array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3350520"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/jeritan-dari-liang-kubur_luis-al-20220629071711.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(138) "Remy menjadi mirip dengan Teresita yang meninggal karena dibunuh. Hingga suatu hari, ia dirasuki oleh arwah Teresita yang mengaku dibunuh."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/jeritan-dari-liang-kubur_luis-al-20220629071711.jpg"
      ["title"]=>
      string(24) "Jeritan dari Liang Kubur"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-29 19:17:39"
      ["content"]=>
      string(31758) "

Intisari Plus - Remy menjadi mirip dengan Teresita yang meninggal karena dibunuh. Hingga suatu hari, ia dirasuki oleh arwah Teresita yang mengaku dibunuh. Teresita pun memaksa suami Remy untuk menyelesaikan kasusnya agar ia bisa mati dengan tenang.

------------------

Dari jendela apartemennya tingkat 15, Teresita Basa (48) memandang Chicago yang kelabu. Beda sekali dengan langit biru di tempat asalnya, yaitu di Dumaguete yang terletak di Pulau Negros, Filipina. 

Di Dumaguete keluarganya termasuk orang terkemuka. Sebagai anak tunggal dan orang tua yang berada, Teresita mendapat pendidikan tinggi dan mengajar musik di universitas. Namun sejak ayahnya meninggal akibat penyakit pernapasan, Teresita merasa terpanggil untuk menolong orang-orang yang senasib dengan ayahnya. Itulah sebabnya ia ke Amerika Serikat untuk belajar dan bekerja menolong para penderita penyakit pernapasan.

Akhir-akhir ini ia merasa frustrasi. Tanpa alasan yang jelas, atasannya di rumah sakit memberinya berbagai tugas berat di pundaknya. 

“Daripada tertekan bekerja di rumah sakit, mendingan kamu mengajar musik kembali di universitas," saran Sarah, sahabat karibnya yang sore itu menelepon.

“Di sini 'kan ijazah Filipina-ku tidak diakui," jawab Teresita. Pada saat mereka sedang bercakap-cakap di telepon itu, bel pintu berbunyi. 

"Oh, rupanya orang yang kutunggu sudah datang. Aku bukakan pintu dulu, ya," kata Teresita kepada Sarah. 

"Sudah deh. Kita lanjutkan percakapan nanti saja," jawab temannya dari seberang sana.

Teresita mengintip lubang pengintai di pintu. Benar! Tamu itulah orang yang ditunggunya. Tak ada firasat apa-apa ketika ia membuka pintu, mempersilakan tamunya masuk. Namun saat membelakangi pria tersebut untuk menutup pintu kembali, sudut matanya melihat tamu itu menjulurkan lengannya ke arah lehernya. 

la terkejut. Jantungnya berdegup keras. Namun sebelum ia sempat bereaksi, lengan pria kekar itu sudah terkalung ke leher Teresita dengan gerakan yang biasa disebut half-nelson dalam teknik olahraga bela diri Jepang.

Teresita tercekik. Tubuhnya melambung sebentar sebelum akhirnya jatuh terkulai dalam keadaan tak sadarkan diri. Tamu itu segera menyambar dompet Teresita yang tergeletak di atas meja. Isinya cuma 30 dolar. Tanpa pikir panjang, dompet itu dijejalkan ke sakunya, lalu diseretnya Teresita ke kamar tidur. Wanita itu ditelanjanginya di lantai. Dengan pisau yang diambil dari dapur, ditusuknya tubuh korban yang sudah tak berdaya persis ke arah jantung. Begitu kuat tusukannya sampai sebagian gagang pisau ikut terbenam di dalam daging dan udara di paru-paru Teresita keluar lewat mulut dengan mengeluarkan bunyi.

Secara refleks pria itu melompat menjauh. Selain terkejut mendengar bunyi yang tidak diduganya, ia juga menghindari semburan darah korbannya. Semua itu berlangsung dengan singkat tanpa menimbulkan kecurigaan tetangga kamar Teresita. 

Rupanya si penjahat berharap akan mendapat sejumlah uang dan barang berharga dari si korban. Toh, nyatanya setelah mengobrak-abrik dan mengaduk-aduk seluruh ruangan, ia sangat kecewa karena tidak menemukan barang berharga. Yang bisa ditemukan cuma kotak perhiasan yang isinya kurang memuaskan baginya. Yang berharga mungkin hanya sebuah liontin dan cincin.

"Huh! Katanya, ia anak orang kaya. Kok, hartanya cuma segitu?!" omel pria itu di dalam hati. 

Dengan perhitungan profesional, pembunuh berdarah dingin ini berupaya menghilangkan jejak. la segera kembali ke kamar untuk mengatur posisi kaki mayat seakan-akan korban diperkosa. Kantong-kantong kertas yang ditemuinya di rumah itu digumpal-gumpal dan disulutnya dengan korek api. Kertas yang sudah tersulut itu kemudian dilemparkan ke arah kasur. Ketika kasur sudah terjilat api, dengan ketenangan luar biasa korban yang belum sepenuhnya tewas itu dibakarnya pula. Setelah dirasa cukup, buru-buru ia menyelinap ke luar.

 

Arwah penasaran

Beberapa penghuni apartemen yang bertetangga dengan Teresita berhamburan ke luar kamar ketika mencium bau hangus. Malam belum terlalu larut. Saat itu baru pukul 20.30. Mereka saling tanya satu sama lain, apa yang terjadi? 

Biang keributan malam itu terjawab sudah berbareng dengan munculnya kepulan asap dari celah pintu apartemen 15 B. Pengurus apartemen, Peter Lulusa, menelepon dinas pemadam kebakaran yang segera tiba. Setelah pintu apartemen Teresita didobrak, asap tebal segera menyerbu ke luar. Bau daging terbakar menyengat hidung.

Ketika api berhasil dipadamkan, petugas pemadam kebakaran menemukan tubuh manusia yang sudah menjadi arang di lantai kamar. Sebilah pisau menancap di dada mayat itu. Buru-buru mereka menghubungi polisi di Bagian Pembunuhan Wilayah 6. 

Detektif yang ditugaskan menyidik peristiwa ini, Joseph Stachula dan Lee Epplen, semula menduga kasus pembunuhan ini disertai perkosaan. Tindakan pertama yang mereka lakukan, menelepon keluarga dan teman-teman korban di RS Edgewater. Nama dan nomor telepon orang-orang yang mereka tanyai diperoleh dari buku telepon korban. 

Semua narasumber mengakui, Teresita Basa adalah wanita yang baik hati. la tidak ragu-ragu meminjamkan uangnya untuk menolong orang lain. Tak lama kemudian polisi mendapat laporan dari dokter ahli forensik, bahwa Teresita Basa masih perawan. Itu berarti, ia bukan korban perkosaan.

Dua minggu sudah peristiwa itu berlalu. Oleh keluarganya jenazah Teresita telah dikirim ke kampung halamannya, Dumaguete. Namun sampai gadis ini dimakamkan, polisi belum berhasil menemukan petunjuk sedikit pun siapa pelaku pembunuhannya. Kasus terbunuhnya Teresita tetap menjadi pokok pembicaraan di antara mantan rekan-tekan almarhumah di rumah sakit tempatnya bekerja selama ini. 

"Gimana sih polisi," sesal Jennie Prince, direktur bagian teknik Departemen Pernapasan RD Edgewater. "Bisa-bisa Teresita bangun dari kuburnya saking penasaran."

"Coba dia bisa muncul atau memberiku petunjuk dalam mimpi siapa pembunuhnya," kata Remy Chua, seorang wanita asal Filipina seperti Teresita.

Siang itu Remy Chua meluangkan waktu istirahat selama sejam, pergi ke tempat para karyawan menyimpan barang-barang pribadi mereka dalam laci-laci terkunci. la merapatkan dua buah kursi lalu bersandar ke kursi yang satu, sementara kakinya diletakkan di kursi yang lain. 

Saat sedang tidur-tidur ayam, ia merasa seperti ada bahaya mengancam. Jadi, dibeliakkannya matanya. Jantungnya serasa mau copot karena dilihatnya Teresita Basa berdiri di depannya! Wanita itu berpakaian serba putih dan wajahnya tampak khidmat. 

Teresita tidak tampak seperti bayangan, tidak transparan, tetapi seperti manusia sejati yang cukup dekat untuk disentuh. Rasa takut yang tiba-tiba menyergapnya membuat Remy tidak berani menyentuhnya. 

la malah melompat bangun dan berlari menjauh. Tak jauh dari tempat itu Rudy Velasco, seorang pekerja Filipina, sedang memperbaiki sebuah peralatan. 

"Rudy! Rudy! Aku melihat Teresita di ruang tempat penyimpanan barang," kata Remy dengan gemetar.

Rudy yang tadi ikut mendengar Remy berkata ingin bermimpi bertemu Teresita, malah tertawa terbahak-bahak. 

"Bu Chua, Teresita 'kan sudah meninggal. Sudah dikubur di Filipina. Mustahil dia datang!"

 

Mirip almarhumah

Dua minggu sejak Teresita memperlihatkan dirinya, Remy memutuskan untuk bekerja lembur setiap hari. Pasalnya, ia memerlukan banyak uang untuk membantu suaminya membayar rumah baru yang mereka beli. Selain itu Remy ingin menyibukkan diri supaya wajah Teresita tidak terbayang-bayang terus. 

Akhir-akhir ini Remy merasa kesal kepada atasannya, sebab semua pekerjaan yang sulit dibebankan kepadanya. la mengeluh kepada temannya, sesama ahli terapi pernapasan, bernama Florencio Oliver. 

"Bu Chua, kok cara Anda berbicara persis almarhumah Teresita," kata rekannya tanpa bermaksud bergurau. Remy terperanjat. Tak urung, ucapan temannya itu mengganggu Remy, terlebih ketika beberapa hari kemudian, Emile Savane, pengawas karyawan yang bertugas malam, melontarkan komentar yang tidak jauh berbeda.

"Bu Chua, cara Anda memandang saya dan cara Anda berbicara kok ... mirip sekali Teresita." 

Remy berpikir: "Emile dan Florencio bukan jenis orang yang suka bercanda. Jangan-jangan mereka benar. Tapi kenapa aku bisa mirip Teresita Basa? Aku 'kan bukan teman akrabnya. Aku cuma sekali-sekali saja bercakap-cakap dengannya. Kematiannya pun tidak menggugah perasaanku benar.”

Di lain pihak, dr. Jose Chua yang biasa dipanggil Joe, merasa heran. Remy, istrinya, tiba-tiba jadi senang musik klasik. Wanita yang dikenal penyabar dan tidak banyak cingcong ini sekarang sering tidak telaten melayani keempat putri mereka yang meningkat remaja. 

Joe dan Remy datang ke AS sebagai dokter dan ahli farmasi. Namun, ijazah Filipina mereka tidak diakui di negara Paman Sam. Jadi, Remy bekerja sebagai ahli terapi pernapasan, sementara Joe menempuh pendidikan lagi sambil menjadi asisten dokter bedah di RS Franklin Park.

Sementara itu di bagian kumuh lain Kota Chicago, seorang pemuda bernama Jose sedang berhadapan dengan Detektif Stachula dan Epplen. Kedua detektif itu "mengambil" Jose Rodriguez atas saran pengacara Teresita, Stephen Milak. 

Konon, almarhumah pernah meminta jasa Milak untuk memperoleh kewarganegaraan AS. Waktu itu yang biasa disuruh Milak bolak-balik ke tempat Teresita adalah Rodriguez. Masih menurut Milak, Jose yang berasal dari Puerto Rico itu gambang naik pitam sampai diberhentikan oleh Milak.

Saat para detektif datang, Jose yang pendek dan masih muda itu mengenakan kaus tak berlengan. Otot-ototnya kelihatan gempal. 

"Hai man ... mau apa kalian?" tanyanya. Tadinya ia tidak mengaku mengenal Teresita Basa. Polisi lantas menjelaskan bahwa Teresita adalah klien Milak. Mereka juga menggambarkan ciri-ciri wanita itu. 

"Ooh, dial Baik tuh orangnya. Meski orang Filipina, ia bisa ngomong Spanyol. Kok mau-maunya dia minta jasa si Banci Milak." 

"Di mana Anda tanggal 21 Januari 1977?" tanya Epplen. "Dua puluh satu Januari? Boy, saya ada di Island (Puerto Rico, red.) sejak awal Februari sampai 5 April." 

"Ada yang tahu Anda ke sana?" 

"Huh, man! Semua juga tahu. Tanya saja tetangga, famili, biro perjalanan. Saya masih utang tiket. Mau nomor teleponnya?" 

"Mau." 

Pemuda itu meraih brosur biro perjalanan dari atas TV. "Nih! Nomornya ada di situ."

 

Kesurupan

Hari demi hari berganti. Bulan demi bulan pun berlalu. Sejak akhir Juni, Remy Chua sulit tidur pulas. Begitu ia memejamkan mata, muncullah wajah Teresita dalam benaknya. Sebentar jelas, sebentar kabur. 

Selama hampir sebulan Remy Chua benar-benar merasa tersiksa. la lelah secara fisik maupun mental. Belakangan ini kalau wajah Teresita terbayang, di balik wajahnya, Remy selalu melihat munculnya gambaran wajah lain yang buram. 

Suatu malam, Remy mendapat tugas menangani pasien yang keadaannya sangat kritis, karena ditikam di bagian dada kiri. Pasien bernama Freddie Tanaca itu berayahkan orang Jepang, tetapi beribukan orang Filipina. Menurut Allan Showery yang bekerja membantu-bantu para ahli terapi, Tanaca itu jago karate.

Sebelum masuk ke ruang perawatan, Remy memeriksa meja dorong berisi peralatan untuk membantu pernapasan pasiennya, Ternyata di meja itu belum ada masker oksigen. 

"Al, ambilkan masker oksigen, dong," katanya kepada Al Showery. Setelah itu ia memeriksa laporan perihal keadaan pasien. Saat itulah ia merasa sangat kaget karena ada tangan nyelonong dari belakang lehernya.

Tak terasa ia berseru sambil menoleh ke belakang. Al Showery tersenyum sambil mengangsurkan masker oksigen. 

"Nih, maskernya, Bu Chua." 

Memandang wajah Remy, senyum Al lenyap seketika. Remy menyambar masker itu, lalu mendorong meja peralatannya menjauhi Al. Setelah tugasnya selesai, Remy mengembalikan meja berisi peralatan ke ruang tempat Al Showery sedang kerepotan mencuci perabot.

"Bantu dong," kata Al. Tiba-tiba saja di benak Remy muncul wajah buram yang biasa ada di belakang wajah Teresita. Wajah itu makin lama makin terfokus, makin lama makin jelas. Wajah Al.

Tiba-tiba pula terlontar dari mulut Remy: 

"Enggak! Itu pekerjaanmu. Aku punya pekerjaan sendiri. Aku ahli terapi. Kamu cuma pembantu." Al Showery kaget mendengar kata-kata yang disertai tatapan menusuk itu.

"Kenapa sih Anda benci sekali kepada saya, Bu Chua?" tanyanya. 

Remy menarik napas panjang. Suaranya normal kembali. "Aku tidak membencimu, Al. Sungguh." Setelah itu ia keluar. 

Di luar digamitnya lengan Jennie Price yang sedang lewat. 

"Jennie," bisiknya. "Aku takut kepada Showery." 

"Aku juga, Remy," jawab Jennie. "Naty yang menggantikan Teresita minta berhenti sebab dikejar-kejar Al. Bahkan Rudy juga takut. Rudy kemarin ingat, tanggal 21 Februari itu Teresita bilang kepadanya, Al akan datang ke apartemennya untuk membetulkan televisinya." 

"Oh, Jennie! Akhir-akhir ini aku merasa tidak sehat. Boleh aku cuti beberapa hari?"

"Minta izin saja kepada bos." 

Keesokan harinya Remy sudah libur. Sore hari, Remy merasa dicekam ketakutan sampai semua lampu dinyalakannya. Saat itu di rumahnya cuma ada dia dan anak-anaknya. Lalu diteleponnya orang tuanya, Vicente dan Guillerma, yang segera datang menemani. Guillerma menelepon menantunya yang sedang berdinas di rumah sakit, sehingga dr. Jose Chua buru-buru permisi pulang, sambil berbekal obat penenang.

Setelah diberi obat penenang, Remy tertidur. Ini pertama kalinya ia bisa tidur nyenyak setelah berbulan-bulan dihantui bayangan arwah Teresita. 

Suaminya merasa lega. Karena merasa tak ada yang mesti dirisaukan lagi, sang suami menelepon pengacaranya, Al Bascos, yang mengurus pembelian rumah baru mereka.

"Hai, Joe! Apa kabar!" sambut Al Bascos ceria. 

"Baik, Al!" seru Joe sama cerianya. 

Tahu-tahu saja dari kamar terdengar jeritan Remy yang mendirikan bulu roma. 

Remy serasa mendengar kata 'Al' bergema dari dinding liang kubur: Al ... al ... al ... al ... al ... al ... al. Lalu kegelapan seperti menyelimutinya dan ia berteriak sekuat tenaga: 

"Ayiiii! Ayiiii!"

Joe melepaskan gagang telepon dan bersama kedua mertuanya berlari ke kamar Remy. Astaga! Dengan mata tertutup dan tangan terentang Remy berjalan ke arah mereka sambil berteriak dan berbicara dalam bahasa Spanyol. Padahal Remy tidak bisa berbahasa Spanyol. la dan suaminya berasal dari P. Luzon yang memakai bahasa llocano selain Tagalog.

Kemudian Remy terempas ke ranjang. Orang tuanya berusaha mengatur letak tubuhnya supaya lebih enak, tapi mereka tidak berhasil menggerakkan tubuh kecil itu. Sebagai dokter berpengalaman Joe tahu cara menangani pasien yang sedang tidak sadar. Namun, ia pun tidak bisa menggerakkan istrinya.

“Aku Teresita Basa," kata Remy dengan suara keras dan jelas. Bulu kuduk Joe berdiri, sebab Remy bukan berbicara dengan suaranya. 

"Mau ... mau apa ... Anda kemari?" tanya Joe terbata-bata. 

"Dr. Chua, aku ingin minta tolong. Mereka belum menindak orang yang membunuhku." 

"Bagaimana aku bisa menolong?" 

"Anda harus menolongku. Beri tahu polisi. Mereka akan percaya sebab Anda dokter." 

"Apa yang mesti kuberitahukan?" 

Suara yang keluar sekarang lebih lembut dan feminin, dan kemudian seperti orang menahan tangis.

"Seorang pria masuk ke apartemenku. la mencekikku dan ... menikamku dan ...." Kepala Remy terangkat dari bantal dan dengan nada kemarahan dari mulutnya terlontar teriakan: 

"Ayiii! Mama! Mama Ayudame por favor, Ayudame!”

"Teresita, aku ingin menolong, tapi tak tahu bagaimana," kata Joe memohon. 

"Beri tahu mereka, dr. Chua! Beri tahu mereka!" Tubuh Remy bergetar. Berangsur-angsur suasana di kamar ini tak menakutkan lagi. Joe memegang tangan istrinya yang kini sudah lemas. Teresita sudah pergi. 

"Nanang, (ibu, Red.) aku haus," kata Remy.

Joe membantu istrinya duduk di ranjang dan Guillerma datang membawakan air. 

Remy bertanya, "Ada apa sih? Kenapa aku, Joe? Ada apa?" 

"Enggak apa-apa," sahut suaminya. "Istirahatlah saja dulu, sayang!" 

"Remy kesurupan," bisik Vicente kepada menantunya setelah Remy tidur.

 

Tak ada yang percaya 

Kini setelah peristiwa itu, justru dr. Jose Chua jadi serba salah. Siapa yang mau percaya kalau istrinya kesurupan Teresita? Sebelum bertindak lebih jauh melaporkan kepada polisi, Jose memilih berkonsultasi dengan seorang psikiater. 

"Dr. Friedman," katanya hati-hati. "Saya menemukan kasus menarik. Seorang wanita kesurupan wanita lain yang dibunuh enam bulan lalu ...." 

"Waah, kasus orang yang merasa kesurupan sih banyak di departemen saya," dr. Friedmann lantar berbicara panjang-lebar tentang pelbagai pernah ditemuinya. Kesimpulannya cuma satu: mereka sinting.

Psikiater saja tidak percaya. Apalagi polisi, demikian pikir Joe. Belum lagi tenang pikiran Joe, dua hari kemudian Remy kesurupan lagi. 

"Dr. Chua, sudahkah Anda melapor ke polisi?" tanya suara asing dari mulut Remy. Joe mengaku belum. Alhasil, suara itu mendesak dengan nada marah dan juga hampir putus asa.

"Bagaimana aku bisa melapor kalau tidak ada buktinya," jawab Joe, seakan membela diri. 

"Bukti? Aku 'kan dibunuh." 

"Tapi oleh siapa dan bagaimana?" 

"Al membunuhku! Allan!" seru suara itu sampai seluruh ruangan terasa bergetar. "Ayiii, binatang!" 

"Coba ceritakan Teresita bagaimana kisah sebenarnya." 

"Aku membukakan pintu untuk Allan, lalu ia membunuhku." 

"Kenapa kaubukakan pintu?" 

"Dia 'kan temanku di rumah sakit.”

Saat itu Vicente, ayah Remy tak tahan lagi. la mengacung-acungkan tongkat panjang sambil berseru. 

"Ayo! Enyah roh! Jangan ganggu anakku!"

"Hei, kau orang tua! Kau tak bisa mengusirku. Dr. Chua beri tahu polisi! Beri tahu!" perintah suara itu sebelum meninggalkan Remy. Seperti biasa, setelah sadar, Remy merasa haus.

Ketika Remy merasa sudah mulai sehat, ia diantar suaminya ke rumah sakit. Atasannya marah karena Remy tidak masuk beberapa hari. Syukurlah, Joe berhasil meyakinkan atasan istrinya kalau memang Remy perlu istirahat beberapa hari. Pada saat mereka sedang berbicara, Allan Showery masuk. Remy serta merta memegang lengan Joe erat-erat sampai Joe kesakitan dan keheranan.

"Allan Showery," begitu atasan Remy memperkenalkan Joe kepada Allan. Tanpa sadar, Joe cepat-cepat mengalingi istrinya dari Al, seakan-akan menjadi perisai. 

"Joe, pulang yo!" ajak Remy.

Joe membawa istrinya ke dr. Terry Winograd. Menurut dr. Winograd, Remy mengalami gangguan psikis, bukan mental. Dr. Winograd percaya pada apa yang diceritakan Joe. Namun ia juga sependapat, kalau melapor ke polisi, bisa jadi Joe dikira kurang waras dan diberhentikan dari kantornya. Malah jangan-jangan Joe sekeluarga dipulangkan ke Filipina. 

Dalam perjalanan pulang, Joe berpikir akan menulis surat kaleng saja kepada polisi, memberitahukan Teresita Basa dibunuh oleh Allan, teman Teresita di rumah sakit.

 

Kesurupan lagi

Sebelum Joe sempat melaksanakan niatnya, Remy kembali kesurupan. Lagi-lagi suara yang mengaku Teresita bertanya apakah Joe sudah melapor ke polisi.

"Belum!" jawab Joe sambil mengepalkan tangannya erat-erat. "Kalau melapor, aku pasti disangka gila. Mereka tidak akan percaya kepadaku, Teresita."

"Dr. Chua, orang itu, Allan Showery, mencuri perhiasan saya dan diberikan kepada pacarnya yang sekarang hidup bersamanya." 

Allan Showery 'kan pria yang menakutkan Remy dan yang menurut Remy sering sesumbar pandai olahraga bela diri serta bekas tentara AS di Vietnam, pikir Joe.

"Bagaimana aku bisa mengenali perhiasan itu?" 

"Estupido (bodoh)!" teriak Teresita. "Jangan khawatir. Banyak yang bisa mengenalinya. Sepupu-sepupuku, Ron Somera, dan Ken Basa. Dua temanku, Richard Pessoti dan Ray King. Telepon mereka. Nomor telepon Ron 786- 4215."

Joe berteriak kepada putrinya yang sedang berdiri di pintu agar bergegas mencatat. 

"Aku membeli beberapa perhiasan itu di Prancis. Ada cincin yang merupakan hadiah ayahku untuk ibuku. Al mengambilnya. Mama! Ayiii! Mama!"

"Bilang ke polisi, Al datang untuk membetulkan TV-ku dan ia membunuhku dan membakarku! Bilang ke polisi! Bilang ke polisi! Alangkah sakitnya, Mama!" 

Air mata meleleh di pipi Vicente. Pria tua itu yang semula tidak percaya akhirnya berlutut berdoa.

"Nona, tinggalkan anakku, Nona. Kami akan menolong. Aku berjanji." 

Akhirnya, setengah putus asa Joe menelepon polisi. Hasilnya, Detektif Joseph Stachula datang mewawancarai suami-istri Chua. Pulangnya ia membuat laporan. Dari catatan polisi, ketahuan bahwa Allan Showery pernah berulang kali berurusan dengan pihak yang berwajib di New York City. Dua kali ia ditahan karena memperkosa. Korban diperkosa di apartemen masing-masing dan sebelumnya mereka sudah mengenal Allan Showery. Pada saat Teresita dibunuh, Al tinggal tidak jauh dari rumah korbannya.

Stachula dan Epplen mendatangi Allan Showery di tempat tinggalnya yang baru. Di hadapan polisi Al tampil penuh rasa percaya diri. Ketika Al diajak ke kantor polisi untuk "berbincang-bincang" soal kematian Teresita Basa, ia pun tidak keberatan.

Kepada Detektif Epplen, ia mengaku kenal baik dengan Teresita. Katanya, giliran dinas mereka bersamaan waktunya, dan rumah mereka berdekatan, sehingga mereka sering mengendarai bus yang sama. Tanggal 21 Februari pun mereka pulang bareng.

Akhirnya, Al pun mengaku, ia berjanji akan membetulkan TV Teresita malam itu, tetapi menyangkal datang dan membunuh Teresita. Keterangannya mengenai hal ini berbelit-belit dan berubah-ubah. Antara lain, ia tidak jadi datang karena sore itu harus membetulkan alat elektronik di rumahnya. Kalau tidak percaya, tanya saja Yanka, istrinya. 

Saat Al masih menyangkal di kantor polisi, Stachula mendatangi rumah Al untuk menanyai Yanka. Wanita itu polos. la mengaku bukan istri resmi. Al dan dia hanya hidup bersama. la mengaku diberi perhiasan pada bulan Februari atau Maret. Kata Al, hadiah Natal yang terlambat.

Menurut Yanka, Al tidak paham soal peralatan elektronik dan tidak pernah membetulkan peralatan itu di rumah. 

Stachula mengajak Yanka ke kantor polisi sambil membawa perhiasan-perhiasan pemberian Al. Lalu diteleponnya nama-nama yang disebutkan oleh Teresita lewat mulut Remy. 

Di kantor polisi, ketika Pessoti tiba dan melihat Yanka sedang duduk menunggu di ruang tamu, ia menarik lengan Stachula ke samping dan bertanya kepada detektif itu. 

"Lo, kok wanita itu memakai cincin Teresita?" 

Pessoti dan King, yaitu teman-teman Teresita, mengenali beberapa perhiasan lain yang dibawa Yanka. Perhiasan itu biasa dipakai Teresita. Sementara itu Ken Basa mengenali sebuah cincin yang dulu merupakan pemberian ayah Teresita untuk ibu Teresita. Sebuah liontin dikenalinya juga sebagai milik Teresita. 

Allan Showery mula-mula menyangkal bahwa perhiasan itu milik almarhumah Teresita Basa. Katanya, semua itu ia beli. Namun ia tidak mempunyai surat tanda pembeliannya. Akhirnya, ia mengaku juga bahwa memang itu perhiasan Teresita dan bahwa Teresita dibunuhnya. Katanya, ia butuh uang. Menurut teman-temannya, Teresita kaya. la percaya karena wanita itu memberinya persen lumayan besar kalau meminta pertolongannya.

Suatu kali Teresita mengeluh TV-nya rusak. Katanya, sudah dua kali TV-nya direparasi, tetapi rusak lagi. Al membual pandai membetulkan TV dan menawarkan jasanya. Teresita senang sekali dan meminta Al datang tanggal 21 Februari supaya pada hari berikutnya sudah bisa menonton pertunjukan Boston Philharmonic.

Al bercerita, sore itu ia dibukakan pintu oleh Teresita. Ketika Teresita sedang membelakanginya untuk menutup pintu kembali, ia mencekik wanita itu dengan gerakan haIf-nelson.

Cerita selebihnya kita sudah tahu. 

Tanggal 23 Februari 1979, dua tahun setelah tewasnya Teresita, di depan Hakim Barbaro, Allan Showery mengaku bersalah. la dijatuhi hukuman 14 tahun penjara untuk pembunuhan ditambah 4 tahun untuk perampokan bersenjata, dan 4 tahun untuk pembakaran. 

Seiring dengan masuknya Allan ke penjara, kehidupan keluarga Chua kembali tenang. Barangkali karena keinginannya sudah terpenuhi, Teresita Basa tidak penasaran lagi. (C. Mercado)





" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350520/jeritan-dari-liang-kubur" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530259000) } } }