array(18) {
  [0]=>
  object(stdClass)#120 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3682644"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#121 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(108) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/celana-yang-mencurigakanjpg-20230213032538.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#122 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(142) "Danforth dan Leroy adalah dua penulis cerita kriminal ternama. Kali ini, mereka membantu kepala LP untuk memecahkan kasus kaburnya narapidana."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#123 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(108) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/celana-yang-mencurigakanjpg-20230213032538.jpg"
      ["title"]=>
      string(24) "Celana yang Mencurigakan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-02-13 15:25:48"
      ["content"]=>
      string(36201) "

Intisari Plus - Danforth dan Leroy adalah dua penulis cerita kriminal ternama. Kali ini, mereka membantu kepala LP San Ramos Penal untuk memecahkan kasus kaburnya narapidana di sana.

--------------------

Pagi itu, kapal pesiar Valhalla membuang sauh di Pelabuhan Zamboanga, Kepulauan Mindanao, Filipina. Para penumpang turun satu-persatu dari kapal itu. Mereka hendak melakukan tamasya keliling Kota Zamboanga dan sekitarnya. Perjalanan yang panjang, panas dan melelahkan.

Ketika tiba saat makan malam, keluarga Danforth dan Leroy memilih makan di Hotel Bayot di tepi pantai, yang terkenal dengan masakan sinegang-nya, semacam sop ikan yang konon lezat.

Duduk di teras di tepi pantai, mereka menikmati sinegang yang mereka pesan. Semilirnya angin laut sesekali mengipasi tubuh mereka yang kegerahan, meskipun kala itu matahari sudah tenggelam di cakrawala.

 

Celananya!

Dalam keremangan malam di pelabuhan itu muncul sesosok vinta, semacam kano, tempat kebanyakan suku Moro tinggal sepanjang hari. Kano itu merapat ke dermaga, di sisi mereka duduk. Seorang laki-laki dan perempuan, berkulit gelap, tampak mengayuh kano itu. Di antara barang-barang cendera mata dagangan mereka, seorang gadis kecil berusia empat lima tahun meringkuk di tengah kano.

Mulut mungil itu menyimpulkan senyum yang menawan dan bergerak-gerak menyenandungkan lagu Tagalog yang tak mereka pahami. Gadis kecil itu mengacung-acungkan barang jualannya satu demi satu kepada orang-orang Amerika itu. Ada baju dari kain jusi dan pina yang terbuat dari daun pisang dan nenas, patung dari kayu yang berwarna kuning muda, buket bunga tropis yang indah dan kulit-kulit kerang yang gemerlapan.

Si pedagang kecil segera menawan hati Helen Leroy. “Oh, Mart,” katanya kepada suaminya, “belikan saya kerang itu. Kasihan ‘kan anak itu, Carol?”

Carol Danforth mengangguk. “Dialah satu-satunya orang yang berpakaian cocok untuk udara sepanas ini,” kata Helen. Gadis Moro kecil itu memang cuma mengenakan semacam bikini yang warnanya susah dibilang.

“Tidak usah. Buat apa?” jawab suaminya, Martin Leroy. “Kulit kerang itu berat, lagi pula di dalamnya masih ada bangkai binatangnya. Baunya sudah tercium dari sini.”

“Kalau begitu, buket bunga itu saja,” pinta Helen. 

Leroy menyerah, lalu berjalan ke tepi dermaga. “Baik, kita beli bunga itu. Berapa?” tanyanya kepada gadis itu.

Wajah mungil kecoklatan itu tampak senang. “Empat peso, Tuan,” jawabnya dengan bahasa Inggris yang fasih. “Atau satu dolar Amerika.” 

Danforth tertawa mendengarnya. “Saya yakin, dia pun bisa berbahasa Spanyol.” 

Si, si,” teriak gadis itu. “Tuan jadi membeli buket ini?” 

“Ya, bolehlah,” kata Leroy. la merogoh sakunya.

“Kalau Tuan menambah seperempat dolar lagi, saya akan menyelam,” sahut anak itu. 

Yang lain mendekati Leroy yang berdiri di pinggir dermaga.

“Apa maksud anak itu?” tanya Carol tak mengerti. 

“Menyelam,” sahut gadis itu. “Di dalam air. Di sini.” 

la memberikan buket itu sementara ia menerima satu dolar dari Leroy yang kemudian diberikan kepada ayahnya. “Sekarang lemparkan uang seperempat dolar itu, Tuan. Airnya amat dalam di sini. Saya akan menyelam dan mengambil uang logam itu.”

“Oke,” kata Leroy. Ia melemparkan uang itu ke laut, kira-kira 5 m jauhnya dari vinta di mana gadis itu berdiri. 

Persis sebelum uang itu lepas dari tangan Leroy, tubuh si gadis kecil sudah meliuk dari atas kano, kemudian lenyap ditelan air laut yang kelam. Beberapa saat lamanya gadis itu menyelam sebelum akhirnya kepala mungil itu nongol di permukaan air. Dikibaskannya kepalanya yang basah. Satu tangannya dijulurkannya ke atas permukaan air, lalu dengan cepat ia berenang kembali ke kanonya. Diterangi temaramnya sinar lentera yang terpancang di sepanjang dinding dermaga, mata mereka menangkap kerlap-kerlipnya uang perak yang digenggamnya.

“Luar biasa!” tak sadar Carol Danforth bertepuk kagum. 

Si gadis kecil naik ke atas kano. Air menetes dari celana mininya. Tiba-tiba Danforth berteriak, “Apakah kau melihat juga apa yang saya lihat?” katanya kepada Leroy. 

Leroy mengangguk. “Celana nya?”

“Ya.” Keduanya mengamati bikini yang melilit pinggul penyelam kecil itu. Warnanya kini tampak jelas oleh sinar lentera yang menerangi vinta itu.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Helen Leroy. Ia pun lantas ikut memperhatikannya pula.

Carol tertawa geli. “Warna celana itukah yang kalian maksudkan?” kata Helen.

“Ya. Kecuali kalau saya buta warna,” jawab Danforth.

“Barangkali celana itu diwarnai dengan bahan celup dari tumbuh-tumbuhan,” ujar Leroy. “Warnanya baru muncul kalau kain itu basah.”

Helen rupanya tidak senang, “Kau ‘kan tidak bermaksud mengatakan bahwa anak yang berusia lima tahun itu adalah narapidana?”

“Bisa jadi ayahnya yang napi,” kata Leroy.

“Omong kosong!” Carol sependapat dengan Helen. “Saya pikir itu cuma karena pengaruh sinar.”

Dengan tenang Danforth menyahut, “Saya sependapat dengan Leroy. Mari kita temui Senor Bollo.”

 

Penulis cerita kriminal

Senor Bollo adalah kepala Lembaga Pemasyarakatan San Ramon Penal, yang letaknya beberapa kilometer di luar Kota Zamboanga. Mereka bertemu dengan Bollo, saat minum teh di bawah tenda yang berdiri di seberang jalan antara pintu gerbang dan halaman penjara. Pemandu jalan mereka mengantarkan kepala penjara itu ke meja mereka dan memperkenalkannya.

“Mereka ini,” demikian kata pemandu jalan itu, “adalah keluarga Danforth dan Leroy, Pak Bollo. Anda mungkin pernah mendengar tentang Tuan Danforth maupun Tuan Leroy. Mereka adalah penulis cerita kriminal dengan nama samaran Leroy King.”

Senor Bollo yang pendek dan berkulit coklat, membungkuk sopan. “Saya memang sudah mendengar tentang Leroy King,” katanya. “Siapa yang tidak mengenal nama yang kesohor itu? Senang sekali bertemu dengan Tuan-tuan.” Bahasa Inggrisnya fasih sekali. “Meski di Zamboanga sekalipun, kemasyhuran Leroy King dikenal juga.”

“Silakan duduk, Pak Bollo!” kata Helen Leroy kemudian. “Suami kami barangkali akan mengajukan banyak pertanyaan kepada Anda tentang penjara yang Anda kelola itu.”

“Pernahkah Anda menjumpai penjara yang dibangun di kawasan yang begini indah?” kata Bollo bangga sambil menunjuk ke air laut di kejauhan yang berkilauan diterpa sinar matahari, hamparan pasir putih sepanjang pantai dan daun-daun nyiur yang gemulai menaungi teras tempat mereka duduk.

“Belum pernah,” jawab Helen sembari tersenyum. “Suasana demikian itu bikin saya ingin jadi napi Anda, Pak Bollo!” 

Dengan keramahan yang jujur, pejabat penjara itu menanggapinya, “Dengan senang hati saya akan menerima Nyonya menjadi salah satu napi kami!” Sorot matanya tampak memancarkan rasa hormat kepada wanita cantik berambut pirang itu.

 

Kebanyakan pembunuh

King Danforth mengusap-usap rambutnya yang bergaya crewcut sambil membenahi duduknya agar lebih nyaman. “Sehabis berkeliling di kawasan penjara, kami menangkap kesan, Anda mengelolanya menjadi semacam lembaga teladan.”

Bollo mengangguk sopan sambil mengucapkan, “Terima kasih.” 

“Setelah menyaksikan bengkel pertukangan dan kebun yang luas di kompleks penjara, saya melihat Anda banyak menekankan segi pemasyarakatan bagi para penghuninya,” kata Martin Leroy pula.

“Benar,” kata pak kepala penjara mengakui. “Kecuali itu, tentunya, kami mengutamakan segi keamanan. Perlu diketahui, Tuan Leroy, mereka kebanyakan dijebloskan ke penjara itu gara-gara membunuh,” tambahnya.

“Ya, Tuhan! Kalau begitu, saya urungkan niat saya untuk menjadi napi Anda, Pak Bollo!” kata Helen kemudian.

Bollo tersenyum memamerkan giginya yang putih dan besar-besar itu. “Maaf, saya telah merusak suasana yang menyenangkan ini, Ny. Leroy!”

“Saya ingin tahu lebih banyak tentang ruang tahanan di balik tembok penjara itu, Pak Bollo,” kata Leroy. “Apakah para napi tidur di sana dan apakah mereka juga tinggal di sana kalau tidak bekerja?”

“Ya,” jawab Bollo. “Mereka tampaknya merasa nyaman tinggal di sana.” 

“Tapi, apakah ruang tahanan semacam itu aman,” tanya Danforth, “mengingat dinding ruangannya hanya berupa batang-batang bambu yang berjarak 10 cm satu sama lain? Saya merasa, ruang semacam itu tidak sesuai untuk mengurung para penjahat. Belum lagi serangan rayap-rayap pemakan bambu ...!”

“Begini, Pak Danforth,” sahut Bollo memotong bicaranya. “Perlu Anda ketahui, batang-batang bambu itu sebenarnya jauh lebih kokoh daripada yang Anda kira. Ruang-ruang tahanan itu aman untuk mengurung mereka. Seperti yang Anda rasakan juga, iklim di sini tidak memungkinkan kami untuk membuat ruang tahanan yang tertutup rapat seperti di negeri Anda. Soalnya, mereka bisa mati kepanasan. Secara teratur kami pun memeriksa kemungkinan adanya rayap-rayap pemakan bambu.”

“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Danforth.

“Ya. Dalam ruang itu, mereka tidur berjejer di atas lantai beralaskan tikar. Karena itu, hanya perlu satu pintu untuk setiap ruangan. Pintu-pintu itu dilengkapi dengan kunci logam yang besar. Penjaga yang bertanggung jawab atas ruang itulah yang berhak memegang kuncinya. Setiap pagi, ia mengeluarkan kedua puluh orang napi penghuni ruang itu, kemudian malam harinya ia menggiring mereka kembali dan menguncinya. Selama bekerja, kedua kaki mereka dirantai. Sistem itu sangat baik dan aman.”

“Apakah Anda tidak pernah menjumpai semacam gergaji kecil, misalnya, yang diselundupkan dalam roti kiriman istri mereka?” tanya Helen.

Bollo menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak. Soalnya, sebelum mereka masuk kembali pada malam harinya, setiap tahanan diperiksa satu-persatu secara teliti, apakah mereka membawa senjata atau alat-alat lainnya misalnya, yang mungkin bisa membantu untuk melarikan diri. Itu sebabnya di penjara kami tidak mungkin terjadi pelarian.”

“Tidak mungkin kata Anda? Apakah itu berarti tak pernah ada napi yang melarikan diri dari Penjara San Ramon itu, Pak Bono?” tanya Leroy. 

Wajah Bollo bersemu merah. Rupanya ia tidak senang mendengar pertanyaan itu. “Tidak pernah, kecuali satu,” jawabnya setelah ia diam sebentar karena ragu-ragu.

 

Lenyap ditelan bumi

“Nah,” kata Danforth, “kalau begitu pernah ada ‘kan?”

“Benar,” jawabnya agak malu-malu. “Itu terjadi sebulan yang lalu dan untuk pertama kalinya. Namanya Antonio Taal, seorang pembunuh berdarah dingin. Ia memancung kepala kawannya yang sama-sama penyelam mutiara. Maafkan saya, Nyonya!”

Mendengar itu, Helen dan Carol kontan meremas gelas di tangan mereka. Sementara itu Danforth dan Leroy menggeser duduknya ke pinggir kursi masing-masing. Rupanya kisah pelarian Antonio Taal amat menarik perhatian para penulis cerita kriminal dari Amerika itu.

“Coba ceritakan kepada kami kisah pelariannya, Pak Bollo!” pinta Danforth yang keburu ingin tahu.

“Sebenarnya tidak banyak yang bisa diceritakan. Antonio Taal bekerja di bengkel pertukangan di kompleks penjara. Tinggalnya di ruang tahanan nomor tiga. Suatu malam, setelah kembali dari pekerjaan mereka masing-masing, seperti biasa Taal masuk kembali bersama kesembilan belas tahanan ruang nomor tiga. Esok paginya, saat si penjaga hendak mengeluarkan mereka untuk sarapan, ternyata Taal tidak dijumpai di antara mereka. Ia lenyap bagai ditelan bumi.” Bollo begitu keras mengetukkan jari-jarinya yang segede pisang itu ke meja, sampai membuat Helen terperanjat.

“Hanya dia yang melarikan diri?” tanya Leroy. 

“Tidak ada napi lainnya?” 

“Tidak. Anehnya, tak ada satu bambu pun yang rusak. Bahkan pintu ruangan itu pun masih tetap terkunci.”

“Aneh,” kata Carol. 

Kata Helen kemudian, “Saya punya dua pendapat tentang larinya Antonio Taal, Pak Bollo. Boleh saya menyampaikan pendapat saya itu kepada Anda?” 

Bollo mengerutkan keningnya dan tersenyum. “Silakan, Nyonya!”

“Oke. Pertama, menurut saya Antonio Taal sengaja mengurangi makan, lantaran ia punya angan-angan di dalam benaknya. Bukankah begitu?”

“Tidak,” sahut Bollo. “Dia itu makannya gembul.”

“Oh. Maksud saya begini. Dengan diet yang ketat, seorang napi bisa menjadi kurus, sehingga tubuhnya bisa menyusup keluar lewat celah batang-batang bambu yang sempit itu. Tapi tentu saja, kepalanya juga cukup kecil untuk bisa lolos lewat celah itu.”

Bollo tertawa mendengarnya. “Hanya 10 cm lebarnya,” ujar pejabat penjara itu di antara tawanya. “Lantas, apa pendapat Anda yang kedua?”

“Menginterogasi penjaga ruang tahanan nomor tiga itu dengan cermat,” kata Helen. 

“Kami sudah melakukannya, Ny. Leroy,” kata Bollo. “Lama sekali dan tanpa hasil. Secara meyakinkan, ia dapat membuktikan bahwa dia maupun kunci ruang tahanan itu berada di asrama penjaga sepanjang malam itu. Setiap kawan sekamar Taal yang diinterogasi menyatakan, malam itu mereka tidak melihat atau mendengar apa-apa.”

 

Pincang

“Jadi,” sahut Leroy, “tidakkah itu berarti ia membuka pintu menggunakan kunci duplikat?”

“Tidak,” kata Bollo yakin. “Barang macam itu tidak mungkin lolos dari pemeriksaan kami. Apakah itu disembunyikan dalam tubuhnya atau di dalam ruang tahanan. Kunci-kunci yang terbuat dari besi setebal 0,5 cm itu cukup besar. Tangkainya saja kira-kira 8 cm panjangnya dan bentuknya melengkung. Tidak mudah menyembunyikannya. Setiap hari kami memeriksa setiap tahanan dan seluruh ruangannya secara teliti.”

Bollo terdiam sejenak. “Kalaupun Taal mendapatkan kunci duplikat dan berhasil lolos dari pemeriksaan petugas pada malam itu, perlu dipertanyakan kemudian bagaimana cara dia melompati tembok yang mengelilingi penjara? Anda bisa melihatnya dari sini. Tiga meter lebih tingginya. Di atasnya ada jalan yang cukup untuk lewat para penjaga yang berpatroli mengelilingi penjara. Dengan menggunakan tangga atau tali, tembok itu mudah sekali dilompati dari dalam. Tapi, bukan oleh orang yang tak punya alat semacam itu. Apalagi oleh orang yang kakinya terluka parah.”

“Kaki yang terluka?” tanya Leroy. 

“Ya. Kakinya terluka di bagian dekat lbu jarinya. Suatu saat, sebelum ia melarikan diri, sebilah pisau menimpa kakinya ketika ia tengah bekerja di bengkel. Lukanya cukup dalam dan mengalami infeksi. Jalannya pincang, sehingga ia memerlukan tongkat pembantu untuk berjalan. Ia senantiasa menggunakan tongkat itu ke mana pun ia pergi, meskipun jaraknya dekat: dari ruang tahanan ke bengkel atau ke ruang makan.”

“Apakah para petugas benar-benar melakukan patroli sepanjang malam itu?” tanya Danforth. 

“Cuma satu orang, tetapi ia dipersenjatai dengan sebuah mitraliur ringan. Ia meronda sepanjang jalan di atas dinding itu terus-menerus. Kalau ia melihat sesuatu yang tampak mencurigakan, ia segera memberi tanda kepada para petugas yang berada di pos utama, agar menyalakan lampu sorot, yang mampu mengubah seluruh kompleks menjadi seterang siang hari bolong. Pada malam lenyapnya Taal tidak ada tanda semacam itu dari petugas ronda.”

Beberapa saat lamanya tak ada yang membuka mulut. Sementara itu hanya terdengar gemeretaknya daun-daun nyiur tertiup angin laut. Tampak bibir Leroy tersenyum sambil membisikkan sesuatu kepada Danforth.

Kata Danforth kemudian, “Pak Bollo, kami hidup dari menulis kisah-kisah seperti itu. Karena itu, maafkan kami kalau kami bersikap lancang. Sekarang, bolehkah saya dan juga kawan saya ini menebak teka-teki yang membingungkan Anda itu? Mungkin kami bisa menjawab bagaimana cara dia melarikan diri.”

Kini giliran Bollo yang menggeser tubuhnya ke bibir kursi yang didudukinya. “Tuan-tuan ini bercanda, rupanya. Apakah Tuan pikir, Tuan bisa memecahkan teka-teki itu hanya dalam waktu sepuluh menit, sementara saya bersama staf mencoba memecahkannya sampai empat minggu lamanya tanpa hasil apa-apa?”

Danforth menyulut rokoknya. Asap mengepul dari mulutnya di udara yang panas itu. “Saya mengerti, Anda meragukan kami, Pak Bollo. Tapi, saya tidak menyalahkan Anda. Mari kita teruskan saja pembicaraan kita. Saya ingin bertanya lagi tentang satu hal.” 

“Dengan senang hati,” kata Bollo dengan wajah yang berseri lagi.

 

Lubang rahasia

“Apakah Taal boleh membawa tongkatnya ke ruang tahanan pada malam hari?”

“Boleh. Ia tidak bisa berjalan tanpa tongkat itu. Kadang-kadang mereka perlu keluar malam untuk ....” Bollo tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya melirik saja ke arah nyonya-nyonya itu.

“Membuang hajat,” lanjut Leroy terus terang. “Sebenarnya tongkat macam apa yang dipakai oleh Taal?”

Bollo menunjuk pada tongkat cendera mata yang dibeli Helen Leroy sejam yang lalu dari seorang napi di bengkel pertukangan penjara itu. “Taal membikin tongkat-tongkat semacam itu untuk dijual kepada wisatawan,” ujar Bollo.

Danforth tampak bersemangat sampai tangannya menepuk meja. “Oh, begitu,” katanya. “Sekarang giliran kau, Mart.”

Leroy mengangguk. “Pak Bollo, Taal itu seorang pemahat di bengkel penjara Anda. Tentunya, ia paham benar soal pisau. Niscaya, Antonio Taal diam-diam membuat kunci palsu dari kayu untuk pintu ruang nomor tiga itu, ketika ia lepas dari pengawasan petugas di bengkel.”

Bollo sudah mau membantah saja pendapat Leroy, tetapi Danforth mendahuluinya bicara, “Tunggu, tunggu! Biarkan kami bicara dulu, Pak Bollo. Taal sudah ratusan kali melihat sosok kunci ruang tahanan nomor tiga itu, tentunya. Nah, karena setiap hari selama bertahun-tahun ia melihat kunci itu, ia pun menjadi hafal benar dengan ukuran maupun bentuk keseluruhan kunci itu, ya ‘kan? Lantas, dengan bekal itu, ia mencoba membikin kunci yang akan bisa meloloskan dirinya dari penjara. Dugaan yang masuk akal, saya kira.”

“Tidak mungkin.” 

“Mungkin sekali, Pak Bollo,” kata Leroy. “Barangkali Anda hendak mengatakan, lantas di mana Taal menyembunyikan kunci kayu itu selama ia membuatnya, sampai tak ada petugas atau napi lain yang mencurigai adanya kunci itu?”

“Tepat sekali,” ujar Bollo. 

Dengan cepat Danforth menjawab, “Pada gagang tongkat yang dibuatnya sendiri di bengkel.” la mengambil tongkat milik Helen, yang bergantung di sandaran kursinya.

Tongkat dari kayu mahoni yang kokoh dan indah. Gagangnya tebal melengkung, mirip gagang pistol. Tongkat itu meruncing ke ujungnya, dihiasi dengan pita-pita dan batangnya dihiasi dengan kulit kerang mutiara bermotif bunga-bunga. Sementara ujung gagangnya ditutupi dengan sekeping kulit kerang mutiara.

“Ia membuat lubang pada gagang tongkat,” lanjut Danforth, “yang cukup untuk menyimpan kunci palsunya. Lalu, ia menutup lubang itu dengan kulit kerang mutiara seperti ini, yang dapat dibuka dengan mudah. Ia sengaja berlama-lama menyelesaikannya, agar tongkat itu tidak terjual, sampai ia siap menggunakan kunci itu.”

 

Sengaja

“Tetapi,” kata Bollo, “ia belum tahu apakah kunci palsunya cocok untuk membuka pintu ruang nomor tiga. Tidak mungkin! Kunci yang cuma dibuat berdasarkan ingatan saja, kemungkinan untuk bisa membuka pintu itu kecil sekali!”

“Benar,” Leroy mengakui. “Karena itu Taal perlu memastikan apakah kunci yang dibikinnya itu cocok atau tidak.” 

“Bagaimana caranya?”

“Melukai kakinya dengan pisau,” kata Leroy.

“Oh, bukan begitu,” kata Bollo. “Itu kecelakaan, bukan kesengajaan. Kawan-kawannya di bengkel itu pun menyatakan demikian.”

“Tentu saja,” ujar Danforth. “Taal memang sengaja membuat kejadian itu tampak seperti kecelakaan. Bukankah dia itu mahir benar memegang pisau? Ia pun sengaja membuat luka itu menjadi infeksi agar dokter menganjurkan dia supaya memakai tongkat. Bukankah kemudian ia boleh membawa tongkatnya kapan saja?”

“Ya.” 

“Yang Anda hadapi, Pak Bollo,” ucap Danforth dengan nada senang, “ternyata seorang narapidana, seorang pembunuh yang cacat, yang memiliki kunci palsu yang disembunyikan dalam gagang tongkatnya. Seperti kita juga, kadang-kadang ia pun bangun tengah malam untuk membuang hajat. Nah, setiap malam pada kesempatan itu, diam-diam ia mencoba-coba kunci bikinannya pada pintu ruang tahanan itu. Kalau belum berhasil, paginya dibawanya lagi kunci itu ke bengkel untuk diperbaiki di sana-sini. Tibalah pada suatu malam, kunci itu pas sekali untuk membuka pintu, saat kawan-kawannya sekamar tengah dilanda mimpi. Terpincang-pincang ia keluar dengan tongkat di tangannya, lalu dikuncinya kembali pintu itu dari luar dan ... raiblah dia. Mungkin kejadiannya begitu, Pak Bollo?”

 

Segesit monyet

Bollo menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lantas bagaimana dengan tembok itu?” katanya sembari menunjuk ke seberang jalan. “Bagaimana pula  dengan petugas yang berpatroli di atas tembok itu? Mana mungkin seorang yang kakinya luka parah bisa melompati tembok dan berlari jauh?”

“Tidak terlalu sulit untuk dijelaskan,” kata Leroy dengan tenang. “Kalau hanya satu petugas yang berpatroli di atas tembok itu, berarti petugas itu membutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba kembali ke tempat semula. Apalagi kalau petugas patroli itu cukup jelas terlihat mondar-mandir di atas tembok, seperti yang Anda katakan. Antonio Taal, menurut saya, lantas memilih saat yang tepat kapan ia harus melompati tembok, yaitu ketika petugas berada di sisi tembok lain kompleks penjara itu. Sederhana, ‘kan?” 

“Bagaimana?” tanya Bollo. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. “Bagaimana caranya ia memanjat tembok?”

“Berapa tinggi badannya?” tanya Danforth. 

“Kira-kira 170 cm.”

“Sebutlah itu tingginya,” kata Danforth. “Dengan tubuh setinggi itu, kemungkinan ia memiliki jangkauan setinggi 210 cm, kalau tangannya menjangkau ke atas dan berdiri di ujung kakinya. Masih ditambah lagi dengan tongkat yang panjangnya 1 m di tangannya. Kalaupun masih kurang tinggi untuk menjangkau bagian atas tembok itu, ia bisa meloncat dengan kakinya yang tidak terluka. Nah, dengan mengaitkan pegangan tongkat ke tembok, pelan-pelan ia naik ke atas dengan berpegangan pada tangkai tongkat itu, sampai ia berhasil meraih ujung tembok setinggi 310 cm itu,” Kata Danforth sambil melirik Leroy. “Bukankah Taal itu orang yang gesit, Pak Bollo?”

Bollo terbatuk-batuk. “Ya,” katanya pelan, “persis monyet. Tapi, tidak mungkin!” Bollo berseru sambil setengah berdiri, tapi sebentar duduk lagi. Ia tampak kecewa. “Tidak,” katanya dengan muka serius. “Dugaan Anda boleh jadi benar, tapi bukan oleh orang yang kakinya terluka seperti Taal. Dengan kaki seperti itu, Taal tidak mampu berjalan sejauh 0,5 km dari sini sebelum fajar, apalagi kalau ia merangkak. Kami sudah melacak jejaknya dalam radius 15 km, menjelajahi bukit, menyisiri pantai, menguak ilalang dan menembus hutan, dalam enam jam setelah Taal dinyatakan hilang. Namun, hasilnya nihil. Kami tidak menemukan jejaknya sama sekali. Juga tidak ada laporan tentang hilangnya gerobak, mobil, perahu motor atau kano yang mungkin digunakannya untuk melarikan diri.”

 

Jingga mencolok

Tiba-tiba ia berhenti bicara ketika serombongan laki-laki yang berseragam warna jingga, berjalan beriringan mengarah ke gerbang penjara. Tertatih-tatih langkah mereka di tengah asap debu yang ditimbulkan oleh langkah-langkah kaki mereka yang terikat rantai. Sayup-sayup terdengar gemerincingnya suara logam beradu. Seorang pengawal menyandang senapan, berjalan di samping barisan, yang ternyata adalah para napi penghuni Penjara San Ramon. Pakaian narapidana itu jingga mencolok.

“Warna yang bagus, Pak Bollo,” kata Helen. “Saya ingin membeli kain itu. Mau saya bikin celana panjang, Carol.”

Bollo tertawa lebar memperlihatkan giginya yang besar-besar dan putih itu. “Sayang sekali, Ny. Leroy. Kain semacam itu tidak dijual untuk umum. Khusus untuk napi. Warnanya memang unik. Bahan celup warna jingga itu khusus untuk mewarnai baju seragam napi. Nah, orang yang memakai pakaian berwarna semacam itu langsung dikenali sebagai napi. Itulah yang menimbulkan teka-teki lain bagi kami, Tuan-tuan. Dengan mengenakan pakaian macam itu, Taal layaknya ikan hiu yang menonjol di tengah-tengah kawanan ikan pengiringnya. Toh, tak seorang pun di Zamboanga ini melihatnya.”

la mengangkat bahu dan mengulas senyum kepada Helen. “Saya kira, pendapat Anda lebih benar daripada suami Anda, Ny. Leroy. Antonio Taal sengaja tidak makan apa-apa, lantas jiwanya melayang ke luar dari kamp penjara ini menuju neraka alias jadi hantu.”

Leroy tertawa geli mendengar selorohnya. “Ada hal yang lebih sederhana daripada itu. Saya pikir, mungkin Anda melupakan satu hal yang penting tentang dirinya.”

“Apa itu?”

“Ia adalah penyelam mutiara,” kata Leroy. “Jadi, ia juga perenang yang hebat. Orang yang sudah biasa di air, tentu betah sekali di laut. Saya pikir, ia berenang menjauhi penjara menjelang malam agar pakaiannya yang mencolok tidak dilihat orang. Siang hari ia bersembunyi di tempat yang sepi di teluk yang terletak antara lokasi penjara dan Kota Zamboanga.” Leroy memandang gelombang besar yang menari di tengah laut sana. “Ketika kami berlayar kemari, kami melihat banyak tempat yang bisa dijadikan tempat persembunyian di sepanjang pantai itu. Jagoan renang seperti dia dengan mudah bisa berenang di laut yang tenang sejauh 15 km menjelang fajar, andaikata Taal melarikan diri pada tengah malam.”

Sekali lagi Bollo menyebut nama kebesaran orang suci bagi masyarakat Zamboanga. Berbagai rasa bergumul di wajahnya. Ada rasa marah, menyesal dan juga heran. Namun, rasa senanglah yang akhirnya muncul di wajahnya ketika Danforth melanjutkan bicaranya, “Berenang dalam waktu yang lama di laut yang bergaram itu mungkin bermanfaat sekali bagi luka di kakinya yang mengalami infeksi.”

“Rekonstruksi yang luar biasa,” ujar Bollo. “Bukan omong kosong kemasyhuran Leroy King, kalau kejadiannya memang seperti itu.”

Danforth tersenyum. “Barangkali pendapat kami sedikit mengada-ada, Pak Bollo,” katanya mengakui, “tapi bukan berarti tidak masuk akal.”

“Bagaimanapun juga,” ujar Bollo, “Taal sudah melarikan diri dan bebas. Saya khawatir ia akan melakukan pembunuhan lagi, karena ia berwatak keras dan kejam. Karena itu, kalau saya bisa menangkapnya kembali sebelum ia beraksi lagi, saya tentu senang sekali.”

 

Berkat bikini si gadis kecil

“Untuk Pak Bollo yang berbahagia yang telah berhasil membawa buronan itu kembali meringkuk dalam penjara bambu,” ujar Danforth sambil mengangkat gelas minuman kerasnya. Ketika itu hari sudah lewat tengah malam. Mereka duduk di Bar Sepatu Kuda di kapal Valhalla yang kini tengah berlayar menyusuri gelombang Laut Sulawesi dekat Pulau Kalimantan.

“Juga kepada ketajaman pikiran dan mata kita, Danforth,” ujar Leroy.

“Kepada gadis kecil itu juga, tentunya!” ujar Helen bernada sendu.

Si gadis kecil yang dimaksudnya ialah anak yang mereka jumpai waktu sedang makan sop ikan. Gadis itu beberapa waktu yang lalu kebetulan menyelam dan menemukan setelan pakaian napi milik Taal di dasar laut. Rupanya, pakaian itu ditenggelamkannya dengan batu di bawah rumah seorang janda.

Ibu gadis kecil itu membuat bikini bagi anaknya dari pakaian warna jingga itu. Berkat petunjuk gadis itu, Pak Bollo dan pasukannya bisa menggerebeg tempat Taal bersembunyi, yaitu di rumah janda itu sehingga tertangkap. Ternyata Taal memaksa janda itu menyembunyikan dan memberinya makan.

Leroy mengamati tongkat kenang-kenangan dari Pak Bollo. Di balik kepingan kulit kerang mutiara yang menutup lubang di ujung pegangan tongkat itulah, kepala penjara menemukan kunci palsu yang terbuat dari kayu keras. (James Holding)

Baca Juga: Kumis yang Menyelamatkan

 

" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682644/celana-yang-mencurigakan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301948000) } } [1]=> object(stdClass)#124 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123061" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#125 (9) { ["thumb_url"]=> string(101) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/salah-perhitunganjpg-20220201070653.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#126 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(17) "Margery Allingham" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9372) ["email"]=> string(20) "intiplus-16@mail.com" } } ["description"]=> string(138) "Sebuah pembunuhan terkadang tidak semulus seperti yang telah direncanakan jauh-jauh hari. Jika tidak cermat, malah merugikan diri sendiri." ["section"]=> object(stdClass)#127 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(101) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/salah-perhitunganjpg-20220201070653.jpg" ["title"]=> string(17) "Salah Perhitungan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-09 09:58:37" ["content"]=> string(41655) "

Intisari Plus - Bukan cuma perusahaan besar, tetapi pembunuhan juga memerlukan perencanaan yang cermat. Begitu kesimpulan Hector Griffiths, manajer produksi pada Perusahaan Gliss, yang bergerak di bidang industri pembuatan cairan pembersih untuk rumah tangga.

Perkawinannya dengan Mellisa Wintle, janda kaya beranak satu, juga berkat kemampuannya menyusun rencana. Bahkan juga kematian Melissa tiga tahun kemudian, akibat mengisap gas dan alat pemanas ketika Griffiths sedang ke luar negeri.

Sialnya, wasiat Melissa menyatakan seluruh harta kekayaannya menjadi milik Janet. Bukan Hector Griffiths, suaminya yang kedua itu. Janet (15) adalah putri Melissa dari perkawinannya yang pertama.

 

Perlu rencana matang 

Maka ketika Hector Griffiths (52) menyadari penghasilannya dari Gliss terus tersedot untuk merawat sebuah flat, cottage, mobil Mercedes, dan perahu motor, selain juga tanggung jawab mengasuh Janet, anak tirinya, mulailah ia menyusun rencana. la memiliki catatan sebagai bahan kuliah yang diajarkannya pada kurus latihan staf di perusahaan tempatnya bekerja.

Catatan itu berisi langkah-langkah untuk melemparkan sebuah produk baru ke pasaran. Tak kurang direktur pemasaran untuk Eropa pada perusahaan itu mengacungkan jempol atas bahan kuliah yang dibuatnya itu. 

Catatan yang sudah diketik rapi oleh sekretarisnya itu tersimpan dalam map plastik biru. Pada halaman terdepan catatan tersebut ditulisnya dua petunjuk. 

Pertama, sediakan waktu untuk membuat perencanaan, meski harus menunda pelemparan produk ke pasaran. Ketidaksabaran melahirkan kesalahan, dan kesalahan itu mahal.

Kedua, Anda harus membuat keputusan pokok tentang produk itu dan waktu yang tepat untuk melemparnya ke pasaran. Jangan terpengaruh oleh pikiran-pikiran yang timbul kemudian. Jadwal yang tertunda merugikan.

Petunjuk ketiga yang tak tertulis, tetapi sama pentingnya, menyatakan, sebelum tindakan diambil terhadap sebuah produk baru, sebaiknya sediakan waktu untuk melakukan desk work. 

Maksudnya, proyek harus dikaji dari pelbagai segi, dicek seteliti mungkin, dsb. Hal ini akan memudahkan jika kelak timbul masalah ketika waktu untuk berpikir sudah menjadi barang mewah.

Hampir tiga bulan setelah kematian Melissa, Griffiths baru melakukan desk work terhadap rencana barunya. Kematian Melissa bertepatan dengan hari raya Paskah. Waktu itu Janet ada di rumah sebab sedang liburan sekolah. la tinggal di asrama sekolahnya di Yorkshire, sementara orang tuanya di London. 

Gadis pendiam itu sedang tidur ketika kecelakaan di kamar mandi yang merenggut nyawa ibunya itu terjadi. Griffiths menyesali, kenapa anak tirinya tidak bersama ibunya ketika itu. Kalau itu terjadi, ia tak perlu repot-repot lagi.

Namun, seperti selalu diutarakannya di depan peserta kursus latihan staf, keberhasilan jarang diperoleh dengan gampang. Griffiths belum tahu persis apa yang hendak dilakukannya terhadap Janet. Sementara ini ia harus bersikap sebagai ayah tiri yang baik bagi Janet yang kini jutawan itu.

 

15 bulan lagi

Gadis seusia Janet jarang ditemukan meninggal secara mendadak. Jadi tak bisa dielakkan, Janet harus dengan sengaja dibunuh. 

Ia memutuskan akan melakukannya sendiri, sebab pernah memiliki pengalaman buruk di kantor ketika ia melimpahkan tanggung jawabnya kepada orang lain untuk pelemparan satu produk Gliss ke Eropa. Waktu yang tepat untuk "memasarkan produk" (membunuh) amat penting.

Ia memutuskan harus menunda pembunuhan. Soalnya, kematian Melissa baru saja terjadi. Kecelakaan yang terjadi beruntun akan mendorong pihak berwajib melakukan penyelidikan secara lebih teliti. 

Untuk membunuh benih-benih kecurigaan, Griffiths harus terus menanamkan kesan bahwa ia penuh perhatian kepada anak tirinya. Tetapi lamanya penundaan harus dibatasi. 

Dalam wasiatnya, Melissa memang sedikit memberi bagian kepada Griffiths yang hanya cukup untuk menopang gaya hidupnya yang sekarang selama 18 bulan. Itulah batas terlama penangguhan pembunuhan.

Di mana pembunuhan akan dilakukan? Selama ini Janet tinggal di asrama sekolah di Yorkshire. Kehadiran Griffiths di asrama tentu akan mengundang pertanyaan. Jadi pembunuhan harus dilakukan pada masa liburan sekolah.

Pertimbangan-pertimbangan di atas dan juga faktor-faktor lain membawa Hector kepada kesimpulan bahwa pembunuhan akan dilakukan pada liburan musim panas tahun berikutnya. Sekitar 15 bulan lagi. Penantian yang cukup lama memang, tapi seperti disadarinya, ketidaksabaran melahirkan kesalahan.

Pembunuhan yang akan dilakukannya mestinya harus begitu rupa, sehingga seolah-olah ia tak terlibat di dalamnya. Kematian Janet harus tampak seperti kecelakaan, atau ia harus punya alibi yang kuat pada saat kematian Janet. Atau lebih baik lagi gabungan dari keduanya. 

Ia memilih, kematian Janet seolah akibat kecelakaan. Untuk menghindari penyelidikan polisi terhadap dirinya sebaiknya kecelakaan itu terjadi pada saat ia sedang bertugas di luar negeri.

Padahal, pembunuhan itu hendak ditanganinya sendiri. Akibatnya, pada saat yang sama ia harus berada di dua tempat yang berbeda. Bagaimana mungkin?

Akhirnya Griffiths memutuskan untuk "memainkan" waktu terjadinya pembunuhan. Itu memerlukan banyak penelitian, banyak membaca buku tentang masalah peradilan yang menyangkut kematian.

 

Teluk Busuk

Ketika liburan panjang di musim panas, Janet setuju tinggal bersamanya di pondok peristirahatan di Cornwall sepanjang bulan Agustus. Waktu Melissa masih hidup, mereka memang biasa tinggal di sana setiap akhir pekan. Awal bulan Juli Griffiths pergi ke sana untuk mengecek pondok itu.

Griffiths suka sekali naik perahu motor di sana. Bahkan Letkol Donleavy, yang sering minum bersama Griffiths di Yacht Club, pun senang sekali memandang ke arah teluk tempat perahu itu tertambat, dan mengagumi bangunan bercat putih di kaki bukit di tepi pantai. 

"Pondok itu indah sekali," ujar Donleavy. Perahu motor itu pun tak kalah indahnya.

Griffiths tak mau kehilangan keduanya. Pada masa-masa perkenalan dengan Melissa, ia suka membawa Melissa ke tempat-tempat yang terpencil dan sulit dijangkau, antara lain ke sebuah gua di tengah laut. 

Orang hanya bisa masuk pada saat air laut surut begitu rendah. Gua yang tersembunyi itu ditemukan secara tak sengaja waktu pertama kali ia pergi berperahu bersama Melissa. 

Kurangnya pengalaman dalam soal navigasi membawa perahu mereka menghampiri bukit-bukit karang yang berbahaya. Ketika hendak mencoba menghindar, ia tercebur ke laut. Sekilas matanya menangkap ruang gelap di bawah sebuah lengkungan di sebuah bukit karang.

Disuruhnya Melissa membuang sauh, sementara ia berenang ke mulut gua dan lenyap di balik lengkungan batu karang. Pantulan sinar matahari dari permukaan air laut cukup menerangi gua kecil berlantai pasir itu.

Ketika muncul kembali, Griffiths memanggil Melissa untuk mengikutinya. Di dalam gua itulah janji Melissa untuk menikah dengan Hector Griffiths diikrarkan.

Bila cuaca panas, bau busuk yang menusuk akibat ganggang laut yang membusuk tersebar di sekitarnya. Tak heran kalau tempat itu kemudian dijuluki Teluk Busuk. Ketika ia melewati kembali mulut gua yang tersembunyi itu, rencana pembunuhan itu pun mulai terbentuk dalam benaknya.

Adalah Donleavy yang banyak berjasa kepada Hector memberi tahu tentang hal-hal yang menyangkut pelayaran. Terutama soal siklus pasang surut air laut yang berperiode 28 hari itu. Ditunjukkannya pula tabel-tebal pasang surut. Juga Donleavy yang memberi tahu bahwa tanggal terjadinya pasang surut bisa diramalkan sebelumnya.

 

Tempat ideal untuk pembunuhan

Selama liburan, Janet yang memang pendiam itu terlihat lesu dan tak bergairah. Ia seperti masih tenggelam dalam kesedihan akibat kematian ibunya. 

Selain mencorat-coret membuat sketsa, kelihatannya Janet tidak punya keinginan lain. Kawan pun tampaknya ia tak punya. Cuma kepada dua orang bibi Melissa yang sudah tua yang tinggal di Stockport, Janet selalu menyempatkan diri berkirim kartu pos.

Saat air laut mengalami surut yang terendah, Griffiths berlayar sendirian menuju gua itu. Griffiths mematikan lampu sentemya ketika sudah berada di dalam gua setinggi kapel itu. Di sana teronggok reruntuhan batu karang yang menyerupai sebuah pilar tinggi. 

Gua itu sendiri cukup bersih. Tak tampak bekas-bekas seperti kaleng minuman atau bungkus kue yang menandai orang lain pemah pula menemukan tempat itu.

Di tengah gua mengalir parit kecil yang berasal dari rembesan dinding gua. Ia lega, jejak kakinya lenyap terendam air  setelah mencoba menginjak-injak lantai pasir itu. 

Rasanya tak mudah menaiki pilar itu sebab batu-batu besar itu bergoyang-goyang ketika dipegang, sementara batu-batu kecil berguguran terinjak kaki. Meski begitu, sampai juga ia di puncak reruntuhan yang tingginya sekitar 4,5 m itu.

Ia merogoh sakunya mengambil selembar kantung kertas, yang lantas ditiupnya hingga sebesar kepala. Dilepasnya kantung kertas itu ke bawah, lalu ia mencoba melemparinya dengan batu-batu besar. 

Kantung itu akhirnya meledak, setelah lemparannya telak mengenai sasaran. Serpihan kertas berserakan di hamparan pasir yang lembap.

Hector Griffiths meninggalkan gua dan kembali untuk makan siang bersama anak tirinya.

 

Kartu pos tidak dikirimkan

Dalam pekerjaannya sebagai manajer, Griffiths tahu kemasan bisa mematikan produk yang baik, tapi sebaliknya bisa membuat produk yang tidak baik jadi laku dijual. Kemasan juga bisa membuat produk asli tampak palsu, tetapi dapat pula membuat produk lama tampak seperti baru.

Dengan pengertian itu, Hector Griffiths yakin bisa membuat polisi percaya bahwa suatu pembunuhan merupakan kecelakaan dan mayat yang sudah agak lama menjadi tampak seperti agak baru. 

Seperti terhadap hal-hal yang lain, ia biasa menyusun rencana dengan baik. Kebetulan korban yang hendak dibunuhnya memiliki sifat yang bisa dimanfaatkannya untuk mendukung keberhasilan rencananya, yakni sikap malas. Ketika itu Janet meminta tolong ayahnya mengeposkan kartu-kartunya untuk kedua bibi Melissa di Stockport.

Griffiths tidak mengeposkannya, tetapi menyimpan saja kartu-kartu itu ke dalam map biru. Tak banyak yang harus dilakukan Griffiths setelah itu. Maka ia menghabiskan sisa waktunya di Cornwall untuk bermanis-manis dengan Janet dan minum-minum bersama Donleavy di Yacht Club.

Di sana ia mendengarkan pengalaman Donleavy tentang kelautan. Sementara ia sendiri bercerita soal anak tirinya. Griffiths mengaku tak merisaukan apa-apa tentang Janet, kecuali terlalu pendiam. 

Ia sudah berusaha menyenangkan hatinya, tetapi tampaknya yang ingin dilakukan Janet hanyalah bermenung-menung di sekitar pondok, atau berjalan-jalan sendiri. Janet memang sedikit suka melukis."Bukankah yang berbaju biru dan keluar lewat pintu belakang pondok itu Janet?" kata Griffiths.

Donleavy menatap lewat kacamatanya dan mengiakan, meski terlalu jauh baginya untuk melihat sosok itu dengan jelas. Bila Griffiths berada di Yacht Club pada malam hari. 

Ia berusaha menarik perhatian Donleavy untuk melihat lampu-lampu pondok yang dipadamkan ketika Janet hendak pergi tidur. Ia selalu tidur menjelang pukul 22.30. Janet memang gadis yang aneh.

Donleavy tertawa. Katanya, setahun lagi gadis itu akan berubah menjadi gadis yang siang-malam dikunjungi teman-teman prianya. Tetapi Griffiths tidak berharap demikian.

 

Menyimpan koran

Liburan musim panas itu pun berlalu. Ketika kembali ke kantornya, Griffiths menemukan surat berisi  pemberitahuan tentang akan dilangsungkannya Intersan, sebuah pameran internasional pembersih untuk rumah tangga di Hamburg, yang dimulai tanggal 9 - 17 September tahun depan.

Ini kesempatan baik, pikimya. Ia menelepon wakilnya dan meminta dia mewakili perusahaan ke pameran yang masih akan berlangsung cukup lama itu.

Pada tanggal 14 September, Hector Griffiths menyimpan secarik Surat Kabar Daily Telegraph dalam map biru bersama kartu-kartu pos Janet. 

Tampaknya, tak ada masalah untuk "memainkan" waktu pembunuhan. Namun, rasanya masih ada sesuatu yang kurang ketika ia meneliti kembali rencananya. Ya, ia memerlukan barang bukti yang mendukung keberhasilan proyeknya. 

Maka, sementara mencurahkan pikirannya pada soal. pemasaran sikat serba guna yang akan datang, ia tetap membuka pikirannya. Siapa tahu ada inspirasi lain.

Bulan demi bulan berlalu. Griffiths dan Janet berhari Natal dengan tenang di London. Ia merasa lega sebab Janet tidak tampak berubah seperti diramalkan Donleavy. Janet justru semakin pendiam. 

Satu-satunya perubahan hanyalah bahwa ia ingin meninggalkan saja sekolahnya. Griffiths setuju, bahkan menyarankan agar Janet meninggalkan sekolahnya pada akhir musim panas, lantas bergabung dengannya selama bulan Agustus di cottage. Di sana mereka bisa memikirkan masa depan Janet.

 

Coklat pemberi ilham

Beberapa bulan sebelum produk sikat serba guna dilempar ke pasaran, Griffiths harus datang ke biro iklan untuk menyetujui kampanye iklan produk baru itu. Ia pun menerima petugas pelaksana jasa periklanan pada biro iklan tersebut. 

Tampaknya ia merasa kurang puas. Kepada si petugas ia minta diputarkan iklan TV bagi produk itu, melihat artwork dan rancangan kampanye iklannya.

Setelah menyaksikan iklan TV untuk sikat serba guna itu, Griffiths iseng-iseng bertanya kepada petugas itu, proyek apa lagi yang sedang dikerjakannya. Pria muda itu menjawab, ia sedang menangani iklan permen cokelat kacang baru untuk suatu perusahaan makanan terbesar di negeri ini. 

Nama permen itu Nuggy Bar. Kampanye besar-besaran akan dilakukan di seluruh negeri lewat surat kabar, gedung bioskop, TV, dan radio.

Produk itu sudah diuji coba di wilayah Tyne-Tess dan baru setelah tanggal 10 September makanan itu dilempar ke pasaran dan akan bisa dibeli di setiap toko di negeri itu. 

Griffiths mencicipi sepotong Nuggy Bar yang dibungkus kertas warna emas dan biru. Pria muda itu mempersilakan ia mengambil sebanyak ia suka. Hati Griffiths berdebar, karena ia merasa bisa memanfaatkan Nuggy Bar untuk rencana pembunuhannya.

Dimasukkannya coklat itu ke dalam sakunya. Sebelum pergi, ia berpesan kepada petugas biro iklan itu untuk memperbaiki iklan TV sikat serba guna yang sepertinya dibuat serampangan itu.

 

Belanja peralatan

Untuk menunjang proyek pembunuhannya, pada bulan Juni, Hector Griffiths membeli sebuah perahu karet dan sebuah motor tempel pada agen perahu yang kurang dikenal di London Utara. Akhir minggu berikutnya ia pergi ke Cornwall. Setelah berkonsultasi dengan Donleavy, ia membeli perahu karet satu lagi berikut motomya.

Tiga hari kemudian di toko yang tak bernama, ia membeli semacam alat yang bisa disetel untuk mematikan lampu secara otomatis. Lantas dengan sembunyi-sembunyi dibelinya boneka karet berbentuk wanita yang bisa ditiup. Di toko lain, ia membeli sepasang sarung tangan karet.

Pelemparan produk sikat serba guna ke pasaran berlangsung sukses. Selama menunggu keberangkatannya ke Hamburg, wakil Hector mengambil cuti selama dua minggu pada bulan Juli. 

Sebelum pergi, ia menyiapkan berkas yang harus ditandatangani manajer produksi untuk kelanjutan produksi pembersih noda. Berkas itu merupakan pemberitahuan resmi kepada bagian produksi agar menyediakan suplai yang cukup untuk memenuhi pesanan bulan November.

Sang wakil manajer menaruh berkas itu di meja Griffiths. Ia senang ketika mendengar Griffiths akan mengambil cuti musim panas sepanjang bulan Agustus, ditambah dua minggu bulan September. 

Rupanya sang manajer hendak memberi kesempatan kepada pejabat muda untuk menambah pengalaman. Buktinya, ia dikirim untuk mewakili sang manajer ke pameran internasional itu.

Namun, wakil Griffiths yang masih muda itu tidak tahu bahwa akhirnya berkas itu dibakar oleh Griffiths. Akan halnya Janet, akhirnya ia meninggalkan sekolahnya di Yorkshire dan tinggal bersama dengan ayah tirinya di London.

Seperti direncanakan, awal bulan Agustus mereka pergi ke Cornwall. Sikap Janet tetap pendiam seperti biasa. Griffiths memintanya untuk terus melukis dan tak jarang Griffiths mengajaknya naik perahu motor atau perahu karet barunya. Bila bertemu Donleavy di Yacht Club, ia mengadu tentang sikap anak tirinya itu. 

Dari tempat itu Griffiths menunjuk ke luar, ke arah Janet yang tampak sedang melukis di luar pondok. Donleavy cuma melihat samar-samar sosok gadis itu lewat kacamatanya.

Malam itu Griffiths mencoba berbicara dengan Janet tentang kariernya, tetapi Janet sulit diajak bicara soal itu. Apakah Janet sudah membicarakannya dengan temannya? Atau gurunya di sekolah? Tak adakah orang yang bisa ia hubungi lewat telepon dan bicara soal itu?

Janet akhirnya memberi ayahnya nomor telepon dan nama ibu asramanya. Nomor telepon itu ditulisnya di atas secarik kertas yang disodorkan Griffiths. Janet tidak tahu bahwa kertas itu adalah robekan Koran Daily Telegraph. Tulisan yang masih tersisa dari koran itu hanyalah tanggal terbitnya; 4 September 19...

Griffiths terus berusaha membuat hati Janet senang. Diberinya gadis itu sepotong cokelat Nuggy Bar, yang belum beredar di pasaran. Untuk menyenangkan hati ayah tirinya, Janet memakan juga cokelat itu, walaupun terasa agak berbau.

 

Mengajak boneka berperahu

Tanggal 17 Agustus 1941 air laut mengalami surut yang terendah. Griffiths membujuk Janet ikut melakukan perjalanan dengan perahu motor pada pukul 18.30 malam itu. Gadis itu tak begitu bergairah, tetapi juga tidak menolak.

Dengan perahu motor dan sampan karet yang diseret di belakang, mereka meluncur menuju ke Teluk Busuk. Tangan ayahnya yang memegang kemudi terbalut sarung tangan. Alasannya, takut kotoran masuk ke dalam lukanya akibat tergores tali pancing sehari sebelumnya.

Sepanjang perjalanan pun Janet tampak tidak ceria. Sebaliknya, Griffiths begitu senang ketika melihat sebuah lubang di batu karang. Ia membawa perahunya mendekati batu karang itu. 

Bau busuk semakin tajam menusuk. Setelah melabuhkan perahunya, setengah memaksa ia menyuruh Janet naik ke perahu karet. Mereka meluncur dengan susah payah menuju ke batu karang itu.

Ombak laut mendorong perahu karet itu ke atas pasir di dalam gua. Griffiths menunjukkan sikap heran kepada Janet, seolah baru kali ini menemukan tempat itu. Ia melompat turun ke air yang dangkal, sambil memberi isyarat kepada Janet untuk mengikutinya. 

Macam anak kecil kegirangan menemukan apa yang diingini, Griffiths mengajak Janet menjelajahi gua. Mungkin lubang kecil itu menuju ke gua yang lebih besar. Siapa tahu di puncak reruntuhan batu itu ada pintu lain? Ia memanjat pilar itu diikuti Janet.

Ketika sampai di puncak pilar, tiba-tiba Griffiths pura-pura terpeleset. Tubuhnya melorot menimpa Janet hingga gadis itu terjerembap di dasar gua. Karena wajahnya menghadap ke bawah, Janet tidak tahu sebuah batu besar melayang dan menghantam kepalanya.

Suara ledakan itu mirip letupan kantung kertas yang pernah diledakkannya. Cuma yang ini lebih keras. Guncangan yang timbul akibat benturan itu cukup membuat batu-batu kecil dari langit-langit gua berguguran. Keadaan ini justru menguntungkan Griffiths, sebab kesannya Janet tewas akibat runtuhnya batu-batu gua.

Griffiths pun merasa puas sebab Janet tidak mendarat di parit kecil di dalam gua. Bila mayatnya nanti ditemukan, pakaian Janet tidak basah karena air. Sehingga kesannya Janet masuk ke gua itu dengan perahu karet pada saat air laut surut paling rendah.

Dengan hati-hati Griffiths turun. Darah dan otak dari kepala Janet yang terluka tampak memerciki pasir. Gadis itu tewas. Dengan tangan terbungkus sarung, diselipkannya robekan koran bertuliskan nomor telepon itu ke saku Janet. Juga sepotong cokelat Nuggy Bar yang sedikit terbuka bungkusnya.

Kembali ke perahu ia membuka kain terpal penutup perahu karet satunya lagi dan menggandengnya ke belakang. Kemudian ia meluncur kembali ke pondoknya. Air laut pun kian meninggi.

Hector Griffiths masih punya sisa waktu hampir sebulan dari liburan enam minggunya di Cornwall. Hari-hari itu dilewatinya dengan tenang dan damai. Ia banyak menggunakan waktunya untuk minum-minum bersama Donleavy di Yacht Club.

Ia menyatakan kepada Donleavy dan orang-orang yang kebetulan mendengamya, pekerjaan apa yang sesuai bagi gadis pendiam macam Janet. 

Bila sedang makan siang, tak jarang ia akan menunjuk ke luar pada sosok berbaju biru yang sedang melukis di luar pintu belakang pondoknya. Bila malam hari ia akan berkomentar waktu melihat lampu pondok dipadamkan.

Setiap pagi sebelum pergi, ia mengecek alat pemadam lampu otomatis itu. Karena tak ingin cepat menimbulkan kecurigaan. Griffiths memindah-mindahkan boneka wanita itu. 

Sering kali juga ditaruhnya di dalam pondok. Bahkan satu dua kali ketika hari mulai gelap, ia membawa boneka itu naik perahu karet. Setiap kali melewati pelabuhan, ia melambai-lambaikan tangan kepada para nelayan di dermaga.

Di akhir bulan Agustus ia mengeposkan kartu-kartu Janet kepada para bibi Melissa di Stockport. Kartu-kartu itu sebetulnya ditulis Janet setahun sebelumnya. Pada minggu pertama bulan September, ia masih terus berkeliling dengan perahunya sambil menanti datangnya kejutan dari perusahaan tempatnya bekerja.

 

Memfitnah

Tanggal 5 September muncullah kejutan yang ia nantikan. Kejutan itu berupa telegram - pondok itu memang tak punya telepon - dari wakil manajernya yang menyatakan bahwa Gliss sedang mengalami kesulitan. Ia diminta segera menelepon.

Griffiths menelepon wakilnya dari Yacht Club. Rupanya ada yang tak beres dengan berkas yang menjamin kelanjutan produksi bahan pembersih noda. Pihak pabrik merasa belum menerima berkas itu. Akibatnya, tidak ada stok untuk memenuhi pesanan bulan November.

Hector Griffiths marah besar kepada wakilnya yang tak bisa dipercaya melaksanakan tanggung jawab yang paling sederhana sekalipun. Tentu saja orang muda itu protes, sebab ia yakin sudah melakukan pekerjaannya dengan benar. 

Untuk mengatasi hal itu, dimintanya sang wakil manajer menemui semua agen dan minta maaf. Alasannya, masalah ini tak bisa diselesaikan begitu saja lewat telepon, apalagi surat.

Griffiths membatalkan kepergian wakil manajernya ke pameran intemasional di Hamburg. Terlalu banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan orang muda itu gara-gara keteledorannya. Namun, di pihak lain perusahaan harus mengirimkan wakilnya. Untuk itu Griffiths sendirilah yang hendak berangkat ke sana.

Griffiths meletakkan gagang telepon. Sambil menggerutu, ia menemui Donleavy di bar. Dikatakannya kepada Don, ia terpaksa mengakhiri liburannya yang masih. beberapa hari itu hanya karena kecerobohan wakilnya. Orang muda tidak punya rasa tanggung jawab, begtu gerutunya.

Griffiths pun menelepon orang-orang manajemen Gliss dan mengatakan betapa ia mendadak harus pergi ke Hamburg. Ia kecewa dengan perubahan rencana itu. 

Pada tanggal 6 September, hari terakhir Griffiths berada di Cornwall, ia membuang ke tengah laut semua peralatan yang sudah tidak diperlukan lagi. Perahu karet, boneka wanita, sarung tangan, dan pemadam lampu dibebaninya dengan batu dan motor tempel supaya tenggelam.

Malamnya ia datang dan berpamitan kepada Donlegvy di Yacht Club. Ia mengaku agak cemas tentang Janet, dan mengatakan bahwa Janet kini terserang depresi berat. Sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Janet sendirian di pondok itu. Meski Janet bilang mau ikut pulang,

Griffiths tidak yakin akan lebih bahagia bersama Janet di London. Lagi pula ia harus melakukan perjalanan sialan itu. Bahkan ia pun tidak mampu lagi mengubah sikap Janet. Donleavy cuma berkomentar, wanita memang makhluk aneh.

 

Cokelat kacang untuk menyesatkan

Dalam perjalanan pulang ke London dengan Mercedesnya tanggal 7 September, Griffiths menilai kembali hal-hal yang perlu dilakukan sepulang dari Hamburg. Gara-gara krisis produksi sikat serba guna itu, ia jadi punya alasan yang sah untuk menunda kepergiannya kembali ke Cornwall selama satu atau dua minggu lagi. 

Jika Janet, tidak mengadakan kontak dengannya, ia akan mengiriminya surat. Jika surat-suratnya tak juga dibalas, ia mulai memperlihatkan kecemasannya, lantas pergi ke Cornwall menengok Janet.

Begitu menemukan surat-suratnya masih tertutup, ia akan langsung kembali ke London, dengan membawa kabar bahwa anak tirinya hilang. Lalu ia akan menelepon ibu asrama Janet dan kedua bibi Melissa di Stockport. Bila tidak mendapat keterangan tentang Janet dari mereka, ia akan menelepon polisi.

Kepada mereka ia juga akan menyatakan bahwa Janet memang ingin ikut pulang ke London, ketika Griffiths terpaksa mengakhiri liburan sebelum waktunya. Ia pun harus mengatakan bahwa Janet tampaknya mengalami depresi. 

Namun, bahwa ia kehilangan perahu karet, baru akan dilaporkannya belakangan. Ia berharap mayat Janet baru ditemukan polisi empat bulan setelah tanggal 17 Agustus. 

Sebab menurut buku yang dibacanya, sulit memastikan tanggal kematian secara tepat setelah mayat berumur empat bulan. Lantas polisi akan menemukan mayat Janet setelah ia melaporkan bahwa suatu kali anak tirinya itu pernah bercerita tentang sebuah gua yang ditemukan Janet pada saat air pasang rendah.

Karena tanggal kematian sulit dipastikan dari mayat yang sudah membusuk, pihak polisi akan menetapkannya lewat barang bukti lain. Keberadaan perahu karetnya dalam gua dan keringnya pakaian Janet akan menjadi petunjuk bahwa ia masuk ke gua itu pada saat air laut surut, sehingga perkiraan tanggal kematian bisa ditentukan dari situ.

Selain mungkin pemyataan penduduk setempat yang melihat perahu itu, kalau bukan gadis itu, sampai beberapa kali sebelum Griffiths berangkat ke London pada 7 September, ada bukti-bukti lain yang bisa ditemukan dalam saku Janet. 

Pertama, sepotong Nuggy Bar, yakni permen cokelat kacang yang belum beredar di toko-toko sampai tanggal 10 September. Kedua, secarik koran bertanggal 14 September yang bertuliskan nomor telepon. 

Karena tanggal 14 September termasuk dalam periode terjadinya spring tide (periode di mana permukaan air laut mengalami pasang naik yang tertinggi dan pasang surut yang terendah), polisi tidak akan ragu-ragu lagi menyatakan Janet Wintle tewas pada tanggal 14 September.

Padahal pada tanggal tersebut Griffiths akan berada di Hamburg pada pameran internasional itu. Maka bila Griffiths nanti mehdengar kabar tentang musibah yang terjadi tak lebih dari dua tahun setelah kematian Melissa, ia harus ikhlas menerimanya. 

Warisan yang akan jatuh ke tangannya nanti akan tampak seolah kurang berarti ketimbang kesedihannya atas kematian istri dan kemudian anaknya.

 

Cokelat sialan

Pada hari sebelum berangkat ke Hamburg, tiba-tiba Griffiths merasa panik. Bagaimana jika salah seorang bibi Melissa di Stockport itu ternyata sudah meninggal? Mereka memang sudah agak tua, tetapi jika sudah meninggal, Janet pasti tahu. Janet takkan mungkin mengirim kartu pos kepada orang yang sudah meninggal.

Griffiths tak mau ambil risiko. Ia menelepon kedua nenek itu dengan berpura-pura menanyakan nama lengkap mereka yang hendak dicantumkannya dalam sebuah formulir yang harus diisinya. Ternyata keduanya masih segar bugar. Mereka malah menyatakan amat senang menerima kartu pos dari Janet.

Griffiths menarik napas lega. Kini semuanya beres. Ia bisa ke luar negeri dengan dada lapang. Kemudian ia menelepon ke Gliss untuk mengecek apakah ada hal-hal lain yang mendesak untuk dikerjakan sebelum ia pergi. 

Ternyata ada sebuah pesan yang memintanya untuk segera menelepon biro iklan TV sikat serba guna. Persis sebelum ia akan menaruh gagang telepon, Griffiths bertanya kepada petugas iklan yang masih muda itu.

"Semua sudah diatur untuk melempar produk ke pasaran?"

"Melempar produk?"

"Tanggal 10. Permen cokelat itu."

"YaTuhan. Sudahlah, jangan bicara soal Nuggy Bar. Manajer produksi sialan itu merasa khawatir."

"Khawatir?"

"Ya. Ia orang baru dan khawatir produk itu tidak akan laku."

"Apa?"

"Mereka menerima laporan dari Tyne-Tees, tempat produk itu diuji. Hampir 40% sampel temyata agak berbau."

"Lalu, apa yang akan dilakukan?"

"Manajer produksi sialan itu akan menunda pelemparan produk itu ke pasaran."

"Menunda?"

"Ya. Tampaknya ia kebingungan."

"Tetapi ia tidak bisa mundur dalam keadaan seperti itu. Bukankah mereka sudah teken kontrak dengan pihak TV, surat-surat kabar, dan ...?"

"Bisa saja ia mundur, jika kontrak belum dibayar ...."

Tak pernah Griffiths melarikan mobilnya sekencang itu di jalanan menuju Cornwall. AC mobil itu pun tak mampu membendung keringatnya. Tak kalah kencang Griffiths melarikan perahu motornya menuju ke Teluk Busuk. Air laut cukup rendah, tetapi tidak cukup banyak menampakkan mulut gua itu. 

Sudah lebih dari seminggu terjadi pasang naik yang tinggi. Ia harus menyelam berulang kali untuk menemukan mulut gua, Ketika gelombang datang menyapu, terasa punggungnya yang telanjang tergores batu karang. Namun, ia terus berjuang naik ke atas pasir yang basah.

Ia menyesal tidak membawa lampu senter, ketika menyadari gua itu gelap. Namun, ketika ia terbaring kelelahan di atas pasir, lama-kelamaan keadaan di dalam gua semakin jelas. Ada sedikit cahaya dan pantulan air di bawah mulut gua.

Tiba-tiba ia tersadar oleh bau busuk yang tajam menusuk. Sambil mendekap hidung, ia melangkah mendekati sumber bau tak sedap itu. Dengan mata menatap ke arah lain, ia meraba-raba pakaian dan sumber bau tak sedap yang ternyata mayat Janet.

Rasa lega mengguyur seluruh tubuhnya setelah menemukanNuggy Bar itu. Walaupun kondisi tubuhnya terasa lemas, ia masih merasa bahwa semua akan beres: keluar dari gua, naik perahu, kembali ke London, kemudian besoknya ke Hamburg. 

Meskipun penduduk setempat melihatnya, ia tak peduli. Toh robekan koran dan keringnya pakaian Janet cukup kuat untuk menetapkan tanggal kematian Janet.

 

Seperti ledakan kantung kertas 

Air pasang semakin naik, bahkan sempat masuk ke dasar gua. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia menceburkan diri ke dalam air. Sayang, gelombang laut mendorongnya kembali ke gua. 

Ia terus mencoba dan mencoba, tetapi setiap saat justru semakin sulit. Kian lama gelombang makin kuat, sementara tubuhnya justru kian melemah.

Griffiths terbaring kelelahan di atas pasir. Ia coba memusatkan pikirannya untuk memiliki kembali kemampuannya menyusun rencana. Namun, serangan gelombang dan bau mayat yang membusuk membuyarkan konsentrasinya. Akhirnya ia menemukan kemungkinan lain untuk keluar dari gua dan kepungan air laut.

Ia ingat ia pemah membohongi Janet. Waktu itu ia mengajaknya memanjat pilar untuk melihat apakah ada pintu lain di sana. Bahkan Griffiths sendiri kini menduga ada jalan lain ke luar gua. 

Akhirnya dengan sangat hati-hati ia memanjat pilar yang tersusun dari batuan lepas. Ia merasa menemukan harapan ketika matanya menangkap setitik cahaya.

Namun, ia hanya melihat tumpukan batu-batu karang yang lepas-lepas. Siapa tahu timbunan batu itu menutupi jalan masuk lain, sebuah gang atau lorong tua bekas sarang penyelundup. Ia mencoba mati-matian menyingkirkan batu-batu itu sampai tangannya terluka. Sejumlah batu kecil berhasil disingkirkan, tetapi batu-batu yang lebih besar tak bergeming. 

Ketika ia berusaha menarik sebongkah batu besar, tiba-tiba sebuah batu besar lain tergeser. Griffiths melompat mundur waktu mendengar suara bergemuruh. Batu-batu berguguran, berderai-derai, dan jatuh berdebam di dasar gua. Tampaknya sia-sia usahanya. Maka ia pun turun untuk mencoba kembali keluar lewat mulut gua yang berhadapan dengan gelombang.

Dengan sangat hati-hati ia melangkah maju. Namun, tanpa disadarinya sebongkah batu besar tiba-tiba terlepas dan melayang, lalu mendarat tepat di batok kepalanya. 

Suara letusan itu mirip ledakan kantung kertas, cuma lebih keras. Hector Griffiths terguling di atas pasir dan tewas. Ketika itu tanggal 8 September.

Perahu yang ditinggalkannya di luar gua perlahan-lahan hanyut terbawa ombak karena ditambatkan dengan terburu-buru.

 

Sepotong permen coklat untuk patokan

Mayat Hector Griffiths ditemukan empat bulan setelah kematiannya. Polisi berhasil menemukannya berkat petunjuk yang mereka temukan dalam sebuah buku harian mendiang istrinya. Di sana diceritakan tentang sebuah gua rahasia tempat mereka pernah memadu cinta.

Polisi menduga Griffiths pergi ke gua itu dengan perahunya lantaran terbawa oleh ingatan kepada mendiang istrinya. Namun, ia terjebak oleh air pasang dan tewas karena runtuhan batu.

Pada pakaiannya ditemukan noda air garam sebab ia tergeletak begitu dekat dengan batas pasang naik yang tinggi. Sulit untuk menentukan tanggal kematiannya secara pasti setelah sekian lama. 

Namun, berdasarkan tabel pasang surut, yang menurut Letkol Donleavy, Griffiths sangat tertarik pada soal itu, tampaknya sangat mungkin Griffiths tewas pada tanggal 14 September. Ini diperkuat dengan ditemukannya sepotong Nuggy Bar dalam sakunya, permen cokelat baru yang sudah beredar di pasaran sejak tanggal 10 September.

Jenis permen coklat baru itu akhirnya jadi dilempar ke pasaran. Soalnya, sang manajer produksi Nuggy Bar – setelah membatalkan pelemparan produk itu - mendadak teringat satu petunjuk yang pernah didengarnya ketika mengikuti kursus manajemen di Perusahaan Gliss, yakni:

SEKALI ANDA MENGAMBIL KEPUTUSAN POKOK TENTANG PRODUK ITU DAN MENETAPKAN WAKTU PELEMPARANNYA KE PASARAN, JANGAN LAGI TERPENGARUH OLEH PIKIRAN YANG TIMBUL KEMUDIAN.

Karena itu ia mencabut kembali pikiran-pikiran yang timbul akibat pengaruh dari hasil uji coba yang menyatakan bahwa 40% sampel cokelat itu agak berbau. Kampanye iklan produk itu pun terus berlangsung seperti direncanakan.

Mayat anak tiri Hector Griffiths, Janet Wintle, malah tak pernah ditemukan. Adalah kedua wanita tua di Stockport itu yang beruntung mewarisi kekayaan Melissa yang tidak kecil itu.  

(Margery Allingham)

" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123061/salah-perhitungan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644400717000) } } [2]=> object(stdClass)#128 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123046" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#129 (9) { ["thumb_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/pernikahan-di-rumah-hantujpg-20220201070428.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#130 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(14) "Edward D. Hoch" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9375) ["email"]=> string(20) "intiplus-19@mail.com" } } ["description"]=> string(134) "Sebuah rencana pesta pernikahan di sebuah rumah tua, malah mengungkap peristiwa misterius yang terjadi pada sepuluh tahun sebelumnya. " ["section"]=> object(stdClass)#131 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/pernikahan-di-rumah-hantujpg-20220201070428.jpg" ["title"]=> string(25) "Pernikahan di Rumah Hantu" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-09 09:58:23" ["content"]=> string(36676) "

Intisari Online - Dr. Sam Hawthorn membuka pintu dan segera mengenali orang yang memijat bel, padahal mereka tidak bertemu selama 50 tahun!

"Masuk, masuk!" ajaknya. "Sudah lama ya, kita tidak bertemu! Sejak di Northmont itu. Tidak, tidak, Anda tidak mengganggu. Saya juga sedang menunggu seorang kawan yang sering mampir kemari untuk mendengarkan kisah-kisah lama. Anehnya, hari ini saya akan bercerita tentang Anda dan kejadian pada hari perkawinan Sheriff Lens itu."

Beginilah cerita dr. Sam Hawthorne:

 

Ingin kawin di rumah kuno

Hari Sabtu, 14 Desember 1929, di Northmont. Saya bangun pagi, pagi sekali, sebab Sheriff Lens meminta saya menjadi saksi perkawinannya. Ia kawan akrab saya, walaupun ia hampir dua puluh tahun lebih tua ketimbang saya.

Vera Brock, calon istrinya, adalah kepala kantor pos wilayah kami. Vera belum pernah menikah, sementara Sheriff Lens adalah duda tanpa anak. Vera Brock bilang kepada Sheriff Lens bahwa ia ingin pernikahannya dilangsungkan di bangsal segi delapan Eden House yang termasyhur itu.

Eden House adalah rumah kuno yang letaknya di pinggiran kota. Rumah indah itu dibangun oleh Joshua Eden pada pertengahan tahun 1800-an. 

Bangunan itu sangat sederhana. Ruang berbentuk segi empat yang awalnya dirancang untuk ruang studi itu, pada setiap sudutnya dipasangi lemari berpintu cermin yang tingginya mencapai langit-langit. Lebar pintu lemari-lemari itu sama dengan lebar dinding yang diapit lemari-lemari tersebut, sehingga bangsal itu menjadi benar-benar berbentuk segi delapan.

Bila masuk ke bangsal lewat satu-satunya pintu yang terbuka ke arah luar, pandangan orang akan langsung terarah ke sebuah jendela besar yang meneruskan sinar matahari ke seluruh bangsal. Pada dinding-dinding antarlemari tergantung lukisan-lukisan abad ke-19.

Di balik pintu-pintu lemari tersusun rak-rak setinggi langit-langit yang berisi buku-buku, vas, taplak meja, barang-barang perak, keramik, dan segala macam perhiasan kecil-kecil. Bangsal itu sendiri nyaris kosong, hanya terlihat sebuah meja kecil dengan sebuah vas bunga segar dekat jendela.

Paling tidak itulah yang terlihat waktu saya datang dan melihat-lihat ruangan itu beberapa hari sebelum upacara perkawinan. Yang mengantar saya waktu itu adalah Josh Eden muda, cucu pendiri bangunan itu.

 

Ada hantu penunggunya

Sebelum kami meninggalkan ruangan, saya perhatikaan dia memeriksa gerendel jendela apakah sudah terkancing dan dalam. Pintu bangsal itu memiliki sebuah kunci dan gerendel di bagian dalamnya. Pintu tidak bisa digerendel dari luar, hanya bisa dikunci dengan kunci panjang itu.

"Membiarkan hantu-hantu terkunci di dalam?" tanya saya iseng. Menurut cerita, ruangan itu ada penunggunya.

"Ada sejumlah barang antik yang sangat berharga dalam lemari-lemari itu," katanya. "Saya selalu menguncinya bila sedang tidak digunakan."

Kami bertemu dengan Ellen, istri Josh, di tangga depan. Ellen selalu tampil ceria, sehat, dan cantik, membuat saya senantiasa iri kepada Josh Eden. 

Dua sejoli itu bertemu di sekolah dan tak lama kemudian mereka menikah. Ayah Josh, Thomas, meninggalkan keluarganya seusai perang dan lebih senang menetap di Paris bersama seorang penari yang dia jumpai di sana.

Ibu Josh yang malang sangat menderita dan meninggal karena penyakit influenza pada tahun 1919. Ketika Josh masih di college, pihak pengadilan menyatakan bahwa ayahnya meninggal, walaupun tidak terdapat bukti-bukti tentang kematiannya.

Eden House diwariskan kepadanya berikut sejumlah kecil warisan lainnya. Ellen pernah bicara bahwa ia hendak mengubah seluruh rumah menjadi sebuah restoran, jika undang-undang yang melarang perdagangan minuman keras dicabut.

Jumat malam kami beramai-ramai melakukan latihan. Ellen membuat Vera dan Sheriff terkejut dengan memberikan hadiah perkawinan berupa selimut kapas bikinannya.

"Bagus sekali!" Vera memuji.

"Kami akan menaruhnya di ranjang kami."

Menjelang latihan selesai, Pak Pendeta yang angkuh mengingatkan, "Dr. Hawthorne, kebaktian besok pagi harus tepat dimulai pukul 10.00.Siangnya saya ada acara perkawinan lain di Shinn Comers. Di sebuah gereja."

Setelah kami bubar, dengan hati-hati Josh mengunci pintu bangsal, lalu berjalan bersama kami menuju ke mobil saya.

"Sampai jumpa besok pagi," katanya kepada kami.

 

Pintu macet

Esok harinya saya bangun pagi-pagi sekali karena saya berjanji menjemput April, perawat yang membantu saya, untuk bersama-sama berangkat ke perkawinan itu dengan mobil saya. Kami menjemput Sheriff Lens dan sungguh mati saya belum pernah melihat Sheriff berdandan setampan pagi itu.

Sewaktu kami berhenti di depan Eden House, Vera melangkah ke luar dari sedan kecil milik temannya, Lucy Cole. Lucy akan menjadi saksi bersama saya.

Vera Brock mengenakan gaun pengantin serba putih berenda yang ujungnya terjuntai menyentuh tanah. Mobil saya parkir, lalu saya bergabung dengan Lucy.

Vera muncul lagi di pintu depan dan tampak sedikit gusar.

"Mereka tidak bisa membuka pintu bangsal itu. Terkunci atau entahlah."

Saya melihat Ellen Eden dan suaminya. berdiri kebingungan di depan pintu bangsal itu.

"Pintu tak bisa dibuka," kata Josh. "Belum pernah terjadi begini."

Dengan kunci yang saya minta dari Josh saya coba membukanya. Meski kunci bisa diputar dan bekerja dengan baik, toh pintu masih belum bisa dibuka.

"Di dalam ada gerendelnya, bukan?"

"Ya,” jawab Josh, "tetapi gerendel itu hanya bisa digunakan dari dalam. Padahal di dalam tak ada orang."

"Anda yakin di dalam tak ada orang?"

Josh dan istrinya saling berpandangan. "Akan saya intip dari belakang lewat jendela," kata Ellen Eden.

Pada saat itu dr. Tompkins berjalan masuk, sambil melirik arloji saku yang dipegangnya.

"Saya harap, kita tetap sesuai dengan jadwal. Anda tahu, saya ada acara siang ini di ...."

"Hanya terlambat sebentar," kata saya kepadanya. "Pintu rupanya macet."

Ellen kembali dengan napas memburu. "Tirainya tertutup, Josh. Kau tidak meninggalkannya dalam keadaan tertutup, bukan?"

"Tentu tidak! Pasti ada orang di dalam."

"Namun, bagaimana ia bisa masuk?" tanya saya. "Saya tahu Anda mengunci pintu dan menggerendel jendela itu kemarin."

"Jendela pun masih terkunci," ujar Ellen memastikan.

Wajah Pak Pendeta mulai kecut, lalu katanya kepada Josh. "Kalau perlu, dobrak saja pintunya."

Josh menggedor-gedor pintu itu sambil berteriak, "Hai! Buka pintunya! Kami tahu ada orang di dalam!"

Namun, jawabnya hanya kesunyian dari balik pintu.

"Jangan-jangan perampok," duga Sheriff Lens. "Terpojok dan takut keluar."

"Kita bisa mendobrak masuk lewat jendela," usul saya.

"Jangan!" kata Ellen. "Kecuali kalau terpaksa. Kami tidak bisa memperbaiki jendela itu sebelum hari Senin, apalagi sekarang bulan Desember. Angin ribut yang datang mendadak akan memporak-porandakan ruangan ini.Coba lihat, bukankah kita bisa menarik pegangan pintu ini? Gerendel di balik pintu ini tidak terlalu kuat."

Dengan tali yang kami ikatkan pada gagang pintu, saya bersama Josh dan Sheriff menariknya sekuat tenaga. Tiba-tiba pintu menjeblak, melemparkan kami ke belakang. Setengah berlari Josh dan saya masuk ke dalam diikuti Ellen.

Meski hanya diterangi sinar redup yang berasal dari jendela yang tertutup tirai kami bisa melihat sesosok tubuh pria tergeletak di tengah ruangan. Kedua tangan dan kakinya terpentang, tubuhnya terbungkus pakaian seorang jembel. Saya belum pernah melihat orang itu. Pisau belati perak yang tertancap di dadanya membuat saya yakin orang itu sudah mati.

 

Rambutnya seperti serabut

Saya berjalan di sisi mayat, menyeberangi ruang yang agak gelap itu menuju ke jendela dan membuka tirainya. Jendela satu-satunya itu memang tergerendel dari dalam. 

Meski ujung gerendel cuma masuk setengahnya ke lubang, toh jendela itu terkunci dengan kuat. Gerendel bisa ditarik dengan mudah, lalu saya coba menutupnya dari luar. Temyata kusen dan jendela rapat satu sama lain, tanpa ada celah sedikit pun. Kacanya pun masih utuh.

Saya kembali ke tengah ruangan. Pintu hanya bisa dibuka ke arah luar, sehingga tak ada tempat untuk bersembunyi.

"Tidak Anda periksa mayat itu?" tanya Josh.

"Saya tahu dia sudah mati. Sekarang yang lebih penting memeriksa ruangan ini."

Saya tertarik dengan gerendel pintu yang terungkit dari papan kayu akibat tarikan kami. Gerendel itu menggantung pada kusen pintu. Dua buah sekrupnya terlepas. Melihat lubang-lubang dan bekas guratan kayu pada uliran sekrup, saya yakin sekrup itu tadinya kuat mencengkeram daun pintunya.

Saya melihat seutas tali terikat di gagang pintu. Saya coba mengingat-ingat apakah tali itu sudah ada di sana kemarin malam. Rasanya tidak, tetapi saya tidak yakin.

"la memang sudah mati," kata dr. Tompkins.

"Sudah beberapa jam, kalau melihat warna kulitnya. Ada yang mengenali orang ini?" saya menimpali.

Ellen dan Josh menggelengkan kepala, sementara Pak Pendeta bersungut-sungut,

"Mungkin gelandangan masuk kota. Sheriff, mestinya Anda tidak membiarkan ...."

"Saya kenal orang itu," ujar Lucy Cole dari arah pintu.

"Siapa dia?" tanya saya.

"Bukannya saya kenal, tetapi saya cuma pernah melihatnya. Kemarin saya lihat dua orang berjalan di dekat rel. Dua-duanya gelandangan, saya kira. Saya ingat rambutnya yang panjang seperti serabut itu, juga rompi merah dekil, dan parut-parut kecil di wajahnya."

Josh Eden menghampiri mayat itu dan berlutut di sisinya.

"Pisau ini seperti alat pembuka surat dari salah satu lemari kami. Ellen, tolong lihat, apakah alat itu masih ada."

Ellen melangkah hati-hati melewati mayat, lantas membuka pintu lemari di sebelah kiri jendela. Setelah meraba-raba sebentar ke dalamnya, ia berkata, "Tidak ada. Mungkin ada barang lain yang juga hilang. Saya tidak yakin. Sebaiknya kita cek keempat lemari di ruangan ini."

"Untuk apa?" tanya Josh.

"Ya, kalau si pembunuh tidak bersembunyi di dalam salah satu rak lemari besar ini, tampaknya kita berhadapan dengan suatu pembunuhan yang dilakukan di dalam ruangan yang terkunci dan tak bisa ditembus."

 

Tali yang mencurigakan

Kami teliti keempat lemari dengan cermat, tetapi tidak menemukan seorang pun bersembunyi di sana. Saya juga memeriksa apakah ada lemari yang punggungnya palsu. 

Setelah kami selesai memeriksa, saya pun merasa yakin, si pembunuh tidak bersembunyi di dalam ruangan. Bangsal itu tidak juga memiliki jalan atau pintu rahasia untuk keluar. Hanya ada satu pintu dan satu jendela yang masing-masing bisa digerendel dari dalam.

Saya pun sudah mempelajari gerendel pada jendela. Saya jongkok dekat pintu memeriksa seutas tali yang saya temukan melilit gagang pintu. "Tali ini selalu ada di sini?" tanya saya kepada Ellen Eden.

Ellen menatap tali itu. "Tidak, itu bukan milik kami ... entah kalau Josh mengikatkannya di sana untuk suatu keperluan."

Namun, Josh tidak melakukannya. Satu atau dua tahun sebelumnya saya membaca sebuah novel misteri karangan S.S. Van Dine berjudul The Canary Murder Case. 

Buku itu membuat gambar tentang bagaimana sepasang penjepit dan seutas tali dipakai untuk memutar gagang pintu dari luar sebuah ruangan. Sebuah ide yang cerdik, tetapi tidak bisa diterapkan dalam kasus ini.

Saya mencoba membayangkan bagaimana mengancing pintu dengan melilitkan tali pada gerendel, lalu menariknya dari luar. Namun, tali yang saya temukan tak cukup panjang untuk itu. Kecuali itu pintu begitu rapat ke kusennya, bahkan tak ada celah sedikit pun untuk bisa dilalui tali itu. 

Juga di bawah pintu bagian dalam, sebatang kayu kecil terpaku pada lantai. Tampaknya untuk mengurangi aliran udara yang masuk lewat celah di bawah pintu. Saya menemukan seutas tali yang lebih panjang, lantas saya selipkan di bawah pintu dan saya coba menutupnya. Pintu menjadi tertutup rapat sekali, sampai tali tidak bisa ditarik.

 

Bulan madu jalan terus

Walaupun Vera sangat menyukai bangsal segi delapan itu, tetapi ia tidak mau menikah di tempat yang masih belum kering dari darah. Tompkins merasakan semacam kemenangan dengan dipindahkannya upacara itu ke gereja.

"Bagaimana rasanya menikah lagi?" tanya saya kepada Sheriff sehabis upacara.

"Luar biasa!" katanya, sambil memeluk mesra istrinya. "Tetapi rupanya kami harus menunda bulan madu."

"Kenapa?"

"Yeah, aku masih sheriff di sini, dan ada pembunuhan di depan mataku."

"Kau bisa terus untuk berbulan madu, Sheriff. Bukankah masih ada wakil-wakilmu yang bisa menanganinya?"

"Mereka berdua?" dengusnya. "Mereka tidak akan bisa menemukannya!"

Saya menghela napas dalam-dalam. "Jangan khawatir, aku yang akan menangkapnya."

"Maksudmu, kau tahu siapa pembunuh orang itu?Juga bagaimana pembunuhan dilakukan di tempat yang terkunci?"

"Tentu. Jangan khawatir soal itu. Sebelum malam tiba kita sudah bisa memasukkan pembunuh itu ke dalam sel."

Namun, di dalam hati saya berpikir bagaimana saya akan memenuhi janji itu. Saya mengajak Lucy Cole naik ke mqbil saya. "Itu bukan jalan menuju ke tempat resepsi," kata Lucy beberapa saat kemudian.

"Ada yang lebih penting daripada resepsi itu," kata saya. "Kau bilang pernah melihat orang yang mati itu berjalan bersama dengan seseorang."

"Seorang gelandangan lain."

"Apa kau bisa mengenalinya lagi, jika bertemu dia?"

"Saya tidak tahu. Mungkin. Saya ingat betul, bagian belakang kepalanya botak dan sebuah syal kotal-kotak melilit lehernya."

"Ayo, kita temui."

 

Menguber si botak

Mobil saya bawa menyusuri jalan di sisi stasiun kereta api, keluar kota menuju ke perkamp'ungan jembel yang berada di antara pepohonan.

"Tunggu di sini," kata saya kepada Lucy. "Tidak lama."

Saya menyusuri jalan setapak sambil berjalan secara terang-terangan di antara pepohonan, agar orang-orang yang ada di sekitar api unggun itu tidak panik dan bubar. Salah seorang dan mereka .yang sedang menghangatkan tangannya dekat nyala api berpaling ketika saya dekati.

"Mau apa?" tanyanya

"Saya dokter."

"Di sini tak ada yang sakit."

"Saya sedang mencari seorang laki-laki yang lewat jalan ini kemarin. Dia memakai syal kotak-kotak dan kepalanya botak." Saya tambahkan, "Tidak memakai topi."

"Tak ada orang dengan ciri-ciri begitu," katanya. "Mau apa? Dia tidak sakit, bukan?"

"Kami tidak tahu dia sakit atau tidak. Itu sebabnya kami mencoba mencarinya."

Seorang lagi datang mendekat ke perapian. Perawakannya kecil dan bicaranya gugup dengan aksen Selatan. "Sepertinya yang dia maksud itu Mercy, bukan?"

"Diam kau!" bentak orang yang pertama saya temui. "Siapa tahu dia mata-mata dari jawatan kereta api." 

"Saya bukan mata-mata atau apalah namanya," kata saya menegaskan. "Coba lihat." Dari saku saya keluarkan bloknot resep yang bertuliskan nama dan alamat saya pada kopnya. "Tidakkah ini meyakinkan Saudara bahwa saya dokter?"

Orang yang pertama tiba-tiba berubah licik. "Kalau benar Anda seorang dokter, tuliskan resep bagi kami untuk sejumlah wiski."

"Ini cuma untuk obat-obatan," kata saya mulai merasa agak khawatir. Orang yang ketiga muncul dan berjalan mengitari saya.

Tiba-tiba terdengar Lucy membunyikan klakson. Sadar bahwa saya tidak sendiri, ketiga orang itu lantas kabur. Saya sempat menangkap orang yang bertubuh kecil tadi, karena ia paling dekat dengan saya, lantas saya tanya, "Di mana Mercy?"

"Lepaskan!"

"Katakan dulu, baru kulepas. Di mana dia?"

"Di rel bawah sana dekat menara air. Ia sedang menanti kawannya."

 

Di mana uang si Tommy?

Saya berlari kembali ke mobil. "Terima kasih atas bunyi klaksonnya," kata saya pada Lucy.

"Saya merasa takut waktu mereka mulai mengepung Anda."

"Aku juga," Mobil saya larikan masuk ke jalan di sisi rel. "Orang yang kita cari mungkin ada di dekat menara air."

Menara air itu mulai tampak. Tiba-tiba kami melihat seorang lelaki yang mengenakan jas kumal keluar dari persembunyiannya, berlari ke arah hutan.

"Saya kira dialah orangnya!" teriak Lucy.

Saya larikan mobil mengikuti orang itu. Kemudian saya turun dan berlari mengejarnya. Untungnya, saya lebih muda 20 tahun dari dia, sehingga bisa cepat menyusulnya.

Ia meronta-ronta dalam cengkeraman saya sambil merengek-rengek. Katanya, "Saya tidak berbuat salah!"

"Kau yang bernama Mercy?"

"Ya, kira-kira begitu."

"Aku tidak akan menydkitimu, cuma mau bertanya."

"Soal apa?"

"Kau tampak bersama seseorang kemarin. Rambutnya panjang seperti serabut, agak beruban, dan memakai rompi merah dekil. Umurnya 50-an, sepantar kau. Ada luka-luka parut di wajahnya."

"Yeah, kami datang dari Florida."

"Siapa dia?"

"Namanya Tommy, hanya itu nama yang saya ketahui. Kami sama-sama menumpang mobil boks dari Orlando ke New York, kemudian beralih naik kereta api kemari."

"Apa maksud kalian datang ke sini?" tanya saya. "Kenapa melakukan perjalanan dari Honda ke New England di bulan Desember? Kalian suka salju?"

"Dia yang ingin datang ke sini, sedangkan saya sendiri tidak punya pekerjaan yang lebih baik untuk dilakukan."

"Mengapa dia datang kemari?"

"Katanya, ia bisa mendapat banyak uang di sini. Uangnya sendiri."

"Lantas ia menyuruh kau menunggu di sini?"

"Ya. Saya ditinggalnya di sini tadi malam. Katanya, ia pasti akan kembali lagi menjelang siang, tetapi sampai sekarang saya belum melihat batang hidungnya."

"Kau tidak akan melihatnya lagi," 'kata saya. "Ia dibunuh semalam."

"Tuhan!"

"Apa lagi yang dikatakannya tentang uang yang katanya miliknya itu? Di mana uang itu?"

"Ia tidak biking apa-apa soal itu."

"Ia pasti mengatakan sesuatu. Kau terus bersama dia sejak dari Florida."

Mercy memalingkan mukanya ketakutan. "Dia bilang, mau pulang ke rumahnya. Ke Eden."

 

Perampok

Setelah mengantar Lucy ke restoran tempat resepsi perkawinan Sheriff, saya kemudian kembali ke Eden House. Matahari bulan Desember sudah lenyap ditelan cakrawala. Josh Eden menuju ke pintu bangsal itu. Ia tampak lesu dan kacau pikirannya.

"Bagaimana dengan pernikahan tadi?" tanyanya.

"Baik, semua lancar. Mereka akan segera berbulan madu."

"Saya bersyukur, kejadian yang mengerikan itu tidak merusak hari yang pantas jadi milik mereka."

"Boleh saya menengok bangsal ini lagi? Sheriff Lens meminta saya untuk membantu stafnya melakukan penyelidikan."

"Tentu." Pintu bangsal itu masih terbuka dan saya lihat ia sedang memperbaiki gerendel yang sebagian terlepas tadi.

Bangsal itu sendiri tampak remang-remang, hanya diterangi seberkas sinar redup yang menembus lubang kecil di tengah tirai jendela.

"Saya perlu menurunkan tirainya,” kata Josh Eden menjelaskan. "Anak-anak sekitar sini pada datang menonton peristiwa pembunuhan itu."

"Anak-anak memang begitu," kata saya. "Tetapi tirai itu selalu dibuka pada malam hari, bukan?"

"Oh, ya ... Anda sendiri melihatnya kemarin." '

"Kemudian si pembunuh, atau mungkin si korban harus menurunkannya."

"Rasanya begitu. Mungkin mereka tidak mau kegiatan mereka dilihat orang."

"Kegiatan ...?"

"Ya, merampok saya, tentunya! Tampaknya cukup jelas. Katanya, Lucy pernah melihat korban bersama dengan seorang gelandangan lain kemarin. Nah, mereka masuk kemari untuk mencuri barang-barang saya. Itu cukup beralasan. Lalu kawannya membunuhnya dengan alat itu."

"Bagaimana mereka bisa. masuk tanpa merusak pintu atau jendela? Lebih penting lagi, bagaimana si pembunuh kemudian keluar dari sini?"

"Saya tidak tahu," jawabnya.

"Orang yang tewas itu namanya Tommy."

Josh menatap mata saya.

"Bagaimana Anda bisa tahu namanya?"

"la datang dari Florida kemarin, ke Eden House, untuk mengambil kembali kekayaannya."

"Anda ini bicara apa, Sam?"

"Saya kira orang yang tewas itu adalah ayah Anda. Seorang ayah yang tak pemah kembali dari medan perang."

 

Saya tak berniat

Bangsal segi delapan itu semakin gelap. Kami hampir tidak bisa saling melihat. Josh menyentuh tombol lampu di dinding. Segera bayangan kami pada cermin-cermin itu tergambar jelas.

"Gila!" katanya. "Tidakkah Anda pikir, saya kenal ayah saya sendiri?"

"Ya. Anda mungkin cukup kenal ayah Anda untuk membunuhnya, ketika ia pulang setelah dua belas tahun untuk mengambil kembali rumah dan kekayaan Anda. Bagi Anda ia bukan ayah Anda lagi. Ia semata-mata adalah pria yang telah meninggalkan Anda dan ibu Anda selama ini."

"Saya tidak membunuhnya," kata Josh meyakinkan. "Saya bahkan tidak mengenalinya!"

Saya mendengar ada gerakan di belakang saya di bangsal itu. "Saya tahu Anda tidak melakukannya," kata saya. "Masuklah, Ellen, dan katakan kepada kami mengapa Anda membunuh ayah mertua Anda."

Ellen berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Saya melihat bayangannya di cermin dan saya tahu dia mendengar setiap kata.

"Saya ... saya tidak bermaksud ...," katanya gugup.

Josh berlari ke arah istrinya dan menjajari sambil memeluknya.

"Ellen, dia bicara apa? Itu tidak benar!"

"Oh, itu cukup benar," kata saya. "Jika Ellen tidak terlalu jauh menutupi jejaknya dengan berusaha mengunci ruangan, mungkin juri akan yakin bahwa kejadian itu merupakan kecelakaan. Ayah Anda, Tommy, datang ke sini tadi malam untuk mengambil apa yang menjadi miliknya. 

Sepanjang malam Anda tertidur, tetapi Ellen mendengar ayah Anda berdiri di depan pintu dan membiarkannya masuk. Saya kira Ellen mengantarnya ke bangsal ini agar tidak timbul suara-suara yang bisa membangunkan Anda. Setelah gelandangan itu meyakinkan kepada Ellen bahwa dirinya adalah ayah Anda, ia mengatakan bahwa ia tidak tewas dalam peperangan. 

Ia datang untuk mengambil kembali Eden House. Ellen melihat segala rencana bagi tempat ini - restoran dan sebagainya -bakal menguap. Ellen lantas mencari alat pembuka surat dari perak berbentuk belati itu, kemudian menancapkannya ke dada ayah Anda pada saat kemarahannya memuncak."

 

Lubang di tirai

Josh masih saja menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Bagaimana Anda bisa tahu semua itu. Bagaimana Ellen bisa membunuhnya dan meninggalkan ruangan ini terkunci dari dalam?"

"Saya baru tahu bagaimana itu dilakukan setelah saya kembali kemari. Saya melihat lubang kecil yang ditembusi sinar di tengah tirai jendela itu."

"Ada lubang di tirai?! Aneh, saya tidak pernah melihat sebelumnya."

"Saya yakin lubang itu tidak ada sebelum tadi malam. Anda tahu, bangsal segi delapan ini berbeda dengan ruang-ruang bentuk lain dalam dua hal: pintu dan jendelanya tepat saling berhadapan dan pintu hanya bisa dibuka dari luar."

"Saya tidak melihat ...."

"Ellen mengikatkan tali ke gagang pintu dan ujung lainnya diikatkan pada gerendel jendela. Ketika kita menarik pintu hingga terbuka pagi tadi, tali itu memutar gerendel dan mengunci jendela. Semudah itu."

Josh tampak melongo. "Tunggu sebentar ...."

"Saya memeriksa gerendel itu segera .setelah saya masuk ke ruang ini. Gerendel itu gampang sekali bekerja dan hanya bisa diputar setengah saja, tetapi cukup untuk bisa mengancing jendela. Kendur saja ia melilitkan tali pada gerendel itu dan ketika gerendel mencapai lubangnya, tali itu lepas seperti yang dia mau. 

Tentu saja hal itu tak pernah saya bayangkan karena tirai itu tertutup. Itulah kenapa Ellen membuat lubang kecil pada tirai yang digunakan untuk melewatkan tali. 

Setelah melompat ke luar lewat jendela, ia harus menutup jendela dan tirai bersamaan untuk menjaga agar tali tetap pada posisinya, tetapi itu tidak sulit. Tali yang agak kendur itu menjadi singset dengan cepat waktu kita membuka dengan paksa pintu tadi."

"Kalau itu benar, apa yang terjadi dengan tali itu?"

"Ikatan tali terenggut dari gerendel dan melewati lubang pada tirai itu. Mungkin tali itu terjuntai di lantai. Kita tak bisa melihatnya dalam penerangan yang redup pada saat kita menyerbu masuk ke ruangan ini. 

Saya segera mendekati jendela untuk memeriksanya dan Anda berdua persis di belakang saya. Ellen dengan mudah menarik tali itu dan memutuskannya dari gagang pintu. 

Maksud Ellen ingin melepaskan semuanya, tetapi tali itu terputus dan ia terpaksa menyisakan sepotong pada gagang itu."

"Meskipun saya percaya soal itu, tetapi mengapa harus Ellen? Ada beberapa orang hadir di sini. Saya, Lucy Cole ...."

"Pasti Ellen, Josh, tidakkah Anda melihatnya? Adalah Ellen yang berjalan ke belakang rumah dan mengatakan kepada kita bahwa jendela terkunci. 

Ellen jugalah yang membujuk kita agar tidak mendobrak jendela, tetapi justru menarik pintu. Itulah satu-satunya cara agar skemanya bekerja. Pasti Ellen, dan bukan orang lain."

"Tetapi mengapa harus mengunci ruang itu? Mengapa harus susah-susah begitu?"

"Ayah Anda kelewat berat untuk diangkatnya sendiri. Idealnya, Ellen harus membiarkan jendela tetap terbuka sehingga orang itu tampak seperti perampok yang dibunuh oleh kawannya sendiri. 

Namun, Anda lihat, Ellen tidak tahu orang itu punya kawan sebelum Lucy Cole menyatakan melihat dua orang gelandangan berjalan bersama. Hal itu membuat saya yakin bahwa Lucy tidak terlibat, karena seandainya Lucy terlibat, ia pasti akan membiarkan jendela tetap terbuka agar kawan orang yang tewas itu pun dicurigai.

"Tidak, Ellen harus meninggalkan mayat itu tetap di tempatnya, terkunci di dalam, sehingga timbul kesan seolah-olah orang itu mati karena berani berbuat kurang ajar di sana seperti dalam cerita-cerita lama tentang hantu di ruang ini."

 

Sama-sama lelah

Dr. Sam Hawthorne tua menyandarkan punggungnya di kursinya dan meraih minumannya. "Tentu saja itu benar, bukan, Ellen?"

Wanita tua yang duduk di seberangnya hampir setua dr. Sam, tetapi wanita itu masih memancarkan kesan tegar dan angkuh.

Wajahnya berkeriput dan rambutnya memutih, tetapi dia masih Ellen Eden yang dulu, meski umurnya sudah bertambah 50 tahun. "Tentu saja benar, Sam. Saya membunuhnya ketika itu dan saya tak menyesal. 

Saya tidak menyalahkan Anda karena Anda membantu saya masuk penjara. Yang membuat saya lantas menyalahkan Anda adalah karena saya kehilangan Josh."

"Saya tak bisa berbuat lain untuk ...."

"Saya masuk penjara dan tak lama kemudian ia menceraikan saya. Kemudian saya mendengar Josh menikah dengan Lucy Cole."

"Maafkan saya."

"Setelah saya dibebaskan dari penjara, saya menjelajahi negeri ini. Namun, saya tidak pernah melupakan Anda, Sam. Terkadang saya berpikir ingin membunuh Anda karena telah menghancurkan hidup saya."

"Anda menghancurkan hidup Anda sendiri, Ellen."

"Saya membunuh seorang laki-laki yang telah meninggalkan keluarganya demi wanita lain, yang kemudian datang kembali sebagai gelandangan untuk mencuri harta milik anak laki-lakinya. Apakah itu hal yang begitu buruk untuk saya lakukan?"

Sam Hawthorne mengamati wajah wanita itu beberapa saat sebelum menjawab. "Tommy Eden tidak pernah meninggalkan keluarganya demi wanita lain, Ellen. la tinggal di Prancis setelah perang usai, sebab wajahnya rusak sangat mengerikan karena luka-lukanya. Josh sampai tidak mengenali jenazah ayahnya sendiri. Saya tak pernah menyebutkannya pada persidangan, karena Josh sudah cukup menderita."

Wanita itu menarik napas dalam-dalam. "Sepuluh tahun yang lalu saya seharusnya membunuh Anda juga, Sam. Kini saya terlalu lelah."

"Kita semua lelah, Ellen. Nah, biarlah saya memanggilkan taksi untuk Anda." 

 

(Edward D. Hoch)

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123046/pernikahan-di-rumah-hantu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644400703000) } } [3]=> object(stdClass)#132 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123043" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#133 (9) { ["thumb_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/nyonya-dokter-kesurupanjpg-20220201065432.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#134 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(16) "J. Birney Dibble" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9374) ["email"]=> string(20) "intiplus-18@mail.com" } } ["description"]=> string(143) "Sekilas omongan perempuan itu seperti kesurupan dan meracau tentang sebuah peristiwa pembunuhan. Namun justru di situlah petunjuk pemecahannya." ["section"]=> object(stdClass)#135 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/nyonya-dokter-kesurupanjpg-20220201065432.jpg" ["title"]=> string(23) "Nyonya Dokter Kesurupan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-09 09:58:03" ["content"]=> string(29760) "

Intisari Plus - Saya membalikkan kepala mayat ke arah saya, untuk memeriksa dagunya luka. Di luar dugaan, di dalam mulut korban saya dapati secarik kertas bertuliskan: “Karcis untuk AS.”Tulisan itu dalam bahasa Inggris, tetapi ditulis dengan gaya asing. Kertas itu berasal dari bloknot milik korban.

Mayat wanita cantik bertubuh kecil, berambut hitam itu ditemukan , dengan muka menghadap ke atas. Matanya yang besar seperti menatap langit-langit atau memandang pembunuhnya. Pisau bertangkai kayu tertancap di dadanya.

Pembunuhnya mencabik-cabik pakaian korban dan menuangkan minyak tanah ke benda itu sebelum membakarnya. Benda itu kini sudah menjadi arang di samping mayat, yang diketahui bernama Rita Mendiola, 28 tahun.

Saya mengambil kertas dari mulut korban, menyimpannya di dalam amplop dan memasukkannya ke saku. Sementara mayat itu dilingkari dengan kapur dan difoto, saya memandang ke sekeliling.

Tempat ini khas kediaman seorang wanita. Di dinding tergantung foto-foto keluarga dan foto-foto semasa bersekolah. Di meja tulis terdapat sebuah mesin ketik kecil, kotak surat, dan bloknot. Di situ juga ada sebuah sofa, kursi malas, sebuah kursi besar, dan televisi dengan bagian belakang tidak tersekrup.

Kamar tidur korban tampak rapi. Di lemari tergantung sederet pakaian seragam berwarna putih dengan rapi. Saya tak menemukan bekas-bekas perlawanan. Rumah itu tidak tampak berantakan. Jika perhiasan atau uang yang diambil, setidak-tidaknya terlihat bahwa rumah itu diobrak-abrik.

Saya memandang pesawat televisi yang terbuka itu. Mungkinkah pembunuhnya seorang montir? Korban membiarkan orang itu masuk. Mengapa seorang montir harus menyumpalkan carikan kertas ke dalam mulut korban? Apakah ini untuk membungkamnya atau untuk menyesatkan?

 

Masih perawan

Dari para tetangga korban, saya memperoleh sedikit informasi. Rita Mendiola berkebangsaan Filipina dan bekerja sebagai ahli terapi pernapasan di rumah sakit kandungan. Ia belum menikah, tetapi sering dikunjungi seorang pria. Rita dikenal tenang, ramah, dan tidak memiliki musuh. Ia mengurus segala keperluannya sendiri.

Keesokan harinya saya memperoleh berita dari dokter pemeriksa mayat. Saya terkejut, karena Rita ternyata masih perawan. Ia bukan hanya tidak diperkosa, tetapi juga belum pernah tidur dengan pria. Jadi bagaimana dengan pria yang sering mengunjunginya dan dibicarakan itu?

Saya menelepon orang tua Rita di Filipina. Mereka kaget dan bingung, sehingga tidak dapat membantu saya. Ayah Rita seorang dokter yang kaya-raya di Cebu.

Kertas di dalam mulut Rita itu ternyata kurang berrnanfaat. Tak seorang pun kenalan Rita tahu seseorang berinisial A.S.itu. Juga tak seorang pun ingat pada suatu tempat atau peristiwa, yang merupakan singkatan A.S. itu.

Saya menelepon rumah sakit tempat Rita bekerja dan meminta kepala personalia untuk memeriksa kartu-kartu pribadi. Di situ ditemukan belasan orang dengan inisial itu. Kami memeriksa semuanya, tapi tak ada hal-hal yang menunjukkan bahwa salah seorang di antaranya patut dicurigai.

Pada pesawat televisi didapati sidik jari, tetapi itu bukan milik salah seorang yang sudah diambil sidik jarinya. Sedangkan pisau yang digunakan untuk membunuh itu milik Rita. Pisau itu pun temyata sudah dibersihkan. Minyak tanah yang digunakan juga berasal dari sebuah jeriken di dapur.

 

Angelina kesurupan

Peristiwa itu tampaknya akan masuk ke dalam berkas “yang tidak terpecahkan”. Tetapi sebulan kemudian datang Dr. Ernesto Frontada ke kantor saya.

Ia berbicara dengan aksen Filipina yang medok. Doktor itu sangat pendek, meskipun sudah memakai sepatu bersol 8 cm. Ia tidak tampan, berkacamata tebal, dan memakai wig.

Meskipun ia bisa bergerak dan bergaya seperti anak muda, saya yakin umurnya sudah lebih dari lima puluh tahun.

"Saya tidak lama, Letnan. Bagaimanapun Anda tidak akan percaya pada saya."

"Saya akan mendengarkan," kata saya.

Dengan perlahan-lahan, dalam bahasa Inggris yang terputus-putus meskipun bisa dimengerti, ia bercerita. "Saya berada di sini untuk memenuhi keinginan istri saya. Istri saya ingin menceritakan sesuatu kepada Anda, tetapi ia tidak mau menceritakannya sendiri. Jadi itu merupakan kewajiban saya."

"Saya mengerti."

"Tiga hari yang lalu Angelina dan saya sedang membaca di ruang duduk. Tiba-tiba ia bangkit dan masuk ke kamar tidur. Setengah jam kemudian, ketika masuk, saya dapati istri saya tergeletak di ranjang dengan mata melotot."

Dr. Frontada berhenti sejenak, membuka kacamatanya, membersihkannya, dan memakainya kembali.

"Apakah Anda percaya pada ilmu gaib,Letnan Cellini?" tanyanya. "Tetapi dengarkanlah dulu, sebelum Anda menyuruh saya ke luar."

"Saya akan mendengarkannya."

"Saya akan langsung pada masalahnya, Letnan. Saya bertanya pada Angelina, apa yang terjadi. Dia menjawab dengan suara yang tidak pemah saya dengar sebelumnya. Suara seorang gadis, yang berpendidikan, tetapi tidak ramah. Apakah Anda mengerti?"

Saya mengangguk.

"Angelina berbicara dalam bahasa Tagalog, bahasa yang kami gunakan di Filipina. Katanya, 'Nama saya Rita Mendiola'."

Saya terkejut. Semua orang Filipina akan mengenalnya dari surat kabar. Wanita itu 'kan korban pembunuhan itu.

"Selama beberapa menit saya "bercakap-cakap dengan istri saya, lalu ia sadar kembali."

"Apakah istri Anda mengatakan nama pembunuhnya kepada Anda?"

Frontada mengangguk.

"Albert Singer."

"Ketika istri saya sadar, ia tidak ingat apa-apa," tambah Frontada, "sehingga saya menceritakan semua yang dikatakannya sewaktu ia kesurupan."

"Hal itu terjadi tiga hari yang lalu. Mengapa Anda baru datang sekarang kepada saya?"

"Istri saya melarang saya. Kami bisa dikatakan bodoh, karena siapa yang mau percaya pada ilmu-ilmu gaib."

"Tetapi Anda sekarang berada di sini."

"Soalnya, tadi istri saya kesurupan lagi. Semua berulang lagi. Setelah sadar kembali, lagi-. lagi ia tidak ingat apa-apa. Ia hanya merasa haus dan dingin."

 

Bawa "kembaran" Bill Cosby

"Apakah istri Anda kenal dengan Rita Mendiola?"

"Ya, tapi tidak kenal baik. Angelina seorang ahli terapi pernapasan. Ia bekerja di rumah sakit kandungan, tempat Rita bekerja. Jam kerja mereka berbeda, sehingga tentu tidak kenal dengan baik.

Tadinya istri saya bekerja secara penuh. Tetapi karena praktik saya semakin maju, Angelina sekarang hanya bekerja sekali seminggu, sebagai tenaga pembantu."

"Apakah istri Anda mengatakan bagaimana cara Rita dibunuh?"

"Menurutnya, Rita ditusuk."

"Juga diperkosa?"

"Menurutnya, tidak."

Keesokan harinya saya kembali menelepon rumah sakit kandungan, untuk mengetahui apakah di sana ada karyawan yang bernama Albert Singer.

"Ada. Ia seorang berkulit hitam, berusia 31 tahun, sudah menikah, bertugas pada malam hari sebagai ahli terapi pernapasan. Tetapi sejak setahun yang lalu ia sudah berhenti," kata kepala personalia.

"Alamatnya?"

"3131 West Washington. Tetapi alamat itu juga sudah setahun yang lalu."

Saya kenal daerah itu, daerah orang kulit hitam kelas menengah. Saya pergi ke tempat itu bersama anak buah saya yang terbaik, Randolph Jackson, seorang sersan berkulit hitam yang bisa menjadi kembaran Bill Cosby. Selama perjalanan saya bercerita kepada dia.

Albert Singer masih tinggal di situ. Seorang wanita muda membukakan pintu, mengangguk pada Jackson sambil tersipu-sipu. Ia tidak memperhatikan saya sama sekali.

Wanita itu mengenakan blue jeans dan sebuah blus panjang. Rambutnya dikeriting. Di lehernya tergantung kalung berliontin emas. Jari tengah tangan kanannya memakai cincin berlian berukuran besar.

"Apakah Anda Ny. Singer?" tanya Jackson.

"Ny. Singer tidak ada. Saya Hattie Carter, pengurus rumah tangganya."

"Kami ingin berbicara dengan Tuan Singer."

Kami memperlihatkan tanda pengenal kami. Gaya wanita itu seperti seorang foto model profesional.

Singer, seorang laki-laki kekar berambut keriting dijalin dan bercambang, sedang duduk di meja makan yang berhadapan dengan pintu masuk.

Rumahnya bagus, meskipun seandainya tidak dilengkapi dengan mebel mahal. Di ruangan itu juga terdapat sebuah pesawat televisi berukuran besar.

Di atas sebuah rak buku terdapat stereo set. Dapurnya modern dan lengkap. Saya menarik televisi itu. Jackson membawanya ke meja dan membalikkan bagian belakangnya.
"Lihat, kali ini tidak terbuka."

Singer mengamati Jackson, tetapi tidak memperhatikan saya.

"Apakah Anda mempunyai persoalan?" tanyanya pada Jackson.

"Mungkin Anda yang mempunyai satu persoalan. Saya ingin mengetahui apa yang bisa Anda ceritakan mengenai Rita Mendiola."

Singer mengangguk. "Gadis yang malang. Saya kenal padanya di rumah sakit beberapa tahun yang lalu. Kemudian saya sering mampir ke rumahnya untuk memperbaiki sesuatu. Saya memperbaiki keran air atau pesawat televisinya. Beberapa hari sebelum kematiannya, saya memperbaiki pesawat televisinya. Sebenarnya saya akan ke rumahnya sekali lagi untuk menyelesaikannya. Tetapi sekarang tidak perlu lagi."

"Apakah Anda yakin bahwa Anda tidak berada di rumahnya pada malam ia dibunuh?"

Mata Singer berkilat. "Apakah Anda kira saya yang membunuhnya? Anda sudah gila! Kami berteman secara terang-terangan. Saya tidak pernah melakukan apa-apa terhadapnya."

Singer memandang Hattie. "Atau melakukan sesuatu dengannya."

Hattie mendengus dan matanya yang berwama cokelat bergerak sedikit.

"Baiklah," kata Jackson. "Kita ulangi sekali lagi. Pernahkah Rita memberikan karcis pertandingan bola kepada Anda?"

"Terus-menerus. Ia membayar saya dengan karcis itu, sesuai dengan tugas yang saya selesaikan. Seorang pasien yang dirawatnya secara teratur memberi Rita karcis untuk menonton bola. Padahal Rita tidak pernah menggunakannya. Jadi ia berikan kepada saya."

Jackson berbalik kepada saya.

"Letnan?"

"Sekarang masih ada beberapa pertanyaan. Apakah Anda kenal pada Angelina Frontada?"

"Saya belum pernah mendengar nama itu."

"Apakah Anda mempunyai alibi ketika malam itu Rita terbunuh?"

"Setiap menit."

"Bagaimana Anda bisa merasa begitu yakin, padahal kejadian itu sudah lewat sebulan?"

"Saya bisa membaca koran. Saya yakin suatu hari Anda akan datang."

"Maukah Anda besok pagi datang ke kantor polisi dan menuliskan pengakuan Anda?"

 

Ny. Frontada kenal pada Singer

Di dalam mobil kami duduk dengan tenang dan saya mencatat beberapa keterangan di buku kecil saya.

"Jadi apa yang kamu peroleh, Randy?" tanya saya tiba-tiba.

"Saya pikir orang itu tidak dapat dipercaya."

"Rita Mendiola masih perawan.”

"Menurutnya, ia memiliki alibi pada malam itu."

"Kita harus membuktikannya."

"Ia menyangkal mengenal Ny. Frontada. Namun, Ny. Frontada mengenal dia. Ny. Frontada mengatakan, Singerlah yang membunuh Rita."

"Saya percaya pada Ny. Frontada. Kau?"

"Ny. Frontada itu gila," kata saya.

"Ny. Frontada mengenal nama Singer," kata Jackson mengingatkan saya. "Tak peduli ia gila atau tidak."

"Ny. Frontada ingat pada nama itu, karena ia pernah bertemu dengan Singer di rumah sakit dan menyebut-nyebutnya pada waktu ia kesurupan."

"Ketika ke sana, saya hampir yakin bisa menangkap seorang pembunuh. Sekarang saya tidak begitu yakin lagi." Jackson mengangguk.

"Singer memiliki sebuah rumah yang lumayan bagus dan modern. Apakah kau juga melihat perhiasan di tangan teman wanitanya? Juga kalung emas? Bagi sahabat seorang asisten teknik medis barang-barang itu terlalu mahal."

"Mungkin Hattie membeli barang-barang itu dengan uangnya sendiri."

Singer datang pada keesokan paginya, membuat, dan mencatat pengakuannya. Alibinya tampaknya mantap. Menurutnya, sepanjang hari itu ia berada di rumah, dari pukul 17.00 -19.00 ia pergi makan bersama istrinya, Selma.

Ia meninggalkan istrinya hanya lima menit untuk membeli rokok di sebuah toko. Malamnya ia kembali beristirahat di rumah.
Setidak-tidaknya ia memiliki alibi yang kuat. Istrinya juga menguatkan alibi itu.

Saya menelepon Ny. Frontada, tetapi ia menolak untuk .ditanyai. Namun, hal itu mutlak perlu. Saya bermaksud menunggu saat yang tepat untuk bisa bertemu dengannya.

Saya membaca kembali berita dari pengadilan kedokteran. Tak ada keragu-raguan. Singer mengatakan hal yang sebenarnya tentang hubungannya dengan Rita Mendiola.

Jika dalam hal ini ia mengatakan yang sebenarnya, mengapa dalam hal lain ia harus berbohong? Dari mana ia memperoleh uang? Saya ingin menyelidiki keuangan Albert Singer dan Hattie Carter.

"Jika kau suatu kali ke sana, selidiki pula keuangan keluarga Frontada," kata saya pada Randy.

Keesokan harinya saya datang terlambat ke kantor. "Apa yang dilakukan suami-istri Frontada pada malam pembunuhan itu?" tanya saya kepada Jackson.

"Mereka tidak melakukan apa-apa, Bos," kata Jackson dengan mulut dipenuhi hamburger.

Ketika saya akan meninggalkan kantor polisi, telepon saya berbunyi.

 

Kesurupan lagi

"Dr. Frontada ingin berbicara dengan Anda, Letnan Cellini."

"Suruh dia masuk."

Dr. Frontada masuk, duduk, tanpa mengucapkan apa-apa. Melalui kacamatanya yang tebal, ia memandang saya.

Saya menunjang tubuh dengan siku lengan saya. "Istri Anda menolak ditanyai. Ia tidak memberi keterangan tambahan."
Suara saya cukup keras, tetapi Frontada tampaknya tidak memperhatikan, atau ia berpura-pura tidak tahu.

"Ia telah berubah pendirian."

"Kapan saya bisa berbicara dengannya?"

"Malam ini. Tetapi saya ingin menceritakan sesuatu lebih
dahulu pada Anda."

"Silakan."

"Ia kesurupan lagi."

"Apakah ada hal yang baru?"

"Karena itulah saya ke sini. Karena itulah Angelina memutuskan untuk berbicara dengan Anda. Mula-mula Angelina menampakkan wajah yang sama.

Kemudian ia berkata, bahwa polisi membutuhkan keterangan mengenai perhiasan yang diberikan Rita Mendiola kepada Singer pada saat-saat terakhir hidupnya. Singer mengambil perhiasan itu, kemudian membunuhnya."

"Perhiasan apa?"

"Liontin emas dan cincin berlian."

Apakah Angelina benar-benar mempunyai hubungan dengan dunia orang mati? Apakah saya bisa mempercayai apa yang dikatakannya? Jika tidak, mengapa Hattie Carter memakai sebuah'liontin emas dan cincin berlian?

"Kapan saya bisa datang ke rumah Anda, Dokter?"tanya saya.

 

Hattie Carter meagamuk

Sebelum Frontada bisa menjawab, pintu terbuka lebar, dan Hattie Carter dengan wajah geram dan tergesa-gesa masuk. Ia diikuti oleh seorang polisi, yang menggenggam pistol kaliber 38.

"Berhenti, Nyonya!" seru polisi itu. "Saya sudah berusaha menahan dia, Letnan," katanya menambahkan. Hattie tiba-tiba berbalik dan merentangkan tangannya, sehingga polisi bisa melihat bahwa ia tidak bersenjata.

"Terima kasih," kata saya.

"Saya kenal nyonya ini."

"Anda tidak bisa mengenal saya dengan baik, jika Anda tidak menyingkirkan bawahan Anda. Ia menyelidiki ke sana kemari apakah saya memiliki rekening koran, kartu kredit ...."

“Tenanglah, Nona," kata saya.

"Saya melakukan tugas saya. Jika Anda tidak memiliki apa-apa yang perlu disembunyikan, Anda 'kan tidak perlu khawatir apa-apa?"

Saya menoleh pada Dr. Frontada. Hattie sadar masih ada seseorang di ruangan itu. Mata Frontada menatap ke arah liontin dan kemudian ke tangan kanan Hattie, yang mengenakan sebuah cincin.

Frontada cepat-cepat memandang saya, mengalihkan pandangannya dan memandang ke luar jendela.
Frontada bangkit untuk pergi. "Nanti malam, pukul 20.00, Letnan?"

Saya mengangguk.

Ketika dokter itu sudah pergi, saya memberi Hattie isyarat agar ia duduk. "Anda sudah pernah ke sini sekali, karena itu saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, yang harus Anda jawab."

Dengan angkuh ia duduk di bangku yang tadi diduduki Frontada, menyilangkan kakinya dan menggerak-gerakkan sebelah kakinya. Wanita brengsek, pikir saya.

"Sudah berapa lama Anda kenal Albert Singer?"

"Sekitar setahun," jawabnya.

"Dapatkah kita melupakan tugas Anda sebagai pengurus rumah tangga?"

Hattie mengangguk.

"Apakah Anda kenal pada Rita Mendiola?"
Matanya bersiap-siap, tetapi suaranya tetap terkendali. "Saya tahu bahwa Al pergi ke tempatnya. Saya tidak pernah mengenalnya."

"Apakah Anda mempunyai alibi pada malam ia terbunuh?"
Kilatan matanya memberi petunjuk kepada saya bahwa ia ingin mengatakan ya, tetapi ia berkata, "Tidak."

Saya tidak mengajukan pertanyaan berikut dan menggantinya dengan tema yang lain. "Dari mana Anda memiliki liontin dan cincin itu?"

"Dari Al."

"Kapan ia memberikan benda-benda itu pada Anda?"
Hattie mengingat-ingat. "Kira-kira sebulan yang lalu."

"Dari mana Al memperoleh benda-benda itu?"

"Saya tidak menanyakannya?"

"Kenalkah Anda pada laki-laki yang baru pergi tadi?"

"Tidak."

"Apakah Anda masih bekerja?"

"Masih."

"Di mana?"

"Di sana-sini." Ia melihat bahwa muka saya berubah
menjadi merah.

"Bisakah Anda mengatakan sesuatu tentang nama Frontada?"

Dengan cepat ia menjawab, "Tidak."

 

Rekeningnya kosong

Tepat pukul 20.00 saya memasuki pekarangan rumah Frontada yang modern dan menekan bel. Ia sendiri yang membukakan saya pintu dan mengantarkan saya ke ruang duduk.

Ruangan itu dilengkapi dengan mebel-mebel besar berwarna gelap. Kursi-kursi besar diplitur dengan warna merah mencolok. Lampu-lampu marmer besar terletak di atas meja-meja mahagoni. Permadaninya juga berwarna merah mencolok, sewarna dengan warna plitur mebelnya. Tentu sangat mahal, pikir saya.

Ny. Frontada seorang wanita bertubuh kecil, bahkan lebih kecil dari suaminya. Tampaknya ia sepuluh tahun lebih muda dari umur yang sebenamya. Rambutnya yang mengkilap itu wig dan serasi dengan wajahnya yang bujur telur. Matanya yang hitam itu bercahaya.
Angelina tampaknya enggan bercakap-cakap, tetapi ia bercerita juga dengan bahasa Inggris yang lebih baik daripada bahasa Inggris suaminya. Katanya, sudah tiga kali. Ia kesurupan.

Sehabis kesurupan, ia diberi tahu suaminya bahwa ia berbicara seakan-akan itu Rita Mendiola. Konon yang ia katakan dalam kesurupan itu hampir sama saja. "Cuma pada yang ketiga kali, Ernesto bilang Rita berbicara soal perhiasan. Ernesto tentu sudah menceritakannya kepada Anda," demikian Ny. Frontada.

"Liontin emas dan cincin berlian?"

"Ya."

"Dari mana Rita memperoleh barang-barang itu?"

"Dari mana saya tahu? Tetapi hampir semua orang Filipina membeli barang-barang seperti itu di negaranya, juga tidak sedikit laki-laki yang membelinya, seperti- kalung emas, liontin, gelang, dan sebagainya.

Mungkin ia memperoleh kiriman cincin itu dari seseorang. Tampaknya Rita gadis yang menarik."

"Anda kenal pada Albert Singer?" tanya saya.

"Tidak begitu kenal. Rumah sakit itu 'kan sangat besar. Tetapi bagaimanapun nama itu sangat dikenal. Kalau tidak salah saya pernah melihat nama itu dalam buku telepon."
Saya menoleh pada Frontada. "Kenalkah Anda pada wanita yang datang ke kantor saya siang tadi?"

"Tidak."

"Kenalkah Anda pada perhiasan yang dipakainya?"

Frontada menjawab perlahan-lahan, tanpa memandang istrinya, "Tidak, saya belum pernah bertemu dengan dia sebelumnya."

 

Menghilang 1,5 jam

Sore keesokan harinya datang Randolph Jackson ke kantor saya. "Saya memperoleh beberapa keterangan, Mike."

"Pertama: Tentang dokter itu saya tidak menemukan sesuatu yang aneh. Rekening banknya menunjukkan bahwa setiap bulan ia menyetor secara teratur sebesar 3.000 atau 4.000 dolar. Juga tak ada cek yang digunakan.”

“Pada malam pembunuhan itu ia sedang menolong orang yang kena serangan jantung di rumah sakit jantung. Selama itu ia berada di sana, dan baru menghilang beberapa menit setelah tengah malam." Jackson berhenti dan melihat catatannya.

"Lalu."

"Rekening bank Ny. Frontada lebih tipis dari kue dadar. Ia sudah mengambil semua simpanannya sebulan yang lalu. Kosong."

"Sebelumnya?"

"Ny. Frontada memiliki hampir 5.000 dolar di rekening bank. Setahun yang lalu tidak ditemukan hal-hal yang luar biasa, tiba-tiba ia mulai bolak-balik mengambii 500 atau 1.000 dolar dengan menggunakan cek. Suaminya memindahkan lagi uang dari rekeningnya ke rekening istrinya."

"Apa yang dilakukan Ny. Frontada pada malam pembunuhan itu?"

"Ia sedang bertugas di rumah sakit. Mulai pukul 15.00 - 23.00."

"Apakah ia juru rawat kandungan?"

"Ya."

"Apakah suaminya juga berada di sana?"

"Tidak, suaminya berada di rumah sakit jantung di Wesley."

"Dapatkah kau selidiki apa yang dilakukan Angelina setiap malam? Maksudnya, apakah ia bekerja secara penuh dalam waktu delapan jam itu?"

"Sulit untuk mengatakannya. Setiap malam para ahli terapi pernapasan pergi ke tempat tugas mereka dan merawat para pasien di kamarnya masing-masing. Mereka juga harus siap, jika diperlukan untuk membantu mengoperasi seorang pasien.

Kadang-kadang mereka membantu para juru rawat di bagian intensif, jika mengalami kesulitan pernapasan. Dari pukul 21.00 - 22.30 terdapat waktu kosong. Selama itu Ny. Frontada tidak berada di ruang operasi maupun di bagian intensif."

"Sedang minum kopi."

"Mungkin, tetapi tampaknya terlalu lama."

"Tampaknya kita masih punya waktu untuk pergi ke Albert Singer lagi."

 

Bunuh diri

Ketika kami sampai di West Washington, hari sudah gelap. Singer ada di rumah. Hattie Carter tidak ada, tetapi Selma, istri Singer, ada. Singer tampaknya baru selesai makan malam.

"Saya mengatakan kepada Selma bahwa Anda mungkin akan datang kembali," katanya.

"Kami sudah membicarakan hal itu, dan saya sudah menceritakan segalanya kepada dia. Anda mungkin tidak dapat menjadikan saya seorang tertuduh dalam pembunuhan itu, jika saya memiliki alibi."

Selma Singer duduk di meja makan sambil bermain kartu.

"Saya tahu dari Hattie Carter, Letnan Cellini," katanya.
Jackson menyela. "Tahukah Anda juga tentang Rita Mendiola?"

Selma menarik napas dalam-dalam. "Ya, saya tahu hal itu."
"Saya sudah menceritakan segalanya kepadanya, Letnan," kata Singer. "Tentang Rita dan Hattie, terutama tentang Hattie. Ketika Hattie mengatakan ia merasa tertarik pada perhiasan itu, saya berharap segalanya akan menjadi jelas."

"Perhiasan itu berasal dari Ny. Frontada?" tanya saya.

Tiba-tiba saja Selma, istrinya, bangkit.

"Suami-istri Frontada?!" serunya, menegaskan.

"Ya."

"Mari cepat," ajak Selma kepada kami seraya berlari ke mobilnya.

Kami ngebut ke rumah keluarga Frontada. Kami lihat lampu ambulans berkelap-kelip di depan rumah itu. Jackson menyalakan lampu sinyal di mobil polisi dan berusaha melalui mobil-mobil dan orang yang berkerumun di situ.

"Ada apa?" tanya Jackson kepada petugas ambulans.

"Seorang wanita kebanyakan minum obat tidur."

Saya menaiki tangga dengan meloncati tiap dua anak tangga dan hampir saja saya bertubrukan dengan Dr. Frontada.
Dokter bertubuh kecil itu menangis tanpa kendali dan mengibaskan tangan saya. "Jangan sekarang, Letnan. Biarkanlah saya sendirian selama beberapa menit."

Kami pergi bersamanya ke ruang kerjanya di bawah dan membiarkan dia menangis. Perlahan-lahan ia bisa menguasai dirinya kembali dan akhimya berkata, "Saya pikir ia kesurupan lagi. Saya bosan mendengarnya lagi. Tapi kemudian saya khawatir. Saya pergi ke atas dan mendapati dia dalam keadaan pingsan.

Saya berusaha menyadarkannya dan memberinya obat. Namun, tak ada reaksi apa-apa. Akhirnya saya memanggil ambulans, tetapi sudah terlambat. Letnan Cellini, tolong Anda ceritakan, apa sih yang sebenarnya terjadi?"

 

Hubungan gelap

"Apakah Anda tidak mengetahui hal itu?" tanya saya dengan halus.

Ia menggelengkan kepalanya. "Saya tahu, tetapi tidak secara pasti. Ketika Anda pergi kemarin malam, istri saya berkata dan berkata lagi, "Mereka sudah tahu, Ernesto, mereka sudah tahu.' Saya bertanya, apa yang mereka ketahui? Tetapi ia tidak mau menceritakannya kepada saya."

"Kami tahu kira-kira apa yang terjadi, tetapi Anda tentu tidak akan senang mendengamya. Istri Anda kenal baik Albert Singer."

Mata dokter itu membelalak, tetapi kemudian mengalirkan air mata.

"Singer bertubuh kekar dan tampan," saya melanjutkan.

"Setahun yang lalu mereka bertemu secara teratur pada saat bekerja di rumah sakit. Angelina meminjami Singer uang dalam jumlah besar, sampai 1.000 dolar dalam sebulan.”

“Tentu saja Singer tidak pernah mengembalikannya. Kemudian Singer enggan menemui Angelina, terutama karena uang itu. Apalagi Angelina sepuluh tahun lebih tua dari Singer. Singer pun sudah berkenalan dengan Hattie Carter, wanita yang baru-baru ini Anda lihat di kantor saya."

"Tetapi Angelina sangat cantik dan kelihatan lebih muda dari umurnya," kata Frontada dengan suara serak.

"Ya. Kira-kira pada waktu yang bersamaan Singer juga sering ke rumah Rita Mendiola, untuk menolong memperbaiki sesuatu. Rita memberi Singer karcis untuk menonton pertandingan sepak bola dan pertandingan olahraga lain.”

“Kami yakin 100% bahwa Singer tidak pernah tidur dengan Rita. Tetapi Angelina menyangka sebaliknya. Suatu hari Angelina melihat Singer datang ke apartemen Rita. Sulit bagi saya untuk menceritakannya pada Anda, Dokter."

"Ceritakan saja. Saya harus mengetahui hal yang sebenarnya."

"Ya. Angelina tahu bahwa ia akan kehilangan Singer. Ia menduga hal itu karena Rita. Akhirnya ia memutuskan untuk menyingkirkan saingannya."

"Astaga!"

"Suatu malam, ketika suasana di rumah sakit sunyi, Angelina secara diam-diam meninggalkan tempat kerjanya, pergi ke rumah Rita, dan membunuhnya."

"Letnan! Angelina tak pernah melakukan hal itu, demi Tuhan, ia tak akan sanggup melakukannya." Frontada menutupi muka dengan tangannya.

Betapapun saya harus melanjutkan cerita saya. Frontada tidak akan bisa hidup tenang, jika ia tidak mendengar cerita itu secara lengkap.

 

Kepergok Singer

"Angelina tidak memperhitungkan bahwa pada waktu itu Singer akan mengunjungi Rita. Singer datang untuk memperbaiki televisi. Ia memergoki Angelina dan melihat Rita sudah tergeletak dengan pisau tertancap di dada.”

“Singer berusaha menolong Rita agar bertahan hidup, tetapi tidak berhasil. Angelina ketakutan dan menjanjikan uang 5.000 dolar seraya menyerahkan cincin dan liontin miliknya. Bersama-sama mereka merobek pakaian Rita, menyiramnya dengan minyak tanah dan membakarnya."

"Istri saya?" tanya Frontada. "la melakukan hal itu?"

"Itu bisa saya buktikan. Tentu saja Singer tidak puas dengan uang sebesar 5.000 dolar dan perhiasan itu. Perhiasan itu diberikannya kepada teman wanitanya. Sebetulnya, hal itu merupakan kesalahannya yang pertama.

Kesalahannya yang kedua, ia terus memeras Angelina. Angelina sudah memberikan segalanya kepada Singer. Kotak penyimpanan Singer di bank penuh perhiasan. Saya pikir, Anda bisa membuktikan hal itu."

Mata Frontada menatap ke kejauhan, di pipinya masih ada air mata yang belum mengering.

"Tetapi mengapa ia tiba-tiba ...?" tanyanya. Kalimatnya terputus sebab tampaknya saat itu Frontada tiba-tiba tahu sendiri jawabannya.

"Angelina merasa harus melenyapkan Singer. Ia tidak mungkin membunuh orang sebesar dan sekuat Singer. Kemudian ia mencari akal dengan berpura-pura kesurupan orang mati. Ia hampir berhasil memfitnah Singer.”
“Keterangan seorang istri dokter 'kan lebih meyakinkan daripada keterangan seorang kulit hitam yang sedang menganggur. Tetapi ketika kami tertarik dengan cincin dan liontin itu, istri Singer insaf bahwa Singer bisa dituduh sebagai pembunuh tanpa bisa mengelak."

"Rasanya masih ada sesuatu, yang tidak saya mengerti," kata Jackson dalam perjalanan pulang. "Kertas yang ada di dalam mulut Rita."

"Ah, ya. Rupanya catatan itu bukan untuk kita. Rita sebenarnya berusaha untuk menghancurkannya. Ia tahu, kertas itu bisa digunakan untuk mencelakakan orang yang sangat dicintainya.”

“Mungkin Rita menuliskannya tidak lama sebelum Angelina datang. Dia merobek catatan dari bloknot itu dan menjejalkannya ke dalam mulutnya, sebelum ia roboh. Ia keburu meninggal, sebelum dapat menelan kertas itu.”

“Angelina maupun Singer juga sama sekali tidak memperhatikannya, ketika mereka menelanjangi korban dan mencoba untuk membakar rumah itu."

"Ironis sekali, bukan?"

"Ya. Ia mencoba menghancurkan bukti yang akhirnya menuntun kita ke arah itu.”

“Angelina Frontada membaca hal itu di surat kabar dan ia melihat kemungkinan untuk melenyapkan Albert Singer. Ternyata rencana itu pun gagal."

(J. Berney Dibble)

" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123043/nyonya-dokter-kesurupan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644400683000) } } [4]=> object(stdClass)#136 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3133934" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#137 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/surat-gadai-yang-memberi-kepasti-20220208072539.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#138 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(10) "Tom Tullet" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9391) ["email"]=> string(20) "intiplus-34@mail.com" } } ["description"]=> string(149) "Detektif yang menyelidiki pembunuhan ini benar-benar niat menemukan si pelaku dengan memeriksa ratusan ribu kartu sampel. Hingga akhirnya ditemukan. " ["section"]=> object(stdClass)#139 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/surat-gadai-yang-memberi-kepasti-20220208072539.jpg" ["title"]=> string(34) "Surat Gadai yang Memberi Kepastian" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:29:03" ["content"]=> string(19820) "

Intisari Plus - Dering telepon pukul 04.00 itu membangunkan John Capstick. Yang meneleponnya Kepala Polisi Blackburn C.G. Looms. Inspektur Kepala Capstick yang memimpin Bagian Perburuhan diminta menangani satu kasus pembunuhan di Lancashire. Korban bernama June Anne Devaney yang umurnya tiga tahun sebelas bulan. Dia direnggut dari boksnya di Queen's Park Hospital.

Capstick menelepon Sersan Stoneman supaya mereka bertemu di Euston untuk naik kereta api pukul 06.20. Karena harus mampir di Scotland Yard, Capstick juga mengambil murder teg-nya (tas yang berisi peralatan untuk penyelidikan pembunuhan). 

Dengan kumis dan janggut yang belum tercukur serta mata yang masih berat, kedua detektif itu akhirnya hampir sepanjang perjalanan ke Preston tertidur dan tahu-tahu sudah sampai di Blackburn waktu makan siang. Kepala Polisi Looms cepat menjelaskan fakta yang diperoleh.

 

Pak Inspektur menangis

June Anne Devaney masuk ke rumah sakit pada tanggal 5 Mei sebab menderita radang paru-paru ringan. Dia ditempatkan di ruang CH 3. Ruangan itu berisi dua belas tempat tidur, tapi saat itu yang ada hanya enam pasien. 

Semuanya lebih muda daripada June Anne dan dia satu-satunya yang sudah bisa berbicara. Dia kelihatan seperti sudah berumur enam atau tujuh tahun. Karena kesehatannya sudah pulih, dia diperbolehkan pulang tanggal 15 Mei pagi hari.

Tragedi malam tanggal 14 Mei perawat Gwendoline Humphreys mendengar suara bayi menangis di satu ruangan. Dia segera mengganti popok bayi itu dan berjalan-jalan di ruangan supaya tidur. Lalu meletakkannya kembali di boks sebelah tempat June Anne yang saat itu sudah tidur. Waktu menunjukkan pukul 00.20.

Sepuluh menit kemudian perawat ini mendengar suara seorang anak perempuan. Dia mengira seorang perawat lain sedang mempermainkannya. Dia melongokkan kepala ke sekelilingnya, tapi tak dilihatnya seorang pun, lalu ia kembali ke pekerjaannya semula.

Pukul 01.00 dia kembali ke ruangan tersebut untuk melihat pasien-pasiennya. Pintu masuk dan keluar ruangan itu sudah terbuka, angin kencang berembus di antaranya. Pintu itu ditutup tidak sempurna. Gwendoline tak menaruh curiga apa-apa. Pintu ditutup lagi dan dia melanjutkan inspeksinya.

Saat itulah Gwendoline melihat tempat tidur June Anne kosong. Dicarinya ke sal sebelah dan kamar mandi. Tak ada. Lalu ditanyakan pada suster yang jaga malam. Berdua mereka mencari-cari di ruangan lain. Sebuah botol Winchester berisi air steril ada di lantai di bawah boks June Anne. 

Biasanya pada pukul 11.30 selalu ditaruh di kereta dorong, di tempat lain. Lalu di salah satu ruangan yang dipel mengkilap tampak sederetan tapak kaki yang kelihatan tak memiliki alas. Tapak kaki itu nampak juga dekat boks June Anne. Segera kedua perawat itu memanggil polisi.

Pukul 03.17 tubuh gadis cilik itu ditemukan dekat tembok batas arena rumah sakit. Luka di kepalanya sungguh mengerikan dan jelas pembunuhan ini bermotifkan seks.

Letak Queen's Park Hospital 1 mil dari pusat Kota Blackburn dengan luas meliputi beberapa are dan dikelilingi tembok setinggi hampir 3 m. Ujung jalan rumah sakit menuju jalan besar. 

Sebuah pagar tanaman buah berangan memisahkan rumah sakit dari sebuah taman besar dan lubang galian batu yang sudah tidak dipakai lagi yang disebut "dell". Hujan mulai turun rintik-rintik ketika Capstick dan Stoneman beranjak ke luar dari kendaraan mereka dan menunggu sampai kain putih penutup mayat itu diangkat.

Mengenai saat itu Capstick mencatat: "Saya tidak malu mengakui bahwa saya menyaksikannya dengan mata yang kabur oleh air mata. Setelah bertahun-tahun, pekerjaan seorang detektif mengebalkan hati saya terhadap banyak hal yang mengenaskan, tetapi tak ada lelaki mana pun yang tahan melihat badan yang kecil rapuh ini bersimbah darah dan lumpur. Ini terus menghantui saya sampai hari ini."

 

Sidik jari di botol

Mayat itu dipindahkan dan Capstick pergi ke sal bekas tempat June Anne tidur. Inspektur Detektif Colin Campbell, kepala Biro Sidik Jari dari Lancashire, sudah selesai mengambil foto-foto sidik jari yang terdapat di antara boks-boks putih. 

Dia menunjuk pada botol Winchester, di mana dia menemukan lebih dari dua puluh sidik jari dan telapak tangan. Kelihatannya ada yang baru. Di antara sidik-sidik baru ada beberapa di antaranya yang jauh lebih besar.

Sudah sejak pukul 05.00 Campbell berada di rumah sakit dan memeriksa bagian luar dan dalam rumah sakit serta semua barang dan alat perlengkapan. 

Agak susah merekam telapak kaki. Untuk memperjelas, di atas lantai ditaburkan beberapa macam bubuk. Tetapi karena dilihatnya tak ada hasil, maka tiap jejak dilingkari kapur putih dan difoto dengan menempatkan di sebelahnya penggaris 15 inci.

Penyidikan dilakukan mulai dari pintu di ruang sebelah utara, lalu menuju boks-boks, selanjutnya ke pintu selatan dan kembali lagi ke Utara. Banyak terdapat sidik jari di sebelah boks June Anne yang menandakan si pembunuh sudah agak lama berdiam di situ. 

Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa sidik jari bukan berasal dari kaki telanjang, tetapi kaki dengan memakai kaus kaki panjang (stocking). Sebelah di antaranya memperlihatkan dengan jelas pabrik mana yang membuatnya.

Semua sidik jari staf yang ada di ruangan itu diambil dan dibandingkan dengan yang ada di botol. Bekas-bekas yang masih baru itu tak ada di antara sidik mereka. Campbell yakin bahwa sidik jari dan kaki itu milik sang pembunuh. 

Pukul 14.00 keesokan harinya diketahui bahwa dengan perkecualian sepuluh sidik jari di dalam dan luar ruangan berasal dari orang-orang yang berhak masuk ke situ.

Sebuah tim lain yang terdiri atas Inspektur Kepala Wilfred Daws dan Sersan Millen datang memperkuat tim Lancashire. Capstick memerintahkan penyelidikan di setiap rumah penginapan, hotel, tempat-tempat minum atau rumah penginapan untuk orang miskin di Blackburn. 

Dia sendiri mengecek di stasiun kereta api serta mengirimkan anak buahnya ke tempat-tempat pencelupan baju, binatu, dan pencuci pakaian untuk meneliti kalau-kalau ada pakaian yang menunjukkan bekas-bekas darah. Suatu tim yang terdiri atas detektif harus mengambil sidik jari semua laki-laki yang berusia antara 14 - 90 tahun yang bertempat tinggal di jalan-jalan sekitar rumah sakit.

Ini merupakan suatu pekerjaan nonstop. Lebih dari seribu pasang sidik jari diambil dari orang-orang yang punya pekerjaan atau sangkutan dengan rumah sakit itu, mulai dari dua tahun yang lalu. 

Noel Jones, seorang ahli biologi pada Laboratorium Forensik Presten, berhasil mendapatkan rambut di atas rumput yang berbercak darah di tempat kejadian. Dia juga mendapatkan contoh-contoh rumput yang berbercak darah, rambut, dan serat-serat pada tembok di dekat mayat itu ditemukan. Contoh rambut, darah, pakaian, dan kuku June Anne diambil. Golongan darahnya adalah A, yang nantinya akan mempunyai peran penting dalam menemukan si pembunuh.

 

Sidik jari walikota ikut diperiksa

Capstick mengirimkan Inspektur Detektif Bob McCartney dari kepolisian setempat untuk mengumpulkan keterangan dari setiap orang yang bekerja di rumah sakit, yang ternyata membuahkan hasil. 

Dua perawat mengatakan, mereka disapa oleh seorang lelaki pada malam kejadian. Laki-laki itu bersikeras ingin mengantar mereka ke asrama perawat. Sesudah itu laki-laki tersebut terlihat menempelkan mukanya pada jendela kamar tidur mereka. Lelaki itu tampak seperti orang kurang waras. Langsung Capstick memerintahkan untuk menangkapnya.

Dengan ditemani kedua perawat itu para detektif menelusuri gedung-gedung bioskop, teater, tempat-tempat pacuan anjing, lapangan sepakbola di Blackburn, tetapi jejak laki-laki itu tak dapat ditemukan. 

Sampai terjadi suatu kejadian yang sangat kebetulan. Seorang dari kedua perawat itu melihatnya duduk di tempat tidur seorang pasien wanita. Dia segera dibawa ke hadapan Capstick untuk diinterogasi.

Dalam jam-jam kejadian dia mengaku sedang berada di sekitar halaman rumah sakit, mengintip para perawat. Laki-laki ini dibebaskan, tetapi tetap berada di bawah pengawasan sampai pembunuh yang sesungguhnya tertangkap.

Penyelidikan lebih jauh dari sidik jari tangan dan kaki menunjukkan bahwa yang mengangkat June Anne dengan begitu mudahnya melewati penyekat sal adalah seseorang yang berbadan tinggi. Dari sidik jarinya disimpulkan laki-laki tersebut bertangan besar. 

Mungkin usianya masih muda dan bukan seorang pekerja kasar. Ukuran tapak kakinya yang kirakira 25,4 cm cocok dengan teori bahwa laki-laki itu mempunyai tinggi badan kurang lebih 183 cm. Diperkirakan dia orang setempat, karena mengenal baik liku-liku rumah sakit dan tanah yang mengelilinginya.

Sekarang kesabaran Capstick sudah habis. Dia tidak menginginkan kejadiaan ini menjadi basi dan masyarakat menjadi acuh tak acuh. Dalam sebuah konferensi dengan kepala kepolisian dia mengemukakan keputusannya: kita akan mengambil sidik jari setiap laki-laki di Blackburn dan sekitarnya yang berusia antara 14 - 90 tahun. Siapa pun, kecuali mereka yang benar-benar tidak mampu turun dari tempat tidur.

Idenya dianggap berlebihan. Betapa tidak, di kota itu hidup 123.000 orang. Boleh jadi mereka tidak mau diajak bekerja sama. Tetapi Capstick bersikeras.

"Mungkin makan waktu bertahun-tahun," katanya, "tapi pasti berhasil. Pembunuh itu takkan bisa lolos. Untuk masalah bekerja sama, saya percaya semua laki-laki dan perempuan yang berakal sehat di Blackburn ini akan setuju 100%."

Kemudian dia membuka kartu trufnya. "Saya akan meminta walikota sebagai orang pertama yang memberikan sidik jarinya," ucapnya.

Kesediaan walikota ini disebarluaskan. Blackburn dibagi menjadi dua belas seksi yang berpangkalan di masing-masing kantor polisi. Tiga puluh petugas bekerja 14 jam sehari, dari pukul 08.00 - 22.00, mengunjungi setiap rumah. Mereka membawa kartu khusus lengkap dengan catatan untuk nama, alamat, nomor penduduk, cap jempol kiri dan jari-jari telunjuk. 

Kartu-kartu yang sudah berdata lengkap disimpan secara sistematis pada beberapa baki kayu dan dicek oleh satu tim yang terdiri atas lima orang polisi laki-laki dan lima orang polisi wanita. Lalu dikirimkan ke Biro Penyidikan.

Sementara itu sidik-sidik jari pembunuh difotokopi dan dikirimkan ke setiap kantor polisi di Inggris yang memiliki biro penyidikan. Capstick minta perhatian setiap unsur Angkatan Bersenjata Inggris untuk berjaga-jaga akan kemungkinan adanya pembunuh di antara anggota mereka. 

Semua pasien penderita cacat mental yang diketahui berada di luar rumah sakit malam itu dan gelandangan, penderita schizophrenia dan semua orang yang diketahui mengidap penyakit sosial semuanya masuk jaring polisi.

 

Memeriksa kartu ransum

Ribuan sidik jari mengalir sampai tiba masa liburan yang disebut Wakes Week. Seluruh Blackburn dan sekitarnya berlibur. Orang-orang Scotland Yard bersikeras agar Capstick dan Millen berlibur saja, supaya tidak usah membatalkan rencana liburan yang sudah dibuat sebelum terjadi pembunuhan. 

Waktu akan berangkat ke Pevensey Bay, Capstick dikunjungi oleh Inspektur Bill Barton, seorang inspektur setempat yang mendapat tugas mengecek nama-nama dari daftar orang yang berhak ikut pemilihan umum. Dia berpendapat bahwa sang pembunuh itu sendiri rasanya lolos dari jaringan. 

Menurutnya, kalau dia seorang laki-laki yang masih muda, mungkin dia seorang tentara, sehingga tidak terdapat dalam daftar orang-orang yang berhak memiliki. Capstick mengusulkan agar kartu ransum diperiksa. Pada tahun-tahun seteiah perang, makanan dan pakaian dijatah dan kebetulan baru keluar buku ransum baru.

Sekitar 200 orang, kebanyakan tentara, terlibat dalam pengecekan baru. Baru satu jam Capstick berada bersama istri dan keluarganya di tempat liburan, telepon berdering. Terdengar suara Kepala Polisi Blackburn, Looms, yang bersemangat, "Datanglah segera, kami berhasil menemukannya!"

Memang tidak mudah menjalani hidup sebagai seorang detektif, terutama bagi istri dan keluarganya. Tetapi tak ada juga detektif yang tak ingin kebagian kasus pembunuhan. Capstick mengontak Millen yang saat itu sedang berlibur di Herne Bay. Mereka berdua langsung bergabung di London, lalu memulai perjalanan pulang ke Utara.

Calvert dan Lamb, dua agen polisi, mendatangi sebuah rumah di Birley Street, Blackburn, dan mengambil sidik jari seorang laki-laki yang namanya Peter Griffiths, seorang bekas tentara pengawal. Tingginya sekitar 183 cm, usianya 22 tahun.

Sekitar pukul 15.00, tanggal 12 Agustus, Inspektur Detektif Campbell dan anak buahnya mengadakan pengecekan kartu-kartu sidik jari terbaru dan seorang dari para ahli itu melihat sidik jari yang sudah lama mereka cari-cari. Tiba-tiba ia berseru, "Kita menemukannya! Ini dia!"

 

Si Jangkung

Sebelum pukul 21.00 itu Capstick, Millen, dan Barton diantarkan ke Birley Street dengan kendaraan. Mereka berhenti di sebuah rumah bertembok bata merah, letaknya di sebuah daerah Blackburn yang paling miskin. Capstick tidak berkurang kewaspadaannya. Para anak buahnya yang muda-muda ingin langsung menahan Griffiths, tetapi lain halnya dengan Capstick. Detektif ini ingin menangkap Griffiths di jalan.

"Dia tak bisa bikin yang aneh-aneh di sana," kata Capstick. "Pelan ... pelan ... kita tangkap dia!"

Lima belas menit kemudian pintu depan rumah tersebut membuka. Seorang pemuda tinggi langsing muncul dan melangkah ke arah jalan. Dia mengenakan overall ("celana montir") dengan kemeja yang terbuka lehernya, seperti umumnya orang-orang yang mendapat kerja malam.

Capstick mencekal lengannya dan mengizinkan anak buahnya menyatakan kalimat-kalimat resmi yang harus diucapkan dalam penahanan. Kata Inspektur Barton, "Kami polisi dan saya akan menahan Anda dengan tuduhan membunuh June Anne Devancy di RS Queen's Park pada tanggal 14 - 15 Mei malam tahun ini. Saya ingatkan, apa pun yang Anda katakan akan ditulis dan dijadikan bukti."

Mobil polisi kembali meluncur ke jalan raya. Capstick mengambil tempat duduk di belakang bersama Griffiths, yang setibanya di kantor polisi berucap, "Karena sidik jari saya Anda mendatangi saya?"

Capstick mengingatkannya lagi bahwa kata-katanya bisa dijadikan bukti dan Griffiths menjawab, "Ya."

"Baiklah, kalau memang sidik yang ada pada botol itu sidik saya, saya akan menjelaskannya pada Anda." Kemudian dia membuat pernyataan dan mengakui segalanya, termasuk bagaimana dia membenturkan kepala anak kecil itu ke tembok karena menangis.

Sersan Millen menulis semua pernyataan tersebut, sedangkan Capstick mengajukan pertanyaan. Setelah itu kedua detektif tersebut pergi ke rumah orang tua Griffiths. Mereka orang-orang yang jujur, suka bekerja keras. Orang-orang lanjut usia ini menjadi patah hati mendengar tragedi ini. Mereka terus berdiam diri sementara para detektif memeriksa pakaian Griffiths.

 

Surat gadai

Ketika akan meninggalkan rumah itu, ibu Griffiths menyerahkan sebuah surat gadai untuk sebuah setelan pakaian yang telah digadaikan Griffiths sebesar 30 shillings dan 8 pence. Pakaian ini memang menentukan nasibnya, karena ternyata kemudian pada pakaian tersebut petugas menemukan serat yang cocok dengan yang terdapat pada badan June Anne. Bercak darah pada setelan pakaian itu terbukti darah June Anne pula.

Peter Griffiths seorang yang suka menyendiri, bersifat acuh tak acuh dan punya reputasi tidak baik di AD. Dia seorang pemabuk berat dan tak pernah bisa lama berkawan dengan pria maupun wanita.

Hanya dibutuhkan tempo 20 menit bagi para juri untuk mengambil keputusan bahwa Peter Griffiths bersalah. Dia dihukum gantung di Penjara Walton, Liverpool, tidak jauh dari tempat kelahiran Capstick. 

Capstick selalu curiga, siapa tahu Griffiths pula yang harus bertanggung jawab atas kematian Jack Quentin Smith, seorang anak sekolah berumur 11 tahun yang ditikam dan digebuki sampai tewas dua bulan sebelum ini dekat jalan kereta api di Farnworth, Lancashire, meskipun memang tak pernah ada bukti-bukti.

Menurut teman Jack, David Lee yang berusia 9 tahun dan yang berhasil kabur ke rumah dengan luka-luka di perut serta dada, penyerang mereka adalah seorang pria muda jangkung bermata dalam dan wajahnya berbercak-bercak. Dua tahun sebelumnya Patricia McKeon (9) diserang pria jangkung langsing, bermata dalam. Sebelum itu Sheila Fox yang berumur 6 tahun lenyap.

Betapapun, polisi lega karena setelah Peter Griffiths ditangkap tak lagi terjadi pembunuhan anak-anak kecil. (Tom Tullet)

 

" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553133934/surat-gadai-yang-memberi-kepastian" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348543000) } } [5]=> object(stdClass)#140 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3133927" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#141 (9) { ["thumb_url"]=> string(102) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/senjata-makan-tuanjpg-20220208071805.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#142 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "John Dunning" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9359) ["email"]=> string(19) "intiplus-4@mail.com" } } ["description"]=> string(146) "Maksud hati ingin membalas dendam kepada perempuan yang berselingkuh dengan suaminya. Namun ternyata racun yang telah dipersiapkan, salah sasaran." ["section"]=> object(stdClass)#143 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(102) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/senjata-makan-tuanjpg-20220208071805.jpg" ["title"]=> string(18) "Senjata Makan Tuan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:28:43" ["content"]=> string(23548) "

Intisari Plus - Wilford Cahill (36) yang gagah dan berwajah cakep adalah petani terkaya di Propinsi Capetown, Afrika Selatan. Ia ditemukan tewas di tempat tidurnya pada hari Minggu, 13 Agustus 1978. Yang menemukannya adalah istrinya, Laura, seorang wanita rupawan berusia 32 tahun. Laura heran karena suaminya tak juga muncul pada saat sarapan.

Menurut tradisi suami-istri Cahill tidak berbagi tempat tidur. Mereka mempunyai kamar sendiri-sendiri. Jadi, tak mengherankan bila Wilford baru delapan jam kemudian ditemukan.

Hanya beberapa minggu yang lalu, dokter pribadi keluarga Cahill, dr. Ian Barton, memeriksa kesehatan Wilford. Karena tugasnya yang membuatnya harus bergerak ke sana kemari, Wilford malah dinyatakan ada dalam kondisi puncak.

Dr. Barton pernah mendengar gosip-gosip di sekitar daerah itu. Semula tak digubrisnya, sampai muncul kematian tanpa sebab-sebab yang jelas itu. Dengan rasa penyesalan yang sejujur-nya Barton menjelaskan pada janda Cahill bahwa ia tak mungkin mengeluarkan sertifikat kematian suaminya. 

Ia malah menyarankan untuk menghubungi Kantor. Pemeriksaan Mayat di Cape Town. Dia merasa tak perlu sekarang menyebut-nyebut polisi. Kalau pemeriksa mayat sependapat dengannya, otomatis polisi akan dipanggil.

 

Surat cinta

Dari Kantor Pemeriksaan Mayat Cape Town datang dr. Peter Drysdale. Mayat diperiksa sebentar. Peter mengatakan harus dilakukan autopsi. Dari pihak Cape Town Police Department of Criminal Investigation datang Inspektur Brian Harrison dan Sersan Detektif Morton Bagley.

Menjawab pertanyaan polisi tentang penyebab kematian korban, Peter memperkirakan Wilford mati diracun. Karena merasa kurang suka, Inspektur meminta Sersan untuk mendatangkan bantuan dari kantor polisi. 

Dalam waktu singkat tempat itu dipadati para penyelidik. Mayat Cahill sedang dalam perjalanan menuju tempat penyimpanan mayat di Cape Town, di mana dr. Drysdale segera memulai pemeriksaan meskipun hari itu hari Minggu. Janda serta anak tunggal Cahill, Carol (8), tak berhenti menangis. Carol menumpahkan air matanya, karena ia kehilangan ayah yang sangat dicintainya. 

Air mata Laura pun pahit dan murni, tetapi apakah itu karena kehilangan suami atau karena sebab lain yang sulit dijelaskan. Para penyelidik sengaja mereka-reka beberapa hal yang bisa memancing tangis setiap janda.

Para penyelidik itu mula-mula mengambil botol bir kosong dari peti di gudang dapur yang menurut laporan laboratorium kepolisian jelas mengandung strychnine. Jumlahnya sangat memadai untuk membunuh semua tikus di lumbung-lumbung pertanian.

Ketika menggeledah kamar Laura mereka menemukan sebundel surat yang menimbulkan kecurigaan. Mungkin itu duplikat surat-surat Laura yang sudah dikirimkannya, atau mungkin juga surat-surat asli dari kekasihnya.

Ternyata surat-surat itu memang diperuntukkan bagi kekasihnya. Semuanya diawali dengan beloved, sweetheart, dearest darling, dan Iain-lain nama panggilan kesayangan. Sayang sekali tak ada petunjuk kepada siapa surat-surat itu dialamatkan.

Menurut Laura, surat-surat tersebut ditujukan kepada kekasih yang cuma ada dalam khayalannya. Orangnya sendiri belum pernah dan takkan pernah ada.

Keterangan Laura tidak meyakinkan polisi. "Tak jadi soal dia mau memberikan nama laki-laki itu atau tidak," kata Inspektur. "Kalau mereka mengadakan kontak di daerah sekitar ini, para pegawai dan pembantu pertanian akan tahu siapa laki-laki itu. Tak mungkin ia bisa tetap merahasiakannya." Tampaknya pendapat Inspektur itu benar.

Buster Diggens (44), penanggung jawab mekanis untuk pemeliharaan mesin-mesin pertanian, melapor telah melihat secara kebetulan majikannya sedang bersama-sama kekasihnya beberapa kali. Kelihatannya mencurigakan.

Diggens tak melaporkan tingkah laku Laura pada majikannya karena bagi dia hal seperti ini bukan urusannya. Di situ dia dibayar untuk memperbaiki mesin-mesin pertanian.

Melani N'gomo (16), pembantu berkulit hitam yang mengatur tempat tidur dan pekerjaan rumah tangga lain di gedung utama (yang ditinggali keluarga Cahill), tak mengatakan apa-apa mengenai skandal nyonyanya. Dia akan dicaci maki kalau menyebarkan rahasia ini.

Seorang manajer pertanian bertubuh menarik berusia sekitar 30 tahun mulai bekerja pada Cahill pada bulan Mei 1974. Denis Hartson yang punya gelar dalam pengelolaan pertanian datang ke Cape Town dari Johannesburg. Ia pandai dan meyakinkan. Tidak hanya itu, ia datang sebagai bujangan dan di situ sukses besar dalam bidang percintaan.

Seminggu semenjak kedatangannya, dia berkenalan dengan Dorothy Ekquist, putri seorang petani rajin. Mereka bertemu dalam sebuah pesta dansa.

 Dorothy Ekquist dikaruniai kecantikan yang mencengangkan, dengan rambut yang pirang berombak keemasan, wajah kekanak-kanakan lembut seperti bintang film kanak-kanak serta tubuh yang indah. Ia gadis tercantik di daerah pertanian itu. Denis segan membuang waktu. Mereka segera menikah pada bulan Agustus tahun itu juga.

Pasangan ini mendiami sebuah rumah anggun kecil yang letaknya seperempat mil dari gedung utama. Setahun kemudian lahir Cynthia, putri mereka yang kini usianya sudah 5 tahun dan sangat mirip ibunya.

Semua itu membuat Inspektur bersedih. Apalagi sebetulnya yang kurang?

Jawabannya adalah istri majikannya. Atau juga pertaniannya. Laura Cahill adalah satu-satunya pewaris harta suaminya. Setelah Wilford meninggal sekarang semua menjadi miliknya. Kalau dia mau menikah lagi, bisa jadi hak milik itu berpindah ke tangan suami barunya. Laura sendiri cantik. Perpaduan yang amat menggoda.

 

Gara-gara pinjam telepon

“Kalau dipikir-pikir,” kata Inspektur, "Laura tidak mem punyai motif yang kuat. Otomatis dia pewaris tunggal kekayaan Wilford dan bisa memperoleh kepuasan seks apa pun dari Denis Hartson. Kematian suami tak memberinya keuntungan lebih apa-apa."

"Anda tak bermaksud menahan Ny. Cahill sama sekali?" tanya Sersan dengan heran.

"Oh, tentu," jawab Inspektur. "Jelas Hartson yang menghasutnya. Kemungkinan besar dialah yang memasukkan strychnine ke dalam botol bir ... dan dengan persetujuan serta sepengetahuan Ny. Cahill. Lebih dari itu kita harus bisa menahan Ny. Cahill dengan tuduhan berkomplot menjalankan pembunuhan. Kita lihat saja nanti!"

Ketika disodori berbagai pertanyaan dalam ruang terpisah di Kantor Polisi Cape Town, Denis Hartson dan Laura menyangkal keras tuduhan mereka terlibat dalam peristiwa pembunuhan Cahill.

Ketika dihadapkan pada pernyataan pembantu dan para pegawai mereka, keduanya mengakui telah berhubungan sejak September 1977.

Saat itu Cynthia terkena penyakit campak. Ibunya panik dan menyuruh Denis memanggil dr. Barton. Waktu menunjukkan pukul 22.00.

Karena di rumah Hartson tak ada pesawat telepon, ia pergi meminjamnya ke gedung utama, di mana ditemuinya Laura sedang seorang diri. Wilford Cahill pergi menghadiri konferensi pertanian dan rencananya akan pulang sehari sesudahnya.

Pernah sebelumnya Laura Cahill mengaku pada Dorothy Hartson yang datang ke gedung utama seminggu sekali untuk mengawasi cucian bahwa ia adalah seorang istri yang disia-siakan suaminya. 

Ia hampir tak tahu lagi bagaimana itu seks. Kemudian saat Denis datang, Laura menceritakan hal yang sama padanya. Bedanya, kali ini Laura berharap Denis mau melakukan sesuatu.

Wilford begitu sibuk dengan urusan pertanian, sampai-sampai tiba di rumah selalu sudah malam dan dalam keadaan letih. la lalu minum dua botol bir dan tidur lelap. Hari-hari rutin inilah yang mengusik Laura.

Pada malam pertama itu Denis Hartson tidak pulang ke rumahnya sampai pukul 01.00 lewat. Dia memberi alasan kepada istrinya bahwa dia tidak bisa menemukan dr. Barton di mana-mana. 

Barulah keesokan paginya dia menelepon dokter tersebut yang segera datang. Dorothy tidak menaruh curiga apa-apa. Sejak malam itu, hampir setiap hari Hartson datang ke gedung utama untuk tugas menyenangkan Laura di sore hari.

 

Orang lain?

Dengan situasi begini dan bahwa hampir tak ada orang lain yang menyentuh lemari es di dapur gedung utama, di mana Cahill menyimpan birnya, Inspektur berharap agar segera ada pengakuan. Rupanya ia terpaksa kecewa.

Baik Laura Cahill maupun Denis Hartson tak mau mengaku terlibat sedikit pun dalam kasus kematian Wilford Cahill. Dengan berlinang air mata mereka bersumpah tak pernah terlintas ide untuk menikah, apalagi merasa Wilford merintangi hubungan mereka.

"Tak ada apa-apa, kecuali daya tarik seks!" tutur Denis dengan bercucuran air mata. "Saya mencintai Dorothy! Untuk selamanya! Saya cuma terlena, lagi pula ia istri majikan saya. Apa yang bisa saya lakukan?"

"Normalnya," kata Inspektur kepada Sersan, "kalau kau mempunyai dua tersangka yang menceritakan kisah mereka yang sudah mereka atur sebelumnya, lalu menanyai mereka secara terpisah kau akan mendapatkan ada saja bagian yang terlupa mereka katakan. Lalu kau bisa memainkan kondradiksinya, sampai akhirnya mereka terpancing mengatakan yang sebenarnya."

Tapi lain dengan kasus Cahill Hartson. Cerita mereka tak berubah-ubah seujung rambut pun, berapa kali pun kita mengulang-ulangnya.

"Rasanya memang lucu," kata Sersan. "Apa Anda pikir bahwa kalau mereka repot-repot mengarang cerita itu lalu yang mereka lakukan semuanya berbeda membunuh Wilford sampai mereka memalsukan berbagai alibi untuk mereka sendiri atau sesuatu. Mestinya mereka sudah menyadari bahwa Barton tak akan bersedia mengeluarkan sertifikat kematian dengan situasi seperti itu."

"Seharusnya!" kata Inspektur. "Mereka berdua berpendidikan tinggi, orang-orang yang pandai. Sukar mempercayai bahwa mereka akan meracuni Cahill dengan sesuatu yang begitu terang-terangan seperti strychnine, lalu membuang botol bir yang mengandung racun itu sembarangan ke kotak sampah. Cuma orang bodoh yang bisa berlaku begitu."

Untuk beberapa lama tak ada yang bersuara.

"Banyak pegawai Cahill di pertanian itu yang bodoh," kata Sersan kemudian. "Tapi kalau yang biadab ... saya tak begitu tahu."

Cahill adalah seorang pekerja keras, amat serius dalam setiap aspek bisnis pertaniannya. Tak mudah orang bekerja dengannya. Dia baik hati dan logis terhadap pimpinan umumnya, tetapi juga banyak menuntut dari pekerjanya. Bahkan Buster Diggens tak bekerja secepat dan sekeras yang diinginkannya.

"Di samping itu, menurut catatan yang ada tentang Diggens, Diggens pernah dua kali diskors karena memukul pegawainya. Dengan temperamen kejam dan reputasinya seperti pendendam, bisa saja dia tega meracuni majikannya dengan strychnine. Dia pun tak akan sulit menyelinap masuk ke dapur di gedung utama tanpa terlihat."

 

Melani buka mulut

Inspektur ragu-ragu untuk menahan dan menanyai Diggens secara resmi karena tak ada alasan kuat. Mengapa baru sekarang dia membunuh majikannya, padahal hubungan mereka sekarang jauh lebih baik daripada sebelumnya? Dia sudah bekerja pada Cahill selama tujuh tahun.

"Kita pun tahu Ny. Cahill dan Hartson tak melihatnya dalam rumah pada hari kejadian tersebut," tutur Sersan. "Kecuali kalau mereka berniat melindungi sesama kawan. Paling ia seharian berada di rumah."

"Bisa saja waktu itu pembantu ada di loteng," kata Inspektur. "Lalu laki-laki tersebut menyelinap ke dapur, mencampurkan strychnine dalam bir dan membereskannya tanpa setahu pembantu wanita itu. Waktu yang dibutuhkannya hanya beberapa menit."

"Kita lihat saja," kata Sersan. "Saya pergi dulu sebentar dan akan kembali bersamanya."

Tanpa diduga siapa pun, Melani N'gomo tegas-tegas menyatakan bahwa dia melihat Buster Diggens masuk ke rumah pada sore kejadian.

"Dia kelihatan seperti maling," kata gadis itu. "Saya rasa dialah yang membunuh Tuan Wilford."

Buster Diggens segera ditahan dengan tuduhan tersangka pembunuhan. Ketika dihadapkan pada pernyataan Melani N'gomo, Buster Diggens menjawab dia tak berada di dalam rumah maupun sekitarnya pada tanggal 12 Agustus itu. Dia sanggup membuktikannya. 

Melani jelas mencoba melibatkannya dalam kesulitan karena Diggens pernah menangkap basah Melani sedang mencuri beberapa bulan yang lalu dan merangket gadis itu.

"Buktikan," kata Inspektur. "Buktikan bahwa Anda tidak berada di sekitar rumah pada saat itu."

Buster Diggens membuktikan dia bekerja dengan sekelompok pegawai lain dan dua petani tetangganya, di daerah lain sekitar 8 km dari tempat itu, sepanjang hari. la baru sampai di pertanian pada saat Cahill meneguk bir beracunnya.

Lebih-lebih lagi, bisa ditunjukkan bahwa Diggens tidak meracuni dua botol bir Wilford yang diminum sore itu. Kedua botol itu berasal dari peti baru yang dibawa sendiri oleh Wilford sekembalinya dari kota. Bir itu diberi racun pada sore hari dia minum atau sudah diracuni ketika dia mengambil peti tersebut dari kota.

"Gadis itu mengurusi seluruh rumah tangga, termasuk dapurnya," kata Inspektur pada Sersan. "Diggens mengetahuinya waktu mau mencuri. Mungkin Cahill tahu juga dan menghajarnya seperti apa yang dilakukan Diggens."

"Lalu gadis itu ingin Diggens digantung karena melakukan kejahatan," kata Inspektur.

"Aku ragu," kata Inspektur lagi. "Gadis itu masih begitu muda dan sederhana."

"Kalau begitu Diggens mesti berterima kasih pada kemujurannya. Kebetulan sekali dia punya alibi," kata Sersan. "Kita bisa menahan Laura dan Hartson. Mereka punya motif, kesempatan, dan tak punya alibi."

"Betul," Inspektur mengiakan. "Aku berada dalam posisi sulit, tidak bisa menahan orang yang dicurigai, tapi boleh menahan orang yang tak dicurigai."

"Jadi apa yang akan kita kerjakan," tanya Sersan.

"Kita tanyai si Melani N'gomo dan kalau tak berhasil kita serahkan semuanya pada kantor penuntut.”

Melani ternyata begitu keras kepala, seperti yang dikhawatirkan Inspektur. Dia mengaku cuma berbohong melihat Diggens memasuki rumah dengan diam-diam, tapi membenarkan ucapan Diggens yarig menangkapnya basah sewaktu hampir mencuri, meskipun dia tidak merasa bersalah.

Dia bahkan mengakui tahu kebiasaan majikannya minum bir dua botol setiap malam sepulang kerjanya, karena tugasnyalah menyimpan bir itu dalam kulkas. Tetapi pada hari kejadian, dia tidak melihat sesuatu yang aneh dengan botol-botol bir itu.

Dia juga yang melemparkan botol-botol tersebut ke tempat sampah malam itu, setelah majikannya pergi tidur. Ada fakta yang mengherankan polisi sampai saat ini. Tidak ada sidik jari selain sidik jari Wilford Cahill.

Melani membantah tak menyukai Cahill, karena memang ia jauh lebih menyukainya daripada Laura yang sering mencaci maki.

Dia diuji sekali lagi. Ternyata Melani dengan mudah bisa membuka tutup botol, tetapi tak bisa menutupnya kembali.

Melani disodori kotak yang diberi label stryhnine, tetapi sebenarnya berisi tepung jagung dan disuruh mencicipinya. Tanpa ragu-ragu Melani mengecapnya. Ditanya apa itu strychnine dan di mana bisa didapatkan, dia menjawab pernah mendengar tentang itu: biasa digunakan untuk membunuh tikus, tapi melihatnya dia belum pernah.

Tidak tanduknya yang begitu lugu kekanak-kanakan membuat Inspektur berkesimpulan bahwa dia sedang berhadapan dengan kriminal yang amat lihat, seorang aktris yang cerdik ... atau memang Melani bicara sejujurnya.

 

Dorothy membawa bukti

Dihadapkan pada pilihan sulit begini, satu-satunya kemungkinan tinggal menghadapkan Laura Cahill dan Denis Hartson ke kantor penuntut umum dengan rekomendasi resmi bahwa mereka terlibat pembunuhan dan persekongkolan menjalankan pembunuhan.

Pernyataan bersalah seperti itu sama dengan hukuman mati dan ini hampir tak mungkin dihindarkan. Benar memang tak ada bukti nyata mereka yang melakukannya, dan tak ada yang mau mengaku atau mencoba saling menyalahkan.

Walaupun demikian, penuntut merasa kasus ini cukup bisa membuktikan kesalahan mereka. Mereka sendiri yang mengaku berkasih-kasihan. Keduanya bisa saja memasukkan strychnine ke dalam botol dan menutupnya kembali tanpa berbekas. Dua-duanya sanggup mengajukan alibi.

Selain itu, tak ada orang lain yang bisa dicurigai. Kecuali satu bahwa kemudian pada tanggal 1 September Ny. Dorothy muncul di kantor Inspektur Harrison untuk menyampaikan suatu bukti.

Dorothy Hartson tidak segera mengatakannya, tetapi terlebih dahulu bertanya bagaimana keadaan suaminya dalam kasus ini. Semula Inspektur Harrison segan mengatakannya, tetapi karena didesak ia menjawab sedikit sekali kemungkinan Denis bisa merayakan hari ulang tahunnya yang ke-31.

Wanita itu menganggukkan kepalanya seolah-sudah tahu itulah jawabannya. Matahari pagi berkilau masuk menembus jendela kantor, membuat rambutnya yang pirang berombak menjadi seperti lingkaran emas di sekitar wajah mudanya yang sempurna.

"Denis tidak membunuh Cahill," ucapnya perlahan dengan suara dalam, "sayalah pembunuhnya."

Kemudian dia menerangkan betapa sebetulnya dia menjadi curiga ketika suaminya berdusta tidak bisa mendapatkan dr. Barton untuk Cynthia yang terserang campak. Keesokan harinya, waktu dokter datang, Laura menyampaikan bahwa mereka tak berhasil menemuinya semalam. Dokter mengatakan keheranannya, karena semalaman ia tidak pergi ke mana-mana.

Tak sampai seminggu kemudian, Dorothy datang ke gedung utama. Bukan pada hari Kamis seperti biasanya, tapi pada hari Senin. Dia mendengar di loteng ada suara orang sedang bercinta. Dengan merayap, dia naik, membuka kamar tidur sedikit, dan terlihat suaminya sedang bermain cinta dengan Laura Cahill yang tak mengenakan apa-apa di tempat tidur.

Sejak saat itu yang ada dalam benaknya hanya balas dendam. Tetapi baru setahun kemudian timbul ide untuk meracuni suami Laura, supaya Laura nantinya yang dipersalahkan dan dihukum gantung.

Tentu saja Dorothy mengetahui kebiasaan minum Wilford di malam hari dan dengan mudah- dia menyusup ke dapur sore itu, menuangkan strychnine pada salah satu botol bir dan menyegelnya kembali.

"Tidak ada yang melihat saya," katanya. "Semuanya berjalan sesuai dengan rencana saya. Satu yang tidak terpikirkan oleh saya bahwa Denis akan dicurigai. Saya mencintainya, meskipun dia punya skandal dengan Laura Cahill. Kalau dia dihukum mati, saya akan kehilangan segalanya. Lebih baik saya mati juga."

Dengan pengakuan ini Inspektur tidak punya pilihan lain, kecuali mencabut tuduhan terhadap Denis Hartson dan Laura Cahill dan mengajukan tuduhan terhadap Dorothy yang tak mengubah setiap detail ceritanya.

Tetapi tetap sulit bagi Inspektur untuk percaya. Baginya mungkin saja pengakuan Dorothy sengaja untuk menyelamatkan suaminya dari tiang gantungan.

Ibu muda ini tetap bertahan pada pengakuannya dan pada bulan Februari 1970 ia diajukan ke pengadilan.

Keraguan yang menyerang Inspektur juga rupanya mengganggu pengadilan. Karena ternyata kemudian, meskipun dinyatakan bersalah, Dorothy diberi keringanan. Ia mendapat hukuman penjara selama 20 tahun. (John Dunning)

 

" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553133927/senjata-makan-tuan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348523000) } } [6]=> object(stdClass)#144 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3133919" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#145 (9) { ["thumb_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/pacarnya-istri-orang-lainjpg-20220208071205.jpg" ["author"]=> array(2) { [0]=> object(stdClass)#146 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(15) "Charles Boswell" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9357) ["email"]=> string(19) "intiplus-2@mail.com" } [1]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(14) "Lewis Thompson" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9358) ["email"]=> string(19) "intiplus-3@mail.com" } } ["description"]=> string(134) "David Paul menghilang jejaknya pada selasa sore. Tak kunjung terlihat berhari-hari sebelum akhirnya ditemukan oleh para pemburu bebek." ["section"]=> object(stdClass)#148 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(109) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/pacarnya-istri-orang-lainjpg-20220208071205.jpg" ["title"]=> string(25) "Pacarnya Istri Orang Lain" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:28:30" ["content"]=> string(27873) "

Intisari Plus - David Paul sebenarnya pria yang simpatik. Perawakannya kecil, usianya 50 tahun. Dia tinggal di Newton Avenue, Camden, New Jersey. Tiap minggu bersama istrinya dia pergi ke Gereje Metodis Episkopal. 

Sudah enam tahun, sejak 1914, Paul menjadi kurir Broadway Trust Company, sebuah bank di Camden. Meskipun sudah jutaan dolar diangkutnya, tak pernah dia dicurigai mengutip sepeser pun.

 

Ke mana David Paul?

Hari itu hari Selasa, 5 Oktober 1920. Tiap Selasa Paul sudah punya rute tetap. Pukul 13.00 ia meninggalkan Broadway Trust, beberapa menit kemudian tiba di First National Bank of Camden untuk mengantarkan cek. Lalu dia naik feri menyeberangi S. Delaware ke Philadelphia. 

Di sana dia mengantarkan uang kontan dan cek lagi ke Girard National Bank. Selasa itu Paul berangkat dari Broadway Trust pada jam yang biasa, mampir di First National Bank sesuai jadwal, lalu meneruskan perjalanan dengan membawa kantung berisi AS $ 40.000 dalam pecahan dua puluhan dan AS $ 42.000 dalam bentuk surat-surat berharga.

Biasanya sekitar pukul 14.00 dia sampai di Girard National, tapi sore itu tidak. Kasir di sana menunggu sampai pukul 14.15, lalu menelepon Broadway Trust. Petugas di sana heran sekaligus cemas. "Akan kami periksa," katanya, "ya, segera. Pasti ada apa-apa dengan Paul. Mungkin kecelakaan."

Bank memberi tahu jaksa daerah Camden County, Charles A. Wolverton. Wolverton memberi tahu kepada detektif daerah itu, Larry Doran, yang segera melakukan menyelidikan. Ternyata semua orang di pelabuhan feri kenal pada Paul. 

Mungkin karena sudah begitu rutin dia pulang-balik dengan menumpang feri. Selasa sore itu tidak ada penjual tiket atau awak feri yang ingat telah melihat dia. Jadi Detektif Doran cuma bisa menyimpulkan: Paul belum tiba di pelabuhan feri.

Ketika gambaran tentang David Paul ditanyakan ke rumah sakit, mereka bilang tidak ada korban kecelakaan yang masuk sore itu. Ny. Paul dihubungi. Katanya, pagi itu suaminya tampak biasa-biasa saja. Sepengetahuannya, Paul tidak menderita amnesia, lupa mendadak. 

"Saya yakin tak mungkin dia melarikan uang," tambahnya. "Kalau suami saya hilang, pasti karena diculik. Saya percaya 100% kepada David."

Sepanjang sore Doran mengecek beberapa blok yang menurut perkiraannya dapat dipakai sebagai tempat menghilang oleh Paul. Semua orang, dari pedagang, polisi lalu lintas, bahkan tukang semir sepatu kenal dengan David Paul. 

Tapi tak seorang pun dari mereka melihat David Paul setelah lewat tengah hari. Diculik? Masa! Sebagai kurir bank, Paul mendapat izin membawa senjata revolver .38. 

Bagaimana mungkin orang yang waspada, berbadan sehat, dan bersenjata dapat diculik di jalan yang penuh dengan kenalannya, yang pasti siap menolong kalau melihat Paul diapa-apakan orang?

Mungkin ini kasus melarikan uang, pikir Doran. Dia menemui petugas di Broadway Trust untuk minta foto dan sidik jari David Paul. Selain foto dan sidik jari, orang yang melamar pekerjaan ke bank itu diminta menyerahkan surat-surat rekomendasi dari mantan bosnya sejak tahun 1900. 

Menurut para mantan majikannya, David Paul pegawai yang balk dan setia. Pokoknya, Paul tidak menampakkan citra seorang pencuri sama sekali.

Doran menyerahkan foto dan sidik jari itu kepada asistennya untuk diperbanyak dan disebarkan ke stasiun kereta api dan terminal bus di seluruh New Jersey, lalu ke kantor polisi di seluruh Amerika Timur.

 

Lengannya digendong perban pembalut

Sementara itu Detektif Doran melanjutkan penyelidikan di daerah sekitar First National Bank, tempat terakhir kalinya orang melihat Paul. Ternyata penjaga pintu utama punya keterangan yang berguna.

"Ya, saya ingat melihat dia masuk dan keluar dari bank sekitar pukul 13.10. Waktu meninggalkan lobi, dia berjalan Bersama-sama tukang pos, yang waktu itu baru saja mengantarkan kantung surat.” 

“Saya ingat betul melihat David Paul. Soalnya, tangan kirinya digendong dengan perban pembalut. Saya bertanya, kenapa. 'Ah, tak apa-apa, kok,’ cuma begitu jawabnya sambil tersenyum, lalu pergi."

Keterangan itu mengherankan, karena baik Ny. Paul maupun atasan-atasannya di Broadway Trust tidak menyebut-nyebut soal perban. Doran ke kantor pos besar, minta bertemu dengan tukang pos yang rutenya termasuk mampir di First National Bank. 

Sayang, yang dicari sedang tidak bertugas. Tapi malamnya, pukul 19.00, Doran berhasil bertemu dengan orang itu di rumahnya.

Kata si tukang pos, dia berbarengan berjalan dengan Paul tak lebih dari semenit. Mereka melintasi lobi, melewati pintu putar, lalu di luar berpisah. Seperti penjaga pintu tadi, dia juga menanyakan soal lengan yang digendong dengan perban itu. 

Namun, tak ada jawaban jelas. "Waktu berpisah di depan bank," kata si tukang pos, "saya rasa membelok ke arah feri, sedangkan saya ke arah lain." (Pelabuhan feri cuma beberapa blok jauhnya dari First National Bank). "Oh, sebentar. Tidak, tidak. Dia tidak membelok ke sana, tapi berhenti menyapa Frank James. Anda kenal Frank?"

Doran mengangguk. Dia dan Frank teman masa kecil. Sekarang Frank berkacamata, setengah umur, dan sudah berkeluarga. Dia dealer truk terkenal di Camden. Jadi, dari situ Doran berusaha menghubungi Frank James. Mungkin saja Paul sengaja atau tidak membocorkan petunjuk-petunjuk untuk melacak jejaknya.

Bercukur rapi

Ternyata malam itu James tak dapat ditemui. James makan malam agak sore, lalu pergi ke luar kota. Katanya, karena ada urusan bisnis dia akan pergi ke New Jersey bagian selatan.

"Namun, dia tidak memberi tahu akan ke mana persisnya," kata pegawai James. "Dia cuma menstarter Ford minibusnya yang baru itu, lalu berangkat. 'Banyak urusan, nih,' begitu katanya. Jadi, saya pikir mungkin ada orang yang berminat membeli truk atau malah satu armada truk."

Besoknya, Rabu, 6 Oktober, Doran menanyai beberapa pegawai rendahan di Broadway Trust. Ada pengalaman juru tulis yang perlu dicatat. Orang ini makan siang bersama Paul, sekitar pukul 12.00 - 13.00.

"Kami makan sandwich di warung pojok," katanya, "lalu kami ke tukang cukur, karena Paul mendesak. Dia mencukur rambut dan janggut, sampai kelihatan ganteng betul. Waktu kembali ke ruang tempat penyimpanan barang milik pegawai di bank dan merokok di sana, baru saya tahu sebabnya.” 

“Dia mengaku akan berkencan dengan seorang wanita. 'Saya sering bertemu dia pada hari Selasa/ katanya, 'karena setelah selesai urusan di Philadelphia saya bebas. Selasa lalu mestinya kami bertemu, tapi beralangan. Jadi, kalau nanti kami bertemu, saya rasa pasti dia cemberut. Mungkin kau bisa membantu mencarikan alasan?"

Waktu itulah timbul gagasan membebat lengannya. Tentu saja sebenarnya lengan Paul tak apa-apa, cuma Paul ingin memberi bukti bahwa minggu lalu tak bisa muncul karena kecelakaan. "Jadi, saya membantunya," kata juni tulis. "Saya ambil perban pembalut dari lemari PPPK di ruang itu, lalu lengannya saya balut."

Meskipun Paul tidak memberi tahu nama wanita itu, dia sempat bilang wanita itu sudah menikah. Jadi, Doran menyimpulkan wanita inilah kuncinya. Tak jarang memang wanita terlibat dalam skandal pelarian uang. Sekarang Doran tidak hanya memburu satu, tapi dua orang.

Sayang, identitas wanita itu masih misterius. Tapi Doran memperkirakan pasti tak lama lagi suami wanita itu akan melapor bahwa istrinya hilang. Maka Doran minta kepada polisi di Camden dan Philadelphia supaya segera menyampaikan kepadanya semua laporan suami yang kehilangan istri, begitu laporan demikian masuk.

 

Riwayatnya tak seputih kapas

Sekarang tak ragu lagi. Paul telah melarikan AS $ 82.000. Dalam waktu 24 jam kasus ini sudah didengar orang di mana-mana.

Kamis pagi datang Ellis Parker dari Burlington, yang jauhnya 32 km dari Camden. Dia kepala detektif di sana. Dia menyatakan siap membantu Doran, termasuk memberikan informasi tambahan.

"Saya baca kasus ini di koran," kata Parker. "Entah kau tahu atau tidak, Dave Paul itu berasal dari Mount Holly dan kami teman masa kecil. Kalau Dave mengambil uang bank, ini bukan kejahatannya yang pertama.” 

“Mungkin tak banyak orang tahu. Soalnya, itu terjadi pada tahun 1895, bahkan mungkin lebih lama lagi. Paman Dave kepala kantor pos di Mount Holly. Namanya Harry Paul. Ketika Dave bekerja di sana, mulai ada uang hilang.” 

“Pengawas kantor pos jadi sibuk. Tak lama Dave tertangkap basah sedang mencuri. Dia masuk penjara federal selama setahun. Semuanya itu dilakukan dengan diam-diam. Waktu itu garagaranya juga seorang wanita."

Selanjutnya, menurut Parker, kurir bank itu mengambil cuti tahunannya antara 12-26 September. Dia dan istrinya melewatkan liburan itu di Mount Holly.

Namun, selama itu Ny. Paul kurang enak badan, sehingga hanya tinggal di rumah. David Paul bebas ke mana saja. "Waktu itu sedang ada pekan raya di Mount Holly," kata Detektif Parker.

“Tentu saja hampir setiap hari saya ke sana dan sampai enam kali bertemu dia, David Paul ditemani wanita berambut hitam, masih muda, cantik sekali. Kelihatannya tanpa risi dia berkencan dengan wanita itu, padahal istrinya sedang sakit di kota yang sama.” 

“Wanita itu bukan wanita yang dulu di tahun '95. Saya sudah menyelidiki siapa wanita itu, tapi tak ada yang tahu namanya. Kata orang, dia dari Camden, karena ada nyonya-nyonya yang pernah melihatnya di sini waktu mereka berbelanja kemari."

Sampai saat itu pengumuman yang dipasang hanya berbunyi bahwa Paul dicari untuk ditanyai perihal hilangnya uang Broadway Trust. Tapi dengan adanya informasi baru ini, Jaksa Wolverton sebagai penuntut umum mengeluarkan pengumuman baru untuk menahan dia disertai hadiah AS $ 1.000 bagi siapa saja yang bisa memberikan informasi untuk dapat menangkapnya.

Ditemukan pemburu bebek

Kamis sore, Frank James, si dealer truk, muncul di kantor Doran. Katanya, dia baru saja kembali dari luar kota.

"Maaf, saya baru tahu kalau Anda ingin bicara dengan saya," kata James. "Sejak berangkat saya begitu sibuk sampai tak sempat baca koran. Tapi rasanya saya tidak bisa banyak menolong. Saya ingat bertemu Dave Paul di depan First National Bank pada hari Selasa.” 

“Waktu itu saya sedang menunggu Ray Shuck, manajer perusahaan telepon. Ketika kami sedang berdiri berdua di sana, Ray datang, ikut mengobrol sebentar, lalu kami pergi makan siang. Seingat saya Paul berjalan sendirian ke arah feri."

James mengaku tak begitu kenal dengan Paul. Dia juga menggeleng keras-keras waktu Doran bertanya apakah dia tahu kalau Doran punya pacar. Waktu Doran menelepon Shuck di kantornya, dia bilang, "David Paul? Kalau James tidak menyebut namanya waktu kami omong-omong bersama di sudut jalan waktu itu, saya tak bakal tahu dengan siapa saya sedang bicara.” 

“Maaf, Pak Doran. Kalau ada wanita lain dalam kehidupan David Paul, silakan Anda bertanya kepada orang lain."

Sementara hari-hari berlalu, tidak ada perkembangan menggembirakan. Pengumuman tentang dicarinya Paul tak ada hasilnya. Tak ada juga suami yang melapor telah kehilangan istri.

Namun, sebelas hari setelah menghilangnya David Paul, yaitu Sabtu, 16 Oktober, terjadi kejutan di Burlington, daerah kekuasaan Detektif Parker. Sabtu itu hari permulaan musim berburu bebek. Pagi-pagi sekali empat pemburu bebek sedang menjelajahi rawa-rawa 25 km sebelah tenggara Mount Holly. 

Mereka bermobil lewat jalan yang disebut Irick's Causeway. Setelah meninggalkan mobil di jalan, mereka menyembunyikan diri di suatu hutan kecil. Di pinggir hutan itu ada kali kecil yang bermuara di Rancocas Creek, beberapa kilometer ke Selatan.

Waktu menuruni bukit kecil di pinggir kali, mereka melihat kaki manusia tersembul dari tanah. Gundukan tanah di sekeliling kaki itu masih segar dan tampak sekali ada bekas-bekas sekop. Jelas ada orang yang belum lama ini menggali lubang dangkal untuk mengubur mayat, tapi karena cepat-cepat mayat itu tak sampai terkubur dengan rapi. 

Untuk melihat apakah mayat itu sungguh-sungguh masih utuh, mereka mengorek-ngorek lagi. Memang betul. Meskipun sudah cukup membusuk, tampak benar mayat itu mayat pria setengah umur dan berpakaian lengkap.

Salah seorang segera kembali ke mobil dan pergi ke telepon terdekat. Detektif Parker segera datang bersama seorang dokter dari kantor koroner.

 

Surat dari wanita misterius

Sekarang jelaslah David Paul tak mungkin ditangkap atas tuduhan melarikan uang, atau tuduhan lain. Dialah mayat itu. Dengan ditemukannya mayat Paul, kasusnya menjadi semakin rumit. Kepala Paul cedera karena dipukul dan jantungnya tertembus peluru. Dia korban pembunuhan. Menurut dokter, pembunuhan terjadi tak lama setelah David Paul menghilang, sekitar sepuluh hari sebelumnya.

Meskipun demikian, mayat itu baru dikubur paling lama 48 jam yang lalu. "Pakaiannya basah kuyup," kata dokter, "padahal baru-baru itu tidak hujan. Melihat dagingnya, menurut saya mayat ini setidak-tidaknya direndam dulu selama seminggu di dalam air, baru dikubur."

Detektif Parker menemukan jejak dedaunan rusak dan permukaan tanah yang terinjak-injak dari kali ke kuburan. Jadi, Parker menyimpulkan, mula-mula mayat direndam di kali, kemudian diseret ke tepian. 

Rupanya si pembunuh, atau para pembunuh itu sadar, musim berburu bebek hampir mulai, sehingga daerah yang biasanya terpencil ini akan ramai dikunjungi orang. Maka mereka kembali lagi untuk menyembunyikan si mayat secara lebih baik. Siapa sangka malah ketahuan?

Perbannya tidak ada, tapi revolvernya dengan peluru lengkap masih ada di saku paha. Kantung tugasnya berat dan tetap terantai di sabuk. Surat-surat berharga yang bernilai AS $ 42.000 masih utuh juga di dalam kantung, meskipun basah kuyup. Tapi uang kontan AS $ 40.000 tak tampak bayangannya.

Di kantung dalam jaket David Paul, Parker menemukan sepucuk surat, dialamatkan kepada Dave Paul dan diposkan Senin malam, 4 Oktober -malam terakhir Dave Paul. Surat itu tidak mencantumkan alamat pengirim dan ditandatangani "Tessie". 

Yang paling penting, ternyata surat itu dari wanita berambut hitam yang berpacaran dengan Paul selama dia cuti dulu, dan bahwa dengan dialah Dave Paul punya janji kencan Selasa sore itu. 

"Sungguh aku menyesal, kau tak muncul Selasa lalu," begitu antara lain bunyinya. "Ada apa, sih? Apa kau punya kencan dengan pacar baru? Kalau kedengarannya aku cemburu, memang karena aku cemburu. Janji, kita ketemu Selasa ini, ya! Kutunggu. Tempat dan waktu biasa."

Parker mengambil surat itu, lalu dia ke Camden untuk membicarakan temuannya dengan Doran. Rupanya setelah Paul mencuri uang bank, dia bertemu dengan Tessie dan kemungkinan Tessie-lah yang kemudian membunuhnya. Tapi bagaimana mungkin Tessie seorang diri bisa merendam mayat itu di kali, lalu menyeretnya ke luar dan menguburnya?

Kedua detektif mempertimbangkan kemungkinan lain yang lebih realistis. Mungkin Tessie bekerja sama dengan seorang pria atau lebih. Dia yang membujuk Paul agar melarikan uang. Setelah berhasil, rekan-rekan prianya beraksi.

Mungkin juga Tessie bukan pembunuh, bukan pula pembujuk. Ada kemungkinan Tessie sama sekali tak tahu-menahu mengenai rencana pembunuhan ini. Kalau begitu bagaimana nasib Tessie? Jangan-jangan mayatnya juga akan ditemukan di kubur dangkal yang terpencil.

 

Kemeja dan tirai bemoda darah

Doran mulai melacak wanita berambut hitam dengan nama Tessie. Parker pulang ke Burlington sambil terus memasang telinga. Dua minggu berlalu, Oktober beralih ke November, tak ada perkembangan apa-apa.

Pada minggu pertama bulan November, Detektif Parker menerima berbagai informasi kecil yang agaknya saling berhubungan. Pertama, dari sekelompok pramuka. Waktu mereka sedang berkemah di hutan dekat Desa Almonessen, New Jersey, mereka menemukan kemeja pria bemoda darah dan tirai khusus untuk Ford minibus yang terbungkus kertas koran. 

Tirainya masih baru, atau paling tidak mendekati baru, tapi juga bernoda darah. Korannya terbitan Camden, 4 Oktober, Senin. Bungkusan itu mereka temukan di bawah jalan raya dari Irick's Causeway ke Almonessen. Dugaan mereka, tentunya bungkusan itu dibuang dari mobil yang lewat.

Dari sebuah toko kelontong diperoleh informasi lain. Pada hari Selasa, 5 Oktober, sekitar pukul 16.00, hari lenyapnya Dave Paul, sebuah mobil Ford minibus datang. Pengendaranya dua orang pria. 

Sementara yang satu tetap tinggal di belakang kemudi, yang lain turun, masuk ke toko, dan bilang, dia butuh satu kemeja putih no. 15. Begitu ditunjukkan sebuah, langsung kemeja itu diambilnya tanpa dilihat-lihat lagi. Orang itu membayar dengan uang pecahan 20 dolaran.

Masih ada satu laporan lagi. Kamis, 14 Oktober, dua hari sebelum mayat Paul ditemukan, dua pria berkendaraan Ford minibus mendatangi toko besi di Kota Medford, sekitar 11 km sebelah selatan Mount Holly. 

Mereka membeli dua sekop. Mereka juga membayar dengan pecahan dua puluhan. Baik tampang orang-orangnya maupun mobilnya, sama dengan yang dilihat pemilik toko di Almonessen.

Kalau memang betul kedua orang di Medford sama dengan yang di Almonessen, kira-kira jalan ceritanya tentu begini: David Paul dibunuh di dalam Ford, tirai mobil dan kemeja salah seorang pembunuh kecipratan darahnya. Waktu membeli gantinya, si pembeli tak peduli pada model atau mutu kemeja itu, karena yang membutuhkan kemeja baru adalah kawannya yang menunggu di mobil.

Sedangkan sekop yang dibeli di Medford pasti mereka butuhkan untuk menggali kubur di rawa-rawa dekat Irick's Causeway.

 

Akhirnya Tessie muncul juga

Detektif Doran mencoba memanfaatkan koran untuk memanggil Tessie. Di koran tersebut disebutkan bahwa identitas Tessie yang sebenarnya akan dirahasiakan.

Nah, 5 November pagi muncul wanita cantik berambut hitam di kantor Doran. Wanita itu mengaku dialah Tessie. "Namun saya tak tahu-menahu soal pencurian uang Broadway Trust," katanya, "atau tentang pembunuhan David Paul. Tak mungkin saya mencelakakan dia.” 

“Saya amat sayang pada David. Pada tanggal 28 September memang dia tak muncul, itu Anda sudah tahu. Tapi Selasa minggu depannya dia tak muncul lagi -pada hari dia menghilang! Saya tunggu sampai pukul 15.00, tapi dia tak kunjung datang. Tempat pertemuan kami di pelabuhan feri di tepian bagian Philadelphia."

Kata Tessie, "Sudah setahun kami berkencan. Pertemuan Selasa sore itu sudah rutin. Toh David harus ke Philadelphia tiap Selasa. Kalau pekan raya di Mount Holly memang agak lain. Saya tak bakal ke sana kalau istri David tak kebetulan sakit.” 

“Selain pada Selasa sore, kami tak pernah kencan malam-malam. Ya, sebenarnya tidak persis demikian. Dua kali saya pernah pergi dengan David ke pesta malam Minggu di Lollypop Inn dan minum-minum sedikit."

"Lolypop Inn?" tanya Doran. "Di mana?" "Di hutan dekat Clementon. Sebetulnya tempat itu lebih pantas disebut klub, bukan penginapan seperti yang dikatakan pemiliknya, Frank James dan Ray Shuck. Waktu saya ke sana dengan Dave, Frank dan Ray mengundang kami. Mereka ditemani cewek-cewek cantik dari Philadelphia."

Doran bisa merasakan kunci pemecahan kasus David Paul sudah di tangan. Dua pria terhormat dan berkeluarga ini telah terbukti punya sisi gelap dan tak terpuji dalam tindak-tanduknya. Tirainya masih baru, atau paling tidak mendekati baru, tapi juga bernoda Juga bukan karena alasan moral. 

Ada pertimbangan lain yang lebih nyata. Ketika James ditanyai soal perbincangannya dengan Paul di depan First National Bank di hari lenyapnya Paul, dia mengaku tak begitu kenal dengan Paul; bahwa dia tak tahu kalau Paul punya pacar. Bahkan Shuck mengaku sama sekali tak tahu-menahu bahwa orang itu namanya David Paul. 

Jadi, jelas mereka bohong. Pertanyaannya: kenapa? Doran ingat James punya mobil Ford minibus baru dan bahwa kata pegawainya dia ke luar kota dengan naik Ford itu pada malam hilangnya David Paul karena ada urusan bisnis. Apa betul perjalanan bisnis?

Tessie memberikan nama dan alamat gadis-gadis Philadelphia yang menemani James dan Shuck. Bersama Parker dia berangkat ke sana. Meskipun mula-mula takut dan tak bersedia banyak omong, akhirnya mau juga mereka buka mulut, dengan janji identitas mereka akan terjaga baik. Mereka mengaku berpesta pora selama dua hari dengan kedua pria itu, sejak 5 Oktober malam.

"Frank dan Ray royal sekali," kata salah seorang. "Setiap kafe dan bar kami datangi. Kami makan-minum sepuas-puasnya. Semua yang paling mahal: steak, sampanye, dan Iain-lain.” 

“Pecahan 20 dolaran mereka obral seperti uang receh saja. Kantung mereka tebal sekali, bisa untuk menyumbat mulut seekor kuda! Kami Bersama-sama sepanjang Selasa malam dan Rabu malam. Baru Kamis mereka meninggalkan kami dan pulang."

Kembali ke Camden, Doran mengundang James dan Shuck ke markas besar polisi. Di sana sudah menunggu pemilik toko kelontong di Almonessen dan toko besi di Medford. Kedua pemilik toko mengenali mereka dengan mantap. 

Bukti-bukti terakhir diambil Doran dari mobil James. Tirainya tidak ada dan lantainya bernoda darah. Di bawah jok depan ditemukan perban pembalut, yang setelah dicocokkan ternyata sama jenisnya dengan yang dipakai di Broadway Trust.

Waktu diberi tahu bahwa mereka ditangkap, James dan Shuck menyangkal mati-matian. Kata mereka, sore 5 Oktober mereka cuma pergi makan-minum. Tapi kedua orang itu tetap ditahan. Setelah empat hari ditahan di sel terpisah, mulailah masing-masing berceloteh saling menyalahkan.

Ringkasnya, beginilah yang terjadi: David Paul sama sekali tak punya maksud melarikan uang bank. Dia diculik, dirampok. Penculikan dilaksanakan tanpa kekerasan, tapi dengan tipuan. 

James dan Shuck memang sengaja muncul di depan First National Bank agar bisa bercakap-cakap dengan Paul. Mereka tahu bahwa pada hari Selasa Paul sarat uang. Ini mereka ketahui ketika suatu malam mereka minum-minum bersama Paul.

Nah, ketika bertemu Paul di depan bank, mobil James yang bertirai itu diparkir dekat-dekat. Paul mereka tawari, apakah mau ikut ke Philadelphia. Paul mau, asalkan mereka menjemput Tessie di seberang sungai. 

Begitu korban masuk, mobil segera dipacu ke arah yang berlawanan. David Paul protes. Untuk membungkamnya, mereka memukuli kepalanya dengan tangkai dongkrak.

Ketika sudah di luar kota, mereka menembak dan membunuhnya. Kegiatan selanjutnya tak berbeda dengan dugaan Doran dan Parker. Paul mereka rendam di dalam kali dekat Irick's Causeway, lalu lebih dari seminggu kemudian mereka kembali ke situ untuk menguburnya.

Setelah membeli kemeja, masing-masing pulang ke rumah, makan malam, dan dengan alasan ada urusan penting mereka berangkat ke luar kota. Padahal yang mereka lakukan adalah berfoya-foya dengan cewek-cewek Philadelphia itu. 

Dengan cara demikian mereka berhasil membelanjakan AS $ 5.000. Sisanya, AS $ 35.000 masih ada dan disembunyikan di pekuburan.

Kurang dari setahun kemudian, keduanya divonis bersalah dan dihukum mati di kursi listrik pada tanggal 30 Agustus 1921 di penjara negara bagian New Jersey, Trenton. (Charles Boswell & Lewis Thompson)

 

 

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553133919/pacarnya-istri-orang-lain" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348510000) } } [7]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3133914" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/ditemukan-2-koper-tak-bertuanjp-20220208070815.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(10) "Tom Tullet" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9391) ["email"]=> string(20) "intiplus-34@mail.com" } } ["description"]=> string(105) "Mayat korban mutilasi yang ditemukan dalam 2 koper terpisah. Pelakunya ternyata orang yang menyayanginya." ["section"]=> object(stdClass)#152 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/ditemukan-2-koper-tak-bertuanjp-20220208070815.jpg" ["title"]=> string(29) "Ditemukan 2 Koper Tak Bertuan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:28:20" ["content"]=> string(26474) "

Intisari Plus - Kadang-kadang detektif yang berpengalaman pun masih bisa tercengang pada metode pembunuhan. Bukan cuma pada cara para kriminal mencabut nyawa seseorang, juga bagaimana mereka berupaya menghilangkan identitas korban. 

Inilah yang dialami oleh Inspektur Kepala Roy Yorke dan pembantunya, Sersan George Atterwill, pada tanggal 5 April 1968 pagi-pagi benar. Mereka menemukan sepenggal badan atas seorang wanita. Penggalan tubuh itu terbungkus dalam sebuah koper berwarna hijau yang terkunci.

Koper itu kata Inspektur Kepala Sidney Seymour dari Kepolisian West Millands kepada petugas seksi pembunuhan, diambil di Stasiun Wolverhampton dari kereta api pukul 10.40 yang berangkat dari London. 

Dua orang pengemudi yang sedang bebas tugas melihat koper itu dalam sebuah gerbong kosong, lalu membawanya ke kantor yang mengurus barang-barang yang tertinggal. Koper itu dibuka di situ juga dengan harapan bisa diketahui siapa pemiliknya.

 

Tergeletak di bawah meja

Isinya ternyata mayat seorang wanita Asia yang diperkirakan usianya sekitar 25 - 30 tahun. Kepala, badan bagian bawah, dan tungkainya tidak ada. Tubuh itu berbaju kain wol berwarna merah jambu, pullover biru, pakaian model India biru dengan bordir putih - yang disebut kaniz - blus dalam dari katun dan BH berwarna putih buatan India. 

Ada empat gelang metal rancangan India berwarna putih pada lengan kirinya. Tampaknya koper buatan Inggris yang dipakai menaruh tubuh itu masih baru. Mereknya Spartan dan ukurannya dua kaki kali satu kaki sepuluh inci. Penggalan tubuh bagian atas dan pakaiannya itu terbungkus dalam sebuah kain hijau persegi empat.

Sersan Detektif Leslie Whitehouse dari Wolverhampton memotret potongan tubuh itu tanpa mengubah letaknya. Lalu dikirimkannya pada dr. Richard Marshall, patolog kantor pusat yang tergabung pada Wolverhampton Royal Hospital.

Detektif Yorke mula-mula mendatangi cabang jalan kereta api Bushbury, tempat kereta api dilangsir, dan memeriksa ruangan gerbong yang memuat koper tersebut. Selama seminggu itu para ahli mencari tanda-tanda yang mungkin ditinggalkan orang yang membuang koper. 

Sidik jari diambil dari setiap gerbong, setiap barang, walaupun kelihatannya tak berguna diambil untuk pemeriksaan.

Kereta api listrik ekspres itu meninggalkan Euston pada pukul 10.40, berhenti di Rugby, Coventry, Birmingham, dan pada pukul 00.52 tiba di Wolverhampton. Yorke ingin tahu siapa-siapa saja yang menumpang kereta api ini, di mana saja mulai naik, dan di mana mereka turun. 

Dia mengorganisasikan para detektif dari seksi pembunuhan supaya pergi ke Euston, lalu orang-orang dari kepolisian melacak stasiun-stasiun terdekat di antara dua kota tujuan kereta api tersebut.

Orang yang bertugas mengawasi penumpang bernama Terrance Proudman, tinggal di Wolverhampton. Menurutnya kepada para detektif, sudah banyak penumpang yang masuk ke dalam kereta api yang menuju Euston itu sebelum lampunya dinyalakan pada pukul 10.10. 

Kereta itu terdiri atas enam gerbong kelas dua di bagian depan, lalu sebuah gerbong restorasi, dan diikuti oleh empat gerbong kelas utama serta sebuah gerbong barang yang terletak paling belakang.

Pada kereta itu ada sensus, dan Proudman melaporkan bahwa 160 penumpang naik mulai dari Wuston. Di Conventry kereta mengangkut 129 penumpang dan dari Birmingham ke Wolverhampton hanya 12 orang.

Kondektur Thomas Rea dari Warley Staffordshire melaporkan pada detektif, dialah yang mengecek karcis-karcis di gerbong kelas dua di sebelah gerbong restorasi, di mana koper itu ditemukan. Ada 30 penumpang, tetapi dia tak memperhatikan adanya koper itu.

Kedua pengemudi yang menemukan koper itu mengambil tempat duduk di bagian gerbong yang bersebelahan dengan gerbong restorasi tersebut. Di situ terdapat gang di antara meja. 

Koper tergeletak di bawah meja kedua sebelah kiri, menghadap ke arah depan kereta api. Barang itu mereka serahkan kepada Leslie Stevens dari Wolverhampton, petugas yang mengurus barang-barang yang tertinggal, yang lalu membukanya dan memanggil polisi.

 

Korban wanita Asia

Bagaimana ceritanya sampai koper itu berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, itu sangat penting bagi penyelidikan, sehingga nantinya tidak ada satu pun mata rantai yang terlewatkan.

Mulanya kereta berangkat dari Liverpool menuju Euston dan di sana naik satu tim pembersih yang menyikat kursi dan mengelap semua meja. Tapi mereka tak melihat koper. Jadi, cukup beralasan untuk menyimpulkan bahwa koper itu dimuatkan ke dalam kereta di Stasiun Euston atau salah satu stasiun pemberhentian sebelum Wolverhampton.

Tim Yard yang pergi ke Euston berhasil menemukan satu-satunya orang yang bertugas memeriksa karcis pada malam kejadian di jalur kereta nomor enam, yaitu William Fauz. Menurutnya, lampu untuk penumpang pada waktu itu sudah menyala. 

Dia bisa memperhatikan satu-persatu pe- numpang. Dia ingat melihat seorang laki-laki kulit berwarna membawa sebuah koper. Laki-laki itu memasuki pagar peron sebelum kereta memasuki jalur enam. Tadinya kereta itu berada di jalur tujuh sebelum dilangsirkan.

Laki-laki itu minta izin masuk kereta tapi tak diperbolehkan. Ternyata dia kembali lagi setelah kereta api itu masuk ke jalur pemberangkatan. Koper itu tetap dibawanya dan ia menyusuri sepanjang jalur sampai tak kelihatan lagi. Kira-kira 15 menit sampai setengah jam kemudian dia keluar dari pagar peron. 

Mantelnya masih dipakai, tetapi koper tak ada lagi di tangannya. Faux ingat, laki-laki itu menyodorkan karcis untuk tujuan ke Wolverhampton. Dia melubangi karcis tersebut. Dipikirnya laki-laki itu tidak kembali lagi ke peron, karena kalau kembali ia tentu harus melihat karcis yang telah dilubangi tersebut.

Petugas pemeriksa karcis dan petugas sensus yang bertugas di pintu pagar Wolverhampton bersikeras tidak melihat seorang laki-laki kulit berwarna turun dari kereta yang dimaksud.

Ada dua orang penumpang lagi yang menyatakan kepada Yorke, koper itu dinaikkan ke kereta di Euston. Salah seorang bernama Frank Parkes dari Staffordshire, yang sedang mengadakan perjalanan ke Birmingham. Hari sudah malam waktu dia naik ke kereta dan dia mengambil tempat duduk tepat di meja, di mana koper itu ditemukan. 

Ketika lampu dinyalakan dia memang merasa ada sesuatu di bawah mejanya: sebuah koper. Sama sekali tidak ada yang menjenguk koper itu sepanjang perjalanan, ataupun duduk di kursi sebelahnya. Waktu dia turun dari kereta, koper itu tetap tak ada yang mengambil.

Seorang penumpang lainnya yang melakukan perjalanan bersama istrinya di bagian gerbong yang sama, sama-sama memperhatikan barang itu waktu akan turun. Merekalah orang terakhir yang turun. Rencananya mereka akan melapor, tapi akhirnya memutuskan untuk tak usah mencari perkara.

Sementara itu Inspektur Kepala mengadakan konferensi pers dan minta informasi tentang seorang wanita Asia muda yang menghilang. Mungkin ia meninggalkan rumahnya atau asramanya. Para sopir taksi, kendaraan sewaan, atau bus malam juga diminta laporannya bila menjumpai orang yang naik kereta malam di Euston atau tempat-tempat perhentian lainnya.

 

Biru, kuning, dan hijau berbintik-bintik

Kehebohan kedua menyusul di tengah hari pertama itu. Di bawah jembatan Sungai Roding di Jl. Romford, Ilford, ditemukan sebuah koper lain lagi. Koper kedua. 

Seorang wanita melihatnya tergeletak di genangan air, lalu melaporkannya kepada polisi. Agen polisi yang dipanggil untuk membuka koper itu lalu minta pertolongan lewat radionya setelah melihat kaki manusia di dalamnya.

Sersan Detektif Stephenson mengambil alih tugas dan segera menemukan isi yang lain. Potongan tubuh bagian bawah terbungkus dalam sebuah kain hijau dan hitam. Warna koper itu coklat kemerah-merahan. Inspektur Kepala Emlyn Howells, dari bagian pembunuhan setempat, menangani perkembangan baru ini dan berhubungan erat dengan Yorke di Wolverhampton.

Sersan Detektif Atterwill yang bekerja dengan Yorke di Wolverhampton pergi ke Ilford dan menyaksikan penggalan badan bagian bawah itu. Dia membawanya pada dr. Marshall yang memeriksanya hari itu juga.

Yorke mencari saksi dan beberapa orang kemudian mengaku melihat koper itu lebih awal daripada yang dilaporkan. Yang paling awal melihatnya adalah seorang penjaga lalu lintas. Katanya, dia melihat benda itu pukul 11.15, tanggal 5 April.

Dr. Marshall mengemukakan kepada Yorke bahwa penggalanpenggalan dari dua koper itu berasal dari satu badan yang sama. Penemuannya ini berdasarkan tes susunan kulit, juga organ-organ dalamnya semua saling mencocoki. 

Golongan darah yang ada pada tiga penggalan itu identik. Ahli patologi mengatakan bahwa tubuh itu ada kemungkinan dipotong-potong dengan benda tajam seperti pisau atau benda tajam lainnya. 

Terlepas dari pemenggalan bagian-bagian tubuh, tak nampak tanda-tanda kekejaman. Tetapi terdapat tiga ciri khas pemilik tubuh itu: sebuah tahi lalat di atas dada sebelah kiri, kuku yang mulai panjang di kelingking kanan, dan parut bekas luka pada salah satu kaki di atas pergelangan. 

Goresan luka itu bekas operasi dan sekurang-kurangnya lima bekas jahitan. Menurut dr. Marshall, luka itu bekas irisan ahli bedah untuk memberi infus intravenous atau transfusi. Biasanya hal itu dilakukan kalau nadi di lengan tidak bisa dimanfaatkan setelah perdarahan hebat.

Warna di sekitar kulit bagian tubuh yang terpotong mengherankan Yorke. Di satu sisi berwarna biru dan kuning, sedangkan di sisi lain warnanya hijau berbintik-bintik. Dia mengajukan masalah ini dalam rapat harian. 

Seorang agen polisi muda menyatakan sebuah toko dekat Kantor Polisi Ilford menjual semacam sabit. Warna sabit itu biru di satu sisi pisaunya dan kuning di sisi lain, yang kalau tercampur darah menghasilkan bintik-bintik hijau.

 

Sudah tidak perawan

Isi perut dan organ tubuh lainnya diperiksa di Forensic Science Laboratory di Birmingham. Di dalam perut terdapat Phenobarbitone dalam jumlah yang sama seperti yang dikandung 30,5 grain tablet (1 grain = 0,065 gram). 

Meskipun jumlah darah dalam tubuh tersebut hanya tinggal sedikit, tetapi mengingat reaksi Phenobarbitone itu lambat, dr. Marshall bisa memastikan kematian bukan disebabkan oleh tablet itu.

Wanita itu, menurutnya, sudah mati tak kurang dari 12 jam yang lalu, bahkan bisa lebih dari 25 jam yang lalu. Dia tidak sedang mengandung, tetapi jelas bukan perawan lagi. Wanita ini juga belum pernah melahirkan dan diperkirakan usianya antara 18-30 tahun.

Seorang dokter ahli kandungan, dr. H.J. Fischer, menguatkan pendapat itu. Katanya, si wanita tidak pernah mengandung lebih dari 28 minggu. Tetapi bukan berarti ia tak pernah mengandung. Banyak petunjuk bagus, tetapi Yorke berharap bisa menemukan kepala yang diperkirakan ada dalam koper yang lain lagi. 

Kalau kepala wanita itu ketemu, secara positif bisa ditentukan siapa korban itu. Dia meminjam sebuah helikopter milik RAF untuk terbang melintasi sepanjang jalan rel dari Euston sampai Wolverhampton. Siapa tahu koper yang diharapkan itu dilempar orang lewat jendela di tengah perjalanan. 

Beberapa manusia katak juga dipekerjakan oleh Yorke untuk menyelami Sungai Roding dan sungai-sungai lain serta danau di daerah Ilford dan juga mengarahkan satu tim detektif untuk menampung kereta api jurusan Euston - Wolverhampton dengan pesan mengawasi apa pun yang mungkin berisi kepala manusia. Tim lainnya lagi berjalan kaki melacaki jalan-jalan.

Gambar wajah seorang laki-laki kulit berwarna yang dibuat menurut gambaran saksi mata dipublikasikaan lewat berbagai surat kabar, lengkap dengan foto gelang dan pakaian wanita itu. 

Yorke banyak mendatangi masyarakat Asia dan dari situ ia tahu pakaian korban merupakan rajutan tangan. Poster dengan foto yang sama pun dibuat dalam tiga bahasa utama India, yaitu Urdu, Punjabi, dan Gujareti. Ribuan poster serupa diedarkan di kalangan masyarakat imigran di Inggris.

Dari daerah-daerah Birmingham dan Wolverhampton muncul sembilan orang India yang ingin memeriksa teka-teki baju rajutan yang sempat membingungkan para ahli itu. Menurut mereka, pola rajutan itu merupakan warisan dari ibu untuk putrinya di desa-desa terpencil di Punjab.

Wanita korban itu bercelana panjang dari katun yang menunjukkan bahwa ia menuruti kebiasaan kaum Sikh.

Salah satu koper itu berkualitas murahan, buatan suatu daerah di Delhi dan sama sekali bukan kualitas ekspor. BH yang dipakainya biasanya dikenakan oleh para wanita petani di daerah Punjab, sebelah utara Delhi.

Berdasarkan rambut bagian kelamin yang tampaknya dicukur tiga atau empat bulan sebelumnya dan bekas jahitan di kaki, para detektif mencari wanita India atau Pakistan yang pernah menjalani pemeriksaan ginekologi, di sekitar area imigran.

 

Tak pernah muncul lagi

Ketika penyelidikan sedang berlangsung, para detektif Yard menerima panggilan penting dari kepolisian di Wanstead. Kepala korban telah ditemukan.

Hari Selasa, 8 Mei, lebih dari setengah bulan setelah badan yang pertama ditemukan, seorang laki-laki bernama Howard Perry bersepeda pulang dari kerjanya dan teralang kepadatan lalu lintas waktu akan menyeberang. 

Tiba-tiba dia melihat sebuah ransel tergeletak sejauh 3 m darinya. Ransel itu lebih bagus dari miliknya sendiri, katanya dalam hati. Dia menyeberang dan bermaksud memeriksa isi ransel itu. Sebuah buntalan yang dibungkus kain putih terjatuh ke tanah. 

Waktu diperhatikan dengan lebih saksama, ternyata benda itu kepala manusia. Langsung diteleponnya polisi. Lagi-lagi Sersan Detektif Stephenson yang menanganinya. Langsung ransel beserta isinya dibawa ke Ilford untuk diperiksa oleh dr. Marshall. Kepala itu dibungkus robekan kain handuk dan ditempatkan dalam bungkus Koran Daily Telegraph, 11 Maret 1968.

Dokter menemukan dua retakan besar pada tulang tengkorak. Sebuah pada pelipis kiri dan sebuah lagi pada bagian atas kepala. Kemungkinan keduanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul. Mungkin sebuah palu.

Kesabaran dan ketelitian detektif akhirnya membuahkan hasil juga. Seorang wanita dengan usia dan kebangsaan yang diharapkan polisi, pernah masuk Barking Hospital, Upney Lane, di Barking, pada tanggal 20 November 1967. Namanya Sarabjit Kaur. 

Ia tinggal di Uphall Road, Ilford. Dulu yang memeriksanya dr. Joan Ellen Wates, seorang ginekolog. Padanya Sarabjit mengaku melakukan hubungan seksual pada bulan September 1967. Dokter yakin pasiennya sudah pernah melakukannya sebelumnya dan saat itu jelas sedang hamil 20 minggu. Perjanjian untuk pemeriksaan kontinu sebelum persalinan dibuat, tetapi pasien ini sendiri tak pernah muncul-muncul lagi.

 

Ingin menikah tapi tak disetujui

Seluruh badan itu kini sudah ada di tangan Detektif Kepala Yorke dan dikirim ke bagian anatomi Guy's Hospital Medical School. Yang menanganinya, Prof. Roger Warwick, menyimpulkan umur korban berkisar antara 16 -18 tahun. Foto wajah wanita itu dibuat dan ditunjukkan pada dokternya dulu, dr. Watts. Tapi dokter wanita itu tak bisa mengenalinya lagi.

Dr. Watts memiliki catatan dokter sebelumnya yang mengirim Sarabjit padanya, dr. Gabriel Merriman. Dr. Merriman mengenali Sarabjit. la pula yang memberi diagnosis kehamilan Sarabjit. Sarabjit meminta obat untuk mengugurkan kandungannya. Lalu dokter ini kehilangan jejak Sarabjit karena dia harus meninggalkan Ilford.

Tinggi gadis itu kira-kira 150 cm dan bobotnya sekitar 40 kg, sesuai dengan data catatan rumah sakit. Daerah di mana dia tinggal tidak jauh dari tempat badan bagian bawah dan kepalanya ditemukan. Penyelidikan membuktikan bahwa gadis yang sama itu menghilang dari kediamannya sudah berminggu-minggu.

Suatu keterangan dari nyonya pemilik rumah di Uphall Road menjadikan segalanya kongkret. Sarabjit menyewa tempat itu selama beberapa minggu pada bulan November 1967. Induk semangnya tahu ia memeriksakan diri pada seorang dokter di Ilford Lane. 

Gadis itu pernah mengatakan, keluarganya telah kembali ke India, tetapi kemudian dia mengaku minggat karena bersikeras akan kawin dengan seorang pemuda di India. Ayahnya melarang dan memukulnya, bahkan mencoba mencekiknya.

Pemilik rumah itu tidak tahu di mana keluarga Sarabjit tinggal, tetapi gadis itu pulang ke rumahnya dan kembali lagi bersama ayah-ibunya untuk mengepak barang-barang mereka. Pemilik rumah bertemu dengan ayah Sarabjit pada hari Paskah. 

Menurut ayahnya, dia mendatangkan kekasih anaknya lalu menikahkan mereka dan kini tinggal di Southhall. Sebelum ayah-anak itu berpisah, dia mengaku merasa berbahagia karena Sarabjit kini tak tinggal bersamanya lagi. Soalnya, mereka tidak cocok.

Kain hijau pembungkus badan korban dikenali oleh pemilik rumah sebagai milik Sarabjit, demikian pula blus pendek dan gelang.

 

Mengancam sang ayah

Setelah menyelidiki lebih lanjut, diketahui ayah Sarabjit berusia 39 tahun, seorang Sikh dari Punjab dan namanya Suchnam Singh Sandhu. Dia seorang opas mesin yang dahulunya adalah kepala sekolah. Keluarga itu tinggal di Sibley Grove, Bow, lalu ke Fanshawe Avenue, Barking.

Pada tanggal 11 Mei Inspektur Detektif Jim Smith dan Sersan Detektif David Stephenson datang menemui Suchnam Singh. Mula-mula laki-laki ini mengaku hanya mempunyai dua anak perempuan. Setelah didesak barulah mengakui anak perempuannya yang lain adalah Sarabjit.

Sarabjit adalah yang tertua. Dia meninggalkan rumah tanpa sepengetahuannya. Ketika polisi minta foto Sarabjit, pria itu menjawab tidak punya. Detektif menemukan dua buah foto di kamar atas yang wajahnya amat mirip dengan wajah mayat yang ditemukan. Ayah Sarabjit diminta ikut ke Kantor Polisi Ilford.

Di situ Suchnam Singh diminta mengenali mayat. Benarkah itu mayat Sarabjit? Tetapi rupanya ia tak mau diajak bekerja sama. Katanya, Sarabjit meninggalkan rumah pada bulan Februari 1967 dan dia tidak tahu di mana anak itu sekarang. 

Dia menyangkal mengetahui Sarabajit hamil. Dia juga mengaku tidak mengenali pakaian dan koper yang ditemukan. Tetapi dia tak membantah pernah bilang kepada bekas induk semang anaknya bahwa anaknya sudah kawin dan tinggal di Southhall.

Baru pada pemeriksaan keesokan harinya dia mau mengatakan mungkin anaknya sudah mati. Tapi tak lebih dari itu. Hari berikutnya ia minta bertemu dengan Yorke sendirian dan membuat pengakuan sepenuhnya.

Bahasa Inggris Suchnam amat baik. Suaranya begitu tenang, hingga membuat seluruh ceritanya mendirikan bulu kuduk pendengarnya.

Tanggal 4 April dia tak bekerja. Istrinya pergi. Anak-anak lainnya ke sekolah. Sarabjit sudah tinggal di rumah selama beberapa hari. Dia dan anak gadisnya itu meributkan perkawinan yang diinginkan Sarabjit dengan seorang pria beristri yang tinggal di India. 

Sarabjit ingin menyuruh kekasihnya itu membunuh atau menceraikan istrinya agar mereka berdua bisa menikah. Sarabjit berkata kepadanya bahwa ia sudah minum racun dan menulis surat yang menyatakan akan bunuh diri, karena ayahnya tidak menyetujui laki-laki pilihannya.

 

Anak kesayangan

Kemudian pagi itu juga Sarabjit mengatakan akan menulis surat lagi yang menyalahkan ayahnya perihal bunuh dirinya. Ayahnya akan dihukum gantung. Laki-laki itu jadi naik darah dan hilang kesabarannya. Dia memungut palu yang biasanya digunakan untuk memecah arang dan memukul kepala Sarabjit dua kali. Gadis itu pun jaruh ke lantai.

Suchnam segera mengganti baju piyamanya dan berjalan ke Ilford untuk membeli kapak di toko yang letaknya dekat dengan kantor polisi. Tak lebih dari setengah jam setelah memukul anaknya, dia pulang ke rumah, berganti piyama kembali, dan mulai memotong-motong tubuh anaknya. Sarabjit mencoba mencengkeram kapak itu ketika lehernya akan dipotong, sehingga jempol tangannya terluka.

Suchnam membungkus badan yang sudah jadi mayat itu dengan tas plastik besar dan mengeringkan darahnya di kamar mandi. Piyamanya yang berlumuran darah itu serta kapaknya, ditaruh di tempat pembuangan sampah. Palunya dibuang di Barking.

Kemudian dia mengepak anggota badan yang sudah terpisah-pisah itu ke dalam koper dan ransel, kemudian mengangkutnya ke Euston. Di sebuah papan nama dia membaca nama Kota Wolverhampton Dibelinya selembar tiket, diletakkannya koper itu di dalam kereta api, lalu ia pulang ke rumahnya. 

Dia membawa koper yang berikut dengan naik bus ke Ilford. Dia bermaksud melapor kepada polisi. Tapi kemudian niatnya berubah. Kantor polisi cuma dilewatinya dan koper itu dilemparkan dari jembatan ke dalam sungai. Hari berikutnya dia mengangkut ransel yang berisi kepala ke dalam mobilnya dan meninggalkannya di dekat beberapa bus di Wanstead Flats.

Yorke, yang kini sudah pensiun, tak pernah bisa melupakan cerita paling seram yang pernah didengarnya. Suara ayah gadis itu begitu tenang, terus terang, dan hampir tak bisa dipercaya.

Yang menimbulkan iba di hatinya adalah kenyataan bahwa Sarabjit adalah anak kesayangan ayahnya. Ayahnya ingin anaknya ini menjadi dokter. Tetapi Sarabjit begitu membuat keluarganya malu. Gadis itu hamil.

Menurut polisi, Sarabjit sudah diaborsi oleh dokter Asia yang mungkin sudah diatur oleh keluarganya. Ini mengingat luka bekas jahitan pada pahanya.

Pengakuan seseorang tidak atau belum membuat para detektif puas. Mereka mengadakan pengecekan lagi. Mereka mendapatkan nama Suchnam Singh bekerja pada sebuah perusahaan kimia. Dengan demikian dia dapat dengan mudah mendapatkan pil Phenobarbitone

Tas plastik yang dipakainya juga tersedia di tempamya bekerja. Bekas-bekas darah terlihat di pipa saluran berbentuk U pada kamar mandi rumah Suchnam Singh. Sidik jari Sarabjit dapat ditemukan pada kartu absen tempat dia bekerja.

Suchnam diadili di Old Bailey. Dia mengatakan dirinya tidak bersalah. Namun bukti begitu banyak dan hanya dalam tempo 90 menit juri memutuskan dia bersalah. Suchnam Singh dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. (Tom Tullet)

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553133914/ditemukan-2-koper-tak-bertuan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348500000) } } [8]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3133699" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/cinta-segi-tiga-di-gerbong-keret-20220208043416.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(20) "Freeman Wills Crofts" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9384) ["email"]=> string(20) "intiplus-27@mail.com" } } ["description"]=> string(137) "Pembunuhan tragis dalam kereta api ekspres yang sempat tak terselesaikan, akhirnya terungkap atas pengakuan dari pelakunya di ujung maut." ["section"]=> object(stdClass)#156 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/cinta-segi-tiga-di-gerbong-keret-20220208043416.jpg" ["title"]=> string(33) "Cinta Segi Tiga di Gerbong Kereta" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:28:07" ["content"]=> string(42481) "

Intisari Plus - Kamis di awal November, pukul 22.30, sebuah kereta api berangkat dari Euston ke Edinburgh, Glasgow, ke daerah utara. Lokomotifnya menarik delapan buah gerbong tidur (gerbong yang menyediakan tempat tidur). dua gerbong kelas satu, dua gerbong kelas tiga, dan dua gerbong barang. Separuh dari gerbong-gerbong ini menuju Glasgow, sedangkan sisanya ke Edinburgh. 

Gerbong barang bertujuan ke Glasgow terletak paling belakang. Di situlah pengawal Jones bertugas. Di depannya gerbong kelas tiga, lalu disusul sebuah gerbong kelas satu; keduanya bertujuan Glasgow. 

Letak gerbong kelas satu diapit oleh gerbong tidur di mukanya dan gerbong kelas tiga di belakang. Ada WC di kedua ujungnya. Di dalam gerbong ini ada enam kompartemen. 

Dua kompartemen paling belakang untuk penumpang yang merokok. Tiga berikutnya untuk penumpang tidak merokok, sedangkan kompartemen terdepan khusus untuk penum pang wanita.   

Waktu KA ini berangkat dari Euston, malam begitu gelap. Pukul  06.00 keesokan harinya, hujan turun amat lebat. 

KA berjalan sesuai jadwal dengan berhenti di Rugby, Crewe, dan Preston. Pada saat meninggalkan Preston, pengawal Jones berjalan ke KA bagian depan karena ada yang ingin dibicarakannya dengan kondektur bagian Edinburgh. 

la masuk melewati lorong gerbong kelas tiga. Di ujung lorong ini, di sebelah ruang penghubung dengan gerbong kelas satu di depannya, ia melihat sepasang suami-istri dengan bayi sedang menangis. Si istri sibuk menenangkan bayinya. Ketika disapa, mereka berkata bahwa anak mereka sakit. Supaya tidak mengganggu penumpang lain, mereka keluar dari kompartemen. 

Setelah menyatakan sedikit simpati, Jones membuka kunci kedua pintu ruang penghubung untuk masuk ke gerbong kelas satu. Lorong di kelas satu kosong. 

Waktu melewatinya, Jones melihat semua tirai kompartemen telah diturunkan, kecuali di kompartemen khusus wanita. Di dalam kompartemen ini dilihatnya ada tiga wanita, dua di antaranya sedang membaca. Lampu mereka masih sepenuhnya dinyalakan. 

Kedua pintu di ruang penghubung berikutnya juga terkunci. Ia membukanya, lewat, dan menutupnya kembali. Di ruang pelayan, dalam gerbong tidur, dua pelayan sedang bercakap-cakap. 

Setelah urusan dengan kondektur selesai, Jones berjalan kembali ke gerbongnya. Dilihatnya semua masih seperti pada waktu ia lewat tadi. Pintu-pintu di kedua ujung gerbong kelas satu pun masih tetap terkunci. 

Sejam sebelum sampai di Carlisle, saat melewati padang ilalang Dataran Tinggi Westmorland, jalan KA tiba-tiba menjadi lambat dan akhirnya berhenti. Jones yang sedang meneliti nota-nota pengiriman paket di ujung gerbong barang, mengira itu cuma pemeriksaan sinyal. 

Tapi mengapa dilakukan di daerah padang semacam itu? pikir Jones. Karena curiga, ia meninggalkan pekerjaannya, menyingkap penutup jendela di sebelah kiri untuk melihat ke luar. 

 

Lubang peluru di kepala

Ternyata KA sedang berada di sebuah terowongan bukit. Sampai jarak tertentu tepian rel tampak samar-samar diterangi lampu di lorong gerbong kelas satu dan tiga. Saat itulah tampak ada yang ganjil di gerbong kelas satu. 

Di jendela paling belakang tampak orangorang panik. Jones segera berlari melewati gerbong kelas tiga menuju gerbong itu. Di sana ia dihadapkan pada fakta-fakta aneh dan membingungkan.

Lorong masih tetap kosong, tetapi tirai tengah dari kompartemen paling belakang telah diangkat. Lewat kaca, Jones melihat di dalamnya ada empat orang pria. Dua di antaranya sedang membungkuk ke luar jendela, sedangkan yang lainnya sedang berusaha membuka pintu yang menuju lorong. 

Jones memegang handelnya untuk menolong membukakan pintu, tetapi kedua orang itu malah menunjuk-nunjuk ke kompartemen berikutnya.

Tirai tengah kompartemen ini pun telah diangkat, tetapi pintunya terkunci. Waktu ia mengintip ke dalam, tampak sebuah tragedi di depan matanya. Seorang wanita dengan wajah ketakutan berusaha membuka pintu. 

Sementara itu ia terus-menerus menengok ke belakang, seolah-olah ada penampakan yang mengerikan di sana. Jones melompat untuk membuka pintu sambil mengikuti pandangan wanita itu. Ia terkesiap.

Di sudut kanan yang menghadap ke lokomotif, teronggok tubuh seorang wanita, sekitar 30 tahun, terbaring lemas tak bertenaga. Kepalanya terkulai ke belakang, ke atas bantal, dan tangannya tergantung tak berdaya di pinggiran tempat duduknya. 

Detail-detail ini tak begitu diperhatikannya, karena mata Jones segera tertuju pada keningnya. Ada sebuah lubang kecil di atas alis kirinya. Dari situ mengalir darah, membasahi mantelnya dan menggenangi tempat duduk. Jelaslah, ia sudah mati. Di hadapannya, seorang pria juga sudah tak bernyawa.

Tampaknya semula laki-laki ini duduk di sudut, kemudian terjerembap ke depan, sehingga dadanya tersandar di lutut si wanita dan kepalanya terjuntai ke bawah. Penampilannya tidak karuan, mantel jasnya abuabu, rambutnya hitam. Dari bawah kepalanya menetes darah ke lantai.

Jones menarik pintu sekuat tenaga, tetapi pintu itu tidak bergeming sedikit pun dari posisinya yang sedikit terbuka sekitar 2,5 cm. Sambil terus berusaha menenangkan wanita yang sudah mendekati histeris itu, Jones berbalik ke kompartemen terbelakang, dengan maksud berusaha masuk lewat situ. Ternyata pintunya juga tak mau dibuka.  

Pada saat itu tampak kedua pria lain telah berhasil membuka pintu satunya dan keluar dari gerbong, kemudian turun ke rel. Khawatir akan keselamatan mereka, kalau-kalau ada KA lain dari arah berlawanan, ia berlari menuju gerbong tidur, karena ia yakin di sana pasti ada pintu yang dapat dibuka. 

Dari sana ia meloncat turun pula untuk memperingatkan mereka. Sambil turun disuruhnya seorang pelayan mengikutinya, sedangkan pelayan lain harus tetap tinggal di tempatnya untuk mencegah orangorang menuju ke tempat kejadian. Berempat dengan kedua pria tadi, ia dan pelayan membuka pintu luar kompartemen nahas itu.  

Mula-mula mereka berusaha mengeluarkan wanita yang masih selamat. Setelah menyuruh pelayan untuk mencari dokter, Jones memanjat ke atas. Si wanita dilarangnya untuk memperhatikan apa yang sedang dikerjakannya. Tubuh si pria kembali didudukkannya di tempat duduk di sudut.

Wajah pria mati itu tercukur bersih, tetapi bentuk mukanya agak kasar. Hidungnya besar, demikian pula rahangnya. Di lehernya, tepat di bawah telinga kanan, terdapat sebuah lubang peluru. 

Diangkatnya pula kaki pria itu, juga kaki wanitanya, ke tempat duduk. Wajah si wanita ditutupinya dengan saputangan, kemudian karpet digulungnya, sehingga genangan darah tidak nampak. 

Saat itu seorang dokter dari gerbong kelas tiga sudah tiba. Hanya dengan pemeriksaan singkat dokter menyatakan kedua orang itu telah meninggal. Kemudian pintu luar kompartemen itu dikunci, tirai-tirainya diturunkan. Para penumpang yang sudah turun dari KA dipersilakan kembali ke tempat duduknya masingmasing.

Sementara itu petugas pemadam kebakaran sudah datang untuk melihat apa yang terjadi. Selain itu ia juga melaporkan bahwa masinis tak dapat melepaskan remnya kembali. Setelah diselidiki, ternyata disk di ujung gerbong kelas satu telah berputar. Artinya, ada orang yang telah menarik rem darurat di kompartemen, sehingga KA berhenti. 

Rem di kompartemen paling belakang nampaknya juga ditarik orang. Itu berarti salah seorang dari keempat pria itulah yang menariknya. Disk dikembalikan ke posisi normalnya, penumpang duduk, KA melaju lagi, setelah terhenti kira-kira 15 menit.  

Sebelum sampai di Carlisle, Jones mencatat nama dan alamat semua penumpang di gerbong kelas satu dan tiga berikut nomor karcisnya. Semua gerbong tak terkecuali gerbong barang diperiksa dengan teliti untuk melihat apakah ada yang bersembunyi di bawah tempat duduk, WC, di balik bagasi, atau di sekitar tempat-tempat itu. 

Begitu sampai di Carlisle, perkara pembunuhan ini segera dilimpahkan kepada polisi. Gerbong kelas satu segera disegel dan para penumpangnya ditanyai. Teori sementara, si pembunuh telah turun pada saat KA itu berhenti, lalu melarikan diri ke pedesaan, mencapai jalan raya, dan menghilang.

Keesokan harinya, sekelompok detektif memeriksa kawasan tempat KA berhenti. Tetapi tak ada jejak ditemukan. Begitu pun tanda-tanda lain. Stasiun-stasiun di sekitarnya pun tak luput dari penyelidikan. Sejauh yang dapat dicapai dengan berjalan kaki, hanya ada dua buah stasiun. 

Di kedua stasiun tersebut tak pernah terlihat orang asing. Apalagi sesudah lewatnya KA ekspres ini, tak ada satu pun kereta api melewati kedua stasiun itu. Seandainya si pembunuh turun dari KA, tak mungkin ia berhasil melarikan diri lewat jalur KA.

 

Kesaksian Penumpang

Korban naas itu ternyata pasangan Tuan dan Ny. Horation Llewelyn dari Gordon Villa, Broad Road, Halifax. Llewelyn adalah pegawai sebuah pabrik besar pemurnian besi. Usianya 35 tahun, lingkungan sosialnya baik dan ia kaya. Ia dianggap cukup baik hati, meskipun kadang-kadang terlalu bernafsu. 

Ia tidak mempunyai musuh. Perusahaannya dapat membuktikan bahwa ia mempunyai perjanjian bisnis di London pada hari Kamis dan di Carlisle hari Jumat, sehingga perjalanannya itu amat cocok dengan rencananya. 

Istrinya adalah wanita cantik berusia sekitar 27 tahun, anak seorang pedagang di daerah dekat perusahaan Llewelyn, Yorkshire. Pernikahan mereka baru berumur sebulan lebih sedikit, bahkan seminggu sebelumnya mereka baru saja pulang dari berbulan madu. Tak dapat dipastikan apakah Ny. Llewelyn mempunyai alasan khusus, sehingga harus menemani suaminya. 

Peluru yang digunakan membunuh suami-istri ini berasal dari senjata yang sama, revolver berlaras kecil dengan desain modern. Tetapi karena revolver semacam itu ada ribuan, penemuan itu tak banyak berarti. 

Blair-Booth, gadis yang duduk dalam satu kompartemen, menyatakan naik dari Euston dan duduk di dekat lorong. Beberapa menit sebelum KA berangkat suami-istri tersebut datang, lalu duduk saling berhadapan di sudut sebelah luar. 

Selama perjalanan tak ada penumpang lain masuk. Satu-satunya kunjungan adalah datangnya kondektur begitu KA meninggalkan Euston. Pintu ke lorong pun tidak dibuka. 

Llewelyn sangat memperhatikan istrinya. Mereka berdua masih bercakap-cakap ketika KA berangkat. Setelah berbasa-basi sebentar dengan Blair-Booth, Llewelyn menarik tirai, menutupi lampu dengan pelindungnya, sehingga tidak menyilaukan. 

Beberapa kali Booth terjaga dari tidurnya, tetapi setiap kali ia tidak melihat sesuatu yang aneh di dalam kompartemen sampai ia terjaga oleh suara ledakan keras dan dekat. 

Ia terlompat berdiri, sementara itu dari dekat lututnya ia melihat kilatan api, lalu terdengar ledakan kedua. Dengan gemetar ditariknya pelindung lampu dan terlihat ada asap mengepul dari arah pintu lorong yang telah terbuka kira-kira 2,5 cm. 

Bau mesin tercium. Begitu berbalik, dilihatnya Llewelyn tersungkur ke lutut istrinya. Kemudian terlihat olehnya lubang di kening Ny. Llewelyn. Karena ketakutan ia segera mengangkat tirai pintu lorong yang menutupi pegangan pintu. Ia berusaha ke luar untuk mencari bantuan, tetapi pintu tak dapat digerakkan. Ia semakin panik, sadar bahwa ia terkunci dalam ruangan yang berisi dua mayat. 

Dalam kengeriannya, ditariknya rem darurat, tetapi KA tampaknya tidak menunjukkan gejala berhenti, sehingga ia meneruskan usaha membuka pintu. Baru setelah berjam-jam berlalu, Jones muncul dan membebaskan dia. Waktu ditanya, Blair mengatakan tidak melihat seorang pun di lorong pada saat ia mengangkat tirai. 

Sementara keempat penumpang pria di kompartemen terakhir, ternyata satu rombongan yang menuju Glasgow dari London. Setelah berangkat, mereka main kartu. Kirakira tengah malam tirai mereka turunkan, menurunkan pelindung lampu dan berusaha tidur. 

Seorang dari mereka ingin mencuci tangan di WC setelah makan buah-buahan. Orang ini tidak melihat apa pun di lorong. 

Tidak lama setelah itu mereka mendengar suara tembakan dua kali. Mula-mula mereka mengira itu sinyal lokomotif, tetapi begitu sadar kompartemen mereka terlalu jauh dari lokomotif untuk bisa mendengar suara semacam itu, mereka segera mengangkat pelindung lampu, mengangkat tirai pintu lorong, dan berusaha ke luar, tetapi tidak dapat. 

Di lorong tak tampak seorang pun. Karena yakin ada sesuatu yang serius telah terjadi, mereka menarik rem darurat sambil menurunkan jendela luar, lalu melambai-lambaikan tangan untuk menarik perhatian orang yang kebetulan melihat. 

Remnya tertarik dengan mudah, sepertinya kendur. Jadi tarikan pertama dilakukan oleh Blair, rem telah terpasang, sehingga tarikan kedua hanyalah mentransfer penyetopan. 

Ketika KA berhenti, kedua kompartemen di depan kompartemen Blair kosong, tetapi di kompartemen kedua ada dua laki-laki, di kompartemen pertama tiga wanita. Mereka semua juga mendengar suara tembakan, tetapi hanya sayup-sayup, karena tertelan suara KA. Tapi karena tirai di kompartemen kedua tidak dibuka sama sekali, kedua lelaki itu tak dapat memberikan keterangan apa pun. 

Ketiga wanita di kompartemen pertama, seorang ibu dengan kedua putrinya. Mereka naik dari Preston. Karena akan turun di Carlisle, mereka tidak ingin tidur. Jadi tirai tetap dibiarkan terbuka dan lampu tidak ditutupi pelindung. 

Dua di antara mereka membaca, sedangkan yang satu duduk di sebelah lorong. Wanita kedua ini sangat yakin tak seorang pun melewati lorong selama mereka di KA, kecuali Jones yang tampak terburu-buru membuat mereka ingin tahu, sehingga mereka ke luar ke lorong dan tetap tinggal di lorong sampai KA berangkat lagi. Selama itu mereka bertiga tidak melihat orang lain melewati lorong. 

Ketika pintu-pintu lorong yang macet diteliti, ternyata pintu-pintu itu diganjal sepotong kayu kecil, yang tampak sekali telah dipersiapkan khusus untuk itu. Waktu tiket-tiket yang telah terjual dengan yang dipegang oleh penumpang dibandingkan ternyata ada ketidakcocokan. 

Ada satu tiket, yang dibeli di Euston dengan tujuan Glasgow, belum terkumpulkan kembali oleh kondektur. Kemungkinannya, penumpang bersangkutan sama sekali tidak jadi pergi, atau ia turun di stasiun lain di perjalanan. 

Kondektur yang telah mengecek tiket begitu KA meninggalkan London mengatakan, ada dua orang pria yang tadinya menempati kompar temen di depan kompartemen nahas itu. 

Salah seorang memegang tiket ke Glasgow, sedangkan yang lain untuk sebuah stasiun kecil, tetapi ia tak ingat stasiun apa dan ia pun takdapat menggambarkan kedua orang itu, seandainya memang ada. 

Ternyata ia tak salah. Polisi berhasil melacak salah seorang, yaitu Dr. Hill, yang turun di Crewe. Ia bercerita, waktu naik KA ternyata sudah ada seorang pria di kompartemennya. Usianya kira-kira 35 tahun, berambut pirang, bermata biru, berkumis lebat, dan pakaiannya gelap serta berpotongan baik. Orang itu tidak membawa bagasi, hanya mantel jas hujan dan buku novel. 

Mereka bercakap-cakap dan ketika orang itu tahu. Dr. Hill tinggal di Crewe, ia berkata akan turun juga di situ dan bertanya hotel mana yang baik. Kemudian orang itu menjelaskan bahwa sebenarnya ia berniat ke Glasgow dan sudah membeli tiket yang bertujuan ke sana, tetapi ia ingin menengok seorang teman di Chester keesokan harinya. 

Ia bertanya kepada dokter itu apakah tiket itu masih berlaku keesokan harinya, ataukah ia akan memperoleh uang kembalian bila ternyata tiket itu sudah tidak berlaku lagi. 

Ketika sampai di Crewe kedua orang ini turun. Si dokter menawarkan diri untuk mengantarkan orang itu ke "Crewe Arms", tetapi ia me nolak sambil mengucapkan terima kasih, karena ia masih harus mengurus bagasinya dahulu. Dr. Hill melihatnya berjalan menuju gerbong barang. 

Petugas di Crewe tidak ada yang ingat telah melihat orang semacam itu di gerbong barang atau yang menanyakan bagasi. Karena ini semua baru ditanyakan setelah beberapa hari lewat, orang tak dapat yakin. Hotel-hotel di Crewe maupun Chester pun menyatakan tidak pernah menerima tamu dengan tampang seperti orang asing itu.

 

Misteri tak terungkap

Begitulah fakta-fakta yang dapat digali. Mula-mula  orang yakin misteri pembunuhan di KA ini akan segera terungkap, tetapi hari demi hari berlalu tanpa adanya informasi baru sampai perhatian publik pun memudar. 

Sempat pula terjadi kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa ini pastilah kasus bunuh diri. Tuan Llewelyn menembak istrinya, lalu dirinya atau istrinya yang melakukan penembakan. Tetapi selain revolvernya tak ada, di kedua tubuh tak ditemukan tanda hangus oleh mesin. 

Ada lagi yang berpendapat Blair-lah pembunuhnya. Namun tak adanya motif, wataknya, pernyataan-pernyataannya yang benar, dan tidak ditemukannya revolver menggugurkan dugaan itu. Dapat saja ia membuangnya lewat jendela, tetapi posisi kedua tubuh tidak memungkinkannya melakukan hal itu. Apalagi pakaiannya sama sekali tak bernoda darah. 

Yang jelas fakta utama yang menolak dugaan ini adalah kenyataan bahwa pintu ke lorong diganjal dari luar. Tentunya tak mungkin Nn. Blair mengganjal pintunya, lalu masuk ke kompartemennya lagi. 

Kenyataan bahwa pintu itu terbuka 2,5 cm, lebih menguatkan lagi bahwa sela itu dimaksudkan untuk menyisipkan laras revolver. Selain itu, seandainya tembakan dilakukan dari posisi duduk Blair, lubang yang terjadi di tubuh-tubuh korban akan berbeda letaknya. 

Setiap orang yang diketahui berada di sekitar tempat kejadian telah dipanggil dan dimintai keterangan, tetapi satu per satu harus dibebaskan dari kecurigaan. Akhirnya, seolah-olah hampir terbukti bahwa mustahil telah terjadi pembunuhan. 

Misteri yang begitu terselubung rapat itu tercermin dari pembicaraan antara kepala Scotland Yard dan inspektur yang menangani kasus ini. 

"Benar-benar soal yang sulit," ujar kepala dinas kepolisian Scotland Yard, "Tetapi mari kita ulangi lagi. Pasti ada kekeliruan." 

"Pak! Saya sudah mengulangi perhitungan sampai saya bingung sendiri dan selalu tiba pada kesimpulan yang sama." 

"Kita coba sekali lagi. Pembunuhan itu pastilah dilakukan oleh orang yang masih berada di KA pada saat penyelidikan dilakukan, atau sudah meninggalkan KA sebelumnya. Kedua kemungkinan ini akan kita tinjau kembali satu per satu. Sekarang tentang penyelidikannya. Apakah cukup efisien?" 

"Sangat efisien, Pak. Saya sendiri yang melaksanakannya dibantu Jones dan para pelayan di KA. Tak ada seorang pun terlewatkan." 

"Bagus. Sekarang kemungkinan pertama. Di gerbong ada enam kompartemen. Bagaimana dengan keempat pria dan Nn. Blair, apakah Anda benar-benar yakin bahwa mereka tidak bersalah?" 

"Ya, Pak. Alasannya, ada pengganjalan pintu." 

"Dua kompartemen berikutnya kosong, kemudian ada dua pria di kompartemen beri kutnya. Bagaimana dengan mereka?" 

"Anda sendiri tahu, siapa mereka. Sir Gordon M'Clean, insinyur terkenal, dan Tuan Silas Hemphill, profesor di Universitas Aberdeen. Keduanya tak mungkin." 

"Namun Anda 'kan tahu, tak ada yang tidak mungkin dalam kasus-kasus seperti ini." 

"Memang, Pak, karena itu saya sudah menyelidiki mereka dengan teliti dan hasilnya hanyalah memperkuat pendapat saya tadi." "Sekarang bagaimana dengan ketiga wanita itu?" 

"Sama saja. Watak ketiganya tidak memungkinkan tumbuhnya kecurigaan. Ketiganya bukan tipe pembohong. Tak ada dasar sedikit pun untuk tumbuhnya kecurigaan." 

"Jadi semua orang yang ada di KA waktu berhenti tidak dapat dicurigai?" 

"Ya. Penyelidikan kami betul-betul positif, tak mungkin ada kekeliruan." 

"Jadi pembunuhnya sudah meninggalkan gerbong?" 

"Mestinya. Tapi justru di sinilah masalahnya." 

Pak kepala berhenti sebentar untuk mengambil cerutu dan menyalakannya. Lalu ia meneruskan,"Yang jelas si pembunuh pasti tidak keluar dengan menembus atap, lantai, atau bagian KA lain. 

Jadi mestinya ia keluar lewat jalan biasa, yaitu pintu. Nah, ada dua pintu di ujung-ujung gerbong dan enam buah di tiap sisi gerbong. Maka ia pasti keluar dari salah satu dari empat belas pintu ini. Setuju, Inspektur?"

 "Tentu, Pak." "Baik. Misalkan lewat pintupintu di ujung. Apakah pintu-pintu di ruang penghubung terkunci?" 

"Ya, di kedua ujung gerbong. Tetapi kunci gerbong biasa dapat dipakai untuk membukanya dan si pembunuh mungkin memilikinya." 

"Baik. Sekarang apa saja alasan kita sehingga tiba pada kesimpulan ia tak mungkin lari ke gerbong tidur?" 

"Sebelum KA berhenti, Bintley, salah seorang dari ketiga wanita itu sedang melihat ke lorong dan kedua pelayan gerbong tidur ada di dekat ujung gerbong mereka. 

Setelah KA berhenti, ketiga wanita keluar di lorong dan salah seorang pelayan di ruang penghubung gerbong tidur. Semua orang ini bersumpah tak melihat siapa pun kecuali Jones, di saat antara Preston dan penyelidikan." 

"Bagaimana dengan para pelayan ini? Apakah dapat dipercaya?" 

"Wilcox sudah bekerja selama 17 tahun dan Jeffries 6 tahun. Keduanya berwatak sangat baik. Tentu saja keduanya juga termasuk dicurigai, tetapi ketika saya melakukan penyelidikan seperti biasanya, tak ada satu bukti pun memberatkan mereka." 

"Jadi agaknya si pembunuh tidak melarikan diri lewat gerbong tidur." 

"Saya yakin. Tak mungkin kedua kelompok ini, ketiga wanita dan kedua pelayan, bersama-sama menipu polisi. Mereka ditanyai secara terpisah." 

"Bagaimana dengan gerbong kelas tiga?" 

"Di ujung gerbong kelas tiga, ada Tuan dan Ny. Smith dengan anak mereka yang sakit. Mereka berada di lorong dekat ruang penghubung. Tak seorang pun bisa lewat tanpa sepengetahuan mereka. Anak mereka sudah saya suruh periksa dan ternyata memang sungguh sakit. 

Waktu mereka mengatakan bahwa tak ada seorang pun kecuali Jones yang lewat, saya mengeceknya dengan menanyai semua penumpang di kelas tiga. Yang saya peroleh ada dua hal. Pertama, tak seorang pun yang hadir saat diselidiki itu tidak naik dari Preston. 

Kedua, kecuali keluarga Smith tak ada seorang pun keluar dari kompartemennya selama perjalanan dari Preston sampai perhentian darurat itu. Maka terbukti tak ada orang yang meninggalkan kelas satu ke kelas tiga setelah tragedi berlangsung."

"Jadi jelas, pembunuhnya keluar lewat salah satu dari kedua belas pintu yang ada di sisi-sisi gerbong. Mari kita lihat pintu di kompartemen dulu. Kompartemen pertama, kedua, kelima dan keenam berpenghuni. Jadi tak mungkin ia lewat salah satu dari kompartemen ketiga atau keempat?" 

Inspektur menggelengkan kepala. "Tidak, Pak," jawabnya. "Tidak mungkin. Ingatkah Anda bahwa dua orang dari keempat pria itu sedang melihat ke luar sejak beberapa detik setelah pembunuhan terjadi sampai KA berhenti?” 

“Tak mungkin si pembunuh dapat keluar dari pintu, lalu menuruni tangganya tanpa terlihat oleh mereka. Jones pun melihat ke sisi ini dan tidak melihat apa-apa. Setelah KA berhenti, kedua orang ini, bersama yang lain, turun dari KA dan semua setuju bahwa tak ada pintu yang terbuka waktu itu." 

"Sekarang tinggal pintu-pintu di samping lorong. Karena Jones datang sangat cepat, tentunya si pembunuh telah keluar pada saat KA sedang dalam kecepatan cukup tinggi. la mestinya sedang bergantung di luar, sementara Jones sedang sibuk membuka pintu-pintu sorong kompartemen.” 

“Waktu KA berhenti, semua perhatian tertuju pada sisi kompartemen, sehingga dengan mudah ia turun dan melarikan diri. Bagaimana pendapat Anda tentang teori itu, Inspektur?" 

"Kami juga telah menelusuri kemungkinan itu. Mulamula teori itu disanggah dengan anggapan bahwa tirai-tirai di kompartemen Blair dan keempat pria itu terlalu cepat dibuka, sehingga tak ada waktu untuk menyembunyikan diri di sisi gerbong sebelah sana.” 

“Namun, ini tidak betul. Kira-kira tersedia waktu 15 detik bagi si pembunuh untuk menurunkan jendela, membuka pintu, keluar, menaikkan jendela lagi, menutup pintu kembali dan mendekam di anak tangga, sehingga tidak terlihat. Juga saya memperkirakan ada waktu sekitar 30 detik sebelum Jones melihat ke arah itu dari gerbong barang.” 

“Tetapi ada hal lain yang membuktikan bahwa itu tak mungkin terjadi. Waktu KA berhenti dan Jones berlari melewati gerbong kelas tiga, Tuan Smith ingin tahu apa yang terjadi. Namun, pintu ruang penghubung diempaskan begitu saja oleh Jones, sehingga langsung terkunci kembali.” 

“Maka ia menurunkan jendela lorong yang paling ujung, melihat ke depan dan ia menyatakan dengan yakin, tidak melihat seorang pun mendekam di salah satu anak tangga di kelas satu." 

"Mungkinkah si pembunuh keluar pada saat Jones berlari melewati kelas tiga?" 

"Tak mungkin, karena tiraitirai ke lorong sudah lebih dahulu diangkat sebelum Jones melihat ke luar." 

Inspektur kepala mengerutkan dahi."Benar-benar membingungkan," gumamnya. Beberapa saat mereka terdiam, kemudian ia berkata lagi. 

"Mungkin segera setelah melakukan penembakan, si pembunuh bersembunyi di WC. Kemudian pada saat terjadi keributan, ia diam-diam turun ke bawah lewat salah satu pintu lorong?" 

"Tidak, Pak. Kami juga sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Jika ia bersembunyi di WC, ia tak dapat keluar lagi. Jika ia menuju kelas tiga, keluarga Smith melihatnya dan lorong kelas satu terus sedang diperhatikan sejak Jones tiba sampai penyelidikan dimulai.” 

“Kami juga telah menyelidiki bahwa ketiga wanita itu segera keluar ke lorong setelah Jones melewati kompartemen mereka dan dua dari keempat pria pun sedang memperhatikan ke lorong lewat pintu sampai ketiga wanita itu keluar." 

Lagi-lagi keduanya terdiam. Pak kepala mengisap cerutunya sambil terus berpikir. "Anda bilang, pemeriksa mayat mempunyai teori pula?" 

"Ya, Pak. Katanya, mungkin segera setelah menembak, si pembunuh keluar melalui salah satu pintu lorong - mungkin yang terakhir - dari sana memanjat ke bagian luar gerbong yang tak terlihat dari jendela, shockbreaker di antara gerbong, atau tangga sebelah bawah, lalu menjatuhkan diri ke tanah pada saat KA berhenti.” 

“Setelah dicoba ternyata teori ini tidak mungkin. Atap KA terlalu curam dan tidak ada pegangan di atas pintu-pintu. Shock-bieakei tak dapat diraih begitu saja, sebab jaraknya 2 m lebih dari pintu, padahal tak ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan.” 

“Sedangkan tangga sebelah bawah, karena konstruksinya, tidak mungkin dijadikan tempat persembunyian sementara. Terlalu berbahaya." 

"Jadi kesimpulan yang Anda peroleh selama ini nihil?" 

"Saya tahu, Pak. Saya sangat menyesalinya, tetapi itulah masalah yang sudah saya hadapi sejak awal." 

"Pikirkan kembali, saya juga akan memikirkannya. Temui saya lagi besok."

 

Pengakuan di ujung ajal

Ternyata percakapan Antara inspektur dan kepalanya itu memang menjadi kesimpulan akhirnya. Sementara terus berjalan tanpa ditemukannya fakta baru. Beberapa tahun kemudian orang semakin tidak memperhatikan persoalan ini, sampai akhirnya kasus ini pun dimasukkan dalam deretan kasus kriminal yang tak terpecahkan di New Scotland Yard. 

Begitulah, hanya karena kebetulan, saya, seorang dokter tak dikenal, tiba-tiba dihadapkan pada pengalaman unik yang akhirnya menjadi kunci pembuka selubung misteri pembunuhan di kereta ekspres di atas. 

Saya sendiri tidak mempunyai hubungan langsung dengan peristiwa tersebut. Semua detail yang baru saya ceritakan, saya peroleh dari laporan resmi waktu itu. Saya boleh melihatnya karena informasi yang saya bawakan kepada polisi. Kejadiannya adalah sbb: 

Suatu sore, ketika saya sedang beristirahat sambil merokok, datang panggilan darurat dari losmen di desa kecil tempat praktik saya. Seorang pengendara sepeda motor baru saja bertabrakan dengan sebuah mobil di persimpangan jalan. 

Orang yang luka parah ini tak dapat ditolong lagi. Hidupnya hanya tinggal beberapa jam saja. Sesuai dengan kebiasaan saya jika menghadapi kasus semacam itu, saya berterus terang sambil menanyakan apa permintaan terakhir sebelum meninggal. la menatap langsung ke mata saya dan menjawab. 

"Dokter, saya ingin membuat pernyataan. Jika sudah saya katakan maukah Anda diam sampai saya meninggal, lalu baru mengatakannya kepada yang berwenang dan kepada umum?" 

"Tentu," jawab saya. 

"Saya takkan bertele-tele, karena saya merasa waktu tinggal sedikit. Anda ingat beberapa tahun lalu Tuan Horation Llewellyn dan istrinya dibunuh di sebuah KA North Western kira-kira 50 mil dari Carlisle?" 

Samar-samar saya ingat peristiwa itu. 

"Oh, yang oleh koran-koran disebut Misteri Kereta Api Ekspres?" tanya saya. 

"Betul. Polisi tak berhasil memecahkan misteri itu, maupun menangkap pembunuhnya. Sayalah pembunuh itu." 

Saya ngeri mendengar suaranya yang begitu dingin dan cara bicaranya yang begitu tenang. Namun, saya sadar bahwa orang ini sedang berjuang melawan maut untuk mengucapkan pengakuannya, sehingga menjadi tugas sayalah untuk berusaha mendengarkan dan mencatatnya selagi masih ada waktu. 

"Apa pun yang Anda katakan, akan saya catat dengan teliti dan jika tiba saatnya, akan saya beritahukan kepada polisi." 

"Terima kasih. Nama saya Hubert Black, sepuluh tahun terakhir saya tinggal di Bradford. Di sanalah saya berkenalan dengan seorang gadis yang menurut saya paling cantik dan hebat di dunia, Gladys Wentworth. 

Waktu itu saya miskin, tetapi ia kaya. Sebetulnya saya agak malu untuk mendekatinya, tetapi ia memberi hati kepada saya, sampai akhirnya saya berhasil melamarnya." 

"Suatu hari Gladys saya kenalkan dengan Llewelyn, sahabat lama saya. Ternyata kemudian saya tahu bahwa Llewelyn telah melanjutkan perkenalan itu." 

"Seminggu setelah lamaran saya diterima, ada pesta dansa besar di Halifax. Saya berjanji akan datang dengan Gladys di sana, tapi pada saat-saat terakhir datang telegram yang mengabarkan bahwa ibu saya sakit berat dan saya harus pergi menengoknya. Setelah kejadian itu ... Dokter, beri saya sedikit minum. Saya makin lemas." 

Saya mengambil brendi dan memberinya beberapa teguk. "Ternyata," katanya meneruskan sambil banyak menarik napas dan berhenti, "baru saya tahu bahwa sebenarnya Llewelyn telah lama terpikat oleh Gladys. 

Selama beberapa waktu, setiap saya masuk kantor, diam-diam mereka pacaran. Gladys ternyata menangkap apa yang diinginkannya dan saya pun dicampakkan. Bagus sekali, bukan?" 

Saya tidak menjawab dan orang itu meneruskan. 

"Saya marah bukan main. Ingin rasanya saya memenggal kepala Llewelyn. Tak dapat saya lukiskan bagaimana galaunya perasaan saya waktu itu. Setiap saat saya mengikuti ke mana pun mereka pergi sampai ada kesempatam membunuh.” 

“Di atas KA,mereka saya tembak. Mula-mula Gladys, kemudian ketika Llewelyn terbangun dan melompat berdiri saya tembak pula dia." la berhenti. 

"Ceritakan detailnya," kata saya. 

Dengan suara lebih lemah ia meneruskan. 

"Rencana pembunuhan di KA telah saya persiapkan sebelumnya. Saya mengikuti mereka terus sejak mereka berbulan madu. Waktu itu semua kondisi mendukung. Di Euston saya berdiri di belakang Llewelyn waktu mendengar ia memesan tempat untuk ke Carlisle. Maka saya memesan tempat untuk ke Glasgow.” 

“Saya naik ke kompartemen di sebelah mereka. Ada seorang laki-laki cerewet di sana dan saya berusaha menyusun alibi dengan berpura-pura akan turun di Crewe. Memang saya turun, tetapi naik lagi dan menempati kompartemen yang sama, tetapi dengan tirai selalu tertutup. Saya menunggu sampai kami tiba di daerah yang penduduknya sedikit, sehingga saya akan mudah menyelamatkan diri.” 

“Ketika waktunya tiba, saya mengganjal pintu-pintu itu, lalu menembak kedua orang tersebut. Saya tinggalkan KA, menjauhi rel, melewati pedesaan sampai tiba di jalan raya. Siang hari saya bersembunyi, malam hari saya berjalan sampai malam berikutnya tiba di Carlisle." 

Ia berhenti kecapekan, sementara maut semakin menghampirinya. "Hanya satu kata, bagaimana Anda keluar dari KA?" tanya saya. Ia pun tersenyum hampa. "Minum lagi," bisiknya; dan ketika sudah saya berikan lagi sedikit brendi, ia meneruskan dengan lemah dan terhenti-henti. 

"Itu sudah saya persiapkan. Jika saya dapat keluar dan berdiam di shockbreaker pada saat KA masih berjalan dan sebelum kegegeran terjadi, saya pasti selamat. Dari jendela orang tak dapat melihat saya. Pada saat KA berhenti, saya turun dan melarikan diri.” 

“Saya membawa tali sutera berwarna coklat halus sepanjang kira-kira 5 m dan tambang tipis dari sutera dengan panjang sama. Ketika turun di Crewe, saya bergeser ke sudut gerbong dan berdiri dekat-dekat seolah-olah sedang akan menyalakan rokok.” 

“Dengan sembunyi-sembunyi saya selipkan ujung tali ke lubang handel di atas shockbreaker. Lalu saya berjalan ke pintu terdekat sambil mengulur tali dengan menggenggam kedua ujungnya. Lalu saya berpura-pura membuka pintu padahal saya sedang menyelipkan tali ke handel pengaman dan menyimpulkan kedua ujung tali itu.” 

“Jadi berhasillah saya membuat ikatan tali yang menghubungkan sudut tempat shockbreaker dengan pintu. Warna tali itu sama dengan warna gerbong, sehingga hampir tak kentara. Kemudian saya kembali ke tempat duduk lagi."

"Ketika saat untuk melakukannya tiba, saya mengganjal pintu-pintu. Kemudian saya buka jendela keluar, menarik ujung ikatan tadi ke dalam, lalu mengikatkan ujung tambang padanya.” 

“Kemudian salah satu sisi ikatan itu saya tarik, sehingga tambang pun tertarik ke handel shockbreaker, melewatinya dan kembali lagi ke jendela. Karena terbuat dari sutera, tambang ini licin dan tidak membekas waktu menggeser handel shockbreaker. Kemudian satu ujung tambang saya selipkan ke handel pengaman di pintu.” 

“Setelah menariknya sampai kencang, saya menyimpulkan semuanya. Maka saya telah membuat sebuah ikatan tambang yang terbentang kencang dari pintu menuju sudut tempat shockbreaker." 

"Pintu saya buka, lalu saya naikkan jendelanya. Kemudian pintu saya tutup, tetapi terlebih dulu saya ganjal dengan kayu. Karena angin dan kayu itu, pintu tidak menutup rapat." 

"Lalu saya menembak mereka. Begitu melihat keduanya roboh, saya keluar. Kayu saya tendang, pintu saya tutup rapat. Kemudian berpegangan pada ikatan tambang tadi saya berjalan menelusuri bidang injakan kaki ke tempat shockbreaker. Kemudian tali dan tambang saya potong, saya tarik dan masukkan ke kantung. Maka tak ada jejak yang tertinggal." 

"Ketika KA berhenti, saya turun diam-diam ke tanah. Semua orang sedang turun ke sebelah sana, maka dengan mudah saya dapat menghilang di kegelapan malam, lalu memanjat tepian rel dan melarikan diri." 

Nyatalah orang itu telah mengerahkan segenap tenaganya untuk menyelesaikan kisahnya, karena begitu selesai berbicara, matanya menutup. Dalam beberapa menit kemudian ia pun jatuh ke kondisi koma, lalu meninggal. (Freeman Wills Crofls)

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553133699/cinta-segi-tiga-di-gerbong-kereta" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348487000) } } [9]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3110544" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/siapa-pembunuh-nona-kwitangjpg-20220208043944.jpg" ["author"]=> array(2) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "Tan Boen Kom" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9360) ["email"]=> string(19) "intiplus-5@mail.com" } [1]=> object(stdClass)#160 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(9) "Java Bode" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9361) ["email"]=> string(19) "intiplus-6@mail.com" } } ["description"]=> string(57) "Orang ragu karena tak mengira ia tega menyiksa kekasihnya" ["section"]=> object(stdClass)#161 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/siapa-pembunuh-nona-kwitangjpg-20220208043944.jpg" ["title"]=> string(28) "Siapa Pembunuh Nona Kwitang?" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:27:55" ["content"]=> string(36780) "

Intisari Plus - Pada hari Jumat pagi, 18 Mei 1912, Kota Betawi digemparkan dengan ditemukannya sebuah karung yang terapung di Kali Baru, di kawasan Tanah Abang. Karung itu berisi mayat seorang wanita yang sudah dalam keadaan rusak, sebab sudah beberapa hari terendam dalam air. Dalam pemeriksaan mayat ternyata bahwa wanita itu tewas oleh tindak kekerasan. Dokter pemeriksa menemukan bekas cekikan pada lehernya.

Ujung lidahnya terpotong oleh benda tajam, sedangkan di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka-luka akibat penganiayaan. Setelah beberapa hari polisi dapat menentukan identitas mayat itu: Nona Fientje de Feniks, umur 19 tahun, tinggal di Kwitang.

Kematian Fientje banyak disayangkan orang. Mengapa wanita masih muda dan cantik itu harus mati secara menyedihkan. Sampai hati benar orang membunuhnya, demikian salah satu reaksi orang ramai. Yang paling kehilangan ialah pria-pria muda berduit yang tergclong
playboy, sebab mereka yang paling tahu wanita penghibur ini. Menurut penulis kisah yang sezaman, Nona Fientje de Feniks di kalangan itu terkenal sebagai nomor satu, hingga di bilangan Betawi, Weltervreden dan Meester Cornelis tidak ada orang muda yang tidak kenal namanya.

Melihat fotonya, Fientje memang termasuk wanita yang rupawan, meskipun dia lebih mirip dengan wanita pribumi daripada Indo atau keturunan Belanda. Menurut penulis kisah dalam bahasa Melayu pasar itu, kulit mukanya halus dan bersih, rambutnya hitam serta lebat. Hidungnya mancung, matanya jeli. Kalau tertawa di kedua pipinya nampak lesung pipi. Dari sanggulnya dapat dikenali sebagai peranakan Belanda. Walaupun peranakan Belanda, tentu kalau berdandan sebagai perempuan Melayu, dengan konde yang khas, kain dan kebaya panjang, banyak yang mengira bahwa ia wanita Betawi asli.

Fientje memang pandai bersolek. Sekalipun pekerjaannya ialah wanita penghibur yang dapat dipanggil kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja asalkan berduit, kadang-kadang ia mengaku sebagai peliharaan atau simpanan seorang laki-laki tertentu.

Seandainya mempunyai status itu pun belum berarti bahwa ia meninggalkan profesi utamanya sama sekali. Seperti seekor burung, ia gemar terbang ke sana-sini, hinggap di pohon yang disukai, tapi enggan dikurung, dalam sangkar emas sekalipun.

 

Gonta-ganti pacar

Bulan Oktober 1911, kurang lebih tujuh bulan sebelum ia ditemukan sebagai mayat terbungkus karung di Kali Baru, Tanah Abang, Fientje mempunyai dua orang "pacar" tetap. Foto kedua laki-laki ini terpampang di dalam kamar tidurnya di Kampung Kwitang, tempat ia menghuni sebuah rumah berukuran sedang bersama seorang pembantu. Satu di antaranya anak seorang pedagang kaya dari Pasar Baru yang namanya tak disebutkan. Seorang lagi disebut dengan nama Sia Kacamata, anak seorang pemimpin golongan Cina yang nama aslinya juga tidak disebutkan.

Hati Fientje terombang-ambing antara kedua pacar ini. Yang satu, Sia Kacamata, orangnya baik budi dan tampan, lagi pula ia cukup royal. Anak orang kaya dari Pasar Baru ini pun cukup berimbang, baik rupa maupun uangnya, tapi seminggu lalu mereka bertengkar dan ia tidak muncul-muncul lagi. Sebenarnya Fientje diam-diam mengharapkan bahwa salah satu dari keduanya pada suatu hari akan memeliharanya sebagai simpanan tetap, sehingga paling sedikit hidupnya terjamin, supaya ia tidak perlu menerima langganan lain, kecuali kalau memang dikehendakinya sendiri.

Dengan menyimpan harapan itu di dalam hatinya, Fientje mengadakan janji untuk menonton komedi kuda (sirkus) di Lapangan Gambir dengan Sia Kacamata. Di dalam pertunjukan itu ia menarik perhatian dua orang laki-laki Indo Belanda, yang juga sedang menonton. Sehabis pertunjukan pasangan itu minum-minum di bufet dan kesempatan itu digunakan oleh salah seorang pria Indo itu untuk menyapa Fientje. Usahanya itu ternyata mendapat tanggapan baik, sehingga beberapa hari kemudian ia menulis surat kepada wanita yang didambakannya itu. Meskipun sebenarnya sudah menanyakan alamat Fientje, ia belum berani langsung mengunjungi rumahnya, sebab ia khawatir bertemu dengan pemuda Cina yang dikiranya menjadi pengawal tetapnya. Untuk menghindari pertemuan yang mungkin mempunyai akibat tidak enak, ia menyatakan akan berkunjung pada hari Minggu.

Bagi Fientje datangnya surat yang tak terduga-duga itu merupakan pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera membalas bahwa pria itu dipersilakan datang pada hari yang telah ditentukan. Dari suratnya ternyata bahwa laki-laki Indo mata keranjang itu bernama W.F.G. Brinkman. Ternyata nama itu bukan tidak dikenal oleh Fientje. Nama itu sering disebut-sebut oleh rekan-rekannya sendiri sebagai seorang pria muda yang kaya lagi berkedudukan, di samping seorang playboy yang biasa menghamburkan uang dengan mudah. Kerjanya di gouvernementsbedrijven (perusahaan negara). Menduga mendapat kakap, Fientje tak membuang waktu lagi membalas suratnya.

Brinkman sendiri juga tak menyia-nyiakan waktu lagi ketika hari Minggu tiba. Yang langsung ditanyakan ialah, apakah Sia Kacamata tinggal di rumah itu? Ketika dijawab tidak, ia mendesak lebih jauh ingin tahu seberapa jauh hubungan Fientje dengan Babah Sia itu. Fientje menerangkan bahwa ia tidak dipelihara oleh pemuda Cina itu, tetapi hubungannya erat. Dengan cerdik ia sengaja tidak mengungkapkan terlalu banyak, karena ia belum tahu benar apa sebenarnya keinginan pria baru ini. Brinkman pun sudah cukup berpengalaman. Walau semangatnya sudah menggebu-gebu untuk segera memiliki Fientje, ia dapat mengendalikan nafsunya. Setelah minum-minum dan mengobrol sebentar, ia minta diri sambil mengadakan janji untuk datang lagi pada suatu hari. Mereka merencanakan untuk berjalan-jalan berkeliling kota dengan mobil.

 

Retak

Sementara itu Fientje mendengar berita bahwa Sia Kacamata akan kawin bulan depan. Setelah mendengar berita tidak enak, tetapi boleh dipercaya ini, Fientje makin mengarahkan perhatiannya kepada Brinkman. Pada kunjungan berikutnya laki-laki Indo itu terang-terangan menanyakan apakah Fien peliharaan Sia Kacamata, atau sudah menjadi pacar tetapnya.

Secara hati-hati Fieri menjawab bahwa laki-laki Cina itu memang ada mat untuk menjadikan dirinya impanannya, tetapi belum tentu ia bersedia.

Jawaban ini membebaskan Brinkman dari keraguannya. Setelah minum-minum dan mengobrol beberapa saat, Brinkman dapat melepaskan hasratnya untuk bermain cinta dengan Fientje. Setelah itu ia secara resmi meminang Fientje agar mau dijadikan pacar tetapnya. Fientje tanpa ragu menyambut baik usulnya itu, karena ia tahu bahwa Brinkman orang yang punya kedudukan dan uang, di samping terkenal biasa menghamburkannya untuk bersenang-senang. Brinkman kemudian mendesak agar si kekasih berjanji tidak akan menerima tamu lain, karena sejak hari itu ia sudah menjadi kepunyaannya.

Hubungan ini berlangsung beberapa bulan. Selama itu cara hidup kedua orang itu juga tampak berbeda daripada waktu-waktu sebelumnya. Brinkman jarang dilihat teman-temannya berfoya-foya di tempat dia biasa dijumpai. Hampir setiap sore sepulang dari kantor, ia langsung ke rumah Fientje dan bermalam di sana. Setiap waktu luangnya dilewatkan bersama-sama kekasihnya yang baru ini. Fientje pun tidak lagi muncul di rumah-rumah hiburan tempat dia biasa beroperasi. Bahkan kebiasaannya untuk berjalan kian kemari juga ditinggalkannya. Ia hanya keluar untuk mengunjungi kenalan-kenalan dan teman-teman lamanya yang jenis.

Rupanya bagi Brinkman perubahan itu hanya sementara. Meskipun mempunyai Fientje sebagai simpanan tetap, sifat mata keranjangnya kambuh lagi. Ternyata diam-diam ia mempunyai hubungan lagi dengan seorang wanita lain. Pada suatu hari Sabtu ia tidak muncul di rumah Fientje. Baru esoknya ia menampakkan diri. Kepada Fientje ia menerangkan bahwa ia tidak pulang malam itu sebab penasaran kalah main kartu, sehingga main terus sampai pagi untuk memenangkan kembali modalnya.

Rupanya Fientje menerima keterangan bohongnya dan mereka berpiknik ke Bogor, tetapi tampaknya hubungan mereka tidak semesra dulu. Anehnya, malah Brinkman yang menunjukkan rasa cemburu yang berlebihan. Hal itu diungkapkan Fientje kepada salah satu temannya.
Temannya bertanya, apakah Fientje melakukan sesuatu yang menimbulkan cemburu Brinkman? Fientje menjawab bahwa ia tidak pernah berhubungan lagi dengan pria lain sejak dipelihara Brinkman.

Ketika hubungan itu sudah berlangsung enam bulan, keretakan pasangan itu sudah menjadi bahan pergunjingan orang luar. Mereka sudah jarang sekali kelihatan keluar bersama-sama.

Memasuki bulan ketujuh, Brinkman sudah mempunyai pacar baru, seorang nona Indo lain yang namanya tidak disebutkan. Fientje pun akhirnya mengetahui hal itu. Mula-mula ia berusaha membujuk Brinkman agar tidak meneruskan hubungan dengan pacar yang baru itu, tetapi tidak berhasil. Akhirnya, masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Brinkman tetap mengunjungi pacarnya dan tempat-tempat hiburan yang biasa disinggahi, sedangkan Fientje mulai keluyuran lagi seperti itu.

Susahnya, Brinkman masih tetap beranggapan bahwa Fientje merupakan hak milik pribadinya. Jadi, dia sendiri boleh saja menyeleweng, tapi Fientje tidak. Rasa cemburunya memuncak kalau ia mendengar per pergunjingan orang luar tentang tingkah laku Fientje yang mungkin benar atau mungkin juga tidak. Ketegangan mencapai puncaknya ketika suatu sore Brinkman tidak menemukan Fientje di rumah. Ia menunggu sampai kekasihnya itu pulang, kemudian menyambutnya dengan pukulan bertubi-tubi tanpa kata pembukaan.

Setelah menganiaya Fientje sampai babak belur ia meninggalkan rumah naik sado menuju ke tempat pacarnya yang lain. Fientje hanya bisa menerima nasib, tetapi hatinya geram, karena selama dia berhubungan dengan sekian banyak pria, baru satu ini yang pernah memukulnya.

Keesokan harinya Fientje mengadukan nasibnya kepada Ny. Doerleben, salah seorang sahabat lamanya. Ny. Doerleben adalah seorang janda yang tinggal di Gang Kernolog. Ia diketahui biasa memberikan kesempatan berjudi gelap di rumahnya. Mendengar keluhan Fientje, nyonya itu malah memberikan nasihatnya agar dia jangan terlalu sering keluar rumah, yang membuat Brinkman makin kalap, tetapi Fientje menolak gagasan itu. Ia beranggapan bahwa walaupun statusnya peliharaan, ia berhak untuk ngelayap sesuka hati, justru karena Brinkman sendiri tidak setia. Karena itu menurut Fientje ia tidak berhak melarangnya.

Dalam percakapan itu Fientje menunjukkan kepada Ny. Doerleben bahwa ia menyimpan sepucuk revolver kecil berisi lima peluru dalam sebuah kantung yang diselipkan di dalam kutangnya.

"Akan aku tembak dia, kalau dia berani memukul aku lagi," katanya kepada Ny. Doerleben.

 

Terbujuk rayuan

Dari tempat itu Fientje tidak langsung pulang, tetapi mampir lagi ke rumah Jeanne Oort, seorang wanita Eropa bekas simpanan yang telah beralih usaha membuka rumah pelesiran di Gang Pinang. Rumah ini dulu memang merupakan tempat Fientje bertemu dengan langganannya, sehingga hubungan dengan nyonya rumah cukup akrab. Kepada Jeanne Oort kembali ia menceritakan duka nestapanya dan hubungannya dengan Brinkman yang memburuk. Jeanne tidak banyak memberikan komentar, sebab ia sibuk mengisap candu. Hanya ia menambahkan bahwa Brinkman juga sudah lama tidak datang, sebab katanya sudah mempunyai kekasih baru.

Setelah mengobrol beberapa lama Fientje minta diri. Di dalam perjalanan pulang dengan sado tiba-tiba ia menyuruh kusir beralih ke arah Gang Kenanga, ke rumah seorang teman lamanya. Kebetulan teman itu sedang seorang diri, karena ditinggal pacarnya ke luar kota. Malam itu ia bermalam di sana, karena sengaja menghindari bertemu dengan Brinkman. Demikianlah hari-hari selanjutnya ia tidak pulang, hanya beralih dari satu teman ke teman lainnya yang bersedia menerimanya bermalam.

Sementara itu Brinkman yang berkali-kali tidak mendapatkan selirnya di rumah, panas hatinya. Ia mencoba menyusul ke sana-sini menurut info yang diperolehnya, tetapi ia tidak berhasil menjumpai Fientje. Pada suatu ketika ia tahu bahwa Fientje sedang tinggal bersama seorang nyonya Cina di Gang Kenanga. Ia bergegas ke sana, tetapi Fientje tidak mau keluar. Kemudian Brinkman meminta orang mengirimkan surat meminta dia pulang. Akhir surat itu berisi ancaman bahwa jika Fientje tidak pulang, ia akan menyuruh anggota perkumpulan rahasia untuk mengganggu Fientje. Fientje meremas lalu membuang surat itu. Kemudian ternyata bahwa nyonya rumah memungut kembali dan membacanya.

Meskipun merasa tidak cinta lagi, bahkan benci, Fientje dalam hati merasa agak ngeri juga terhadap ancaman Brinkman. Ia kembali ke rumahnya sendiri di Kwitang. Sementara itu kedua orang itu sudah tidak lagi serumah. Fientje tidak terlalu menghiraukannya. Ia merasa hubungannya telah putus dan ia kini bebas dari Brinkman yang ringan tangan.

Tanggal 14 Mei 1912 sore hari Fientje ingin menonton bioskop di Gedung Globe, Pasar Baru. Ia berdandan gaya Betawi asli dengan mengenakan sarung Jawa warna merah dan kebaya panjang berkembang-kembang hijau.

Sampai di Pasar Baru ternyata ia terlambat seperempat jam, sehingga mengurungkan niatnya untuk menonton. Ia naik delman lagi menuju ke Mangga Besar. Di Mangga Besar delmannya disusul oleh sebuah sado berlentera karbit dan bercambuk panjang. Ternyata Brinkman sejak sore hari sudah berputar-putar dengan kendaraan ini untuk mencari bekas kekasihnya di tempat-tempat yang biasa dikunjunginya. Setelah jelas bahwa yang duduk dalam delman itu orang yang dicarinya, Brinkman turun dan menghampirinya. Dengan wajah tersenyum dan penuh keramahan Brinkman menegurnya, "Zo Fien, apa kabar? Kau dari mana saja?" Fientje tidak menjawab. Ia tertegun karena tidak mengira akan berjumpa dengan Brinkman di jalan.

Beberapa minggu lamanya ia sengaja menghindari pertemuan dengan Brinkman, karena ia masih khawatir akan dipukuli lagi oleh laki-laki ini, apalagi setelah ia mengancam lewat surat. Tetapi dalam pertemuannya yang terakhir tidak tampak tanda-tanda bahwa dia akan melakukan kekerasan. Sekarang sikapnya malah sangat ramah dan ingin memperbaiki hubungan. Brinkman mengatakan bahwa ia mencarinya di rumah dan ke mana-mana.

Fientje berbalik bertanya, untuk apa, bukankah ia sudah mempunyai pacar lain. Brinkman menyatakan bahwa ia masih mencintai Fientje. Kemudian karena bujuk rayunya yang lihai wanita muda itu berhasil disuruh menaiki sadonya untuk diajak berjalan-jalan. Hari sudah cukup malam, ketika sado itu dilarikan kusirnya ke arah Tanah Abang, kemudian terus ke Palmerah. Di situ kendaraan itu diperintahkan berhenti di dekat seorang tukang mi dan penjual kacang.

Tak jauh dari kedua pedagang itu berdiri seorang laki-laki. Dia seorang peronda.Pasangan itu menarik peirhatian ketiga orang tadi, sebab tidak biasa orang-orang dari golongan itu malam-malam ada di daerah udik seperti Palmerah. Mereka tadinya mengira bahwa Fientje seorang wanita keturunan Cina, tetapi setelah sepintas mendengarkan percakapan pasangan itu, mereka tahu bahwa pembicaranya orang Belanda.

Tak lama kemudian pasangan itu berangkat lagi dengan sado lain menuju ke Kampung Pakembangan di daerah Tanah Jepang. Kendaraan berkuda itu masuk kampung, lalu berhenti di depan rumah berdinding bambu dan beratap genting. Rumah ini sebuah rumah pelesiran yang terkenal di kampung itu sebagai rumah Umar. Mereka berdua memasuki rumah itu dan pintunya ditutup kembali dari dalam.

 

Diajari

Di dalam rumah Umar itu ada dua WTS yang tinggal intern, namanya Idup dan Raona. Hari itu rupanya sepi pengunjung, sehingga mereka sudah merebahkan diri sejak tadi. Menjelang tengah malam Idup yang belum nyenyak merasa perutnya sakit, lalu keluar untuk membuang hajat. Sekembali ke kamarnya, baru saja ia hendak merebahkan diri lagi, tiba-tiba terdengar jerit kesakitan seorang wanita. "Aduh! Aduh!" Idup terhenyak. Ia berusaha mengira-ngira dari arah mana datangnya suara itu, tetapi semuanya sunyi senyap. Ia membangunkan Raona. Rupanya Raona tidurnya lelap, ia tidak mendengar apa-apa. Karena penasaran Idup keluar untuk mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi. Raona terduduk di tempat tidurnya. Ia mendengar suara-suara dari kamar sebelah. Rasa ingin tahunya terangsang. Ia bangkit untuk mengintip lewat celah-celah dinding bambu.

Ia melihat seorang wanita muda duduk di kursi sedang dalam keadaan dicekik oleh seorang pria. Sejenak kemudian nampak wanita itu roboh ke lantai. Setelah itu pria tersebut mengeluarkan sebilau pisau yang berkilauan. Melihat adegan itu jantung Idup berdebar-debar, kakinya lemas. Tetapi ia masih sempat melihat beberapa orang laki-laki membantu membereskan mayat itu, kemudian memasukkannya ke dalam karung goni, dijahit, dan digotong ke luar.

Setelah mayat di dalam karung itu akhirnya dapat dikenali sebagai Fientje de Feniks, tak lama kemudian polisi di bawah Komisaris Besar Polisi Ruempol mencium jejak sampai ke Brinkman. Ia ditangkap bersama seorang bernama Mardjuki dari Kampung Pakembangan yang, dituduh terlibat perkara ini. Juga Umar, pemilik rumah pelesiran dan anaknya yang bernama Jamhari ikut ditahan, sedang Raona dan Idup didengar keterangannya oleh wedana dan polisi. Kendati yang diduga menjadi para pelaku telah berada di dalam tahanan, pengusutan perkara ini memakan waktu cukup lama. Baru lebih dari satu tahun kemudian perkara pembunuhan ini disidangkan oleh Raad van Justitie (pengadilan negeri) dalam bulan Juli 1913.

Dalam sidang pertama ini beberapa puluh orang saksi didengar keterangannya, di antaranya Raona dan Idup, wedana, polisi, dan pegawai polisi lainnya. Ternyata keterangan saksi saling bertentangan. Umar dan Jamhari yang juga dihadapkan sebagai saksi, bukan sebagai tertuduh, akhirnya dituntut karena dituduh melanggar sumpah dengan memberikan keterangan palsu. Kemudian sidang-sidang berikutnya ditunda untuk
memberikan kesempatan kepada pengadilan meneliti kembali perkara ini.

Ternyata penundaan ini berlangsung cukup lama, sebab sidang berikutnya baru diadakan pada tanggal 14 Januari 1914. Sidang mulai memeriksa Umar dan Jamhari mengenai sumpah palsu. Keduanya tetap pada ke keterangan terdahulu dan menarik kembali keterangannya pada pemeriksaan pendahuluan. Umar menyatakan bahwa ia terpaksa membuat keterangan palsu, sebab ditekan, dibujuk, dan diajari.

Sesudah Umar, didengar keterangan saksi Jamhari. Ia ditanya apakah disuruh menunjuk kepada Brinkman yang dibenarkan olehnya. Selanjutnya ia menarik kembali keterangannya di dalam proses verbal. Hakim ketua menanyakan apakah saksi kenal pada tertuduh, dijawab ia kenal muka, tetapi tidak tahu namanya. Jamhari menceritakan bahwa bertemu dengan tertuduh waktu ia datang ke rumah Umar dengan membawa seorang wanita. Wanita itu tak terlihat wajahnya, sebab memakai kerudung. Ia dapat mengenali Brinkman ketika mereka lewat di bawah sinar lampu gantung.

Kemudian dihadapkan saksi Idup. Setelah ditanyai pelbagai hal mengenai dirinya sendiri, Idup menceritakan kembali secara panjang-lebar apa yang disaksikannya pada malam Selasa di rumah Umar. Antara lain ia melihat bagaimana pembunuhan itu terjadi, kemudian Umar, Entong, Kacung, dan seorang lainnya memasukkan mayat korban ke dalam sebuah karung, lalu mengikatnya.

Dari karung itu masih menonjol kaki dan tangan korban. Tetapi waktu hakim ketua menanyakan agak teliti sampai soal kecil-kecil saksi tidak bisa menjawab. Dalam pemeriksaan ini beberapa kali hakim harus memberikan peringatan keras agar saksi menceritakan duduk perkara yang sebenarnya dan tidak berbelit-belit. Sidang untuk memeriksa soal sumpah palsu itu berlarut-larut sampai menjelang akhir bulan.

Pada tanggal 28 Januari didengar lagi kesaksian Raona dan Idup, yang nampaknya makin berbelit-belit, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran jelas apa yang terjadi sebenarnya. Akhirnya, pengadilan memutuskan untuk membebaskan terdakwa Umar dan Jamhari dari tuduhan membuat sumpah palsu.

 

Surat ancaman

Ketika sidang dimulai lagi penanggalan telah menunjukkan tanggal 5 Mei 1914. Di dalam sidang Brinkman nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum sedikit. la duduk di bangku terdakwa bersama Mardjuki. Yang memimpin sidang itu Hakim Mr. Luyke Roskott, didampingi Mr. Visser dan Mr. Taytelbaum sebagai anggota, dibantu Panitera Mr. Smit. Sedangkan yang bertugas sebagai jaksa ialah Mr. Struby. Brinkman sebagai terdakwa utama dibela oleh Pengacara Mr. Hoorweg. Sidang dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan para saksi yang seluruhnya berjumlah 59 orang. Dalam keterangan para saksi antara lain Komisaris Besar Ruompol menerangkan bahwa Jamhari dalam pemeriksaan polisi mengaku membantu Brinkman. Brinkman mencekik, kemudian membanting korban ke tanah dan Jamhari memukulnya dengan pipa besi.

Waktu dikonfrontasi dengan Brinkman, yang disebut belakangan ini marah, lalu berseru, "Lu, nyang bunuh!" Dijawab oleh Jamhari, "Siapa nyang suruh!" (Dalam sidang pengadilan Jamhari menarik kembali keterangan itu. la mengatakan mengaku sebab takut kepada komisaris yang waktu itu marah-marah. Pengakuannya itu "diajarkan" kepadanya, katanya). Saksi Opziener Polisi Frank menyatakan dalam kesaksiannya bahwa saksi Idup dapat mengenali topi Brinkman yang ditunjukkan kepadanya di antara beberapa topi berwarna hijau. Ia menyebutnya topi sinyo besar yang bermata besar.

Kemudian juga didengar saksi Ny. Dourleben-Demmeni yang mengatakan mengenal baik korban. Saksi yang mengaku berumur 45 tahun ini bertubuh kurus kecil, fisiknya lemah, sehingga harus dibantu waktu menaiki tangga. Saksi mengatakan bahwa korban datang ke rumahnya dan dia tahu bahwa Fientje dipelihara Brinkman. Menurut saksi, mereka belakangan sering bertengkar hebat. Pada suatu hari Fientje pernah menjumpai seorang wanita lain di rumah Brinkman. Ia melabrak wanita itu, kemudian menyerangnya sampai pakaiannya robek-robek. Terjadi pertengkaran hebat antara Fientje dan Brinkman. Dalam heboh itu Fientje mengancam akan membuka rahasia Brinkman di muka umum.

"Rahasia apa?"

"Rahasia kantor. Kalau ketahuan pasti Brinkman dipecat."

Saksi juga pernah membaca surat ancaman yang diterima korban. Ia menemukannya dalam keadaan dicabik-cabik, tetapi saksi menempelkan kembali cabikan-cabikan itu, sehingga terbaca. Isinya adalah sebagai berikut: ''Zorg dat je van vanavond tusschen 7 en 8 verscholen bent. Als je je leven tenminste nog lieghebt." — De Broeders van de Zwarte Hand (Usahakanlah bahwa kau tidak menampakkan diri antara pukul 7 - 8 malam, kalau kau masih sayang jiwamu. Persaudaraan Tangan Hitam).

Saksi waktu ditanya hakim tidak tahu siapa pengirim surat ancaman itu ataupun apa arti singkatan PMW pada surat itu. Ia hanya menduga bahwa surat itu berasal dari terdakwa. Ny.Doerleben lebih jauh juga mengatakan melihat bekas-bekas pukulan yang membiru di tubuh
korban dan bahwa korban memang menyimpan sepucuk pistol kecil dengan lima peluru. Sehubungan dengan surat ancaman korban akan membuka rahasia tertuduh, nyonya ini mengatakan bahwa korban bertanya apa maksud Brinkman dengan kata-kata "voor die tijd zalk ik je tong tot zwijgen brengen". Ia menerangkan kepada korban bahwa kata-kata itu bermaksud mengancam akan menyingkirkan korban sebelum ia sempat membuka rahasia itu.

Atas keterangan saksi, Brinkman membenarkan bahwa Fien sering pergi ke rumah saksi untuk mengisap candu. Saksi membantah itu. Katanya, korban bukan pecandu madat, sekaligus membenarkan bahwa saksi sendiri yang memang pengisap madat, tetapi berusaha menghilangkan kebiasaan itu. Brinkman kemudian menyatakan bahwa ia tak pernah menganiaya korban. Semuanya bohong, khayalan pemadat.

 

Tengah malam di Palmerah

Kemudian hakim ketua bertanya apa yang dilakukan Brinkman pada tanggal 13 Mei malam. Brinkman menjawab bahwa ia naik sado kepunyaan Harun, yang hari Sabtu sebelumnya pernah disewanya untuk ke Palmerah, untuk membawa cewek yang dipungutnya dari Noordwijk (sekarang Jl. Ir. H. Juanda). Dengan sado itu ia pergi ke Palmerah, ke rumah Umar. Setibanya di sana, ada anak laki-laki keluar dari rumah, memberitahukan bahwa malam itu tidak ada "nona manis". Karena tidak bersedia menunggu, ia langsung pulang ke rumahnya.

Atas pertanyaan hakim ia mengaku bahwa Fientje datang ke rumahnya antara pukul 22.00 dan 23.00.

"Apa yang diperbuatnya pada malam tanggal 14 Mei?'

"Pada malam itu saya ke Gang Ketapang untuk menemui seorang ahli nujum, setelah itu terus pulang."

Saksi kusir sado Harun ketika ditanya menyatakan kenal pada tertuduh. Pada malam Selasa, sekitar pukul 23.00 ia mangkal di Pasar Tanah Abang, ketika sebuah sado lain dari jurusan Kota berhenti di dekatnya. Di dalamnya terdapat Brinkman dengan seorang wanita asing berkulit bersih, yang mengenakan kebaya panjang berkembang-kembang hijau.

Ketika diperlihatkan baju korban, saksi mengenalinya sebagai baju yang sama dengan yang dipakai wanita dalam sado malam itu.

Kemudian keduanya menaiki sado Harun. Ia diperintahkan ke Palmerah. Setibanya di dekat Pasar Palmerah ia disuruh berhenti dan kedua penumpangnya turun. Mereka berjalan mondar-mandir. Waktu itu masih ada orang berdagang dan di pasar masih ada kegiatan. Selang beberapa lama keduanya naik kembali ke sado, menuju ke rumah Umar. Setelah mereka masuk ia menunggu dan setelah sekian lamanya mereka keluar lagi lewat pintu belakang. Kemudian ia mengantarkan pasangan itu sampai ke rumah Brinkman di Gang Ajudan.

Mendengar keterangan Harun, Brinkman tetap pada keterangannya yang terdahulu. Ia bertahan bahwa wanita itu tidak berkebaya hijau, tetapi merah jambu.

Saksi Arbi, si tukang mi di Palmerah, menyatakan melihat tertuduh bersama seorang wanita di Palmerah pada malam Selasa. Dalam pemeriksaan pendahuluan ia dapat menunjuk Brinkman di antara sekelompok orang Belanda. Brinkman menyangkal bahwa ma lam Selasa itu ia pergi ke Palmerah. Ia tetap bertahan bahwa waktu itu malam Minggu. Saksi Arbi menyatakan bahwa malam Minggu ia tidak ada di Palmerah. Saksi berikutnya ialah Gomang, penjaga malam dari Palmerah. Ia menerangkan melihat tertuduh dalam sado yang diterangi lampu karbit sekitar pukul 13.30 di dekat Pasar Palmerah.

"Malam apa?"

"Malam Selasa."

"Bagaimana kau bisa memastikannya?"

"Ya, sebab saya hanya meronda pada malam Selasa."

"Apakah terdakwa seorang diri?"

"Tidak. Ia bersama seorang wanita. Mereka naik sado kepunyaan Harun (saksi kenal kusir Harun). Wanita itu berpakaian sebagai pribumi, dengan kebaya panjang berkembang-kembang hijau, tapi kulitnya bersih. Kemudian keduanya turun, lalu berjalan-jalan melewati para pedagang yang masih mangel. Nona itu berhenti membeli kacang."

"Kenapa kau sebut nona?"

"Sebab mereka bercakap-cakap dalam bahasa Belanda."

"Apakah saksi sudah pernah bertemu sebelum peristiwa ini?'

"Belum pernah. Tetapi waktu itu cukup banyak cahaya untuk bisa melihat mukanya dengan jelas. Lagi pula ia jalan mondar-mandir sambil makan kacang selama kira-kira setengah jam."

Menanggapi keterangan saksi, tertuduh tetap pada keterangannya bahwa ia ke Palmerah malam Minggu.

Saksi Velthuis sebagai kawan tertuduh ditanya mengenai hubungan antara korban dan tertuduh. Ia menjawab bahwa antara keduanya baik-baik saja. Mengapa korban kemudian meninggalkan tertuduh, ia tidak tahu sebabnya.

Brinkman baik sebagai teman, ia juga termasuk dalam pergaulan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan menjadi perkumpulan Concordia yang terpandang. Dia juga tahu bahwa terdakwa terkenal "terlalu banyak bergaul dengan perempuan".

 

Perempuan tak berharga?

Velthuis menduga bahwa sebab Fientje meninggalkan rumah Brinkman ialah sebab Brinkman mendatangkan perempuan lain ke rumahnya. Pada Sabtu malam saksi berjanji dengan Brinkman dan Van der Leeuw akan ke Kebun Binatang. Kemudian Van der Leeuw menelepon bahwa Brinkman tidak jadi pergi sebab terjadi kericuhan di rumahnya. Pada Rabu malam mereka bertiga bertemu lagi. Dalam kesempatan itu Brinkman mengatakan bahwa Fientje datang ke rumahnya untuk berpamitan. Ia tidak akan mengganggu lagi, katanya. Saksi tidak terlalu terkesan oleh berita ini, sebab Fientje sudah beberapa kali minggat, tetapi kembali lagi.

Hari Minggu, 20 Mei, mereka pergi ke rumah bola Concordia. Di tempat itu Brinkman mencerima surat dari Mikola, temannya, yang isinya mengabarkan penemuan mayat Fientje. Ia memperlihatkan surat itu kepada saksi. Brinkman pergi ke kamar mayat untuk melihat. Ia tidak menunjukkan emosi apa-apa. Kemudian ia kembali ke rumah bola. Ia tidak melanjutkan permainannya dan tampak tegang. Tak lama kemudian
ia pulang.

Brinkman menyangkal bahwa ia pefnah bercerita tentang perginya Fientje pada hari Rabu. Ia hanya mengeluh bahwa Fientje suka mabuk-mabukan. Ia juga membantah bahwa Fientje datang ke rumahnya pada malam Minggu, sebab ia sendiri pergi ke Gang Thibault (sekarang Juanda III) untuk mendapatkan nyainya.

Kemudian atas pertanyaan sidang ia menggambarkan korban sebagai perempuan tak berharga, suka mencuri, dan berkeliaran dengan anak-anak muda. Dia (Brinkman) menganggapnya tidak lebih dari seorang pelacur biasa. Ia tidak cocok sebagai pengurus rumah tangga. Seorang perempuan tak berguna, peminum, dan mungkin kleptoman, Pokoknya, tidak ada sesuatu yang baik padanya.

Hakim ketua mengingatkan bahwa ada saksi yang menyatakan bahwa ia pernah menebus Fientje dengan uang F 100 agar tidak jadi ikut seorang Arab ke Padang, Brinkman menjawab bahwa ia melakukannya hanya terdorong rasa kasihan dan atas desakan kawannya yang bernama Mikola.

Di antara deretan saksi yang dimintai keterangannya terdapat ibu Fientje, Ny. de Feniks, yang nama aslinya Siti Rafia. Wanita setengah baya ini mula-mula tampak tenang, tetapi .. tiba-tiba menangis tersedu-sedu ketika dihadapkan pada barang-barang bukti. Ia mengakui bahwa barang-barang itu memang milik anaknya. Kebaya itu dibuatnya sendiri beberapa hari sebelum terjadi pembunuhan. Juga perhiasan yang ditemukan pada mayat dan di kebun dikenalinya, kecuali kalung emas.

Ibu ini menyatakan bahwa sejak semula ia sudah tidak setuju hubungan anaknya dengan Brinkman. Sebenarnya Fientje sudah bertunangan dengan seorang bernama Grauw, tetapi hubungan itu terputus karena Grauw dipindahkan ke Surabaya. Ia pernah mengusir Fientje dari rumahnya ketika di ketahui bahwa ia bermalam di rumah Brinkman.

Kalau mereka habis bertengkar hebat, anaknya pulang lagi ke rumah orang tua. Fientje pernah pulang dengan pakaian robek-robek dan benjol-benjol pada kepala serta memar-memar pada tubuhnya bekas pukulan.

Pada malam Selasa Fientje, katanya, pergi ke Jatibaru untuk mencari rumah sewa bersama Brinkman. Ny. de Feniks juga mengatakan bahwa Fientje pernah menyatakan keinginannya untuk membeli revolver kecil agar bisa membela diri kalau ia dianiaya lagi.

Atas keterangan nyonya ini Brinkman menyatakan bahwa semuanya bcihong. Ia tidak pernah menganiaya korban. Ny. de Feniks memberikan keterangan yang memberatkan, sebab sakit hati karena ia pernah mengadukan saudara laki-laki Fientje mencuri di rumahnya. Lagi pula, katanya, kalau benar Fientje dianiaya olehnya, kenapa ia selalu balik lagi.

Hal itu ditanggapi oleh hakim ketua, "Wanita itu cinta kepada Anda, Tuan Brinkman!"

Waktu Fientje hendak kabur ke Padang, ia bersembunyi di rumah rendezvous Jet Goert di Mangga Besar. Brinkman dan Mikola naik taksi untuk menjemputya dan memaksanya pulang. Hakim ketua bertanya, "Kalau benar Fientje memang perempuan bejat seperti yang Anda gambarkan dulu, mengapa Anda menebus dan menjemputnya?

Brinkman menjawab bahwa ia dibujuk oleh Mikola. Dalam perjalanan pulang dengan taksi terjadi pertengkaran antara Fientje dan Brinkman. Brinkman mengakui bahwa Fientje tersentuh sedikit oleh tangannya ketika mereka bertengkar dalam mobil.

"Dengan akibat benjol-benjol di kepala?"

"Itu terlalu dilebih-lebihkan."

"Tapi sopir taksi itu menyatakan di bawah sumpah bahwa ia mendengar suara benturan yang keras dan suara Fientje menangis."

"Tapi sebenarnya saya waktu itu hanya membela diri. Ia mau memukul atau mencakar saya, sehingga saya sibakkan tangannya."

J. Nieuwenhuis, karyawan perusahaan trem uap, merupakan tetangga terdekat Brinkman di Gang Ajudan (daerah Mangga Besar). la kenal Fientje dan tahu hubungannya dengan tertuduh. Di antara kedua pasangan itu sering terjadi pertengkaran.

Tentang apa, saksi tidak tahu. Di suatu malam pada permulaan bulan Mei 1912 ia terbangun oleh suara ribut-ribut di tengah malam. Ia mengenali suara Fientje di tengah hiruk-pikuk itu.

Brinkman menyatakan bahwa itu buka suara Fientje, tetapi perempuan lain. Saksi merasa pasti bahwa itu benar suara Fientje.

Brinkman disuruh mengenali barang-barang peninggalan korban. Ia mengatakan tidak mengenali pakaian yang lusuh berupa kain sarung, baju kebaya, dan Iain-lain yang telah lusuh karena terendam lumpur kali. Ia disuruh mendekat sampai ke meja hakim ketua. Sebuah kotak dibuka, berisi karung dan tambang pengikat. Hakim ketua memperhatikan wajah tertuduh dengan saksama. Adakah perubahan pada wajahnya yang keras itu?

"Tuan Brinkman, Anda nervous?"

"Tidak, Tuan Ketua. Itu hanya pikiran Anda."

Dalam rekuisitornya jaksa antara lain menyatakan bahwa Brinkman seorang yang menuntut kehidupan ganda, yang satu sebagai orang baik-baik dan terpandang di masyarakat, sedang yang lainnya sebagai buaya yang sering keluar-masuk kampung dengan maksud-maksud yang tidak baik: Keterangan terdakwa bahwa korban sering berkeliaran dengan lelaki lain tidak terbukti. Sebaliknya, hakim beranggapan bahwa Fientje cinta kepada tertuduh, sehingga rela diperlakukan secara sewenang-wenang. Juga ternyata bahwa korban takut dan merasa terancam oleh terdakwa, sehingga menyimpan senjata api untuk membela diri sebagaimana dinyatakan oleh para saksi.

Menurut jaksa, terbukti terdakwa mengajak korban ke rumah Umar, lalu dibunuh dalam kamar dengan bantuan Umar, Entong, Kacung, seorang Eropa lain yang tak dikenal oleh Leleng alias Mikola. Tidak jelas mengapa Brinkman harus turun tangan sendiri, entah apakah dia harus memastikan sendiri atau mungkin seorang yang sadis. Jaksa juga menegaskan bahwa Raona dan Idup bisa dipercaya, hanya mereka keliru dalam soal hari. Menurut mereka terjadinya pada malam Selasa, seharusnya. malam Rabu.

Yang paling utama adalah saksi Raona, yang tetap berpegang pada keterangannya meskipun dibantah dan diragukan. Lagi pula terdakwa tidak dapat membuktikan dia sedang di mana pada malam terjadinya pembunuhan. Akhirnya, jaksa menuntut hukuman mati untuk terdakwa pertama, Brinkman, sedangkan Mardjuki dibebaskan sebab tidak terbukti kesalahannya. Pembela terutama menyerang keterangan para saksi yang dikatakannya tidak bisa dipercaya. la beranggapan bahwa pengadilan ini berat sebelah sebab sudah mempunyai prasangka terhadap tertuduh yang menurut anggapannya diadili oleh pendapat umum. Setelah replik dan duplik dengan pihak jaksa, akhirnya sidang ditunda lagi untuk memberikan kesempatan kepada para hakim menjatuhkan keputusan.

Keputusan itu jatuh pada tanggal 30 Mei 1914. Karena bukti-bukti kurang meyakinkan dan keterangan saksi banyak yang simpang siur dan bertentangan, maka tertuduh Brinkman dibebaskan, demikian juga Mardjuki. Atas berakhirnya sidang pengadilan itu Surat Kabar Java Bode memberikan ulasan bahwa perkara ini berakhir dengan tidak memuaskan. Pengusutan perkara yang berlarut-larut ternyata tidak berhasil memberikan gambaran jelas tentang perkara pembunuhan ini. Kalau pengadilan memutuskan bahwa bukan Brinkman pelakunya, maka para pembunuh sebenarnya masih berkeliaran dengan bebas. (Tan Boen Kim & Java Bode)

 

 

Catatan penyadur:
Kisah ini disadur dari buku Tan Boen Kim, Nona Fientje de Feniks, atawa Djadi Korban dari Tjemboeroean, Batavia 1917. Sedangkan sidang pengadilannya diambil dari Surat Kabar Java Bode. Dibandingkan dengan laporan sidang, ternyata penulis buku tidak teliti dan mungkin mencampurkan fakta dengan khayalannya sendiri, agar bisa dikarang menjadi cerita. Kisah Gramser Brinkman belum berakhir dengan pembebasannya dari tuntutan hukum dalam perkara Fientje de Feniks. Setahun kemudian ia akan dihadapkan lagi ke pengadilan karena soal pembunuhan lain dan kejahatan-kejahatan Iain.

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553110544/siapa-pembunuh-nona-kwitang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348475000) } } [10]=> object(stdClass)#162 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3110525" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#163 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/mobil-wolseley-yang-dikuntit-for-20220208043845.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#164 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(15) "Intisari Online" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(224) ["email"]=> string(24) "onlineintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(57) "Mobil misterius menjemput seorang pria dan tidak kembali." ["section"]=> object(stdClass)#165 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/mobil-wolseley-yang-dikuntit-for-20220208043845.jpg" ["title"]=> string(39) "Mobil Wolseley Yang Dikuntit Ford Sedan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:27:43" ["content"]=> string(35633) "

Intisari Plus - Dalam bulan November 1946, seorang wanita yang kelihatannya kaya raya mulai sering mengunjungi bar di sebuah hotel. Hill Hotel namanya, di Kota Reigate, tidak jauh dari Kota London.

Wanita itu cantik, pakaiannya baik, dan rambut pirangnya dipelihara sampai sebahu. Usianya kira-kira 35 tahun.

Meskipun sudah beberapa kali mengunjungi bar itu, tidak ada orang di hotel yang mengetahui siapa nama wanita tersebut. Meskipun kaum wanita di Inggris sifatnya bebas, namun tetap kedatangannya yang seorang diri itu menarik perhatian. Sopirnya selalu menunggu di luar, dalam sebuah limusin merek Wolseley.

Namun segera diketahui bahwa di antara orang yang berada di hotel itu, hanya Jack Mudie-lah yang diperhatikannya, yaitu petugas bar itu, seorang pemuda tampan yang baru berusia 26 tahun.

Rekan-rekan Jack sering menggoda bahwa ia harus berbangga menarik perhatian seorang wanita yang begitu cantik dan berada pula. Tetapi Jack selalu berdalih. "Satu-satunya yang kami bicarakan adalah maksudnya untuk mengadakan suatu pesta di rumahnya di London untuk sejumlah tamu terkemuka. Saya dimintanya untuk mengurus minuman pesta malam itu. Berarti penghasilan ekstra buat saya. Saya hanya bisa melakukannya Kamis malam, malam satu-satunya saya bebas."

Kemudian pada permulaan minggu terakhir bulan November 1946, Jack Mudie menerangkan kepada rekan-rekannya bahwa wanita berambut pirang itu akan menyelenggarakan pestanya pada hari Kamis, 28 November. Sorenya, pukul 18.00, Jack sudah selesai dengan pekerjaannya. Wanita itu akan menjemputnya dengan mobil Wolseleynya.

 

Buntut nomor mobilnya 101

Kamis, 28 November, pukul 18.00 benar-benar Wolseley itu berhenti di depan Hill Hotel dan Jack masuk ke dalamnya. Seorang portir hotel sempat melihat bahwa mobil Wolseley itu segera diikuti oleh sebuah Ford sedan berwarna hitam.

Pada hari Sabtu, 30 November, pukul 17.00, seorang petani melewati jalan sepi di sebuah desa kira-kira 10 km dari Kota Reigate. Secara kebetulan sekali ia melihat ke jurang di pinggir jalan. Apa yang dilihatnya membuat dia segera menelepon polisi: seorang pria terbaring telungkup dengan seutas tali di lehernya.

Dua detektif dengan seorang dokter segera datang. Dari surat-surat yang ditemukan dalam saku mayat diketahui bahwa korban adalah Jack Mudie, dengan pekerjaan sebagai petugas bar Hill Hotel, Reigate.

Dokter yang memeriksa mayat itu menarik kesimpulan, Jack mati dijerat dan menurut taksirannya kematian itu terjadi kira-kira 48 jam sebelumnya. Jadi hari Kamis, 28 November.

Mulai Sabtu malam sampai keesokan harinya para detektif memeriksa pengurus Hill Hotel dan para karyawan lainnya. Si manajer membuka arsipnya dan menerangkan bahwa Jack mulai bekerja pada tanggal 1 Juli 1946 dan tinggal di hotel itu juga. Sebelumnya ia bekerja di sebuah hotel di Wimbledon, hanya beberapa kilometer dari Reigate. Di situ Jack membayar makan pada seorang wanita yang membuka rumah indekos.

Perangai Jack tidak tercela.Begitu pula penilaian majikan Jack sebelumnya. Kata manajer Hill Hotel, "Jack seorang yang baik, jujur. Saya tak mengerti mengapa ada orang yang ingin membunuhnya."

Lebih dari itu manajer tak dapat memberi keterangan apa-apa. Barulah dari rekan-rekan Jack para detektif mendengar cerita tentang wanita berambut pirang yang datang dengan mobil mewah merek Wolseley dan tentang pesta yang dilayani Jack pada Kamis malam di suatu tempat di London.

Dari portir, para detektif itu pun mendengar cerita tentang mobil Ford berwarna hitam yang segera menguntit Wolseley yang dikendarai seorang sopir dan ditumpangi Jack serta wanita berambut pirang itu. Sayang, portir itu tidak memperhatikan nomor mobilnya.

Para detektif membongkar kamar Jack: banyak surat dari sanak saudara dan sahabatnya, tetapi tidak ada yang mengandung keterangan alamat atau nomor telepon wanita berambut pirang itu.

Selagi mengadakan pemeriksaan ini datanglah manajer hotel. Katanya, ada seorang tamu yang ingin berjumpa dengan para detektif itu.

Ternyata tamu itu seorang penduduk desa di mana mayat Jack ditemukan. la mendengar berita pembunuhan ini dan merasa wajib menemui polisi. Siapa tahu keterangannya dapat membantu polisi.

"Rabu, jadi sehari sebelum terjadinya pembunuhan, kira-kira pukul 18.00, ketika cuaca mulai gelap, saya kebetulan berjalan-jalan dekat jurang dan melihat sebuah mobil sedan hitam merek Ford diparkir di pinggir jalan. Saya tak sanggup melukiskan wajahnya, karena ketika mendengar langkah-langkah saya, ia buru-buru melompat ke dalam mobil dan melarikannya kencang-kencang.”

“Sebelumnya ia menghidupkan lampu mobilnya, karena itu saya bisa melihat nomor mobilnya dari belakang. Terdiri atas dua bagian. Bagian huruf tiga buah (ADC, FHK, misalnya, Red.). Bagian angkanya tiga buah juga. Hurufnya tak dapat saya tangkap, tetapi sebagian angkanya jelas sekali: 101."

Info ini berharga sekali nampaknya. Menurut portir hotel, mobil sedan hitam yang membuntuti mobil Jack itu mereknya Ford. Bila mobil Ford yang dilihat penduduk desa itu memang sama, maka ini berarti pengemudinya sengaja datang ke situ kurang dari 24 jam sebelum terjadinya pembunuhan, sekadar untuk memeriksa tempat di mana calon korbannya akan dibuang.

Para detektif itu mengucapkan terima kasih kepada penduduk desa itu. Kekurangan pada nomor mobil... 101 itu bisa dimintakan bantuan pada Scotland Yard. Tetapi siapa wanita berambut pirang yang bermaksud mengadakan pesta di rumahnya di London itu?

 

Tidak ada yang berambut pirang

Scotland Yard di London diberi laporan dan pada hari Senin, 2 Desember, polisi di Reigate mendapat kunjungan seorang terkemuka dari Scotland Yard, Inspektur Detektif Arthur Philpott.

Sosok tubuh Inspektur Philpott mirip seorang atlet, tetapi pandangannya seperti seorang profesor. Pakaiannya rapi. Topinya bundar (bowler hat) dan selalu ada payung hujan yang digulung ketat seperti tongkat di tangannya.

la duduk dan mendengar uraian kedua detektif yang melakukan pekerjaan persiapan. Setelah mereka selesai, Philpott memilin kumisnya dan mulai membuat lingkaran di lantai dengan ujung payungnya.

"Soal nomor mobil itu tidak sulit. Alat elektronik (IBM) di Yard yang dapat memecahkannya. Cuma tinggal menekan tombol kemudian bisa diketahui semua nomor mobil di Inggris merek Ford berwarna hitam yang nomornya mengandung 101."

Dengan tersenyum pahit Philpott melanjutkan, "Tapi wanita berambut pirang ... itu soal lain. Sayang, di Scotland Yard tak ada mesin yang dapat menyebutkan nama dan alamatnya."

"Ada dua kemungkinan. Pertama, ia sungguh-sungguh kaya dan mengadakan pesta. Dalam hal ini ia sendiri sasaran utama dari si pembunuh dan kematian Jack Mudie hanya suatu kebetulan tak disengaja."

"Kedua, ia tidak kaya dan tidak bermaksud mengadakan pesta di London. Untuk ini mengapa ia mesti mencari pengurus minuman untuk pesta itu sampai ke Reigate, di luar Kota London? Setiap pengurus restoran di London dapat menyediakantenaga yang dibutuhkan selama beberapa jam saja."

"Sudah beberapa kali terpikir oleh saya: apakah kebetulan pesta itu diadakan Kamis malam, hari di mana Jack bebas, atau sengaja ditentukan pada Kamis malam setelah wanita berambut pirang itu mengetahui bahwa Jack hanya bebas pada malam itu? Sehingga wanita itu memegang peranan sebagai perangkap untuk mengajak Jack ke luar dari hotel?"

Philpott menelepon Scotland Yard. Tak ada wanita berambut pirang yang dilaporkan hilang. Lalu ia meninggalkan Kantor Polisi Reigate untuk mengunjungi rumah di mana Jack Mudie pernah mondok sebelum bekerja di Hill Hotel.

Rumahnya bertingkat tiga. Wanita pengurus rumah pemondokan itu tinggal di tingkat pertama. "Bisa saya tolong, Tuan?" begitu Philpott disambut ramah.

Philpott memperkenalkan diri dan menanyakan latar belakang Jack Mudie. Wanita itu menerangkan bahwa selama tinggal di rumahnya sampai tanggal 1 Juli Jack dikenal sebagai pemuda yang sopan santun. Pergaulannya dengan penghuni lain selalu baik.

"Penghuni lainnya siapa saja?" tanya Inspektur Philpott. Lalu penghuni rumah itu menerangkan bahwa tingkat kedua disewakan kepada sepasang suami-istri muda, Barron.

Di tingkat ketiga ada beberapa kamar. Penyewanya Jack Mudie dan seorang lagi Mayor Romer. la sahabat Tuan dan Ny. Barron.

"Tak ada orang lain yang pernah dikenal selama Jack tinggal di sini?" tanya Philpott.

Pemilik rumah pemondokan itu berpikir sebentar. Benar, pada permulaan Juni, ketika Ny. Barron jatuh sakit dan harus ke rumah sakit, ibunya, yaitu Ny. Maggie Brook, seorang janda yang agak lanjut usia, datang dari London dan mula-mula untuk merawat putrinya. Kemudian ia mengurus menantunya ketika putrinya masuk rumah sakit.

Ketika beberapa hari kemudian putrinya pulang dari rumah sakit, Ny. Maggie Brook pun kembali ke London. Jadi perkenalan Jack dengan nyonya janda itu sebentar saja.

Philpott agak kecewa. Apalagi ketika ternyata Ny. Maggie Brook (66) dan putrinya tidak berambut pirang. Tak seorang pun penghuni rumah itu yang memiliki Ford hitam, apalagi mobil mewah Wolseley.

 

Bekas hukuman mengganti warna mobilnya

Sementara itu mesin-mesin elektronik di Yard telah menghasilkan daftar mobil Ford hitam di seluruh negeri ini yang nomor polisinya berakhir dengan angka 101. Philpott sendiri memeriksa dan menanyai pemilik mobil tersebut. Mula-mula tak berhasil. Baru pada tanggal 10 Desember muncul sesuatu yang menarik perhatian Philpott.

Sebuah Ford hitam nomor FGP-101 dipunyai oleh sebuah perusahaan penyewaan mobil di London. Sejak Senin, 25 November 1946 mobil itu disewakan selama seminggu kepada seorang tukang kayu, Lawrence Smith. Ia tinggal di pinggir Kota London.

Tukang kayu itu mengembalikan mobil sewaannya seminggu kemudian dan membayar sewa sebanyak 14 (atau AS $ 56,42 kurs waktu itu). Menurut Philpott, jumlah itu terlampau tinggi bagi seorang tukang kayu biasa. Maka diputuskanlah untuk mendatanginya.

Usianya 30-an, bekas anggota RAF selama perang, mempunyai karier baik, berkeluarga dan mempunyai tiga anak, hanya ia sudah bercerai dari istrinya yang tinggal di Leicester bersama anaknya, jauh dari London.

Atas pertanyaan Philpot, tukang kayu itu terus terang menyatakan bahwa karena sudah bercerai ia sering bergaul dengan wanita lain. Maklum mereka suka keluar dengan laki-laki bermobil.

"Hari Senin dan Selasa malam saya keluar bersama beberapa wanita. Mengenai hari Rabu dan Kamis saya bekerja sampai jauh malam. Kalau Tuan tak percaya, tanyakanlah pada orang yang memberi saya pekerjaan waktu itu. Jadi tak mungkin saya menengok jurang maut itu pada Rabu malam atau tersangkut dalam pembunuhan yang terjadi Kamis malam."

Si tukang kayu menerangkan bahwa ia tak pernah kenal orang bersama Jack Mudie. Yang memberi pekerjaan sampai jauh malam kepadanya adalah Honourable Thomas John Ley yang mendiami sebuah rumah indah di Beaufort Gardens yang sedang diperbaikinya.

Philpott mengenai nama Ley, seorang penduduk London yang miskin di masa kecilnya. Kemudian dalam usia delapan tahun pindah ke Australia di mana dia menjadi ahli hukum dan hartawan, dan pernah menjadi anggota parlemen, bahkan juga sebagai pendidik, menteri perburuhan, menteri perindustrian, dan akhirnya sebagai menteri kehakiman untuk negara bagian New South Wales. Kemudian ia pindah ke Inggris, usianya hampir 70 dan kaya luar biasa.

Philpott mengunjungi Honourable Thomas Ley di rumahnya yang memang sedang diperbaiki. Ketika Philpott menyebut-nyebut perkara pembunuhan Jack Mudie seketika itu juga Ley memperlihatkan perhatian yang besar. Bukankah ia pernah menjadi menteri kehakiman di Australia? Lalu ia bercerita tentang pengalamannya sebagai ahli hukum di benua itu.

Pada suatu saat ia berhenti lalu berkata lagi, "Maaf, Tuan datang untuk menanyakan tentang Lawrence Smith, si tukang kayu? Memang Rabu dan Kamis ia bekerja di sini sampai jauh malam. Lemari buku saya harus diselesaikan karena hari Jumat tukang cat akan datang."

Philpott meninggalkan rumah bekas menteri kehakiman itu dengan perasaan kecewa. Nama Lawrence Smith dicoretnya dari daftar tersangka. Kini ia mengunjungi seorang pemilik mobil Ford sedang hitam lain.

Carmichael namanya dan tinggal di London. Nomor polisi mobilnya HKG-101. Ternyata Carmichael pernah dihukum karena menipu. Pembantunya dalam penipuan ini adalah seorang wanita yang tidak dikenal namanya.

Perhatian Inspektur Philpott makin besar oleh karena seminggu setelah Jack Mudie mati dibunuh, Carmichael mengecat biru mobil Fordnya yang tadinya hitam itu.

 

Surat aneh

Carmichael dibayangi oleh orang-orang Philpott, sedangkan dia sendiri pergi ke Hill Hotel untuk memeriksa kamar Jack Mudie. Segel yang mengunci kamar itu dirusak.

Di antara surat-surat yang ada di situ, tak satu pun yang menyebutkan nama Carmichael, tetapi ada dua dokumen yang amat menarik perhatiannya. Kedua surat itu ditujukan kepada Jack Mudie. Kedua-duanya ditulis di atas kertas surat yang memakai nama perusahaan "Connaught Properties Ltd., King William Street, London" dan ditandatangani oleh manajer perusahaannya.

Surat yang pertama tertanggal 10 Juli 1946 menerangkan bahwa Ny. Maggie Brook adalah seorang anggota direksi perusahaan Connaught tersebut. Tetapi perusahaan tersebut tidak dapat menghubungi Ny. Maggie Brook, sedangkan tanda tangan nyonya tersebut dibutuhkan
untuk sejumlah cek.

Cek terlampir pada surat yang ditujukan kepada Jack Mudie. Dapatkah Jack Mudie menyampaikan cek itu kepada Ny. Maggie Brook agar dapat ditandatanganinya?

Demikianlah intisari surat yang mengherankan itu: sebuah perusahaan yang tak dapat menghubungi direksinya lalu minta pertolongan orang lain. Apa hubungan antara perusahaan ini dengan Jack Mudie atau dia dengan nyonya janda berusia 66 tahun itu?

Surat yang kedua tertanggal 13 Juli. Isinya mengaku menerima cek yang dikembalikan Jack tanpa berisi tanda tangan Ny. Maggie Brook. Surat yang ditandatangani oleh manajer perusahaan Connaught itu menerangkan lebih jauh:

"Saya ingin menegaskan Tuan Mudie yang terhormat bahwa saya tidak mengerti insiden ini. Saya tidak pernah menulis surat kepada Tuan tertanggal 10 Juli. Demikian juga saya tidak pernah mengirim cek kepada Tuan. Bila Tuan memiliki surat atas nama saya, jelaslah bahwa surat itu palsu. Rupanya orang yang tak dikenal itu menyalahgunakan buku cek perusahaan kami, tapi saya tentu paham bagaimana harus menjumpainya. Saya mohon maaf bahwa Tuan telah terganggu."

Inspektur Philpott membandingkan tanda tangan kedua surat itu dan harus mengakui bahwa keduanya berbeda. Ia berpikir dan teringat pada percakapannya dengan wanita pemilik rumah indekos yang pernah ditinggali Jack Mudie.

Ketika masih tinggal di sana, Jack dan Mayor Romer menyewa kamar di tingkat paling atas, sedangkan tingkat dua ditinggali pasangan Barron. Ketika Ny. Barron sakit, ibunya, yaitu Ny. Maggie Brook, menginap di rumah itu. Rupanya nyonya inilah yang menjadi anggota direksi perusahaan Connaught.

Tetapi ini tidak memecahkan teka-teki kedua surat itu. Cek yang disertakan pada surat pertama itu ternyata tidak sah. Suratnya sendiri palsu. Karena Jack mengembalikan cek itu dan menuntut keterangan tertulis mengenai ini berarti ia tak senang menerima cek tersebut.

Inilah pikiran Inspektur Philpott. Menarik tetapi tetap gelap. Akhirnya, kedua surat itu dimasukkan kembali ke dalam kantung bajunya dan meskipun sudah hampir malam ia pergi juga ke Wimbledon, ke rumah indekos Jack dulu.

Kali ini ia tidak minta bertemu dengan pemilik rumah itu, melainkan dengan penyewa tingkat kedua, suami-istri Barron. Hanya Ny. Barron yang ada di tempat. Suaminya bersama Mayor Romer (yang menyewa kamar di tingkat tiga) sedang main bridge di luar kota.

Ny. Barron tidak bersedia memberi keterangan tentang ibunya dan hubungannya dengan perusahaan Connaught. "Lebih baik bicara dengan suami saya saja," katanya. "Besok ia bisa menerima Tuan." Tetapi sebelum Inspektur Philpott pergi, wanita itu masih bersedia memberi alamat ibunya di Cromwell Road, London.

Dari pelayan rumah di Cromwell Road itu Inspektur Philpott mendengar bahwa Ny. Brook tidak ada di rumah, tetapi sedang makan malam di sebuah restoran tak jauh dari situ.

Philpott segera dapat menentukan siapa Ny. Brook. Di seluruh rumah makan itu hanya ada satu wanita yang sudah putih rambutnya, namun masih nampak sisa-sisa kecantikannya dahulu. Di seberang mejanya duduk seorang pria yang sudah setengah ubanan. Mereka berdua sedang asyik membicarakan sesuatu.

Philpott berjalan memutar untuk melihat wajah teman makan Ny. Brook. Ketika jelas wajahnya, jantung Inspektur Philpott berdetak lebih kencang. Ternyata pria itu adalah Yang Terhormat Thomas John Ley, sarjana hukum, bekas Menteri Kehakiman Australia.

Mengapa Ley berada di sini? Untuk suatu tugas detektif? Mustahil! Ley hanya bisa mengetahui hubungan antara Pembunuhan Jack. Brook bila ia pernah melihat kedua surat yang dikirim kepada Jack. Tak masuk di akal kalau Ley mengetahui isinya.

Ketika Ley dan Ny. Brook meninggalkan restoran, Philpott mengikuti mereka. Ia masih sempat melihat Ley mencium wanita itu di depan pintu rumahnya, lalu meneruskan perjalanannya dengan sebuah taksi.

 

"Sepupu" yang boros

Philpott pun pulang dan merenungkan apa yang dialaminya. Keesokan harinya ia bertemu dengan detektif yang membayangi Carmichael. Laporan itu sudah diduganya lebih dulu: yaitu Carmichael tak ada sangkut-pautnya dengan kematian Jack.

Ketika Jack dibunuh, Carmichael sedang berada di Irlandia bersama mobil Ford hitamnya. Sekembali dari perjalanannya itu ia memang mengecat mobilnya menjadi biru, tetapi ini atas permintaan istrinya agar sesuai dengan warna rok yang baru dibelinya

Dalam pembicaraann dengan manajer perusahaan itu pertanyaan pertanyaan yang diajukan disusun secara hati-hati oleh Philpott.

Ia tak mengatakan bahwa ia sedang menyelidiki perkara pembunuhan. Nama Jack pun tak disebutnya. Namun begitu baiknya susunan pertanyaan hingga ia mendapatkan apa yang diinginkannya.

Pemegang saham utama dan presiden direkturnya adalah Honourable Thomas John Ley. Ia datang ke kantor hanya kadang-kadang untuk memeriksa buku dan korespondensi, akan tetapi kantornya yang sesungguhnya adalah di tempat kediamannya sendiri. Ny. Maggie Brook anggota direksi perusahaan itu hanya secara formal, berkat pengangkatan Ley sendiri.

Di samping manajer perusahaan, hanya satu orang yang dapat menguasai buku cek perusahaan dan orang itu adalah Thomas Ley sendiri. Mengenai hubungan antara Ley dan Ny. Maggie Brook, manajer itu segan memberi keterangan meskipun akhirnya tertumpah juga dari mulutnya.

Ny Maggie Brook adalah piaraan Ley sejak 23 tahun silam, sejak suaminya meninggal di tahun 1923. Mereka hidup bersama dan lalu berpisah pada saat pembunuhan Jack terjadi. Jadi hanya bersifat sementara, karena rumah Ley sedang diperbaiki.

Philpott pun mendapat keterangan bahwa Ley mempunyai rekening di Midland Bank, tak jauh dari kediaman Ley. Philpott ke sana dan bercakap-cakap dengan pembesar bank itu. Keterangan yang didapatnya membuka matanya.

Selama beberapa bulan Ley hanya membayar £ 10 setiap minggu kepada tukang kayu. Tetapi tidak lama setelah Jack dibunuh, Ley membuka rekening untuk si tukang kayu itu sebesar £ 3OO. Jarang sekali Ley mengeluarkan uang banyak sekaligus, kecuali selama dua minggu terakhir dalam bulan November itu, yaitu £ 550 kontan.

Menurut pembesar bank, dalam bulan Juni dan awal Juli, Ley pun mengambil uang dalam jumlah besar, juga untuk membiayai seorang detektif pribadi. Inspektur Philpott mengunjungi detektif itu yang segera mengeluarkan sehelai catatan dari arsipnya: Ley datang pada tanggal 1 Juni. la mempunyai seorang saudara sepupu yang sudah lanjut usianya - Ny. Maggie Brook namanya - juga kaya hanya agak boros. Ia suka menghambur-hamburkan uang, terutama kalau didekati seorang pria.

"Menurut Ley, ia sanggup mengawasi saudara sepupunya itu selama ia berada di London. Tetapi karena wanita itu dalam bulan Juni baru saja berangkat ke Wimbledon untuk merawat putrinya, maka Ley agak khawatir. Ley minta kepada kantor detektif itu untuk mengawasi rumah di mana Maggie Brook menginap, di Wimbledon, dan melaporkan setiap pria yang datang ke Sana."

"Nah, permintaan itu kami kabulkan. Bukan suatu pekerjaan yang sulit. Ternyata Ny.Maggie Brook hanya mengenai tiga pria yang juga berdiam di rumah itu, yaitu menantu lelakinya, Arthur Barren, penyewa kamar yang namanya Mayor Romer, dan seorang penyewa juga bernama Jack Mudie, penjaga bar."

Tanya Philpott, "Pada permulaan Juli, Jack Mudie pindah dari Wimbledon. Apakah Tuan juga mencari tahu ke mana ia pindah?"

"Ya. Ia pindah ke Hill Hotel, di Reigate. Ley menyuruh saya mencari tahu itu karena katanya Jack Mudie meminjam uang dari Ny. Maggie Brook."

 

Harus memberi laporan setiap jam

Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari ini Inspektur Philpott datang ke kantor Scotland Yard. Orang-orangnya yang tadinya membayang-bayangi Carmichael kini diperintahkan mengawasi gerak-gerik Lawrence Smith, si tukang kayu.

"Smith mempunyai alibi saat Jack Mudie dibunuh, tetapi alibinya adalah Ley. Tapi kini tampaknya Ley sendiri tersangkut dalam pembunuhan dan ia juga memberi banyak uang kepada tukang kayu. Mungkin juga kepada orang lain. Misalnya kepada wanita berambut pirang dan sopirnya yang selalu mengendarai mobil Wolseley, juga sopir Ford hitam itu. Mungkin kita bisa mendapat banyak kepastian dari si tukang kayu."

Malam itu ketika Inspektur Philpott kembali mengunjungi rumah keluarga Barron, ia bertemu dengan tuan rumah dan kawannya, Mayor Romer Philpott mewawancarai mereka bersama-sama. Pada saat Philpott menyebut nama Ley, kedua pria itu saling memandang dengan air muka mencerminkan kekhawatiran dan perasaan marah.

"Sekalipun kaya dan orang penting, Ley orang edan. Ia tidak sadar bahwa dia dan Ny.Maggie Brook sendiri sudah hampir 70 tahun. Ley sangat pencemburu. Ketika wanita itu tinggal di sini merawat putrinya,

Ley tengah malam menelepon dan meminta keterangan apa yang dilakukan wanita itu setiap jam selama satu hari itu. Ia menuduh wanita itu main gila dengan sang mayor karena kebetulan Mayor Romer tinggal serumah," tutur Arthur B.

"Kemudian ketika istri saya masuk rumah sakit, Ley menuduh Ny. Brook main gila dengan saya, menantu lelakinya sendiri!"

"Beberapa hari setelah istri saya pulang dari rumah sakit, Ley mendadak datang ke sini pada pukul 02.00 pagi buta dan menuntut agar Ny. Brook segera berangkat bersamanya ke London. Tindakannya tidak keruan dan bahasanya kasar. Ia menuduh wanita itu berbuat serong dengan Mayor Romer, saya, dan Jack Mudie yang diam di tingkat tiga. Ley berteriak-teriak seperti orang gila. Untuk menenangkannya, Ny. Maggie Brook mengemasi pakaian lalu berangkat."

"Akhirnya, pada permulaan Juli, Ley mencoba beberapa kali memancing saya dan Mayor untuk pergi ke satu tempat yang sepi. Tetapi tak kami hiraukan."

Seluruh keterangan Barron ini diperkuat oleh Mayor Romer. Inspektur Philpott berpamitan. Mukanya serius. Mulutnya terkunci rapat. Setiba di kantornya di London ia menerima laporan dari anak buahnya yang membayangi tukang kayu, Lawrence Smith.

Ia sudah selesai dengan tugasnya di rumah Ley. Ia banyak membeli pakaian baru dan kepada beberapa kawannya ia mengatakan akan meninggalkan Inggris. Mungkin untuk beremigrasi ke Afrika Selatan.

Inspektur Philpott mendapat pikiran baru. Dia mengadakan konferensi dengan beberapa wartawan Scotland Yard. Sampai begitu jauh pembunuhan Jack ini hanya mendapat sedikit perhatian dari pers. Beritanya dimuat di halaman belakang. Tak ada salahnya kalau
beritanya dibuat lebih mencolok.

Philpott menentukan bahwa semua fakta terpenting boleh disiarkan kepada pers, kecuali penyebutan nama si tukang kayu, Ny. Brook, dan Thomas Ley. Sebaliknya, tekanan harus diletakkan pada wanita berambut pirang yang dalam hari-hari terakhir di bulan November sering
naik mobil Wolseley yang dikemudikan sopirnya (di Inggris jarang orang mempunyai kendaraan pribadi berikut sopir. Maka sinyalemen di atas tidak begitu sulit, Red.).

Sabtu, 14 Desember 1946, Inspektur Philpott bangun pagi. Di pinggir jalan dibelinya sejumlah harian pagi dan ia merasa puas bahwa liputan pers Scotland Yard mendapat tempat di halaman depan.

 

Pak Inspektur menengok mantan jago tinju

Ia pergi ke kantornya. Ia menanti perkembangan sambil menulis perkara itu. Tak lama sebelum tengah hari teleponnya berdering. Ternyata telepon dari agennya yang membayangi Lawrence Smith.

Smith pergi ke sebuah rumah minum di Kota Brixton dan di rumah minum itu ia dikunjungi. Dua penduduk Brixton: John Buckingham Senior, seorang mantan jago tinju, dan John Junior, anaknya.

"Buckingham Senior memiliki sebuah perusahaan yang menyewakan mobil lengkap dengan sopirnya. Salah satu mobil mewah yang disewakannya adalah limusin Wolseley dan sopirnya adalah anaknya sendiri. Barangkali ada baiknya bila Pak Inspektur sekali-kali datang menengok."

"Saran ini dianggap tepat oleh Philpott. Secepat mungkin ia menumpang kereta api bawah tanah. Setiba di Brixton ia mendekati rumah minum.

Kebetulan pada saat itu datang sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang anak muda 20-an. Ia keluar dari mobil itu bersama seorang wanita cantik kira-kira 35 tahun dan berambut ... pirang sampai sebahunya.

Mereka masuk dan sesaat kemudian datang mobil lain. Di dalamnya adalah salah seorang agen Philpott sendiri.

Inspektur Philpott memberi isyarat dan mengajak agen itu bicara di tempat lain. la menuturkan: "Beberapa saat sebelumnya si tukang kayu bertengkar dengan Buckingham Senior dan Junior di sebuah pojok rumah minum itu dan selama pertengkaran itu Buckingham Senior menunjuk pada berita di halaman depan surat kabar pagi itu. Lalu Buckingham Senior menyuruh putranya menjemput seseorang. Dia saya ikuti. Ternyata ia pergi ke suatu rumah beberapa kilometer dari sini dan membawa wanita yang barusan masuk. Ia bernama Lilian Bruce, istri seorang kondektur bus. Kemudian saya ikuti mereka ke sini."

Seperempat jam kemudian Lawrence Smith, Ny. Lilian Bruce, dan kedua Buckingham keluar dari rumah minum. Kedua Buckingham dan wanita berambut pirang itu memasuki sebuah mobil, sedangkan Lawrence Smith menuju stasiun kereta api bawah tanah.

Philpott masih melihat bagaimana kedua orangnya menguntit Smith. Lalu Philpott dengan seorang agen lain menaiki mobil polisi yang tidak memakai tanda-tanda kepolisian dan mengikuti mobil yang ditumpangi Buckingham dan Ny. Lilian Bruce.

Mobil ini berputar-putar selama satu jam di Kota London. Rupanya mereka sedang menentukan ke mana mereka akan pergi.

Akhirnya, mobil itu menuju ke pusat Kota London. Philpott merasa tertarik sekali ketika melihat bahwa mobil berhenti di depan kantor polisi itu dari pintu belakang. Ketika ia tiba, di meja tulisnya sudah ada berita tiga tamu yang menunggunya.

Pintu terbuka dan ketika tamu itu masuk, Inspektur memilin kumisnya dan menyebut nama mereka masing-masing hingga mereka terkejut dan ternganga.

Yang paling dahulu berbicara adalah Buckingham Senior. Secara terus terang ia bercerita sebagai berikut: Buckingham mengurus perusahaan mobilnya dari sebuah hotel di West End, bagian terbaik Kota London. Thomas John Ley sering makan di situ dan pada pertengahan November Ley bertanya, apakah ia bersedia melakukan suatu pekerjaan berat dengan bayaran sebanyak gaji setahun! Buckingham menyanggupinya. Ia pikir Ley seorang sarjana hukum dan mantan menteri kehakiman. Tentu segala sesuatu yang diperbuatnya tak akan bertentangan dengan hukum.

Menurut Ley, Jack Mudie telah memperkosa dua anak gadis dan ia ingin bertemu dengan Jack itu untuk memberi pelajaran kepadanya. Saran Ley adalah agar Buckingham dengan bantuan seorang wanita cantik memancing Jack ke rumah Ley di London, di mana sejumlah pengacara akan hadir memeriksanya kemudian menyerahkannya kepada polisi.

Ley mengirim Smith kepada Buckingham untuk menyusun suatu rencana pekerjaan. Akhirnya, putra Buckingham dan Ny. Lilian Bruce diikutsertakan. Ley menyediakan banyak uang.

Dengan mobil Wolseley yang dikendarai putra Buckingham, Ny. Lilian Bruce berlagak seperti wanita hartawan dan sering mengunjungi Hill Hotel, di mana Jack bekerja. Pada malam tanggal 28 November Ny. Lilian Bruce dengan "sopirnya" pergi ke Hill Hotel untuk penghabisan kalinya dan menjemput Jack.

Buckingham Senior dan Smith mengikuti dari belakang dengan sebuah Ford hitam. Setibanya di rumah Ley di London ternyata tak ada tamu lain selain mereka. Tidak ada pengacara. Apalagi polisi. Buckingham menerima sebuah sampul berisi uang dan bersama Lilian dan putranya pergi ke sebuah rumah minum untuk membagi uang itu.

Buckingham Senior atas nama anaknya dan Ny. Lilian Bruce memprotes bahwa mereka tahu Jack akan dibunuh. Ketika mereka tinggalkan Jack di rumah Ley, Jack masih hidup di bawah pengawasan Ley dan Smith.

Beberapa hari kemudian mereka bertemu dengan Smith yang menerangkan bahwa Jack telah menandatangani suatu keterangan dan sesudah itu dikirim ke luar negeri. Baru setelah membaca harian pagi itu ia tahu Jack menjadi korban pembunuhan.

Ia segera menelepon Smith dan mengajaknya bertemu di rumah minum Brixton. Mereka menuduh Smith melibatkan mereka dalam suatu kejahatan serius. Smith meminta mereka tutup mulut saja.

 

Surat pancingan

Philpott memasang pipanya dan menghirup tanpa berkata apa-apa. Suasana terasa mencekam sekali.

Telepon berdering. Ternyata dari seorang agen yang membuntuti Smith. "Ia sedang mengisi kopernya dan tampaknya mau melaporkan diri."

"Tangkap dia dan bawa kemari," perintah Philpott.

Tanya-jawab Inspektur Philpott dengan Lawrence Smith sore itu tidak begitu lancar. Ia mengaku ikut memancing Jack Mudie ke rumah Ley, tapi tak lama sesudah Buckingham pergi ia pun meninggalkan rumah Ley. Waktu itu Jack masih hidup. Ia sendiri pergi ke Kota Leicester, di mana ia menghabiskan Kamis malamnya sampai Senin pagi bersama istri yang telah diceraikannya dan dengan anak-anaknya.

Tapi pemeriksaan yang dilakukan Scotland Yard bertentangan hasilnya. Menurut para tetangga, Smith baru datang di rumah bekas istrinya pada hari Jumat. Jadi ada kemungkinan bahwa Smith Kamis malam itu masih di rumah Ley, mengangkut mayat Jack, dengan mobil Ford hitam itu ke jurang, di mana akhirnya mayat Jack ditemukan. Jurang yang sehari sebelumnya diperiksanya.

Keterangan keempat orang sewaan Ley ini cukup memberatkan Ley sendiri. Namun Phil pott tidak segera turun tangan. Selama beberapa hari ia mengawasi rumah Ley. Pada suatu sore ia mengajak sekretaris Ley ketika sedang berjalan ke luar untuk pulang. Meskipun segan pada mulanya, namun akhirnya mau juga dia bercerita.

Sebagaimana sudah lama diduga Inspektur Philpott, Ley-lah yang memalsukan surat dan tanda tangan manajernya sendiri, yang dikirimkannya kepada Jack Mudie beserta sejumlah cek yang katanya harus ditandatangani oleh Ny. Maggie Brook.

Sekretaris itu tidak mengerti mengapa bosnya bertindak begitu, tetapi Philpott dapat mengemukakan suatu teori yang masuk akal. Thomas John Ley seorang tua bangka yang amat pencemburu terhadap nyainya yang sudah 66 tahun itu.

Bila Jack Mudie mengirimkan cek itu ke alamat Ny. Brook, itu merupakan bukti bahwa ia tahu di mana wanita itu tinggal dan lebih dari itu lagi, ini mungkin berarti ada hubungan gelap antara mereka. Tetapi Jack menolak cek itu.

Tipu muslihat Ley gagal, karena Jack memang tidak bersalah dan tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan perempuan yang bisa jadi neneknya itu.

Namun sekretaris itu dapat membuktikan bahwa Ley tetap menyangka yang bukan-bukan pada Jack. Ley mendiktekan beberapa pucuk surat yang mengandung segala macam ancaman terhadap Jack.

Tetapi kemudian Ley mendapat pikiran lain. Surat-surat itu tak jadi dikirim. Sekretaris itu masih mempunyai catatan stenonya. Setelah lama dibujuk-bujuk, akhirnya sekretaris itu menyerahkan catatannya kepada Inspektur.

 

Potretnya tidak diturunkan

Pada tanggal 28 Desember 1946, sebulan setelah Jack meninggal, Inspektur Philpott mengunjungi mantan menteri kehakiman itu dan dengan hormat mengundangnya ke Scotland Yard. Ley rupanya tidak tahu bahwa ia akan ditangkap Sikapnya riang saja.

Perkara pengadilan Thomas John Ley dan Lawrence Smith menggemparkan tanah Inggris dan Australia, terutama karena Ley sendiri membela dirinya dan dalam pembelaan memperlihatkan dirinya sebagai pembohong besar.

Ia menyangkal segala-galanya. Tidak kenal Jack Mudie. Orang itu tidak pernah berada di rumahnya. Juga tidak pernah mendengar tentang Buckingham dan Ny. Lilian Bruce. Uang yang diberikannya kepada Smith itu pinjaman belaka. Menyewa orang untuk menculik Jack? Absurd. Nonsens!

Ny. Maggie Brook memberi kesaksian bahwa Ley memang memfitnah dia berbuat serong dengan Jack Mudie dan banyak pria lain. Selama sepuluh tahun terakhir ini ia tak pernah melakukan hubungan seksual dengan Ley, karena pria ini sudah impoten.

Ny. Lilian Bruce dan kedua Buckingham dipanggil untuk memberi keterangan. Mereka dibebaskan, kecuali Buckingham Senior, karena ketahuan melakukan desersi dari tentara selama perang. Ia dimasukkan ke penjara.

Sementara itu datang pula kabar angin dari Australia bahwa meskipun Thomas Ley pernah punya kedudukan tinggi di Australia, ternyata namanya tidak begitu bersih. Pernah dua lawannya dalam pemilihan umum mendadak hilang tidak berbekas. Sebagian orang berpendapat bahwa Ley ada sangkut-pautnya dengan menghilangnya dua tokoh lawan politiknya itu.

Ironis sekali bahwa selama menjadi menteri kehakiman, Ley pernah menolak permintaan ampun seorang pembunuh dengan kata-kata berikutnya: "Perkara ini perkara pembunuhan dan untuk itu tidak ada pengampunan."

Baik Ley maupun Smith dinyatakan bersalah membunuh Jack dan dijatuhi hukuman gantung. Kemudian hukuman si tukang kayu diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Ley diperiksa oleh tiga orang dokter ahli jiwa. Kata mereka, pikiran Ley tidak beres dan menyarankan agar Ley tidak dikirim ke tiang gantungan, tetapi ke rumah sakit jiwa. Orang yang paling hartawan yang pernah masuk rumah sakit! Beberapa bulan kemudian ia mati wajar di situ pada tanggal 24 Juli 1947.

Mungkin Smith masih hidup di penjara. Ley sudah dikuburkan. Akan tetapi potret Thomas John Ley masih tergantung di Kementerian Kehakiman di Sydney bersama dengan menteri kehakiman lainnya.

Pernah diadakan saran agar potret itu disingkirkan, akan tetapi Perdana Menteri Australia menolaknya. "Biarkan di situ. Dishonourable (Yang Tidak Terhormat) Thomas John Ley adalah jenis orang yang harus merupakan peringatan bagi para menteri kehakiman yang akan datang. (The Waiting Wolseley)

" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553110525/mobil-wolseley-yang-dikuntit-ford-sedan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348463000) } } [11]=> object(stdClass)#166 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124218" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#167 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/thumbnail-intisariplus-06-ramb-20220203122052.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#168 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(14) "Berry Benedict" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9392) ["email"]=> string(20) "intiplus-35@mail.com" } } ["description"]=> string(130) "Seorang adik mendapati kakaknya tewas dalam kondisi mengenaskan dan mulut menganga. Ia histeris hingga polisi datang mengatasinya." ["section"]=> object(stdClass)#169 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/thumbnail-intisariplus-06-ramb-20220203122052.jpg" ["title"]=> string(21) "Rambutnya Merah Darah" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:21:01" ["content"]=> string(23214) "

Intisari Plus - Suasana hati Inggrid Riedel pada tanggal 19 April 1967 itu sama cerahnya. la berumur 16 tahun dan menurut cermin, ia

Langit pada hari Rabu itu cerah sekali di Darmstadt, sebuah kota di Jerman Barat. Padahal pada bulan April biasanya cuaca mudah berubah-ubah.

Suasana hati Inggrid Riedel pada tanggal 19 April 1967 itu sama cerahnya. la berumur 16 tahun dan menurut cermin, ia cantik Lagi pula bel tanda sekolah usai sudah berbunyi. Di rumah pasti ibu dan kakaknya, Heidrun, sudah menunggunya untuk makan siang. 

Perut Ingrid sudah keroncongan. Karena gembira, ia tidak bisa menahan diri untuk berjalan pulang sambil melompat-lompat, walaupun ia sudah menjelang dewasa sekarang.

 

Ingrid histeris

Rumahnya terletak di daerah elite di Jl. Leo Tolstoy 9. Se tiba di rumah, ia heran juga sebab pintu terkunci. Ingrid menekan bel. Tidak ada jawaban.

"Gimana, sih," pikir remaja itu. "Enak saja mereka pergi tanpa menunggu aku pulang makan siang dulu." Biasanya kalau ibunya dan Heidrun pergi, mereka sudah tiba di rumah kembali sebelum ia pulang dari sekolah.

Ingrid bermaksud masuk dari jendela dapur di belakang rumah. Jendela itu rusak kuncinya dan Ingrid pernah masuk lewat jendela itu dengan mendorong cukup keras.

Setiba di dalam dapur, Ingrid merasakan kesunyian yang luar biasa. Belum pernah ia merasa sesunyi itu di rumah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.

"Ibu!" panggil Ingrid. Suaranya agak tertahan. "Heidrun!"

Yang menjawabnya hanyalah kesenyapan. Namun, Ingrid anak pemberani. Ia diajarkan untuk menghadapi masalah, bukan menghindarinya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres di rumah itu. 

Dengan menabahkan hatinya, dari dapur yang kosong, ia masuk ke ruang depan. Dibukanya pintu, ternyata tidak terkunci. Sinar matahari bulan April menyerbu masuk. Menyaksikan kecerahan musim semi, Ingrid merasa lebih lega.

Ia naik ke tingkat atas. Kamar ayah-ibunya sudah bersih dan rapi. Artinya, ibu dan kakaknya sudah selesai bebenah sebelum pergi. Kamarnya pun sudah dibereskan. Cuma ibunya dan Heidrun tidak meninggalkan pesan tertulis di kamar itu, padahal ia mengharapkannya. Pintu kamar Heidrun tertutup. Itu biasa, mereka keluarga yang rapi. Pintu-pintu tidak dibiarkan terpentang saja.

"Heidrun!" panggil Ingrid. Tidak ada jawaban. Dengan was-was dibukanya pintu. Heidrun terbaring di ranjang, tertutup selimut sampai kepala. Ingrid merasa lega. Gila! Kakaknya bersembunyi untuk mengganggunya. Ia melompat masuk dan menarik selimut.

"Kau...," tiba-tiba saja omelannya macet di leher. Ingrid Riedel membuang muka dan berteriak-teriak histeris.

Heidrun terbaring telentang, telanjang. Rambutnya yang panjang pirang itu sudah tidak pirang lagi, tapi merah darah. Seprai sekelilingnya juga merah. Matanya yang biru terpentang seperti mata ikan mati, sedangkan mulutnya terbuka.

Ingrid melemparkan selimut yang dipegangnya. la berlari menuruni tangga dan jatuh terguling-guling, tetapi ia tidak merasa sakit. Diraihnya gagang telepon untuk menghubungi markas besar polisi di Darmstadt. Entah berapa kali ia menelepon polisi saking paniknya.

Lima menit kemudian, ketika mobil patroli polisi tiba, mereka melihat Ingrid terbaring di tangga di muka pintu rumah, disinari matahari musim semi yang cerah. Ia cuma bisa berbicara sambil berbisik, sebab suaranya parau karena habis dipakai berteriak-teriak. 

Tidak ada seorang pun tetangga yang muncul untuk menolongnya. Maklum jalan itu tempat tinggal orang-orang kaya, sehingga letak rumah saling berjauhan.

 

Palu berdarah

Seorang polisi menemani Ingrid, sedangkan yang seorang lagi masuk ke dalam dengan pistol siap ditembakkan. Beberapa menit kemudian ia muncul lagi dengan pistol sudah disarungkan dan wajah yang memperlihatkan bahwa ia shock

Heidrun baru berumur 20 tahun dan ia cuma dua tahun lebih tua. Siang itu, untuk pertama kalinya ia menyaksikan korban pembunuhan.

"Pembunuhan," katanya dengan suara perlahan. Ia tidak berani memandang gadis remaja yang sedang menangis di hadapannya. "Saya akan menelepon ke kantor."

"Tanyakan sekalian apakah gadis ini boleh kita antar ke rumah sakit," pesan temannya. "Rasanya dia mesti dirawat dokter."

Dari kantor polisi, mereka mendapat jawaban agar seorang dari mereka mengantar gadis itu ke rumah sakit, tetapi yang seorang lagi harus menjaga rumah tempat pembunuhan, sampai para petugas dari Bagian Penyidikan Pembunuhan tiba.

"Tengkoraknya pecah di banyak tempat," kata dr. Phillip Frenzl dari Bagian Penyidikan Pembunuhan kepada Inspektur Ludwig Eberling. "Alat pemukulnya pasti berat, seperti palu atau belakang kapak. Ia meninggal belum sampai dua jam."

"Kejahatan seksual?" tanya Inspektur.

"Mungkin motifnya seks," jawabnya. "Tetapi ia tidak diperkosa. Ia masih perawan."

"Mungkin ia tidur telanjang," kata Sersan Detektif Gunther Weber sambil merangkak-rangkak menyelidiki tempat itu. "Ah, ha! Ini dia!"

"Apa?" tanya Inspektur yang segera berlutut untuk ikut melihat temuan Weber.

"Palu. Palu besar. Lihat, seperti ada darahnya."

"Biarkan di situ," kata Inspektur. "Mungkin itu alat pembunuhnya. Nanti dipotret dulu. Panggil orang-orang laboratorium, komplet. Kalau bisa mendapatkan banyak petunjuk, kita bisa mencari si pembunuh sebelum ia kabur jauh. Sekarang aku akan memeriksa rumah ini dulu."

Gunther memanggil orang-orang laboratorium dari mobil polisi yang diparkir di depan rumah. Ia sekalian menelepon rumah sakit untuk menanyakan keadaan gadis yang tadi dibawa petugas patroli ke sana. "Apakah gadis itu boleh ditanyai?" tanyanya kepada dokter.

"Tidak bisa," jawab dokter. "Ia sudah diberi obat tidur yang kuat. Ia mengalami shock yang hebat. Anda harus hati-hati menanyainya kelak, sebab pengalamannya bisa memberi pengaruh permanen."

"Apakah gadis itu diserang juga?" tanya Sersan Detektif.

"Dia tidak bisa bercerita apa-apa, tapi kata petugas patroli, gadis itu menemukan mayat, mungkin mayat kakaknya."

 

Motifnya seksual?

Saat Sersan Detektif masuk kembali ke dalam rumah, Inspektur Eberling muncul dari tangga basement.

"Di bawah ada satu lagi," katanya menggerutu. "Panggil Philipp dan bantu saya. Entah ada berapa mayat di rumah ini." Ternyata cuma ada dua.

Wajah wanita di basement itu mirip betul dengan wajah wanita di kamar atas. Kemudian diketahui wanita itu Erna Riedel (48). Ia juga ditemukan telentang dalam keadaan telanjang dan kepalanya retak di beberapa tempat, tetapi mata dan mulutnya tertutup. 

Ia pun tidak menunjukkan tanda-tanda diperkosa. Dokter memperkirakan ia tewas hampir berbarengan dengan mayat di atas. Kedua mayat itu pun dibawa untuk diautopsi. 

Sementara diduga keduanya dibunuh dengan alat yang sama. Mungkin wanita di basement itu dibunuh lebih dulu, lalu pembunuh naik ke atas membunuh wanita yang lebih muda dan palunya ditinggal di sana.

Menurut teknisi laboratorium, kedua wanita itu bukan nudis. Pakaian mereka dicopot segera setelah mereka tewas. Di pakaian mereka relatif ditemukan sedikit darah. Apa maksud pembunuh mencopoti pakaian korbannya?

Menurut teknisi laboratorium, alasannya seks. Ada cairan sperma di lantai dan di atas tubuh wanita yang lebih tua. Jadi, pembunuhnya diduga orang yang mempunyai kelainan seksual. Namun, mengapa ia mesti membunuh? Ia tidak perlu susah-susah mencari mitra untuk hal seperti itu.

Dr. Frenzl menjawab, "Melihat kekejamannya saya tidak percaya kalau ia membunuh hanya karena ingin melakukan masturbasi di atas wanita telanjang. Kekerasan yang dilakukannya merupakan bagian dari pola tingkah laku seksual dan tidak mengherankan kalau pelakunya kemudian diketahui pernah tercatat melakukan penyerangan terhadap para wanita. 

Bukan memperkosa, maksud saya. Mungkin saja ia tidak mampu melakukan perkosaan konvensional. Yang saya maksud ia menyerang wanita untuk membuka pakaian mereka."

Pukul 19.00 hari itu juga dr. Philipp Frenzl datang ke kantor Inspektur Eberling untuk melaporkan penemuan-penemuan pendahulu pada autopsi yang belum selesai. 

Diketahui Heidrun dan ibunya, Erna Riedel, meninggal sekitar pukul 09.30. Mereka mengembuskan napas terakhir diperkirakan paling-paling selang setengah jam.

Sementara itu Sersan Detektif Gunther Weber melakukan pengecekan di Frankfurt dan Mannheim yang berdekatan atas catatan polisi mengenai kejahatan-kejahatan berkelainan seksual.

 

Tak ada yang hilang

Dr. Frenzl memberi tahu bahwa palu yang ditemukan di kamar Heidrun adalah alat yang dipakai membunuh kedua wanita itu. Namun, pada palu hanya ditemukan sidik jari Ny. Riedel. 

Laboratorium menarik kesimpulan, palu itu milik keluarga Riedel dan Ny. Riedel menyerahkannya kepada si pembunuh. Tentu saja tanpa mengetahui alat itu akan dipakai untuk membunuhnya.

"Bagaimana suami Ny. Riedel? Sudah bisa diketahui ada di mana?"

Inspektur mengangguk. "Ia sedang berada di Austria untuk bisnis," katanya. "Saya sudah berbicara dengannya ditelepon. Ia akan kembali malam ini. Katanya, ia tidak tahu siapa yang mungkin melakukannya. Pasti orang gila," katanya.

"Rasanyamemang demikian," kata dr. Frenzl. "Jadi, apa yang akan kaulakukan?"

"Ny. Riedel punya buku alamat. Selain nama dan alamat teman-teman serta sanak keluarganya, tercatat nama-nama tukang kebun, tukang leding, dsb. Di belakang tiap nama ia memberi keterangan perihal pekerjaan mereka. Karena tak ada tanda-tanda pergulatan di rumah itu, diduga pembunuhnya seorang yang mereka kenal, yang dibiarkan masuk oleh penghuni rumah."

"Kalau betul Ny. Riedel menyerahkan sendiri palu itu kepada pembunuh, mestinya si pembunuh diharapkan melakukan sesuatu dengan palu itu. Mungkin ia seorang tukang yang pernah bekerja membetulkan sesuatu di rumah itu."

Dr. Frenzl sependapat. Kata Inspektur Eberling, ia sudah mengutus empat orang untuk mencari mereka yang namanya tercantum pada buku itu.

Ternyata hasilnya tidak menggembirakan. Hampir semua tukang terbukti bekerja di tempat lain pagi tanggal 19 April itu. Cuma dua orang yang tak bisa dihubungi. Seorang tak bisa dijumpai, dan seorang lagi sedang ke luar negeri. "Nah, dia yang paling patut dicurigai," kata dr. Frenzl. "Kapan dia pergi?"

"Kata istrinya, kemarin. Kalau si istri tidak berbohong dan ia betul-betul ke luar negeri, ia juga tidak. bisa dicurigai."

Kemudian telepon berbunyi. Menurut laporan anak buah Inspektur, tukang yang tidak bisa ditemukan ternyata tercatat pernah merampok dan membongkar rumah. Namanya Klaus Schmidt (42), pekerjaannya tukang leding.

Inspektur termangu-mangu. Di rumah keluarga Riedel dijumpai banyak barang berharga, bahkan uang dalam jumlah cukup banyak. Barang-barang itu tidak diambil. 

Kalau Schmidt yang masuk ke sana, mengapa barang-barang itu tidak digondol pergi? Ataukah ada sebagian yang dibawa pergi? Hal itu baru akan diketahui kalau nanti malam Riedel pulang.

"Catatan kejahatannya tidak menunjukkan bahwa ia pelaku kejahatan seksual," kata dr. Frenzl.

"Siapa tahu Ny. Riedel dan putrinya memergoki dia mencuri, sehingga ia membunuh mereka. Untuk menghilangkan kecurigaan terhadapnya, ia tidak mengambil apa-apa dan memberi kesan seolah-olah itu kejahatan seksual.” 

“Jangan lupa, Philipp, kalau Giinther tak menemukan apa-apa di Frankfurt dan Mannheim, kita tidak punya catatan mengenai penjahat seks yang pernah menjalankan kejahatan dengan cara seperti itu. Lebih beralasan untuk mencurigai pembunuh itu seorang tukang daripada seorang penjahat seks."

"Tukang yang ke luar negeri itu, siapa dia?" tanya dr. Frenzl.

"Hans Schutz (33), tukang cat. Kata istrinya, ia mencari pekerjaan ke Prancis."

"Pria beristri memang tidak begitu dicurigai dalam hal seperti kuatnya dengan Schutz untuk juga mempunyai alasan yang sama kuatnya dengan Schutz untuk tidak dicurigai," kata dr. Frenzl.

 

Tidur pulas

Sersan Detektif Weber melapor, ia tidak bisa menemukan catatan kejahatan seksual yang serupa dengan yang terjadi itu di Darmstad, tidak juga di kota-kota lain yang berdekatan. Klaus Schmidt, si tukang leding maling pun, tak bisa ditemukan.

"Ia meninggalkan kamar sewaannya tanpa permisi, padahal uang sewa yang dibayarkannya di muka masih tersisa untuk beberapa waktu lagi. Ia meninggalkan kamar sewaan itu bukan pada tanggal 19 April, tetapi beberapa waktu sebelumnya.” 

“Namun, diketahui ia pernah membongkar rumah dengan rencana matang lebih dulu. Ia membuat kunci-kunci palsu dari rumah besar yang dikerjakannya. Baru kemudian ia datang untuk mencuri. Di rumah Ny. Riedel mungkin ia berbuat serupa, lalu tertangkap basah."

"Periksa kunci-kunci rumah Ny. Riedel. Kalau-kalau ada yang aneh," perintah Inspektur. Ia juga memerintahkan agar Klaus Schmidt dicari sampai dapat. Dua puluh empat jam kemudian, Schmidt dijumpai di Bar Tip-Top di Darmstadt. Hampir setiap sore dia ada di sana.

Waktu Sersan Detektif Weber memperlihatkan kartu identitasnya sebagai petugas dari Bagian Penyidikan Kejahatan, ia melompat dengan kegesitan yang mencengangkan. 

Ia kabur menuju pintu belakang, sehingga Weber perlu memberi tembakan peringatan. Schmidt berbalik dan mengacungkan pistol juga. Sesaat keduanya berpandangan.

"Jatuhkan senjatamu dan angkat tangan," kata Weber sambil maju. Saat itu, di antara pengunjung bar ada orang yang mau membantu Schmidt. Orang itu melemparkan sebotol bir kepada Sersan Weber. 

Sersan itu kebetulan sedang bergerak dan lemparan itu sendiri kurang tepat. Yang kena malah wajah Schmidt. Sersan Weber memanfaatkan kesempatan ini untuk mencengkeram dan memutar lengan Schmidt yang bersenjata serta menodongkan pistolnya sendiri ke perut Schmidt.

"Ayo, lepaskan senjatamu," kata Weber keras. Schmidt melepaskan senjata itu. Weber cepat-cepat memborgolnya. Sebelum meninggalkan bar, Weber mengeluarkan duit untuk diserahkan kepada pelayan bar.

"Bir gratis untuk orang yang melempar botol," katanya. "Polisi menghargai bantuannya." Setelah itu Weber menggiring Schmidt pergi. Tukang leding itu tak hentihentinya mengumpat.

Di markas besar polisi Schmidt ditahan dengan tuduhan melawan waktu akan ditahan dan memiliki senjata yang mematikan tanpa izin. Lalu ia dikirim ke sel untuk menunggu diinterogasi oleh Inspektur Eberling keesokan paginya.

Klaus Schmidt malam itu enak saja tidur pulas. Keesokan harinya Inspektur Eberling tidak bisa mengorek keterangan apa-apa darinya. Ia tidak ingat di mana ia berada sepanjang pagi sampai menjelang siang pada tanggal 19 April. Mungkin sekali ia tertidur entah di mana. Ia menyangkal membunuh orang.

 

Tanggal 19, bukan 17

Inspektur Eberling jengkel betul menghadapi Schmidt, tetapi ia mendapat kesan bukan Klaus Schmidt pembunuh yang mereka cari.

“Satu-satunya kemungkinan lain, ya si Schutz," kata Sersan Weber. "Namun kata istrinya, ia ada di Prancis."

"Itu kata istrinya," jawab Inspektur. "Betulkah ia ada di sana? Bawa istrinya kemari."

Ny. Marta Schutz bisa menunjukkan bukti hitam di atas putih.

"Ini," katanya seraya menunjukkan secarik kertas. "Hans mengirim surat ini pada hari ia berangkat, tanggal 17 April."

Inspektur membaca surat itu. Bunyinya: "Maafkan aku Marta. Kau tak akan bertemu aku lagi sebelum masalahnya dibereskan. Aku mengambil DM 50 dari uang tabungan kita bersama." Surat itu bertanggal 17 April 1967 dan ditandatangani oleh Hans.

"Mana sampulnya?" tanya Inspektur.

"Sudah saya buang."

Menurut Ny. Schutz, mereka baru datang dari Jerman Timur empat bulan sebelumnya. Inspektur mendapat kesan keadaan ekonomi suami-istri itu sulit. Wanita itu dipersilakan pulang.

"Puas?" tanya Sersan Weber.

"Kalau ada sampulnya, bisa kita lihat cap posnya. Kalau tanpa sampul sih, bisa saja surat itu ditulis Juli yang lalu atau tanggal 19 April siang. Kini lekas pergi ke Bank Tabungan.” 

“Lihat, kapan Schutz mengambil uang DM 50 dari tabungannya. Kalau betul tanggal 17, kita lupakan Schutz. Kalau tanggalnya lain, kita hubungi Interpol." Schutz ternyata mengambil uangnya tanggal 19 April 1967.

"Si Schutz ini memang pintar," kata Inspektur Eberling. "Ia tahu pasti istrinya tidak akan repot-repot memeriksa tanggal cap pos di sampul. Ia juga tahu, kalau surat diposkan dari kantor pos pusat, surat itu akan tiba pada hari itu juga ke si alamat yang berada di kota tempat kantor pos tersebut. 

Istrinya mengira si suami betul-betul memposkan surat itu tangal 17 dan baru tiba dua hari kemudian. Padahal suaminya memposkannya pada tengah hari.

Interpol tidak banyak mengalami kesulitan mencari Hans Schutz. Di Paris sebagai orang asing yang bekerja, ia harus melapor kepada polisi setempat dan dari sinilah Interpol berhasil melacaknya.

Ia dikirim pulang ke Jerman dengan tuduhan dicurigai membunuh. Sesudah beberapa bulan dalam tahanan ia mengaku juga membunuh Erna dan Heidrun Riedel. Bagaimana ia tak akan mengaku, di apartemennya ditemukan pakaian kerja bernoda darah. Pakaian itu ia sembunyikan waktu istrinya pergi berbelanja.

Ternyata hubungan Schutz dengan istrinya sudah lama renggang. Istrinya tidak bertemu dengannya sejak tanggal 17 April dan hal itu dimanfaatkannya.

Hubungan yang buruk itu menurut Schutz, termasuk salah satu sebab yang mendorongnya untuk membunuh.

"Sudah lama kami tidak hidup sebagai suami-istri lagi," katanya. "Saya tidak mempunyai uang untuk pergi ke wanita lain. Pagi itu saya bersenggolan dengan Ny. Riedel, ketika melewati pintu basement. Saya kira saya jadi kalap."

Schutz tidak mau menceritakan secara mendetail dan motif pembunuhan yang dilakukannya. la tidak tercatat pernah melakukan kejahatan seksual atau kejahatan apa pun di Jerman Barat maupun di Jerman Timur. Menurut istrinya, sebelum hubungan mereka menjadi buruk, kehidupan seks suaminya normal saja.

Tanggal 13 Oktober 1968, satu setengah tahun setelah Ingrid Riedel melompat-lompat dengan gembira dalam perjalanan pulang ke rumahnya dari sekolah tanpa mengetahui di rumahnya terjadi pembunuhan, Hans Schutz diadili. 

la dinyatakan bersalah melakukan dua pembunuhan, tetapi pembunuhan itu dilakukannya tanpa rencana. Pria itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. (John Dunning)

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124218/rambutnya-merah-darah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890861000) } } [12]=> object(stdClass)#170 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124211" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#171 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/kitty-senang-pergi-ke-dukunjpg-20220203121941.jpg" ["author"]=> array(2) { [0]=> object(stdClass)#172 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(15) "Charles Boswell" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9357) ["email"]=> string(19) "intiplus-2@mail.com" } [1]=> object(stdClass)#173 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(14) "Lewis Thompson" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9358) ["email"]=> string(19) "intiplus-3@mail.com" } } ["description"]=> string(143) "Suami bersekongkol dengan seorang dukun kepercayaan untuk membunuh istrinya. Motif pembunuhan adalah untuk menguasai perusahaan milik istrinya." ["section"]=> object(stdClass)#174 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/kitty-senang-pergi-ke-dukunjpg-20220203121941.jpg" ["title"]=> string(27) "Kitty Senang Pergi ke Dukun" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:20:20" ["content"]=> string(28785) "

Intisari Plus - Catherine M. Ging yang biasa disebut Kitty memiliki sebuah toko pakaian di Syndicate Block, di tengah Kota Minneapolis. Pakaian-pakaian wanita yang dijual di tokonya bukanlah kelas murahan, sebab didatangkan dari New York dan bahkan Paris.

Setiap hari, Kitty yang berumur 29 tahun itu berjalan kaki ke tokonya. Senang juga kaum pria melihat Kitty, sebab wanita langsing itu pandai memilih pakaian yang pantas. Pulangnya ia berjalan kaki juga ke Ozark Apartments yang termasuk mewah di Thirteenth Street, yang berpotongan dengan Hannepin Avenue.

Di sana ia tinggal berdua saja dengan kemanakannya, Mary Louise Ireland, yang berumur belasan tahun. Ia bertugas menjaga gadis itu. Namun, menurut orang-orang yang mengetahui keadaan mereka, Mary Louise mungkin lebih pantas mendapat tugas menjaga bibinya daripada sebaliknya.

Kitty tinggal di apartemen 4-B. Beda selantai dengan apartemennya, di apartemen 3-C, tinggallah seorang pria muda yang bernama Harry Hayward, yaitu tunangan Kitty. Konon kalau Mary Louise sudah tidur, Harry dan Kitty sering melakukan pertemuan intim. Harry itu putra seorang kaya pemilik Ozark Apartments.

 

"Jangan beri tahu Pak Hayward"

Hari Senin, tanggal 3 Desember, menjelang magrib Kitty mengirim pesan dari tokonya kepada George Goosman, pemilik Palace Livery Stables, untuk memesan kereta kuda. Maklum ketika itu tahun 1894, belum ada taksi. Kereta kuda itu diminta menunggu Kitty di pintu samping West Hotel, hotel terbesar dan termewah di Minneapolis, pada pukul 20.00.

Goosman kenal baik dengan Kitty, kemanakannya, maupun Hayward. Kitty dan Hayward sering menyewa kereta dari Goosman dan merupakan pelanggan yang ia sukai.

Menjelang pukul 20.00, Goosman memilih salah sebuah keretanya yang paling enak dikendarai. Pada kereta itu dipasangnya Lucy, kuda betinanya yang berwarna coklat muda dan sangat jinak. Goosman membawa sendiri kereta itu ke West Hotel.

Kitty sudah menunggu. Ia kelihatan cantik dalam pakaiannya yang terbuat dari taffeta biru. Goosman merasa heran, karena Kitty sendirian. Biasanya kalau Kitty memesan kereta, Hayward selalu mendampinginya. Namun sebagai layaknya orang yang menyewakan kereta, Goosman tahu sopan santun. Ia tidak usil bertanya-tanya.

Ia menolong Kitty naik ke kereta, memasangkan selimut menutupi pangkuan dari kaki Kitty, lalu menyerahkan tali kekang.

"Semuanya beres, Nona Ging?"

"Beres, Pak Goosman. Terima kasih."

Sebelum berangkat, Kitty tahu-tahu berkata begini:

"Pak Goosman?"

"Ya?"

"Kalau Anda bertemu Pak Hayward, harap jangan beri tahu kalau saya bepergian malam ini."

"Tentu tidak, Nona Ging."

"Anda bisa dipercaya, Pak Goosman?"

"Tentu.”

Goosman menyaksikan kereta berangkat dan lenyap di Fifth Street. Di rumahnya Goosman bertanya-tanya dalam hati: "Apakah Kitty mempunyai pacar lain, di samping Harry Hayward? Ah, peduli amat dengan urusan orang lain!" pikirnya kemudian.

Dua jam kemudian, pukul 22.00, Lucy kembali menghela kereta yang tidak bersais. Tubuh Lucy penuh keringat. la datang dari arah Nicollet Avenue dan masuk ke Grant Street sebelum berbelok ke kediamannya.

"Whoa, Lucy!" sambut Goosman.

la menangkap tali kekang Lucy, lalu menenangkan kuda itu. Dilihatnya tali kekang itu diikatkan ke tempat menaruh cemeti. Ke mana Kitty dan mengapa ia begitu lalai membiarkan Lucy pulang sendirian? Goosman tidak tahu. Ia menyikat tubuh Lucy, menyelimutinya, dan membawanya ke istal.

Kini giliran kereta yang harus dirawatnya. Tiba-tiba Goosman terkejut, karena di bantalan tempat duduk dilihatnya darah, begitu pula di permadani penutup lantai dan di langit-langit kereta. Ia segera bergegas ke markas besar polisi Minneapolis.

 

Ditembak di belakang telinga

Letnan Thomas Cockran dari biro penyidikan, mendengarkan cerita Goosman dengan saksama. Ia segera menarik kesimpulan bahwa keretanya itu ada hubungannya dengan laporan yang ia terima sebelumnya.

Sebelum kedatangan Goosman itu, Letnan Cockran mendapat laporan sebagai berikut:

Seorang karyawan di Kota Minneapolis, William Erhardt, keluar dari tempat bekerja pukul 20.15. Ia naik kereta rel sampai terminal di batas kota, lalu meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki ke rumahnya di Excelsior Road, dekat Danau Calhoun. 

Kira-kira pukul 21.00, ketika ia berjalan di tempat sepi di tepi danau, dilihatnya sebuah kereta kuda meluncur ke arah kota. Kereta itu ditarik kuda berwarna coklat muda. Kendalinya dipegang seorang pria. Karena malam itu gelap sekali, sedangkan kereta itu begitu cepat larinya, ia tidak bisa melihat wajah pria pengendara kereta itu.

Kira-kira 40 m dari tempatnya bertemu dengan kereta, ia melihat seorang wanita bermantel bulu tergeletak di tengah jalan.

Erhardt memberanikan diri mendekat. Wanita itu masih muda dan tubuhnya masih hangat, tetapi sudah tidak bemapas lagi. Ia mengira wanita itu tewas tergilas kereta yang tadi kabur, karena ada bagian tubuhnya yang berdarah. Jadi, cepat-cepat ia pergi ke tempat Sheriff Eric Holmberg.

Mayat wanita itu dibawa ke tempat penyimpanan mayat di Minneapolis untuk diperiksa oleh Coroner Willis Spring, yang menyatakan wanita itu bukan tewas digilas kereta, melainkan ditembak di bagian belakang telinga kirinya. Alat penembaknya mungkin revolver .38.

Mereka tidak tahu siapa wanita itu. Melihat pakaiannya yang bagus dan mutakhir, perhiasaan, dan topinya yang terbuat dari kulit halus, mestinya ia wanita kota.

Letnan Cockran menunggu sampai Goosman selesai bercerita, lalu berkata, "Dari penjelasan Anda, saya curiga jangan-jangan wanita yang ditemukan tewas itu tidak lain dari Nona Ging. Mari ikut saya ke tempat penyimpanan mayat."

Goosman diajak masuk ke ruang tempat sesosok jenazah wanita tergeletak di meja marmer. Benar, wanita itu Kitty Ging, yang sore tadi dibantu naik ke kereta, kata Goosman.

Goosman diminta mengulangi laporannya di hadapan Sheriff Holmberg dan Coroner Spring. Ketika pejabat hukum itu sependapat bahwa setelah meninggalkan West Hotel sendirian, mestinya Kitty menemui seorang pria yang kemudian naik ke keretanya. 

Di perjalanan pria itu menembaknya dan melemparkan mayatnya ke jalan. Kemudian pria itu turun dari kereta dan meninggalkannya. Siapakah pria itu dan mengapa ia membunuh Kitty?

 

Senang ke dukun

Letnan Cockran dan Sheriff Holmberg lantas pergi ke Ozark Apartments. Mereka berniat menanyai Harry Hayward, pacar korban. Mereka juga ingin meminta keterangan dari Mary Louise Ireland, kemanakan Kitty Ging. Siapa tahu ia bisa membantu. 

Mereka tiba di gedung apartemen itu pukul 23.00. Apartemen itu sudah sepi. Di lobi ada orang sedang mengepel lantai marmer. Ternyata ia Claus Blixt, penjaga apartemen.

Pria itu memberi tahu, tetapi ketika kedua pejabat hukum akan menaiki tangga yang menuju ke apartemen-apartemen itu, ia berkata, "Saya kira keduanya tidak ada di rumah, Pak. Nona Ging belum kembali sejak berangkat ke tokonya tadi pagi. Pak Hayward pergi tadi sore, kira-kira pukul 18.30 dan sampai sekarang belum kelihatan pulang."

"Nona Ging tidak akan pernah pulang lagi," jawab Letnan Cockran. "la ada di tempat penyimpanan mayat. Dibunuh. Karena itulah kami ingin berbicara dengan Pak Hayward. Barangkali Anda tahu di mana ia sekarang."

Penjaga apartemen itu kaget. Ia menggelengkan kepala dan tampak gemetar.

"Saya tidak tahu di mana Pak Hayward. Cuma waktu keluar tadi sore, ia mengenakan pakaian perlente untuk pergi makan malam atau mungkin untuk ke pesta dansa."

Kedua pejabat hukum itu lantas memutuskan untuk pergi ke apartemen Kitty Ging saja dulu. Pijatan bel mula-mula tidak mendapat jawaban. Ketika mereka memijat bel untuk kedua kalinya, muncullah seorang gadis yang matanya masih kelihatan sangat mengantuk, sedangkan rambutnya awut-awutan.

Sheriff Holmberg yang kebapakan berusaha untuk menyampaikan berita musibah dengan cara tidak mengagetkan. Mary Louise segera menangis tersedusedu. Namun, beberapa menit kemudian ia sudah bisa menguasai dirinya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Holmberg serta Cockran.

Katanya, ia terakhir melihat bibinya siang tadi. Sepulang dari sekolah, ia singgah sebentar ke toko bibinya. Bibinya memberi tahu bahwa ia baru akan pulang malam hari, karena akan makan malam bersama Harry Hayward di West Hotel. Bibinya berkata akan berganti pakaian di toko saja, sebab Hayward akan menjemputnya di sana pukul 18.30 lewat sedikit.

"Apakah bibi Anda mempunyai teman pria lain?" tanya Cockran.

"Oh, tidak. Ia 'kan sudah bertunangan," jawab gadis itu. "Saya tidak tahu mengapa ia mengendarai kereta sendirian. Ia tidak pernah pergi kalau hari sudah malam, kecuali dengan Pak Hayward .... Eh, ya, kadang-kadang ia pergi juga sekali-sekali, untuk ke dukun. Bibi saya cerdik, tapi anehnya ia percaya betul pada tukang ramal dan dukun."

Kelihatannya Mary Louise tidak mengarang-ngarang cerita, sebab ketika Cockran dan Holmberg memeriksa benda-benda peninggalan Kitty, mereka menemukan banyak sekali buku tentang ramalan, daftar horoskop, dan sebangsanya. Namun, mereka juga menemukan surat-surat asuransi. 

Diketahui pada bulan September Kitty mengasuransikan jiwanya sebesar AS $ 10.000. Polisnya tidak diberikan kepadanya. Menurut instruksinya, polis itu diserahkan kepada Harry Hayward! Hayward ditunjuk sebagai orang yang akan menerima uang asuransi itu, kalau Kitty meninggal.

Cockran dan Holmberg sepakat untuk mencari dan menanyai Hayward. Ternyata Hayward tak sulit dicari. Pukul 23.45 itu, ketika kedua pejabat hukum itu menuruni tangga menuju ke tingkat tiga, dari tingkat itu naiklah seorang pria tampan yang masih muda, yang mengenakan topi tinggi dan jas buntut.

"Saya bertemu Claus Blixt di bawah. la memberi tahu saya perihal Kitty," kata pria itu dengan suara parau dan wajah muram, ketika Cockran dan Holmberg memperkenalkan diri. Katanya, ia naik ke atas untuk menghibur Mary Louise, namun kelihatan bahwa ia sendiri juga perlu dihibur.

 

Banyak utang

Cockran dan Holmberg menanyai Hayward di apartemen pria itu di tingkat tiga. Kata Hayward, sore itu ia dan Kitty tiba di West Hotel pukul 19.00, Makanan mereka cepat terhidang, sebab mereka sudah memesan lebih dulu. 

Setelah makan, pada saat mereka minum kopi, Hayward menyerahkan uang AS $ 2.000 kepada Kitty. Menurut Hayward, selama beberapa bulan terakhir ini Kitty berusaha meluaskan usahanya. Kitty ingin berdagang topi juga dan mantel bulu. 

Sebagian dari modalnya milik Kitty sendiri, tetapi Kitty memerlukan lebih banyak uang daripada yang dimilikinya. Jadi, bulan September Kitty meminjam AS $ 7.500 dari Hayward. Saat itu Hayward menyatakan kalau Kitty perlu, jangan ragu-ragu meminjam lagi. 

Tambahan pinjaman diminta Kitty minggu yang lalu. Mereka berjanji akan bertemu di West Hotel malam itu dan di sana Hayward akan menyerahkan uang yang AS $ 2.000 itu.

"Ia mendesak agar saya mau menerima surat tanda terima," kata Hayward. "Surat itu sudah ia siapkan dan tandatangani di rumah atau mungkin di tokonya."

Hayward mengeluarkan surat tanda terima itu dari sakunya. Katanya, waktu meminjam AS $ 7.500 bulan September, Kitty pun membuat tanda terima.

Sheriff Holmberg menyinggung soal asuransi jiwa Kitty.

"Oh, itu!" kata Hayward. "Kitty memaksa saya. Katanya, karena ia meminjam uang saya, maka sepatutnya saya menerimanya, supaya kalau terjadi sesuatu dengannya, uang saya tidak hilang." Lalu Hayward bertanya, apakah Kitty dirampok?

"Perhiasannya tidak hilang, tetapi padanya tak ditemukan uang," jawab Sheriff.

"Ah!" kata Hayward. Ia terdiam. Ketika kedua pejabat hukum bertanya lebih lanjut, Hayward bercerita bahwa Kitty sering ke dukun. Tunangannya itu percaya sekali pada perintah dukun. 

Selain itu Kitty tidak bisa menyimpan rahasia. Kalau ia membawa uang umpamanya, kemungkinan orang-orang yang bertemu dengannya akan diberi tahu bahwa ia membawa uang.

"Saya sudah berusaha melarangnya ke dukun. Saya tidak percaya pada dukun maupun tukang ramal, tetapi Kitty diam-diam pergi mengunjungi mereka juga. Hal itu sering menjadi bahan petengkaran di antara kami."

"Barangkali Anda tahu siapa dukunnya?" tanya Cockran.

"Dukunnya berganti-ganti. Kalau kata-kata dukun yang satu kurang berkenan di hatinya, ia pindah ke dukun yang lain. Saya tak tahu dukun mana yang dikunjunginya.

 

Menonton dengan wanita lain

Mungkinkah Kitty diam-diam pergi ke dukun malam itu? pikir Cockran dan Holmberg. Mungkin uang AS $ 2.000 yang dibawanya itulah yang menyebabkan ia dibunuh.

"Pak Hayward, untuk melengkapi laporan kami, sudilah kiranya Anda menjelaskan apa saja kegiatan Anda setelah makan malam dengan Nona Ging?"

"Kami selesai makan malam pukul 19.45, karena saya ada janji lain," jawab Hayward. "Saya pergi menonton sandiwara A Trip to Chinatown di Grand Opera House dengan seorang gadis."

"Siapa?"

"Nona Estelle Peters. Anda tentu tahu ayahnya, Pak Peters, anggota dewan kota itu."

Ketika melihat kedua penanyanya agak tercengang, Hayward menambahkan, "Oh, itu cuma kewajiban sosial. Kitty pun tahu saya sering dijamu di rumah Pak Peters yang banyak membantu saya."

Menurut Haywawrd, ia tiba di rumah keluarga Peters sekitar pukul 20.15 dan pertunjukan sandiwara dimulai pukul 20.30. Ia mengantar Nona Peter kembali ke rumahnya pukul 23.15 dan langsung pulang. 

Begitu tiba di Ozark ia mendengar tentang kematian Kitty dari penjaga gedung dan ketika ia akan naik ke tingkat empat untuk menghibur Mary Louise, ia bertemu dengan Cockran dan Holmberg.

Ketika meninggalkan Ozark malam itu, Cockran dan Holmberg sependapat: kalau Hayward itu pembunuh Kitty, mestinya ia pemain sandiwara yang ulung yang pernah mereka jumpai.

Malam itu mereka berdua tak bisa tidur nyenyak. Para wartawan pun begadang untuk mencari dan menulis berita tentang pembunuhan atas Kitty Ging. 

Keesokan harinya sebagian koran menggambarkan Kitty sebagai pengusaha muda yang tak tercela, sedangkan sebagian lagi menggambarkanya sebagai wanita yang moralnya patut dipertanyakan. Namun, semua meminta agar pihak yang berwenang lekas memecahkan perkara pembunuhan itu.

 

Pernah mendapat ancaman

William Eustis, Wali Kota Minneapolis, memberi tanggapan dengan membentuk unit penyelidikan khusus di sebuah suite di West Hotel. Ia mengundang orang-orang yang merasa mempunyai keterangan yang ada sangkutannya dengan pembunuhan Kitty untuk datang ke unit tersebut. Selain itu ia minta para auditor kota memeriksa pembukuan toko Kitty.

Sheriff Holmberg dan Letnan Cockran menyambut baik partisipasi Wali Kota. Mereka sendiri mengecek alibi Hayward dengan menemui Estelle Peters.

Wanita yang bertubuh kurus itu sama sekali tidak mengesankan. Ia masih ingat dengan jelas bahwa kemarin malam ia dijemput Hayward pukul 20.15 dan diantar kembali sampai ke rumah pukul 23.15. 

Selama di teater, Hayward tak pernah beranjak dari sisinya. Nona Peters menyebutkan beberapa orang yang mereka jumpai di teater dan juga orang-orang yang bercakap-cakap dengan mereka pada waktu istirahat.

Jadi, karena Kitty Ging ditembak sekitar pukul 21.00 di tempat yang letaknya sekitar 6 km dari teater, berarti tak mungkin Hayward yang melakukannya.

Mereka pun pergi ke markas Wali Kota Eustis di West Hotel. Pak Wali Kota menyampaikan berita besar. Menurut seorang teman Kitty, kira-kira setahun sebelum Kitty berpacaran dengan Hayward, ia ditaksir seorang pedagang perhiasan, Arthur Apperson. 

Pria itu sungguh-sungguh mencintai Kitty, tetapi Kitty menanggapinya dengan dingin saja. Ketika Hayward muncul, Kitty segera menyisihkan Apperson. Pengusaha itu tidak bisa menerima penolakan Kitty. Ia pernah mengancam. 

"Jika aku tak bisa memperoleh Kitty, tak ada seorang pun yang akan mendapatkannya. Akan kubunuh dia!"

Cockran dan Holmberg mencari Apperson. Ternyata ia sedang dirawat di RS Umum Minneapolis. Sudah sepuluh hari ia terbaring dengan tungkai patah. Jangan keluyuran jauh-jauh ke Danau Calhoun, turun dari ranjang pun ia tak mampu. 

Selain itu ia sudah menikah dengan wanita yang bukan cuma termasuk paling cantik di kota itu, tetapi juga paling kaya. Sudah lama ia melupakan cintanya pada Kitty.

Tak seorang pun menyatakan melihat Kitty sejak keberangkatannya dari West Hotel pukul 20.00 sampai mayatnya ditemukan sejam kemudian. Semua kerabat dan kenalan Kitty ditanyai, tetapi tak ada yang bisa memberi keterangan yang diperlukan.

Hari Rabu semua karyawan Kitty dipanggil ke West Hotel untuk ditanyai, begitu pula Mary Louise dan Hayward. Bahkan Claus Blixt, si penjaga gedung, dipanggil untuk menceritakan lagi apa yang mereka ketahui tentang Kitty.

Sementara itu gang di muka pintu markas penuh dengan wartawan yang tak mau pergi dari sana, sebab khawatir ketinggalan berita besar. Di antara mereka terdapat seorang reporter bernama F.A. Briggs.

Beberapa bulan sebelumnya Briggs pernah digebuki gara-gara menulis artikel bersambung tentang situasi perjudian di Minneapolis. 

Walaupun Briggs tak menyebut nama-nama, tetapi orang-orang yang digambarkannya jelas sekali menunjukkan ciri-ciri orang yang bersangkutan, sehingga pen- duduk kota bisa menerka siapa yang dimaksudkannya.

Suatu malam, sepulang dari kantor, ia digebuki sampai babak belur dan diancam agar jangan berani lagi menulis tentang para penjudi. Briggs tak tahu siapa orang yang menganiayanya itu, tetapi ia sempat mengingat-ingatnya dengan baik. Sejak itu ia berusaha mencari orang tersebut, tetapi belum berhasil.

Alangkah tercengangnya ia ketika salah seorang yang dipanggil untuk dimintai keterangan ke markas di West Hotel itu ternyata pria yang memukulinya beberapa bulan yang lalu. Ia berusaha menahan diri, menunggu pria itu selesai didengar keterangannya, lalu ia minta berbicara dengan Wali Kota, Sheriff, dan Letnan.

 

Gara-gara percaya dukun

Mendengar ceritanya, ketiga orang itu sependapat bahwa orang-orang yang ditunjuk oleh Briggs itu patut dimata-matai, karena ia mampu melakukan tindakan kekerasan. Diam-diam gerak-geriknya diikuti mulai siang itu juga. Ternyata ia tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan.

Kira-kira pukul 17.00 diketahui pria itu meninggalkan kediamannya dengan bertopi dan bermantel. Holmberg menguntitnya. Ternyata ia cuma pergi ke toko yang berdekatan untuk belanja sedikit. 

Selama ia absen itu Cockran masuk ke kamar pria tersebut untuk menggeledah. Ternyata di lemari kamarnya ditemukan sebuah mantel pendek yang bernoda darah dan di bawah pakaian itu ada sebuah revolver .38, yang sebuah patrunnya sudah terpakai.

Cockran cepat-cepat ke luar dari kediaman pria itu, yang tidak segera ditangkap, tetapi terus diamati. Pukul 19.00 mereka melihat Harry Hayward memasuki gedung Ozark Apartments, sedangkan pria yang mereka amat-amati tampak mengikuti Hayward naik ke tingkat atas. 

Ketika keduanya tidak muncul-muncul lagi beberapa menit kemudian, Holmberg dan Cockran diam-diam datang ke apartemen itu. Lobi kosong, sehingga dengan leluasa mereka bisa masuk.

Setelah ragu-ragu sejenak, mereka memutuskan untuk menuju ke apartemen yang ditinggali oleh Hayward. Dengan mengendap-endap mereka mendekati pintu dan memasang telinga baik-baik. Dari dalam kamar kedengaran orang bertengkar.

"Kapan dong, saya bisa mendapatkan uangnya? Jangan terus menunda-nunda," suara seorang pria.

"Ssh! Pikir dong, mana mungkin saya bisa mendapat uang asuransi secepat itu? Mereka mengawasi saya seperti elang. Kalau saya salah langkah, mereka bisa tambah curiga."

"Namun, Anda 'kan berjanji akan membayar dalam waktu 24 jam? Tahu begini, saya tidak mau disuruh membereskan Kitty. Pokoknya, Anda harus membayar sekarang!"

Kedua pejabat hukum itu merasa mendengar langkah kaki ke arah pintu, lalu pintu terpentang. Claus Blixt muncul. la memang pria yang mereka amat-amati, yang dulu mengebuki Briggs. Segera saja Sheriff menyambarnya. Letnan Cockran mencekuk Harry Hayward. Keduanya ditahan dengan tuduhan membunuh Kitty.

Hayward menolak berkata apa-apa. Blixt begadang semalam di dalam selnya, lalu ia mengaku membunuh Kitty. Katanya, hal itu ia lakukan atas permintaan Hayward.

Kata Blixt, tidak benar Hayward mencegah Kitty pergi ke dukun. Hayward diam-diam malah menganjurkan dan mencarikan dukun. Dukun itu disogoknya agar memberi anjuran-anjuran yang menguntungkan Hayward. 

Kitty menurut saja, ketika dukun menyuruhnya menyerahkan sebagian modal dari toko pakaiannya kepada Hayward untuk dipakai bertaruh. Kalau menang, uangnya buat Kitty. Tentu saja Hayward tidak pernah menang. 

Atas perintah dukun pula Kitty meminjam uang dari Hayward, untuk segera dikembalikan lagi supaya bisa dipertaruhkan "untuk kepentingan Kitty". Uang itu pun dinyatakannya amblas lagi. Padahal uang yang diserahkan Hayward sejenak kepada Kitity itu bukanlah uang asli, melainkan yang palsu yang ia peroleh dulu ketika masih menjadi anggota dinas rahasia yang memerangi pemalsuan uang. 

Entah bagaimana pria penjudi yang senang hidup mewah itu bisa memiliki sejumlah uang palsu yang dulu disita dinas rahasia.

Menurut Blixt, Hayward pula yang menganjurkan Kitty mengasuransikan jiwanya dan menunjuk Hayward sebagai penerima uang asuransi sebagai jaminan atas "pinjamannya".

Jadi, berarti Kitty Ging menandatangani surat kematiannya, ketika ia menandatangani formulir asuransi jiwa itu. Tiga bulan setelah itu Hayward menyewa Blixt untuk membunuh Kitty.

Hayward sudah sekongkol dengan dukun. Dukun menyuruh Kitty diam-diam menyewa. kereta, tanpa sepengetahuan Hayward. Kitty diperintahkan mengendarai kereta itu di tepi Danau Calhoun. "Anda akan bertemu dengan seorang pria yang mengembalikan semua uang Anda yang hilang dalam perjudian," kata dukun.

Menurut Blixt, ia diminta menunggu di tepi danau oleh Hayward. Mula-mula Kitty tidak mengenali Blixt, karena gelap. Baru setelah Blixt naik ke atas kereta, Kitty mengenalinya, tapi sudah terlambat. Blixt menembaknya, lalu mendorong mayat Kitty tidak jauh dari tempat ia ditembak.

Dekat terminal kereta api, Blixt turun dari kereta, mengikat tali kekang kereta ke tempat menaruh cemeti dan mengusir kuda kereta untuk enyah. Ia sendiri menumpang kereta rel ke rumahnya.

Senjata yang dipakai membunuh Kitty, dibeli oleh Hayward bersama-sama Blixt pada hari Sabtu sebelum pembunuhan. Si penjual ternyata kemudian mengenali Hayward sebagai pria yang membayar senjata itu pada hari Sabtu.

Para akuntan yang memeriksa pembukuan Kitty mengatakan bahwa Kitty sama sekali tidak menambah modal usahanya. Sebaliknya, ia banyak menarik modalnya akhir-akhir ini. Perusahaan Kitty yang mestinya untung itu jadi kehabisan modal.

Awal tahun 1895 Harry Hayward dan Claus Blixt dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan atas Kitty Ging.

Hakin Seagrave Smith dari Pengadilan Hannepin County menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup bagi Claus Blixt dan hukuman mati bagi Harry Hayward, yang menjadi otak pembunuhan itu. Hukuman gantung atas Hayward, si penjudi, dilakukan tanggal 11 Desember. (Charles Boswell & Lewis Thompson)

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124211/kitty-senang-pergi-ke-dukun" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890820000) } } [13]=> object(stdClass)#175 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124198" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#176 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/tewas-sebelum-beraksijpg-20220203121803.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#177 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(15) "Agatha Christie" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9390) ["email"]=> string(20) "intiplus-33@mail.com" } } ["description"]=> string(101) "Seorang pembunuh buronan yang memiliki kelainan mental punya hobi hobinya membunuh wanita kekasihnya." ["section"]=> object(stdClass)#178 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/tewas-sebelum-beraksijpg-20220203121803.jpg" ["title"]=> string(21) "Tewas Sebelum Beraksi" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:18:14" ["content"]=> string(45961) "

Intisari Plus - Alix Martin sama sekali tidak cantik Meskipun sudah tidak remaja lagi, wajahnya memancarkan kesegaran dan kelembutan. Waktu masih bekerja di kantor dulu, ia dikenal serba efisien, cakap, tidak berbasa-basi, malah kadang-kadang menimbulkan kesan kasar. 

Di sekolah pun dulu ia anak disiplin. Sejak usia 18-33 tahun ia sibuk mencari nafkah. Belum lagi kesibukan merawat ibunya yang cacat selama 7 tahun dari jangka waktu 15 tahun. 

Kisah cinta tentu saja dialaminya, paling tidak semacam itulah yang terjadi antara dia dan Dick Windyford, rekan sekantornya. Alix sebenarnya sudah lama tahu bahwa Dick mempunyai perhatian khusus kepadanya. Ia pura-pura tak tahu saja. Gaji Dick kecil. Lagi pula ia masih harus membiayai sekolah adiknya. Menikah? Mana mungkin. 

Tiba-tiba Alix kejatuhan rezeki. Ada sepupu jauh yang meninggal dan mewariskan beberapa ribu ponsterling kepada Alix. Uang itu seperti pintu gerbang menuju kebebasan hidup dan kemandirian. Alix dan Dick tak perlu lagi mengulur waktu. 

Di luar dugaannya, reaksi Dick justru dingin-dingin saja. Alix tahu sebabnya: Dick terlalu peka dan bergengsi untuk melamar justru di saat Alix baru saja mendapat rezeki besar. 

Waktu itulah satu hal tak terduga terjadi pada Alix. Ia berkenalan dengan Gerald Martin yang serta merta tergila-gila kepadanya. Dalam seminggu saja mereka sudah bertunangan. 

Ironisnya, justru hal inilah yang berhasil memancing kemarahan Dick Windyford. Ia datang, gemetar saking marahnya. 

"Orang itu 'kan orang asing! Kau tak tahu sedikit pun tentang dia!" 

"Yang aku tahu: aku cinta padanya." 

"Mana mungkin cuma dalam waktu seminggu?" 

"Tidak semua orang butuh sebelas tahun untuk berpikir jatuh cinta atau tidak!" Kemarahan Alix meledak. 

Wajah Dick memucat. "Aku sudah menyayangimu sejak kita bertemu pertama kali. Semula kukira kau pun demikian terhadapku." 

Percakapan itulah yang sedang terlintas di benak Alix, di pagi yang begitu cerah sambil bersandar di pagar rumahnya. Pernikahannya sudah berumur sebulan dan ia betul-betul bahagia. 

Tapi di saat-saat suaminya tak ada, sepercik kekhawatiran menerobos masuk ke dalam kebahagiaan yang sudah sempurna itu. Penyebabnya adalah Dick Windyford. 

Sudah tiga kali sejak perkawiriannya, ia memimpikan hal yang sama. Meskipun situasinya berbeda-beda, fakta-fakta pokok dalam mimpi-mimpi itu selalu sama, Di dalam mimpinya ia melihat suaminya terbaring mati. Dick berdiri di sisi tubuh itu. Dalam mimpi-mimpi itu ia yakin Dick jadi penyebab kematian suaminya. 

Memang ngeri, namun lebih mengerikan lagi, di dalam mimpi-mimpi itu kematian Gerald merupakan sesuatu yang wajar, yang tak dapat lagi dihindarkan. Alix Martin, merasa senang atas kematian suaminya sendiri dan mengulurkan tangan dengan penuh rasa terima kasih kepada si pembunuh; bahkan kadang-kadang ia mengucapkan terima kasih! Semua impiannya selalu berakhir sama: ia berada di dalam pelukan Dick Windyford. Dering telepon menyadarkan Alix. 

"Siapa? Tolong diulang, siapa ini?" 

"Oh, Alix, kenapa suaramu? Aku hampir tak mengenali suaramu. Ini Dick." 

"Oh!" kata Alix. 

"Di mana, di mana kau?" 

"Aku di Traveller's Arm.Aku sedang berlibur, memancing di sini. Apa kau keberatan jika nanti malam aku mengunjungi kalian setelah makan malam?" "Tidak bisa," cetus Alix tajam. "Kau tak boleh datang." "Maaf," katanya dengan formal. 

"Tentu saja aku tak bermaksud mengganggumu ...." Alix cepat-cepat menimpali. Tentu saja bagi Dick ini betul-betul mengherankan. "Yang kumaksudkan, kami ada janji malam ini," Alix berusaha menerangkan dengan suara sewajar mungkin. "Bagaimana kalau kau datang besok saja untuk makan malam?" 

Tetapi jelas Dick telah melihat tak adanya kehangatan di dalam suaranya. "Terima kasih banyak," katanya masih dengan nada formal.

 

Rahasia tukang kebun

Ia lalu pergi ke kebun lagi, namun di teras ia berhenti sebentar untuk menatap nama yang terukir di atas beranda itu : Pondok Philomel.

Gerald yang menemukan Pondok Philomel. Waktu melihatnya, Alix pun segera terpikat. Meskipun jaraknya 2 mil dari desa terdekat, tetapi pondok itu begitu elok, fasilitasnya pun lengkap. Si pemilik hanya bersedia menjual, bukan menyewakan. 

Gerald Martin memang berpenghasilan cukup baik, tapi ia hanya sanggup menyediakan 1.000 ponsterling, padahal si pemilik rumah meminta 3.000 ponsterling. Alix yang sudah telanjur jatuh cinta tak berkeberatan menyumbang separuh dari harga pondok itu. 

Sampai kini tak pernah sedetik pun Alix menyesali pilihan mereka itu. Tak ada seorang pun pelayan di rumah mereka. Alix tetap menikmati hari-harinya. Ia telah begitu rindu pada kehidupan rumah tangga: memasak, mengatur rumah. 

Kebun yang begitu sarat dengan bunga-bungaan dirawat oleh seorang tukang kebun tua, yang datang dua kali seminggu. 

Waktu mengitari sudut rumah, Alix menjumpai si tukang kebun sedang sibuk bekerja mengurus bunga. Ia heran, karena hari kerja tukang kebun biasanya Senin dan Jumat, padahal saat itu hari Rabu. 

"Wah George, sedang apa kau di sini?" tanya Alix sambil menghampiri orang tua itu. 

George bangun, lalu menyentuh ujung topi tuanya, sebagai tanda salam.

"Memang sudah kupikir Nyonya bakal heran. Soalnya, Jumat akan ada festival. Aku pikir, pasti baik Tuan Martin maupun istrinya tak akan menganggap aku membolos, bila kali ini aku tidak datang pada hari Jumat, tetapi hari Rabu." 

"Tentu saja tak apa-apa," kata Alix. "Kuharap kau senang di festival itu." 

"Aku kira begitu," kata George. "Makan sekenyang-kenyangnya tanpa harus membayar sendiri selalu menyenangkan. Selain itu kupikir perlu juga menemui Nyonya sebelum Nyonya pergi. Tentang bunga-bungaan untuk pembatas. Mungkin Nyonya belum tahu akan kembali kapan?" 

"Tapi aku tidak akan pergi ke mana-mana." George terdiam menatapnya. 

"Bukankah Nyonya akan ke London besok pagi?" 

"Tidak. Siapa yang mengatakan itu?" 

George menggelengkan kepala. 

"Aku bertemu Tuan di desa kemarin. Katanya, Tuan dan Nyonya akan berangkat ke London besok dan belum tahu kapan akan kembali." 

"Omong kosong," kata Alix sambil tertawa. "Kau pasti salah paham." 

Meskipun demikian Alix ingin tahu juga, kira-kira apa yang telah dikatakan Gerald sehingga bisa menimbulkan kesalahpahaman macam itu. Ke London? la tak pernah ingin kembali ke London. 

"Aku benci London," katanya tiba-tiba dengan sedikit menyentak. 

"Ah!" sambut George tetap tenang saja. "Mungkin aku salah dengar. Tapi dia mengatakannya dengan cukup jelas, kok. Aku senang Nyonya memutuskan tetap tinggal di sini. Aku tak suka London. 

Terlalu banyak mobil, itulah susahnya zaman sekarang. Begitu orang punya mobil, tak dapatlah ia diam di satu tempat. Seperti Tuan Ames, yang dulu tinggal di rumah ini. Baik, tenang, sampai ia punya kendaraan bermotor. 

Belum sebulan, sudah dijualnya pondok ini. Padahal banyak juga yang sudah dikeluarkannya untuk membereskan rumah ini." 

"Tuan tidak akan mungkin memperoleh kembali semua pengeluaran itu," kataku kepadanya. 

"Tapi," dia menyahut, "aku akan mendapat 2.000 ponsterling untuk rumah ini." Memang betul itu yang didapatnya.

"Dia malah mendapat 3.000 ponsterling," kata Alix sambil tersenyum. 

"Dua ribu," ulang George. "Jumlah yang dimintanya itulah yang dibicarakan waktu itu." 

"Betul 3.000 ponsterling." kata Alix. 

"Apakah maksud Nyonya, Tuan Ames begitu tak tahu malunya meminta 3.000 ponsterling dengan terang-terangan?" 

"Dia tidak mengatakannya kepadaku," kata Alix, "ia mengatakan itu kepada suamiku." George kembali mengurus bunga-bunganya. 

Alix tak mau repot-repot berdebat dengan orang tua itu. Ia pindah ke bentangan bunga-bungaan berikutnya, lalu memetik banyak bunga. 

Selagi berjalan sambil membawa bunga itulah, ia melihat sebuah benda hijau tua mengintip dari balik dedaunan di tanah. Ternyata itu buku harian suaminya, yang segera dipungutnya. 

Dibukanya dan dibalik-baliknya buku itu dengan senang hati. Sejak awal perkawinan mereka, ia sudah tahu bahwa Gerald yang impulsif dan emosional itu sebenarnya punya sifat yang rapi dan metodik. Ia begitu rewel tentang perlunya waktu makan yang tepat dan selalu merancang acara sehari sebelumnya setepat-tepatnya. 

Dengan senang hati dibacanya acara pada tanggal 14 Mei: "Menikah dengan Alix, St. Peter, 14.30." 

"Si Tolol itu," gumamnya sambil membalik-balik halaman buku lagi. Tiba-tiba ia berhenti. 

"Rabu, 18 Juni 'lo, itu 'kan hari ini." 

"Di ruang yang tersedia, tertulis dengan rapi dan tepatnya: 21.00."Hanya itu.Apa yang telah direncanakannya pada pukul 21.00 nanti? Alix berpikir. Ia tersenyum sendiri mengingat seandainya ia seperti cerita-cerita yang sering dibacanya, tentu akan tersangkut nama wanita lain dan ia pasti akan menemukan sesuatu yang sensasional. 

Tapi ketika dibalik-baliknya buku itu, hanya ada satu nama wanita: ia sendiri. 

Meski demikian ketika ia menyelipkan buku itu ke kantung sambil berjalan ke arah rumah, dirasakannya ada kegelisahan yang samarsamar. Kata-kata Dick Windyford kembali mengawang, "Orang itu 'kan orang asing. Kau tak tahu sedikit pun tentang dia." 

Akan diceritakannya atau tidak bahwa Dick Windyford telah menelepon. 

Bila ia bercerita, pastilah Gerald akan mengusulkan untuk mengundang Dick ke Pondok Philomel. Maka ia pasti harus bercerita bahwa Dick sendiri telah mengusulkan itu dan bahwa kunjungan itu telah ditolaknya. Jika Gerald bertanya mengapa ia menolaknya, apa yang harus dikatakannya? Menceritakan mimpinya? Paling-paling ia akan tertawa atau menganggapnya hal yang remeh. 

Akhirnya, Alix memutuskah untuk tidak mengatakan apa-apa. Ini pertama kalinya ia merahasiakan sesuatu kepada suaminya dan ini membuatnya tak tenang. Waktu didengarnya Gerald kembali dari desa, cepat-cepat ia berpura-pura sibuk di dapur. 

 

Menguji suami

Setelah makan malam, mereka duduk-duduk di ruang tengahdengan jendela terbuka. Segarnya udara malam memenuhi ruangan. Waktu itu barulah Alix ingat tentang buku harian suaminya. 

"Ini sesuatu yang kau siramkan ke bunga-bunga," katanya sambil melemparkan buku itu ke pangkuan suaminya. 

"Oh, jatuh ya?" 

"Ya, sekarang aku sudah tahu semua rahasiamu. Bagaimana dengan rencanamu malam ini, pukul 21.00?" 

"Oh! Itu ...." Kelihatannya Gerald agak terkejut, sebentar kemudian tersenyum, seakan-akan ada sesuatu yang begitu menyenangkan hatinya. "Itu janji dengan seorang gadis yang cukup menyenangkan. Rambutnya coklat, matanya biru, dan ia sangat mirip denganmu." 

"Aku tak mengerti," kata Alix, merasa dipermainkan. "Kau menghindar." 

"Tidak. Itu sebenarnya cuma untuk mengingatkan bahwa malam ini aku akan memproses negatif film dan aku butuh bantuanmu." 

Gerald Martin adalah fotografer yang sangat bersemangat. Kameranya sudah ketinggalan zaman, tetapi lensanya amat bagus. Ia pun mencuci sendiri film-filmnya di gudang kecil di bawah tanah yang sudah diperbaiki menjadi kamar gelap. 

"Kita harus mulai tepat pukul 21.00," kata Alix menggoda. 

Gerald tampaknya agak jengkel. 

"Sayang," katanya dengan agak tak sabar, "orang harus merencanakan segala sesuatu pada waktu yang tepat, supaya pekerjaannya dapat selesai dengan baik." 

"Untuk beberapa menit Alix duduk terdiam. Ditatapnya suaminya yang sedang bersantai di kursi sambil merokok. Kepalanya bersandar ke belakang dan raut wajahnya yang tercukur rapi tampak begitu jelas dengan latar belakang agak suram. Tiba-tiba saja rasa panik menyerbu jiwanya sehingga Alix berteriak, "Oh, Gerald, jika saja aku tahu lebih banyak tentang kau!" 

Suaminya menoleh dengan wajah heran. 

"Tapi Alix sayangku, kau 'kan sudah tahu semuanya tentang aku. Bukankah sudah kuceritakan tentang masa kecilku di 'Northumberland' hidupku waktu di Afrika Selatan, dan sepuluh tahun di Kanada yang membawa sukses." 

"Oh! Bisnis!" Tiba-tiba Gerald tertawa. 

"Aku tahu yang kau maksudkan, kisah-kisah cinta. Kalian wanita memang sama saja. Yang diperhatikan hanyalah soal-soal pribadi." 

Sunyi kembali. Gerald Martin mengerutkan dahi, ada kebimbangan di wajahnya. Kemudian ia berbicara, kali ini serius. 

"Apakah bijaksana membicarakan soal begini, Alix? Tentu pernah ada wanita di dalam hidupku.. Namun, aku bersumpah tak ada seorangpun yang berarti bagiku." 

Keseriusan yang ada di dalam nada suaranya membawa ketenangan di hati Alix. 

Alix bangun dan mulai mondar-mandir dengan gelisah. 

"Sepanjang hari ini aku terus gelisah,"' katanya. 

"Aneh," gumam Gerald, seakan-akan sedang berbicara dengan dirinya sendiri. "Aneh sekali." 

"Kenapa aneh?" 

"Ah, sayang, jangan memelototi aku begitu. Aku cuma berkata itu aneh karena biasanya kau demikian manis dan tenang." Alix berusaha tersenyum. 

"Hari ini setiap hal membuatku jengkel," ia mengaku. "Bahkan si tua George pun sampai-sampai mempunyai gagasan lucu bahwa kita berdua akan pergi ke London. Menurut dia, kau mengatakan begitu." 

"Di mana kau bertemu dengannya?" tanya Gerald tajam. 

"Ia bekerja hari ini untuk pengganti hari Jumat." 

"Si Tolol tua sialan," kata Gerald geram. 

Alix terpana keheranan. Wajah Gerald penuh dengan amarah. Tak pernah ia melihat suaminya demikian marah. Melihat reaksi Alix, Gerald berusaha mengontrol dirinya. 

"Memang ia orang tua tolol dan sialan," protesnya. 

"Apa yang telah kau katakan sampai ia berpikir begitu?" 

"Aku? Tak pernah aku mengatakan apa-apa. Paling-paling ... oh, ya, aku ingat. Iseng-iseng aku pernah bergurau sedikit tentang 'berangkat ke London pagi-pagi'. Mungkin ia menganggapnya serius. Atau, ia salah dengar. Engkau memberitahukan yang sebenarnya?" 

Gerald menunggu jawaban Alix dengan cemas. 

"Tentu saja, tapi ia termasuk jenis orang tua yang kukuh.Tak mudah mengubah pendiriannya." 

Kemudian diceritakannya kengototan George tentang harga rumah mereka. 

Setelah diam sejenak, Gerald berkata perlahan, "Yang diminta Ames adalah 2.000 kontan dan 1.000 sisanya dalam bentuk gadai. 

Mungkin itu sumber kesalahpahaman kukira." 

"Mungkin sekali," Alix setuju. 

Kemudian ditengoknya lonceng, lalu Alix menunjuk ke arah lonceng itu dengan nakal. 

"Kita harus mulai cepat bekerja, Gerald. Terlambat lima menit." 

Wajah Gerald diliputi senyum amat ganjil. 

"Aku sudah berganti rencana," katanya dengan tenang. "Aku tidak akan mengerjakan fotografi malam ini." 

Batin wanita memang aneh. Rabu malam itu Alix tidur dengan rasa puas dan damai. Kebahagiaannya kembali seperti sebelumnya. 

Namun, sore keesokan harinya Alix sadar, di dasar hatinya masih bergumul ketidaktenangan. Memang sore itu Dick tidak menelepon lagi, tetapi pengaruh kata-katanya masih bekerja. 

Bersama itu pula kembali terbayang wajah suaminya waktu berkata, "Apakah bijaksana membicarakan soal begini, Alix?" Mengapa ia berkata begitu? 

Dengan kalimat itu seakan-akan suaminya hendak berkata, "Lebih baik jangan coba-coba menggali tentang hidupku, Alix. Kau bisa terkejut." 

Jumat pagi Alix telah yakin bahwa ada wanita lain dalam kehidupan Gerald. Rasa cemburunya yang bangkit perlahan kini tak dapat dikendalikan lagi. 

Wanitakah yang mestinya hendak ditemui Gerald malam itu pada pukul 21.00? Apakah memproses film hanya alasan yang dikarangnya waktu itu juga? 

Tiga hari lalu ia begitu yakin telah mengenal suaminya luar-dalam. Kini rasanya Gerald hanyalah seorang asing. Alix masih ingat bagaimana marahnya Gerald kepada George, kemarahan tanpa alasan, benar-benar tak cocok dengan sifat sehari-harinya yang begitu ramah dan baik.

 

Ternyata buronan

Hari Jumat itu ada beberapa keperluan kecil yang mesti dibeli di desa. Pada sore hari Alix mengusulkan pergi ke desa, sementara Gerald tetap tinggal di kebun. 

Tak disangkanya Gerald menolak mati-matian dan mendesak supaya ia saja yang pergi ke desa. Alix terpaksa mengalah dan tetap tinggal di rumah. Tetapi ia tak mengerti. Mengapa Gerald begitu bernafsu mencegahnya pergi ke desa? 

Setelah waktu minum teh sore hari berlalu, ia kembali gelisah. Akhirnya, dengan alasan ingin membersihkan dan merapikan ruangan, ia mengambil bulu ayam dan naik ke loteng, ke kamar kerja suaminya. 

Surat-surat dan dokumen digeledahnya, laci-laci dibuka, kantung-kantung pada pakaian suaminya pun tak ketinggalan. Hanya ada dua laci belum dijamahnya, keduanya terkunci. 

la yakin di dalam salah satu laci itulah akan didapatkannya bukti-bukti tentang wanita dari masa lalu Gerald, yang kini begitu mengganggu pikirannya. 

la ingat Gerald meletakkan kunci-kuncinya begitu saja di lemari bufet di bawah. la mengambilnya, lalu dicobanya satu per satu. Kunci ketiga cocok dengan laci meja tulis. 

Dibukanya laci itu dengan rasa penuh ingin tahu. Didalam ada buku cek, dompet penuh catatan, dan di sebelah dalam ada setumpuk surat yang diikat dengan pita. 

Dengan napas yang memburu tak karuan, Alix membuka ikatannya. Tapi seketika wajahnya merona merah. Dikembalikannya semua surat itu ke laci, lalu laci kembali dikuncinya. Surat-surat itu berasal dari dia sendiri, sebelum menikah dulu. 

Kini ia beralih ke laci satunya yang masih terkunci. Kali ini tak ada satu pun kunci yang cocok. Dengan penasaran Alix mengambil kunci-kunci dari kamar-kamar lain. Untunglah kunci lemari pakaian kamar tamu cocok. Di laci itu hanya ada segulung kliping surat kabar yang sudah kotor dan kuning saking tuanya. 

Alix menarik napas lega. Iseng-iseng dibacanya juga kliping itu. Hampir semuanya kliping surat kabar Amerika, dari kira-kira tujuh tahun lalu. Isinya, pengadilan terhadap penipu ulung, Charles Lemaitre, yang dicurigai telah membunuh para wanita korbannya. 

Sebuah kerangka manusia telah ditemukan di bawah lantai salah satu rumah yang disewanya, dan sebagian besar wanita yang telah "dinikahi" tidak diketahui kabar beritanya. 

Terhadap tuduhan itu ia mampu mempertahankan dirinya dengan sempurna, dibantu oleh beberapa pihak resmi yang paling berbakat di Amerika Serikat. 

Selain itu dalam sebuah pengadilan tanpa kehadirannya, ia dinyatakan tak bersalah terhadap tuduhan utama, meskipun tetap mendapat hukuman penjara untuk waktu lama terhadap tuduhan-tuduhan lain. 

Alix masih ingat kegegeran akibat kasus itu, juga sensasi yang meletup ketika Lemaitre berhasil melarikan diri sekitar tiga tahun kemudian. Sampai kini ia belum berhasil ditangkap kembali. 

Di surat-surat kabar Inggris waktu itu banyak dibahas kepribadian orang itu dan pengaruhnya yang begitu kuat atas wanita. Juga tentang semangatnya di pengadilan, protes-protesnya yang penuh perasaan dan kenyataan bahwa ia kadangkadang pingsan karena jantungnya lemah. 

Di salah satu kliping itu terdapat foto Lemaitre. Dengan penuh perhatian Alix menatapnya: seorang laki-laki berjanggut panjang dan bertampang orang berpendidikan. 

Alix terkejut sekali. Ia sadar, foto itu adalah Gerald sendiri. Mata dan alisnya sangat mirip. Alinea di sebelah gambar itu menerangkan bahwa tanggal-tanggal yang tercatat di buku catatan tertuduh mungkin adalah tanggal ia membunuh para korbannya. 

Menurut seorang saksi wanita, ada tahi lalat di pergelangan tangan kirinya, tepat di bawah telapak tangannya. 

Kliping-kliping itu terjatuh dari tangan Alix dan ia pun sempoyongan. Di pergelangan tangan kiri suaminya, peisis di bawah. telapak tangan ada torehan kecil. 

Seluruh kamar seolah berputar di sekelilingnya. Gerald Martin adalah Charles Lemaitre! Kini tampaklah arti mimpi-mimpinya. Alam bawah sadarnya sudah lama merasa takut kepada Gerald dan ia ingin melarikan diri darinya. 

Kepada Dick alam bawah sadarnya ini meminta pertolongan. Ia calon korban Lemaitre berikutnya. Sebentar lagi, mungkin .... 

Setengah menjerit ia teringat sesuatu. Rabu, pukul 21.00. Gudang bawah tanah, dengan ubin-ubinnya yang begitu mudah diangkat! Gerald pernah mengubur salah satu korbannya di gudang bawah tanah. 

Semuanya telah direncanakan untuk Rabu malam. Gerald selalu membuat catatan tentang kegiatan-kegiatannya. Baginya, pembunuhan juga merupakan semacam perjanjian bisnis. 

Apa yang telah menyelamatkannya? Apakah Gerald membatalkan niatnya begitu saja karena kasihan di saat-saat terakhir? Tidak. Seperti kilat jawabannya muncul di benak Alix: si tua George. 

Kini ia mengerti sebab kemarahan suaminya yang tak terkontrol. Pasti ia telah mengatur siasat dengan mengatakan kepada setiap orang yang ditemuinya bahwa mereka akan ke London keesokan harinya. Tanpa disangka-sangka George datang bekerja, menyebut-nyebut tentang London kepada Alix, yang lalu menyanggahnya. Membunuh Alix malam itu tentu berisiko amat besar. 

 

Menggelar Siasat

Didengarnya derit pintu pagar. Suaminya pulang. Dengan berjingkat diintipnya dari balik gorden jendela. 

Ya betul, suaminya. Laki-laki itu sedang tersenyum-senyum sendiri sambil ber senandung. Di tangannya ada benda yang hampir saja menghentikan detak jantung Alix: sebuah sekop baru! 

Secara insting Alix segera sadar: malam inilah saatnya. Namun, masih ada kesempatan. Sambil bersenandung Gerald pergi ke belakang rumah. 

Tanpa ragu Alix berlari menuruni tangga dan keluar dari rumah. Namun, baru saja kepalanya muncul dari pintu, suaminya muncul dari samping. 

"Halo," katanya, "mau ke mana kau begitu tergesa-gesa?" 

Alix berjuang mati-matian untuk tetap tampak tenang seperti biasa. Kali ini kesempatan hilang, tetapi jika ia berhati-hati sehingga tidak membangkitkan kecurigaan kesempatan itu pastilah datang lagi. 

"Aku ingin berjalan-jalan," di telinganya sendiri suara itu begitu lemah dan tak pasti. 

"Baiklah," sahut suaminya. "Aku ikut." 

"Oh, ... jangan Gerald. Aku ... tak enak badan, sakit kepala ... aku lebih suka pergi sendiri saja." 

Gerald menatapnya dengan penuh perhatian. Alix bisa merasakan munculnya kecurigaan di mata suaminya, namun hanya sementara. 

"Mengapa kau, Alix? Kau pucat ... gemetar lagi." 

Dipaksakannya sebuah senyum. "Aku pusing, hanya itu. Dengan sedikit berjalan-jalan tentu akan sembuh." 

"Tapi percuma saja kau katakan tak mau kutemani," sahut Gerald, sambil tertawa santai. "Aku ikut, kau setuju ataupun tidak." 

Alix tak berani lagi memprotes. Bila Gerald sampai curiga bahwa ia sudah tahu .... 

Ketika kembali ke rumah, Gerald mendesak supaya Alix membaringkan diri, lalu di usapnya kedua pelipis Alix dengan eau-de-cologne. Seperti biasanya, Gerald masih seorang suami yang penyayang. Alix merasa begitu tak berdayanya, seakan-akan kedua lengan dan kakinya terikat dalam perangkap. 

Tak semenit pun Gerald meninggalkan Alix sendiri. Waktu makan malam, Alix berusaha makan dan bersikap riang seperti biasanya. 

Padahal di lubuk hatinya ia sadar, ia sedang berjuang untuk tetap hidup. Kesempatan, satu-satunya hanyalah menjinakkan kecurigaan Gerald, sehingga ia bisa mempunyai sedikit waktu sendiri untuk menelepon bantuan dari luar. 

Ada sekilas harapan, seandainya saja Gerald membatalkan rencananya seperti yang sudah pernah terjadi. Seandainya saja ia mengatakan bahwa Dick Windyford akan datang malam itu. 

Namun, mulutnya tak jadi mengatakan itu. Jangan-jangan bahkan Gerald akan segera membunuhnya di situ, waktu itu juga, lalu dengan tenang akan menelepon Dick bahwa tiba-tiba ia harus pergi karena ada panggilan. Oh! Bila saja Dick datang malam ini! Bila Dick .... 

Sebuah gagasan melintas di benaknya. Semakin matang rencananya, semakin tumbuh keberaniannya. Ia menjadi demikian wajarnya sampai ia sendiri heran. 

Ia membuat kopinya, lalu menuju beranda, tempat mereka biasa duduk-duduk bila cuaca malam baik. 

"Oh, ya," kata Gerald tiba-tiba, "foto-foto itu akan kita kerjakan nanti." 

Alix merasakan bulu kuduknya berdiri, tetapi ia menjawab acuh tak acuh,"Tak dapatkah kau kerjakan sendiri? Malam ini aku agak lelah." 

"Ah, tak akan lama, kok."Ia tersenyum sendiri. "Kujamin setelah itu kau tak akan merasa letih." 

Kata-kata itu kelihatannya menyenangkan Gerald, namun Alix bergidik. Sekaranglah saatnya ia melaksanakan rencananya. 

Ia bangkit. "Aku akan menelepon tukang daging," ujarnya acuh tak acuh. 

"Tukang daging? Malam-malam begini?" 

"Tokonya tentu saja tutup tolol. Tapi ia pasti ada di rumahnya. Besok 'kan hari Sabtu dan aku ingin besok pagi ia mengantarkan daging sapi muda, sebelum habis diserbu orang lain. Si tua itu akan melakukan apa saja buatku."

 

Topeng telah dibuka

Dengan cepat ia berlalu ke dalam rumah, menutup pintunya. Didengarnya Gerald berkata, "Jangan tutup pintunya." Ia cepat berkilah, "Supaya ngengat tidak masuk. Aku benci ngengat. Apakah kau curiga aku akan bercinta dengan si tukang daging, tolol?"

Begitu di dalam, ia menyambar telepon, memutar nomor Traveller's Arm. 

"Tuan Windyford? Apakah ia masih di situ? Dapat saya bicara dengannya?" 

Kemudian debaran jantungnya menjadi tak karuan, karena pintunya didorong terbuka dan suaminya masuk. 

"Oh, pergilah Gerald," rajuknya. "Aku tak suka didengarkan pada saat menelepon." 

"Apa betul tukang daging yang sedang kau telepon itu?" tanyanya. Alix betul-betul putus asa. Rencananya gagal. Sebentar lagi Dick akan mengangkat telepon. Apakah ia akan nekat saja menjerit minta tolong? 

Kemudian ketika dalam gugupnya ia menekan-nekan tombol pada telepon yang membuat dapat tidaknya suaranya terdengar oleh lawan bicara, terlintaslah rencana baru di kepalanya. 

Waktu itu juga terdengar suara Dick Windyford. 

Alix menarik napas panjang. 

"Di sini Ny. Maitin daii Pondok Philomel. Datanglah (tombol dilepasnya) besok pagi dengan enam potong daging sapi muda (tombol ditekannya). Ini sangat penting. (Dilepasnya tombol lagi).” 

“Terima kasih banyak, Tuan Hexworthy; saya harap Anda tak keberatan saya menelepon begini larut, tapi daging-daging itu benar-benar merupakan soal (tombol ditekannya lagi) hidup atau mati (tombol dilepasnya lagi). Baiklah - besok pagi (ditekannya lagi) segera mungkin." 

Ia meletakkan telepon kembali, lalu menoleh kepada suaminya sambil bernapas amat berat. 

Alix hampir bergolak oleh semangatnya. Gerald tidak curiga sedikit pun. Namun,Alix pun tak mengerti, apakah Dick pasti akan datang? Ia menuju ruang duduk dan menyalakan lampu. Gerald mengikutinya. 

"Tampaknya kau kini demikian bersemangat," komentarnya sambil memperhatikan penuh rasa ingin tahu. 

"Ya, begitulah," sahutnya. "Pusingku telah sembuh." Ia duduk di kursinya yang biasa, tersenyum kepada suaminya, sementara yang terakhir ini juga duduk di hadapannya. Ia selamat. Sekarang baru pukul 20.25. Lama sebelum pukul 21.00 Dick pasti sudah akan tiba. 

"Aku tak begitu suka pada kopi yang kau buatkan tadi," keluh Gerald. "Rasanya amat pahit." 

"Oh, itu merek baru. Aku hanya mencoba saja. Jika kau tak suka, tak akan kupakai lagi." 

Alix mulai menjahit, sedangkan Gerald membaca. Kemudian ia melirik lonceng, lalu menyingkirkan bukunya. 

"Pukul 20.30. Waktunya ke gudang bawah dan mulai bekerja." 

"Ah,belum waktunya. Nanti saja pukul 21.00." 

"Tidak, sayangku. Setengah sembilan. Itu waktu yang sudah kurencanakan. Kau akan dapat pergi tidur lebih awal." 

"Tapi aku lebih suka menunggu sampai pukul 21.00 saja." 

"Kau sendiri tahu, begitu aku menetapkan waktu, aku akan menepatinya. Ayolah, Alix. Aku tak mau menunggu lebih lama lagi." 

Alix melihat keatas, kepada suaminya dan kepanikan pun menyerbu dirinya. Topeng telah dibuka. Tangan Gerald bergerak-gerak, matanya berbinar-binar dan ia terus menerus membasahi bibirnya dengan lidah. Ia sudah tidak peduli lagi untuk menyembunyikan gairahnya. 

Pikir Alix: "Benar- ia tak dapat lagi menunggu -ia seperti orang gila." 

"Ayolah, manisku .... atau kugendong kau ke sana." 

Suaranya riang, namun mengandung keganasan tak tersembunyi yang mengerikan. Mati-matian Alix berhasil melepaskan diri dari pegangan Gerald pada bahunya. Merapat ke tembok, ia benar-benar tak berdaya. 

"Sekarang, Alix ...." 

"Tidak ... tidak!" 

Ia menjerit, tangannya mengusir Gerald pergi. 

"Gerald ... berhenti ... Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan kepadamu, suatu pengakuan ...." 

Ia betul-betul berhenti. 

"Mengaku?" tanyanya penasaran. 

"Ya, mengaku." 

Cemooh mengambang di wajahnya. 

"Kekasih lama, kukira," katanya. 

"Bukan," ujar Alix. "Lain,ini lain. Mungkin kau menyebutnya ... ya kupikir kau pasti menyebutnya tindak kriminal." 

Segera saja tampak bahwa Alix telah tepat memilih kata. Ia berhasil memerangkap perhatian Gerald. Keberaniannya timbul lagi. 

"Lebih baik kau duduk kembali," katanya tenang. 

 

Saingan aktris terhebat

Ia sendiri kembali duduk di kursinya dan sempai duduk dti mengambil jahitannya. Tetapi di balik ketenangannya, ia sedang berpikir keras menciptakan kisah yang benar-benar akan membuat Gerald tertarik sampai bantuan tiba. 

"Sudah pernah kukatakan kepadamu," katanya perlahan-lahan, "bahwa aku pernah menjadi pengetik steno selama 15 tahun. Sebenarnya itu tak sepenuhnya betul. Dalam jangka waktu itu ada masa istirahatnya. Yang pertama, ketika aku berusia 22 tahun.” 

“Aku berkenalan dengan seseorang yang sudah agak tua dan agak kaya. Ia jatuh cinta kepadaku dan melamarku. Kuterima. Kami menikah." Ia berhenti sebentar. "Aku membujuknya sehingga ia mengasuransikan jiwa atas namaku." 

Segera saja tampak perhatian yang mendadak jadi besar di wajah suaminya. Alix meneruskan dengan lebih mantap: 

"Waktu perang aku pernah bekerja di bagian pelayanan rumah sakit. Di sana aku berurusan dengan berbagai jenis obat maupun racun yang langka." 

Ia berhenti berpura-pura mengenang kembali. Gerald sudah betul-betul tertarik, tak ada keraguan lagi tentang itu. Seorang pembunuh memang cenderung tertarik pada pembunuhan. Diliriknya lonceng. Pukul 20.35. 

"Ada sejenis racun - berupa bubuk putih. Sepercik saja membawa kematian. Mungkin kau tahu sedikit tentang racun?" 

Bila ternyata Gerald tahu, ia harus lebih berhati-hati. 

"Tidak," sahut Gerald, "aku hanya tahu sedikit sekali." 

Ia menarik napas lega. 

"Tentunya kau pernah mendengar tentang hyoscine? Nah, efeknya kira-kira sama, tetapi sama sekali tak dapat ditelusuri. Tiap dokter pasti akan menduga sebab kematiannya sebagai serangan jantung. Aku mencurinya sedikit dan menyimpannya." 

Alix berhenti sejenak, mengatur langkahnya. 

"Teruskan," kata Gerald. 

"Ah, tidak. Aku takut. Tak dapat kuceritakan sekarang. Lain kali saja." 

"Sekarang," ujarnya tak sabar. "Aku ingin mendengarnya sekarang." 

"Waktu itu kami telah menikah sebulan. Aku istri yang amat baik dan setia. Suamiku memuji-mujiku kepada semua tetangga. Setiap sore kubuat sedikit kopi untuknya. Suatu sore, kucampurkan sedikit racun tadi ke dalam kopinya ...." 

Alix berhentik untuk membetulkan jahitannya. Meskipun belum pernah berakting di panggung, saat itu pastilah kemampuannya berakting mampu menyaingi aktris terhebat di dunia. 

"Betul-betul sangat damai. Aku duduk memperhatikan dia. Mula-mula ia terengah sedikit dan minta dibukakan jendela. Aku menurutinya. Kemudian katanya ia tak dapat bergerak dari kursinya. Tak lama kemudian ia pun mati." 

Ia berhenti, lalu tersenyum. Pukul 20.45. Sebentar lagi mereka pasti datang. 

"Berapa," tanya Gerald, "uang asuransinya?" 

"Kira-kira 2.000 ponsterling. Aku berspekulasi, tapi gagal. Habis. Aku kembali bekerja di kantor. Tapi sebetulnya aku tak bermaksud berlama-lama di sana. Di kantor aku menggunakan nama gadisku.” 

“Maka ketika aku mengenal seorang laki-laki, muda, agak ganteng, dan sangat kaya, ia tak tahu jika aku sudah pernah menikah. Di Sussex kami menikah diam-diam. la tak mau mengasuransikan jiwa, tetapi tentu saja dibuatnya surat wasiat yang menguntungkanku. la juga suka aku sendiri yang membuatkan kopinya." 

Alix tersenyum penuh kenangan dan menambahkan, "Kopi buatanku memang sangat sedap." Lalu diteruskannya: 

"Di desa tempat kami tinggal, aku punya beberapa teman. Tentu saja mereka kasihan sekali kepadaku, ketika suatu malam mendadak suamiku meninggal karena serangan jantung. Suamiku mewariskan 4.000 ponsterling. Kali ini uang itu tidak kuspekulasikan, tapi aku tanamkan. Kemudian, kau tahu ...." 

Dengan wajah merah padam dan setengah tercekik, Gerald Martin menunjuk ke arahnya dengan telunjuk yang gemetar. 

"Kopi itu ... Masya Allah!" Alix diam menatapnya. 

"Kini aku mengerti mengapa rasanya begitu pahit. Kau setan! Kau ulangi lagi muslihatmu." 

Kedua tangannya mencengkeram kursi kuat-kuat. Gerald siap menyerang Alix. 

"Kau telah meracuniku." Alix sudah menjauhkan diri ke pendiangan. Kini dalam ketakutannya, bibirnya sudah membuka untuk menyangkal... tapi tak jadi. Dikumpulkannya seluruh kekuatannya. Ditatapnya kembali mata Gerald, menantang. 

"Ya," sahutnya. "Aku telah meracunimu. Racun itu sekarang sedang bekerja. Saat ini juga tak dapat lagi kau bergerak dari kursimu ... kau tak dapat bergerak ...." 

Kalau saja ia mampu menahan laki-laki itu untuk tinggal tetap di kursinya hanya beberapa menit lagi .... 

Tiba-tiba terdengar langkah kaki dan derit pagar. Lalu suara pintu luar dibuka. 

"Kau tak dapat bergerak," ulangnya lagi. 

Kemudian Dick menoleh ke seseorang yang berseragam polisi yang datang bersamanya. 

"Cobalah lihat apa yang telah terjadi di ruang itu." 

Dibaringkannya Alix di atas sofa, lalu Dick membungkuk di atas. 

"Sayangku," gumamnya. "Sayangku yang malang. Apa yang telah terjadi padamu?" 

Kelopak mata Alix bergerak-gerak dan bibirnya haya menggumamkan namanya. 

Dick sadar waktu sang polisi menggamit lengannya. 

"Tak ada apa-apa di sana, Pak. Hanya seorang laki-laki yang sedang duduk di kursi. Tampaknya ia seperti baru mengalami ketakutan yang hebat, dan ...."

 "Ya?" 

"Ia ... sudah mati."  (Agatha Christie) 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124198/tewas-sebelum-beraksi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890694000) } } [14]=> object(stdClass)#179 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124194" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#180 (9) { ["thumb_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/ulah-seorang-buronanjpg-20220203121708.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#181 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Malcolm Brown" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9389) ["email"]=> string(20) "intiplus-32@mail.com" } } ["description"]=> string(146) "Pelaku yang merupakan keturunan suku Aborigin sempat melarikan diri 40 hari di alam yang ganas. Para pencari, mengakui daya tahannya selama buron." ["section"]=> object(stdClass)#182 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(104) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/ulah-seorang-buronanjpg-20220203121708.jpg" ["title"]=> string(20) "Ulah Seorang Buronan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:17:17" ["content"]=> string(35060) "

Intisari Plus - Akhir tahun 1968, suasana peternakan Elsey Station, mulai diliputi ketegangan. Masa itu kawasan Northern Territory terasa seperti neraka. Panasnya menyengat, lembapnya melekat. Udara pengap membuat semua makhluk termasuk semut kegerahan. 

Tapi justru ini masa-masa seru, perlombaan antara kecepatan manusia dan cuaca. Para peternak mesti adu cepat mengumpulkan hewan mereka sebelum cuaca menjadi terlalu panas.

Sore 20 September itu, Amy Dirngayg, Jessie Garalnganyag dan Marjorie Biyang, sedang terburu-buru. Ketiga gadis Aborigin ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di peternakan. Bel pertama sudah dibuyikan dari homestead (kemah utama). 

Pertanda mereka harus segera keluar dari kamp para Aborigin menuju homestead untuk menyiapkan makan malam bagi sang manajer, Peter McCracken, istrinya Mary, dan para karyawan kulit putih lainnya.

 

Hanya salu pengalang

Amy Dirngayg, kepala dapur homestead yang dijuluki "Cookie", melihat Marjorie (18), anak buahnya termenung kurang konsentrasi. Seperti ada yang mengusik hatinya, sampai harus diingatkan untuk menutup meja. Padahal biasanya itu sudah tugas rutin yang lancar ia tuntaskan.

Seperti biasa, makan malam ditutup dengan minum teh. Para pelayan merapikan meja kembali, mencuci cangkir dan menggantungnya, lalu membersihkan bangku serta meja makan. 

Setelah semua selesai, Marjorie mendadak bilang tak mau ikut pulang ke kamp para pembantu. Amy dan Jessie jadi heran. Memangnya ada apa? "Saya ogah ah balik ke sana. Saya mau tidur di dapur saja," kata Marjorie.

"Eh, eh, apa-apaan? Mana bisa? Kamu harus ikut kami, tidur bersama keluargamu di kamp. Di sini kamu sendirian. Jangan, jangan tinggal di sini." Tapi karena Marjorie bersikukuh, kedua rekannya terpaksa pergi meninggalkannya sendirian di sana.

Marjorie memang sedang gundah. Tapi bukan karena kesal, melainkan karena panah asmara yang agaknya menghunjam dalam. Kedua rekannya tak tahu, malam itu ia sedang gelisah menantikan kedatangan sang "Arjuna". 

Sekitar pukul 20.30, ia berangkat ke pulau kenikmatan, bergelut dalam mimpi indah bersama David Jackson (21), stockman (perawat ternak) berkulit putih. Sepertinya sampai saat itu mereka dapat menyimpan rahasia rapat-rapat, meski telah berbulan-bulan mereka menjalin cinta. Hanya satu hal yang membuat dua insan ini agak waswas. Marjorie sudah bersuami.

 

Ditemukan di gudang

Jackson dua kali terjaga karena mendengar bunyi gemeresik di luar. Ia juga melihat cahaya obor, lalu bayangan berkelebat dalam kegelapan. Tapi bayangan itu raib ketika dikejar.

"Ada apa, sayang?" desah. Marjorie setengah mengantuk.

"Ah, tidak. Pencuri barangkali," sahut Jackson kembali merebahkan diri di samping Marjorie. Namun, waswasnya belum hilang. Dalam gelapnya malam dan beratnya rasa kantuk, pasangan yang sedang mabuk cinta ini tak menyadari bahaya besar sedang mengancam. 

Sekitar pukul 03.00, mereka diserang habis-habisan dengan tomahawk (kapak) oleh seseorang tak dikenal. Kepala, leher, dan. tubuh Biyang babak belur dihantam dan dibacok. Sedangkan Jackson di kepala. dan dadanya.

Bisa dibayangkan keributan yang timbul. Jeritan korban yang memilukan menyentakkan Peter McCracken sang manajer. Tanpa ba-bi-bu ia terbirit-birit menuju sumber keributan. 

Pemandangan yang dilihatnya sungguh mengenaskan. Jackson tersandar di tembok dengan wajah dan dada berlumuran. darah. Sayang, dalam keadaan setengah sadar, ia tidak mengenali penyerangnya.

Dari jejak-jejak berdarah yang masih segar, McCracken mencoba menelusuri. Ternyata jejak itu menuju gudang pelana. Di sana ia malah menemukan tubuh Biyang tergeletak tak bergerak. Meski masih 3 jam lagi fajar baru akan merekah, ia hampir yakin siapa pelaku penganiayaan sadis ini. 

Pada genangan darah di lantai kamar itu terpampang jelas jejak-jejak kaki telanjang. McCracken langsung mengenalinya. Itu jejak "Larry Boy" Janba, suami Marjorie Biyang, yang juga orang Aborigin. Rupanya beginilah cara Janba menyudahi perselingkuhan istrinya.

 

Permainan sejak dulu

Elsey Station, 400 km sebelah selatan Darwin merupakan salah satu peternakan paling beken di Northern Territory. Homestead pertama dulu dibangun di kawasan tempat tinggal suku Yangman di Warloch Points. 

Kemudian mulai dibangun peternakan ini yang stok ternaknya terus bertambah antara tahun 1877 - 1882. Sekitar peralihan abad ini, untuk mengatasi masalah air, Elsey dipindahkan ke lokasi yang sekarang di S. Roper, di kawasan yang mulanya milik suku Mangarryi.

Sudah tentu pemilik tanah tidak rela tanah mereka diduduki begitu saja. Tak mengherankan kalau sejarah awal kawasan pemukiman di tanah orang Mangarryi dan Yangman ini penuh diwarnai kebrutalan. 

Yang sering jadi sumber masalah sebenamya dorongan klasik yang telah menandai kodrat manusia. Seks. Dari dulu para karyawan peternakan, yang disebut stockman seperti David Jackson itu, doyan gadis-gadis Aborigin. Mereka gemar menculik anak-anak gadis ini.

Namun di sisi lain, bagi pribumi Australia industri peternakan yang tidak berlangsung sepanjang tahun dan dilaksanakan di udara terbuka, membuka banyak peluang bagi mereka untuk tinggal di tanah leluhur. 

Misalnya dengan ikut bekerja di peternakan. Upacara-upacara keagamaan pun masih dapat mereka selenggarakan di musim penghujan, saat mereka tidak bekerja. 

Seperti yang dikatakan seorang sejarawan tentang Elsey, "Selama penduduk asli Aborigin dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan irama hidup industri peternakan, mereka dapat tetap bergaul dan mendiami tanah leluhur entah lewat pekerjaan atau di luar pekerjaan."

Namun sampai tahun 1960- an, kehidupan di Elsey jauh dari gampang, baik bagi peternak pria maupun wanita berkulit putih yang mencari nafkah di sana, atau bagi para pekerja peternakan yang orang-orang Aborigin itu beserta keluarga mereka. 

Elsey Station agak berbeda dibandingkan dengan peternakan lain: manajernya orang kulit putih, begitu pun beberapa karyawan peternakannya, lalu ada kamp khusus untuk kaum Aborigin, yang letaknya terpisah dari homestead. Bisa 80-100 orang pria, wanita, dan anak-anak tinggal di sana. 

Biasanya pada masa puncak kesibukan mengumpulkan ternak, orang Aborigin yang bekerja di Elsey bisa mencapai 30 orang pria. Tapi September 1968 itu kebetulan cuma sebanyak dua kemah kecil plus ketiga pembantu rumah tangga homestead tadi.

Urusan berlumuran darah yang mengharu-biru ini berada di bawah wewenang Polisi Konstabel Roy "Bluey" Harvey yang masih muda belia. Baru 32 tahun. Rambut merah serta kulitnya amat bule makin mengesankan dengan tubuh jangkungnya yang 188 cm itu. 

Pos Harvey di Mataranka, "cuma" 30 km dari homestead Elsey. Padahal daerah patroli yang berada di bawah pengawasannya tak tanggung-tanggung: 7.800 km2. Harvey boleh dikata polisi lapangan tulen. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di padang rumput, termasuk 11 tahun di pos-pos polisi terpencil di Northern Territory.

Melacak dan memburu buronan juga bukan barang baru baginya. la pemah harus menelusuri jejak seorang pembunuh yang minggat melewati padang pasir sebelah barat Papunya di Centre. Dengan keluwesannya berbaur dalam masyarakat Aborigin, ia mungkin membayangkan tidak akan menghadapi banyak masalah, ketika malam itu mendapat panggilan untuk memburu Larry Boy. 

Namun posisinya dibandingkan dengan Larry Boy terungkap jelas dengan keterangannya sekitar 15 tahun kemudian kepada seorang wartawan, "Saat saya sedang tidur nyenyak, Larry Boy telah menata perjalanannya hari itu dengan rapi."

 

Seperti telapak tangan sendiri

Sebetulnya Larry Boy Janba pernah bekerja di Elsey sebagai penabuh bel. Cukup lama, sampai 7 tahun. Tapi entah kenapa tahun 1965 ia dipecat McCracken. Setelah itu ia tinggal bersama ibunya di Mataranka Station, tak jauh dari situ. 

Namun setelah menikah dengan Marjorie, tempat tinggalnya jadi tak menentu, pokoknya di padang sekitar homestead Elsey. Menurut Jessie Garalnganjag, masa itu Larry Boy lebih suka menyendiri.

"Dia tidak pemah ngobrol-ngobrol bersama kami. Kerjanya cuma berburu. Kalau hasilnya banyak, ia bagi-bagikan kepada kami, termasuk istri dan kakak iparnya. Sebagai balasannya kami memberinya tembakau. Malam itu (malam terjadinya pembunuhan), kami yakin ia baru bertengkar dengan Marjorie, karena tak sekali pun muncul, bahkan untuk main kartu."

Setelah peristiwa serangan berdarah itu, rupanya Larry Boy lari menembus padang ilalang di arah utara Elsey. Dipilihnya kawasan rawa-rawa, yang disebut Jungle. Bagi orang luar, jelas ini bukan daerah yang membesarkan hati: 11 km jauhnya dari kompleks Elsey, seluas 100 km2

Gigitan nyamuknya ganas, ular gemeresik berseliweran, buaya mengintai bagai batang kayu, belum lagi ancaman babi liar. Sungguh mimpi buruk bagi siapa saja yang harus memburu Larry Boy ke sana.

Sebaliknya Larry Boy dibesarkan di sana. Sebagai cucu "Goggle-Eye" dan putra Yiworrorndo, keduanya tokoh terkenal dalam sejarah kawasan itu, ia sudah terbekali pengalaman cukup. 

Orang-orang Eropa menyebut ayahnya Jungle Dick sekitar tahun 1940-an. "Ia mengenal daerah itu seperti telapak tangannya sendiri," ujar Joe McDonald, kakak Marjorie yang ikut melacak saudara iparnya bersama rombongan Harvey.

Di hari-hari awal perburuan, Harvey ditemani Bob Jackson, detektif dari Darwin dan Sersan Pat Slater, ahli forensik, polisi dari Larrimah, Katherine dan Maranboy, disertai 5 orang Aborigin ahli pencari jejak. 

Tiga minggu kemudian, rombongan pencari sudah mengembang jadi 5 polisi, 22 orang sipil, dilengkapi dengan 5 jip, satu sepeda motor, 40 ekor kuda, 1 perahu polisi, 1 helikopter yang bahan bakarnya dipasok oleh sebuah pesawat DC3! 

Polisi juga meminta bantuan orang-orang yang punya pengetahuan khusus tentang daerah itu, seperti Clancy Roberts, kakak laki-laki tertua Jessie Garalnganjag.

Sudah sejak awal, semua orang tahu bakal sulit memburu Larry Boy. Apalagi ia diperkirakan membawa senjata senapan kaliber .22 plus beberapa senjata lain. Jejaknya juga tidak kunjung ditemukan. Semangat para pelacak tak semakin naik ketika ada yang menduga-duga, Larry Boy bisa mengarungi jarak sampai sejauh 60 km sehari! Lalu ada yang mengaku pernah melihatnya di dekat Katherine, di sebelah utara.

Agar lebih efisien, dikerahkan empat regu pencari, ada yang berpatroli di padang ilalang sampai sejauh 200 km dari homestead Elsey. Akhirnya, baru setelah hari ke10, mereka menemukan jejak tersangka berikut sisa-sisa makanannya berupa ikan dan wallaby (sebangsa kanguru). Karena itu bidang perburuan lalu dibatasi hanya di sekitar Jungle saja. Semua orang makin bersemangat.

Susahnya, meski mereka mencari sampai 12 jam sehari, hasilnya tetap nihil. Malah para pelacaklah yang mulai bertumbangan akibat kecapekan dan sakit. Medan yang amat sulit juga membuat banyak sepatu bot rusak. McCracken terserang influenza, tujuh orang Aborigin sakit karena terinfeksi virus. 

Dua orang wartawan langsung ambruk setelah beberapa hari meliput perburuan itu. Bluey Harvey pun akhirnya terserang radang paru-paru. Belakangan ia menulis, "Penyakit terus mengintai, sementara makanan tidak terjamin. Karena jarang beristirahat untuk makan siang sering kali kami cuma makan sekali pada malam hari.” 

“Ada kalanya ketika kami sedang berkeringat habis-habisan, hujan lebat turun. Dengan cuaca semacam itu bagaimana stamina kami tak luntur? Kami hanya bisa berharap, Larry Boy pun menderita seperti kami."

 

Menyewa helikopter

Sejak awal, perburuan dipimpin oleh Harvey dan Bennet, seorang pencari jejak, asli Aborigin. Perburuan yang terus terang saja bikin frustrasi: berputar-putar di rawa-rawa yang seakan tak berujung. Beberapa kali jejak Larry sepertinya membawa mereka ke Barat, ke arah Mataranka, tempat ibu dan saudara-saudara perempuan si buronan. 

Namun setiap kali pula akhirnya mereka sadar, jejak-jejak itu tipuan belaka. Larry Boy ternyata sengaja membuat jejak-jejak palsu dengan cara berjalan mundur! Tragisnya, baru setelah tiga minggu mereka menyadari permainan Larry. 

Rupanya Larry membungkus kakinya dengan kulit wallaby sehingga jejaknya yang sejati tersamar.

Setiap sore jejak-jejak di sekitar tempat mereka camping diperhatikan usianya, sehingga bila Larry malam-malam menyatroni kamp mereka, paginya cepat ketahuan. Setiap hari polisi berpatroli di seputar pertemuan antarlintasan jejak, siapa tahu ada jejak yang mereka cari. 

Namun betapa pun tekunnya, yang mereka dapat cuma sebatas remah-remah sisa daging wallaby, flying fox (sejenis kelelawar) dan potongan cabbage palm (sejenis palem yang bisa dimakan). Si oknum sendiri tak kunjung nampak batang hidungnya.

Seperti belum cukup, kerepotan yang dihadapi tim Harvey makin diruwetkan birokrasi. Pada tanggal 10 Oktober, setelah 19 hari perburuan berjalan, markas besar polisi di Darwin tahu-tahu mengumumkan: menarik kembali semua petugas kecuali Harvey, termasuk helikopter. 

Akibatnya, setiap hari Harvey harus berjuang, berdebat lewat telepon dengan atasannya di Darwin. Ia ngotot tetap minta disediakan kuda sewaan dan persediaan makanan.

Malah ia sampai melayangkan protes ke Canberra. Dari pusat pemerintahan Australia itu, protes tersebut cuma menghasilkan jaminan dari Menteri Dalam Negeri Peter Nixon bahwa Elsey Homestead akan tetap dilindungi. 

Lalu Koran Darwin Northern Territory News memprotes lagi dengan memberikan dukungan penuh pada usaha berbagai station untuk terus melanjutkan perburuan, yang waktu itu sudah masuk minggu keempat. 

Hasilnya, diutuslah seorang bernama Barry Frew, ke Elsey. Saking frustrasinya, pada hari ke-23 McCracken nekat menyewa helikopter selama 2 hari atas biaya sendiri.

 

Malah diintai Larry

Sementara itu, masyarakat Elsey jauh dari tenteram. Mereka didera perasaan was-was kalau-kalau Larry menyerbu kediaman mereka lagi untuk merampok makanan. 

Jessie Garalnganjag masih ingat, gadis-gadis pembantu rumah tangga di homestead setiap malam harus dikawal polisi saat pulang ke kamp satu per satu. 

Semua orang yakin, Larry Boy masih gentayangan di sana. Malah terkadang sepertinya justru ia yang membuntuti para pemburu!

Janba sungguh anak alam yang menguasai medan. Berkali-kali dengan gampang ia menghindar dari jebakan yang dipasang para pemburunya. Singkat kata, ia selalu selangkah di muka atau... bisa juga di belakang mereka. 

Joe McDonald masih ingat bagaimana berulang-ulang mereka nyaris menangkapnya, tetapi bagaimana mungkin, karena Larry dengan leluasa dapat mengamati para pemburunya dari jarak dekat.  

"Pernah ia mengamati kami dari bawah pohon palem yang sudah mati... waktu itu kami berhenti di dekat sana untuk makan malam... sambil membicarakan dia, lalu kami berangkat lagi meneruskan pencarian. Begitu kami pergi, ternyata Larry memunguti puntung-puntung rokok kami yang berserakan di tanah!"

Suatu ketika, Harvey menemukan sekotak tembakau dan kertas rokok di tepi sebuah jalan setapak di Jungle, juga jejak-jejak Larry Boy yang usianya baru 20 menit, menimpa jejak-jejak rombongan pelacak! Harvey lalu menyimpulkan, salah satu anak buah Aboriginnya yang membantu Larry. 

la perintahkan orang yang dicurigai untuk pindah tugas, dari berkuda menjadi patroli jalan kaki. Namun itu juga tidak mengubah keadaan.

Pada hari ke-30, salah satu regu pencari menemukan pembungkus makanan di pertemuan kali kecil Salt Creek dan Sungai Roper. Jaraknya hanya 5 km dari kemah kediaman ibu Larry Boy, sedangkan pembungkus itu cocok dengan pembungkus makanan yang dibeli ibu Larry dua hari sebelumnya.

Namun orang-orang Aborigin tetap membantah keras dugaan bahwa Larry Boy menerima bantuan semacam itu, termasuk dari ibunya. 

"Larry sanggup hidup mandiri di alam bebas," tegas mereka, barangkali disertai sedikit rasa kagum. Apalagi sudah terbukti beberapa kali ia menyerbu perkemahan peternak untuk mencuri makanan.

Jimmy Conway masih ingat, ketika ia sedang berada di salah satu perkemahan peternak sebelah timur Elsey Station. Suatu pagi koki menemukan sejumlah besar stok makanan raib. Juga ditemukan jejak Larry Boy meninggalkan kamp.

"Ia biasanya menunggu sampai larut malam, lalu menyelinap mencuri makanan," ujar Conway. Jadi siapa membuntuti siapa?

Penuturan Joe McDonald pun senada, "Memang, kami tahu ia suka menyerbu dapur perkemahan untuk mencuri makanan. Menurut saya, tak ada yang membantunya. Ibunya tinggal di Mataranka dan selalu diawasi polisi. Larry Boy memang sanggup memenuhi sendiri kebutuhan perutnya."

 

Petunjuknya sebuah ember

Entah dibantu penduduk setempat atau tidak, nyatanya memasuki minggu kelima, para pelacak belum juga semakin dekat dengan buruan mereka. 

Sampai-sampai ada pejabat polisi senior dari Darwin memerlukan datang untuk memberikan instruksi kepada Harvey, "Teruskan usahamu, coba menjalin kontak dengan Janba dan katakan ia tidak akan dicederai bila menyerahkan diri." 

Pesan yang sama juga ia umumkan ke media massa. Karuan saja Harvey yang boleh dikata sudah ngos-ngosan berusaha itu uring-uringan. "Memangnya apa yang kami kerjakan selama 33 hari ini?" ujarnya mengomel.

Menanggapi nasihat si pejabat, anak buah Harvey dengan sinis bercanda mengusulkan bagaimana kalau mereka menyebarkan selebaran berisi pesan dari pejabat polisi tadi dan McCracken yang mengongkosi sewa helikopternya!

Kesinisan Harvey belum berkurang, ketika 6 hari kemudian pada tanggal 30 Oktober, datang pemberitahuan dari Darwin. Isinya, setelah bertugas selama 39 hari tanpa hasil, ia dibebastugaskan. la diperintahkan untuk kembali ke homestead untuk "serah terima perlengkapan".

"Apanya yang akan diserahterimakan?" pikir Harvey, karena perlengkapan dari atasannya amat terbatas.

Terbukti, dalam acara serah terima malamnya, yang diserahkari cuma beberapa botol air minum kosong dan dua buah senapan tua kaliber .303. Kemudian ia pulang ke Mataranka, dengan perasaan penasaran bercampur lega.

Namun esok paginya, pukul 05.30, McCracken tahu-tahu mengagetkan dia dari tidur nyenyaknya di kantor polisi Mataranka. 

"Larry Boy semalam menyerbu Elsey Station lagi. Ia mencuri roti, daging, dan sepatu tenis. Kuda-kuda sudah siap, kalau kau mau ikut!" katanya nerocos di pagi-pagi buta itu. Rupanya McCracken sudah telanjur cocok dengan Harvey, meski yang disebut belakangan ini sudah tak bertugas.

Di homestead, pengganti Harvey telah mengorganisasikan patroli di seputar tempat itu. Namun Harvey dan Bennet meneiusuri jejak-jejak langka yang tampaknya berasal dari sekolah di Elsey menuju Mataranka. 

Mata jeli Bennet melihat dedaunan di tanah dari tanaman yang tumbuhnya cuma di Jungle. Itu artinya, Larry Boy telah menyapu jejaknya dengan dedaunan.

Ketika mereka sedang asyik-asyiknya melacak, pasang mata, dan toleh kiri-kanan, mencoba tidak kehilangan tanda apa pun yang mungkin ditinggalkan Larry Boy, sebuah mobil menepi. 

Pengendaranya ternyata salah seorang guru di sekolah Elsey. Setelah basa-basi sedikit, ia bilang, "Cuma sedikit info kecil, barangkali ada gunanya untuk kalian. Kami di sekolah kehilangan sebuah ember!" Wuah, telinga Harvey langsung berdiri.

"Ini dia," pikirnya tanpa sadar sambil menggosok-sosokkan kedua telapak tangannya. "Barangkali ini kesalahan serius pertama yang dibuat Larry. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya kesandung juga."

Bila Larry sampai mencuri sebuah ember, berarti ia tidak sedang menuju Mataranka, atau daerah kanal Jungle, karena di sana air berlimpah. 

Ia pasti sedang menuju suatu daerah kering: kawasan gua-gua kapur di sebelah utara Jungle. Padahal rombongan pencari telah berulang-ulang menyisir daerah itu dalam kurun waktu 40 hari ini tanpa hasil.

Setelah melewati medan berat, tibalah mereka di kawasan kapur itu. Persis di tengah-tengah sepotong jalan yang baru saja diratakan, tampak jelas jejak kaki Larry Boy. Di sisi lain dari jalan itu, tergeletak sepotong dahan kecil dari sejenis pohon khas daerah Jungle. 

Rupanya Larry Boy menyeberangi bagian jalan ini, lalu mendadak berbalik lagi ke arah dari mana tadi ia datang, yaitu ke Utara. Jejak sih memang tak ada, tapi ia meninggalkan banyak sekali dedaunan, yang bagi Harvey dan Bennet sama saja ampuhnya dengan jejak.

Rontokan dedaunan itu membawa mereka ke mulut sebuah gua. Padahal mereka ingat benar, gua ini sudah pernah mereka periksa. Namun mata jeli Bennet menyapu setiap sudut mulut gua itu. 

Sungguh, tak ada yang terlewatkan dari pandangannya. Ia melihat sarang laba-laba yang tadinya menutupi mulut gua itu telah disingkapkan di satu sisi. 

Bennet berbisik, "Kena dia, Bluey!"

 

Saling mengobori

Baru sekarang Harvey sadar, revolvernya tertinggal di pagar halaman ketika tadi pagi akan melompat ke atas punggung kudanya. Tanpa pikir panjang, ia pinjam senapan kaliber .22 milik Bennet, lalu merangkak masuk. Tak usah diragukan lagi, hatinya berdebar-debar juga.

"Setelah sekian lama,... akhirnya!" gumamnya sendiri, sambil terus maju. Tubuh jangkungnya membuat ia tak terlalu leluasa merangkak. Di depan percabangan, ia melihat sebuah ember di salah satu cabangnya. 

Sepertinya ia semakin dekat, tapi udara pengap membuatnya hampir tercekik. Ia putuskan keluar dulu, untuk menghirup sedikit oksigen. Di luar, ia menyuruh Bennet menjemput beberapa pelacak yang lain. Di saat-saat menentukan ini, setidaknya lebih banyak bantuan lebih baik.

Kira-kira sejam kemudian, mulut gua yang biasa sepi dan jadi singgasana yang aman tenteram bagi si laba-laba itu kedatangan "tamu" cukup banyak. Di depannya berdiri orang-orang dengan wajah tegang, penasaran sekaligus penuh semangat. Bayangkan, setelah sekian lama, inilah saat yang dinanti-nantikan.

Akhirnya, Joe McDonald nekat. Tuturnya belakangan, "Semua hadir di sana. Kami tak dapat melihat dia, tapi dia yang ada di dalam kegelapan gua pasti dapat melihat kami di luar. Di antara kami ada yang berusaha melemparkan bom asap untuk memaksanya keluar.” 

“Tapi saya putuskan, biar saya saja yang menjemput dia. Saya coba merangkak masuk, tapi tak sanggup. Di dalam terlampau gelap. Salah seorang polisi, Bluey Harvey, memberikan obor kepada saya. Saya merangkak masuk lagi dengan satu tangan mengacungkan obor.” 

“Setelah merangkak beberapa lama, obor saya itu tiba tepat di depan sebuah wajah. Larry Boy! la mengobori wajah saya dengan obornya sendiri. Secara refleks kepala saya tundukkan untuk menghindar. Dia bertanya, 'Kau, Wampu Kelly?' yang saya jawab, 'Yeah, me Wampu Kelly.' Padahal sebenarnya Wampu Kelly itu rekan saya, orang Aborigin juga, tapi tubuhnya terlalu besar untuk masuk ke gua itu."

"Saya bilang, 'Ayolah, keluar. Kamu ditunggu keluargamu. Jangan takut. Tak ada yang akan menangkapmu.' la mengikuti saya merangkak mundur ke luar, dengan posisi: saya lebih dulu tapi dengan wajah menghadap bagian belakang tubuhnya.” 

“Namun entah kenapa, apakah karena dia menyadari saya bukan Wampu Kelly, tiba-tiba ia mulai berusaha menyerang saya dengan senapannya. Bahkan ia mencoba menembak saya. Untung ia tak dapat berbalik.” 

“Kalau dapat, pasti saya telah menjadi mangsa senapannya waktu itu juga. Akhirnya, ia berhasil saya bawa ke luar. Tangannya saya pegangi erat-erat sampai tiba di mulut gua."

 

Bugil

“Begitu keluar dan melihat ada begitu banyak orang, ia bertanya kepada seorang polisi, apakah boleh masuk lagi ke gua dengan dalih mengambil beberapa perlengkapan.” 

“Saya berkata, 'Kalau dibiarkan masuk kembali, kalian tidak akan melihatnya keluar lagi.' Maka saya suruh Roger Gibbs. dan Wilson McDonald, keduanya pemuda dengan tubuh yang masih kecil-kecil, untuk masuk ke gua mengambil barang-barang Larry Boy."

Kedua pemuda itu membawa ke luar senapan kaliber .22, amunisi tomahawk, tembakau, rokok, dan bekal makanan. Saat itu Larry Boy dalam keadaan bugil. Naga (cawat)-nya ia manfaatkan untuk kantung. 

Harvey membawanya kembali ke Elsey homestead, tapi sayang tak berhasil menemukan pakaian Larry Boy yang berlumuran darah. Mungkin saja barang bukti penting itu telah dibenamkan Larry di rawa-rawa. 

Kemudian pesakitan itu diangkut ke Mataranka dan diajukan ke depan meja hijau di sana atas tuduhan membunuh. Butuh waktu 40 hari untuk menangkapnya, sejak pembunuhan itu terjadi.

Dalam sidang pengadilan Mahkamah Agung Februari 1969, juri ternyata tidak melihat bahwa Larry bersalah telah melakukan pembunuhan, namun ia terbukti telah melakukan penganiayaan terhadap Marjorie Biyang dan mencederai Jackson. 

Juri sepakat, kemarahannya tersulut hebat sampai ia kehilangan kendali diri. Ia diganjar 8 tahun penjara untuk penganiayaan dan 5 tahun untuk tuduhan pencederaan. Larry Boy langsung dikirim ke Penjara Fannie Bay di Darwin.

 

Mati di penjara

Rupanya itu saat terakhir ia melihat dunia bebas. Larry Boy tak pernah lagi menginjakkan kaki di tanah padang ilalang dan rawa-rawa yang ia cintai, karena pada tanggal 11 Juni 1972, cuma dua bulan menjelang saatnya ia dibebaskan bersyarat, Larry meninggal di penjara. 

Ganasnya alam bebas Australia dapat ia taklukkan, tapi penyakit di penjara tak kuasa ia lawan. Belakangan hasil autopsi menyimpulkan penyakit yang membuatnya terkapar selama berbulan-bulan itu disebut melioidosis, umum disebut Nightcliff Gardener's Disease

Pada waktu itu orang beranggapan, penyakit yang disebabkan oleh organisme yang hidup di tanah itu diperolehnya saat ia jadi buronan polisi. Namun ilmu kedokteran kini malah berkesimpulan, penyakit itu pasti didapatnya di dalam penjara.

Pengejaran terhadap Larry Boy terjadi di masa padang-padang perawan di Northern Territory sedikit demi sedikit mulai ditundukkan oleh transportasi modern, namun masih menyisakan banyak kekerasan hidup yang asli kawasan tersebut. 

Buktinya, David Jackson, stockman yang jadi gara-gara segala kerepotan ini dengan santainya berkomentar dari atas ranjang rumah sakitnya, "Apa sih yang diributkan? Peristiwa begini 'kan lumrah?"

Menurut wartawan Jim Bowditch, yang datang meliput ke Elsey, para ringer kulit putih yang ikut melacak Larry Boy kesal mengapa Larry Boy mesti marah hanya gara-gara istrinya tidur dengan seorang stockman kulit putih. Namun Bluey Harvey punya pandangan lain tentang buronan yang membuatnya jatuh-bangun itu.

"Larry Boy cakap, terampil, dan lihai sekali bisa bertahan dalam pelarian demikian lama." Bahkan ketika ditanyai sesudah tertangkap, Larry Boy mengungkapkan, bagaimana selama pengejaran itu ia berulang-ulang dalam posisi yang demikian dekat dengan para pemburunya sehingga praktis dapat menyentuh mereka, kalau mau.

Berdasarkan pengalaman kerjanya selama 20 tahun sebagai polisi lapangan di padang-padang Australia. Bluey Harvey memang punya alasan kuat untuk mendecakkan kekaguman juga terhadap kecakapan para Aborigin pencari jejak. 

Malah ketika mengenang kembali kasus Larry Boy, Harvey berucap, "Sungguh, hari itu saya hampir saja angkat tangan!" Justru kelihaian Bennet dalam membaca jejak dan keberanian Joe McDonald-Ian, keduanya asli Aborigin, yang menyempurnakan keuletan Harvey. Aparat kepolisian patut berterima kasih kepada mereka. (Malcolm Brown)

 

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124194/ulah-seorang-buronan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890637000) } } [15]=> object(stdClass)#183 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124180" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#184 (9) { ["thumb_url"]=> string(96) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/pencuri-bukujpg-20220203121443.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#185 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Bill Pronzini" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9387) ["email"]=> string(20) "intiplus-30@mail.com" } } ["description"]=> string(158) "Lenyapnya sebuah peta langka hampir mengancam nyawa detektif dan anak pengarang bukunya. Kelicikan pelaku memanipulasi keadaan dan aksinya, tak mudah ditebak." ["section"]=> object(stdClass)#186 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(96) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/pencuri-bukujpg-20220203121443.jpg" ["title"]=> string(12) "Pencuri Buku" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:14:55" ["content"]=> string(37940) "

Intisari Plus - Hari Kamis itu, ketika saya sedang bengong di kantor, muncullah seorang bertongkat. la mendekati saya dengan terpincang-pincang. "Mungkin Anda lupa kepada saya. Saya John Rothman," katanya. 

Saya segera mengenalinya walaupun sudah lebih dari setahun tidak bertemu. la pemilik toko buku bekas terbesar di San Francisco. Tokonya sebuah gedung  bertingkat tiga di Golden Gate Avenue, dekat Gedung Federal, yang memiliki ruang bawah tanah berisi penuh buku. Dulu saya sering memborong buku-buku cerita detektif keluaran tahun 30-an dan 40-an di sana. 

"Saya menghadapi masalah di toko buku saya dan saya ingin meminta bantuan Anda sebagai detektif swasta," kata pria umur 50-an yang jangkung danberwajah ningrat itu. 

Dalam beberapa bulan terakhir, ia sering kehilangan buku-buku langka, peta-peta tua dan semacamnya. Kini kerugian Rothman sudah melampaui AS $ 20.000. Tidak seluruh kerugian itu tertutup oleh asuransi. Rothman sudah meminta bantuan polisi, tapi tampaknya polisi tidak berdaya.

 

Orang dalam

Rothman menjelaskan bahwa pencurian buku sebenarnya kejadian umum. Pencuri buku merupakan duri dalam daging semua pedagang buku. Namun, pencurian di toko bukunya dalam bulan-bulan terakhir ini sudah keterlaluan. 

Rothman yakin, pencuri yang memusingkan kepalanya ini bukan pengutil, tetapi pencuri yang menjual hasil kejahatannya pada penjual buku lain atau pada kolektor pribadi. 

"Jadi Anda menduga pencurinya profesional?" 

"Tidak. Saya malah menaksir pencuri itu salah seorang karyawan saya." 

Alasannya banyak, kata Rothman. Barang-barang yang hilang itu tingkat tiga, ruang yang selalu dikunci. Rothman dan dua karyawannya memiliki kunci ruangan itu. Tidak seorang pun calon pembeli boleh masuk tanpa kehadiran salah seorang dari mereka. 

Setelah dua buku mahal tercuri, ruangan itu ditutup untuk umum. Cuma calon pembeli yang dikenal Rothman boleh masuk ke sana. Pintu toko buku dipasangi sensor, semacam detektor logam yang harus dilewati calon penumpang pesawat di bandara. 

Semua buku dan benda, selain yang dibeli diperiksa dulu dengan sensor strip di kasa. Kalau orang berani keluar dari toko buku sambil membawa barang yang belum mereka bayar, alarm akan berbunyi. Alat itu bayak dipakai di toko buku dan perpustakaan. 

Tak urung tiga minggu kemudian sebuah gambar sketsa buatan Albrecht Durer pada abad XVI lenyap. "Saya baru saja membeli dua, yang satu lenyap," keluh Rothman. Benda itu mahal sekali dan bila sudah mendapat jaminan keaslian, harganya sulit ditaksir. 

"Saya mengecek Ruang Antikuarian pagi itu, sebelum saya makan siang seperti biasa. Sketsa masih ada di situ. Tapi ketika sorenya saya mengecek kembali, benda itu sudah lenyap, padahal tak seorang pelanggan pun diperbolehkan masuk ke situ. Kunci pintu sama sekali tidak memperlihatkan bekas-bekas dibuka dengan kekerasan." 

Setelah kejadian itu Rothman meminta dua karyawan yang tadinya dipercaya untuk memegang kunci Ruang Antikuarian agar mengembalikan kunci mereka kepadanya. Namun, hal itu tidak mencegah pencuri untuk masuk dan keluar tanpa diketahui. 

Masih terjadi empat pencurian lagi yang jarak waktunya makin lama makin pendek. Pencurian terjadi antara pukul 11.00 - 14.00, yaitu saat Rothman tidak berada di tokonya. Yang hilang adalah gambar sketsa Durer yang sebuah lagi, dua gambar berwarna buatan Jepang pada abad XVII dan sebuah peta langka yang menggambarkan dunia Timur. Peta itu lenyap baru dua hari lalu. 

"Maling sudah membuat duplikat kunci sebelum Anda menyita kunci yang dua buah itu," kata saya.

"Saya tahu. Keempat karyawan saya bisa saja memiliki duplikat kunci ruangan itu, sebab karyawan yang dua orang lagi pernah dipinjami temannya ketika mereka terlalu sibuk untuk mengambil sendiri sesuatu dari ruangan itu." 

 

Maling Siluman

Kata Rothman, pernah ia berniat mengganti kunci, tetapi ia pikir maling sepandai itu pasti mempunyai cara untuk masuk. 

"Saya bukan cuma ingin menghentikan pencurian. Saya ingin pencurinya ditangkap dan dihukum. Saya juga ingin tahu cara ia masuk dan keluar dari toko dengan membawa barang-barang curiannya. Kalau ini saya ketahui, saya bisa mencegah peristiwa itu berulang." 

"Mungkinkah si maling mengeluarkan barang-barang melewati sensor pada saat tak ada orang melihat, kemudian membawanya pergi di balik bajunya?" 

"Tidak. Sensor strip berada di tempat kasir. Tak seorangpun karyawan saya masuk kesitu pada hari-hari terjadi pencurian, kecuali Adam Turner. Adam satu-satunya karyawan yang saya percaya sepenuhnya. Ia sudah bekerja di tempat saya selama dua puluh tahun.” 

“Ia setia dan bukan kepalang jujurnya. Sejak terjadi pencurian ia mengawasi sensor. Pada dua dari pencurian itu ia tidak pernah meninggalkan tempatnya sekejap pun sepanjang hari." 

"Apakah sistem alarm itu dinonaktifkan kalau toko ditutup?" 

"Ya"

"Kalau begitu, bisa dong si maling menyembunyikan dulu barang curiannya di toko lalu mengambilnya ketika alarm sudah dibungkam." 

Rothman menggeleng-gelengkan kepala. "Saya orang terakhir yang meninggalkan toko. Kalau saya beralangan, Adam yang mengunci toko.Tidak seorang pun, kecuali kami berdua, memiliki kunci pintu depan. Selain itu, semua karyawan lain harus melewati gerbang alarm ketika keluar. Hal ini dijalankan tanpa perkecualian."

Saya berpikir-pikir. "Mungkinkah maling masuk lewat pintu lain pada jam kerja? la kan cuma perlu waktu beberapa menit. Barang curiannya bisa juga ia operkan pada rekannya." 

Rothman menggeleng-gelengkan kepala. "Semua pintu masuk ke toko di lantai pertama belakang maupun pintupintu untuk menyelamatkan diri kalau ada kebakaran di tingkat dua dan tiga dikunci dan dilindungi dengan sistem alarm yang terpisah." 

Cuma Rothman seorang yang memiliki kunci pintu-pintu itu. 

"Walaupun ada yang berhasil memiliki duplikatnya, alarm tetap akan berbunyi kalau salah satu pintu dibuka." 

Kotak pengendali alarm itu semua terletak di belakang meja kasir, tapi itupun dikunci dan Adam menjaganya dengan cermat seperti ia menjaga sensor strip. 

Jendela-jendela tidak diberi alarm, tetapi semua dikunci dan tidak bisa dibuka karena dimatikan dengan cat. Semua jendela dalam keadaan tidak terganggu. 

 

Semua orang lama

Pusing kepala saya memikirkan kemungkinan lain. Kata Rothman, tak mungkin barang curian disembunyikan di toko. Ia dan Adam sudah menggeledah seluruh toko lebih dari sekali. Lagi pula gambar sketsa Durer yang hilang lebih awal ternyata sudah menjadi milik seorang kolektor di Chicago yang bernama Martell. 

Namun, Martell menyangkal. Rothman tahu pasti Martell memihaknya karena Rothman mendapat kisikan dari sumber yang bisa dipercaya. Setiap kali kecurian, Rothman selalu melapor ke rekan-rekannya sesama penjual buku antikuarian di AS, Eropa, dan pelbagai pihak yang patut diberi tahu. 

Kata Rothman, selama ia tidak mempunyai bukti bahwa Martell membeli gambar sketsa itu, ia tidak bisa menuntut lewat jalur hukum. Satu-satunya cara ialah menemukan orang yang mencuri benda itu dari Rothman dan orang yang menjualnya kepada Martell. 

"Karyawan mana yangAnda curigai?" Rothman menjawab bahwa ia percaya penuh kepada Adam Turner. 

Saya meminta Rothman menceritakan ketiga karyawan lain seorang demi seorang. 

"Tom Lennox sudah bekerja lama di toko saya, empat tahun. Orangnya pendiam, bersemangat, banyak pengetahuannya, dan tahu buku. la berharap bisa membuka toko buku bekas sendiri kelak. 

la tidak terlalu ambisius. Selain Adam, ia pernah dipercayai memegang kunci Ruang Antikuarian. Ia dan Adam menyerahkan kunci Ruang Antikuarian dengan senang hati." 

"Harmon Boyette sudah bekerja dua tahun lebih sedikit, yaitu sejak pindah dari Seattle. Di tempat tinggalnya yang lama ia pemah memiliki toko buku selama beberapa tahun, tetapi bangkrut setelah bercerai dengan istrinya. Ia bisa dipercaya, tapi sayang ia senang minum kalau sedang di luar kantor. Terkadang ia mangkir." 

"Apakah uang penting sekali baginya?"

"Kalaupun penting ia tidak pernah mengatakannya. Ia ju ga tidak pernah bercerita ingin membuka usaha sendiri lagi." 

Karyawan ketiga bernama Neal Vining. Asalnya dari Inggris. Umurnya 26 tahun. Pria kelahiran London .itu anak pedagang buku. Ia menikah dengan wanita Amerika dan datang ke San Francisco 18 bulan lalu. Rothman mempekerjakannya karena ia ahli buku-buku Inggris dan Eropa, baik yang kuno maupun modern. Ia belajar dari ayahnya. 

Menurut Rothman, Vining ambisius. Ia selalu ingin belajar, selalu bertanya. Satusatunya cacatnya mungkin ia agak sombong. 

Saya mencatat keterangan Rothman. Pencurian mulai terjadi kira-kira lima bulan lalu, katanya. 

"Apakah tahun sebelumnya terjadi banyak pencurian barang berharga?" tanya saya. 

"Dua buku seingat saya," jawab Rothman. Ia mengerutkan keningnya. "Apakah pencurinya sama menurut Anda?" tanyanya. 

"Mungkin saja," jawab saya. "Tadinya ia mau mencobacoba dan ketika metodenya tidak bisa dilacak ia lebih berani. Bisa saja ia didorong rasa ingin buru-buru kaya, serakah atau merasa berkuasa." 

Rothman berpikir-pikir. "Edisi pertama Black Spring karangan Henry Miller lenyap tiga bulan setelah Vining masuk kerja," katanya. 

"Lennox dan Boyette pun bisa mencuri sekali-sekali." "Anda benar," jawab Rothman. 

Keterangan tetangga

Saya mengusulkan agar Rothman pura-pura menerima karyawan baru di kantornya dan memberi saya pekerjaan yangmemungkinkan saya mengamatamati tiga karyawannya. Rothman setuju. Saya akan mulai masuk keesokan harinya. 

Sore itu saya pergunakan untuk mengecek latar belakang Lennox, Boyette, dan Vining. Saya menelepon teman saya di R dan I (Records and Identification) di Hall of Justice. Saya minta tolong ia mencarikan nama dan keterangan di komputemya dan juga di berkasFBI tentang tiga orang itu. 

Saya juga menelepon teman dari perusahaan leasing untuk minta dicarikan keterangan: Apakah ketiga orang itu termasuk orang-orang yang dipercaya mendapatkan kredit? 

Saya memperoleh alamat mereka dari Rothman. Mereka tinggal di apartemen. Saya segera menghubungi beberapa tetangga terdekat mereka lewat telepon. Saya mengaku petugas perusahaan asuransi yang sedang melakukan pengecekan rutin untuk keperluan perusahaan. 

Dua tetangga Lennox menyatakan Lennox tertutup, tampaknya ia tidak mempunyai kebiasaan buruk dan pernikahannya cukup bahagia. Tetangga ketiga, seorang wa nita yang mengenal Lennox lebih baik, berpendapat lain. Katanya, Lennox tergila-gila pada buku dan apartemennya penuh dengan benda-benda itu. Si tetangga buta buku, ia tidak tahu apakah buku koleksi Lennox itubuku berharga atau bukan. 

Tetangga-tetangga Harmon Boyette berpendapat, karyawan toko buku itu peminum berat. Kalau sedang dipengaruhi alkohol, Boyette yangbiasa mengurung diri di rumah itu sangat tidak ramah. Mereka tidak suka kepadanya. Mereka tidak pernah masuk ke apartemennya dan tidak tahu apakah ia mempunyai banyak uang atau tidak. 

Neal Vining sebaliknya, ramah pada tetangga, pandai mengobrol, dan sering mengadakan pesta-pesta kecil dirumahnya. Ia disukai tetangga begitu juga istrinya, Sara, putri pemilik toko dan perlengkapan pria buatan Inggris di Ghirardelli Square. 

Vining senang olahraga. Ia juga senang memamerkan pengetahuannya tentang buku dan kesusastraan. Seperti kedua rekannya, tampaknya ia tidak mempunyai banyak uang dan pengeluarannya tidak berlebihan. 

Sebetulnya saya ingin mengecek Adam Turner juga, tetapi masih ada pekerjaa lain yang mendesak. 

Teman saya di R and I menelepon, memberi tahu bahwa tidak seorang pun di antara tiga nama yang saya berikan pernah tercatat melakukan tindak kriminal. Mereka tidak pernah ditangkap polisi, kecuali Boyette yang pernah mendekam dua kali di penjara walaupun cuma semalam, karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. 

Teman di perusahaan leasing melaporkan: Vining termasuk orang yang kreditnya baik. Lennox tidak terlalu baik. Boyette tidak baik. Ada yang menarik: Lennox gagal membayar cicilan mobilnya sehingga mobil itu, sebuah Mercedes, ditarik kembali sembilan bulan lalu. 

Sebelum peristiwa itu, kemampuannya untuk membereskan utang baik sekali. "Mengapa ia tiba-tiba memutuskan membeli mobil mahal, yang tidak mungkin ia cicil dengan gajinya?" pikir saya. Mungkin karena ulah istrinya. 

 

Rajin dating pagi-pagi

Setelah selesai membaca semua laporan, saya menelepon pacar saya, Kerry, yang sedang melembur di perusahaan periklanan. Saya berjanji akan menjemputnya pukul 19.00 hari Sabtu, karena toko buku Rothman baru tutup pukul 18.00. 

Keesokan harinya saya pergi ke toko buku. Saya tidak memakai setelan jas dan dasi seperti biasa, tetapi memakai kemeja dan celana lama. Seorang pria lanjut usia yang agak bungkuk dan berdasi kupu-kupu membukakan pintu. 

"Saya Jim Marlow," kata saya. "Saya karyawan baru yang kemarin diminta bekerja di sini oleh Pak Rothman." 

Pria itu mengulurkan tangannya. "Turner, Adam Turner, asisten manajer." Pada saat ia mengunci pintu kembali, saya mengamati sekekeliling saya. Tempat kasir berada di kiri, di sebelah gerbang alarm sensor. Masuk dan keluar toko mesti melewati pintu itu, sebab di sisi lain ada penyekat tinggi. 

Di belakangnya ada jajaran rak buku. Dinding pun ditutupi rak dari lantai sampai ke langitlangit. Pada salah satu sisi, dekat dinding belakang, ada tangga untuk naik ke tingkat dua dan untuk turun ke ruang bawah tanah. 

Turner meminta saya masuk melewati pintu alarm sensor. Walaupun Turner tampaknya lembut, tetapi saya lihat matanya waspada dan cerdas. Pasti tidak banyak hal yang luput dari pengamatannya. 

Katanya, Rothman berpesan kepadanya agar saya naik ke kantor Rothman di tingkat dua. Tingkat dua juga penuh buku. Di situ ada tangga untuk naik ke tingkat tiga, tetapi di mulut tangga dipasang rantai dan tanda Dilarang Masuk. 

Lewat lorong di antara deretan rak buku saya melihat tiga pintu. Yang di tengah terbuka penuh. Saya berdiri di muka pintu itu. Di dalamnya ada meja tulis besar dan lemari besi. Saya duga ini kamar kerja Rothman. 

Saya dengar bunyi gelontor- an air toilet, lalu pintu ketiga terbuka dan muncullah Rothman. Begitu melihat saya, ia menyambar tongkatnya yang tersandar di dinding dan terpincang-pincang berjalan ke arah saya. "Salah satu tanda ketuaan ialah kandung kemih yang melemah," katanya."Anda sudah lama menunggu?" 

Rothman menyatakan bahwa Adam Turner pun tak tahu bahwa saya detektif. 

"Apakah ia selalu datang pagi-pagi?" tanya saya.

 "Ya, sering demikian," kata Rothman. "Istrinya meninggal beberapa tahun lalu dania kesepian di rumah. Toko ini menjadi rumah kedua baginya." Rothman sendiri biasa datang pukul 08.30. 

Tiga tersangka

Mula-mula saya dibawa melihat ke Ruang Antikuarian di tingkat tiga. Ruangan itu terdiri atas dua bagian. Sebagian tempat ratusan buku dan pamflet, sebagian lagi, yang lebih kecil, dipakai menaruh gambar sketsa, peta, dan sebangsanya. 

Tidak semua benda yang ditaruh di situ berharga mahal, kata Rothman. Yang paling mahal, buku-buku dan gambar sketsa buatan Durer. 

"Mengapa pencuri tidak memilih buku, tapi peta dan sebangsanya yang lebih murah?" tanya saya. 

"Mungkin karena tukang tadahnya mempunyai spesialisasi di bidang itu," jawab Rothman. 

Saya lihat kunci-kunci di tempat itu kurang memadai. 

Sesudah selesai melihat-lihat, kami keluar dan Rothman mengunci kembali pintunya. Kami melihat-lihat lantai dua. Pukul 09.45 kami kembali ke ruang utama di lantai satu. 

Yang pertama kali muncul ialah Harmon Boyette. Umurnya 40-an. Orangnya kurus, cekung dan matanya merah. Tangannya gemetar sedikit. Rothman memperkenalkan kami. Boyette tampaknya acuh tak acuh saja. 

Neal Vining tiba lima menit kemudian. Saat itu, Rothman sudah pergi ke toilet lagi. Adam Turner-lah yang memperkenalkan kami. Vining langsing dan atletis seperti atlet pelari. Ia mengenakan jas sport. Senyumnya lebar dan orangnya ramah. 

Turner mengantar saya ke ruang bawah tanah dan menyuruh saya bekerja di gu dang. Ada sekitar seratus buku yang baru datang. Saya mesti memisah-misahkannya menurut kategori masingmasing dan menaruhnya di rak yang tepat menurut urutan abjad. 

Supaya memberi kesan baik dan sempat keluyuran kelak, saya bekerja dengan sungguh-sungguh. Baru sejam kemudian saya bisa muncul di tingkat pertama. Saat itu sudah banyak pengunjung. 

Vining sedang berada di bagian buku-buku ilmu gaib. Turner berada di belakang meja kasa. Di situ juga ada seorang pria gemuk berambut merah. Umurnya 30-an. Pria berwajah tembam itu diperkenalkan kepada saya oleh Turner. la Tom Lennox. Tampaknya ia agak meremehkan saya. 

 

Mengorek Keterangan

Turner bertanya apakah saya sudah menyelesaikan tugas saya. Ketika saya mengiakan, ia meminta saya membantu Harmon Boyette di tingkat dua.

"Saya ditugaskan Turner membantu Anda," kata saya. 

"Aku tak perlu bantuanmu," katanya. "Tapi saya ditugaskan, lo." Harmon yang tampak seperti orang sakit naik pitam. "Sana bawa buku-buku itu ke bawah. Taruh di kotak tempat buku obral. Letaknya di depan. Jangan lupa berhenti dulu di tempat Turner." 

"Lo, buat apa?" 

"Memang kamu tidak diberi tahu bahwa ada alarm? Ada maling?" 

"Mana mungkin orang bisa mencuri di sini?" 

"Bisa saja," kata Boyette. Wajahnya tampak seperti mengejek. "Rothman menduga malingnya karyawannya sendiri." 

"Anda sependapat?" 

"Aku tidak mau pusing mikir. Aku digaji bukan buat mikir. Bukunya mau dicuri atau diapain, peduli amat." 

"Tampaknya Anda tidak begitu suka pada Pak Rothman." 

"Aku punya alasan untuk tidak suka." 

"Kelihatannya dia baikbaik saja." 

"Baik apa? Aku punya pengalaman lima kali lebih banyak dalam menjual buku dibandingkan dengan Lennox atau Vining, tapi malah aku yang kebagian pekerjaan sepele-sepele di sini. Ini garagara aku tidak menjilat." 

"Memangnya Lennox dan Vining menjilat?" 

"Lennox 'kan pergi ke tempat buku-buku obral, lalu membeli buku untuk dijual pada Rothman dengan harga cuma beberapa sen sebuah. Vining memberi Rothman hadiah dari toko mertuanya. Yang aku berikan 'kan cuma kerja keras delapan jam sehari." 

Boyette terus mengomel. Ia jengkel dicurigai sebagai pencuri, katanya. Ia ingin berhenti dan akan segera angkat kaki begitu mendapat pekerjaan baru. 

Kemudian saya disuruhnya pergi membawa buku ke tempat Turner. Setelah melewati sensor strip, benda itu tidak menyebabkan alarm berbunyi ketika dibawa melewati pintu dan ditaruh di dua kotak obral di luar. 

Pukul 12.30 Rothman keluar untuk makan. Vining pergi kirakira pukul 13.00 dan Boyette pukul 13.30. Turner dan Lennox makan di toko. Turner tidak beranjak dari belakang kasa. 

Saya pun makan di toko sambil mengamati tangga ke tingkat tiga dari tingkat dua. Tak ada seorang pun berada dekatdekat Ruang Antikuarian. Tak seorang pun melakukan gerakgerik mencurigakan. 

Boyette kembali pukul 14.15. Tampaknya ia tidak sesakit tadi. Wajahnya agak kemerahan dan matanya bersinar. Ketika ia datang, saya turun untuk bekerja di bagian buku kesusastraan. Boyette naik ke tingkat dua. Lennox berada dekat saya.

"Kelihatannya Harmon minum banyak minuman keras waktu makan siang," kata saya. 

"Biasa," kata Lennox.

"Kecanduan alkohol?" 

"Ia merasa hidupnya pahit sekali kalau mendengar ceritanya tadi pagi." 

"Jangan diacuhkan. Ia merasa lebih hebat daripada orang lain dan merasa diperlakukan tidak sepatutnya. Kadang-kadang ia bisa raenyusahkan." 

"Menurut Anda dia jujur nggak sih?"

"Kenapa Anda bertanya demikian?" kata Lennox sambil mengerutkan kening. 

"Soalnya, ia bercerita tentang pencurian-pencurian di Ruang Antikuarian. Katanya, Pak Rothman menyangka pencurinya salah seorang karyawan." 

"Dia tak punya hak menceritakan hal itu kepada Anda," kata Lennox. "Pencurian bukan urusan Anda." Lennox pergi menjauhi saya, menuju ke meja kasir. 

Ketika itu Vining menyelinap mendekati saya. 

"Harmon bukan satu-satunya orang yang bisa menyusahkan," katanya. "Tom juga. Asal kau tahu saja." 

"Kau mendengar pembicaraan kami?" 

"Tidak sengaja." 

"Kenapa sih Lennox?" 

"Dia sok serius, seakanakan dia pemilik toko ini."

"Pencurian 'kan serius." 

"Memang. Karena itu kami semua jadi gelisah." 

"Katanya, Pak Rothman menduga malingnya salah seorang karyawan sini." 

"Melihat yang sudah terjadi mestinya demikian." 

"Siapa sih kalau menurut pendapatmu?" 

"Mana aku tahu? Menurut pendapatku, sih Pak Rothman sendiri yang bisa membawa pergi barang-barang itu." Lalu buru-buru Vining berkata, "Bukan maksudku menuduh dia. Dia tidak ada celanya, tapi aku cuma sekadar ingin berkata bahwa malingnya bisa siapa saja." 

"Adam Turner juga bisa?" 

"Adam? Rasanya sulit menduga dia. Tapi dua dari benda yang hilang adalah gambar sketsa Durer. Adam ahli soal itu. la pernah menulis artikel tentang karya Durer. Dia juga yang dulu mempertemukan Pak Rothman dengan kolektor pribadi pemilik dua gambar sketsa itu." 

Lennox datang memberi tahu Vining ada telepon untuknya. Jadi saya tidak mempunyai kesempatan mengorek keterangan lebih lanjut. 

 

Turner atau malah Rothman

Kalau betul Turner malingnya, tidak ada kesulitan untuk melewatkan barang-barang barang curian di sensor strip. Barang-barang itu bisa ia sembunyikan dalam pakaiannya sebelum dibawa ke luar. Atau, bisa juga ia membawa ke luar pagi-pagi, bukankah ia bisa datang lebih pagi daripada Rothman? 

Saya pikir, Senin saya harus menyelidiki latar belakang Turner. 

Sore itu Boyette makin lama makin menyebalkan. Mungkin karena pengaruh alkohol yang diminumnya makin lama makin hilang. Ketika toko tutup, Boyette-lah yang pertama angkatkaki. 

Saya tinggal di toko sampai pukul 18.15 bersama Turner dan Lennox. Lalu Rothman menyuruh kami keluar, supaya ia bisa mematikan sistem alarm seperti biasa. 

Kebetulan ia berjalan kearah mobil saya diparkir. Jadi kami bisa bercakap-cakap di perjalanan. Saya tidak menceritakan perihal Boyette dll. Saya katakan, saya belum berhasil mendapat keterangan yang berharga. 

Di muka Pasiiik Health Club kami berpisah, karena ia akan singgah ke tempat olahraga itu. "Saya tidak bisa angkat besi, main squash seperti Neal Vining," katanya. "Saya cuma berendam di Jacuzzi untuk mengendurkan otot-otot dan mengurangi rasa sakit pada tungkai." Ia mengajak saya untuk memanfaatkan fasilitas itu sebagai tamunya. Saya menolak, sebab ber lainan dengan Vining saya tidak suka berolahraga. 

Malam itu saya menelepon pacar saya, Kerry. Ia sedang menyiapkan presentasi dan besok masih harus bekerja sampai kira-kira tengah hari. "Boleh saya singgah di toko bukumu?" tanyanya. Ayah dan ibu Kerry pengarang buku terkemuka. Tentu saja saya senang sekali ia mau datang. 

 

Siluman beraksi lagi

Hari Sabtu pencuri beraksi lagi. Kejadiannya sekitar pukul 11.20, saat Rothman selesai mengecek Ruang Antikuarian dan pukul 14.00, ketika Rothman pulang dari makan siang. 

Saat kehilangan itu diketahui, saya sedang berada di tingkat pertama, bercakap-cakap dengan Kerry yang datang kira-kira setengah jam sebelumnya. Ia menemukan buku karangan bapaknya. Pada saat kami bercakap-cakap, Rothman muncul di tangga dan memberi isyarat kepada saya agar cepat mendekat. 

Saya meninggalkan Kerry. Di kantornya Rothman memberi tahu sebuah peta langka, buatan Gehardus Mercator lenyap. Benda itu berharga. Rothman menyesal tidak menyimpannya dalam lemari besi. Sebagian benda-benda berharga memang ia simpan di lemari besi setelah sering terjadi pencurian. 

Saya heran sekali. Setelah Rothman pergi makan siang, saya beberapa kali sengaja pergi ke tingkat dua untuk mengecek. Semuanya beres. 

Kata Rothman, setiap kali ketahuan ada pencurian, ia meminta semua pelanggan untuk keluar meninggalkan toko, lalu menanyai semua karyawan. Saya meminta Rothman berbuat serupa saat itu. 

Saya mengusulkan agar semua orang digeledah. Rothman bilang, ia sangsi pencuri licin itu akan menyimpan curiannya di badan, tetapi ia mengikuti juga saran saya. 

Saya turun ke bawah untuk memberi tahu Kerry bahwa ada pencurian dan meminta ia meninggalkan toko. Baru dua puluh menit kemudian semua pelanggan keluar. Lennox tampak bersusah hati, seakanakan yang dicuri itubarang miliknya sendiri. Boyette tampak marah. Matanya merah. Vining tampak prihatin. Turner memasang wajah risau. 

Kami berenam berkumpul dekat meja kasir. Rothman menjelaskan apa yang hilang, lalu bertanya siapa di antara kami yang naik ke Ruang Antikuarian. Tidak ada yang mengaku. Tidak pula ada yang melihat sesuatu yang mencurigakan antara pukul 11.30- 14.00. 

Diketahui Boyette dan Lennox meninggalkan toko di antara waktu itu, tetapi Turner melihat mereka melewati gerbang alarm tanpa alat itu berbunyi. 

"Saya minta maaf," kata Rothman. "Tapi pencurian ini sudah keterlaluan. Ada di antara Anda yang keberatan kalau digeledah?" Boyette marah sekali. la tak mau digeledah. 

"Sebaiknya kau mau, Harmon," Vining menasihati. "Kalau menolak, kau memberi kesan bersalah." Boyette tetap tidak mau. Dengan geram ia menyatakan akan menuntut kalau ia digeledah dengan paksa. 

Ia juga sekalian menyatakan minta berhenti, sebab diperlakukan sewenangwenang. Lalu ia pergi meninggalkan toko, melewati gerbang alarm. Alat itu tidak berbunyi. 

Setelah Turner mengunci pintu kembali, saya ditugaskan menggeledah. Peta tidak dijumpai pada seorang pun. Dalam saku mereka tidak pula ditemukan kunci palsu untuk ke Ruang Antikuarian. 

Semua disuruh pulang. Turner menawarkan diri untuk membantu menggeledah seluruh toko, tapi Rothman menyatakan ia boleh pulang. Saya diajak Rothman menggeledah dengan saksama. Peta tetap tidak ditemukan.

Ditubruk

Pukul 18.50 kami baru meninggalkan tempat itu. Saya sangat risau. Walaupun saya bertekad tidak menghancurkan sore yang akan saya lewati bersama Kerry, saya tidak berhasil untuk santai. Kerry merasa. 

Saya menenggak bir banyak sekali. Kerry sampai berkata, "Kok, muat sih bir sekian banyak di tubuhmu, seperti pahamu bolong saja." Saat ia menyebut "paha bolong", saya teringat pada sesuatu. Cepat-cepat saya mengajak Kerry ke mobil. 

Saya ngebut. Tahu-tahu di Diamond Height Boulevard ada mobil menubruk dari belakang. Tadinya saya kira tidak sengaja. Ternyata orang itu ingin mencelakaan saya. 

Saat kami menuruni boulevard itu, di tempat yang menurun tajam dan berbelok, mobil yang lampu besamya dinyalakan sehingga menyilaukan itu berusaha mendorong kami ke jurang dengan sebuah tubrukan yang menghancurkan lampu belakang. 

Walaupun saya menginjak rem sampai bunyinya mencicit dan baunya sangit, tubrukan yang diulangi membuat mobil saya meluncur menuju jurang. Saya khawatir akan keselamatan Kerry dan berusaha menyelamatkan diri sekeras-kerasnya. Pada saat mobil gila itu hendak menubruk lagi, saya berhasil membelokkan setir sehingga luput dari lubang yang menganga lebar itu. 

Malah si penubruk yang terjerumus ke dalamnya. Kami lihat orang-orang keluar dari rumah-rumah yang berdekatan. Tanpa melihat pun saya tahu siapa pengendara mobil yang terjun itu. Dia tak lain adalah Neal Vining. 

Saya baru tahu bahwa pencuri di toko Rothman adalah Vining, ketika Kerry mengolok-olok paha saya bolong. Tadi pagi Vining berkata bahwa bisa saja Rothman yang membawa barang-barang curian ke luar. 

Bagaimana caranya? Dengan disembunyikan dalam tongkat. Tongkat itu buatan Inggris, yang dalamnya sengaja dibuat kosong supaya bisa dipakai menyimpan benda-benda tertentu.

Bukan Rothman yang mencuri dan menyembunyikan benda curian di situ, tetapi Vining. Rothman tidak tahu tongkatnya berongga. Vining tahu sebab tongkat itu pemberiannya. 

la menjilat Rothman dengan memberi benda-benda dari toko mertuanya, seperti yang dikatakan Boyette. Tongkat itu sengaja ia beri, karena ia mempunyai rencana mencuri. Karena isi tongkat terbatas, Vining tidak bisa mencuri buku walaupun buku lebih mahal. 

Ia mencuri kalau Rothman sedang makan siang dan memasukkan barang curiannya ke dalam tongkat kalau Rothman sedang ke toilet, sehabis kembali dari makan siang. Tongkat itu selalu diparkir Rothman di dinding luar toilet. 

Karena setiap sore Rothman keluar tokonya setelah mematikan sistem alarm, tongkat itu bisa selamat melewati gerbang alarm. Pulang dari toko, Rothman biasa berendam dalam Jacuzzi di Pacific Health Club. Vining juga anggota klub itu. Untuk berendam di sana, Rothman tidak bisa membawa serta tongkatnya. 

Tongkat itu disimpannya di lemari penyimpanan barang. Vining rupanya tahu nomor kombinasi untuk membuka lemari Rothman karena ia pernah mengobrol dengan Rothman pada saat Rothman membuka lemari itu. Di klub itulah Vining mengambil hasil curiannya dari tongkat. 

Vining yang serakah, yang terlalu ambisus, akhirnya mengakui perbuatannya. Di dalam tongkat Rothman benar ditemukan peta Mercator yang dicurinya. 

Lantas mengapa ia ingin menghabisi Kerry dan saya? Ketika Kerry sedang mencari-cari buku karangan bapaknya di bagian fiksi, ia memergoki seseorang memegang tongkat. Kerry sebetulnya menceritakan hal itu kepada saya tanpa curiga apa-apa dan saya tadinya menduga pria itu Rothman. 

Rupanya Vining ketakutan. Ia mencoba mencari tahu siapa Kerry. Ia menguntit Kerry dan melihat Kerry bercakap-cakap dengan saya. Ia anggap Kerry mestinya teman saya. Ia mengikuti saya ke apartemen Kerry. 

Mungkin hanya Kerry sendiri yang tadinya ia incar. Namun, ketika ia memeriksa bagian dalam mobil saya di tempat parkir, ia segera tahu bahwa saya detektif. Jadi ia memutuskan untuk menghabisi kami berdua. Untung ajal belum sampai! (Bill Pronzini) 

 

" ["url"]=> string(57) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124180/pencuri-buku" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890495000) } } [16]=> object(stdClass)#187 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124170" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#188 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/nasihat-bocah-ingusanjpg-20220203121353.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#189 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(18) "John D. Mac Donald" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9386) ["email"]=> string(20) "intiplus-29@mail.com" } } ["description"]=> string(105) "Sebuah perampokan yang memakan korban jiwa terungkap berkat kemampuan bocah 14 tahun dengan IQ cemerlang." ["section"]=> object(stdClass)#190 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/nasihat-bocah-ingusanjpg-20220203121353.jpg" ["title"]=> string(21) "Nasihat Bocah Ingusan" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:14:03" ["content"]=> string(25191) "

Intisari Plus - Stanley Woods datang menenteng koper ke Leeman House, hotel satu-satunya di Leeman, Texas, dan memiliki 20 kamar. 

Saat ini tanggal 3 Oktober 1949. Penampilan Woods biasa sekali. Gemuk tidak, kurus pun tidak. Pokoknya, tidak ada hal mencolok pada pria umur 30- an atau mungkin 40-an itu. Tidak ada orang yang ingat apa warna matanya dan bagaimana bentuk kacamatanya. 

Barangkali cuma ada satu hal yang cukup mengesankan padanya. la tampak makmur dan percaya diri. Beberapa orang sempat mendapat kartu namanya. Di situ ia dinyatakan sebagai agen Groston Precision Tool Company dari Atlanta, Georgia. 

Di Leeman National Bank ia mendepositokan selembar cek yang dikeluarkan Groston senilai 1.200 dolar. Menurut pemeriksaan rutin yang dilakukan Leeman National, Groston perusahaan yang bisa dipercaya. 

Siang hari Woods selalu keluyuran dengan mobil Tod Bishner. Tod yang bekerja di pompa bensin Shell tidak mempergunakan sedan Ply mouthnya siang hari. Daripada" menganggur lebih baik disewakan. 

Menurut cerita Woods kepada semua orang yang pernah bercakap-cakap dengannya, ia sedang berkeliling mencari tanah untuk mendirikan sebuah pabrik kecil. "Kini 'kan perlu desentralisasi," katanya. "Kami tidak mau tempat di dalam kota besar." Karuan saja harga tanah di sekitar kota kecil itu jadi melambung.

Satpam pingsan

Kamis, tanggal 17 Oktober 1949 pagi, dua minggu setelah kedatangan Stanley Woods, Trilla Price, penjaga switchboard di perusahaan telepon merasakan suatu kejanggalan. 

Meskipun bisa menyambungkan hubungan telepon lokal, ia tidak bisa memenuhi permintaan seseorang yang ingin berhubungan interlokal dengan Houston dan Beaumont. Saat itu pukul 09.05. 

Pada saat bersamaan, sebuah mobil berpenumpang dua orang berhenti hampir di seberang Leeman National Bank di Beaumont Street. Salah seorang penumpangnya turun, merabuka kap mobil dan mengotakatik sesuatu. 

Tahu-tahu datang sebuah mobil Buick. Tidak ada yang memperhatikan dari arah mana ia muncul ke kota kecij itu. Di dalamnya ada seorang laki-laki dan seorang gadas. Mobil itu diparkir dekat sebuah toko. Saat itu ada sebuah mobil lain diparkir tidak jauh dari sana. 

Ketika si gadis dan temannya perlahan-lahan ke luar dari Buick, Stanley Woods turun ke jalan dari hotel tempatnya menginap. Saat itu kasir kepala di bank, C.E Hethridge, baru  saja membuka pintu-pintu bank. Ia menyapa Woods yang berjalan menuju loket di dinding sebelah timur sambil mengeluarkan buku ceknya. 

Di jalan seorang dari dua penumpang mobil pertama berjalan perlahan-lahan ke arah Buick dan berdiri di sebelahnya. Temannya menjalankan mesin mobil pertama, lalu memarkir kendaraannya di belakang Buick. 

Si gadis dan pria temannya kelihatan berjalan ke loket Bob Kimball, kasir nomor dua. Satu-satunya yang bisa diingat Kimball mengenai gadis itu ialah bahwa ia pirang, tarikan bibirnya keras dan mengenakan tas sandang dari kulit buaya. Bob tidak ingat bagaimana pria yang datang bersama gadis itu. Mungkin agak gemuk.

Sementara itu satpam bank, Rod Harrigan, yang sudah tua berdiri di samping pintu depan sambil menguap kemudian mengorek-ngorek giginya dengan patahan korek api. Saat itu kasir kepala membuka pintu ruangan besi untuk mengambil uang yang harus dibagikannya ke loket-loket. Dibawanya sebuah nampan berisi duit ke tempat Kimball. 

Si gadis berada di muka loket kasir nomor dua itu dan menyatakan ingin menguangkan ceknya. Bob Kimball meminta kartu identifikasi. Ketika si gadis membuka tasnya yang besar, temannya berjalan santai ke arah satpam. Yang keluar dari tas si gadis bukanlah kertas, tetapi revolver. 

Senjata itu ditodongkan ke dahi Bob.Berbareng dengan itu temannya meninju Rod Harrigan, si satpam tua. Begitu kerasnya tonjokan itu sampai Rod baru bisa bicara pukul 16.00.Tentu saja Rod tidak tahu apa yang terjadi. 

Kasir kepala terkejut. Ia segera berlari ke arah ruang besi sambil menoleh kepada si gadis. Dilihatnya Stanley Woods mengacungkan senjata ke arahnya. Dalam waktu sekejap saja sang kasir kepala roboh karena peluru bersarang di kepalanya.

 

Si kembar jadi korban paku

Bob Kimball merasa jantungnya seperti copot. Dalam keadaan kebingungan dilihatnya mobil ketiga menurunkan tiga penumpang. Dua di antaranya membawa tas kulit hitam yang kosong. 

Mereka masuk ke ruang besi dengan sigap, seperti sudah pernah lima puluh kali ke sana. Ketika masuk dan keluar dari sana, mereka melangkahi mayat kasir kepala. 

Semua uang mereka keduk. Yang luput cuma di kasir kedua. Ketika mereka berlari ke luar, Bob menjatuhkan diri dan menekan tombol tanda bahaya. 

Saat itu Henry Willows sedang berada di toko senjatanya. 

Mendengar bunyi alarm, pria yang umurnya mendekati tujuh puluh itu langsung menyambar senapan kaliber .22, mengisinya dan keluar dari toko. Dilihatnya Woods, tiga pria tidak dikenal, dan seorang gadis pirang keluar dari bank. Dua di antara pria itumembawa tas berat. Henry bisa cepat menganalisis situasi. 

Di jalan berderet tiga mobil, masing-masing mempunyai pengemudi. Henry membidik ke arah pengemudi Buick. Tembakannya mengenai pelipis kiri dan pengemudi itu tewas seketika. Klakson berbunyi tak henti-hentinya, menyaingi bunyi alarm, akibat tombolnya tertindih tubuh si sopir. 

Salah seorang dari pihak perampok balas menembak. Pelurunya menembus kaca etalase toko senjata Henry Willows dan meretakkan seluruh kaca, tetapi Henry sendiri luput karena keburu berjongkok. Henry berusaha menembak untuk kedua kalinya. Namun perampok sudah keburu kabur dengan dua mobil. 

Buick yang pengemudinya tewas ditinggalkan di tepi jalan. Bob Kimball, berlari ke luar bank. Hampir saja ia jadi korban peluru Henry Willows karena dikira teman perampok. 

Kedua mobil perampok diketahui menuju jalan bebas hambatan no. 90. Dua menit kemudian dua polisi mengejar dengan satu-satunya mobil polisi di kota kecil itu. Mereka diikuti oleh para amatir nekat, yang sudah dibekali senjata oleh Henry Willows. 

Ternyata jalan disebari paku-paku tajam oleh kawanan perampok. Sebentar saja mobil polisi terpaksa berhenti secara mengerikan. Hampir saja kendaraan itu terbalik gara-gara bannya kempis. Kakak beradik kembar anak keluarga Stein tidak seberuntung itu. 

Mobil mereka terbalik dan berguling beberapa kali. Kedua anak kembar yang baru berumur sembilan belas tahun itu tewas seketika. Berarti sudah ada empat orang yang meninggal: kasir kepala Hethridge, si kembar Stein, dan sopir Buick. 

FBI turun tangan

Tak ada seorang pun yang sudi menyentuh mayat pengemudi Buick. Bangkai perampok itu tetap berada di tempatnya semula sampai aki mobil melemah dan bunyi klaksonnya berhenti. 

Polisi segera kembali ke posnya. Mereka tidak bisa menelepon ke luar kota untuk meminta bantuan rekan-rekan mereka, sebab menara-menara stasiun telepon ternyata sudah ditembaki orang dengan senjata kaliber berat. 

Baru sejam kemudian Texas Rangers bisa dihubungi. Mereka memblokir jalan-jalan. Sementara itu FBI di Houston mengirimkan orang untuk menyelidiki. Mereka tiba Kamis siang. Dari markas FBI di Washington dikirimkan dua orang ahli yang biasa memerangi berbagai perampokan bank. 

Mereka terbang dari Washington ke Beaumont sebab Leeman tidak mempunyai bandar udara dan baru tiba hari Jumat. Para wartawan berdatangan dari Houston dan Beaumont. Bahkan, dua kantor berita nasional pun mengirimkan wartawannya. Tibatiba saja Leeman muncul di halaman depan semua surat kabar AS. 

Hethridge, kasir kepala yang terkenal dingin, tertutup, dan tidak populer, dalam waktu 24 jam sudah mempunyai reputasi lain. la diceritakan baik hati dan pemurah. Si kembar Stein yang tadinya dianggap sampah masyarakat tiba-tiba saja menjadi putra-putra teladan. 

Semua orang tampaknya yakin betul bahwa perampok bakal cepat dibekuk. Soalnya, perampok meninggalkan sesosok mayat dan sebuah mobil, yang bisa dipakai bahan penyidikan. Cara perampokan itu sendiri tidak menunjukkan ciriciri kelompok perampok tertentu. 

Agen FBI Randolph A Sternweister, dari Washington, memimpin penyidikan ini. Yang mula-mula diselidiki ialah mayat di mobil Buick. Korban tembakan oleh Henry Willows itu berumur antara 30 - 32 tahun. Rambutnya coklat dan mulai jarang di puncak kepalanya. 

Giginya bagus. Cuma ada empat lubang kecil, dua di antaranya sudah ditambal. Tingginya +173 cm, beratnya 70 kg. Di tubuhnya tidak ditemui tanda bekas luka ataupun tato. Pemotretan dengan sinar-X menunjukkan lengan kanannya pemah patah beberapa tahun lalu. 

Pakaiannya tidak baru tidak pula lama. Setelannya dibeli di Chicago. Kemeja, pakaian dalam, kaus kaki dan sepatunya merupakan bendabenda yang bisa dibeli di seluruh Amerika. Merek bendabenda itu menunjukkan harganya tidak mahal, tetapi bukan pula murah. 

Dari saku-saku pakaiannya ditemukan sebungkus rokok yang hampir utuh, sebuah pemantik api yang bisa dibeli di mana-mana, tiga lembar uang lima dolaran, sehelai uang satu dolaran, sejumlah uang logam yang seluruhnya bernilai 85sen, dua kotak korek api seperti yang dipakai di banyak dapur. Sidik jarinya segera dikirimkan ke Central Bureau untuk diperiksa. Ternyata sidik jari si mati tidak ada dalam tile mereka. 

Sternweister, mulai kelihatan agak gelisah. Ternyata kasus ini tidak semudah yang diperkirakan semula. 

 

Dua sidik jari bisa dilacak

Mayat diperiksa lagi dengan lebih ssksama. Pada tangannya tidak ditemukan kapalan yang bisa menunjukkan pekerjaan spesifik. Tanda binatu tidak ditemukan pada pakaiannya. Mata jenazah itu menonjol akibat peluru kalibar 22 berujung cekung. 

Supaya tidak menyeramkan, seorang pengurus jenazah mesti mendandani dulu wajah mayat itu sebelum dipotret dan fotonya dikirimkan ke pelbagai tempat. Dari Chicago datang laporan bahwa toko yang menjual setelan yang dipakai mayat adalah toko yang besar sekali dan laris. 

Akibatnya, tidak ada pelayan yang ingat apakah pria dalam foto itu membeli pakaian di sana. Polisi Chicago mengakurkan foto itu dengan foto-foto dalam berkas mereka. Tidak ada yang sama. 

Potongan kuku mayat, debu dari celananya dan bagianbagian pakaiannya yang lain diselidiki dengan saksama di laboratorium di Houston. Debu itu puntidak bisa menunjukkan tempat khusus. 

Ketika mayat diselidiki, mobil Buick pun diteliti. Di luarnya penuh sidik jari penduduk Leeman yang Kamis pagi itu mengintip ke dalam mobil untuk melihat mayat perampok. Pelat nomornya ternyata milik sebuah Mercury Convertible dari Mississippi yang sudah ringsek dalam tabrakan bulan Juni tahun itu. 

Nomor mesinnya menunjukkan Buick itu dicuri dari Chapel Hill, Carolina Utara, tanggal 5 Juli. Perusahaan asuransi yang sudah mengganti mobil itu bersikeras ingin mengambil mobil yang dicuri. 

Foto sopir Buick itu juga disebar ke Chapel Hill, Carolina Utara, dan Mississippi. Hasilnya tetap saja nihil. 

Mobil itu diteliti lagi. Di dalamnya dijumpai enam sidik jari. Semua berbeda. Dua di antara sidik jari ditemukan juga dalam berkas. Yang satu didapati di berkas anggota angkatan darat. 

Pemiliknya dilacak dan ditemukan bekerja sebagai pelayan pompa bensin di Lake Charles, Lousiana. Dua jam lamanya ia diinterogasi. Akhirnya, seorang pemeriksanya yang agak cerdik bisa melihat bahwa sidik jari itu bisa ada di dalam mobil gara-gara sang bekas tentara menyeka bagian depan mobil itu. 

Pelayan pompa bensin yang mantan sersan itu begitu sebalnya kepada para pemeriksanya, sehingga ketika foto pengemudi Buick ditunjukkan kepadanya ia tidak mau susah-susah meneliti. Ia menyatakan tidak ingat. Namun, menilik sidik jarinya masih segar di mobil itu, diperkirakan para perampok datang dari arah Lake Charles ke Texas. 

Sidik jari yang kedua sudah lama berada di situ. Letaknya tersembunyi di bawah bangku depan. Sidik jari itu ternyata milik montir di Chapel Hill, yang pernah berurusan dengan polisi gara-gara kesalahpahaman. la bisa membuktikan lewat catatan bengkel bahwa bulan April yang lalu ia membetulkan mobil itu. 

Simpang siur

Contoh-contoh debu di dalam mobil itu tidak bisa memberi banyak keterangan. Diperkirakan mobil itu berasal dari pedalaman Texas dan mengalami badai di jalan. 

Kotak tempat puntung rokok pun tidak luput dari pengamatan. Diketahui bahwa dua wanita atau mungkin seorang wanita yang memakai dua jenis lipstik, baru saja menumpang di mobil itu. 

Kedua jenis lipstik itu biasa digunakan oleh wanita berkulit cerah dan berambut pirang. Keduanya bisa dibeli di sembarang tempat karena dijual di manamana. 

Sepotong roti yang terbuang di lantai mobil cuma bisa mengungkapkan bahwa roti itu tadinya dimakan dengan sosis hati. 

Paku-paku yang disebar penjahat untuk mengempiskan ban diketahui bahan dan cara pembuatannya. Konon, paku semacam itu dulu digunakan di Birma waktu perang dengan Jepang, tetapi paku yang dipakai di Birma lebih baik. 

Sementara itu pemeriksaan di bank mengungkapkan, uang yang berhasil digondol garong, berjumlah 94.725 dolar. Setiap orang yang hari Kamis pagi itu melihat para perampok ditanyai secara terpisah dan jawaban mereka dicocokkan. 

Yang jelas, mereka terdiri atas Stanley Woods, wanita pirang, mayat di Buick, dan dua orang pembawa tas kosong. Seluruhnya ada lima. Henry Willows bersikeras ketiga mobil yang mereka bawa masing-masing ditunggui seorang pengemudi. 

Tapi orang lain ada yang bilang mobil yang di belakang tidak ditunggui pengemudi. Sternweister akhirnya menentukan jumlah perampok delapan orang, tujuh di antaranya kabur, satu tewas. 

Tak seorang pun mengetahui nomor dua mobil yang dipakai kabur. Keterangan mereka tentang merek dan warna mobil pun simpang siur.

 

Bocah jelek ingin bertemu FBI

Sembilan hari setelah perampokan yang makan korban jiwa itu, pihak berwajib masih belum melihat titik terang. Tidak heran kalau Sabtu pagi itu Randolph Sternweister, ahli FBI untuk penanggulangan perampokan bank, merasa risau. 

la berjalan hilir mudik di kamar hotelnya. Sementara rekannya sekamar, Buckley Wee, sedang menyimak catatan keterangan para saksi dengan harapan tipis akan menemukan hal-hal yang bisa mengantar ke titik terang. 

FBI yang biasanya berhasil memecahkan kasus dengan hanya bermodal selembar rambut manusia atau 1 mg debu kini tidak berdaya walaupun ditinggali barang bukti berupa sebuah kendaraan seberat hampir 2 ton dan sesosok mayat utuh. 

"Apa kata orang tentang kita?" pikir Sternweister. Sejak Kamis lalu sudah 51 mobil curian ditemukan di Selatan dan Barat Daya, tapi mereka tidak berhasil mengetahui apakah di antaranya ada mobil-mobil yang digunakan perampok yang mereka cari. Mereka bahkan tidak tahu arah perampok kabur dan tak ada orang yang melihat mereka. Gila! 

Pada saat mereka kebingungan itu seorang anak laki-laki berumur empat belas tahun. Pink Dee, menyelinap ke bengkel Louie. Bengkel yang menerima pekerjaan menghela kendaraan dan buka 24 jam sehari itu dititipi Buick perampok. 

Pink anak terjelek di Leeman. Rambutnya bukan pirang tetapi putih, kulitnya pun putih pucat. Matanya cadok berat, sehingga harus mengenakan kacamata setebal pantat botol. Tulangnya seperti gagang sapu, dahinya sempit, dagunya seperti tidak ada, sedangkan giginya tonggos. 

Suaranya seperti deritan engsel. Pokoknya, penampilannya membuat ia tampak tidak normal. Ia tidak mempunyai teman, karena tinjunya cepat melayang. Ketika murid-murid sekolah di Leeman diperiksa IQ-nya, ternyata angka perolehan Pink Dee tinggi sekali, sampai tergolong genius. Namun, penduduk Leeman tidak rela. 

Putra tunggal Homer Dee itu diseret ke tes IQ yang kedua. Hasilnya? Ia termasuk ke golongan embeciie. Sekali ini penduduk sama tidak percayanya. Ia dipaksa ikut tes IQ yang ketiga dan mendapat angka 99. Tampaknya semua orang, kecuali Pink dan orang tuanya, puas. 

Walaupun baru berumur empat belas tahun, anak itu sudah hampir 2 m tingginya. Bobotnya 60 kg. Kerjanya sehari-hari mengotak-atik pelbagai peralatan elektronik. Ada yang ia buat sendiri, ada yang ia beli. Setelah bosan, ia bersurat-suratan tentang teori kuantum dengan seorang guru besar dari Cal Tech. Sang profesor merasa seperti berdebat dengan orang dewasa. 

Pagi itu diam-diam Pink menyelinap ke bengkel Louie. Pintu Buick dibukanya dengan kunci, lalu dinyalakannya radio. Mendengar bunyi radio, Louie muncul dan mencekik leher Pink. 

"Mau apa kau?" bentak pemilik bengkel. Pink cuma berontak melepaskan diri lalu pergi ke markas polisi. Polisi yang sedang risau tidak sudi melayani bocah.ini, yang dengan penuh percaya diri berkata, "Saya ingin bertemu dengan agen FBI." la malah jadi bahan tertawaan dua orang.polisi. Hod Ambrams dan Lefty Quinn. 

"Enyah kau, Pink, sebelum kacamatamu kuremukkan," kata Lefty. 

"Saya seorang warga negara yang ingin berbicara dengan anggota federal," jawab Pink dengan penuh wibawa. 

"Seorang warga negara, tapi bukan pembayar pajak. Kau merepotkan aku, Nak. Ingin kubuat kau terkencingkencing di sini?" 

Tiba-tiba saja Pink melesat ke arah tangga. Hod mengejarnya, sedangkan Lefty mempergunakan lift. Mereka tiba lebih dulu dari Pink di muka Sternweiser. Ketika mereka membekuk.Pink, pintu kamar terbuka. 

"Saya tahu di mana penjahat-penjahat itu!" seru Pink kepada Sternweister. 

"Dia anak sinting," kata Lefty. 

"Tunggu," kata Sternweister. "Memang kelihatannya anak ini sableng, tapi siapa tahu ...." 

Dua polisi disuruh menunggu di luar, sedangkan. Pink dipersilakan masuk. la memilih. kursi yang paling enak untuk duduk dengan santai dan. percaya diri. 

"Di mana mereka?" 

"Sebenarnya saya tidak. tahu persis ...." 

"Keluar!" perintah Sternweister dengan berang. 

"Tapi saya tahu bagaimana menemukannya." 

"Kau tahu? Coba bilang. Aku sudah sembilan hari tidak tertawa." 

"Mula-mula perlu dicek dulu. Saya sudah mencuri kunci Buick dan masih perlu memeriksanya." 

"Eh bocah, para ahli sudah menyelidikinya senti demi. senti." 

"Maaf, Pak. Jangan memotong dulu. Kalau saya benar. - saya yakin saya benar - Anda semua bisa malu." 

Wajah Sternweister berubah menjadi merah, lalu pucat. la . mencengkeram tepi meja. 

"Teruskan," katanya. 

"Saya berasumsi bahwa para perampok bank muncul dari suatu tempat persembunyian dan kembali ke tempat itu. Saya mengasumsikan bahwa sebelum merampok mereka tinggal beberapa waktu di sana untuk merencanakan perampokan. 

Dari Koran saya baca mobil Buick itu dicuri di Chapel Hill dan pria yang tewas itu pernah berada di Chicago. Saya mengecek Chicago dan Chapel Hill." 

"Mengecek Chicago dan Chapel Hill?" 

"Dengan radio. Radio-radio mobil 'kan gampang dipakai siaran menangkap stasiun-stasiun radio dengan mengubah setelan tombolnya. Tombol-tombol di Buick itu tidak cocok dengan daerah Chicago dan Chapel Hill. Ada enam stasiun radio yang bisa ditangkap di Buick itu dan ...." 

"Ah!" seru Sternweister seperti orang yang kepalanya dijitak. 

"Jadi," Pink melanjutkan dengan yakin, "Anda harus mengecek daerah-daerah yang cocok dengan setelan tombol-tombol radio di Buick itu, sampai menemukan area di mana keenam frekuensi ...." 

Berkat bantuan Pink itu, polisi mulai mencari dengan mempergunakan peta dsb. Ketika daerah itu sudah ditemukan, Buick yang sudah diberi cat dan nomor baru supaya tidak mudah dikenali perampok dibawa ke Tampa, Clearwater, St. Pete, Orlando, Winter Haven, dan Dunedin. Makin dekat mereka ke kota peristirahatan kecil bernama Tarpon Springs, makin jelas bunyi radio. Foto jenazah segera diedarkan. Ketika itu hari Rabu. 

Keesokan harinya, pukul 04.00, lampu senter polisi yang berkekuatan besar membuat tiga rumah peristirahatan di tepi pantai menjadi terang-benderang secara tiba-tiba. Dari pengeras suara terdengar ancaman, "Anda sudah dikurung. Keluar sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi. Anda sudah dikurung." 

Ternyata ada perampok yang menembak. Polisi balas menembaknya. Si perampok roboh. la tidak lain dari Stanley Woods, yang menurut gadis pirang temannya bernama asli Grebbs Fainstock. 

Penduduk Leeman mengadakan pesta kemenangan yang disebut Pink Dee Day. Hari itu pemimpin Leeman National Bank menyerahkan hadiah uang bagi Pink Dee. Jumlahnya tidak sampai 6% dari jumlah uang yang berhasil diambil kembali dari perampok. Tapi cukuplah untuk kelak membantu mendapat gelar dari CalTech. (John D. Mac Donald) 

 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124170/nasihat-bocah-ingusan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890443000) } } [17]=> object(stdClass)#191 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124155" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#192 (9) { ["thumb_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/ketukan-pengundang-mautjpg-20220203121306.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#193 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "John Dunning" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9359) ["email"]=> string(19) "intiplus-4@mail.com" } } ["description"]=> string(160) "Seorang anak mendapati ibunya telah tewas di apartemennya. Padahal ibunya hanya akan membuka pintu jika anaknya yang mengetuk. Akibatnya ia dijadikan tersangka." ["section"]=> object(stdClass)#194 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/ketukan-pengundang-mautjpg-20220203121306.jpg" ["title"]=> string(23) "Ketukan Pengundang Maut" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:13:21" ["content"]=> string(23251) "

Intisari Plus - Seperti biasa, kalau Adolf Wachter (53) pulang bekerja, pintu apartemennya yang terletak di puncak gedung bertingkat tiga selalu terkunci. Tanggal 15 Oktober 1982 sore, pintu tetap tak dibuka ibunya meski berulang-ulang ia mengetuknya dengan kode yang sudah disepakati bersama sang ibu.

Wachter pun putus asa. Karena tidak membawa kunci, ia turun menuju ke mobilnya, lalu kembali ke tanah pertanian tempatnya bekerja.

"Saya khawatir ibu saya mendapat serangan jantung," katanya kepada majikannya, George Heilmann. "Ibu saya tidak membukakan pintu."

Heilmann mengantarnya kembali ke apartemen. Mereka beriringan mengendarai mobil masing-masing. Apartemen Adolf Wachter bersama ibunya terletak di Schwarzenbergstrassse 14 di Bamberg, sebuah kota berpenduduk sekitar 80.000 jiwa di Jerman Selatan.

 

Bukan serangan jantung

Beriringan pula kedua pria itu menaiki tangga ke tingkat tiga. Heilmann memijat bel. Kemudian ia menggedor-gedor pintu. Wachter berkata, "Ibu saya pasti tidak akan membukakan pintu kalau digedor begitu. Ia tidak mau membiarkan orang tak dikenal masuk. Kami mempunyai kode ketukan khusus."

Namun, ketukan itu pun tidak menyebabkan pintu dibuka.

"Harus didobrak," kata Heilmann. "Mungkin ibumu mengalami kecelakaan."

Wachter bertubuh tinggi besar. Kadang-kadang ia bekerja sebagai buruh tani, kadang-kadang sebagai pengemudi truk atau pengangkut perabotan rumah tangga. Ia membenturkan bahunya yang berotot ke pintu apartemennya. Usahanya tidak sia-sia. Kunci jebol dan pintu terbuka.

Maria Wachter (88) ternyata rebah di lantai lorong tepat di balik pintu itu. Jelas itu bukan akibat serangan jantung ataupun kecelakaan. Lantai di dekatnya digenangi darah, yang masih mengucur dari luka menganga di kepala dan lehernya.

Heilmann begitu terkejut sehingga mundur ke belakang. lalu terbirit-birit turun sambil berteriak-teriak memanggil polisi. Saat itu sudah pukul 20.00. Di hari Jumat jalan-jalan sepi karena libur akhir minggu sudah dimulai.

Baru setelah bertemu rumah tempat minum ia berhasil menghubungi polisi lewat telepon. Sekalian dipanggilnya ambulans.

Heilmann memberanikan diri kembali ke apartemen Wachter. Heran juga dia melihat mobil polisi sudah diparkir di tepi trotoar. Ternyata Wachter, yang lebih tenang, sudah menelepon polisi lebih dulu dari apartemennya.

Sekali lihat, polisi tidak meragukan bahwa Maria Wachter sudah tewas. Namun, untuk mematuhi peraturan, mereka memeriksa juga tubuh wanita itu. Tanda-tanda kehidupan memang sudah tidak ada. Heilmann dan Wachter tidak diperkenankan pergi. Mereka diminta menunggu kedatangan polisi dari bagian pembunuhan yang tiba tiga perempat jam kemudian.

Dr. David Diedrich yang wajahnya pucat tapi artistik (karena bentuk hidungnya indah, rambutnya merah keemasan dan bercambang panjang) memberi keterangan bahwa Maria Wachter tewas kira-kira dua jam sebelumnya. Tengkoraknya pecah di beberapa tempat, sedangkan urat nadi lehernya putus. Keterangan lebih rinci dan pasti baru akan diberinya setelah autopsi.

"Siapa yang melapor?" tanya Inspektur Peter Altbauer yang bertubuh pendek kekar dan berumur 50-an. la termasuk orang yang perlu bercukur sehari dua kali, tetapi cuma melakukannya sekali.

"Putranya dan majikan putranya," jawab Sersan Detektif Joachim Hart. "Mereka ada di bawah, di mobil patroli." Sersan ini masih muda belia dan pipinya merah jambu.

"Kau tunggu di sini. Awasi para petugas teknis. Jangan ada yang luput dari perhatian mereka. Aku akan menanyai putra korban dan majikannya," pesan Inspektur Detektif Altbauer.

 

Tak mungkin orang lain

Kartu identitas Heilmann dan Wachter diminta. Setelah memeriksa kedua kartu itu, Inspektur memberi tahu keterangan yang mereka berikan padanya akan direkam. la meminta Wachter menceritakan cara ia menemukan jenazah ibunya.

"Mengapa Anda tidak memiliki kunci apartemen Anda sendiri, Pak Wachter?"

"Ibu selalu di rumah. Saya tidak perlu membawa kunci."

"Tadi Anda bilang, Anda mempunyai kode ketukan rahasia. Siapa saja yang tahu kode itu selain Anda dan ibu Anda?"

"Tidak ada," jawab Wachter.

"Apakah ada orang lain selain ibu Anda yang memiliki kunci apartemen Anda?"

"Tidak. Kami cuma mempunyai satu kunci."

"Anda ditahan dengan tuduhan membunuh," kata Inspektur dengan resmi. "Anda harus ikut dengan saya ke kantor polisi. Anda diperingatkan bahwa apa pun yang Anda katakan akan dicatat atau direkam dan bisa digunakan untuk memberatkan Anda. Anda ingin membuat pernyataan?"

"Ya," jawab Wachter. "Anda gila. Mengapa saya ingin membunuh ibu saya sendiri?"

"Saya tidak tahu," jawab Inspektur. "Tapi berdasarkan pernyataan Anda, tidak ada orang lain yang bisa masuk ke apartemen Anda."

George Heilmann begitu tercengang. Ia disuruh pulang, sedangkan Wachter diangkut ke kantor polisi dan dituduh membunuh ibunya. Ia dihadapkan ke sejumlah detektif untuk diinterogasi.

Inspektur Altbauer kembali ke Schwarzenbergstrasse. Para teknisi hampir selesai melaksanakan tugas mereka. Jenazah Maria Wachter dimasukkan ke dalam peti logam dan digotong ke kereta jenazah polisi. Dokter sudah pergi. Tinggal Sersan Hart di sana. la melapor kepada Inspektur Altbauer.

"Ada tanda-tanda yang menunjukkan apartemen itu digerayangi," katanya. "Tapi kami tidak bisa menentukan apa yang diambil. Korban masih memegang kunci. Diperkirakan ia dibunuh begitu pintu dibuka."

"Mungkin petunjuk palsu," kata Inspektur. "Menurut putranya, ia hanya membukakan pintu kalau pintu diketuk dengan kode yang sudah disepakati bersama anaknya. Tak seorang pun, kecuali mereka berdua, yang mengetahui kode itu."

"Anda maksudkan, putranya mengaku membunuh? Apa motif nya?"

"Anaknya sih menyangkal. Tapi menurut pengakuannya, tak seorang pun bisa masuk ke aprtemennya kecuali dia sendiri. Petugas lab menemukan tanda-tanda perlawanan?"

Sersan Hart menggelengkan kepala. "Sepanjang yang bisa mereka katakan, korban dibunuh begitu pintu dibukakan. Kecuali anaknya gila, saya tidak melihat alasan yang mendorong ia membunuh ibunya."

"Saya juga tidak," kata Inspektur. "Saya juga tidak melihat alasan ia menggeledah apartemen, kecuali kalau ia sengaja memberi petunjuk palsu untuk menyesatkan kita. Apakah para petugas lab menemukan alat yang diduga dipakai melakukan pembunuhan?"

"Tidak," jawab Hart. "Kalau anaknya membunuh, mungkin senjata itu ia buang dalam perjalanan memanggil Heilmann."

"Kalau Diedrich bisa memberi gambaran kepada kita perihal senjata yang dipakai untuk membunuh, mungkin kita bisa memeriksa selokan sepanjang jalan antara apartemen dan tanah pertanian Heilmann besok," kata Inspektur Altbauer.

Malam itu Wachter tetap tidak mengaku membunuh ibunya. Pukul 11.00 keesokan harinya. Dr. Diedrich memberi gambaran senjata yang dipakai membunuh korban.

Menurut laporan sementara Diedrich, tengkorak korban retak di sembilan tempat akibat 16 pukulan dengan benda keras yang berpermukaan licin dan bergaris tengah kira-kira 5 cm. Beberapa serpihan kayu tertancap di kulit kepala, menunjukkan bahwa benda itu terbuat dari kayu.

Korban ditikam tiga kali di leher. Salah satu tikaman memutuskan pembuluh nadi leher, yang menyebabkan kematian 40 atau 50 detik kemudian karena aliran darah ke otak terhenti. Diperkirakan korban sudah pingsan akibat pukulan di kepala saat disembelih. Anehnya, luka di leher itu dibuat seperti tikaman jagal babi, bukan berupa gorokan.

Korban tampaknya sempat menginsafi bahaya dan ketakutan, karena tingkat adrenalin darahnya tinggi. Fungsi tubuhnya semua normal, kecuali ada tanda-tanda arteriosklerosis. Pakaian dalam wanita itu tidak terganggu dan tak ada tanda-tanda ia dibunuh karena motif seksual. Saat kematian diperkirakan antara pukul 19.00 - 19.15, tanggal 15 Oktober 1982.

Laporan dari laboratorium jauh lebih singkat. Tidak ada tanda-tanda apartemen itu dimasuki dengan kekerasan, kecuali pintu yang didobrak Wachter dengan disaksikan oleh Heilmann. Senjata tidak dijumpai. Sidik jari yang ditemukan cuma milik korban dan putranya.

"Pembunuhnya tidak bisa lain daripada Wachter, waktunya pun cocok," begitu Inspektur menyimpulkan.

 

Goblok alau genius

Menurut pengakuan Adolf Wachter, yang dikuatkan oleh George Heilmann, Wachter meninggalkan tanah pertanian beberapa menit sebelum pukul 19.00. Ia kembali ke tanah pertanian kira-kira pukul 19.35. Kalau ia ngebut, perjalanan ke apartemnnya cuma makan waktu kira-kira 15 menit. Berarti ia cuma mempunyai waktu 10 menit untuk membunuh. Namun, sepuluh menit sudah lebih dari cukup untuk membunuh. Begitu menurut petugas laboratorium.

Kata Wachter, ia tidak ngebut dalam perjalanan ke apartemennya. Ia juga rriengetukngetuk pintu cukup lama.

"Mengapa Anda tidak memanggil petugas pemadam kebakaran saja waktu Anda tidak dibukakan pintu?" tanya Inspektur. "Petugas pemadam kebakaran mempunyai ahli yang bisa membuka pintu."

"Saya tahu," jawab Wachter. "Tapi saat itu pikiran saya tak sampai ke sana."

Inspektur menyerahkan Wachter ke tangan tim interogasi, lalu kembali ke ruang kantornya.

"Wachter itu mungkin manusia goblok, mungkin pula penjahat genius," katanya kepada Sersan Hart. "Ia goblok karena bersikeras ibunya tak akan membukakan pintu kepada siapa pun, kecuali kalau pengetuk pintu menggunakan kode yang cuma diketahui oleh ibunya dan dia. Ia penjahat licin kalau bisa meyakinkan pengadilan bahwa ia berterus terang. Bukankah kita tidak bisa menemukan motif yang mendorongnya melakukan pembunuhan?"

"Wanita itu sudah tua renta dan tidak mempunyai banyak harta. Kalau putranya menginginkan kematiannya, paling-paling ia tinggal menunggu beberapa tahun lagi. Satu-satunya motif yang terpikir olehku ialah: mereka bertengkar, lalu Wachter memukul ibunya terlalu keras. Ia menjadi panik dan membunuhnya sekalian."

"Kalau begitu pertengkaran mereka singkat sekali, dong," kata Sersan Hart.

"Memang terlalu singkat," Inspektur Altbauer mengakui.

"Kalau orang lain membunuhnya, berarti ia meninggalkan tempat itu hanya beberapa menit sebelum Wachter datang," kata Hart. "Atau ia sudah berada di apartemen itu ketika Wachter pertama kali datang, lalu pergi ketika Wachter sedang memanggil Heilmann."

 

Kesaksian mantan islri

Adolf Wachter tidak pernah mengaku membunuh ibunya. Namun, karena ia tetap bersikeras tidak ada orang lain yang bisa masuk ke apartemennya, ia diadili sebagai pembunuh ibunya tanggal 12 Juli 1982. Jaksa tidak bisa mengemukakan motif pembunuhan dan senjata yang dipakai membunuh tidak pernah ditemukan.

Pakaian yang dikenakan Adolf Wachter pada tanggal pembunuhan terjadi diperiksa dengan saksama di laboratorium polisi. Tak ditemukan tanda-tanda darah sedikit pun, walaupun para ahli menyatakan tidak mungkin bagi seseorang untuk membunuh dengan cara itu tanpa pakaiannya terciprat darah.

Sementara itu delapan saksi menyatakan bahwa hubungan Wachter dengan ibunya baik sekali.

Jaksa lantas memanggil mantan istri Wachter, yang menyatakan mantan suaminya bisa saja melakukan tindak kekerasan, sebab pada tahun 1963 kepalanya pernah dipukul dengan kaki kursi. 

Namun, mereka baru bercerai tanggal 24 April 1967 dan si bekas istri kembali ke Wachter pada tahun 1970 - 1973. Ketiga putra mereka yang berumur 24, 23, dan 14 tidak dimintai kesaksiannya.

Dokter yang biasa merawat Maria Wachter menyatakan ia pernah merawat korban ketika korban menderita bilur-bilur yang katanya akibat jatuh. Sekali ia merawat korban ketika sebelah matanya bengep. Menurut korban, bengep itu disebabkan karena sumbat botol anggur mental ke matanya.

Ketika jaksa bertanya apakah memar semacam itu bisa diakibatkan oleh pukulan, dokter menjawab, "Bisa saja."

Namun, ketika pembela bertanya apakah memar seperti itu bisa disebabkan oleh hal-hal yang dikatakan oleh Maria Wachter, dokter menjawab, "Bisa saja" juga.

Seorang tetangga di gedung yang sama, sering mendengar Maria berseru, "Aduh!" Namun, wanita berumur 60 tahun yang bernama Helga Auernheimer itu menyatakan bahwa seruan itu beberapa kali didengarnya pada saat Adolf Wachter tidak di rumah.

Pengantar koran menyatakan Ny. Wachter beberapa kali mengeluh kepadanya bahwa ia tidak bahagia dan putranya tidak sayang kepadanya.

Sebenarnya kesaksian itu tidak terlalu meyakinkan kalau saja Adolf Wachter tidak bersikeras bahwa tidak ada orang lain, kecuali ia sendiri yang bisa masuk ke apartemennya.

Setelah sembilan hari bersidang, pengadilan memutuskan Adolf Wachter bersalah melakukan pembunuhan tidak terencana terhadap ibunya. Ia dijatuhi hukuman 11,5 tahun penjara, sedangkan SIM truknya dicabut.

Adolf Wachter tetap berkata ia tidak bersalah. Ia menganggap pencabutan SIM-nya keterlaluan, sebab ia belum pernah melanggar peraturan lalu lintas yang berarti.

Wachter naik banding dan pengadilan tinggi menemukan banyak kekurangan dan kealpaan yang dilakukan pengadilan, sehingga memerintahkan sidang diulang. Hal itu dilakukan tanggal 8 Februari 1985.

Sekali ini Adolf Wachter dibebaskan. Jaksa menangis. Di tengah ruang pengadilan, jaksa menuding Wachter dan berteriak dengan suara gemetar karena marah, "Baik, Pak Wachter. Anda berhasil mengelak dari hukuman, tapi saya tahu dan Anda pun tahu, Andalah pembunuh ibu Anda sendiri!"

Para penonton terpengaruh olehnya dan berteriak-teriak, "Gantung anak durhaka itu!"

Walaupun dibebaskan, pria berumur senja itu tidak bisa hidup dengan tenang. Semua orang di Kota Bamberg yang cantik dan tidak terlalu besar tahu perihal Adolf Wachter yang dituduh membunuh ibunya. Ada juga orang yang mau memberi pekerjaan kepadanya, tetapi hubungan mereka terbatas pada memanfaatkan otot-ototnya. Dalam pergaulan ia dikucilkan.

Saat itu Inspektur Altbauer sudah tidak menganggap Wachter sebagai pembunuh lagi. Namun kalau bukan dia, siapa pembunuh Maria Wachter?

 

Sesumbar

Tiga tahun setelah pembunuhan terjadi dan hampir setahun setelah Wachter dibebaskan, Inspektur Altbauer menerima laporan bahwa seorang gadis berumur 18 tahun diculik dan diperkosa bergantian oleh dua orang pembantu jagal, yaitu Thomas Schaubert dan Herbert Friedemann. 

Begitu dibebaskan, gadis itu mengadu ke kantor polisi. Schaubert dan Friedemann ditahan dan terbukti melakukan hal yang dituduhkan. Mereka dijatuhi hukuman penjara masing-masing 4 tahun pada tanggal 30 April 1986.

Di Jerman, hukum rupanya lebih bersimpati pada orang-orang muda daripada orang seumur Wachter, karena mereka boleh hidup di luar penjara setelah menjalani setengah dari masa hukuman.

Di penjara, Friedemann merasa khawatir dianggap anak kecil oleh rekan-rekan narapidana lain. Soalnya, penampilannya masih seperti remaja tanggung dan janggutnya tidak mau tumbuh. 

Untuk mengesankan sesama penghuni penjara, ia sesumbar perihal pembunuhan yang pernah dilakukannya bersama Thomas Schaubert. Sikap seperti ini memang umum terjadi.

Celakanya, Friedemann menyebut dengan rinci namanama, tempat, tanggal, dan hal-hal yang berkenaan dengan pembunuhan atas Maria Wachter, pembunuhan yang belum terpecahkan.

Di antara pendengarnya terdapat seorang oportunis yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk mendapat keringanan hukuman. Tanggal 17 Juli 1986, si pencari kesempatan dibawa ke kamar kerja Inspektur Altbauer dan menceritakan dengan saksama yang didengarnya dari Herbert Friedemann di penjara. 

Altbauer sangat terkesan, karena keterangan itu berisi detail yang cuma diketahui polisi dan si pembunuh. Sebagai orang yang pada dasarnya penuh kecurigaan, Inspektur Altbauer menyelidiki, di mana si pengadu berada pada saat pembunuhan. Ternyata orang itu sedang dihukum di penjara lain.

Kini Inspektur sudah mempuyai dua orang yang patut dicurigai sebagai pembunuh Maria Wachter. Namun, bagaimana caranya mereka bisa masuk ke apartemen wanita itu?

Inspektur Altbauer segera pergi mencari Adolf Wachter. Pria malang itu dijumpainya sedang bekerja sebagai buruh tani. Altbauer bertanya, apakah Wachter kenal pada Schaubert dan Friedemann.

"Oh, saya kenal mereka. Mereka itu asisten jagal," jawabnya. "Kalau sedang banyak uang, mereka minumminum di tempat yang sama dengan saya."

 

Remaja rusak

Schaubert dan Friedemann dibawa ke kantor polisi tempat Inspektur Altbauer bekerja. Mereka diinterogasi secara terpisah. Friedemann yang lebih muda diintimidasi, menjadi panik dan mengaku setelah mendengar pernyataan teman sepenjaranya yang direkam polisi. 

Katanya, gagasan untuk membunuh Maria Wachter yang tidak mereka ketahui namanya, berasal dari Schaubert. Saat itu mereka kekurangan uang. Mereka memilih Maria Wachter bukan karena ia kaya, tetapi karena secara tidak sengaja mereka mendengar perihal kode mengetuk pintu dari Wachter. 

Suatu ketika Wachter bekerja pada orang tua Schaubert dan bercerita tentang kode mengetuk pintu demi keamanan. Schaubert yang waktu itu berumur 18 tahun merasa tertarik dan membuntuti Wachter pulang. Wachter tidak sadar ketukannya didengarkan oleh remaja ini.

Pada tanggal 15 Oktober, keduanya bersepeda ke apartemen Wachter sambil membawa kantung plastik berisi pisau jagal untuk menikam babi. Friedemann membawa tas olahraga berisi dua pasang sarung tangan plastik, seutas tali dan sebuah kaki meja.

Sebenarnya mereka tidak berniat membunuh korban. Schaubert mengikatkan saputangan ke wajahnya supaya jangan dikenali, sedangkan Friedemann menutupi kepalanya dengan kerudung jaketnya.

Setelah mengenakan sarung tangan plastik, mereka mengetuk pintu menurut kode yang didengar Friedemann. Ny. Wachter yang sedang menunggu kedatangan putranya membukakan pintu. 

Mereka mendesak masuk. Ny. Wachter berteriak dan mencoba melarikan diri. Schaubert memukul kepala wanita malang itu dengan kaki meja. Wanita itu jatuh dan Friedemann ganti memukulinya.

Mereka berjanji akan menanggung kejahatan ini bersama-sama dan tidak akan saling mengkhianati. Ketika mereka menggerayangi apartemen, Ny. Wachter yang ternyata belum meninggal, mengeluarkan suara mengerang. 

Schaubert mengeluarkan pisau jagal dan menikam leher Ny. Wachter dengan teknik menikam leher babi. Friedemann ikut-ikutan. Mereka segera meninggalkan tempat itu dengan membanting pintu agar terkunci kembali. Ketika keluar gedung, mereka melihat Adolf Wachter lewat dengan mobilnya.

Mereka tidak berhasil memperoleh uang sepeser pun dari rumah korban. Tak terpikir oleh mereka Adolf Wachter akan dicurigai sebagai pembunuh ibunya. Namun, ketika hal itu terjadi, mereka merasa geli.

Pakaian dan tangan mereka yang berlumuran darah mereka cuci. Kaki meja mereka bakar, sedangkan pisau jagal dikembalikan ke fungsi semula.

Tanggal 18 Juni 1987 Thomas Schaubert dan Herbert Friedemann dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan atas Maria Wachter. Namun, karena saat melakukan kejahatan itu umur mereka baru 18 dan 16 tahun, mereka cuma mendapat hukuman penjara 8,5 tahun. (John Dunning)

" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124155/ketukan-pengundang-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890401000) } } }