array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3605619"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/12/dua-permadi-tewas-di-luar-pentas-20221212090329.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(125) "Endang ditemukan tewas mengenaskan di kamarnya. Ia merupakan bintang wayang orang Hesti Bratha yang berperan sebagai Permadi."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/12/dua-permadi-tewas-di-luar-pentas-20221212090329.jpg"
      ["title"]=>
      string(32) "Dua Permadi Tewas di Luar Pentas"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-12 09:03:47"
      ["content"]=>
      string(27160) "

Intisari Plus - Endang ditemukan tewas mengenaskan di kamarnya. Ia merupakan bintang wayang orang Hesti Bratha yang berperan sebagai Permadi.

--------------------

Colomadu, kota kecamatan yang terkenal dengan pabrik gulanya terletak sekitar delapan kilometer barat Kota Solo. Senin subuh, 5 Januari 1987, kota kecil itu gempar. Seorang wanita muda cantik ditemukan tewas di tempat tidurnya.

Kapolsek Colomadu, Iptu Subroto Jono, yang baru dua bulan pindah dari Polsek Palur, cepat bangun mendengar ketukan di pintu kamarnya. Bharutu Darmadi, bagian piket, berdiri di depan pintu dengan seorang hansip kelurahan.

“Lapor, Pak! Ini Hansip Dahlan dari Kelurahan Paulan. Dia melaporkan, di desanya terjadi pembunuhan.”

“Baik, saya segera ke sana. Tolong hubungi dr. Simon di rumahnya,” perintah Iptu Subroto.

Kabut masih menggantung, lampu penerangan jalan pun masih menyala. Rumah korban terletak di timur pabrik gula. Rumah tembok bercat putih itu penuh orang.

Korban masih muda, berkulit langsat, hidung mancung, dan dagu berbelah dua. la ditemukan di kamar utama, yang menghadap taman samping. Namanya Endang Setyowati, primadona wayang orang “Hesthi Brata” yang tengah manggung di Balai Kesenian “Panti Krido” Colomadu.

la ditikam pisau beberapa kali di leher, dada, perut, yang semuanya di bagian kanan tubuh korban. Seprai tempat tidumya acak-acakan, penuh darah sampai tembus ke kasur. Bantal guling dan selimut bernoda darah terlempar ke lantai. Artinya, korban sempat melawan, meski akhirnya kalah. Iptu Subroto teliti melihat sayatan kulit ari di balik kuku-kuku panjang jemari korban. Mungkin pelaku sempat dicakar.

 

Pacarnya berkunjung

Iptu Subroto tidak melihat tanda-tanda perampokan atau percobaan perkosaan. Semua benda di rumah itu utuh. Di meja samping tempat tidur terdapat piring berisi buah-buahan dan tiga bungkus obat resep dokter dari sebuah apotek di Kartosuro. Dokter Simon yang datang dengan paramedis langsung memeriksa korban.

“Sebenarnya semua tusukan itu tidak begitu membahayakan. Korban tewas karena kehabisan darah. Ada dua kemungkinan. Si pembunuh tidak profesional atau korban pintar menghindar,” ujar dokter kepolisian itu.

“Melihat posisi dan luka korban, semuanya ada di bagian kanan tubuh. Sedangkan pelaku tentunya ada di kanan tempat tidur, karena bagian kiri dan kepala ranjang mepet tembok. Saya duga, si pelaku kidal,” ujar dokter berperawakan langsing itu.

“Kira-kira kapan peristiwa ini terjadi, Dok?”

“Melihat darah sudah membeku, kira-kira lewat tengah malam.”

“Mungkinkah korban mengenali penyerangnya, Dok?”

“Mungkin saja, tetapi....,” katanya sambil mengambil kantung obat. “CTM 4 mg ini membuat korban terlelap. Begitu masuk kamar yang tak terkunci, pelaku leluasa bertindak.”

Iptu Subroto, keluar kamar menghampiri kerumunan orang. “Siapa yang pertama kali menemukan korban?” serunya.

“Saya, Pak! Saya Suparmi, pembantu Mbak Endang,” sahut seorang wanita muda dengan suara gugup.

Di ruang tamu Suparmi bercerita, “Biasanya Mbak Endang minta dibangunkan pukul lima, untuk jalan pagi atau bersepeda. Kamar tidurnya memang tidak pernah dikunci. Begitu melihat Mbak Endang berlumuran darah dan tempat tidurnya awut-awutan, saya panik dan langsung berteriak.”

“Apa tadi malam ada tamu?” tanya Iptu Subroto.

“Ada. Pak Edy ... Edy Harsono. Pacar Mbak Endang.”

“Apa kamu tahu alamatnya?”

“Katanya di daerah Manahan. Pak Edy itu kawan Mas Setyawan, kakak Mbak Endang. Mas Setyawan bekerja di Kartosuro, ia setiap hari pulang kemari. Tapi Jumat sore lalu, dia pulang ke rumah orang tuanya di Boyolali, sebab Sabtu-Minggu libur. Seninnya baru dia kemari.”

“Apa ada tamu lain lagi?” sela Bharutu Darmadi.

“Bu Wagiyah, Pak,” jawab Suparmi takut-takut, “tukang pijat tunanetra langganan Mbak Endang.”

“Apa dia membawa kawan?”

“Tidak, dia selalu sendirian. Setelah manggung malam Minggu kemarin Mbak Endang sakit. Minggu pagi minta resep dr. Pandoyo langganannya. Saya yang ambil resep di Apotek Kresna.” 

“Jam berapa Pak Edy datang?” tanya Iptu Subroto kembali.

“Sekitar pukul 20.00, baru pulang pukul 22.00. Pas waktu itu lewat Bu Wagiyah yang selalu membawa krencengan kaleng kalau sedang berkeliling.”

“Apa tiap malam Pak Edy datang kemari?”

“Tidak. Cuma tiap Minggu sore, saat itu Mbak Endang libur, enggak menari. Hesthi Bratha tidak main.”

“Setelah Pak Edy pulang dan Bu Wagiyah memijat Endang, kamu ke mana?”

“Tidur, Pak. Disuruh Mbak Endang. Kamar saya di belakang.”

“Apa semalam kamu tidak mendengar apa-apa? Misalnya orang berteriak minta tolong atau suara ribut dari kamar Endang?” 

“Tidak, Pak. Saya langsung pulas,” jawabnya lirih. 

“Jadi, kamu juga tidak tahu jam berapa Bu Wagiyah pulang? Lalu siapa yang mengunci pintu?”

“Biasanya Mbak Endang sudah terlebih dulu membayar Bu Wagiyah. Pintu ruang tamu tinggal ditarik dari luar. Pintu akan mengunci asalkan tombol bagian dalam ditekan.

Iptu Subroto meminta anak buahnya segera memanggil Setyawan, Edi Harsono, dan Bu Wagiyah. Sementara itu jenazah Endang Setyowati dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi.

 

Petunjuk tukang pijat

Bu Wagiyah, wanita separuh baya itu tampak gemetar ketika tahu dipanggil polisi.

“Jangan takut, Bu. Jawab saja apa adanya, seperti yang Ibu tahu,” bujuk Iptu Subroto.

“Saya memijat Bu Endang kira-kira sampai pukul 23.00 lebih, soalnya Bu Endang tertidur ketika lonceng di gardu hansip berbunyi sebelas kali. Saya langsung pulang sesudah menutup pintu kamarnya.”

“Pintu kamar cuma ditutup, tidak dikunci. Bagaimana dengan pintu ruang tamu?”

“Saya yang mengunci,” Bu Wagiyah menuturkan seperti penjelasan Suparmi.

“Ibu yakin pintunya sudah terkunci?”

Wanita gemuk itu mengangguk. Lalu Iptu Subroto menoleh ke Suparmi.

“Suparmi, siapa lagi yang menyimpan kunci rumah?”

“Satu dipegang Mas Setyawan, Pak.”

Iptu Subroto mengamati slot pintu ruang tamu. “Slot dengan anak kunci pipih begini biasanya punya tiga anak kunci. Lalu, mana yang satu lagi, Suparmi?”

“Mungkin disimpan yang punya rumah, Pak. Ini ‘kan rumah kontrakan.”

Pertanyaan kembali diajukan ke Bu Wagiyah.

“Sebelum pulang, apa Ibu bertemu seseorang?”

“Iya, sepertinya ada orang datang ketika saya di halaman,” jawab Bu Wagiyah yakin. 

“Laki-laki atau perempuan?” lanjut Iptu Subroto. 

“Ah, Bapak kok bercanda….”

“Oh, maaf. Kok Ibu tahu ada orang datang?”

“Dari bunyi langkahnya. Meski sudah dibuat sepelan mungkin tetapi suara sepatunya di batu-batu halaman tetap berisik. Bau minyak wanginya pun amat harum. Menilik baunya, dia bukan orang sembarangan.”

“Maksud Ibu?”

“Dia pasti orang kaya. Saya sering memijat orang-orang kaya sekitar Colomadu, termasuk manajer pabrik gula, tapi saya belum pernah mencium yang seharum itu. Dari jauh, bau harum dan lembut nya masih tercium. Sampai kapan pun saya tidak akan lupa.”

“Lain kalau minyak wangi murahan. Dipakai sedikit tidak wangi, kalau banyak malah bikin pusing. Bau rokoknya juga lain, bukan rokok kretek,” katanya sambil tersenyum.

“Orang tadi tidak bicara apa-apa dengan Ibu?”

“Tidak. Meski saya sapa, dia diam saja. Tetapi saya yakin, di dekat saya ada orang,” jawab Bu Wagiyah.

Tidak lama kemudian, datang Setyawan dengan Edy Harsono. Begitu tahu apa yang terjadi, Setyawan langsung pingsan. Melihat itu, Iptu Subroto meminta Edy Harsono dan Setyawan melengkapi keterangan di kantor polisi.

 

Ditaksir “cakil”

Iptu Subroto dengan Bharutu Darmadi langsung ke Gedung Panti Krido, aula pertunjukan yang selama ini disewa Grup Wayang Orang Hesthi Bratha. Di belakang gedung tua yang menghadap jalan utama itu berderet bangunan petak yang dihuni para “anak wayang” yang masih membujang.

Kedatangan mereka disambut oleh Pak Puntodewa. Bujangan berurriur 40-an itu koordinator wayang sekaligus sutradara.

“Apa Pak Puntodewa sudah mendengar kabar tentang Endang?” tanya Iptu Subroto sambil mengamati pria nyentrik itu.

“Sudah. Di kota kecil berita apa pun cepat tersebar. Apalagi musibah itu menimpa primadona kami, yang juga public figure masyarakat pencinta wayang. Tetapi Ibu Christina sudah saya telepon. Dia meminta saya memberi bantuan seperlunya, sebab selama ini Endang banyak berjasa pada Hesthi Bratha,” jawabnya pelan sambil menyulut rokok kretek.

“Siapa itu Ibu Christina?” Iptu Subroto ingin tahu.

“Pemilik wayang orang ini. la tinggal di Purwosari, Solo,” ujar Puntodewa sambil menyebutkan alamatnya.

“Dia keturunan asing, bapak Eropa, ibu asli Solo. Dari kecil sampai usia 20-an dia di luar negeri. Waktu ayahnya meninggal, ia kembali ke Solo. Dengan warisan ayahnya, ia hidup berkecukupan. Selain wayang orang, dia punya perusahaan batik dan tenun di Kleco.”

“Sejak kapan Pak Puntodewa bekerja sama dengan Bu Christina?”

“Dulu saya ikut grup wayang orang Sekar Budoyo. Ketika bangkrut, wayang orang itu dibeli oleh Bu Christina. Namanya diganti menjadi Hesthi Bratha.”

Puntodewa pun bercerita betapa kelompok ini terseok-seok, Bu Christina sampai nombok-nombok. Namun, sekitar dua tahun lalu, Puntodewa menemukan Endang Setyowati dan Hardiman, dua penari yang baru lulus dari akademi tari. Begitu keduanya bergabung, pamor Hesthi Bratha bersinar.

“Banyak penonton pria kesengsem dengan Endang dan ingin kenal dekat.”

“Adakah kawan seprofesinya yang juga naksir?” tanya Iptu Subroto.

“Ada, ya itu kawan di sekolah tarinya, Hardiman. Hardiman sering jadi Cakil, sedangkan Endang sebagai Abimanyu atau Permadi,” tutur Puntodewa sambil tersenyum.

“Kan Endang sudah punya pacar?” ujar Bharutu Darmadi.

“Itu sebabnya, Hardiman jadi suka minum, mabuk-mabukan. Semalam ia pulang larut, hampir pukul 02.00.”

“Sekarang mana orangnya?”

“Tadi di kamar, mungkin masih tidur.’’

“Boleh bicara sebentar dengannya?”

Tak berapa lama muncul Hardiman yang tinggi semampai, berkulit bersih, cocok memerankan tokoh “Cakil”. Pagi itu, si Cakil tampak lesu parah.

“Masih ngantuk, ya? Semalam dari mana dan pulang pukul berapa?” Iptu Subroto membuka percakapan.

“Dari tempat karaoke di Kartosuro, lalu minum-minum dengan teman di warung pojok pabrik,” jawabnya.

“Saya ingin sedikit tanya soal tewasnya Endang Setyowati tadi malam. Anda sudah tahu?” tanya Iptu Subroto sambil mengamati reaksi Hardiman. Si Cakil yang lincah di panggung itu tersentak lalu lunglai di kursinya.

“Pipi kanan Anda luka baret, kenapa?” tanya Iptu Subroto. 

“Ini .... kena cincin Wawan, waktu berlatih Sabtu kemarin,” jawabnya pelan.

“Benar, waktu luang dimanfaatkan anak-anak untuk berlatih. Waktu itu Hardiman salah posisi. Akibatnya, dia benar-benar kena tinju Wawan yang kebetulan bercincin,” tambah Puntodewo.

 

Enggan menikah

Tengah hari Iptu Subroto dan Bharutu Darmadi kembali ke kantor. Setyawan dan Edy Harsono sudah di ruang tunggu.

“Oh ya, Setyawan. Apakah kau menyimpan kunci rumah itu?” tanya Iptu Subroto sambil menyerahkan surat pengantar dari kepolisian untuk mengambil jenazah Endang dari rumah sakit.

“Betul, Pak. Kunci cuma dua, yang satu dibawa Endang.”

“Slot model begitu biasanya punya tiga anak kunci. Di mana lagi yang satu, ya? Pemilik rumah mengaku tidak membawa,” tutur Iptu Subroto, lalu mengalihkan perhatian ke Edy Harsono, “Mas Edy Harsono, benarkah semalam menemui Endang? Sampai pukul berapa?”

“Kira-kira pukul 22.00.”

“Saat Anda pulang, siapa lagi yang datang?”

“Cuma tukang pijat langganan Endang.”

“Maaf, ini soal pribadi. Sejak kapan kenal Endang?”

“Sejak lama sebab Setyawan kawan SMA saya. Tapi hubungan serius kami baru mulai sekitar setahun lebih, setelah saya bekerja di bank.”

“Waktu itu Endang sudah jadi penari wayang orang, kau tidak cemburu atau malu mempunyai calon istri ‘anak wayang’?” pancing Iptu Subroto.

Dengan mantap Edy menggeleng, “Malah saya sudah mengajak Endang menikah, tapi ia selalu menolak. Saya tidak tahu apa masalahnya. Kalau saya desak Endang malah menangis.”

“Kok aneh. Kalau Setyawan bekerja di mana?”

“Di bengkel agen mobil Jepang di Kartasura,” jawab Setyawan pelan.

Selasa, 6 Januari, pukul 10.00, Iptu Subroto dan wakilnya Sertu Waluyo pergi ke sebuah rumah mewah di daerah Purwosari, Solo. Di pilar gerbang terpasang plat nama kuningan berhuruf gotik bertuliskan: Christina Muller.

Seorang wanita setengah baya menghampiri gerbang.

“Bapak mencari siapa?” tanyanya sedikit curiga.

“Kami petugas Kepolisian Colomadu, ingin bertemu Ibu Christina Muller.”

“Oh, Bapak yang tadi telepon, ya? Silakan masuk.”

Christina Muller, sebagaimana wanita Indo lain, berpostur tinggi dengan paras cantik dan rambut kemerahan. Wanita berusia 35-an itu terbungkus baju hangat dengan syal melilit leher.

“Maaf, saya sedang flu. Silakan duduk,” sambutnya sambil terbatuk-batuk kecil.

“Apa Ibu sudah mendengar tentang Endang?”

“Ya. Kemarin pagi saya ditelepon Puntodewa. Saya kaget sekali. Kasihan Endang. Kok ada orang tega berbuat sekejam itu, padahal Endang sangat baik. Nanti sore saya akan ke rumahnya, selamatan tiga hari kematiannya.”

“Kapan Ibu terakhir bertemu Endang?” tanya Iptu Subroto. 

“Malam Minggu kemarin. Saat itu dia menari untuk .... yang terakhir,” jawabnya dengan isak tertahan. Minuman disajikan pembantunya. Ketika Christina mempersilakan tamunya, Iptu Subroto mengamati, wanita Indo itu tidak kidal.

“Minggu malam saat Endang terbunuh, Ibu di mana?” sela Sertu Waluyo.

“Di rumah saja. Sorenya saya dari dokter.”

“Dua tahun Endang bergabung dengan Hesthi Bratha, tentu Ibu sangat mengenalnya.”

“Ya, Endang anak baik, penurut, dan disiplin. Tapi akhir-akhir ini ia banyak berubah, sering mangkir. Pasti ia dipengaruhi orang lain.”

“Siapa orang itu, Bu?” 

“Siapa lagi kalau bukan pacarnya. Dengar-dengar, kalau sudah menikah ia mau keluar dari Hesthi Bratha,” ujarnya geram. 

“Ibu dengar dari siapa bahwa Endang mau keluar?” 

“Dari koordinatornya, Puntodewa!”

 

Misteri botol parfum

Dua minggu berlalu, kasus itu belum terpecahkan. Pagi itu, seperti biasa, Iptu Subroto sarapan, di warung Bu Joyo di pojok pasar. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sapaan seseorang. 

“Eh, Hardiman. Bagaimana kabar kawan-kawan? Sini duduk dekat saya,” ujar Iptu Subroto, “kabarnya, kamu naksir berat dengan Endang, ya?’’

“Ah, enggak, Pak! Saya ‘kan tahu diri. Diam-diam Endang itu ‘kan pacar bos, semua anak wayang tahu,’’ tukas Hardiman.

“Maksudmu, Puntodewa?”

“Bukan! Tapi Bu Christina! Puntodewa itu paman Bu Christina. Dia adik tiri ibu Bu Christina, seayah lain ibu. Waktu datang dari luar negeri, Bu Christina sudah janda cerai.”

Ini informasi baru yang cukup berharga.

“Kalau Pak Puntodewa apa statusnya, duda atau bujangan?” selidik Iptu Subroto.

“Perjaka tua. Dulu ia punya pacar, janda beranak satu, namanya Sulastri. Penari utama Hesthi Bratha juga. Orangnya sombong, suka mabuk, juga sering ribut dengan teman. Saat Endang masuk, dia keluar. Entah di mana dia sekarang.”

Saat Subroto tiba di kantor, di ruang tunggu sudah ada Hansip Dahlan bersama pria remaja gondrong, berkulit hitam. Meski pakaiannya kumal, baunya harum sekali. Menurut laporan Hansip Dahlan, anak itu bernama Sutimin, kemenakan Bu Wagiyah. Sutimin dituduh mencuri. Sebagai barang bukti, ia menyerahkan tas wanita hitam. Iptu Subroto segera tahu, tas bermerek itu dari luar negeri. Saat isinya dikeluarkan, berhamburan alat rias, minyak wangi dari Paris, kartu ATM atas nama Christina Muller, rokok mentol impor, dan sejumlah kartu nama Christina Muller.

“Bagaimana awal mula cerita semua ini?” tanya Iptu Subroto.

“Tadi pagi Bu Wagiyah menemui saya. Ia curiga karena kemenakannya harum sekali, seperti bau wangi tamunya Bu Endang, yang berpapasan dengannya di halaman,” papar Dahlan.

“Sutimin, selain semua barang ini, adakah barang lain yang kau ambil?” tanya Iptu Subroto kebapakan.

“Tidak ada, Pak. Cuma ini,” jawabnya takut.

Sutimin pun menceritakan bagaimana ia mencuri tas itu. Di malam kejadian, pukul 23.30 ia bermaksud menjemput Bu Wagiyah di rumah Bu Endang. Tapi 50 m sebelum rumah Endang, ia melihat mobil diparkir di tempat gelap. Timbul niat isengnya, apalagi pintu mobil tidak dikunci. Ketika pintu dibuka dan lampu kabin menyala, Sutimin melihat tas wanita tergeletak di jok depan. Diambilnya barang itu dan buru-buru pulang.

Lama tas itu disembunyikan. Baru kemarin ia membukanya lalu memakai minyak wanginya. Tapi Bu Wagiyah marah besar begitu mencium bau harum di tubuh Sutimin, yang mirip bau “tamu” Bu Endang.

“Ciri apa yang masih kuingat dari mobil itu? Nomor polisi, merek, atau yang lainnya?”

“Anu, saya cuma tahu catnya merah. Kalau tidak salah di kaca spion dalam tergantung hiasan kulit mentah, gambar wayang Permadi. Ditatah warna emas dalam lingkaran merah dan biru.”

Baru saja Dahlan dan Sutimin pergi, anak buah Iptu Subroto melapor bahwa Setyawan hendak bertemu.

“Apa kabar? Silakan duduk?” sambut Iptu Subroto.

“Ip, saya akan pindah kos yang lebih dekat dengan tempat pekerjaan. Saat membereskan lemari Endang, saya menemukan surat-surat ini, mungkin berguna,” katanya.

Semua surat itu dari Christina Muller. Isinya? Ungkapan cintanya pada Endang.

Jadi, Iptu Subroto mereka-reka, di malam kejadian, Christina ada di TKP. Apakah ia bertindak sendiri saja? Atau dibantu orang kepercayaannya, misalnya Puntodewa? Iptu Subroto menduga, Christina Muller yang lesbi takut kekasihnya direbut orang. Selain itu, bila Endang keluar, Hesthi Bratha terancam bangkrut. Dua kemalangan bakal beruntun menimpanya.

Saat Iptu Subroto beranjak, hendak mendatangi Christina Muller, Sertu Waluyo masuk sambil membawa buku laporan harian.

“Lapor, Ip. Di buku ini tertulis, tanggal 18 Oktober 1986, Sabtu pukul 22.00 Christina Muller kehilangan sebuah tas wanita warna hitam. Tempat kehilangan: halaman belakang gedung pertunjukan “Panti Krido”. Ketika pelapor mengontrol anak buahnya, tas hilang dari mobilnya yang diparkir. Isinya beberapa ratus dolar Amerika, uang rupiah, minyak wangi, alat kosmetik, kartu ATM, dan seikat kunci termasuk kunci rumah, kunci lemari, dan lemari besi.”

Iptu Subroto curiga, jangan-jangan itu rekayasa Christina Muller. Artinya, pembunuhan itu sudah direncanakan jauh hari, tiga bulan sebelumnya. 

“Pak Waluyo, tolong hubungi Hesthi Bratha, saya mau bicara dengan Puntodewa.”

“Hesthi Bratha sudah pindah seminggu yang lalu.”

“Celaka, kalau begitu kita ke rumah Christina Muller!”

 

Sulastri kalah bersaing

Pukul 21.00 mereka berdua bertamu ke rumah Christina Muller. “Pak Iptu, Oktober lalu saya benar-benar kehilangan. Waktu itu Kapolseknya masih Pak Siagian. Saya tidak merokok mentol, rokok saya kretek filter. Tapi setelah kena bronkitis, saya berhenti merokok.”

Saat Iptu Subroto meletakkan beberapa lembar surat di meja depannya, Christina bisa mengenalinya. la pun mengaku, “Sejak remaja saya merasa lebih tertarik pada sesama jenis. Saya mencoba melawan, antara lain dengan menikah. Tapi, perkawinan itu gagal. Ketika bertemu Endang di sini, saya jatuh cinta padanya. Saya mulai sadar, kala Endang punya pacar dan berkali-kali minta diizinkan menikah.”

Malah malam minggu sebelum kematian Endang, ia mendorong Endang untuk segera menikah, “Saya pun siap membantu kalau ia mendapat kesulitan keuangan. Hesthi Bratha pun terbuka untuknya.”

“Di malam kejadian, ada anak mencuri tas Ibu dari sebuah mobil merah. Ibu punya mobil merah?” selidik lptu Subroto.

“Mobil saya cuma satu, itu pun abu-abu metalik. Tapi……,” Christina teringat sesuatu, “van merah. Mungkin seperti yang saya curigai.”

“Tas saya hilang pas malam Minggu, saat itu penonton wayang berjubel. Saya begitu saja meninggalkan tas di mobil yang saya parkir di samping van merah. Begitu ingat, saya segera kembali ke mobil. Tapi tas saya raib. Van merah itu pun sudah pergi. Menurut tukang parkir itu van Sulastri.” 

“Sulastri pacar Pak Puntodewa?” selidik Iptu Subroto.

“Betul. Dulu dia penari juga primadona kami. Selalu menjadi ksatria, misalnya Permadi, Arjuna, atau Irawan. Sayangnya ia sombong, pemabuk, dan pemarah. la menari dan menjadi anak wayang semata-mata untuk mencari nama karena ia anak orang kaya.”

“Selain itu, Sulastri kidal. Kalau ada adegan perang dengan keris, lawan mainnya sering salah antisipasi. Ketika Endang masuk, dia tersingkir. Sebab Endang lebih muda, cantik dan pintar. Sulastri pun mengundurkan diri.”

“Permadi” dan “kidal” itu kata kunci yang didapat Iptu Subroto.

“Apakah Bu Christina juga menyimpan kunci pintu rumah Endang?” sela Sertu Waluyo.

“Tentu, sebab rumah itu saya yang menyewa. Tapi kunci itu hilang bersama tas saya.”

“Di mana alamat Sulastri sekarang?”

“Entahlah, tapi mungkin Puntodewa tahu. Sekarang Hesthi Bratha baru main di Banyudono. Besok akan saya minta Puntodewa menghadap dan mengantar Bapak ke rumah Sulastri.”

 

Pengakuan saat mabuk

Jumat pagi, 13 Februari, Hardiman datang ke Polsek Colomadu.

“Lo, mana Pak Puntodewa?” tegur Iptu Subroto.

“Pak Punto dapat musibah, tadi malam Bu Sulastri yang mabuk, minta diantar pulang oleh Pak Punto. Di jalanan menurun di Kandang Menjangan, remnya blong. Mobilnya menghantam pohon mahoni di tepi jalan.”

“Pak Puntodewa hanya luka-luka, tetapi kabarnya Bu Sulastri meninggal di Rumah Sakit Delanggu.”

Di rumah sakit yang bersih dan terawat itu Iptu Subroto dan Hardiman, dengan didampingi seorang dokter, menemui Puntodewa.

“Bagaimana keadaannya, Pak,” tanya Iptu Subroto. 

“Syukurlah, Pak. Cuma sedikit lecet dan memar. Tapi Sulastri meninggal. Ada yang ingin saya ceritakan.”

“Dalam keadaan mabuk itu Sulastri mengaku sebagai pelaku pembunuhan Endang. Itu karena ia iri, cemburu, dan sakit hati. Popularitasnya sebagai primadona telah terenggut. Apalagi ketika ia tahu hubungan Endang dengan Christina. Ia menilai itulah sebab mengorbitnya Endang,” ujarnya sambil meringis menahan nyeri.

Tadi malam, sekitar pukul dua, usai pertunjukan ia kaget melihat Sulastri ada dalam mobil yang diparkir di pojok pekarangan. Padahal Sulastri sudah lama meninggalkan panggung.

“Sulastri sedang mabuk, ia meracau tak karu-karuan,” ujar Puntodewa sedih sambil menirukan omelan Sulastri, “Katanya, ‘Endang, engkau dulu merebut gelar primadonaku. Itu karena kau anak emas bos, kekasih bos. Aku benci kamu. Matilah kamu, Endang! Mulai malam ini, gelar itu kembali ke tanganku. Meski harus kuambil dengan paksa, maaf Endang. Aku terpaksa menghentikan kariermu!’”

Rupanya Sulastri tengah merayakan kemenangan.

“Lalu ia minta saya mengantarnya pulang. Ia terus meracau, akibatnya konsentrasi saya buyar. Di jalan menurun tajam di Kandang Menjangan, baru saya sadari rem blong. Mobil saya banting ke kanan, tapi terlambat. Mobil menghantam pohon mahoni pembatas jalan.”

“Lalu jenazah Sulastri?” tanya Iptu Subroto.

“Barusan dibawa ke kamar mayat,” kata dokter.

“Di mana mobilnya sekarang?”

“Di Polsek Delanggu, Pak. Bagian kirinya rusak parah,” ujar Puntodewa.

Di halaman Polsek ada beberapa mobil rusak, salah satunya van merah cabai, yang hancur sebelah kirinya. Iptu Subroto mengamatinya. Benar di kaca spion tergantung gambar wayang kulit “Permadi” dari kulit mentah dipahat rapi dalam lingkaran merah dan biru.

Di laci dashboard berserakan rokok mentol impor. Di tombol pemantik api tergantung karton putih kartu servis dari bengkel di Kartosuro.

Iptu Subroto menelepon bengkel itu. Dari perbincangan lewat telepon, petugas bengkel membenarkan telah memberikan perawatan berkala terhadap van merah Sulastri.

“Diservis siang, malamnya remnya kok blong?” kata Iptu Subroto. 

“Benarkah? Teknisi yang menangani itu orang terbaik saya, lo Pak!”  

“Siapa namanya?” 

“Setyawan. Tapi sekarang ia cuti. Katanya, akan mengadakan selamatan 40 hari meninggalnya adiknya.” (Riady B. Sarosa)

Baca Juga: Terkecoh Piringan Hitam

 

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553605619/dua-permadi-tewas-di-luar-pentas" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670835827000) } } }