array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3457067"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/petaka-di-tahun-baru_jackson-jos-20220905033028.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(136) "Colette ditemukan tewas di apartemennya. Melihat mayatnya, polisi menyatakan bahwa itu adalah kasus kejahatan seksual yang sangat sadis."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/petaka-di-tahun-baru_jackson-jos-20220905033028.jpg"
      ["title"]=>
      string(20) "Petaka di Tahun Baru"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-09-05 15:31:10"
      ["content"]=>
      string(21816) "

Intisari Plus - Awal tahun baru, Colette ditemukan tewas di apartemennya. Melihat mayatnya, polisi menyatakan bahwa itu adalah kasus kejahatan seksual yang sangat sadis.

-------------------

Henriette Malnou (34), pemilik Matelot Bar di Pelabuhan Dieppe, Prancis, terperanjat. Ia seakan tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Sisi pintu pecah, lidah gembok terobek seolah menusuk kayu daun pintu. Pasti telah terjadi sesuatu di dalam sana. Di kamar Colette. 

“Colette?” tergesa-gesa Henriette memanggil. Begitu ia letakkan tangan pada daun pintu, pintu langsung terbuka. Perlahan ia melangkah masuk. Ya Tuhan…!!!

Colette Vain (40), yang kadang-kadang bekerja membantu Henriette di Matelot Bar, terbaring dengan kaki mengangkang di tempat tidurnya. la memakai gaun malam yang sudah robek-robek, menutupi seputar leher dan pundaknya. Tubuhnya dibiarkan telanjang sensual. Huruf Z besar tampak disayatkan melintang pada dada Colette, penuh dengan darah kering berwarna kehitaman. Terlihat kontras dengan kulit tubuhnya yang putih. Sebuah papan catur tertusuk di perut wanita itu, kehitaman karena darah kering. 

Sungguh biadab! 

Henriette Malnou terhuyung menuju aula lantai dua gedung apartemen nomor dua Rue Menard, terjatuh di atas lututnya dan nyaris pingsan. Setelah tersadar, ia berlari menuruni tangga menuju jalanan. Saat itu ia benar-benar tidak tahu mau ke mana. Ia hanya lari dan terus berlari demi membebaskan diri dari pemandangan mengerikan itu. Colette Vain adalah salah satu teman dekatnya.

 

Tetangga tak tahu-menahu

“Ini pasti hasil perbuatan pelaku kejahatan seksual yang amat sadis!” geram Inspektur Gerard Dubois, yang mengepalai sebuah departemen kecil, bagian dari Penyelidikan Kejahatan, Kepolisian Dieppe. Disebut departemen kecil, karena Dieppe, yang terletak di pantai Atlantik, antara Le Havre dan Calais, memiliki jumlah penduduk sekitar 35.000 orang saja, dengan tingkat kejahatan yang sama kecilnya.

“Mungkin ia tak mampu mencapai kepuasan seksual dengan cara lain,” kata dr. Sebastian Breton, yang memeriksa jenazahnya. Sebastian Breton melanjutkan, “Saya tak bisa menemukan bercak cairan mani di tubuh atau seprainya. Mungkin ada di vagina.”

Sersan Pierre Ligier, asisten inspektur yang masih muda kemudian melapor, “Mereka sedang dalam perjalanan.” Yang ia maksudkan adalah seluruh staf laboratorium kepolisian yang dipesan Inspektur.

Sebenarnya, waktunya sangat tidak tepat untuk memulai penyelidikan kasus pembunuhan besar. Hari itu, 2 Januari 1979, hampir semua orang, termasuk polisi, masih terpengaruh euforia perayaan Tahun Baru. Lagi pula, saat itu puncak musim dingin di Eropa Tengah. Badai serta angin ribut menerpa, hampir tanpa henti, dari Atlantik. Meskipun masih pukul 11.00, tetapi di luar begitu gelap sehingga lampu-lampu menyala di banyak gedung.

Ketika para dokter melanjutkan pemeriksaan jenazah, sang inspektur mondar-mandir, mengamati tanpa menyentuh keping-keping porselen dan baskom penyok yang terserak di lantai. la berharap bisa menemukan sidik jari di benda-benda itu, yang bisa dilacak di dalam dokumen kepolisian. Rasanya mustahil ini kejahatan pertama seorang penderita kelainan seksual yang teramat sadis.

Toh, kejahatan pertama atau bukan, sidik jari yang tertangkap di baskom, sepertinya dibuat oleh tangan yang sedemikian kecil hampir sekecil tangan anak-anak, ternyata tak ada di dalam dokumen polisi. Hampir pukul 17.00, dan sejauh ini yang didapat Inspektur hanyalah laporan negatif tentang sidik jari. Sekarang jenazahnya berada di kamar mayat kepolisian, sedang diautopsi dr. Breton.

Di gedung apartemen di Rue Menard, seluruh staf laboratorium kepolisian masih memeriksa TKP. Sementara tim detektif menginterogasi para penghuni gedung. Sejauh ini belum ada laporan penting yang mengarah pada pelaku. 

Sampai malam menjelang pun masih belum ada berita. Pukul 23.00, teknisi dari laboratorium kembali ke markas. Mereka mengumpulkan banyak materi, tapi materi-materi itu masih harus dianalisis dan dievaluasi. Tim detektif yang menginterogasi para penghuni gedung pun telah tiba bersama para teknisi laboratorium. Mereka melaporkan, setiap orang yang tinggal di gedung itu telah ditanyai dan semuanya mengaku tidak tahu-menahu tentang pembunuhan itu.

Pun tak ada yang merasakan adanya hal yang mencurigakan selama beberapa hari terakhir ini. Alhasil, masih belum diketahui secara pasti kapan pembunuhan itu terjadi. 

“Ini apartemen kumuh,” kata salah satu detektif, “Hampir semua penghuni mendapat santunan dari pemerintah. Banyak yang berasal dari Afrika Utara. Sulit mengatakan siapa yang sebenarnya tinggal di apartemen itu dan siapa yang tidak. Beberapa di antaranya tidak berstatus penyewa, tetapi tidur di sana setiap waktu, dan mungkin tak punya tempat tinggal lainnya.”

Inspektur menganggukkan kepala. la lahir dan dibesarkan di Dieppe dan tahu gedung seperti apa apartemen di Rue Menard itu. Gedung semacam ini bukan satu-satunya di kota itu. Perekonomian Prancis memang sedang kacau dan ada banyak orang miskin dan penganggur.

 

Korban ternyata cacat mental

Hari berikutnya, ada lebih banyak informasi masuk tentang kasus ini, tapi kebanyakan malah membingungkan. Sersan telah mengumpulkan latar belakang yang sangat lengkap mengenai korban, utamanya dari Henriette Malnou, perempuan yang menemukan jenazah korban.

Menurut Henriette, Colette Vain mengalami cacat mental, tetapi ia memiliki kepribadian yang memesona dan populer di antara penduduk sekitar. Dari kecil ia menderita gangguan kejiwaan, merasa dirinya seorang laki-laki. Akibatnya, cara berpakaiannya pun tidak seperti perempuan. la bercukur setiap hari meski tak berjanggut. Ia sering membuat orang lain yang tidak mengenalnya terheran-heran karena ia biasa menggunakan fasilitas toilet umum untuk laki-laki.

Karena dianggap memiliki kelainan mental oleh Kantor Kesejahteraan Sosial, ia mendapat pensiun kecil dari pemerintah. Ditambah dengan pekerjaan serabutan lainnya, seperti membantu di Matelot Bar, cukup untuk memenuhi kebutuhannya yang sederhana.

Karena meyakini dirinya laki-laki, selama dua tahun terakhir ini Colette menjalin hubungan homoseksual dengan seseorang yang tak lebih normal daripada dirinya. Seorang laki-laki bertubuh sangat kecil yang tingginya kurang dari 140 cm, bernama Gustave Leger, usia 55 tahun.

Meskipun Leger dan Colette tidak menikah (sekadar untuk menghemat uang sewa, mereka tinggal bersama), Leger sendiri memiliki satu kamar apartemen di bagian lain kota itu. Ia sering mendapat kunjungan setiap hari Jumat dari pacarnya, atau sebagaimana Colette menyebutnya: cowoknya.

Ketika diinterogasi polisi, Leger mengaku berhubungan intim dengan Colette setiap kali bertemu. Artinya, secara seksual Colette sama sekali normal, dan tak berbeda dari kebanyakan perempuan lain.

Itu sebabnya, dr. Breton yakin, pembunuhnya memiliki rekor pelecehan seksual. la telah selesai dengan autopsinya dan memastikan Colette Vain meninggal antara pukul 04.00 atau 05.00 pada 31 Desember, akibat tulang tengkorak retak. Apa pun penyebab keretakan tulang tengkoraknya, dipastikan benda itu berbentuk rata, halus, dan lebar. la mencurigai salah satu di antara baskom atau ubin lantai itu.

Yang membikin mual, huruf Z disayatkan pada buah dadanya, papan catur tertusuk di perutnya dan botol konyak, ... (maaf, yang ini mungkin bisa mengganggu Anda dan tidak enak untuk dibayangkan) tertancap di vaginanya. Menurut dr. Breton, saat itu korban mungkin masih hidup dan dalam keadaan sadar.

Kesimpulan akhir dr. Breton mencengangkan, “Sedikitnya ada dua orang yang terlibat. Seorang memegangi korban, sementara satunya lagi menyiksa. Ada memar-memar yang terlihat jelas pada lengannya, menandakan ada seorang laki-laki lain yang mencengkeram tangan korban dengan keras.”

“Psikopat seksual hampir selalu penyendiri. Saya tak pernah mendengar ada dua orang bekerja bersama-sama,” sergah Inspektur.

“Namun, tak mungkin satu orang bisa memegangi wanita itu dan menyiksanya secara bersamaan. Sekuat apa pun dia,” tukas dr. Breton.

“Jadi, ini tidak mungkin kejahatan seksual,” kata Inspektur, mengernyitkan dahi dan mengetuk mangkuk pipanya yang sudah mati dengan jari telunjuknya. “Mereka membuat seolah-olah itu adalah kejahatan seksual hanya untuk mengelabui kita.”

“Tidak,” balas dokter. “Ini murni kejahatan seksual. Saya tidak yakin ini rekayasa.” 

Versi dr. Breton, banyak kejahatan seksual yang dilakukan oleh tim, tetapi bukan dua orang laki-laki. Bisa jadi pelakunya laki-laki dan perempuan. Ini kejahatan seksual yang kompulsif. “Satu-satunya hal lain yang masuk dalam pikiran saya adalah sejenis obat-obatan yang membuat orang menjadi tidak waras,” tutupnya.

 

Motifnya bukan seks?

Akhirnya, Inspektur mengambil kesimpulan, para pembunuhnya memiliki alasan untuk berada di gedung itu, bisa jadi berada di lantai dua atau lebih tinggi di atasnya. Tapi tak ditemukan alasan, mengapa mereka secara khusus memilih Colette Vain. Korban dikenal sebagai orang yang lembut, bersahaja, dan sangat populer. la tak punya musuh. Jelas bukan karena uang, sebab uang yang dimilikinya tak mencapai 500 franc.

So, kalau bukan seks, apalagi? Analisis Inspektur, “Menurut saya, para pembunuh itu mengenalnya. Perempuan itu pasti tahu, ia sedang dalam bahaya. Jika tidak, kenapa ia tidak membuka pintunya? Mengapa para pembunuh itu harus merusak gembok?”

Sersan menukas, “Saya kira kita harus konsentrasi pada mereka yang tinggal di gedung itu dan mereka yang sering menggunakan gedung itu, tapi tidak tinggal di sana. Adakah pasangan yang mungkin bisa dicurigai?” 

Inspektur memerintahkan penyelidikan. Lagi-lagi, hasil investigasi sersan negatif. Satu-satunya pasangan yang tinggal di apartemen itu berusia tujuh puluhan dan kondisinya lemah. Beberapa ruang lain dihuni oleh sekelompok orang yang terdiri atas sejumlah penganggur dan mereka yang tak mungkin menetap di satu tempat atau membina hubungan pribadi agak lama. 

Salah satu kelompok yang terbesar berupa keluarga, terdiri atas Aimee Leroux (41), beserta anak-anaknya yang sebagian sudah dewasa. Mereka datang dan pergi seperlunya. Ny. Leroux, yang tak pernah menikah secara sah tak tahu pasti jumlah anaknya, mungkin lebih dari selusin. Sebagian menggunakan nama keluarga dari mereka yang dianggap ayah dan yang lainnya memakai nama Leroux. 

Ny. Leroux terdaftar sebagai pemilik apartemen, hidup nyaman dari anak-anaknya karena pemerintah Prancis memberikan santunan lumayan. Kamarnya berada di atas kamar Colette Vain, dan merupakan tempat yang sibuk dengan berbagai kegiatan, berlangsung hampir setiap malam. Aimee Leroux adalah seorang wanita yang cenderung cuek. Anak-anaknya pun tak jauh beda.

Apartemen Leroux di lantai tiga perlahan-lahan menjadi tambang emas informasi. Jumlah orang yang keluar masuk ke sana sepanjang siang dan malam sangatlah banyak. Di antaranya berpasang-pasangan. Yang paling menonjol adalah pasangan orang-orang Aljazair berusia 40 tahun, keduanya bernama Ahmed. Mereka tidak terpisahkan, dikenal sebagai Ahmed Kepala Besar dan Ahmed Kepala Kecil, julukan yang didasarkan atas ciri fisik mereka.

Pasangan ini sering melakukan kejahatan kecil-kecilan. Selain penjual, mereka juga pemilik obat bius. Pasangan Ahmed diyakini sebagai pasangan yang terikat perkawinan homoseksual, sehingga “agak mustahil” dijadikan tersangka dalam pembunuhan Colette Vain. Namun Sersan yakin mereka setidaknya biseksual, karena dalam apartemennya “tersimpan” perempuan bernama Patricia Nalais yang gemuk, cantik, dan tingginya sekitar 150 cm.

 

Perempuan peliharaan Ahmed

Patricia, kira-kira berusia dua puluh tahun, melakukan pekerjaan rumah dan memasak, serta, katanya, memberikan layanan seksual kepada kedua Ahmed. Tidak jelas apakah hal itu dilakukan secara bergantian atau bersamaan.

Di waktu luangnya, Patricia melakukan kerja sampingan dengan hasil yang lumayan: melayani kebutuhan seksual para pelaut kapal muat di pelabuhan. Hal ini biasa terjadi di sebagian besar pelabuhan Eropa. Banyak wanita sengaja datang ke kapal untuk menghibur dan menyenangkan para pelaut, yang karena alasan tertentu tidak bisa atau tidak akan keluar dari kapal. Dalam hal ini, Patricia bisa disebut luar biasa sukses, sudah pasti karena kecantikannya.

Berdarah campuran Prancis dan Afrika Utara, Patricia menggunakan nama gadis ibunya, yang tidak sempat mencari tahu nama keluarga bapaknya. la pernah bergonta-ganti karier dalam usia teramat muda. Setelah ditempatkan di beberapa panti sejak usia tiga tahun, ia pernah dikeluarkan dari sekolah karena menyerang salah satu siswa temannya dengan sebilah pisau.

Akhirnya, ia tinggal di sebuah rumah bersama seorang pekerja bangunan asal Turki berusia 50 tahun, ketika Patricia masih di usia ranum: 14 tahun. Konon, orang Turki itu sering memukulinya seperti karpet dan ia merespons dengan menusukkan pisau lipat yang panjangnya sekitar 18 cm, yang tidak pernah terlepas darinya meskipun di saat-saat yang paling intim sekalipun, tepat di antara tulang rusuknya. Pria Turki itu berhasil bertahan hidup, tapi ia enggan melakukan tuntutan terhadap Patricia, karena tak mau cara hidupnya yang janggal terbongkar.

Patricia pernah gonta-ganti pacar dengan beberapa lusin lelaki, sebelum akhirnya bertemu dengan duo Ahmed, serta melakukan bisnis seks di pelabuhan. Seperti halnya duo Ahmed, Patricia juga selalu menghadiri pesta di apartemen Leroux.

Nah, di sinilah kelemahan mereka. Polisi coba mengaitkan mereka dengan pembunuhan Colette Vain, karena pasangan Ahmed tak terpisahkan. Sedangkan petunjuk hasil olah TKP mengatakan, hanya ada dua pelaku terlibat. Ditambah Patricia, angka itu menjadi tiga. Hasil penyelidikan lain juga membawa pada petunjuk, ada oknum lain yang tak kalah sering mengunjungi apartemen Leroux dan sering berhubungan intim dengan Patricia.

 

Serasi luar dalam

Gisele Poulain, begitu si oknum, bertemu Patricia Nalais selama musim panas tahun 1978. Kedua perempuan itu saling cocok, sehingga sejak saat itu tidak terpisahkan.

Secara fisik, mereka jauh berbeda. Meskipun hampir secantik Patricia dengan tinggi sekitar 182 cm, otot-otot Gisele sekuat penjaga gawang hoki es. la memiliki insting cukup kuat dan sering berkelahi di ruangan bar yang paling ditakuti dan dihormati di kota itu. Tidak seperti Patricia yang bertubuh kecil, ia tak pernah membawa sebilah pisau pun. Kepalan tangan dan kakinya sudah lebih dari cukup untuk mempertahankan diri.

Menilik latar belakang dan cara hidupnya, kedua perempuan itu memiliki kemiripan satu sama lain. Gisele juga pernah dikeluarkan dari sekolah karena mencakar teman-teman perempuannya, memiliki pacar tak terhitung jumlahnya, dan tinggal bersama teman pria pada usia yang masih dini, yakni 16 tahun. 

Gisele punya partner Alain Layet, seorang nelayan komersial, kini berusia 24 tahun, setahun lebih tua daripada Gisele. Ia juga gemar berkelahi. Tanpa kenal takut, ia akan melakukan apa pun untuk mempertahankan hak-haknya di ruang bar. Alain mendapati dalam diri Gisele bukan hanya sosok istri dan sahabat, tapi juga mitra tanding. Perkelahian mereka jadi epik dan perbincangan hangat di kota itu.

Pada 30 Agustus 1975, mereka melanjutkan kisah cinta ke jenjang pernikahan, meskipun Gisele tetap memakai nama gadisnya. Selama 1977, setidaknya ada satu kali gencatan senjata selama pertarungan mereka, karena pada bulan Desember tahun itu Gisele menjadi seorang ibu atas anak laki-laki yang dibaptis dengan nama Jerome.

Jabang bayi itu, segera setelah lahir diserahkan kepada ibu Gisele. Maklum, Gisele bukanlah tipe wanita yang bisa merawat bayi, sedangkan Alain sering tidak ada di rumah karena bolak-balik masuk penjara. Selain menjadi nelayan, Alain memang dikenal sebagai pencuri. Pencuri yang kurang cerdik, karena kerap masuk penjara.

Jika Alain masuk bui, perannya bisanya diagantikan oleh sahabat sekaligus teman mencurinya, Joel Malieux yang berusia 25 tahun. Joel boleh disebut lebih cerdik ketimbang Alain, karena ia jarang masuk penjara.

 

Hadirnya saksi kunci

Intuisi Inspektur Dubois langsung bekerja. Dengan cepat ia berkesimpulan, Gisele dan Joel Malieux adalah tersangka utama. Alain, yang masih berada di penjara saat peristiwa pembunuhan terjadi, dihapus dari daftar. Tetapi istrinya serta pasangan penggantinya adalah orang yang memiliki rekor panjang aksi kekerasan. Keduanya pun diketahui sering menghadiri pesta di apartemen Aimee Leroux.

Inspektur berteori, pada malam pembunuhan terjadi, Gisele dan Malieux menghadiri pesta yang berlangsung sampai pagi buta di hari berikutnya. Ketika sedang keluar, kebetulan mereka melewati pintu apartemen Colette Vain. Karena kemungkinan besar dalam keadaan mabuk, mereka mendapatkan ide hiburan untuk menakut-nakuti perempuan kecil yang cacat mental itu.

Namun kebiasaan melakukan tindak kekerasan dan perbuatan sadis merangsang mereka berbuat lebih jauh. Hal itu dibantu oleh sikap korban yang tidak berdaya dan terlihat sangat ketakutan. Keduanya akhirnya ditangkap dan dibawa ke markas besar kepolisian untuk serangkaian interogasi. Yang membuat Inspektur hampir patah semangat, Joel Melieux mengajukan alibi yang mutlak tak terbantahkan pada malam hari terjadinya peristiwa pembunuhan tersebut. Sebagai seorang yang profesional, ia selalu mencatat ke mana saja ia pergi.

Gisele tidak bisa menemukan alibi semacam itu. Polisi berhasil menemukan seorang pramusaji di kafe yang buka sepanjang malam, bersaksi bahwa Gisele masuk ke kafe tidak lama setelah pembunuhan berlangsung. Ia mencuci kedua tangannya yang berlumuran darah, sambil mengatakan bahwa ia baru saja terlibat perkelahian. Tapi, setelah interogasi intensif, akhirnya Gisele menyerah dan mengaku.

Kesaksian sang pramusaji berimbas pada orang lain. Seorang gadis cantik yang pendek, gemuk, dengan rambut hitam panjang terbukti bersama Gisele dan tangannya juga berlumuran darah. Maka ditangkaplah Patricia Nalais. Ia menambahkan pengakuannya tentang Gisele Poulain. Kedua sahabat ini berada bersama-sama di apartemen Aimee Leroux dan, ketika mau pulang, melewati pintu apartemen Colette Vain. Untuk alasan yang tidak jelas, Gisele menendang pintu untuk merampok wanita yang cuma punya sedikit uang itu.

Sayang, keduanya tidak mampu menjelaskan mengapa mereka akhirnya membunuh Colette dan menyiksanya secara seksual. Mereka hanya menjawab: tidak tahu. Saat persidangan, 7 Oktober 1980, mereka tidak berusaha membela diri, dan hanya mengulang apa yang telah mereka katakan kepada polisi sebelumnya. Vonis dua puluh tahun penjara pun dijatuhkan untuk masing-masing pelaku. (John Dunning) 

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553457067/petaka-di-tahun-baru" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391870000) } } }