru ia menyemai kebaikan tiap hari. Jika ia menuai kejadian seperti itu dan andai Pivain pelakunya, sungguh wanita itu pasti wanita sadis.”

“Ya, aku juga berpendapat begitu. Aku pun sudah berbicara dengan dia,” ujar Inspektur. “Menurut kamu, bagaimana dengan Montigny?”

Hmmm .... Jujur saja, ia hanya mengincar makanan, seks, dan tempat tinggal. Tidak lebih,” kata Sersan terus terang.

“La, kalau cuma mengincar hal-hal itu, di penjara ia bisa memperolehnya. Kecuali seks tentu saja. Tapi, mungkinkah ia dan wanita itu yang melakukannya?” ucap Inspektur.

Sebenarnya, pertanyaan itu lebih tepat diarahkan kepada Inspektur sendiri. Toh, Sersan mencoba menjawabnya.

“Saya tidak tahu alasannya. Jika mereka saling melindungi, mereka aman. Tapi saya sangsi salah satu dari mereka kuat bertahan untuk saling melindungi,” Sersan mencoba menduga-duga.

“Jangan sok tahu! Oke, tanpa bukti atau sebuah pengakuan, kita tidak akan pernah bisa mendakwa salah satu dari mereka. Jaksa pemeriksa tidak akan percaya bagaimana bisa wanita mungil seperti itu membunuh seorang raksasa.”

 

Tidak ada bukti nyata 

Hugette Pivain dan Emily Montigny pun dihapus dari daftar orang yang berpotensi menjadi tersangka. Polisi lalu mengubah arah pencariannya. Tapi, hampir semua petunjuk yang mereka dapatkan berakhir pada kesimpulan yang mengarah kepada pasangan itu.

Meskipun Hugette sudah keluar dari apartemen di Cite Fougere, wanita ini masih memegang kunci kamar dan hampir tiap hari ke sana untuk mencuci pakaian-pakaiannya di mesin cuci milik Jeanne, dan juga mengosongkan lemari esnya. Suatu langkah penghematan tentunya.

“Nah, itu sebenarnya dapat menjadi petunjuk. Bukankah dengan begitu Hugette memiliki akses ke apartemen dan juga peralatan Jeanne yang disimpan di toilet dekat dapur? la bisa menunggu Jeanne di lorong masuk kamar, berdiri di kursi atau benda apalah yang membuat posisinya jadi tinggi sehingga bisa memukul kepala Jeanne,” Sersan menganalisis.

“Ya, benar teorimu. Tapi atas alasan apa ia harus membunuh Jeanne? Bukankah dengan tewasnya Jeanne ia kehilangan kebebasan mencuci gratis dan pasokan makanan serta minuman? Jelas bukan dia pelakunya,” ujar Inspektur putus asa. “Ia justru berharap agar Jeanne tetap hidup. Selain itu, secara fisik ia tidak mungkin melakukan hal itu.”

“Motif bukan segalanya,” sergah Sersan. “Memang agak mustahil Hugette pelakunya. Tak ada bukti Jeanne keluar dari apartemen waktu itu. Nah, jika ia tidak pergi, bagaimana Hugette bisa masuk, mengambil kunci inggris dan obeng dari toilet dapur, naik ke kursi, lalu memukulkan obeng dan kunci inggris ke arah Jeanne? Selain itu, di mana gerangan kursi itu? Maaf Komandan, kalau analisis saya ngawur.” 

“Memang! Lagi pula tidak ada setetes pun bercak darah di ruangan itu. Kalau Hugette menghujamkan obeng, pasti ada darah yang memercik. Sudahlah, jangan lagi memikirkannya. Ia bukan pelakunya. Tidak masuk akal wanita sekecil itu membunuh pria sebesar Jeanne.”

Penyelidikan pun dimulai lagi. Sebuah keberuntungan mendekati Sersan. Entah ada bisikan apa ia menyambangi rumah sakit. Ternyata Jeanne beberapa kali mengunjungi rumah sakit itu! Instingnya langsung bekerja. Sersan pun mengaduk-aduk data di rumah sakit itu dan mendapati fakta bahwa beberapa tahun silam Jeanne menjadi pengunjung rutin rumah sakit itu.

Sejak pertengahan tahun 1977 sampai beberapa minggu sebelum meninggal, rata-rata dua kali seminggu Jeanne datang untuk menjalani perawatan akibat luka, memar, dan patah tulang ringan. Dalam setiap kasus ia bilang kalau luka dan cederanya itu akibat kecelakaan dan kesalahan sendiri. Para dokter memberikan catatan dalam medical record-nya, dalam beberapa kasus pengakuan itu mengada-ada. Seseorang telah melukai Jeanne.

Penyelidikan lebih jauh mendapatkan informasi bahwa pertengahan tahun 1977, Hugette punya kekasih yang dijumpai saat ia pergi ke bar. Berhubung Cherbourg kota kecil, Jeanne tahu akan hal itu dan marah. Hugette tidak terima hal itu.

“Tak mungkin dia,” potong Inspektur. “Berulang kali aku katakan: ia terlalu kecil! Tidak ada kesempatan, tidak ada motif, tidak ada .... Pokoknya, jika Hugette pelakunya, kasus ini sudah selesai. Kita tidak punya bukti nyata.”

“Tapi, maaf, saya merasa pelakunya Hugette. Kita sudah bertanya ke semua orang di Cherbourg, dan semua mengatakan hal yang sama: tidak ada orang yang berniat membunuh Jeanne. Hugette satu-satunya orang yang berpotensi tidak suka pada Jeanne dan punya alasan kuat,” ujar Sersan.

“Baiklah, saya coba setuju dengan pendapat kamu. la seorang wanita, tinggal bersama Jeanne selama hampir tujuh tahun dan ia melahirkan anaknya. Jeanne tidak pernah menunjukkan sifat buruknya, kecuali kasih sayang, dan kematian Jeanne berarti kehilangan sumber keuangan bagi Hugette. Tapi kamu benar. Mulai dari saat tetangga mendengar erangan di ruangan apartemen dan memanggil kita, sampai saat ini kita tidak pernah menemukan seseorang yang bisa dijadikan tersangka, selain Hugette. Sekarang, pergilah dan kita mulai berpikir bagaimana membawa ia ke pengadilan.”

“Sayangnya, Anda tidak akan bisa melakukan hal itu. Tidak ada bukti material. Hugette dan Montigny punya alibi yang saling mendukung. Kasus ini tidak bisa dipecahkan.”

“Mungkin tidak, tapi saya masih memiliki waktu 11 tahun, empat bulan, dan dua hari sebelum pensiun. Jika akhirnya pensiun itu datang, simpan kasus ini sebagai ‘Kasus Tak Terpecahkan’.”

Kasus Jeanne bukanlah satu-satunya kasus yang akan terkirim dalam ‘Kasus Tak Terpecahkan’. Ada banyak kasus yang masih misterius. “Tidak ada polisi yang sempurna, yang selalu memecahkan setiap kasus yang ditanganinya,” Inspektur mencoba menghibur diri.

 

Motif belum terungkap 

Pada kasus pembunuhan Francois Jeanne, bagaimanapun Inspektur tidak mau menyerah begitu saja. Segala kemungkinan dan kecilnya peluang terus diteliti. Masih menjadi pertanyaan, mengapa Jeanne yang raksasa itu bisa terpikat dengan si mungil Hugette.

“Baiklah kalau begitu. Tangkap segera Montigny dan interogasi segera. Aku lihat dia orangnya keras, maka kita pun harus lebih keras dari dia. Bikin hatinya ngeper kalau ia tidak mau bekerja sama.”

Pada akhirnya Montigny pun mengakui soal pembunuhan Jeanne yang dilakukannya bersama Hugette. Ia sendiri sebelumnya tidak diberi tahu soal rencana membunuh Jeanne itu. Hanya saja ia disuruh menemani ke apartemen Jeanne pada malam tanggal 23 Juni itu.

“Hugette hanya bilang, ia meminjam beberapa peralatan Jeanne dan harus dikembalikan segera. Saya tahu ia jengkel pada Jeanne. Tapi sumpah, saya tidak tahu kalau ia akan melukainya,” ujar Montigny. Lebih lanjut Montigny bercerita bagaimana Hugette yang mungil itu bisa membunuh si raksasa.

Sebelum memencet bel, Hugette sudah menggenggam kunci inggris dengan kedua tangannya. Begitu pintu dibuka, Hugette langsung melompat setinggi-tingginya dengan sekuat tenaga lalu memukulkan kunci sekeras-kerasnya ke kepalanya. Jeanne jatuh bertumpu pada lututnya sementara Hugette masih saja memukul-mukulkan kunci inggris ke kepala Jeanne. Setelah berkali-kali memukulkan kunci, Hugette kemudian mengambil obeng dan menancapkan obeng itu di kepala Jeanne sambil memukul gagangnya dengan kunci inggris yang masih terus dipegangnya.

“Hugette kemudian mengajak saya pulang dan melakukan hubungan seks. Katanya, kalau kita melakukan hubungan seks saat polisi datang mereka akan berpikir kita tidak melakukan hal itu,” tandas Montigny.

“Ya, memang akan membantu mengurangi kecurigaan. Oke, panggil Hugette. Kita akan menuntutnya segera!” potong Inspektur. Namun, tidak semudah itu sebab Hugette justru mengaku Montignylah pelakunya. “Ia ketakutan kalau saya akan meninggalkan dia dan kembali ke pangkuan Jeanne,” tutur Hugette.

Meski Inspektur sempat bingung, nalurinya menggiring ke kesimpulan bahwa cerita versi Montignylah yang benar. Namun, ia yakin Montigny tidak hanya berdiri mematung menyaksikan kekasihnya secara brutal menyerang Jeanne. Pastilah ia membantu “mempercepat” eksekusi itu.

Tanggal 5 Juni 1981 juri memutuskan mereka berdua bersalah dan pengadilan mengganjar hukuman seumur hidup. Namun, pengadilan masih menyisakan pertanyaan, motif apa yang membuat Hugette tega menghabisi nyawa Francois Jeanne. Apakah karena uang, persoalan cemburu, atau Katia? (John Dunning)


Baca Juga: Jack The Ripper dari India

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517451/tak-menyangka-diajak-membunuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665341612000) } } [4]=> object(stdClass)#81 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350825" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#82 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/tergoda-penyiar-tv_sam-mcgheejp-20220629073549.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#83 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(144) "Ketika mengunjungi anak dan menantunya, Teresa mendapati pintu apartemen tidak terkunci. Ia pun menemukan putri dan suaminya itu sudah terbunuh." ["section"]=> object(stdClass)#84 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/tergoda-penyiar-tv_sam-mcgheejp-20220629073549.jpg" ["title"]=> string(18) "Tergoda Penyiar TV" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:36:05" ["content"]=> string(26137) "

Intisari Plus - Ketika mengunjungi anak dan menantunya, Teresa mendapati pintu apartemen tidak terkunci. Ia pun menuju ke kamar dan menemukan putri dan suaminya itu sudah meninggal terbunuh. Pelakunya meninggalkan bukti berupa jaket putih.

------------------

Mengunjungi anak dan menantu yang tinggal di luar kota setelah sekian lama tidak bertemu, tentu merupakan kesempatan yang menyenangkan bagi seorang ibu. Itulah yang diangan-angankan Ny. Teresa Ambruzzi ketika ia menjenguk putrinya, Margherita di Turin, Italia, Minggu, 25 November 1979.

Sebagai ibu, ia amat berbahagia sudah berhasil mengentaskan putrinya. Meski tidak kaya, Paolo Nardin (27) sang Menantu Tampan, mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Yang penting, Margherita (23) sangat mencintai suaminya.

Raut muka gembira tak bisa disembunyikan Ny. Ambruzzi begitu ia menginjakkan kaki di depan apartemen kecil yang terletak di 53 via Pascolo, Turin, di Barta, sekitar pukul 11.00. Terdorong rasa kangen pada anaknya, ia buru-buru mengetuk pintu. Namun tidak segera terdengar jawaban. 

Memang sebelumnya Margherita telah menelepon, mengabarkan kalau Sabtu ini, menjelang kedatangan sang ibu, dia dan Paolo mendapat undangan perkawinan temannya. Jadi, harap maklum kemungkinan ia masih tidur sewaktu ibunya datang.

Ny. Ambruzzi mengetuk pintu lebih keras lagi. Tapi tidak ada jawaban. la menggedor panel pintu dan memanggil nama putrinya dengan suara melengking. Dari jendela apartemen sebelah terdengar suara protes, “Astaga, Nyonya!”

Dengan agak kebingungan Ny. Ambruzzi memegang handel pintu. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Emosi Ny. Ambruzzi berubah dari perasaan bahagia menjadi khawatir dan bingung, bahkan tiba-tiba berubah menjadi takut. Hanya orang nekat saja yang berani tidur dengan pintu rumah tak terkunci. Apalagi Turin bukan salah satu kota yang dianggap aman.

Jantung wanita paruh baya ini mulai berdegup kencang. Setelah mendorong pintu ia segera masuk. Sejenak ia merasa lega. Di rumah yang sempit ini kado-kado perkawinan anaknya masih terserak di ruang tamu. Ruang keluarga dalam keadaan terbuka dan ia bahkan bisa melihat hadiah perkawinan darinya, seperangkat alat minum kopi dan teh dari perak yang hampir membuatnya bangkrut, dipajang di atas bufet. Tetapi tak ada tanda-tanda kehadiran penghuni rumah.

Firasat buruk segera menyergap benaknya. Perasaan khawatir, takut dan gelisah muncul begitu tahu rumah ternyata kosong. Ada apa gerangan yang terjadi? Ambruzzi melintas ruang keluarga dengan berjingkat-jingkat, seakan-akan ia takut membangunkan seseorang dan sesuatu. la mendorong pintu kamar tidur.

Kakinya tiba-tiba terasa lemas dan ia jatuh terkulai di lantai, pingsan. Inilah peristiwa mengerikan yang menjadi bukti kekhawatirannya sejak ia menemukan pintu apartemen tidak terkunci. Rasa kaget yang amat sangat serasa seperti pukulan palu yang menghantamnya dengan kekuatan penuh.

Ambruzzi tak bisa memastikan berapa lama ia pingsan di kamar tidur putrinya, tetapi menurut data pihak rumah sakit, telepon permintaan untuk dikirimi ambulans diterima tepat pada pukul 11.37. Rupanya Ny. Ambruzzi masih sempat memanggil ambulans daripada polisi karena dorongan naluri keibuannya yang tidak bisa menerima bahwa putri tercintanya sudah tewas, meskipun alam bawah sadarnya sudah mengetahui hal itu.

Kru ambulans menyadari hal itu begitu mereka memasuki kamar tidur tempat kejadian perkara (TKP). Meskipun demikian mereka tetap memeriksa denyut nadi dan jantung mayat. Tentu saja sudah tidak ada. Kedua mayat tersebut sudah dingin dan kaku. Kru ambulans pun mundur, meninggalkan kedua mayat itu tanpa mengusiknya sama sekali. Mereka mencurahkan perhatian untuk menenangkan Ny. Ambruzzi sambil menunggu kedatangan polisi.

 

Korban perkosaan 

Tak lama kemudian polisi datang, tetapi unit pertama yang muncul hanya sebuah mobil patroli dan para petugas tidak bisa bertindak lebih selain mengonfirmasikan laporan terhadap kru ambulans bahwa pembunuhan itu terjadi di 53 via Pascolo di Barta.

Petugas bagian pembunuhan sedang dalam perjalanan. Tak lama setelah pukul 12.00 Inspektur Luciano Cavallo, Sersan detektif Mario Brisetti, dan dr. Roberto Andreotti memasuki kamar tidur di apartemen kecil itu.

Terlepas dari ketampanan dan kecantikan tubuh-tubuh mulus tak bernyawa tadi, pemandangan di depan polisi ini terkesan amat mengerikan bagi siapa pun yang melihatnya. Paolo dan Margherita Nardin adalah orang-orang muda yang menarik, bahkan setelah mereka meninggal. Paolo berada dalam posisi telentang di lantai di samping ranjang. Lengan kanannya menjulur ke arah Margherita, seakan-akan ia tetap berusaha menjangkau istrinya bahkan dalam keadaan mati.

Meski pakaian Paolo lengkap, tetapi robekan dan kusut di sana-sini menyiratkan seolah-olah ia baru saja berkelahi. Bagian depan kemejanya yang berwarna biru muda dipenuhi bercak cokelat tua dari darah kering dan sedikit cairan mengalir dari kedua sudut mulutnya. Kedua matanya terpejam.

Sementara istrinya tergeletak di ranjang dalam keadaan telanjang bulat dengan posisi klasik, orang yang menjadi korban perkosaan. Kedua kakinya ada dalam keadaan tertekuk ke belakang pada bagian lutut. Di paha dan lengannya terdapat luka hitam karena memar, tetapi hanya ada sedikit darah yang mengalir, sekitar 1 inci dari celah di antara kedua payudaranya.

"Ini bekas tusukan pisau lipat otomatis," kata dr. Andreotti yang bertubuh tinggi besar, berkulit kecokelatan, dan berpenampilan rapi dengan bibir terkatup. "Kena jantung atau sebuah pembuluh darah besar. Semua perdarahan terjadi secara internal."

Mata hitamnya yang tampak tanpa emosi menatap dari balik kacamata berbingkai emas, menunjukkan tingkat profesionalismenya. "Waktu kematiannya sekitar tengah malam tadi," sambungnya. "Penyebab kematian keduanya sebuah luka di dada akibat pisau bermata satu. Pisaunya pisau lipat otomatis, karena pisau belati akan menimbulkan luka dua sisi dan pisau yang lain akan meninggalkan luka lebih lebar."

"Aku pikir Margherita diperkosa," kata Inspektur yang bertubuh pendek kurus, berkulit gelap, berjanggut lebat dan punggung lengannya dipenuhi bulu-bulu hitam.

Dokter memeriksa organ seksual Margherita. "Positif," katanya. "la melawan dengan hebat sehingga si pemerkosa merusak organ seksualnya dengan cara penetrasi yang kasar. Di dalam vagina didapati bekas sperma."

"Pastilah si Pelaku seorang psikopat seks," kata Sersan setelah mengamati. Sama seperti orang-orang Italia dari daerah selatan, si Sersan berambut pirang, bermata biru, dan tampak santai. "Apakah saya harus menghubungi bagian data untuk mengumpulkan berbagai file mengenai para pelaku pelanggaran seksual?"

"Ya," kata Inspektur, "tetapi pertama-tama lihat dulu apakah kita bisa memperoleh gambaran mengenai apa yang terjadi di sini. Mungkin ada beberapa petunjuk yang bisa diolah komputer untuk menggambarkan profil pelakunya."

Hal ini perlu karena profil tersebut merupakan satu-satunya petunjuk bagi polisi untuk mengidentifikasi siapa kira-kira orang yang patut dicurigai melakukan tindak kriminal seksual yang menyimpang ini. Tak sama seperti berbagai tindak kriminal dengan motif-motif lain, sering kali tidak ada hubungan antara si Pembunuh dan korbannya.

Para ahli dari laboratorium polisi akan mencoba hal yang sama, tetapi Inspektur Cavallo lebih suka melakukan rekonstruksinya sendiri tanpa tergantung pada siapa-siapa.

 

Suaminya sedang pergi

“Tengah malam," demikian menurut analisis Cavallo. "Mereka mungkin sedang bersiap-siap pergi tidur. Bisa jadi Margherita dalam keadaan telanjang, menilik pakaiannya sudah terlipat rapi di atas kursi. Paolo masih berpakaian. Amati jika ada tanda-tanda masuk secara paksa, Marion."

Sersan kembali melaporkan, tidak terdapat tanda-tanda di pintu yang menyatakan ada orang masuk secara paksa.

"Baiklah," desak Inspektur. "Sederhananya si Pembunuh mengetuk pintu dan Paolo menjawabnya. Tapi apakah keduanya dihabisi di sini?"

“la pasti mendorong Paolo masuk ke kamar tidur dengan todongan pisau," kata Sersan, "tetapi saya tidak melihat bagaimana ia memerkosa dan menikam si Istri tanpa perlawanan dari suaminya. Tampaknya keduanya terlibat perkelahian."

"Mengingat terjadi perlawanan, si Istri tentu tidak akan diam saja di ranjang sementara si Pembunuh menghabisi suaminya," kata dokter. "Setidak-tidaknya, Margherita akan berteriak.”

“Mungkin si Suami tidak bisa berbuat apa-apa karena si Pembunuh mengancam leher istrinya dengan pisau," kata Inspektur.

"Tapi bagaimana caranya si istri melawan?" kata dokter. "la tidak akan dipaksa di bawah ancaman pisau karena ia seorang wanita muda yang kuat. Pembunuh itu pasti harus menggunakan kedua tangannya untuk menaklukkannya."

Setelah menganalisis itu suasana hening sejenak, sampai kemudian raungan sirene mobil van polisi memecah suasana. Mobil itu membawa para ahli dan teknisi.

“Satu-satunya kemungkinan yang bisa menjelaskan adalah, si Suami sedang keluar dari apartemen karena alasan tertentu. Saat itulah si pelaku masuk rumah. Dalam usaha memerkosa, Margherita berusaha mengadakan perlawanan. Pembunuh itu menikamnya. Berbareng dengan itu si Suami kembali. Maka terjadilah perkelahian antara si pembunuh dan Paolo. Untuk menghilangkan jejak akhirnya si Pembunuh menghabisi Paolo juga."

"Artinya, pelaku pasti mengenal mereka," kata Sersan. "Paling tidak ia sudah mengamati saat si Suami pergi dan ia tahu di apartemen itu ada seorang wanita muda sendirian."

"Kedengarannya masuk akal," kata Inspektur. "Jika memang demikian itu akan membuat pekerjaan kita lebih mudah."

Inspektur mengatakan itu dengan membuat perbandingan. Nyatanya pekerjaan itu tidak menjadi lebih mudah. Mungkin si Pembunuh sudah tahu siapa yang menjadi korbannya dan sesuatu mengenai mereka, tetapi itu tidak mesti berarti bahwa ia melakukan kontak yang bisa dilacak. Mungkin dia berada di dalam apartemen tidak lebih dari 20 menit atau setengah jam, dan ia takut menyentuh apa pun di situ. Meskipun jika ditemukan sidik jari, itu baru ada manfaatnya jika polisi memiliki data dirinya. Kelihatannya senjata yang digunakan dibawa pergi oleh si Pembunuh.

 

Petunjuk jaket putih

Tetapi menurut para teknisi di laboratorium, si Pembunuh telah meninggalkan sesuatu. Sebuah jaket kulit imitasi putih dengan tulisan merah AMERICA tercetak melintang di bagian punggung, ditemukan tergeletak di lantai dekat ranjang.

"Jaket itu bukan milik Nardin," kata ketua teknisi dalam laporan kepada Inspektur. "Ukurannya dua nomor lebih besar.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 lebih dan saat itu para penyelidik sudah mengumpulkan segala data yang diperlukan tentang kedua korban. Tapi tidak banyak. Paolo dan Margherita berasal dari keluarga kelas menengah dan keduanya sudah menyelesaikan pendidikan SMTP-nya dan Paolo sudah memiliki pekerjaan dengan hasil lumayan di sebuah perusahaan pergudangan. Mereka telah bertunangan selama dua tahun sebelum menikah.

Sebagai warga asli Turin, khususnya Barta, mereka memiliki banyak teman. Sepasang pasutri, yang sempat bertandang di rumah korban sebelum terjadi peristiwa pembunuhan ini memberikan kesaksian mereka kepada Sersan Brisetti. Sulit dipercaya bahwa hal itu ternyata memberi banyak masukan berharga untuk langkah penyelidikan selanjutnya. Yang mengejutkan, terpecahkan satu misteri utama: mengapa Paolo Nardin meninggalkan apartemen setelah para tamu itu tiba.

Mereka meninggalkan tempat itu kira-kira tengah malam dan dengan sopan Paolo menemani tamunya turun ke halaman di depan rumah sekalian mau melihat motornya. Ternyata motor Paolo yang diparkir di depan rumah saat mereka tiba sekitar pukul 20.00, telah hilang.

Paolo menduga motor itu dicuri. la nampak bingung, tetapi mereka menenangkannya, dengan berkata mungkin motor itu diambil oleh beberapa anak tetangga yang akan meninggalkannya jika bensinnya habis. Meski agak terhibur, Paolo mengaku akan segera mencari motor itu. Maklum, bensin motor tersebut tinggal sedikit dan akan segera habis. Terakhir kalinya mereka melihat Paolo turun ke arah via Pascolo.

“Lalu ke atas ke arah apartemennya, tentu saja, tidak dikunci," kata Sersan, "karena ia tidak berharap untuk pergi ke mana-mana. la segera kembali."

"Tak masuk akal," guman Inspektur. "Apakah hal itu secara sederhana bisa dibilang nasib buruk? Kenapa pembunuh itu hanya masuk ke satu-satunya pintu yang tidak dikunci di seluruh bangunan ini?"

"Tentu saja karena si Pembunuh tahu, di rumah itu ada wanita muda dan cantik," tambah Sersan. "Saya tidak melihat bagaimana hal itu bisa terjadi."

“Aku pun demikian," kata Inspektur. "Si Pembunuh tahu siapa yang tinggal di apartemen itu dan ia tahu bahwa Nardin akan keluar dan meninggalkan istrinya sendiri, karena ia sudah merancangnya. Dialah yang mengambil motor itu. Keluarkan perintah pada semua bagian untuk mencari motor itu. Kau harus berhasil memperoleh nomor lisensi dan deskripsi mengenai pendaftaran motor tersebut." 

"Baiklah," kata Sersan. "Yang lain memeriksa dengan teliti lingkungan tetangga, siapa yang terlihat mengenakan jaket kulit imitasi berwarna putih yang bertuliskan kata AMERICA. Berapa lama Anda akan melanjutkannya?" 

"Sampai mereka menemukan sesuatu," kata Inspektur dengan wajah muram. 

Malam itu setelah mempelajari hasil autopsi yang dilakukan oleh dr. Andreotti, Inspektur bertambah yakin akan analisis yang mereka diskusikan. Hasilnya, Margherita telah diperkosa. la meninggal karena ditikam pada jantung dan paru-paru kirinya. Jarak waktu antara dua pembunuhan itu sangat pendek, sehingga sulit untuk mengatakan mana yang tewas lebih dulu. Senjata yang digunakan adalah sebuah pisau lipat otomatis.

"Tetap selidiki jaket dan motor itu," kata Inspektur. Aku ingin memperoleh hasilnya. Anak itu terlalu berbahaya jika sampai menghilang."

 

Pria gila seks

Tak ada jejak pencurian motor Paolo Nardin yang bisa ditelusuri, tetapi pada siang harinya Sersan datang bersama dua orang saksi potensial yang bisa memberi keterangan soal jaket putih itu. 

Kedua orang itu adalah wanita yang sudah menikah, usianya masing-masing 31 dan 32 tahun. Mereka minta identitasnya tidak diumumkan, selain karena soal kesopanan, mereka takut pada si Pembunuh gila itu akan menghabisi mereka jika pernyataan mereka sampai ke telinganya. 

Hari Sabtu siang, 24 November, menurut kedua wanita yang pernyataannya dibuat secara terpisah tetapi sama pada setiap detailnya, mereka mengunjungi Ny. Maria de Ronzo, seorang ibu rumah tangga berusia 29 tahun yang tinggal tidak jauh dari TKP.

Kedua wanita itu kawan lama Ny. de Ronzo, yang sudah mereka kenal sebelum menikah. Namun mereka tidak begitu kenal dengan suami Ny. de Ronzo, yang biasa mereka sebut "monster".

Jika cerita kedua wanita itu benar, laki-laki tersebut layak dicurigai. Sementara mereka mengobrol dengan Maria yang modis, suaminya tiba-tiba muncul di pintu dan dengan kasar menyuruh istrinya ikut dengannya. 

Dengan segan dan takut Maria menuruti. Sang Suami membawanya ke sebuah meja di ruang sebelah, menelentangkannya di meja itu, dan serta-merta, maaf, menggaulinya dengan sangat brutal di mata para tamunya. Lantaran de Ronzo tidak peduli dengan keadaan sekeliling dan tidak sempat menutup pintu ruangan, sehingga kedua wanita itu bisa melihat apa yang terjadi. 

De Ronzo kemudian pergi entah ke mana dan Maria kembali untuk melanjutkan pembicaraan. Setelah melihat peristiwa yang menakutkan tersebut, kedua wanita itu tidak merasa tenteram dan tak lama kemudian mereka pamit pulang. 

Menurut kedua saksi itu, de Ronzo memakai jaket kulit imitasi berwarna putih dengan tulisan AMERICA berwarna merah di bagian punggungnya.

"Keluarga de Ronzo tinggal di 56 via Pascolo," kata Sersan. "Tempat itu langsung berseberangan dengan apartemen Nardin dan mereka tinggal setingkat lebih tinggi." 

"Baiklah, aku harap dialah yang kita cari," kata Inspektur. "Kecuali kalau kedua wanita itu mempunyai dendam pribadi terhadap de Ronzo. Awasi dia dan amati apa yang bisa kau pelajari mengenai dirinya di lingkungan tetangga. Apakah ada data mengenai dirinya?" 

Tidak ditemui data apa-apa mengenai de Ronzo, tetapi menurut apa yang dipelajari oleh Sersan dari lingkungan tetangganya, pasti ada data tentang de Ronzo. la dianggap sebagai iblis seks oleh hampir setiap wanita yang kenal dengannya. Beberapa wanita melaporkan bahwa ia beberapa kali gagal memerkosa mereka atau anak mereka. Dalam melampiaskan hawa nafsu, rupanya de Ronzo tak pernah membedakan usia calon korbannya. la berusaha untuk memerkosa korban dari segala tingkatan usia.

"Jika dibutuhkan percobaan," kata Sersan, "masih ada belasan pernyataan yang menyebutkan ia biasa memakai jaket kulit imitasi berwarna putih dengan tulisan AMERICA berwarna merah. Tapi kini ia tidak mengenakannya lagi." 

"Bawa dia ke sini," kata Inspektur singkat.

 

Salah korban dan penyiar TV

De Ronzo, seorang laki-laki bertubuh pendek tetapi sangat berotot, ditahan dengan tuduhan membunuh Margherita dan Paolo Nardin.

Selain menyangkal semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, de Ronzo pun mengaku tidak tahu-menahu saat dihadapkan dengan jaket kulit imitasi berwarna putih dengan tulisan AMERICA di bagian punggungnya. Menurutnya, jaket itu bukanlah miliknya. la tidak pernah melihat jaket itu dan tak pernah memiliki jaket seperti itu.

Saat berbagai pernyataan dari para tetangganya dibacakan, ia menuduh mereka berusaha melibatkannya dalam kesulitan. Menurutnya, setiap orang di lingkungan tetangga membencinya, karena dia miskin.

Kenyataannya, de Ronzo tidaklah terlalu miskin daripada tetangganya, tetapi ia benar bahwa setiap orang membencinya. Selain sering bertengkar dan berlaku kasar, de Ronzo ditakuti sebagai tukang tinju dan bahkan istrinya sendiri memberikan kesaksian yang memberatkannya, dengan mengatakan bahwa ia ingin minta cerai sejak lama, tetapi takut suaminya akan membunuhnya jika ia mengatakan hal itu. 

Menurut istrinya, de Ronzo terobsesi oleh seks dan selalu memanjakan dirinya terbawa oleh khayalan-khayalan seks yang tidak wajar. Maria juga memastikan bahwa suaminya telah memerkosa wanita-wanita di lingkungan tetangga yang tidak berani melapor kepada polisi, seperti yang disombongkannya kepada dirinya. Maria tidak tahu apa-apa mengenai pembunuhan keluarga Nardin, tetapi ia tidak meragukan kemampuan suaminya melakukan hal itu kepada pasangan tersebut. la tidak tahu di mana suaminya berada pada malam kejadian itu.

De Ronzo akhirnya mengaku setelah motor Paolo Nardin ditemukan di garasinya dan sebuah pisau lipat otomatis masih berlumuran darah ditemukan dari lubang gorong-gorong di belakang rumahnya.

Memang benar ia telah membunuh keluarga Nardin, tetapi itu bukan salahnya. Menurutnya, itu sebagian karena kesalahan keluarga Nardin sendiri dan sebagian lagi karena kesalahan program televisi. Lo, apa hubungannya? Penyiar di salah satu program TV malam itu berpakaian seksi dan wanita itu membuat dirinya gelisah. Dorongan nafsu setannya menggelegak, minta penyaluran.

Dalam keadaan gelisah ini ia melihat suami-istri Nardin tidak menutup gorden saat mereka telanjang sebelum bersiap tidur. Apalagi malam-malam sebelumnya de Ronzo sempat mengamati Margherita dalam keadaan telanjang atau setengah telanjang. Margherita adalah wanita yang sangat cantik dan penyiar televisi itu membuat de Ronzo teringat pada Margherita. 

Saat melihat ke seberang jalan, de Ronzo memperoleh ide untuk mengalihkan perhatian Nardin dari apartemen dengan menyembunyikan motornya. Dipikirnya Nardin akan pergi mencari motornya. Perkiraannya ternyata tidak meleset.

Pada saat itu, sementara Nardin menemani tamunya turun dan akan melihat motornya, Margherita masuk ke kamar tidur dan menanggalkan pakaian sampai telanjang sebelum naik ke ranjang untuk menunggu Paolo. 

De Ronzo mengamati hal ini dari jendelanya sendiri dan saat Paolo tidak kelihatan lagi, ia segera berlari menyeberangi jalan dan menaiki apartemen keluarga Nardin.

Pintu apartemen itu tidak dikunci. Margherita mendengar ia masuk dan memanggil, "Paolo? Cepat. Aku menunggumu." 

De Ronzo masuk ke kamar tidur dan melepaskan jaketnya, karena ia pikir jaket itu akan mengganggu apa yang ada di benaknya. 

Margherita, yang tidak mengenalnya saat ia dan Paolo pindah ke apartemen itu sebulan lebih awal, sangat heran dan marah sehingga ia tidak bisa berbuat apa-apa selain bertanya dengan tergagap, "Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?" sebelum laki-laki itu menindih tubuhnya dan tangannya dibekapkan ke mulut sehingga wanita itu tidak bisa berteriak. 

Menyadari maksud laki-laki itu, Margherita menyerang seperti seekor singa betina dan berusaha mencakar lehernya. Karena tak sanggup harus membekap mulut wanita itu dengan sebelah tangannya dan menelikung kedua tangan Margherita, de Ronzo hilang kesabaran. la menghunus pisau lipat otomatisnya dan menikamnya. Kemudian Marherita masih berbaring dan tidak ada masalah lagi, kata de Ronzo dengan perasaan puas. 

Sialnya, saat ia baru menyelesaikan hasratnya, Nardin kembali dan menerjangnya. Maka terjadilah perkelahian yang mengerikan, tetapi de Ronzo lebih kuat dan lebih berpengalaman dalam berkelahi. la segera mengarahkan lengan atasnya, menjepit Nardin ke lantai dan menghunjamkan pisau lipatnya ke dada korban. 

De Ronzo merasa yakin sekarang polisi sudah mengetahui apa yang terjadi dan mereka setuju bahwa pembunuhan itu terjadi bukan karena kesalahannya. Jika Margherita tidak membuat kegaduhan dan bisa menahan diri satu menit saja, de Ronzo tidak akan membunuhnya. Begitu pula bila Nardin tidak menyerangnya, ia juga tidak akan menghabisi nyawanya. Menurutnya, pada dasarnya, hal itu adalah sesuatu yang sah untuk mempertahankan diri. 

Polisi tentu saja tidak sependapat dengan de Ronzo. Begitu pun pengadilan. Tanggal 5 September 19890, Arturo de Ronzo yang pemarah itu dinyatakan bersalah melakukan percobaan perkosaan dengan kekerasan dan melakukan pembunuhan tanpa hal-hal yang meringankan. Karena itulah ia dijatuhi dua kali hukuman secara berbarengan yang panjangnya dua kali seumur hidup. (John Dunning)

 

" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350825/tergoda-penyiar-tv" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656531365000) } } }