array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3350536"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/pelajaran-buat-si-mata-keranjang-20220629071804.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(137) "Travers yang ramah dengan cepat menarik perhatian Caroline. Tak ayal, ini membuat Edward cemburu dan membuat rencana untuk mencelakainya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/pelajaran-buat-si-mata-keranjang-20220629071804.jpg"
      ["title"]=>
      string(32) "Pelajaran Buat si Mata Keranjang"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-29 19:18:17"
      ["content"]=>
      string(36044) "

Intisari Plus - Caroline dan Edward pertama kali bertemu dengan Travers saat bermain ski. Travers yang ramah dengan cepat menarik perhatian Caroline. Tak ayal, ini membuat Edward cemburu dan membuat rencana untuk mencelakainya.

------------------

Liburan musim dingin kali ini kami habiskan di Verbier, kawasan Ascot, Inggris, ajang bermain ski yang terkenal. Sabtu pagi itu kami sedang menunggu ski lift ketika seorang pria 40-an tahun menyilakan Caroline, istri saya, masuk ski lift. 

Dari omongannya kami tahu sepagi itu ia telah menyelesaikan dua kali luncuran. Sejenak saya terpesona atas keramahannya, meski kemudian tak ingat lagi lantaran kesibukan kami.

Sesampai di puncak kami segera memisahkan diri, masing-masing menggunakan luncuran yang berbeda sesuai dengan tingkat keterampilan. Caroline menggunakan luncuran A bergabung dengan Marcel, pelatih yang khusus menangani para pemain ski tingkat lanjut. Maklum, istri saya memang sudah bermain ski sejak usia 7 tahun. Sementara saya memilih luncuran B, sesuai dengan tingkat kemampuan ski saya yang tergolong masih pemula. 

Dalam bermain ski boleh dibilang saya memang jauh ketinggalan dibandingkan dengan Caroline. Terus terang luncuran B pun sebenarnya masih terlalu sulit buat saya, tetapi saya sering tidak mengaku di depan Caroline.

Malam harinya secara tak terduga kami bertemu lagi dengan pria ramah yang kami jumpai di ajang ski tadi pagi. Namanya Patrick Travers. Sebagai teman bicara ia amat lucu dan menyenangkan. 

Dia juga bercanda akrab dengan istri saya tanpa meninggalkan batas-batas kesopanan. Toh, diam-diam rupanya pria tersebut terpesona melihat kecantikan Caroline, sementara istri saya pun memuji perhatiannya. 

Setelah bertahun-tahun hidup bersama Caroline, baru sekarang ini saya menyadari betapa wanita yang sudah puluhan tahun mendampingi saya ternyata memiliki "magnet" tersendiri bagi pria. Saya merasa bersyukur betapa beruntungnya saya.

Dari obrolannya kami tahu Travers, yang tinggal di Eaton Square ini, bekerja sebagai bankir dagang. Sejak ikut rombongan wisata sekolah pada akhir tahun '50-an, ia mengunjungi Verbier setiap tahun. Dia pun bangga selalu sebagai orang pertama yang bermain ski tiap pagi, dan sering kali mengalahkan jagoan lokal. Ketika tahu saya membuka galeri seni di West End, nampaknya ia berminat untuk melihat.

Bahkan ia membeli lukisan aliran semi-imperesionis untuk koleksi, sambil berjanji akan mampir lagi bila kembali ke kota ini.

 

Lukisan Vuillard

Sejak itu sekelebat-sekelebat Travers sering kami temui di berbagai kesempatan. Suatu kali pada saat liburan, kami pernah memergokinya sedang mengobrol dengan istri Percy, teman kami yang mengelola galeri permadani Timur. Kali lain ia kami lihat dan kemudian bersama Caroline bermain ski lagi di luncuran A yang berbahaya. Kira-kira enam minggu kemudian saya kembali menjumpainya di galeri saya.

"Senang bertemu lagi, Edward," katanya. "Saya membaca tulisanmu di Independent dan langsung ingat akan undangan pribadimu." 

"Berapa harga lukisan 'Wanita dan Janda' itu?" tanyanya tiba-tiba. 

"Delapan puluh ribu ponsterling," jawab saya. 

"Itu mengingatkan pada sebuah lukisannya yang terpajang di Metropolitan," katanya sambil membuka-buka katalog. Saya sempat kagum oleh daya ingat dan kompletnya pengetahuan Travers akan karya Vuillard. Saya katakan juga bahwa lukisan yang dikaguminya tersebut dibuat oleh Vuillard selama sebulan di New York.

"Lukisan yang sedikit telanjang itu?" 

"Empat puluh tujuh ribu." 

"Ny. Hensel, istri agen dan gundik kedua Vuillard, kalau saya tidak salah. Lukisan itu menjadi favorit saya dalam pameran ini." 

Travers lalu berbalik dan mengamati lukisan besar cat minyak bergambar seorang gadis yang sedang bermain piano, sementara ibunya nampak membantu membalik-balik halaman partitur.

"Luar biasa," katanya. "Boleh saya tahu harganya?" 

"Tiga ratus tujuh puluh ribu pon." 

Tanpa saya sadari tiba-tiba dari arah belakang muncul seorang pria yang dengan spontan menyapa, 

"Ada pesta besar rupanya, Edward." 

"Oh,... Percy!" kata saya sambil berpaling padanya. "Aku pikir kamu tidak datang." Pria itu teman karib keluarga kami. 

"Maaf, ikut prihatin soal Diana," ujar saya karena belakangan kami mendengar perceraian dalam bahtera rumah tangga Percy. Selesai melayani Percy, saya berbalik untuk melanjutkan pembicaraan dengan Travers namun dia sudah tidak kelihatan lagi. 

Mata saya segera mencarinya seputar ruangan dan melihatnya berdiri jauh di pojok galeri mengobrol mesra dengan istri saya. Ah, rupanya gaun hijau dengan potongan bahu terbuka yang dikenakan Caroline terlalu berani. Tak heran, mata lelaki Travers selalu terpaku pada tonjolan dada indah beberapa inci di bawah bahu itu.

Mendadak hati saya panas. Dasar mata keranjang! Pria mana yang tidak geregetan melihat istrinya dijadikan santapan mata birahi lelaki lain. Tentu saya tidak begini kalau wanita di depan Travers bukan Caroline. Untung, saya bisa menahan diri untuk kemudian bersikap biasa kembali.

Beberapa hari berikutnya saya melihat Travers lagi di galeri saya. la berdiri mengamati lukisan Vuillard yang menggambarkan ibu dan putrinya sedang bermain piano. 

"Selamat pagi, Patrick," saya mencoba untuk tetap ramah. 

"Rupanya saya tidak bisa melupakan ini," jelasnya sambil menatap lukisan yang diminatinya dengan saksama. 

"Apakah saya harus menunggu lama untuk bisa memilikinya? Jangan khawatir, saya akan meninggalkan deposit." 

"Tentu," kata saya. "Saya hanya memerlukan referensi bank dan deposit sebesar 5.000 pon." 

Tanpa ragu ia menyetujui kedua syarat itu, sebelum kemudian saya menanyakan ke mana lukisan itu sebaiknya dikirimkan. Dia memberi kartu nama yang menunjuk tempat tinggalnya di Eaton Square. Pagi berikutnya bank tersebut menyetujui permohonan sebesar 371.000 pon.

Dalam 24 jam lukisan karya Vuillard sudah dikirim ke rumahnya dan digantung di ruang tamu di lantai bawah. Sore harinya ia menelepon balik, mengucapkan terima kasih, dan mengundang kami makan malam bersamanya.

Sebetulnya saya malas untuk harus berkunjung ke rumah Travers, tapi Caroline rupanya ingin sekali menerima. la tertarik melihat situasi rumah Travers.

Akhirnya, kami memenuhi undangan itu. Saya terkejut lantaran tidak menemukan Ny. Travers atau paling tidak pacarnya. Ternyata pria ini hidup seorang diri. Tapi sebagai tuan rumah ia amat mengesankan dan bijaksana. Tapi lagi-lagi saya mencium adanya maksud tersembunyi dalam diri Travers. 

Saya perhatikan ia selalu memberikan perhatian khusus pada Caroline. Wah, gawat! Nampaknya pria thukmis (senang melihat wantia cantik) ini mulai memasang jerat. 

Di luar dugaan, Caroline pun rupanya menikmati perhatian itu. Perasaan kesal dan amarah memenuhi dada. Bayangkan, seorang lelaki berani main mata dengan Caroline. Di depan saya lagi. Bisa-bisa mereka akan pacaran jika saya tidak ada.

 

Ketahuan belangnya

Ketika kami meninggalkan Eaton Square, Travers mengatakan ia akan segera memutuskan membeli lukisan itu atau tidak.

Tapi tiba-tiba beberapa hari kemudian lukisan tersebut malah dikembalikan ke galeri. Alasannya sepele, ia tidak suka lagi. Tanpa ada penjelasan rinci. la cuma mengatakan akan mampir ke galeri lagi untuk mendapatkan karya Vuillard yang lain.

Walaupun kecewa, saya mengembalikan depositnya. Dengan menghibur diri, saya berkeyakinan kalau ia memang seorang pelanggan setia pasti akan kembali lagi. Tetapi Travers tidak pernah kembali lagi.

Sebulan sudah peristiwa itu berlalu. Saya pun hampir lupa dengan Travers. Suatu siang ketika sedang makan siang di klub, datanglah Percy Fellows ke meja saya. Semenjak bertemu di pameran lukisan Vuillard, baru kali ini saya melihatnya lagi. 

Percy menjadi agen barang-barang antik yang paling terpercaya di Inggris. 

Setelah perceraian dengan istrinya, Diana, pria ini selalu murung.

"Mengapa selalu berakhir dengan perceraian," keluhnya. 

"Aku sendiri semula bisa memaafkan perilakunya yang bebas. Diana aku beri kebebasan untuk pergi ke mana ia suka, asal masih di London. Aku merasa betapa sedihnya nasib suami yang istrinya tidak setia. Ketahuilah,Travers, pria jahat itu, menjadi teman kencan terakhirnya." 

"Travers?" kata saya terkaget-kaget. 

"Patrick Travers, pria yang tercantum dalam surat permohonan cerai. Kau pernah kenal dia?" katanya. 

"Aku tahu namanya." Saya termangu-mangu, ingin mendengar lebih jauh ceritanya. 

"Kalau tidak salah, aku pernah melihatnya dalam pameran di galerimu beberapa waktu lalu?" 

"Oh, ya. Tetapi apa artinya bagimu sekarang?" saya bertanya sambil mencoba membuka pikirannya. Percy kembali melanjutkan unek-uneknya. 

"Awalnya kami bertemu lelaki sialan itu di Ascot. la bergabung dengan kami saat makan siang, minum sampanye, mencicipi hidangan pencuci mulut. Tapi sebelum akhir minggu ia sudah tidur dengan istriku. Gila, enggak? Namun itu belum apa-apa."

"Belum apa-apa bagaimana?" tanya saya ikut keki. 

"Orang itu punya keberanian datang ke toko dan menitipkan deposit yang besar untuk sebuah meja Georgian. Lalu dia mengundang kami makan malam dan sekaligus melihat penataan mejanya. Dari situ ia mulai akrab dengan Diana, bahkan akhirnya aku tahu Diana suka datang ke rumahnya dan bercinta dengannya. Sesudah puas ia enak saja mengembalikan Diana dan meja Georgian dalam keadaan berantakan."

Mendengar penuturan Percy yang terakhir itu, mendadak tubuh saya lemas. Berbagai perasaan berkecamuk di hati. Bayangan wajah Caroline berkelebat silih berganti dengan wajah Travers. Mungkinkah nasib saya akan seperti pria di depan saya ini? Rupanya Percy menangkap perubahan pada saya.

"Kamu kelihatan sakit, kawan?" tanya Percy tiba-tiba. 

"Tidak, aku baik-baik saja," tukas saya cepat-cepat. "Aku hanya perlu udara segar. Maafkan, Percy."

Sepulang dari makan siang itu hati saya tambah sakit oleh ulah si mata keranjang bernama Travers. Kesimpulannya, saya akan membuat perhitungan dengannya. Demi Percy dan para suami yang lain, saya harus melancarkan pembalasan!

 

Menyusun rencana balas dendam

Pagi berikutnya saya mulai mengadakan penyelidikan rahasia dengan memeriksa surat-surat yang ditujukan pada Caroline. Barangkali ini tindakan yang tidak masuk akal. Apalagi kemudian saya pikir, Travers tentu tak akan bertindak bodoh melakukan hubungan gelap atau bikin janji apa pun melalui surat dengan Caroline.

Saya juga mulai lebih teliti mendengarkan pembicaraan telepon. Tidak semua penelepon memang, tapi paling tidak selagi saya ada di rumah. Catatan kilometer mobil juga saya cek ulang untuk memastikan apakah mobil dipakai jarak jauh. Tapi akhirnya saya hentikan setelah menyadari, Eaton Square ternyata tidaklah jauh dari mana-mana. Lalu saya coba untuk membuat jarak dengan Caroline dan tidak bercinta dengannya. Anehnya, dia pun tidak berkomentar apa-apa. Wah! Saya tambah penasaran. 

Saya terus mengamati tingkah laku Caroline dengan saksama lebih dari dua minggu kemudian dan nampaknya Travers sudah bosan dengan istri saya. la membuat saya bertambah marah. 

Saya lalu membuat rencana balas dendam yang bagi saya sendiri cukup luar biasa. Dalam beberapa hari mendatang rencana itu harus segera terwujud. Bahkan gagasan itu telah menjadi obsesi. Saya mulai meyakinkan inilah saat pembalasan buat Travers sebelum dia menodai istri teman-teman saya yang lain.

Tapi bertindak jahat tentu tak mudah bagi saya. Seumur-umur saya belum pernah melanggar hukum. Hal-hal kecil seperti didenda parkir, membuang sampah sembarangan sudah amat mengganggu pikiran. Saya pun taat membayar pajak. Namun sejak mula saya sudah bertekad menghabisi Travers.

Akhirnya, saya susun rencana pembunuhan dengan sangat teliti. Mula-mula timbul pikiran menembak Travers sampai saya menemukan betapa susahnya memperoleh perizinan pemilikan senjata. Daripada gagal dan membuat jengkel, gagasan ini kemudian saya kubur dalam-dalam. Kemudian timbul ide lain, menggunakan racun. Ide ini pun kemudian menguap begitu saja. Sejauh ini belum satu pun ide saya lakukan. Saya harus lebih berani - terus terang ia mempunyai tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan saya, sehingga kalau saya nekat melawannya bisa-bisa saya malahan tercekik olehnya.

Lalu ada pikiran menenggelamkannya, tapi tentu butuh waktu agak lama untuk menariknya ke dekat air. Saya bahkan berpikiran untuk menabraknya dengan mobil, tapi membatalkannya karena saya sadar kesempatannya amat kecil. Saya akhirnya menyadari betapa susahnya membunuh seseorang dengan cara-cara itu.

Begitu besarnya obsesi membunuh Travers sampai di malam buta pun saya bangun membaca riwayat para pembunuh, tetapi rupanya mereka semua dapat ditangkap dan ditemukan oleh pihak berwajib. Ini membuat saya makin tidak percaya diri. 

Saya lalu membalik-balik novel-novel detektif sampai saya membaca satu kalimat penting dari Conan Doyle: "Orang yang punya kegiatan rutin biasanya lebih mudah diserang."

Saya mengingat kembali kegiatan rutin apa yang selalu dibanggakan Travers. la pasti akan kembali ke Verbier untuk bermain ski dan saya akan melakukan perhitungan di sana. Tapi paling tidak saya harus menunggu enam bulan guna menyempurnakan dan melaksanakan rencana saya. 

Saya memanfaatkan waktu luang sebaik-baiknya. Selagi Caroline bepergian jauh, saya mendaftarkan diri untuk belajar bermain ski di luncuran kering di Harrow.

Saya kira rencana ini cukup mengejutkan. Bagi saya amat gampang mengetahui kapan Travers kembali ke Verbier. Sementara saya dapat merencanakan liburan musim dingin sehingga kami punya waktu tiga hari. Sangat cukup untuk melakukan pembalasan.

 

Mempraktikkan teori

Sesuai rencana, Caroline dan saya kembali berlibur ke Verbier pada Jumat kedua di bulan Januari. Di matanya saya nampak sangat tegang dibandingkan dengan liburan Natal sebelumnya.

Pagi pertama sesudah kedatangan, kami naik ke ski lift kira-kira pukul 10.30. Saat mencapai puncak, sebagaimana biasa Caroline melapor ke Marcel. Saat Caroline meninggalkan luncuran A, saya kembali ke luncuran B berlatih sendiri.

Hari itu saya melakukan apa yang sudah direncanakan dengan lebih baik dan berlatih dengan tekun di Harrow sampai saya merasa yakin bahwa semuanya dalam keadaan terkendali. Menjelang minggu pertama saya yakin rencana pembunuhan itu sudah matang.

Malam menjelang kedatangan Travers, sayalah orang terakhir yang meninggalkan luncuran. Selama itu Caroline sempat berkomentar begitu majunya keterampilan saya bermain ski dan dia menyarankan pada Marcel saya telah siap di luncuran A dengan medan yang lebih tajam dan lereng yang lebih curam.

Siang itu saya sempat memeriksa kembali penempatan bendera merah yang menandai lintasan. Saya yakin pemain ski terakhir telah meninggalkan luncuran malam hari saat saya mengumpulkan kira-kira 30 bendera pada jarak tertentu. 

Tugas saya terakhir adalah memeriksa bakal TKP (tempat kejadian perkara), sebelum membangun gundukan salju yang cukup lebar dua puluh langkah di atas tempat yang sudah terpilih. Sesudah semua persiapan itu sempurna, saya lalu menuruni punggung pegunungan itu.

"Rupanya, kau mau mencoba memenangkan medali emas Olimpiade?" tanya Caroline ketika saya kembali ke ruangannya. 

Travers nampak masuk hotel satu jam lalu.

Malam itu saya kembali bergabung dengannya di bar untuk minum-minum. Dia rupanya sungkan ketika melihat saya, tapi saya mencoba bersikap santai. Ini membuat saya makin yakin bisa melakukan rencana. Lalu saya meninggalkannya di bar beberapa menit sebelum Caroline datang makan malam bersama. Terus terang saya ingin meninggalkan kesan wajar. 

"Tidak seperti biasa kau makan terlalu sedikit, sepertinya kehilangan nafsu makan," kara Caroline saat kami meninggalkan ruang makan tadi malam. 

Saya tidak berkomentar apa pun saat kami melewati Travers yang sedang duduk di bar. Di dekatnya menggelendot manja seorang wanita paruh baya yang berdandan agak menor. Gila! Si Mata Keranjang kini sudah mendapatkan mangsa baru. Lihatlah, betapa kurang ajarnya lelaki ini. Tangannya nempel terus di lutut wanita itu tanpa risih. Pemandangan itu sungguh membuat saya muak.

Malam itu saya tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Menjelang subuh diam-diam dengan amat perlahan saya meninggalkan tempat tidur, tanpa membangunkan Caroline. Semua barang perlengkapan sudah saya siapkan di lantai kamar mandi.

Tanpa banyak buang waktu saya berpakaian dan siap berangkat. Berjalan lewat tangga belakang hotel, menghindari lift dan melewati pintu darurat kebakaran. Saya berpakaian wol dengan bagian kepala tertutup sampai telinga dengan sepasang kacamata salju. Saya yakin tak seorang pun akan mengenali saya, termasuk Caroline.

Saya tiba di bagian bawah ski lift 40 menit sebelum buka. Saya berdiri persis di balik sebuah rumah pembangkit listrik lift. Saya menyadari keberhasilan rencana ini amat tergantung pada kebiasaan Travers. Pikiran saya sudah bulat, hari ini rencana pembunuhan harus terlaksana. 

Tak henti-hentinya mata memandang sekeliling ke sudut-sudut bangunan dengan harapan saya dapat melihat langkah Travers. Akhirnya, nampak di kejauhan di dasar bukit di samping sebuah jalan, seorang pria dengan sepasang peralatan ski bertengger di bahunya. Tak salah lagi, dialah Travers.

Benarlah, Travers tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat saya berdiri di situ.

Cuma kami berdua yang pertama kali menggunakan ski lift yang sempit itu menaiki bukit dan melintasi jurang-jurang yang dalam. Saya berbalik dan memeriksa kembali apakah memang tak ada orang lain lagi selain kami.

"Saya biasanya sudah melakukan luncuran di lintasan ski sebelum orang lain datang," kata Travers tatkala lift berada di titik yang paling tinggi. Saya kembali menengok ke belakang sekadar untuk memastikan lift bekerja dengan baik dan melihat jurang sedalam 60 m. 

Saya begitu ngeri membayangkan seandainya jatuh di sana dengan kepala di bawah. Saya merasa pusing dan berharap tak ingin melihatnya. Ski lift berjalan pelan sampai akhirnya kami mencapai tempat pemberhentian.

"Akhirnya," kata saya, setelah kami mencapai puncak. "Marcel tak ada di sini." 

"Jam-jam begini ia belum datang," tukas Travers sambil berlari ke depan menuju luncuran. 

"Saya memang tidak mengharapkan Anda akan bermain bersama saya," kata saya. Dia berhenti dan melihat saya dengan curiga.

“Namun Caroline rupanya berpikir saya pun sebenarnya layak untuk mengimbangi permainan ski Anda," jelas saya, "Memang saya memecahkan rekor beberapa kali di luncuran B, tetapi saya tidak ingin mengatakan itu di depan istri saya." 

"Baik." 

"Saya akan bertanya pada Marcel jika dia ada di sini. Semua orang tahu, Anda adalah pemain ski terbaik." 

"Baik, jika Anda ..." Dia mulai terpancing. 

"Sekali saja, kemudian Anda bisa menghabiskan liburan Anda di luncuran A. Hitung-hitung permainan dengan saya adalah pemanasan." 

"Bagaimana kalau saya berubah pikiran," katanya. 

"Sekali saja," kata saya lagi. "Itu yang saya perlukan. Kemudian katakan apakah saya sudah cukup pintar." 

"Kita berlomba?" katanya. 

Saya tidak menolak. Inilah saat yang saya tunggu-tunggu. Saya harus berhasil, meski semua buku tentang pembunuhan telah memperingatkan bersiap-siap akan sesuatu yang tidak diharapkan. 

"Itulah jalur yang akan kita lewati kalau Anda sudah yakin siap," Travers menambahkan dengan congkak.

"Saya setuju berlomba asal Anda mempertimbangkan taruhannya," sahut saya.

Untuk pertama kali saya melihat kata-kata saya menyita perhatiannya. "Berapa besar?" tanyanya.

"Ah, jumlah tidak penting buat saya," kata saya. "Pemenangnya bisa menceritakan pada Caroline apa adanya."

"Apa adanya?" tanyanya, dengan wajah yang keheran-heranan.

"Ya," kata saya, lalu saya menuruni bukit itu sebelum dia sempat menanggapi. Saya melakukan awal yang baik lalu mengeluarkan bendera merah. Sambil menoleh ke belakang saya dapat melihat dia berusaha keras membuntuti. Yang penting, saya perlu berada di depannya.

Sesudah beberapa saat berbelok ke kiri dan ke kanan dia berteriak, "Anda kira sudah cukup cepat sehingga dapat mengalahkan saya?" katanya sombong. Saya berada di depannya hanya karena saya sebenarnya perlu mengetahui setiap tikungan. Saya merasa pasti dapat mencapai rute palsu yang sudah saya siapkan sebelum dia sampai.

 

Tercebur di jurang

Dalam perlombaan pagi hari yang amat menegangkan ini dia berada di belakang saya 30 m. Pada saat dan tempat yang tepat saya mulai memperlambat laju luncuran ski, membelok mendekati gundukan es yang telah saya siapkan. 

Dengan harapan Travers tidak melihatnya. Saya menahan dengan sekuat tenaga ketika saya mencapai puncak gundukan. Lalu saya gerakan pengereman dan tiba persis di tempat perhentian di gundukan salju yang saya bangun malam sebelumnya.

Pada saat itu Travers terus melaju dengan kecepatan 40 mil per jam, menjalani rute yang salah, terbang ke udara dan jatuh di jurang disertai teriakan yang mengerikan. Nah, rasakan. Tulang-tulangnya pasti remuk menghantam salju yang berada ratusan meter di bawahnya.

Setelah menenangkan diri, saya meratakan kembali gundukan salju, lalu naik ke pegunungan secepatnya sambil mengumpulkan bendera yang menandai lintasan palsu itu. 

Dengan ketenangan yang luar biasa saya tancapkan kembali bendera-bendera itu ke tempat semula di luncuran B, yang berada 100 m di atas jalur es. Kemudian saya menuruni bukit dengan perasaan bak pemenang medali emas Olimpiade. 

Di dasar luncuran saya menarik kerudung yang menutupi kepala tanpa melepas kacamata saya. Melepas tali sepatu dan berjalan ke hotel. Saya masuk menggunakan pintu belakang dan kembali ke ranjang pukul 07.40.

Saya mencoba mengatur napas, tapi ini ternyata membutuhkan waktu sebelum denyut jantung saya kembali normal. Caroline bangun beberapa menit kemudian, berbalik dan memeluk saya. 

"Uh," katasaya, "kau kedinginan, pasti tidur tanpa selimut?” 

Saya cuma tertawa. "Kau pasti melepaskannya tadi malam." 

"Sana mandi dengan air hangat.”

Selesai dari kamar mandi kami sempat bercinta. Saya kembali memeriksa apa saja untuk meyakinkan saya tidak meninggalkan petunjuk apa pun.

Selagi Caroline membuatkan kopi, terdengar sirene ambulans datang dari arah kota. 

"Mudah-mudahan tidak ada kejadian yang buruk," gumam Caroline sambil terus menyeduh kopinya.

"Apa?" kata saya, dengan kata yang sedikit lebih keras, sambil mengalihkan pandangan dari Harian Times edisi sebelumnya.

"Ada sirene, menjengkelkan. Di pegunungan itu pasti ada kecelakaan. Barangkali Travers," katanya. 

"Travers?" tanya saya dengan suara yang lebih keras. 

"Patrick Travers. Saya melihatnya di bar tadi malam. Sengaja aku tidak memberitahumu. Toh, kau tak akan peduli."

"Tetapi mengapa Travers," kata saya dengan cemas. 

"Tidakkah dia selalu mengatakan yang pertama di luncuran tiap pagi? Bahkan kadang-kadang dapat mengalahkan pelatihnya." 

"Oh, ya," kata saya 

"Kau pasti ingat. Kami pernah pergi bersama suatu hari dan dia telah menyelesaikan tiga putaran." 

"Oh, ya." 

"Kau kelihatannya kurang cerah pagi ini, Edward. Apakah kurang tidur?" katanya sambil tertawa. 

Saya tidak menjawab. 

"Aku yakin pasti Travers," tambah Caroline, sambil minum sedikit kopi. 

Saya memandangnya, tanpa berbicara sepatah kata pun. 

"Mengapa kau tidak bertanya apa yang terjadi?"

"Aku begitu kaget hingga tak tahu harus bilang apa," kata saya. 

"Baginya semuanya telah berakhir di galeri. Ternyata beberapa malam kemudian ia masih mendesak saya untuk keluar sesudah kami makan malam. Aku usir saja," kata Caroline. Dia lalu memeluk saya dengan mesra. "Aku tak pernah mengatakan ini padamu karena aku pikir itu hanya akan membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya, setelah ajakannya kutolak, ia kemudian mengembalikan lukisan Vuillard tersebut.”

“Tetapi siapa yang merasa bersalah," kata saya sambil meraba-raba roti panggang.

"Oh, tidak sayang, kau tidak perlu merasa bersalah tentang apa pun. Dalam banyak kesempatan, kalau aku mau memutuskan untuk menyeleweng dan tidak setia kepadamu, aku takkan pernah mau jatuh dalam pelukan lelaki buaya macam Travers. Asal kau tahu, jauh hari sebelumnya Diana telah memperingatkanku."

Sepintas angan saya teringat pada nasib si lelaki buaya tadi. Barangkali saat ini ia lagi sekarat dan sedang dibawa ke kamar mayat.

"Menurutku, ini adalah waktu yang tepat bagimu untuk melakukan permainan di luncuran A," kata Caroline setelah kami menyelesaikan sarapan. "Main ski-mu sudah jauh meningkat dibandingkan dengan sebelumnya."

"Ya," kata saya, lebih dari sekadar main-main. 

Kami kemudian berjalan ke pegunungan untuk melakukan luncuran lagi. 

"Kau sehat-sehat saja, sayang?" tanya Caroline saat kami naik ski lift. 

"Oh, baik," jawab saya tanpa mau melihat ke jurang saat kami berada di puncak tertinggi. 

"Jangan seperti anak yang ketakutan begitu dong," katanya menenangkan. Saya tersenyum lemah. Tatkala kami mencapai puncak, tergesa-gesa saya melompat dari ski lift sehingga kemudian pergelangan kaki saya terkilir.

Caroline rupanya tidak bersimpati. Dia menduga saya sengaja melakukan hal itu untuk menghindari luncuran A. Dia meninggalkan saya dan segera turun menggunakan luncuran, sementara saya merasa malu turun melewati lift kembali.

Dengan terpincang-pincang saya menuju pos bantuan darurat. Caroline datang beberapa menit kemudian. Saya menjelaskan padanya barangkali ada keretakan sehingga akhirnya saya dibawa ke rumah sakit segera.

Caroline melepaskan sepatu skinya dan memanggil taksi ke rumah sakit. Sebetulnya jaraknya tidak jauh, tapi sopirnya harus hati-hati karena banyak tikungan yang tajam dengan jalanan licin.

"Dapatkah Anda menunggu di luar, Nyonya?" kata petugas saat saya memasuki ruang sinar-X.

"Ya, tetapi bisakah saya melihat lagi suami saya yang malang?" katanya pura-pura sedih saat pintu ditutup.

 

Tidak mati

Saya masuk ke ruangan yang dilengkapi dengan peralatan mesin yang amat canggih. Saya ceritakan apa yang telah terjadi dan saya rasakan saat ia mengangkat kaki yang sakit dengan hati-hati ke atas mesin sinar-X. Beberapa saat kemudian ia mengamati hasil fotonya.

"Tak ada keretakan pada kaki Anda," dia meyakinkan saya. "Tetapi jika masih terasa sakit pergelangan kaki Anda sebaiknya diikat." Dokter lalu memajang foto-foto sinar-X.

"Tidak ada yang retak," katanya, sambil tertawa. "Lain halnya dengan lima gambaran ini. Kalau memang mau bunuh diri, dia harus mencoba lagi melompat di atas jurang. Tolol sekali." 

"Di atas jurang?"

"Ya, barangkali dia memang suka pamer," katanya sambil menjepit pergelangan kaki saya. "Kami setiap tahun selalu mendapati orang tolol yang patah tangan dan kakinya, dengan goresan di wajahnya. Beruntung, dia masih hidup."

"Masih hidup?" tanya saya dengan suara lemah.

“Ya, tetapi hanya karena dia tidak tahu apa yang dilakukan. Pada umur 14 tahun saya bermain ski di atas jurang dan dapat mendarat seperti beruang laut di air. Tapi nampaknya dia bernasib lain," kata dokter. "Jangan bermain ski lagi pada liburan ini. Orang ini takkan dapat berjalan paling tidak selama enam minggu."

"Sungguh?" katanya saya. 

"Tapi Anda," katanya, "hanya perlu istirahat dan rendam pergelangan kaki di es setiap 3 jam. Jangan lupa, ganti pembalut sekali sehari. Anda bisa kembali bermain ski dalam beberapa hari ini."

Dengan berjalan pincang saya keluar dari ruang sinar-X menemui Caroline yang asyik dengan majalah Elle-nya.

"Kau nampak senang," katanya. 

"Tak ada yang perlu dicemaskan dengan orang yang dua tangannya patah, kaki, dan wajahnya yang kena gores."

"Ah, bodohnya aku, tidak menungguimu," kata Caroline. "Aku pikir kau cuma terkilir."

"Oh, bukan aku. Tapi Travers - kecelakaan yang menimpanya tadi pagi, kau ingat 'kan?"

"Dokter meyakinkan ia masih hidup."

"Sayang sekali," kata Caroline, sambil merangkulkan tangannya di dada saya, "mengingat bagaimana kau sudah bersusah payah menyiapkan semua itu. Padahal, aku sangat berharap kau berhasil melaksanakannya." (Jeffry Archer)

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350536/pelajaran-buat-si-mata-keranjang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530297000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246396" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(96) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/kaleng-hamiljpg-20220420044152.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(121) "Seorang redaktur Majalah Misteri Pembunuhan menemukan naskah yang sangat mirip dengan kehidupannya dan Caroline istrinya." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(96) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/kaleng-hamiljpg-20220420044152.jpg" ["title"]=> string(14) "Kaleng 'Hamil'" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-26 14:38:47" ["content"]=> string(28284) "

Intisari Plus - Sebagai seorang redaktur Majalah Misteri Pembunuhan, Harley Ammons bertugas untuk menyunting naskah-naskah yang akan diterbitkan. Suatu hari, ia menemukan naskah yang sangat mirip dengan kehidupannya dan Caroline istrinya. Naskah ini kemudian menjadi inspirasi untuk mencelakakan sang istri.

---------------------------------------

George Cleveland bertekad membunuh istrinya. Keputusan nekat itu tidak timbul tiba-tiba, melainkan sudah dipikirkan masak-masak. George masih ingat saat cintanya buyar tersapu kemarahan. Ketika itu istrinya, Priscilla, sedang berbicara lewat telepon dengan sahabatnya. Secara tidak sengaja George sempat mendengar pembicaraan mereka, "Eh, tahu nggak? Aku nggak pernah sadar sebelumnya bahwa George begitu kecil. Peristiwa itu terjadi hampir 11 tahun yang lalu, mereka baru pulang dari madu. Saat itulah bersemi niat George untuk menjadi pembunuh istri. 

Itulah awal dari sebuah cerita kriminal kiriman Josh Wellman, yang diterima oleh Harley Ammons hampir setahun yang lalu. Harley adalah redaktur Majalah Misteri Pembunuhan (MP). 

Harley sudah membayar honor cerita itu, tetapi Josh Wellman, seorang penulis tidak dikenal, tidak pernah melihat karangannya muncul di MP. Soalnya, beberapa hari setelah Harley mengirim honor, ia menerima memo dari bosnya. Bunyinya sebagai berikut, "Kau terlalu banyak memuat kisah suami membunuh istri. Dalam dua terbitan terakhir saja ada delapan!”

Jadi Harley menyimpan naskah "Tewasnya Priscilla" di laci tempat naskah cadangan.

 

Sama seperti istrinya 

Adalah Will Gatti yang mengingatkan Harley kembali pada Josh Wellman. Saat itu mereka berdua sedang duduk sebangku di kereta api yang berangkat pukul 08.20 dari Larchmont. Gatti itu seorang kapten polisi, yang lebih senang membaca Majalah Misteri Pembunuhan ketimbang mengusut sendiri perkara pembunuhan. Di kereta api, dalam perjalanan ke kantor, hobinya membaca berita kematian dari The Times

"Pernah mendengar penulis bernama Josh Wellman?" tanya Gatti kepada Harley. 

Harley menggelengkan kepala, sebab ia sudah tidak ingat lagi pada penulis gurem itu. 

"Menurut koran sih dia penulis cerita kriminal. Jadi aku kira kamu kenal," kata lawan bicaranya seraya menyodorkan koran. 

Harley malas membacanya. Sembilan belas tahun menyeleksi naskah membuat matanya lelah. Apalagi berita tentang Wellman cuma enam baris. Soalnya, Wellman bukan penulis terkenal. Tulisannya cuma satu dua. Lagi pula ia tidak mempunyai kerabat. 

"Aku belum pernah mendengar namanya," kata Harley seraya mengembalikan koran itu. 

Sejam kemudian, di kantornya yang sempit, Harley membongkar simpanan naskah yang pemuatannya tertunda. Ia tidak tahu mengapa ia berbohong kepada Will Gatti. Padahal selama setahun ini, entah berapa belas kali ia dihantui "Tewasnya Priscilla". Bukan karena cerita itu sangat bermutu, tetapi karena tokoh Priscilla di situ bisa digantikan oleh Caroline, yang tak lain istri Harley. 

Harley membaca lagi cerita rekaan Josh Wellman itu: George tidak habis pikir, menghadapi tindak-tanduk Priscilla. Ketika kantor tempat George bekerja dipindahkan ke Pottersville, mereka terpaksa ikut pindah ke kota kecil itu. Priscilla memilih sebuah rumah tua yang memiliki 16 ruangan. Padahal rumah sebesar itu membutuhkan ongkos pemeliharaan yang mahal. Di musim dingin, alat pemanas ruangan menyedot uang dengan kejamnya dari kantung George. 

Ketika Priscilla menyadari betapa luasnya gudang mereka, ia lantas memborong makanan kaleng dan menumpuknya di sana. Kata Priscilla, tindakannya itu adalah penanaman modal untuk melawan inflasi. Akhirnya di dalam gudang itu bisa ditemukan 1.000 kaleng makanan. Sebagian di antaranya lebih tua dari mobil Buick mereka yang umurnya sudah sembilan tahun. 

Harley meletakkan naskah itu di perut gendutnya, lalu bersandar ke punggung kursinya seraya memejamkan mata. 

Dalam benaknya terbayang Caroline. Istrinya persis Priscilla. Caroline tergila-gila menumpuk makanan kaleng selama 21 tahun pernikahan mereka. Memang simpanannya tidak sampai 1.000 kaleng, tetapi ada kaleng yang isinya sudah lebih tua dari Buick milik George. 

Waktu itu bulan April. Enam hari lamanya hujan turun tak henti-hentinya. Priscilla yang selalu marah-marah itu menjadi bertambah menyebalkan. Banjir mengalanginya menghadiri arisan-arisan. Namun, kerewelannya belum apa-apa dibandingkan dengan ketika ia mengetahui gudang bawah tanahnya dirembesi air hujan. "Celaka! Label makanan kalengku yang berharga itu rusak dong!" teriaknya. 

Tiba-tiba saja Harley terperanjat, karena sekretaris barunya, Beryl, yang baru beberapa tahun melewati umur 30, tiba-tiba berada di hadapannya. Wanita itu datang membawakan kopi. Harley tidak biasa dibawakan kopi oleh sekretaris, apalagi yang berdada montok. Olivin, sekretaris lama yang pensiun tiga bulan yang lalu (pada umur 62!) berdada rata. 

"Bapak asyik sekali. Ceritanya pasti bagus," kata Beryl. 

"Dari mana kau tahu?" 

"Kalau jelek, belum dua halaman pun sudah Bapak sisihkan. Ini sudah halaman tiga." 

"Kau pengamat yang cermat, Beryl," kata Harley dengan riang. Sekretaris itu tampak kesenangan dipuji. Tubuhnya sampai gemetar. Hati Harley ikut meleleh. Diambilnya cangkir kopi dari Beryl. 

"Aku mempertimbangkan permintaanmu kemarin, yaitu supaya diperbolehkan membaca dulu naskah-naskah yang datang sebelum diserahkan kepadaku. Rasanya bukan gagasan yang buruk." 

"Oh, terima kasih, Pak," kata Beryl. Mulutnya yang membentuk huruf O sempurna menjadi sebuah Q ketika lidahnya yang merah jambu menjilat bibirnya. 

"Saya ingin belajar sebanyak mungkin dari Pak Ammons." 

"Baiklah. Nanti kita bicarakan lagi. Barangkali waktu makan siang. Atau makan malam, apabila kau tak keberatan melembur. Saya sering melembur." 

"Oh, Bapak baik sekali." 

Ketika Beryl meninggalkan ruangan, denyut nadi Harley tak pernah secepat itu, sedangkan minatnya pada naskah Josh Wellman semakin besar. Harley mulai membaca lagi. 

 

Kaleng gembung 

Di gudang bawah tanah yang becek, George Cleveland menghamburkan perbendaharaan sumpah serapah yang selama ini belum pernah terlontar dari mulutnya. Air yang kehitam-hitaman menjilat label kaleng-kaleng di rak paling bawah. Ada wortel rebus, buah plum kalengan, kentang kecil, sop ayam dengan makaroni. 

Hampir saja ia tidak bisa melawan dorongan untuk mencemplungkan kaleng-kaleng itu ke air kotor, supaya labelnya mengelupas semua. Senang barangkali ia melihat Priscilla kecewa. Namun, terbayang pula istrinya mengamuk. Buru-buru ia menaikkan kaleng-kaleng dari rak bawah ke rak lebih atas. 

Jari jemarinya yang basah menemukan sebuah kaleng sla buah campur merek Montmorency yang sudah gembung. Begitu gembungnya kaleng itu sampai kelihatan "hamil". 

Cepat-cepat ia taruh kaleng itu di rak dan mengambil kaleng di sebelahnya. Isinya dan bentuknya pun sama. Gembung. 

Seingatnya ada satu istilah yang ada hubungannya dengan makanan kaleng yang sudah dalam keadaan demikian. Kata apa, ya? Oh, botulism

Harley berhenti membaca naskah itu, lalu dirapikan dan dikembalikannya ke map. Ah, betapa besarnya persamaan antara George Cleveland dengan dirinya, antara Priscilla Cleveland dengan Caroline! 

Tak mungkin ia memuat cerita itu, lalu meniru tindakan George Cleveland. Untung bosnya dulu menulis memo, yang melarang dia memuat terlalu banyak kisah suami membunuh istri, sehingga ia mempunyai alasan untuk memetieskan tulisan Josh Wellman ini. 

Harley melirik cangkir kopinya, lalu berteriak memanggil Beryl. Sekretarisnya datang tergopoh-gopoh. Harley menugaskan sang sekretaris untuk membeli The Times. Tugas itu dilaksanakan dengan kecepatan yang mengagumkan. 

Pagi itu Harley sungguh menikmati berita kematian Josh Wellman.

 

Jago masak 

Namun, seperti halnya mimpi yang cepat pudar di ingatan setelah kita terbangun, begitu pula kegembiraan Harley yang menggebu-gebu. Pada saat turun dari tangga kereta api pukul 17.40 di Larchmont, ia tampak kuyu. Ia segera menyadari perutnya yang gendut, bagian belakang kepalanya yang botak, dan dagunya yang dobel. Ketika melihat pantulan wajahnya di kaca jendela, ia mencoba menghapus gambaran itu dan menggantinya dengan gambaran pemuda santai yang matanya memandang dunia dengan optimisme besar. Pemuda itu tidak lain daripada dirinya sendiri, berpuluh tahun silam. Waktu itu ia berangan-angan menjadi novelis yang termasyhur. Boro-boro termasyhur, menulis novel pun ia tidak. Semua itu cuma terbatas di angan-angannya saja. 

Diam-diam Harley menyalahkan Caroline. Istrinya tidak memberi semangat sih! Setiap kali Harley menceritakan angan-angannya, Caroline menyergah, "Jangan cuma diomongkan saja. Mulai dong menulis!" 

Harley selalu berdalih, "Mana sempat aku menulis? Waktuku tersita untuk menyunting tulisan para pengarang lain." Caroline adalah seorang copywriter iklan. Penghasilannya sama banyaknya dengan Harley. 

Di dalam kereta api yang membawanya dari Larchmont, Harley membuka tasnya. Ia berniat membaca salah sebuah naskah yang baru diterimanya. Ternyata yang terbawa malah naskah "Tewasnya Priscilla". Jadi Harley meneruskan bacaannya yang terputus di kantor. 

George Cleveland tidak pernah menganggap dirinya cerdik. Pekerjaannya cuma menuntut keuletan dan akal sehat. Namun, semua orang menyukai George, kecuali tentu saja istrinya. 

Untuk menewaskan Priscilla dibutuhkan kecerdikan. Tidak cukup kalau ia cuma membuka kaleng sla buah yang kini sudah mengandung racun dan menyuguhkannya kepada istrinya pada saat makan malam. 

Mereka tidak mempunyai tetangga dekat. Rumah yang paling dekat jaraknya ± 7,5 km. Walaupun demikian mereka tidak luput dari gosip. Semua orang di Pattersville tahu George tidak akur dengan istrinya. Selain itu Sheriff Yates yang sudah tua itu jauh dari pikun. Bacaannya pun canggih. Buku-buku tebal tentang penyidikan kriminal dan ilmu forensik dilalapnya. Selain itu, dokter yang bisa membantu polisi di tempat itu, bukan dokter sembarangan. Diagnosisnya tajam. Jadi mesti diapakan istrinya yang menyebalkan itu? 

Tiba-tiba timbul gagasan bagus di kepalanya. Ia mesti pergi ke Grand Forks Supermarket. Kereta api tiba di stasiun. Saat Harley turun, Caroline sedang meluncur dengan mobilnya. Wanita itu baru pulang dari pasar swalayan. Tempat duduk belakang penuh dengan kantung belanjaan berisi botol-botol, kaleng-kaleng, tisu, alat pembuka botol dan kaleng, tomat, daging minuman, makanan untuk sarapan dan makanan anjing. Yang terakhir ini jumlahnya cukup untuk menjamu puluhan makhluk berkaki empat itu. 

Harley heran. Ke mana larinya belanjaan itu? Kok seperti tidak pernah muncul di meja makan? Sering-sering Harley mesti memasak makanannya sendiri dengan bahan seadanya dari kulkas. Biasanya hasilnya cuma masakan asal jadi. Maklum Harley bukan jago masak. Berbeda dengan George Cleveland. 

Masakan Meksiko yang mempertemukan George dengan Priscilla. Mereka berkenalan ketika sama-sama makan di The Big Enchilada, sebuat restoran cepat siap yang mengkhususkan diri pada hidangan Meksiko. Priscilla sangat tertarik ketika George berkata bahwa ia bisa memasak sendiri makanan Meksiko, karena pernah mengikuti kursus. Setelah mereka menikah, sekali seminggu George memasak makanan gaya Meksiko dan sekalian menyediakan hidangan pencuci mulut yang tepat. Rasanya tak ada yang lebih tepat daripada sla buah dingin setelah menyantap tamales yang pedas.

 

Mencari kaleng "hamil" 

Sabtu siang George berada di pasar swalayan, yaitu di bagian yang menyediakan sla buah. Seperti biasa, pasar swalayan itu padat dengan pembeli. Tak ada orang yang memergokinya ketika ia menaruh sesuatu di rak, yaitu kaleng "hamil" berisi sla buah. 

Ia merencanakan untuk menunggu setengah jam sebelum menunjukkan kaleng sla buah Montmorency yang gembung itu kepada petugas pasar swalayan. Namun, bagaimana kalau keburu ada orang yang membelinya? George menjadi gelisah. Sepuluh menit kemudian ia sudah kembali ke rak tadi. Ternyata ada seorang wanita gemuk sedang memilih-milih makanan kaleng. Ketika jari wanita itu menyentuh kaleng "hamil" berisi sla buah, segera saja wanita itu berseru, "Astaga! Lihat nih!" katanya kepada orang-orang di sekelilingnya. "Anda sekalian tahu apa ini?" 

Dibawanya kaleng itu ke tempat manajer dan di sana wanita itu menguliahi sang manajer perihal bahaya makanan kaleng yang wadahnya sudah gembung. 

George merasa lega dan senang. Buru-buru ia pulang untuk memasak.

Hari itu Harley Ammons mencari-cari kaleng gembung di tempat istrinya menumpuk makanan kaleng. Memang ada sih kaleng yang penyok, karatan, atau bahkan gembung sedikit, tetapi tidak ada yang "hamil" seperti yang digambarkan oleh Josh Wellman. Dasar penulis fiksi! Enak saja dia menempatkan dua kaleng gembung yang identik di ceritanya! 

Setelah sejam mencari dengan sia-sia, Harley menyerah. Sudahlah! Memang rupanya cerita isapan jempol itu tidak bisa ditiru! 

Keesokan paginya, ia membawa kembali naskah Josh Wellman ke kantornya. Ia berniat memuat saja tulisan itu di MP, sekalian dengan pengantar pendek untuk memuji si penulis. 

Tahu-tahu Beryl muncul membawakan kopi seperti biasa. Cuma saja ada air bercucuran di wajahnya. Air mata. Dengan lembut Harley menanyakan sebabnya, seraya menutup pintu, agar kerahasiaan terjamin. 

Sambil terisak-isak, Beryl bercerita bahwa semalam ia bertengkar dengan pacarnya. Hubungan mereka kini putus untuk selama-lamanya. 

Kata Beryl, sebetulnya ia lega, sebab pacarnya itu kurang "matang" buat dia. Gadis itu lantas menyandarkan kepalanya ke dada Harley. Beryl lebih jangkung dari Harley, sehingga posisi mereka kelihatan lucu. Beryl lebih tenang ketika meninggalkan ruang kerja Harley, tetapi Harley malah gelisah. Rencananya untuk memuat "Tewasnya Priscilla" terlupakan begitu saja. Ia menemukan naskah tersebut di mejanya selesai makan siang dan meneruskan membacanya. 

Sla buah dituangkan ke gelas dan ditutupinya dengan rapi. Kaleng bekas sla itu yang tidak begitu gembung lagi setelah dibuka, dibuangnya ke kantung sampah. Tapi bukan kantung sampah yang akan cepat-cepat diambil tukang sampah. George tahu, kaleng itu akan menjadi bukti penting. 

Sore itu radio menyiarkan berita agar jangan sekali-kali memakan Montmorency Fruit Cocktail yang kalengnya ditandai nomor seri G-100. Penyiar menambahkan bahwa kemungkinan koktil tersebut tak banyak lagi beredar di pasaran, sebab umurnya sudah lima tahun. Namun, kalau ada orang yang masih menyimpannya, harap dimusnahkan. Soalnya, dalam sebuah sampel ditemukan bakteri C. botulinum. Priscilla tidak mendengar pengumuman itu, sebab sedang arisan dengan teman-temannya. Malam itu Priscilla pulang dalam keadaan lelah dan mudah tersinggung. George berkata, "Kau terlalu lelah, Yang. Kalau sudah makan Chile con carne dan pencuci mulut yang menyegarkan, pasti kau akan merasa lebih nyaman." 

 

Buntutnya bikin sewot 

Pada akhir minggu terjadi mukjizat pada Harley. Tadinya Harley lupa kalau akhir minggu itu ibu Caroline berulang tahun. Mereka akan mengunjungi wanita berumur 75 tahun ini. Padahal rumahnya di Dutchess County, ± 150 km dari tempat tinggal mereka. 

Begitulah, pada akhir minggu, setelah pegal menyetir, tiba juga mereka di rumah Ibu Gertrude. Ibu dan anak saling mengeluh tentang ketidakadilan dalam hidup ini di ruang yang gelap dan pengap. Kemudian Harley disuruh istrinya mengganti lampu di gudang bawah tanah, karena kata ibunya, lampu di tempat itu mati. Harley merasa senang bisa keluar dari tempat pengap penuh keluhan. 

Setelah mengganti lampu, kelihatanlah betapa kotornya gudang itu. Di situ pula Harley insaf dari mana datangnya sifat kikir Caroline. Koleksi makanan kaleng milik Caroline temyata tidak berarti dibandingkan dengan koleksi ibunya. Jangan-jangan ibu Caroline dihantui oleh sengsara perang, sehingga menumpuk makanan yang tidak bakal habis dikonsumsi bertahun-tahun. 

Didorong rasa ingin tahu, Harley memeriksa label makanan kaleng itu. Ada merek yang sama sekali tidak pernah ia kenal. Ada makanan yang dulu ia kenal tetapi kini sudah lama tak pernah tampak lagi di pasaran. Tahu-tahu matanya terpaku pada Italian Tomato Sauce. Label saus tomat Italia itu aneh, karena ternyata kalengnya gembung. Begitu gembungnya sampai seperti hamil! Seluruhnya ada empat kaleng saus tomat dari merek yang sama dalam keadaan yang sama. Berarti dua kali lipat dari yang diberikan oleh Josh Wellman kepada tokoh rekaannya, si George! 

Hari Jumat berikutnya, di kantor, Harley menyempatkan diri untuk meneruskan membaca kisah si George. Makan malam berlangsung dengan sukses. Priscilla menghabiskan Chile con came, dan Tortilla sampai suap terakhir. Ia minum bir meksiko sampai titik terakhir. Ia bahkan mengincar isi piring George. George berlagak pilon. Ia bertekad tidak mau menawarkan bagiannya. Priscilla 'kan nanti perlu diberi hidangan pencuci mulut. 

George pergi ke kulkas untuk mengambil sla buah. Lho, ke mana sla buahnya? Pasti dipindahkan oleh Priscilla. Tangan wanita ini memang iseng. "Ke mana gelas merah yang berisi buah?" tanya George. 

"Oh, gelas yang berisi buah?" 

"Kau makan?" 

"Nggak. Aku masukkan ke minuman Sangria-mu." George dan Priscilla sama-sama memandang gelas George yang sudah kosong. Setelah membaca kalimat terakhir itu, Harley jadi kehilangan minat untuk memuat karangan itu. Berapa banyak sih pembaca yang tahu bahwa Sangria itu minuman anggur campur buah? pikirnya. Jelek ah, cerita ini! Jadi naskah itu digunting-guntingnya.

 

Lebih pandai daripada si Josh 

Sabtu pagi, Caroline heran karena Harley menawarkan diri untuk pergi berbelanja. Caroline senang, sebab hari itu ia harus menghadiri rapat tiga perkumpulan sosial. Ia mencium Harley dan memberinya daftar belanjaan. Caroline ingin memasak steak untuk makan malam. "Bagaimana kalau spaghetti saja?" tanya Harley. Kebetulan Caroline doyan sekali spaghetti, jadi ia mengiakan. 

Hari itu sengaja Harley pergi ke tiga pasar swalayan. Di tiap pasar swalayan ia meninggalkan sekaleng Mama Mia's Real Italian Tomato Sauce yang dicurinya dari rumah mertua, yaitu saus tomat dalam kaleng "hamil" itu. 

Di pasar swalayan terakhir ia sungguh-sungguh berbelanja dan membeli sekaleng Mama Mia's Real Italia Tomato Sauce yang tidak "hamil". 

Ketika ia kembali ke rumah, Caroline sudah berangkat. Isi Mama Mia's yang tidak "hamil" ia buang ke lubang tempat cuci piring. Isi Mama Mia's yang "hamil" ia masukkan ke kaleng Mama Mia's yang tidak hamil. Kaleng yang pernah "hamil" ia simpan. 

Harley minum 3 gelas minuman keras sebelum makan malam, padahal biasanya cuma 2 gelas. Sambil memasak, Caroline bercerita dengan gembira tentang rapat, tentang ia terpilih menjadi ketua komite, dan sebagainya. Harley mendengarkan dengan saksama. Inilah hari terakhir dalam hidup istrinya yang gembrot itu. 

Ketika Caroline menghidangkan spaghetti di meja, Harley membayangkan wajah Beryl. Tanpa menunggu Harley, Caroline segera makan sambil membaca majalah seperti biasa. Setengah jam kemudian Caroline meninggalkan meja untuk berceloteh dengan teman-temannya lewat telepon. Ia tidak sadar Harley tidak makan. 

Lima jam kemudian Caroline mengeluh mual, penglihatannya kabur, dan lehernya sangat kering sampai hampir tidak bisa berbicara. Ketika lehernya terasa tercekik ia mengeluarkan bunyi-bunyi yang tak jelas. Rupanya Caroline minta dipanggilkan dokter. Begitulah cerita Harley kepada dr. Kornfeld yang datang terlambat. Caroline meninggal pukul 02.30. Pukul 08.00 keesokan harinya radio menyiarkan peringatan hati-hati kalau membeli Real Italian Tomato Sauce. 

Dengan sempurna Harley memainkan peranan duda yang kehilangan istri. Di dalam hatinya ada kekhawatiran: jangan-jangan ia berbuat kesalahan yang akan mencelakakannya. Bukankah dalam cerita-cerita kriminal pembunuh selalu terpeleset oleh hal-hal kecil? 

Dua minggu lewat sejak Caroline dimakamkan. Harley mulai santai, mulai tersenyum lagi. Senyuman yang menyentuh hati orang-orang yang kenal kepadanya. Mereka berkata, ia tabah. Beryl menganggapnya demikian juga. Sekretarisnya itu mengundangnya makan ke apartemennya. Beryl memasak sendiri. Harley gentar juga, ketika Beryl menghidangkan spaghetti. Ternyata spaghetti itu tidak beracun. Sausnya sedap menggigit, seperti juga Beryl. 

Harley mulai bekerja lagi tiga minggu setelah Caroline meninggal. Rasa percaya dirinya timbul. Kenyataan hidup memang sering lebih aneh daripada cerita rekaan. 

Ia tidak merasa waswas, ketika seorang polisi muncul di kantornya hari pertama ia bekerja. Apalagi polisi itu temannya, Will Gatti. 

Setelah basa-basi yang kikuk berkenaan dengan kematian Caroline, Harley bertanya apakah sang kapten mau MP gratis. Gatti bertanya apakah MP yang memberi contoh kepada pembunuh? 

"Contoh?" tanya Harley. “Ini 'kan cuma cerita." Gatti membuka tasnya dan mengeluarkan Majalah Detektif Getol, bekas saingan MP yang untungnya sudah berhenti terbit 8 tahun yang lalu. 

Harley mengambil majalah itu dan memperhatikan kulit mukanya yang memperlihatkan seorang wanita pirang setengah telanjang sedang mengusap-usap pistol kaliber 32 dengan sikap sugestif. Cerita utamanya "Kematian adalah Makanan Terlezat" oleh Hugo Grinim. 

"Sudah pernah baca? Pasti menarik bagimu," kata Gatti. 

"Aku tidak pernah membaca sampah seperti itu," katanya. Namun, ia membaca juga kalimat pertama cerita itu. 

"Harry Johnson bertekad untuk membunuh istrinya. Keputusannya tidak timbul tiba-tiba, melainkan ...." 

Harley memandang Kapten Gatti dan melihat sesuatu yang tak pernah ia saksikan sebelumnya di mata siapa pun. 

"Saya yakin saya ingat cerita ini," kata Gatti. "Jadi saya bongkar gudang selama seminggu dan menemukannya. Cerita ini saya anggap bisa mengilhami orang untuk berbuat serupa. Bacalah, kau pasti tahu apa yang kumaksudkan. Tapi tentu kau sudah pernah membacanya." 

"Aku tidak pernah membaca Detektif Getol dalam hidup!" 

Gatti cuma memandang datar, lalu bersandar ke kursi Harley dan mulai membacakan cerita itu keras-keras. Tiba-tiba saja Harley insaf: Josh Wellman dan Harley Ammons sama-sama penjiplak!

(Henry Slesar)

" ["url"]=> string(57) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246396/kaleng-hamil" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650983927000) } } }