array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3304127"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/korban-wanita-simpanan-odonata-20220603015110.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(161) "Carla memiliki hubungan gelap dengan lelaki lain. Suatu hari setelah pertengkaran kecil karena kunjungan petugas asuransi, ia ditemukan tewas. Siapa pembunuhnya?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/korban-wanita-simpanan-odonata-20220603015110.jpg"
      ["title"]=>
      string(22) "Korban Wanita Simpanan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-03 13:52:09"
      ["content"]=>
      string(42513) "

Intisari Plus - Carla memiliki hubungan gelap dengan lelaki lain. Suatu hari setelah pertengkaran kecil karena kunjungan petugas asuransi, ia ditemukan tewas. Siapa pembunuhnya?

-------------------------

Aku sama sekali-tidak percaya, Carla temyata mau tidur dengan lelaki lain. Kalau memang benar, artinya selama ini ia telah berkhianat. Bisa jadi aku adalah lelaki kedua atau kesekian dalam hidupnya.

Siang tadi ia meneleponku di kantor. Sesuatu yang jarang sekali dilakukan karena selama ini kularang. Tapi karena aku juga menganjurkan untuk tidak menghubungiku di rumah, Carla memang tidak punya pilihan lain. Yang disampaikannya cukup singkat, menolak ajakanku berkencan. Alasannya, ia harus menjenguk saudara perempuannya di Fulham yang kini sedang sakit keras.

Tentu saja aku agak kecewa karena rencana itu sudah kami buat jauh hari sebelumnya. Sambil menahan kesal, aku telepon istriku di rumah, memberi tahu akan segera pulang. Kebiasaan ini selalu kulakukan dari telepon umum di depan flat Carla. Sebuah tipuan yang sering kupakai untuk meyakinkan Elizabeth agar selalu merasa tahu di mana saja suaminya berada.

Sore itu kantor sudah sepi. Segera kubereskan berkas-berkas pekerjaan yang dapat aku kerjakan di rumah. Sejak perusahaan baru mengambil alih manajemen kantorku enam bulan lalu, tak hanya urusan akuntansi yang kutangani, tetapi bos juga menyuruhku mengerjakan semua tugas-tugasnya. Posisiku semakin sulit, karena mau tak mau aku harus menerima tugas ini kalau tidak ingin dipecat.

Di tengah perjalanan, pikiranku berubah, ingin mengajak Carla minum barang sebentar. Di Sloane Square, aku membeli seuntai bunga. Paling tidak, ingin memberi kesan bahwa aku tetap mencintainya. 

Segera kemudi kuarahkan menuju flatnya, sambil berharap mudah-mudahan ia belum berangkat menemui saudaranya. Sekilas aku teringat, sudah mengatakan pada istriku akan segera pulang. Tapi ah, aku tak peduli.

Seperti biasanya setiap kali mengunjungi Carla, aku selalu kesulitan parkir. Untung ada sebuah tempat kosong yang bisa untuk mobil Roverku. Ketika mau memarkir, secara tidak sengaja mataku melihat seorang lelaki keluar dari gerbang blok flat yang dihuni gadisku. 

Tentu aku takkan berpikiran yang bukan-bukan, kalau tidak melihat wanita yang mengikutinya dari belakang ternyata Carla. Dibungkus mantel rumah biru tua, Carla berdiri di lorong gerbang flat. Mereka kemudian berciuman sebentar, sebelum akhirnya si lelaki melangkah ke luar.

Penasaran aku mengintip dari kaca spion mobil, siapa lelaki tersebut. Ia berjalan menyeberangi jalan, pergi ke sebuah toko surat kabar atau majalah. Beberapa saat lamanya ia menghilang dan muncul lagi dengan membawa selembar koran sore serta sebungkus rokok. 

Ia menuju mobilnya, sebuah BMW biru. Sudah berapa lama ia parkir di situ? Jangan-jangan ia bersama Carla seharian. Lelaki tersebut lantas masuk ke mobil, merobek karcis parkir, dan menyalakan rokok sebelum meluncur pergi.

Saat itu hari sudah mulai gelap. Aku lalu menuju ke pintu flat. Ketika Carla membuka pintu, kusambut dengan senyuman lebar meski kecut. Kutatap mata birunya, yang sekian bulan lalu untuk pertama kalinya menjeratku dan segenap perasaanku. Di balik mantelnya Carla mengenakan daster merah anggur yang aku hadiahkan kepadanya Natal kemarin. 

Masih terdorong rasa penasaran, mataku segera menyapu seluruh isi rumah. Di atas meja kaca di tengah ruangan ada cangkir kopi bertulis 'Snoopy' yang selalu kupakai. Cangkir bekas kopi itu kosong. Di sebelahnya terletak cangkir Carla, juga dalam keadaan kosong. 

Namun vas yang terletak di tengah meja nampak baru saja diisi sekuntum bunga baru. Apa yang kulihat belakangan sempat membakar api cemburu, apalagi bungkusan bunga itu tak bisa lagi menyembunyikan kemarahanku.

"Siapa lelaki yang baru saja meninggalkan rumah ini?" 

"Seorang pengusaha asuransi," jawabnya sambil menyingkirkan cangkir-cangkir di meja tersebut. 

"Jenis asuransi apa yang ditawarkan padamu?" tanyaku tak sabar, "asuransi percintaan kalian, ya!" 

"Jangan menuduhku secepat itu!" nadanya tak kalah sengit. 

"Apakah kau biasa minum kopi dengan seorang pengusaha asuransi hanya memakai daster? Coba bayangkan, daster pemberianku lagi!"

"Aku akan minum kopi dengan siapa pun yang kusukai," jawabnya ketus, "dan memakai apa saja yang aku mau, terutama pada saat kau pulang ke rumah untuk menemui istrimu!”

"Tapi aku ingin menemuimu," aku mencoba tenang. 

"Setelah itu kembali ke pelukan istrimu! Ingat, kau selalu menganjurkan agar aku bisa bersikap mandiri dan tak selalu tergantung pada dirimu." 

Mau tak mau aku mati kutu. Karena memang itulah yang sering aku katakan padanya pada saat-saat ia harus menyembunyikan hubungan kami. 

"Oke, tapi apakah semudah itu?"

"Aku tahu begitu mudahnya kau tidur denganku setiap kali kau mau. Karena aku memang kau pakai untuk itu! Ya, 'kan?" Carla nampak sudah begitu emosional. Tanpa aku duga sebelumnya, tiba-tiba ia menghambur ke arahku. 

Dengan sekuat tenaga tangannya menampar wajahku. Belum lagi keseimbangan tubuhku kembali, ia sudah mengayunkan tangannya lagi ke wajahku. Kali ini aku bisa menahan gerakannya, bahkan kemudian aku mendorongnya mundur. 

Tanpa sadar aku melayangkan tinju ke mukanya. Tak pelak lagi ia jatuh terjerembap di lantai. Sekilas kulihat ia berusaha berdiri lagi untuk membalas. 

Tinjuku kembali melayang ke rahangnya. Tanpa melihat bagaimana Carla terhuyung jatuh, aku membuka pintu dan buru-buru pergi. Bergegas lari lewat koridor, menuju mobil, lantas tancap gas.

Rasa kesal, marah, dan jengkel menumpuk jadi satu di kepala. 

Toh kemudian, dalam perjalanan pulang aku amat menyesal telah memperlakukan Carla sedemikian buruk. Dua kali aku berniat balik ke flatnya untuk minta maaf. Apa yang ia katakan tadi memang benar. Itulah bukti kepengecutanku. Tapi mestinya ia menyadari betapa aku teramat mencintainya dan takut kehilangan.

Untunglah, sampai di rumah Elizabeth tak sempat menanyakan keterlambatanku, karena buru-buru ia tersenyum ketika kusodori sekuntum bunga mawar. Makan malam berlangsung amat cepat. Kukatakan kepada Elizabeth aku lelah. 

Agar tak sampai ketahuan apa yang sebenarnya baru kualami, rencana menelepon Carla dari rumah batal. Besok aku akan mengajak Carla makan siang di restoran Prancis kesukaannya. 

Ia pasti senang. Aku jarang mengajaknya ke luar, kecuali pada saat-saat tertentu setelah kami lelah bercinta.

Seperti biasa, Elizabeth cerita macam-macam tentang koran yang dibacanya pagi itu. Setelah segelas kopi habis, aku cium istriku, lantas berangkat ke kantor. Tiba-tiba ideku berubah. Aku ingin menaruh surat permintaan maaf ke dalam kotak surat Carla saja. Di atas notes kutulis, Maafkan aku. Marcel Pukul 1. Sole Veronique, Kamis. Love Casaneva.

Aku ambil jalan pintas agar bisa melewati flatnya, tapi ternyata terjadi kemacetan total. Seseorang mengatakan, terjadi kecelakaan. Terlihat ada ambulans meraung-raung sehingga kendaraan lain harus antre menunggu. 

Melihat keadaan itu, sangat tidak mungkin untuk memarkir mobil di kompleks flat Carla. Rencanaku berubah lagi, akan kutelepon Carla dari kantor saja. Tapi entah kenapa hatiku berdebar-debar, apalagi setelah melihat ambulans tersebut menuju blok flat tempat Carla tinggal. 

Timbul pikiran yang bukan-bukan di benakku. Semoga saja ini kasus kecelakaan biasa dan tidak terjadi apa pun dengan gadisku.

Namun, kejadian yang kulihat kemudian semakin membuat pikiranku kacau. Sebuah mobil polisi mengikuti ambulans dan parkir di belakangnya. Sementara itu pintu flat Carla nampak dibuka lebar. 

Seorang petugas mengeluarkan brankar ambulans dan memasuki flat Carla. Aku berhenti, melihat dengan teliti apa yang sedang terjadi sambil berharap pengendara di belakangku cukup sabar menunggu. Kemacetan sudah berkurang, mobil satu per satu perlahan mulai menjalar maju. 

Dari kejauhan kulihat kedua petugas tadi keluar dengan sebujur tubuh manusia di atas brankar. Aku tak bisa melihat wajahnya karena ditutupi kain. Tapi orang ketiga yang berjalan di belakang brankar tadi, barangkali seorang polisi, nampak menenteng tas plastik. 

Sepertinya tas itu berisi daster merah anggur kepunyaan Carla. Apa yang terjadi? Hatiku berteriak.

Sesampainya di kantor, aku segera menuju toilet. Robekan kertas undangan yang akan aku tujukan kepada Carla segera kurobek-robek dan kumasukkan ke kloset. Di ruangan kerja, pukul 08.30 bos sudah menunggu. 

Astaga! Aku sama sekali lupa bahwa ini hari Jumat, di mana bosku selalu meminta laporan data keuangan untuk rapat. 

Hari ini ia juga minta laporan bulan Mei, Juni, dan Juli. Aku agak gelagapan. Kujanjikan laporan itu akan selesai tengah hari nanti. Dengan perasaan galau aku mulai bekerja seperti biasa.

Selesai menyerahkan laporan, aku segera keluar kantor dengan alasan mau makan siang lebih awal. Di restoran kubeli harian pagi Standard untuk mengetahui apakah ada tulisan tentang kematian Carla. Tak sabar kubuka koran satu per satu. 

Halaman pertama tak ada, lantas kubuka halaman kedua, ketiga nihil. Baru di halaman lima terlihat ada sebuah berita kecil. Carla Moorland, umur 32, ditemukan tewas di rumahnya, kawasan Pimlico, tadi pagi. Detektif Simmons menjelaskan, penyelidikan atas kasus ini sedang berjalan. Hasil pemeriksaan patologis ditunggu. Sementara ini belum ada tersangka yang dicurigai.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku terus memantau berita melalui radio mobil. Tapi kisah kematian Carla tak pernah disebut-sebut. Saat itu radio dan media massa lainnya sedang sarat dengan berita soal kampanye pemilihan presiden AS dan olahraga.

Semalaman aku tak bisa tidur. Bangun lebih awal dari Elizabeth, keesokan harinya aku langsung mencomot koran pagi Daily Express. Begitu melihat headline Lover's Tiff Murder, aku buru-buru ngumpet di kamar mandi karena takut ketahuan istri.

Pihak kepolisian kini sibuk mengusut kasus kematian sekretaris cantik asal Pimlico, Carla Moorland (32) yang ditemukan tewas di kamarnya, kemarin pagi. Detektif Simmons dari Scotland Yard semula memperkirakan kematian Carla bukan karena pembunuhan. Tapi dari hasil pemeriksaan sinar X atas mayatnya, ditemukan fakta rahang korban remuk. Kemungkinan ini akibat pukulan benda keras. Pembantu Carla, Maria Lucia (48), kepada Express mengatakan bahwa majikannya sedang menemui seorang tamu lelaki ketika ia meninggalkan flat Carla pukul 17.00 saat peristiwa itu terjadi. Saksi mata lainnya Ny. Rita Johnson, tetangga sebelah korban, melihat seorang lelaki meninggalkan flat Carla sekitar pukul 18.00. Pria tersebut kemudian menuju ke sebuah toko koran yang terletak di seberang jalan sebelum akhinya pergi. Rita sendiri tak begitu yakin, kira-kira mobil yang dipakai pria tersebut adalah Rover.

"Astaga!" tanpa sadar aku berteriak. Mudah-mudahan istriku tidak terbangun. Untung, itu hanya ketakutanku saja, karena setelah selesai mandi, kudapati Elizabeth masih mendengkur di ranjangnya. Aku segera berangkat ke kantor.

Aku memberanikan diri menelepon Scotland Yard; menghubungi Detektif Simmons. Tanpa menyebut jati diriku, Simmons dengan senang hati mau menerima informasi tentang kasus pembunuhan Carla.

"Saya melihat seorang pria meninggalkan flat Carla sore itu," ujarku. 

"Di mana Anda pada saat itu berada?" tanya Simmons. 

"Di halte bus, di jalan depan flat." 

"Dapatkah Anda memberi deskripsi tentang pria tersebut?" 

"Tinggi. Kira-kira 180 cm. Badannya tegap. Mengenakan mantel hitam dan berdasi coklat."

"Masih ingat mobil apa yang dipakai?" 

"Kalau tidak salah ia memakai BMW. Saya tak ingat lagi apa warnanya, karena hari sudah mulai gelap. Tapi saya melihat ia merobek karcis tanda parkir dan membuangnya ke luar melalui jendela."

"Pukul berapa kira-kira kejadian itu?" 

"Sekitar pukul 18.15 - 18.30." Di rumah aku melanjutkan pemantauan berita dari Sunday Express. Tertulis di situ, polisi telah menerima laporan dari seorang pria saksi mata setelah peristiwa itu. Ketika Elizabeth agak curiga aku selalu menekuni surat kabar, kukatakan bahwa perusahaanku sedang disorot dan kemungkinan akan ada restrukturisasi yang bisa menyebabkan aku dipecat.

Keesokan harinya, Daily Express melaporkan, polisi sudah menangkap tersangka pelaku pembunuhan, Paul Menzies (51), pengusaha asuransi dari Sutton yang kini diamankan di Penjara Brixton. Perkaranya akan disidangkan minggu depan. Hatiku agak lega. 

Betapapun, selama menanti proses pengadilan Menzies, aku tak pernah merasa tenteram. Barangkali sama gelisahnya dengan Menzies yang kini sedang meringkuk dalam tahanan menantikan nasibnya. 

Tak hanya di kantor, di rumah pun aku selalu gelisah setiap kali ada dering telepon, ketukan pintu, atau kedatangan tamu tak dikenal. Sejak itu hidupku selalu dihantui mimpi-mimpi buruk. 

Pikiran dipenuhi kekhawatiran jangan-jangan Menzies tahu hubungan gelapku dengan Carla, atau ia tahu namaku dan tempatku bekerja.

Jumat, 26 Agustus, kabar buruk datang. Karena kondisi keuangan kantor dan keadaan ekonomi yang menurun, aku terpaksa menerima nasib, diberhentikan dengan pesangon enam kali gaji. Begitu pula mobil Rover inventaris kantor harus dikembalikan. 

Bagiku, barangkali lebih baik menerima kenyataan yang ada. Untunglah, Elizabeth mau menerima keadaan. Ia hanya berharap semoga aku tidak patah semangat dan segera mencari pekerjaan.

 

Hubungan seks

Pada persidangan pertama aku hadir. Duduk di jajaran bangku paling belakang. Dengan waswas aku melihat sekeliling. Tapi ketakutanku tampaknya tidak beralasan lantaran tak ada seorang pun yang memperhatikan kehadiranku di situ. Saat itulah pertama kali kulihat Menzies dari dekat. 

Memakai setelan jas biru tua dan baju putih ia nampak lebih muda dari usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Rambutnya yang sudah agak memutih disisir rapi ke belakang. 

Kumisnya yang menempel lebat di atas bibirnya memberi kesan seakan-akan ia seorang militer. Ia memang tak seperti pembunuh.

Atas izin Hakim Buchanan yang memimpin pengadilan, Jaksa Penuntut Umum Sir Humphrey Mountcliff memanggil saksi pertama, Detektif Simmons. Segala jawaban yang diberikan Simmons seolah-olah ditujukan kepada diriku. 

Kepada sidang detektif itu memberikan kesaksian profesional dengan memberikan laporan terinci bagaimana mayat Carla ditemukan sampai akhirnya ia bisa melacak tersangka pelaku pembunuhan dengan petunjuk dua orang saksi pelapor dan robekan karcis parkir.

Kesaksian selanjutnya, dari ahli patologi Dr. Anthony Mallins, membuat hadirin terkejut. Ia mengatakan, dari penyelidikan atas mayat korban didapati bukti bahwa beberapa jam sebelum terbunuh Carla melakukan hubungan seks. 

"Saya mendapati setetes darah golongan B di paha bagian atas almarhumah. Padahal golongan darah korban O. Ditemukan pula cairan sperma di daster yang dipakai Carla pada saat terbunuh," ujar Mallins yakin.

"Lantas apa yang menyebabkan ia meninggal?" tanya Humphrey. 

"Beberapa pukulan di kepala menyebabkan tulang rahangnya patah. Sedangkan luka-luka di bawah tengkoraknya barangkali disebabkan karena pukulan benda tumpul."

Kini giliran Scott, pembela Menzies, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Mallins.

"Apakah bekas pukulan di belakang almarhumah bisa disebabkan karena ia terjatuh?" 

"Bisa jadi. Tapi kalau hanya terjatuh mestinya tulang rahangnya tidak sampai patah."

Tapi nampaknya Scott tidak tertarik atas uraian Mallins. Ia justru melanjutkan dengan pertanyaan lain menyangkut jam kejadian tersebut berlangsung. Meski ternyata, dokter tersebut tidak bisa menyebutkan angka pasti. Hakim Buchanan rupanya tertarik, lantas ikut bertanya.

"Saya ingin mengetahui apakah golongan darah O milik Carla, juga ditemukan pada benda-benda lain di ruangan itu?

"Ya, Tuan. Di pinggir gelas yang terletak di meja di ruangan yang sama."

Saksi ketiga yang diajukan oleh Humphrey adalah Rita Johnson, yang mengaku melihat apa saja yang terjadi di rumah itu.

"Sdri. Johnson, apakah Anda melihat seorang lelaki meninggalkan flat Carla pada tanggal 7 April sore?" 

"Ya, benar." 

"Pukul berapa?" 

"Sekitar pukul 18.00 lebih sedikit." 

"Lalu apa yang terjadi setelah itu?"

"Ia menyeberangi jalan, membuang karcis parkir, dan meluncur pergi." 

"Apakah orang itu berada di sini?" 

"Ya," katanya seraya menunjuk Menzies. 

"Apakah Anda masih ingat merek mobil yang dipakainya?" 

"Kalau tidak salah BMW." 

"Bukan mobil Rover seperti yang Anda katakan sebelumnya?" 

Yang bersangkutan diam, tidak menjawab.

Kesaksian selanjutnya yang diberikan Maria Lucia, pembantu rumah tangga Carla, lebih memberikan titik terang. Dengan tegas ia mengaku siang itu melihat Menzies di ruang tamu flat Carla. Biasanya ia memang datang pagi hari untuk bekeria. Tapi siang itu ia datang untuk mengambil gajinya. Ia juga menjelaskan, Menzies masih bersama Carla ketika ia meninggalkan tempat itu. 

"Apakah Anda masih ingat apa lagi yang ia kenakan?" 

"Di balik mantelnya ia memakai daster merah anggur." 

Wah! Daster pemberianku disebut-sebut lagi. Diam-diam aku memperhatikan saksi, meski ia sama sekali tidak menyadari dirinya jadi perhatianku. Dalam hari aku bersyukur, tidak mengunjungi Carla di pagi hari. Kini giliran Scott mendapat kesempatan bertanya. 

"Sdri. saksi seperti yang Anda katakan sebelumnya, kedatangan Anda untuk mengambil gaji. Lantas berapa lama Anda berada di flat tersebut?" 

"Saya memang masih sempat membersihkan dapur dan menyeterika sebuah blus. Kira-kira selama 20 menitlah." 

"Sempatkah Anda memperhatikan barangkali mereka berdua sedang bertengkar?" 

  "Tidak, Tuan." 

"Lantas apa yang terjadi?" 

"Carla lalu ke dapur, memberi gaji saya. Kemudian saya pamit." 

Rita Johnson adalah saksi terakhir sidang hari itu.

Di rumah Elizabeth tidak menanyakan ke mana saja aku pergi hari ini. Ia tetap menyangka, aku sedang sibuk mencari pekerjaan.

Keesokan harinya, sidang diawali dengan pembelaan yang dilakukan Mr. Scott. Ia membuka pembelaannya dengan membacakan masa lalu terdakwa. Paul Menzies hidup bahagia di Sutton bersama istri dan ketiga anak tercintanya, Polly (21), Micahel (19), dan Sally (16). 

Di perusahaan asuransi tempatnya bekerja selama enam tahun, ia dikenal sebagai pegawai yang tekun dan bertanggung jawab. Disegani koleganya. Ia juga pernah ikut wajib militer. Dari fakta ini amatlah muskil kalau ia dituduh sebagai pembunuh.

Di lain pihak Scott membenarkan bahwa hari itu Menzies memang ada janji bertemu dengan korban untuk urusan dinas. Menzies juga tidak melakukan hubungan seksual dengan korban, apalagi membunuhnya. 

Kliennya meninggalkan fiat Carla sekitar pukul 18.00. Selanjutnya Menzies merencanakan untuk bertemu dengan Carla kembali pada Rabu berikutnya di kantornya untuk menyelesaikan urusan asuransi. Untuk membuktikan kebenaran pernyataannya, 

Menzies berjanji menunjukkan semua agenda acara hariannya. Garis besarnya Scott mengatakan bahwa tuduhan yang dilontarkan kepada tersangka hanya berdasarkan bukti-bukti yang tidak kuat. Ia berharap sidang akan membebaskan kliennya dari segala tuduhan.

Hakim yang memimpin pengadilan menskors sidang untuk makan siang. Meskipun demikian aku tak bisa berkonsentrasi menikmati makan siang. Menurut pengamatanku, hampir semua hadirin bisa diyakinkan oleh pembelaan Scott bahwa Menzies tak bersalah.

 

Takut tes DNA

Persidangan hari ketiga dibuka dengan menampilkan saksi yang juga terdakwa, Menzies. Yang mengajukan pertanyaan adalah Scott.

"Apakah Anda pernah mengadakan hubungan intim dengan korban?" 

"Tak pernah. Saya baru berjumpa pertama kalinya dengan korban pada hari itu." 

"Apakah Anda membunuhnya?" 

"Sama sekali tidak!" jawab Menzies tegas. 

Setelah itu Jaksa Penuntut Umum Sir Humphrey Mountcliff angkat bicara. 

"Dalam buku agenda, tertulis Anda akan bertemu lagi untuk kedua kalinya dengan Carla Moorland, hari Rabu, setelah ia ditemukan terbunuh?" 

"Ya, benar." 

"Padahal, tulisan ini Anda bikin setelah mengunjungi Carla pada hari Kamis."

"Ya," jawab Menzies singkat, seolah-olah tak mau menambahi keterangannya yang barangkali dipakai untuk menyerang balik.

Menurut pengakuan Menzies, ia menuliskannya pada hari Jumat pagi. 

"Setelah Carla terbunuh?" 

"Ya, tetapi 'kan saya tak tahu." 

"Apakah sekarang ini agenda tersebut Anda bawa?" 

"Ya, tetapi yang saya bawa hanya agenda saku kecil. Bukan agenda meja di kantor." 

"Boleh saya lihat?"

Nampak sungkan, Menzies mengeluarkan sebuah buku kecil berwarna hijau dari balik saku jaketnya. Dengan amat hati-hati Humphrey membolak-balik halaman buku tersebut.

"Saya tak melihat ada tulisan mengenai jadwal pertemuan Anda dengan Carla pada hari si korban ditemukan terbunuh."

"Memang tidak. Janji bisnis saya catat di agenda meja di kantor, sementara janji pertemuan pribadi saya catat di buku harian saku."

"Jadi janji temu bisnis tersebut hanya Anda ingat saja. Kenapa tidak ditulis di notes harian yang selalu Anda bawa?"

"Barangkali pada saat itu sudah saya tulis pada selembar kertas, tapi itu adalah catatan pribadi."

Menyaksikan Menzies dipojokkan soal buku hariannya, Scott gelisah. Nampaknya dia dan kliennya menyembunyikan sesuatu. Apalagi pada waktu istirahat kulihat Scott menasihati Menzies agar ia mengaku saja soal hubungan gelapnya dengan Carla. 

Padahal menurut UU Inggris, penasihat hukum tidak boleh berkonsultasi dengan kliennya yang masih duduk di mimbar saksi. Di luar dugaan dengan cerdiknya Humphrey mengalihkan pertanyaannya ke soal lain.

"Benarkah Anda seorang suami yang bahagia?" 

"Ya, benar." 

"Apakah perkawinan pertama Anda juga berakhir dengan kebahagiaan?"

Kelihatan Menzies tidak siap dengan pertanyaan ini. Ia gugup, begitu pula Scott. Sementara itu segenap perhatian hadirin tertuju kepada Menzies yang duduk di mimbar saksi.

"Tidak," jawab Menzies cepat seraya menambahkan, "Saat itu saya menikah terlalu muda. Kejadian itu berlangsung puluhan tahun lalu dan saya akui itu kesalahan besar."

"Lantas bagaimana perkawinan Anda berakhir?" 

"Dengan perceraian." 

"Apa penyebabnya?" 

"Karena tindak kekerasan saya. Tetapi ...." Menzies tidak melanjutkan perkataannya. Hadirin pun semakin penasaran untuk mendengar penjelasan terdakwa selanjutnya. 

"Kalau tidak keberatan, saya bisa membacakan kesaksian mantan istri Anda pada saat persidangan yang mengurus perceraian." 

"Jangan!" teriak Menzies, "Eh ... ya ...."

Ia mulai gelagapan. Setelah meminta izin hakim, Humphrey lantas membacakan kesaksian mantan Ny. Menzies di depan Pengadilan Swindon, 9 Juni 1961, yang diketuai Hakim Rodger.

"Menzies biasa memukul dan menyiksa saya di rumah. Ini yang selalu saya takutkan. Siapa tahu suatu saat nanti ia bisa membunuh saya."

"Itu terlalu berlebihan...," ujar Menzies.

"Sayang, Carla tak bisa hadir di sini. Barangkali kalau ia masih hidup bisa juga mengatakan demikian!" ujar Humphrey.

Dari mejanya Scott berkata dengan suara keras, memprotes pertanyaan jaksa. Namun, jaksa penuntut kembali melanjutkan pertanyaan untuk saksi tersangka.

"Berapa banyak wanita simpanan yang Anda punyai, setelah pernikahan Anda yang kedua ini?"

"Saya keberatan Tuan Hakim. Pertanyaan itu tidak relevan," kembali Scott melancarkan protesnya.

"Ini masih relevan Tuan Hakim. Karena itu saya perlukan untuk menjelaskan bahwa hubungan tersangka dengan korban tak sekadar hubungan bisnis, tetapi juga hubungan pribadi," kilah Humphrey tak kalah serunya.

"Jawablah pertanyaan saya ini dengan hati-hati. Sebutkan jumlahnya yang pasti."

Semua hadirin terdiam, semua telinga terpasang untuk mendengar jawaban terdakwa. 

"Hemm ... tiga orang," jawab Menzies lirih. 

Terdengar reaksi serentak dari para pengunjung. Suara berisik terdengar dari mana-mana.

"Hanya tiga?" 

"Barangkali empat" 

"Artinya, Carla itu pacar Anda yang keempat? Kalau demikian benarkah Anda melakukan hubungan seks dengan Carla sore itu?"

"Tidak! Saya tidak melakukan itu," kilah Menzies.

"Baiklah," lanjut Humphrey sambil sibuk mengatur kertas-kertas dan buku-bukunya di atas meja. Dari tempat duduk aku bisa melihat ternyata kertas yang dibawa Humphrey itu kosong, tak ada tulisannya. Terus terang aku tak bisa menyembunyikan rasa heran wajahku. 

Bagaimanapun terbukanya kisah petualangan cinta Menzies menggembirakanku dan para wartawan tentu saja. Aku bayangkan, apa reaksi Carla tentang hal ini seandainya ia masih hidup.

Dalam sidang berikutnya Humphrey mencoba mengorek pelanggaran-pelanggaran hukum yang pernah dilakukan Menzies sebelumnya. Paling tidak ada informasi tambahan yang terbongkar. Di antaranya ketika ikut wajib militer Menzies hanya bertahan lima bulan, karena setelah itu ia desersi. 

Penyebabnya hanya sepele, yakni ketidakpuasan Menzies tentang lamanya waktu rekreasi setiap minggunya.

"Menurut agenda, pukul berapa Anda janji bertemu dengan Carla?"

"Pukul 17.00." 

Dengan cerdik Humphrey lalu memperlihatkan robekan karcis parkir dari petugas di flat Carla. Ternyata di situ tertulis, Menzies datang ke rumah korban pukul 16.15.

"Artinya, Anda sudah bersama Carla pukul 16.15 dan bukan seperti tertulis pada agenda Anda. Kalau begitu, Anda telah berbohong?"

"Tidak!" kilah Menzies, "saya memang hadir beberapa menit sebelum janji yang ditentukan." 

"Bahkan harus sejam sebelumnya? Apakah itu bisa diartikan kedatangan Anda ke situ tidak sekadar untuk urusan bisnis?"

“Itu tidak benar." 

"Tapi benarkah Carla itu simpanan Anda?" 

Suasana sidang amat senyap. Semua telinga seakan menantikan jawaban Menzies. Tapi yang bersangkutan hanya terdiam. 

"Apa jenis golongan darah Anda?" lanjut Humphrey seraya mengalihkan pertanyaan. 

"Saya tak tahu."

“Sdr. Menzies, kami memiliki apa yang disebut tes DNA (deocyribonucleic acid) yang mampu memberikan informasi genetik pada orang yang bersangkutan. Hanya dengan setetes darah atau sperma, DNA ini bisa membuktikan bahwa Anda telah memperkosa Carla."

"Saya tidak memperkosanya!" 

"Tapi kenapa hubungan seks itu terjadi?" 

Menzies diam tak bereaksi. 

"Apakah saya perlu memanggil ahli patologi untuk melakukan tes DNA pada diri Anda?" Menzies tetap diam.

"Sekali lagi, apakah Anda melakukan hubungan seks dengan korban pada hari Kamis siang itu?" 

"Ya," jawab Menzies lirih, nyaris tak terdengar, "tapi saya bersumpah tidak membunuhnya!"

Hadirin yang memenuhi sidang serentak berisik. Barangkali akulah satu-satunya orang di ruangan itu yang tahu persis bahwa Menzies mengatakan hal yang sebenarnya. Karena terlihat Menzies grogi, Scott berusaha terus untuk dapat mengembalikan kredibilitas kliennya. Tapi kenyataan yang baru saja terungkap justru menyebabkan posisi Menzies semakin terpojok. 

Padahal kalau dari awal ia mau berterus terang tentang hubungannya dengan Carla, mungkin bisa diterima. Aku sendiri tidak habis berpikir, kenapa ia ngotot menyangkal soal hubungan gelap itu, untuk melindungi istrinya? 

Toh, apa pun motifnya sekarang ini orang dengan mudah akan menuduhnya sebagai pelaku pembunuhan yang sebenarnya tak pernah ia lakukan.

 

Dewan juri bingung

Pada persidangan hari berikutnya, setelah mendengarkan keterangan dua saksi tambahan, yakni pendeta paroki tempat Menzies tinggal dan atasannya di kantor, Scott menutup pertanyaannya. 

Demikian pula Jaksa Penuntut Umum Humphrey. Kini persidangan hampir mencapai saat-saat akhir. Humphrey membuka sidang dengan pembacaan tuntutan.

"Kami semua yang ada di sini belum tahu pasti, dengan alasan apa gadis seperti Carla ini dibunuh. Namun, dari beberapa persidangan yang telah berjalan kita bisa tahu ada kepastian yang bisa dibuktikan. Kita tahu, menurut keterangan beberapa saksi, terdakwa meninggalkan flat Carla pukul 18.00 lebih sedikit. 

Di lain pihak terdakwa pun berbuat kesalahan dengan menipu jam pertemuannya dengan korban di buku agenda untuk mengelabui kita bahwa pertemuannya dengan Carla tidak hanya untuk kepentingan bisnis, tetapi juga pribadi. 

Ia berbohong telah melakukan hubungan seksual dengan korban beberapa saat sebelum Carla ditemukan terbunuh. Meskipun kita belum yakin apakah hubungan seksual itu terjadi sebelum atau sesudah tulang rahangnya patah. 

Dari situ dapat disimpulkan, Menzies adalah orang terakhir yang melihat Carla sebelum terbunuh. Oleh karena itu, terutama sesuai dengan kesaksian Detektif Simmons, terdakwa adalah satu-satunya orang yang mungkin sekali bertanggung jawab atas kematian Carla. 

Kenyataan ini didukung bukti-bukti kehidupan perkawinan terdakwa sebelumnya. Ia pernah berlaku kejam terhadap istri pertamanya yang kemudian itu menjadi alasan perceraian mereka. Apalagi ia mempunyai wanita simpanan sampai empat orang. Oleh karena itu atas nama semua gadis di kota ini saya minta agar dewan juri memutuskan Menzies bersalah."

Hakim memberi waktu istirahat. Lantas terdengar suara-suara sumbang yang menyalahkan Menzies. Terlihat Scott menghibur Menzies. Ia berbisik kepada kliennya bahwa semua bukti yang dikemukakan oleh Humphrey tak langsung memberatkan. 

Masih ada kemungkinan barangkali orang lain yang mengunjungi Carla setelah ia pergi. Scott juga menegaskan lagi bahwa tugas dewan juri yang terdiri atas 12 orang itulah yang memutuskan apakah kliennya bersalah atau tidak. Bukan Humphrey atau dirinya.

Dalam pembelaan akhir itu Scott malah tidak pernah menyebut-nyebut soal agenda, karcis parkir, para wanita simpanan kliennya atau hubungan seksual yang terjadi sebelum korban terbunuh. Yang jelas wajah pembela setengah umur itu menjadi begitu suram ketika menutup pembelaannya kepada dewan juri.

"Dewan juri yang terhormat, di puncak Anda sekalian tergantung nasib klien saya. Oleh karena itu Anda sekalian harus merasa yakin, sebelum menjatuhkan putusan, apakah klien saya benar-benar bersalah telah melakukan pembunuhan seperti yang dituduhkan. Tapi sekali lagi saya katakan, ini bukan pengadilan tentang gaya hidup seseorang, atau peran seseorang di masyarakat, atau bahkan tentang kehidupan seksualnya. 

Bila perzinahan dianggap sebagai tindak kriminal, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Menzies bukan satu-satunya pria yang harus berada di kursi terdakwa dalam sidang kali ini." Ia menghentikan pernyataannya yang mau tak mau membuat hadirin tertegun dan menunggu kelanjutannya.

"Atas dasar inilah saya yakin, Anda sekalian akan membebaskan klien saya dari segala penderitaan yang sudah dideritanya sejak tujuh bulan lalu. Paling tidak ia harus dinyatakan tidak bersalah." Setelah selesai membacakan pembelaan terakhirnya, Scott lalu membenamkan pantatnya ke kursi seraya menengok ke arah Menzies, seolah-olah memberi harapan baru.

Sidang ditunda sampai Senin mendatang. Dalam seminggu ini terjadi perkembangan baru. Nampaknya konsentrasi anggota dewan juri terpecah. Sebagian di antara mereka merasa bahwa belum ada bukti-bukti kuat bahwa Menzies selain memang terbukti berhubungan seksual dengan korban, bertanggung jawab atas kematian Carla.

Persidangan Senin ini terasa amat menegangkan. Baik jaksa maupun pembela mendesak dewan juri untuk segera menunaikan tugasnya memberi putusan yang akan diajukan ke majelis hakim. 

Untuk beberapa jam lamanya dewan juri diberi kesempatan untuk mengadakan pertemuan di ruangan khusus untuk menggodok putusan apa yang nantinya akan dijatuhkan kepada si terdakwa.

Setelah hampir tiga jam, seorang petugas keluar dari ruang khusus dan menyerahkan secarik catatan kepada Hakim Buchanan. Tapi karena hakim tidak melihat adanya keputusan bulat tentang nasib terdakwa, dewan juri untuk kedua kalinya mengadakan pertemuan kembali. 

Selama hampir tiga jam, mereka berdiskusi di ruang tertutup. Suasana senyap dan tegang kembali menyergap setiap orang yang hadir dalam sidang ini. Aku bahkan bisa mendengar desah napas orang-orang yang duduk di sekitarku.

Dewan juri kembali menuju ke ruang sidang. Tak dapat dipungkiri, wajah-wajah mereka terlihat letih dan suram. 

"Apakah Saudara-saudara telah mengambil keputusan aklamasi?" 

"Sudah." 

"Berdasarkan keputusan Saudara, terdakwa Menzies bersalah atau tidak?" 

"Bersalah!" Tanpa sadar teriakanku menggema di ruangan sidang.

(Jeffrey Archer)

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304127/korban-wanita-simpanan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654264329000) } } }