array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3835275"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/80-kisah-jenius-penjahat-edward-20230804052746.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(143) "Seorang ahli bahasa menciptakan bahasa universal. Akan tetapi nasib sang ahli bahasa ini berubah total karena terlibat dalam serangkaian kasus."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/80-kisah-jenius-penjahat-edward-20230804052746.jpg"
      ["title"]=>
      string(36) "Kisah Jenius Penjahat Edward Rulloff"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-04 17:27:54"
      ["content"]=>
      string(26469) "

Intisari Plus - Seorang ahli bahasa, Edward Rulloff menciptakan bahasa universal di pertemuan ahli-ahli bahasa di New York. Akan tetapi nasib sang ahli bahasa ini berubah total karena terlibat dalam serangkaian kasus.

----------

Bulan Juli tanggal 17 tahun 1869 di New York berlangsung sebuah pertemuan ahli-ahli bahasa. Seorang peserta tampil di atas mimbar, membacakan risalah yang mengusulkan suatu bahasa universal, perlu ditambahkan bahwa di waktu itu belum lahir bahasa Esperanto.

Bahasa universal ciptaan Edward Rulloff (demikian nama peserta seminar linguistik tersebut) dengan perbendaharaan kata-katanya yang mudah diingat dan diambil dari bahasa Latin dan berbagai bahasa Eropa serta Asia, mendapat sambutan hangat dari para hadirin. Barangkali bahasa universal Rulloff itu dapat menjadi populer seandainya tidak terjadi peristiwa berikut ini pada tanggal 21 Agustus tahun 1870.

Ketika itu gudang firma Halbert di Binghamton kemasukan pencuri. Sebelum sempat mengikat tumpukan kain sutra yang menggunduk di gudang, para pencuri telah kepergok oleh dua pegawai Burrows dan Mirrick, yang kebetulan tidur di situ. Terjadi perkelahian yang berakhir dengan matinya Mirrick karena tembakan pistol dan terlukanya Burrows. Tapi yang terakhir ini masih bisa berteriak-teriak minta tolong.

Polisi Binghamton segera datang, tapi para pencuri telah kabur. Daerah sekitar diselidiki. Hari berikutnya ditemukan dua mayat yang terapung di sebuah sungai. Surat-surat yang ditemukan di dalam kantong pakaian, menunjukkan bahwa kedua almarhum itu masing-masing bernama Dexter dan Jarvis. Kedua-duanya mati akibat tembakan pistol yang juga menamatkan hidup Mirrick.

Mereka pencurinya? Sebuah sepatu yang ditemukan di halaman gudang firma Halbert, yaitu sepatu kiri, tak cocok dengan kaki Dexter yang mayatnya tak bersepatu lagi. Dalam sepatu kiri itu ditemukan segumpal kapas yang disumbatkan pada tempat ibu jari kaki. Dexter dan Jarvis adalah sahabat akrab Edward Rulloff dan mempunyai sesuatu usaha, entah apa dengannya.

Edward Rulloff dipanggil ke markas polisi untuk dimintai keterangan. Tapi dia menyatakan tidak tahu menahu tentang pencurian di firma Halbert. Rulloff pun dapat mengajukan alibi yang sangat meyakinkan tentang kegiatannya pada malam terjadinya peristiwa.

Polisi sudah siap mempersilahkan Rulloff meninggalkan markas, ketika datang seorang tamu, yaitu hakim Balcolm dari Tompkins County. Dan Balcolm segera mengenali Rulloff. Sebab dialah yang mengetahui sidang pengadilan dan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Rulloff karena menculik Harriet istrinya sendiri, kira-kira seperempat abad sebelumnya.

Polisi teringat pada sepatu kiri yang ditemukan di halaman gudang firma Halbert. Rulloff diminta mencopot sepatu kirinya. Ternyata kaki kiri Rulloff tak mempunyai ibu jari. Dan kaki itu pas sekali dengan sepatu barang bukti pencurian.

Rupanya Rulloff sendirilah yang membunuh Dexter dan Jarvis untuk menghilangkan jejak-jejak kejahatannya. Tapi bagaimanapun juga dalam sidang pengadilan dia terbukti sebagai pembunuh Mirrick, pegawai firma Halbert. Edward Rulloff menjalani hukuman gantung pada tanggal 3 Mei 1872.

Ahli bahasa, pencuri, pembunuh, perayu wanita tampaknya sebutan-sebutan itu sukar didapati pada satu orang yang sama. Tapi kesemuanya itu belum menggambarkan Edward Rulloff dengan sempurna. Dia pernah menjadi guru, kurator museum, pendeta, bahkan mengaku dirinya seorang dokter. Riwayat hidupnya merupakan serangkaian peristiwa-peristiwa yang mirip sebuah cerita khayalan saja.

Data-data tentang asal usul dan masa kecilnya tidak tercatat. Yang jelas pada tahun 1843, pada usia 23 tahun, dia bekerja sebagai tukang gali.

Pada suatu hari ketika Rulloff sedang menggali sebuah parit, seorang kepala sekolah menengah putri tergelincir ke dalam galiannya. Mr. Jenkins  demikian nama orang itu berdiri sambil menggerutu: “Buset, sungguh buset”. Kontan Rulloff yang menyaksikan kecelakaan kecil ini menegurnya: “Kalau tuan mengutip Shakespeare, mengapa tak tuan teruskan? Bukankah pujangga itu dalam Troilus dan Cressida menulis: Buset, buset wanita itu. Matanya, pipinya, bibirnya berbicara. Bahkan kakinya sekalipun, kegairahan memancar dari tiap persendian dan garis-garis tubuh.

Mr. Jenkins tertegun melihat tukang gali parit yang pandai mengutip Shakespeare itu. Bertanyalah ia mengapa Rulloff melakukan pekerjaan kasar sedangkan ia terpelajar. Jawab Rulloff, ia dulu belajar di Eropa. Sekembalinya ke Amerika tak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya karena ijazahnya tak diakui.

Pernyataan Rulloff mengesan pada Jenkins yang segera memintanya datang di sekolahnya untuk dapat menanyainya lebih lanjut. Dan Rulloff berhasil meyakinkan kepala sekolah itu bahwa ia bisa mengajar ilmu hayat, ilmu tumbuh-tumbuhan kimia, kesusastraan Inggris, Yunani, Perancis dan Jerman,

Pada saat itu juga Mr. Jenkins memutuskan untuk menerima Rulloff sebagai guru di sekolahnya. Tak diketahuinya bahwa penggali parit itu seorang autodidak yang mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan ketika ia meringkuk di beberapa penjara di Kanada karena melakukan berbagai kejahatan: menipu, melakukan pemalsuan dan menodai paling sedikit 6 orang wanita.

Menyuruh seseorang seperti Rulloff mengajar gadis-gadis remaja tak bedanya dengan melepaskan seekor musang dalam kandang ayam. Rulloff bukan orang yang tampan. Perawakannya pendek, tubuhnya gemuk, dadanya bidang, kepalanya luar biasa besar, matanya yang bundar berwarna biru jernih, dagu dan rahangnya kokoh, ditumbuhi sedikit janggut kecoklat-coklatan.

Walaupun sifat-sifat lahiriahnya tak menarik, namun Rulloff mempesona gadis-gadis muridnya karena kepribadiannya penuh kejantanan. Lagi cerdas, jenaka dan pandai bicara. Banyak murid jatuh hati padanya. Dan Rulloff tak segan-segan melayani dan mencemari mereka. Sampai akhirnya ia terpaksa memperistri seorang muridnya, gadis umur 18 tahun bernama Harriet Skutt yang mengandung akibat hubungan dengan Rulloff.

Tadinya orang tua Harriet tak suka pada calon menantunya. Tapi Rulloff berhasil mengubah sikap bermusuhan itu dengan mengeluarkan sebuah ijazah yang menyatakan bahwa ia seorang dokter. Berkat kelihaiannya, Rulloff dapat memperoleh pengakuan dari pihak berwajib atas ijazah palsu itu. Ia berhehti mengajar dan bersama istrinya pindah ke Lansing, sebuah tempat kecil dekat New York untuk buka praktik di sana. Dokter gadungan itu mendapat sukses besar di kalangan rakyat desa yang berduyun-duyun membanjiri praktiknya.

Pada suatu hari kakak iparnya, William Schutt memanggilnya karena istrinya, Mabel, sakit. Pergilah Rulloff kerumah William Schutt di Ithaca. Di mana singgah kira-kira seminggu. Sebagai seorang dokter ia mencurahkan perhatian nya kepada Ny. Schutt sedangkan sebagai seorang lelaki ia memusatkan minatnya kepada seorang gadis molek bernama Susan, pembantu rumah tangga William Schutt.

Tetapi, malang. Pada suatu hari, Mabel yang sudah agak sembuh, memberanikan diri keluar dari kamarnya dan memergok Rulloff sedang bercintaan dengan Susan di kamar pelayan ini. Seketika itu juga Mabel mengambil tindakan. Susan diusirnya. Dan kepada Rulloff ia berkata: “Begitu dapat menulis, akan kuceritakan semua itu kepada Harriet!”.

“Ah, Mabel, jangan kau anggap terlalu serius”, kata Rulloff. “Dan kamu tak boleh marah-marah, agar cepat sembuh. Kembalilah tidur. Nanti kuberi obat penenang”.

Mabel menurut, menelan obat pemberian Rulloff dan tak pernah bangun lagi. Sang dokter menyatakan bahwa Mabel meninggal akibat serangan jantung. Semuanya berlalu tanpa terjadi sesuatu kehebohan. Rulloff pulang ke rumahnya. Tak lama kemudian, bulan April tahun 1845, Harriet, istrinya, melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Dorothy. 

Rulloff kecewa bahwa anaknya tidak laki-laki. Sementara itu ia telah bosan dengan praktiknya sebagai dokter dan ingin menikmati warisan Harriet dari pihak neneknya. Dengan modal itu ia ingin melakukan penyelidikan asal-usul bahasa India di Amerika, yang menurut dugaannya mempunyai hubungan dengan bahasa Mesir Kuno.

Harriet menentang niat suaminya untuk menukarkan praktik yang laku sebagai dokter dengan suatu penyelidikan yang tak menghasilkan uang. Rulloff menyerah, tapi ia lantas cuti selama beberapa minggu, untuk bisa tinggal di tengah-tengah suku India di tepi telaga Cayuga. Di sana jatuh hati pada seorang gadis India. Tapi yang terakhir ini, karena beragama Katolik, tak mau bergaul dengan Rulloff yang diketahuinya telah beristri.

Kembalilah Rulloff di tengah keluarganya. Tak lama kemudian pada suatu hari ia meminjam sebuah kereta dan kuda penarik dari seorang tetangga petani bernama Robinson. Ia minta pula Robinson membantunya mengangkut dan menaikkan sebuah peti besar dan berat katanya berisi pakaian ke dalam kereta itu. Waktu itu rumah Rulloff kosong. Kepada Robinson ia mengatakan bahwa Harriet sedang pergi menjenguk pamannya di Mott’s Corners dengan membawa anaknya “Harriet dan Dorothy di sana beberapa bulan. Ini semua pakaian dan barang-barang untuk mereka”, demikian kata Rulloff sebelum pergi naik kendaraan pinjaman itu.

Beberapa hari kemudian kakak Harriet, William Schutt, mampir di rumah Rulloff yang kosong itu. Ketika mendengar dari Robinson dimana Harriet berada menurut keterangan Rulloff, William Schutt terkejut, “Harriet tak punya paman di Mott's Corners”, katanya.

Segera Schutt melapor kepada polisi.

Rulloff dicari dan ditemukan di pinggir telaga Cayuga dengan kendaraan dan kuda pinjamannya. Peti masih berada dalam kereta, tapi telah kosong. Rulloff ditahan berdasarkan sangkaan telah membunuh istri dan anaknya, kemudian menceburkan mayat mereka ke dalam telaga.

Perkaranya disidangkan dalam bulan Januari tahun 1846. Tapi karena mayat Harriet dan anaknya tak ditemukan, Rulloff hanya dituduh menculik mereka. Di depan sidang pengadilan Rulloff menyajikan cerita yang tak jelas. Katanya Harriet meninggalkan dia dengan membawa anaknya, Dorothy, dan pergi entah ke mana. Juri memutuskan Rulloff bersalah. Dan hakim Balcolm yang mengetuai sidang, menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara.

Selama menjalani hukuman di penjara Auburn, Rulloff berkelakuan baik. Ia diserahi mengurus perpustakaan penjara, banyak membaca di samping mengajar rekan-rekan narapidana. Tahun 1856 keluar dari penjara, tapi tak lama kemudian ditangkap lagi.

Sebab selama Rulloff di penjara, polisi tak tinggal diam dan berhasil mengetahui bahwa seorang lelaki yang menurut laporan mirip sekali dengan Rulloff, pada tahun 1845 sekitar waktu, hilangnya Harriet dan anaknya, dengan berkendaraan kereta datang di Geneva Medical College untuk menjual dua mayat yang satu mayat seorang wanita muda sedangkan lainnya mayat seorang bayi perempuan.

Kedua mayat itu tentu saja sudah lama tiada lagi. Setelah dipotong-potong sebagai bahan pelajaran anatomi, dikuburkan dalam pemakaman tak bernama. Tapi polisi mempunyai dugaan kuat bahwa mereka itu adalah Harriet dan Dorothy.

Di depan hakim kali ini Rulloff membela diri dengan menggunakan hasil-hasil sidang pengadilan yang memeriksa perkaranya 10 tahun yang lalu. Pada waktu itu, katanya, pengadilan mengambil kesimpulan bahwa ia menculik istrinya.

Ini berarti terdapat petunjuk-petunjuk positif bahwa ketika itu istrinya masih hidup. Tapi mengapa kini ia dituduh membunuh istrinya. Pembelaan diri Rulloff begitu meyakinkan hingga tuduhan bahwa ia membunuh Harriet, ditarik kembali. Tetapi ia tetap dianggap bersalah telah membunuh Dorothy, anaknya sendiri. Hukuman gantung dijatuhkan.

Dalam penjara di Ithaca, Rulloff menulis permohonan naik banding. Pembelaan dirinya cukup cemerlang. Tapi lolosnya Rulloff dari penjara karena sebab lain.

Kepala penjara Ithaca, Jacob Jarvis, mempunyai seorang anak laki2 bernama Albert. Pemuda umur 18 tahun ini oleh ayahnya dipekerjakan di penjara sebagai juru kunci. Albert hanya berpendidikan sekolah menengah. Melihat kepandaian Rulloff yang ahli dalam berbagai ilmu, timbul gagasan pada Jacob Jarvis untuk menyuruhnya mengajar bahasa-bahasa, ilmu pengetahuan sosial dan filsafat kepada Albert. Bukankah ini kesibukan yang baik bagi Rulloff sementara menunggu pelaksanaan hukuman gantung?

Dengan senang hati Rulloff memenuhi permintaan itu. Ia mencurahkan segala pengetahuannya kepada Albert Jarvis, tak terkecuali filsafat hidupnya yang menjunjung tinggi kenikmatan diatas segala-galanya. Rulloff berhasil membujuk Albert untuk memberinya wanita dan minuman keras, disamping mengusahakan kesempatan agar ia dapat lari dari penjara.

Dengan giatnya Albert Jarvis memasukkan ke dalam penjara gadis-gadis Ithaca yang “membahayakan kesusilaan masyarakat”. Jika ayahnya, Jacob jarvis sedang pergi, Albert dan gurunya menyelenggarakan pestapora dengan gadis-gadis dan minuman keras yang melimpah.

Sementara itu saat pelaksanaan hukuman gantung atas diri Rulloff makin mendekat, sedangkan reaksi atas permohonannya naik banding belum datang. Maks Rulloff mendesak Albert agar segera memberinya kesempatan lolos dari penjara. Ini terjadi pada tanggal 4 Mei 1857, Albert pura-pura lupa mengunci sel Rulloff, lupa pula menggerendel pintu gerbang tapi tak lupa menyediakan kuda berpelana di suatu tempat yang sepi, tak jauh dari penjara.

Rulloff melarikan diri ke daerah Pennsylvania. Disana ia muncul sebagai Profesor James Nelson, “bekas maha guru Universitas Paris" dan melamar pekerjaan pada Allegheny College, Meadville. Rektor Perguruan Tinggi itu, Dr. Barker, sangat terkesan oleh kualitas-kualitas James Nelson sebagai seorang sarjana. Tapi karena tak ada lowongan ia menasehatkan kepada sang profesor untuk menghubungi Dr. A.B. Richmond yang mempunyai museum kulit-kulit binatang kerang. Dan profesor James Nelson diterima sebagai kurator museum Dr. Richmond itu.

Dalam waktu singkat Rulloff telah berhasil menguasai conchologi (pengetahuan tentang kerang-kerang). Sekilas pandang ia dapat membedakan taenioglossa dan platypoda dari kerang-kerang jenis tectibrankhia, sekalipun banyak ahli hanya dengan susah payah dapat mengenali perbedaan-perbedaannya.

Di samping itu di kota Meadville prof. James Nelson pandai pula mengenali mana gadis-gadis yang mudah diajak bermain cinta. Sekali lagi Rulloff berkubang dalam kehidupan seks liar, sampai salah seorang gadis yang digaulinya, Betty Pryor, mengandung. Prof. Nelson berjanji akan menikahinya. Tapi sebuah peristiwa menyebabkan rencana perkawinan itu batal.

Dalam waktu yang singkat kota Meadville dilanda serentetan pencurian besarkan di malam hari. Sebuah toko emas mendapat giliran pertama. Menyusul kemudian sebuah perusahaan pegadaian. Giliran ketiga menimpa sebuah bank. Sehubungan dengan pencu rian terakhir ini di dekat almari besi yang dibongkar, ditemukan benda milik pencuri: beberapa lembar kertas berisi catatan-catatan tentang ilmu kerang. Dengan sendiri nya polisi mencurigai kurator museum Dr. Richmond. Tetapi sang kurator terhormat, Prof. James Nelson alias Rulloff telah kabur. Ketika itu bulan Januari 1858, ditengah-tengah musim dingin.

Menjelang awal Februari Rulloff yang kini menggunakan nama lain, John Calkins, berjalan sempoyongan masuk James town di New York. Ketika itu suhu udara 20 derajat dibawah 0. Kaki kiri Rulloff beku. Langsung ia menuju sebuah hotel. Di sini ia menjual cerita baru. Katanya ia tersesat ketika pegi berburu dengan sejumlah teman. Ia menyewa sebuah kamar.

Mencari dokter yang dapat merawat kakinya yang beku, kebetulan tak ada. Padahal keadaannya sudah parah. Rulloff lalu pesan gergaji dan pisau operasi pada sebuah apotik. Ketika pemilik apotek datang, Rulloff sedang meneguk segelas whiskey untuk mengurangi rasa nyeri.

“Ya, Allah! Apa yang akan Anda lakukan, Mr Calkins?”, tanya pemilik apotek yang mengantarkan barang pesanan Rullof, “Memotong ibu jari kaki saya sendiri”, jawabnya tenang. Kemudian ia melakukan operasi diri tanpa mengeluh dan dengan sukses.

Mr. Calkins yang kakinya belum sembuh sama sekali, menarik perhatian orang banyak di Jamestown karena jalannya pincang. Sekalipun memakai nama samaran, ia segera dikenali oleh seorang penjaga kuda bernama Murphy, yang pernah bersamaan meringkuk di penjara Auburn. Berita larinya Rulloff dari penjara, dimuat dikoran-koran. Dan Murphy tahu pula bahwa tersedia hadiah $2.000 bagi siapa yang dapat menangkap Rulloff.

Segera Murphy lapor kepada Polisi setempat. Hotel tempat Mr. Calkins alias Edward Rulloff menginap, digrebeg. Tapi ia telah lari. Dilakukan pengejaran: yang berakhir dengan tertangkapnya Rulloff dekat perbatasan Pennsylvania.

Untuk ketiga kalinya Rulloff disekap di penjara Ithaca. Tapi sekarang tidak dibawah pengawasan lunak Albert Jarvis. Namur nasib baik masih melindung Rulloff. Surat permohonannya untuk naik banding berhasil. Keputusan pengadilan yang menyata kan dia bersalah membunuh anaknya perempuan, dicabut kembali. Khalayak Ithaca marah ketika mendengar keputusan ini. Berduyunduyun mereka menyerbu penjara Ithaca seperti serombongan serigala yang ingin menyobek-nyobek mangsanya. Sampai-sampai demi pertimbangan keamanan Rulloff terpaksa diungsikan ke penjara Auburn.

Mau diapakan penjahat besar itu? Pihak kejaksaan coba mengungkap kembali soal ipar Rulloff, Mabel Skhutt yang tiga belas tahun yang lalu meninggal dengan cara yang misterius. Kuburannya digali dan kerangkanya diperiksa oleh ahli toksikologi. Mereka memang menemukan zat racun dalam sisa-sisa mayat Mabel. Tapi karena Mabel telah begitu lama meninggal, sukar untuk mengatakan bahwa kematiannya adalah akibat racun tersebut. Pun seandainya Mabel meninggal akibat racun itu, sukar membuktikan bahwa Rulloff lah yang meracunnya.

Akhirnya Rulloff diserahkan ke pada pihak berwajib di Medville, Pensylvania untuk diusut sehubungan dengan pencurian-pencurian yang ia lakukan di sana dan juga sehubungan dengan persoalan Betty Pryor yang ia nodai sampai mengandung.

Tapi dalam perjalanan ke Meadville, Rulloff berhasil melarikan diri dengan cara yang unik. Kepada para pengawalnya ia mengatakan mau buang air. Setelah lama di kamar kecil ia belum juga keluar, para pengawal menjadi curiga. Pintu W.C. dibuka dengan paksa. Ternyata Rulloff tidak ada lagi. Menurut penyelidikan, ia keluar dari kamar kecil, tidak melalui pintu ataupun jendela, tetapi melalui lobang kotoran yang dibongkarnya.

Entah bagaimana keadaan Rullof ketika ia menyembul keluar dari dalam lubang w.c, yang terang, beberapa minggu kemudian ia muncul di Keene, New Hampshire, dengan pakaian rapi mentereng, muka tercukur halus. Ia mengenakan topi sutera, setelan hitam, kerah putih bersih dan memperkenalkan diri sebagai pendeta Aloysius Trent.

la menyajikan kisah baru. Beberapa minggu yang lalu ia masih mengajar di Oxford, Inggris, katanya. Kedatangannya di Keene adalah untuk mendirikan sebuah sekolah melulu bagi pemuda-pemuda Pendidikan sekolah yang ia rencanakan itu, berasaskan prinsip-prinsip keagamaan.

Penduduk Keene terkesan oleh semangat pengorbanan dan idealisme sang pendeta. Sejumlah warga kota terhormat melancarkan aksi pengumpulan dana untuk membantu karya Reverend Mr. Trent “di ladang Tuhan”.

Ketua panitnya pergumpul dana ialah Hazel Reynolds, seorang janda muda yang kaya karena peninggalan almarhum suaminya. Kerjasama antara sang pendeta dan wanita itu lancar dan baik sekali. Berkat usaha Mrs. Hazel Reynolds yang tak kenal lelah, bantuan mengalir hingga sekolah berhasil didirikan.

Sang pendeta tahu menghargai jasa-jasa Mrs. Reynolds. Rasa terima kashinya ia ucapkan dengan melimpahi janda muda yang kesepian itu dengan cumbu rayu dan cinta birahinya. Perasaan bersalah yang mengganggu hati nurani Mrs, Reynolds, disapu bersih oleh sang pendeta gadungan dengan kutipan dari Kitab Suci bahwa “Tuhan adalah Cinta”.

Tipudaja Rulloff yang menyamar sebagai pendeta, tersinggung keti ka la terbukti memasukkan dana: sekolah kedalam saku pribadinya. Sang pendeta diajukan kemuka pengadilan dan mendapat hukum an penyara 2 tahun.

Ia bukan Rulloff kalau tak berusaha melarikan diri ketika menjalani hukumannya dipenjara New Hampshire. Tapi kali ini ia tak berhasil. Dalam penjara ia mempuinyai banyak sahabat. Diantaranya seorang sesama narapidana bernama Dexter.

Rullof dan Dexter kebetulan dibebaskan dari penjara pada hari dan tanggal yang sama di tahun 1861. Berdua mereka menempuh perjalana ke New York Dezter tinggal bersama ibunya di Brooklyn, sedangkan Rulloff mencari tempat tinggal di Third Avenue, Manhattan. Disana ia menamakan dirinya Profesor Alfred Leurio dan membuka sekolah grafika. Dengan perlengkapan dan alat-alat cetak ia menceburkan diri dalam keahlian memalsu cek dan dokumen-dokumen penting lainnya.

Dexter menggabungkan diri dalam usaha sang profesor. Begitu pula Albert Jarvis. yang dulu meloloskan Rulloff dari penyara Ithaca tiga tahun sebelumnya.

Trio Rulloff Dexter Jarvis mengembangkan usahanya yang membawa keuntungan besar. Spesialisasi mereka tidak hanya meliputi pemalsuan cek dan surat-surat berharga saja tetapi juga pencurian-pencurian. Ketika pecah Perang Sipil di Amerika, banyak sekali permintaan akan bahan-bahan pakaian, jenis apapun juga. Maka komplotan Rulloff menghususkan diri dalam pencurian bahan-bahan tekstil.

Perang Sipil berakhir, tapi Rulloff c.s. meneruskan “usahanya” sebagai pencuri bahan tekstil. Sementara itu ia pun tak melupakan kegemaran intelektualnya. Diwaktu-waktu senggang ia belajar berbagai bahasa Eropa dan Asia sampai akhirnya berhasil menciptakan sebuah universil jauh sebelum bahasa Esperanto ditemukan.

Seperti telah diceritakan pada awal tulisan, setelah mendapat sukses dalam seminar bahasa di New York sebagai pencipta bahasa universil, Rulloff melakukan pencurian dan pembunuhan di gudang firma Halbert. untuk kemudian mengakhiri riwayat hidunya di tiang gantung.

Memang aneh kisah penjahat ini, yang seolah-olah mempunyai kepribadian bermuka dua. Yang satu kejam dan menjijikan, yang lain mempesona. Hal ini masih tercermin pada saat-saat menjelang Rulloff menjalani hukuman gantung. Tak terhitung jumlah kejahatannya. Tapi banyak orang tidak bisa percaya bahwa ia bersalah. Bahkan beberapa orang secara sukarela menawarkan diri untuk menjalani hukuman gantung, menggantikan Rulloff yang mereka minta agar dibebaskan.

Setelah Rulloff meninggal, batok kepalanya diselidiki. Ternyata 0.6 cm lebih tebal dari batok kepala rata-rata orang. Dan otaknya 180 gram lebih berat daripada bobot otak rata-rata orang. Otak itu kemudian diserahkan kepada Bagian Kedokteran Coinell University di Ithaca.

(Charlse Boswell & Lewis Thompson)

Baca Juga: Batu Sandungan

 

" ["url"]=> string(81) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835275/kisah-jenius-penjahat-edward-rulloff" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691170074000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561360" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/dalang-dalam-selimut-pengawalan_-20221111041021.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(138) "Seorang bodyguard bernama Ron, dikontrak oleh Morgan yang tengah menghadapi ancaman pembunuhan. Mampukah ia melindungi nyawa kliennya itu?" ["section"]=> object(stdClass)#64 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/dalang-dalam-selimut-pengawalan_-20221111041021.jpg" ["title"]=> string(31) "Dalang dalam Selimut Pengawalan" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 16:10:39" ["content"]=> string(31170) "

Intisari Plus - Seorang bodyguard bernama Ron, dikontrak oleh Morgan yang tengah menghadapi ancaman pembunuhan. Mampukah ia melindungi nyawa kliennya itu?

-------------------

Pagi itu langit masih mendung, mengguratkan warna kelabu sisa hujan semalam. Dalam setelan jas bergaris desain klasik, Ron melangkah ke dapur untuk sarapan. Hanya beberapa suap, rupanya ia kurang berselera pagi itu. Beberapa kali tangannya sibuk memeriksa kelengkapan alat komunikasinya. Dengan cepat Ron menyambar arloji sportnya dan segera keluar rumah, meninggalkan aroma kental Issey Miyake pemberian saudara kembarnya.

Ron memang sosok pengawal pribadi yang sangat profesional Sepuluh tahun menerjuni dunia tersebut, membuatnya menjadi orang yang senantiasa waspada. Ia pun sangat perfeksionis dalam segala hal, termasuk penampilan. Tak heran bila banyak wanita mengaguminya. Tapi Ron tak pernah ingin berhubungan serius dengan mereka. “Pekerjaan ini amat berbahaya, penuh ancaman. Terlalu berbahaya baik bagi mereka maupun diriku,” kata Ron.

Sekitar dua bulan terakhir Ron dikontrak oleh Morgan, pemilik perusahaan dengan ribuan karyawan yang sedang menghadapi ancaman pembunuhan. Ancaman itu bermula ketika pada suatu acara amal terjadi aksi penembakan oleh orang tak dikenal yang nyaris menembus batok kepalanya. Sejak itu Morgan selalu dikelilingi sepuluh pengawal pribadi yang dipimpin oleh Ron. Demi tugas itu pula Ron menempati paviliun di samping rumah utama Morgan. Semua kebutuhannya disediakan, meski interior dan dekorasi paviliun itu kurang memenuhi seleranya. “Uang memang tidak bisa membeli selera,” ucap batin Ron.

 

Serba tahan peluru

Pagi itu perasaan Ron tidak enak. Lelaki dengan garis wajah keras dan tegas ini tak tahu mengapa ia demikian gelisah. Bahkan ketika saudara kembarnya mendapat kesulitan pun, ia tidak segelisah saat ini.

Padahal pengawalan bagi Morgan sudah sangat ketat. Mobil antipelurunya adalah produk mutakhir yang direkomendasikan oleh Ron. Begitu pula rompi antipeluru yang selalu dipakai Morgan. Kaca jendela rumah Morgan pun diganti dengan yang tahan proyektil peluru. Pada semua pintu dan jendela dipasang sensor untuk mendeteksi tamu yang datang. Di samping itu, masih ada sejumlah upaya pencegahan lain yang dilakukan Ron, demi keselamatan kliennya.

Setiap hari jadwal keberangkatan Morgan ke kantor diubah. Pagi ini pukul 06.15. Di dalam garasi mesin mobil sudah dihidupkan meski pintu garasi masih tertutup. Baru setelah Morgan di dalam mobil, pintu garasi perlahan dibuka. Ini prosedur baku yang ditentukan oleh Ron dalam mencegah beraksinya penembak gelap yang senantiasa mengincar kliennya.

Ron selalu duduk di kursi samping pengemudi, sementara Morgan di belakangnya. Posisi itu memudahkannya memberikan instruksi tentang rute yang akan dilewati melalui pesawat handy talkie. Satu jip Land Cruiser mendahului di depan dan satu lagi membuntuti di belakang mobil yang ditumpangi Ron dan Morgan. Anak buah Ron yang lain dengan cermat mengawasi keadaan di sekitar mereka. Misalnya, adakah kendaraan lain yang membuntuti mereka?

Selain mengacak jam keberangkatan, Ron juga selalu mengubah rute perjalanan. Jika setiap hari ia melewati rute yang sama, sang calon pembunuh akan mudah menghafalkan kebiasaan Morgan. Rencana pembunuhan yang baik bisa gampang disusun dari kebiasaan yang berulang semacam ini. 

Namun, ada dua hal yang sangat dikhawatirkan Ron, yakni saat berhenti di lampu merah atau terjebak kemacetan. Dalam kondisi mobil tidak bergerak itu bisa saja sang pembunuh melemparkan granat ke kolong mobil. Meski tahan peluru, ledakan granat bisa menghancurkan mobil Morgan. Apalagi saat mobil melintasi Jalan Panahan, jalan tempat kantor Morgan, yang searah. Mobil terpaksa masuk dan keluar melalui rute yang sama. Ini menyimpan potensi ancaman yang tak kalah serius.

Matahari makin tinggi, pelan-pelan mengusir awan hitam. Namun perasaan tidak enak dalam diri Ron belum juga mau hilang. Sekali lagi Ron berusaha mengusir perasaan tidak enaknya itu dengan memutar kaset lagu klasik kesayangannya.

Pada suatu masa, ketika di perguruan tinggi, Ron pernah bergabung dengan band kampus sebagai vokalis utama. Ron keluar dari grupnya tak lama setelah tahu seluruh rekan grup band-nya mengonsumsi “bubuk setan”. Habis, berkali-kali Ron menasihati mereka, namun ia malah dikucilkan. Kini sudah hampir lima belas tahun sejak pertemuan terakhir mereka. Saat pemain drum mereka tewas dua tahun lalu karena overdosis, Ron pun tidak sempat menghadiri pemakamannya karena tengah bertugas menjaga seorang hakim agung yang menghadapi teror pembunuhan.

Lagu klasik yang mengalun jernih dari sistem tata suara canggih BMW seri tujuh keluaran tahun terakhir, yang kata orang, punya garis desain agak nyeleneh dari desain sebelumnya. Namun, perasaan tidak enak yang muncul dari nalurinya sebagai pengawal pribadi itu belum juga hilang.

 

Bungkusan aneh di dispenser

Arloji Aji menunjukkan pukul 06.45. Pada jam-jam itu biasanya Aji hanya membutuhkan waktu kurang dari semenit untuk melewati Jalan Panahan yang menuju ke kantornya. Namun kerumunan mobil polisi di depan gedung PT Swadana yang mengurangi lebar jalan menambah waktu tempuh bagi Aji pagi itu. Perlu lima menit sebelum ia sampai di depan kantornya.

Perlahan ia membelokkan mobil merahnya, memasuki pintu gerbang PT Dana Mandiri, perusahaan tempatnya bekerja. Letaknya persis di sebelah gedung PT Swadana yang penuh kerumunan orang. Di pos penjagaan Aji menyempatkan menyapa Marwan, satpam perusahaan.

“Pagi, Pak. Ada apa kok banyak polisi di gedung sebelah?” 

“Tadi pagi satpam PT Swadana mendapat telepon gelap. Kabarnya, di gedung Swadana ada bom yang akan meledak pukul sebelas siang!” jawab Marwan.

“Bom? Sudah ketemu?” 

“Belum,” lanjut Marwan, “nanti perusahaan kita juga akan diperiksa, kalau-kalau juga terdapat bom.” 

“Pak Welly sudah dihubungi?” tanya Aji. Pak Welly adalah direktur PT Dana Mandiri.

“Pak Welly sudah datang pagi-pagi sekali sebelum polisi memeriksa PT Swadana. Mungkin sudah ada yang memberi tahu dia.”

“Mudah-mudahan cuma isu,” gumam Aji. “Oke Pak. Terima kasih, selamat bertugas!” 

“Terima kasih, Pak,” Marwan melempar senyum pada Aji, manajer muda berotak cemerlang lulusan sekolah bisnis ternama.

Perlahan Aji mengendarai mobilnya memasuki ruang parkir bawah tanah. Pagi-pagi begini ruang parkir biasanya masih kosong, apalagi tempat parkir untuk direktur. Kali ini tempat parkir Pak Welly telah terisi, tidak biasanya beliau datang sepagi ini. Mobil itu pun bukan sedan mewah, namun minibus putih keluaran tahun sembilan puluhan. Aneh, pikir Aji dalam hati.

Seperti biasa, Aji langsung naik ke lantai satu untuk mengambil koran di meja resepsionis sebelum menuju meja kerjanya di lantai dua. Sudah jadi kebiasaan Aji untuk berangkat ke kantor pagi-pagi benar. Selain jalan masih agak sepi, Aji dapat tenang menikmati kopi hangat sambil membaca koran di meja kerja.

Sambil menaiki anak tangga, mata Aji tertuju pada salah satu judul berita koran, “Lagi, Ancaman untuk Morgan.” Judul itu mengusik rasa ingin tahu Aji untuk membacanya lebih jauh. Itu karena Morgan, pemilik PT Swadana itu, juga memiliki saham di PT Dana Mandiri.

Aji masih ingat peran besar Morgan terhadap Dana Mandiri beberapa tahun silam, saat Dana Mandiri hampir bangkrut. Morgan membeli saham Dana Mandiri. Berkat dana itu Dana Mandiri bangkit kembali. Dua tahun lalu, Welly berniat membeli kembali saham Morgan. Alasannya, ia khawatir kalau Dana Mandiri tiba-tiba bangkrut dan nilai saham milik Morgan turun. Namun, Morgan menolak melepas sahamnya. Malah ia siap menanggung risiko. Welly pun berterima kasih atas komitmen Morgan.

Menurut kabar angin, hari ini Morgan akan berkunjung ke Dana Mandiri. Ternyata koran hanya memuat ulasan usaha pembunuhan Morgan, tidak ada hal yang baru. 

Sesampai di meja kerjanya, Aji menaruh koran lalu mengambil satu kantung kopi instan lengkap dengan gula dan krimernya.

“Selamat pagi, Pak Aji.” 

“O-oh, selamat pagi, Pak Welly,” jawab Aji setengah terkejut mendengar sapaan itu. 

“Saya baru tahu kalau Anda selalu datang ke kantor sebelum pukul tujuh, lebih cepat satu jam dari jam kantor,” kata Welly.

“Mumpung jalan masih sepi, Pak,” sahut Aji. 

“Sudah tahu kejadian di PT Swadana?” tanya Welly sambil duduk di salah satu kursi dekat meja Aji. 

“Saya dengar ada bom, Pak. Semoga itu hanya isu,” jawab Aji. 

“Ya, saya harap juga begitu,” timpal Welly, “Apakah Anda tidak takut kalau-kalau di gedung kita juga ada bom?”

“Kemarin sore saya dengar ada beberapa pengawal Pak Morgan akan memeriksa gedung ini. Bukankah hari ini Pak Morgan akan kemari? Jadi saya yakin gedung ini bersih dari bom,” jawab Aji mantap. 

“Ya, saya harap polisi segera mengecek gedung kita agar kita benar-benar yakin gedung ini aman. Wah, Anda sedang membuat kopi?” tambah Welly.

“Ya. Kalau Bapak mau, bisa saya buatkan sekalian,” sahut Aji. 

“Boleh.”

Aji mengambil lagi satu kantung kopi instan lengkap lalu menuju ruang dapur kantor. Dengan terampil ia menuangkan isi kantung ke dalam dua cangkir. Ia tinggal menyeduhnya dengan air panas. Namun dispenser di pojok dapur tidak mengeluarkan air panas seperti biasanya, padahal lampu indikator dispenser itu menyala merah, artinya pemanas pada dispenser tidak rusak.

“Payah, barang zaman sekarang memang tidak awet,” gumam Aji. 

Aji memutuskan memeriksa dispenser itu. Ia menggeser posisi dispenser untuk melihat bagian belakangnya, siapa tahu ada kabel yang lepas dari posisinya atau terkelupas digigit tikus. Kalau cuma soal sepele demikian, ia pun mampu memperbaikinya.

Ia tidak menemukan kabel rusak, sebaliknya malah melihat sebuah benda aneh dalam dispenser. Benda itu berupa kotak hitam dengan antena, tersambung dengan bungkusan plastik hitam di bawahnya. Aji menarik napas panjang, mencoba bersikap tenang. Dia menduga kuat, benda aneh itu sebuah rangkaian bom!

Ia melangkah keluar dapur menemui Pak Welly. 

“Pak, ada bom di dalam dispenser!” kata Aji. 

“Apa?!” sentak Welly kaget. 

Tergopoh-gopoh Welly berlari ke dapur. Aji menunjukkan bungkusan aneh itu.

“Celaka!” geram Welly. 

Sejurus kemudian Welly berlari ke arah jendela yang menghadap langsung ke arah jalan raya, Aji mengikutinya dari belakang. Pandangan Welly terus terarah ke jalan raya, Aji pun mengikuti arah pandangan Welly. Pas saat iring-iringan mobil Morgan berjalan perlahan tepat di depan gerbang perusahaannya.

Mendadak Pak Welly menengokkan kepala ke jendela samping yang berhadapan langsung dengan gedung PT Swadana. Aji pun ikut menoleh. Tepat pada saat itu kaca-kaca jendela di salah satu ruangan lantai tiga gedung itu pecah berhamburan, menyusul terjadinya ledakan yang menggelegar.

Anehnya, Welly tampak biasa saja. la malah kembali memandang ke arah jalan raya. 

“Terlambat,” ujar Welly pelan.

Aji segera mengalihkan pandangan ke jalan raya. Semua mobil berhenti karena pengemudinya kaget oleh ledakan di gedung PT Swadana. 

“Cepat keluar dari gedung ini!” perintah Welly sambil bergegas meninggalkan jendela.

Aji mengikuti Welly. 

“Tolong sampaikan maaf saya pada anak-istri Morgan!” kata Welly sambil mendorong Aji ke arah tangga turun, sedangkan ia menuju arah tangga naik. Meski sempat bingung, Aji cepat berpikir. Berarti Pak Welly tahu ada rencana pembunuhan terhadap Pak Morgan! Bahkan mungkin ia terlibat!

 

Sasaran penembak jitu

Perasaan tidak enak pada Ron terjawab sudah. Ledakan di gedung Swadana membuat deras aliran adrenalinnya. Kepanikan akibat ledakan itu bisa berakibat buruk bagi sistem pengamanan Morgan! Mobil berhenti, Ron memerintahkan sebagian pengawal untuk berdiri mengelilingi mobil Morgan, sementara sisanya menyebar, sambil mengawasi kalau-kalau ada gerakan mencurigakan.

Mata Ron nanar mengawasi setiap orang, apalagi bila orang itu membawa bungkusan. Tapi semua orang tengah dicekam rasa panik.

Salah satunya, Aji. Ia tengah berlari melintasi halaman perusahaan ketika ledakan kedua terjadi. Salah satu jendela di lantai dua belas gedung Swadana kembali pecah berhamburan. Suasana menjadi semakin kacau, orang berlarian sambil berteriak histeris menjauhi gedung Swadana. Ron memanjat tembok pagar gedung Dana Mandiri agar dapat mengawasi sekeliling.

Terdorong rasa ingin tahu tentang keadaan sekeliling, Morgan memencet tombol pembuka jendela. Dari dalam mobilnya, lantai dua belas gedung Swadana tidak dapat terlihat jelas. Jendela mobil Morgan terbuka hanya selebar sekitar sepuluh sentimeter. Namun kepalanya di balik jendela dapat terlihat jelas dari lantai tiga gedung Dana Mandiri.

Ketika jendela pintu mobil Morgan tengah membuka, Aji hampir mencapai pintu gerbang. Ron memperhatikan Aji dengan curiga. Secara refleks ia mencabut pistol dari balik jas. Belum sempat Ron mengarahkan laras Baretta itu, tiba-tiba Aji mengangkat tangan sambil berteriak, “Pak Morgan, awas!”

Ron baru sadar bahwa jendela belakang mobil Morgan terbuka. Tepat saat itu sebutir peluru menghujam kepala Morgan. Morgan limbung akibat terjangan peluru.

Beberapa detik kemudian, seluruh lantai dua sampai lantai empat gedung Dana Mandiri meledak. Aji merasakan punggungnya diempas udara panas yang sangat kuat. Ia mengamankan diri dengan bertiarap. Ron pun hilang keseimbangan. Ia jatuh dari atas pagar ke trotoar. Ia tidak menyangka akan ada ledakan dari gedung Dana Mandiri.

Hujan serpihan material belum berhenti, namun Ron berusaha menghampiri Aji. Hanya satu hal di benaknya, laki-laki yang sempat memperingatkan Morgan mungkin berada dalam bahaya. Jika orang yang terlibat dalam usaha pembunuhan ini mendengar teriakannya, bisa jadi saksi hidup ini pun akan dihabisi!

“Cepat menyingkir, Anda dalam bahaya!” teriak Ron pada Aji. Ketika Ron merenggut lengannya, Aji segera bangkit. Ia tidak berkata sepatah kata pun kecuali menurut ketika Ron menyeretnya menjauhi pintu gerbang.

Pada saat bersamaan otak Aji bekerja merangkai semua kejadian itu. Pasti ada orang yang memberi komando dari tempat ini. Dialah yang menentukan kapan bom di Swadana meledak. Kemudian setelah Pak Morgan tertembak, dia pula yang menentukan peledakan bom di gedung Dana Mandiri.

Saat Ron memberi instruksi pada anak buahnya, Aji sempat melihat seorang laki-laki berjaket cokelat dan kacamata hitam, berdiri di depan pagar gedung Dana Mandiri. Ia tampak tenang dan tidak berusaha berlari menjauh. Tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket seperti menggenggam sesuatu. Aji pun melihat laki-laki itu sempat melirik ke arah mobil pengawal Morgan. Dari dalam mobil pengawal itu ada seorang lelaki yang juga sekilas menatap balik laki-laki berjaket cokelat.

Ron menyeret Aji ke seberang jalan lalu mendorong tubuhnya ke dalam Cherokee. “Cepat masuk!” perintah Ron.

Ron langsung tancap gas. Jip itu beberapa kali menyenggol mobil lain dan sempat naik ke trotoar. Di tengah suasana panik Aji sempat memutar ulang rekaman memorinya. Saat ledakan terjadi ada beberapa orang yang tidak panik, salah satunya lelaki misterius berjaket cokelat. Apakah laki-laki misterius itu si pemberi komando? Mungkinkah pengawal Morgan terlibat dalam kejadian ini? Jika pengawal terlibat, tentu pengawal pribadi profesional yang ada di sampingnya ini pun sudah membunuhnya.

Jip itu akhirnya berhasil lolos dari Jalan Panahan. Mobil melaju sangat kencang. Ketika memasuki kawasan sepi barulah Ron mengurangi kecepatan.

“Maaf, saya terpaksa memperlakukan Anda dengan kasar,” ujar Ron dengan tetap mengarahkan pandangannya ke arah jalan, “teriakan Anda bisa membahayakan diri sendiri. Anda kini berurusan dengan para pembunuh profesional.” 

“Ya, saya paham,” balas Aji datar.

Ron menduga, Aji harus diyakinkan agar mau mengatakan apa yang diketahuinya. Sementara itu pikiran Aji masih bergulat, apakah pengawal pribadi Morgan ikut terlibat atau tidak. 

“Rencana pembunuhan disusun dengan sangat cermat. Semula kupikir, bom di Swadana untuk membuat macet lalu lintas di Jalan Panahan, sehingga pembunuh bisa melemparkan granat ke kolong mobil Pak Morgan. Ternyata keliru, bom itu hanya agar Pak Morgan membuka jendela!”

“Pembunuh ini tahu benar sifat Pak Morgan yang selalu ingin menguasai keadaan. Dia tahu benar, Pak Morgan pasti akan membuka jendela,” kata Ron sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 

“Kenapa tidak dengan bazoka saja. Bukankah mobil Pak Morgan tidak bisa menahan bazoka?” sahut Aji asal-asalan. 

“Bazoka akan meninggalkan jejak asap yang banyak. Pembunuh bayaran jarang menggunakan itu karena posisinya akan mudah diketahui,” jawab Ron.

“Lalu, kenapa ada bom di Dana Mandiri?” tanya Aji. 

“Entahlah, mungkin si penembak jitu bersembunyi di gedung Dana Mandiri. Orang yang membayar pembunuh ini tidak mau jejaknya ketahuan, sehingga perlu melenyapkan si penembak jitu,” terang Ron.

“Apakah pengawal itu orang-orang Anda sendiri?” tanya Aji.  

Ron menggeleng, ia menduga Aji meragukan para pengawal Morgan. “Mereka dipilih oleh adik Pak Morgan, saya hanya memimpin. Memangnya kenapa?” balas Ron.

Aji menceritakan semua yang dilihatnya ketika sejumlah bom mulai meledak. Tentang lelaki misterius dan orang di dalam mobil. 

“Mungkin Anda benar. Kalau saja saya yang melihat lelaki itu, pasti saya langsung menangkapnya,” ujar Ron geram. Tapi lanjutnya kemudian, “Informasi Anda agak sulit dipercaya.”

“Kenapa?” ucap Aji. 

“Laki-laki di dalam mobil pengawal itu Pak Edward, adik kandung Pak Morgan,” jawab Ron. 

Aji kaget.

 

Demi imbalan saham

Ron mengaku agak mencurigai Edward. Sayangnya, ia belum menemukan bukti dan data yang kuat untuk menangkapnya. 

“Anda sempat memperingatkan Pak Morgan beberapa saat sebelum terjadi penembakan. Apa Anda tahu tentang rencana pembunuhan ini?” pancing Ron.

Aji pun menceritakan semua yang dialaminya pagi itu. Tentang bom di dispenser, pembicaraan dengan Welly, sampai pada kesimpulan adanya rencana pembunuhan terhadap diri Morgan.

“Saya sama sekali tidak mengerti mengapa Pak Welly tidak segera keluar dari gedung, tapi justru naik ke lantai tiga,” ujar Aji menutup ceritanya. 

“Mungkin di lantai tiga ada penembak jitu yang siap menembak Pak Morgan. Pak Welly mencoba menggagalkannya,” jawab Ron.

“Bukankah Pak Welly bisa memberitahu lewat ponsel Pak Morgan?” tanya Aji. 

“Pak Morgan tidak pernah membawa ponsel sendiri. Ponsel selalu dibawa Pak Edward,” jelas Ron. 

“Apakah Pak Edward punya motif untuk membunuh Pak Morgan?” tanya Aji kemudian.

“Warisan. Pak Morgan hanya memiliki seorang anak perempuan yang saat ini masih kuliah. Jika Pak Morgan meninggal, perusahaan akan dipegang oleh Pak Edward,” kata Ron. 

Sejenak mereka diam. 

“Anda punya kesimpulan?” tanya Aji.

“Saya sudah menyelidiki hubungan antara Pak Welly dengan Pak Morgan. Pak Welly pernah bermaksud membeli saham Pak Morgan di Dana Mandiri, tapi Pak Morgan menolak. Dana Mandiri adalah perusahaan hasil kerja keras Pak Welly, tak heran jika ia mengganggapnya seperti anak sendiri. Ia menginginkan seluruh saham di perusahaan tersebut. Jika Pak Edward menawarkan saham milik Pak Morgan pada Pak Welly, saya rasa, sulit bagi Pak Welly untuk menolaknya.” Jelas Ron.

“Jadi, Pak Welly mengizinkan gedungnya ditempati penembak jitu dengan imbalan saham Pak Morgan?” tanya Aji. 

“Mungkin,” jawab Ron kemudian menarik napas panjang, “sayangnya Pak Edward berkhianat. Begitu sadar dikhianati, Pak Welly berusaha menggagalkan usaha pembunuhan itu.” 

Ron tiba-tiba menepikan jip itu. “Aku punya rencana!” teriaknya sambil mengambil ponsel lalu menghubungi Edward.

Ada informasi baru, Morgan masih hidup namun kondisinya kritis. Saat ini Morgan sudah dievakuasi ke rumah sakit. Selanjutnya Ron menghubungi Brigadir Wawan di kepolisian. Ron menceritakan pembicaraannya dengan Aji lalu membeberkan rencananya. Rupanya Wawan setuju.

“Kita ke rumah sakit. Tolong bantu saya untuk mengidentifikasi lelaki yang Anda lihat tadi,” kata Ron. 

“Baik,” sahut Aji. 

“Dari tadi kita belum berkenalan. Nama saya Ron.” 

“Aji.” 

“Anda cukup tenang menghadapi situasi tadi, bahkan bisa berpikir dengan cepat,” puji Ron. “Tidak banyak orang yang bisa bertindak seperti Anda, apakah Anda pernah mendapatkan pendidikan militer?” tanya Ron.

“Tidak, saya seorang pramuka,” jawab Aji. 

“Saya juga pramuka.” 

Mereka segera meluncur menuju sebuah rumah sakit bertaraf internasional di pusat kota.

 

Terjebak orang sendiri

Ron menghentikan jip beberapa meter dari pintu gerbang rumah sakit. Tak lama kemudian sebuah minibus berhenti di belakang jip mereka. Tiga lelaki bertubuh kekar keluar dari dalam minibus cokelat itu. Ron mengajak Aji untuk menemui mereka yang ternyata adalah Brigadir Wawan, Brigadir Wiji, dan Brigadir Argo. Selanjutnya Argo dan Aji menunggu di balik pintu gerbang. Brigadir Wawan, Wiji, dan Ron menuju Unit Gawat Darurat (UGD).

Ron tidak bertemu dengan anak buahnya. Mungkin mereka sudah pulang karena merasa tidak diperlukan lagi. Namun di tempat itu ia justru bertemu Edward. Ron memperkenalkan Edward pada Brigadir Wawan. Saat Edward berbicara dengan Wawan dan Ron, dari tempat tersembunyi Brigadir Wiji memberi kode kepada Brigadir Argo. Argo segera menghubungi ponsel milik Wawan.

Wawan menjawab panggilan itu dan berpura-pura “serius” mendengarkan. Usai pembicaraan, Wawan memotong pembicaraan Edward dengan Ron. 

“Maaf, polisi barusan menangkap seorang lelaki gondrong berjaket cokelat yang dicurigai berada di depan gedung Dana Mandiri saat ledakan terjadi. Saya harus pergi,” kata Brigadir Wawan berpamitan.

“Silakan,” jawab Ron sambil melirik ke arah Edward yang tampak berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.

Begitu Wawan berlalu, Ron menelepon rekannya, siapa tahu ia punya informasi berharga tentang kasus ini. 

“Boleh saya pinjam ponsel Anda?” pinta Ron pada Edward. 

“Tentu,” jawab Edward tanpa curiga. 

Ron agak menjauh dari Edward, berpura-pura menelepon. Sementara itu, Edward tampak bergegas keluar dari ruang UGD. Tanpa sepengetahuan Edward, Brigadir Wiji mengikutinya. Ternyata Edward menuju sebuah wartel. Edward memasuki kamar bicara, tangannya mulai memencet tombol-tombol angka.

Dengan cerdik Wiji menuju ke meja kasir. Dari tempat itu ia dapat melihat dengan jelas pada layar komputer nomor telepon yang dituju. Nomor telepon yang dicatatnya itu segera dilaporkan pada Wawan, yang sudah bergabung bersama Aji dan Brigadir Argo. Nomor itu bukan nomor ponsel sehingga bisa dikirim ke perusahaan telekomunikasi untuk dicari alamatnya. 

Pancingan Ron berhasil! 

Usai menelepon, Edward kembali ke ruang UGD. Ron pun segera mengembalikan ponsel Edward, lalu berpamitan dengan alasan hendak memburu informasi terbaru. 

Kurang dari 30 menit perusahaan telekomunikasi menghubungi Wawan dan memberitahukan alamat yang dicari. Mereka berlima langsung meluncur ke alamat itu.

Alamat yang dituju ternyata sebuah rumah tipe 45. Kembali Ron mencetuskan ide cemerlang. Ia menelepon ke rumah itu. 

Katanya, “Kamu bekerja sama dengan orang yang salah, rumahmu sudah dipasangi bom!”

Benar, tak lama kemudian seorang lelaki gondrong panik berlari keluar dari rumah itu dengan melompati pagarnya. Brigadir Argo dan Wiji yang sudah menunggu di balik pagar dengan sigap meringkusnya. 

Dari mulut lelaki tersebut, terbongkarlah rencana pembunuhan yang disusun Edward. Ternyata, dalang semua tindak keji ini justru sang adik sendiri yang bersembunyi di dalam tim pengawal pribadi Morgan.

Sudah dapat dipastikan, Edward akan meringkuk di penjara dalam waktu cukup lama. Bersamaan dengan selesainya penuturan lelaki itu, ponsel Wawan berdering. Ternyata, dari rumah sakit. Morgan baru saja meninggal.


Baca Juga: Ada Tiga Ayala

 

" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561360/dalang-dalam-selimut-pengawalan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668183039000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350536" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/pelajaran-buat-si-mata-keranjang-20220629071804.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Travers yang ramah dengan cepat menarik perhatian Caroline. Tak ayal, ini membuat Edward cemburu dan membuat rencana untuk mencelakainya." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/pelajaran-buat-si-mata-keranjang-20220629071804.jpg" ["title"]=> string(32) "Pelajaran Buat si Mata Keranjang" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:18:17" ["content"]=> string(36044) "

Intisari Plus - Caroline dan Edward pertama kali bertemu dengan Travers saat bermain ski. Travers yang ramah dengan cepat menarik perhatian Caroline. Tak ayal, ini membuat Edward cemburu dan membuat rencana untuk mencelakainya.

------------------

Liburan musim dingin kali ini kami habiskan di Verbier, kawasan Ascot, Inggris, ajang bermain ski yang terkenal. Sabtu pagi itu kami sedang menunggu ski lift ketika seorang pria 40-an tahun menyilakan Caroline, istri saya, masuk ski lift. 

Dari omongannya kami tahu sepagi itu ia telah menyelesaikan dua kali luncuran. Sejenak saya terpesona atas keramahannya, meski kemudian tak ingat lagi lantaran kesibukan kami.

Sesampai di puncak kami segera memisahkan diri, masing-masing menggunakan luncuran yang berbeda sesuai dengan tingkat keterampilan. Caroline menggunakan luncuran A bergabung dengan Marcel, pelatih yang khusus menangani para pemain ski tingkat lanjut. Maklum, istri saya memang sudah bermain ski sejak usia 7 tahun. Sementara saya memilih luncuran B, sesuai dengan tingkat kemampuan ski saya yang tergolong masih pemula. 

Dalam bermain ski boleh dibilang saya memang jauh ketinggalan dibandingkan dengan Caroline. Terus terang luncuran B pun sebenarnya masih terlalu sulit buat saya, tetapi saya sering tidak mengaku di depan Caroline.

Malam harinya secara tak terduga kami bertemu lagi dengan pria ramah yang kami jumpai di ajang ski tadi pagi. Namanya Patrick Travers. Sebagai teman bicara ia amat lucu dan menyenangkan. 

Dia juga bercanda akrab dengan istri saya tanpa meninggalkan batas-batas kesopanan. Toh, diam-diam rupanya pria tersebut terpesona melihat kecantikan Caroline, sementara istri saya pun memuji perhatiannya. 

Setelah bertahun-tahun hidup bersama Caroline, baru sekarang ini saya menyadari betapa wanita yang sudah puluhan tahun mendampingi saya ternyata memiliki "magnet" tersendiri bagi pria. Saya merasa bersyukur betapa beruntungnya saya.

Dari obrolannya kami tahu Travers, yang tinggal di Eaton Square ini, bekerja sebagai bankir dagang. Sejak ikut rombongan wisata sekolah pada akhir tahun '50-an, ia mengunjungi Verbier setiap tahun. Dia pun bangga selalu sebagai orang pertama yang bermain ski tiap pagi, dan sering kali mengalahkan jagoan lokal. Ketika tahu saya membuka galeri seni di West End, nampaknya ia berminat untuk melihat.

Bahkan ia membeli lukisan aliran semi-imperesionis untuk koleksi, sambil berjanji akan mampir lagi bila kembali ke kota ini.

 

Lukisan Vuillard

Sejak itu sekelebat-sekelebat Travers sering kami temui di berbagai kesempatan. Suatu kali pada saat liburan, kami pernah memergokinya sedang mengobrol dengan istri Percy, teman kami yang mengelola galeri permadani Timur. Kali lain ia kami lihat dan kemudian bersama Caroline bermain ski lagi di luncuran A yang berbahaya. Kira-kira enam minggu kemudian saya kembali menjumpainya di galeri saya.

"Senang bertemu lagi, Edward," katanya. "Saya membaca tulisanmu di Independent dan langsung ingat akan undangan pribadimu." 

"Berapa harga lukisan 'Wanita dan Janda' itu?" tanyanya tiba-tiba. 

"Delapan puluh ribu ponsterling," jawab saya. 

"Itu mengingatkan pada sebuah lukisannya yang terpajang di Metropolitan," katanya sambil membuka-buka katalog. Saya sempat kagum oleh daya ingat dan kompletnya pengetahuan Travers akan karya Vuillard. Saya katakan juga bahwa lukisan yang dikaguminya tersebut dibuat oleh Vuillard selama sebulan di New York.

"Lukisan yang sedikit telanjang itu?" 

"Empat puluh tujuh ribu." 

"Ny. Hensel, istri agen dan gundik kedua Vuillard, kalau saya tidak salah. Lukisan itu menjadi favorit saya dalam pameran ini." 

Travers lalu berbalik dan mengamati lukisan besar cat minyak bergambar seorang gadis yang sedang bermain piano, sementara ibunya nampak membantu membalik-balik halaman partitur.

"Luar biasa," katanya. "Boleh saya tahu harganya?" 

"Tiga ratus tujuh puluh ribu pon." 

Tanpa saya sadari tiba-tiba dari arah belakang muncul seorang pria yang dengan spontan menyapa, 

"Ada pesta besar rupanya, Edward." 

"Oh,... Percy!" kata saya sambil berpaling padanya. "Aku pikir kamu tidak datang." Pria itu teman karib keluarga kami. 

"Maaf, ikut prihatin soal Diana," ujar saya karena belakangan kami mendengar perceraian dalam bahtera rumah tangga Percy. Selesai melayani Percy, saya berbalik untuk melanjutkan pembicaraan dengan Travers namun dia sudah tidak kelihatan lagi. 

Mata saya segera mencarinya seputar ruangan dan melihatnya berdiri jauh di pojok galeri mengobrol mesra dengan istri saya. Ah, rupanya gaun hijau dengan potongan bahu terbuka yang dikenakan Caroline terlalu berani. Tak heran, mata lelaki Travers selalu terpaku pada tonjolan dada indah beberapa inci di bawah bahu itu.

Mendadak hati saya panas. Dasar mata keranjang! Pria mana yang tidak geregetan melihat istrinya dijadikan santapan mata birahi lelaki lain. Tentu saya tidak begini kalau wanita di depan Travers bukan Caroline. Untung, saya bisa menahan diri untuk kemudian bersikap biasa kembali.

Beberapa hari berikutnya saya melihat Travers lagi di galeri saya. la berdiri mengamati lukisan Vuillard yang menggambarkan ibu dan putrinya sedang bermain piano. 

"Selamat pagi, Patrick," saya mencoba untuk tetap ramah. 

"Rupanya saya tidak bisa melupakan ini," jelasnya sambil menatap lukisan yang diminatinya dengan saksama. 

"Apakah saya harus menunggu lama untuk bisa memilikinya? Jangan khawatir, saya akan meninggalkan deposit." 

"Tentu," kata saya. "Saya hanya memerlukan referensi bank dan deposit sebesar 5.000 pon." 

Tanpa ragu ia menyetujui kedua syarat itu, sebelum kemudian saya menanyakan ke mana lukisan itu sebaiknya dikirimkan. Dia memberi kartu nama yang menunjuk tempat tinggalnya di Eaton Square. Pagi berikutnya bank tersebut menyetujui permohonan sebesar 371.000 pon.

Dalam 24 jam lukisan karya Vuillard sudah dikirim ke rumahnya dan digantung di ruang tamu di lantai bawah. Sore harinya ia menelepon balik, mengucapkan terima kasih, dan mengundang kami makan malam bersamanya.

Sebetulnya saya malas untuk harus berkunjung ke rumah Travers, tapi Caroline rupanya ingin sekali menerima. la tertarik melihat situasi rumah Travers.

Akhirnya, kami memenuhi undangan itu. Saya terkejut lantaran tidak menemukan Ny. Travers atau paling tidak pacarnya. Ternyata pria ini hidup seorang diri. Tapi sebagai tuan rumah ia amat mengesankan dan bijaksana. Tapi lagi-lagi saya mencium adanya maksud tersembunyi dalam diri Travers. 

Saya perhatikan ia selalu memberikan perhatian khusus pada Caroline. Wah, gawat! Nampaknya pria thukmis (senang melihat wantia cantik) ini mulai memasang jerat. 

Di luar dugaan, Caroline pun rupanya menikmati perhatian itu. Perasaan kesal dan amarah memenuhi dada. Bayangkan, seorang lelaki berani main mata dengan Caroline. Di depan saya lagi. Bisa-bisa mereka akan pacaran jika saya tidak ada.

 

Ketahuan belangnya

Ketika kami meninggalkan Eaton Square, Travers mengatakan ia akan segera memutuskan membeli lukisan itu atau tidak.

Tapi tiba-tiba beberapa hari kemudian lukisan tersebut malah dikembalikan ke galeri. Alasannya sepele, ia tidak suka lagi. Tanpa ada penjelasan rinci. la cuma mengatakan akan mampir ke galeri lagi untuk mendapatkan karya Vuillard yang lain.

Walaupun kecewa, saya mengembalikan depositnya. Dengan menghibur diri, saya berkeyakinan kalau ia memang seorang pelanggan setia pasti akan kembali lagi. Tetapi Travers tidak pernah kembali lagi.

Sebulan sudah peristiwa itu berlalu. Saya pun hampir lupa dengan Travers. Suatu siang ketika sedang makan siang di klub, datanglah Percy Fellows ke meja saya. Semenjak bertemu di pameran lukisan Vuillard, baru kali ini saya melihatnya lagi. 

Percy menjadi agen barang-barang antik yang paling terpercaya di Inggris. 

Setelah perceraian dengan istrinya, Diana, pria ini selalu murung.

"Mengapa selalu berakhir dengan perceraian," keluhnya. 

"Aku sendiri semula bisa memaafkan perilakunya yang bebas. Diana aku beri kebebasan untuk pergi ke mana ia suka, asal masih di London. Aku merasa betapa sedihnya nasib suami yang istrinya tidak setia. Ketahuilah,Travers, pria jahat itu, menjadi teman kencan terakhirnya." 

"Travers?" kata saya terkaget-kaget. 

"Patrick Travers, pria yang tercantum dalam surat permohonan cerai. Kau pernah kenal dia?" katanya. 

"Aku tahu namanya." Saya termangu-mangu, ingin mendengar lebih jauh ceritanya. 

"Kalau tidak salah, aku pernah melihatnya dalam pameran di galerimu beberapa waktu lalu?" 

"Oh, ya. Tetapi apa artinya bagimu sekarang?" saya bertanya sambil mencoba membuka pikirannya. Percy kembali melanjutkan unek-uneknya. 

"Awalnya kami bertemu lelaki sialan itu di Ascot. la bergabung dengan kami saat makan siang, minum sampanye, mencicipi hidangan pencuci mulut. Tapi sebelum akhir minggu ia sudah tidur dengan istriku. Gila, enggak? Namun itu belum apa-apa."

"Belum apa-apa bagaimana?" tanya saya ikut keki. 

"Orang itu punya keberanian datang ke toko dan menitipkan deposit yang besar untuk sebuah meja Georgian. Lalu dia mengundang kami makan malam dan sekaligus melihat penataan mejanya. Dari situ ia mulai akrab dengan Diana, bahkan akhirnya aku tahu Diana suka datang ke rumahnya dan bercinta dengannya. Sesudah puas ia enak saja mengembalikan Diana dan meja Georgian dalam keadaan berantakan."

Mendengar penuturan Percy yang terakhir itu, mendadak tubuh saya lemas. Berbagai perasaan berkecamuk di hati. Bayangan wajah Caroline berkelebat silih berganti dengan wajah Travers. Mungkinkah nasib saya akan seperti pria di depan saya ini? Rupanya Percy menangkap perubahan pada saya.

"Kamu kelihatan sakit, kawan?" tanya Percy tiba-tiba. 

"Tidak, aku baik-baik saja," tukas saya cepat-cepat. "Aku hanya perlu udara segar. Maafkan, Percy."

Sepulang dari makan siang itu hati saya tambah sakit oleh ulah si mata keranjang bernama Travers. Kesimpulannya, saya akan membuat perhitungan dengannya. Demi Percy dan para suami yang lain, saya harus melancarkan pembalasan!

 

Menyusun rencana balas dendam

Pagi berikutnya saya mulai mengadakan penyelidikan rahasia dengan memeriksa surat-surat yang ditujukan pada Caroline. Barangkali ini tindakan yang tidak masuk akal. Apalagi kemudian saya pikir, Travers tentu tak akan bertindak bodoh melakukan hubungan gelap atau bikin janji apa pun melalui surat dengan Caroline.

Saya juga mulai lebih teliti mendengarkan pembicaraan telepon. Tidak semua penelepon memang, tapi paling tidak selagi saya ada di rumah. Catatan kilometer mobil juga saya cek ulang untuk memastikan apakah mobil dipakai jarak jauh. Tapi akhirnya saya hentikan setelah menyadari, Eaton Square ternyata tidaklah jauh dari mana-mana. Lalu saya coba untuk membuat jarak dengan Caroline dan tidak bercinta dengannya. Anehnya, dia pun tidak berkomentar apa-apa. Wah! Saya tambah penasaran. 

Saya terus mengamati tingkah laku Caroline dengan saksama lebih dari dua minggu kemudian dan nampaknya Travers sudah bosan dengan istri saya. la membuat saya bertambah marah. 

Saya lalu membuat rencana balas dendam yang bagi saya sendiri cukup luar biasa. Dalam beberapa hari mendatang rencana itu harus segera terwujud. Bahkan gagasan itu telah menjadi obsesi. Saya mulai meyakinkan inilah saat pembalasan buat Travers sebelum dia menodai istri teman-teman saya yang lain.

Tapi bertindak jahat tentu tak mudah bagi saya. Seumur-umur saya belum pernah melanggar hukum. Hal-hal kecil seperti didenda parkir, membuang sampah sembarangan sudah amat mengganggu pikiran. Saya pun taat membayar pajak. Namun sejak mula saya sudah bertekad menghabisi Travers.

Akhirnya, saya susun rencana pembunuhan dengan sangat teliti. Mula-mula timbul pikiran menembak Travers sampai saya menemukan betapa susahnya memperoleh perizinan pemilikan senjata. Daripada gagal dan membuat jengkel, gagasan ini kemudian saya kubur dalam-dalam. Kemudian timbul ide lain, menggunakan racun. Ide ini pun kemudian menguap begitu saja. Sejauh ini belum satu pun ide saya lakukan. Saya harus lebih berani - terus terang ia mempunyai tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan saya, sehingga kalau saya nekat melawannya bisa-bisa saya malahan tercekik olehnya.

Lalu ada pikiran menenggelamkannya, tapi tentu butuh waktu agak lama untuk menariknya ke dekat air. Saya bahkan berpikiran untuk menabraknya dengan mobil, tapi membatalkannya karena saya sadar kesempatannya amat kecil. Saya akhirnya menyadari betapa susahnya membunuh seseorang dengan cara-cara itu.

Begitu besarnya obsesi membunuh Travers sampai di malam buta pun saya bangun membaca riwayat para pembunuh, tetapi rupanya mereka semua dapat ditangkap dan ditemukan oleh pihak berwajib. Ini membuat saya makin tidak percaya diri. 

Saya lalu membalik-balik novel-novel detektif sampai saya membaca satu kalimat penting dari Conan Doyle: "Orang yang punya kegiatan rutin biasanya lebih mudah diserang."

Saya mengingat kembali kegiatan rutin apa yang selalu dibanggakan Travers. la pasti akan kembali ke Verbier untuk bermain ski dan saya akan melakukan perhitungan di sana. Tapi paling tidak saya harus menunggu enam bulan guna menyempurnakan dan melaksanakan rencana saya. 

Saya memanfaatkan waktu luang sebaik-baiknya. Selagi Caroline bepergian jauh, saya mendaftarkan diri untuk belajar bermain ski di luncuran kering di Harrow.

Saya kira rencana ini cukup mengejutkan. Bagi saya amat gampang mengetahui kapan Travers kembali ke Verbier. Sementara saya dapat merencanakan liburan musim dingin sehingga kami punya waktu tiga hari. Sangat cukup untuk melakukan pembalasan.

 

Mempraktikkan teori

Sesuai rencana, Caroline dan saya kembali berlibur ke Verbier pada Jumat kedua di bulan Januari. Di matanya saya nampak sangat tegang dibandingkan dengan liburan Natal sebelumnya.

Pagi pertama sesudah kedatangan, kami naik ke ski lift kira-kira pukul 10.30. Saat mencapai puncak, sebagaimana biasa Caroline melapor ke Marcel. Saat Caroline meninggalkan luncuran A, saya kembali ke luncuran B berlatih sendiri.

Hari itu saya melakukan apa yang sudah direncanakan dengan lebih baik dan berlatih dengan tekun di Harrow sampai saya merasa yakin bahwa semuanya dalam keadaan terkendali. Menjelang minggu pertama saya yakin rencana pembunuhan itu sudah matang.

Malam menjelang kedatangan Travers, sayalah orang terakhir yang meninggalkan luncuran. Selama itu Caroline sempat berkomentar begitu majunya keterampilan saya bermain ski dan dia menyarankan pada Marcel saya telah siap di luncuran A dengan medan yang lebih tajam dan lereng yang lebih curam.

Siang itu saya sempat memeriksa kembali penempatan bendera merah yang menandai lintasan. Saya yakin pemain ski terakhir telah meninggalkan luncuran malam hari saat saya mengumpulkan kira-kira 30 bendera pada jarak tertentu. 

Tugas saya terakhir adalah memeriksa bakal TKP (tempat kejadian perkara), sebelum membangun gundukan salju yang cukup lebar dua puluh langkah di atas tempat yang sudah terpilih. Sesudah semua persiapan itu sempurna, saya lalu menuruni punggung pegunungan itu.

"Rupanya, kau mau mencoba memenangkan medali emas Olimpiade?" tanya Caroline ketika saya kembali ke ruangannya. 

Travers nampak masuk hotel satu jam lalu.

Malam itu saya kembali bergabung dengannya di bar untuk minum-minum. Dia rupanya sungkan ketika melihat saya, tapi saya mencoba bersikap santai. Ini membuat saya makin yakin bisa melakukan rencana. Lalu saya meninggalkannya di bar beberapa menit sebelum Caroline datang makan malam bersama. Terus terang saya ingin meninggalkan kesan wajar. 

"Tidak seperti biasa kau makan terlalu sedikit, sepertinya kehilangan nafsu makan," kara Caroline saat kami meninggalkan ruang makan tadi malam. 

Saya tidak berkomentar apa pun saat kami melewati Travers yang sedang duduk di bar. Di dekatnya menggelendot manja seorang wanita paruh baya yang berdandan agak menor. Gila! Si Mata Keranjang kini sudah mendapatkan mangsa baru. Lihatlah, betapa kurang ajarnya lelaki ini. Tangannya nempel terus di lutut wanita itu tanpa risih. Pemandangan itu sungguh membuat saya muak.

Malam itu saya tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Menjelang subuh diam-diam dengan amat perlahan saya meninggalkan tempat tidur, tanpa membangunkan Caroline. Semua barang perlengkapan sudah saya siapkan di lantai kamar mandi.

Tanpa banyak buang waktu saya berpakaian dan siap berangkat. Berjalan lewat tangga belakang hotel, menghindari lift dan melewati pintu darurat kebakaran. Saya berpakaian wol dengan bagian kepala tertutup sampai telinga dengan sepasang kacamata salju. Saya yakin tak seorang pun akan mengenali saya, termasuk Caroline.

Saya tiba di bagian bawah ski lift 40 menit sebelum buka. Saya berdiri persis di balik sebuah rumah pembangkit listrik lift. Saya menyadari keberhasilan rencana ini amat tergantung pada kebiasaan Travers. Pikiran saya sudah bulat, hari ini rencana pembunuhan harus terlaksana. 

Tak henti-hentinya mata memandang sekeliling ke sudut-sudut bangunan dengan harapan saya dapat melihat langkah Travers. Akhirnya, nampak di kejauhan di dasar bukit di samping sebuah jalan, seorang pria dengan sepasang peralatan ski bertengger di bahunya. Tak salah lagi, dialah Travers.

Benarlah, Travers tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat saya berdiri di situ.

Cuma kami berdua yang pertama kali menggunakan ski lift yang sempit itu menaiki bukit dan melintasi jurang-jurang yang dalam. Saya berbalik dan memeriksa kembali apakah memang tak ada orang lain lagi selain kami.

"Saya biasanya sudah melakukan luncuran di lintasan ski sebelum orang lain datang," kata Travers tatkala lift berada di titik yang paling tinggi. Saya kembali menengok ke belakang sekadar untuk memastikan lift bekerja dengan baik dan melihat jurang sedalam 60 m. 

Saya begitu ngeri membayangkan seandainya jatuh di sana dengan kepala di bawah. Saya merasa pusing dan berharap tak ingin melihatnya. Ski lift berjalan pelan sampai akhirnya kami mencapai tempat pemberhentian.

"Akhirnya," kata saya, setelah kami mencapai puncak. "Marcel tak ada di sini." 

"Jam-jam begini ia belum datang," tukas Travers sambil berlari ke depan menuju luncuran. 

"Saya memang tidak mengharapkan Anda akan bermain bersama saya," kata saya. Dia berhenti dan melihat saya dengan curiga.

“Namun Caroline rupanya berpikir saya pun sebenarnya layak untuk mengimbangi permainan ski Anda," jelas saya, "Memang saya memecahkan rekor beberapa kali di luncuran B, tetapi saya tidak ingin mengatakan itu di depan istri saya." 

"Baik." 

"Saya akan bertanya pada Marcel jika dia ada di sini. Semua orang tahu, Anda adalah pemain ski terbaik." 

"Baik, jika Anda ..." Dia mulai terpancing. 

"Sekali saja, kemudian Anda bisa menghabiskan liburan Anda di luncuran A. Hitung-hitung permainan dengan saya adalah pemanasan." 

"Bagaimana kalau saya berubah pikiran," katanya. 

"Sekali saja," kata saya lagi. "Itu yang saya perlukan. Kemudian katakan apakah saya sudah cukup pintar." 

"Kita berlomba?" katanya. 

Saya tidak menolak. Inilah saat yang saya tunggu-tunggu. Saya harus berhasil, meski semua buku tentang pembunuhan telah memperingatkan bersiap-siap akan sesuatu yang tidak diharapkan. 

"Itulah jalur yang akan kita lewati kalau Anda sudah yakin siap," Travers menambahkan dengan congkak.

"Saya setuju berlomba asal Anda mempertimbangkan taruhannya," sahut saya.

Untuk pertama kali saya melihat kata-kata saya menyita perhatiannya. "Berapa besar?" tanyanya.

"Ah, jumlah tidak penting buat saya," kata saya. "Pemenangnya bisa menceritakan pada Caroline apa adanya."

"Apa adanya?" tanyanya, dengan wajah yang keheran-heranan.

"Ya," kata saya, lalu saya menuruni bukit itu sebelum dia sempat menanggapi. Saya melakukan awal yang baik lalu mengeluarkan bendera merah. Sambil menoleh ke belakang saya dapat melihat dia berusaha keras membuntuti. Yang penting, saya perlu berada di depannya.

Sesudah beberapa saat berbelok ke kiri dan ke kanan dia berteriak, "Anda kira sudah cukup cepat sehingga dapat mengalahkan saya?" katanya sombong. Saya berada di depannya hanya karena saya sebenarnya perlu mengetahui setiap tikungan. Saya merasa pasti dapat mencapai rute palsu yang sudah saya siapkan sebelum dia sampai.

 

Tercebur di jurang

Dalam perlombaan pagi hari yang amat menegangkan ini dia berada di belakang saya 30 m. Pada saat dan tempat yang tepat saya mulai memperlambat laju luncuran ski, membelok mendekati gundukan es yang telah saya siapkan. 

Dengan harapan Travers tidak melihatnya. Saya menahan dengan sekuat tenaga ketika saya mencapai puncak gundukan. Lalu saya gerakan pengereman dan tiba persis di tempat perhentian di gundukan salju yang saya bangun malam sebelumnya.

Pada saat itu Travers terus melaju dengan kecepatan 40 mil per jam, menjalani rute yang salah, terbang ke udara dan jatuh di jurang disertai teriakan yang mengerikan. Nah, rasakan. Tulang-tulangnya pasti remuk menghantam salju yang berada ratusan meter di bawahnya.

Setelah menenangkan diri, saya meratakan kembali gundukan salju, lalu naik ke pegunungan secepatnya sambil mengumpulkan bendera yang menandai lintasan palsu itu. 

Dengan ketenangan yang luar biasa saya tancapkan kembali bendera-bendera itu ke tempat semula di luncuran B, yang berada 100 m di atas jalur es. Kemudian saya menuruni bukit dengan perasaan bak pemenang medali emas Olimpiade. 

Di dasar luncuran saya menarik kerudung yang menutupi kepala tanpa melepas kacamata saya. Melepas tali sepatu dan berjalan ke hotel. Saya masuk menggunakan pintu belakang dan kembali ke ranjang pukul 07.40.

Saya mencoba mengatur napas, tapi ini ternyata membutuhkan waktu sebelum denyut jantung saya kembali normal. Caroline bangun beberapa menit kemudian, berbalik dan memeluk saya. 

"Uh," katasaya, "kau kedinginan, pasti tidur tanpa selimut?” 

Saya cuma tertawa. "Kau pasti melepaskannya tadi malam." 

"Sana mandi dengan air hangat.”

Selesai dari kamar mandi kami sempat bercinta. Saya kembali memeriksa apa saja untuk meyakinkan saya tidak meninggalkan petunjuk apa pun.

Selagi Caroline membuatkan kopi, terdengar sirene ambulans datang dari arah kota. 

"Mudah-mudahan tidak ada kejadian yang buruk," gumam Caroline sambil terus menyeduh kopinya.

"Apa?" kata saya, dengan kata yang sedikit lebih keras, sambil mengalihkan pandangan dari Harian Times edisi sebelumnya.

"Ada sirene, menjengkelkan. Di pegunungan itu pasti ada kecelakaan. Barangkali Travers," katanya. 

"Travers?" tanya saya dengan suara yang lebih keras. 

"Patrick Travers. Saya melihatnya di bar tadi malam. Sengaja aku tidak memberitahumu. Toh, kau tak akan peduli."

"Tetapi mengapa Travers," kata saya dengan cemas. 

"Tidakkah dia selalu mengatakan yang pertama di luncuran tiap pagi? Bahkan kadang-kadang dapat mengalahkan pelatihnya." 

"Oh, ya," kata saya 

"Kau pasti ingat. Kami pernah pergi bersama suatu hari dan dia telah menyelesaikan tiga putaran." 

"Oh, ya." 

"Kau kelihatannya kurang cerah pagi ini, Edward. Apakah kurang tidur?" katanya sambil tertawa. 

Saya tidak menjawab. 

"Aku yakin pasti Travers," tambah Caroline, sambil minum sedikit kopi. 

Saya memandangnya, tanpa berbicara sepatah kata pun. 

"Mengapa kau tidak bertanya apa yang terjadi?"

"Aku begitu kaget hingga tak tahu harus bilang apa," kata saya. 

"Baginya semuanya telah berakhir di galeri. Ternyata beberapa malam kemudian ia masih mendesak saya untuk keluar sesudah kami makan malam. Aku usir saja," kata Caroline. Dia lalu memeluk saya dengan mesra. "Aku tak pernah mengatakan ini padamu karena aku pikir itu hanya akan membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya, setelah ajakannya kutolak, ia kemudian mengembalikan lukisan Vuillard tersebut.”

“Tetapi siapa yang merasa bersalah," kata saya sambil meraba-raba roti panggang.

"Oh, tidak sayang, kau tidak perlu merasa bersalah tentang apa pun. Dalam banyak kesempatan, kalau aku mau memutuskan untuk menyeleweng dan tidak setia kepadamu, aku takkan pernah mau jatuh dalam pelukan lelaki buaya macam Travers. Asal kau tahu, jauh hari sebelumnya Diana telah memperingatkanku."

Sepintas angan saya teringat pada nasib si lelaki buaya tadi. Barangkali saat ini ia lagi sekarat dan sedang dibawa ke kamar mayat.

"Menurutku, ini adalah waktu yang tepat bagimu untuk melakukan permainan di luncuran A," kata Caroline setelah kami menyelesaikan sarapan. "Main ski-mu sudah jauh meningkat dibandingkan dengan sebelumnya."

"Ya," kata saya, lebih dari sekadar main-main. 

Kami kemudian berjalan ke pegunungan untuk melakukan luncuran lagi. 

"Kau sehat-sehat saja, sayang?" tanya Caroline saat kami naik ski lift. 

"Oh, baik," jawab saya tanpa mau melihat ke jurang saat kami berada di puncak tertinggi. 

"Jangan seperti anak yang ketakutan begitu dong," katanya menenangkan. Saya tersenyum lemah. Tatkala kami mencapai puncak, tergesa-gesa saya melompat dari ski lift sehingga kemudian pergelangan kaki saya terkilir.

Caroline rupanya tidak bersimpati. Dia menduga saya sengaja melakukan hal itu untuk menghindari luncuran A. Dia meninggalkan saya dan segera turun menggunakan luncuran, sementara saya merasa malu turun melewati lift kembali.

Dengan terpincang-pincang saya menuju pos bantuan darurat. Caroline datang beberapa menit kemudian. Saya menjelaskan padanya barangkali ada keretakan sehingga akhirnya saya dibawa ke rumah sakit segera.

Caroline melepaskan sepatu skinya dan memanggil taksi ke rumah sakit. Sebetulnya jaraknya tidak jauh, tapi sopirnya harus hati-hati karena banyak tikungan yang tajam dengan jalanan licin.

"Dapatkah Anda menunggu di luar, Nyonya?" kata petugas saat saya memasuki ruang sinar-X.

"Ya, tetapi bisakah saya melihat lagi suami saya yang malang?" katanya pura-pura sedih saat pintu ditutup.

 

Tidak mati

Saya masuk ke ruangan yang dilengkapi dengan peralatan mesin yang amat canggih. Saya ceritakan apa yang telah terjadi dan saya rasakan saat ia mengangkat kaki yang sakit dengan hati-hati ke atas mesin sinar-X. Beberapa saat kemudian ia mengamati hasil fotonya.

"Tak ada keretakan pada kaki Anda," dia meyakinkan saya. "Tetapi jika masih terasa sakit pergelangan kaki Anda sebaiknya diikat." Dokter lalu memajang foto-foto sinar-X.

"Tidak ada yang retak," katanya, sambil tertawa. "Lain halnya dengan lima gambaran ini. Kalau memang mau bunuh diri, dia harus mencoba lagi melompat di atas jurang. Tolol sekali." 

"Di atas jurang?"

"Ya, barangkali dia memang suka pamer," katanya sambil menjepit pergelangan kaki saya. "Kami setiap tahun selalu mendapati orang tolol yang patah tangan dan kakinya, dengan goresan di wajahnya. Beruntung, dia masih hidup."

"Masih hidup?" tanya saya dengan suara lemah.

“Ya, tetapi hanya karena dia tidak tahu apa yang dilakukan. Pada umur 14 tahun saya bermain ski di atas jurang dan dapat mendarat seperti beruang laut di air. Tapi nampaknya dia bernasib lain," kata dokter. "Jangan bermain ski lagi pada liburan ini. Orang ini takkan dapat berjalan paling tidak selama enam minggu."

"Sungguh?" katanya saya. 

"Tapi Anda," katanya, "hanya perlu istirahat dan rendam pergelangan kaki di es setiap 3 jam. Jangan lupa, ganti pembalut sekali sehari. Anda bisa kembali bermain ski dalam beberapa hari ini."

Dengan berjalan pincang saya keluar dari ruang sinar-X menemui Caroline yang asyik dengan majalah Elle-nya.

"Kau nampak senang," katanya. 

"Tak ada yang perlu dicemaskan dengan orang yang dua tangannya patah, kaki, dan wajahnya yang kena gores."

"Ah, bodohnya aku, tidak menungguimu," kata Caroline. "Aku pikir kau cuma terkilir."

"Oh, bukan aku. Tapi Travers - kecelakaan yang menimpanya tadi pagi, kau ingat 'kan?"

"Dokter meyakinkan ia masih hidup."

"Sayang sekali," kata Caroline, sambil merangkulkan tangannya di dada saya, "mengingat bagaimana kau sudah bersusah payah menyiapkan semua itu. Padahal, aku sangat berharap kau berhasil melaksanakannya." (Jeffry Archer)

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350536/pelajaran-buat-si-mata-keranjang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530297000) } } }