array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3355916"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/07/01/lolos-atau-matijpg-20220701063650.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(138) "Tidak lama lagi, André Devigny, seorang pejuang Prancis, akan menghadapi hukuman mati. Berbekal seutas tali, dia bertekad melarikan diri."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Histori"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "history"
        ["id"]=>
        int(1367)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Histori"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(99) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/07/01/lolos-atau-matijpg-20220701063650.jpg"
      ["title"]=>
      string(15) "Lolos atau Mati"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-07-01 18:37:04"
      ["content"]=>
      string(18768) "

Intisari Plus - Tidak lama lagi, André Devigny, seorang pejuang Prancis, akan menghadapi hukuman mati. Di bawah kasurnya, seutas tali terkait pada sebuah jepitan yang terbuat dari tiang lampu. Cukupkah semua itu untuk membebaskan dirinya dari penjara Montluc?

---------------------------

André Devigny berbaring di atas tempat tidur dalam sel sempit di penjara militer Montluc di Lyon, Prancis. Hari itu tanggal 20 Agustus 1943. Ia menarik selimut kumalnya untuk menutupi kepalanya, berusaha mendapatkan kehangatan dari bahan tipis tersebut. Cahaya di bawah pintu selnya memberitahunya bahwa hari sudah pagi. Saatnya untuk diinterogasi dan disiksa, sama seperti hari-hari sebelumnya dalam dua minggu ini.

Dalam kantuknya, ia masih bisa mendengar suara-suara. Seisi penjara menjadi hidup. Dari kejauhan, pintu dibanting. Penjaga berteriak. Lalu, suara langkah kaki dan gemerincing kunci-kunci terdengar mendekat. Langkah kaki itu berhenti di depan selnya dan pintu pun dibuka. Saat pintu terbuka, sinar matahari menembus masuk. 

Devigny menutup kedua matanya karena silau. Tiga sipir Jerman datang menjemputnya. Salah seorang di antaranya berbicara dengan kasar dalam beberapa kata-kata Prancis yang baru dipelajari di Montluc.

"Keluar. Sekarang. Cepat."

Namun, Devigny tidak dibawa untuk disiksa. Ia dibawa ke hadapan pimpinan Gestapo, Klaus Barbie, dan diberitahu bahwa ia akan ditembak mati beberapa hari lagi. Ia digiring kembali ke selnya dengan tangan diborgol, ditinggal, dan hanya ditemani oleh pikirannya. Ia masih berumur 26 tahun, tapi hidupnya akan berakhir tragis.

Sebenarnya, Devigny tidak kaget dengan kata 'mati'. la merupakan anggota French Resistance (sebuah grup yang terus berjuang melawan pasukan Jerman yang menduduki negeri mereka selama Perang Dunia II). Empat bulan sebelumnya, di bulan April 1943, karena membunuh seorang mata-mata Jerman, ia ditangkap beberapa hari kemudian.

la dibawa ke Montluc. Penjara abu-abu yang muram ini merupakan rumah yang suram bagi banyak aktivis Resistance dan orang Yahudi yang ditahan di sini sebelum mereka dipindahkan ke kamp pembasmian. Tak ada satu pun tahanan yang bisa lolos dari Montluc.

Devigny disiksa oleh Gestapo (agen rahasia Nazi), tapi tidak membocorkan rahasia apa pun. Begitu penangkapnya sadar ia tidak akan membuka mulut, sudah waktunya untuk melenyapkannya. Devigny tidak akan menyerah begitu saja. Namun, kondisinya lemah karena disiksa dan disekap dalam penjara. Bagaimana caranya ia bisa lari dari benteng sekuat itu?

*

Ketika malam tiba, ia mulai menyusun rencananya. Sebuah senyum kecil terkembang di wajahnya. Ia menguasai trik permainan tangan, dan inilah saat yang tepat untuk mempraktikkannya. Tangannya memang diborgol, tapi itu bukan masalah baginya. Ketika tiba di Montluc, seorang tahanan menyelipkan sebuah peniti untuknya, dan ia pun belajar bagaimana membuka borgol. 

Sendok makan yang diberikan pun telah ia asah menjadi tajam. Dengan semua itu, ia bisa membuka kunci pintu selnya. Saat penjaga sedang tidak berpatroli, ia menyelinap keluar dari sel dan mengobrol dengan tahanan lainnya. Matanya juga cukup awas mengawasi situasi.

Sel Devigny berada di blok lantai paling atas. Di sana terdapat jendela loteng yang digunakan untuk naik ke atap. Di antara selnya dan dunia luar, terdapat sebuah halaman, blok lain, dan tembok luar. Banyak tahap yang harus dilewatinya. 

Suatu kali ketika ia menyelinap keluar ke koridor, Devigny melihat bingkai lampu yang ditinggal penjaga. Bingkai lampu yang terbuat dari tiga lembar logam itu sangat cocok dijadikan jepitan. Yang diperlukannya hanyalah seutas tali. 

Sayang, Devigny tidak mempunyai tali, tapi ia memiliki pisau cukur, sebuah hadiah yang tak ternilai dari seorang tahanan lain. Ia mulai memotong baju dan selimutnya menjadi helai kain panjang. Lalu, disambung dan diperkuat dengan kawat dari tempat tidurnya, supaya tali buatan itu bisa menahan berat tubuhnya.

Devigny bekerja sepanjang malam melawan rasa kantuk yang menyerangnya. Kepalanya mengangguk-angguk karena mengantuk, tapi ia terus berjuang. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa akan ada waktu yang cukup banyak baginya untuk tidur di siang hari, saat para penjaga mengawasinya lebih ketat. 

Ia membuat tali tersebut sepanjang-panjangnya, dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Jika para penjaga mau repot-repot menggeledah selnya, tentu tali itu akan mudah ditemukan, tapi mereka yakin sekali tahanan yang diborgol tangannya tidak akan bisa melakukan apa-apa untuk lolos.

Pagi harinya, Devigny kelelahan dan tertidur. Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba pintu selnya dibuka, dan ia bangun tersentak. Ia membayangkan tibalah saatnya penjaga membawanya ke hadapan regu tembak. Rasa lega menghampirinya saat ia sadar bahwa penjaga hanya membawa seorang tahanan baru ke dalam selnya.

Salah seorang penjaga menyindirnya, "Hei Devigny, kau mendapat teman di saat-saat terakhirmu."

Napi remaja itu duduk di pojok dengan wajah merengut. Tak lama, keduanya melakukan percakapan yang sangat hati-hati, saling menyelidiki satu sama lain. Sedikit demi sedikit, pendatang baru itu mengaku bernama Gimenez dan ia ditahan karena berada di pihak Resistance.

Kedatangannya merupakan masalah baru bagi Devigny. Bagaimana jika Gimenez adalah seorang mata-mata yang dikirim untuk memastikan dirinya tidak melarikan diri? Bagaimana jika demi menghindari siksaan dan hukuman untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Gimenez akan mengkhianati Devigny, memberitahukan tentang tali buatannya itu? 

Bahkan, jika ia bukan salah satu dari semua itu, peraturan penjara Montluc mengatakan: seorang tahanan akan ditembak mati jika ia tidak memberitahu para penjaga bahwa teman satu selnya akan melarikan diri. Jika Devigny kabur, Gimenez harus ikut serta. Tak ada jalan lain.

Devigny tidak punya pilihan lain kecuali mempercayai orang asing ini.

"Begini," bisiknya, "Aku sudah selesai di sini. Kapan saja," Ia menarik garis di lehernya dengan jarinya.

"Aku merencanakan kabur dari sini, dan aku segera mewujudkannya. Kau harus ikut denganku. Mereka akan menembakmu jika kau tinggal, dan tidak akan membiarkan aku lolos begitu saja."

Gimenez tampak begitu ketakutan.

"Aku tidak akan membiarkan engkau kabur," jawabnya cepat. Suaranya terdengar dipenuhi rasa takut dan putus asa. Tak dapatkah kau lihat, aku sudah cukup bermasalah?" 

"Terserah, kawan," kata Devigny."Tetapi jangan harap mereka tidak akan menyiksa apalagi membunuhmu, hanya karena kau masih remaja. Ikutlah denganku. Kalau kau tinggal, kau akan mati. Kalau kau kabur, setidaknya kau punya kesempatan." 

Gimenez menarik napas dalam-dalam, napas yang penuh masalah.

"Baiklah," jawabnya pelan. Kemudian keduanya terdiam.

*

Maka, malam hari tanggal 24 Agustus 1943, Devigny dan Gimenez berusaha melarikan diri. Tahap pertama tidak sulit. Setelah para penjaga istirahat, kedua tahanan ini menyelinap keluar melalui jeruji pintu kayu yang sudah dilonggarkan sebelumnya. Selanjutnya, jendela loteng. Devigny berdiri di atas bahu Gimenez dan berusaha membuka kaca jendela itu. 

Belum apa-apa ia sudah kelelahan, dalam hati ia bertanya-tanya apakah dirinya memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan pelarian yang pastinya akan melelahkan. Untungnya, kaca jendela itu mudah dibuka. Devigny segera naik ke atap. Gimenez menyusul menggunakan tali.

Di atap, mereka menghirup udara dingin yang segar sampai ke dalam paru-paru. Keduanya bisa merasakan udara kebebasan. Malam begitu tenang dan cerah, meski tanpa sinar bulan. Dengan diterangi cahaya lampu penjara, situasi ini sangat sempurna untuk kabur. 

Cahaya lampu memang jadi satu keuntungan bagi mereka, tetapi suara sepelan apa pun akan membangunkan penjaga. Keberuntungan ada di pihak mereka lagi. Sebuah kereta melintas di sisi penjara, dan setiap sepuluh menit, kereta barang melintas dengan suara bising. 

Setiap kali kereta-kereta tersebut melintas, suara bisingnya menutupi gerak-gerik mereka selama satu atau dua menit. 

Mereka bergerak maju ke tepi blok, lalu melempar pandang ke bawah, melihat halaman. Mata mereka sudah terbiasa dengan gelapnya malam. Posisi penjaga terdeteksi melalui nyala api di ujung rokok yang dihisapnya, atau dari kilauan mata ikat pinggang atau bayonetnya. 

Sementara itu Devigny melihat seorang penjaga yang berdiri tepat di rute jalan yang harus mereka lalui. Orang itu harus mati.

"Dengar, ini yang harus kita lakukan," bisik Devigny pada Gimenez. "Pada saat yang tepat aku akan turun dan menghadapi penjaga di situ, sementara kau tunggu di sini. Kalau kita sudah bisa lewat, aku akan bersiul satu kali. Jadi perhatikan baik-baik!"

Gimenez kelihatan sangat ketakutan.

"Kalau kita membunuh penjaga, mereka akan menembak kita di tempat!" katanya.

la kesulitan menelan air ludahnya, matanya penuh dengan rasa takut. Devigny bicara dengan tegas sambil menepuk bahu kawannya itu.

"Kita memang sudah mati, Gimenez. Kecuali kalau bisa keluar dari tempat ini."

Jam di penjara membunyikan tanda waktu tengah malam ketika mereka masih berdiri di atas atap. Seiring dengan bunyi dentang jam, terjadi rotasi pergantian penjaga. Terdengar suara salam yang datar, dan penjaga baru pun menempati posisi, berjaga di malam yang panjang. Devigny mengulurkan talinya di tengah kegelapan. 

Saking gelapnya, ia tidak tahu apakah tali itu bisa sampai menyentuh tanah atau tidak. Ketika tali sudah tidak bisa diulur lagi, ia mengayunkan dirinya melewati pipa dan mendarat di sisi sebelah blok. Karena tidak hati-hati, tangannya terluka terkena kawat pada talinya. Ia masih beruntung.

Talinya cukup panjang sampai menyentuh halaman. Di sana ia menunggu, berlindung di bawah bayang-bayang, dan begitu kereta api melintas, ia berlari sekuat tenaga seberang halaman. Di hadapannya berdiri seorang penjaga.

Devigny melihat sekilas pada penjaga itu dengan rasa iba. Di sana, penjaga itu berdiri, bosan, menunggu giliran jaganya habis, mungkin merindukan sarapan hangat dan kasur empuk. Tetapi, demi menyelamatkan dirinya dan kabur dari situ, Devigny terpaksa membunuhnya.

Penjaga tersebut membalikkan tubuh ke arahnya, Devigny pun muncul dari balik bayang-bayang. Ia mencekik leher penjaga itu dan membunuhnya dengan bayonetnya sendiri.

Mayat penjaga itu diseret untuk disembunyikan di balik bayang-bayang. Sepatu botnya mengeluarkan suara karena diseret. Devigny menunggu sebentar, mencoba mengetahui kalau-kalau perkelahian singkat tadi terdengar penjaga lain, tetapi malam itu masih sesunyi sebelumnya. 

Ia bersiul dengan nada rendah, dalam sekejap Gimenez sudah bersamanya. Jalan menuju blok selanjutnya aman, tapi Devigny gemetar karena kelelahan dan rasa takutnya tadi, bahkan terlalu lemah untuk memanjat tembok.

“Kau pergi duluan,” bisiknya pada Gimenez.“Aku kehabisan tenaga untuk memanjat."

Setelah memanjat tembok, Gimenez mengulurkan tali itu pada Devigny yang membuatnya sadar bahwa rekan sepenanggungannya ini berperan penting dalam pelarian mereka, dan bukanlah penggangu seperti yang ia duga sebelumnya. 

Mereka bergegas menyeberangi atap blok itu, lalu mengintip ke sekeliling. Mereka sudah berada di tepi luar penjara. Di depan, berdiri tembok setinggi lima meter memisahkan mereka dengan kebebasan.

*

Tetapi, ketika sedang merayap di atap, suara decit aneh menusuk telinga mereka.

"Apa itu?" tanya Gimenez.

Mereka segera tahu sumber suara tersebut. Di bawah, seorang penjaga mengendarai sepeda berkeliling di antara bangunan penjara. Ia berkeliling di antara gedung setiap tiga menit.

Begitu dekatnya mereka dengan kesuksesan, Devigny sudah tidak sabar untuk segera lolos dari penjara. Sel mereka kosong, kaca jendela loteng terbuka, dan yang paling buruk: mayat seorang penjaga terbaring di balik bayang-bayang. 

Kapan saja, seorang penjaga lainnya akan menemukan bukti-bukti adanya usaha untuk kabur lalu menyalakan alarm. Dalam setiap menit yang berjalan, risiko ketahuan semakin besar. Namun, Devigny menyimpan semua itu dalam hatinya. Ia tidak ingin membuat Gimenez panik.

Kemudian, peluang mereka untuk lolos semakin buruk saja.

"Dengar," kata Devigny, "Aku bisa mendengar suara di bawah. Pasti ada dua orang penjaga tepat di bawah kita" 

Tetapi, ketika sepeda dikayuh menjauh, mereka sadar bahwa penjaga itu berbicara pada dirinya sendiri tadi. Keduanya menghela napas panjang sebagai tanda kelegaan dan kesiapan mereka untuk melaksanakan langkah terakhir.

Bersamaan dengan dentang jam tiga kali, Devigny melempar tali ke luar tembok. Bingkai lampu terkait di tembok. Mereka mengikat ujung lainnya ke cerobong asap dan bersiap untuk menyeberang. 

Pada waktu itu, penjaga bersepeda tadi memutuskan untuk beristirahat. Ia memarkir sepedanya tepat di bawah mereka dan berdiri di sana sambil mendesah.

Devigny dan Gimenez tak percaya mereka begitu sial. Menit demi menit berlalu, mereka menunggu alarm dibunyikan. Di ufuk timur, sinar pucat menyentuh ujung langit. Fajar tiba sebentar lagi. Untungnya penjaga itu tidak pernah menengadah ke atas dan melihat tali mereka. Ia kembali menaiki sepedanya dan pergi.

Sekarang atau tidak selamanya. Namun ketegangan terlalu jelas bagi keduanya. Devigny berbicara dengan lembut, "Kau pergi dulu Gimenez, aku menyusul.

"Tidak," sahut remaja itu ketakutan "Bagaimana jika tali itu putus? Bagaimana jika aku ketahuan dan ditembak? Bagaimana jika aku jatuh? Kau duluan, aku menyusul." 

Kesabaran Devigny sampai pada batasnya. Ia mengancam, "Pergi sekarang, atau kuhabisi kau." 

Bisikan percakapan berlangsung di antara mereka. Tiba tiba Devigny melompat ke tali dan menarik tubuhnya secepat mungkin. Gimenez mengikutinya tak lama kemudian. Meski sudah di luar tembok, keduanya terus menarik tubuh masing-masing, sampai mereka tiba di tempat yang cukup rendah untuk melompat.

Masing-masing jatuh dengan suara pelan. Mereka sudah bebas, Penjara tidak mempunyai seragam, jadi Devigny dan Gimenez bisa berbaur dengan para buruh yang berangkat kerja ke sebuah pabrik pagi itu. Pada saat sel kosong mereka dan mayat penjaga diketahui, dua buronan itu sudah jauh menghilang di daerah luar kota.

 

Selanjutnya

André Devigny kabur ke Swiss, lalu pergi ke Afrika Utara untuk bergabung dengan angkatan bersenjata Prancis. Setelah perang berakhir, Presiden Prancis Jenderal De Gaulle menganugerahinya medali Cross of Liberation, dan mengangkatnya menjadi agen rahasia senior Prancis. 

Pada 1957, seorang sutradara kebangsaan Prancis bernama Robert Bresson memproduksi film yang mengisahkan pelarian dari Montluc. Film tersebut mengambil lokasi syuting di penjara, bahkan para pemerannya juga menggunakan tali yang sama seperti yang digunakan Devigny dan Gimenez. Devigny diminta menjadi penasihat produksi. Ia pensiun tahun 1971, dan meninggal tahun 1999.

Gimenez, rekan sepelariannya, tidak terlalu beruntung karena ditangkap kembali. Walau nasibnya tidak diketahui secara pasti, kemungkinan besar ia dihukum mati.

Kepala penjara, Klaus Barbie, kabur ke Bolivia setelah perang. Ia ditangkap dan dibawa ke Montluc pada 1983. Ia diadili dan dijatuhi hukuman seumur hidup atas dakwaan kejahatan perang, kemudian meninggal pada 1991. (Nukilan dari buku: TRUE ESCAPE STORIES Oleh Paul Dowswell)





" ["url"]=> string(60) "https://plus.intisari.grid.id/read/553355916/lolos-atau-mati" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656700624000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246667" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/5_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420081533.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Yang satu agen Inggris yang canggung, satunya tampak senantiasa murung. Keduanya bertugas menghabisi Hitler dan Gestapo Nazi yang sangat kejam." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/5_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420081533.jpg" ["title"]=> string(20) "Penangkapan di Venlo" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:43:57" ["content"]=> string(17215) "

Intisari Plus - Yang satu agen Inggris yang canggung, satunya tampak senantiasa murung. Keduanya bertugas menghabisi Hitler dan Gestapo Nazi yang sangat kejam.

---------------------------------------

Saat itu, 21 Oktober 1939, Perang Dunia II baru saja mulai. Di Zutphen, sebuah kota di Belanda, hujan turun mengetuk-ngetuk atap sebuah limosin Buick. Di belakang stir, Sigismund Best menyesuaikan posisi kaca spion dan melirik lewat kaca jendela mobilnya. Tiba-tiba mobil lain datang. Seorang pria melompat. Best memiringkan tubuhnya untuk membuka pintu dan pria itu duduk di sebelahnya. Suara limousin itu menderu dan mulai berjalan, wiper-nya bergerak ke kiri dan ke kanan.

Best terlihat seperti tipe gentleman Inggris. Tubuhnya tinggi, dengan sikap seorang aristokrat, dia menggunakan spat (kain yang dahulu digunakan oleh para pria di atas sepatu, untuk menutupi pergelangan kaki, dengan kancing di sisinya dan dikaitkan di bawah sepatu), dia bahkan menggunakan monocle (alat yang berfungsi seperti kacamata tapi hanya untuk satu mata). Tapi itu semua adalah tipu daya. Best sebenarnya separuh berdarah India. Dia juga seorang mata-mata. Dia tinggal di Belanda dengan seorang istri Belanda, dan menjalankan bisnis kecil-kecilan meng sepeda, tapi sebenarnya dia adalah anggota cabang Z—kelompok independen yang dibentuk sebagai bagian dari Dinas Intelijen Khusus Inggris (Special Intelligence Service—SIS).

Rasa percaya diri Best sangatlah mengesankan. Dia dapat berbicara dalam empat bahasa, dan selama Perang Dunia dia berhasil membuat jaringan mata-mata yang sukses di belakang garis musuh. Saat ini dia sedang mencoba membuat kontak dengan seorang Jerman yang kecewa dan ingin melawan Hitler dan Nazi. Sejauh yang dapat dia sampaikan, segala sesuatu berjalan dengan baik.

Best telah dihubungi beberapa minggu yang lalu oleh salah seorang agennya, seorang pengungsi yang melarikan diri dari penyiksaan di Jerman. Orang ini mengenal banyak pegawai tingkat tinggi dalam ketentaraan Jerman dan dia telah meyakinkan Best bahwa di sana ada banyak orang yang diam-diam tidak suka pada Hitler. Orang-orang ini tengah membangun kekuatan untuk melakukan gerakan perlawanan. Best telah menyelidiki secara mendalam dan dia dapatkan nama seorang tentara yang juga terlibat dengan gerakan perlawanan tersebut—Hauptmann Schaemell. Orang inilah yang sekarang duduk bersamanya di dalam mobil.

Best fasih berbahasa Jerman, dan dua orang ini bercakap-cakap dalam bahasa Jerman tentang musik klasik sepanjang perjalanan di luar kota. Di Arnhem, mereka menjemput dua orang kolega Best, seorang tentara Inggris bernama Mayor Seven dan seorang tentara Belanda bernama Kapten Klop. Meskipun Belanda mengambil sikap netral saat itu, Klop membantu pihak Inggris. Dia ingin merahasiakan kebangsaannya, jadi dia berpura-pura menjadi seorang Kanada dan menggunakan nama Coppens. Itu adalah nama samaran yang sangat meyakinkan. Klop pernah tinggal beberapa tahun di Kanada, dan negara itu adalah sekutu Inggris.

Best terus mengendarai mobil itu. Schaemell, pikirnya, sebuah tangkapan yang bagus. Selama dalam perjalanan, orang Jerman itu membuat daftar tentara yang sangat ingin melihat kejatuhan Hitler dan menandai nama seorang jenderal penting yang dipersiapkan untuk memimpin perlawanan. Schaemell berjanji membawa jenderal itu dalam pertemuan mereka berikutnya, yang akan diadakan pada 30 Oktober.

Yang tidak diketahui Best adalah bahwa pihak Jerman sudah selangkah lebih maju darinya. Pengungsi yang memperkenalkannya pada Schaemell sebenarnya adalah seorang mata-mata Jerman—Franz Fischer namanya. Informasi tentang gerakan perlawanan yang didengar Best sebenarnya tidak ada. Bahkan Schaemell sendiri juga ada. Dia sebenarnya adalah Walter Schellenberg—29 tahun bekas pengacara yang sekarang memimpin Dinas Intel Luar Negeri Jerman. Selain memata-matai Best, dia juga ingin menghabisinya.

Rencana Schellenberg sangatlah sederhana. Setelah minggu depan, dia ingin membuat agen Inggris dan Belanda merasa aman, dengan berpura-pura menjadi teman kerjasama Dia kemudian akan memikat mereka dalam pertemuan yang akan memudahkannya menembus SIS dan mengetahui bagaimana operasi mereka.

Pertama-tama Schellenberg harus meyakinkan Best bahwa dia sungguh-sungguh bekerja melawan Nazı. Ketika dia kembali ke Belanda dari Jerman pada 30 Oktober, dia membawa dua orang teman tentaranya. Salah satunya berambut perak, dengan ketampanan model lama yang membuatnya seolah-olah seperti seorang aristokrat yang merasa kecewa dan menunggu waktu untuk menjatuhkan Nazi. Itu memang penyamaran yang masuk akal—banyak orang dari kalangan atas Jerman yang memandang Hitler sebagai orang biasa yang baru saja menjadi kaya.

Mereka menyeberang perbatasan, menuju Arnhem, tempat yang disetujui Best untuk pertemuan mereka. Tapi Best tidak ada di sana. Mereka menunggu. Setelah tiga per empat jam, ketika mereka mulai berpikir untuk pergi, mereka melihat dua bayangan mendekati mobil mereka. Tapi mereka bukanlah agen Inggris yang mereka tunggu. Mereka adalah petugas kepolisian Belanda. Mereka masuk ke dalam mobil Schellenberg dan dengan kasar memerintahkan untuk berjalan menuju ke kantor polisi.

Ini sama sekali bukan rencana Schellenberg. Dia bermaksud menipu mereka, tapi sekarang tampaknya mereka justru menangkapnya. Kepala Dinas Intelijen Luar Negeri tentu sangat berharga.

Di kantor polisi, Schellenberg dan teman-teman tentara nya diperiksa dengan teliti. Pakaian dan barang-barang mereka diperiksa dari atas sampai bawah. Di dalam saku tas salah satu teman Schellenberg yang terbuka dan siap diperk terdapat sekantung kecil aspirin. Sayangnya, itu bukan aspirin biasa. Aspirin itu adalah tipe khusus yang dikeluarkan untuk SS (schutzstaffel), korps militer elite Nazi, dan berlabel SS Sanitaetschauptamt (obat dinas utama khusus untuk SS) Ketika Schellenberg melihat pil-pil itu, wajahnya pucat pasi.

Schellenberg berpikir cepat, dia melihat ke sekeliling ruangan. Beruntunglah dia, karena petugas polisi yang memeriksa barang-barang sedang sibuk dengan tas lainnya. Dengan tangkas Schellenberg mengambil bungkusan aspirin itu dan menelan semuanya bersama dengan bungkusnya. Rasa pahit masih terasa di mulutnya ketika terdengar ketukan di pintu. Yang datang adalah Klop alias Coppens, teman agen Best. Schellenberg hanya dapat mengkhawatirkan hal terburuk yang akan datang.

Ternyata Klop datang untuk menyelamatkan mereka. Dia meminta maaf yang sedalam-dalamnya untuk ketidaknyamanan yang harus mereka rasakan. Dia meyakinkan mereka bahwa itu semua terjadi karena kesalahpahaman. Tapi Schellenberg tidak bodoh. Dia sangat mengerti apa yang sedang terjadi. Pihak Inggris dan Belanda masih mencurigai mereka, dan yang baru saja terjadi adalah sebuah ujian untuk mengungkapkan siapa sebenarnya mereka. Jika polisi berhasil menemukan sesuatu yang mencurigakan, seperti aspirin SS, mereka akan ditahan. 

Schellenberg sangat beruntung. Kertas perak pembungkus aspirin mencegah penyerapan obat itu dalam perutnya, yang jika terjadi dapat merusak tubuhnya.

Sejak saat itu, semua berjalan mulus bagi pihak Jerman. Mereka menuju ke markas besar SIS di Hague, dan dijamu dengan minuman anggur dan makan malam secara mewah. Hari berikutnya, Schellenberg dan teman-temannya diberi sebuah radio set dan nama panggilan. Mereka diminta untuk terus berhubungan melalui radio itu, dan pertemuan berikutnya akan segera diatur. Mereka saling berjabat tangan dan segera kembali ke perbatasan Jerman.

Setelah beberapa minggu, Schellenberg melakukan kontak harian dengan kelompok Best. Dua pertemuan berikutnya dijalankan, dan dia sekarang sangat yakin bahwa mereka menerimanya secara penuh.

Tapi kemudian hal yang tidak diharapkan terjadi. Gangguan itu tidak lain datang dari Heinrich Himmler kepala SS. Ada sebuah rencana pembunuhan yang ditujukan untuk Hitler—sebuah bom meledak tidak lama setelah dia meninggalkan sebuah perayaan di Munich. Hitler yakin bahwa SIS ada di balik rencana itu, dan meminta agar Best dan teman-temannya segera ditangkap.

Schellenberg memprotes keras. Ini dapat merusak rencana yang sudah dipikirkannya dengan hati-hati.

"Pihak Inggris sudah dapat kita bodohi," dia berdalih. "Coba pikirkan, berapa banyak informasi yang dapat aku pancing keluar dari mereka."

Tapi Himmler berucap pendek, "Sekarang, dengarkan aku. Tidak ada tetapi, yang ada hanya perintah Fuhrer—yang akan kau kerjakan."

Jadi, itulah yang terjadi.

Karena tidak ada pilihan, Schellenberg membuat rencana. Dia sudah menyusun agenda pertemuan berikutnya dengan pihak Inggris—di Venlo, sebuah kota kecil di perbatasan Belanda-Jerman. Dia sekarang menghubungi Alfred Naujocks dari SS dan membentuk satu pasukan yang terdiri dari 12 anggota SS untuk bergabung dengannya. Schellenberg memberi penjelasan singkat dan segera menuju perbatasan dengan orang-orang tersebut.

Naujocks berkarakter kejam, yang dikenal sebagai "orang yang memulai Perang Dunia II". Dua bulan sebelumnya, dia dan satu pasukan yang berisi orang-orang pilihan menggunakan seragam petugas kepolisian. Mereka berpura-pura melakukan penggerebekan pada sebuah stasiun radio milik Jerman di perbatasan Jerman-Polandia. Situasi ini memberikan kesempatan pada pihak Nazi untuk mengklaim bahwa mereka telah diserang Polandia, dan menjadi sebuah alasan untuk meyakinkan bangsa mereka sendiri, juga masyarakat dunia, untuk menyerang Polandia yang ingin mereka jadikan koloni Jerman.

Anehnya, Naujocks tidak terkesan pada Schellenberg, dan kemudian menjulukinya "si kecil bermuka pucat". Dia bertanya-tanya apakah dia sanggup menjalankan tugas mereka yang pasti sangat berbahaya ini.

Pertemuan dengan Best dilaksanakan pada pukul 02.00, di Cafe Backus, yang disituasikan sebagai wilayah netral, tidak dikuasai pihak manapun, di perbatasan Jerman-Belanda. Schellenberg merasa sangat gelisah dan memesan sebuah brandy untuk mengurangi ketegangan.

Akhirnya, pada pukul 15.20, hampir terlambat setengah jam, mobil Buick milik Best muncul. Mobil itu berbelok menuju gang di samping cafe. Best dan Klopk tapi Steven tetap tinggal di dalam mobil. Schellenberg berjalan seolah-olah akan menyambut mereka, tapi saat itu juga terdengar suara tembakan dan deru sebuah mobi ujung jalan. Itu adalah pasukan SS yang sejak tadi mengintai dari sisi jalan lain. Mobil itu mengarah tepat ke tengah-tengah arena tembak-menembak itu. Situasi ini melanggar semua peraturan tentang keadaan netral— Belanda tidak dalam keadaan perang dan pasukan Jerman tidak punya hak untuk melintas perbatasan. 

Kekacauan terjadi begitu cepat. Klop menarik pistol dan menembak ke arah Schellenberg yang berlari ke sisi yang lain. Mobil pasukan SS berhenti di ujung gang. Ada prajurit yang tergantung di pintunya dan dua senapan mesin bertengger di spatbor depan. Klop menunduk dan mengubah arah bidikannya. Dia melepaskan tembakan, dan sekali lagi menembak, nyaris mengenai Naujocks di kursi depan. Dia melompat dan membalas tembakan dari balik pintu mobil yang terbuka, sementara anak buahnya berpencar untuk melindunginya, senjata mereka terus menyalak.

Naujocks berlari ke arah Schellenberg dan berteriak di depannya "Pergi dari sini! Setelah ini, giliranmu kena tembak!"

Schellenberg menunduk mengitari sudut untuk menghindari tembakan dan berlari mendekati seorang prajurit SS. Sayangnya, orang ini tidak mendapat briefing dan tidak mengenali Schellenberg. Orang itu mengira dia adalah Best, karena keduanya sama-sama memakai kacamata. Prajurit itu menangkapnya dan menodongkan pistol ke wajahnya. 

Jangan bodoh," kata Schellenberg. "Jauhkan senjata itu dariku!"

Terjadilah pertarungan dan prajurit SS itu menarik pelatuk pistolnya. Schellenberg memegang tangannya dan merasa sebutir peluru berdesing di atas kepalanya. Saat itu Naujocks berlari dan memberitahu prajurit tersebut bahwa dia menangkap orang yang salah untuk kedua kalinya dalam satu hari, dia mungkin telah menyelamatkan nyawa "si kecil bermuka pucat".

Schellenberg memandang ke sekeliling sudut dan melihat Klop sudah terjatuh. Dia tertembak dan sekarang mencoba menyeberang jalan, dia menembakkan sisa-sisa peluru yang masih ada di pistolnya, tapi itu semua tak berguna. Senapan mesin ditembakkan dan mengenai lututnya, dia beringsut hingga akhirnya tak sadarkan diri. Saat juga pasukan SS menyeret Best dan Steven masuk ke dalam mobil mereka. Dua orang anggota SS berhenti untuk mengangkut Klop juga, mengikatnya ke mobil seperti sekarung kentang, tapi dia sudah mati. Mobil Jerman itu dijalankan memasuki wilayah mereka sendiri dengan deru mesin yang sangat keras dan jejak karet yang terbakar di atas aspal.

Setelah mereka meninggalkan lokasi, terasa ada keheningan yang aneh. Orang-orang yang akan melintas perbatasan dan para penjaga bermunculan dari pintu dan rumah-rumah, dan berdiri dengan mulut terbuka—tak bergerak. Asap mobil, karet yang terbakar, dan bau sisa-sisa selongsong peluru menyengat tajam. Genangan darah di mana-mana, kilauannya menambah suramnya suatu sore di musim gugur yang hampir lewat.

Operasi ini menghasilkan sukses besar untuk Schellenberg. Dia banyak belajar tentang metode SIS dan memusnahkan cabang kelompok Z di Belanda. Ancaman besar bagi Nazi telah dihapuskan oleh operasi ini dan perang baru berlangsung selama dua bulan.

 

Kelanjutannya

Insiden Venlo itu merupakan kesalahan besar yang memalukan pihak Dinas Rahasia Inggris dan menimbulkan reaksi hebat. Hitler memanfaatkan momen ini sebagai alasan untuk menyerang Belanda, tahun 1940, dengan mengklaim bahwa peristiwa ini membuktikan Belanda tidak netral sama sekali. Selanjutnya, ketika warga Jerman yang sungguh-sungguh bertentangan dengan Hitler mencoba untuk menghubungi agen intelijen Inggris, mereka diperlakukan dengan penuh kecurigaan dan pendekatan ini tidak pernah berhasil.

Setelah penangkapan, Best dan Steven diinterogasi oleh pihak Jerman dalam waktu yang sangat lama, dan mereka memberikan banyak informasi, Steven bahkan membawa daftar seluruh agen Inggris di Belanda saat dia masuk dalam perangkap Jerman.

Kedua orang ini dikirim ke kamp konsentrasi Sachsenhausen sampai akhir masa perang. Mereka bebas ketika kamp itu berhasil direbut pasukan Amerika pada April 1945. Steven meninggal pada 1965 dan Best tahun 1978.

Karir Schellenberg terus menanjak. Dia menjadi Kepala Intelijen Luar Negeri Nazi. Setelah perang, dia menetap di Italia, dan meninggal pada 1952. Naujocks juga selamat dari perang dan meninggal pada 1960.

 

 

---

Nukilan dari buku:

TRUE SPY STORIES

Kisah Nyata Mata-Mata Dunia

Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246667/penangkapan-di-venlo" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650818637000) } } }