array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3641242"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/hilangnya-si-anak-tunggal-ok_ehi-20230105041131.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(131) "Pasangan suami-istri melaporkan anaknya yang berusia 20 tahun telah hilang. Polisi mencari berdasarkan hobi si anak yakni otomotif."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/hilangnya-si-anak-tunggal-ok_ehi-20230105041131.jpg"
      ["title"]=>
      string(25) "Hilangnya si Anak Tunggal"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-01-05 16:11:50"
      ["content"]=>
      string(32711) "

Intisari Plus - Pasangan suami-istri melaporkan anaknya yang berusia 20 tahun telah hilang. Polisi mencari berdasarkan hobi si anak yakni otomotif.

--------------------

Pada hari Jumat, 23 Mei 1983 sepasang suami-istri petani di sebuah kota kecil bernama St. Pölten, Austria bagian selatan, dengan penuh emosi memasuki kantor polisi. Keduanya melaporkan lenyapnya putra tunggal mereka kepada sersan yang bertugas di bagian orang hilang.

Dengan kikuk suami-istri tersebut berdiri di hadapan meja petugas dan menolak untuk duduk, seakan-akan mereka orang penting. Si suami yang sudah beruban ini bernama Franz Reich (64), agak bungkuk, tetapi dari bentuk tubuh dan tonjolan otot-otot di lengannya masih memperlihatkan kekuatan seorang petani. Sedangkan istrinya, Christine, yang usianya 7 tahun lebih muda dari suaminya, kelihatan lebih tua, karena bentuk tubuhnya yang gembrot, pipi yang sudah kendur, dan dagu yang berlipat-lipat. Tanda-tanda itu merupakan ciri khas petani St. Pölten, yang terletak di dekat Sungai Danube. Pasangan suami-istri tersebut saat itu mengenakan pakaian hari Minggu mereka yang terbaik.

Sersan bertugas itu mencatat ciri-ciri putra pasangan itu. Namanya Rudolf Reich, lahir pada 7 Februari 1963, tinggi ± 180 cm, berat 84 kg, berambut dan bermata coklat. Ia terakhir terlihat di ladang ayahnya yang terletak di Herzogenburg Road, di luar Kota St. Pölten pada tanggal 19 Mei 1983.

“Ia sangat kuat,” kata Christine. 

Sejenak sang suami memandang istrinya tanpa berkata apa-apa. Wajah si istri langsung memerah.

 

Tergila-gila pada mobil

Pak sersan segera mengambil foto yang mereka bawa, dan langsung ditempelkan di formulir isian, lalu dimasukkannya ke dalam tempat kasus-kasus yang harus diselidiki. Sedangkan saat itu para petugas penyelidik sedang berakhir pekan. St. Pölten adalah sebuah kota kecil dengan penduduk hanya 50.000 jiwa. Karena itu kekuatan polisinya juga tidak besar.

Pada hari Senin pagi, salah seorang detektif bernama Peter Müller mengambil laporan itu. Selama hari-hari kerja minggu itu ia melakukan penyelidikan. Tapi sampai hari Jumat lagi, ia kembali dengan laporan belum berhasil menelusuri orang hilang itu.

Ketika laporan itu sampai di meja Inspektur Anton Grybek pada hari Senin pagi berikutnya, si Detektif dipanggil oleh atasannya dan ditanyai detil-detil penyelidikannya. Akhirnya, Anton Grybek mengambil alih kasus itu.

Anton memeriksa dengan cermat. Ia juga menanyai suami-istri Reich, Alfred König (45), pegawai mereka, semua tetangga yang tinggal sekitar 1 mil dari ladang Reich. Juga anak-anak muda seusia Rudolf yang sering bergabung dan pergi sekolah bersama pria itu.

Anton pun belum bisa menemukan alasan ke mana atau mengapa Rudolf tiba-tiba menghilang, tetapi ia berhasil mendapatkan keterangan tentang pemuda itu.

Pemuda ini sangat tergila-gila pada mobil dan ia menghancurkan tidak kurang dari lima buah di antaranya. Semua kecelakaan yang dialaminya terjadi karena kecepatan yang melampaui batas dan tidak mengindahkan kendaraan lain, sehingga perusahaan asuransi pun menolak untuk membayar. Saat menghilang, Rudolf tidak memiliki mobil karena SIM-nya dicabut setelah mengalami kecelakaan terakhir. Bagian lalu lintas menganggapnya sebagai ancaman bagi masyarakat.

Praktis mobil merupakan hal satu-satunya yang menarik bagi Rudolf. Ia diketahui tidak pernah melakukan kencan. Beberapa mantan teman sekolah pemah mendesaknya tetapi ia tidak pernah berbicara dengan seorang gadis pun. Tak seorang pun percaya bahwa ia seorang homoseksual.

Rudolf juga sering bertengkar dan berwatak buruk, terutama jika habis menenggak minuman keras. Ia bukan seorang jago berkelahi di bar, meskipun lawannya jauh lebih kecil dan lebih lemah daripada dirinya.

“Saya heran mengapa mereka mau bersusah payah mencarinya,” kata Inspektur yang bertubuh gemuk, bermuka bulat dengan kulit muka merah itu. Inspektur ini mengesankan bukan orang yang terlalu serius. “Atau apakah orang tuanya membutuhkan bantuannya untuk mengurus ladang?”

“Mereka bahkan tidak membutuhkan pegawai,” kata si Detektif. “Ladang mereka kecil saja, cuma seribu meter lebih.”

“Paling-paling hanya cukup untuk kebun,” kata Inspektur. “Tapi bagaimana mereka bisa hidup?”

“Mereka sangat miskin,” kata si Detektif. “Benar-benar miskin.”

“Baiklah, aku kira itu bukan urusan kita,” sambung Inspektur. “Apa pendapatmu mengenai apa yang mungkin terjadi pada anak itu?”

Sang Detektif kelihatan ragu-ragu. 

“Mungkinkah bisnis mobil,” katanya. “Ia sudah tidak punya SIM di sini. Jadi mungkin dia pikir, jika pergi ke Wina, ia bisa memperolehnya di sana. Di kota besar semuanya ‘kan serba mungkin. Atau ....” 

“Atau apa?” tanya Inspektur. 

“Saya mempunyai kesan ada sesuatu yang tidak beres dengannya,” kata si Detektif lebih lanjut. “Ia orang yang suka menyeleweng atau semacam itu, mungkin. Bukan menjerat para gadis ... Jika ia sendiri abnormal, di sini tidak banyak tempat bagi orang semacam dia, tetapi di Wina….”

“Pendeknya, menurutmu dia pergi ke Wina,” kata si Inspektur. “Baiklah. Aku akan menghubungi polisi Wina dan kita tunggu jika mereka bisa menemukan dia. Selidiki terus dan jangan kau tutup kasus ini.”

 

Tak ada di mana-mana

Sang Detektif mengambil file itu dan segera meninggalkan kantor. Ia sebenarnya tidak begitu suka menangani kasus ini. Yang pertama, kerja samanya dengan atasannya itu sangat merugikan prospeknya untuk memperoleh promosi menjadi sersan. Kedua, ia merasa ada intrik di balik sifat aneh dan hilangnya Rudolf Reich secara misterius.

Empat hari kemudian ia sekali lagi dipanggil ke kantor Inspektur. Polisi Wina telah melaporkan tidak berhasil menelusuri Rudolf Reich di ibu kota, dan Inspektur memintanya untuk mengecek berbagai transportasi umum untuk melihat mungkin seseorang memperhatikan Reich, ketika ia meninggalkan kota itu.

Sang Detektif menganggap itu bukanlah suatu tugas yang mudah. Meskipun St. Pölten kecil, tetapi tidak terlalu kecil bagi petugas kereta api di stasiun dan terminal bus untuk mengingat seorang pemuda yang tidak terlalu menarik perhatian sebagai Rudolf Reich.

Tapi ia ternyata kecele, karena petugas karcis di stasiun mengenal Reich dengan baik. Pasalnya, ia pernah sekolah bersama-sama Reich. Sementara itu petugas karcis di stasiun bus tidak mengenalnya. Tetapi karena terjadi pemogokan sopir, tidak ada bus yang keluar dari St. Pölten antara tanggal 15 dan 25 Mei.

“Mungkin ia berangkat ke Wina naik sepeda,” kata Inspektur sambil mempelajari hal itu. “Artinya, ia masih ada di sini.”

“Ia bisa saja ikut liften (nebeng kendaraan orang),” kata Peter Müller lebih lanjut. Detektif ini termasuk bertampang lumayan ganteng, berambut pendek, berpakaian rapi, berusia 35-an, dan ayah dua orang gadis cilik yang bahagia. Peter Müller adalah seorang perwira polisi karier.

“Bagus sekali,” kata Inspektur gembira. “Kita lihat jika kau dapat menemukan bukti-bukti mengenai itu.”

Müller meninggalkan kantor dengan perasaan sedikit kurang gembira. Tugas-tugas yang diembannya semakin hari semakin sulit. Bagaimana ia mengharap bisa menemukan satu dari 50.000 penduduk St. Pölten yang ikut liften pada satu atau beberapa hari? 

Akhirnya, Müller sampai pada kesimpulan bahwa dalam hal ini ia tidak benar-benar merasa putus asa seperti kesan semula. Ia yakin betul akan hari di mana Reich menghilang dan Müller mengira bahwa Reich sedang dalam perjalanan menuju Wina. Artinya, menggunakan National Route E5, jalur untuk motor yang membentang dari Wina di Timur ke perbatasan Jerman di barat. Dari St. Pölten menuju Wina, ada jalan alternatif lain yang membentang sejajar dengan jalan tol, tetapi Reich mungkin memilih jalur untuk motor yang lebih ramai.

 

Petugas stasiun kenal

Müller segera menuju ke ujung kota itu, mendekati jalur untuk motor tadi. Reich akan terlihat berjalan kaki atau ia akan menggunakan bus kota sampai ke perhentian terakhir. Ternyata di sana hanya ada bus antarkota yang menganggur karena terjadi pemogokan.

Stasiun itu penuh sesak di dekat pintu masuk dan para penumpang berdiri di samping jalan, sepanjang 27 meter. Müller mencoba berpakaian aneh dan menggendong gitar. Tampaknya ia kurang beruntung untuk mendapat tumpangan.

“Tunggu di situ 1,5 jam,” kata petugas stasiun. “Ia tidak akan pernah mendapat tumpangan. Orang pasti berpikir ia sedang teler.”

Sebuah sedan Mercedes berjalan dengan perlahan dan sampai di tempat perhentian di seberang orang-orang yang sedang menunggu tumpangan, yang segera berlari menghampiri, bicara pendek pada sopir melalui jendela yang terbuka, dan segera naik. Mobil itu segera meluncur dan menghilang dengan kecepatan tinggi menuruni jalur motor.

“Sialan!” umpat petugas stasiun di situ dengan muak. 

“Setiap menit datang satu,” kata Müller dengan bijaksana. “Apakah kebanyakan dari mereka menunggu di sebelah sana?”

“Semuanya,” kata petugas itu. “Mereka berusaha menggunakan segala cara untuk bisa memperoleh tumpangan. Pergantian lampu lalu lintas terlalu cepat.” 

“Tapi saya kira Anda bisa memperhatikan mereka dengan jelas sebelum mereka memperoleh tumpangan,” kata Müller.

“Sangat jelas,” kata si petugas. “Sebenarnya, di sini tidak banyak yang harus dikerjakan. Apa yang Anda inginkan darinya? Apakah ia merampok seseorang atau sesuatu?”

“Saya tak menginginkannya,” kata Muller. “Orang tuanya yang menginginkan dia. Mereka tidak tahu ke mana ia pergi.”

“Apakah Anda mempunyai fotonya?” tanya si petugas lebih lanjut. “Saya tak akan melupakan wajah seseorang. Kapan hal itu terjadi?”

“Kira-kira 2 minggu yang lalu, hari Kamis atau Jumat,” kata Muller, seraya memperlihatkan foto Rudolf Reich.

“Astaga. Bukankah ini Rudolf Reich?” tanya si petugas. Dulu saya teman sekolahnya. Pekerjaan yang kotor. Mengapa orang tuanya menginginkan dia kembali?”

“Mereka mencintainya,” kata si Detektif. “Apakah dia juga mencari tumpangan dari sini?”

“Tidak, kecuali pada tengah malam,” kata si petugas. “Saya tak pernah melihatnya.”

Müller kembali ke kantor, mempertimbangkan berbagai kemungkinan kejadian yang sebenarnya di sebuah masyarakat kecil Karena di kota itu hanya ada satu sekolah lanjutan atas, bisa dipastikan setiap orang yang melanjutkan sekolah pernah satu sekolah dengan orang lain, tetapi meskipun demikian ....

Inspektur Grybek rupanya tidak sependapat dengan Müller. 

“Baiklah, selesaikan masalah ini,” katanya. “Merupakan alasan yang baik untuk mempercayai Rudolf Reich belum meninggalkan St. Pölten.”

“Apakah kita akan menutup kasus ini?” tanya Müller dengan rasa kecewa.

Tampaknya penyelidikan kasus ini belum akan segera diakhiri, meskipun Müller tahu banyak kasus yang diakhiri karena persoalan tata krama.

“Belum,” jawab Inspektur dengan cepat. “Jika Reich masih berada di St. Pölten, ia telah lenyap, tampaknya ia dibunuh. Atau mengalami kecelakaan yang aneh. Saya ingin kau menyelidikinya. Gunakan siapa atau fasilitas apa yang kau butuhkan, tetapi camkanlah bahwa kita tidak mau mengeluarkan biaya habis-habisan.”

 

Dapat uang dari mana?

Müller meninggalkan kantor dengan gembira. Kemajuan dalam kasus ini sangat lambat, karena kekuatan polisi di kota ini sangat kecil, sementara kasus-kasus yang harus diselidiki biasanya mencakup penyerangan, perampokan, pencurian, kadang-kadang perkosaan atau percobaan perkosaan. Sekarang tiba-tiba ia harus menyelidiki suatu kasus yang mungkin berkaitan dengan pembunuhan. Meskipun belum bisa dipastikan suatu pembunuhan, kasus ini cukup sulit bagi Müller atau setidak-tidaknya ia harus membuat kasus ini lebih menarik.

Tapi bagaimanapun, setelah makan tar apel dan secangkir kopi di kantin kantor polisi sambil memikirkan kasus itu, Muller tetap merasa buntu dan tak tahu harus mulai dari mana. Segala hal yang bisa dikerjakan dalam suatu penyelidikan pembunuhan telah dilakukannya dalam kasus hilangnya seseorang.

Memulainya dari awal lagi? Atau menanyai kembali setiap orang untuk kedua kalinya? Tapi percuma saja, karena tak seorang pun dari mereka yang ditanyai bisa dicurigai membunuh Rudolf Reich. 

Mungkin Müller harus mencari alasannya. Sampai saat ini masih ada satu hal yang belum dilakukan, karena diduga Reich masih hidup. Tapi jika sekarang diduga bahwa Reich telah ... mati?

Semua itu memang baru dugaan. Dalam kasus ini tidak ada satu fakta pun yang kuat, selain kenyataan bahwa Reich hilang. Mungkin dia sudah meninggal. Atau mungkin juga dia ada di sebuah tempat lain di Austria. la bisa berada di mana saja di dunia. Tidak ada bukti, indikasi, atau apapun.

Selain itu adalah hal lain. Keluarga Reich sangat miskin. Seribu meter persegi tanah bahkan tak akan cukup untuk menghidupi mereka, apalagi untuk menggaji pegawai. Rudolf tidak pernah punya pekerjaan. Bagaimana dia mampu bepergian ke mana saja? la pasti tidak punya uang.

Kecuali, tentu, jika ia mencuri uang.

Müller pergi ke bagian pendataan dan meminta selembar printout komputer mengenai kasus-kasus pencurian, perampokan yang terjadi pada pertengahan Mei sampai saat itu. Tapi antara waktu itu sama sekali tak ada kasus tersebut. Tingkat kriminalitas di St. Pölten sangat rendah.

Satu-satunya kemungkinan yang tersisa adalah bahwa sudah terjadi suatu pencurian tetapi belum dilaporkan. Mungkin karena pihak yang terluka sampai kini belum sadar. Hal itu sangat mungkin, tetapi teori mengenai kecelakaan ataupun pembunuhan tampak mirip.

Baiklah, sekarang diasumsikan saja terjadi suatu kecelakaan. Tetapi di mana dan bagaimana hal itu terjadi? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu diketahui lebih banyak mengenai kegiatan dan gerak-gerik Rudolf Reich.

Müller mencoba untuk menelusurinya dan sadar bahwa hal itu sangat mudah. Rudolf sibuk dengan berbagai macam, kegiatan dan jarang pergi ke mana-mana sejak SIM-nya dicabut. Yang paling sering, Rudolf berada di garasi atau etalase agen mobil. Jika punya uang, yang sering kali mengejutkan, ia pergi ke salah satu dari dua kedai minuman. Ia tidak pernah mengajak orang lain minum.

Itulah semua yang bisa diperoleh Müller untuk mempelajari anak muda berusia 20 tahun yang tergila-gila pada mobil, tidak punya pekerjaan dan SIM. Satu-satunya hal yang harus diperhatikan adalah uang. Di mana Rudolf memperolehnya?

 

Mungkin terlibat jaringan narkotika?

Yang jadi masalah, di mana ia memperoleh uang untuk membeli mobil-mobil itu? Meskipun semua mobil itu adalah mobil bekas, tetapi tetapi ada harganya, sementara Rudolf tidak punya pemasukan sama sekali.

Untuk pertama kalinya detektif kelas satu Peter Müller mulai merasa dia sedang menuju ke suatu sasaran.

Rudolf punya beberapa sumber uang, tapi bukan dari orang tuanya ataupun hasil kerjanya. Di St. Pölten, hampir segala hal bisa jadi ilegal. Hal itu disebabkan karena ia melakukan sesuatu yang ilegal, telah dibunuh, atau setidak-tidaknya hilang.

Müller hanya bisa memikirkan satu hal: narkotika. Hal apa lagi yang legal ataupun ilegal tapi bisa menghasilkan uang tanpa harus bekerja?

Di pihak lain, St. Pölten tidak banyak mengalami masalah narkotika, sejauh yang ia tahu, dan di mana Rudolf memperoleh barang itu? Bukankah para gangster besar beroperasi di luar Wina? Apakah mafia?

Segala hal mulai memusingkan Müller, meskipun sedikit aneh. Gangster besar yang bagaimana yang tertarik pada St. Pölten? Dari menjalankan bisnis narkotika yang menguntungkan, cukup uang untuk mengusahakan sebuah bioskop di kota.

Itulah yang baru bisa dipikirkannya dan ia mengungkapkan kecurigaannya kepada Inspektur Grybek, yang segera mempertimbangkan hal itu. Menurut Grybek, hal itu mungkin saja terjadi. Ia menyuruh Müller untuk berbicara dengan petugas di bagian narkotika.

Müller tercengang, karena ternyata di St. Pölten terjadi lebih dari satu masalah narkotika seperti yang dibayangkannya semula. Karena jaringan internasional yang demikian mudah, banyak anak muda yang mengikuti tren menggunakan barang terlarang ini.

Banyak anak muda St. Pölten yang terjerat di dalamnya dibandingkan dengan yang bisa melepaskan diri dari masalah narkotika ini.

“Anda mencari siapa?” tanya sersan di seksi narkotika itu. “Jika dia jadi pengedarnya, Anda pasti tahu.”

“Rudolf Reich,” kata Müller. “20 tahun. Alamat terakhirnya, ladang keluarga Reich yang terletak di sebelah utara kota. Ia lenyap sejak tanggal 19 Mei.”

Sersan tersebut segera menyalakan terminal komputernya.

“Tidak ada data,” katanya. “Artinya, orang tersebut tidak pernah menggunakan barang itu lebih dari 1 gram di St. Pölten. Apa yang membuat Anda berpikir dia melakukan hal itu?”

“Oh, cuma dugaan,” jawab Müller dengan putus asa. “Terima kasih.”

Müller segera meninggalkan kantor, tetapi ia ia berhenti sebentar di pintu.

“Apakah bisnis narkotika di sini banyak menghasilkan uang?” tanyanya.

‘‘Hanya sedikit,” jawab sersan itu dengan acuh tak acuh. “Mungkin Anda bisa melakukan hal lain yang lebih baik.”

“Saya tidak memikirkan diri sendiri,” kata Müller sambil menutup pintu. Müller sedang segan menanggapi lelucon itu. Tampaknya kasus ini semakin misterius daripada sebelumnya.

 

Ladang sebagai sasaran terakhir

“Saya tidak merasa ada kemajuan,” kata Müller kepada Inspektur. “Semua yang terjadi membuat saya semakin bingung. Saya tidak pernah mengalami hal ini seperti yang terjadi pada Rudolf Reich atau apa pun yang menimpa dia.”

“Kau tidak lebih buruk daripada aku sendiri,” kata Inspektur, “tapi jangan khawatir. Aku tidak mengharapkan kau memecahkan masalah ini dalam waktu sehari.”

“Saya tak akan bisa memecahkan kasus ini,” kata Müller dengan suara sedih.

“Tidak pernah adalah suatu jangka waktu yang lama,” kata Inspektur. “Bahkan bagi seorang pegawai sipil. Kita akan mencoba jalur lain sekarang. Cukup beralasan untuk percaya bahwa sesuatu yang fatal telah menimpa Reich. Kita akan mulai mencari mayatnya.”

“Di mana?” tanya Müller dengan rasa heran. 

“Di tempat terakhir kali dia terlihat. Di ladang ayahnya,” jawab Inspektur.

Saat itu sudah minggu pertama Juni, ketika kelompok itu memulai pencarian di sekitar ladang Reich. Kelompok kecil yang hanya terdiri atas beberapa orang ini bekerja dengan lamban. Seperti pernah dikatakan oleh Inspektur, dana polisi tidak akan dikerahkan habis-habisan.

Kelompok pencari ini bergerak lambat karena banyak semak-semak, tanaman jeruk yang masih kecil, jurang, kolam, sumur tua, dan tempat-tempat yang mungkin digunakan untuk menyembunyikan mayat. Semua tempat itu harus diperiksa dengan hati-hati.

Dalam keadaan normal sebenarnya kelompok ini harus terdiri atas lebih banyak orang, seperti para sukarelawan yang merupakan teman-teman si orang yang hilang dan tetangga. Karena sedikitnya tenaga untuk menemukan Rudolf Reich, kelompok pencari ini harus mengerahkan regu pemadam kebakaran yang sedang libur dan polisi.

Peter Müller tidak ambil bagian dalam pencarian itu. Terdorong oleh optimisme Inspektur yang tertahan, Müller melanjutkan penyelidikan sesuai dengan keyakinan bagian yang menangani masalah narkotika bahwa Rudolf Reich tidak terlibat dalam perdagangan narkotika.

 

Menjual tanah untuk membeli mobil

“Tidak perlu diragukan,” kata Müller kepada Inspektur. “Keluarga Reich telah menjual ladang mereka untuk membayar mobil-mobil anaknya. Pada awalnya mereka memiliki 1,2 ha ladang dan setiap kali Rudolf membeli sebuah mobil baru, ladang itu makin menyusut. Tanggal bon penjualan ladang itu sama persis dengan tanggal pembelian mobil-mobil tersebut.”

“Aku sulit percaya,” kata Inspektur. “Seorang petani Austria akan menjual segalanya di dunia ini, tapi bukan tanahnya. Kau dapat menyiksa mereka sampai mati, tapi mereka tidak akan pernah mau berpisah 1 cm pun dengan tanahnya.”

“Tetapi keluarga Reich melakukan hal itu,” kata Miiller, “dan aku pikir ini ada hubungannya dengan lenyapnya pemuda tersebut. Sulitnya, aku tidak tahu apa masalahnya.”

“Begitu pun aku,” kata Inspektur, “tetapi mungkin kita memiliki suatu petunjuk jika kita menemukan mayatnya.”

Inspektur menjadi yakin bahwa Reich telah dibunuh, dan dengan optimismenya seperti biasa, ia juga yakin akan menemukan mayat pemuda itu.

Sementara itu Müller merasa agak pesimistis, tapi ternyata ia salah. Sementara ia memikirkan kekuatan apa yang mendorong keluarga Reich untuk menjual tempat mata pencaharian mereka, salah seorang anggota kelompok pencari itu muncul dengan wajah penuh kecurigaan bahwa di suatu sudut ladang yang pernah menjadi milik keluarga Reich ada sesuatu.

Ketika digali, pertama kali mereka menemukan tanda salib, kemudian sebuah peti mati dari kayu kasar, yang berisi mayat Rudolf Reich.

Kemudian diketahui bahwa Rudolf sudah meninggal hampir tiga minggu lalu. Mayatnya dalam keadaan rusak, tetapi masih bisa dikenali. Pada waktu mayat itu diidentifikasi, kedua orang tuanya berusaha menghindar, sampai akhirnya mengaku bahwa merekalah yang mengubur Rudolf di situ. Sedangkan segala keperluan penguburan itu dilakukan oleh pegawai mereka, Alfred König.

 

Ibunya disiksa

Ketika ditahan dan ditanyai secara terpisah, suami-istri Reich dan Alfred König menceritakan hal yang sama, yang dipercaya oleh polisi karena mereka merasa agak aneh bisa dikelabui oleh petani yang sama sekali tidak canggih.

Dugaan Detektif Müller ternyata benar. Ada sesuatu yang tidak beres pada Rudolf Reich. Meskipun ia kelihatan tenang, memiliki orang tua yang baik, tapi karena ada ketidakberesan dalam gen, ia mempunyai kebiasaan buruk yang sadis, yaitu merasa bahagia jika menyakiti orang lain. 

Bagaimanapun, menyakiti orang lain jarang bisa dinikmati tanpa suatu tingkat risiko pribadi dan Rudolf adalah seorang pemberani. Rudolf adalah pemuda yang sangat frustrasi. Ia sering menyakiti tapi takut untuk disakiti.

Sampai akhirnya ia sadar, sekurang-kurangnya ada satu orang di dunia ini yang bisa ia sakiti tanpa takut untuk dibalas. Orang tersebut adalah ibunya sendiri!

Penemuan ini merupakan suatu “anugerah” sekaligus pelepasan bagi Rudolf. Terutama ketika ia juga sadar bahwa ayahnya juga tidak akan mungkin menghentikannya.

Bertolak dari itulah Christine Reich dijadikan sasaran siksaan dan penghinaan. Christine dipukuli dengan cemeti lembu, ditendang, ditonjok, didorong ke lantai. Yang lebih buruk dari itu, Christine yakin putranya sudah benar-benar gila.

Begitu pula anggapan Franz. Franz menjual ladangnya sepetak demi sepetak dalam usaha untuk menenangkan Rudolf. Ternyata hal itu hanya membuatnya menjadi sasaran kekejaman lebih Ianjut.

Akhirnya, pada tanggal 19 Mei, setelah mengalami siksaan putranya, Christine tidak bisa bangun lagi.

Sambil merayap dengan pakaian setengah kedodoran, Christine menuju ke gudang. la menaiki tangga ke tempat penyimpanan padi, mengikatkan tali ke lehernya untuk menggantung diri. Alfred sering melihat siksaan dan pukulan yang dialami Christine. Alfred bisa menduga apa maksud Christine dan ia mengikuti wanita itu ke gudang, sehingga berhasil menyelamatkan majikannya.

Setelah Franz dan Alfred berembuk, disepakati bahwa keadaan itu tidak bisa dibiarkan berlanjut lebih lama lagi. 

Salah seorang dari mereka tidak berusaha mencari pertolongan dokter atau menghubungi pihak yang berwenang. Rudolf menjadi ancaman yang tidak bisa diterima. Ia harus disingkirkan. 

 

Alfred si tukang jagal

Alfred König-lah yang dipilih untuk melakukan hal itu. Pertama, dia paling muda dan paling kuat. Kedua, ia tidak punya hubungan apa-apa dengan Rudolf. Yang terakhir, Alfred ahli dalam melakukan hal seperti itu, karena ia tukang jagal sapi.

König tidak keberatan melakukan hal itu. Karena posisinya sebagai pegawai keluarga tsb., ia menerima keputusan itu tanpa bertanya apa-apa.

Ia segera pergi untuk mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkannya, seperti mengasah kapak dan pisau untuk pemotong hewan.

Peralatan jagal itu sudah disiapkan di atas bangku dapur ketika si korban datang dan langsung berusaha membuat ibunya tidak berdaya.

Ketika segala persiapan, termasuk plastik untuk menutupi lantai dan bak mandi untuk menampung darah sudah siap, ia dengan enteng mengayunkan kapak dan merobek kepala korban dengan sekali pukulan.

Tentu saja korban langsung tewas, tetapi König hanya tahu satu cara untuk menjagal, sehingga ia pun memotong leher Rudolf. Kedua orang tua Rudolf tidak hadir pada waktu pembunuhan, tetapi mereka datang kemudian untuk memandikan jenazah anaknya dan memasukkannya ke dalam peti mati, yang segera dipaku oleh Franz dan Alfred. Peti mati itu kemudian dibawa ke ladang dan dikubur setelah diberi tanda salib di bagian atasnya.

Ketiga tertuduh itu mengaku, apa yang mereka lakukan itu suatu pembunuhan, perbuatan ilegal, dan mereka berusaha menyembunyikan tindak kriminal itu. Menurut mereka, mereka tidak punya pilihan lain. Kalau tidak, Rudolf bisa membunuh mereka.

Meskipun tidak langsung menerima begitu saja apa yang telah mereka lakukan untuk mempertahankan diri, tetapi pengadilan mempertimbangkan banyak hal yang meringankan mereka.

Pada tanggal 2 Maret 1984, Franz dan Christine Reich masing-masing memperoleh ganjaran hukuman 2 tahun penjara dengan tuduhan menyuruh membunuh putra mereka. Sementara Alfred König yang melakukan pembunuhan, atas permintaan majikannya, dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. (John Dunning)

Baca Juga: Dendam Masa Lalu

 

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553641242/hilangnya-si-anak-tunggal" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672935110000) } } }