array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3605994"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/dendam-masa-lalu_evan-demicolij-20221212091559.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(129) "Sesosok mayat ditemukan di tempat pembuangan sampah di Cicalengka. Konon korban hobi selingkuh. Tapi siapa yang tega membunuhnya?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/dendam-masa-lalu_evan-demicolij-20221212091559.jpg"
      ["title"]=>
      string(16) "Dendam Masa Lalu"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-12 09:16:16"
      ["content"]=>
      string(28458) "

Intisari Plus - Sesosok mayat ditemukan di tempat pembuangan sampah di Cicalengka. Konon korban hobi selingkuh. Tapi siapa yang tega membunuhnya?

--------------------

Suasana Cicalengka yang biasanya tenang berubah gempar begitu ada mayat ditemukan di tempat pembuangan sampah. Mayat itu seorang pria dengan beberapa luka tusukan.

Jam menunjukkan pukul 06.10 ketika di tempat kejadian perkara (TKP) banyak orang berkerumun ingin melihat mayat. Beberapa orang polisi yang kemudian tiba segera mengamankan tempat dengan memasang police line agar orang yang berkumpul itu segera menyingkir ke luar garis batas.

Letda Ryan yang tiba lima menit kemudian menghampiri anak buahnya yang sedang memeriksa mayat. 

“Bagaimana?” ia bertanya kepada Sersan Dudung.

“Korban pembunuhan, Pak. Sampai sekarang belum ada yang mengenalinya karena wajahnya hangus terbakar. Tidak ada hal yang mencurigakan di sekitar ini, Pak!”

“Siapa yang pertama menemukannya?” 

“Orang itu, Pak, namanya Usen,” Sersan Dudung menunjuk seorang tua setengah baya yang tampak ketakutan. Letda Ryan mengangguk dan matanya kembali mengamati mayat yang telentang.

“Kami juga menemukan pisau belati ini, jeriken, dan sapu lidi tergeletak di samping mayat.” 

“Baik! Angkat segera untuk diautopsi. Juga semua barang itu. Mungkin kita bisa dapat sidik jari pembunuhnya.” 

Sersan Dudung segera melakukan apa yang diperintahkan padanya, setelah anggota polisi yang bertugas memotret tempat kejadian selesai melakukan tugasnya. Mayat diangkat ke dalam mobil ambulans. 

Baru saja Letda Ryan menghampiri kerumunan orang untuk menanyakan kejadian, seorang wanita setengah baya datang berlari-lari. “Pak ... Pak ... tunggu! Saya mau lihat mayatnya.” Sebelum wanita itu sampai ke ambulans, beberapa petugas mengalanginya. Wanita itu berteriak histeris. “Jangan halangi saya! Tolong, Pak, jangan halangi saya!”

Letda Ryan menghampiri wanita itu dan berusaha menenangkannya, “Tenang, Bu, tenang. Ibu siapa?” Wanita itu meronta, “Saya hanya mau lihat apa itu suami saya.” 

“Kenapa ibu berpikiran begitu?” 

“Suami saya biasa menyapu di sini, saya mau lihat Pak, ... tolong, Pak.” 

Letda Ryan meminta anak buahnya membuka kantung mayat. Wajah wanita itu tegang, dan begitu kantung terbuka, ia jatuh pingsan.

 

Sering menyapu

Jam menunjukkan pukul 07.30 ketika Letda Ryan duduk berhadapan dengan Usen di kantor polisi.

“Coba diceritakan kembali kejadiannya,” tuturnya. 

Usen menarik napas panjang. “Waktu itu, saya mau pergi ke pasar, mau kerja kuli. Saya lihat ada orang berbaring. Saya pikir, itu orang mabuk, tapi begitu saya dekati, ternyata mayat. Saya terus buru-buru lari ke rumah Pak RT.”

“Hm, ketika kembali lagi, Mang Usen tahu enggak, siapa mayat itu?” 

“Enggak tahu, Pak.” 

“Mamang kenal dengan ibu yang tadi pingsan?” 

“Oh itu! Tentu saja, itu ‘kan Ibu Ema, istri Pak Yatna.” 

“Mamang kenal dengan Pak Yatna?” 

“Iya, Pak, itu suami Ibu Ema.” 

“Bukan itu maksud saya!”

“Oh, eu ... iya, Pak, dia itu bekas majikan saya, tapi saya tidak tahu kalau yang mati itu Pak Yatna!”

Usen yang sudah tua dan lugu itu kemudian bercerita bahwa Pak Yatna bukan suami yang setia dan sering bertengkar dengan istrinya. Puncak pertengkaran tiba ketika istrinya tahu bahwa Pak Yatna mempunyai simpanan lagi, seorang janda muda. Waktu itulah Usen yang tidak tahan mendengarkan orang bertengkar melulu, segera minta berhenti dari pekerjaannya sebagai tukang kebun.

Keterangan Usen itu diperkuat oleh Sobandi, ketua RT. 

Sobandilah yang melaporkan penemuan mayat itu kepada polisi sekitar pukul 05.50. Hampir semua orang yang ditanyai polisi mengatakan hal yang sama. 

Dua kali sudah, Letda Ryan mendatangi rumah Pak Yatna untuk meminta keterangan dari Ibu Ema, tetapi wanita itu tidak mau menjumpainya karena tidak mau diganggu dulu. Ia masih terkejut, sedih, dan bingung.

Letda Ryan terpaksa mengalah. Lagi pula ia menunggu hasil autopsi dari Rumah Sakit Hasan Sadikin dan hasil pemeriksaan forensik dari kepolisian Bandung.

 

Senjata makan tuan

Tepat pukul 15.45, laporan hasil autopsi dan forensik telah ada di tangan Letda Ryan. 

“Bagaimana hasilnya, Pak?” tanya Sersan Dudung yang duduk di depannya, penasaran. Letda Ryan tersenyum, “Hm, hasil autopsi menunjukkan, Pak Yatna mati karena kaget. Ia sakit jantung dan selain itu juga kehabisan darah. Ada sepuluh tusukan.”

“Apa belati itu senjatanya?” 

“Ya! Senjata makan tuan itu. Ada namanya di gagang belati, Yatna S. Lebih buruk lagi, tidak ada sidik jari, baik di pisau, jeriken, maupun sapu lidi. Menurut autopsi, ia telah meninggal dua jam sebelum ditemukan, dan anehnya tidak ada yang mendengar teriakannya.”

“Aneh! Rumah Pak Yatna ‘kan tidak jauh dari tempat sampah itu! Masa tidak ada orang yang mendengar teriakannya?” kata Dudung. “Saya rasa, kita perlu menanyai orang-orang terdekatnya, terutama istrinya yang tidak mau dijumpai itu!”

“Betul, Sersan! Ayo, kita pergi sekarang!” kata Letda Ryan sambil bangkit dari tempat duduknya dan bersama Sersan Dudung ia meluncur ke rumah Ibu Ema. 

Bu Ema sudah kelihatan tenang.

“Saya turut berduka cita atas meninggalnya suami Ibu,” kata Letda Ryan, sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. “Begini, Bu, saya perlu keterangan Ibu agar pembunuh Bapak bisa segera ditangkap. Apa Bapak punya musuh?” 

“Setahu saya, Bapak tidak punya musuh,” jawabnya sambil menyilakan tamunya duduk.

“Di mana Ibu berada ketika Bapak terbunuh?” 

“Di pasar! Saya buka warung nasi. Jadi, pagi-pagi sudah di pasar. Kedua pembantu saya juga ikut saya, membantu di warung.”

“Ketika saya akan pergi ke pasar, Bapak juga sudah bangun. Ia mau menyapu sampah yang tercecer dan membakarnya karena sudah menumpuk dan enggak ada yang mengangkut. Baju mayat itu sama dengan baju yang dipakai Bapak.” 

“Ibu tahu kalau suami Ibu suka selingkuh?” 

“Ya, dia memang suka main perempuan, tapi sekarang sudah tidak, dan lebih banyak tinggal di rumah. Apalagi sejak ia sakit jantung.”

“Apa Ibu tahu siapa saja yang mempunyai affair dengan Bapak?” 

“Saya tahu. Wanita yang terakhir namanya Tika. Tapi sekarang sudah putus karena ia hanya ingin uang Bapak.” 

“Ibu pernah bertemu dengan wanita simpanan Bapak?”

“Iya, sebulan yang lalu Tika datang ke sini untuk minta uang, tapi tidak diberi oleh Bapak. Saya ingat sekarang, Pak, si Tika itu mengancam Bapak, dan saya yakin pasti dia yang membunuh Bapak karena sakit hati.”

Wajah Bu Ema tampak gemas ketika mengingat apa yang terjadi sebulan yang lalu. Ia jadi bersemangat ketika Letda Ryan meminta alamat wanita yang bernama Tika itu.

 

Pacar pertama

Ruang kerja Pak Yatna tertata apik. Sejumlah buku tersimpan rapi di almari. Foto Pak Yatna yang besar tergantung di belakang meja kerjanya. Melihat foto itu, Letda Ryan tidak heran bahwa banyak wanita tergila-gila padanya.

“Bapak selalu menyimpan rahasianya di situ,” kata Bu Ema menunjuk ke arah laci meja kerja, sambil menyerahkan kuncinya kepada Letda Ryan.

Dari laci itu ditemukan sebuah buku agenda. Banyak catatan di dalamnya dan ada juga beberapa alamat rumah. Juga banyak foto yang ditempel.

“Ini foto pernikahan saya dengan Bapak!” kata Bu Ema menjelaskan. “Yang ini foto pernikahannya dengan Ratna, tapi sudah cerai. Ini istrinya yang ketiga, Tati namanya. Juga sudah dicerai. Dan ini foto Dewi, pacarnya, lalu ini foto Tika, janda genit itu.”

Letda Ryan mengangguk-angguk. 

Tiba-tiba matanya terpikat oleh foto hitam putih seorang gadis yang cantik sekali. Ia terpesona oleh senyum yang mengembang di bibirnya. “Kalau ini foto siapa, Bu?” tanyanya.

“Oh, itu pacar pertamanya. Tunggu! Rasanya ada fotonya yang lain.” Bu Ema membuka halaman demi halaman buku agenda itu. Setelah menemukan, ia memberikannya pada Letda Ryan. “Ini dia orangnya! Kami juga pernah bertetangga. Orangnya baik, namanya Saras.”

Letda Ryan memperhatikan kedua foto wanita itu yang cantik dan menarik. “Sekarang tinggal di mana Bu Saras ini?” 

“Sudah meninggal!” 

“Oh,” hanya itu yang keluar dari bibir Letda Ryan, namun matanya tak lepas memandang senyum manis dari foto wanita itu.

 

Buntu

Dengan berbekal alamat yang tertera dalam buku agenda almarhum, Letda Ryan meminta bantuan informasi pada Letda Yuan dari Polres Bandung, dan menyuruh anak buahnya untuk segera melacak keberadaan Tika yang kini tinggal di daerah Cimahi, Bandung.

Ia juga mengecek silang hasil penyelidikannya dengan hasil interogasi Sersan Dudung terhadap Ibu Ema. Dugaan bahwa tersangkanya Bu Ema pupus sudah ketika ternyata ia mempunyai alibi yang diperkuat oleh keterangan kedua pembantunya. Mereka berada di warung bersamanya ketika pembunuhan terjadi.

Letda Ryan juga harus gigit jari begitu anak buahnya melaporkan bahwa Tika tidak berada di tempat. Sudah tiga minggu orang itu berada di Batam dan bekerja di sana.

Semula Letda Ryan merasa perkara itu gampang diselesaikan karena barang bukti dan hasil autopsi menunjukkan Yatna dibunuh. Pembunuhnya orang dekat yang tidak mempunyai motif merampok. Ketika pembunuhan terjadi, tak satu pun barang Yatna yang hilang. Arloji dan cincin yang dipakainya masih utuh.

Bekas istri dan pacar Yatna telah menikah dengan orang lain dan hidup bahagia. Jadi, juga tidak mungkin pembunuh itu salah satu dari mereka.

Banyak orang kecewa dengan hasil kerja Letda Ryan yang dinilai lamban. Sudah sebulan lebih pembunuh belum tertangkap. Bu Ema sering bolak-balik ke kantor polisi untuk menanyakan kabarnya, namun hasilnya tetap nihil. Untunglah ada masalah Pemilu yang akan diadakan bulan Juni 1999 dan hampir semua koran dan tabloid memuat beritanya, sehingga warga Kecamatan Cicalengka beralih perhatiannya ke masalah Pemilu.

 

Sarjana psikologi

Hari itu tanggal 4 Mei 1999, pukul 11.40. Dua bulan sesudah kejadian perkara Letda Ryan baru saja keluar dari ruangan setelah menginterogasi pencopet yang tertangkap tangan. Ada seorang gadis yang baru masuk dan kelihatan bingung. Letda Ryan menghampirinya, “Ada yang bisa saya bantu?”

Gadis itu agak kaget dan pucat, tetapi kemudian menarik napas panjang. “Saya mau bikin surat kelakuan baik,” jawabnya. 

“Oh, dari sini lurus, terus belok kiri. Mau melamar kerja, ya?”

Gadis itu tersenyum manis ketika mengucapkan terima kasih, kemudian berlalu. Letda Ryan terpesona dan berusaha mengingat-ingat, kapan pernah melihat senyum yang menawan itu?

Dengan rasa penasaran, ia mencari data tertulis tentang gadis yang baru dijumpainya di kantor. Namanya Laraswati Riadi, berusia 23 tahun, sarjana psikologi, status single, alamat Jln. Kaca Timur no. 9 RT 03 RW 11 Cicalengka. Letda Ryan agak terkejut. Alamat rumah ini dekat rumah Bu Ema, bahkan satu RT.

Ia membuka buku agenda milik almarhum Yatna dan hampir saja berteriak kegirangan. Sesuatu yang dicarinya telah ditemukan. Foto Bu Saras yang senyumnya sama dengan senyum gadis yang baru saja dijumpainya.

Mungkinkah gadis itu putrinya? Tanpa sengaja tangannya membalikkan foto itu. Ada tulisan tangan. Saraswati Wijaya, meninggal 13 Maret 1989. Letda Ryan mengernyitkan keningnya. Tanggal 13 kematian Saras sama dengan tanggal 13 terbunuhnya Pak Yatna. Tapi sepuluh tahun kemudian. 

Sepuluh?

Letda Ryan tersentak. Baru ia teringat, di tubuh Pak Yatna juga ada sepuluh tusukan, menurut autopsi. 

Pukul 14.05, Letda Ryan berada di rumah Bu Ema dan keduanya duduk berhadapan. Ia meminta keterangan tentang kehidupan dan keluarga almarhum Saraswati. Meskipun agak heran dengan pertanyaan itu, Ema bercerita juga.

Rumah Bu Saras tidak begitu jauh dari rumah Bu Ema. “Kami berteman baik, meskipun Pak Yatna pernah bercerita bahwa Bu Saras itu pacar pertamanya. Saya tidak cemburu karena kami masing-masing sudah berkeluarga dan bersahabat. Apalagi sejak Pak Riadi, suami Bu Saras, meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

“Bu Saras shock berat dan sejak itu sering keluar masuk rumah sakit. Makanya, Pak Yatna almarhum menawarkan pengobatan alternatif dengan tusuk jarum. Pak Yatna mahir mengobati orang dengan tusuk jarum. Kalau berobat, Bu Saras selalu diantar Laras, anak bungsunya. Tetapi yang namanya umur, ‘kan di tangan Yang di Atas Sana.”

“Setahun setelah Pak Riadi meninggal, tidak disangka, Bu Saras juga meninggal secara mendadak karena darah tingginya kambuh. Sungguh menyedihkan! Apalagi melihat Laras yang berteriak histeris. la anak yang paling disayang. Sejak itu, kalau ketemu saya ataupun Bapak, ia membuang muka. Sepertinya ia benci.”

Letda Ryan mengangguk mengerti. Karena merasa cukup diberi gambaran, ia pun pamit. Ia merasa perlu menyelidiki kehidupan Laras lebih mendalam.

 

Teriakan Cicih

Letda Ryan mulai mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang pernah mengenal Laras dan keluarganya. Mak Onah, pembantu setia keluarga Riadi yang berhenti bekerja tiga bulan lalu, membuka mata Letda Ryan. Menurut Mak Onah, di balik penampilannya yang anggun dan sopan, gadis yang berwajah klasik itu mudah tersinggung dan gampang sekali marah. Ia menembak mati si Dogi, anjing milik Yatna dengan senapan angin kakaknya. Hanya karena si Dogi menggonggong ketika ia lewat.

Melempar kucing ke dalam kolam ketika diketahui mencuri ikan dan mencincang tikus yang tertangkap sudah biasa dilakukan Laras untuk meledakkan kekesalan. Tidak ada yang berani menegur atau mengingatkannya. Sampai sekarang, ia tidak mempunyai pacar atau teman akrab. Ia kembali ke Cicalengka lagi setelah menyelesaikan kuliahnya di fakultas psikologi sebuah universitas di Jakarta pada awal tahun 1999. Begitulah cerita Onah.

Hari Sabtu tanggal 8 Mei, Letda Ryan duduk menunggu kedatangan Laras yang sudah sejak tadi pagi pergi. Ia cukup waktu untuk memperhatikan ruang tamu rumah Laras yang besar, penuh foto, dan lukisan keluarga. Dari foto dan lukisan yang tergantung itu kelihatan sekali bahwa Laras mirip ibunya. Begitu juga senyumnya yang manis dan memikat.

Letda Ryan yang waktu itu berpakaian preman juga sempat memperhatikan keadaan di sekitar rumah. Letak rumah lebih tinggi dari jalan. Meskipun jalan itu tidak beraspal dan tidak terlalu ramai, tetapi cukup besar untuk jalan truk pengangkut sampah.

Dari Cicih, pembantu Laras yang baru tiga bulan bekerja, Letda Ryan mendengar bahwa Laras sering lari pagi. Jam berapa pun ia bangun, pasti ia akan segera menghilang, entah ke mana.

“Bi, ingat, ‘kan? Sebulan yang lalu ada pembunuhan di sekitar sini?” tanya Ryan. “Ketika Laras bangun, apa ia juga langsung pergi lari pagi?”

Cicih, wanita berusia sekitar 40 tahunan itu mencoba mengingat-ingat. Ia menepuk dahinya sambil manggut-manggut.

“Ya ... ya ... Bibi ingat! Bibi ‘kan tiap hari bangun jam setengah lima. Waktu itu juga gitu dan Bibi lihat Neng Laras sudah bangun. Bahkan sudah mandi segala.”

“Ya! Bibi tidak akan lupa kejadian itu! Begitu Bibi bangun, Neng Laras menyuruh Bibi membersihkan semua foto dan lukisan yang digantung itu. Eh, waktu Bibi lagi bersih-bersih, foto ibu Neng Laras jatuh sampai pecah kacanya.”

“Bukan main marahnya Neng Laras! Belum hilang ketakutan Bibi, eh, waktu Bibi mau ke pasar, malah ada mayat di dekat sini. Hari itu hari yang buruk buat Bibi.”

Pukul 17.10 orang yang ditunggu-tunggu Letda Ryan akhirnya muncul. Laras agak terkejut melihat Letda Ryan di rumahnya, tetapi ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

“Rasanya kita pernah bertemu, ya?” sapanya ramah. 

“Betul!” jawab Ryan. “Di kantor polisi, ketika Anda akan membuat SKKB. Bagaimana? Sudah mendapat pekerjaannya?” tanyanya lanjut sambil memasang senyum. 

“Sampai sekarang belum. Oh iya, ada yang bisa saya bantu?”

“Begini, apa Anda bisa memberikan keterangan di kantor polisi sehubungan dengan kematian Pak Yatna? Saya yakin, Anda mengetahuinya.” 

Laras menatap dalam-dalam wajah Letda Ryan. Senyumnya yang dingin tapi tetap manis nyaris merontokkan hati Letda Ryan.

“Kenapa Bapak berpikir begitu? Saya sama sekali tidak tahu tentang itu.” 

“Baiklah kalau begitu. Bisa Anda menjelaskan, di mana Anda berada waktu itu? Apa Anda sedang lari pagi?”

“Oh, rupanya pembantu saya sudah bercerita tentang kebiasaan saya, ya? Sayang sekali, pada tanggal 13 Maret saya tidak lari pagi. Saya di rumah.”

“Oh ya? Dari mana Anda tahu kalau itu tanggal 13 Maret? Padahal saya sama sekali tidak bicara tentang tanggal.”

Laras terkejut sesaat. Letda Ryan menatapnya. Ia merasa sudah dekat dengan jawaban yang selama ini dicarinya. 

“Tentu saja saya ingat,” jawabnya, “Semua orang juga ingat tanggal kejadian itu.”

“Tidak semuanya, tapi saya akan memberi alasan mengapa Anda selalu ingat tanggal itu,” tutur Ryan. “Pada tanggal 13 Maret Anda sudah mempunyai rencana. Anda bangun pagi, dan mendatangi Pak Yatna yang sedang membakar sampah, lalu menyapanya. Karena Pak Yatna kenal Anda, ia tidak curiga. Anda sudah merencanakan hal ini dengan matang, bukankah pada tanggal itu Ibu Anda meninggal dan Anda mempunyai dendam terhadap Pak Yatna?”

Wajah Laras memucat, namun sebagai sarjana psikologi, dengan cepat ia bisa menguasai kembali perasaannya. Tetapi perubahan wajah itu telah tertangkap oleh Letda Ryan.

“Cerita yang menarik, Sersan.” 

“Sersan? Saya Letnan! Letnan Dua Ryanda Natawijaya! Siapa yang membantu Anda membunuh Pak Yatna?” tanyanya menatap Laras. Entah berapa lama keduanya pun saling tatap dan berusaha mengalahkan tatapan lawan bicara, tetapi di balik itu semua keduanya juga saling mengagumi.

Laras membuang muka, dan menatap keluar jendela, sambil menarik napas panjang. Lama ia diam. Tetapi akhirnya ia mau berbicara. 

“Baiklah ... saya akui ... Anda memang benar, Letnan Ryanda Natawijaya. Tak ada gunanya lagi saya mengelak. Anda sudah tahu semua. Tapi asal tahu saja, saya melakukannya sendirian. Saya rasa untuk melenyapkan kambing tua itu tidak perlu bantuan siapa pun. Saya memang mempunyai dendam. Sepuluh tahun lamanya dendam itu saya pendam.”

“Sepuluh tahun lalu ia datang ketika Ibu saya tampak sendirian. Ia pura-pura berbaik hati mau menolong Ibu, mengobati penyakit dengan tusuk jarum. Tapi ia tidak hanya mengobati! Ia juga merayu dan merajut kembali kenangan gilanya. Bisa Letnan bayangkan, betapa sakit hati saya ketika melihat ibu diraba-raba dan diciumnya. Saya melihatnya dari balik pintu. Ih! Menjijikkan!”

“Suatu hari ketika Ibu terjatuh dan tidak bisa bergerak, saya datang ke rumahnya dan memohon padanya untuk menolong Ibu, tapi ia menolak. Bahkan menyuruh saya pulang dan membawa Ibu ke rumah sakit saja. Saya berlutut dan menangis di depannya, tapi sama sekali ia bergeming.”

“Kalau saja itu bukan permintaan Ibu, saya tidak akan pergi ke rumahnya. Ibu menangis, mendengar saya ditolak mentah-mentah. Itu adalah permintaannya yang terakhir. Ia ingin diobati si bajingan Yatna.”

“Ketika itulah saya berjanji dalam hati, suatu waktu saya akan memberi pelajaran atas perbuatannya terhadap Ibu. Sepuluh tahun dendam saya tidak pernah sirna dan akhirnya kesempatan itu datang.”

“Saya menghampirinya ketika ia sedang membakar sampah. Saya menyapanya dan ia gembira sekali! Ah, bodohnya! Saya meminjam belatinya, eh, ia memberikannya. Saya tusuk pun ia hanya melotot tanpa sedikit pun berteriak.”

Letda Ryan merinding mendengar cerita itu. Ia tidak percaya, gadis manis di hadapannya itu ternyata pendendam dan pembunuh berdarah dingin. 

Letda Ryan mencoba menenangkan hatinya yang berkecamuk.

“Lebih baik Anda menyerahkan diri dan sekarang kita ke kantor polisi.” 

“Ke kantor polisi? Tidak Letnan, saya tidak akan ke kantor polisi!” katanya keras. “Tidak ada saksi mata yang melihat saya membunuh. Tidak ada sidik jari dan barang bukti, ‘kan? Saya sudah membakar sarung tangan saya dan Anda tidak bisa membawa saya karena tidak ada surat perintah penahanan bagi saya.”

Ucapan Laras seperti penuh kemenangan. “Jangan khawatirkan itu karena surat perintah akan segera datang.” 

“Terserah Anda, Letnan. Sementara itu saya akan mandi dulu. Jangan khawatir, saya tidak akan kabur. Saya juga sudah lelah dan ingin mengakhiri semuanya.”

Letda Ryan tidak bisa berbuat apa-apa. Beberapa saat ia duduk bengong, tetapi ketika sadar kembali, ia cepat-cepat menelepon kantornya agar segera membuat surat perintah penahanan. 

Teriakan Cicih membuat Letda Ryan terkejut. Segera ia lari ke arah jeritan. Dalam sebuah kamar, ia melihat Laras telentang di tempat tidur. Darah segar mengalir dari tangannya.

Letda Ryan menghampirinya dan segera membalut pergelangan tangan Laras. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat tubuh Laras yang terkulai lemas. 

Dengan kecepatan tinggi ia melarikan mobilnya menuju ke rumah sakit. Walaupun dokter berusaha keras menolong Laras, namun terlambat sudah. Nyawa Laras tidak tertolong. Selain mengiris pergelangan tangan dengan silet, sebelumnya ia juga menelan pil tidur melebihi dosis.

Di kamar Laras, Letda Ryan berdiri terpaku menatap setumpuk buku dan catatan harian Laras. Ada sesal terpancar di wajah Letnan polisi itu. Mengapa ia selalu terlambat bertindak? Mengapa ia membiarkan Laras mandi dulu? (R. Yuliantina)

Baca Juga: Ada Tiga Ayala

 

" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605994/dendam-masa-lalu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670836576000) } } }