array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3561100"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/rahasianya-tersimpan-di-garasi_a-20221111033215.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(133) "Bob memberitahu temannya, Ben, bahwa salah seorang sahabat mereka, Pete, ditemukan tewas di garasi. Diduga pete bunuh diri. Benarkah?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/rahasianya-tersimpan-di-garasi_a-20221111033215.jpg"
      ["title"]=>
      string(30) "Rahasianya Tersimpan di Garasi"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 15:32:39"
      ["content"]=>
      string(22791) "

Intisari Plus - Bob memberitahu temannya, Ben, bahwa salah seorang sahabat mereka, Pete, ditemukan tewas di garasi. Dari jejak yang ada diduga pete bunuh diri. Apakah kenyataannya juga demikian?

-------------------

Perkenalkan, nama saya Ben Pierce. Saya salah seorang penyanyi anggota kuartet Gross National Product. Harap Anda tidak menanyakan mengapa kami memilih nama itu. Keempat anggota Gross National Product (GNP) mempunyai pekerjaan di bidang lain. Menyanyi buat kami adalah hobi. Yah, mendinganlah, daripada minum-minum atau keluyuran enggak karuan. Kebetulan, kami berempat merasa sehati dan sejiwa. Pas dan kompak jadinya.

Pete Starr, juga personel GNP, bahkan menjadi salah satu sahabat terbaik saya. Pete mempunyai tetangga seorang Letnan Polisi bernama Stein, lengkapnya Bob Stein yang diperkenalkan pada saya beberapa tahun silam. Waktu itu Bob hendak meminta bantuan saya menangani beberapa kasus kriminal. Secara tidak resmi tentu saja, saya ‘kan orang sipil. Sejak itu, kami bertiga seperti lebih dari sekadar sahabat. Kami juga sering saling bantu dalam banyak hal.

 

“Bom” di siang hari

Siang itu, jauh sebelum jam kantor bubar, Bob menelepon. Dia memang suka menelepon saya sesuka hati. Maklum, saya pensiunan, sedangkan jam kerja polisi tahu sendiri, tak kenal waktu. Tapi teleponnya kali ini berisi “bom”. Saya sendiri saat itu sedang berada di ruang bawah tanah toko saya. Di tempat itu saya biasa mengerjakan kayu, perhiasan, maupun mengutak-atik peralatan elektronik. Saya tidak memasang interkom. Alat itu percuma saja, tidak bisa bersaing dengan bunyi berisik gergaji listrik.

Kalau bos - maksud saya istri - membutuhkan saya, dia tinggal menghantam-hantamkan kakinya ke lantai. Trik itu tidak pernah gagal, seperti sekali itu. “Kelihatannya Bob ada masalah ... aku tidak tahu apa,” bilang si bos, begitu saya nongol dari ruang bawah tanah. Saya segera menyambar gagang telepon. “Ben? Aku di rumah Pete. Pete meninggal,” kata-kata Bob begitu singkat, tapi membuat saya sangat terperanjat. Dia pasti sangat terpukul sehingga tak sempat merangkai kata yang lebih indah.

Kalau empat orang membentuk kuartet, tentu ada sesuatu yang mempertautkan mereka. Sebuah ikatan yang tidak tepat disebut persahabatan atau rasa kasih sayang belaka. Kami saling tergantung dalam menciptakan suara. Saya pernah melihat pemain basket anggota Harlem Globetrotters melemparkan bola ke belakang dengan penuh kepercayaan, tanpa menoleh. la tidak mengandalkan harapan, ia tahu seorang rekannya pasti ada di sana. Seperti itulah kira-kira hubungan kami.

Beberapa saat saya terbengong, menatap gagang telepon. “Oh ...!” kata saya setelah tersadar. “Kita tahu, kesehatannya memang tidak fit 100%, tapi siapa yang menyangka ia bakal meninggal mendadak. Serangan jantung?” saya bertanya. Tak disangka, Bob ternyata masih punya kejutan lain, sebuah “bom” yang lebih dahsyat. “Ben, dia ditembak ..., kelihatannya dibunuh. Eunice yang menemukan. Aku masih sibuk memeriksa. Sebaiknya, kamu dan Dot datang ke sini. Ben ..., kamu masih mendengarkan?” 

“Ah ... ya. Aku mendengarkan. Apa sebenarnya yang terjadi?” jawab saya tergagap. “Belum tahu. Tapi kelihatannya Eunice perlu didampingi,” ujar Bob sebelum meletakkan gagang telepon. Si bos tidak pernah memerlukan banyak kata-kata. “Pete, ya?” tanyanya. “Ya, mari kita pergi.”

 

Peluru tembus kening

Di rumah Pete, tiap orang seperti sibuk dengan perasaan dan pekerjaannya masing-masing. Tak banyak kata-kata terucap, karena fakta sudah berbicara dengan sangat lengkap. Saya dan Dot pulang setelah anak-anak Pete yang tinggal di asrama sekolah diberi tahu. Eunice, istri Pete, diberi obat penenang oleh dokter dan segera diurus oleh penyanyi tenor kami dan istrinya. 

Di rumah, kami meneguk minuman dan mencoba menonton televisi, walaupun pikiran kami tidak ke sana. Saat itulah Bob muncul. Ternyata kami bertiga sama-sama belum makan dan merasa tidak berselera sedikit pun. Jadi, bos hanya menghidangkan minuman untuk Bob. “Terima kasih,” katanya. “Sebetulnya, aku tidak boleh minum saat bertugas. Ben, mau kamu menceritakan semua yang kamu tahu tentang Pete Starr?”

“Lo, Bob! Kamu ‘kan tinggal di sebelah rumahnya. Aku cuma bernyanyi dengan dia. Pasti kamu lebih tahu tentang dia. Kami justru ingin kamu yang bercerita. Apa sebenarnya yang menimpa Pete?” 

“Tenang, tenang. Kamu dulu. Aku ‘kan sedang menjalankan tugas. Kamu tahu, Pete itu ....”

“Ya, baiklah. Pete memang seorang bariton alami yang baik, tetapi ia tidak bisa membaca not. Orangnya tenang, tidak mudah goyah dan hidupnya lurus. Aku belum pernah mendengar orang berkata buruk tentang dia. Dia juga bukan orang kaya, rumahnya sangat sederhana. Kebutuhan sehari-hari dicukupinya dengan menjadi pedagang keliling peralatan pertukangan. Ia cinta keluarganya dan kita semua mencintai dia. Nah, sekarang giliranmu!” 

Saat itu bos datang dan mencium bagian botak di kepala saya.

“Pete sendirian di rumah,” Bob mulai bercerita. “Eunice mengunjungi ibunya dan baru kembali menjelang sore. Pete berjanji menjemputnya di terminal bus. Ketika Pete tidak muncul, Eunice lalu menelepon ke rumah, tapi tak mendapat jawaban. Akhirnya, Eunice pulang dengan taksi. Eunice menemukan Pete di garasi tokonya. Kening kanannya bekas ditembak. Pintu garasi terpentang lebar. Senjata penembaknya tidak ditemukan. Dompet Pete berada di dalam kantungnya, berisi uang kira-kira 20 dolar. Menurut Eunice, tidak ada barang yang hilang. Baru itulah yang kami ketahui sampai saat ini.”

Bos membuka mulut, tetapi tidak jadi berbicara. Ia segera meninggalkan ruangan. Bob dan saya saling berpandangan sejenak, lalu Bob pamit. “Terima kasih untuk scotch-nya,” katanya. Padahal yang kami suguhkan bukan wiski, tapi bourbon. Saat itu kami semua memang sedang bingung. Benar-benar bingung! 

 

Di mana senjatanya?

Seminggu kemudian baru saya bertemu lagi dengan Bob. Dia datang ke rumah saya seraya menjatuhkan dirinya ke kursi yang biasa dia duduki di dapur. Wajahnya terlihat masygul. “Bob,” kata bos. “Aku rela mengelap borgolmu sampai mengilap, kalau itu bisa membuatmu lebih ceria. Apa lagi yang terjadi?” 

“Kapten tidak mengizinkan aku menangani kasus Pete. Katanya, aku memiliki hubungan pribadi dengan Pete. Aku juga baru tahu kalau Pete sakit parah. Walaupun tidak tewas oleh tembakan, umurnya diperkirakan tidak akan panjang. Fakta itu didapat dari hasil autopsi. Eunice juga tidak tahu. Menurut dokter pribadinya, kondisi Pete sudah ketahuan saat dia menjalani pemeriksaan rutin. Tampaknya, ia tidak memberi tahu siapa-siapa.”

“Bulan lalu Pete membeli polis asuransi yang besar. Eunice bakal mendapat uangnya kalau ia meninggal. Kalau Pete meninggal lantaran kecelakaan, istrinya akan mendapat bayaran asuransi dua kali lipat. Namun, kalau matinya karena bunuh diri, Eunice cuma akan mendapat premi yang telah dibayarkan, plus bunga.” 

“Bagaimana dengan senjata apinya?” 

“Pete kena tembakan dari jarak dekat dan di tangan kanannya ditemukan sisa-sisa mesiu. Kata Eunice, mereka punya sebuah Luger tua, bekas Perang Dunia II. Senjata itu biasa disimpan di laci kamar tidur. Ketika kami cari, ternyata sudah tidak ada. Nah, peluru yang menewaskan Pete berukuran 9 mm, pas dengan ukuran Luger. Kami temukan selongsong pelurunya, mereknya cocok dengan kotak di laci kamar tidur, tempat Luger itu biasa ditaruh.”

Bob terus berbicara. “Alice Barnes, tetangga Pete, melihat Pete masuk rumah sendirian. Tak ada gelandangan, orang yang menawarkan barang dari rumah ke rumah, atau mobil tak dikenal. Semua mengarah pada kasus bunuh diri. Polisi sudah ingin memutuskan demikian. Masalahnya, ke mana senjata apinya? Kata dokter polisi, kematian Pete terjadi saat itu juga. Jadi, tidak mungkin dia membuang dulu senjatanya.”

Bos berpikir. “Bob, kenapa kamu tidak mempertimbangkan kemungkinan Eunice terlibat?” 

“Tentu saja kami mempertimbangkannya, tapi menurut dokter ahli forensik, Pete sudah tewas saat bus Eunice masuk ke terminal. Supir taksi yang mengantar Eunice melapor ke kantornya dengan radio saat menurunkan Eunice dan laporan itu tercatat di perusahaan taksi. Polisi juga mencatat saat Eunice menelepon 911. Beda waktu antara dia turun dari taksi dan menelepon polisi hanya empat menit. Kurang dari lima menit kemudian polisi patroli tiba. Saat itu, Eunice terlihat sangat kebingungan, rasanya tidak mungkin ia menyembunyikan senjata itu secara saksama, sehingga tidak bisa ditemukan polisi. Lagi pula, ia tidak tahu perihal asuransi suaminya.”

 

Jejak peninggalan Pete

Hari demi hari berlalu. Keadaan sudah mendekati normal. Anak-anak Pete Starr sudah kembali ke asrama sekolah masing-masing. Eunice mula-mula pindah ke tempat ibunya, tetapi cuma sebentar. Dia pulang dan kembali bekerja paruh waktu. Perusahaan asuransi pun membayar polis Pete, meski dengan berat hati. Gross National Product sempat vakum, sebelum menemukan penyanyi bariton baru dan memutuskan membentuk kuartet kembali.

Sebagai sahabat, saya tidak tahu bagaimana cara Bob menanggulangi kegalauan hatinya. Kami jarang bertemu. Saya sendiri mencoba menghalau kerisauan dengan menyibukkan diri di bengkel bawah tanah. Sampai suatu hari, saya beri tahu bos. “Aku akan menelepon Eunice. Pete ‘kan punya segarasi penuh peralatan, sampel, dan barang-barang lain yang dulu tidak bisa dia jual. Aku akan memeriksa barang-barang itu dan memborongnya dengan harga yang wajar.”

Bos menatap tajam. “Kamu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ....” 

“Tidak. Aku bisa memanfaatkan barang-barang itu, Eunice tidak.” 

“Ben,” katanya. “Kalau kamu menemukannya, jangan beri tahu aku. Aku sungguh berharap kamu tidak didahului Bob. Kasihan dia. Dia sama risaunya dengan kita.” Ah, ternyata nurani bos pun sama terganggunya dan ternyata dia juga tidak pernah berhenti berpikir. 

“Aku tidak paham apa maksud kamu. Kalau ada yang perlu kamu risaukan, pikirkan saja apakah obat untuk menurunkan tekanan darahku lebih manjur daripada sebelumnya.”

Di rumahnya, Eunice menyambut saran saya dengan senang hati. “Untung ada kamu, Ben. Sisakan saja aku palu, tang, sebuah obeng besar, dan sebuah obeng kecil.” Dengan restu Eunice itu, keesokan harinya saya memarkir kendaraan di depan garasi Starr yang muat dua mobil. Rumah Bob di sebelahnya gelap. Station wagon Pete yang sudah setengah tua berada di salah satu garasi. Bagasi mobilnya penuh dengan contoh barang-barang dagangan. Garasi yang satu lagi dijadikan toko.

Saya mengeluarkan buku catatan untuk menginventarisasi peralatan yang ada di sana. Tidak sulit, sebab semuanya dipajang. Pete termasuk orang yang senang menggantungkan peralatan di dinding. Sebuah bangku kerja yang panjang dan kokoh terdapat di sepanjang salah satu dinding. Di atasnya ada papan tempat peralatan. Papan plywood itu dipakukan memanjang ke tiang-tiang tempatnya menempel.

Orang yang berdiri di dekat bangku bisa meraih peralatan yang digantung di papan itu. Papan yang dicat rapi. Batas tempat setiap peralatan yang berbeda ditandai dengan warna berbeda pula. Toko itu merupakan kebanggaan Pete. Saya mencatat semua peralatan yang ada pada papan. Setelah itu saya memeriksa isi station wagon, lemari-lemari, dan sejumlah dus. Dalam dus-dus itu terdapat barang-barang yang boleh dikatakan sudah tidak sempurna, tetapi rupanya sayang kalau dibuang.

Sambil bekerja, saya memasang mata dengan saksama. Pasti Bob dan rekan-rekannya dulu juga begitu. Sulitnya, saya tidak begitu yakin apa yang saya cari. Sehingga ketika saya melihatnya, hampir saja luput dari perhatian. Perhatian saya tertarik pada satu bagian dari papan tempat menaruh peralatan itu. Sepanjang tepi atas papan, antara dua tiang penyangga tempatnya menempel, ada baret-baret dan bekas benturan yang kelihatannya masih baru.

Saya meraba-raba bagian bawah antara dua tiang penyangga itu. Ternyata ada sepotong kayu yang dipakukan di antara kedua tiang itu. Saya periksa penyangga-penyangga lain. Tiang-tiang penyangga yang lain bagian bawahnya tidak ada yang dipasangi kayu seperti itu. Saya pikir, kalau ada benda dari tepi atas papan tempat menaruh alat jatuh ke celah di belakangnya, pasti akan terjebak di sana. Pasalnya, kayu tambahan yang dipakukan antara kedua bidang itu bakal mencegahnya jatuh ke lantai. Aneh sekali.

Saya tahu, kalau saya berdiri di bangku pun, tetap tidak bisa mengintip lewat tepi atas papan ke celah itu. Terlalu gelap. Saya perlu lampu senter dan cermin. Lampu senter ada di mobil, tapi dari mana saya bisa memperoleh cermin? Ketika sedang berpikir, mendadak pintu terbuka dan Bob Stein masuk. Gayanya santai saja, tapi matanya sibuk mengamati sekeliling.

“Malam, Ben. Aku sedang duduk di sebelah memikirkan setan apa yang bisa menggoda hati nurani seseorang ketika kulihat mobilmu. Aku pikir, sebaiknya aku singgah untuk menanyakannya padamu. Ternyata kamu sedang membongkar-bongkar peralatan berharga ini. Rasanya aku perlu menangkapmu. Kalau kelakuanmu baik, kamu bisa keluyuran lagi di jalan setahun kemudian.” 

“Eh, dengar, Pak Polisi! Pernah mendengar tentang perlunya surat perintah untuk menangkap dan menggeledah rumah? Kamu tidak bisa begitu saja nyelonong ke sini. Ini bukan Rusia, tahu? Lagi pula aku sudah mendapat izin dari pemiliknya. Coba tangkap, aku tuntut semua polisi dan kujadikan barak kalian tempat bermain boling! Asyik ‘kan punya tempat main boling.” 

Wuah! Kalau begitu, aku pasti bukan tandingan penjahat nekat macam begini. Hei, Ben! Kamu tidak menyembunyikan sesuatu ‘kan?” Saya mengabaikan pertanyaannya dan menjelaskan misi saya di garasi Pete. Tahap pertama, inventarisasi dan penaksiran harga sudah selesai. Lalu saya mengeluh karena polisi di depan saya ternyata tidak sedikit pun punya inisiatif mengundang saya minum bir di rumahnya yang berjarak hanya beberapa meter. 

Setelah minum bir, saya pulang. Di rumah, bos mencium bau bir dan bertanya di bar mana saya barusan minum-minum. “Saya tidak ke bar kok. Cuma menginventarisasi peralatan di rumah Pete, kebetulan bertemu Bob.”

 

Bermodal pancingan

Keesokan harinya, pagi-pagi saya sudah asyik bekerja di ruang kerja saya di bawah tanah, memotong dan memelintir kawat gantungan baju untuk membuat semacam pancingan panjang setengah kaku. Ujung kawat itu diberi kait. Saat bos pergi ke toserba, saya mengambil cermin kecil dari salah satu tasnya. Benda-benda itu kemudian saya masukkan ke mobil, bersama sebuah lampu senter dan sepasang sarung tangan kerja.

Malamnya, sebelum berangkat kembali ke rumah Pete, saya menelepon Bob, tapi teleponnya tidak diangkat. Dua puluh menit kemudian, saya telepon lagi dia, masih juga tidak ada jawaban. Jadi, saya telepon Eunice untuk memberi tahu kedatangan saya ke garasi Pete untuk menyelesaikan pekerjaan.

Begitu tiba di garasi Pete, saya tidak membuang waktu. Setelah mengenakan sarung tangan, saya berlutut di bangku. Lalu mengarahkan cermin pada sudut tertentu antara dua tiang penyangga yang di bagian bawahnya dipasangi kayu. Kemudian saya senteri dengan lampu. Waktu saya intip, benar saja! Luger ada di situ, berada di atas sebuah benda. Pakai kawat, saya coba “pancing” benda itu. Beberapa menit kemudian, benda itu terangkat. Ternyata sebuah pemberat jendela geser, yang terikat pada pengaman pelatuk Luger oleh seutas tali venetian blind

Jelaslah apa yang dilakukan Pete. la menggantungkan pemberat itu di balik papan tempat perabot. Talinya melewati bagian atas papan dan ujungnya diikatkan ke Luger. Tali itu diregangkan. Setelah tembakan dilepaskan, pemberat itu menarik senjata api dari tangan Pete. Benda itu terseret ke atas dan setelah melewati tepi papan lalu jatuh ke balik papan, sehingga tersembunyi. Bukan main!

Saya periksa senjata api itu dengan hati-hati. Masih ada satu peluru di dalamnya, saya keluarkan. Pete pasti sudah berlatih beberapa kali sehingga berhasil. Baret-baret dan bekas hantaman senjata pada papan mestinya bekas latihan itu. Saya potong tali yang menghubungkan senjata dengan pemberat jendela geser, lalu membuangnya ke tempat sampah. Sementara pemberat jendela saya lemparkan ke dalam salah sebuah kardus. Senjata dan pelurunya saya kantungi.

Saya keluar rumah Pete sambil sedikit menyesali karena perusahaan asuransi yang membayar Pete adalah juga perusahaan yang menangani pensiun saya. Saya mengendarai mobil tetapi tidak langsung ke rumah. Berputar sedikit, melewati jembatan di batas kota. Air sungai di bagian ini lumayan dalam. Setiap musim semi, banjir menghanyutkan benda-benda yang kecemplung di dalamnya.

Keesokan harinya, si bos tampaknya melihat saya jauh lebih pendiam. Untungnya, dia sudah paham betul pelbagai macam suasana hati saya. Sampai akhirnya, ketika menjelang petang, ia menegur pendek, “Ada apa, Ben? Masih berusaha menenangkan hati nurani?” Saya cuma diam, tak tahu harus menjawab apa. 

Tak lama kemudian, mobil Bob yang kecil itu berhenti di muka rumah kami. Dari suaranya, jelas mobil itu perlu di-tune-up. Lalu saya ingat, saya belum membaca koran. Saya bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan ada sesuatu di koran yang mengungkapkan hasil petualangan saya semalam. Saya makin bertanya-tanya, karena Bob justru kelihatan sangat gembira. la segera menerima tawaran makan malam bersama kami, meski bos bilang menunya hanya meatloaf, pas untuk tiga orang. 

Meatloaf buatan orang lain jauh lebih enak daripada steak buatanku sendiri,” katanya. Bob memang seorang duda. Selesai makan, ketika bos pergi mengambil pecan pie sisa kemarin untuk hidangan pencuci mulut, saya bertanya apakah sudah ada kemajuan dalam penyelidikan kasus Pete. “Tidak,” katanya dengan ayal-ayalan. “Peristiwanya sudah terlalu lama. Menurut dugaan orang-orang di barak, siapa pun yang menembak Pete, kelihatannya tidak bakal ketahuan. Aku pribadi yakin, senjata yang menewaskannya tidak bakal ditemukan, setidaknya ... sekarang.

“Kok begitu?” 

Bob berhenti sebentar. “Semalam aku lewat di jalan yang sama sesaat setelah kamu meninggalkan rumah Pete. Kamu tidak melihatku. Saat itu kelihatannya perhatianmu cuma tertuju ke satu arah. Kamu menyetir dengan kepala tegak dan kaku. Karena itu aku mengikutimu. Kamu enggak cocok jadi pelanggar hukum, tahu? Kamu tidak pernah menoleh ke belakang.” 

“Kamu mengikuti saya sampai ke rumah?” 

“Tidak, cuma sampai di jembatan.” (George Ingersoll) 


Baca Juga: Jebakan Buat Pangeran Hitam

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561100/rahasianya-tersimpan-di-garasi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668180759000) } } }