array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3835263"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/04/informasi-melimpah-yang-membuat-20230804052613.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(150) "Edwin L. Burdick tinggal di rumah mewah. Setelah peristiwa tragis, muncul kesaksian yang mengungkapkan kehidupannya yang penuh skandal dan amoralitas."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/04/informasi-melimpah-yang-membuat-20230804052613.jpg"
      ["title"]=>
      string(48) "Informasi Melimpah yang Membuat Polisi Kewalahan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-04 17:26:22"
      ["content"]=>
      string(24305) "

Intisari Plus - Edwin L. Burdick, usahawan sukses di Buffalo, New York tinggal di sebuah rumah mewah dan menjadi anggota klub-klub sosial terkemuka. Setelah peristiwa tragis, muncul laporan dan kesaksian yang mengungkapkan kehidupannya yang penuh skandal dan amoralitas.

----------

Edwin L. Burdick terkenal di kalangan atas di kota Buffalo, New York. Ia seorang usahawan yang mempunyai karier cukup gemilang.

Burdick memulai usahanya pada usia 18 tahun. Tak lama kemudian ia telah dapat mengambil oper dan memiliki sebuah badan penerbit majalah perdagangan The Roller Mill. Setelah itu ia mendirikan “The Buffalo Envelope Company” yang mempekerjakan tak kurang dari 10 orang, dan memproduksi paling sedikit 400.000 sampul tiap hari.

Dalam resepsi-resepsi kalangan terkemuka ia dan istrinya yang cantik, Alice HulI, hampir selalu diundang. Sebaliknya Mr. dan Mrs. Burdick kerap kali mengadakan pesta ramah tamah di tempat kediaman mereka di Ashland Avenue, sebuah rumah yang mewah dengan 14 kamar. Dan Burdick menjadi anggota berbagai club untuk memperluas hubungan sosial, di antaranya Elmwood Dancing Club dan Red Jacket Golf Club.

Selama 17 tahun suami istri Burdick tampaknya hidup bahagia. Sampai akhirnya pada hari Jumat tanggal 27 Februari 1903 Burdick mati terbunuh di kamarnya.

Begitu berita tentang kematiannya tersiar, banyak laporan, kesaksian-kesaksian, dan perkiraan-perkiraan disampaikan kepada polisi. Hampir semua keterangan-keterangan itu memberi gambaran bahwa kehidupan Burdick dan kawan-kawan di sekelilingnya penuh skandal dan amoralitas.

Koran-koran mengungkapkan aneka macam praktik yang menurut mereka terjadi di belakang pintu Elmwood Dancing Club dengan anggotanya terpilih dan terbatas. Para pria dan wanita yang telah kawin, berkumpul di situ untuk melewatkan waktu dalam suasana romantis, bemesra-mesraan tapi tidak perlu dengan suami atau istri mereka sendiri.

Masuknya informasi-informasi ini barangkali untuk sebagian dirangsang oleh situasi terbunuhnya Edwin L. Burdick.

Mayat Burdick ditemukan pada jam 8.30 pagi oleh ibu mertuanya, Mrs. Maria Hull yang tinggal di rumah menantunya. Segera wanita itu mengundang dokter keluarga untuk memeriksa mayat. Kemudian memberitahukan kejadian pembunuhan itu kepada polisi. Petugas resmi yang datang adalah komandan detektif Patrick V. Cusack, anak buahnya James Sullivan dan seorang dokter, Dr. John Howland.

Burdick hanya memakai hem dan celana dalam. Kepala dan mukanya menunjukkan bekas-bekas penganiayaan berat. Setelah memeriksa mayat, Dr. Howland menyatakan sebagai berikut: “Korban meninggal akibat pukulan pada kepalanya. Senjata pembunuh berupa benda pipih yang cukup berat. Saat kematian kira-kira jam 12 atau 1 malam.”

Beberapa hal dalam kamar tempat terjadinya pembunuhan menarik perhatian polisi. Di atas meja terletak dua gelas yang telah diminum, sebuah botol alkohol setengah kosong dan beberapa potong keju Camembert.

Jas dan celana Burdick terletak di atas sandaran kursi. Dalam sakunya terdapat sebuah revolver terisi peluru sedangkan dalam saku lain ditemukan sebuah dompet, yang padat berisi uang. Polisi memperoleh kesan bahwa Burdick sebelumnya sudah merasa dirinya terancam hingga merasa perlu membawa senjata api. 

Dua orang wanita pembantu rumah tangga Burdick, tak dapat memberi keterangan apapun yang berharga bagi polisi. Mereka tak tahu apakah majikannya malam itu menerima tamu di kamarnya. Ditanya soal dua gelas, minuman keras dan keju di atas meja, mereka hanya bisa menjawab, bahwa Burdick rupanya mengambil sendiri makanan itu dari dapur.

Sementara itu polisi, dapat memperoleh keterangan yang berharga dari ibu mertua korban walaupun sedikit saja. Menurut Mrs. Hull adanya gelas dan keju itu berarti bahwa Burdick malam itu pasti menerima tamu. Sebab Burdick tak pernah minum sendirian lagi pula sama sekali tak suka keju Camembert.

“Di mana Mrs, Burdick? Mengapa ia tak ada di rumah?”, tanya detektif Sullivan tanpa pikir panjang bahwa pertanyaan ini bisa menyinggung perasaan Mis. Hull.

Jawab wanita itu, sudah sejak kira-kira dua bulan Mrs. Burdick singgah di Atlantic City dan menginap di hotel Traymore. Mrs. Hull telah memberitahukan kematian Burdick kepada istrinya, yang ia harapkan segera akan datang.

Komandan Cusack tertarik pada jawaban ini, mengingat bahwa mayat Burdick ditemukan hanya dengan pakaian dalam dan di kamar terdapat minuman keras dengan dua gelas saja. Dan pertemuan berduaan ini terjadi di kamar tidur. Maka ia bertanya, mengapa Mrs. Burdick pergi. Apakah ia telah atau berniat bercerai dari suaminya, barangkali karena Burdick mempunyai seorang kekasih.

Mrs. Hull sama sekali tak memperlihatkan perasaan tersinggung mendapat pertanyaan demikian. Ia hanya menjawab tak tahu menahu soal itu dan mempersilahkan para detektif menghubungi pengacara anaknya perempuan, yaitu Mr. Arthur Reed Penneli.

Keyakinan Cusack bahwa dalam perkara pembunuhan itu pasti soal percintaan, semakin kuat karena di seluruh rumah sama sekali tak terdapat tanda-tanda yang menunjuk ke arah pencurian atau perampokan.

Apalagi Cusack menemukan sebuah foto seorang wanita molek umur tiga puluhan dengan tulisan ”Dengan iringan cinta, Gertrude". Di samping foto yang ditemukan dalam laci meja Burdick itu, para detektif menemukan pula guntingan koran terbitan beberapa minggu yang lalu berisi berita tentang perceraian seorang pengusaha kaya di Cleveland, George Warren, dari istrinya. Helen. Berita itu berakhir dengan sebuah kalimat yang menyatakan bahwa Mrs. Warren akan segera pulang ke kota asalnya, Buffalo.

Kini Cusack dan Sullivan kembali ke markas. Di sana segera menghubungi rumah Mr. Arthur Reed Pennell lewat telepon. Istrinya mengatakan bahwa Mr. Pennell sedang ke air terjun Niagara dengan mobilnya yang baru, dan barangkali menginap di Prospect Hotel. Dengan alamat hotel ini polisi kirim telegram agar Pennell pulang secepat mungkin.

Sementara itu Cusack mencari keterangan pada Charles Park, kompanyon Burdick dalam usahanya dengan “Buffalo Envelope Company”. Charles Park dengan nada penuh kejujuran menyatakan bahwa pembunuhan Burdick jelas tak ada sangkut pautnya dengan perusahaannya.

Tentang keadaan keluarga Burdick ia tak tahu banyak karena hubungan antara dia dan keluarga itu bersifat hubungan sebagai kompanyon perusahaan. Hanya ia mendengar bahwa Burdick dan istrinya akhir-akhir ini tampaknya tak begitu baik.

Lebih jauh Park menyatakan bahwa Burdick di kantornya sering mendapat kunjungan dari seorang laki-laki bernama Boland. Burdick pernah mengatakan kepada Park, bahwa hubungannya dengan Boland sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan perusahaan. “Soal pribadi, bahkan sangat pribadi”, Burdick menambahkan.

Dari rumah Park, para detektif mampir sebentar di kantor Dr. Howland untuk menanyakan, apakah pukulan keras yang mematikan Burdick itu, bisa dilakukan oleh seorang wanita. Jawab sang dokter: Tidak mustahil, sebab tulang tengkorak Burdick ternyata tak begitu keras.

Jumat sore Arthur Reed Pennell, pengacara Mrs. Burdick telah sampai di Buffalo dan segera datang di kantor polisi. Orangnya tampan, umur empat puluhan, berkumis, dagunya kokoh. Tingkah lakunya penuh kepercayaan diri, pandai bicara. Bukan tanpa sebab ia dipandang sebagai salah seorang ahli hukum yang paling cemerlang di Buffalo. 

“Saya telah mendengar tentang nasib tragis yang menimpa Burdick itu. Bantuan apa yang dapat saya berikan kepada Anda?", tanya Pennell kepada Cusack.

“Dari percakapan dengan Mrs. HulI, saya mendapat kesan bahwa hubungan antara Burdick dengan istrinya akhir-akhir ini begitu baik. Tentang soal ini, Mrs. HulI menyarankan agar saya mencari keterangan dari Anda?”, Cusack menjawab.

“Baiklah. Tapi sebetulnya saya ragu, apakah persoalan-persoalan pribadi yang dipertanyakan Mrs. Burdick kepada saya sebagai pengacaranya, dapat begitu saja saya buka di hadapan Anda”, kata Pennell.

“Persoalannya bisa kita pandang dari segi lain”, Cusack menjelaskan, “Kiranya anda tak akan berkeberatan untuk memberi keterangan apakah dalam perkara pembunuhan ini ada soal wanita".

Argumen ini rupanya berhasil meyakinkan Pennell. “Memang", kata pengacara itu. “Demi tegaknya keadilan dan lancarnya pengusutan perkara pembunuhan ini, baiklah saya katakan, bahwa Mrs. Burdick minta jasa saya agar dapat bercerai dari suaminya atas dasar-dasar hukum. Saya bisa menyebut nama 3 orang wanita yang berhubungan dengan Burdick”.

“Apakah salah satu di antaranya bernama Gertrude?”

“Anda telah tahu?”, kata Pennell keheranan. “Memang. Nama lengkapnya Gertrude Paine, seorang janda yang telah bercerai dari suaminya. Ia piaraan Burdick".

“Lalu siapa itu Helen Warren dari Cleveland?"

Pennell lebih terheran lagi, “Banyak juga yang telah anda ketahui! Ya, dia juga. Dan karena Burdick- lah wanita itu bercerai dari suaminya”.

Lalu Pennell menambahkan nama wanita ketiga, Marian Hutchinson yang biasa membantu Burdick pada perusahaan sampul. Tapi di mana alamat ketiga wanita itu, Pennell tidak tahu. Tetapi ia yakin, mereka pasti masih di Buffalo.

“Mereka akan saya temukan”, Cusack menggumam, untuk kemudian berpamitan dari Pennell sambil mengucapkan terima kasih.

Memang, hari berikutnya polisi telah menemukan alamat wanita-wanita itu — setidak-tidaknya dua di antara mereka, ialah Mrs. Helen Warren dan Mrs. Gertrude Paine.

Melihat Mrs. Warren para detektif terpesona. Selera Burdick sungguh tidak murahan sejauh menyangkut segi fisik wanita pilihannya. Mrs. Helen yang berambut keemasan dan bertubuh mungil itu, memang memiliki kecantikan yang luar biasa. Demikian pula Mrs. Gertrude Paine, yang tinggal dalam sebuah apartemen, tak jauh dari hotel tempat Mrs. Warren menginap.

Tetapi kedua-duanya menyangkal keras sangkaan polisi terhadap diri mereka. Cusack dan Sullivan dicaci maki habis-habisan oleh kedua wanita itu. Mereka menyangkal pernah menjadi kekasih Burdick. Tetapi yang lebih penting lagi, baik Mrs. Helen maupun Mrs. Gertrude dapat memberikan alibi yang tak tergoyahkan. Sejumlah saksi menguatkan pernyataan mereka, bahwa pada saat pembunuhan Burdick, mereka berada di tempat yang letaknya beberapa kilometer dari Buffalo menghadiri sebuah party.

Masih ada satu harapan, barang kali wanita yang bernama Marian Hutchinson dapat memberi penjelasan tentang pembunuhan Burdick. Kebetulan hari itu juga — Sabtu, sehari setelah terjadinya pembununuhan — datang seorang bernama Henry Jeddo di kantcr polisi. Pekerjaannya menyewakan kereta yang ditarik kuda itu. Ia mengatakan bahwa pada hari Jumat malam, keretanya ditumpangi seorang wanita yang pernah bekerja pada Buffalo Envelope Company dan ciri-cirinya cocok dengan gambaran yang diberikan oleh Arthur Reed Pennell kepada polisi. Ia menyatakan kesediaannya membantu polisi mencarinya.

Sementara itu lebih banyak informasi-informasi yang masuk di markas polisi. Lebih-lebih setelah pada hari Sabtu acara-acar memuat berbagai skandal yang pernah terjadi dj Elmwood Dancing Club dan pada hari Minggu para pendeta di gereja mengucapkan khotbah yang berapi-api tentang kebejatan moral kaum lelaki di kota Buffalo.

Akibatnya, pada hari Senin kantor Cusack kebanjiran laporan yang berisi aneka macam cerita tentang penyelewengan suami A atau istri B. Sampai Cusack mengeluh karena kantornya menjadi seperti kantor penasehat perkawinan saja. Namun sebagian besar cerita-cerita itu banyak sedikit ada hubungannya dengan tingkah laku almarhum Burdick.

Dalam pada itu Mrs. Burdick telah kembali dari Atlantic City. Wanita yang baru saja menjadi janda itu, perawakannya ramping, bahkan agak kurus. Sepasang mata berwarna hitam bersinar dari wajahnya yang cantik. Mrs. Burdick mengenakan pakaian hitam tanda berkabung. Ia menerima Cusack dan Sullivan dengan sikap serius dan muka sedih yang membuat kedua petugas itu merasa terharu.

“Saya dengan senang hati ingin membantu Anda. Tetapi lebih baik lain kali, jika hati saya sudah agak reda. Hubungi saja Mr. Pennell. Keterangan-keterangan yang dapat saya berikan kepada Anda, dia pun dapat memberikannya. Dan ia pasti bersedia memberi segala bantuan”.

Sementara itu, pada hari Senin itu juga, pemilik kereta berkuda, Henry Jeddo bersama dengan seorang anak buah Cusack mencari Marian Hutchinson di pinggiran kota Buffalo. Dan' berhasil.

Seperti halnya dengan Mrs, Helen dan Gertrude, Marian Hutchinson pun seorang wanita cantik. Rambutnya merah, tubuhya padat, berisi, kepribadiannya memancarkan kewanitaan buas yang penuh gairah.

Kata-kata pertama yang diucap oleh wanita itu di hadapan Cusack adalah dampratan ganas karena merasa terhina ditahan seperti seorang penjahat. Tetapi polisi berhasil meredakannya. Dan Marian Hutchinson memberikan keterangan dengan jujur.

Memang ia pernah bekerja pada Buffalo Envelope Company, katanya. Tetapi kemudian ia keluar setelah berhasil mengumpulkan sejumlah modal. Dengan uang yang ia kumpulkan dengan susah payah itu, ia bermaksud menempuh karir sebagai penjanji.

Kadang ia memang berhubungan dengan Burdick sewaktu bekerja di perusahaannya. Tetapi hubungan itu sama sekali tak mempunyai corak romantis. Pertemuan-pertemuannya dengan Burdick selalu berlangsung di tempat terbuka, dihadapan umum.

Desas-desus seolah-olah ia pernah menerima bantuan finansial dari Burdick adalah omong kosong. Ia memiliki cukup harta dan tak memerlukan bantuan dari siapa pun juga.

Memang, pada hari Jumat malam ia menumpang kereta Henry Jeddo, “Adakah undang-undang yang melarang seseorang naik kereta ke Ashland Avenue?”, ia bertanya dengan nada mengejek. “Ketika itu saya dan rekan-rekan saya menjanji di rumah seorang teman. Jam satu malam saya telah sampai di rumah. Saya bisa mengajukan sekarang suami-istri sebagai saksi mata. Toh bukan salah saya jika latihan nyanyi itu berlangsung di sebuah rumah yang letaknya tak jauh dari rumah Burdick.

Lalu wanita itu menyebutkan sejumlah nama orang-orang yang dapat diminta kesaksiannya tentang apa yang ia katakan kepada polisi. Menjelang sore jelaslah sudah  bahwa alibi yang diajukan oleh Marian Hutchinson tak bisa diganggu gugat.

Selasa berlalu tanpa dipanen keterangan-keterangan baru yang berharga. Tapi Rabu sore jalannya pengusutan mengalami perkembangan baru berkat informasi dari Charles Parks kompanyon Burdick yang telah disebutkan di atas.

Ia menelepon polisi. Katanya: “Anda masih ingat itu orang bersama Boland yang beberapa kali mengunjungi Burdick di kantonya? Nah, kini saya tahu siapa dia sebenarnya. Sore ini di kantor datang beberapa cek dari bank, yaitu cek Burdick dari bulan Februari. Sekalipun tak berhak, saya memberanikan diri untuk memeriksanya. Salah satu cek itu, dikeluarkan tiga minggu yang lalu dan dialamatkan kepada Agen Detektif Boland, dengan catatan, untuk pembayaran penuh jasa-jasa yang telah diberikan. Cek itu dikirimkan ke New York City Bank".

Informasi ini menimbulkan teka-teki di benak komandan Cusack. Menurut keterangan-keterangan yang diperoleh sampai kini. Burdick tampaknya lebih cocok menjadi sasaran penyelidikan seorang detektif. Tetapi menurut informasi dari Charles Parks,  Burdick malahan menyewa detektif untuk menyelidiki sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?

Segera Cusack kirim kawat ke Broadway 220, alamat Boland Detective Agency, untuk minta keterangan tentang jasa yang diminta almarhum Burdick. Jawaban dengan telegram datang hari berikutnya. Bunyinya: Burdick minta penyelidikan alasan-alasan untuk perceraian, harap kirim orang ke New York untuk peroleh detail-detail.

Kamis malam detektif Sullivan telah sampai di New York dan hari berikutnya langsung menemui James Boland. Sullivan merasa seperti seorang petinju yang mendapat pukulan knock out ketika mendengar keterangan dari detektif swasta itu. Keterangan itu menghancurkan semua teori yang ia susun dengan Cusack sampai saat itu.

Lebih dari tiga bulan yang lalu demikian Boland. “Burdick datang di kantor saya membawa seberkas surat-surat yang ia temukan di rumahnya. Surat-surat itu tertuju kepada istrinya dan berasal dari seorang ahli hukum di Buffalo bernama Arthur Reed Pennell. Dari surat-surat itu jelas bahwa sejak beberapa waktu Pennel dan Mrs. Burdick menjaiin hubungan cinta gelap. Burdick minta kepada saya untuk mencari bukti-bukti yang kokoh tentang hal itu agar ia dapat menceraikan istrinya'’.

Boland berhasil mengumpulkan data-data tanpa banyak kesukaran. Alice Hull Burdick memang kekasih Pennell. Pernah Boland menguntit Pennell dan Alice sampai ke sarang percintaan mereka di Buffalo. Kira-kira akhir Desember 1902, dua bulan sebelum terbunuh, Burdick secara terang-terangan menuduh istrinya berzina. Inilah sebabnya maka Mrs. Burdick lalu pergi ke Atlantik City.

Burdick minta agar Boland meneruskan menguntit istrinya. Hasilnya sama. Beberapa kali Boland membayangi perjalanan Mrs. Burdick ke New York, di mana wanita Itu berkencan dengan Pennell di beberapa hotel.

Pada suatu malam Boland  berdiri di dekat Pennell yang sedang pesan minuman di sebuah bar. Dalam keadaan mabuk, Pennell berkata kepada pelayan bar, “Ada seorang musuh yang hendak kubunuh di Buffalo; biar aku kemudian digantung”.

Hal ini diberitahukan oleh Boland kepada Burdick, yang sejak itu senantiasa membawa senjata.

Beberapa minggu yang lalu, Burdick kirim cek kepada Boland, dengan sepucuk surat yang menyatakan bahwa ia (Burdick) sudah siap untuk menyerahkan seluruh persoalan kepada pengacaranya. Istri saya dan Pennell sudah mengetahui maksud saya”, Burdick mengakhiri suratnya.

Informasi ini membuat persoalan menjadi jelas. Rupanya Pennell sebagai seorang pengacara terhormat di Buffalo, takut namanya menjadi tercemar di mata umum jika Burdick melaksanakan niatnya. Inilah yang mendorong Pennell untuk mendatangi Burdick, entah dengan maksud agar Burdick mengurungkan proses perceraian dengan istrinya, entah untuk membunuhnya. Bagaimana pun berakhir dengan terbunuhnya Burdick.

Untuk mengelabui polisi, Pennell rupanya lalu meletakkan botol minuman keras, dua gelas dan keju Camembert tanpa mengetahui bahwa Burdick sama sekali tak suka makan keju jenis itu.

Untuk lebih menyesatkan penyelidikan polisi, kemudian Pennell masih menyebutkan nama-nama tiga orang wanita sambil memberi kesan kepada polisj bahwa wanita-wanita itu mempunyai hubungan gelap dengan Burdick.

Sullivan segera mengawatkan informasi baru ini kepada komandannya, Cusack. Sementara itu yang terakhir ini telah menyelidiki Pennell dan menanyakan alibi. Ternyata alibi yang dikemukakan pengacara itu amat lemah. Satu-satunya saksi yang menyatakan bahwa Pennell pada saat kejadian berada di tempat lain, nanyalah istrinya sendiri yang tampak gugup.

Cusack sebenarnya bermaksud seketika itu juga menahan Pennell. Tapi ia dicegah oleh atasannya yang belum begitu yakin akan keterlibatan pengacara terhormat itu dalam pem- bunuhan Burdick.

Atasan yang masih ragu-ragu itu, berjanji akan menjatuhkan keputusannya pada hari Senin 9 Maret. Dan keputusan itu berbunyi: Setuju Pennell ditahan.

Cusack dan Sullilvan buru-buru pergi ke kantor sang pengacara. Ternyata ia tidak ada. Di rumahnya juga tak ditemukan.

Ternyata satu jam sebelum Cusack dan Sullivan datang, Arthur Reed Pennell dan istrinya pergi naik mobil mereka yang baru. Menurut saksi-saksi mata, ketika sampai di sebuah tempat dengan jurang di sisi jalan, mobil Pennell menyerong ke kanan denga tajamanya dan mencebur ke dalam jurang Gehres Quarry. Suami-istri Pennell mati seketika.

Bahwa kejadian ini adalah peristiwa bunuh diri, tampaknya tak dapat diragukan. Pengacara terhormat itu rupanya merasa tak kuat menanggung aib jika percintaannya dengan Mrs. Burdick sampai tersingkap lewat pengadilan.

Beberapa orang saksi, di bawah sumpah menyatakan bahwa sehari sebelum terjadjnya “keceakaan”, mereka melihat Pennell berjalan kaki, menyelidiki tempat “kecelakaan" itu dengan teliti. Dan dalam saku Pennell ditemukan guntingan halaman dari majalah-majalah —semuanya memuat sajak-sajak tentang bunuh diri.

Sebuah kalimat dari salah satu di antara sajak-sajak itu dicoret tebal bawahnya. Kalimat itu berbunyi: Tertegun sering aku, melihat lelaki kuat dan wanita-wanita lembut hati dengan hati tabah tanpa ketakutan menyongsong Maut Agung.

(Charles Boswell & Lewis Thomson)

Baca Juga: Kaleng 'Hamil'

 

" ["url"]=> string(93) "https://plus.intisari.grid.id/read/553835263/informasi-melimpah-yang-membuat-polisi-kewalahan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1691169982000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3561370" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/keputusan-rahasia_kat-smithjpg-20221111041229.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Rumah Bill heboh setelah kakak perempuan Bill menemukan ibu mereka terbujur kaku di kamarnya. Di lantai ada darah tergenang. Apa penyebabnya?" ["section"]=> object(stdClass)#60 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/keputusan-rahasia_kat-smithjpg-20221111041229.jpg" ["title"]=> string(17) "Keputusan Rahasia" ["published_date"]=> string(19) "2022-11-11 16:12:46" ["content"]=> string(26241) "

Intisari Plus - Rumah Bill heboh setelah kakak perempuan Bill menemukan ibu mereka terbujur kaku di kamarnya. Di lantai ada darah tergenang. Mengapa ibu sampai dibunuh?

-------------------

Suasana pagi yang hening itu pecah oleh suatu lengkingan teriakan yang nyaring dan bergema ke semua ruangan rumah. Aku bangun dari tidur yang kurang lelap. Meski sudah terjaga sejak tadi, rasanya aku belum ingin bangkit karena sekarang hari libur, sampai terdengar teriakan tadi. Karena kulirik istriku masih tidur nyenyak, kuputuskan untuk bangkit tanpa membangunkannya.

Hanya dalam hitungan detik aku tiba di sumber suara itu. Ternyata Yuli, kakak perempuanku, yang berteriak. Wajahnya yang sepucat kertas putih menatap pintu kamar ibuku yang terbuka. Pada saat hampir bersamaan penghuni rumah ini bermunculan. Kakak tertuaku, Vera, dengan daster panjangnya, dan kakak laki-lakiku, Edwin, yang hanya bercelana pendek. Kami menatap ke arah pintu rumah yang terbuka lebar. Samar-samar terlihat tubuh kaku ibu terbujur di tempat tidur, namun yang tampak jelas adalah genangan begitu banyak darah di lantai sekitarnya.

 

Pembunuhan atau bunuh diri?

Kejadian selanjutnya tidak dapat kuingat lagi. Yang jelas aku segera membangunkan istriku lalu duduk di ruang tamu menunggu kedatangan polisi. Pagi itu terasa amat hening karena nyaris semua mulut penghuni rumah ini tak ada yang mengeluarkan suara. Istriku bersandar lemas di pundakku. Sementara Yuli menangis diam-diam. Vera diam mematung, sedangkan Edwin mondar-mandir saja sehingga suasana makin mencekam. 

Untung polisi yang datang cukup ramah. Saat ambulans telah membawa jenazah Ibu, sekelompok petugas memeriksa kamar Ibu. Polisi yang kelihatannya pemimpin itu kemudian mengumpulkan kami. Istriku yang sakit beberapa hari ini tidak ikut karena ia merasa pusing dan ingin berbaring.

“Perkenalkan, saya Ronald, ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Bapak-Ibu sekalian,” katanya sambil tersenyum, yang sayangnya tak mampu memancing senyum dari kami. “Siapa saja yang tinggal di rumah ini?”

Edwin menyahut, “Kami empat bersaudara. Vera, anak pertama, Yuli nomor dua, lalu saya, Edwin, yang ketiga, si bungsu Bill dengan istrinya, Lidia, serta seorang pembantu, Bi Minah.”

“Semua tinggal di sini?”  

“Ya. Sebenarnya saya tidak, hanya mampir karena ada urusan pekerjaan. Saya beserta istri tinggal di Kalimantan,” lanjut Edwin. 

“Siapa yang pertama kali menemukan Ibu Anda?”

Yuli mengangkat kepalanya, “Saya, Pak.” 

“Apakah ada yang memindahkan sesuatu sejak pertama kali korban ditemukan?” 

Yuli menggeleng. 

“Saya rasa tidak. Saya melarang semua menyentuh apa pun sampai polisi datang. Saya dengar begitu aturannya,” sahut Edwin. 

“Benar, memang begitu,” jawab Ronald. “Tindakan Anda benar. Itu menguatkan dugaan bahwa ini adalah pembunuhan.”

“Pak Polisi yakin? Bukannya Ibu bunuh diri?” tanya Vera.

“Pembunuhnya memang ingin mengesankan demikian. Pergelangan tangan disayat memang sering menjadi cara bunuh diri. Tetapi ada yang terlupa karena di sekitar tubuh korban tidak ditemukan benda tajam. Asalkan benar tidak ada di antara Anda yang memindahkan benda apapun.”

“Omong-omong, apakah akhir-akhir ini korban sering tampak sedih atau bingung?” 

“Ibu tidak pernah sedih walaupun Ayah baru meninggal tiga bulan silam,” sahutku. 

“Tapi kalau Ibu dibunuh, siapa pelakunya?” Ronald bergumam.

 

Semua jadi tersangka

“Apakah Ibu Anda punya musuh?” tanya Ronald lagi.  

“Musuh? Bukan cuma itu. Ibu adalah musuh semua orang,” jawab Yuli pelan. 

“Benar, semua!” tandas Vera.

“Bisa Anda jelaskan?” tanya Ronald pada Vera dengan nada penasaran. 

“Ibu yang menyebabkan kematian suami Yuli. Ibu ngotot minta diantar ke dokter saat Mas Yudi baru pulang kerja dan masih sangat capek. Akibatnya terjadi kecelakaan yang menyebabkan Mas Yudi meninggal. Saya tahu, itu sebabnya Yuli sangat membenci Ibu.”

Yuli hanya menunduk, Vera makin bersemangat. 

“Ibu juga sangat membenci istri Edwin. Ibulah yang membuat mereka pindah ke Kalimantan beberapa tahun silam. Gara-gara itu istri Edwin keguguran. Edwin pun mendendam pada Ibu ....”

“Tapi bukan berarti saya pembunuhnya!” sergah Edwin jengkel. 

Vera tidak peduli dengan komentar itu. “Bill juga benci pada Ibu. Istrinya sering dibuat menderita. Itu sebabnya mereka berencana pindah dari rumah ini karena tidak cocok dengan Ibu.”

“Anda sendiri bagaimana? Apakah Anda juga membenci korban?” 

“Tentu saja! Kemarin malam dia barusan bertengkar hebat dengan Ibu,” potong Edwin sinis.

“Bertengkar tidak berarti membunuh,” jawab Vera membela diri. 

“Pemabuk dan penjudi macam kamu pasti tega membunuh demi uang!” debat Edwin

“Kamu sendiri, mengapa tiba-tiba mau menginap di sini? Dulu tidak pernah!” teriak Vera. 

Suasana rumah yang semula tenang jadi memanas.

“Tenang,” seru Ronald sambil mengangkat tangan. “Mengapa semalam Anda bertengkar dengan korban?”

Aku menyela, “Dia minta warisan, pasti untuk menutup utang akibat berjudi. Tapi Ibu tidak memberikan.” 

“Mengapa?”

“Ibu memang punya banyak harta peninggalan Ayah. Baginya, uang adalah simbol kekuasaannya. Selama masih hidup, Ibu tidak akan pernah melepaskan hartanya. Tapi tak adakah kemungkinan pelakunya justru orang dari luar?” aku membuka kemungkinan.

Pak Ronald tersenyum tipis. “Pembunuhan terjadi sekitar tengah malam. Tak satu pun pintu dan jendela yang rusak. Mustahil ada yang membiarkan pintu dan jendela tidak terkunci bukan? Apakah ada barang yang hilang?”

“Rasa-rasanya tidak ada. Tapi Bapak belum menanyai Bi Minah.”

 

Orang di depan kamar korban

Kamar Bi Minah yang terletak di samping dapur ternyata kosong. Baru tersadar, sejak pagi aku sama sekali belum bertemu dengannya. Aku masuk ke kamar itu dengan diikuti Pak Ronald dan yang lainnya. Kamar itu kecil tapi rapi. Tidak ada banyak barang. Saat melongok bawah meja, mataku tertuju ke sebuah foto yang terselip di dekat laci meja. Foto almarhum ayah kami!

“Ini foto Ayah, mengapa Bi Minah menyimpannya?” 

“Berapa lama ia bekerja di sini?” tanya Pak Ronald. 

“Sejak kami kecil,” jawab Yuli. 

“Kami akan mencarinya. Saya minta Bapak-Ibu sekalian tidak bepergian ke luar kota. Boleh saya bicara berdua dengan Pak Edwin?” 

“Tentu. Mari kita ke ruang tamu,” ajak Edwin. 

Aku ke kamar menengok istriku dan menceritakan semua pembicaraan tadi. 

“Saya takut,” katanya pelan.

“Tenang saja,” kataku sambil memeluknya, “Polisi tengah mencari Bi Minah. Aneh, mengapa dia menghilang, juga buat apa ia menyimpan foto Ayah?” 

Wajah istriku juga tampak bingung. 

“Ada apa?” aku menyelidik. 

“Kapan pembunuhan itu terjadi?” tanya istriku. 

“Perkiraan polisi sekitar tengah malam. Kenapa?” 

“Anu ..., tidak, saya rasa tidak.” 

Aku jadi gelisah. “Ada apa? Kamu tahu sesuatu?”

Istriku menunduk. “Tadi malam aku ke kamar mandi, sekitar pukul 23.00 atau 24.00. Aku ... aku melihat Yuli di depan kamar Ibu.”

“Memangnya kenapa? Mungkin dia perlu sesuatu atau mungkin juga ingin ke kamar mandi,” jawabku sekenanya.

“Tapi dari kamarnya kalau mau ke dapur atau ke kamar mandi tidak perlu melewati kamar Ibu.” 

“Kamu yakin orang itu Yuli?” 

“Entahlah. Maklum saat itu agak gelap tapi sepintas lebih mirip Yuli daripada Vera. Kamu ingat tidak, kemarin adalah persis empat tahun kematian Mas Yudi.” 

“Maksudmu, Yuli yang ...?” 

“Oh, entahlah ....” 

“Barangkali baginya ini adalah waktu yang tepat untuk membalas dendam, maksudmu?”

“Aku pusing, aku takut,” ujar istriku dengan suara lirih.

Ragu-ragu aku mencari Pak Ronald. Tubuhnya yang tinggi besar dan hitam membuatnya mudah ditemukan. 

“Kebetulan saya juga sedang mencari Pak Bill. Boleh saya bicara sebentar? Saya baru saja berbicara dengan Pak Edwin. Menurut Anda, mengapa Pak Edwin menginap di sini? Apakah betul biasanya dia tidak ke mari?”

“Ya,” sahutku ragu. “Apa yang dikatakan Vera tadi benar. Edwin belum pernah menginap di sini sejak pindah ke Kalimantan meski urusan bisnis mengharuskannya sering ke kota ini. Keputusannya untuk menginap di sini, bisa jadi karena kebetulan, bisa juga ada sebabnya.”

“Apa benar semalam terjadi pertengkaran hebat?” 

“Benar. Saat ini Vera memang sedang dililit masalah keuangan. Mungkin kematian Ibu dapat menyelesaikan masalahnya karena warisan pasti segera dibagi. Tapi meskipun dia jahat, saya tidak yakin dia tega membunuh Ibu. Ada yang ingin saya katakan pada Pak Ronald.”

“Apa itu?” 

“Semalam, sekitar pukul 23.00 atau 24.00, istri saya melihat seseorang, kalau tidak salah Yuli, di depan kamar Ibu.” 

Pak Ronald tidak menunjukkan ekspresi terkejut. “Apakah istri Anda juga membenci korban?”

Saya segera sadar dengan arah pembicaraannya. “Semua orang membenci Ibu,” jawab saya emosional. “Dia memang jahat. Sebagian besar hidupnya hanya untuk menyakiti orang sekitarnya. Saya tidak bermaksud membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal. Tapi terus terang saja Pak, saya yakin, kami semua tidak terlalu bersedih dengan meninggalnya Ibu. Meski begitu, saya tidak yakin salah satu di antara kami tega membunuhnya.”

“Termasuk Bi Minah?” desak Pak Ronald. 

“Saya tidak tahu, saya bingung.”

“Mengapa kalian masih tinggal bersama di rumah ini?” 

“Vera tidak menikah. Sebagai penjudi berat ia tidak mungkin bisa membeli rumah. Yuli terpaksa kembali ke rumah ini setelah kematian Yudi. Mereka memang tidak punya rumah. Edwin sudah pindah ke Kalimantan. Saya pun segera keluar kalau sudah cukup punya uang.” 

“Baik, kami akan melanjutkan penyelidikan. Tidak seorang pun boleh memasuki kamar korban. Kami tetap bisa menghubungi Anda di rumah ini, bukan?” 

“Tentu, Pak.”

 

Mantan kekasih bapak

Meski sudah siang, tak seorang pun di antara kami yang punya selera makan. Sambil menatap isi piringku yang tak kunjung habis, pikiranku menerawang ke perlakuan Ibu terhadap kami selama ini. Semua “kekejaman”, yang kupikir hanya ada dalam cerita, tampil nyata dalam diri Ibu. Selama ini yang menjadi pengikat adalah Ayah. Tapi sejak kepergian Ayah, ikatan itu pun lenyap.

Tapi apa hubungan Ayah dengan Bi Minah? Aku cukup dekat dengannya, jadi aku yakin dia bukan pembunuhnya. Bagaimana dengan Edwin, mengapa ia tiba-tiba menginap di rumah? Atau Yuli, benarkah ia yang dilihat istriku di kamar Ibu? 

Tiba-tiba Pak Ronald muncul kembali. Aneh, aku merasa tenang bila ia ada di sekitar kami. 

“Ada perkembangan dengan Bi Minah. Kami sudah menemukannya,” ia membuka percakapan. 

“Oh ya? Di mana dia sekarang?”

“Tadi pagi ia ke pasar lalu dijambret. Ia luka karena didorong sampai jatuh. Jadi ia dirawat di puskesmas dekat pasar. Dia bahkan belum tahu peristiwa yang menimpa Ibu Anda.”

“Ya, setidaknya ada berita baik.” Kata Vera. 

“Tapi mengapa ia menyimpan foto Ayah?” 

“Kami juga telah menanyainya perihal itu. Rupanya dia, ... eh, penggemar ayah Anda.” 

“Penggemar?” sahutku bingung. 

“Dia pernah punya hubungan agak khusus dengan ayah kalian.”

“Pacaran?” ucap kami serempak. 

“Mungkin ya, mungkin tidak. Hanya itu jawaban darinya,” jawab Ronald ikut ragu. “Pokoknya, dia amat sedih dengan meninggalnya ayah kalian beberapa bulan lalu. Maka ia menyimpan foto tersebut sebagai kenang-kenangan.”

“Cuma begitu? Masa sesederhana itu,” gerutu Vera kurang percaya. “Apakah dia tidak menyalahkan Ibu sebagai orang yang menyebabkan Ayah meninggal, lalu merasa sekaranglah saatnya untuk melakukan pembalasan?”

“Jangan menuduh sembarangan!” aku membentaknya. “Bi Minah tidak seperti kamu. Mungkin justru kamu sendiri yang mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan utangmu.”

“Ada perkembangan baru lainnya,” Pak Ronald segera memotong perdebatan kami yang mulai memanas. “Kami menemukan bukti berupa beberapa tetes darah dari meja samping yang pecah kacanya di kamar korban. Di kaca itu juga ada darah. Dari fakta itu kami membuat kesimpulan sementara bahwa ibu Anda tergores kaca yang pecah lalu ia berjalan ke tempat tidur. Akhirnya tertidur atau pingsan sebelum dapat menghentikan perdarahan itu sampai akhirnya ia kehabisan darah.”

“Hm, kedengarannya melegakan,” kata Vera. “Jadi tidak ada pembunuh di rumah ini.” 

“Tapi mengapa Ibu tidak mengobati dulu lukanya atau minta bantuan yang lain?” tanyaku heran. 

“Itulah masalahnya. Rupanya saat tergores korban sudah dalam keadaan hampir tidak sadar. Menurut hasil analisis laboratorium, dia minum obat melebihi dosis,” jawab Pak Ronald.

“Ibu memang menderita bermacam-macam penyakit, jadi selalu minum obat. Tapi semua itu obat dari dokter, mana mungkin kelebihan dosis?” tanya Edwin. 

“Justru itu masalahnya, siapa yang biasa membantu Ibu menelan obatnya?”

“Tidak ada. Setahu saya selama ini Ibu selalu menyiapkan sendiri obatnya,” kataku yakin. 

“Kalau begitu, siapa yang memaksa Ibu menelan obat melebihi aturan?” tanya Pak Ronald pelan, seakan bertanya pada diri sendiri.

Tiba-tiba Yuli tertawa. “Tidak ada seorang pun yang sanggup memaksa Ibu melakukan apapun, termasuk meminum obatnya.” 

“Tapi ada yang bisa menipunya,” kata Pak Ronald. 

“Bapak ini bagaimana sih! Sebenarnya Ibu itu dibunuh, bunuh diri, atau kecelakaan? Jangan buat kami bingung!” seru Vera marah. 

“Itu yang sedang kami cari,” kata Pak Ronald tenang.

 

Sejak tiga hari lalu

Sore itu kulihat Bi Minah berkali-kali melirikku dengan gelisah. Selama ini hubunganku dengan Bi Minah memang cukup dekat, bahkan kurasa lebih dekat ketimbang dengan Ibu. Aku bisa menangkap gelagat, ia ingin berbicara denganku.

“Ada apa, Bi? Lukanya masih sakit?” 

“Tidak. Eh, cuma sakit sedikit ... eh ....” 

“Apa ada yang ingin Bibi katakan?” 

“Anu, Nak Bill, anu .... Ibu meninggal, ya?” jawabnya gugup.

“Ya, Ibu meninggal, tapi polisi sudah menanganinya. Mungkin hanya kecelakaan.” Aku tidak ingin menakut-nakuti wanita tua ini. Tapi wajahnya tampak makin muram. “Kenapa?” 

Teriakan istriku memutus pertanyaan itu.

Aku langsung lari ke kamar. Istriku duduk di ranjang. Baju dan rambutnya kusut dan basah bersimbah keringat. Matanya nanar menatapku. 

“Ada apa?” 

“Saya mimpi. Ibu .... Ada orang masuk ke kamar Ibu malam-malam, seperti yang saya lihat kemarin, lalu menikamnya dengan pisau. Darah di mana-mana,” jawabnya dengan napas terengah-engah.

Ini mengingatkanku untuk menanyai Yuli tentang apa yang ia lakukan malam-malam di depan kamar Ibu.

Setelah berhasil menenangkan istriku, aku mencari Bi Minah. Pembicaraan kami tadi belum selesai.

“Bagaimana selanjutnya, Bi?” tanyaku setelah kembali berhadapan dengan Bi Minah. 

Bi Minah menarik napas dalam-dalam. “Saya dengar Ibu meninggal karena minum obat kelebihan dosis.”

“Bukan karena minum obat kelebihan dosis,” kataku, “Ibu meninggal karena pergelangan tangannya tersayat lalu kehabisan darah. Tapi polisi menduga Ibu tidak bisa mengobati lukanya karena keburu pingsan akibat menelan obat melebihi dosis. Memangnya kenapa?”

“Nak Bill tahu selama ini Ibu selalu minum obatnya sendiri?” 

“Ya, saya tahu.” 

“Mulai sekitar tiga hari silam Ibu minta saya menyediakan obat untuknya. Katanya, dia suka lupa apakah sudah minum obat atau belum.” 

“Lalu?”

“Kemarin malam, usai makan malam saya membantu Ibu minum obatnya. Tapi setelah bertengkar hebat dengan Nak Vera, Ibu memanggil saya dan bertanya apakah dia sudah minum obat atau belum. Waktu itu saya sedang sakit kepala, jadi saya tidak terlalu ingat. Tapi, Ibu yakin sekali belum minum obat ....”

Aku menahan napas karena tegang. Kutarik Bi Minah untuk duduk di kursi. “Jadi…?” 

Bi Minah mulai terisak. “Jadi, jadi saya memberinya obat lagi!”

Telapak tangan dan kakiku tiba-tiba menjadi dingin. “Kapan Bi Minah ingat mengenai hal ini?” 

“Kemarin malam sekitar tengah malam. Sebenarnya saya sudah tidur, lalu tiba-tiba saya terbangun karena dalam mimpi saya ingat tentang obat itu. Jadi saya menuju kamar Ibu tapi saya ragu untuk mengetuk pintu kamar Ibu. Karena saya tidak mendengar suara apapun, saya kembali ke kamar. Saya pikir Ibu sudah tidur, berarti tidak ada apa-apa. Padahal mungkin waktu itu Ibu sedang ...” Bi Minah mulai tersedu-sedu.

Jadi, yang dilihat istriku adalah Bi Minah, bukan Yuli! Tiba-tiba dering telepon memecah lamunanku. Ternyata dari Pak Ronald.

“Pak Bill, saya ingin menyampaikan kesimpulan polisi bahwa penyebab kematian korban adalah murni kecelakaan. Jadi tidak ada yang akan dituduh sebagai pembunuh. Besok saya akan mengantarkan pemberitahuan resminya.”

Aku tertegun. Polisi sudah mengambil kesimpulan. Padahal mereka belum mendengar pengakuan Bi Minah. Haruskah saya melaporkannya atau justru harus menyembunyikannya? Saya harus membuat keputusan dan sekaranglah saatnya! 

“Pak Bill, Anda masih di sana?”

“Oh ya, Pak! Saya mendengar semuanya.” 

“Ada yang ingin Bapak sampaikan?” Kututup mataku, jantungku berdebar. Dalam hati aku menghitung sampai sepuluh, menimbang keputusanku.

 “Tidak, Pak! Kini kami semua merasa lega.” 

“Baiklah, kalau begitu sampai besok.” 

“Terima kasih banyak atas bantuannya, Pak.” 

Kutatap Bi Minah yang matanya masih basah. Kurengkuh kedua bahunya. “Dengar Bi, ini rahasia kita berdua. Ingat, hanya kita berdua yang tahu. Bi Minah tidak boleh mengatakan apa pun tentang hal ini pada siapa pun. Mengerti?”

Bi Minah mengangguk pelan. 

Malam harinya di tempat tidur sambil mencoba memejamkan mata aku terus bertanya-tanya tentang apa yang sudah kulakukan. Aku yakin, aku tidak perlu menghukum Bi Minah. Perasaan bersalah sudah menjadi hukuman yang cukup berat baginya. Aku harus membuat keputusan dan aku telah melakukannya. (Berni Elim) 

Baca Juga: Akibat Perangkap Cinta Masa Lalu

 

" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561370/keputusan-rahasia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668183166000) } } }