array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3400890"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/ingin-cepat-kaya_rupixen-comjpg-20220803015026.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(143) "Sebagai kepala bagian kredit, Fandi harus mencari penyebab aliran dana yang cukup besar untuk kredit. Di tengah itu, anaknya tiba-tiba diculik."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/ingin-cepat-kaya_rupixen-comjpg-20220803015026.jpg"
      ["title"]=>
      string(16) "Ingin Cepat Kaya"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-03 13:50:43"
      ["content"]=>
      string(37018) "

Intisari Plus - Sebagai kepala bagian kredit yang baru diangkat, Fandi harus mencari penyebab aliran dana yang cukup besar untuk kredit. Di tengah itu, anaknya tiba-tiba diculik dan ia dimintai sejumlah uang tebusan.

-------------------

Badai reformasi yang diawali taifun krismon akhirnya menerpa Bank Pembangunan Negara (BPN) juga. Namun bagi sebagian orang, ini peluang untuk maju. Fandi baru saja diangkat sebagai kepala bagian kredit di Bank PN, cabang Jl. Sudirman, Jakarta. Sebagai karyawan yang baru 2 tahun bekerja di bank pemerintah ini (3 tahun lamanya ia pernah bekerja di sebuah bank swasta), itu lonjakan besar. Namun, siapa peduli dengan lama masa jabatan? Bukankah sekarang saatnya bicara prestasi, bukan gengsi atau kolusi?

Sarjana perbankan yang tengah menyelesaikan studi Magister Manajemennya di UI ini memang tipikal anak muda masa depan: daya pikirnya tajam, bicaranya lugas, gerak-geriknya tangkas. Sebagai atlet yudo, kewaspadaannya juga cukup terlatih. Kelebihannya yang terakhir ini sering kali berfungsi sebagai alarm bagi Fandi, di tengah himpitan pekerjaan dan aneka kegiatan.

Pagi itu, hari pertama ia masuk sebagai kepala bagian. Sedan 1.000 cc yang dibeli kredit saat ia masih di bank swasta itu, diparkirnya di bawah kerindangan pohon angsana. Meski sudah cukup tua, kendaraan itu kebanggaannya, hasil jerih payahnya yang pertama. Karena dirawat baik, kondisinya juga masih lumayan bagus.

Pikirannya terus menerawang sambil secara otomatis menarik rem tangan, mematikan mesin, menyambar tas, keluar dari mobil, menghidupkan alarm mobil, dan bergegas ke gedung. Sekilas ia melirik sebuah sedan 1.600 cc yang diparkir di sebelah kanan mobilnya. “Ah, siapa tahu, sebentar lagi, gue bisa punya mobil baru ....” gumamnya sambil tersenyum kecil. Pembawaannya yang optimistis terkadang melarutkannya dalam mimpi yang kurang menginjak realita. 

“Menginjak bumi” lagi, terbayang di ruang matanya wajah lucu seorang bayi 8 bulan, dengan bandana melibat kepalanya. Itu Raisa. Kemudian wajah wanita muda yang cantik meski kadang-kadang terlalu ceriwis .... Vina, ibu anak itu.

Didorongnya pintu kaca tebal. Baru ada satpam dan bagian kebersihan. Belum satu pun teller yang tampak. 

Ditengoknya sekilas arloji. Baru 07.30. Jam kerja resmi dimulai pukul 08.00, meski layanan kepada nasabah baru pukul 08.30. Tapi, Fandi tidak suka membuang waktu bermacet-macet di jalan. la lebih suka datang kepagian, dengan kepala masih segar. Apalagi, banyak yang harus dikerjakan hari ini. Maklum, pos baru, bos baru, lingkup pekerjaannya juga baru.

 

Password baru 

la terus naik tangga ke lantai dua mezanine. Di sana berderet ruang para manajer menengah dan puncak. Dari sana pula bisa dilihat kesibukan para nasabah dan layanan garis depan di bawah. Sampai di pintu yang bertuliskan Kepala Bagian Kredit, ia berhenti, lalu mendorong pintunya. 

Serentak ia terhenti. Di dalam sudah ada Bram yang sedang sibuk bebenah. Bram, teman sekelasnya di Akademi Perbankan, sudah 5 tahun bekerja di bank ini. Sampai sekarang mereka masih berteman baik, bahkan lewat Bram juga Fandi dulu mengetahui ada lowongan penyelia teller di sini. Pagi itu Bram tampak agak gugup.

“Hai, Fan, gimana kabar baru, nih?” 

“Ah, biasa-biasa saja,” Fandi menjawab asal-asalan. Ada sedikit rasa kikuk harus menjawab apa. Siapa pun akan demikian karena pos yang dijabatnya sekarang, sebelumnya dipegang Bram. Bram sendiri diturunkan ke tingkat penyelia dan diperbantukan ke kabag akunting. 

Setelah ngobrol sebentar, Bram beranjak ke luar. Fandi meletakkan tasnya di meja samping. Diputarnya arah duduknya sehingga menghadap komputer. 

Di mana pun bekerja, sarana inilah yang pertama kali ia tengok. Kelengkapan kecanggihan programnya memberikan gambaran akan pemakai sebelumnya. Fandi sendiri bukan maniak komputer tetapi termasuk orang yang berusaha memanfaatkan segala kecanggihan komputer dalam pekerjaannya. Sekadar untuk pengamanan, password segera diubahnya. Lalu ia meng-install program pengaman tambahan. Dalam soal uang, kehati-hatian tidak akan pernah merugikan. 

Setelah melewatkan sekitar 15 menit berkenalan dengan program-program yang ada di komputer itu, terdengar pintu dibuka seseorang. Terdengar suara renyah, “Ai, Pak Fandi, pagi amat? Mau kopi?” Fandi menengok sekilas. Wajah kenes Ayu muncul dari balik pintu. Sekretaris serba bisa yang sejak krismon “dipaksa” untuk membantu dua kabag sekaligus, bagian kredit dan akunting. 

Thanks, Yu. Air sajalah. Ada berita untuk saya hari ini?” 

“Nanti saya cek dulu, Pak,” sahut Ayu.

 

Dimintai tolong

Selain pesan e-mail dari Ayu, yang bunyinya, “Welcome to your new post” ada e-mail lain: “Fandi, nanti siang pukul 13.00 di Kafe Komodo. Ada sesuatu yang kita perlu bicarakan.” Pengirimnya Pak Binsar, mantan kepala cabang yang setelah digeser kabarnya akan berbisnis restoran. Karena rasa ingin tahu bercampur rasa segan pada mantan kepala cabang, ia langsung meng-OK-kan ajakan itu. 

Hari itu agenda utama Fandi adalah konsolidasi dengan kepala cabang baru, dan manajer-manajer menengah lain. Ibu Ros sebelumnya mengetuai komisi kredit macet, dinilai cukup berhasil dalam membuat terobosan sehingga likuiditas bank terselamatkan. Kini dalam kondisi keruwetan perbankan semakin kusut, perempuan tegar ini dipercaya untuk memimpin kantor cabang yang dipandang oleh kantor pusat sebagai salah satu mesin uang mereka.

Mengitari meja kayu di ruang rapat Ibu Ros, lima orang pria dan satu perempuan siap dengan berkas masing-masing.

“Sesuai agenda rapat, saya mau dengar dulu laporan dari kalian semua,” ujar Ibu Ros sambil membetulkan letak kacamatanya yang modis. Ibu Ros sebenarnya cukup manis juga, asalkan tidak sedang membahas masalah, pikir Fandi. Usianya sekitar 45 tahun. Dengan dandanan anggun dan setelan hijau lumut, hari itu ia tampak lebih manis dari biasa.

Bagian akunting melaporkan neraca hari kemarin yang secara keseluruhan tidak menampakkan gejolak berarti. Kegiatan nasabah akhir-akhir ini memang berkurang. Perputaran dana tidak seberapa. Kalau di beberapa bank lain nasabah besar sudah mentransfer dananya ke bank di luar negeri, Bank PN beruntung memiliki beberapa nasabah besar yang masih “setia”. 

Barangkali karena kinerja bank ini sejak dulu memang lebih condong low profile dan konservatif. Kesetiaan mereka sebagian juga berkat usulan terobosan Ibu Ros sebelum menjadi kepala cabang yang telah mengusulkan beberapa konsesi bagi para nasabah yang menahan dana mereka di bank itu. 

Apalagi dengan suku bunga yang mencekik leher, segala alternatif usaha untuk sementara dimasukkan ke file dulu. Mereka lebih suka memarkir dana dalam bentuk deposito.

Akhirnya, Ibu Ros menengok ke Fandi. “Bagaimana dengan kredit?” tanyanya.

Fandi berterus terang, ia baru sampai pada tahap mengumpulkan informasi. Hanya, sekilas ia melihat ada aktivitas dana dalam jumlah besar selama beberapa bulan terakhir yang tidak disangkanya terjadi dalam kondisi resesi begini. Tapi, ia berjanji akan mengamati lebih lanjut. Rapat selesai dalam waktu 40 menit tetapi Ibu Ros telah membagi-bagikan “PR” kepada semua anak buahnya yang sifatnya masih pengumpulan data dan informasi.

Siang itu Fandi memenuhi undangan Pak Binsar di Kafe Komodo. Penampilan pria yang sudah mendekati usia pensiun ini tetap perlente meski arogansinya masih tetap membayang. Maklumlah, walau telah terjegal udara reformasi, selama 15 tahun terakhir ia bertahan di manajemen puncak. Ada desas-desus, manajemen pusat mencurigainya telah memanfaatkan jabatannya untuk berkolusi sehingga perusahaan dirugikan.

“Bagaimana kabarnya, Fan? Apa teman-teman baik?” tanyanya sambil menjabat tangan Fandi dan tangan kirinya mempersilakan duduk. Setelah basa-basi bicara soal situasi politik dan ekonomi mutakhir, tibalah saat yang dinantikan Fandi.

 

Transfer ke Singapura

“Begini Fan. Kita ‘kan sudah kenal lama. Dulu you bisa diterima di Bank PN juga dengan persetujuan saya ‘kan? Sekarang saya butuh bantuan you sedikit. Saya rasa tidak akan merepotkan dan dijamin saya tidak akan melupakan jasa baik you.”

“Kalau bisa, tentu saya tidak keberatan, Pak,” jawab Fandi. 

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba Pak Binsar mendorong secarik kertas di meja ke arahnya. Di situ tertera: 125 juta rupiah, nomor rekening atas nama Koeswarjito. Lalu nama Anthony Chew dan nomor rekening lain di sebuah bank di Singapura.

“Saya minta tolong supaya you transfer dana ini, dari rekening yang tercatat di situ ke Singapura.” 

“Lo, Pak, kenapa tidak langsung saja ke teller?”

“Ah, saya tidak mau menarik perhatian.” Sejenak ia diam, lalu melanjutkan, “Bagaimana, bisa ‘kan?” 

Fandi mengiyakan. Kertas ia masukkan ke saku kemejanya.

“Ini surat kuasanya, just in case,” ujar Pak Binsar lagi sambil menyerahkan map berisi surat bermeterai. 

“Famili Bapak?” tanya Fandi tak kuasa menahan rasa ingin tahu.

“Ah, tidak. Cuma teman baik saja. Teman baik ‘kan biasa saling menolong,” Pak Binsar menebar senyum.

Balik ke kantor, Fandi kembali menghadapi komputernya. la sudah bertekad akan menyajikan laporan lengkap tentang kondisi bagian kredit keesokan harinya karena tahu, dengan Ibu Ros orang harus tanggap dan bekerja cepat.

Salah satu yang membangkitkan minatnya, ya, lalu lintas dana cukup besar beberapa bulan terakhir ini. Intuisinya membisikkan ada sesuatu yang tidak beres.

Semakin lama menekuni data-data di layar monitor, semakin kentara tampilnya sebuah nama yang sering sekali muncul. Haseline Hasibuan tercatat menerima fasilitas kredit sebesar 15 miliar rupiah (Oktober), 30 miliar rupiah (Desember), 10 miliar rupiah (Februari) dan 5 miliar rupiah lagi pada bulan Mei.

Dari data nasabah, Haseline Hasibuan beralamatkan Jakarta Selatan, tercatat sebagai dirut PT Permata Lestari, pengembang real estate. Fandi termenung sambil bertopang dagu. la teringat keluh-kesah Hertanto, seorang nasabah yang kontraktor. “Susah Pak Fandi, tidak ada proyek.” Bahkan adiknya sendiri yang bekerja di sebuah kantor pengembang bercerita, betapa perusahaannya sudah banting harga tetapi orang malah membatalkan niat mengkredit rumah.

Sesuai peraturan, ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat memperoleh kucuran kredit. Terlebih di musim kredit macet begini. Prasyarat itu berupa bukti yang menunjukkan perusahaan masih produktif. Selain itu, ada mekanisme kontrol untuk menjamin fasilitas kredit benar-benar digunakan untuk memajukan usaha.

Dalam situasi resesi berat ini, bisnis pengembang termasuk yang paling telak terpukul. Maka ia tidak habis pikir, bagaimana PT Permata Lestari masih bisa bertahan. Sebab kalau tidak, tentu Bank PN tidak akan mengucurkan kredit bukan? Namun, nalurinya lebih condong pada kemungkinan lain. la mencium bau kolusi, dan di mana-mana kolusi selalu ditemani oleh korupsi.

 

Pernah naksir Vina

Mengingat narasumber yang bisa ditanyai toh tidak jauh dari situ, Fandi segera bangun, keluar menuju ruangan Bram di ujung koridor. “Omong-omong mungkin lu bisa kasih gue info tentang ini.” Disodorkannya lembar print out data kredit untuk Haseline Hasibuan.

Bram membaca lembaran-lembaran itu. 

“O, Haseline Hasibuan. Salah satu nasabah kita yang terlama. Catatan angsurannya bersih, lancar sehingga diputuskan, komitmen kita yang sudah digolkan pertengahan tahun lalu, tetap dilaksanakan. Dia memang perempuan jago. Orang lain kelenger, dia masih berjaya. Jangan khawatir, sudah kita cek semua.”

“Apa sih proyek-proyeknya?” desak Fandi. 

“RSS di Semarang dan Surabaya. Juga beberapa mal di kota-kota kecil,” jawab Bram. 

“Bukannya itu malah berisiko tinggi macet di masa sekarang?” Fandi mempertanyakan.

“Nyatanya tidak. Buktinya, angsurannya tetap lancar,” tukas Bram santai.

Fandi kembali ke ruangannya dengan informasi lebih dari cukup tentang proses pemberian kredit kepada Haseline Hasibuan berikut segala macam keterangan, formal maupun informal, termasuk latar belakang wanita itu dan betapa menariknya wanita itu. Di komputernya ia membuat catatan-catatan temuannya, sembari menuliskan juga langkah-langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Untuk sementara, ia masih menganggap kawannya itu sumber info yang dapat dipercaya.

Keesokan paginya saat ia masuk ke kantornya lagi, ada hal remeh yang sempat mengganggunya. Foto Vina bersama Raisa yang ia taruh di meja, jatuh ke lantai. Meski berkarpet, kacanya pecah berkeping-keping. Sejak kapan di sini ada kucing, pikirnya. Di luar, sepasang mata memandang pintu yang tertutup.

 

Penyusup

Rapat pagi dengan Ibu Ros ditunda hingga sore hari karena ia mendadak dipanggil ke kantor pusat sehingga Fandi dapat langsung bekerja di depan komputer. Begitu komputernya dihidupkan, saat hendak mengetik password, ada kedap-kedip di sebelah kanan atas layarnya. Jantungnya berdetak keras. Program pengaman yang di-install-nya kemarin, memberikan fasilitas “penjaga pintu” yang akan melaporkan bila terjadi sesuatu di luar kebiasaan. Kedip-kedip itu pertanda file -nya sudah dikunjungi penyusup.

Darahnya mulai mengalir kencang. Jari-jemarinya menari cepat di atas keyboard. Program satpamnya itu mencatat, usaha pembobolan yang gagal itu terjadi pada pukul 21.18. Berarti sekitar 1/4 jam setelah ia pulang kemarin.

Pikirannya mengilas balik apa yang ia kerjakan kemarin, data apa saja yang ia masukkan yang kira-kira diinginkan oleh sang penyusup. Siapa dan mau apa bajingan itu? 

Tangannya terus bermain, hampir seperti otomatis. Sampai suatu ketika setelah menekan tombol “enter”, jari-jarinya terpaku, matanya terpentang lebar.

Di layar terpampang nama-nama dan angka-angka. Disambarnya kertas print out yang ia tunjukkan Bram kemarin. Ada sesuatu yang menggugah. Matanya beralih dari layar ke kertas, dari kertas ke layar. Ada empat tanggal di kertas yang persis lebih awal 3 hari dari 4 tanggal di layar. Di belakang masing-masing tanggal tercatat nama nasabah, nomor rekening dan sejumlah dana yang besarnya antara 125-375 juta rupiah. Ini suatu kebetulan yang keterlaluan.

Ketika dilihat pada data transfer, ternyata tiga dari keempat tanggal itu adalah hari dilakukannya transfer dana dari nama-nama itu ke sebuah rekening di bank Singapura atas nama Anthony Chew. Yang belum ditransfer tinggal jumlah 125 juta rupiah dari rekening atas nama Koeswarjito. Ia bersiul.

Maka dapat disimpulkan, setiap kali terjadi pengucuran kredit bagi Haseline Hasibuan, 3 hari kemudian ada transfer dana ke rekening atas nama Anthony Chew di Singapura. Setelah kredit sebesar 15 miliar rupiah (Oktober) mengucur yang ditransfer sejumlah 375 juta rupiah. Menyusul kredit sebesar 30 miliar rupiah (Desember), ditransfer sebesar 750 juta rupiah. Demikian pula di bulan Februari, setelah 10 miliar rupiah cair, 3 hari kemudian ditransfer sejumlah 250 juta rupiah ke rekening Anthony Chew. Semuanya langsung dikurskan ke dolar Amerika, sebelum ditransfer.

Jumlah dana yang ditransfer persis 2,5% dari jumlah dana kredit yang cair. Dana 125 juta rupiah yang belum ditransferkan itupun persis 2,5% dari kredit 5 miliar rupiah yang cair di bulan Mei untuk Haseline Hasibuan. Bukankah ini jelas suatu prosedur pemberian komisi? Tetapi siapakah keempat orang pemilik rekening ini dan siapakah Anthony Chew, dan bagaimana kaitannya dengan Pak Binsar? la mengaku berteman baik dengan Koeswarjito.

Telepon berdering. Ternyata dari Pak Binsar. la menanyakan apakah permintaan transfernya sudah dikerjakan.

“Oh, baru akan saya kerjakan hari ini,” jawab Fandi. 

Please, jangan meleset. Jangan lupa, begitu dilaksanakan, saya tidak lupa pada jasa you.”

Jantungnya berdebar-debar. “Tampaknya, intuisiku tidak keliru,” gumamnya dalam hati. Tapi bagaimana melacaknya?

Esok paginya, kembali ada tanda kedap-kedip di layar monitornya, saat ia hendak mengetikkan password. “Bangsat ini mesti kubekuk,” gumamnya. Program satpamnya masih cukup canggih atau si penerobos kurang ilmu. Ia pastikan harus dapat membongkar apa di balik semua ini secepat mungkin. 

Sedikit demi sedikit terungkap juga kaitan segala data yang membuatnya penasaran itu. Ia temukan suatu hal yang lebih menarik lagi. Setiap kali Haseline Hasibuan mencairkan dana kreditnya, 2 hari kemudian empat nasabah (Sita Lestari, Tino Baharudi, Donna Kusuma, dan Koeswarjito) menerima transfer dana dari Bank Inrama. Pada hari berikutnya, dana sebesar itu ditransfer lagi ke Singapura ke rekening atas nama Anthony Chew, kecuali transfer terakhir ke rekening Koeswarjito. 

Si penerobos yang gagal itu pasti menginginkan akses ke dana Koeswarjito ini yang belum sempat ditransferkan. Apakah dia Koeswarjito sendiri? Atau, suruhan pihak lain? Mengapa yang satu ini tertinggal? Mengapa saatnya bertepatan dengan digantinya (secara agak mendadak) Pak Binsar dan beberapa pejabat lain di bawahnya, termasuk Bram?

 

Diculik

Fandi seperti melihat secercah cahaya. Tiba-tiba telepon berdering. la sama sekali tidak siap mendengar suara Vina terbata-bata sambil menangis. 

“Fan, Fan, Raisa ... Raisa ... dicul... diculik!” 

“Hah!?”

Fandi akhirnya dapat memahami alur cerita istrinya yang sedang panik. Pagi itu, sekitar pukul 08.00 ia berangkat ke pasar. Raisa ditinggalkan di rumah bersama pengasuhnya. Sekitar 1 jam kemudian, ketika pulang ia menemukan pengasuh anaknya terduduk lemas sambil menangis di tangga rumah. Secara naluriah matanya langsung mencari kereta bayi anaknya. Keretanya ada tetapi terjungkir di sudut pekarangan.

“Raisa!! Mana Raisa ....?!” 

Si pengasuh mengatakan, “Saat Ibu pergi, saya menyuapi Raisa bubur di teras karena makannya ‘kan lebih lancar bila dilakukan sambil memandang burung atau kupu-kupu. Kemudian datang mobil boks. Kata pria berseragam yang mengetuk pagar, mereka mengantarkan paket titipan kilat. Karena paketnya besar, ia minta dibukakan pintu pagar. Begitu pintu dibuka, dari balik mobil menerjang masuk seorang wanita muda yang lalu menyambar Raisa, melompat kembali ke dalam boks yang lalu ditutup. Orang yang tadi bicara dengannya juga ikut naik ke mobil dan kabur.”

Fandi mengambil napas dalam-dalam. Lalu dengan suara tenang ia berkata, 

“Kamu tetap tenang di rumah. Saya kira sebentar lagi kamu akan menerima telepon.”

Dua puluh menit kemudian, Vina menelepon Fandi. Seseorang menelepon, mengaku membawa anak mereka (bahkan tangis Raisa pun diperdengarkan di telepon). Orang itu hanya mengatakan, jangan coba menelepon polisi, akibatnya bisa fatal. Begitu selesai mendengarkan laporan Vina di telepon, ia bergegas ke luar, ke meja Ayu. Tapi yang ada Dewi, salah seorang dari bagian administrasi. “Ayu sakit bulanan,” katanya.

“Wi, mana katalog data bank?” ujarnya. 

Dewi mengambilkan dan menyerahkannya tanpa bersuara. Seingat Fandi, Bank Inrama itu salah satu bank kecil yang baru didirikan sekitar 2 tahun lalu. 

Dalam katalog data tentang bank itu tercatat besarnya aset dan ekuitas, kemudian nama para pemegang saham, juga alamat kantor-kantornya. Jarinya mengikuti nama-nama yang berjajar. Ini dia. Johnson Hasibuan.

Tidak lama telepon di ruang sekretaris preskom Bank Inrama berdering. “Bank Inrama, selamat siang,” ujar si sekretaris. “Mbak, saya dari toko bunga Melati. Bapak Hasibuan memesan bunga untuk ucapan selamat ulang tahun bagi istrinya tapi kami lupa menanyakan nama Ibu Hasibuan. Boleh saya tahu nama beliau?” 

“Oh, tentu dong. Ibu Haseline.”

 

Tukar di bandara

Ketika Fandi masuk ke ruangannya lagi, terdengar bunyi “brak!” dari pintu tembus ke ruang sebelah. Diliriknya komputer yang tadi tak sempat dimatikan. Untung ia selalu berhati-hati menutup file dulu setiap akan meninggalkan ruangan. Segera dibukanya pintu tembus, masuk ke dalam ruang rapat. Sekelebat ia melihat seseorang berlari menuju koridor. Saat dikejar, orang itu memilih tangga darurat.

“Bagus,” desis Fandi. Ia tak pernah menyangsikan staminanya, meski harus naik tangga ke lantai atas sekalipun. Orang itu memilih turun, menuju basement. Fandi tidak mau menyerah. Ketika tiba di basement, didengarnya deru mobil menjauh. Ia terlambat. Fandi meninju dinding di dekatnya, gemas.

Kembali ke ruang kantor, Dewi telah menunggu dengan informasi dan berita yang ditulis di kertas. 

“Pesan dari Bu Vina, Pak,” katanya. 

Fandi membaca pesan itu. “Kita harus menebus anak kita dengan AS$ 10.000 tunai, dalam pecahan AS$ 100, 50, dan 20, dibawa sendiri nanti malam pukul 19.00 ke Bandara Soekarno-Hatta, terminal internasional. Jangan menghubungi polisi dan mesti tunggu di depan Gate 1. Jika tidak, anak kita akan tidak jelas nasibnya.”

Fandi mengecek ke komputernya lagi. Terlihat ada usaha memberikan perintah transfer dan dari rekening atas nama Koeswarjito. Tapi, usaha itu gagal. Setelah melacak cukup dalam, tahulah ia mengapa rekening itu tidak dapat diakses dari teller di bawah. Ia dimasukkan dalam file khusus yang hanya dapat diakses oleh kabag kredit. Jadi bukan karena “tidak mau menarik perhatian” Pak Binsar tidak langsung ke teller, tetapi karena memang tidak bisa.

Mekanisme lewat teller itu diciptakan entah untuk menjaga kerahasiaan atau keamanan. Lagipula, bila ada apa-apa, bukankah ia tinggal menuding kabag kredit yang waktu itu dipegang Bram? Sial bagi Pak Binsar, Fandi memberlakukan pengamanan lebih, dengan kode otorisasi khusus pula, bagi semua file kabag kredit yang dipegangnya. Akibatnya, Bram tidak dapat lagi mengakses dana atas nama Koeswarjito yang tertinggal belum ditransfer itu.

Diduganya, Bram-lah orang yang selama ini berkali-kali mencoba membobolnya. Namun, ia curiga, kini Bram bekerja untuk kepentingan sendiri. Kalau tidak, untuk apa Pak Binsar menghubunginya langsung, bahkan secara terselubung menjanjikan hadiah kepadanya?

Diliriknya arloji. Pukul 14.30. Dari kantor ke Cengkareng butuh waktu sekitar 40 menit sehingga masih ada waktu sekitar 4 jam. Sebaiknya, memang berkonsultasi dengan Ibu Ros karena ini menyangkut dana dalam jumlah banyak. Juga sudah terbukti ada seseorang yang berusaha melakukan tindakan ilegal di banknya.

Ibu Ros ternyata sedang mencarinya karena kantor pusat hari itu mendesak agar ketidakberesan di bagian kredit yang semakin tercium oleh mereka, segera dibereskan. Mereka sepakat menelepon Polda Metro Jaya. 

Dengan Letkol (Pol) Jajang Suwarman, disepakati, tuntutan penculik akan pura-pura dipenuhi. Fandi akan memenuhi perjanjian dengan pergi ke tempat pertemuan, membawa bungkusan “uang” dalam kantung plastik belanjaan. Sementara itu, ia akan dibayang-bayangi aparat. Ia diinstruksikan untuk melakukan pertukaran, hanya bila anaknya sudah ada di tangan.

Pukul 18.40 Fandi sudah di terminal 2, diantar sopir perusahaan. Dengan gerak dibuat sewajar mungkin ia melangkah masuk ke lobi. Matanya mencari-cari nama “Gate 1”. Sekilas pandangannya menyapu orang-orang yang lalu-lalang di sana. Perhatiannya khusus pada orang-orang yang membawa bayi. Ia menyesal tidak menanyakan kepada Vina, pakaian apa yang dikenakan Raisa ketika diculik. Membawa bayi dalam operasi semacam ini tentu tidak mudah.

 

Ada main

Di tengoknya arloji. Pukul 18.55. Belum waktunya. Ketika matanya sedang nyalang melihat ke sana-kemari, sebuah tepukan keras menerpa punggungnya. 

“Hai, Fan, ngapain ke mari?” Suara yang familiar. Ia menoleh dan berhadapan dengan wajah ceria Bram. “Lu sendiri, ngapain?” ia balik bertanya.

“Ah, gue mau ke Singapura, paman yang ngundang. Sekalian lihat-lihat kemungkinan di sana. Masa krisis begini, mesti kreatif, Fan.” 

“Oh,” kecurigaan Fandi semakin meningkat. Bram pasti berada di balik ini semua. Ia tidak punya waktu dan kesabaran untuk berbasa-basi. Segera dihentaknya kerah kemeja Bram.

“Jangan main-main. Mana anak gue?” 

“Anak? Anak apa?” Saat itu berkelebat wanita yang berlari di jarak sekitar 10 m. Ia segera menggendong sesuatu. Secara refleks Fandi melepaskan cengkeramannya lalu mengejar wanita itu. Tetapi aparat yang mengawalnya lebih cepat. Dalam sekejap wanita itu sudah terhadang, lalu digandeng menuju ke arahnya.

Fandi terbengong-bengong memandang Ayu yang kebingungan hendak menaruh wajah di mana. “Benarkah ini anak Bapak?” tanya sang petugas. “Ya,” sambil diambilnya Raisa. 

Ayu hanya menunduk. Saat aparat memborgol tangan mereka, Bram protes keras, “Apa-apaan ini? Apa salah saya?” Tapi Ayu memohon, “Tolong, Pak, jangan tangkap dia. Dia tidak tahu apa-apa.” Tapi aparat tegas berkata, “Saudara-saudara ditangkap atas tuduhan penculikan dan pemerasan.”

Kepada polisi, Bram bercerita sudah lama ia berpacaran dengan Ayu, sejak ia masih menjadi kabag kredit. Namun karena keinginan Ayu sendiri, mereka sepakat tidak mengumumkan hal itu dulu. Soalnya, khawatir cepat-cepat disuruh kawin oleh orang tuanya, sementara kondisi keuangan belum memungkinkan. Janji Pak Binsar akan memberi Bram pekerjaan tidak kunjung dipenuhi, maka ia memutuskan akan melihat-lihat kemungkinan kerja di Singapura. Kebetulan, seorang pamannya bekerja di konsulat RI di negeri jiran itu.

Ayu sendiri menjadi elemen kejutan bagi Fandi. Terus terang diakuinya, selama ini dialah yang mencoba membobol file Fandi. Dari Bram, ia mengetahui dana di rekening Koeswarjito yang belum ditransfer ke Singapura itu. Tapi, kalau Bram menganggapnya sebagai bagian dari masa lalu yang pahit, Ayu melihatnya sebagai peluang untuk membebaskan diri dari himpitan ekonomi keluarga. Apalagi, ia sudah cepat-cepat ingin membina mahligai bersama kekasihnya itu.

Dihubunginya Pak Binsar untuk menawarkan jasa, tetapi ditolak karena Binsar berniat menghubungi Fandi langsung. Maka, ia pun berinisiatif berlomba dengan waktu untuk menyikat dana itu. Sebagai sekretaris, dari komputernya ia tidak dapat mengakses file untuk tingkat manajer ke atas sehingga terpaksa setiap kali ia harus mencuri kesempatan menggunakan komputer Fandi. Tidak kunjung berhasil, ia nekat menculik anak Fandi, untuk minta tebusan yang jumlahnya kira-kira 125 juta rupiah, tergantung kurs yang berlaku. Dengan uang cukup, tinggal di mana pun oke, meski tidak di tanah air sendiri. Demikian pikirnya.

Pak Binsar sendiri malam itu juga diciduk dari rumahnya di pemukiman elite Pondok Indah. Bersamanya ditahan juga Haseline Hasibuan yang ternyata ada main dengan dia. Keduanya diajukan ke meja hijau dengan tuduhan sedikit berbeda. Haseline dituduh melakukan penipuan karena meminta fasilitas kredit untuk perusahaan yang ternyata fiktif sehingga merugikan kepentingan umum. 

Pak Binsar dituduh melanggar hukum karena menciptakan empat rekening fiktif, korupsi, membantu penipuan, serta menyalahgunakan kepercayaan dan jabatan. Mereka dinyatakan bersalah. Haseline Hasibuan diganjar 6 tahun, sedangkan Pak Binsar 5 tahun penjara. Namun, belum berarti urusan Pak Binsar selesai karena ia pun dinantikan oleh aparat keamanan Singapura dengan tuduhan memalsukan identitas dan membuat rekening di bank berdasarkan data palsu. 

Malam itu, ketika bertemu dengan istrinya, baru Fandi teringat untuk bertanya, suara penculik di telepon itu pria atau wanita? “Wanita,” kata Vina. “Kenapa?”

Fandi hanya menggelengkan kepala. “Andaikan saya tidak beranggapan dia pria,” desahnya. (Lily Wibisono)

 

" ["url"]=> string(61) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400890/ingin-cepat-kaya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659534643000) } } }