array(6) {
  [0]=>
  object(stdClass)#69 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3726679"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#70 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/14/intisari-plus-203-1980-40-kalau-20230314072239.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#71 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(148) "Di usianya yang ke-9, Dillinger bergabung dengan geng dan sejak itu, ia tidak berhenti berbuat onar. Berulang kali masuk penjara dan berhasil kabur."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#72 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/14/intisari-plus-203-1980-40-kalau-20230314072239.jpg"
      ["title"]=>
      string(40) "Kalau Dia Keluar, Saya Menyalakan Cerutu"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-03-14 07:22:51"
      ["content"]=>
      string(34395) "

Intisari Plus - Di usianya yang ke-9, Dillinger bergabung dengan geng dan sejak itu, ia tidak berhenti berbuat onar. Berulang kali masuk penjara dan berhasil kabur, ia menjadi buronan polisi dan FBI selama bertahun-tahun.

----------

Seorang pemilik toko kecil di Mooresville, Indiana, AS, menutup pintu tokonya, menghitung uang yang didapatnya hari itu dan memasukkannya ke sakunya. Ia mematikan lampu tokonya dan menurunkan tirai besi. Ketika itu tanggal 6 September 1924. Seperti biasa, setiap Sabtu pemilik toko yang bernama Morgan itu bercukur di langganannya yang buka sampai malam. Dalam perjalanan ke tukang cukur, entah mengapa, berlainan dari kebiasaannya ia merasa lebih baik pulang dulu untuk menaruh uang. Hal ini dilaksanakannya. Lalu ia pergi lagi. Di depan gereja, ia berpapasan dengan seorang pemuda yang dikenalnya dan ditegurnya: “Hello, Johnnie!”

Johnnie tidak menjawab. Tampaknya ia tidak seperti biasanya. Tiba-tiba saja Morgan mendapatkan sebuah revolver ditodongkan kepadanya oleh lengan kanan Johnnie sedangkan lengan kiri pemuda itu memegang sebuah benda yang ditutupi saputangan. Pasti alat pemukul. 

“Ah, jangan begitu Johnnie! Gila kau?” 

“Duit! Cepat!”

Rupanya tidak mudah bagi Johnnie untuk menakut-nakuti Morgan yang tingginya 1,98 meter dan yang hanya punya uang untuk cukur di saku itu. Mereka bergulat. Sebuah letusan terdengar. Tetangga-tetangga berlarian keluar.

Johnnie kabur ketakutan. la mengira telah membunuh Morgan. Di ujung jalan, sekutunya yang bernama Ed Singleton menunggu di dalam mobil. Ia juga kabur.

Sementara itu Morgan bangun dalam keadaan tidak kurang suatu apapun. Ia bukan marah, malah bergumam dengan sedih: “Ah, anak itu! Sekali ini ia sudah bertindak terlalu jauh....”

Petualangan yang tidak berhasil ini ternyata membawa John Dillinger ke penjara dan kemudian ia berkembang menjadi “musuh masyarakat nomor 1” di AS.

John Dillinger lahir tanggal 2 Juni 1903 di pinggiran kota Indianapolis. Ayahnya pemilik toko P & D yang berkecukupan. Ibunya meninggal ketika Johnnie baru berumur 3 tahun. Tahun 1912 ayahnya menikah kembali. Tahun itu juga, Johnnie yang berumur 9 tahun bergabung dengan geng anak-anak dan ia menjadi pemimpinnya.

Pada umur 9 tahun ini, pemimpin 12 anak nakal ini untuk pertama kalinya berhubungan dengan polisi dan dihadapkan ke pengadilan anak-anak. Tahun berikutnya, ia mengikat seorang temannya di bidang tempat meletakkan benda-benda yang akan digergaji. Mesin gergaji dijalankan dan dihentikan ketika hampir menyentuh tubuh anak malang itu. Kemudian Johnnie mencuri lokomotif, mencuri berpeti-peti wiski dan tiba di sekolah dalam keadaan mabuk. Pada umur 13 tahun ia mencemarkan seorang gadis.

Tahun 1919 ayahnya menjual toko mereka dan pindah ke sebuah rumah peternakan bersama seluruh keluarga. Letaknya di Mooresvile juga. Johnnie masuk perkumpulan pemuda-pemuda Kristen dan menyatakan ingin menjadi pendeta. Tetapi keputusan baik ini tidak bertahan lama. Ia mencuri lagi.

Setelah terlibat dalam pencurian mobil, ia masuk angkatan laut. Tetapi 8 bulan kemudian ia kabur. Ia menemukan pekerjaan di perusahaan mebel dan tergila-gila main bisbol. Ketika itu umurnya 21.

Saat itulah ia bersahabat dengan Ed Singleton, wasit pertandingan-pertandingan bisbol dan kerabat ibu tiri Johnnie. Dengan Singleton ini ia menodong Morgan.

Ia dinyatakan bersalah menjalankan percobaan mencuri, melakukan serangan bersenjata dan mencoba membunuh. Karena itu ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Singleton cuma kebagian 6 bulan.

 

Ketemu gangster kelas berat

Johnnie dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan Pendleton. la minta dipindahkan ke Michigan City, ke sebuah penjara yang lebih keras tetapi mempunyai regu bisbol tangguh. Di sinilah ia berkenalan dengan gangster kelas berat yang merasa senang sekali mengajari seluk-beluk pekerjaan mereka pada pemuda ini.

Di penjara Johnnie bukan penghuni teladan. Sebagai ganjaran atas berbagai ulahnya ia dihukum di kamar gelap. Tetapi tahun 1930 tiba-tiba ia berubah seperti malaikat di seksi 8A yang merupakan bagian pembuatan kemeja. Tapi cuma malaikat di kulit, sebab sebenarnya ia merencanakan pelarian bersama Jenkins, Pierpont dan van Meter. Bukan cuma pelarian yang mereka atur, tetapi juga program perampokan-perampokan yang akan dijalankan setelah melarikan diri. Yang menyusun program cermat ini Pierpont.

Tetapi Johnnie tidak perlu melarikan diri. Kelakuan baiknya dihargai dan permintaannya untuk dibebaskan dengan syarat dipertimbangkannya. Lagipula 200 penduduk terhormat dari Mooresville (seorang di antaranya Morgan!) meminta Johnnie dibebaskan. Semua merasa bahwa Johnnie dimanipulasi oleh Singleton dan bahwa Singleton yang jahat, Johnnie cuma korbannya.

Tanggal 10 Mei 1933, gubernur McNutt menandatangani pembebasan dengan syarat bagi John Dillinger. Ia keluar dari penjara 10 hari kemudian pada saat ibu tirinya meninggal. Ketika itu umurnya hampir 30 tahun.

Pada upacara penguburan ibu tiri yang tidak pernah dicintainya, ia mengesankan semua orang karena sikapnya yang memperlihatkan kebaktian yang besar dari seorang anak terhadap orang tua. Pada hari Minggu, dalam gereja Quaker di kota itu, Ny. Rainer memilih tema “kembalinya si anak hilang” untuk menyambut Johnnie yang berlinang-linang air mata ketika menyatakan kepada wanita itu: “Anda tidak bisa membayangkan betapa besarnya pengaruh Anda bagi saya.”

Setelah memeluk ayahnya dan mengucapkan terima kasih kepada jemaat yang terharu, ia berhubungan dengan William Shaw, pemimpin geng “helm putih”. Pierpont-lah yang memberi rekomendasi.

Tanggal 4 Juli, hanya 2 minggu setelah dibebaskan, Johnnie Dillinger ikut merampok supermarket.

Tanggal 10 Juli pagi mereka merampok New Carlisle National Bank di Ohio. Siangnya giliran sebuah apotek.

Perampokan-perampokan terjadi dengan gencar, sesuai dengan program yang dirancang di penjara. Mereka beroperasi dengan helm putih dan wajah ditutupi kain. Kini Dillinger menjadi pemimpinnya dan mengganti helm putih dengan topi anyaman.

Kemudian di akhir Juni, ia dan William Shaw pergi ke Monticello, Indiana. Dengan muka tidak tertutup mereka mendatangi pabrik Marshall Field. Mereka pura-pura mencari pekerjaan. Tetapi direktur muda, Fred Fisher, bersikap galak karena hari itu hari bayaran. Ketika Shaw akan beraksi, Fisher mengangkat revolvernya. Shaw dan Dillinger kabur ke mobil mereka. Dillinger sempat menembak Fisher sehingga terluka, walaupun ringan. 

Mereka melarikan mobil dengan kecepatan 100 km per jam. Tetapi Shaw tertangkap juga. Dillinger mencoba menolong dengan tembakan-tembakan walaupun kemudian harus kabur. Wajahnya tidak sepenuhnya dikenali.

 

Gaya Maurice Chevalier

Tahun 1933 walaupun ada Bureau of Investigation (yang kemudian menjadi FBI), gangster merajalela di AS yang ekonominya sedang runyam dan terdapat 13 juta orang pengangguran.

Robin Hood dan Jesse James diangkat menjadi pahlawan pada masa itu.

Dillinger yang makin lama makin percaya akan kemampuannya di dunia hitam, beroperasi lagi bersama 2 teman tanggal 17 Juli. Mereka mendatangi bank kecil di Dalesville, Indiana. Wajah mereka tidak ditutupi. Dillinger memakai topi anyaman yang agak dimiringkan sedikit seperti gaya Maurice Chevalier. Tetapi tangannya memegang revolver. Pada kasir yang terperanjat ia berkata: “Hallo, Manis. Ini perampokan.”

Tanpa menunggu gadis itu membuka loket, ia menggasak uang sementara temannya menjaga. Sekali ini gayanya scperti Douglas Fairbanks.

Margaret Good, pegawai di bagian kasir mencatat ciri-ciri penyerangnya. Dari pengakuan seorang gangster yang tertangkap dan keterangan-keterangan Good, kepala polisi Indiana, Matt Leach, melihat titik terang.

Nama “Dan Dillinger” (nama John Dillinger dalam geng) disebarkan ke seluruh negara bagian, gambar muncul di koran-koran. Pencarian terhadap Dillinger dimulai. la mendapat nama julukan “kepala terbakar”.

Mula-mula Matt Leach seperti menjaring angin. Dillinger seperti belut yang meloloskan diri dengan licin dari genggamannya. la tidak ditemukan di Mooresville. Di tempat saudara perempuannya di Maywood, polisi mendapat keterangan bahwa Dillinger sering berkunjung ke Dayton, Ohio, ke 324 West 1st Avenue. Itu adalah tempat seseorang bernama Mary Longmaker, kekasihnya waktu itu.

Matt Leach tidak tahu bahwa Mary itu saudara perempuan Jenkins dan Jenkins itu teman baik Dillinger di penjara. Dillinger datang ke sana untuk mengurus pembebasan Jenkins dan teman-teman lain dari penjara. Ketika keluar dari Michigan City, Dillinger sudah berjanji akan membebaskan mereka. la memegang janjinya.

Matt Leach mengirimkan Inspektur Pfaulh dan Inspektur Gross ke Dayton. Keduanya menyewa kamar di seberang flat yang didiami Mary dan menunggu dengan sabar kedatangan Dillinger.

Tampaknya Dillinger sudah melupakan Mary, pikir mereka karena hari-hari lewat begitu saja. Atau jangan-jangan Dillinger curiga.

Dillinger sebetulnya tidak curiga. Hanya saja ia sedang sibuk di dekat Michigan City. Ia sedang berusaha menyelundupkan senjata ke teman-temannya di penjara.

Akhirnya tanggal 22 September, Dillinger tampak di Dayton. Pada saat ia mendatangi Mary, Pfaulh dan Gross baru saja bermaksud pergi. Mereka menodong Dillinger: “Kami Polisi. Menyerah! Ikut kami!” Mary pingsan. 

Dillinger berusaha meloloskan diri dengan tenang. “Anda bilang Anda polisi? Saya cuma tahu bahwa polisi berseragam.” 

“Cukup Johnnie! Anda ikut atau kami tembak!”

Dillinger tidak melawan. Empat bulan setelah dibebaskan bersyarat, John Dillinger mendekam lagi di balik terali. Tetapi teman-temannya di Michigan City sudah berhasil mendapat senjata. Tanggal 26 September 1933, 10 narapidana, di antaranya Pierpont dan Jenkins kabur dengan menggunakan senjata. Mereka menyandera penjaga. Tetapi Jenkins tewas.

Empat Oktober 1933 teman-teman Dillinger merasa memerlukan uang untuk membebaskan Dillinger. Mereka merampok sebuah bank di St. Marys, Ohio. Pada saat itu bank hampir kosong karena semua penduduk sedang asyik menonton siaran pertandingan sepak bola untuk memperebutkan piala dunia.

Dillinger saat itu sudah dipindahkan ke penjara Lima. Sheriff Sarber di penjara itu termasuk orang yang menghargai orang-orang lain dan Dillinger berhasil menarik simpatinya.

Tanggal 12 Oktober, teman-teman Dillinger: Pierpont, Hamilton, Clark, Makley dan Shouse datang ke Lima memakai 2 mobil. Hamilton dan Shouse menunggu di mobil. Pierpont, Clark, Makley masuk ke kantor penjara. Sheriff Sarber tercengang dan minta pengunjung-pengunjung itu memperlihatkan kartu pengenal mereka. Sambil meminta, ia bergerak ke arah lacinya. Tetapi Pierpont menembak. Sheriff Sarber roboh. Ia kemudian meninggal.

“Serahkan kunci sel-sel, cepat!” teriak Makley.

Ny. Sarber yang ketakutan dan kebingungan memberi kunci. Clark menembaknya. Lengannya kena tetapi lukanya ringan. Sharp, wakil sheriff, tidak berani bergerak.

Dillinger sedang main kartu di sebuah sel bersama penghuni-penghuni lain. Ia segera bangun ketika mendengar tembakan. Ia menyambar topi dan jasnya sehingga ia sudah siap ketika Pierpont membukakan pintu seraya memberi revolver. Mereka lewat kantor Sarber. Sarber sedang sekarat. Pria itu memandang mereka:

“Oh, anak-anak... Kenapa kau berbuat seperti ini terhadap saya?” 

Dillinger dengan wajah pucat memandang Sarber sambil membungkuk. Lalu tiba-tiba saja ia keluar bersama Clark tanpa berkata apa-apa.

Pierpont dan Makley memasukkan Sarber, istrinya dan Sharp ke sel lalu mengikuti yang lain ke kendaraan.

Sirene meraung-raung mengejar mereka tetapi mereka sudah cukup jauh menuju ke Cincinnati. Di sana mereka ditunggu 2 wanita: Mary Kinder kekasih Pierpont dan Billie Frechette yang segera menjadi kekasih Dillinger.

 

Membentuk geng pribadi 

Mereka semua tinggal di sebuah apartemen luas di Chicago. Dillinger kini mempunyai geng sendiri yang terdiri dari 7 pria dan 4 wanita. John Dillinger yang sudah melupakan Mary Longmaker kini berpasangan dengan Billie Frechette, Pierpont dengan Mary Kinder, John Hamilton dengan Elaine Dent, Clark dengan Opal Long. Charles Makley, Harry Copeland dan Ed Shouse tidak mempunyai kekasih di dalam geng, tetapi tidak lama kemudian Dillinger mulai merasa jengkel menyaksikan perhatian istimewa Shouse terhadap Billie.

Suatu hari bahkan Dillinger memutuskan akan membunuh Billie. Tetapi sesudah mengajak Billie berjalan-jalan dengan mobil, ia kembali membawa Billie dalam keadaan masih hidup. Tampaknya Dillinger lebih tenang. “Saya tidak mampu membunuhnya.”

Sementara itu Matt Leach, yang terus menerus mencari jejak Dillinger, berhasil mengetahui alamat geng ini. Keterangan ini disampaikan pada Letnan John Howe, pemimpin suatu organisasi polisi khusus seperti Scotland Yard di Inggris.

Kalau bandit-bandit itu dikepung di apartemen mereka atau disergap di trotoar, ada kemungkinan korban-korban jatuh di kalangan penghuni apartemen-apartemen lain atau orang-orang yang lewat. Jadi Howe memutuskan akan menyergap Dillinger pada saat sedang bermobil saja.

Polisi berhasil menyelundupkan mata-mata ke geng itu. Dari mata-mata ini diketahui bahwa Dillinger akan pergi ke seorang dokter di Irving Park Boulevard. la tiba dengan sebuah mobil Terraplane dengan nomor Illinois 1 269 037.

Howe dan Leach sepakat untuk membiarkan Dillinger masuk ke tempat praktik dan menunggunya kembali ke mobil. Di sini ia akan disergap. Kendaraan-kendaraan lain akan menyergapnya di ujung jalan.

Dillinger tiba ditemani Billie pukul 16.00 tanpa curiga apa-apa. Polisi menunggu lama. Baru pukul 19.00 ia keluar lagi. la curiga melihat kendaraan begitu banyak diparkir tidak wajar. “Polisi,” bisiknya kepada Billie. “Jangan menoleh, menyeberang seperti tidak ada apa-apa. Tetapi begitu berada dalam kendaraan, segera merapat kepadaku.” 

Mereka menyeberangi jalan sambil bercakap-cakap. Mereka masuk ke dalam kendaraan dan tahu-tahu bergerak mundur sehingga polisi-polisi tertegun. Polisi-polisi berusaha mengejar. Tapi terlambat. Dillinger kini maju ke depan dan kabur. Terdengar Ietusan-letusan senjata api. Seorang polisi lalu lintas yang tidak tahu-menahu malah mengira polisi-polisi itu gangster dan menembak mereka.

Dalam kekacauan itu, Dillinger masuk ke jalan trem di sebelah kanan dan membanting setir dua kali untuk menghindari 2 trem yang berpapasan. Beberapa sentimeter saja lagi ia akan tergilas kendaraan itu. Pengejar-pengejarnya terhalang dan Dillinger selamat.

Tetapi pengalaman ini menurunkan semangat geng yang mulai tidak sepaham. Copeland ditangkap polisi dan Shouse yang makin lama makin tidak berkenan di hati Dillinger diusir.

Peristiwa ini terjadi awal November. Tanggal 20 November 1933, mereka merampok sebuah bank di Racine, Wisconsin. Mereka gugup sehingga membuat serentetan kesalahan. Makley melukai seorang pegawai dan polisi. Di tengah-tengah tembak-menembak, Dillinger dan Pierpont menyandera 5 orang untuk memungkinkan mereka melarikan diri.

Tanggal 14 Desember Hamilton dan Elaine masuk ke jebakan polisi. Hamilton berhasil kabur dengan membunuh seorang polisi tapi Elaine tertangkap.

Suatu brigade khusus, “Brigade Dillinger” dibentuk di bawah pimpinan Kapten John Stege. Brigade berpedoman: “tembak mati dan dahului menembak.”

 

Alamat tak ditemukan

Tidak lama kemudian diberitakan seorang anggota brigade, Reynolds, berhasil membunuh Pierpont, Hamilton dan Dillinger dalam suatu tembak-menembak yang seru. Ternyata ini tidak benar. Yang ditembaknya itu 3 bandit yang tidak ada sangkutannya dengan geng Dillinger. Reynolds menerima ucapan selamat yang ironis dari Dillinger sendiri.

Tanggal 15 Januari 1934, geng Dillinger merampok First National City Bank Chicago Timur. John Dillinger untuk pertama kalinya membunuh orang. Gengnya dalam beberapa bulan ini sudah membunuh belasan orang.

Ketika Hamilton menggasak uang, Dillinger menodong pegawai yang bertugas. Masuk seorang polisi, Wilgus. Polisi ini ditodong dan diperintahkan menjatuhkan senjatanya. Di luar, polisi lain bernama O’Malley merasa waswas karena rekannya tidak keluar-keluar lagi. Jadi dengan revolver di tangan ia masuk ke bank. Wilgus segera berontak ketika melihat temannya dan O’Malley menembak Dillinger. Dillinger membalas. O’Malley luka di tungkai sedangkan Dillinger yang dilindungi kaos anti peluru tampaknya tidak apa-apa. O’Malley menembak lagi dan dibalas. Sekali ini polisi itu roboh dan tewas seketika karena jantungnya ditembusi peluru Dillinger.

Hamilton harus pula menghadapi polisi-polisi lain. Walaupun mengenakan kaos anti peluru, ia terluka juga. Dillinger membantunya mencapai mobil di bawah tembakan-tembakan. Mereka berhasil kabur membawa 20.376 dolar.

Mereka melarikan diri sampai Tucson, dekat Meksiko. Walaupun memakai nama palsu, Makley, Clark dan Pierpont dikenali dan tertangkap. Sebelum lengannya diborgol, Pierpont mencoba menelan sepotong kertas. Kertas itu direbut polisi. Ternyata bertuliskan alamat Dillinger: 1304 East 5th. Alamat itu didatangi, tetapi kosong. Dillinger sedang menyusul Billie.

Polisi menunggu dan menyiapkan pengepungan. Malam itu Dillinger yang memakai nama Frank Sullivan datang bersama Billie, tanpa curiga apa-apa.

“Angkat tangan!” 

Dengan terkejut, ia angkat tangan. Tapi ia berlagak pilon. “Kenapa sih? Nama saya Frank Sullivan.”

Di kantor polisi ia dikenali secara resmi. John Dillinger yang membunuh seorang polisi menunggu diadili di penjara Lake County, Crown Point, Indiana. Polisi menganggap jika berada di penjara itu maka ia tidak mungkin melarikan diri.

Dengan senang hati ia berpose di depan juru potret-juru potret. Sebelah sikunya diletakkan di bahu Robert Estill, jaksa Indiana yang bertugas mengirimkannya ke kursi listrik. Di potret itu ia juga tampak didampingi sheriff setempat, Ny. Lillian Holley. Bahkan Matt Leach menyalami Dillinger dengan hangat. Kata orang ini akhir pertandingan persahabatan.

 

Masih enggan mati

Dillinger dikurung di tingkat ke dua di bagian khusus. Baginya didatangkan penjaga bersenjata tambahan dan lampu sorot ditugaskan sepanjang malam.

Tapi pisau cukurnya lupa diminta. Dengan alat itu ia membuat revolver kayu yang diberinya warna hitam dengan pertolongan lilin.

Tanggal 3 Maret ia menodongkan revolver palsunya ke bawah hidung penjaga.

“Saya tidak mau membunuh orang. Ayo, serahkan kunci-kunci! Panggil si Anu di bawah.”

Si Anu ini wakil sheriff, namanya Blunk. Ia datang tanpa curiga apa-apa dan ditodong dengan revolver kayu. Ia disuruh memanggil Lou Baker, direktur penjara. Baker ditemukan di tangga dan masuk perangkap juga. Sandera-sandera ini dikurung di selnya. Ia membawa Blunk ke kantor kepala penjaga, Blake. Blunk disuruh memanggil Blake. Blake mengenali suara Blunk dan mendekati tanpa curiga. Dillinger menyambar dua senjata api yang diletakkan dekat jendela. Keduanya berisi. 

Sebelum kabur, ia terpaksa menangkap belasan penjaga yang dikurungnya bersama direktur. Ia keluar dari penjara membawa Youngblood, seorang narapidana berkulit hitam. Youngblood yang dihukum karena membunuh orang diberinya sebuah senjata. Blunk tetap dibawa.

Di belakang penjara, montir bernama Ed Saager sedang membetulkan kendaraan. 

“Tunjukkan mobil yang paling cepat dan naik bersama kami,” perintahnya.

Saager menunjukkan mobil sheriff Ny. Holley. Mereka semua naik, Blunk menjadi sopir. Beberapa kilometer dari penjara, Blunk dan Saager dibebaskan. Mereka diberikan uang 4 dolar, entah dari mana.

“Uang lelah, Bung! Saya tidak punya lebih banyak lagi, tapi kalian tidak akan saya lupakan hari Natal nanti.”

Mobil dilarikannya ke arah Illinois. Kemudian Dillinger berpisah dengan Youngblood yang beberapa hari kemudian berhasil ditangkap polisi.

Dillinger segera membentuk geng baru terdiri dari 6 pasangan dan seorang “bujangan”. Mereka itu Eddie dan Bessie Green, Tommy dan Jean Carroll, Lester Gillis dan Helen Nelson, Homer van Meter dan Marie Conforti, John Hamilton dan Patricia Crierrington, ia sendiri dengan Billie Frechette dan Pat Reilly si bujangan.

Sisa geng lama hanya Hamilton dan Billie Frechette. Tetapi van Meter teman lamanya semasa di Michigan City.

Eddie Green segera menjadi ahli persiapan perampokan dan otak geng, Lester Gillis Nelson yang kemudian terkenal sebagai “Baby Face Nelson” menjadi motor utama.

Mereka merampok di Sioux Falls dan Mason City. Sementara itu di Lima dibuka sidang untuk mengadili Pierpont, Makley dan Clark. Pihak yang berwewenang khawatir Dillinger akan mengadakan penyerangan untuk membebaskan kawan-kawannya. Jadi penjagaan diperkuat di gedung pengadilan dengan polisi-polisi dari daerah-daerah berdekatan dan dengan anggota-anggota Legiun Amerika.

Shouse, bekas anggota geng yang sudah diusir ternyata menjadi saksi yang memberatkan Pierpont dan Clark dalam perkara pembunuhan Sarber. Pierpont dan Makley dijatuhi hukuman mati. Clark tidak.

Dillinger, yang terluka di pundak ketika perampokan di Mason City, tinggal dengan nama palsu bersama Billie Frechette di St. Paul. la segera dikenali oleh polisi setempat. Mereka kabur di bawah hujan peluru dan mengungsi ke Minneapolis di rumah Eddie Green. Sekali ini paha Dillinger luka. Ia perlu waktu cukup lama untuk sembuh tetapi hal ini tidak mengalanginya untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain.

 

FBI hampir “panen”

Sementara itu di Chicago, di tingkat 19 Bankers Building J.E. Hoover, pemimpin FBI, menyatakan perang pada Dillinger.

la minta perkara Dillinger dipercayakan kepadanya. la mempunyai polisi yang bisa bergerak cepat dan di segala negara bagian, seperti halnya geng Dillinger.

Dalam waktu kurang dari 24 jam, FBI menemukan tempat persembunyian Dillinger, di St. Paul. Mereka tidak menemukan Dillinger di sini, tetapi berhasil menangkap Eddie dan Bessie Green.

Tanggal 5 sampai 8 April 1934, Dillinger bersama Billie menginap di Mooresville. Johnnie datang untuk memeluk ayahnya dan mengucapkan terima kasih atas pernyataan si ayah pada pers. Dillinger tua yang jujur tidak pernah setuju dengan tindak-tanduk putranya tetapi tetap bangga pada putra yang melakukan tindakan-tindakan spektakuler ini.

Diadakan pesta besar dan tetangga-tetangga diundang makan ayam. Tetapi dua orang FBI yang menjaga di muka pintu tanah peternakan tidak tahu pasti apakah Dillinger ada di dalam atau tidak. Soalnya tidak ada seorang pun penduduk yang mau mengkhianati teman sekampungnya dan tanpa izin, kedua agen itu tidak bisa masuk ke dalam.

Dillinger mengunjungi keluarga Pierpont di Indianapolis lalu pergi ke Chicago. Di sini Billie ditangkap. Dillinger bersembunyi ke tempat van Meter di Fort Wayne. Keduanya menyerang pos polisi untuk merampas kaos-kaos anti peluru.

Ada lagi orang lain yang tidak kenal kasihan pada Dillinger. Namanya Inspektur Melvin Purvis dari FBI. la kepala biro Chicago dan menerima perintah langsung dari Hoover.

Beberapa hari setelah suatu jebakan yang gagal di Louisville, Purvis mendapat kabar bahwa Dillinger, seorang wanita dan Hamilton menuju ke Wisconsin utara. Mereka ada di penginapan kecil. Di sini Dillinger menemui van Meter, Caroll, Baby Nelson dan teman-teman mereka. 

Kalau penangkapan berhasil artinya panen besar bagi FBI. Tetapi bandit-bandit keburu mencium bau. Dalam perjalanan kembali ke Chicago, Dillinger menjalani bedah wajah dan sidik jari. Ahli-ahli bedah yang melakukannya tentu saja yang reputasinya kurang baik dan dicarikan oleh pengacaranya.

Walaupun wajahnya yang baru tidak seberapa beda tetapi Dillinger merasa lebih aman dan besar hati. Tanggal 30 Juni 1934 dengan van Meter dan Baby Nelson ia merampok bank di South Bend, Indiana. Tembak-menembak gencar terjadi dan mereka melarikan diri dengan bertameng sandera. Seorang polisi tewas, 6 luka-luka.

Kegagalan ini membuat Dillinger patah semangat dan ia istirahat dulu. Billie Frechette dijatuhi hukuman penjara 2 tahun. Jadi Dillinger mengambil pacar baru, seorang pelayan restoran berumur 26 tahun, Poly Hamilton. Poly tinggal di rumah seorang wanita bernama Anna Sage, 42 tahun. Dillinger merasa simpati pada wanita Rumania ini. Didorong oleh itu, ia jadi kurang hati-hati. Ia menceritakan identitasnya dan rencananya akan kabur ke Meksiko.

Ia sama sekali tidak curiga kepada Anna Sage, imigran yang ingin menyenangkan polisi. Lagipula hadiah bagi orang yang bisa menangkap Dillinger 10.000 dolar dan yang bisa memberi tahu polisi sampai Dillinger berhasil ditangkap akan mendapat 5.000 dolar.

Hari Sabtu 21 Juli, Anna Sage mengadakan pertemuan dengan Inspektur Purvis di tempat terpencil.

“Besok malam, ia akan ada di bioskop Marbro bersama Poly dan saya,” katanya.

FBI bersiap-siap untuk menangkap Dillinger. Mereka menyamar dan berkeliaran sekitar Marbro. Tetapi Dillinger berkata pada dua wanita temannya:

“Bagaimana kalau kita nonton di Biograph saja. Filmnya tentang gangster yang dihukum mati di kursi listrik.”

Yang dimaksudkannya ialah film “Manhattan Melodrama” dengan Clark Gable sebagai pemeran utama.

Pukul 17.30 Anna menelepon FBI. 

“Belum pasti. Ia menyebut-nyebut Biograph saat ini.” 

“Masya Allah! Coba dong ketahui tepatnya di mana. Kami ‘kan tidak bisa bolak balik dari satu bioskop ke bioskop yang lain.”

Pukul 19.00 Anna Sage menelepon lagi. Suaranya perlahan. “la ada di rumah saya, di ruang sebelah dengan Poly. Kami akan pergi ke bioskop, tapi belum tahu yang mana.”

Purvis dan Brown menunggu dalam sebuah mobil di muka bioskop Biograph. Inspektur Zarkovitch dan Inspektur Winstead di depan Marbro. Sejumlah polisi di bawah perintah Inspektur Cowley bersiap di muka Bankers Building, menunggu isyarat ke bioskop mana mereka mesti pergi. Sesudah menunggu sejam, Purvis melihat kedatangan Dillinger, Anna Sage dan Poly Hamilton.

Dillinger tampaknya merasa aman di antara orang banyak karena yakin hasil operasi membuat ia tidak dikenali. Berkat isyarat Anna Sage, yang berdiri di sebelah Dillinger dengan gaun panjang berwarna merah, Purvis mengenali Dillinger. Purvis memberi isyarat pada Cawley yang menunggu di Bankers Building, lalu ia ikut membeli karcis dan masuk ke bioskop. Film mulai main. Dalam ruang yang remang-remang itu Inspektur Purvis tidak berhasil menemukan Dillinger. Ia keluar lalu kembali ke loket. Tapi Cowley sudah menelepon Hoover: “Sekali ini rasanya ia terpegang.”

 “Tunggu sampai ia keluar di bioskop. Jangan ada pertumpahan darah di dalam gedung.”

Polisi dari Bankers Building maupun dari Marbro kini mengepung Biograph. Jumlahnya semua 27 orang. Purvis menggigit cerutu dan berjaga di pintu keluar utama.

“Kalau saya melihat ia keluar, saya nyalakan cerutu,” katanya. Ini isyarat.

Semua mencari tempat seperti yang sudah direncanakan semula. Jalan-jalan kecil sekitar bioskop diblokir. Kasir bioskop mengira mereka bersiap-siap akan merampoknya. Direktur bioskop diberitahu oleh kasir dan ia memanggil polisi-polisi Chicago. Inspektur-inspektur polisi lokal datang ke tempat itu dan berhadapan dengan orang-orang FBI. Mereka saling menerangkan. Beres.

Pada saat itu penonton-penonton mulai keluar. Dillinger termasuk yang pertama keluar. Purvis menyalakan cerutu. Dillinger mencium bahaya. Ia berjalan tenang-tenang dengan dua wanita temannya, lalu tiba-tiba mengeluarkan revolver dan berlari. Tembak menembak terjadi. Dillinger roboh. Ia kena 2 peluru yang mematikan seketika itu juga. Ada 2 wanita luka kena peluru nyasar.

Kalau Dillinger masih hidup, umurnya sekarang 76 tahun….

(Jean-Marie Peaprat)

Baca Juga: Kumis yang Menyelamatkan

 

" ["url"]=> string(84) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726679/kalau-dia-keluar-saya-menyalakan-cerutu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678778571000) } } [1]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448561" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/orang-sial_regularguyjpg-20220831012552.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Ralph Nesbitt menemukan perusahaannya kebobolan senilai AS $100,000. Bernal yang selalu menghindar untuk merapatkan keamanan, mangkir dari tugasnya." ["section"]=> object(stdClass)#76 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/orang-sial_regularguyjpg-20220831012552.jpg" ["title"]=> string(10) "Orang Sial" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:26:32" ["content"]=> string(21168) "

Intisari Plus - Ralph Nesbitt menemukan perusahaannya kebobolan maling senilai AS $100,000. Bernal yang selalu menghindar untuk merapatkan keamanan, selalu mangkir dari tugasnya. Apa hubungannya?

-------------------

Langit belum terang benar ketika sirine meraung-raung dari atap Jebson Commercial Company. Mengira ada kebakaran, orang-orang yang sedang sarapan segera meninggalkan meja makan, yang bercukur janggut meninggalkan cermin, dan yang tidur melompat bangun. Semua berlarian ke luar mencari tanda-tanda asap di langit. Tapi, asap itu tidak ada di mana-mana. Sirene masih tetap meraung-raung ketika manusia membanjiri jalan-jalan untuk berlerot seperti semut ke arah Jebson Commercial Company. 

Di sana mereka diberi tahu bahwa pintu-pintu ruang besi di perusahaan itu didapati dalam keadaan terpentang lebar. Sebuah pintu bahkan dibobol dengan gas karbit. Orang saling berpandangan. Tanpa berkata-kata pun mereka tahu bahwa gaji karyawan yang seharusnya dibayarkan hari ini, lenyap digondol perampok.

Jebson Commercial Company, perusahaan yang menghidupi Jebson City, biasanya membayar upah karyawan dua kali sebulan, yaitu pada tanggal 1 dan 15. Kemarin uang gaji dibawa dari Ivanhoe National Bank untuk disimpan di ruang besi itu. 

Fank Bernal, manajer pabrik perusahaan itu, yang memerintah Jebson dengan tangan besi, tiba untuk menangani musibah. Tanggung jawab memang terletak di pundaknya.

Sementara itu Tom Munson, satpam yang bertugas jaga di malam hari, ditemukan di ruang belakang. la mendengkur dengan asyiknya. Munson mabuk berat. Alarm anti maling yang dipasang enam bulan yang lalu dilumpuhkan dengan alat elektronik. Padahal alat itu begitu canggih. Kalau perampokan ini dilakukan oleh suatu geng, pasti salah seorang anggotanya ahli listrik. 

Ralph Nesbitt, akuntan perusahaan, tampak membisu saja. Setahun yang lalu, ketika Frank Bernal ditunjuk menjadi manajer, Nesbitt memberi tahu bahwa ruang besi mereka sudah tidak memadai lagi. Tapi Bernal menghindari pengeluaran uang dalam jumlah besar. la tidak mau membongkar ruang besi lama untuk menggantinya dengan yang lebih aman. la cuma memasang alarm antimaling dan menggaji seorang satpam khusus untuk berjaga di malam hari. 

Kini ruang besi itu kebobolan AS $100,000 dan Bernal harus membuat laporan ke kantor pusat di Chicago.

 

Pembela orang sial 

Tak seberapa jauh dari Jebson City, Perry Mason, pembela yang termasyhur itu, tampak mengendarai mobilnya di jalan pegunungan. Sudah lama ia ingin memancing di akhir minggu, tetapi selalu saja ada alangan. Sekali ini pun hampir saja ia tidak jadi berangkat, karena juri menunda keputusan mereka sampai tengah malam. Terpaksa lewat tengah malam Mason baru pergi menuju tempat memancing. Berganti pakaian pun ia tidak sempat. la masih mengenakan setelan jas yang dipakainya ke pengadilan. Pakaian untuk memancing, alat pancing, seperti bot, umpan dll., semua berada di bagasinya. 

Semalaman Mason mengemudikan mobilnya. Pukul 08.30, tiba-tiba lampu senter dari arah depan menyilaukan matanya. Di tengah jalan dilihatnya papan bertuliskan: Berhenti - Polisi. Dekat tanda itu berdiri seorang pria bersenjata yang memakai lencana perak di dada, bersebelahan dengan seorang polisi bersepeda motor. 

Ketika Mason menghentikan mobilnya, pria yang berlencana perak, yaitu wakil sheriff, berkata, "Tolong perlihatkan SIM Anda. Ada perampokan besar di Jebson City." 

"Oh, ya?" kata Mason. "Sejam yang lalu saya lewat di sana. Kelihatannya tenang-tenang saja." 

"Ke mana Anda pergi setelah meninggalkan Jebson City?" 

"Berhenti untuk sarapan di restoran." 

"Ketika melihat SIM Mason, serta merta wakil sheriff berseru, "Hai, Anda Perry Mason! Pembela kriminal yang terkenal itu." 

"Bukan pembela kriminal," Mason mengoreksi. "Kadang-kadang saya memang membela orang yang dituduh melakukan kejahatan." 

"Apa yang Anda lakukan di tempat ini?" 

"Saya mau memancing." 

"Memancing?" tanya wakil sheriff itu dengan curiga. "Kok Anda tidak mengenakan pakaian untuk memancing?" 

"Selain akan memancing, saya juga mau tidur, tapi saya tidak mengenakan pakaian tidur," jawab Mason. 

Polisi yang mendampingi wakil sheriff tertawa tergelak-gelak dan mempersilakan Mason berangkat, sementara wakil sheriff merengut. 

Beberapa waktu kemudian, ketika wakil sheriff ditanya wartawan, ia menceritakan kehadiran Perry Mason di tempat itu. Malamnya ketika Mason menginterlokal sekretaris kepercayaannya, Della Street, wanita itu berkata, "Tadinya saya kira Anda pergi berlibur." 

"Memang saya berlibur." 

"Menurut koran, Anda menjadi pembela perampok Jebson Commercial Company."

"Boro-boro menjadi pembelanya. Siapa yang dituduh merampok pun saya tidak tahu." 

Della bercerita bahwa yang berwajib telah menahan Harvey L. Corbin yang memang pernah berurusan dengan polisi. Sehari sebelumnya, atasan Corbin yang baru tahu bahwa karyawan mereka itu pernah dihukum karena melakukan kejahatan, meminta Corbin meninggalkan Jebson City. 

Jebson Commercial Company memang sangat berkuasa di Jebson City, sebab mereka yang menghidupi kota itu. Merekalah pemilik rumah-rumah di sana yang mereka sewakan kepada karyawan. Istri Corbin dan putrinya boleh tetap tinggal di rumah yang mereka tempati sekarang, sampai Corbin mendapat pekerjaan dan tempat tinggal baru di kota lain. 

Mason sama sekali tidak tertarik pada perkara itu, tetapi ia berkata bahwa dalam perjalanan pulang ia berniat singgah di Jebson City untuk mendehgarkan gosip. 

"Jangan!" kata Della dengan khawatir. "Corbin ini mempunyai reputasi sebagai orang yang tertimpa sial. Padahal Anda 'kan tahu bagaimana perasaan Anda terhadap orang yang ketiban sial." 

Perry Mason jadi curiga. "Kau telah dihubungi pihak Corbin ya, Della?" tanyanya. 

"Tidak secara langsung," jawab Della. "Ny. Corbin menelepon. Katanya, setelah membaca di koran bahwa suaminya akan Anda dampingi, ia merasa lega sekali. la tidak tahu-menahu peri hal suaminya pernah melakukan kejahatan dan ia mengaku sangat mencintai suaminya. Saya mencoba menjelaskan bahwa apa yang ditulis di koran belum tentu benar." 

Della kemudian menyambung, "Bos, Corbin jelas bersalah. Mereka menyita AS $ 40 dari istri Corbin, yaitu semua uang yang diserahkan oleh Corbin kepada istrinya dan ternyata uang itu merupakan sebagian uang curian dari Jebson Commercial Company." 

"Saya akan menyetir sepanjang malam. Della, tolong telepon istri Corbin. Katakan kepadanya, besok saya sudah pulang." 

Della mencoba mencegah, tetapi bosnya telah menutup pembicaraan.

 

Jelas bersalah 

Paul Drake dari Drake Detective Agency yang biasa dimintai bantuan oleh Perry Mason, masuk ke kantor sang pembela. 

"Payah, Perry," katanya. "Klienmu jelas bersalah." Drake baru saja kembali dari Jebson City untuk melakukan penyelidikan menurut permintaan Mason. 

"Uang yang ia serahkan kepada istrinya merupakan sebagian dari uang yang lenyap dari lemari besi." 

"Bagaimana mereka bisa tahu?" 

Drake menarik buku catatan dari sakunya. "Saya memberi gambaran kepadamu perihal Jebson City, ya," katanya. "Manajer pabrik Jebson Commercial Company merupakan penguasa dari Jebson City. Jebson Company pemilik segalanya di sana." 

"Bisnis kecil milik pribadi pun tidak ada?" 

Drake menggeleng. "Kecuali kalau kita bisa menganggap mengumpulkan sampan sebagai bisnis," jawabnya. "Seorang kakek bernama George Addey tinggal sekitar 7 km dari sana, di sebuah lembah. la memelihara babi dan mengumpulkan sampah. Uangnya dikubur dalam kaleng-kaleng. Tidak ada bank dekat tempat itu. Paling dekat ada di Ivanhoe City." 

"Eh, bagaimana tentang perampokan itu?" 

"Satpam mereka, Munson, ternyata peminum. la biasa menenggak wiski mulai tengah malam. Katanya, supaya mata bisa melek. Tadinya sih, tidak ada orang yang tahu ia membawa wiski ke tempat tugas. Orang yang tahu rupanya menaruh obat tidur di termos wiski si satpam. Keruan saja ia mendengkur sampai tidak tahu maling datang." 

"Bagaimana dengan Corbin?" 

"Dia pernah dihukum karena merampok. Padahal, menurut peraturan perusahaan, bekas kriminal tidak boleh mereka pekerjakan. Ketika Frank Bernal, manajer Jebson Company, tahu, Corbin dipanggil pukul 20.00, yaitu malam sebelum perampokan terjadi, dan ia disuruh pindah. Bernal memperbolehkan istri Corbin dan anaknya untuk tetap tinggal di rumah yang mereka tempati sampai Corbin mendapat pekerjaan di kota lain. Corbin pergi pagi hari setelah menyerahkan uang yang ternyata merupakan sebagian uang rampokan. 

"Bagaimana mereka bisa tahu uang itu sebagian dari hasil rampokan?" 

"Tak tahulah saya, Perry. Tapi mereka bilang orang yang bernama Bernal itu pandai. la bisa membuktikan uang itu berasal dari lemari besi." 

Drake berhenti berbicara, lalu melanjutkan," Bank yang paling dekat dari sana berada di Ivanhoe City. Untuk menaruh uang gaji yang dibayar dua kali sebulan. Ralph Nesbitt, akuntan, ingin membangun ruang besi yang baru, tetapi Bernal menolak mengeluarkan biaya sebesar itu. Jadi, Nesbitt dan Bernal sekarang dipanggil ke kantor pusat di Chicago untuk ditanyai. Ada beberapa direktur yang tidak menyukai Bernal. Mereka membongkar dokumen-dokumen dan menemukan laporan Nesbitt yang menunjukkan bahwa ruang besi dalam keadaan rawan. Bernal 'kan dulu tidak menanggapi laporan itu." 

 

Dua lembar 20 dolaran 

Hari Jumat minggu itu juga diadakan pemeriksaan pendahuluan di pengadilan. Walaupun Norman Flasher, jaksa penuntut dari Ivanhoe County, sudah berpengalaman, tetapi ia gugup juga berhadapan dengan Perry Mason yang tersohor. Sementara itu, Hakim Haswell bertekad tidak mau kalah pamor dari Mason. 

Frank Bernal, yang dipanggil: sebagai saksi, diminta menjelaskan lokasi ruang besi, mengidentifikasi foto-foto dan menjelaskan mengapa ia tidak menuruti saran Nesbitt. 

"Demi penghematan, tanpa mengabaikan keselamatan uang gaji karyawan, saya melakukan tiga hal," katanya. "Pertama, saya mengupah satpam khusus untuk jaga malam. Kedua, saya memasang alarm antimaling yang paling baik yang bisa dibeli manusia dan ketiga, saya meminta Ivanhoe Bank mencatat nomor seri dari setiap uang 20 dolaran yang akan dibayarkan kepada karyawan." 

"Tidak semua uang dicatat nomor serinya karena terlalu makan waktu, cuma uang 20 dolaran saja," kata Bernal. la memiliki daftar nomor seri dari semua uang 20 dolaran yang akan dibayarkan sebagai gaji itu. 

"Saya rasa penjagaan seperti ini lebih murah daripada membangun ruang besi baru," kata Bernal, seraya memandang dingin kepada Nesbitt. 

Asisten kasir dari Ivanhoe Bank dipanggil dan diminta mengenali tulisan pada daftar. la membenarkan bahwa semua tulisan itu hasil tangannya sendiri. la juga membenarkan bahwa jumlah yang diambil dari bank setiap setengah bulan sekitar AS $ 100.000. 

Mason memeriksa daftar nomor seri dari Ivanhoe Bank. Nomor itu ditulis dengan tangan dan tidak berurutan. Pada setiap lembar ada inisial dari sang asisten kasir. Kertas yang dipakai adalah kertas Ivanhoe National Bank. 

Bernal membenarkan bahwa ia memanggil Corbin sore hari sebelum perampokan bank, untuk dipecat dan disuruh meninggalkan Jebson City dengan segera. 

"Siapa yang membayar upahnya waktu itu?" tanya Mason. 

"Pak Nesbitt, dari kas kecil yang ditaruh di ruang besi itu. Saat itu saya hadir." 

Saat itu Corbin menerima dua lembar 20 dolaran. Uang yang diberikan itu tidak mungkin uang yang kini dijadikan barang bukti, kata Bernal, sebab uang yang jadi barang bukti pada saat itu masih berada dalam amplop tersegel, amplop dari bank. Sedangkan daftar uang 20 dolaran berada dalam laci terkunci di meja tulis Bernal. 

Kemudian Nesbitt dipanggil.' la membenarkan bahwa ia hadir pada saat Bernal mengadakan pembicaraan dengan Corbin kira-kira pada pukul 20.00 dan ia membayar upah Corbin seperti yang diceritakan oleh Bernal. Saat itu uang gaji untuk karyawan lain berada dalam amplop yang disegel. Nesbitt-lah satu-satunya orang yang memegang kunci ruang besi. 

Sorenya ia sendiri yang mengambil amplop berisi uang dari Ivanhoe Bank dan amplop berisi daftar nomor seri uang 20 dolaran. Amplop berisi uang ia letakkan di ruang besi yang kemudian dikuncinya, sedangkan amplop berisi daftar nomor seri uang 20 dolaran ia serahkan kepada Bernal. Dilihatnya Bernal menaruh benda itu di lacinya yang lalu dikunci. 

Setelah mendengar keterangan Nesbitt, sidang ditunda sebentar, Paul Drake dan Della Street merasa sekali ini pasti Perry Mason tidak berhasil meloloskan orang yang dibelanya.

 

Saksi naik pitam 

Ketika sidang dibuka kembali, Mason meminta agar George Addey, pengumpul sampan, dipanggil sebagai saksi. la meminta agar Addey membawa uang 20 dolaran yang diterimanya selama 60 hari terakhir ini. 

Jaksa Flasher protes, tetapi Hakim Haswell mengabulkan permintaan Mason. 

George Addey datang dengan dagu tidak dicukur dan dengan sejuta kesebalan terhadap Mason karena ketenangannya terganggu. 

Dari tanya-jawab dengan Mason ia menyatakan di depan sidang bahwa ia sudah lebih dari lima tahun memegang kontrak mengumpulkan sampah dengan Jebson City. Katanya, ia tidak menyimpan uang di bank. Sesuai dengan permintaan, ia membawa uang yang diperolehnya selama 60 hari terakhir. Dengan jengkel uang itu ia lemparkan ke meja yang disediakan. 

Mason meminta bantuan panitera pengadilan dan Della Street untuk mengecek tiga dari uang 20 dolaran yang diambil sembarangan dari meja itu. Ternyata, salah sebuah di antaranya, yang bernomor seri L 07579190/A, cocok dengan yang tercatat pada daftar dari Ivanhoe Bank di halaman delapan. 

"Apa?!" seru jaksa kaget. 

"Kalau begitu, saksi ini pun mesti dituntut Pak Jaksa," kata Mason. 

Kini giliran Addey naik pitam. la mengayun-ayunkan tinjunya kepada Mason, seraya berteriak-teriak, "Kau pembohong busuk! Tak satu pun uang itu kuperoleh sebelum perampokan. Aku menguburnya dalam kaleng dan aku memberi tanggal pada kaleng-kaleng itu." 

"Lha, ini daftarnya. Kau cek sendiri saja," jawab Mason. 

Ruang sidang menjadi hening. 

"Pak Mason, saya tidak paham," kata Hakim. 

"Sebenarnya sederhana saja," kata Mason sambil membereskan barang-barangnya. "Saya minta sidang ditunda sejam untuk menyempatkan pengecekan nomor seri lembaran-lembaran 20 dolaran lain. Saya kira Pak Jaksa akan terkejut. 

Della Street, Paul Drake, dan Mason pergi ke lobi Ivanhoe Hotel. Belum sempat Della meminta keterangan, mereka sudah didatangi Hakim Haswell dan Jaksa Flasher. 

"Frank Bernal, ehm ... lenyap," kata Hakim. 

"Sudah saya duga," kata Mason.

"Anda tahu ada kekeliruan tanggal di daftar itu?" 

"Bukan kekeliruan, tetapi pemalsuan. Anda bisa membuktikannya kalau berhasil menemukan Bernal. la memakai uang perusahaan dan tahu akan dicopot. Untuk menutupi ketekorannya, ia memerlukan uang sekitar AS $ 100.000. Mestinya sudah lama ia merancang perampokan atau lebih tepat penggelapan ini. la tahu Corbin pernah dihukum.”

“la mengatur agar bank mau memberi daftar nomor seri uang 20 dolaran. la memasang alarm anti maling dan, tentu saja, ia tahu bagaimana melumpuhkannya. la mempekerjakan penjaga malam yang peminum. Lalu, ia tinggal menunggu saat yang tepat. 

“la memecat Corbin dan membayarnya dengan uang yang dicatat di halaman 8 oleh bank, di daftar uang gaji dua minggu yang lalu. Lalu ia ambil halaman 8 dari daftar itu untuk ditukar dengan halaman 8 gaji dua minggu berikutnya. Penukaran itu ia lakukan sesaat sebelum memperlihatkan daftar nomor seri itu kepada polisi.” 

"la membius satpam, membobol pintu ruang besi, dan mengambil uang." 

"Bagaimana Anda bisa tahu semua ini?" tanya Hakim Haswell. 

"Klien saya menyatakan ia menerima uang itu dari Nesbitt, yang mengambil dari kas kecil di ruang besi. la memberi keterangan yang sama kepada sheriff, tetapi cuma saya yang percaya kepadanya. Kadang-kadang berguna juga mempercayai kata-kata orang yang pernah berbuat salah." 

"Dengan berasumsi bahwa klien saya tidak bersalah, mestinya Bernal atau Nesbitt-lah yang bersalah. Kemudian saya tahu bahwa cuma Bernal yang bisa memiliki daftar nomor seri uang yang dikeluarkan dua minggu sebelumnya." 

"Sebagai atasan, gaji Bernal dibayar pada tanggal 1. la memeriksa nomor seri uang 20 dolaran dalam sampul gajinya dan mendapatkan nomor itu tertera di halaman 8. la cuma perlu mengambil uang 20 dolaran dari kas kecil, lalu menggantinya dengan uang 20 dolaran dari amplop gajinya. Setelah itu, dipanggilnya Corbin untuk dipecat." 

"Saya sengaja memberi isyarat kepadanya bahwa saya tahu, dengan membawa Addey ke ruang sidang. Lalu saya minta sidang ditunda, supaya Bernal sempat kabur. Melarikan diri 'kan bisa diterima sebagai bukti ia bersalah. Jadi, Pak Jaksa tak perlu repot lagi kalau Bernal tertangkap nanti," kata Perry Mason. (Erie Stanley Gardner)

" ["url"]=> string(55) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448561/orang-sial" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952392000) } } [2]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350520" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/jeritan-dari-liang-kubur_luis-al-20220629071711.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(138) "Remy menjadi mirip dengan Teresita yang meninggal karena dibunuh. Hingga suatu hari, ia dirasuki oleh arwah Teresita yang mengaku dibunuh." ["section"]=> object(stdClass)#80 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/jeritan-dari-liang-kubur_luis-al-20220629071711.jpg" ["title"]=> string(24) "Jeritan dari Liang Kubur" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:17:39" ["content"]=> string(31758) "

Intisari Plus - Remy menjadi mirip dengan Teresita yang meninggal karena dibunuh. Hingga suatu hari, ia dirasuki oleh arwah Teresita yang mengaku dibunuh. Teresita pun memaksa suami Remy untuk menyelesaikan kasusnya agar ia bisa mati dengan tenang.

------------------

Dari jendela apartemennya tingkat 15, Teresita Basa (48) memandang Chicago yang kelabu. Beda sekali dengan langit biru di tempat asalnya, yaitu di Dumaguete yang terletak di Pulau Negros, Filipina. 

Di Dumaguete keluarganya termasuk orang terkemuka. Sebagai anak tunggal dan orang tua yang berada, Teresita mendapat pendidikan tinggi dan mengajar musik di universitas. Namun sejak ayahnya meninggal akibat penyakit pernapasan, Teresita merasa terpanggil untuk menolong orang-orang yang senasib dengan ayahnya. Itulah sebabnya ia ke Amerika Serikat untuk belajar dan bekerja menolong para penderita penyakit pernapasan.

Akhir-akhir ini ia merasa frustrasi. Tanpa alasan yang jelas, atasannya di rumah sakit memberinya berbagai tugas berat di pundaknya. 

“Daripada tertekan bekerja di rumah sakit, mendingan kamu mengajar musik kembali di universitas," saran Sarah, sahabat karibnya yang sore itu menelepon.

“Di sini 'kan ijazah Filipina-ku tidak diakui," jawab Teresita. Pada saat mereka sedang bercakap-cakap di telepon itu, bel pintu berbunyi. 

"Oh, rupanya orang yang kutunggu sudah datang. Aku bukakan pintu dulu, ya," kata Teresita kepada Sarah. 

"Sudah deh. Kita lanjutkan percakapan nanti saja," jawab temannya dari seberang sana.

Teresita mengintip lubang pengintai di pintu. Benar! Tamu itulah orang yang ditunggunya. Tak ada firasat apa-apa ketika ia membuka pintu, mempersilakan tamunya masuk. Namun saat membelakangi pria tersebut untuk menutup pintu kembali, sudut matanya melihat tamu itu menjulurkan lengannya ke arah lehernya. 

la terkejut. Jantungnya berdegup keras. Namun sebelum ia sempat bereaksi, lengan pria kekar itu sudah terkalung ke leher Teresita dengan gerakan yang biasa disebut half-nelson dalam teknik olahraga bela diri Jepang.

Teresita tercekik. Tubuhnya melambung sebentar sebelum akhirnya jatuh terkulai dalam keadaan tak sadarkan diri. Tamu itu segera menyambar dompet Teresita yang tergeletak di atas meja. Isinya cuma 30 dolar. Tanpa pikir panjang, dompet itu dijejalkan ke sakunya, lalu diseretnya Teresita ke kamar tidur. Wanita itu ditelanjanginya di lantai. Dengan pisau yang diambil dari dapur, ditusuknya tubuh korban yang sudah tak berdaya persis ke arah jantung. Begitu kuat tusukannya sampai sebagian gagang pisau ikut terbenam di dalam daging dan udara di paru-paru Teresita keluar lewat mulut dengan mengeluarkan bunyi.

Secara refleks pria itu melompat menjauh. Selain terkejut mendengar bunyi yang tidak diduganya, ia juga menghindari semburan darah korbannya. Semua itu berlangsung dengan singkat tanpa menimbulkan kecurigaan tetangga kamar Teresita. 

Rupanya si penjahat berharap akan mendapat sejumlah uang dan barang berharga dari si korban. Toh, nyatanya setelah mengobrak-abrik dan mengaduk-aduk seluruh ruangan, ia sangat kecewa karena tidak menemukan barang berharga. Yang bisa ditemukan cuma kotak perhiasan yang isinya kurang memuaskan baginya. Yang berharga mungkin hanya sebuah liontin dan cincin.

"Huh! Katanya, ia anak orang kaya. Kok, hartanya cuma segitu?!" omel pria itu di dalam hati. 

Dengan perhitungan profesional, pembunuh berdarah dingin ini berupaya menghilangkan jejak. la segera kembali ke kamar untuk mengatur posisi kaki mayat seakan-akan korban diperkosa. Kantong-kantong kertas yang ditemuinya di rumah itu digumpal-gumpal dan disulutnya dengan korek api. Kertas yang sudah tersulut itu kemudian dilemparkan ke arah kasur. Ketika kasur sudah terjilat api, dengan ketenangan luar biasa korban yang belum sepenuhnya tewas itu dibakarnya pula. Setelah dirasa cukup, buru-buru ia menyelinap ke luar.

 

Arwah penasaran

Beberapa penghuni apartemen yang bertetangga dengan Teresita berhamburan ke luar kamar ketika mencium bau hangus. Malam belum terlalu larut. Saat itu baru pukul 20.30. Mereka saling tanya satu sama lain, apa yang terjadi? 

Biang keributan malam itu terjawab sudah berbareng dengan munculnya kepulan asap dari celah pintu apartemen 15 B. Pengurus apartemen, Peter Lulusa, menelepon dinas pemadam kebakaran yang segera tiba. Setelah pintu apartemen Teresita didobrak, asap tebal segera menyerbu ke luar. Bau daging terbakar menyengat hidung.

Ketika api berhasil dipadamkan, petugas pemadam kebakaran menemukan tubuh manusia yang sudah menjadi arang di lantai kamar. Sebilah pisau menancap di dada mayat itu. Buru-buru mereka menghubungi polisi di Bagian Pembunuhan Wilayah 6. 

Detektif yang ditugaskan menyidik peristiwa ini, Joseph Stachula dan Lee Epplen, semula menduga kasus pembunuhan ini disertai perkosaan. Tindakan pertama yang mereka lakukan, menelepon keluarga dan teman-teman korban di RS Edgewater. Nama dan nomor telepon orang-orang yang mereka tanyai diperoleh dari buku telepon korban. 

Semua narasumber mengakui, Teresita Basa adalah wanita yang baik hati. la tidak ragu-ragu meminjamkan uangnya untuk menolong orang lain. Tak lama kemudian polisi mendapat laporan dari dokter ahli forensik, bahwa Teresita Basa masih perawan. Itu berarti, ia bukan korban perkosaan.

Dua minggu sudah peristiwa itu berlalu. Oleh keluarganya jenazah Teresita telah dikirim ke kampung halamannya, Dumaguete. Namun sampai gadis ini dimakamkan, polisi belum berhasil menemukan petunjuk sedikit pun siapa pelaku pembunuhannya. Kasus terbunuhnya Teresita tetap menjadi pokok pembicaraan di antara mantan rekan-tekan almarhumah di rumah sakit tempatnya bekerja selama ini. 

"Gimana sih polisi," sesal Jennie Prince, direktur bagian teknik Departemen Pernapasan RD Edgewater. "Bisa-bisa Teresita bangun dari kuburnya saking penasaran."

"Coba dia bisa muncul atau memberiku petunjuk dalam mimpi siapa pembunuhnya," kata Remy Chua, seorang wanita asal Filipina seperti Teresita.

Siang itu Remy Chua meluangkan waktu istirahat selama sejam, pergi ke tempat para karyawan menyimpan barang-barang pribadi mereka dalam laci-laci terkunci. la merapatkan dua buah kursi lalu bersandar ke kursi yang satu, sementara kakinya diletakkan di kursi yang lain. 

Saat sedang tidur-tidur ayam, ia merasa seperti ada bahaya mengancam. Jadi, dibeliakkannya matanya. Jantungnya serasa mau copot karena dilihatnya Teresita Basa berdiri di depannya! Wanita itu berpakaian serba putih dan wajahnya tampak khidmat. 

Teresita tidak tampak seperti bayangan, tidak transparan, tetapi seperti manusia sejati yang cukup dekat untuk disentuh. Rasa takut yang tiba-tiba menyergapnya membuat Remy tidak berani menyentuhnya. 

la malah melompat bangun dan berlari menjauh. Tak jauh dari tempat itu Rudy Velasco, seorang pekerja Filipina, sedang memperbaiki sebuah peralatan. 

"Rudy! Rudy! Aku melihat Teresita di ruang tempat penyimpanan barang," kata Remy dengan gemetar.

Rudy yang tadi ikut mendengar Remy berkata ingin bermimpi bertemu Teresita, malah tertawa terbahak-bahak. 

"Bu Chua, Teresita 'kan sudah meninggal. Sudah dikubur di Filipina. Mustahil dia datang!"

 

Mirip almarhumah

Dua minggu sejak Teresita memperlihatkan dirinya, Remy memutuskan untuk bekerja lembur setiap hari. Pasalnya, ia memerlukan banyak uang untuk membantu suaminya membayar rumah baru yang mereka beli. Selain itu Remy ingin menyibukkan diri supaya wajah Teresita tidak terbayang-bayang terus. 

Akhir-akhir ini Remy merasa kesal kepada atasannya, sebab semua pekerjaan yang sulit dibebankan kepadanya. la mengeluh kepada temannya, sesama ahli terapi pernapasan, bernama Florencio Oliver. 

"Bu Chua, kok cara Anda berbicara persis almarhumah Teresita," kata rekannya tanpa bermaksud bergurau. Remy terperanjat. Tak urung, ucapan temannya itu mengganggu Remy, terlebih ketika beberapa hari kemudian, Emile Savane, pengawas karyawan yang bertugas malam, melontarkan komentar yang tidak jauh berbeda.

"Bu Chua, cara Anda memandang saya dan cara Anda berbicara kok ... mirip sekali Teresita." 

Remy berpikir: "Emile dan Florencio bukan jenis orang yang suka bercanda. Jangan-jangan mereka benar. Tapi kenapa aku bisa mirip Teresita Basa? Aku 'kan bukan teman akrabnya. Aku cuma sekali-sekali saja bercakap-cakap dengannya. Kematiannya pun tidak menggugah perasaanku benar.”

Di lain pihak, dr. Jose Chua yang biasa dipanggil Joe, merasa heran. Remy, istrinya, tiba-tiba jadi senang musik klasik. Wanita yang dikenal penyabar dan tidak banyak cingcong ini sekarang sering tidak telaten melayani keempat putri mereka yang meningkat remaja. 

Joe dan Remy datang ke AS sebagai dokter dan ahli farmasi. Namun, ijazah Filipina mereka tidak diakui di negara Paman Sam. Jadi, Remy bekerja sebagai ahli terapi pernapasan, sementara Joe menempuh pendidikan lagi sambil menjadi asisten dokter bedah di RS Franklin Park.

Sementara itu di bagian kumuh lain Kota Chicago, seorang pemuda bernama Jose sedang berhadapan dengan Detektif Stachula dan Epplen. Kedua detektif itu "mengambil" Jose Rodriguez atas saran pengacara Teresita, Stephen Milak. 

Konon, almarhumah pernah meminta jasa Milak untuk memperoleh kewarganegaraan AS. Waktu itu yang biasa disuruh Milak bolak-balik ke tempat Teresita adalah Rodriguez. Masih menurut Milak, Jose yang berasal dari Puerto Rico itu gambang naik pitam sampai diberhentikan oleh Milak.

Saat para detektif datang, Jose yang pendek dan masih muda itu mengenakan kaus tak berlengan. Otot-ototnya kelihatan gempal. 

"Hai man ... mau apa kalian?" tanyanya. Tadinya ia tidak mengaku mengenal Teresita Basa. Polisi lantas menjelaskan bahwa Teresita adalah klien Milak. Mereka juga menggambarkan ciri-ciri wanita itu. 

"Ooh, dial Baik tuh orangnya. Meski orang Filipina, ia bisa ngomong Spanyol. Kok mau-maunya dia minta jasa si Banci Milak." 

"Di mana Anda tanggal 21 Januari 1977?" tanya Epplen. "Dua puluh satu Januari? Boy, saya ada di Island (Puerto Rico, red.) sejak awal Februari sampai 5 April." 

"Ada yang tahu Anda ke sana?" 

"Huh, man! Semua juga tahu. Tanya saja tetangga, famili, biro perjalanan. Saya masih utang tiket. Mau nomor teleponnya?" 

"Mau." 

Pemuda itu meraih brosur biro perjalanan dari atas TV. "Nih! Nomornya ada di situ."

 

Kesurupan

Hari demi hari berganti. Bulan demi bulan pun berlalu. Sejak akhir Juni, Remy Chua sulit tidur pulas. Begitu ia memejamkan mata, muncullah wajah Teresita dalam benaknya. Sebentar jelas, sebentar kabur. 

Selama hampir sebulan Remy Chua benar-benar merasa tersiksa. la lelah secara fisik maupun mental. Belakangan ini kalau wajah Teresita terbayang, di balik wajahnya, Remy selalu melihat munculnya gambaran wajah lain yang buram. 

Suatu malam, Remy mendapat tugas menangani pasien yang keadaannya sangat kritis, karena ditikam di bagian dada kiri. Pasien bernama Freddie Tanaca itu berayahkan orang Jepang, tetapi beribukan orang Filipina. Menurut Allan Showery yang bekerja membantu-bantu para ahli terapi, Tanaca itu jago karate.

Sebelum masuk ke ruang perawatan, Remy memeriksa meja dorong berisi peralatan untuk membantu pernapasan pasiennya, Ternyata di meja itu belum ada masker oksigen. 

"Al, ambilkan masker oksigen, dong," katanya kepada Al Showery. Setelah itu ia memeriksa laporan perihal keadaan pasien. Saat itulah ia merasa sangat kaget karena ada tangan nyelonong dari belakang lehernya.

Tak terasa ia berseru sambil menoleh ke belakang. Al Showery tersenyum sambil mengangsurkan masker oksigen. 

"Nih, maskernya, Bu Chua." 

Memandang wajah Remy, senyum Al lenyap seketika. Remy menyambar masker itu, lalu mendorong meja peralatannya menjauhi Al. Setelah tugasnya selesai, Remy mengembalikan meja berisi peralatan ke ruang tempat Al Showery sedang kerepotan mencuci perabot.

"Bantu dong," kata Al. Tiba-tiba saja di benak Remy muncul wajah buram yang biasa ada di belakang wajah Teresita. Wajah itu makin lama makin terfokus, makin lama makin jelas. Wajah Al.

Tiba-tiba pula terlontar dari mulut Remy: 

"Enggak! Itu pekerjaanmu. Aku punya pekerjaan sendiri. Aku ahli terapi. Kamu cuma pembantu." Al Showery kaget mendengar kata-kata yang disertai tatapan menusuk itu.

"Kenapa sih Anda benci sekali kepada saya, Bu Chua?" tanyanya. 

Remy menarik napas panjang. Suaranya normal kembali. "Aku tidak membencimu, Al. Sungguh." Setelah itu ia keluar. 

Di luar digamitnya lengan Jennie Price yang sedang lewat. 

"Jennie," bisiknya. "Aku takut kepada Showery." 

"Aku juga, Remy," jawab Jennie. "Naty yang menggantikan Teresita minta berhenti sebab dikejar-kejar Al. Bahkan Rudy juga takut. Rudy kemarin ingat, tanggal 21 Februari itu Teresita bilang kepadanya, Al akan datang ke apartemennya untuk membetulkan televisinya." 

"Oh, Jennie! Akhir-akhir ini aku merasa tidak sehat. Boleh aku cuti beberapa hari?"

"Minta izin saja kepada bos." 

Keesokan harinya Remy sudah libur. Sore hari, Remy merasa dicekam ketakutan sampai semua lampu dinyalakannya. Saat itu di rumahnya cuma ada dia dan anak-anaknya. Lalu diteleponnya orang tuanya, Vicente dan Guillerma, yang segera datang menemani. Guillerma menelepon menantunya yang sedang berdinas di rumah sakit, sehingga dr. Jose Chua buru-buru permisi pulang, sambil berbekal obat penenang.

Setelah diberi obat penenang, Remy tertidur. Ini pertama kalinya ia bisa tidur nyenyak setelah berbulan-bulan dihantui bayangan arwah Teresita. 

Suaminya merasa lega. Karena merasa tak ada yang mesti dirisaukan lagi, sang suami menelepon pengacaranya, Al Bascos, yang mengurus pembelian rumah baru mereka.

"Hai, Joe! Apa kabar!" sambut Al Bascos ceria. 

"Baik, Al!" seru Joe sama cerianya. 

Tahu-tahu saja dari kamar terdengar jeritan Remy yang mendirikan bulu roma. 

Remy serasa mendengar kata 'Al' bergema dari dinding liang kubur: Al ... al ... al ... al ... al ... al ... al. Lalu kegelapan seperti menyelimutinya dan ia berteriak sekuat tenaga: 

"Ayiiii! Ayiiii!"

Joe melepaskan gagang telepon dan bersama kedua mertuanya berlari ke kamar Remy. Astaga! Dengan mata tertutup dan tangan terentang Remy berjalan ke arah mereka sambil berteriak dan berbicara dalam bahasa Spanyol. Padahal Remy tidak bisa berbahasa Spanyol. la dan suaminya berasal dari P. Luzon yang memakai bahasa llocano selain Tagalog.

Kemudian Remy terempas ke ranjang. Orang tuanya berusaha mengatur letak tubuhnya supaya lebih enak, tapi mereka tidak berhasil menggerakkan tubuh kecil itu. Sebagai dokter berpengalaman Joe tahu cara menangani pasien yang sedang tidak sadar. Namun, ia pun tidak bisa menggerakkan istrinya.

“Aku Teresita Basa," kata Remy dengan suara keras dan jelas. Bulu kuduk Joe berdiri, sebab Remy bukan berbicara dengan suaranya. 

"Mau ... mau apa ... Anda kemari?" tanya Joe terbata-bata. 

"Dr. Chua, aku ingin minta tolong. Mereka belum menindak orang yang membunuhku." 

"Bagaimana aku bisa menolong?" 

"Anda harus menolongku. Beri tahu polisi. Mereka akan percaya sebab Anda dokter." 

"Apa yang mesti kuberitahukan?" 

Suara yang keluar sekarang lebih lembut dan feminin, dan kemudian seperti orang menahan tangis.

"Seorang pria masuk ke apartemenku. la mencekikku dan ... menikamku dan ...." Kepala Remy terangkat dari bantal dan dengan nada kemarahan dari mulutnya terlontar teriakan: 

"Ayiii! Mama! Mama Ayudame por favor, Ayudame!”

"Teresita, aku ingin menolong, tapi tak tahu bagaimana," kata Joe memohon. 

"Beri tahu mereka, dr. Chua! Beri tahu mereka!" Tubuh Remy bergetar. Berangsur-angsur suasana di kamar ini tak menakutkan lagi. Joe memegang tangan istrinya yang kini sudah lemas. Teresita sudah pergi. 

"Nanang, (ibu, Red.) aku haus," kata Remy.

Joe membantu istrinya duduk di ranjang dan Guillerma datang membawakan air. 

Remy bertanya, "Ada apa sih? Kenapa aku, Joe? Ada apa?" 

"Enggak apa-apa," sahut suaminya. "Istirahatlah saja dulu, sayang!" 

"Remy kesurupan," bisik Vicente kepada menantunya setelah Remy tidur.

 

Tak ada yang percaya 

Kini setelah peristiwa itu, justru dr. Jose Chua jadi serba salah. Siapa yang mau percaya kalau istrinya kesurupan Teresita? Sebelum bertindak lebih jauh melaporkan kepada polisi, Jose memilih berkonsultasi dengan seorang psikiater. 

"Dr. Friedman," katanya hati-hati. "Saya menemukan kasus menarik. Seorang wanita kesurupan wanita lain yang dibunuh enam bulan lalu ...." 

"Waah, kasus orang yang merasa kesurupan sih banyak di departemen saya," dr. Friedmann lantar berbicara panjang-lebar tentang pelbagai pernah ditemuinya. Kesimpulannya cuma satu: mereka sinting.

Psikiater saja tidak percaya. Apalagi polisi, demikian pikir Joe. Belum lagi tenang pikiran Joe, dua hari kemudian Remy kesurupan lagi. 

"Dr. Chua, sudahkah Anda melapor ke polisi?" tanya suara asing dari mulut Remy. Joe mengaku belum. Alhasil, suara itu mendesak dengan nada marah dan juga hampir putus asa.

"Bagaimana aku bisa melapor kalau tidak ada buktinya," jawab Joe, seakan membela diri. 

"Bukti? Aku 'kan dibunuh." 

"Tapi oleh siapa dan bagaimana?" 

"Al membunuhku! Allan!" seru suara itu sampai seluruh ruangan terasa bergetar. "Ayiii, binatang!" 

"Coba ceritakan Teresita bagaimana kisah sebenarnya." 

"Aku membukakan pintu untuk Allan, lalu ia membunuhku." 

"Kenapa kaubukakan pintu?" 

"Dia 'kan temanku di rumah sakit.”

Saat itu Vicente, ayah Remy tak tahan lagi. la mengacung-acungkan tongkat panjang sambil berseru. 

"Ayo! Enyah roh! Jangan ganggu anakku!"

"Hei, kau orang tua! Kau tak bisa mengusirku. Dr. Chua beri tahu polisi! Beri tahu!" perintah suara itu sebelum meninggalkan Remy. Seperti biasa, setelah sadar, Remy merasa haus.

Ketika Remy merasa sudah mulai sehat, ia diantar suaminya ke rumah sakit. Atasannya marah karena Remy tidak masuk beberapa hari. Syukurlah, Joe berhasil meyakinkan atasan istrinya kalau memang Remy perlu istirahat beberapa hari. Pada saat mereka sedang berbicara, Allan Showery masuk. Remy serta merta memegang lengan Joe erat-erat sampai Joe kesakitan dan keheranan.

"Allan Showery," begitu atasan Remy memperkenalkan Joe kepada Allan. Tanpa sadar, Joe cepat-cepat mengalingi istrinya dari Al, seakan-akan menjadi perisai. 

"Joe, pulang yo!" ajak Remy.

Joe membawa istrinya ke dr. Terry Winograd. Menurut dr. Winograd, Remy mengalami gangguan psikis, bukan mental. Dr. Winograd percaya pada apa yang diceritakan Joe. Namun ia juga sependapat, kalau melapor ke polisi, bisa jadi Joe dikira kurang waras dan diberhentikan dari kantornya. Malah jangan-jangan Joe sekeluarga dipulangkan ke Filipina. 

Dalam perjalanan pulang, Joe berpikir akan menulis surat kaleng saja kepada polisi, memberitahukan Teresita Basa dibunuh oleh Allan, teman Teresita di rumah sakit.

 

Kesurupan lagi

Sebelum Joe sempat melaksanakan niatnya, Remy kembali kesurupan. Lagi-lagi suara yang mengaku Teresita bertanya apakah Joe sudah melapor ke polisi.

"Belum!" jawab Joe sambil mengepalkan tangannya erat-erat. "Kalau melapor, aku pasti disangka gila. Mereka tidak akan percaya kepadaku, Teresita."

"Dr. Chua, orang itu, Allan Showery, mencuri perhiasan saya dan diberikan kepada pacarnya yang sekarang hidup bersamanya." 

Allan Showery 'kan pria yang menakutkan Remy dan yang menurut Remy sering sesumbar pandai olahraga bela diri serta bekas tentara AS di Vietnam, pikir Joe.

"Bagaimana aku bisa mengenali perhiasan itu?" 

"Estupido (bodoh)!" teriak Teresita. "Jangan khawatir. Banyak yang bisa mengenalinya. Sepupu-sepupuku, Ron Somera, dan Ken Basa. Dua temanku, Richard Pessoti dan Ray King. Telepon mereka. Nomor telepon Ron 786- 4215."

Joe berteriak kepada putrinya yang sedang berdiri di pintu agar bergegas mencatat. 

"Aku membeli beberapa perhiasan itu di Prancis. Ada cincin yang merupakan hadiah ayahku untuk ibuku. Al mengambilnya. Mama! Ayiii! Mama!"

"Bilang ke polisi, Al datang untuk membetulkan TV-ku dan ia membunuhku dan membakarku! Bilang ke polisi! Bilang ke polisi! Alangkah sakitnya, Mama!" 

Air mata meleleh di pipi Vicente. Pria tua itu yang semula tidak percaya akhirnya berlutut berdoa.

"Nona, tinggalkan anakku, Nona. Kami akan menolong. Aku berjanji." 

Akhirnya, setengah putus asa Joe menelepon polisi. Hasilnya, Detektif Joseph Stachula datang mewawancarai suami-istri Chua. Pulangnya ia membuat laporan. Dari catatan polisi, ketahuan bahwa Allan Showery pernah berulang kali berurusan dengan pihak yang berwajib di New York City. Dua kali ia ditahan karena memperkosa. Korban diperkosa di apartemen masing-masing dan sebelumnya mereka sudah mengenal Allan Showery. Pada saat Teresita dibunuh, Al tinggal tidak jauh dari rumah korbannya.

Stachula dan Epplen mendatangi Allan Showery di tempat tinggalnya yang baru. Di hadapan polisi Al tampil penuh rasa percaya diri. Ketika Al diajak ke kantor polisi untuk "berbincang-bincang" soal kematian Teresita Basa, ia pun tidak keberatan.

Kepada Detektif Epplen, ia mengaku kenal baik dengan Teresita. Katanya, giliran dinas mereka bersamaan waktunya, dan rumah mereka berdekatan, sehingga mereka sering mengendarai bus yang sama. Tanggal 21 Februari pun mereka pulang bareng.

Akhirnya, Al pun mengaku, ia berjanji akan membetulkan TV Teresita malam itu, tetapi menyangkal datang dan membunuh Teresita. Keterangannya mengenai hal ini berbelit-belit dan berubah-ubah. Antara lain, ia tidak jadi datang karena sore itu harus membetulkan alat elektronik di rumahnya. Kalau tidak percaya, tanya saja Yanka, istrinya. 

Saat Al masih menyangkal di kantor polisi, Stachula mendatangi rumah Al untuk menanyai Yanka. Wanita itu polos. la mengaku bukan istri resmi. Al dan dia hanya hidup bersama. la mengaku diberi perhiasan pada bulan Februari atau Maret. Kata Al, hadiah Natal yang terlambat.

Menurut Yanka, Al tidak paham soal peralatan elektronik dan tidak pernah membetulkan peralatan itu di rumah. 

Stachula mengajak Yanka ke kantor polisi sambil membawa perhiasan-perhiasan pemberian Al. Lalu diteleponnya nama-nama yang disebutkan oleh Teresita lewat mulut Remy. 

Di kantor polisi, ketika Pessoti tiba dan melihat Yanka sedang duduk menunggu di ruang tamu, ia menarik lengan Stachula ke samping dan bertanya kepada detektif itu. 

"Lo, kok wanita itu memakai cincin Teresita?" 

Pessoti dan King, yaitu teman-teman Teresita, mengenali beberapa perhiasan lain yang dibawa Yanka. Perhiasan itu biasa dipakai Teresita. Sementara itu Ken Basa mengenali sebuah cincin yang dulu merupakan pemberian ayah Teresita untuk ibu Teresita. Sebuah liontin dikenalinya juga sebagai milik Teresita. 

Allan Showery mula-mula menyangkal bahwa perhiasan itu milik almarhumah Teresita Basa. Katanya, semua itu ia beli. Namun ia tidak mempunyai surat tanda pembeliannya. Akhirnya, ia mengaku juga bahwa memang itu perhiasan Teresita dan bahwa Teresita dibunuhnya. Katanya, ia butuh uang. Menurut teman-temannya, Teresita kaya. la percaya karena wanita itu memberinya persen lumayan besar kalau meminta pertolongannya.

Suatu kali Teresita mengeluh TV-nya rusak. Katanya, sudah dua kali TV-nya direparasi, tetapi rusak lagi. Al membual pandai membetulkan TV dan menawarkan jasanya. Teresita senang sekali dan meminta Al datang tanggal 21 Februari supaya pada hari berikutnya sudah bisa menonton pertunjukan Boston Philharmonic.

Al bercerita, sore itu ia dibukakan pintu oleh Teresita. Ketika Teresita sedang membelakanginya untuk menutup pintu kembali, ia mencekik wanita itu dengan gerakan haIf-nelson.

Cerita selebihnya kita sudah tahu. 

Tanggal 23 Februari 1979, dua tahun setelah tewasnya Teresita, di depan Hakim Barbaro, Allan Showery mengaku bersalah. la dijatuhi hukuman 14 tahun penjara untuk pembunuhan ditambah 4 tahun untuk perampokan bersenjata, dan 4 tahun untuk pembakaran. 

Seiring dengan masuknya Allan ke penjara, kehidupan keluarga Chua kembali tenang. Barangkali karena keinginannya sudah terpenuhi, Teresita Basa tidak penasaran lagi. (C. Mercado)





" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350520/jeritan-dari-liang-kubur" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530259000) } } [3]=> object(stdClass)#81 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350361" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#82 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/playboy-banyak-utang_-pixabayjp-20220629070759.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#83 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Bersama anak tirinya, Debra Hartmann melaporkan kematian suaminya ke polisi. Saat diperiksa, tubuh Werner Hartmann terbujur kaku dipenuhi peluru." ["section"]=> object(stdClass)#84 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/playboy-banyak-utang_-pixabayjp-20220629070759.jpg" ["title"]=> string(20) "Playboy Banyak Utang" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:08:15" ["content"]=> string(19693) "

Intisari Plus - Bersama anak tirinya, Debra Hartmann melaporkan kematian suaminya ke polisi. Saat diperiksa, tubuh Werner Hartmann terbujur kaku dipenuhi peluru. Ini jelas bukan kasus bunuh diri.

------------------

Fajar belum lagi menyingsing ketika polisi yang bertugas jaga di Mabes Northbrook, Chicago Utara, menerima kedatangan seorang wanita berambut pirang yang ketakutan. 

"Suami saya ... mungkin bunuh diri. la bermandikan darah di kamar mandi " kata wanita langsing berumur 25-an itu. Seorang gadis remaja berdiri di belakangnya. Hari itu tanggal 9 Juni 1982. 

Si pirang dihadapkan pada Wakil Kepala Polisi James Wallace. la mengaku bernama Debra Hartmann. Beberapa menit yang lalu, katanya, bersama anak tirinya ia pulang dari kelab malam ke rumah mereka yang letaknya cuma kira-kira 1 km dari mabes. Ketika masuk ke kamar tidur utama di tingkat atas, ia kaget sekali melihat suaminya, Werner, terbujur dengan berlumuran darah di lantai kamar mandi dalam keadaan telanjang. 

Dalam keadaan panik, ia menyambar tangan anak tirinya untuk kabur ke kantor polisi. Saking terkejutnya ia sampai tidak ingat untuk menelepon saja.

Wallace lantas menemani kedua wanita itu ke rumah mereka. Tampaknya keluarga Hartmann kaya. Rumah mereka besar, bertingkat dua, dan dipayungi pepohonan. Di halaman diparkir sebuah Mercedes dan sebuah Rolls Royce. Lantai rumah dilapisi permadani tebal, sedangkan perabot rumah tangga di situ anggun. 

Werner Hartmann yang bertubuh kekar terbujur di lantai. Separuh tubuhnya berada di kamar tidur, separuh lagi di kamar mandi. Pria itu cukup tampan. Hidungnya seperti paruh rajawali, bentuk bibirnya bagus, dan dagunya memperlihatkan kesan kejantanan. 

Umurnya 38 tahun. Sayang, ia sudah menjadi mayat. Jelas kematiannya bukan karena bunuh diri. Sekali pandang saja kelihatan kalau dadanya dilubangi banyak peluru. la dibunuh dengan sengaja.

Wallace memanggil satu tim peneliti yang secara profesional mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari tempat kejadian. Pada saat mereka meneliti setiap jengkal rumah itu, seorang detektif menanyai janda Werner Hartmann. 

Debra Hartmann tidak bisa menambahkan banyak keterangan. Sehari sebelumnya, ia berangkat bersama anak tirinya yang berumur 14 tahun ke sebuah tempat di pinggiran kota, untuk makan malam bersama teman-temannya. Selesai makan malam mereka bermobil ke tempat minum terkenal yang terletak di luar kota juga, tetapi di ujung yang lain. Dari situ mereka sampai hampir pukul 04.00 keesokan harinya. 

Rupanya pada saat istri dan putrinya berfoya-foya dengan teman, ada orang masuk ke rumah Werner Hartmann. Waktu itu tampaknya Hartmann baru keluar dari bak mandi sambil berselimut handuk.

 

Istri dan mantan istri serumah

Rumahnya berisi banyak barang yang bisa membuat maling tergiur, tapi tak ada satu pun pintu dan jendela di situ yang memperlihatkan tanda-tanda bekas dibuka dengan paksa. Seperti layaknya rumah-rumah mewah di daerah permukiman itu, rumah Hartmann dipasangi alarm anti maling yang canggih. Alat yang bisa mengeluarkan bunyi itu dibeli pemilik rumah setelah kedatangan maling berulang-ulang. Cuma sayangnya, alat canggih itu sering dibiarkan padam saja, apalagi kalau sedang ada orang di rumah, seperti kali ini. 

Namun, pasti bukan maling yang masuk ke rumah Hartmann. Harta bendanya di tingkat atas maupun di lantai dasar tidak diganggu. Yang dimaui si penembak hanya jiwa Hartmann. 

Karena itulah para dektektif lantas menggali kehidupan Werner Hartmann. Ternyata banyak orang yang bisa memiliki alasan untuk membunuhnya.

Sumber kemakmuran Hartmann adalah bisnis stereo mobilnya di Franklin Park, pinggiran Kota Chicago Barat. Para pelanggannya orang-orang gedean. Untuk menjalankan bisnisnya itu Hartmann mengandalkan keluarganya. 

Debra istrinya dan seorang kerabat dekatnya bekerja di perusahaan itu. Namun, yang membuat polisi terheran-heran ialah bahwa mantan istri Hartmann pun karyawan perusahaan tersebut. la mengurusi pembukuan. Lebih mencengangkan lagi, mantan istri dan istri Hartmann tinggal serumah! Hal itu sudah berlangsung sebulan.

Tadinya mantan istri Hartmann tinggal di Florida dengan kedua putri mereka. Lalu Hartmann menghubunginya, meminta si mantan istri kembali ke Chicago untuk membantunya dalam pembukuan. Memang ketika masih menjadi Ny. Hartmann, ia menangani pekerjaan itu dan hasilnya baik sekali. 

Si mantan istri setuju dengan syarat boleh membawa serta putri bungsu mereka. Syarat itu diterima. Kepindahan mantan istri Hartmann dan putrinya ke rumah Werner Hartmann diusulkan oleh Debra!

Tak terbayangkan bagaimana kesulitan yang terjadi kalau mantan istri dan istri tinggal serumah. Tapi Debra Hartmann bersikeras bahwa mereka sangat akur. Para detektif sulit untuk mempercayai pengakuan ini. 

Penyelidikan menunjukkan bahwa Hartmannlah yang minta cerai dengan alasan ia menderita kekejaman mental yang berkepanjangan. Pernikahan mereka sudah berumur 13 tahun ketika perceraian terjadi pada tahun 1977. Mereka menikah muda: Werner baru berumur 20 tahun dan jstrinya 15 tahun.

Tak lama setelah bercerai, Hartmann bertemu dengan Debra dan mereka menikah tahun 1978. 

Karena menemukan masa lalu yang penuh badai seperti itu, polisi memusatkan perhatian pada si mantan istri. Pada malam Werner ditembak, mantan istrinya tidak ada di rumah. la baru muncul pukul 09.00!

Apa keuntungan yang ia peroleh kalau mantan suaminya meninggal? Dokumen perceraiannya menunjukkan bahwa selama ini ia menerima tunjangan AS $ 200 (termasuk tunjangan anak) seminggu. Tunjangan itu akan diperolehnya selama sepuluh tahun. Sebagai pemegang buku di perusahaan mantan suaminya wanita itu mendapat gaji. Apakah ia mau kehilangan penghasilan tetap demi masa depan yang belum ketentuan? Tampaknya uang bukan motif baginya untuk melakukan pembunuhan. 

Ternyata wanita ini juga mempunyai alibi yang kuat sekali pada malam mantan suaminya dibunuh. Jadi, polisi pun mencoret namanya dari daftar orang yang dicurigai.

 

Bisa bersaing dengan Madonna

Hasil autopsi mengungkapkan Werner Hartmann ditembusi belasan peluru. Diketahui pula ia ditembak dari jarak sangat dekat, mungkin tidak sampai 30 cm. Tampaknya ia baru melangkahkan sebelah kakinya ke luar kamar mandi ketika diberondong pelor, lalu Hartmann mencoba berlari masuk ke kamar mandi. 

Pada saat ia berbalik itulah rupanya beberapa peluru menembus punggungnya. Salah sebuah di antaranya mematahkan tulang belakang. Semua peluru berasal dari sebuah revolver kaliber .38. Berarti suatu ketika si pembunuh berhenti menembak untuk mengisi peluru. 

Menghabiskan isi revolver untuk menembak seorang manusia lalu berhenti untuk mengisi dan menembak lagi korbannya yang sudah tidak berdaya, menunjukkan si pembunuh memakai peluru berlebihan atau mencerminkan luapan kebencian. Pembunuh profesional takkan melakukan perbuatan seperti itu.

Tapi ada keanehan lain: beberapa selongsong peluru tidak ditemukan. Berarti si penembak memungutinya dulu sebelum meninggalkan korbannya. 

Tampaknya tak seorang pun di luar rumah yang mendengar bunyi tembakan. Maklum, rumah di sana besar-besar dan halamannya luas-luas.

Hari pertama lewat. Polisi belum bisa menentukan motif pembunuhan atas Werner Hartmann. Mereka akhirnya menduga, betapapun tampaknya motifnya uang. Hartmann mempunyai reputasi sebagai playboy kaya. la selalu memakai kemeja sutera, kalung emas, setelan jas yang dibuat khusus menurut ukuran tubuhnya dan juga memiliki seorang istri yang masih muda, yang bisa bersaing dengan Madonna dalam soal daya tarik seksual. 

Surat-surat Hartmann diperiksa. Ternyata ia tidak semakmur yang tampak dari luar. Banyak utang yang belum dibayarnya. Beberapa tagihan bahkan sudah berumur beberapa bulan. Lincoln Continental, Mercedes, dan Rolls Royce-nya tidak bisa dikatakan miliknya, karena dibeli dengan kredit dari bank. Mobil-mobil itu tidak lama lagi akan disita oleh bank yang meminjamkan uang kepadanya.

"Apakah Anda tahu keadaan keuangan keluarga Anda?" tanya polisi kepada jandanya. Debra mengaku bahwa mereka hidup lebih besar pasak daripada tiang. Bisnis mereka berjalan baik, katanya, tetapi hasilnya sebetulnya tidak cukup untuk membeli mainan mahal (Rolls Royce) seharga AS $ 100.000. Karena itulah mereka membelinya secara kredit. Karena keenakan berutang, utang mereka makin lama makin besar sampai Debra takut. 

Kalau terdesak pembayaran, kata Debra, suaminya terpaksa meminjam pada lintah darat. Sayangnya, bisnis mereka tidak menghasilkan cukup uang untuk membayar utang-utang dari bank, sehingga mereka makin erat dicengkeram lintah darat.

 

Informasi dari FBI

Apakah salah seorang dari lintah darat itu mengutus tukang pukulnya untuk memberi pelajaran kepada peminjam yang tidak sanggup membayar? pikir polisi. Mereka berniat mengecek. Pengecekan mengungkapkan hal-hal lain. 

Hartmann dan istrinya yang muda dan cantik itu ternyata pernah beberapa kali berurusan dengan polisi. Bulan September tahun sebelumnya polisi mengepung sebuah Rolls Royce yang dikendarai oleh seorang wanita seksi yang sedang mabuk. Para penumpang lainnya juga mabuk. Mereka melempar-lemparkan botol minuman ke luar. 

Ketika mobil itu berhasil dihentikan dan diperiksa, di bawah tempat duduk pengemudi ditemukan sebuah pistol otomatis kaliber .38 yang tidak tercatat. Wanita seksi itu mengaku bernama Debra Hartmann. 

Pekerjaannya penari striptease di kelab malam. Teman-temannya yang berpakaian keren gaya orang berduit ternyata sering ditemui di daerah-daerah maksiat di Chicago. Seorang di antaranya bahkan di kenal sebagai pengedar obat bius di Florida.

Dua bulan sebelum kematian suaminya, nama Debra masuk ke dalam daftar hitam polisi lagi. Tetangga-tetangga mereka mendengar tembakan di rumah Hartmann. Jadi, ada yang cepat-cepat menelepon polisi. 

Polisi menemukan Werner Hartmann sedang naik pitam. Katanya, ia bertengkar dengan Debra, lalu Debra pergi dengan Rolls Roycenya. Ketika ia berangkat itu bannya mencicit-cicit. Hartmann memberondongnya dengan peluru. 

Debra selamat tetapi pintu Rolls Royce mewah itu bolong-bolong di sisi pengemudi. Bahkan ada peluru yang tersesat ke sasis. Werner Hartmann diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman percobaan karena tidak berhati-hati menangani senjata api.

Setelah itu tidak ada peristiwa lain yang menarik perhatian polisi di keluarga Hartmann. Namun, tanggal 9 Juni 1982 Werner Hartmann ditemukan tewas. 

Sampai hari keempat tidak ada perkembangan yang bisa mengungkapkan siapa pembunuhnya. Baru sebulan kemudian ada informasi menarik dari FBI. 

Para teknisi FBI mengevaluasi sejumlah tes yang dilakukan oleh polisi terhadap Debra dan anak tirinya pada saat mereka melaporkan pembunuhan atas Werner Hartmann. Tes rutin itu antara lain ada yang disebut tes "parafin" dan dilakukan pada tangan. Tangan Debra Hartmann bersih, tapi tangan anak tirinya samar-samar menunjukkan bekas mesiu.

Polisi pun menghubungi ibu gadis itu, yaitu mantan istri pertama Hartmann yang kini sudah kembali bersama putrinya ke Florida. Menurut wanita itu, beberapa minggu terakhir ini putrinya kelihatan senewen, apalagi kalau orang menyebut-nyebut kematian ayahnya. 

Pernah ia ngaco, yaitu berkata ia menembakkan senjata api di tempat kejadian. Sang ibu mengira ini cuma imajinasi anak, yang mengalami guncangan mental karena ayahnya terbunuh. Namun, setelah mengetahui hasil tes, polisi menganggap benar kata-kata gadis itu patut diperhatikan dengan serius.

 

Ada orang ketiga

Mereka, ibu dan anak diminta ke Chicago. Sementara itu seorang dokter ahli patologi mengungkapkan bahwa penembakan korban dilakukan pada dua waktu yang berbeda. Peluru-peluru yang menewaskan Hartmann, menembusi tubuhnya kira-kira pukul 22.00, tanggal 8 Juni. Sejumlah peluru lain terhujam di badannya beberapa jam setelah ia menjadi mayat, yaitu pada tanggal 9 Juni pagi.

Karena bingung, polisi pun meminta bantuan seorang ahli hipnotis. Walaupun informasi yang diperoleh dengan cara ini tidak berlaku di pengadilan; namun mereka berharap tindakan ini akan bisa membukakan jalan ke penyidikan selanjutnya.

Putri korban bersedia dihipnotis. Gadis itu ingat ia melihat orang ketiga di rumah ayahnya pada saat ia dan ibu tirinya menemukan jenazah. Orang ketiga itu adalah kenalan Debra, bernama John Korabik. 

Korabik diketahui sebagai pemain tenis profesional, berumur 25 tahun dan bekerja pada sebuah kelab malam di Chicago Utara. la belum pernah tercatat melakukan tindak kriminal.

Menurut beberapa sumber yang dihubungi polisi, Debra dan John sudah berkasih-kasihan cukup lama. Apakah pertengkaran antara Debra dan suaminya dua bulan yang lalu disebabkan karena John Korabik? 

Ketika Werner bermaksud mengundang istrinya untuk mengurusi pembukuan, Debra menganjurkan agar si bekas istri tinggal serumah dengan mereka. Apakah ia ingin hubungan suaminya dengan si mantan istri bertaut kembali, supaya ia bebas berkasih-kasihan dengan pacarnya?

Mendapat informasi baru ini, polisi mendatangi lagi Debra Hartmann. Janda muda itu sudah tinggal bersama John Korabik. Cuma ia bersikeras bahwa hubungan cintanya dengan John baru terjalin setelah suaminya meninggal. la menyangkal keras kekasihnya itu ada di tempat kejadian pada saat ia menemukan mayat suaminya.

Tentu saja polisi tidak lupa mengecek asuransi jiwa Werner Hartmann. Ternyata ia menutup dua asuransi jiwa. Kalau ia meninggal, jandanya akan menerima hampir AS $ 1 juta.

Walaupun demikian, tidak ada bukti-bukti yang kuat bagi polisi untuk menahan Debra. Kasus ini terkatung-katung selama lima tahun. Tampaknya kematian Hartmann akan menjadi kasus yang tidak terpecahkan.

Tak disangka-sangka keterangan yang berharga keluar dari mulut seorang pencuri mobil dan penjual senjata. Ken Kaenel, yang sedang menjalani hukuman. la bercerita kepada polisi bahwa pada tahun 1982 ia pernah ditawari upah AS $ 50.000 untuk membunuh seorang pengusaha Chicago bernama Werner Hartmann. 

Orang yang menawarinya itu adalah seorang pemain tenis profesional bernama John Korabik. Untuk melaksanakan pembunuhan itu ia dibekali sebuah senjata otomatis kaliber .38. 

Ketika Kaenel menguji senjata itu di ruang bawah tanah rumahnya, ternyata pelurunya melenceng terus. Jadi, katanya, ia mengembalikan senjata itu kepada Korabik seraya berkata, "Ogah, ah! Terima kasih."

Buru-buru polisi pergi ke ruang bawah tanah yang disebutkan Kaenel. Di tembok mereka mencungkil beberapa peluru yang cirinya ternyata sama dengan yang diambil dari mayat Werner Hartmann. Berarti ada hubungan antara senjata yang dipakai membunuh dengan John Korabik. 

Kaenel dimintai bantuan. Pria berumur 50-an itu ingin buru-buru keluar dari penjara, jadi ia bersedia. Dengan dibekali alat perekam pembicaraan, ia mendatangi Debra Hartmann yang saat itu tinggal sendirian dalam sebuah apartemen di Deerfield. 

Hubungannya dengan John Korabik sudah lama berakhir. Mereka cuma tahan tinggal bersama selama setahun. Perpisahan terjadi gara-gara senjata api meledak di rumah yang mereka tinggali dan melukai kaki Korabik. Menurut laporan polisi, ledakan itu tidak sengaja terjadi. Namun, tak lama setelah itu Debra meninggalkan kekasihnya.

Debra melayani Kaenel bercakap-cakap dengan baik. Kaenel menyinggung pembunuhan atas Werner Hartmann dan menyatakan bahwa hampir saja ia yang menghabisi Hartmann. Mulut Debra pun bocor. Katanya, ia menjanjikan kekasihnya, John Korabik itu, uang AS $ 200.000 untuk menyingkirkan suaminya. Kemudian Korabik memoroti uangnya.

Kini polisi mempunyai alasan untuk membawa Debra Hartmann dan John Korabik ke depan meja hijau. Hal itu terlaksana tanggal 20 Januari 1989. Jaksa Steven Miller dan John Farrel menuduh Debra Hartmann dan John Korabik berkomplot membunuh Werner Hartmann dengan tujuan mendapatkan asuransi jiwanya. 

Putri Hartmann tidak dituntut. Hasil penyidikan mengungkapkan gadis umur 14 tahun itu dibawa ke rumah ayahnya dan dipaksa menembakkan senjata ke mayat ayahnya. Setelah itu ia disuruh tutup mulut. Tujuan orang-orang dewasa yang memaksanya itu ialah, kalau ia buka mulut, mereka akan menyatakan dialah yang bertanggung jawab sebab bukti menunjukkan ia menembakkan senjata yang dipakai membunuh. 

Pada tanggal 12 Maret 1990 Debra Hartmann dijatuhi hukuman 22 tahun penjara dan John Korabik kebagian 16 tahun penjara. (Trgu Johnson)




" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350361/playboy-banyak-utang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656529695000) } } [4]=> object(stdClass)#85 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3305986" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#86 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/12-peluru-untuk-donna_velizar-iv-20220603054449.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#87 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "DR. John Branion bergegas pulang setelah selesai mengunjungi pasiennya. Sesampainya di rumah, dia menemukan istrinya terkapar dengan 12 lubang peluru." ["section"]=> object(stdClass)#88 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/12-peluru-untuk-donna_velizar-iv-20220603054449.jpg" ["title"]=> string(21) "12 Peluru untuk Donna" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 17:45:19" ["content"]=> string(20978) "

Intisari Plus - DR. John Branion bergegas pulang setelah selesai mengunjungi pasiennya di rumah sakit. Dia berencana menikmati santapan siang bersama istri dan anak laki-lakinya. Nahas, sesampainya di rumah, John menemukan istrinya terkapar dengan 12 lubang peluru di tubuh.

-------------------------

Donna Brown Branion di usianya yang ke-40, adalah wanita yang mempunyai segala-galanya. Ia putri keluarga kaya dan berpengaruh yang menikah dengan seorang dokter terkenal dan ramah tamah. 

Putra mereka (4) sehat dan cakep. Keluarga Branion berdiam di sebuah rumah yang bagus di Hyde Park, Chicago. Mereka menikmati kehidupan sosial yang di masa itu cuma impian bagi kebanyakan orang kulit hitam.

Pada tahun 1967 itu, di Chicago memang hanya di Hyde Park-lah orang-orang kaya berkulit hitam dapat hidup dengan tenang dan diterima oleh tetangga sebelah-menyebelah. Percakapan pada pesta-pesta koktail di sini lebih cenderung tentang ilmu pengetahuan daripada olahraga, karena Merupakan kompleks perumahan Universitas Chicago. John serta Donna Branion selalu merupakan tamu-tamu terhormat di situ.

Tanggal 22 Desember 1967, Donna selesai dengan segala persiapan perayaan Natal. Ruang tamu telah dihiasi, juga pohon Natal yang gemerlapan dan harum dipasang di ruang tamu yang mewah.

Setelah menikmati sarapannya, Donna menyusun menu makan malam seperti yang direncanakan bersama suaminya. Dr. John Branion meninggalkan rumah pukul 09.00 dan mengantarkan anak ke taman kanak-kanak di dekat situ. Dari situ ia pergi ke RS Ida Mae Scott untuk mengunjungi pasien-pasiennya. 

Dalam perjalanan pulangnya ia menjemput anaknya seperti biasa. Mereka akan berkumpul lagi untuk makan siang.

 

Ditembus 12 peluru

Pada pukul 11.05, seorang tetangga Donna Branion baru pulang berbelanja. Kurang lebih 5 - 10 menit dia membereskan belanjaannya, terdengar suara seperti rentetan tembakan. Dia ingat betul sampai di rumah pukul 11.05, karena menyesal tadi pergi belanja lebih lama dari yang direncanakannya.

Beberapa menit kemudian, wanita ini lewat di jendelanya. Ia melihat John Branion lari lewat pintu depan dengan menggendong anak laki-lakinya. Kelihatannya ia histeris dan berteriak sekuat tenaga memanggil tetangga-tetangganya.

Dr. Branion mengangsurkan anaknya kepada tetangga sebelah rumah dan dengan terengah-engah mengatakan, "Tolong jaga dia. Sesuatu terjadi pada Donna!" Lalu ia lari kembali ke dalam rumah. Para tetangga, setelah beberapa saat terpana, membuntutinya.

Donna tertelentang di ruang cuci di seberang dapurnya yang besar dan berkilat. Dia mengenakan sweater coklat kesayangannya dan rok bawah coklat-putih. Tangannya berkacak pinggang dan kedua kakinya rapat menekuk ke kanan, seakan-akan tetap menjaga kesopanannya sampai mati.

Dua belas lubang peluru kaliber besar menembus wajah, kepala, dan lehernya. Donna Branion, wanita yang tercukupi segala-galanya itu, mati.

Sang suami hanya mampu menatap mayat istrinya dengan shock dan putus asa. Tangannya gemetar dan suaranya yang keluar cuma erangan. Kawan-kawan mencoba menghibur, sementara lainnya lagi memanggil polisi. Tetangga sebelah memanggil istrinya, yang juga dokter. Menurut dokter itu, setelah memeriksa beberapa detik, Donna tak tertolong lagi.

Karena panggilan darurat, pertama-tama yang datang petugas patroli. Sekali mengamati situasi, mereka memanggil tim detektif dan teknisi laboratorium lewat radio. Mereka mencatat nama setiap orang yang berada di dekat tempat kejadian, waktu kejadian, dan urut-urutan peristiwa dengan tepat.

Yang datang kemudian anjing-anjing pelacak, lalu ahli sidik jari, juru potret forensik, dan ahli mikroanalisis. Mereka mengambil contoh-contoh foto, rambut, bulu kain, dan serat. Setelah pekerjaan para teknisi selesai, mayat Donna dipindahkan. Detektif pun memulai pekerjaannya.

Mereka mewawancarai semua orang yang ada hubungannya dengan peristiwa itu, memeriksa betulkah orang-orang tersebut berada di tempat yang disebutkannya ketika peristiwa terjadi, meneliti hubungan orang-orang itu dengan korban, urut-urutan kejadian, dan sebagainya.

 

Versi Branion

Duka cita dr. Branion atas pembunuhan kejam terhadapnya seperti tidak berkeputusan, tetapi para detektif berhasil juga mendapat keterangan dari mulutnya, bahwa ia sampai di rumah pukul 11.45 bersama anaknya.

Kata dr. Branion, dia tiba di rumahnya, memanggil-manggil istrinya. Akhirnya, dia menemukan istrinya terbaring berlumuran darah di ruang cuci. Gagasan pertamanya adalah membawa anaknya ke luar rumah. Dia lari memanggil tetangganya, lalu kembali ke istrinya yang sudah menjadi mayat.

Apakah dr. Branion memeriksa kemungkinan istrinya benar-benar sudah tewas atau masih hidup? Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, ia yakin istrinya sudah tewas begitu ia melihatnya, karena ada warna kebiru-biruan di antara kakinya (karena jantung tidak lagi memompa darah melalui sistem sirkulasi, kekuatan gaya tarik bumi menyebabkan darah mengendap dan ini menimbulkan bintik-bintik keungu-unguan pada kulit. Makin lama mayat terbaring, makin kentara endapannya).

Seminggu sesudahnya, para detektif itu mendatangi para tetangga dr. Branion, menanyai dan mengumpulkan keterangan yang mungkin bisa jadi petunjuk memecahkan pembunuhan ini.

Tak seorang pun yang ingat melihat sesuatu yang mencurigakan di sekitar rumah dr. Branion pada hari kematian Donna. Tetapi dengan agak segan-segan, sedikit demi sedikit mereka mulai menceritakan bagaimana perkawinan Donna dan John sebenarnya.

Sering terjadi pertengkaran di rumah Branion. Bukan sekadar pertengkaran seperti yang biasanya dialami pasangan suami-istri. Pertengkaran mereka sering berlarut-larut dan terlalu sering. Juga sifatnya kejam. Pertengkaran mereka bisa terjadi setiap malam selama beberapa hari berturut-turut. Para tetangga tak bisa berpura-pura tidak mendengar teriakan-teriakan dan jeritan mereka.

Sudah beberapa bulan ini Donna menuduh suaminya berbuat serong dengan wanita lain, bahkan beberapa wanita. John Branion menyangkalnya. Kadang-kadang ia menjawab, kalaupun ia lari ke pelukan wanita lain itu adalah salah Donna sendiri.

Mendengarkan beberapa pendapat dari para tetangga Branion, detektif mulai menaruh perhatian khusus pada cerita versi Branion sendiri mengenai kematian istrinya.

 

Mampir dulu

Menurut dr. John Branion, dia meninggalkan rumah pada pukul 09.00, tanggal 22 Desember 1967. Anaknya diantarkan ke sekolah taman kanak-kanak di dekat situ. Dari situ ia menuju RS Ida Mae Scott, yang cuma beberapa blok dari rumahnya. Kunjungan pasien berakhir sampai pukul 11.30 dan ia meninggalkan rumah sakit.

Dalam perjalanan pulang, ia mampir menjemput anaknya dan menjemput seorang kawan wanitanya yang lanjut usia, yang rencananya diajak makan siang bersama keluarga Branion. Wanita itu merasa kurang enak badan dan membatalkan janji makan siangnya.

Ketika menjemput ke sekolah, anaknya sudah menunggu di luar. Mereka berdua tiba di rumah kira-kira pukul 11.45 dan waktu mereka ke dalam menemukan mayat istrinya.

Semua tempat yang didatangi dokter itu berjarak beberapa blok saja dari rumahnya, sehingga detektif tidak melihat adanya keanehan bila dokter itu meninggalkan rumah sakit baru pada pukul 11.30, menjemput anaknya, serta mampir ke rumah teman wanitanya, dan semuanya makan waktu 15 menit.

Meskipun tidak ada kecurigaan khusus terhadap Branion, Branion ditanyai pukul berapa tepatnya ia berada di rumah kawan wanitanya. Dia ingat betul waktunya, karena setibanya di rumah kawan wanitanya itu, tidak ada orang yang menunggunya, sehingga ia lalu menengok ke arlojinya dan mendapatkan ia tiba 2 atau 3 menit terlambat dari yang ia janjikan, yaitu pukul 11.30. Dia mengetuk pintu dan mendapat pesan bahwa janji makan siang bersamanya batal, karena kawan itu sakit.

Pukul berapa seingatnya ia sampai di sekolah taman kanak-kanak? Sekolah itu cuma beberapa blok dari rumah, jadi mungkin ia sampai di sekolah anaknya pukul 11.35. Buktinya, anaknya sudah menunggu di luar. Biasanya anaknya dijemput pukul 11.30. 

Anaknya yang berseragam sekolah itu rupanya sudah dipakaikan baju hangat, topi, dan sarung tangan oleh guru, karena harus menunggu di luar. Dalam penyelidikan berikutnya, detektif menemukan ketidakcocokan waktu antara mereka yang mendengar suara letusan pistol dan yang melihat dr. Branion keluar dari rumah dengan menggendong anaknya, lalu berteriak minta tolong. 

Wanita tetangga yang berbelanja itu mengatakan melihat dr. Branion 5 atau 10 menit setelah ia membongkar belanjaannya. Menurut para detektif, bisa saja dia salah hitung berapa lama dia membongkar belanjaannya. Kalaupun itu 5 atau 10 menit setelah dia sampai di rumah, maka jadinya adalah pukul 11.10 atau 11.15.

Ternyata lagi, setelah mencium setiap jejak dokter ini pada hari kematian Donna, para detektif menemukan bahwa dr. Branion mengujungi pasien tidak sampai pukul 11.30. Mereka menanyai pasien terakhir yang dikunjungi dokter. Jawabnya, dr. Branion nampaknya sedang kusut pikiran dan tergesa-gesa melakukan tugasnya. Ia memeriksa pasien terakhir itu tidak lebih dari satu menit, lalu pergi.

Ketidaksesuaian waktu seperti yang diceritakan tetangga yang belanja itu kelihatan aneh, tetapi detektif segera mengesampingkanya, karena saat itu terbukti memang dr. Branion sedang memeriksa pasiennya.

 

Ibu guru yang cerewet

Ada lagi pernyataan yang tak boleh diabaikan, yaitu tetangga Branion yang membopong anak Branion dan istrinya - seorang dokter juga - memeriksa Donna Branion. Laki-laki itu sedang mengharap interlokal dari seorang kawan. Rencananya interlokal itu akan datang pukul 11.30. Dia ingat telah menengok ke arah jam dinding pada saat telepon berdering dan lega, karena telepon itu tepat pada waktunya.

Ketika sedang berbicara di telepon, matanya terus menatap jam dinding, karena menghitung berapa biaya yang akan ke luar untuk interlokal tersebut. Ketika jarum jam mengarah ke pukul 11.36, dia mendengar suara seperti letusan pistol. Dia menyuruh teman bicaranya di telepon untuk menanti sebentar, lalu ia menunggu kelanjutan suara letusan. Tetapi tidak ada apa-apa. 

Pembicaraan itu berlangsung kurang dari 15 menit. Jadi, sampai pukul 11.45. Telepon ditutup dan dia pergi bercerita kepada istrinya. Baru beberapa menit kemudian percakapan mereka terputus oleh teriakan dr. Branion.

Kalau pernyataan waktu yang ini bisa dipegang, maka dapat ditentukan kematian Donna adalah kira-kira pukul 11.36. Juga kalau sudah dibuktikan lewat rekaman telepon, maka dr. Branion tak bisa dicurigai sebagai pembunuh Donna Branion. Keterangannya sendiri menyatakan bahwa dia sedang ada di sekolah anaknya pada waktu yang sama.

Selanjutnya detektif mendatangi sekolah taman kanak-kanak. Mereka memeriksa dan mencocokkan pengakuan waktu dr. Branion dan keadaan-keadaan pada waktu kedatangannya ke sekolah itu pada tanggal 22 Desember 1967.

"Oh, Tuhan, tidak benar! Itu sama sekali tidak benar! Demi Tuhan, bagaimana Anda sampai punya pikiran begitu?" Itulah reaksi yang diterima para detektif ketika mereka mengulang cerita Branion bahwa anaknya sampai-sampai "dibungkus" badannya supaya tidak kedinginan berada di luar sementara menunggu jemputan ayahnya.

Guru sekolah mengulaskan betapa bertahun-tahun ia menjalani pendidikan dan merawat anak-anak. Dalam keadaan apa pun katanya, tak akan ia membiarkan seorang anak kecil berumur 4 tahun, berpakaian lengkap dan menunggu orang tuanya di luar. Gagasan semacam itu sungguh keji. Apakah para detektif itu, dengan pengalamannya yang sudah bertahun-tahun, tidak bisa melihat betapa hal itu sungguh berbahaya bagi kesehatan seorang anak kecil yang tidak berdaya sama sekali?

Setelah dapat menenangkan perasaannya, wanita itu mengatakan bahwa dokter itu pasti bukan datang pukul 11.35. Dokter itu terlambat 15 menit. Ia tiba pukul 11.45!

"Bel" dalam benak para detektif pun berbunyi nyaring. Begitu yakinnya dr. Branion menceritakan dia datang ke sekolah anaknya pukul 11.35 dan menemukan mayat istrinya pukul 11.45!

Bagaimana guru itu begitu tepat hafal akan waktunya? Bukankah dia mestinya sibuk, karena masih ada anak-anak lain yang harus diurus? Betul, tetapi dia menambahkan bahwa pelajaran kelas berikutnya mulai pukul 12.00. 

Dia terus menatap jam dinding, khawatir ada sesuatu di rumah sakit yang menunda kedatangan dr. Branion. Waktu kendaraan dr. Branion akhirnya datang dia menatap ke jam dinding lagi. Ia merasa lega, karena masih punya waktu 15 menit untuk membersihkan kelas sebelum kelas berikutnya dimulai.

Katanya selanjutnya, dr. Branion kelihatan sekali tergesa-gesa masuk, minta maaf atas keterlambatannya dan begitu terburu-burunya sampai-sampai berlutut di sebelahnya membantu mengenakan mantel dingin, sarung tangan, dan topi anaknya. 

Dengan tingkah yang seperti itu, tentu saja timbul keheranan di benak sang guru. Anak itu digendong dr. Branion, didudukkan di jok depan, mesin mobil dihidupkan, dan membuat putaran U di jalan, lalu melesat ke arah rumahnya sendiri.

Kalau ingatan waktu pengawas ini tepat, mengingat dia memang sangat persis, maka bagi detektif, dr. Branion bisa dicurigai sebagai pembunuh istrinya. Kalau benar dr. Branion tiba di sekolah pukul 11,45, bukannya 11.35, maka ada kelebihan waktu 10 menit untuk melaksanakan maksudnya pagi itu.

Kalau tembakan yang terdengar oleh tetangga yang waktu itu sedang interlokal, kira-kira pukul 11.36, lalu sedang berada di manakah dr. Branion pada saat tembakan-tembakan itu dilepaskan?

 

Nenek minta maaf

Detektif segera mengunjungi wanita lanjut usia yang pernah punya janji makan siang dengan dr. Branion pada hari pembunuhan.

Ternyata wanita itu mengatakan hal sama seperti yang dituturkan oleh dr. Branion. Branion menjemputnya di apartemen beberapa menit di atas pukul 11.30. Karena merasa tidak enak badan, dia minta maaf pada Branion untuk membatalkan janji mereka. Dokter itu tampak cemas dan berharap segera akan kesembuhannya. Lalu ia segera pergi lagi.

Ada satu hal baru yang dicatat para detektif, yang belum pernah didengar sebelumnya. Perjanjian makan siang itu dibuat sendiri oleh Branion tepat semalam sebelumnya, melalui telepon pukul 22.30, pada saat wanita itu sudah siap tidur!

Jelas, wanita itu merasa heran. Pertama, karena dia tidak pernah sebelumnya makan siang bersama keluarga Branion. Kedua, undangan itu datang sudah jauh malam, dan ketiga, dr. Branion bersikeras mengundangnya.

Kecurigaan terhadap John Branion sudah kuat sekarang, tetapi para detektif itu harus mempunyai persiapan yang sempurna dalam menghadapi orang yang punya pengaruh dan terhormat dalam masyarakat.

Langkah berikutnya, detektif menanyai wanita dokter yang memeriksa Donna dan menyatakan kematiannya. Para detektif mengulangi kembali pernyataan Branion bahwa dia memastikan kematian istrinya karena melihat adanya warna biru tanda darah sudah mengendap di kedua tungkai Donna.

Dokter itu segera menggeleng-gelengkan kepala. Tidak mungkin! Tubuh Donna masih hangat ketika disentuhnya. Tandanya Donna belum lama menemui kematiannya. 

Dia berani mempertaruhkan reputasi internasionalnya untuk menyatakan bahwa tidak ada sama sekali tanda seperti itu atau semacamnya. Dr. Branion keliru. Namun para detektif tahu, Branion bukannya keliru tetapi ia sengaja berbohong.

 

Idi Amin

Pada tanggal 22 Januari 1968, pukul 11.00 dr. Branion ditahan dengan tuduhan membunuh istrinya. Tanggal 12 Juni 1968, dr. John Marshall Branion dinyatakan bersalah membunuh istrinya dengan terencana dan harus menjalani 20 - 30 tahun penjara. Dengan pertolongan pengacaranya dia bisa dikeluarkan dari penjara dengan uang jaminan AS $ 5.000.

Mulai dari Juni 1968 hingga awal 1971 dr. Branion meneruskan usahanya untuk naik banding, namun Mahkamah Agung mengukuhkan keputusan pengadilan sebelumnya dan menuntutnya masuk penjara kembali untuk melaksanakan hukuman kurungan selama 20 - 30 tahun. Sebelum hal itu dilaksanakan, dr. Marshall Branion menghilang.

Kasus pembunuhan terhadap istrinya dan persidangannya sempat mengundang publisitas besar, terlebih-lebih lagi peristiwa menghilangnya. Semua kenalannya dipanggil dan ditanyai. Buletin lengkap dengan foto dokter itu disebarkan, tapi John Branion seperti lenyap ditelan bumi.

Dua puluh tahun kemudian, tanggal 22 Oktober 1983, berkat petunjuk Departemen Luar Negeri, dua orang sheriff terbang ke Uganda, Afrika, dan membawa pulang dr. Branion.

Apakah yang dilakukan John Marshall Branion selama 20 tahun merupakan misteri, tetapi sebagian kegiatan ada yang diketahui.

Yang berwenang berhasil mengetahui bahwa setelah melarikan diri dari Amerika Serikat, John Branion pergi ke Sudan. Dari situ ia menuju Uganda.

Dari tahun 1972 - 1979, Branion menjadi dokter pribadi diktator Idi Amin dan kemungkinan besar adalah satu dari beberapa dokter yang merawat pasukan Uganda yang luka dalam penggerebekan yang dilakukan orang Israel untuk membebaskan sandera pada tahun 1976 di Bandara Entebbe.

Setelah kejatuhan Idi Amin, Branion menghilang dan muncul kembali di Afrika Selatan, lalu di Malaysia. Tahun 1983, ketika kembali ke Uganda, ia ditahan dan diserahkan kepada pejabat-pejabat Deplu AS. 

Ketika itu ia sudah tidak punya uang. Akhirnya, dr. Branion dikembalikan ke Penjara Illinois untuk menjalani hukuman penjara selama 20 - 30 tahun. Beberapa kali ia mencoba melarikan diri, tetapi gagal.

 

(Mel Slade)

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553305986/12-peluru-untuk-donna" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654278319000) } } [5]=> object(stdClass)#89 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304104" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#90 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/petunjuknya-hanya-sebuah-dadujp-20220603014704.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#91 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(117) "Ketika sedang bertugas di rumah sakit, Besley tidak sengaja melihat seorang laki-laki menarik wanita ke semak-semak. " ["section"]=> object(stdClass)#92 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/petunjuknya-hanya-sebuah-dadujp-20220603014704.jpg" ["title"]=> string(29) "Petunjuknya Hanya Sebuah Dadu" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 13:47:42" ["content"]=> string(19830) "

Intisari Plus - Ketika sedang bertugas di rumah sakit, Besley tidak sengaja melihat seorang laki-laki menarik wanita ke semak-semak. Ketika ditemukan, wanita itu mati tertembak di kepala. Siapa pembunuhnya?

-------------------------

Ketika itu Minggu, 19 Juli 1964. Arthur Kirk Besley, seorang pegawai tata usaha sebuah rumah sakit tak jauh dari Chicago, sedang giliran berdinas. la mengomel karena pada hari Minggu itu tak bisa melancong seperti rekan-rekannya. 

Untuk menghibur dirinya Besky mengambil teropong dari laci mejanya dan melepaskan pandangan ke Danau Michigan. Besley penggemar olahraga layar. Jika sedang tidak ada pekerjaan ia tak jemu-jemunya mengamati perahu-perahu layar yang berseliweran melakukan akrobatik.

Pada suatu ketika Besley yang iseng menyusuri pantai danau dengan teropongnya. Tampak beberapa orang sedang berjemur. Kira-kira 300 m dari tempat ia berdiri, dilihatnya seorang wanita menggelar tikarnya, melepaskan roknya kemudian duduk. Sesaat kemudian wanita itu menarik tas mandinya dan mencari sesuatu. 

Pada saat yang sama seorang laki-laki berbaju muncul dari semak-semak di belakang wanita tersebut. Ia membawa entah handuk entah kemeja. Mendadak sekali benda itu dikalungkan ke leher wanita itu seperti menjerat. Wanita yang tak sempat berteriak itu diseretnya secara paksa ke balik sebuah batu cadas besar.

Besley berteriak dan akan berlari menolong, tetapi seperti terpaku pada apa yang dilihatnya. Kepala lelaki dan wanita yang bergumul itu muncul sebentar dari belakang batu cadas, kemudian hilang lagi. 

Besley cepat-cepat mengambil tongkat pemukul bisbol lalu lari ke luar. Di dekat sebuah tangga ia berpapasan dengan seorang juru rawat.

"Jim!" teriaknya, "telepon polisi! Di pantai ada seorang wanita diserang laki-laki. Saya akan lari ke sana, barangkali masih sempat menolong.”

 

Ahli kecantikan

Ketika Besley sampa di di tempat kejadian, ternyata ia sudah terlambat. Wanita yang hendak ditolongnya itu sudah meninggal. Ia tergeletak dengan kepala berlumuran darah akibat tembakan yang mengenai bagian belakang tengkoraknya.

Besley berjalan ke arah telaga dan menemukan tas mandi. Ternyata isinya teraduk-aduk. Mungkin oleh si pembunuh, karena Besley dengan teropongnya masih sempat melihat wanita itu merapatkan kunci tasnya sebelum disergap.

Pada saat itu kebetulan lewat seorang polisi naik sepeda motor, Besley memberi isyarat dan polisi itu datang mendekat. Setelah mendapat laporan dari Besley, petugas itu memeriksa korban.

"Memang ia sudah tak tertolong lagi, tapi kita harus memanggil dokter," kata polisi.

Di samping minta kedatangan dokter, polisi lewat radio juga melaporkan kesaksian Besley tentang lelaki pembunuh: "Usianya sekitar 40 - 45 tahun, tinggi 180 cm, langsing, rambut hitam tersisir dengan belahan di sisi kanan. Celananya hitam. Barangkali memakai kemeja sport tipis. Ia bersenjata. Kemungkinan besar masih berada di sekitar pinggir timur telaga."

Tak lama kemudian datang juru rawat Jim bersama seorang dokter. Yang terakhir ini hanya dapat memastikan bahwa korban meninggal seketika karena tembakan yang menembus kepala.

"Jangan injak lagi tempat kejadian," kata polisi kepada Besley, agar jejak-jejak yang ada jangan sampai hilang. "Kita mesti menunggu sampai petugas bagian penyelidik dari Chicago datang." Mereka tiba seperempat jam kemudian.

Setelah menerima laporan dari polisi yang datang pertama, para detektif segera melakukan pemeriksaan. Mereka bekerja secara sistematis. Sekitar tempat kejadian mereka tarik lingkaran yang mereka periksa secara teliti dan tiap kali mereka perbesar.

"Sudah terlalu banyak diinjak-injak," gumam kepala penyelidik marah-marah. "Barangkali sudah tidak ada lagi jejak yang bisa dijadikan petunjuk."

Sementara itu salah seorang detektif meneliti isi tas mandi. Tak ditemukan dompet uang yang biasanya selalu menyertai wanita, juga jika ia pergi berenang.

“Barangkali pembunuhan dengan motif perampasan," begitu ia menduga.

Dalam anak kantung pada tas mandi itu selanjutnya ditemukan sebuah buku agenda dari Firma Wirgley di Michigan Avenue. Tertulis nama pemiliknya, ahli kecantikan Margaret Gallagher, beserta fotonya. Dialah korban pembunuhan itu. Salah seorang detektif berangkat ke tempat kerja Margaret untuk mengumpulkan keterangan. Seorang detektif lain mewawancarai Besley lebih lanjut.

Besley, atas permintaan, menunjuk semak-semak dari mana si pembunuh keluar ketika menyerang Margaret. "Waktu itu ia memakai celana panjang berwarna hitam. Bagian atas tubuhnya telanjang."

Rupanya ketika itu laki-laki tersebut sedang bersiap-siap akan mandi. Lalu dilihatnya wanita itu dan timbullah gagasan untuk membunuhnya. Jika demikian halnya, maka barangkali si pembunuh duduk di suatu tempat di dekat situ untuk memikirkan bagaimana ia mesti bertindak. Demikian komentar detektif yang kemudian mengajak Besley memeriksa tempat di sekitar semak-semak.

 

Dadu untuk bermain curang

Mereka menemukan sebidang kecil tanah yang tak ada tumbuh-tumbuhannya. Di situ terdapat sebuah batu dengan permukaan rata. Rupanya pembunuh duduk di situ. Ini nyata dari jejak tumit sepatu yang berjalan dari semak-semak ke arah batu tersebut. Ketika diikuti terus, jejak itu nyatanya datang dari pinggir danau.

"Jika perkiraan kita benar, mungkin tadi pembunuh meletakkan jas, kemeja, atau tasnya di sini," kata detektif. Ia mulai meneliti tanah di sekeliling batu. Akhirnya, mereka menemukan sesuatu: sebuah dadu. Alat judi yang ditemukan tepat di bawah batu ini rupanya terjatuh dari saku atau tas pemiliknya. 

Barang bukti ini disimpan baik-baik oleh polisi dalam kantung plastik. Kemudian detektif memanggil seorang spesialis untuk membuat cetakan gips dari jejak sepatu yang membekas di situ. Tempat ditemukannya dadu dipotret.

“Dapatkah Anda ikut ke markas di Chicago, Tuan Besley? Mungkin Anda dapat mengenali pembunuh dalam album penjahat yang kami simpan," kata detektif. Besley setuju. Sementara itu mayat Margaret Gallagher dibawa ke laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut.

Setelah mewawancarai Besley dan menerima laporan anak buahnya, Komisaris Moorbridge tampak kecewa atas hasil penelitian sejauh ini. "Jika Margaret Gallagher tidak ditembak dengan pistol berteromol, selongsong pelurunya seharusnya bisa ditemukan. Periksa lagi tempat kejadian," perintahnya.

Sementara itu Besley tak berhasil mengenali pembunuh di antara foto-foto penjahat yang diperlihatkan kepadanya. Barangkali penjahat pernah difoto tetapi tak dikenali oleh saksi tunggal ini karena mukanya telah berubah oleh suatu penyakit atau sebab-sebab lain? Mungkin.

Penjelajahan daerah sekitar dan pengejaran yang dilakukan seketika juga tak membawa hasil. Autopsi atas jenazah korban menghasilkan penemuan peluru yang menamatkan hidupnya. Peluru itu bergaris tengah .9 mm, tetapi benda ini tak dapat menunjukkan apa pun selama senjata yang digunakan untuk menembakkannya belum diketemukan.

Seperti diketahui, bagian dalam laras senapan atau pistol membuat ciri-ciri khusus pada setiap peluru yang keluar darinya.

Komisaris Moorbridge sekali lagi mempelajari laporan-laporan tentang peristiwa pembunuhan Margaret Gallagher. Diambil dan diamatinya dadu yang ditemukan dekat tempat pembunuhan. Sesuai dengan kebiasaannya bila memeriksa barang bukti, Moorbridge menggunakan kaca pembesar.

Dadu itu dibolak-baliknya. Semua sisinya ia amati satu per satu. Moorbridge tiba-tiba tertegun ketika pemeriksaan sampai pada sisi yang bermata enam. Melalui kaca pembesar tampak jelas bahwa tiga mata deretan kedua ini tidak sebulat tiga mata deretan pertama. Ini pasti bukan suatu kebetulan, pikirnya. Barangkali dadu ini dikerjakan khusus untuk permainan curang.

Komisaris pergi ke laboratorium yang dilengkapi dengan alat rontgen yang biasa digunakan untuk memeriksa kiriman-kiriman pos bila ada kecurigaan, barangkali berisi alat-alat peledak. Mungkin dalam dadu itu ada logamnya. 

Pemeriksaan memberikan hasil yang berharga. Pemotretan dengan sinar rontgen membuktikan bahwa di bawah sisi dengan enam mata memang tersembunyi logam. Cara memasukkannya ialah dengan melubangi mata dadu. 

Setelah logam dimasukkan, mata dadu ditutup kembali. Yang berisi logam bukan hanya permukaan yang bermata enam, tapi juga sisi dengan dua mata. Sisi dengan dua mata itu letaknya dekat dengan sisi yang bermata enam.

Dengan adanya logam pemberat ini, kesempatan keluarnya nomor-nomor menjadi berubah. Bukan lagi satu per enam (dadu mempunyai enam sisi). Ketika dicoba diperoleh hasil-hasil sebagai berikut: angka 5 keluar rata-rata setelah empat kali lemparan, sedangkan angka 2 keluar rata-rata setelah sepuluh kali lemparan. Bila pemain mengetahui hal ini, ia dapat memperhitungkan sebelumnya hasil permainan itu dan menang.

Dari penyelidikan ini dapat diambil kesimpulan: pembunuh yang kehilangan dadu khusus ini adalah seorang pemain curang. Dengan ini lingkungan yang perlu dijelajahi untuk menemukan pembunuh dipersempit. Ia mesti dicari di kalangan penjudi.

Setelah penemuan ini, Komisaris Moorbridge sepanjang hari menelusuri daftar para penjudi dan orang-orang yang pernah berurusan dengan polisi karena penipuan. Ia berharap tidak akan terlalu sukar menemukan si pembunuh, apalagi karena ciri-ciri orangnya diketahui, yaitu berkat kesaksian Besley. 

Tetapi pencarian sia-sia. Di antara mereka yang sering terlibat dalam permainan curang - dengan dadu yang diberati atau dengan kartu main yang telah dibubuhi dengan tanda-tanda khusus tidak berhasil ditemukan satu orang pun yang mirip dengan pembunuh seperti yang dilukiskan oleh Besley.

 

Kafe Regukan Terakhir 

Komisaris Moorbridge berpikir: apakah oknum yang bersangkutan seorang ahli dalam pembuatan alat-alat penipuan? Dadu diamatinya sekali lagi. Cara pembuatan lubang yang kemudian dimasuki logam begitu ceroboh. Seorang yang mengkhususkan diri dalam pembuatan alat-alat penipuan, produksinya tak akan sekasar dadu ini. Dadu ini tak memenuhi selera kebanyakan penipu profesional.

Moorbridge minta nasihat seorang rekan yang sering menggarap soal para pemain curang. "Peristiwa permainan curang dengan dadu jarang saya jumpai," kata rekan ini. "Paling-paling di bar-bar kelasi di pinggir Sungai Chicago, sesekali masih ada orang yang main curang dengan cara itu. Biasanya mereka hanya berhasil selama beberapa putaran. Coba kirimkan anak buahmu ke sana."

Komisaris Moorbridge mengikuti saran rekannya. Secara pribadi ia mengunjungi beberapa kafe sekitar railway freight terminal, tempat bongkar-muat barang-barang dari kapal ke dalam kereta api atau sebaliknya. 

Di sana masih ada dua tiga bangunan kuno dari waktu pendirian Kota Chicago. Di antaranya sebuah kafe kecil yang mempunyai nama dari zaman pionir: To The Last Drink — regukan terakhir. Komisaris Moorbridge memasuki kafe ini. 

Yang ada di dalamnya kebanyakan para anggota Chicago Motor Club yang letaknya tak jauh dari situ, dekat dermaga di pinggir Sungai Chicago. Para pelanggan wanitanya berpakaian dan berhias indah, seperti wanita-wanita dari salon kecantikan saja. Barangkali mereka mengenal Margaret Gallagher? 

Sehari itu sudah ada kira-kira selusin kafe dan bar yang dikunjungi Moorbridge tanpa hasil apa-apa. Untuk kesekian kalinya malam itu ia mengeluarkan kartu identitasnya sebagai detektif. Sebelum mulai mengajukan pertanyaan, kartu itu ditunjukkan kepada pemilik Kafe To The Last Drink. 

"Apakah Anda pernah melihat wanita ini?" tanya Moorbridge kepada pemilik kafe, sambil memperlihatkan foto Margaret Gallagher. 

"Saya pikir saya mengenalnya. Paling tidak ia sering kemari, tetapi saya tidak tahu namanya. Ia selalu datang bersama seorang lelaki yang sudah agak berumur. Lelaki itu bertubuh kecil dan berkacamata. Saya masih ingat jelas karena minggu lalu terjadi keributan di sini," pemilik kafe itu menerangkan. 

"Keributan soal apa?" 

"Saya tak tahu persis. Wanita itu menyebut-nyebut soal permainan curang. Pertikaian mulut makin lama makin tajam." 

"Siapa saja yang duduk di sekeliling mejanya?" tanya Moorbridge. "Pertama wanita itu sendiri dan lelaki tua yang saya sebutkan tadi. Kecuali itu masih ada seorang laki-laki berperawakan tinggi. Saya belum pernah melihat dia sebelumnya."

"Dapatkah Anda melukiskannya lebih jauh?"

Setelah diam sejenak untuk menggali ingatannya, pemilik kafe itu berkata, "Perkiraan saya orang itu berusia antara 45 dan 50 tahun. Rambutnya lebat, berwarna kelam. Pakaiannya hitam. Seperti yang saya katakan, perawakannya tinggi. Paling sedikit 180 cm."

Moorbridge hampir tidak dapat menyembunyikan ketegangannya. Ini juga ciri-ciri yang digambarkan pegawai tata usaha rumah sakit itu, Arthur Besley.

"Apakah Anda kebetulan mendengar siapa namanya?"

Pemilik kafe berpikir agak lama. "Oh, ya ... ketika bertengkar dengan lelaki tersebut wanita itu berteriak, ‘Awas, kalau kau terus berbuat begitu. Kujebloskan kau, Redford!’ Lelaki itu menjadi mata gelap. Hanya dengan sudah payah saya berhasil mencegah terjadinya baku hantam dan mengeluarkan mereka dari kafe."

 

Kombi hitam

Komisaris Moorbridge mengucapkan banyak terima kasih dan kembali ke kantornya. la telah mengerahkan anak buahnya untuk memeriksa tempat tinggal Margaret Gallagher, menanyai para tetangga dan ibu kosnya.

Redford, mudah-mudahan itu bukan nama depan, melainkan nama keluarga, pikir Moorbridge - walaupun jarang sekali di Amerika Serikat ini orang memanggil sahabat atau temannya dengan nama keluarga. Bila Redford itu nama keluarga, maka tak akan terlalu sulit untuk mencarinya, juga seandainya yang bersangkutan belum pernah dijatuhi hukuman.

Ada beberapa jalan untuk mencari Redford yang pernah bertengkar dengan Margaret. Pertama, dengan memeriksa daftar wajib militer. Kedua, mencarinya dalam sistem kartu FBI yang menyimpan setiap nama orang yang pernah berurusan dengan polisi.

Jalan lain adalah memeriksa daftar mobil dengan nama pemiliknya. Komisaris Moorbridge memilih cara yang terakhir.

Dalam register ditemukan sebuah mobil yang di tahun 1961 pernah terdaftar atas nama seorang laki-laki bernama John Redford. Nomor polisi diperbarui pada tahun yang sama. Sebagai alamat pemilik tercantum sebuah pemondokan di daerah pinggiran Kota Chicago.

Moorbridge dengan beberapa anak buahnya menuju ke sana. John Redford sudah beberapa hari ini tidak berada di tempat, hanya barang-barangnya masih ditemukan di rumah tersebut. Tempat itu digeledah dan ditemukan sepucuk pistol berteromol kaliber .9 mm tersembunyi di balik dinding belakang lemari pakaian.

Percobaan membuktikan bahwa peluru yang ditembakkan dari senjata jenis ini mempunyai ciri-ciri goresan tertentu yang persis sama dengan ciri-ciri yang ditemukan pada tempat Margaret Gallagher dibunuh.

Komisaris Moorbridge mengerahkan seluruh anak buahnya untuk melakukan pengejaran. Semua super highway ke luar kota dijaga keras. Setiap kendaraan yang lewat diperiksa. Stasiun-stasiun dan bandara dijaga. Para detektif dan patroli polisi menjelajahi seluruh kota. 

Salah seorang petugas pada pagi-pagi hari melihat sebuah mobil kombi hitam diparkir di depan sebuah rumah. Ketika diperiksa ternyata mobil John Redford. 

Sesaat kemudian para detektif melihat seorang laki-laki tinggi semampai keluar dari sebuah rumah. la mengambil tempat di belakang setir mobil, lalu menghidupkan mesinnya. 

Para detektif lari mendekat dengan pistol tercabut. Begitu melihat kalau ia digerebek, lelaki itu langsung tancap gas. Tetapi ia kalah cepat dari para detektif itu. Letusan-letusan pistol terdengar dan ban mobil kombi itu robek-robek. Kombi menyerong ke kiri ke kanan dan akhirnya berhenti.

John Redford menyerah tanpa memberi perlawanan. Hari itu juga, di tengah beberapa orang ia disuruh berdiri dalam deretan untuk dikonfrontasi dengan pegawai tata usaha rumah sakit Arthur Besley. Tanpa ragu-ragu Besley menunjuk John Redford sebagai laki-laki yang dilihatnya menyerang Margaret di pinggir Danau Michigan.

Motif pembunuhan ternyata adalah rasa dendam dan amarah akibat pertengkaran di meja judi dan ancaman Margaret Gallagher untuk ‘menjebloskannya’. John Redford diputuskan bersalah dan menjalani hukuman mati di kursi listrik gara-gara alat permainan curang yang menyebabkan pertengkaran dan terjatuh dari sakunya di tempat kejahatan.

(Hann Walther)

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304104/petunjuknya-hanya-sebuah-dadu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654264062000) } } }