array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3350454"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/diceraikan-oleh-koin_anton-mishi-20220629071416.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(154) "Meski sudah menikah bertahun-tahun dan pisah ranjang, James dan Nina tidak bercerai. Tanpa disadari, keduanya saling mengharapkan kematian satu sama lain."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/diceraikan-oleh-koin_anton-mishi-20220629071416.jpg"
      ["title"]=>
      string(25) "Diceraikan oleh Koin Maut"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-29 19:15:09"
      ["content"]=>
      string(24056) "

Intisari Plus - Meski sudah menikah bertahun-tahun dan pisah ranjang, James dan Nina tidak bercerai. Suatu hari, kedua suami istri ini menginap di hotel untuk menghadiri upacara pernikahan. Tanpa disadari, keduanya saling mengharapkan kematian satu sama lain.

------------------

Seperti kesan yang terlihat dari luar, hotel itu memang amat sederhana. Meski udara luar yang dingin leluasa memasuki kamar, hotel ini sama sekali tidak menyediakan alat pemanas. Begitu pula fasilitas standar, seperti lift pun tidak ada. Sehingga para tamu setengah dipaksa untuk berolahraga setiap kali menaiki tangga ke lantai berikutnya. 

Apa boleh buat, pasutri James Armadale dan Nina tidak punya pilihan lain. Maklum, hampir semua hotel, losmen, atau penginapan di kota ini sudah penuh.

Segera setelah check-in, resepsionis yang sekaligus merangkap manajer hotel mengantar pasangan suami-istri itu ke kamar no. 213 di lantai dua.

"Kecil sekali kamarnya!" komentar Nina Armadale. 

"Ya, hanya ini kamar dengan dua tempat tidur yang masih tersisa, Nyonya!" kata sang manajer. 

Tanpa disadari Nina berucap, "Ya, tapi saya bersyukur tempat tidurnya ada dua."

Entah bagaimana reaksi sang manajer, yang jelas James Armadale agak kaget mendengar komentar sang istri. la sempat mengerling sejenak wajah istrinya yang justru cerah. Yang dilirik tampak tidak peduli. Nina melangkah menuju jendela dan memandang ke jalan-jalan kecil yang ada di bawah. 

Dentang lonceng katedral terdengar lima kali. Nina langsung membayangkan apakah dentang itu akan selalu terdengar setiap jam, atau bahkan seperempat jam. "Hm, untung aku membawa pil tidur!" Ingatannya melayang ke pil-pil yang dibawanya dari rumah.

Lamunan Nina terputus oleh kata-kata sang manajer hotel. "Sekali lagi maaf, kamar kami penuh semua karena besok pagi ada perhelatan besar di katedral. Putri Sir William Tarrant akan menikah dan undangan yang disebar agaknya amat banyak. Sebagian besar justru datang dari luar kota." 

"Kami sudah tahu. Untuk itulah kami datang ke sini," James Armadale cepat menimpali.

"Syukur, Anda mengerti kesulitan kami. Baiklah, akan saya tunjukkan kamar mandi di sebelah kanan. Santap malam disediakan pukul 19.30, dan sarapan pukul 08.00 - 09.00. Oh, saya juga hendak menjelaskan pada Nyonya tentang cara menyalakan gas," kata manajer hotel lagi. 

"Tidak perlu! Saya bisa menyalakannya!" tukas Nina cepat-cepat karena ia tengah sibuk mencoba menutup pintu lemari pakaian yang tadinya susah dibuka.

Sia-sia manajer hotel membujuk Nina untuk mendengarkan penjelasannya. Menyadari tamu perempuannya tidak tertarik pada penjelasannya, ia pun berpaling pada James. 

"Saya akan menerangkan cara menyalakan gas. Putar tombol ke kiri, masukkan koin ke slot, kalau sudah terdengar bunyi ‘kling’, putar tombol ke kanan." James mengucapkan terima kasih kepada sang manajer yang kemudian berlalu meninggalkan kamar.

 

Maut memisahkan kita

Belum lagi pintu tertutup, Nina langsung mencecar James dengan omelannya. 

"Kenapa kita harus menginap? Kenapa tidak pergi besok saja?" 

"Alasannya banyak, Nina. Yang jelas, aku tak suka menempuh perjalanan sejauh 150 mil di pagi buta sambil memakai mantel tebal dan topi penahan dingin!" kata James santai.

"Oh, padahal kalau ada hasrat, kau bisa luntang-lantung pagi-pagi buta di hari Sabtu, 'kan!" balas sang Istri dengan ketus

"Sudahlah Nina, jangan kita bertengkar lagi! Marilah berdamai setidaknya untuk semalam ini. Sir William Tarrant adalah atasanku dan kita mendapat kehormatan diundang ke pesta pernikahan putrinya!" kata James sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. 

Tapi Nina rupanya tak bisa menerima kata-kata suaminya. "Huh, apa pendapat Sir William Tarrant jika ia melihat kepala bagian pemasarannya tukang mabuk?"

"Ia tidak tahu aku pemabuk. Yang tahu cuma kau dan itu hak istimewamu!" kata James kalem. 

Mendengar jawaban James yang tenang, Nina makin panas. "Ya, untukmu semua tempat tak jadi masalah, biarpun hotel ini pakai pemanas gas butut dan kamar mandinya jelek! Yang penting buatmu adalah bar, tempat minum-minum! Aku tidak mau berbagi tempat tidur dengan orang menjijikkan macam dirimu!" Yang dimaki-maki tenang-tenang saja.

“Atau kau memang sudah merencanakan semua ini? Kau pikir aku bisa tergiur melihatmu berganti pakaian, sekamar denganmu! Oh, James, ingat kita sudah dua tahun pisah kamar! Jangan pernah bermimpi macam-macam," kata Nina lagi dengan sengit.

James berusaha menjelaskan bahwa ia tak bermaksud macam-macam dengan memesan kamar di hotel kelas teri ini. Semua itu dilakukannya karena keadaan terpaksa.

"Aku masih ingat kau uring-uringan ketika aku minta pisah kamar. Setelah itu kau memacari Frances! Aku tak akan pernah melupakan dan memaafkanmu! Kalau bar itu tutup kau pasti pura-pura tidur di sebelahku!" kata Nina dengan nada makin meninggi.

"Tidak, Nina, aku berjanji tidak akan mengusik dan memacari wanita lain!" kata James putus asa. "Marilah kita berdamai. Bukankah kita akan 'hidup bersama'?"

“Harusnya kau memikirkannya dulu sebelum melakukan penyelewengan!" jawab Nina ketus. 

"Ya, tapi itu 'kan tiga tahun yang lalu. Kau pun harus tahu alasan aku melakukannya. Aku masih muda saat itu, usiaku baru tiga puluhan! Aku tak tahan hanya boleh menyentuhmu enam kali dalam setahun!" kata James seperti mengeluh.

Nina berbalik ke jendela dan membukanya lebar-lebar. Sambil menghirup udara segar ia pun berucap, "Aku tak peduli apa alasanmu! Tapi, aku tak akan pernah mau kau sentuh meskipun kita akan tetap bersama! Kau tahu kenapa? Karena telah telanjur menikah, kita tak akan pernah bercerai sampai maut memisahkan kita!"

James diam tak menjawab. la bangkit dan berjalan menuju pintu. "Aku mau mencari uang koin untuk bisa menyalakan pemanas gas!" katanya.

Nina termanggu sendirian di kamar hotel yang sempit dan dingin. Matanya nanar menatap dinding. Pikirannya melayang pada kata-kata yang diucapkannya sebelum James meninggalkan kamar, "Sampai maut memisahkan kita!”

Semestinya, kehidupan rumah tangga pasangan ini bisa harmonis, bahkan mungkin bisa menjadi contoh bagi pasutri lain. Betapa tidak? Sebagai wanita, Nina berwajah cantik menawan. Kapasitasnya sebagai ibu rumah tangga pun tak diragukan. 

Kalau ditanya soal rasa cinta pada sang suami, maka tak bisa ditawar lagi. Cintanya murni seratus persen. Begitu pula sang Pria, James Armadale yang berperawakan gagah dan tampan. Bagi James, tak ada wanita lain yang bisa menggantikan tempat Nina di hatinya.

Masalah kecil tapi besar yang menjerat pasutri ini adalah soal "hubungan suami-istri". Tanpa mengurangi secuil pun kadar cintanya kepada sang Suami, Nina tak begitu "mampu" memberikan yang satu ini seperti layaknya istri kebanyakan. Bukan hanya terhadap James, tapi terhadap semua lelaki. Itu seharusnya disadari James dari dulu.

Dengan pegangan janji nikah di depan pendeta, James bersedia menerima kondisi wanita pilihannya seperti apa adanya, rumah tangga pasangan ini berjalan dalam kebahagiaan dan ketenteraman seperti air danau yang tenang. Toh, nyatanya peribahasa ... tak ada gading yang tak retak ... berlaku pula dalam rumah tangga James - Nina. 

Yang jelas Nina berubah menjadi garang dan pemarah ketika mendengar selentingan James punya WIL (wanita idaman lain) bernama Frances. James keliru jika menyangka Nina tak akan pernah marah atau peduli dengan siapa ia bisa "tidur".

Kemarahan Nina yang meletup-letup tak terbayangkan olehnya. Seperti singa luka, Nina memberi serangan balasan. la menuntut pisah kamar dan tak akan pernah "melepaskan" James. Padahal, James telah lama melupakan Frances dan tak pernah berhubungan dengan wanita mana pun. Sebagai gantinya James lari ke minuman!

 

Aku ingin lepas darimu

Malam pukul 20.00 Nina turun ke bawah. Pasangan ini bertemu lagi di meja makan untuk santap malam. James sudah separuh mabuk setelah menenggak setengah gelas minuman keras. Begitu ada Nina, ia malah memesan sesloki Burgundy lagi sehabis makan sup dan daging kambing panggang.

"Aku ingin tahu, mengapa kau minum begitu banyak?" tanya Nina bisik-bisik. 

"Untuk menghilangkan kepedihan hati! Alasan klasik, ya? Tapi, itu tepat untuk kasusku!" jawab James.

Ruang makan saat itu dipenuhi tamu-tamu paruh baya seperti mereka dan orang-orang yang lebih tua. Tampaknya kehadiran Nina dan James menarik perhatian mereka. 

James merasa semua mata memandang mereka berdua. Dari segi lahiriah, mereka berdua memang serasi. Yang pria tampan, sedangkan yang wanitanya rupawan. Tapi tak ada yang tahu apa yang terjadi di balik semua itu. 

"Nina, kita tak bisa terus-terusan begini. Ini tidak fair. Kita menghancurkan diri kita sendiri. Kita harus menyelesaikan masalah ini," bisik James.

"Pilih waktu yang tepat, James! Aku tak mau membahas masalah kita saat ini," suara Nina kedengaran begitu perlahan, berbeda sekali dengan Nina yang ada di kamar hotel sebelumnya. Matanya memandang sekeliling dengan takut-takut.

James yang diperingati istrinya malah merasa beruntung. Jika mereka berbicara di depan umum, Nina pasti tidak berani berteriak histeris. la pasti akan lebih bisa mengendalikan diri. 

"Kau mabuk, James!" kata Nina.

"Tidak, Nina, aku tidak mabuk! Sekarang, dengarkanlah aku. Kau sering mengatakan kalau kau tak mencintaiku dan aku pun tidak mencintaimu lagi. Mengapa kita tidak berpisah saja?”

"Oh, begitu. Dengan demikian kau akan leluasa membawa pelacur-pelacurmu ke rumah!" 

"Tidak! Kau akan memperoleh rumah itu. Pengadilan akan memberimu sepertiga dari penghasilanku, atau setengahnya jika kau menginginkannya!" kata James. Dalam hatinya ia ingin meneruskan kata-katanya dengan kalimat "asal aku lepas darimu". Namun kalimat itu terlalu provokatif. James merasa dirinya begitu dungu.

Namun yang membingungkan, meskipun itu yang diinginkan James, Nina kelihatan begitu tenang. Suaranya pelan dan emosinya begitu terkendali, biarpun kata-katanya yang meluncur dari bibirnya tetap sama, "Jika kau meninggalkan aku, aku akan mengikutimu. Aku akan pergi ke kantormu dan melaporkannya pada atasanmu. Aku akan duduk di depan tangga rumahmu. Aku tak mau disingkirkan, kalau sampai begitu lebih baik aku mati. Aku tak mau menjadi wanita yang dicerai hanya karena kau sudah tak suka padaku lagi."

"Namun bila tingkah lakumu masih seperti ini, kau akan menjadi janda," kata James lagi.

Kalau saja mereka berbicara di rumah, pasti Nina sudah berteriak. Namun, saat itu Nina hanya memandang suaminya sambil tersenyum kecil. Orang yang memperhatikan mereka pasti mengira ia tengah tersenyum kalau mendengar lelucon yang dilontarkan James. "Ya, aku lebih suka menjadi janda, tetapi janda mati! Minumlah sampai maut merenggutmu! Itu yang harus kau lakukan apabila kau ingin lepas dariku!"

Pelayan datang ke meja mereka. James cepat-cepat memesan double Burgundy dan secangkir kopi untuk istrinya. la sadar, tak akan pernah bisa lepas dari Nina. la bukanlah tipe pria yang suka kehidupan pribadinya dibuka-buka di depan umum, apalagi jadi bahan omongan di kantor. 

la tak suka melibatkan pengacara atau teman dalam hal-hal seperti ini. Tak ada pilihan lain baginya. Maka James pun meminum Burgundy-nya sampai tandas. Kepalanya lalu menjadi terasa ringan. James berdiri, mengucapkan "maaf", kemudian berlalu. 

Nina pergi ke ruang televisi. Di layar kaca ditayangkan film tentang masalah suami-istri yang situasinya mirip dirinya. la jadi merasa tak berminat menyaksikannya. la ingin pergi entah ke mana saja untuk menenangkan pikiran dan minum secangkir kopi. Maka ia pun naik ke kamar untuk mengambil kunci mobil.

Sesampainya di kamar hotel, James tampak tergeletak di ranjang. Dasi dan sepatunya telah dilepas, meskipun ia masih berpakaian lengkap. Dengkurnya terdengar. Betapa bodohnya James tidur tanpa selimut, pikir Nina. Soalnya, udara begitu dingin sementara pemanas belum dinyalakan. 

Nina tidak menyelimutinya, meskipun ia menutup jendela yang terbuka. Kunci mobil yang bercampur dengan uang kembalian berada di saku jas James. Nina merasakan kehangatan tubuh lelaki itu, ketika merogoh saku jasnya. Tubuh Nina gemetar membayangkan keinginan lelaki ini.

Butir-butir keringat membasahi dahi James walaupun udara dalam kamar terasa dingin. Bau alkohol tercium dari napasnya. Tangan Nina menemukan dua koin uang 50 sen selain kunci yang dicarinya. Koin itu diambilnya untuk menyalakan pemanas gas keesokan hari saat ia harus berdandan sebelum pergi ke pesta.

Tiba-tiba sekelebat pikiran mengusiknya, "Mengapa tidak aku nyalakan gasnya sekarang?" pikir Nina. Cahaya lampu jalanan yang menerobos masuk ke kamar membuat Nina termangu. 

Seandainya ia memasukkan koin ke slot gas, lalu memutarnya ke kiri dan koin jatuh, gas akan memenuhi kamar. James yang tidur pasti tidak akan bangun sampai esok pagi. Yang lebih pasti lagi, James tidak akan pernah bangun lagi karena gas akan memenuhi ruangan yang sempit yang jendela-jendelanya sudah ditutup rapat oleh Nina!

Membayangkan itu, peluh dingin membasahi tubuhnya. "Apakah aku sudah gila?" kata Nina dalam hati. Jantungnya berdebar keras. Tangannya yang memegang koin gemetar. Akankah ia memutar meteran gas? Akankah ia menjadi janda tanpa dicerai? Kalau ini sampai terjadi, tak ada yang menertawakan frigiditas dirinya, tak ada orang yang mencibirnya. "Aku akan punya rumah, memperoleh asuransi jiwanya James, dan mungkin uang dari Sir William Tarrant!”

Meteran alat pemanas masih menunjukkan isi gas yang penuh. Dengan tangan dingin, Nina memasukkan koin ke slot, memutar tombol ke kiri dan ke kanan. Tapi tanpa menunggu suara koin bergulir, ia dengan berjingkat-jingkat berlalu menuju pintu. Walaupun yakin James tak akan terbangun, ia menutup pintu kamar perlahan-lahan dan segera meluncur ke bawah.

Jam di katedral dekat hotel berdentang menandakan pukul 20.45. Udara di luar amat dingin menusuk tulang. Namun, dada Nina bergemuruh dan keringat membasahi seluruh tubuhnya. la cepat-cepat menstarter mobil dan membawanya berputar-putar tak tentu arah.

 

Tak mau dicerai

Hari telah pukul 23.30, ketika bar tutup. Derap langkah para tamu hotel yang menghabiskan malamnya di situ terdengar bergantian memecah kesunyian malam.

James yang masih merasa berat kepalanya, terbangun. Tangannya yang lemas menggapai tombol lampu di samping tempat tidur. "Ke mana Nina? la pasti masih berada di ruang makan menikmati musik," pikirnya.

Ia berusaha sekuat tenaga melangkah ke luar pintu untuk mencari toilet. "Di sebelah mana manajer hotel tadi mengatakan letak kamar mandinya?"

Sambil terhuyung-huyung, ia pun turun dan berbelok ke kiri. Begitu keluar dari kamar mandi, sebelum kembali naik menuju kamar lagi, sejenak ia berdiri di tangga. Udara dingin menerpa tubuhnya. Kepalanya terasa berdenyut. "Apa yang telah aku lakukan dalam hidupku? Jika aku begini terus, pada usia 40 aku akan menjadi mayat!" keluhnya.

"Tapi, apa yang bisa aku lakukan jika Nina tak mau dicerai? Apakah aku harus melarikan diri? Meninggalkan semua pekerjaan yang telah aku rintis?" 

Tiba-tiba, ketika kaki James sampai di depan kamarnya di lantai atas, angin di belakangnya serasa berdesir. Sambil membuka pintu kamar, James membalikkan tubuhnya. Siluet tubuhnya tertangkap berkat sinar lampu kamar. 

Seperti patung, Nina bediri di belakangnya. Matanya terbelalak dan bibirnya ternganga. Seperti melihat hantu, wajah wanita yang dulu dipujanya itu kelihatan pucat. Tubuh Nina terlihat gemetar seperti orang demam. Kakinya seperti berat tak bisa melangkah.

James tak peduli atas pandangan aneh Nina. Tubuhnya langsung dibalikkan dan langkahnya diseret masuk ke kamar. Nina kemudian mengikutinya meskipun tanpa berkata apa-apa.

"Habis menonton film seram di televisi?" tanya James acuh tak acuh. 

Nina tak menjawab pertanyaan James. Tubuhnya diempaskan ke ranjang dan tangannya ditutupkan ke kepalanya. James berganti pakaian dan berbaring di ranjang lagi. Tiba-tiba Nina bangkit dan berganti pakaian. James memandanginya diam-diam.

Dalam hati, James tetap mengagumi Nina. la tetap mempesona. Wanita ini pernah memberikan sedikit kesenangan padanya dulu. Namun yang mengganggu James kali ini adalah getaran tubuh Nina yang tak wajar. 

Nina pun meninggalkan kamar menuju kamar mandi. Sekembalinya dari sana, ia tampak sudah seperti biasanya. la mengempaskan tubuhnya kembali ke ranjang.

"Sebaiknya, kau menelan pil tidurmu, Nina!" saran James.

"Aku sudah menelannya di kamar mandi. Tak ada yang beres di hotel ini! Aku ingin mandi, tetapi pemanas airnya tak berfungsi. Dasar hotel butut!" gerutu Nina.

“Tidur dan matikan saja lampunya! Kau toh tidak akan tinggal di sini seterusnya!" James menimpali gerutuan Nina.

Nina membaringkan tubuhnya. Pil tidurnya mulai bekerja. Namun tubuh indah itu seperti tegang. Tangannya menutupi mata, seolah-olah siap menebas elusan James. 

Gambaran seorang wanita yang menyambut sentuhan suaminya dengan rangkulan manja tak pernah ada. Wanita ini begitu "membeku" dan tak peduli James lari ke minuman dan menjadi sama "membatunya" seperti dirinya.

 

Koin tinggal satu 

James tak tahan berada sekamar dengan wanita ini. Rasanya ia bisa gila dan membayangkan hal-hal yang "mengerikan". la tak bisa lagi hidup dengan Nina, ia ingin menyingkirkannya. Rasanya ia ingin membenamkan bantal ke wajah rupawan itu sehingga tak ada lagi napas yang terembus.

Sebelum segalanya menjadi buruk, James bangkit menjauh. la pun memakai mantel tidurnya, membawa selimut, dan berjalan menuju ruang televisi di bawah. James ingin menghabiskan malamnya di sana sampai pagi menjelang. 

Nina pasti baru bangun pukul 09.00 besok pagi. Pada saat itu mereka akan bersiap-siap berpakaian untuk menghadiri pesta perkawinan putri Sir William Tarrant. 

Dentang lonceng katedral berbunyi sembilan kali. James bersiap siap naik ke kamar untuk berdandan. Meskipun sudah pukul 09.00 udara kota kecil itu amat dingin. Nina tampaknya tak bangun-bangun akibat menelan pil tidur, padahal pesta pernikahan sudah akan dimulai.

"Biarlah aku pergi tanpa Nina," pikir James sambil berpakaian. Namun udara terasa dingin sekali. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada kotak pemanas. James pun bermaksud menyalakannya. la jongkok dan memeriksanya. la pun merogoh saku jas untuk mencari koin. "Kenapa hanya satu? Rasanya aku punya dua koin," katanya dalam hati.

James ingat gerutuan Nina tentang semua ketidakberesan hotel ini. Maka sebelum mempergunakan koinnya yang cuma satu, ia pun memutar-mutar tombol gas. 

"Putar tombol ke kiri, masukkan koin ke slot, putar tombol ke kanan. Itu berarti gas menyala," demikian ingatan James akan pesan manajer hotel yang mengantar mereka kemarin.

Tangan James mencoba memutar tombol ke kiri. Tiba-tiba terdengar bunyi "kling", bunyi sebuah koin yang jatuh. la lalu memutarnya ke kanan dan gas pun menyala. "Syukurlah, aku bisa menghemat koin. Rupanya tamu hotel sebelumnya yang salah menggunakan gas pemanas ini," kata James.

James yang tergesa-gesa berdandan lupa mematikan gas pemanas ketika meninggalkan kamar hotel, la juga lupa membuka jendela agar udara bisa keluar-masuk. Sebentar saja kamar itu dipenuhi gas, sementara Nina masih tertidur pulas. 

James cepat-cepat keluar, menutup pintu tanpa menoleh lagi ke arah istrinya. la baru akan kembali tengah hari dan saat itu tubuh Nina tidak akan bangun-bangun lagi! (Ruth Rendell)

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350454/diceraikan-oleh-koin-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530109000) } } }