array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3517493"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/tergiur-berlian-setelur-puyuh_-u-20221009073811.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(111) "Sebelum kematiannya, Riva diantar oleh Boris yang dikenal berkepribadian ganda. Tak ayal, ia menjadi tersangka."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/tergiur-berlian-setelur-puyuh_-u-20221009073811.jpg"
      ["title"]=>
      string(29) "Tergiur Berlian Setelur Puyuh"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-10-09 19:41:34"
      ["content"]=>
      string(28375) "

Intisari Plus - Sebelum kematiannya, Riva diantar oleh Boris yang dikenal berkepribadian ganda. Tak ayal, ia menjadi tersangka.

-------------------

Kesadaran Boris perlahan-lahan muncul. SeIuruh anggota tubuhnya mulai bisa dirasakannya satu demi satu. Tapi kelopak matanya masih terkatup rapat dan kepalanya masih terasa berat.

Butuh waktu sekitar tiga menit sampai ia benar-benar menyadari cahaya matahari menerobos masuk dari sela-sela gorden jendela kamar tidurnya. Otaknya memang belum bekerja penuh, tapi telinganya sudah terusik suara gaduh dari luar rumah.

Dug, dug, dug ...! Pintu depan rumahnya terdengar diketuk berkali-kali, cepat, dan keras. Hampir bersamaan, ponselnya yang disetel vibrate juga terus bergetar di atas meja kayu. Diraihnya ponsel itu, dan terbaca sebuah nomor yang tidak dia kenal.

Dengan langkah gontai, Boris menuju pintu depan dan membukanya. Di luar tampak beberapa sosok pria berdiri di bawah terik cahaya matahari yang menyilaukan.

“Saudara Boris?” Inspektur Dua Marko bertanya tegas. “Kami polisi. Kami harus membawa Anda ke kantor ....” 

Belum terlalu jelas Boris menyimak kata-kata Ipda Marko, dua orang petugas dari baris belakang tiba-tiba menerobos masuk rumah. Salah seorang langsung merenggut tangan kiri Boris, memutarnya dengan kasar lalu memasangkan borgol. Tubuh Boris didorong ke arah dinding. “Saudara kami tahan!”

Boris sama sekali tidak melakukan perlawanan, semata-mata karena tubuhnya masih lemah tak bertenaga. Sejumlah polisi lain merangsek masuk ke dalam rumah, lalu memeriksa seluruh ruangan, dari ruang tengah, kamar tidur, kamar mandi sampai teras belakang. Boris bersandar lemah di dinding. Ia sempat melirik ke arah jam. Hampir pukul 15.30.

 

Tak ingat apa pun

Di kantor polisi, baru Boris mengerti, polisi menangkap dirinya karena ia diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap Rivanie Maurent. Perempuan teman dekatnya itu ditemukan tewas di rumahnya tadi pagi.

Hanya informasi itu yang diberikan Ajun Komisaris Polisi Rizaldi Satria, kepala unit Reserse Kriminal, saat menyambut Boris dan langsung membawa ke ruangannya. Setelah borgol dipasang menyilang di antara kaki kursi, Boris ditinggalkan sendiri. Tidak ada informasi tambahan lain.

Kondisi kepalanya makin terasa berat, Boris benar-benar diliputi rasa bingung, heran, takut, dan sedih menyikapi situasi yang mengejutkan itu. 

Selama hampir satu jam di ruangan AKP Rizaldi, ia berusaha menyusun keping-keping peristiwa dalam memorinya berkaitan dengan pertemuan terakhirnya dengan Rivanie Maurent, yang biasa ia panggil Riva, tadi malam. Tapi tak satu pun yang berhasil dia ingat. Apakah ini karena gangguan penyakit yang dideritanya? Atau karena semalam ia sempat mengonsumsi narkoba?

Braaak! Tiba-tiba pintu ruangan dibuka. Rizaldi masuk diikuti Marko serta Safruddin Tanuwijaya, seorang produser film sukses yang dikenal Boris. 

Wajah Safruddin yang biasanya hangat dan selalu menebar senyum, kali itu tampak pucat. Namun, ia terlihat berusaha tersenyum saat Boris menatapnya. “Bagaimana, kamu baik-baik saja?” Safruddin menepuk bahu Boris dan duduk di sampingnya.

“Ya, beginilah, Om.” 

Safruddin mengangguk-angguk lalu terdiam. Terlihat ada sesuatu yang dikhawatirkannya.

Entah mengapa Boris merasa, kehadiran Safruddin yang dipanggilnya Om - karena dia sahabat almarhum ayahnya dan kini mengasuhnya - adalah sebuah kunjungan biasa kepada seorang tahanan polisi tanpa ada maksud membelanya. Inilah yang membuat Boris merasa telah divonis bersalah atas pembunuhan Riva.

“Bantulah polisi, jangan mempersulit pemeriksaan,” pesan Safruddin sambil menyerahkan sebuah bungkusan makan siang lalu pamit keluar ruangan.

Rizaldi membuka pembicaraan setelah borgol di tangan Boris dilepas. Wajahnya terlihat santai. Sebatang rokok kretek dinyalakan. “Sebaiknya berkata terus terang agar tidak mempersulit pemeriksaan. Anda berada di mana antara jam dua belas hingga jam tiga tadi malam?”

“Saya memang ingin berkata jujur,” ujar Boris sambil membetulkan posisi duduknya. “Saya di rumah. Tidur. Sampai anak buah Bapak menangkap saya.”

“Itu saja?” 

“Ya.” 

Terdengar suara kursi berderit. Rokok dimatikan dan Rizaldi menarik napas panjang. “Anda tahu, ancaman hukuman terhadap kasus ini berat. Sebaiknya bekerja sama saja. Pagi ini mayat Riva kami temukan di kamarnya. Wajahnya memar dan terdapat luka tusuk pada perutnya. Banyak saksi bilang, Anda bersama Riva menghadiri pesta Pak Safruddin tadi malam. Apa yang kemudian Anda lakukan?”

Sejenak Boris tertunduk, karena mulai jelas duduk perkaranya. Lalu secara tegas ia mengulangi pernyataan sebelumnya, “Saya memang mengantarnya pulang dari menyanyi. Tapi setelah itu saya langsung pulang, terus tidur.”

“Lalu bagaimana Anda bisa menjelaskan adanya pisau dengan noda darah di bagasi mobil Anda. Juga tas korban yang ditemukan di kamar Anda?”

Boris terkejut. Matanya terbelalak. Bagaimana itu bisa terjadi? Yang ia tahu, sejak sekitar pukul 24.00, setelah mengantar Riva pulang ke rumahnya, ia tidak ingat apa-apa lagi.

“Mungkin ada yang menaruhnya di mobil saya. Dan tas itu bisa jadi ditaruh di sana,” Boris tergagap. 

“Apakah Anda selalu tidur nyenyak seperti itu sampai tidak tahu ada orang masuk rumah?” 

“Eh ....” Suara Boris tertahan. “Mungkin Bapak harus menghubungi dokter saya, dr. Kuntoro,” kata Boris sambil merogoh dompetnya, lalu mengambil kartu nama dr. Kuntoro dan menyerahkannya kepada Rizaldi.

Kening Rizaldi berkerut sejenak. Walau sedikit ragu, ia tetap mencoba memencet nomor telepon pada ponselnya untuk menghubungi dr. Kuntoro. 

“Boris memang pasien saya,” kata dr. Kuntoro setelah Rizaldi menjelaskan semuanya. “Boris bisa dikatakan menderita DID, dissociative identity disorder. Orang awam mengenalnya sebagai berkepribadian ganda.”

“Kepribadian ganda?” 

“Ya. Kasus ini memang sangat jarang dan unik. Tapi ini benar terjadi pada Boris. Penjelasannya bisa panjang. Tapi sejauh penanganan saya, dia memiliki kepribadian lain, yang tidak disadarinya.”

“Mungkinkah dia membunuh?” tanya Rizaldi masih ragu. 

“Membunuh?” dr. Kuntoro terkejut. “Ee, bisa saja. Sebagai pribadi yang lain dia bisa melakukan perbuatan kriminal tanpa disadarinya.”

“Kok mirip di film-film ya. Eeh, maaf, maksud saya, baru kali ini saya menangani kasus seperti ini, Dok,” kata Rizaldi berhati-hati, masih lewat ponselnya. 

“Memang, sangat unik. Dalam catatan saya, Boris mempunyai satu pribadi lain yang bisa cenderung berbuat kejahatan. Tapi saya tidak mengira dia harus berurusan dengan polisi.”

Sejenak Rizaldi terdiam. “Apa dokter bisa datang ke kantor kami untuk menjelaskan lebih rinci? Siapa tahu informasi Anda berguna bagi penyidikan dan keselamatan Boris sendiri.”

 

Tiga tusukan

Seperti umumnya, rumah-rumah real estate di pinggiran kota, rumah Riva yang terletak di bilangan Cileungsi tidak tergolong besar. Luas tanahnya 180 m2 dengan bangunan yang hampir menutupi seluruh lahan. Karena perumahan baru, rumah di kiri-kanannya belum berpenghuni.

Riva sebenarnya tinggal bersama Farid, suaminya. Tapi sekitar setahun terakhir, Farid lebih sering bepergian ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Bisa lebih dari 20 hari dalam sebulan suaminya bepergian ke sejumlah kota sebagai konsultan sistem pengamanan kantor cabang bank. Salah satu keahliannya adalah memasang brankas.

Situasi itu memperburuk kondisi rumah tangga mereka yang baru berusia tiga tahun. Sebelumnya, Farid sering merasa cemburu karena Riva serius menekuni karier di dunia tarik suara di klub malam. Ditambah banyak ketidakcocokan lain, hubungan mereka kian merenggang. Hanya karena kesibukan masing-masing, perceraian secara resmi belum sempat diurus. Apalagi sesekali Farid masih sering bertandang ke Jakarta dan tidak ada tempat untuk bermalam kecuali di rumah istrinya sendiri.

Pagi hari saat terjadinya peristiwa pembunuhan, Farid sedang berada di Jakarta. Kepada polisi ia mengaku datang dari Surabaya naik kereta api malam. Tiba di Stasiun Gambir pukul 05.00 pagi, ia lalu naik taksi ke rumahnya. “Perjalanannya sekitar 1,5 jam,” tutur Farid dalam pemeriksaan di TKP (tempat kejadian perkara) yang dipimpin Rizaldi.

Masih menurut Farid, tanpa ada rasa curiga sama sekali, Farid masuk ke rumah dengan kunci miliknya. Setelah membersihkan diri di kamar mandi, ia langsung tidur di kamar depan. Farid tidak ingin mengganggu istrinya yang mungkin baru pulang dari tempat kerja beberapa jam sebelumnya. Riva tidur di kamar tidur utama.

Ketika bangun sekitar pukul 11.00, Farid mulai curiga karena sama sekali tak terdengar ada tanda-tanda kehidupan dari kamar Riva. Biasanya, selarut apa pun tidurnya, Riva akan bangun pagi-pagi untuk berolahraga ringan atau beres-beres rumah.

Setelah beberapa saat tak kunjung ada kejelasan, Farid mencoba masuk ke kamar Riva, yang tidak terkunci. la sangat terkejut dan nyaris tidak percaya melihat pemandangan di depan matanya. la mendapati istrinya sudah menjadi mayat dalam posisi tergeletak di lantai bersimbah darah. Tanpa pikir panjang Farid segera menghubungi polisi.

AKP Rizaldi ditemani dua anak buahnya, Marko dan seorang polisi muda Inspektur Faizal, langsung menangani TKP. Satu jam kemudian tim dari Laboratorium Forensik datang bergabung.

Masih dibalut pakaian tidur, kondisi mayat korban sungguh mengenaskan. Pada wajahnya terdapat luka-luka pukulan benda keras, tapi ia meninggal karena tiga tusukan benda tajam yang menembus dada dan bawah perut. Korban dipastikan tewas di tempat.

Polisi memeriksa dan menggeledah seluruh isi rumah. Di luar kamar tidur tempat terjadinya pembunuhan, tidak ada hal yang mencurigakan. Tidak ditemukan kerusakan apa pun pada pintu dan jendela. Hanya dompet dan surat-surat penting korban tidak ditemukan, walau bisa disimpulkan sementara peristiwa itu bukan perampokan. Polisi menduga, pelakunya orang dekat, bahkan sempat bersama korban beberapa saat sebelum kejadian. 

Kamar Farid juga tak luput diperiksa, termasuk barang-barang pribadinya. Farid yang sejak kedatangan polisi hanya menunggu sambil terdiam di teras depan rumah tidak ingin mempersulit pemeriksaan. Ia mempersilakan petugas penyelidik memeriksa seluruh barang pribadinya.

Marko dan Faisal mencermati satu per satu barang-barang milik Farid, mulai dari pakaian, dokumen-dokumen perusahaan, karcis kereta, sabun hotel, bon laundry, struk ATM, boarding pass bandara, sampai nota pembelian dari supermarket.

“Komandan, mohon diperiksa, apa ada yang aneh dengan barang-barang ini,” bisik Marko pada Rizaldi sambil menyodorkan sejumlah kertas kecil. 

Kening Rizaldi berkerut. Ia meraih kertas-kertas itu. Mencermati beberapa saat lalu mencatat angka-angka yang tertera di kertas ke dalam notesnya. “Kita cek nanti,” ujarnya pelan.

 

Kekasih baru

Peristiwa pembunuhan Riva mengundang perhatian warga sekitar kompleks perumahan di TKP. Bukan cuma soal peristiwanya yang tragis, tapi juga soal gosip tentang perkawinan korban serta seringnya korban pulang larut malam dan sering kali diantar oleh lelaki yang berbeda.

Menurut warga, mobil yang paling sering mengantar dan singgah berjam-jam sampai menjelang pagi adalah Toyota Corolla DX berwarna biru tua, yang tak lain mobil milik Boris. Para satpam kompleks tahu kalau Boris sering singgah di rumah Riva, tapi mereka tidak mau usil.

Pada malam pembunuhan, dua orang satpam yang bertugas mengaku melihat Riva datang diantar mobil Boris, tapi mereka tidak peduli dengan aktivitas mereka selanjutnya. “Sudah biasa sih, Pak,” ujar keduanya sambil tersenyum dan saling berpandangan. Apalagi mereka harus berpatroli memeriksa blok-blok lain di perumahan itu. Sekitar pukul 03.00 semua satpam yang bertugas malam itu mengaku terus terang sudah tertidur di pos jaga.

Namun, dari kedua satpam itu pula Marko memperoleh informasi, setidaknya tiga atau empat bulan terakhir ada seorang pria lain yang sering mengantar-jemput Riva. Pria itu berpostur tinggi, tegap, berwajah tampan, berambut ikal, dan mengendarai mobil BMW seri lama. 

“Selain yang pakai Corolla DX, si Keriting ini juga sering mampir. Enggak tahu juga Pak, ngapain aja mereka di dalam rumah,” jelas seorang satpam sembari tertawa-tawa.

Awalnya, Marko dan Faisal sedikit kesulitan mencari tahu tentang pria berambut ikal itu. Tapi para penyanyi di Pub Tiara, tempat Riva bekerja, ternyata juga sering melihat Riva dijemput pria berambut keriting, selain Boris. 

“Saya sudah kasih tahu ke Riva, Boris bisa cemburu kalau memergoki Riva bersama laki-laki itu,” tutur Santi rekan sesama penyanyi kepada Marko. “Tapi Riva bilang, ‘Ah, biarin aja. Dia sudah mulai reseh’. Enggak tahu deh, Pak, apa maksudnya reseh,” tuturnya dengan mata nakal yang selalu melirik ke arah Faisal. 

Pernyataan Santi dibenarkan oleh para penjaga pub. Bahkan mereka sudah mengantisipasi jika terjadi keributan di saat dua pria itu bertemu di pub. 

“Soalnya, si Ikal itu jago silat kalau lagi di sinetron,” tutur seorang penjaga yang bertugas di pintu depan.

“Sinetron?” Marko mulai tertarik. 

“Si Ikal itu pemain sinetron laga, meski cuma peran-peran pembantu. Saya tidak tahu namanya, tapi hafal mukanya,” ujar penjaga itu dengan nada yakin. 

“Kira-kira sinetron apa judulnya?”

“Wah, cerita silat. Satria Gunung atau Satria Pegunungan. Macam itulah. Tayang setiap sore.” 

Karena belakangan serial sinetron laga sudah makin jarang ditayangkan di televisi, Marko tak sulit menemukan judul sinetron di mana si Ikal bermain: Satria Gunung Madu. Pihak stasiun televisi memberi informasi, sinetron itu diproduksi oleh PT Gandanama Prima, sebuah perusahaan film yang dimiliki Safruddin Tanuwijaya.

 

Nyaris dikeroyok massa

Marko menjadi bersemangat. Perkembangan ini segera dia laporkan kepada Rizaldi yang langsung mengontak ponsel Safruddin lewat nomor khusus. Nomor itu sengaja diberikan ke polisi jika ada keperluan mendesak.

“Ya, sinetron itu produksi perusahaan saya, tapi saya tidak tahu soal artis. Artis saya banyak, Pak. Ratusan. Ada juga beberapa yang berambut keriting. Mungkin ada satu-dua juga yang kenal Riva,” tutur Safruddin yang sedang berada di Singapura. Tapi ia lalu berjanji akan meminta stafnya mengecek.

Sampai di situ, penyelidikan polisi seolah buntu. Perusahaan produksi sinetron itu, melalui seorang staf public relation menyatakan kesulitan menemukan seorang pemain jika hanya berdasarkan identitas rambut keriting. Apalagi sinetron laga umumnya bersifat kolosal dan pemain berambut keriting sangat banyak jumlahnya. Belum lagi ketika beraksi di depan kamera, rambut itu tersamar oleh aksesori di kepala.

Namun, kebuntuan itu hanya berlangsung sehari, karena di hari berikutnya Marko seperti kejatuhan durian runtuh. Satpam kompleks perumahan tempat tinggal Riva membekuk Amal Nurachman alias Ikmal, artis sinetron berambut ikal, saat mendatangi rumah Riva. Karena tahu kalau Ikmal kenal dengan korban, maka mereka berinisiatif menangkap dan membawanya ke polisi.

Di ruang pemeriksaan, Ikmal tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Terutama karena namanya dikait-kaitkan dengan kematian Riva. Ia mengaku tidak mendengar berita pembunuhan itu sendiri karena tidak mengikuti perkembangan berita-berita kriminal dari media massa.

Setelah pertemuan terakhirnya dengan Riva seminggu lalu, Ikmal selalu berada di luar kota untuk syuting. Selama itu ia mengaku tidak berhubungan. Baru setelah tiba di Jakarta, hari Sabtu malam, ia mencoba menelepon Riva, tapi ponselnya tidak aktif. Sialnya, ketika mencoba mendatangi rumah Riva, ia malah ditangkap satpam dan hampir dikeroyok massa.

Atas perintah Rizaldi, Ikmal belum bisa dilepaskan. “Saya yakin, masih ada hal yang dia sembunyikan,” tutur Rizaldi tentang alasannya “menahan” Ikmal di ruang pemeriksaan sampai dia berterus terang. Bahkan keluarganya ikut didatangkan untuk membujuk Ikmal agar mau bicara terus terang.

Firasat Rizaldi tepat. Meski berperawakan besar dan berwajah keras, Ikmal tidak tahan stres terhadap suasana di kantor polisi. Kepada pemeriksa, ia bersedia mengungkap lebih jauh tentang hubungannya dengan Riva. 

Ikmal menuturkan, hari Minggu pada saat pembunuhan, sekitar pukul 16.00, sebenarnya ia berencana bertemu Riva dan salah seorang temannya untuk urusan penjualan berlian.

“Nilainya lebih dari lima ratus juta rupiah. Saya tidak peduli dari mana asalnya. Tapi saya pikir, pasti milik Pak Safruddin. Mungkin teman Riva itu pencurinya,” jelas Ikmal pasrah. 

“Anda tahu nama teman Riva itu?” Sejenak Ikmal mengingat-ingat, lalu berkata pelan, “Rico.” 

“Rico?”

Ikmal mengangguk. “Saya tahu dari Riva, Rico itu pencuri profesional. Keahliannya bikin kunci palsu dan membongkar brankas.” 

“Anda pernah bertemu Rico sebelumnya?” 

“Belum.” 

“Mengapa sampai terjadi pembunuhan?” 

“Saya tidak tahu. Saya hanya pelaku bisnis permata. Bukan pembunuh.”

 

Ketemu dalangnya

Mobil Rizaldi berhenti mengambil tempat di belakang mobil yang dinaiki Marko, Faisal, dan petugas bernama Hamid. Jarak kedua mobil itu hanya sekitar 50 m dari rumah Boris yang sedang dalam pengintaian. Namun, posisi mereka dipastikan tidak mencurigakan.

Melihat komandannya tiba, Faisal segera turun dan melapor dari balik jendela. “Target masih di dalam. Sudah sekitar 40 menit.” 

“Waspada terus!” 

“Siap.” Dari balik jaket, Rizaldi meraih senjata genggam, dipandangnya sesaat sebelum diletakkan di pangkuannya. Matanya terus mengawasi jika sewaktu-waktu seseorang yang mereka intai keluar dari rumah Boris.

Hanya berselang 10 menit, pintu depan rumah terlihat terbuka. Sesosok pria bertopi dan berjaket hitam tampak keluar melewatinya. Gerakannya begitu tenang. 

Pria itu menutup pintu, menoleh ke sekeliling sejenak, lalu berjalan menuju jalan raya. Saat itu pula langkahnya segera disambut gerakan sigap empat orang polisi yang telah menunggu di seberang jalan.

“Farid! Berhenti!” Rizaldi memerintahkan. 

Mendengar perintah polisi, pria yang tak lain Farid itu justru berlari. Meski bertubuh gempal, gerakannya cukup gesit. Tiga anak buah Rizaldi sempat terkejut melihatnya dan secara refleks langsung mengejar.

“Berhenti, berhenti! Polisi!” Aksi kejar-mengejar itu sempat menarik perhatian pengguna jalan di sekitar kompleks perumahan. Beberapa orang kaget dan menghindar.

Mungkin karena merasa tidak ada kesempatan meloloskan diri, beberapa puluh meter kemudian Farid melambatkan laju larinya lalu berhenti sama sekali. Napasnya tersengal-sengal. Tangannya perlahan-lahan diangkat. “Saya menyerah. Jangan ditembak.” 

“Saudara kami tahan atas dugaan membunuh Riva,” tutur Marko yang segera memborgol tangan Farid. Tas di punggungnya diambil dan diserahkan ke Rizaldi. Barang-barang di dalamnya diperiksa.

“Wow, ternyata seperti ini berliannya. Luar biasa.” Rizaldi tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada berlian sebesar telur puyuh berkadar 20 karat yang dibungkus kain beludru biru tua. “Cek, cek, cek! Harganya setengah M lebih. Kalian mau kalau diberi?” decak Rizaldi sambil menggoda ketiga anak buahnya.

Di kantor polisi, Farid tidak bisa mengelak atas tuduhan mencuri berlian “milik” Boris dari brankas di balik lemari kamar tidur. Tapi yang terpenting, pengakuannya juga mengalir lancar tentang pembunuhan Riva, istrinya. Motifnya, ia merasa kesal, karena istrinya tidak setia.

Sedangkan soal pencurian berlian, Farid menyatakan hanya sebuah kebetulan. Riva yang dekat dengan Safruddin berhasil memperalat Boris, mencuri salah satu berlian koleksi pengusaha itu. Kepribadian Boris yang lain, yang bernama Rico, berpotensi menjadi pencuri profesional.

 “Bagaimana Kapten tahu Farid terlibat?” Faisal yang masih berstatus penyelidik baru, penasaran dengan metode penyelidikan komandannya. Bahkan sebelumnya ia bingung karena Rizaldi memintanya terus membuntuti Farid beberapa hari dan mengawasi rumah Boris. 

“Sederhana,” jawab Rizaldi tersenyum simpul. “Farid tidak naik kereta ke Jakarta. Karcis keretanya hanya untuk alibi, sebab karcis itu tidak dibolongi seperti biasa dilakukan petugas pemeriksa di atas kereta. Di bagian nama juga tidak ada coretan dari petugas peron di stasiun.”

“Cuma itu, Kapten?” 

“Dari struk penarikan uang ATM saya tahu, Farid ada di bandara hari Sabtu sekitar jam tiga sore. Berarti dia sudah datang beberapa jam sebelum pembunuhan. Menunggu Riva di rumah, membunuhnya, dan meninggalkan bukti di rumah Boris, selagi Boris sedang teler gara-gara narkoba.”

Tiba-tiba ponsel Rizaldi berbunyi. Telepon dari Marko, yang melaporkan sesuatu. “Nah, sekarang kita jemput otak semua peristiwa ini,” ajak Rizaldi. 

“Lo, masih ada lagi, Komandan?” Faisal terkejut, diraihnya jaket dari sandaran kursi.

“Farid malam itu tidak datang sendiri. Dari data penumpang pesawat, dia ternyata duduk di samping Safruddin. Mudah-mudahan dugaan saya benar bahwa dia otak semuanya ini. Kalau tidak, dari mana Farid mendapat informasi tentang keberadaan berlian milik Safrudin di rumah Boris. Mari kita jemput dia di kantornya. Dia sudah datang dari Singapura siang ini!” 

Faisal begitu bersemangat untuk segera menyelesaikan dengan tuntas kasus kejahatan pertama yang ditanganinya itu. Ia berharap suatu saat bisa sehebat komandannya. (Tjahjo)


Baca Juga: Mimpi Mematikan

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517493/tergiur-berlian-setelur-puyuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665344494000) } } }