array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3606085"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/10/jarum-setan_amirali-mirhashemian-20221210024849.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(139) "Seorang perawat punya hobi baru yakni merajut. Setiap hari kegemaran itu makin menjadi-jadi, hingga akhirnya membuat suami barunya jengkel."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/10/jarum-setan_amirali-mirhashemian-20221210024849.jpg"
      ["title"]=>
      string(11) "Jarum Setan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-12-10 14:49:18"
      ["content"]=>
      string(36724) "

Intisari Plus - Seorang perawat punya hobi baru yakni merajut. Setiap hari kegemaran itu makin menjadi-jadi, hingga akhirnya membuat suami barunya jengkel.

--------------------

“Jangan biarkan tanganmu menganggur, sebab setan bisa memperalatnya untuk melakukan kejahatan,” demikian nasihat Ny. Gibson kepada anak-anaknya. Bagi si kecil Alice, nasihat itu sangat tepat. Alice memiliki tabiat aneh sehingga setiap saat perlu diingatkan. Sifat sadistisnya bisa muncul tiba-tiba, katanya karena dorongan dari dalam yang tak kuasa dicegah. Misalnya, ia kerap menyerang orang yang mengolok-oloknya. Ketika umur 14 tahun, ia pernah menghunuskan pisau kepada kakak perempuannya.

Pasangan Tn. dan Ny. Gibson tak mengerti kenapa putri kecilnya punya karakter begitu aneh. Yang mereka pahami adalah: Alice bukanlah gadis abnormal, bahkan punya bakat besar dalam hasta karya atau kerajinan tangan. Keduanya juga mengamati bahwa setiap kali gadis itu asyik membuat kerajinan tangan, sifat destruktif dan sadistisnya teredam. Bahkan bisa hilang dalam jangka waktu lama.

Tapi sang ibu tetap waspada. Ia tak setuju ketika suatu saat Alice memutuskan untuk bekerja sebagai perawat. Selain sangat paham sifat putrinya, Ny. Gibson juga tahu, pekerjaan sebagai perawat tak memerlukan banyak aktivitas tangan. Tapi apa mau dikata, ayah menolak pendapat ibu. Apalagi ada dukungan dari guru sekolah dan konsultan pandu bakat. Nyatanya, pendidikan sekolah perawat dilalui Alice dengan mulus. Ketika bekerja, karier pun dijalaninya tanpa hambatan berarti. Kekhawatiran ibunya tak terbukti.

 

Bosan berselingkuh 

Kehidupan sebagai perawat tak memberi Alice peluang untuk melakukan hobi hasta karya. la harus bekerja keras untuk memperoleh nafkah yang memadai. Barang-barang perlengkapan semacam kumparan tenun, peralatan renda, atau alas putar untuk membuat kerajinan gerabah, misalnya, terpaksa ditinggal di rumah karena hanya akan memenuhi kamar sempit di rumah susun sewaan. Belum lagi keharusan untuk berbagi tempat dengan teman demi menghemat biaya. 

Dengan teman sekamar bernama Pamela itulah pembicaraan tentang kerajinan tangan dimulai, sesaat setelah Pamela pulang dari liburan dua hari. la mengenakan mantel wol putih sepanjang lutut.

“Bagus sekali,” kata Alice. “Kesannya mewah. Pasti harganya selangit.”

“Ah tidak, aku membuatnya sendiri,” jawab Pamela. 

“Membuat sendiri? Maksudmu, kamu merajutnya sendiri? Dengan tangan?”

“Ya ... tidak terlalu sulit, asal tekun. Aku cuma perlu waktu tiga minggu untuk merampungkannya.” 

Alice memulai aktivitas barunya dengan antusias. Semangat menekuni hobi baru, untunglah, juga menyemangati pekerjaan. Karier Alice menanjak dalam waktu cepat. Dari staf paramedis pangkatnya naik menjadi perawat, kemudian koordinator, dan pada usia 30 ia memimpin staf paramedis yang kebanyakan pria di Rumah Sakit Perwira St. Gregory’s. Di sinilah ia bertemu dengan Rupert Clarigate yang dirawat karena serangan jantung.

Rupert Clarigate berusia 52 tahun, masih lajang, dan telah dua tahun pensiun karena jantungnya tak kunjung sehat. Kendati sudah nonaktif, ia hidup berkecukupan - bahkan berkelebihan - dengan uang pensiun dan rumah peninggalan orang tuanya. Walau menempuh pola hidup sehat, sedikit merokok, dan banyak jalan kaki, makan pun pemilih, suatu saat ia terjatuh di lantai bar karena nyeri tak tertahankan pada sisi kiri dadanya. Dokter memastikan, Rupert terkena serangan jantung. Bagi pasien dengan penderitaan begini, hari-hari pertama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan saksama. Suster Gibson-lah yang menjaganya. 

“Selamat pagi, Kolonel Clarigate,” sapa Alice Gibson di pagi pertama perawatan Rupert. “Anda semalam tidur nyenyak, pasti hari ini badan terasa enak.”

Ada sesuatu yang mendorong Rupert jadi lebih sehat dan itu bukan semata-mata tidur yang nyenyak. Sepasang mata biru laut, badan ramping dalam balutan seragam perawat, senyum manis, serta rambut pirang yang sebagian tertutup topi putih. 

Dalam beberapa hari Rupert bisa menangkap dinamika tempat itu. Kondisi para perawat diperhatikannya. Ada yang selalu menggerutu, ada yang asal bekerja karena sebenarnya tak berminat, ada pula yang pasif. Alice dia nilai berbeda karena terlihat selalu riang, cekatan, namun sabar terhadap pasien.

“Siapa pemuda beruntung yang akan mengencanimu, Suster?” sapa Rupert saat Alice meninggalkan kamar untuk libur keesokan harinya. Barangkali karena tak enak dengan reaksi kaget Alice, Rupert melanjutkan, “Ah, saya tak bermaksud mencampuri urusanmu. Cuma agak iri dengan nasib baik pemuda itu.”

“Tak apa-apa, Kolonel. Tidak ada satu pun pemuda yang akan mengencani saya. Saya akan menikmati malam yang sepi dengan merajut di depan televisi.”

Alice berkata sejujurnya. la memang tak punya pendamping, pacar, pasangan, atau apa pun namanya. Dulu, ketika remaja, ia tak berhasil menyisihkan waktu untuk pacaran. Satu-satunya pemuda yang pernah dekat dicampakkannya dengan pukulan seusai cekcok. Ketika Alice menentukan pilihan pada karier, waktu berjalan terlalu cepat sehingga tak memberinya kesempatan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Lagi pula ia cukup pemilih terhadap laki-laki. Herannya, setiap kali ada yang masuk pertimbangan, selalu sudah beristri.

Namun, Rupert Clarigate sangat berbeda. Ia termasuk pria paling ganteng yang pernah ditemuinya di rumah sakit. Kendati tak muda lagi, rambutnya yang tebal memutih dibiarkan agak gondrong sampai menutupi bagian atas telinga. Sungguh menarik bagi Alice yang memang benci kepala botak.

Dari aksennya Alice tahu, Rupert keluaran sekolah umum negeri, bukan sekolah swasta yang didominasi anak-anak bangsawan. Sebagai pensiunan perwira Inggris dalam tingkat usia yang begitu matang, Rupert sangat piawai mengontrol diri. Misalnya, ia sesungguhnya terpesona pada Alice, namun pandai menyembunyikan kekaguman itu. Sebaliknya, lewat pemahaman mendalam atas sudut mata Rupert, dan kepekaan batin seorang wanita, Alice mengerti hal itu. Masuk akal jika selewat satu minggu masa perawatan, Alice jatuh cinta kepada Rupert. Hampir tak tersisa ruang untuk berpikir panjang atau berwaspada.

Bagi Letkol. Purn. Clarigate, inilah kesempatan mewujudkan ucapannya yang selalu diulang-ulang, “Suatu saat saya pasti menikah,” setelah gagal mencapai target, yakni menikah pada usia 35 tahun. Selama ini ia hanya pacaran, kebanyakan berselingkuh dengan istri-istri perwira.

Masa pensiun benar-benar jadi dorongan Rupert untuk menikah. Kalau tidak, rumah besar peninggalan orang tuanya akan terbengkalai. Kebiasaannya pun tak akan berubah yakni makan masakan yang enak-enak di restoran mahal karena tak ada orang yang memasak untuknya. Ia pun akan terus jadi perokok dengan alasan kesepian. Karena itulah ia menyimpulkan, serangan jantung yang melanda dirinya adalah puncak dari penderitaan karena tak punya istri.

Apakah Suster Gibson yang manis, telaten, dan penuh perhatian, layak jadi pilihan? Sebaliknya, Alice juga mulai mempertimbangkan, kenapa tidak berhenti dari profesinya, dan sepenuhnya mengabdi suami?

Keduanya belum mengambil keputusan ketika Rupert keluar dari rumah sakit, tiga minggu setelah perawatan. Tiga kali makan malam di luar, mereka pun memutuskan untuk saling bertunangan.

“Bagi orang lain, ini mungkin terlalu cepat,” kata Alice. “Tapi bagiku, hubungan ini berlangsung begitu mendalam dan intensif. Lagi pula, adakah hubungan lain yang lebih erat daripada hubungan antara pasien dan perawat?”

 

Tak cuma sambil bicara

Di ulang tahun ke-53 Rupert, sebulan setelah tunangan, Alice menghadiahi pullover, baju hangat tangan panjang, hasil rajutan sendiri. Warnanya cokelat karat dengan strip kombinasi warna krem dan hijau tua pada garis lehernya. Sangat pas buat mantan perwira yang tetap langsing kendati tak pernah diet.

Alice penuh semangat mendampingi Rupert. Sering mengajaknya berjalan-jalan di taman, juga dengan tekun membujuknya untuk meninggalkan rokok.

Rumah warisan Clarigate ternyata tak memenuhi selera Alice. Rupert berniat menjualnya untuk membeli rumah yang sesuai selera. Ada keleluasaan untuk menata dan melengkapi perabot. Apalagi Rupert menyerahkan semua tabungan kepada Alice agar bebas mengatur anggaran.

Perkawinan mereka dilangsungkan pada bulan Mei, tiga bulan setelah perjumpaan pertama di rumah sakit. Tak terlalu ramai karena hanya kerabat dekat yang diundang. Ada kakak Alice. Ada pula Pamela yang datang bersama Guy, suaminya yang pengarang cerita misteri. Di pihak Rupert hadir ibunya yang telah menjanda, saudara sepupu, bekas atasannya di militer, serta dr. Nicholson yang dulu merekomendasikan Rupert untuk dirawat intensif setelah kena serangan jantung. Pesta kecil pernikahan itu diakhiri dengan makan siang dan pada pukul tiga sore pengantin baru terbang menuju Barbados untuk bulan madu.

Alice tak bisa pergi berlibur tanpa membawa serta perlengkapan rajut-merajut. Maka di sela waktu bulan madu itu ia membuat tudung kepala dan sarung tangan untuk keponakannya, jaket untuk iparnya, juga sweater panjang untuk dirinya sendiri. Sebuah pencapaian hebat, karena biasanya, orang yang sedang berbulan madu kalau tidak berpesta, jalan-jalan, ya main di pantai. Tidak merajut.

Tapi secara keseluruhan, liburan berlangsung sukses. Alice tak perlu diajari cara menikmati hidup dan nyatanya aktivitas sampingannya dapat dilakukan dalam kecepatan tinggi. Rupert puas setiap kali makan, seolah-olah lupa kalau ia baru terkena serangan jantung. Satu hal yang membuat Alice senang, Rupert banyak mengurangi rokoknya.

Sekembali dari bulan madu, rumah baru di tepi laut perlu segera dirapikan. Memilih dan memesan karpet, memanggil tukang ledeng, mengontak tukang listrik untuk membenahi pemanas ruangan, dilakukan Alice dengan cekatan. Ia menolak tawaran bantuan Rupert, tetapi juga tidak lantas melupakan kewajibannya mengajak Rupert jalan cepat di pantai untuk menjaga kesehatan jantung. Si suami kini dalam kondisi prima.

Hari kesekian setelah bertubi-tubi disibukkan urusan rumah dan perabotan, Alice baru bisa santai. Kebetulan, Rupert sedang pergi ke tempat praktik dr. Nicholson untuk kontrol rutin bulanan. Timbul keinginan untuk merajut. Ia pun pergi ke toserba untuk membeli benang wol. Sore di hari sebelumnya, saat jalan-jalan bersama Rupert menyusuri pantai, keduanya melihat seseorang mengenakan kaus panjang tanpa kerah yang, kata Rupert, cocok untuknya.

Waktu telah jauh berjalan sejak Alice “berkenalan” dengan kerajinan rajut melalui mantel putih Pamela. Ia kini telah mahir. Ia tahu banyak istilah teknis, paham setiap pilinan benang dan hasilnya, tahu cara mengkombinasikan warna, juga mengabstraksi setiap model baju untuk dikombinasi dengan ide sendiri. Jenis-jenis benang pun ia paham, dari yang kualitas terbaik berbahan baku alami, sampai benang katun dua lapis. Setiap benang berbeda jarumnya. la tahu kalau jarum kait nomor empat belas dalam versi Inggris sama dengan tipe Eropa ukuran dua milimeter dan di Amerika disebut ukuran double O.

Bagi toko perlengkapan rajut dan renda semacam Woolcraft Limited, Alice adalah pengunjung tetap. Untuk membeli bagan desain baju dan enam gulung benang wol, misalnya, terlebih dahulu ia menghabiskan waktu setengah jam untuk melihat-lihat.

Di rumah, peralatan rajut dan jahit tersimpan rapi di laci besar sebuah lemari di ruang keluarga. Selain beberapa benang yang utuh, terdapat juga beberapa gulungan sisa, perangkat tambahan, meteran, serta beberapa pasang jarum kait yang masing-masing tersimpan rapi di dalam amplop plastik. Semuanya terdiri atas beberapa ukuran dan nomor, termasuk nomor empat belas yang dulu digunakannya untuk membuat pullover warna cokelat karat untuk Rupert.

Jika aktivitas merajut terhenti lama, saat memegang jarum lagi Alice merasakan sesuatu yang istimewa. Bagaimana kedua tangan memegang jarum lalu bergerak dalam irama konstan, tangannya terkena gulungan benang yang bergerak mengikuti tarikan, dan seterusnya. Bagi Alice, aktivitas itu sebuah sensasi khas yang sulit dirumuskan dalam kata-kata.

“Sedang apa kamu, Manis?” tanya Rupert di suatu sore sehabis berkebun. 

“Merajut,” jawab Alice sambil tersenyum kepada suaminya.

Rupert duduk di depannya, memperhatikan dengan saksama. Ia baru sadar, selama ini cuma tahu istrinya duduk dan merajut, tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jari-jari Alice menyentik ke atas, ke bawah dan berputar dalam irama konstan ratusan kali per menit. Tangan itu seperti terpisah dari bagian lain tubuh Alice. Dari badannya yang dalam posisi santai, dari matanya yang sesekali melihat Rupert, dan jangan-jangan juga terpisah dari pikiran yang sedang berkeliaran entah ke mana. 

“Aku baru memperhatikan sekarang, ternyata tanganmu lincah sekali membuat rajutan,” komentar Rupert.

“Lo, bukankah aku sudah bilang, baju hangatmu yang cokelat karat itu buatan tanganku, Sayang.”

Rupert memang tak begitu ingat lagi soal baju hangat. la asal saja menyahut, “Aku kira kamu membuatnya dengan mesin.” 

Alice terbahak, lantas melanjutkan rajutannya. Rupert mengambil koran sore yang baru datang, kemudian membacanya di dekat Alice. Beberapa saat kemudian, “Apakah pekerjaanmu itu bisa dilakukan sambil ngobrol?”

“Tentu saja bisa, Sayang. Aku ‘kan perajut terampil? Jangankan merajut sambil ngobrol. Sambil baca, sambil nonton televisi, atau bahkan merajut di ruang gelap,” Alice menatap Rupert dengan penuh rasa kasih, sementara jari-jari kedua tangannya bergerak lincah seperti tangkai piston mesin.

Rupert tidak menanggapi omongan Alice. la kembali membaca koran, dan sepanjang sore tak banyak lagi bicara, sampai saat keduanya pergi untuk makan malam. Keesokan harinya, ketika Alice merajut lagi, Rupert melihat lagi dengan saksama. Sesaat kemudian ia menyalakan rokok, batang pertama dalam beberapa minggu. Ia pergi tanpa sepatah kata pun.

Waktu berjalan terus dengan rutinitas yang sama. Alice selalu asyik merajut, namun selalu bersikap manis dan tak pernah lalai akan tanggung jawab sebagai istri.

“Manis,” kata Rupert suatu sore, “sebetulnya kita tidak terlalu perlu membuat baju sendiri. Kita bukan orang miskin. Setiap saat kamu ingin membeli baju, rok, atau apa pun, kamu tinggal bilang.”

“Ini bukan untukku, Sayang, tapi untukmu. Bukankah kamu bilang ingin memakai baju hangat seperti yang dikenakan laki-laki di pantai tempo hari?”

“Oh, ya? Rasanya aku tidak bilang ingin baju seperti itu. Lagi pula, kalau memang ingin, aku toh bisa membelinya. Percuma susah payah membuat sesuatu yang bisa kita dapatkan dalam sepuluh menit.”

“Tapi aku suka merajut, ‘Yang. Aku cinta hobi ini. Lagi pula, pakaian buatan sendiri jauh lebih enak dipakai daripada keluaran toko.” 

“Tapi membuatnya capek dan membahayakan tangan.” 

“Ah, kamu berlebihan. Tanganku, jari-jariku, baik-baik saja. Perasaanku tetap senang. Justru yang membuatku sedih, kamu mulai merokok lagi.”

Rupert menghabiskan lima batang rokok sepanjang hari itu. Keesokan harinya dua kali lipat dan seterusnya sampai beberapa hari. Datanglah pasangan Pamela dan Guy bertamu untuk liburan.

 

Hentikan kebiasaan itu

Guy, suami Pamela, ternyata cukup menyenangkan. la berbeda dari penulis lain yang rata-rata pendiam. la penuh semangat menjelaskan kisah-kisah misteri karangannya, termasuk menceritakan berbagai metode pembunuhan, kematian, serta penggunaan alat-alat rumah tangga sebagai sarana pembunuhan. Rupanya Alice tertarik. Bahkan bersama Guy mengembangkan gagasan dan penemuan mengenai benda yang bisa jadi alat pembunuh.

“Ada satu zat kimia yang bisa menghambat proses pembekuan darah. Orang telah menguji dengan menyuntikkannya kepada tikus. Ketika tikus-tikus diadu, segores luka, biarpun kecil, bisa menyebabkan kematian karena darah terus keluar,” kata Guy. 

“Saya jadi ingat pengalaman di rumah sakit,” balas Alice. “Paramedis juga menggunakan zat itu atau sesuatu yang proses kerjanya mirip itu. Upaya menghambat pembekuan darah berguna bagi penderita trombosis.”

“Oh, ya?” kata Guy. “Wan, metode pembunuhan yang menarik. Mungkin di buku mendatang saya akan menerapkannya. Akan lebih bagus kalau ditambahi unsur perangsang, lantas ada goresan kecil, misalnya di pergelangan tangan ....”

Alice mengusulkan agar Guy menggali kemungkinan lain dari kasus mabuk biasa menjadi pembunuhan yang sulit dilacak.

“Tidak perlu dengan anggur,” balas Guy. “Ada sejenis kol yang mengandung kalsium oksalat, yakni semacam kristal yang menimbulkan rasa pedih. Kulit yang tergores tanaman ini bisa bengkak. Bayangkan kalau tanaman ini masuk ke dalam mulut. Rongga mulut jadi bengkak menyebabkan orang tak bisa bernapas. Nah, kalau ada kasus semacam ini, ahli patologi yang kalibernya biasa saja pasti akan menyimpulkan korban mati karena tercekik sendiri. la tak akan menemukan zat yang mematikan lysichiton symplocarpus yang terkandung dalam kol itu. Satu lagi metode pembunuhan yang sulit dilacak.”

Berpingpong gagasan dengan Guy adalah pengalaman menyenangkan buat Alice. Sedangkan buat Rupert, pembicaraan itu memuakkan. Maka ia bersyukur ketika waktu dua minggu telah lewat, saat Pamela dan Guy pamit.

Ada sesuatu yang dirasakan Alice sepeninggal pasangan sahabatnya. Tanpa sadar, sifat sadis yang lama terpendam muncul dan terpupuk kembali, meski hanya karena imajinasi. Betapa bersyukurnya dia karena hal itu tak berkepanjangan, sehingga ia bisa kembali pada rajutannya yang tertunda.

Rupert menyalakan rokok. 

“Kupikir-pikir, kenapa aku tidak membelikanmu mesin rajut ya?” katanya. 

“Aku enggak mau mesin rajut, Yang.” 

“Minggu lalu, saat jalan-jalan dengan Guy, ada satu mesin rajut di toko. Memang agak mahal, tapi nggak masalah. Yang penting bisa membuatmu senang dan kerja lebih cepat.”

“Aku bilang, aku enggak mau mesin,” suara Alice meninggi. 

Rupert terdiam. Ia hanya memperhatikan jari-jari tangan Alice bergerak-gerak memainkan sepasang jarum dan benang.

“Sebenarnya, aku tak suka suara itu,” kata Rupert sambil menunjuk jari Alice. 

“Suara apa?” Alice gusar. 

“Itu, bunyi klak-klik-klak-klik.”

“Ah, mana mungkin? Dari ruang sebelah tak terdengar apa-apa.” 

“Tapi aku dengar.”

 “Kamu akan terbiasa.” 

Tapi Rupert tak kunjung terbiasa. Ketika Alice melanjutkan akitivitas pada hari berikutnya, Rupert bilang, “Ternyata bukan karena bunyi klak-klik-klak-klik, Manis, tapi karena jari-jarimu yang menyentak-nyentak naik-turun itu. Rasanya miris melihatnya.”

“Ya jangan lihat, dong.” 

“Enggak bisa, Manis. Entah kenapa, aku selalu terpancing untuk melihatnya.” 

Alice jadi senewen. Sesuatu yang semula dirasanya enak, terganggu oleh tanggapan suaminya. Rajutannya jadi lamban dan tidak cermat. Mengetahui hal itu, Rupert mencoba mengalihkan perhatian. 

“Kita pergi saja, yuk. Minum-minum sebentar di pantai, kemudian ke Restoran Queen untuk makan malam.”

“Ayo,” Alice pun setuju. 

“Tapi, maukah kamu meninggalkan hobi itu demi aku? Toh itu cuma sepele. Kamu bisa beralih ke hal lain yang lebih berguna.”

Cuma sepele dan tak berguna? Alice geram, tapi tak bisa apa-apa. Bagaimana pun Rupert adalah suaminya dan perkawinan membutuhkan saling memberi dan menerima. Dia harus menghentikan hobi dan kebiasaan demi suaminya, karena selama ini suaminya telah memberinya banyak hal.

 

“Apa? Pergi dari rumah?!”

Alice merasa sangat kehilangan. Lama menjalani hobi dalam intensitas tinggi tiba-tiba harus berhenti tanpa persiapan. la yang selama ini biasa membaca atau nonton televisi sambil merajut, merasa kagok melakukannya tanpa merajut. Dengan tangan menganggur, dia menjadi tak tenang.

Sampai suatu sore, keduanya melihat sebuah sweater tergantung di etalase toko. Warnanya krem, di bagian depan terdapat gambar sebuah pulau dalam kombinasi merah dan abu-abu. 

“Berani taruhan, kamu pasti tak bisa buat yang seperti itu. Rajutan kelas tinggi, pasti dikerjakan dengan mesin,” kata Rupert.

Alice tersentak. Emosinya naik. la ingin sekali menampar muka suaminya. la tahu persis, barang yang dipajang itu tidaklah terlalu istimewa. Masalahnya, Alice tak boleh lagi merajut. Keinginan yang timbul terpaksa diredam. Tapi, sampai kapan ia tak boleh merajut? Haruskah menunggu sampai pisah dari Rupert? Atau, haruskah menunggu sampai Rupert mati?

Pikiran kejam semacam itu bukan sekali dua kali muncul. Tapi tak apa-apa. Menurut Alice, pemikiran itu sama kejamnya dengan perlakuan Rupert terhadap dirinya. Ia sering menyesali, kenapa mau menikah dengan pria yang hanya tiga bulan dikenalnya. Ingin rasanya memukul Rupert dari belakang, menyiksanya hingga mengiba, memohon ampun, kemudian membebaskannya kembali merajut.

Rupert menangkap ada perubahan dalam diri istrinya, tapi tak tahu penyebabnya adalah kehilangan sesuatu yang berarti segala-galanya. Ia cuma menebak, istrinya pasti gelisah karena ia makin banyak merokok. Bagaimanapun, Alice paling tahu kondisi kesehatan Rupert. Ia paling paham akibat rokok pada Rupert. Maka dengan mantap ia pun memutuskan untuk berhenti merokok (lagi).

Lima hari tanpa tembakau, badannya terasa ngilu ketagihan. Apa lagi di dalam bar dengan aroma asap yang menggiurkan. Maka ia pun membeli sebungkus dan menyalakannya. Sesampai di rumah, satu batang lagi. Kerinduannya pada nikotin begitu hebat, membuatnya tak peduli lagi pada sekitarnya. la bahkan tak sadar Alice duduk sambil menatapnya di kursi depan. Rupert mengisap rokok dalam-dalam, lantas mengeluarkan sisa asap dengan penuh perasaan. Sehabis satu batang, ia ingin menyambungnya dengan batang kedua. Seketika, satu tangan Alice merampas bungkus rokok, dan satu tangan lagi menampar muka Rupert.

“Dasar makhluk kejam dan egois! Kamu boleh bersenang-senang dengan racun pembunuh yang baunya memuakkan perut, sementara aku kamu larang melakukan hobi sederhana yang tak berbahaya! Kamu memang babi yang tak punya perasaan!”

Pertengkaran pun tak terelakkan. Berjam-jam kemudian keduanya diam. Keadaan baru membaik tiga hari kemudian. Rupert berjanji untuk menjalani terapi penyembuhan kecanduan rokok, sementara Alice menjelaskan keinginannya untuk menyisihkan waktu sejenak setiap hari untuk merajut. Mungkin satu jam sehari, di salah satu sudut ruang makan, tanpa mengganggu aktivitas dan rutinitas apa pun.

Awalnya memang satu jam. Alice betul-betul melampiaskan kerinduannya pada rajutan. Kendati tak lagi membuat sesuatu untuk Rupert, ia terlalu banyak menyimpan keinginan merajut. Sehingga waktu yang satu jam mulur jadi satu setengah jam. Terus jadi dua jam dan selanjutnya. Ia baru sampai pada bagian punggung baju wol wanita warna burgundi, yang diselesaikan secara penuh konsentrasi selama dua setengah jam, ketika tiba-tiba Rupert masuk ke dalam ruangan dengan mulut menjepit rokok serta bau wiski yang menyengat. Dia renggut benda dari genggaman Alice dan membuangnya. Alice berteriak histeris, menarik baju dan mengguncang-guncangnya. Tapi Rupert malah mengobrak-abrik benang dan peralatan rajut yang tersisa di atas meja. Sebagian benang yang menyangkut di jari-jari diputuskannya. Jarum besar coba dipatahkannya, sementara kertas-kertas pola dirobek-robeknya. Alice mendorong muka Rupert dan memukul badannya, tetapi Rupert membalas dengan mencampakkannya ke lantai.

Tiga hari kemudian Alice minta cerai. Rupert bilang, dirinyalah yang mestinya minta lebih dulu, karena Alice adalah pemicu percekcokan. Alice pun menjawab, jika itu kesimpulannya, mestinya Rupert yang angkat kopor dan pergi dari rumah.

“Aku? Pergi dari rumah?! Ngawur, kamu!” 

“Tidak, aku tidak ngawur. Laki-laki yang bermartabat, apalagi seorang perwira, pasti akan melakukan hal itu,” kata Alice.

“Apa?! Kamu ingin aku pergi dari rumah yang kubeli dari warisan orang tuaku? Kamu bukan hanya perempuan sundal, kamu gila! Kamu yang harus pergi! Tak apa-apa nanti aku memberi santunan, karena hukum memang mengatur begitu!”

“Terus, aku kamu suruh apa? Kembali jadi perawat? Tinggal di flat kumuh? Lebih baik aku mati. Aku akan tinggal di sini!” 

Pertengkaran berlangsung berhari-hari, sampai keadaan tak bisa membaik lagi. Rupert gagal mengatasi ketergantungan rokok. la makin sering pergi dan pulangnya mabuk. Sementara Alice tak berani merajut selagi Rupert di rumah.

“Aku sudah berkorban tidak merajut demi kamu, tetapi kamu tak membalas dengan memberikan rumah ini dengan sedikit perabotnya,” kata Alice.

“Gila kamu, mestinya bukan begitu cara berpikirnya.” 

Lagi-lagi keduanya berkelahi fisik. Alice menerjang Rupert dan memukul mukanya. Rupert menangkap tangan itu, lantas menariknya hingga Alice terduduk di kursi. Seketika kursi itu, dia dorong hingga keluar ruangan. Setelah itu Rupert bergegas pergi ke bar di pantai, minum dua gelas wiski sambil mulut terus-menerus mengepulkan asap rokok. Ketika pulang, ia mendapati Alice tidur di kamar lain. Rupert langsung menenggak dua pil tidur. Ia pun terlelap.

Keesokan harinya, Alice masuk ke dalam kamar Rupert. Pria itu masih pulas saat Alice mengelap kulit kepalanya, serta menyisiri rambut tebalnya yang memutih. Alice tak lupa mengganti sarung bantal, menyeka noda yang menempel pada baju piyama suaminya, kemudian dengan tenang menelepon ... dokter!

 

Di mana jarum yang satunya?

“Ya, ia telah meninggal! Tampaknya jantungnya tak kuat,” kata dokter. “Konsumsi rokok dan alkohol berjumlah besar dalam waktu singkat menyebabkan otot jantung tak sanggup menahannya. Kerusakan otot jantung yang parah,” lanjut dokter.

Alice mengangguk. “Sejak dia merokok lagi, saya selalu punya bayangan buruk.” 

“Sebenarnya, dalam kasus ini ...”

Dokter belum selesai bicara ketika Alice menyela, “Tapi bagaimanapun, saya telah mengalami bulan-bulan penuh kebahagiaan bersama dia.”

Dokter menandatangani surat keterangan kematian. Semuanya serba jelas, tak perlu autopsi segala. Pamela dan Guy datang pada saat kremasi jenazah, kemudian mengajak Alice tinggal sementara di rumah mereka.

Empat minggu kemudian Alice kembali ke rumah yang kini dia miliki sepenuhnya. Ia bahkan bisa menambah perabotan dari uang tabungan Rupert, sementara jaminan sosialnya sangat cukup untuk hidup.

Hari berganti dan bulan berlalu. Pamela hampir tak mengenali Alice ketika berjumpa lagi dengannya. Alice kelihatan lebih muda, lebih langsing, sebagian rambutnya dicat warna merah.

“Bagus sekali bajumu,” Pamela memuji setelan warna burgundi yang dikenakan Alice. Baju bagian atasnya berupa jaket tebal berenda-renda.

“Aku membuat sendiri atasan ini,” jelas Alice. 

“Wah, aku jadi tak sabar ingin merajut lagi. Rasanya kemampuanku tidak kalah dari kamu, Alice.”

Esoknya, hari Minggu, keduanya berjanji untuk main di pantai. Pamela mengutarakan lagi keinginannya untuk merajut. Tangannya sudah geregetan. Maka keduanya mampir ke rumah Alice. Sesampai di rumah, Alice membuka laci penyimpanan perkakas rajut, diambilnya selembar rajutan warna biru yang pernah dibuatnya namun tak dilanjutkan. “Kamu teruskan saja pekerjaan ini, dan ini polanya. Mungkin bisa kamu buat jadi kaus hangat untuk Guy,” kata Alice. 

Pamela setuju. “Tinggal meneruskannya, kok. Tetapi mana jarumnya, nomor empat belas, Alice?” 

Sekejap wajah Alice berubah. Dengan ragu ia mengambil amplop plastik tempat penyimpanan jarum di dalam laci. Satu per satu dibukanya, tak ada ukuran yang dimaksud. Pamela, yang sudah terbakar oleh semangat untuk merajut, tak sabar ikut meraba-raba alas laci. “Nah, ini dia. Nomor empat belas, dua milimeter, double O .... Tapi, cuma ada satu, Alice!”

“Oh, ya? Pasti yang satunya hilang,” Alice langsung merebut jarum dari genggaman Pamela, lantas memasukkannya ke dalam laci.

“Tunggu, Alice. Pasti cuma terselip di suatu tempat, tidak hilang,” kata Pamela kaget. 

“Hilang. Aku yakin itu. Sayang kamu terpaksa tidak bisa mulai merajut malam ini.”

Guy menyela, “Rasanya aneh, jarum yang mestinya selalu berpasangan, bisa hilang salah satu.”

“Ya bisa saja. Barangkali terjatuh dalam perjalanan, dicari tidak ketemu,” Pamela menanggapi. “Atau mungkin dipakai Alice untuk hal lain, misalnya menyodok pipa yang tersumbat.”

“Ia jelas perlu besi yang lebih besar, bukan jarum kail. Nah, kalau dalam novelku, jarum kait nomor empat belas bisa jadi alat pembunuh. Sedikit diasah ujungnya, bisa ditusukkan pada kulit kepala mabuk atau tak sadar. Tusukan bisa menembus tengkorak kepala sampai ke otak, dengan hanya menimbulkan sedikit pendarahan.”

“Tapi kalau diperiksa dokter, pasti ketahuan,” Alice menanggapi.

“Belum tentu. Yang jelas, hampir semua pria setengah baya mempunyai tanda-tanda penderitaan jantung koroner meski kadarnya berbeda-beda. Bagi ahli patologi yang kualitasnya biasa saja, hal itu tidak mencurigakan. Ia tak akan mewaspadai kemungkinan lain, apalagi untuk menemukan satu titik di kulit kepala, di balik rambut yang tebal dan ikal!”

“Sudah! Sudah! Hentikan cerita seram itu!” sahut Pamela, setelah mengetahui muka Alice berubah jadi pucat dan tangannya yang memegang benang gemetaran. 

Pembicaraan terhenti. Alice memaksakan diri untuk tersenyum. “Oke, sekarang kita cari kegiatan lain saja. Besok, setelah beli jarum nomor empat belas, kita akan merajut lagi. Aku pun harus memulai aktivitas baru karena terlalu lama menganggur. Padahal dulu ibuku selalu memberi nasihat, jangan biarkan tanganmu menganggur, sebab setan akan memperalatnya untuk melakukan kejahatan.” (Ruth Rendell)

Baca Juga: Terilhami Buku Kriminal

 

" ["url"]=> string(56) "https://plus.intisari.grid.id/read/553606085/jarum-setan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670683758000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3309920" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/penjelajahan-di-tanah-tak-berad-20220603065033.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Ernest Giles dan Alfred Gibson mengarungi bentangan bagian barat Australia yang tak dikenal - hanya salah satu dari mereka yang kembali pulang." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/penjelajahan-di-tanah-tak-berad-20220603065033.jpg" ["title"]=> string(35) "Penjelajahan di 'Tanah Tak Beradab'" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 18:50:59" ["content"]=> string(23526) "

Intisari Plus - Ernest Giles dan Alfred Gibson mengarungi bentangan bagian barat Australia yang tak dikenal - hanya salah satu dari mereka yang kembali pulang. Padahal tim-tim lain yang melintas di rute mereka rata-rata menempuh keberhasilan.

-------------------------

Sejauh mata memandang yang tampak adalah belantara tandus. Di barat, terlihat bukit-bukit berpasir merah tak berujung. Membentang dari barat laut, tanahnya lebih rata, tapi seragam. Tak ada yang menarik untuk dilihat di selatan. 

Menyapu pemandangan dengan binokulernya, satu-satunya sosok jelas yang dapat dilihat penjelajah itu terletak di barat daya. Di sana, di kejauhan, di antara kabut yang berpendar, Ernest Giles melihat gunung.

Ia mengamatinya dengan cermat. "Ada bukit barisan membentang panjang," ia memberitahukan temannya sambil merendahkan binokulernya. "Bisa berarti air. Aku perkirakan jaraknya sekitar 80 kilometer. Ke sanalah tujuan berikut kita."

William Tietkens, pria di sebelahnya, mengangguk setuju. la tidak punya banyak pilihan—Ernest Giles adalah pemimpin ekspedisi. Hanya bersama dua pria lain, Tietkens bergabung dengan Giles dalam usaha yang keras untuk menyeberangi Australia Barat.

Saat itu Januari 1874. Australia memberikan tantangan yang besar kepada penjelajah Inggris, yang ingin mempertaruhkan klaim mereka terhadap tanah "tak beradab" yang luas ini. Para penjelajah Inggris itu kurang menghormati orang-orang yang sudah lama menetap di sana, suku Aborigin yang mengenal tanah itu dengan baik. 

Malahan mereka menganggap penjelajahan mencapai sudut terjauh itu sebagai tugas yang secepatnya melawan suku Aborigin di sepanjang perjalanan. Dalam perjalanan, mereka memberikan nama setiap sosok lanskap—seakan-akan tak seorang pun pernah melihat sebelumnya.

Tahun 1862, John McDouall Stuart menjadi orang kulit putih pertama yang menyeberangi benua itu dari utara ke selatan. Tahun 1872, sebuah jalur telegraf yang luas dibangun sepanjang rute Stuart. Sekarang, yang menjadi tantangan adalah menyeberangi Australia dari garis telegraf itu ke pantai barat. Kebanyakan wilayah ini merupakan gurun pasir.

Perlombaan pun dipacu. Ernest Giles melakukan usaha pertamanya tahun 1872. la mencapai Gunung MacDonnel, tapi kehabisan air dan terpaksa kembali. Ia bermaksud kembali lagi tahun berikutnya. Akan tetapi, saat itu, dua penjelajah lain juga berlomba. Mereka adalah Peter Warburton dan William Gosse. Bertekad untuk mengalahkan mereka berdua, Ernest Giles berangkat pada 4 Agustus 1873.

Pada Januari 1874, Giles telah mencapai pegunungan yang ia namakan Rawlinson Range—Pegunungan Rawlinson. Ia menjelajahi wilayah itu dan mendirikan sebuah perkemahan bernama Fort McKellar. Ia merasa kecewa, gunung-gunung itu meredup. Jauh dari mereka, menuju arah barat, tampak tidak ada apa-apa kecuali lebih banyak gurun pasir.

Ini ia ketahui ketika mengintai gunung ke arah timur laut bersama temannya, William Tietkens. Dua pria itu kembali ke kemah dan menceritakan pada yang lain—pemuda Jemmy Andrews yang baru berusia 20 tahun dan Alfred Gibson, yang jebih tua. Pada 1 Februari 1874, empat pria itu bersama lebih dari 20 ekor kuda, berangkat menuju gunung yang memikat itu.

Perjalanan itu merupakan kesalahan besar. Perkiraan Giles tentang jarak ternyata salah, dugaan lain bahwa mereka akan mendapati air juga salah. Kuda-kuda mereka kelelahan, dan di sepanjang jalan tidak ditemukan air. Ditambah lagi saat itu adalah pertengahan musim panas, yang panasnya membakar.

Segera setelah mereka mengetahui bahwa gunung itu kering, Giles sadar bahwa mereka harus kembali ke Rawlinson Range secepatnya. Mereka berjalan pada malam hari ketika temperatur lebih sejuk. Meskipun demikian, bagi sebagian kuda, jalur tersebut terlalu berat. Sesampai di Fort McKellar, empat kuda mati karena kehausan dan kelelahan.

"Mount Destruction—Gunung Penghancur—itulah nama yang paling tepat untuk tempat ini," kata Giles putus asa.

Jadi, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Tampaknya ke arah barat tidak ada apa-apa kecuali gurun pasir. Mengetahui orang lain mungkin telah mendahuluinya dalam perlombaan itu, Giles mati-matian tidak mau mengakui kekalahan. Ketika kuda-kuda kembali pulih, ia mempertimbangkan niatnya.

Akhirnya, ia memutuskan melakukan perjalanan singkat ke gurun pasir—sejauh yang dapat mereka capai dalam beberapa hari untuk melihat apa yang ada di kaki langit. Mungkin saja gurun pasir itu tidak membentang terlalu jauh; mungkin pula ia menemukan sumber air lain. Kali ini, ia tidak mau mempertaruhkan semua orang dan kuda. Ia hanya akan membawa empat ekor kuda dan seorang pria lain. Akan tetapi, mana dari tiga pria itu yang ikut dengannya?

Pilihannya adalah William atau "Tuan" Tietkens. Ia sangat cakap dan Giles menyebutnya dengan panggilan "Tuan" karena ia berasal dari kelas sosial yang sama dengannya. Mengajak Jemmy Andrews tidak mungkin. Sekalipun pekerja keras dan berkemauan, tapi Andrews masih muda, tidak berpendidikan, tidak cerdas.

Akan tetapi, pria ketiga, Alfred Gibson, menyatakan bahwa ia sangat ingin pergi bersama Giles. Seperti Andrews, Gibson juga tidak berpendidikan, tapi ia sedikit lebih tua, bersifat pemarah dan pemurung. 

Giles tidak menyukainya, dan benar-benar tidak mau pergi dengannya. Ia tidak pernah mandi, sangat bau, dan selalu berbohong. Meski telah menunjukkan bahwa dirinya cukup bertanggung jawab, ia bisa bersikap ceroboh. Akan tetapi, Gibson bersikeras dan—akhirnya—Giles mengalah.

Pada 20 April, mereka mengemas seluruh barang yang diperlukan, ke atas empat kuda. Mereka membawa dua kuda, kuda berkaki pendek yang besar berwarna kemerah-merahan jenis cob, dan kuda lain bernama Darkie, serta cukup banyak perbekalan daging kuda kering dan air untuk persediaan satu minggu. 

Giles menunggang kuda terbaiknya, The Fair Maid of Perth, sementara Gibson menunggang Badger, kuda yang kuat dengan stamina penuh. Mereka berangkat ke Circus, tempat terakhir di Range Rawlinson yang terdapat air. Mereka bermalam di sana, dan berangkat ke tempat yang tidak diketahui pagi hari berikutnya. 

Hari itu, Gibson sedang gembira. Dia bercakap dengan bebas, sesuatu yang mengherankan Giles karena Gibson sering kali merengut dan merajuk.

"Bagaimana bisa," Gibson bertanya pada Giles, "begitu banyak orang pergi dalam ekspedisi seperti ini dan tewas?"

Giles mempertimbangkan jawabannya. "Well, Gibson," ia berkata dengan bijak. "Banyak bahaya terjadi dalam penjelajahan—selain risiko kecelakaan, tentunya. Akan tetapi, menurutku, kebanyakan orang tewas karena tidak adanya pertimbangan, pengetahuan, atau keberanian. Dan lagi, tentu saja, kita semua akan mati, cepat atau lambat."

"Aku tidak ingin mati di tempat ini," sahut Gibson.

"Aku juga tidak!" Giles menyetujui.

Setelah itu, mereka berkuda dalam kebisuan, melalui bentangan bukit pasir yang ditutupi spinifex, tumbuhan yang paling umum di gurun pasir bagian barat. Setelah beberapa jam, mereka berhenti dan membiarkan kuda-kuda beristirahat.

Saat itu, mereka sangat lapar, Giles pun mengambil sebagian daging kuda dari punggung Darkie. Giles terkejut. "Gibson!" ia berteriak. "Kupikir aku sudah bilang untuk berbekal daging kuda yang cukup untuk seminggu."

Gibson memandangnya dengan merengut. "Aku sudah melakukannya," ia bersikeras.

"Di sini, cuma cukup untuk satu orang," kata Giles dengan kesal. "Yang pasti, bukan berdua."

Ia telah menugaskan Giles mengemasi daging dan tidak memeriksanya lagi. Gibson diam, Giles menarik napas. Tak ada gunanya mempertentangkan masalah itu; mereka harus bisa memanfaatkan yang ada. Sementara waktu, mereka beristirahat di bawah rerimbunan, kemudian berangkat lagi dalam panas hari petang hari yang membakar. Menjelang malam, mereka telah mencapai jarak yang memadai.

"Empat puluh mil (65 kilometer) dalam sehari," ujar Giles sewaktu mereka memasang tenda. "Lumayan sekali."

Giles tak dapat tidur. Semut mengelilinginya di mana-mana dan ia heran melihat temannya dapat tidur sementara semut-semut merayapi badannya. Malam ini tanpa kecuali Gibson tidur nyenyak.

Saat fajar, mereka berangkat lagi dan berjalan sepanjang 30 kilometer melalui sebuah lanskap yang berangsur-angsur berganti—tapi hanya berpindah dari satu jenis gurun pasir ke lainnya. Bukit-bukit berpasir berlalu, diganti jalan berkerikil, kemudian batu-batu yang lebih besar. Berat rasanya melanjutkan perjalanan dengan berkuda. 

Kemudian mereka berhenti untuk istirahat, Giles mendapati salah satu kantung air bocor. Tidak saja daging kuda yang jumlahnya sedikit untuk dimakan, persediaan air mereka pun sedikit.

"Sebaiknya kita mengenyahkan kuda-kuda pengangkut bekal," kata Giles. "Kita akan mengembalikannya. Jadi, sisa air ini untuk kita sendiri dan kuda-kuda lain."

Gile berharap, dengan nalurinya kuda-kuda itu akan mengikuti jejak yang telah mereka tempuh, dan perlahan-lahan mencapai lokasi terakhir tempat air tersedia.

"Well, aku lebih suka menunggangi cob daripada Badger," kata Gibson. "Aku akan mengirim Badger dan Darkie kembali."

Giles kelihatan ragu-ragu. "Gibson, aku pilihkan Badger untukmu karena aku tahu ia tahan menempuh jarak jauh. Ia memiliki stamina."

Gibson dengan keras kepala menggelengkan kepalanya. "Aku lebih suka cob," ia memaksa."Ia cukup bugar sekarang."

"Ya," sahut Giles dengan sabar. "Tapi, kita belum mengujinya sampai pada batas itu. Mungkin ia tidak mampu mencapainya. Kita hanya paham tentang Badger dan Fair Maid of Perth."

Gibson mengangkat bahu dengan merengut. "Aku ingin menunggang cob," ia mengulangi.

Giles menghela napas dengan jengkel. Kadang Gibson memang benar-benar ajaib. "Baiklah," kata Giles. Mereka perlu membuat keputusan dan melepas kuda-kuda itu ke jalannya. "Kau akan menunggang cob." 

Keputusan itu amat penting. Giles mungkin mengingat jelas kata-katanya sendiri tentang hal ini—bahwa orang menemui ajalnya di gurun pasir karena tidak adanya pertimbangan, pengetahuan, atau keberanian ... Kesalahan serius dalam membuat keputusan baru saja dilakukan.

Di tempat itu mereka meninggalkan beberapa guci berisi air yang amat diperlukan sekembalinya dari perjalanan mereka nanti. Mereka beristirahat hingga panas mulai mereda, kemudian berangkat lagi menempuh 30 kilometer (20 mil). Masih tak ada tanda-tanda gurun pasir itu akan berujung. Gurun itu membentang ke seluruh penjuru, ke kaki langit, dan seterusnya.

Malam ini mereka berusaha tidur, tapi kedua kuda itu mengusik mereka. Makhluk yang putus asa itu mengendus-ngendus kantung air, ingin minum. Giles telah menggantung kantung berisi setengah liter air mereka yang terakhir di pohon. Mencium bau air itu, Fair Maid of Perth berjingkat dan merenggut kantung itu dengan giginya. 

Ketika ia menarik kantung itu, sumbatnya terloncat, dan air pun memancur ke udara dan menyembur ke tanah. Giles dan Gibson memelototi kejadian itu tidak percaya, tenggorokan mereka kering dan tersedak. Sekarang, mereka hanya memiliki setengah liter air yang tersisa.

Cob bahkan lebih putus asa dari si kuda betina. Ia mengendus di sekeliling kemah dengan kalut, mencari air. Gibson memandang hewan yang malang itu dengan amat kesal.

"Seandainya aku memilih Badger," ia berujar. "Cob semakin lambat sepanjang petang ini. Aneh. Sebelumnya ia selalu kuat."

Giles diam. Lagi pula, ia bisa bilang apa? 

Mereka memulai perjalanan lagi sebelum fajar, dan menyusuri jarak 15 kilometer. Di sana, di hadapan mereka, tampak sebagian barisan bukit—akhirnya pemandangan pun berubah. Sedikit lebih jauh, keadaan jelas tampak penuh harapan. 

Di kejauhan terdapat barisan pegunungan, yang jaraknya kira-kira sehari perjalanan. Giles memandang pegunungan itu dengan merindu, tapi mereka telah berjalan 160 kilometer dari air yang terakhir. Keadaan tidak berjalan dengan baik. 

"Giles!" Gibson yang berkuda di belakangnya memanggil. Menurutku, cob sekarat."

Giles berpaling dan memandangi makhluk yang malang itu dengan cemas. Kepala cob menggelantung rendah, ia sulit menjejakkan satu kaki di depan yang lainnya. Tidak diragukan lagi, mereka harus kembali. Secepatnya.

"Aku namakan pegunungan itu barisan pegunungan Alfred dan Marie," kata Giles dengan pandangan akhir penuh sesal ke arah mereka. "Atas nama Duke dan Duchess of Edinburgh. Aku memohon, ya Tuhan, suatu hari aku akan menjejakkan kakiku di sana."

Akan tetapi, penderitaan cob begitu mengerikan. Ia tidak mampu berjalan jauh setelah berhenti di jalurnya.

"Aku akan turun," ujar Gibson. "Kita harus menyeretnya terus."

Cob bergerak sedikit jauh, tapi kemudian kaki-kakinya roboh. Ia terkulai, matanya pudar dan berkaca-kaca. Jelas ia tak akan pernah bangkit lagi.

Giles dan Gibson kini berada dalam keadaan yang berbahaya, Dua pria dan seekor kuda—semuanya kelelahan dan nyaris tanpa bekal air. Giles turun dan membiarkan Gibson menunggang Fair Maid of Perth sementara ia sendiri berjalan kaki. Perjalanan yang sukar. Setelah satu atau dua jam, mereka berhenti dan meneguk air terakhir mereka. Giles berpikir keras.

"Gibson," katanya. "Kita tak bisa terus seperti ini. Salah satu dari kita harus terus maju dengan berkuda. Aku akan tinggal. Sekarang, dengarkan aku. Pergilah ke tempat kita menyimpan pundi air, beri minum kuda betina itu atau ia akan mati.” 

“Tinggalkan air buatku sebanyak yang kau bisa. Tetaplah pada jalur yang telah kita buat, dan jangan keluar jalur. Bila kau mencapai kemah, kirim Mister Tietkens bersama air dan kuda-kuda baru. Aku akan mengikuti dan terus melanjutkan sejauh aku bisa dengan berjalan kaki."

"Baiklah," kata Gibson. "Tapi, akan lebih baik lagi kalau aku membawa kompas."

Giles ragu. Gibson tidak paham betul cara membaca kompas, ia yakin itu. Selain itu, ia hanya punya satu. Dengan enggan diberikannya kompas itu dan Gibson mengantunginya. Gibson menaiki kuda dan berangkat.

"Ingat—tetap pada jalur!" kata Giles. 

"Baik," Gibson menyahut.

Dan ia pun pergi.

Dengan kepergian Gibson, Giles berjalan dengan susah payah melalui gurun pasir, dalam keadaan yang semakin haus. la tahu, pundi-pundi air itu letaknya masih 50 kilometer lagi. "Jika, aku jalan terus, aku akan mencapainya besok petang," ia berkata pada dirinya sendiri.

Dengan usaha dan tekad yang penuh, Giles mencapai pundi-pundi itu hari berikutnya. Gibson sudah di situ dan pergi, meninggalkannya sekitar sembilan liter air serta beberapa potong daging kuda asap. 

Giles kelaparan dan tercekik karena kehausan, tapi ia sadar ia harus membatasi dirinya dengan hati hati. Ia duduk dan memikirkan situasi yang ada. Ia berada 100 kilometer dari Circus, dan 130 kilometer dari perkemahan. 

Sekurangnya butuh enam hari bagi siapa saja untuk menjemputnya kembali. Haruskah ia cuma duduk dan menunggu, ataukah terus berjalan? Berjalan jauh berarti membawa pundi air, yang amat berat dan menyusahkan. Sebuah dilema yang amat buruk.

"Setelah mencerna dengan saksama seluruh keadaanku, aku menyimpulkan jika aku tidak menolong diriku sendiri, nasib tidak akan menolongku juga," tulis Giles kemudian. Dengan memikul pundi air yang berat, Giles terhuyung-huyung melangkah mengikut jalur—seperti yang dikatakannya pada Gibson.

Hari-hari selanjutnya berlalu dalam kesamaran. Giles hanya mampu berjalan amat lambat karena panas terik dan beban pundi. Dua puluh lima kilometer dari tempat pundi itu, ia berhenti.

"Aneh," ia bergumam sendiri.

Garis utama jejak kuda lurus di depannya, tapi jejak dua kuda yang telah mereka lepas mengarah ke selatan. Selagi ia mengamati jejak itu dengan cermat, jantungnya berdegup kencang. Jelaslah bahwa Gibson mengikuti jejak kuda-kuda yang hilang itu.

"Mungkin mereka semua akan segera kembali ke garis utama," pikir Giles. Dengan cemas ia berjalan sempoyongan mencari jejak Gibson dengan harapan Gibson menyadari kekeliruannya dan kembali. Akan tetapi, tanda-tanda Gibson tak pernah ada.

Giles terus melangkah dengan tabah, semakin lemah dan lemah. Setiap kali ia duduk beristirahat, kepalanya terasa melayang-layang ketika ia berusaha untuk mengangkatnya lagi. Ia berkali-kali terjatuh, tapi memaksakan dirinya untuk berjalan terus. 

Sewaktu meneguk airnya yang terakhir, ia masih 30 kilometer dari Circus. Akan tetapi, karena sekarang ia dapat membuang pundi yang berat, ia pun melakukan usaha besar terakhir. Ia mencapai Circus waktu fajar, setelah berjalan kaki semalaman. Ketika itu tepat seminggu sejak Gibson meninggalkannya. 

Giles duduk di tepi lubang mata air, lalu minum dan minum. Sekarang jaraknya hanya 30 kilometer menuju perkemahan, tempat ia akhirnya akan mendapat sedikit makanan. Akan tetapi, ia amat putus asa sehingga mencari cara lain untuk mendapat makanan.

"Ketika aku meninggalkan Circus," tulisnya, "aku memungut seekor wallaby kecil yang sekarat, yang dibuang induknya dari kantung perut. Beratnya kira-kira 60 gram dan belum berbulu rata. Begitu aku melihatnya, seperti seekor elang, aku melompat dan memakannya mentah-mentah, selagi sekarat, dengan bulu, kulit, semuanya. Rasa lezat makhluk itu tak akan pernah kulupa."

Sekarang, tak ada bahaya yang berarti, Giles mencapai 30 kilometer terakhir dan tiba di Fort McKellar ketika fajar sekitar dua hari kemudian. Ia membangunkan Mister Tietkens yang memandangnya seakan-akan dirinya hantu.

"Aku minta—makan," Giles berkata dengan suara parau. 

Tietkens segera memenuhi permintaannya. "Di mana Gibson?" ia bertanya segera setelah Giles dapat berbicara dengan jelas.

Giles menggelengkan kepalanya dan mereka menyadari dengan rasa takut bahwa Gibson pasti sekarang sudah tewas. Tak ada tanda-tanda dirinya, baik di perairan Circus atau di perkemahan. Giles menceritakan Tietkens tentang jejak Gibson, dan bagaimana mereka meninggalkan jalur utama.

"Kita harus kembali dan mencarinya," ujar Giles meskipun ia hampir tidak bisa bergerak. Ketika ia cukup kuat, mereka mengemasi kuda-kuda itu dan melakukan pencarian. Namun, meski seluruh usaha dijalankan, mereka sama sekali tidak menemukan apa-apa.

 

Kemudian

Dengan dugaan bahwa Gibson telah tiada, Giles terpaksa mengakhiri ekspedisi itu. Ia menamakan gurun pasir itu Gurun Pasir Gibson untuk mengenang teman seperjalanannya.

Sayangnya, rombongan itu mundur dan mencapai Perairan Charlotte pada 13 Juli 1874. Di sana, Giles menerima kabar yang amat mengecewakan. Meski Gosse, lawannya, terpaksa kembali, Warburton telah mengambil rute yang lebih ke utara menyeberangi gurun yang kemudian dikenal dengan nama Gurun Pasir Raya (Great Sandy Desert). Dengan menggunakan unta, alih-alih kuda, ia telah mendahului menuju tempat Giles gagal.

Yang lebih buruk lagi, penjelajah lain—namanya John Forest—berangkat dari Perth dengan harapan menyeberangi gurun pasir dari barat. Ia juga berhasil.

Tapi, hari-hari penjelajahan Giles jauh dari kesudahan. Tahun 1875, ia mengambil rute yang lebih selatan dan mencapai pantai barat melalui Gurun Pasir Victoria Raya. Kemudian, tahun 1876, ia menyeberang kembali, kali ini melalui Gurun Pasir Gibson yang membawa sial. Ia berharap menemukan beberapa petunjuk teman lamanya itu; tapi—hingga hari ini—Gibson tak pernah ditemukan.

 

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309920/penjelajahan-di-tanah-tak-beradab" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654282259000) } } }