array(5) {
  [0]=>
  object(stdClass)#65 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3753281"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#66 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/26/mereka-diangkut-dengan-kereta-je-20230526103218.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#67 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(149) "Karena khawatir akan masa depan, seorang teolog melakukan pembunuhan pada keluarganya. Ia pun berencana untuk bunuh diri setelahnya namun tertangkap."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#68 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/26/mereka-diangkut-dengan-kereta-je-20230526103218.jpg"
      ["title"]=>
      string(37) "Mereka Diangkut dengan Kereta Jenazah"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-05-26 10:32:28"
      ["content"]=>
      string(46705) "

Intisari Plus - Karena khawatir akan masa depan, seorang teolog melakukan pembunuhan pada keluarganya. Ia pun berencana untuk bunuh diri setelahnya namun tertangkap.

---------------

Kota Hamburg yang tenang hari Senin tanggal 15 Agustus 1803 pagi-pagi sudah dikejutkan oleh desas-desus yang segera merebak. Seorang cendekiawan, seorang teolog yang pernah berkhotbah, dikabarkan telah membunuh seluruh keluarganya: istri dan anak-anak. Semuanya enam orang.

Fakta-fakta yang segera terungkap lebih mengerikan daripada desas-desus.

Pagi-pagi pembantu rumah tangga ingin membangunkan majikannya di rumah nomor 40 di Groeningerstrasse. Waktu ia masuk ke kamar tidur bawah, ia menemukan nyonya rumah dan seorang anak laki-laki berlumuran darah telah meninggal di tempat tidur mereka. Di tingkat-tingkat atas anak-anak pemilik rumah, juga telah dibunuh dan berlumuran darah.

Si pembantu rumah tangga pergi ke tetangga. Semua berdatangan untuk menyaksikan. Sesudah jam 7, polisi tiba.

Pemilik rumah, yang keluarganya semua mati terbunuh itu, bernama Ruesau. Ia lebih dikenal orang sebagai Kandidat Ruesau. Ia telah lama meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang pengkhotbah. Kemudian ia membuka tempat pendidikan yang digabungkan dengan sebuah asrama bagi gadis-gadis yang dipimpin oleh istrinya. Sesudah itu ia mulai berdagang kelontong yang dilakukan di rumahnya sendiri. 

Setelah diselidiki tidak ada orang tidak dikenal masuk ke rumah itu malam sebelumnya. Tidak pula terdengar jeritan. Pagi hari jam 4, tuan rumah sudah keluar. Pada pembantu rumah tangga yang baru saja bangun, ia mengatakan bahwa ia akan segera kembali.

Orang tidak dapat mengatakan yang jelek-jelek tentang Ruesau. Malahan kebalikannya, ia terkenal sebagai seorang yang baik dan terhormat di mana-mana. Orang juga tidak dapat menduga mengapa ia melakukan pembunuhan yang begitu keji. Tetapi meskipun demikian, semua yakin dialah pembunuhnya. Ia seorang pendiam dan bermuka suram. Sebuah potret yang tertinggal memperlihatkan muka yang penuh syak wasangka dan akal licik.

Kabar sampai pada Senator Jenisch, yang memerintahkan petugas-petugas polisi, dr. Matthai, dan Wichers pergi ke rumah di Groeningerstrasse. Dr Steffen memeriksa para korban. Ia mulai dengan mayat istri Ruesau. Padanya dan juga pada semua korban ia menemukan luka-luka leher yang mematikan. Anak perempuan yang tertua, seorang anak yang cantik, ditemukan terlentang, agak miring, kakinya disandarkan ke tembok, lutut ditarik ke atas, dan tangan menengadah. Padanya dokter menemukan goresan di leher, di dada ada beberapa luka lagi, dan kedua tangannya juga terluka. Dapat diambil kesimpulan dari keadaan itu bahwa ia melawan pembunuhnya. Di meja di depan tempat tidurnya ditemukan pisau cukur berdarah. Kedua gadis yang kos dan tidur di kamar atas, terluput pembunuhan.

Keenam jasad itu dibersihkan dan disemayamkan berderet di sebuah kamar. Rumah ditutup dan disegel. Groeningerstrasse hari itu terus penuh dengan penonton. Kandidat Ruesau telah ditahan.

Sore hari dua pegawai kantor walikota berburu bebek di dekat sungai. Waktu perahu mereka sampai di Danau Alster, mendekati tempat pejagalan, mereka melihat seorang lelaki berpakaian baik yang tergeletak lemas di rumput di tepian. Mereka turun dari perahu dan mengajaknya berbicara. Mereka bertanya siapa namanya. Ia bernama Ruesau. Mereka mengatakan bahwa ia telah melakukan kejahatan dan ia tidak membantah. Tetapi ia tidak dapat mengatakan berapa orang yang telah dibunuhnya. Agaknya ia ingin bunuh diri tadinya. Pakaiannya basah kuyup. Ia masuk ke Danau Alster, tetapi pada tempat itu kurang dalam karena musim panas yang benar-benar panas menyusutkan air. Leher dan tangannya luka.

Kedua lelaki itu segera membawa Ruesau ke pos polisi yang berdekatan. Petugas yang sedang dinas memasukkannya ke dalam sel. Tidak lama kemudian petugas itu kewalahan menahan orang-orang yang ingin membunuh Ruesau. Akhirnya datang sebuah kereta dari kantor besar yang dikawal oleh beberapa petugas lain. Sesudah luka-luka Ruesau yang dibuatnya sendiri itu dibalut, ia dimasukkan ke kereta dan dibawa ke pos polisi di Pferdemarkt.

Sejak pemeriksaan pertama ia mengaku dengan tenang dan tanpa kebingungan bahwa ia telah melakukan enam pembunuhan. Waktu diperlihatkan pisau berdarah, ia mengenalnya kembali sebagai pisau yang digunakannya untuk membunuh keluarganya.

Pada hari Sabtu, tanggal 20 Agustus, di antara jam 5 dan 6 pagi korban-korban dimakamkan. Suatu iring-iringan jenazah yang menarik perhatian: ibu dan anak lelakinya yang tunggal di kereta mayat yang pertama, anak perempuan tertua dan adik perempuannya yang terkecil di kereta mayat kedua, dan kedua anak perempuan lain mengikuti di dua kereta. Peti-peti anak-anak perempuan dihias dengan mirte dan rangkaian bunga.

Jenazah-jenazah itu dikuburkan di permakaman Gereja Johannis. 

Sang ibu, Anna Elisabeth Ruesau, terlahir Paethau, umurnya sekitar 45 tahun. Anak-anaknya: Marianne dan Johanna 16 dan 12 tahun, Juliane 7, Heinrich 4,5 dan Emilie 3,5 tahun. Meskipun hari sangat pagi, banyak juga yang datang menonton. Tetapi suasana sangat mencekam. Penjaga berkuda yang dikirimkan untuk siap-siaga ternyata tidak diperlukan sama sekali.

Pada hari itu juga Ruesau didengar keterangannya oleh Senator Jenisch. Pada tahun 1842 akta-akta perkara ini musnah di dalam kebakaran besar yang terjadi di Hamburg. Akan tetapi dari banyak tulisan yang kemudian diterbitkan mengenai kejahatan ini, diketahui jalannya perkara.

Pengakuan Ruesau yang pertama di hadapan senator ditulis kata demi kata. 

“Saya bernama Johann Ruesau, berumur 53 tahun, lahir di Riga dan pada tahun 1771 ikut dengan orang tua ke Hamburg. Mereka menetap di sini. Saya pergi ke Erlangen untuk belajar teologi. Sesudah itu saya kembali ke Hamburg. Pendeta Herrnschmidt menguji saya dan saya diperbolehkan menjadi kandidat. Tadinya saya memberi pelajaran pribadi, kemudian saya mendapat pekerjaan sebagai seorang pengkhotbah.

Setahun sebelum ayah saya meninggal tahun 1784, ibu saya meninggal pada tahun 1786. Saya menikah dan di Stekelhoern membuka suatu tempat pendidikan untuk laki-laki. Istri saya membuka asrama bagi gadis-gadis. Keduanya maju sehingga saya meninggalkan pekerjaan sebagai pengkhotbah. Tetapi kemudian, pelajar berkurang. Oleh karena itu saya menutup sekolah dan bersama dengan Tuan Kunst membuka usaha kelontong. Hasilnya tidak memuaskan sehingga saya selalu cemas memikirkan masa depan. Baik siang maupun malam saya tidak dapat menghilangkan khayalan tentang kemiskinan dan kesedihan. Saya membayangkan bahwa keluarga saya akan punah karena kemiskinan. Lalu itulah yang kemudian membawa pikiran bahwa sebaiknya mereka itu dimusnahkan dan dengan demikian tidak usah mengalami semua itu. 

Malam hari dari Minggu ke Senin saya tidak tidur tenang. Waktu bangun kira-kira jam 4.30, tiba-tiba terpikir untuk melaksanakan niat itu. Lekas-lekas saya keluar dari tempat tidur, mengambil pisau cukur saya dan pertama pergi ke istri saya. Saya melukainya di leher dengan pisau cukur sehingga ia langsung mati. Saya sangat terkejut, tetapi langsung pergi ke anak-anak yang sedang tidur di tingkat dua dan tiga lalu membunuh mereka juga. Anak perempuan saya yang sulung, mungkin melawan, seperti terasa oleh saya dalam kegelapan. Tetapi perlawanannya sia-sia. Lalu saya ingin bunuh diri. Bahwa saya tidak mengerjakannya, saya tidak dapat mengerti.

Kemudian saya mandi, berpakaian dan pergi. Saya pergi ke Deichtor untuk menenggelamkan diri di kali yang lewat di kota. Tetapi orang-orang yang lewat tidak memungkinkan hal itu. Lalu saya pergi ke Luebeckertor untuk mengerjakan maksud saya di Alster. Saya tidak menemukan tempat yang cocok dan kemudian meneruskan ke pejagalan dan di sana saya masuk Alster dengan pakaian lengkap. Karena tempat itu kurang dalam, saya keluar lagi dan dengan pisau saku telah melukai diri di leher dan pergelangan tangan. Saya juga menusuk diri di perut. Saya ingin kehabisan darah. Meskipun banyak darah yang keluar, maut tidak datang.

Kedua lelaki dari kantor walikota telah menemukan saya. Kini saya sangat ketakutan, bahwa Tuhan menghendaki saya dihadapkan kepada hakim-hakim dalam keadaan hidup. Saya sangat menyesali perbuatan saya dan mengharapkan pengampunan dari Tuhan, karena saya ingin menjalani hukuman karena kemauanNya. Bahwa saya masih hidup itu, saya artikan sebagai suatu pertanda nasib. Saya menginginkan agar saya segera mengetahui hukuman saya.”

Ini semua diceritakan dengan tenang, yang sama sekali tidak membuat orang menyangka bahwa ia itu gila.

Sesudah pengakuan ini, dikaitkan dengan bukti adanya korban-korban, maka pemeriksaan hanya dapat dijalankan atas dasar motivasi perbuatan dan keadaan jiwa si pelaku. Untuk hal pertama rupanya mereka hanya memeriksa seorang saksi utama saja, kompanyon Ruesau dalam usaha dagangnya. Sebab di dalam catatan mengenai hal ini hanya ada sebuah pengakuan yang dibuat proses verbal.

Kompanyon yang bernama Kunst ini seorang aktor sebelum ia memulai usaha dagang dengan Ruesau. Agaknya ia seorang yang telah terlibat dalam banyak usaha. Waktu perkara sedang berjalan, ia mempunyai pekerjaan lain, ia menjadi pengurus bar di gedung teater. Orang tidak begitu menyenangi kelakuannya selama sidang, malahan orang melihat sikap yang menghina waktu ia menyaksikan hukuman mati pada bekas kompanyonnya tanpa perasaan belas kasihan. Waktu memeriksa perkara Ruesau, telah tersiar kabar bahwa Kunst juga berhubungan intim dengan keluarga si pembunuh. Agaknya ia adalah tamu terakhir di rumah itu. Apa yang telah dikatakan di dalam sidang boleh dijadikan patokan. Ia memberi kesaksian:

“Saya telah mengenal Georg Ruesau selama 5 tahun. 2 tahun yang lalu saya membuka usaha kelontong dengannya. Saya memberikan 3.000 dan Ruesau 4.000 mark. Saya selalu menganggap Ruesau sebagai seorang yang jujur dan baik. Hanya saja untuk menjalankan pembelian eceran ia kurang cocok dan sering tidak melihat jauh. Apalagi sudah sejak permulaan Ruesau ketakutan bahwa usaha ini tidak akan memberi hasil sebanyak sekolahnya dahulu. Selain itu, istrinya sering merahasiakan berapa harga ini atau itu. Sebab meskipun ia suka makan enak, ia sakit jika ia harus membayar biaya rumah tangga. Waktu kami sedang mengobrol, Ruesau mengatakan kepada saya bahwa istrinya terlalu memanjakan anak perempuannya di dalam pendidikan dan memberi pakaian yang terlampau anggun. Anak perempuan tertua malahan pernah menjawabnya dengan lantang, waktu ia agak marah karena anaknya banyak dansa-dansi. Ia harus diperbolehkan menikmati masa remajanya, katanya. Saya tidak pernah melihat bahwa ia peminum. Tetapi ia senang berjudi. Meskipun jumlah yang dipertaruhkan kecil. Setiap siang ia tidur beberapa jam, kadang-kadang di pagi hari dengan alasan sakit kepala. Sampai makan siang ia tidur di sofa. Tetapi sering ia sudah bangun jam 4 dan main piano.”

Kedua pembantu rumah tangga, kemudian kedua penyewa kamar serta seorang wanita Prancis yang memberi pelajaran bahasa di sekolah gadis Nyonya Ruesau, juga didengar kesaksiannya. Kesaksian mereka hanya menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendengar cekcok di rumah keluarga Ruesau. Kandidat Ruesau akhir-akhir ini hidup memisahkan diri dari kalangan di mana ia dulu bergaul. Oleh karena itu, mungkin juga bahwa tidak ditemukan seksi-saksi Iain yang dapat memberikan keterangan lebih lanjut tentang kehidupannya. Sebenarnya ibu istrinya yang malang, yakni Janda Paethau dapat memberikan kesaksian yang penting tentang keadaan jiwa menantunya jika ia diharuskan berbuat demikian. Sebab sebenarnya ia mempunyai banyak kesempatan untuk bergaul dan mendengarkan khotbah-khotbahnya, lagi pula Ruesau tidak memutuskan hubungannya dengan dia. Akan tetapi Janda Paethau dalam kesaksian hanya menyatakan bahwa orang ketiga mungkin lebih mengetahui dari orang-orang yang hidup dekat. Saksi mengatakan:

“Waktu Ruesau mengunjungi saya dengan keluarganya pada tanggal 14 Agustus, seorang teman yang juga hadir telah menanyakan saya mengenai pandangan mengerikan di dalam raut muka menantu saya. Ia meminta agar saya mengatakan hal itu kepada anak saya. Memang sesudah itu saya ingin berbicara dengan anak saya. Tetapi malam hari tidak sempat dan pagi berikutnya perasaan teman saya itu menjadi kenyataan yang mengerikan.”

Teman yang bisa melihat jauh ini agaknya tidak didengar kesaksiannya. Terbukti bahwa sama sekali tidak ada alasan bagi Ruesau untuk putus asa. Memang akhir-akhir ini ia kehilangan banyak penghasilan. Dari sekolahnya yang tadinya penuh murid, dua pertiga pergi. Oleh karena itu ia memulai usaha lain. Tetapi usaha kelontong tidak memberikan uang sebagaimana ia harapkan. Itu saja tidak usah merisaukannya, sebab asrama istrinya masih saja diteruskan dan usahanya sama sekali tidak bangkrut.

Lalu ia seorang lelaki yang masih kuat untuk bekerja dan mencari pencaharian yang lain. Sebab sebenarnya ia telah menabung cukup di waktu mengajar sehingga masih ada uang untuk keadaan darurat. Rumahnya yang dibelinya dengan harga 18.000 mark naik nilainya hingga waktu itu diperkirakan menjadi 40.000 mark. Kemudian dijual 35.000 mark. Tidak lama sesudah inventarisasi kekayaannya dan penjualan miliknya, masih ada sisa kekayaan yang memungkinkan ia hidup dengan tanpa bekerja selama beberapa tahun. Di dalam surat wasiatnya masih ada uang 8.800 mark yang kapan saja dapat digunakannya. Di dalam pemeriksaan tidak dapat ditemukan alasan untuk bunuh diri karena takut kurang pangan di masa depan.

Pada hari Kamis malam tanggal 1 Desember 1803, Ruesau dibawa dari Pferdemarkt ke Winserbaum. Dan ada hari Jumat sore dengan memakai mantel hitam dan topi dihadapkan ke pengadilan. Pengakuannya sekali lagi dibacakan. Senat menuduhnya sebagai seorang pembunuh enam kali. Meskipun suasana mengerikan, Ruesau tetap dalam keadaan tenang. 

Pada hari Jumat tanggal 3 Februari 1804, ia dihadapkan sekali lagi di pengadilan, di mana pembelanya membacakan pembelaan. Di situ ia, pada tanggal 10 Februari dijatuhi hukuman, penggal kepala dengan pedang. Alasannya:

  1. “Ia meskipun masih mempunyai kebebasan kemauan dan kesanggupan untuk mengatasi persoalan pangan, tidak melakukannya. Tetapi sebagai orang pengecut telah terbawa perasaan risau; 
  2. Karena ia meyakinkan diri dan membenarkan pemikiran gila untuk membunuh diri dan keluarganya agar jangan mengalami kemiskinan yang hanya dikhayalkan; 
  3. Sebab ia tidak menurut hukum-hukum yang telah ia ketahui yang dengan tegas melarang pembunuhan.”

Bukan terhukum, tetapi pembelanya, Dr. Schleiden, yang mengajukan keberatan terhadap keputusan pengadilan pada mahkamah agung. Pledoinya dianggap sebagai sebuah pledoi unggul. Pembela mengulangi perkataan-perkataan Psikolog Reil: “Pemikiran khayal yang terpusat terjadi dari kesalahan daya pemikiran, yang ditumpahkan kepada suatu hal yang dikhayalkan, yang tidak dapat diyakinkan sebagai hal yang tidak ada pada si penderita. Karena pemikiran khayal yang terpusat itu biasanya ditumpahkan pada hal-hal yang dibenci, maka orang sakit jiwa demikian sedih, mudah menangis, mencari kesepian dan membenci hidupnya.”

Di mana tidak ada jiwa yang sehat, begitu kata Dr. Schleiden, sebenarnya hukuman tidak bisa dijalankan. Hukuman yang dijalankan hanya untuk contoh, atau malahan untuk memuaskan umum, itu melebihi wewenang pengadilan. “Di mana ada keadilan, tidak boleh ada politik yang menentukan,” kata Dr. Schleiden. “Hati-hatilah negara, di mana umum berani mencampuri di dalam cara-cara pengadilan!”

Pembela selain dari itu mengemukakan keberatan resmi: di dalam perkara penting ini sama sekali tidak baik bahwa pengadilan justru waktu itu menjatuhkan hukuman, sebab seorang anggota baru saja meninggal dan yang lain sedang bepergian. Pada jumlah hakim yang hanya delapan orang itu, dua orang yang tidak hadir itu penting juga. Kemudian tiga orang hakim adalah bekas murid tertuduh, sehingga tidak patut jika bekas murid mengadili gurunya. Akhirnya pembela meminta keterangan dari sebuah fakultas kedokteran.

Tetapi umum mempunyai keinginan lain. Hukuman terlampau ringan menurut mereka. Mereka berpendapat bahwa perbuatan itu sangat mengerikan. Mereka meminta hukuman yang menarik perhatian, yang mengejutkan. Bahwa tertuduh tidak bisa dipertanggungjawabkan keadaan mentalnya, tidak dibicarakan sama sekali. Karena terbukti bahwa Ruesau tidak menghadapi kebangkrutan, maka ia tidak dapat membunuh karena takut bangkrut, begitu pendapat umum. Dan orang-orang tidak mau berargumentasi lain di dalam kota pedagang. Ada yang agak toleran dan menganggap bahwa dapat terjadi ketakutan khayal seperti kata psikolog, tetapi tidak mau membenarkan hal ini lebih menguasai lelaki malang itu daripada pemikiran yang sehat.

Mereka juga tidak menganggap perlu untuk mendatangkan ahli dari sebuah fakultas kedokteran. Sepanjang pengetahuan, maka juga para hakim tidak menganggap perlu untuk memeriksa perkara ini secara psikologis, karena mereka telah puas dengan bukti dan pengakuan.

Johann Georg Ruesau dilahirkan pada tahun 1751 di Riga. Ayahnya pandai emas, tetapi hidupnya sulit. Dengan harapan nasibnya akan lebih baik ia pindah ke Hamburg pada tahun 1771. Anak lelakinya belajar teologi. Diragukan apakah ini dilakukan karena panggilan. Mungkin karena Ruesau menyangka bisa meningkatkan diri dari asalnya, sebagaimana terjadi pada banyak teolog dari kalangan bawah. Pada waktu yang hampir bersamaan Ruesau Jr. juga ke Erlangen. Ia hidup sebagai mahasiswa yang miskin, hidup dari memberi les kepada anak-anak kecil. Baru pada usia 21, ia masuk universitas. Ia belajar berhemat. Mungkin karena biasa hemat itu ia kemudian menjadi kikir. “Pelajaran yang ia kumpulkan, tidak begitu berhasil,” begitu tertera di dalam penulisan. “Dan dan semua yang dikenal dari kehidupannya dan keadaannya, tidak memberikan kita hak untuk menilainya lebih daripada seorang yang biasa-biasa saja.”

3 tahun kemudian, Ruesau kembali ke Hamburg. Dan sesudah menempuh ujian ia diterima sebagai kandidat pada Kantor Agama Hamburg. Ia hidup di dalam kesedihan. Ia hidup sederhana selama 10 tahun di tempat orang tuanya. Di gereja yang luas, suaranya yang nyaring tidak didengar. Ia menilai keadaannya tidak bermasa depan. Hal ini menguatkan tabiatnya yang tertutup. Ia kurang bergaul.

Ia memberi pelajaran di sekolah Madame Zier yang terhormat. Sebenarnya suatu tanda bahwa ia mempunyai nama baik. Di situ bakal istrinya Elisabeth Paethau menjadi pembantu guru. Waktu Madame Zier menyerahkan sekolahnya kepada Elisabeth Paethau, maka Ruesau meminangnya. Bukan berdasarkan cinta. Ia hanya merasa ada sesuatu yang pasti dan baik. Tetapi meskipun perkawinan itu dilakukan karena perhitungan, termasuk perkawinan bahagia. Saling hormat-menghormati dan minat yang sama memperkuat hubungan. Istrinya mencintai Ruesau dan serentetan anak mengikat kebahagiaan keluarga. Dalam dalam 18 tahun telah lahir 10 anak. Di samping asrama untuk gadis milik istrinya, ia mendirikan sekolah untuk remaja putera. Banyak yang masuk. Asrama untuk gadis-gadis itu akhirnya membutuhkan rumah yang lebih besar. Ia membeli sebuah rumah warisan dengan harga yang lumayan.

Kedua suami istri hidup sederhana dan tenang. Bahwa mereka jarang bergaul itu disebabkan tabiatnya yang tertutup dan juga karena menghemat. Ruesau memikirkan masa depan. Pergaulan yang luas dengan kewajiban-kewajiban sosial di sebuah kota besar sebagai Hamburg, dapat merusak keluarga yang tidak begitu kaya meskipun mereka tidak boros. Ia pergi ke gereja, senang makan malam dan mengatakan bahwa ia percaya akan ajaran-ajaran agamanya. Orang lain mengatakan tentang dia, bahwa pendapatnya tentang agama adalah aneh dan tidak konsekuen, karena ia pemuja pikiran bebas.

Di antara penduduk Hamburg yang terhormat ada yang pernah menjadi muridnya. Mereka telah dididiknya sedemikian rupa hingga masih ingat dengan rasa terima kasih padanya juga sesudah perbuatannya yang keji. Jumlah muridnya menurun bukanlah karena sistem yang salah, tetapi karena ia sendiri telah kehilangan gairah untuk mengajar. Ia tidak bekerja dengan rajin dan penuh gairah lagi, yang sangat diperlukan pada pekerjaan ini agar berhasil.

Penghasilan Ruesau dengan demikian menjadi lebih kecil. Ia menganggap dirinya tidak dimengerti orang. Meskipun ia berpegang ketat pada pendapatnya, ia sering berubah keputusan. Jika menyangka bahwa ia salah perkiraan, dengan segera ia memegang setiap saran perubahan yang ditawarkan padanya.

Dengan demikian ia telah menutup sekolahnya untuk mencari pekerjaan yang memberikan hasil lebih besar. Tadinya ia ingin membeli tanah agar dapat hidup sebagai seorang filsuf dan petani. Tentu saja dalam hal itu ia akan segera kandas, sebagaimana banyak cendekiawan yang memulai usaha itu, tanpa mengerti tentang cara bertani. 

Bagaimanapun juga, ia tidak jadi bertani dan sesudah ia menutup sekolah di hari-hari Paskah tahun 1802, ia mendirikan usaha kelontong dengan kompanyonnya Kunst. Ruseau kecewa karena ia ingin lekas kaya. Hanya beberapa bulan sesudah itu ia mulai menyesali usahanya itu. Fantasinya menggambarkan usaha yang tidak berhasil itu sebagai sesuatu yang sama sekali kandas. Ia membayangkan jatuh miskin dan ingin menutup usaha. Kunst menghiburnya. Tidak lama sesudah itu penghasilan naik. Pandangan Ruesau untuk masa depan menjadi lebih cerah. Tetapi tidak lama kemudian, lalu ia mulai memikirkan yang tidak-tidak lagi.

Pernah terjadi bahan yang halus yang ditetapkan harganya sebanyak 13 mark, dijual dengan harga 4 mark. Kemudian ia menceritakan kepada pembeli, bahwa kompanyonnya marah-marah padanya. Dapat dimengerti bahwa Kunst tidak terlalu menyegani kompanyon yang demikian. Jika di toko sedang ada langganan, Kunst tidak mau bahwa Ruesau memegang sesuatu, karena ia kemudian tidak pernah membereskan barang-barang kembali. Katanya sering Kunst menyuruh Ruesau pergi saja dari toko dan ia pergi dari toko dengan kepala tertunduk.

Ini membuat Ruesau lebih tertutup. Kerisauan yang dikhayalkan mengenai kekurangan pangan, menambah keresahannya. Apalagi kemudian ketika kompanyonnya bercanda dengan istri dan anak-anak Ruesau. Tetapi orang tidak berani menuduh bahwa Ruesau cemburu, biarpun mungkin benar. 

Yang aneh adalah bahwa Ruesau di dalam penjara tidak pernah menanyakan kompanyon atau ingin berbicara dengannya. Yang lebih mengherankan ialah bahwa Kunst tidak pernah ingin bertemu dengan temannya yang malang, meskipun ia ikut mendengarkan keputusan di kantor walikota dan kemudian juga menyaksikan pelaksanaan hukuman dengan tenang saja.

Pada permulaan tahun 1803 Ruesau telah memperbaiki rumahnya. Biayanya lebih daripada yang diperkirakan. Tagihan-tagihan pekerja memberatkan pikirannya, meskipun ia tidak pernah dipaksa membayar. Sebetulnya ia dapat membayar, uang ada. Tetapi uang itu sudah disisihkan olehnya untuk pengeluaran masa depan, untuk simpanan di musim dingin dan Iain-lain. Ia bingung lagi. Tidak ada kelebihan pemasukan dari usaha dan kini pengeluaran luar biasa! Di dalam pemikirannya yang sempit segera saja terbayang kemiskinan, sampai ia berpikir harus mati kelaparan.

Ia tidak pernah membicarakan kerisauannya itu dengan orang lain, hanya kadang-kadang ia berkata pada istrinya, “Bagaimana jadinya kita nanti?” 

Pada suatu kali ia mengeluarkan fantasinya yang suram pada permainan pianonya. 

Untuk menghiburnya anak yang tertua bertanya, “Ayah yang tercinta, mengapa Ayah selalu memainkan lagu-lagu yang sedih itu? Tidak maukah Ayah memainkan wals untuk saya?” 

“Anakku sayang, saya sedang tidak mau memainkan lagu-lagu yang gembira,” jawabnya, “waktu-waktu yang buruk ini sangat menyedihkan saya. Engkau masih tidak tahu apa-apa dan oleh karena itu engkau bahagia.” 

Anak itu menjawab, “Ah, Ayah, kalau cuma hal itu saja kita akan mendapat pemecahan. Kalau usaha tidak berjalan sebagaimana mestinya, mulai saja lagi dengan sekolah. Saya telah belajar banyak dan dapat membantu ibu dan ayah. Selama kami hidup, Ayah tidak boleh menderita kesukaran. Jangan terlampau memikirkan masa depan!” 

Ruesau terharu, menangis dan memeluk anaknya. “Engkau anak yang baik! Saya seorang ayah yang bahagia, tetapi juga tidak berbahagia!”

Juga dengan Kunst ia membicarakan keadaannya yang menyedihkan. Ia segera ingin menutup usaha, tetapi Kunst tidak melihat alasan untuk berbuat demikian.

Ruesau tidak dapat tidur tenang lagi. Karena basah kuyup oleh keringat sebelum bisa tertidur, ia terpaksa tinggal di tempat tidur sampai siang hari. Ia menjadi kurus. Ajaran-ajaran agama yang dicarinya untuk menghibur dan untuk menolongnya, tidak berhasil. Ia tidak mempunyai kecerahan pemikiran, yang dapat menghitung bahwa ia masih jauh dari keadaan miskin. Menurut kesaksian seseorang yang pada waktu itu sering bergaul dengannya, Ruesau beberapa lama sebelum ia melakukan perbuatannya, tidak mampu untuk menghitung jumlah-jumlah kecil waktu menjual. Ia seorang yang paling lamban menghitung. Jika ia harus membayar rekening, maka hal ini menghambat kesenangannya di sekelilingnya dan di rumah. 

Waktu tukang sepatu ingin meminta rekening yang sudah lama, Ruesau meminta maaf, katanya ia tidak tahu di mana rekening itu, dan ia tidak mengetahui lagi jumlahnya. Si tukang sepatu segera membuat yang baru dan Ruesau menentukan untuk mengambil uangnya, hanya beberapa mark, tetapi ia ragu-ragu dan memanggil anaknya yang tertua. Dengan hati yang tidak senang, ia melihat bagaimana tukang sepatu memasukkan uang ke dalam saku.

Masih ada beberapa kejadian lagi. Ruesau telah menyuruh membuat jendela di depan rumah, agar seperti kini di Hamburg, memberikan sinar yang terang pada barang-barang. 100 tahun yang lampau, pembuatan jendela semacam itu dilarang oleh pemerintah dan masyarakat. Peraturan itu sudah kuno. Dan di sana-sini nampak jendela semacam itu dibuat. Tetapi Senator Petersen memerintahkan agar Ruesau menghilangkan jendela itu dan karena ia tidak menurut, maka pemerintah yang merusaknya kembali. Jika Ruesau mengetahui keadaan dan dapat bergaul dengan petugas, maka tentu saja ada caranya agar peraturan yang keras itu diperlunak. Tapi ia marah-marah karena merasa dihina dan kehilangan uang.

Agar dapat melunasi hutang-hutangnya, ia ingin meminjam 4.000 mark. Ia tidak berhasil, meskipun sebenarnya mudah saja baginya kalau saja ia memakai cara-cara yang tepat. Sebetulnya ia hanya harus meningkatkan asuransi rumahnya, yang dapat dikerjakannya dengan baik karena rumah itu tentu sudah jauh lebih banyak nilainya daripada waktu dinilai terakhir dahulu. Tetapi ia takut akan biaya dan repotnya mengurus. Sekali lagi ia merasa terhina.

Seorang nyonya rumah yang ditemuinya dalam pesta perkawinan, terkejut akan pandangannya yang suram yang berlawanan sekali dengan kegembiraan suasana pesta. Ia menasihati istri Ruesau, agar jangan melalaikan keadaan suaminya. “Belum pernah saya melihat pandangan demikian. Saya kira, Ruesau hampir bunuh diri.”

Istri Ruesau katanya menjadi bimbang dan ketakutan, suaminya mungkin melakukan sesuatu yang tidak dipikirkan. Ia meminta si suami agar pergi ke dokter keluarga. Jawabannya selalu sama, “Tidak ada dokter yang dapat menolong saya.”

Ada yang mengatakan bahwa selama beberapa waktu ia benar-benar ingin bunuh diri. Ia tidak jadi berbuat demikian, karena bunuh diri itu akan memberi nista dan kesusahan baru yang tidak dapat dilupakan bagi keluarganya. Maka kemudian ia berpikir bahwa yang paling baik adalah jika ia memusnahkan dirinya, istrinya, dan anak-anaknya sekaligus dari dunia ini.

la memutuskan untuk berbuat demikian beberapa hari sebelum tanggal 15 Agustus. “Sebagai sesuatu yang perlu dan yang tidak tertahan oleh kekuatan apa pun,” begitu katanya di hadapan pengadilan.

Pada hari Minggu, tanggal 14 Agustus, Ruesau beserta keluarga berada di tempat ibu mertuanya, Janda Paethau. la hanya makan sedikit dan hanya meminum dua gelas anggur. Ini pun karena diminta istrinya. Dan seperti biasa, ia diam saja. Mereka tidak mengacuhkannya. Mungkin keluarganya pun tidak tahu betul bagaimana merawat seorang yang sakit jiwa demikian.

Malam hari keluarga pulang. Jam 10 semua pergi tidur dan segera pulas. Hanya Ruesau yang tidak dapat tidur. Gangguan masa depan yang kelabu, keluarganya yang mati kelaparan, tidak mau enyah. Ia meminum sebotol anggur merah. Waktu matahari pagi yang cerah akhirnya naik, ia telah mengambil keputusan.

Dengan penuh kesadaran dan keyakinan akan perlunya dan tidak dapat dihindarkannya perbuatan keji itu, Ruesau bangun dari tempat tidur sesudah jam 4. Ia pergi ke mejanya dan mengambil sebilah pisau cukur yang sudah 2 tahun tergeletak di situ tidak dipakai. Dengan sebuah goresan ia memotong kerongkongan istrinya yang tidur di sebelahnya. Ia meninggal dengan tiada suara. Kini ia tidak dapat mundur. Ia harus membunuh terus.

Di dalam kamar yang sama tidur anak lelakinya yang tunggal, seorang bocah berumur 5 tahun. Ia mati dengan segera juga.

Si ayah naik tangga. Di situ dalam sebuah kamar tidur anak-anak perempuannya yang tertua dan dua yang termuda. Anak-anak perempuan yang segar, cantik dan yang disayangi oleh semua orang. Yang berusia 16 tahun tidurnya sedemikian rupa hingga ia tidak dapat melakukan goresan mati sekaligus. Gadis itu terbangun dan menilik luka-lukanya ia memegang pisau beberapa kali. Ruesau tidak mengetahui dengan jelas lagi. Ia tidak melihat apa-apa. Kedua anak bungsu berumur 7 dan 3 tahun tidak terbangun karena perkelahian yang mengerikan itu. Katanya mereka sama sekali tidak bangun lagi.

Penuh dengan darah karena lima kali membunuh, ia masih naik tangga lagi dan membunuh anak perempuan keduanya Johanna yang tidur di sebuah kamar bersama dua gadis kos. Juga di sini tidak ada yang mengetahui, tidak ada yang bangun, tidak ada yang bergerak. Sesudah pembunuhan, suasana sangat sepi, seperti tadinya juga sangat sepi. Laporan lain lagi mengatakan bahwa Ruesau telah mengambil anak yang tidur di antara kedua gadis kos dengan diam-diam dan kemudian memotong kerongkongannya. Jadi di dalam hal ini pun fantasi dipergunakan.

Salah seorang dari kedua gadis, yang pernah begitu dekat dengan maut, katanya setiap kali jika nama Ruesau disebut di dalam sidang, menderita kejang dan sesudah pelaksanaan hukuman ia jatuh sakit hingga hampir mati.

Tetapi lukisan mengenai perbuatan pembunuhan di dalam penulisan-penulisan yang masih tertinggal tentang perkara Ruesau berbeda-beda. Penulisan yang lebih ilmiah ceritanya sesuai dengan apa yang masih ada di dalam akta-akta.

Penulisan yang lain diterbitkan 1803 dengan judul: “Kandidat Ruesau, Teolog dan pedagang, sebagai pembunuh keluarga tujuh kali, dilukiskan oleh seorang ahli hukum”. Menurut penulisan ini maka Ruesau membunuh menurut urutan terbalik. Ia terakhir masuk ke dalam kamar istrinya, yang sedang tidur dengan si bungsu di dalam pelukannya. Istrinya melawan pembunuh, hingga ia dengan si bungsu tertekan pada dada, jatuh mati. Untuk menyempurnakan perbuatan keji, maka menurut penulis ini Nyonya Ruesau yang berusia 45, masih dalam keadaan hamil. Yang mengatakan dirinya ahli hukum rupa-rupanya telah membuat suatu penulisan yang dibuat-buat untuk konsumsi rakyat, di mana kurang dipentingkan kebenaran.

Tusukan dan luka-luka pada urat nadi tangan Ruesau dalam usahanya ternyata berat sehingga diperlukan beberapa waktu untuk sembuh. Oleh karena itu ia lambat dihadapkan ke pengadilan. Tetapi dengan pelaksanaan hukuman, yang berwajib berlaku sangat segera.

Waktu Ruesau pada hari Jumat tanggal 17 Februari 1804 dihadapkan ke pengadilan tinggi dan sekali lagi dituduh secara resmi, ia begitu lemah sehingga harus ditopang dengan pegangan di bawah lengan. Pada tanggal 16 Maret ia dibawa sekali lagi ke sana dengan memakai mantel hitam untuk mendengarkan keputusan hukumannya.

Tertuduh, karena telah mengaku bermaksud membunuh istri dan anak-anaknya, dan juga telah mengerjakan apa yang dimaksudkan pada pagi hari tanggal 15 Agustus tahun sebelumnya dengan menggorok istrinya dan kelima anaknya, sedangkan kerisauannya mengenai susah pangan dan kebingungan tidak dapat dijadikan alasan untuk berbuat demikian, maka akan dibawa ke tempat pelaksanaan hukuman dengan selimut berambut, dengan pisau berdarah di dada dan dengan roda akan digilas sampai mati. Jasadnya akan dikubur di tempat pelaksanaan hukuman….

Sesudah keputusan dibacakan, maka mantel Ruesau yang hitam ditanggalkan dan terhukum diserahkan kepada orang-orang yang mengikat tangannya untuk kemudian dibawa ke pengadilan, di mana sekali lagi keputusan dibacakan. Kemudian ia dibawa ke tempat tahanan di sebuah gunung, dikawal oleh dua orang pendeta, seorang dari St. Jakobi dan Kandidat Samuel Lentz, yang menemaninya untuk mempersiapkan diri menghadapi maut. Ruseau hampir bertengkar dengan mereka tentang pertemuan kembali sesudah mati, karena ia katanya menganut ide-ide Spinoza, sehingga pengkhotbah pun pergi. Kandidat Lentz lebih sabar dan sampai Senin sore tinggal dengan orang yang malang.

Menurut kabar, Ruseau tenang di tempat tahanan. Ia duduk di meja, makan dengan enak dan mengatakan kepada wanita yang membawa makanan, “Sop yang begini enak hanya sekali ini saja saya nikmati di dalam tahanan, saya berterima kasih pada Anda.” Untuk malam hari ia meminta ikan dengan kentang. Sore hari ia berbincang-bincang tentang hal-hal moral dan religius dengan tahanan-tahanan yang lain. Malam hari ia tidur, meskipun ia sering terbangun.

Penulis yang tidak diketahui namanya, telah mencatat hari-hari terakhir terhukum, yang mungkin menarik bagi para psikolog.

Waktu masih di dalam penjara Winserbaum, Ruesau diberi surat yang tertutup. Ia mengembalikannya tanpa dibuka dengan disertai perkataan, “Bagaimana saya, seorang yang dihukum mati, dapat menerima surat seperti itu? Apakah teman-teman tidak dapat mengirim racun agar saya dapat meloloskan diri dari penderitaan dan hukuman saya?”

Pada suatu hari seorang tahanan lain dikirimi daging angsa dari keluarganya. Ruseau tampaknya ingin mencicipinya juga. Sesama tahanan tadi dengan ramah menawarkannya dan memberikan pisau serta garpu agar ia dapat makan sekenyangnya. Tetapi Ruesau mengembalikan pisau dan garpu, “Itu berlawanan dengan peraturan saya. Potongkan saja sedikit dan pinjamkan sendok Anda!”

“Orang tidak dapat mengerti, Ruesau, bagaimana Anda bisa berbuat demikian,” kata seorang yang sudah kenal lama padanya. “Tidak seorang pun dapat menyelami sebabnya.” 

“Saya percaya,” jawab Ruesau. “Tetapi saya kenal akan seseorang yang mengetahuinya. Tuhan! Manusia harus pernah mengalami keadaan seperti itu untuk dapat menilainya. Apakah Anda tidak pernah mempunyai mimpi yang buruk? Perbuatan saya itu adalah mimpi demikian. Tetapi, terima kasih pada Tuhan, saya telah bangun dan dapat memikirkan nasib saya.”

Waktu berpisah ia mengatakan kepada teman yang sama, “Sebaiknya setiap orang, jika ia sedang susah dan pemikirannya tidak suci, berbicara dengan seorang teman. Berapa banyak kecelakaan dapat dihindarkan. Andaikan saya berbicara dengan istri saya, maka kami akan hidup bahagia kini, tetapi sekarang saya harus mati sebagai seorang penjahat yang terkutuk.”

la gembira jika setiap kali harus pergi ke hadapan para hakim. Karena ia menunduk dan jalannya tidak tetap, ada yang menyangka bahwa itu semua dibuat-buat. Tetapi itu tidak benar. Perubahan hawa sesudah berjam-jam di dalam kamar tahanan membuatnya setengah pingsan. Matanya dipejamkan agar tidak usah melihat manusia dan barang-barang di sekelilingnya. Jika ia sering menggigit-gigit bibir dengan gigi, maka itu dilakukan karena lupa diri. 

Dari semua orang yang diperbolehkan menjumpainya, tidak ada yang pergi dengan tidak terharu atau berair mata. Juga orang-orang yang tadinya berkeras, yang tadinya menganggap tidak ada hukuman yang terlampau berat baginya, kini mulai kasihan.

Kini ia berbicara dengan lembut dan menarik hati. Ia mencoba, sebagaimana ia biasa di dalam pekerjaannya, untuk memberi nasihat. Dengan sesama tahanan - pencuri-pencuri yang dicampurkan dengan sesama penjahat - ia banyak berbicara dan mencoba meyakinkan mereka, bahwa jika mereka dengan jujur dan ketat menuruti peraturan, mereka dapat memperbaiki kesalahan mereka. Dengan besar hati, ia memberi setiap orang 10 taler, sehingga jika nanti mereka bebas kembali, tidak perlu mencuri karena memerlukan uang.

Ia mengharapkan waktu pelaksanaannya tiba dan selalu menjadi gelisah jika dikatakan, “Hari ini Anda tidak dibawa ke depan pengadilan.”

Pada seorang kenalan Ruesau pernah mengatakan bahwa ia ingin sekali meninggalkan kenangan yang lebih baik darinya. Waktu pengunjung mengatakan, “Jangan takut, nama Anda masih akan disebut-sebut dengan hormat,” maka perkataan-perkataan itu menyebabkan seperti suatu getaran listrik pada jiwa Ruesau dan ia seakan-akan menjadi lebih muda. Jika kejadian ini benar, maka hal ini akan memberi pandangan lain pada tabiat Ruesau.

Biasanya setiap tahanan diikat lagi mata kakinya sesudah menghadiri upacara agama. Tetapi permintaan Ruesau untuk jangan menyusahkannya dengan ikat itu, disetujui oleh kepala. Pada hari Minggu pagi ia menerima “santapan terakhir”. Sesudah khotbah, maka ia sendiri memberi uraian kepada yang hadir dan meminta mereka agar ia besok diperbolehkan menjalankan jalan akhirnya yang mengerikan dengan tenang dan janganlah dia diumpat lagi. Uraian ini diterbitkan, akan tetapi tidak berarti sama sekali.

Pada sore hari Kandidat Lentz masih memberikan khotbah. la telah memberikan konsepnya kepada Ruesau. Ruesau telah meminta agar merubah beberapa kalimat. la berpendapat bahwa hal itu terlampau keras jika perbuatannya begitu sering disebut sebelum perjalanannya yang terakhir dan masih begitu jelas diuraikan. Kandidat Lentz menolak permintaannya. Mungkin hal itu telah diperintahkan oleh para petugas kepadanya.

Sesudah khotbah ini Ruesau berkata kepada seorang kenalan yang tidak meninggalkannya sampai ajalnya, “Teman yang baik, mengapa mereka berbuat itu padaku? Percayakah Anda bahwa mereka yang saya cintai, yang telah saya musnahkan, akan menerima saya dengan senang hati?” Waktu yang ditanya menghiburnya, Ruesau memeluknya dengan erat dan menamakannya penghibur yang benar di dalam ketakutan akan maut.

Di malam terakhir, ia tidur agak tenang. Pagi hari ia masih sarapan dengan enak dan meminum sebotol anggur Rhein. Kepada Pendeta Renzel dan Kandidat Lentz ia mengaku bahwa ia merasa agak takut memikirkan semakin dekatnya saat-saat kematiannya. Waktu ditanya apakah orang banyak yang membanjir ke tempat pelaksanaan hukuman, itu tidak mengganggu saat-saatnya yang terakhir, ia menjawab, “Saya senang bahwa saya melihat begitu banyak orang menaruh perhatian.”

Sejenak sebelum ia meninggalkan tempat tahanan, istri Algojo Hennings yang merawatnya dengan penuh perhatian, memberinya secarik kertas dengan gula-gula agar dapat dimakan pada jalan yang terakhir. “Saya tidak memerlukan apa-apa lagi, Nyonya yang baik hati,” katanya. “Tetapi apakah itu harus saya punya dan menjadi milik saya?” Waktu perempuan itu mengangguk, maka pemberian itu dibaginya pada kedua sesama tahanan, “Ini adalah yang terakhir yang saya miliki di dunia dan yang boleh saya hadiahkan. Ingatlah akan kecelakaanku, maka Anda akan menjadi orang yang berguna dan tetap akan hidup demikian.”

Ia berkeberatan untuk memakai selimut berbulu dan pisau di dada. Tetapi sudah terlampau lambat untuk merubah keputusan. Seorang memberitakan bahwa ia akan dibawa ke tempat pelaksanaan dengan “rambut terurai”. Ia senang bahwa ia diperbolehkan memakai rambut palsunya.

Petugas yang tertua kemudian bertanya padanya, apakah ia akan berjalan kaki ke tempat pelaksanaan atau ia ingin naik kendaraan?

“Saya masih diperbolehkan mempunyai keinginan?” katanya. “Oh, saya diperlakukan sebagai manusia. Jika saya boleh memilih, maka saya ingin naik kendaraan.”

Di dalam kereta, kepala penjara memeluknya, sementara Ruesau menyandarkan diri pada dadanya. Ia telah membawa topinya, tetapi tidak dikenakannya. Muka kepala penjara terharu. Pada muka Ruesau telah terlihat ketidak acuhan dan kelelahan jiwa. Ia sudah seperti orang mati yang lewat untuk dipertontonkan.

Perjalanan ini ditonton banyak orang. Mereka pergi ke tepian kota, ke St. Georg, ke tempat tua yang bernama “Koepfelberg”.

Waktu turun dari kereta, Ruesau menahan diri dan ia naik tangga sebagai seorang yang sedang berdoa. “Saya naik ke atas,” begitu ia dikabarkan berkata, “agar lewat maut, orang-orang berbaik kembali dengan saya. Semoga saya juga menerima pengampunan dari Tuhan.”

Ia menanggalkan pakaiannya, memberikan rompi dan jas kepada istri algojo yang sebelumnya telah diberinya cincin emasnya yang sederhana waktu berpamitan, memandang sejenak ke arah roda dan bertanya di mana algojo berada, “Di mana pelaksana, Hennings yang baik hati?”

“Di sini,” kata algojo. 

“Ah, kawanku,” kata Ruesau, “semoga Tuhan menguatkan alat yang ada di tangan Anda! Lakukanlah agar duka saya segera berakhir.”

Itulah perkataan-perkataannya yang terakhir.

(Gerhart Herrmann Mostar)

Baca Juga: Ia Terakhir Kelihatan Berbelanja

 

" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553753281/mereka-diangkut-dengan-kereta-jenazah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1685097148000) } } [1]=> object(stdClass)#69 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726467" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#70 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/04/06/siapa-yang-mencuri-minyak-dari-k-20230406072720.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#71 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Christian melamar di kapal tanker pengangkut minyak. Berbekal surat palsu, ia berencana untuk menyelidiki desas-desus kapal berbendera siluman." ["section"]=> object(stdClass)#72 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/04/06/siapa-yang-mencuri-minyak-dari-k-20230406072720.jpg" ["title"]=> string(44) "Siapa yang Mencuri minyak dari Kapal Tangki?" ["published_date"]=> string(19) "2023-04-06 19:27:31" ["content"]=> string(39827) "

Intisari Plus - Christian melamar sebagai mualim tiga di kapal tanker pengangkut minyak. Berbekal surat palsu, ia berencana untuk menyelidiki desas-desus kapal berbendera siluman.

---------

Dead slow ahead!” Kapten Deligiannakis menatap diri saya dengan pandangan menyuruh. Saya harus meneruskan instruksi itu ke bagian mesin.

Itu soal gampang. Cuma mendorong sebuah tuas saja sampai ke tulisan ‘Dead Slow’. Selesai!

Dengan langkah gontai saya pergi ke alat itu. Tuas dipegang lalu didorong ke depan. Tapi nyaris saja terlanjur sampai ke aba-aba ‘Slow ahead’ — padahal tadi terasa tanda batas untuk ‘Dead slow’. Nyaris saja saya memerintahkan kamar mesin untuk menggerakkan kapal dengan kecepatan lebih tinggi.

Dada terasa sesak sekali saat itu. Tapi di anjungan tidak ada yang memperhatikan. Semua sedang sibuk sekali dengan gerakan kapal meninggalkan dermaga. Gangway sudah diangkat sejak seperempat jam yang lalu. Bagi saya kini tidak ada kesempatan lagi untuk kembali ke dermaga minyak Curacao.

Tubuh kapal terasa bergetar pelan. Mesin-mesin di bawah mulai bekerja. Saya berdiri di anjungan komando. Di bawah kaki terdapat 15.000 ton baja serta 71.000 ton minyak. Di depan nampak haluan kapal, seperempat kilometer dari tempat saya berdiri.

Kenapa kapal ini harus berangkat justru ketika saya sedang giliran jaga? Saya, mualim tiga — padahal pengetahuan saya tentang ilmu pelayaran pasti tidak lebih banyak dari Julio, pelayan ruang makan yang juga bertugas menjaga kebersihan kabin saya.

20 tahun yang lalu saya pernah berlayar. Sebagai ship boy, kedudukan paling bawah dalam kapal niaga. Saat itu saya bekerja pada sebuah kapal barang berukuran 1000 ton. Setelah itu macam-macam profesi yang pernah saya lakukan. Tapi lantai anjungan kapal barang tidak pernah lagi saya injak.

Dan kini? Kini saya bertugas mengatur navigasi sebuah tanker raksasa berukuran 100.000 ton, menyusur perairan Laut Karibia yang terkenal sulit itu! Dalam hati saya mengucap syukur bahwa saat itu di anjungan masih ada pula kapten dan pemandu yang mengatur gerak kapal keluar dari teluk Curacao. Dan tahu-tahu kapal sudah berada di lautan terbuka. Pemandu sudah lama pergi. Saat itu kami sedang bergerak melewati suatu tanjung.

“Coba ambil baringan radar dari tanjung itu,” kata kapten dengan tiba-tiba pada saya. Saya sebetulnya tidak mau. Tapi apa boleh buat, perintah harus dituruti. Untung sebelumnya saya sudah melakukan persiapan sedikit. Membalik-balik literatur mengenai navigasi serta berbagai peralatan kapal modern. Misalnya saja radar. Ya, dulu saya bahkan pernah melakukan reparasi peralatan radar. Tapi radar sekarang sudah lain sekali modelnya!

Saya tidak berhasil menemukan Variable Range Marker. Padahal justru itu diperlukan apabila hendak mengukur jarak ke ujung tanjung. Jari-jari sibuk mengutak-atik tombol dan sakelar. Tiba-tiba gambar di tabir radar lenyap! Saya mengutak-atik terus. Gambar timbul kembali dan akhirnya saya mendapat hasil pengukuran yang diminta. Cuma jangan tanya bagaimana saya sampai bisa melakukannya!

Tapi pelayaran ini waktunya lebih lama dari satu giliran jaga saja. Jauh lebih lama. Keesokan harinya saya disuruh kapten mengukur tinggi matahari dengan alat sekstan. Padahal seumur hidup saya belum pernah menjamah alat itu. Akhirnya saya mengatakan bahwa saya sebetulnya mau melakukannya — tapi karena sudah lama tidak pernah lagi memakainya, alangkah baiknya apabila kapten memperagakan caranya sebentar pada saya.

Kapten langsung membalikkan tubuh, membelakangi saya. Sedang saya meneruskan tugas jaga. Sekstan saya biarkan berada di tempatnya. Tahu-tahu kapten sudah berdiri dekat sekali pada saya. Tak bisa saya melupakan sorotan jijik yang memancar dari matanya saat itu.

“Christian,” kata kapten, “saya rasa Anda sama sekali belum pernah berlayar.” 

“Terserah apabila Anda berpendapat begitu,” kata saya berlagak tak peduli, sambil melayangkan pandangan kembali ke laut lepas.

Nakhoda kapal yang segala-galanya beres, begitu merasa ada kecurigaan sedikit saja, pasti sudah memerintahkan saya masuk ke dalam kabin dan tidak boleh keluar sebelum sampai ke pelabuhan berikut, pada saat saya tentu akan diusir.

Tapi Kapten Deligiannakis tidak mengambil tindakan seperti itu. Saya tetap berada di anjungan. Kecurigaannya yang ternyata memang timbul, kemudian hanya dipergunjingkannya saja di ruang makan perwira kapal, sampai pendengarnya bosan mendengar ocehannya.

Saya meneken kontrak kerja sebagai mualim tiga pada kapal tanker yang bernama Aladin B itu, sebenarnya dengan maksud menyelidiki desas-desus yang tersebar luas. Ada kabar bahwa nakhoda dan perwira kapal-kapal tanker raksasa yang berlayar dengan bendera siluman — seperti Aladin B yang mengibarkan bendera Republik Panama. Padahal saya dikontrak sebagai pegawai perusahaan perkapalan Fadi Maritime yang berkedudukan di Athena, Yunani. Sedang pemilik kapal katanya seorang Suriah yang duduk dalam pemerintahan negara itu tidak berhak mengemudikan sebuah perahu motor yang kecil. Apalagi tanker raksasa!

Niat itu saya mulai lima bulan sebelumnya. Saya sebetulnya bisa dengan gampang memulainya di Hamburg. Saya cukup pergi ke Reeperbahn yang tersohor itu, tempat tumpuan harapan bagi orang yang hendak membuka lembaran hidup baru. Di Reeperbahh bisa diperoleh segala macam surat keterangan yang kita perlukan. Cacatnya cuma satu: surat-surat itu palsu semua!

Sedang saya menginginkan surat-surat asli. Tepatnya, surat-surat ‘aspal’ - asli tapi palsu. Saya tidak mau menempuh jalan yang disyaratkan oleh hukum Republik Federal Jerman. Untuk itu saya harus berlayar dulu selama tiga tahun selaku kelasi dan kemudian belajar lagi selama tiga tahun di sekolah pelayaran. Yang saya inginkan adalah surat ijin berlayar yang bisa diperoleh dengan segera. Dan surat begitu bisa diperoleh di kantor konsulat berbagai negara, di setiap kota pelabuhan besar.

Berbekal sijil anak kapal saya yang tua, di mana tercatat pengalaman saya yang hampir satu tahun sebagai ship boy, begitu pula tiga sertifikat lain yang menyatakan pengalaman berlayar selama tiga tahun selaku kelasi, saya pergi ke konsulat Republik Panama di Hamburg, yang terletak di Gänsemarkt. Ketiga sertifikat itu dibuatkan oleh nakhoda-nakhoda kapal yang sedang merapat di dermaga pelabuhan Hamburg pada saat itu. Semuanya kapal berbendera siluman, di mana dengan sodoran selembar uang seratus mark bisa diperoleh berbagai imbalan jasa.

Konsul Lie Gaspar G. Wittgreen A, yang berbau wangi dan berkumis rapi, dengan sikap tak acuh mendorong surat-surat saya yang diperoleh dengan susah payah itu ke samping. la ingin melihat sertifikat pelayaran yang dikeluarkan oleh lembaga Jerman yang berwenang.

“Tidak punya,” jawab saya, “kalau punya, saya takkan datang ke sini.” 

“Tapi itu peraturan,” kata sang konsul.

Jalan itu ternyata agak sulit juga. Setelah berulang kali menghadap dan mengajukan berbagai surat keterangan yang berhasil saya usahakan, pada saya hanya ditawarkan sijil sebagai kelasi atau sebagai markonis.

Tentu saja saya memilih sertifikat markonis. Dan saya menjadi pemilik sertifikat ‘toda clase’ tanpa pembatasan. Dengan begitu saya boleh bekerja sebagai markonis di kapal penumpang dan tanker raksasa.

Dan seminggu kemudian saya juga berhasil mengantongi sertifikat sebagai mualim. Untuk itu saya pergi ke Rotterdam, di mana saya menghadapi seorang konsul negara sama, tapi yang tidak terlalu mendengar bisikan hati nuraninya.

Konsul itu langsung menanyakan ukuran kapal di mana saya saat itu bekerja selaku mualim.

“1500 ton,” jawab saya. Padahal kapal nakhoda Belanda yang membuatkan sertifikat mualim untuk saya, ukurannya cuma 300 ton. Sudahlah saya berbohong, tapi masih belum puas juga rasanya hati. “Tapi bisakah Anda menerakan 5000 ton dalam sertifikat itu? Soalnya itu ukuran kapal yang berlayar sampai Laut Tengah.” Saya berusaha melunakkan hatinya.

“200,” kata konsul itu dengan tiba-tiba. Begitu lirih ucapannya, seperti bicara pada dirinya sendiri. Di dekat mejanya, dua orang gadis sibuk mengetik terus. Rupanya sekretarisnya.

“200,” kata saya mengulangi. Tapi tanpa mengerti maksudnya. 

“Ya! 200,” ulang sang konsul. 

Wah kalau di Hamburg, untuk mengurus sertifikat semacam begitu ongkosnya cuma 50 mark.

“Tapi kalau begitu sebagai nakhoda,” kata saya menawar. 

“Tapi Anda kan cuma punya sertifikat sebagai mualim dua.”

“Lalu?”

“Begini sajalah,” kata sang konsul sambil meluruskan duduknya, “Saya terakan pada sertifikat ini, perwira satu.” Dipejamkannya matanya sesaat. “300,” bisiknya pelan. Saya mengejapkan mata tanda setuju.

Saya langsung mencari kerja di Rotterdam itu juga. Tapi di kota pelabuhan kapal tanker terbesar di dunia itu, tidak ada lowongan. Para pelaut yang naik ke kapal di situ didatangkan dari Pireus. Karenanya saya lantas memutuskan pergi saja ke Yunani.

Sepanjang jalan bernama Akti Miaouli Pireus berjajar gedung-gedung bank dari perusahaan perkapalan. Kalau menilik nama-nama yang tertera di situ, kita bisa menyangka tidak lagi berada di wilayah Yunani. Bank of Nova Scotia, International Maritime Agencies SA, Monrovia yang pemiliknya raja kapal Yunani Niarchos, William & Glyn’s Bank, Springfield Shipping Co. Panama SA, kepunyaan Tina Onassis. Perusahaan perkapalan yang ada di situ semuanya pengelola kapal-kapal berbendera siluman, yang merupakan hampir setengah dari seluruh armada tanker Barat.

Setiap orang asing yang ingin mendapat pekerjaan sebagai pelaut di Pireus, harus melalui perantara alias calo. Barang siapa tidak mau, takkan mungkin bisa bekerja di kapal.

Saya menghadapi perantara yang membisikkan permintaan bayaran 20.000 drachma sebagai uang komisi.

“Dari jumlah itu, cuma sebagian kecil saja yang untuk kami sendiri,” kata perantara itu menjelaskan. “5.000 untuk crew manager perusahaan kapal supaya mau memindahkan surat-suratmu ke tumpukan paling atas, 6.000 untuk port captain perusahaan, supaya ia memilihkan kapal yang baik untukmu. Lalu 5.000 untuk imigrasi yang mengatur segala surat pas yang perlu. Nah, 4.000 yang tersisa baru untuk kami. Dan bagianku baru perlu kaubayar apabila sudah menandatangani kontrak.”

Apa boleh buat, saya serahkan uang padanya. Tapi meski begitu, tidak berarti saya langsung mendapat pekerjaan. Mula-mula saya berusaha mendapat kerja sebagai calon perwira kapal, sebagai persiapan untuk kemudian memimpin kapal sendiri. Tapi di Pireus dikatakan, pekerjaan semacam itu tidak ada.

Lalu saya mencari kerja sebagai kelasi, pekerja dek yang tertinggi kedudukannya setelah jenang. Saya menunjukkan sertifikat pengalaman saya sebagai kelasi. Tapi ternyata pihak perusahaan lebih menyukai pelamar dari Pakistan, yang kelihatannya sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di atas geladak sebuah kapal. Rupanya surat-surat keterangan yang saya miliki menyebabkan saya dinilai terlalu tinggi untuk melakukan pekerjaan kelasi biasa.

Akhirnya saya memutuskan untuk melamar sebagai mualim tiga saja. Perwira kapal dalam kedudukan itu giliran jaganya bersamaan dengan giliran nakhoda. Jadi kalau keadaan gawat,  nakhoda selalu bisa diminta datang ke anjungan komando. Sebagai mualim tiga, tanggung jawab saya selaku perwira kapal paling enteng.

Dan sekali itu saya bernasib untung. Saya disuruh perantara di mana saya mendaftarkan diri, untuk pergi ke kantor perusahaan Fadi Maritime yang terletak di pusat kota Athena. Di sana saya harus melaporkan diri pada seorang kapten bernama Potamianos.

Orang yang saya datangi bertubuh kecil dengan kumis hitam yang lebat. Sambil meneliti surat-surat yang saya sodorkan, ia bertanya dengan tiba-tiba, “Dari mana saya bisa tahu bahwa sertifikat ini asli?”

Saya menatapnya sambil melongo. Stempel dan tanda tangan konsul itu ‘kan merupakan bukti yang cukup kuat. 

“Oh tidak,” kata kapten bertubuh kecil itu, “ini kan bisa dengan mudah dipalsukan.”

Wah. Padahal selama itu begitu banyak orang terkagum-kagum melihat segala sertifikat saya. Apalagi kalau dibandingkan dengan berbagai surat keterangan yang beredar di Pireus. Banyak yang dipalsukan dengan begitu ceroboh, sehingga selintas pandangan saja sudah akan ketahuan. Tapi boleh dibilang tidak ada yang mau repot-repot menutupinya karena semua boleh dibilang terlibat dalam pemalsuan itu. Perusahaan perkapalan, perantara dan juga para pelaut yang melakukannya karena dikehendaki perusahaan dan perantara. 

Saya sendiri pernah mendengar seorang manajer perusahaan perkapalan Marmaestra Cia Naviera mengatakan, “Kalau kami kebetulan memerlukan orang, siapa saja akan kami terima.” Saya ditawari pekerjaan sebagai markonis, sebagai tenaga mekanik dan juga sebagai juru pompa. Padahal jelas bahwa saya belum pernah melakukan pekerjaan yang tanggung jawabnya besar itu.

Saya sendiri yang menjadi saksi, ketika dibuatkan surat keterangan bagi seorang kelasi berbangsa Chili, yang menyatakan dia berpengalaman sebagai juru api pada kapal tanker. Perusahaan Fadi Maritime kebetulan memerlukan seorang juru api. Lalu dengan gampang saja kelasi itu dijadikan juru api.

Dan kini Kapten Potamianos menginginkan bukti keaslian sertifikat saya! Ia ternyata port captain perusahaan Fadi Maritime. Keinginannya saya penuhi. Saya menyodorkan surat pengantar dari konsul jendral Republik Panama di Athena, yang ditulis dalam bahasa Yunani. Lengkap dengan dua cap stempel.

Tapi akhirnya saya disuruh menunggu lagi. Sebulan lamanya saya disuruh mondar-mandir ke Athena. Para supir bis yang menghubungkan Pireus dengan Athena sampai sudah kenal dan menyalami saya kalau naik bis mereka.

Setelah mondar-mandir terus selama sebulan, saya diberi tahu bahwa ada tanker di mana saya bisa bekerja. Umurnya sudah 14 tahun tapi berada dalam kondisi baik. Saya sudah tidak peduli lagi kapal mana saja mau, asal bisa cepat berlayar. Rute pelayarannya di Laut Karibia. Kata mereka, pulang-pergi antar Curacao dan pelabuhan Amerika Serikat. Kalau mau, saya harus terbang ke Curacao karena tanker itu ada di sana.

Demikianlah saya menjadi mualim tiga pada tanker Aladin B.

Begitu naik ke kapal, saya langsung diantarkan ke kabin Manfred, satu-satunya orang Jerman selain saya di situ. la bekerja sebagai kepala kamar mesin. Tentu saja saya lantas bertanya tentang ini dan itu padanya.

“Bagaimana dengan sekoci-sekoci?” tanya saya. 

“Macet.” 

“Apa? Kelihatannya masih mulus,’’ kata saya heran. 

“Betul tapi apa gunanya apabila tidak bisa diturunkan ke air karena davits-nya berkarat,” Manfred tertawa.

“Lalu bagaimana dengan latihan?” desak saya. “Masa kalian tidak pernah mengadakan latihan meluncurkan sekoci sekali sebulan? Sesuai dengan peraturan pelayaran internasional?” 

Manfred tertawa semakin keras.

Jadi saya berdiri di anjungan komando sebagai mualim tiga yang sedang giliran jaga. Dengan pelan Aladin B menjauhkan diri dari dermaga. Meninggalkan Curacao dengan tujuan New Orleans. Dalam perjalanan diterima instruksi yang menyuruh kami ke Philadelphia.

Saya seorang diri di anjungan. Begitu pemandu turun dari kapal, kapten langsung menghilang pula. Bahkan kelasi pun tidak ada di situ, yang berfungsi sebagai juru mudi, meringankan beban saya pada saat-saat pertama selaku mualim. Di lautan terbuka kapal dikemudikan alat otomatis.

Selaku perwira juga di anjungan, saya memikul tugas ganda. Tugas pertama kedengarannya gampang sekali, sampai nyaris malu saya menyebutnya di sini. Padahal justru itu yang menyebabkan saya mengalami tekanan batin yang luar biasa kemudian. Tugas itu berupa mengawasi kalau ada kapal lain.

Satu-satunya pikiran saya saat itu, mudah-mudahan tidak ada kapal muncul. Dan setiap kali kelihatan ada kapal, saya menyambung pikiran, mudah-mudahan kapal itu lekas lenyap lagi di balik horison. Yang paling, saya khawatirkan saat itu, kalau-kalau berjumpa kapal yang awaknya persis seperti yang terdapat di Aladin B. Termasuk mualim tiganya.

Tapi mujurlah, Laut Karibia tergolong sempit, dalam kenyataannya masih cukup luas juga. Jarang ada kapal yang berlayar saling menyilang.

Tugas kedua, selalu saya lakukan dengan tergesa-gesa, karena untuk itu saya harus meninggalkan pos pengamatan. Selama giliran jaga, saya harus beberapa kali menentukan tinggi posisi matahari dengan sekstan. Setelah insiden dengan kapten, saya cepat-cepat minta tolong pada mualim satu untuk memperagakan cara kerja sekstan. Dan selanjutnya saya selalu mengintip, kalau ada perwira lain sedang melakukan pengukuran dengan alat itu.

Selama giliran berjaga empat jam pada pagi hari, saya selalu sendiri di anjungan. Sebetulnya setelah saya menimbulkan kecurigaan Kapten Deligiannakis, saya mengharapkan ia akan sering muncul di anjungan, untuk mengecek navigasi yang saya lakukan. Tapi satu kali pun ia tidak pernah muncul! Rupanya ada urusan yang lebih penting baginya, daripada memimpin pelayaran dengan aman sampai ke pelabuhan tujuan.

Di Aladin B, pimpinan tidak berada di tangan nakhoda serta para perwira melainkan suatu trio yang selalu mengadakan perundingan di anjungan pada saat saya sedang giliran jaga malam di situ.

Pada saat-saat itu Petros Deligiannakis, nakhoda Aladin B baru muncul di situ. Di sampingnya duduk Walid, mualim satu. Seorang Suriah yang kelihatannya setia sekali pada Deligiannakis. Sedang anggota ketiga dari trip itu bernama Tasso. Jabatannya steward merangkap juru masak. Tapi ia lebih banyak sibuk menyampaikan omongan anak kapal kepada nakhoda daripada mengurus masakan di dapur.

Trio itu saling terjalin oleh berbagai ketergantungan dan juga bisnis. Urutan kedudukan di antara mereka ditunjukkan dari siapa yang menduduki kursi komando di anjungan. Biasanya Kapten Deligiannakis yang menempatinya. Tapi begitu ia beranjak sebentar, dengan segera Tasso duduk di situ. Sama sekali tanpa segan-segan. Saya belum pernah melihat mualim satu duduk di situ.

Itu disebabkan karena Tasso adalah partner nakhoda. Keduanya saling berbagi gaji yang dibayar untuk juru masak yang dirangkap oleh steward itu. Sedang mualim satu, lain keterikatannya pada nakhoda. Ia berhutang budi pada Deligiannakis untuk jenjang terakhir dan yang paling menentukan dalam karirnya.

Mualim satu Walid, umurnya baru 22 tahun. Ia datang ke Yunani ketika berumur 18 tahun. Tahu-tahu dua tahun kemudian ia sudah menjadi mualim tiga di sebuah kapal tanker raksasa. Menurut pengakuannya, selama itu ia menuntut ilmu di sebuah sekolah pelayaran di Athena. Tapi ia juga mengatakan, selama itu ia berlayar sebagai calon perwira. Di kapal, tidak ada yang mau percaya.

Satu minggu sebelum saya mulai bekerja di Aladin B, Walid masih menjadi mualim tiga di kapal itu. Ketika ia diangkat oleh kapten langsung menjadi mualim satu, bahkan awak kapal itu sendiri sampai terheran-heran. Markonis yang berbangsa Polandia berkali-kali mengatakan pada saya, “Coba tanyakan padanya, berapa bagian dari upahnya yang harus diserahkan pada nakhoda.” Tapi saya tidak menanyakan, karena kecil kemungkinannya Walid mau mengatakan. Tapi ia pernah mengatakan pada saya bahwa ia tahun depan ia berniat menjadi nakhoda.

Melihat dan mendengar segala kenyataan itu, saya lantas semakin berhati-hati agar jangan sampai terjadi kesalahan selama saya bertugas jaga. Dan saya pun selalu berusaha untuk menambah pengalaman dan pengetahuan.

Pada suatu hari saya mendatangi ruang pompa. Maksud saya hendak mempelajari perihal katup-katup yang mengatur aliran minyak, supaya saya mampu menghindari terjadinya minyak tumpah di pelabuhan. Itu memang termasuk salah satu tugas mualim kapal tanker.

Tapi di tangga menuju ruang pompa, saya dicegah juru pompa, Joe yang berasal dari Ghana.

“Mualim satu tidak menghendaki kau masuk ke ruang pompa. Kau tahu kenapa?” katanya. 

“Saya tidak tahu sebabnya.”

“Soalnya, ia ingin aman. Siapa pun juga di sini yang lebih banyak tahu daripada dia, baginya tidak baik. Karena itu jangan suka bertanya-tanya.”

Aneh, masa mualim satu takut pada orang seperti saya, yang jelas sedikit sekali pengetahuannya tentang seluk-beluk pelayaran.

Malam itu, entah kenapa saya meninggalkan kabin, lalu pergi ke anjungan. Padahal kebiasaan saya tidak begitu. Rupanya ada firasat buruk. 

Ketika masih berada di anak tangga terakhir sebelum sampai di anjungan, saya sudah mendengar mualim dua, juga seorang Suriah. Sambil berteriak-teriak tertahan, ia mondar-mandir di situ. la memberikan instruksi yang saling bertentangan pada kelasi yang memegang kemudi.

“Balas cepat ke kiri, balas ke kanan,” perintahnya. Dan kelasi itu memutar kemudi dengan gesit, ke kiri lalu kembali ke kanan.

Saya melayangkan pandangan sebentar ke luar, ke laut yang diselubungi kegelapan malam. Sekali pandang saja, saya langsung memahami situasinya. Saat itu Aladin B sedang berlayar menyusuri pantai Kuba. Kapal itu bergerak mengular di sela beratus-ratus perahu nelayan. Sebagai kapal yang lebih besar, kami memang harus mengelakkan perahu-perahu yang hanya nampak lenteranya saja yang berkelap-kelip. Kelihatannya seolah-olah kami sedang berada di tengah kota kecil di tengah laut, sementara kami melaju terus dengan kecepatan maksimum. Dan di depan nampak rangkaian panjang lentera menyala.

Saya menyarankan pada mualim dua agar nakhoda dibangunkan saja. Saran saya itu langsung dituruti. Dan begitu nakhoda muncul, ia langsung melakukan sesuatu. Pesawat radar dimatikan. Padahal saat itu ia belum sempat mengenali situasi dengan jelas. Tabir radar pelan-pelan menjadi gelap. Kemudian Kapten Deligiannakis berusaha menemukan jalan lewat dengan jalan menatap kegelapan.

Tapi dengan tanker raksasa, takkan mungkin ditemukan jalan lolos. Sedang kecepatan berlayar tidak diperlambat. Aladin B melaju dengan kecepatan maksimum menuju rantai cahaya di depan kami.

Dari kecepatan maksimum sampai berhenti sama sekali, sebuah tanker raksasa memerlukan waktu setengah jam. Dan untuk bisa mengelak, Aladin B memerlukan garis lingkaran hampir satu kilometer.

Saya sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana kami akhirnya bisa menghindari rintangan itu. Satu hal sudah jelas, penglihatan Kapten Deligiannakis pasti tidak lebih baik daripada saya. Saya cepat-cepat menyingkir dari anjungan karena tidak ingin menjadi saksi mata pada saat ada perahu nelayan pecah berantakan terlanda haluan Aladin B.

Selama seperempat jam itu saya sama sekali kehilangan kepercayaan pada kemampuan nakhoda kami sebagai pelaut. Mulai timbul perasaan bahwa tak ada gunanya saya berjaga-jaga setengah mati pada saat giliran jaga, apabila pada waktu-waktu lain malah terjadi segala macam hal yang menimbulkan bencana.

Kapten hemat sekali dengan alat radar. Rasanya bisa dibandingkan dengan seorang musafir yang tinggal memiliki sebatang korek api terakhir. Ia tidak pernah memasang perum gema ketika pada pelayaran kembali kami melewati Selat Mona yang sulit antara Haiti dan Puerto Rico.

Dua hari kemudian saya merasa pasti takkan mungkin selamat lagi. Saat itu jarak penglihatan cuma dua mil laut. Keadaan bisa dibilang berkabut tebal. Kami berempat di anjungan. Semua berusaha menatap menembus selimut kabut yang kelabu. Aladin B berada di posisi yang tidak jauh dari pantai Amerika Serikat, pada alur pelayaran yang ramai. Tapi ketika saya hendak menyalakan pesawat radar, mualim satu melarang.

“Jangan! Penglihatan masih cukup baik,” katanya serius. 

Saya mengemukakan padanya bahwa kami takkan mempunyai waktu cukup untuk mengelak apabila tiba-tiba nampak kapal lain yang menuju ke arah Aladin B. jika kapal itu berlayar dengan kecepatan 15 knot seperti kami, maka berarti keduanya saling mendekati dengan kecepatan 30 knot. Dengan jarak pandangan 2 mil laut, berarti empat menit kemudian pasti terjadi tubrukan karena tidak cukup waktu lagi untuk melakukan gerak pengelakan. Tapi mualim pertama tetap berkeras.

“Masih cukup waktu untuk melakukan gerak putaran penuh,” katanya. “Tadi pagi aku masih melakukan gerakan itu. Dan ternyata bisa.”

Terbayang dalam benak saya orang sinting yang memacu mobil tanpa rem ke arah dinding dengan niat membanting setir pada meter-meter terakhir dari situ. Saya tidak bisa dibilang penakut. Tapi saat itu keringat dingin saya mengucur. Dan setiap hari sejak itu, kengerian semakin mencekam. Di kapal Aladin B setiap hari dilakukan paling sedikit satu kali pelanggaran terhadap peraturan untuk mencegah risiko tubrukan di laut. Misalnya berlayar dengan kecepatan yang aman, penggunaan radar, gerak mengelak sejak dini.

Di sini saya merasa perlu juga mengetengahkan suatu hal yang pasti menarik bagi perusahaan asuransi. Dokumen terpenting di kapal Aladin B — seperti juga pada kapal-kapal lain — yaitu buku topdal, ternyata hanya merupakan klad belaka. Catatan yang diperlukan dalam persidangan mahkamah pelayaran untuk menentukan pihak yang salah apabila terjadi kecelakaan, di Aladin B tidak ditulis dengan tinta seperti seharusnya, tapi dengan pensil. Banyak sekali data palsu yang diterakan di situ.

Pada suatu hari, muncul buku topdal kedua, yang diisi menurut peraturan, yaitu dengan pulpen. Tapi buku itu langsung disimpan kembali. Ternyata khusus disusun untuk disodorkan pada dinas penjaga pantai Amerika Serikat.

Akhirnya kami sampai juga di Teluk Delaware, siap untuk masuk ke pelabuhan Philadelphia seperti diinstruksikan. Saya menarik napas lega karena kini pasti tidak banyak lagi kemungkinan terjadi bencana. Tapi ternyata walau Aladin B sudah bergegas-gegas selama pelayaran, tapi akhirnya kami harus menunggu juga. Kami harus menurunkan jangkar di teluk karena tempat sandar di Philadelphia belum kosong. Persediaan makanan mulai menipis. Akhirnya saya hanya mendapat bagian sepotong roti kering bikinan sendiri.

Ketika saya hendak ribut mengenainya, saya mendengar bahwa air minum juga sudah habis. Sudah sejak tiga hari kami semua minum air sungai Delaware yang keruh, yang bahkan tidak berhasil dijernihkan dengan instalasi pemurni air laut. Kapten Deligiannakis berani menghadapi risiko seluruh anak buahnya jatuh sakit, hanya karena ia ingin menghemat. Sebetulnya ia bisa saja memesan air minum dari darat.

Tapi di kapal tidak ada yang memprotes. Ketika saya hendak ribut, ada yang memberi nasihat. 

Hey man! Kau kepingin selamat di kapal ini? Okay — tutup telinga, mulut dan mata. Kau di sini cuma karena uang!”

Yang memberi nasihat itu juru pompa Joe, yang sudah pernah sekali memberi peringatan pada saya. Awak kapal terdiri dari 34 orang, yang berasal dari sembilan negara dan empat benua. Kebanyakan cuma sepatah-sepatah saja mengerti bahasa Inggris dan kalau ingin menyampaikan sesuatu pada orang lain harus melalui orang ketiga. Kekacauan bahasa benar-benar edan di situ!

Ketika akhirnya kapal kami mendapat giliran merapat ke dermaga di Philadelpia, pemandu kapal bertanya pada saya dengan bingung, “Apa katanya sekarang?” Kapten Deligiannakis memberi komando dalam bahasa Yunani.

“Saya juga sama saja, tidak mengerti.” Hanya itu saja yang bisa saya katakan. Pemandu kapal cepat-cepat turun, bahkan sebelum tali-temali selesai ditambatkan semua.

Joe yang dari Ghana adalah satu-satunya juru pompa di kapal. Ketika kami sudah bersandar di dermaga kilang perusahaan BP di Marcus Hook, ia ditugaskan untuk selekas mungkin memompa setengah juta barel minyak mentah yang berada dalam perut kapal Aladin B ke tangki-tangki yang terdapat di darat. Kami saat itu mengangkut minyak mentah jenis Bonny Light — yang kadar kecairannya hampir menyerupai bensin.

Sebetulnya untuk tugas itu, Joe hanya memerlukan waktu sekitar 24 jam. Tapi ketika waktu perkiraan itu sudah dilampaui, ternyata setengah dari isi tanker saja belum terpompa ke darat. Seorang petugas dari ruang kontrol di darat menghubungi saya lewat radio. Tapi Joe cepat-cepat menyela.

“Jangan jawab!” katanya. 

Berlalu lagi waktu 24 jam. Joe sudah mencoba segala-galanya. Tapi sisa dalam tangki terakhir, yaitu nomor 4 di sisi kiri tidak mau keluar-keluar. Tongkat ukur Joe menunjukkan di situ masih tersisa cairan setinggi 20 sentimeter. Cairan itu merupakan lumpur minyak yang pekat yang terkumpul di situ setelah dipompa kian kemari oleh Joe. Itulah sebetulnya yang menyebabkan proses pemompaan berlangsung begitu lama.

Tapi kini cairan pekat itu tidak bisa dialirkan ke darat karena pompa-pompa tidak mampu melakukannya. Kesulitan demikian timbul apabila tangki-tangki tidak dibersihkan secara teratur.

Saat itu Kapten Deligiannakis muncul. Ia sibuk berbicara dengan Joe dalam bahasa Yunani. Kemudian kapten pergi lagi. Sementara mereka tadi berunding, tangan Joe tidak berhenti bekerja — memutar berbagai kenop.

Joe menarik tongkat ukur yang selama itu masih tercelup dalam tangki. Tahu-tahu tinggi lumpur minyak yang nampak di situ tidak lagi 20 sentimeter, melainkan lima sentimeter.

Sementara saya masih bingung, bertanya-tanya pada diri sendiri ke mana larinya lumpur yang 15 sentimeter lagi, petugas pengawasan dari pengilangan BP datang. Mereka hendak memeriksa apakah semua minyak sudah dialirkan ke darat. Untuk itu mereka harus meneliti kekosongan masing-masing tangki.

Satu-persatu tangki diperiksa. Akhirnya sampai pada tangki nomor 4, sisi kiri. Cuma saya sendiri yang melihat gerakan itu. Pada saat mengulurkan tongkat ukur ke dalam tangki, tampak tangan Joe agak lain geraknya dibandingkan dengan ketika melakukan pengukuran tangka-tangki lainnya. Tali pengulur meluncur. Tahu-tahu ada sebuah simpul pada tali itu yang nampak sekilas melewati tangan Joe. Seketika itu juga ia menahan gerak tali lebih jauh, lalu menariknya kembali ke atas. Ketika tongkat ukur sampai di atas, ternyata minyak yang menempel cuma sedikit sekali. Bahkan tidak sampai lima senti, seperti yang saya lihat tadi.

Kemudian Joe menjelaskan ke mana larinya lumpur minyak yang masih tersisa dalam tangki. Jelas, tidak mengalir ke dalam tangki BP di darat. Kapten Deligiannakis, ketika berunding dengan dia dalam bahasa Yunani, ternyata menginstruksikan agar lumpur itu ditekan ke bawah pelat lantai ruang pompa. Untuk melakukan proses itu, tekanan pompa masih memadai.

Saat itu barulah saya memahami kejadian yang mulanya merupakan teka-teki bagi saya. Malam-malam dalam pelayaran menuju Philadelphia, ketika kapal kira-kira berada di depan pantai, Charleston, Aladin B agak mengubah haluan. Saya sama sekali tidak diberi tahu padahal saat itu saya sedang giliran jaga. Arah haluan berubah 40 derajat, sehingga kami kembali mengarah ke tengah laut, menjauhi tujuan.

Rupanya mualim satu saat itu ingin cerdik sekali. Penentuan posisi dilakukannya tidak seperti biasanya dengan paser, yang meninggalkan bekas lubang pada peta laut, sehingga lekas ketahuan apabila pihak penjaga pantai melakukan pemeriksaan.

Pada saat terjadi perubahan haluan itu, berton-ton lumpur minyak dibuang ke laut. Lumpur minyak itu berasal dari bawah pelat lantai ruang pompa, ke mana minyak pekat setinggi 15 sampai 20 senti yang tidak bisa disalurkan ke darat di Philadelphia kemudian dipompakan oleh Joe atas instruksi kapten. Dan untuk itu pihak BP memotong sekitar 20.000 dollar dari rekening pengangkutan yang disodorkan perusahaan yang menyewa.

Setelah semuanya selesai, pagi-pagi sekali tanker Aladin B menyelinap pergi, meninggalkan Philadelphia dan kembali ke Curacao. Semua pihak merasa puas, juga pihak penjaga pantai yang disodori buku topdal yang khusus disusun untuk mereka. Kelihatannya penjaga pantai Amerika juga hanya menaruh perhatian bahwa pada haluan dan buritan Aladin B terjulur dua utas tali kawat, dengan mana kapal itu bisa diseret secepat mungkin keluar dari pelabuhan apabila terjadi kebakaran di kapal.

Saya ikut berlayar pulang lagi ke Curacao. Dalam hati saya mengucap syukur bahwa Aladin B hanya melayani pengangkutan minyak mentah di Laut Karibia saja.

Tapi masih berapa banyakkah kapal tanker raksasa lain yang menyinggahi berbagai pelabuhan besar di seluruh dunia, yang awaknya mirip dengan yang ada di Aladin B? Bermualim tiga yang kemampuannya seminimal saya dan nakhodanya berwatak seperti Kapten Deligiannakis?

(Chr Jungblut/Geo)

Baca Juga: Petunjuknya Uang Lembaran Baru

 

" ["url"]=> string(88) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726467/siapa-yang-mencuri-minyak-dari-kapal-tangki" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1680809251000) } } [2]=> object(stdClass)#73 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350359" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#74 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/drakula-haus-cinta_igam-ogamjpg-20220629070704.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#75 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(127) "Mayat-mayat perempuan ditemukan dalam keadaan mengenaskan, tampak ada bekas gigitan di leher atau paha. Apakah ini ulah drakula" ["section"]=> object(stdClass)#76 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/drakula-haus-cinta_igam-ogamjpg-20220629070704.jpg" ["title"]=> string(18) "Drakula Haus Cinta" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:07:20" ["content"]=> string(40303) "

Intisari Plus - Mayat-mayat perempuan ditemukan dalam keadaan mengenaskan, tampak ada bekas gigitan di leher atau paha. Apakah ini ulah drakula atau seseorang yang sakit jiwa?

------------------

Gumpalan awan gelap melayang rendah, seakan-akan menyapu wajah bulan yang pucat. Mendekati tengah malam, angin kencang meratap di antara batu-batu nisan Permakaman Hamburg-Ohlsdorf di Jerman Barat. Sementara itu titik-titik hujan menampari jendela-jendela kamar mayat yang gelap. 

Bangsal tempat mayat-mayat dibaringkan tidak diberi penerangan maupun pemanasan. Toh jasad-jasad yang sedang menunggu dimakamkan tidak memerlukannya. Bahkan bangsal itu pun tidak dikunci, apalagi dijaga. Soalnya, penghuninya takkan melarikan diri. Tidak ada pula manusia yang mau masuk ke sana, kecuali orang gila.

Namun, ketika lonceng gereja berdentang 12 kali, ada sesuatu yang bergerak di bangsal yang gelap dan dingin itu. Kedengaran bunyi korek api digesekkan, lalu cahaya lilin yang kekuning-kuningan menyebabkan bayang-bayang aneh di dinding seakan-akan menari-nari. 

Terdengar tutup peti-peti jenazah didorong, disusul gemeresek kertas penutup mayat. Jasad-jasad yang ada di sana masih telanjang, belum didandani. Salah satu di antaranya ialah jasad Kathe Bauer, seorang gadis berumur 12 tahun. Ban belakang sebuah mobil telah menggilas wajahnya yang cantik. Karena itulah peti jenazahnya tidak akan dibuka pada upacara pemakamannya hari Minggu.

 

Mayat-mayat bangun

Keesokan harinya, 15 April 1971, petugas kamar mayat bernama Gerd Fröhlich, datang ke tempatnya bekerja pukul 08.15. Fröhlich bukanlah manusia penakut atau penjijik. Tapi begitu masuk ke bangsal tempat menaruh mayat, ia terkejut setengah mati.  

Beberapa peti jenazah terbuka. Mayat-mayat duduk bersandar di peti masing-masing. Yang paling mengerikan ialah jenazah Kathe. Pergelangan tangan kirinya luka dalam. Cairan kental kehitam-hitaman dari nadinya menodai luka itu dan juga pelbagai bagian tubuhnya: bibirnya, payudaranya .... Seakan-akan ada makhluk yang mengisap nadinya lalu menciumnya. Ada juga bekas-bekas gigitan di paha dan lehernya.

Di nadi kirinya terdapat pula darah makhluk hidup yang kelihatan relatif masih segar, berbeda dengan darah mayat yang menggumpal kecokelatan. 

Sementara itu di tepi-tepi peti didapati sisa-sisa lilin yang habis terbakar. Lilin itu milik kamar jenazah. 

Fröhlich segera berlari ke WC dan muntah-muntah. Setelah menyeka mulutnya, ia terhuyung-huyung ke kantornya untuk menelepon polisi. la mampu menggambarkan keadaan di bangsal secara jelas, sehingga Inspektur Frank Luders dari Departemen Penyidikan Kriminal merasa perlu datang sendiri. 

Luders ditemani asistennya, Sersan Detektif Max Peters dan dr. Ludwig Strauβ. Strauβ segera memeriksa mayat Kathe Bauer, sementara Peters menaburi tepi-tepi peti jenazah dengan bubuk khusus untuk mencari sidik jari. 

"Banyak sekali sidik jari di sini," katanya. "Mereka merampok benda-benda dalam peti barangkali." 

"Huh! Merampok? Mayat-mayat ini dipakaikan baju pun belum! Boro-boro dibekali barang berharga," jawab dr. Strauβ.

"Mungkin mereka tidak tahu kalau mayat-mayat ini belum dibekali apa-apa," komentar Inspektur. 

Dr. Strauβ berpendapat lain. la merasa kamar mayat ini kedatangan pemakan mayat yang nekrofili, yaitu seorang yang memiliki dorongan untuk menyetubuhi mayat.

Ada sebagian kecil daging mayat yang hilang di tempat yang memperlihatkan bekas gigitan. Selain itu nadi di pergelangan tangan jenazah menunjukkan bekas diisap.

"Di luka pergelangan kiri ini terdapat darah makhluk hidup. Tampaknya ia mencoba bertukar darah dengan mayat," tambah dr. Strauβ. "Ada hal lain yang tidak berhasil dilakukannya, walaupun ia sudah berusaha, yaitu memerkosa mayat." 

"Berarti ia penderita penyakit jiwa yang berbahaya," komentar Inspektur Luders. 

"Ya!”

"Kalau begitu, kita harus segera menangkapnya, supaya ia tidak mempraktikkannya pada manusia hidup."

Luders pun segera mengerahkan orang-orangnya untuk mengusut. Namun, mereka tidak mampu menemukan petunjuk sedikit pun perihal identitas si pengunjung kamar mayat yang ganjil itu. 

Semua kantor polisi di Jerman dikirimi keterangan perihal peristiwa aneh tersebut, tetapi Desa Bisselmark yang terletak ± 60 km di sebelah timur Hamburg tidak mendapat keterangan itu, sebab di desa yang sangat kecil itu tidak ada kantor polisi.

Tanggal 17 April 1971 pagi, pemilik perusahaan pengurus jenazah di desa itu merasa kaget sekali ketika membuka ruang tempat jenazah disemayamkan. Saat itu cuma ada satu jenazah di sana, yaitu seorang wanita umur 40-an, yang meninggal karena kanker dua hari sebelumnya. 

Wanita itu didapati dalam keadaan duduk bersandar di petinya dengan lutut tertekuk. Pakaian dalamnya tergunting. Kedua matanya melek, karena diganjal dengan batang korek api. Di sekeliling peti terdapat sisa lilin yang dipasang membentuk lingkaran. Terdapat pula bekas-bekas sepatu, seakan-akan seseorang melakukan tarian aneh di situ. Bekas lumpur itu jelas, sebab semalam turun hujan.

Saking terkejut dan juga karena takut disangka sebagai pelaku perbuatan yang tidak senonoh itu, buru-buru mayat dirapikannya. Dibersihkannya lantai sampai tidak tertinggal bekas sedikit pun. la tidak berani menceritakan peristiwa itu kepada siapa pun.

 

Pencuri kepala

Pulau Sylt di Laut Utara terkenal sebagai perkampungan nudis terbesar di Jerman, bahkan di Eropa. 

Tanggal 4 Mei 1971, belum banyak turis nudis berlibur ke sana. Westerland, kota utama di pulau itu, masih sepi pengunjung. Pukul 08.00 Pendeta Harold Segel masuk ke gerejanya. Didapatinya peti jenazah Ny. Gertraud Frankle terbuka. Wanita berumur 52 tahun itu meninggal dua hari sebelumnya akibat gangguan pembuluh darah. Jenazahnya masih terbaring rapi dengan mata terkatup. Namun, dari dadanya menonjol hulu pisau berburu.

Buru-buru Pendeta Segel memanggil polisi. Menurut dokter dari Departemen Penyidikan Kriminal, itu adalah pisau cendera mata khas Sylt, mirip pisau berburu zaman dahulu. Benda tajam itu dihujamkan dengan keras ke dada kiri mayat, menembus jantungnya, lalu diputar 180°. 

Polisi tidak menduga ini perbuatan pemakan mayat. Mereka menyangka, ini tentu ulah musuh keluarga almarhumah. Sampai berbulan-bulan mereka tidak mampu menemukan petunjuk ke arah si pelaku.

Tanggal 30 Mei tahun itu juga, terjadi peristiwa yang menggemparkan di Flensburg, sebuah kota Jerman yang berbatasan dengan Denmark. 

Kota itu oleh sebagian orang dijuluki Kota Maksiat, karena merupakan markas penjualan barang-barang yang biasa dijumpai di sex-shop

Peristiwa yang menggemparkan itu bukan terjadi di markas penjualan barang-barang maksiat, melainkan di Permakaman Mühlen.

Malam itu bulan hampir purnama. Keesokan paginya, seorang wanita muda bernama Marion Steiger berlari terbirit-birit di jalan dekat kuburan, lalu pingsan di trotoar. Untung, sekitar kuburan itu ada rumah-rumah. 

Seorang ibu rumah tangga cepat-cepat menelepon polisi dan ambulans. Ketika wanita muda itu siuman kembali, kelihatan benar ia sangat terguncang. Ceritanya kacau. 

Akhirnya, polisi membiarkan petugas ambulans membawa wanita itu ke rumah sakit. Mereka sendiri pergi ke jurusan yang ditunjukkan oleh nyonya rumah sebagai tempat kedatangan sang Wanita Muda.

Di jurusan itu cuma ada kuburan. Ketika polisi menjenguk ke permakaman itu, mereka menemukan tas tidak jauh dari pintu gerbang. Di dalam tas itu ada kartu identitas wanita muda itu dan beberapa barang pribadi. Tak jauh dari sana mereka menemukan sebelah sepatu wanita. Lebih jauh kemudian ditemukan sepatu yang sebelah lagi. Setelah itu mereka menemukan bunga yang rupanya rontok dari karangannya. Dengan mengikuti rontokan bunga, mereka tiba di suatu tempat yang tidak menunjukkan keanehan apa-apa. 

"Coba, cari makam seseorang bernama Steiger," kata polisi yang paling senior dari ketiga petugas patroli. "Jangan-jangan ada binatang menggali makam itu."

Ternyata makam Helga Steiger baik-baik saja. Namun, ketika mereka menoleh ke barisan makam yang bersebelahan, terlihat bekas tanah galian. 

"Perampok makam!" seru seorang di antara mereka seraya berlari untuk memeriksa. Temannya secara otomatis mencabut pistol untuk berjaga-jaga. Namun, bukan perampok makam yang mereka jumpai.

Sebuah makam digali sampai seluruh petinya kelihatan. Salah satu ujung peti dijebol dan mayat di dalamnya ditarik sampai bersikap duduk. Tangan mayat terletak di bagian tutup peti yang utuh, seperti posisi tangan murid SD yang sedang menyimak. Mayat itu mestinya laki-laki, sebab mengenakan setelan jas. Namun, kepalanya lenyap dipancung. Tidak heran kalau Marion Steiger semaput!

Menurut dr. Theodore Fichtenbauer yang diperbantukan ke Departemen Penyidikan Kriminal di Kepolisian Flensburg, jangan-jangan ada orang yang memerlukan tengkorak. Mungkin seorang pemuja setan, atau orang yang menuntut ilmu gaib, atau bisa juga seorang mahasiswa kedokteran. 

"Kalau mahasiswa kedokteran," kata Fichtenbauer, "paling-paling ia baru duduk di tingkat satu. Soalnya, leher ini dipotong kasar, mungkin dengan pisau daging." 

Dua hari kemudian, seorang bernama Karl Konzemius menemukan daging tengkorak itu dalam gubuk di kebunnya, tetapi tengkoraknya tidak ada. 

 

Drakula atau pemuja setan? 

Inspektur Richard Brinkmann menduga perbuatan keji ini dilakukan oleh pemuja setan, yang beberapa tahuh terakhir bermunculan di pelbagai tempat. Jadi selama satu setengah tahun ia melakukan penyidikan yang cermat di kalangan pemuja setan. Hasilnya nihil. 

Seperti polisi Hamburg, Inspektur Brinkmann pun mengirimkan edaran ke semua kantor polisi di Jerman. la segera mendapat tanggapan dari polisi Hamburg dan Westerland. Pengurus mayat di Bisselmark pun membaca berita di koran tentang peristiwa-peristiwa aneh yang keji itu. Diam-diam ia mengirim keterangan pada polisi mengenai pengalamannya sendiri. Cuma ia meminta agar identitas mayat yang diceritakannya itu dirahasiakan. 

Inspektur Brinkmann yakin, pemuja setan ini memiliki jaringan luas, sedikitnya di Hamburg, Sylt, dan Flensburg. Asistennya mempunyai pendapat yang berbeda. 

"Peristiwa-peristiwa ini tidak memiliki pola yang sama," katanya. "Flensburg merupakan tempat satu-satunya di mana ada bagian tubuh yang dibawa pergi dan ada indikasi seksual yang jelas. Di Bisselmark korbannya wanita dan juga menunjukkan indikasi seksual, walaupun dalam derajat yang kurang dibandingkan dengan di Hamburg. Di Westerland korban tidak diganggu, kecuali ditikam di bagian jantung."

"Hal ini bisa menunjukkan bahwa insiden-insiden ini dilakukan oleh pelaku yang berbeda-beda, atau oleh satu orang yang tidak mengikuti pola yang rasional. Saya cenderung menduga yang terakhir," kata asisten itu.

"Saya kira selama cuma mengganggu mayat, ia tidak berbahaya bagi manusia hidup, walaupun perbuatannya itu keji dan menyusahkan," kata asisten itu pula. 

"Menurut Theodore, orang itu cerophile, pencinta mayat," kata bosnya. "Tapi kalau mencintai mayat, mengapa ia menikam dan bahkan memancung mayat? Selain itu, apa betul ia tidak berbahaya bagi manusia hidup? Coba lihat laporan ini. Apakah ini bukan perbuatannya?”

Menurut laporan itu, pada tanggal 27 Juni 1971, serombongan penduduk Feucht berjalan-jalan di hutan, di barat daya kota mereka. Feucht terletak ± 8 km dari Nürnberg, sebuah kota besar di Jerman Selatan. Tahu-tahu mereka menemukan mayat seorang wanita dekat jalan setapak. 

Kemudian wanita itu dikenali sebagai Martha Krüger, seorang ibu rumah tangga berumur 36 tahun. Penduduk Feucht itu tewas akibat peluru senapan kaliber .22 yang menembus pelipis kirinya. Selain itu di tubuhnya terdapat 14 bekas tusukan pisau yang dalam dan lebarnya bervariasi. Beberapa di antara luka itu memperlihatkan bekas gigitan dan sidik bibir manusia. Diperkirakan pembunuh menggigit dan meminum darah korbannya.

"Itu sih Drakula, bukan pemakan bangkai!" seru asisten Inspektur Brinkmann. 

Menurut laporan itu pula, di atas mayat Martha Krüger dijumpai anaknya yang berumur 3 tahun, Lydia Krüger. Gadis itu menangis ketakutan dan tubuhnya berlumur darah ibunya. Lydia ternyata tidak diganggu sedikit pun. Menurut keterangannya kepada para penemunya dan kemudian kepada polisi, "Ibu jatuh. Bapak itu menusuknya dengan pisau. Terus, bapak itu mau memakan Ibu."

"Pembunuh itu pasti orang gila yang mengira dirinya Drakula," komentar-sersan yang menjadi asisten Inspektur Luders. 

Drakula-drakulaan itu tidak meninggalkan jejak, kecuali bekas gigitan yang ternyata sama dengan gigitan pada mayat Kathe Bauer di Hamburg.

"Mustahil!" kata sersan itu. "Baru sekali ini saya mendengar ada pemakan mayat merangkap vampir. Vampir 'kan pengisap darah. Darah mayat 'kan tidak diisap." 

"Bisa," jawab atasannya. "Asal belum lama meninggalnya. Menurut Theodore, darah mayat mula-mula mengental, lalu menjadi cairan kekuning-kuningan.”

 

Drakula membaca koran

Tanggal 7 November 1971, untuk pertama kalinya pemakan mayat/vampir/pencinta mayat atau orang gila itu beraksi di tempat yang sama dengan yang pernah dikunjunginya. 

Beberapa hari sebelumnya, yaitu tanggal 3 November, George Weichert (40) dan putrinya Steffi (15), menumpang sebuah mobil. Di perjalanan, pengemudi mobil tidak bisa menguasai kemudi. Mobil nyelonong ke luar dari jalan, lalu terguling-guling beberapa kali sebelum terjatuh ke hutan yang letaknya ± 30 m dari jalan.

Kecelakaan itu terjadi di persimpangan jalan ke Feucht, ± 1 km dari hutan tempat Martha Krüger ditikam. 

Anehnya, sopir mobil itu hanya memar-memar, tetapi George Weichert tewas seketika. Putrinya luka parah dan meninggal di rumah sakit keesokan harinya. Tanggal 6 November, mereka dimakamkan bersebelahan di Permakaman Nürnberg.

Tanggal 7 November 1971 pagi, seorang pemuda bernama Horst Weber bermaksud mengunjungi makam salah seorang kerabatnya. Ketika itulah ia menyaksikan pemandangan yang paling menyeramkan dalam hidupnya.

Steffi Weichert sudah digali dari kuburnya. la duduk telanjang bulat di samping lubang kuburnya, dengan bersandar ke tumpukan tanah. Kepalanya menengadah dan matanya yang tidak bersinar lagi itu melotot. 

Darah segar menitik dari bibirnya ke dagu dan dada gadis cantik ini. Ketika angin bertiup, rambutnya yang pirang itu berkibar, seakan-akan mayat itu bergerak.

Horst Weber sebenarnya tidak percaya cerita Drakula. Saat itu matahari baru mengintip di langit November yang kelam. Menyaksikan adegan yang mengerikan itu, segera saja Horst Weber mengambil langkah seribu. 

Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, ia langsung berlari ke arah kantor polisi yang lumayan jauh dari sana. Untunglah di perjalanan ia berpapasan dengan polisi yang sedang patroli.

"Ada vamp ...! Ada yang tidak beres di kuburan!" katanya. Tadinya ia ingin memberi tahu ada vampir, tetapi takut polisi tidak percaya. Salah-salah ia diangkut ke kantor polisi untuk diperiksa oleh psikiater. Ternyata polisi malah berseru. 

"Astaga! Vampir mendapat mangsa lagi! Eh, Bung! Tolong cepat beri tahu rekanku di kantor. Aku butuh bantuan. Sekarang aku akan mengejar ke kuburan."

Polisi itu mengeluarkan pistolnya sebelum berlari ke arah kuburan. Horst Weber, seperti layaknya orang Jerman yang taat pada peraturan, melaksanakan pesan polisi itu, walaupun ada rasa waswas keterangannya akan dianggap isapan jempol seorang sinting. Ternyata polisi yang menerima kedatangannya segera percaya.

Beberapa orang polisi segera berangkat dengan mobil, sementara sersan yang bertugas di kantor menelepon Inspektur Julius Misner yang menangani kasus Krüger. Minggu pagi itu Inspektur ada di rumahnya. la menjemput asistennya, Sersan Detektif Hans Bohm dan dr. Jurgen Platt. 

"Ini sih bukan vampir. Ini gadis yang tewas akibat kecelakaan hebat. Mungkin karena kecelakaan lalu lintas," kata dokter. 

"Orang yang menemukannya, melapor melihat vampir. Mungkin karena ia ketakutan," jawab Inspektur. "Anda dulu memeriksa jenazah Martha Krüger dan Anda pernah diberi tahu perihal pemakan mayat atau vampir yang terjadi di Jerman Utara. Apakah jenis kasusnya sama?"

Dokter mengangguk dan memeriksa jenazah dengan saksama. 

"Darah di mulutnya bukan darahnya," katanya. "Orang itu mencium mayat ini dengan mulut penuh darah. Mungkin darahnya sendiri. Kejadiannya kira-kira tengah malam. Di payudara kiri ada sayatan. la mengisap darah korbannya yang sudah tidak segar lagi karena gadis muda ini sudah meninggal 3 atau 4 hari. Ada bagian daging di sayatan ini yang dikunyah."

"Dalam kasus di Hamburg, ia melukai dirinya sendiri dan menekankan lukanya ke pergelangan tangan mayat gadis itu." 

"Di sini prinsipnya sama. Seperti di Hamburg ia berusaha memerkosa mayat, tetapi tidak berhasil. Pelakunya mestinya sama." 

"Seorang nekrofil dan seorang pemakan mayat hanya akan mengganggu mayat. Tapi kalau orang itu menganggap dirinya vampir, kita akan menemukan kasus seperti Martha Krüger. Mungkin ia mengisap darah mayat hanya karena tidak berhasil memperoleh darah manusia hidup." Begitu pendapat dr. Platt.

"Saya bukan ahli psikologi abnormal," kata Inspektur Misner. "Tapi saya mempunyai banyak pengalaman menangani kejahatan seksual. Biasanya pelakunya mula-mula cuma sekadar mempertontonkan hal yang tidak perlu diperlihatkannya kepada wanita dan anak-anak, ada pula yang makin lama makin parah, sampai memperkosa dan membunuh." 

"Kalau kasus-kasus di Jerman Utara dan Selatan ini dilakukan oleh satu orang, berarti cuma dari pengganggu mayat, ia berkembang Iebih parah sampai menjadi pembunuh manusia, lalu merosot menjadi pembongkar mayat lagi," komentar sersannya. "Apakah mungkin hal seperti itu terjadi? Ataukah ia sekadar orang gila?"

"Saya tidak tahu. Pemakan mayat ataupun orang gila, ia tidak meninggalkan jejak, kecuali darahnya, telapak sepatu, dan bekas gigitan. Mungkin ia licin sekali, mungkin pula ia cuma beruntung," jawab atasannya. 

"Oh, ya, masih ada hal lain," sambung Misner. "Ia pasti pembaca koran, sebab ia tahu siapa yang baru dikubur dan di mana. la tidak mengganggu makam lain."

 

Petugas permakaman dimata-matai

Mulai hari itu, diam-diam polisi Nürnberg menghadiri pemakaman gadis-gadis muda yang meninggal. Dengan berpakaian preman mereka mengawasi para pelayat.

Tugas itu tidak berat. Yang berat ialah tugas menunggui makam pada malam hari yang dingin dan gelap. Biasanya polisi yang paling muda dan paling barulah yang harus melakukan hal ini. Tidak jarang mereka pura-pura sakit supaya terhindar dari kewajiban itu. 

Akhirnya pekerjaan yang sia-sia itu dihentikan. 

"Jangan-jangan pemakan mayat keparat itu sudah kembali ke Utara," kata Inspektur Misner. 

la keliru. Si pemakan mayat masih berkeliaran di Selatan. Cuma saja ia lebih berhati-hati. 

Pada awal Mei 1972, George Warmuth, petugas tempat penitipan mayat di Permakaman Nürnberg Barat, mengeluh kepada istrinya.

" Ellie, aku curiga, ada yang menggerayangi jenazah-jenazah. Tapi mana mungkin sih, ya?" 

"Mustahil! Siapa sih yang mau berbuat demikian?" jawab Ellie. 

Mereka belum pernah mendengar tentang mayat Steffi Weichert. Soalnya, polisi Jerman tidak membeberkan kejadian itu kepada umum, supaya orang yang dicurigai tidak bisa berkata bahwa mereka mengetahui hal itu dari koran.

Warmuth bahkan tidak tahu bahwa selama 5 bulan tempat kerjanya dan ia sendiri pernah diamat-amati polisi. Begitu pula rekan-rekannya. 

"Siapa ya, yang iseng?" tanya Warmuth kepada istrinya. "Jangan-jangan salah seorang dari penggali kubur. "Kan mereka sudah terbiasa dengan mayat. Orang lain sih boro-boro mau dekat-dekat."

"Apa untungnya menggerayangi mayat?" tanya istrinya yang bekerja sebagai pembersih kamar mayat. "'Kan mereka belum dipakaikan perhiasan dsb." 

"Malam ini aku ingin mengintip, supaya bisa menangkap basah orang itu," jawab suaminya.

Kalau saja George Warmuth tahu ada pemakan mayat di Nürnberg, pasti dia agak gentar, walaupun sebagai veteran perang ia merasa dirinya tidak takut kepada apa pun.  

Malam itu, selesai makan, ia tidak menonton acara TV kegemarannya. la menyelinap ke kantornya dan duduk menunggu dengan sabar di dalam gelap. 

Tanggal 5 Mei 1972 itu cuaca menyenangkan, sebab sudah awal musim semi. Beberapa saat sebelum pukul 22.00, didengarnya derit pintu menuju ke ruang tempat peti jenazah biasa diletakkan sebelum dibawa ke makam. Pintu itu terbuka dan tertutup dengan perlahan. Warmuth berdiri. la tahu ke mana tujuan orang yang membuka dan menutup pintu itu. Pasti ke ruang bawah tanah, tempat mayat-mayat ditaruh.

la berniat mendahului orang itu. Tangga memang berada dekatnya. Rencananya, Warmuth akan bersembunyi di salah sebuah relung yang ada di ruang bawah tanah itu. Alangkah terkejutnya ia ketika tiba, karena ruang itu terang. Apakah orang itu mampu mendahuluinya secara gaib lalu menyalakan lampu? 

Lalu Warmuth teringat bahwa istrinya tadi membersihkan ruang itu. Walaupun sudah terbiasa dengan pekerjaannya, Ellie tidak berani berada di sana dalam keadaan gelap. Jadi setiap kali selesai bekerja, ia membiarkan lampu menyala. Maklum tombol lampu berada di tengah, bukan dekat tangga. la takut berjalan dalam gelap sepanjang setengah ruangan. 

Cepat-cepat Warmuth mematikan lampu, lalu masuk ke salah sebuah relung. Tak lama setelah itu kedengaran bunyi langkah menuruni tangga. Orang itu berjalan tanpa ragu-ragu ke tengah, lalu menyalakan lampu. Tampaknya ia hafal di mana ada tombol lampu. Begitu lampu menyala, Warmuth tercengang, sebab itu bukan karyawan tempat penitipan mayat. Bahkan Warmuth belum pernah melihatnya. Kalau saja Warmuth tahu, bahwa orang itu adalah pemakan mayat yang dicari-cari polisi Nürnberg, ia pasti lebih tercengang lagi.

 

Orang cebol

Orang itu jauh dari menyeramkan. Tubuhnya agak kontet dan tidak kekar. Rambutnya gelap, bergelombang, dan hidungnya bulat. Pria itu mengenakan kacamata berbingkai metal, yaitu jenis kacamata murah yang bisa dibeli dengan asuransi kesehatan.

Walaupun penampilannya begitu, tetapi dengan tidak ragu-ragu ia mendekati peti jenazah berisi seorang wanita berumur 37 tahun yang baru dibawa ke tempat penitipan mayat itu sehari sebelumnya. 

Warmuth mengira pria itu membuka mulut mayat untuk mencari gigi emas. Ternyata ia keliru. Si Cebol memegang pipi mayat dan mencium bibir mayat itu. Saking tidak menduga, Warmuth sampai melompat dan kaki celananya tersangkut sesuatu sampai ia terjerembab ke lantai. 

Warmuth mengira si Cebol akan terkejut dan kabur. Ternyata pria itu tetap menekankan bibirnya ke bibir mayat, seakan-akan tidak terjadi sesuatu di dekatnya.

Warmuth bangkit, lalu menjambret pundak si Cebol. 

"Hei! Apa-apaan kau!" seru Warmuth. 

Si Cebol berbalik dan mencabut pistol otomatis dari balik jasnya. Sebelum Warmuth yang tinggi besar sempat bereaksi, perutnya sudah kena tembak. la terjatuh kembali. Sementara itu si Cebol dengan tenangnya menyimpan kembali pistolnya, lalu berlari menaiki tangga.

Dengan bersusah payah Warmuth merangkak ke kantornya dan menelepon ambulans yang khusus disediakan untuk keadaan gawat darurat. Setelah menelepon Warmuth pingsan. 

Untung saja ambulans datang dengan segera, kalau tidak Warmuth pasti tewas kehabisan darah. Peluru 7.65 mm menembus usus besar, usus kecil, dan kandung kemihnya. Berkat penanganan yang cepat, 48 jam kemudian ia sudah mampu menggambarkan tamu aneh yang menembaknya itu. Saat itu hari Minggu, 6 Mei 1972, Inspektur Misner khusus datang ke rumah sakit.

Di kantor polisi, pelukis mencoba melukiskan si penembak berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Warmuth. Keterangan itu direkam dalam kaset. Belum lagi lukisan rampung, Inspektur Misner sudah ditelepon dari Desa Lindelburg ± 20 km di sebelah timur Nürnberg. Peneleponnya penjaga hutan bernama Werner Baranek. 

Keterangan Baranek tidak keruan, karena ia belum pulih dari rasa kaget.

"Tenang. Coba tenangkan diri dulu," kata Inspektur. "Siapa menembak siapa?" Baranek yang baru berlari 3 km mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.

"Pasangan muda itu memarkir Mercedesnya, ± 100 m dari belokan di Wolkersdorf. Saya datang dari Lindelburg, kira-kira setengah jam yang lalu. Saya lihat mobil itu. Pintu-pintunya terbuka. Saya lihat pria bertubuh kecil, berkacamata, dan bertopi kulit sedang melakukan entah apa dekat mobil itu. Ketika melihat saya, ia kabur. la menunggang sepeda motor merahnya dan melaju ke Wolkersdorf. 

"Karena merasa curiga, saya hampiri mobil itu. Saya lihat seorang remaja pria di bangku depan dan seorang gadis muda di bangku belakang. Keduanya berselubung selimut di mobil. Ketika saya tarik selimut mereka, ternyata keduanya penuh darah. Mereka sudah tewas. Saya segera melepaskan tiga tembakan pemberi isyarat ke udara, tetapi tidak ada orang yang mendengarnya. Akhirnya, saya berlari ke Lindelburg untuk menelepon."

"Tinggallah di tempat Anda berada sekarang. Kami segera berangkat ke sana," jawab Inspektur. 

Misner memerintahkan anak buahnya agar mengerahkan kendaraan ke Lindelburg. 

"Kita bawa gambar yang dibuat berdasarkan keterangan Warmuth. Kita cari pria kecil berkacamata yang mengendarai sepeda motor merah."

Sore itu, dr. Platt menyatakan bahwa peluru yang berhasil dikeluarkan dari jenazah Marcus Adler (24) dan Ruth Lissy (18), sama dengan yang diambil dari perut George Warmuth. Adler adalah pemilik perusahaan transportasi di Bruchsal, 75 km dari Nürnberg. la datang mengunjungi tunangannya, Ruth Lissy, lalu rupanya mereka berpacaran di tempat sepi. Setelah itu mereka tidur di mobil. Seorang di depan seorang di belakang. Menurut rekonstruksi kemudian, si Cebol mendekati dan menembak kepala mereka. Keduanya tewas seketika. Si Cebol menembak Ruth sekali lagi di bawah payudara kiri dan mengisap darahnya. Sidik bibirnya dijumpai juga di kepala Adler.  

Pada saat ia mulai menggerayangi mayat Ruth, muncullah Baranek. 

"Pria itu sangat berbahaya," kata Inspektur Misner. "Soalnya, ia bukan cuma merupakan ancaman bagi orang mati, tetapi juga bagi manusia hidup." 

Karena itulah polisi Nürnberg melakukan patroli gencar. Setiap pengendara sepeda motor merah dihentikan, sedangkan gambar yang dibuat berdasarkan keterangan Warmuth dipasang di tempat-tempat umum. Menurut Warmuth dan Baranek, gambar itu mirip dengan pria kecil yang mereka lihat. Stasiun-stasiun radio dan TV pun berulang-ulang meminta bantuan masyarakat untuk membantu polisi. 

 

Mustahil dia

Empat hari lewat sejak poster-poster dipasang oleh polisi. Radio dan TV belum berhenti menyiarkan permintaan bantuan. Namun, belum juga ada hasilnya.

Sementara itu Helmut Kostan, seorang karyawan perusahaan transportasi yang sudah setengah umur merasa gundah. Pria bertubuh kekar itu belasan kali ingin melapor kepada polisi, tetapi ia ragu-ragu. 

"Mustahil rekan sekerjaku bisa berbuat keji begitu?" pikirnya. Kostan dengan saksama membaca berita mengenai kasus pembunuhan atas Marcus Adler dan Ruth Lissy. Menurut Baranek, pria yang diduga keras sebagai pembunuh kedua orang muda itu mengenakan topi kulit dan mengendarai sepeda motor merah. Rekan sekerja di sebelahnya, Kuno Hofmann yang biasa memuat barang ke truk bersama dia, kadang-kadang memakai topi kulit dan sepeda motor merah. Hofmann pun bertubuh kecil, berambut gelap bergelombang, berhidung bulat, dan memakai kacamata berbingkai logam dari asuransi kesehatan.

Kata George Warmuth, penembaknya mengenakan setelan jas bergaris-garis kelabu dan cokelat, sweater hitam atau biru tua, dan sepatu hitam bergesper logam berkilat. Sebulan sebelumnya, Helmut Kostan pernah melihat Kuno Hofmann mengenakan pakaian seperti itu. 

Menurut Warmuth, orang itu tidak terkejut ketika ia jatuh keserimpet. Hal itu tidak mengherankan bagi Kostan, sebab Kuno Hofmann bisu tuli!

Walaupun gambaran itu tepat sekali dengan gambaran Kuno Hofmann, Kostan masih ragu-ragu. la takut menuduh orang yang tidak bersalah. Kuno Hofmann boleh bisu tuli, tetapi kerjanya cekatan. la juga disukai rekan-rekannya di perusahaan Demerag Transport. Soalnya, ia tidak mungkin cekcok mulut dengan siapa pun. 

Namun, tanggal 10 Mei 1972, Kostan terdorong untuk melapor juga. Soalnya, ketika tiba di kantor pagi-pagi, ia melihat Kuno Hofmann memakai setelan kelabu yang rapi, bukan pakaian kerja. Menurut mandor, Kuno Hofmann minta berhenti. Pada secarik kertas, Hofmann menulis bahwa ia akan ke Hamburg. 

Dua menit kemudian, Kostan sudah berada di telepon umum. la berbicara dengan Sersan Bohm di markas besar polisi.

"Mungkin ia bukan orang yang Anda cari," katanya. "Tapi kok penampilannya sama. Lebih baik Anda cepat datang, sebab sebentar lagi ia akan pergi. la tinggal menunggu gajinya dibayarkan." 

Kurang dari 2 menit kemudian, sersan dan tiga rekannya sudah ngebut di jalan dalam mobil polisi yang sirenenya meraung-raung. Ketika mereka tiba, seorang pria kecil berkacamata melangkah ke luar dari kantor sambil memegang sampul gajinya.

 

Sering digebuki

Kuno Hofmann bukanlah orang yang pandai. la bukan pula pemberani. Penampilannya mencerminkan dirinya: pemalu dan terbelakang mental. 

Begitu mobil polisi masuk halaman Demerag Transport dan para detektif melompat ke luar, ia segera kabur. Namun, mana mungkin langkahnya yang pendek itu bisa mengalahkan langkah para polisi yang lebih muda, lebih kuat, dan lebih gesit. Sekejap saja ia sudah dibekuk. 

Tak lama kemudian mobil-mobil patroli tiba dan Hoffmann dibawa dengan salah sebuah di antaranya ke kantor Departemen Penyidikan Kriminal. Sementara itu Sersan Bohm dan beberapa rekannya menuju ke kediaman Hofmann, yang alamatnya mereka peroleh dari Demerag.

Di kamar sewaan Hofmann, mereka menemukan sebuah pistol otomatis Czech VZOR 7.65 mm, Penelitian balistik kemudian membuktikan bahwa itulah pistol yang dipakai membunuh Marcus Adler dan Ruth Lissy serta melukai George Warmuth. Dijumpai pula tengkorak yang dicuri di Flensburg. Tengkorak itu sudah licin digosok.

Selain itu dijumpai pelbagai buku saku tentang ilmu gaib, vampir, dan setan. Hofmann rupanya menganggap isinya serius. 

Di kantor polisi, Hofmann yang berumur 41 tahun itu mengakui sebagian besar kejahatan yang dituduhkan kepadanya. la bahkan menambahkan sejumlah lagi yang tidak diketahui oleh polisi. 

Ternyata ia putra seorang penjahat profesional. Ayahnya yang pernah dihukum 19 kali itu sering menggebuki Kuno dan kakak laki-lakinya ketika mereka masih kecil, sampai keduanya menjadi bisu tuli. Pernah kedua lengan Kuno sampai patah. Gebukan di luar batas yang diterimanya semasa kecil itu memengaruhi juga kecerdasannya. IQnya cuma 70. 

la juga menghadapi masalah seksual, sampai kakak perempuannya pernah menyarankan agar ia membeli boneka karet yang dijual di sex shop untuk mengendalikan dorongan yang tidak normal. 

Ternyata Hofmann bukan orang baru untuk polisi. Cuma saja bukan karena melakukan kejahatan seksual. la sering kali mencuri dan dijatuhi hukuman penjara. Kalau dijumlahkan, hukuman itu seluruhnya mencapai 9 tahun penjara.

Sebenarnya ia mampu mencari nafkah secara memadai. Hidupnya pun tidak kesepian, sebab ia mempunyai kakak laki-laki dan perempuan dan sering tinggal bersama mereka. la juga disukai oleh kaum pria rekannya bekerja. 

Masalah besar yang dihadapinya adalah seks. la tidak mendapat kepuasan di rumah-rumah pelacuran, sebab yang dicarinya adalah cinta. la ingin mempunyai keluarga. Pernah ia jatuh cinta pada seorang gadis bisu tuli pula. Rencana pernikahan mereka berantakan, ketika orang tua gadis itu mengetahui Hofmann pernah masuk penjara. 

Tak lama setelah itulah ia senang membaca buku-buku sihir kuno. Hofmann minum darah mayat dan berusaha berhubungan intim dengan jasad-jasad tidak bernyawa, karena ia yakin hal itu akan mengubahnya menjadi besar, kuat, dan tampan. Pria yang besar, kuat, dan tampan bisa menikah dan memiliki keluarga.

Ketika darah mayat yang sudah meninggal beberapa hari ternyata tidak mempan, ia beralih ke darah segar dengan membunuh Adler - Lissy. Waktu itu ia sedang lewat di dekat tempat mereka memarkir mobilnya. Keduanya sedang tidur. Ternyata darah mereka pun tidak mempan. la menarik kesimpulan bahwa hal itu disebabkan karena Ruth Lissy bukan perawan lagi.

Di penjara ia tetap yakin bahwa darah perawan bisa mengubahnya menjadi besar, kuat, dan tampan. Jadi ia rajin menulis surat ke pihak yang berwenang, agar sudi mengirimkannya beberapa liter darah segar yang diambil dari perawan. la tidak pernah diadili karena dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya. la dikirim ke rumah perawatan untuk penderita penyakit jiwa dan akan tinggal di sana sampai akhir hayatnya. 

Sejak itu tak ada lagi kuburan dibongkar dan orang dibunuh untuk diisap darahnya. (John Dunning)





" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350359/drakula-haus-cinta" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656529640000) } } [3]=> object(stdClass)#77 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304523" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#78 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/baunya-bukan-main_christopher-jo-20220603021306.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#79 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(126) "Sudah sebulan Ny. Elsie Beier mencium bau tidak sedap di dapurnya. Bersamaan dengan itu, beberapa pelacur tua mendadak hilang." ["section"]=> object(stdClass)#80 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/baunya-bukan-main_christopher-jo-20220603021306.jpg" ["title"]=> string(17) "Baunya Bukan Main" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:13:30" ["content"]=> string(31425) "

Intisari Plus - Sudah sebulan Ny. Elsie Beier mencium bau tidak sedap di dapurnya. Bersamaan dengan itu, beberapa pelacur tua mendadak hilang. Uniknya, pelacur yang hilang ini memiliki kesamaan yaitu ompong.

-------------------------

Di dapurnya yang kecil dan gelap, Ny. Elsie Beier mengendus-endus. Heran, sudah sebulan ini dapurnya bau. Cepat-cepat dijerangnya air, lalu ia menyingkir ke kamar duduk. Di sini pun agak bau, tetapi cuma samar-samar, sehingga bisa tertahankan. 

"Wah, si Heinz mesti ditegur lagi nih," pikirnya. "Kalau ia tidak berbuat apa-apa untuk menghilangkan sumber bau ini, aku akan pindah dari sini.” 

Heinz adalah pengurus rumah tua di Jl. Zeiss 74 itu. Rumah tua bertingkat di bagian Kota Hamburg yang disebut Ottensen itu dijadikan beberapa flat kecil. Heinz bertugas sebagai pengurusnya dengan imbalan sebuah kamar sempit di bagian belakang gedung.

Rumah tua memang sering berbau, tetapi uang sewanya biasanya rendah, sehingga janda berpensiunan kecil seperti Ny. Beier bisa tinggal di situ. Namun, baunya tidak seperti ini. Entah bau apa.

 

Tempat WTS tua beroperasi

Ny. Beier sudah tinggal di rumah itu sejak bulan Januari 1962 dan kini akhir bulan Agustus 1974. Sebetulnya ia berniat melewatkan sisa hidupnya di situ. Namun, kalau terus ada bau seperti ini ia tidak tahan. Bisa-bisa umurnya jadi pendek.

Sebenarnya sudah sejak awal Agustus Ny. Beier mengadu kepada Heinz. Heinz lantas meminta Fritz Honka, si peronda malam yang tinggal di flat atas, dan Klaus Kienzle, si tukang sapu yang tinggal di flat bawah, untuk memeriksa WC mereka. Tindakannya cuma sampai di situ.

 Permintaannya entah dilaksanakan entah tidak dan Ny. Beier juga tidak tahu, apakah kedua orang yang tinggal di bagian atas dan bawah flatnya itu melakukan sesuatu untuk memperbaiki WC mereka. Yang diketahuinya hanya Honka pernah pulang membawa tablet-tablet penghilang bau. 

Rupanya tablet itu, tidak mempan dan malah memperburuk keadaan, karena sekarang tercium dua macam bau yang kontras, bau aneh busuk yang memuakkan dan bau tablet.

Setelah setiap hari mengeluh tanpa digubris seorang pun, akhirnya tanggal 1 November 1974 Ny. Elsie Beier pindah dari Jl. Zeiss 74.

Di tempat baru ia harus membayar sewa lebih mahal, tetapi ia bersedia mengeluarkan jumlah itu dengan senang hati, sebab di tempat yang lama baunya sudah keterlaluan.

Tidak lama setelah ia pindah, flatnya disewa oleh seorang pelaut Norwegia bernama John Fordal. Ia tidak pernah mengeluh perihal bau dan bahkan mungkin tidak tahu kalau flatnya berbau. Soalnya, pria berumur 46 tahun itu biasanya dalam keadaan mabuk kalau sedang berada di darat. 

Jangankan mencium, mendengar atau melihat pun mungkin ia serba kacau. Bagi Fordal, tempat itu cocok, karena Ottensen letaknya tidak jauh dari tempat hiburan St. Pauli yang terkenal itu, dengan Reperbahn sebagai jalan utamanya. 

Di ‘pusat asmara’ itu bukan cuma banyak bar dan panti pijat dengan wanita-wanita muda dan pelaut pelbagai bangsa, tetapi juga para pelacur tua, para pelayan bar yang mabuk dan manusia-manusia lain yang membuang-buang sisa hidupnya di sana.

Dekat tempat itu juga ada Monumen Bismarck, yang ironisnya dipenuhi gelandangan mabuk pada malam hari. Para pelacur tua juga banyak di sini. Kadang-kadang mereka tidak bisa mengharapkan imbalan yang lebih dari sebungkus rokok atau segelas bir.

Kejahatan tidak jarang terjadi di daerah-daerah itu. Saling cekik atau saling gebuk sampai minta pertolongan polisi dianggap sudah lumrah. Sering kali polisi Hamburg tampak menjemput mayat dengan alat pengangkut mayat dari metal. Kadang-kadang juga dengan karung.

Tiga tahun sebelum Ny. Beier pindah, umpamanya, dua anak keluarga Ernst Schmidt yang tinggal di lantai dasar Jl. Zeiss 74 menemukan kepala manusia di sebuah halaman pabrik coklat yang sudah berhenti berproduksi. Tempat itu letaknya tiga blok dari rumah mereka.

Diperkirakan kepala itu sudah menggeletak cukup lama, namun anehnya keadaannya cukup baik dan juga tidak dimangsa tikus yang banyak di Ottensen. Polisi memeriksa halaman pabrik itu dan menemukan dua lengan, dua tungkai, dan dua payudara. Keadaannya cukup baik. 

Dr. Ludwig Strauss dari Bagian Pengusutan Kejahatan di Kepolisian Hamburg merendam bagian-bagian mayat itu di pelbagai cairan kimia atau setidak-tidaknya dalam usaha mengembalikan mayat ke bentuk semula, ke bentuk yang bisa dikenali.

 

Digebuki dengan kaki kursi

Beberapa bulan kemudian kepala itu dipotret dan sidik jari tangan mayat bisa diambil. Walaupun wajah kepala mayat tidak bisa kembali ke bentuk semasa masih hidup, namun sidik jari mayat memungkinkan polisi mengenali korban sebagai Gertraude ‘Susi’ Braeuer yang lahir dekat Dresden pada tahun 1929. 

la mengungsi dari Jerman Timur tahun 1956 dan sejak itu, kecuali selama beberapa tenggang waktu, ia menjadi pelacur berizin. Polisi memiliki sidik jarinya, karena ia pernah berurusan dengan yang berwajib akibat mabuk pada tanggal 6 Juli 1969. Ia juga sedang dicari-cari, karena melakukan kejahatan.

Pada akhir tahun 1969 diketahui ia meninggalkan profesinya untuk hidup bersama penggali sumur bernama Burkhard Stern. Mereka tinggal di Groot Osterfeld, serumah dengan ayah Burkhard Stern, yang umurnya sudah 80 tahun. Stern berniat menikahi bekas wanita penghibur itu.

Di sebelah rumah tempat mereka tinggal, hiduplah seorang penjaga pintu bernama Winfried Schuldig. Namanya aneh juga, sebab schuldig dalam bahasa Jerman artinya berdosa atau bersalah. 

Tanggal 20 Januari 1970, penjaga pintu yang beratnya hampir 100 kg itu mengundang Burkhard Stern dan Gertraude Braeuer untuk minum-minum di rumahnya. Tahu-tahu Schuldig dan Gertraude bermesraan secara di luar batas di depart mata Stern. 

Tentu saja Stern marah. Mereka berkelahi. Keesokan paginya Stern dijumpai remuk kepalanya di depan pintu rumahnya. Schuldig mengaku ia membela diri, sedangkan Gertraude yang sudah sadar dari mabuk mengaku menggebuki kepala Stern dengan kaki kursi yang copot. 

Ketika sedang menunggu perkara disidangkan di pengadilan, Gertraude mencuri uang pensiun ayah Burkhard Stern dan menghilang. Schuldig dibebaskan dari hukuman, karena tidak ada orang yang bisa menyangkal bahwa ia membela diri.

"Akhirnya, kini kita tahu juga apa yang terjadi pada Gertraude Braeuer," kata Inspektur Frank Luders dari Bagian Penyidikan Kejahatan. "Coba periksa Schuldig, dia mempunyai alasan untuk membunuh Gertraude Braeuer." Ternyata Schuldig juga tidak tahu perihal nasib Gertraude dan tidak ada indikasi bahwa ia tahu.

Dr. Strauss tidak bisa memastikan kapan Gertraude tewas. Ia memperkirakan wanita itu dibunuh pada akhir tahun 1970, tetapi tidak dapat memastikan bulannya. "Kalau tubuhnya ditemukan, saya bisa tahu lebih banyak. Kalau seperti sekarang, saya tidak tahu sebab kematiannya," katanya.

Kemudian seorang polisi yang ditugaskan melacak menemukan seorang saksi yang bertemu Gertraude setelah tanggal 7 September 1970. Jadi, setelah Schuldig dibebaskan. Berarti tidak ada motif bagi Schuldig untuk membunuh wanita bekas tetangganya itu.

Mulai bulan Agustus 1974 polisi Hamburg mulai menerima laporan perihal wanita-wanita yang lenyap. Berbarengan dengan itu Ny. Elsie Beier tidak henti-hentinya mengeluh rumahnya bau.

Sebenarnya di masa itu wanita lenyap bukanlah masalah langka di dunia Barat. Banyak gadis remaja ketika itu meninggalkan keluarga mereka untuk hidup di komune atau untuk mencari kebebasan. Banyak di antara mereka jatuh ke dalam jaringan pelacuran. 

Sebagian masuk ke bordil atau harem di Afrika Utara dan Timur Tengah. Ribuan gadis yang lenyap dan tidak pernah ditemukan lagi itu mempunyai persamaan mereka muda, cantik, dan bodoh. Namun, para wanita yang dilaporkan lenyap pada polisi Hamburg menjelang akhir 1974 itu bukanlah wanita muda atau cantik, tetapi memang bukan wanita yang cerdas.

Anna Hahn dilaporkan lenyap pada tanggal 3 Agustus 1974. Ia lahir di Thuringen tahun 1920. Ketika tentara Amerika memasuki Jerman pada akhir PD II umurnya 25 tahun. Tidak lama kemudian ia mendapat ‘pelindung’ bangsa Amerika dan sembilan bulan kemudian melahirkan putra kembar.

Ketika pria AS itu akan kembali ke negerinya, ia setuju kedua putranya itu dibawa dengan pertimbangan mereka akan lebih sejahtera hidup di sana daripada hidup bersamanya di Jerman. Maklum saat itu ia dijuluki pelacur oleh orang-orang senegaranya.

Tidak lama kemudian Anna Hahn muncul di St. Pauli sebagai pelacur berizin. Seiring dengan menanjaknya umur, kariernya merosot. Hal itu terlihat dari tarifnya. Mula-mula bayarannya senilai AS $ 25, lalu $ 10, $ 5, dan akhirnya berapa saja. 

Tempat tinggalnya juga ikut berubah, dari apartemen di studio, lalu ke kamar sewaan, dan akhirnya ia terdampar di Monumen Bismarck. Karier yang menyedihkan, tetapi merupakan ciri khas dari pelacur St. Pauli itu tercatat rapi di berkas polisi bagian pemberi izin dan penginspeksi pelacur. 

Menurut berkas itu pada akhir tahun 1968, Anna Hahn yang hampir berumur 49 tahun menderita pelbagai penyakit dan kecanduan alkohol. Jelas tidak lama lagi penyakit atau alkohol akan merenggut hidupnya yang menyedihkan itu.

Sebetulnya jaminan sosial di Jerman baik sekali. Kalau saja ia mengajukan permohonan untuk ditolong, ia akan diberi tempat berteduh, dirawat, diobati, diberi makanan yang baik, dan diajarkan keterampilan. Syaratnya cuma satu: berpisah dari alkohol.

Justru itulah yang dirasakan sangat berat olehnya dan oleh rekan-rekannya. Hidup rasanya terlalu berat tanpa minuman keras. Jadi, mereka lebih suka mati di bar daripada hidup di tempat yang layak.

 

Jadi penjaga WC

Anehnya, di bar pula terjadi mukjizat pada Anna. Beberapa saat sebelum hari Natal tahun 1970, ia bertemu dengan orang ‘sekampung’ di Bar Sarung Tangan Emas. Thomas Beuschel yang berasal dari Thüringen juga bekerja sebagai pelayan. 

Umurnya 34 tahun. Orangnya kekar dan tampan. Ia membawa Anna pulang dan di rumahnya Anna mendemonstrasikan keahliannya yang diperoleh berkat kariernya yang lama dan memasakkan bebek gaya Thüringen. 

Mungkin Beuschel doyan betul bebek, sebab bulan April 1971 mereka menikah. Ketika itu Anna berumur 51 tahun dan berpenyakitan. Beuschel berhasil menyelamatkannya. Namun tunggu dulu: betulkah pria tampan yang masih muda itu berhasil? 

Beuschel pelayan yang baik, karena ia lekas mendapat pekerjaan di sebuah restoran yang baik di Hamburg. Ia berusaha agar istrinya mendapat pekerjaan sebagai penjaga kebersihan WC wanita. Usahanya itu berhasil.

Rupanya Anna tidak tertarik pada WC. Persenan dari para pemakai kamar kecil dibelikannya minuman keras murahan. Dalam keadaan mabuk ia bertingkah laku kurang senonoh di depan restoran. Tidak ayal lagi ia dipecat dan celakanya, suaminya juga, padahal Beuschel tidak tahu-menahu.

Setelah itu Thomas Beuschel tidak berusaha mencarikan lagi pekerjaan bagi istrinya. Anna jadi kesepian. Kalau suaminya bekerja, ia pergi ke Bar Sarung Tangan Emas. Kadang-kadang kalau Beuschel tidak mendapati istrinya di rumah, ia pergi ke bar untuk menengok apakah istrinya ada di sana, apakah istrinya sedang mabuk atau sadar. 

Siang tanggal 3 Agustus ia singgah di bar itu. "Pergi sana," gumam istrinya yang sedang setengah sadar. "Tinggalkan aku sendiri." Itulah terakhir kalinya ia melihat istrinya.

Keesokan harinya istrinya tidak ada di sana. Ia mencari ke beberapa bar. Tidak ada juga. Akhirnya, ia melapor kepada polisi.

"Barangkali Anda mempunyai dugaan mengenai apa yang mungkin terjadi pada diri istri Anda?" tanya polisi yang bertugas di Bagian Orang Hilang. Thomas Beuschel kelihatan gelisah. "Sungai Elbe?" gumamnya.

Petugas merasa dugaan Beuschel itu mungkin benar, sebab sungai besar itu sering dijadikan tempat mengakhiri kebosanan hidup oleh para pelacur St. Pauli. Namun, sekali ini polisi tidak berhasil menemukan mayat Anna Beuschel di sungai maupun di darat.

Seperti kasus Gertraude Braeuer, kasus ini pun masuk ke dalam berkas Kasus Tidak Terpecahkan.

Malam Natal 1974 Frieda ‘Rita’ Roblick lenyap setelah terakhir kali tampak di Bar Sarung Tangan Emas pukul 16.00. Wanita itu berumur 57 tahun, pemabuk dan pemegang surat izin untuk bekerja sebagai pelacur. 

Catatan mengenai Frieda Roblick di kantor polisi sudah banyak, karena ia jarang bisa menahan diri untuk tidak merampok pelanggannya sebelum meninggalkan mereka. Pada saat lenyap itu sebetulnya ia sedang menjalani hukuman percobaan. Jadi, ia wajib lapor pada hari-hari tertentu. 

Petugas yang mencatat kewajibannya melapor itulah yang mengadu bahwa Frieda tidak muncul-muncul.

 

Minta bantuan ‘burung kenari’

Kasusnya pun masuk ke berkas Kasus TidakTerpecahkan, tetapi tidak lama kemudian ada yang menyodorkan berkas itu kepada Inspektur Luders dengan catatan kasus itu ada persamaannya dengan kasus Anna Beuschel, yang terjadi empat setengah bulan sebelumnya. 

Kedua wanita itu sudah agak lanjut usianya dan pelacur yang sudah sangat merosot kariernya. Kedua-duanya pemabuk. Mereka bertubuh kecil dan ... ompong. Gigi penting untuk identifikasi. Kedua-duanya tampak terakhir kali di Bar Sarung Tangan Emas.

"Persamaan itu menarik, siapa tahu ada artinya," kata Inspektur Luders. Polisi yang mempunyai gagasan memberi catatan itu kepada Luders, yang tidak mengatakan apa-apa. Ia pergi membongkar berkas Kasus Tidak Terpecahkan dan kembali membawa kasus Gertraude Braeuer

"Ini juga ada persamaannya. Cuma saja wanita itu lebih muda," katanya. "Namun, ia ditemukan terakhir kali bukan di Sarung Tangan Emas."

"Atau siapa tahu di situ juga," kata Luders. "Apakah sebaiknya kita menempatkan petugas untuk memasang mata dan telinga di sana?" tanya Inspektur Luders.

"Jangan, Pak. Mereka akhirnya jadi pemabuk juga. Lebih baik minta tolong pada salah satu ‘burung kenari’ yang sudah telanjur jadi pemabuk," jawab anak buahnya. Yang dimaksud dengan burung kenari ialah para pelacur yang sering dimintai bantuan oleh polisi untuk menjadi mata dan telinga mereka di tempat-tempat semacam itu. Para burung kenari itu mendapat upah untuk keterangan mereka yang membantu polisi.

Pada bulan Januari 1975 seorang pelayan restoran terkemuka merasa agak cemas, ketika tidak melihat Ruth Schult muncul. la bukan pacar wanita itu dan sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan wanita bertubuh kecil yang umurnya 52 tahun itu. Cuma saja Ruth Schult setiap siang pasti duduk di bangku taman seberang restoran untuk memakan bekalnya berupa roti dengan sedikit sosis.

Selama bertahun-tahun wanita itu seperti bagian dari pemandangan di tempat itu pada siang hari, sehingga ketidakhadirannya terasa oleh si pelayan. "Jangan-jangan wanita itu sakit," pikirnya.

Pelayan itu tahu bahwa wanita itu bernama Ruth Schult. Jadi ketika sudah beberapa hari ia tidak muncul, pelayan itu melapor pada polisi. Polisi memberi perhatian yang lebih dari biasanya, karena Ruth Schult memiliki kualifikasi fisik maupun moral yang sama seperti korban-korban langganan Sarung Tangan Emas. 

Anehnya, orang-orang yang bekerja dan biasa mengunjungi Sarung Tangan Emas seperti Anna Beuschel dan Frieda Roblick, Ruth Schult pengunjung tetap bar itu.

Diketahui Ny. Schult itu tidak mempunyai gigi asli lagi. Ia sudah memulai profesinya sebagai pelacur pada umur muda tahun 1948. Kemudian ia bertemu dan menikah dengan seorang duda kaya bernama Schult. Cuma saja karena tidak bisa mengekang diri dalam menghadapi alkohol dan bersikap komersial pada seks, ia diceraikan tidak lama setelah menikah.

Ia pun menjadi pelacur di Koln, Dusseldorf, dan kemudian kembali lagi ke St.Pauli di Hamburg. Makin lama giginya makin sedikit, sementara kariernya makin suram. Tanggal 9 Maret 1974 yang dingin ia ditangkap, karena secara demonstratif berbuat tidak senonoh di muka umum di Monumen Bismarck. Setelah menjalani hukuman singkat, ia kembali melaksanakan pekerjaannya dan berkunjung lagi ke Sarung Tangan Emas.

Beberapa hari sebelum lenyap, ia bercerita di bar itu bahwa ia tidak lama lagi akan menikmati ‘padang rumput yang lebih hijau’. Teman-temannya menafsirkan ia akan hidup bersama seorang pria.

Setelah sebulan kasusnya diselidiki, polisi menghadapi jalan buntu. Walaupun demikian, polisi cerdas yang bekerja di bawah Inspektur Luders tetap penasaran. 

"Tidak mudah menyembunyikan mayat di Kota Hamburg," katanya. "Biasanya identitas jelas dari korban mengantar kita pada si pembunuh. Ini kita ketahui dengan jelas dari identitas semua korban, tetapi ...."

"Namun, kita 'kan tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati, kecuali Braeuer," kata Luders.

"Yang jelas mereka tidak akan dikirim ke Afrika Utara atau Timur Tengah. Bisa-bisa penyalurnya disate orang sana," jawab bawahannya.

Lantas dikemanakan keempat wanita itu? Apakah kasus mereka saling berhubungan?

 

Banyak potongan mayat

Tanggal 17 Juni 1975 lonceng-lonceng pemadam kebakaran berbunyi di Stasiun Pemadam Kebakaran Altona dan St. Pauli. Di Jl. Zeiss 74 terjadi kebakaran. Api dilaporkan tampak di flat yang disewa pelaut John Fordal di tingkat dua, pukul 03.37. 

John rupanya tertidur, sementara lilin menyala terus sampai habis dan api itu menyambar ranjangnya. Pelaut itu sendiri enak saja tidur sampai sebagian ranjangnya dan peralatan lain terbakar. la terbangun karena kepanasan dan merangkak ke luar jendela sampai berhasil mencapai tangga darurat. 

Ketika tiba di jalan ia masih belum sadar betul dari mabuknya. Ia didapati duduk di tepi jalan, ketika barisan pemadam kebakaran datang.

Api di flatnya cepat bisa dipadamkan, namun sudah keburu merambat ke flat yang lebih atas, bahkan sampai membakar atap. Sebagian besar atap sempat terbakar sebelum api berhasil ditaklukkan kira-kira pukul 06.30.

Seisi rumah no. 74 itu tentu saja diungsikan. Penghuni flat paling atas, Fritz Honka, saat itu sedang bekerja, sebab ia penjaga malam, sehingga anggota barisan pemadam kebakaran mendobrak pintu flatnya. Mereka tak tahu di dalam tidak ada orang. 

Ketika Walter Aust yang berumur 31 tahun berada dalam kegelapan di ruang gudang di sebelah kamar Honka, ia hampir muntah, karena selain bau asap dan kain-kain terbakar, juga bau busuk. Tangannya yang bersarung memegang benda panjang hangus, yang semula dikiranya kayu. 

Namun, alangkah kagetnya ia ketika di ujung benda itu ada sepatu sandal berwarna keemasan. Ia baru sadar kalau benda itu tungkai wanita.

"Mein Gott, Erwin!" teriaknya kaget memanggil rekannya. "Ada orang terkurung sampai hangus di sini. Wanita." Pemimpin barisan pemadam kebakaran, Erwin Schuen, cepat-cepat muncul bersama anak buahnya, Wilfrid Harz. 

Harz menyorotkan lampu senternya. Tungkai itu cuma berupa kulit pembungkus tulang yang sudah kering, coklat, dan keriput. Rupanya seperti tungkai mumi dan baunya busuk. Sesaat ketiga petugas pemadam kebakaran itu berpandangan.

"Mestinya potongan mayat itu sudah lama ada di sini,"kata Schuen. Ia berjongkok dan menyingkapkan setumpuk kain-kainan dari sebuah sudut, sementara Harz mengarahkan lampu senternya ke sana. Di bawahnya tergolek mayat kering. 

Mayat itu cuma memakai pullover warna merah anggur. Wajahnya seram, sebab bagian matanya sudah bolong, sedangkan rahangnya tidak bergigi.

"Panggil polisi, Walter," perintah Schuen. "Ini bukan wewenang kita."

Polisi segera tiba, namun sebelum itu Schuen dan teman-temannya sudah menemukan sebuah kantung plastik biru menggembung di bawah tumpukan batu bara. Kantung plastik itu meletus waktu batu bara mereka gali. Gas berbau busuk segera membuat mereka berlarian ke tangga dan berhenti memeriksa sampai bau busuk banyak berkurang.

Karena polisi mendapatkan keterangan bahwa gudang itu boleh dimasuki oleh semua penghuni rumah no. 74 dan bahwa api berasal dari flat John Fordal, pelaut itu ditahan dengan dugaan ia menyebabkan kebakaran untuk menyembunyikan pembunuhan.

Inspektur Luders dan Sersan Detektif Max Peters ikut datang dan memerintahkan penyelidikan di seluruh tingkat.

Pukul 07.45 Fritz Honka pulang dari tempat kerjanya. Saat itu polisi sudah menemukan empat mayat. Mereka menarik kesimpulan bahwa hanya Honka seorang yang bisa menyembunyikan mayat itu di sana. Di kamar Honka, polisi menemukan kartu tanda pengenal dua orang wanita, yaitu Irmgard Albrecht dan Anni Wachtmeister. Diperkirakan kedua wanita itu termasuk dua mayat yang ada di sana.

 

Tukang cekik

Honka terbengong-bengong melihat bekas-bekas kebakaran. 

"Kami polisi kriminal. Apa yang Anda ketahui mengenai dua wanita ini?" tanya Inspektur Luders seraya memperlihatkan kartu tanda pengenal kedua wanita itu. Honka melirik kartu itu.

"Mereka pernah hidup bersama saya," katanya. "Tetapi mereka pergi dan tidak pernah kembali mengambil kartu mereka. Kalau ingin bertemu mereka, cari saja di Sarung Tangan Emas."

Luders kecewa lagi. Ia sudah yakin Honka pembunuh, tahu-tahu sikapnya sama sekali tidak memperlihatkan kesan yang menguatkan dugaan itu. 

Honka ditahan juga. Sementara dokter polisi memeriksa mayat, polisi pergi menyelidiki ke Sarung Tangan Emas.

Fritz Honka, yang biasa dipanggil Fiete, dilahirkan pada tahun 1940. Bulan Juli 1971 ia merayakan ulang tahunnya berbarengan dengan pelacur bernama Erika Kynast yang genap berusia setengah abad. Ketika itu mereka hidup bersama di di rumah no. 74 tersebut. 

Erika bertubuh kecil dan ompong. Karena Honka menyakiti dia, ia melawan. Honka menjeratnya dengan kaus kaki nilon sampai matanya melotot, tetapi ia berhasil menendang selangkangan bujangan itu dan kabur ke kantor polisi dengan kaus kaki nilon masih melilit lehernya. 

Honka ditahan, tetapi ia menyatakan penyesalannya. Katanya, ia mabuk ketika itu. Karena peristiwa semacam itu sering terjadi di Ottensen dan St. Pauli, ia dibebaskan.

Setelah itu wanita-wanita silih berganti tinggal di flatnya. Umumnya mereka ditemukannya di Sarung Tangan Emas atau di Elbschloss Keller. Karena ia tidak kikir mentraktir minum, termasuk pada polisi, ia cukup populer di kedua tempat itu dan selalu ada wanita yang berhasil diajaknya ikut. Kebanyakan cuma tinggal dua tiga hari di flatnya.

Teman yang menginap untuk jangka waktu lama baru diperolehnya bulan April 1972. Irmgard Albrecht yang berumur 47 tahun bertubuh kecil dan ompong, biasa bekerja sebagai pembantu rumah tangga. 

Ia bosan menyikat lantai, tetapi doyan betul minum. Ajakan Honka berarti liburan dari membersihkan rumah orang lain, selain mendapat makanan, alkohol, dan penginapan gratis. Ternyata Honka itu kejam dan pencemburu. 

Irmgard Albrecht dikuncikan di kamar, kalau ia sedang bekerja atau pergi dari rumah. Irmgard sebetulnya tidak terlalu terganggu, cuma saja kadang-kadang di situ tercium bau busuk. Ketika ia mengeluh, Honka ikut mengendus-endus. "Betul bau busuk," katanya.

 Jadi, ia membeli satu peti berisi beberapa kaleng obat semprot untuk menghilangkan bau. (Saat itu Ny. Elsie Beier yang tinggal di flat di bawah flat Honka belum mencium bau busuk, sebab flatnya juga lebih luas dan tidak sesumpek flat Honka).

Persis di hadapan tangga, bersebelahan dengan flat Honka, ada gudang yang bisa dimasuki siapa saja. Namun, tidak ada orang lain yang merasa perlu memakai gudang itu, kecuali Honka yang menaruh batu bara dan barang-barang yang tidak terpakai lagi di situ. 

Bulan Agustus, ketika suhu udara naik, Irmgard Albrecht mencium bau lebih busuk lagi, tetapi Honka sendiri tidak peduli.

Namun, suatu malam Honka bertengkar dengan wanita lain yang diundangnya ke flat itu. Wanita itu dicekiknya, tetapi berhasil kabur untuk melapor kepada polisi. Sekali lagi Honka ditahan, tetapi dibebaskan lagi setelah mendapat peringatan keras dari polisi. 

Bulan Mei 1973 hubungan Honka dengan Irmgard Albrecht putus dan wanita itu meninggalkan rumah no. 74 secara baik-baik. Katanya, ia tidak tahan bau busuk di situ. 

Hampir dua tahun kemudian baru ada wanita lain yang menetap di flat Honka, yaitu Annie Wachtmeister (52), ompong, bertubuh kecil, pelacur. Saat itu tanggal 16 Maret 1975. Pada bulan Agustus 1974 polisi sudah menghadapi teka-teki lenyapnya beberapa wanita yang sudah melewati umur setengah baya, bertubuh kecil, ompong, pelacur. 

Tanggal 12 Juni Annie Wachtmeister secara tiba-tiba meninggalkan flat tanpa membawa barang-barangnya. Katanya, nanti saja kapan-kapan ia ambil. Kepada setiap orang yang mau mendengarkan ocehannya di Sarung Tangan Emas, ia menyatakan bahwa ia tidak tahan karena dua hal: Honka itu kasar dan flat itu bau setengah mati. 

Ia pernah mengeluh perihal bau itu kepada Honka dan pria itu membelikan obat penghilang bau, yang ternyata tidak mempan.

Dari pemeriksaan polisi diketahui tubuh yang ditemukan petugas pemadam kebakaran di bawah kain-kainan cuma terdiri atas tubuh dan bagian bawah tungkai. Lengan, paha, dan payudara ditemukan di dalam kantung plastik dalam keadaan membusuk. 

Kemungkinan besar mayat itu tidak bisa dikenali. Dari empat mayat, hanya satu yang bisa langsung dikenali, yaitu tubuh tanpa lengan, tungkai, kepala, dan payudara yang dianggap sebagai tubuh Gertraude Braeuer. Seperti diketahui, kepala dan anggota badan wanita itu ditemukan di halaman pabrik coklat pada bulan November 1971. 

Di atas tubuh mayat itu ada mayat lain yang tidak rusak, yang mengering dan kemudian dinyatakan sebagai tubuh Frieda Roblick. Mayat lain yang terpotong-potong dan ditumpukkan di belakang pintu dinyatakan sebagai Anna Beuschel. Fritz Honka mengaku bahwa mayat yang satu lagi ialah Ruth Schult. Wanita-wanita yang hilang dari Sarung Tangan Emas sudah ditemukan.

Menurut Honka, wanita-wanita itu ia bunuh dengan dicekik, karena tidak mau menuruti keinginannya. Mereka ortodoks, katanya. Ia mengaku pada saat itu berada di bawah pengaruh alkohol. Pemotongan mayat ia lakukan agar mudah untuk menyembunyikannya.

Fritz Honka dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

(John Dunning)

" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304523/baunya-bukan-main" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265610000) } } [4]=> object(stdClass)#81 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304234" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#82 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/monyet-edan_anastasia-ereminajp-20220603020104.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#83 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Wolfgang Ihns yang hidupnya teratur itu makan siang seperti biasa, turun ke gudang bawah tanah tokonya untuk tidur siang. Ia tidak pernah bangun lagi." ["section"]=> object(stdClass)#84 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/monyet-edan_anastasia-ereminajp-20220603020104.jpg" ["title"]=> string(11) "Monyet Edan" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:01:41" ["content"]=> string(34492) "

Intisari Plus - Wolfgang Ihns yang hidupnya teratur itu makan siang seperti biasa, lalu turun ke gudang bawah tanah tokonya untuk tidur siang. Ia tidak pernah bangun lagi. Ia ditemukan tewas dengan tragis. Di sana, polisi menemukan pisang yang memperunyam pemeriksaan hingga terbesit dugaan adanya “monyet edan.”

-------------------------

Seperti biasa, tanggal 13 Maret 1973 itu Wolfgang Ihns bangun pukul 04.30, lalu pergi ke pasar induk sayur-mayur dan buah-buahan. Ketika pintu tokonya dibuka pukul 07.00, buah-buahan dan sayur-mayur segar sudah menanti pelanggan.

Wolfgang Ihns sangat rajin. Seluruh pikirannya tercurah ke tokonya itu. Beberapa toko serupa di daerah itu di Kota Hamburg, Jerman Barat, kalah bersaing dengannya, sebab pemiliknya lebih santai.

Ihns berumur 38 tahun dan istrinya, Marion, 35 tahun. Mereka mempunyai seorang putri berumur 5 tahun. Keluarga Ihns tinggal di tingkat tiga gedung yang bersebelahan dengan toko mereka.

Toko itu seperti toko-toko tetangganya, tutup mulai sekitar tengah hari sampai pukul 14.00, lalu buka kembali sampai pukul 19.00. Siang hari Marion yang sudah selesai dengan pekerjaannya di rumah, ikut membantu di toko.

Supaya bisa tetap segar melayani pembeli sampai pukul 19.00, Wolfgang Ihns biasa tidur siang. Cuma saja sejak anaknya bisa gerayangan, ia merasa terganggu tidur siang di rumah. Maka itu dipasangnya sebuah veldbed besi di sebuah sudut gudang bawah tanah di tokonya.

Bulan Maret itu udara masih sangat dingin. Salju masih berserakan di jalan-jalan dan angin yang menusuk bertiup dari laut.

Wolfgang Ihns yang hidupnya teratur itu makan siang seperti biasa, lalu turun ke gudang bawah tanah tokonya untuk tidur siang. Ia tidak pernah bangun lagi.

Pukul 14.00 Marion Ihns turun untuk membangunkan suaminya. Biasanya Wolfgang bangun sendiri. Namun kadang-kadang kalau terlalu lelah ia perlu dibangunkan. Wolfgang marah kalau dibiarkan tidur terus, sebab berarti tokonya tidak dibuka tepat pada waktunya. Ia sangat tertib dalam hal waktu buka.

Dari apartemen mereka di tingkat tiga rumah sebelah tidak ada jalan langsung untuk masuk ke toko. Jadi Marion harus turun ke jalan dulu, lalu masuk ke dalam toko lewat pintu depan. Ia berbekal kunci, sebab Wolfgang tidak pernah lupa mengunci pintu tokonya.

Namun siang itu Marion merasa heran, pintu tidak dikunci. Marion memanggil-manggil suaminya. Tidak ada jawaban. Teriakannya terdengar oleh tetangga sebelah, seorang penjual barang-barang elektronik yang baru membuka tokonya.

Sambil memanggil, Marion turun ke gudang. Sebenarnya ia jarang masuk ke gudang bawah tanah yang dalam dan tangganya sempit itu. Entah mengapa ia selalu merasa ngeri di sana. "Saya pikir Wolfgang mungkin sudah bangun dan setelah membuka pintu toko itu teringat untuk mengambil sesuatu di Gudang,” kata Marion kemudian pada polisi.

Tiba-tiba ia berhenti memanggil. Cahaya bola lampu yang telanjang menerangi veldbed tempat suaminya telentang. Tangan kanan suaminya yang terjuntai dari ranjang, tampak merah darah dan dari ujung jari-jarinya menetes cairan merah. Di lantai semen menggenang cairan sewarna.

Marion berteriak ketakutan. Ia tersandung-sandung menaiki tangga, lalu berlari ke luar toko untuk masuk ke toko sebelah. Dengan tergagap ia berkata bahwa suaminya cedera di gudang bawah tanah. "Tolong panggilkan dokter," pintanya.

Pemilik toko sebelah kaget, tetapi otaknya cukup jernih. Ia memanggil ambulans. Namun usaha pertolongan itu sia-sia. Wolfgang Ihns itu sudah tewas. Petugas ambulans menasihati Marion agar menelepon polisi, sebab kematian suaminya jelas tidak wajar.

Marion Ihns menjadi histeris, sehingga terpaksa petugas ambulans yang menelepon polisi dari radio telepon di ambulansnya. Tadinya ia juga berniat membawa Ny. Ihns ke rumah sakit, tetapi wanita itu ternyata masih bisa menguasai dirinya. 

Katanya, ia harus buru-buru pulang, karena anaknya yang masih kecil sendirian saja di apartemennya. Petugas itu mengantar Marion dan memberinya suntikan obat penenang.

 

Siapa yang menginginkan nyawa tukang sayur?

Pada awal tahun '70-an itu kekerasan sering terjadi, sehingga polisi bagian pembunuhan repot.

Siang itu ke toko sayur Wolfgang Ihns datanglah Inspektur Wilhelm Krause dari bagian pembunuhan, ditemani oleh Sersan Detektif Peter Hartmann dan dokter ahli forensik Walter Reichauer. 

Tugas mereka pertama-tama menentukan apakah betul Wolfgang Ihns korban pembunuhan, sebab tidak semua mayat yang dilaporkan sebagai korban pembunuhan benar-benar mati terbunuh.

Namun, Wolfgang Ihns rupanya memang dibunuh. Dokter Reichauer yang masih muda tetapi serius itu berkata, "Pelipis kirinya pecah. Ini luka yang mematikan. Mungkin akibat sekali pukul dengan martil yang berat atau punggung kapak. 

Masih ada satu luka yang mematikan lagi, tikaman pisau besar di dada kiri, yang mungkin menembus jantung atau memutuskan beberapa pembuluh darah besar sekitar jantung."

"Dipukul kepalanya dulu, baru ditikam?" tanya Inspektur Krause yang jangkung, atletis, tampan, bercambang panjang, dan berumur 40-an itu.

"Kemungkinan besar begitu," jawab dokter. "Tidak ada tanda-tanda ia mencoba mempertahankan diri atau bahkan curiga akan diserang. Mungkin sekali pembunuhnya datang pada saat ia tertidur. Tusukan di dada tentunya dimaksudkan untuk meyakinkan diri bahwa korban benar-benar tewas."

Sersan Hartmann yang bertugas menanyai janda korban memberi laporan bahwa Wolfgang memang mempunyai kebiasaan tidur siang di veldbed itu setiap hari.

"Aneh," kata Inspektur. "Orang ini tampaknya sengaja dibunuh dengan cara cukup profesional. Namun, siapa yang mau membunuh seorang tukang sayur?"

"Mungkin para suami yang istrinya terlalu akrab dengan si tukang sayur," jawab sersan yang masih muda dan wajahnya polos itu.

"Mungkin saja," jawab sang inspektur. "Bagaimana rupa istrinya sendiri?"

"Wow!" seru sersan seraya membuat gerakan tangan yang melukiskan tubuh yang seksi. "Tetapi sekarang seperti Zombie, karena disuntik obat penenang oleh petugas ambulans."

"Apakah ia mempunyai dugaan siapa kira-kira yang menghendaki nyawa suaminya?" tanya Inspektur yang nada suaranya memperlihatkan bahwa ia tidak suka sikap main-main. Maklum ia termasuk generasi lama, sedangkan asistennya tergolong generasi baru yang senang bercanda, walaupun kerjanya baik sekali.

"Dia bilang, ia tidak bisa menduga seorang pun. Dia menyangka perampok. Katanya, sekarang banyak punk yang minum obat bius. Mereka siap membunuh, walaupun hanya untuk mendapat sedikit uang, yaitu kalau sedang ketagihan di saat tongpes."

"Dugaannya sangat beralasan, tapi biasanya pecandu obat bius tidak mampu melaksanakan pembunuhan seapik itu. Sudah kau periksa kasa di toko?"

"Saya periksa sekarang, Pak."

Laci kasa ternyata penuh uang hasil penjualan tadi pagi. Ihns tertib menyimpan bon-bon transaksinya untuk keperluan pajak, sehingga dengan mudah polisi menentukan bahwa tak satu pfennig pun yang hilang.

Barang lain pun tak ada yang hilang. Malamnya, ketika Marion sudah tidak berada di bawah pengaruh obat bius lagi, ia diajak sersan detektif ke gudang bawah tanah untuk memeriksa kalau-kalau ada barang yang hilang. Menurut Marion, seingat dia tak ada benda yang lenyap.

"Tambah misterius lagi," kata Inspektur.

 

Tidak punya pacar

Menurut hasil autopsi keesokan paginya, Ihns diperkirakan meninggal sekitar pukul 13.45. Petugas sidik jari sibuk sebab di toko dan di gudang ditemukan 172 sidik jari yang berlainan, belum termasuk sidik jari Ihns suami-istri. Maklum toko sayuran. 

Beberapa di antara pemilik sidik jari itu tercatat pernah melakukan kejahatan. Mereka diselidiki, namun tak ada yang dihubungkan dengan pembunuhan itu. Bukankah penjahat pun perlu belanja sayuran seperti orang Iain?

Pintu toko pun tidak dibuka dengan kekerasan. Pintu itu dibuka baik-baik dengan kunci. Atau mungkin memang tidak terkunci ketika penjahat datang. 

"Namun menurut Ny. Ihns, tidak mungkin suaminya lupa mengunci pintu," lapor Sersan. la tidak akan begitu lalainya meninggalkan pintu tak terkunci, karena kasa penuh uang."

“Kini selidiki latar belakang suami-istri Ihns. Siapa musuh mereka? Apa pernah ada orang yang mengancam? Siapa tahu mereka punya pacar.”

"Bagaimana kesan Bapak tentang Ny. Ihns?" tahya Sersan.

"Wow?" jawab Inspektur, tapi tanpa nada bergurau. Asistennya jadi heran sendiri, karena atasannya yang serius itu bisa mengeluarkan pernyataan demikian. Ny. Ihns mencolok kecantikannya dan potongan tubuhnya seksi.

Penyelidikan mengenai latar belakang Wolfgang Ihns tidak menghasilkan apa-apa. la betul-betul tukang sayuran sejati. la tidak punya pacar, tidak pernah main mata dengan istri orang lain, tidak masuk perkumpulan seks. 

Bahan pembicaraannya pun cuma soal selada dan kol. Kesempatan untuk bertemu kaum wanita selain istrinya sendiri, hanyalah kalau wanita itu datang berbelanja ke tokonya. Di toko yang laku itu mana mungkin ia sempat bermesraan berdua.

"Kalau begitu jandanya perlu dicurigai. Dagangan suaminya 'kan laris. Jadi, jandanya mendapat banyak warisan."

"Kenyataannya tidak," jawab Sersan. "Mereka memang mendapat penghasilan lumayan dari toko. Tetapi nilai perusahaan itu sendiri di bawah DM 10.000. Kebanyakan barang persediaan mereka cepat membusuk dan tidak seberapa nilainya. Perusahaan itu mati bersama Ihns. Ny. Ihns sudah mencari pekerjaan."

"Tambah sulit," kata Inspektur. "Tapi mungkin ia bisa menemukan suami lain yang cocok. Tarik orang-orangmu yang sedang menyelidiki Wolfgang Ihns. Suruh mereka menyelidiki jandanya. Siapa tahu ia sudah punya calon sebelum suaminya tewas."

"Yang naksir sih pasti banyak, Pak. Daftar orang yang ingin menjadi suaminya kini mungkin lebih dari setengah lusin, termasuk saya."

"Bersyukurlah kau, karena tidak termasuk yang harus diselidiki. Kalau pembunuhnya tidak mau uang, tentu ia menginginkan istri Ihns."

Ternyata Inspektur harus garuk-garuk kepala lagi, sebab Marion Ihns yang cantik itu ternyata juga tidak mempunyai kekasih. Bahkan setelah menjadi janda pun ia tidak mempunyai pacar. Tampaknya ia tidak mempunyai hubungan sedikit pun dengan pria lain, kecuali suaminya. Teman-temannya semua perempuan.

 

Kulit pisang

“Sayang ya, walaupun penampilannya cantik dan seksi, jangan-jangan ia wanita dingin," kata Sersan.

"Sulitnya, tak mungkin ia bisa dituduh membunuh suaminya sendiri. Orang-orang di toko sebelah melihat ia keluar dari gedung apartemennya untuk masuk ke toko tepat pukul 14.00. Mereka bisa memastikan hal itu, sebab mereka baru saja membuka toko mereka sendiri.

"Ihns dibunuh sekitar seperempat jam sebelum pukul 14.00. Kalau Ny. Ihns yang membunuhnya berarti ia harus masuk toko tanpa kelihatan orang, turun ke gudang, membunuh suaminya, membuang alat pembunuh, kembali ke apartemennya, lalu keluar lagi untuk masuk ke toko. Mana mungkin semua itu ia lakukan dalam waktu 20 menit."

"Memang tak mungkin. Kata Ny. Ihns, suaminya baru mengunci toko kira-kira pukul 13.30. Ia berada di rumah sekitar 15 menit, lalu pergi ke tokonya untuk tidur. Jadi, mungkin ia baru terlelap 5 menit ketika pembunuh mencabut nyawanya."

"Berarti pembunuh masuk ke gudang sebelum pukul 07.00, karena Ihns ada di toko sepanjang pagi sampai saat makan siang. Kalau saat itu ada orang masuk ke gudang, pasti ketahuan olehnya."

“Mungkin saja. Aku jadi teringat pada kulit pisang yang ditemukan di gudang."

Para teknisi dari laboratorium kepolisian menemukannya dan tidak tahu apakah kulit pisang itu bisa jadi petunjuk atau tidak. Kulit pisang itu terletak di lantai sebuah ceruk di gudang. Menurut hasil analisis di laboratorium, kulit pisang itu dikupas enam jam sebelum kematian Ihns. 

Ketika itu dipertanyakan siapa yang mengupas dan makan pisang itu? Pasti bukan Wolfgang Ihns, sebab isi perutnya menurut hasil autopsi, tidak menunjukkan bekas-bekas pisang. Lagi pula Ihns bukan orang yang akan membuang kulit pisang di lantai gudangnya. la sangat pembersih. Lantai gudang itu tersapu bersih.

Si pembunuh barangkali lapar ketika menunggu korbannya. Namun, para ahli penyelidikan ketika itu menganggap mana mungkin calon pembunuh bisa cukup santai untuk bisa merasa lapar segala.

"Kecuali ia pembunuh profesional," kata Inspektur. "Makin lama saya makin yakin pembunuhnya profesional. Soalnya, sangat efisien, berdarah dingin. Pasti ada orang yang ingin menyingkirkan Ihns dan ia menyewa pembunuh profesional."

Sersan detektif sependapat.

"Tapi siapa yang ingin melenyapkan dia? Tak ada orang yang menarik manfaat keuangan dan manfaat lain dari kematiannya. Ia tidak punya musuh. Lagi pula tak ada bukti sedikit pun ia melakukan hubungan intim dengan wanita lain, kecuali dengan istrinya. Tak pula ada bukti bahwa istrinya pernah main mata dengan pria lain. Pembunuhnya mungkin monyet edan."

"Monyet edan?" tanya Inspektur.

"Ya, itu kulit pisang. Pisangnya siapa yang makan?"

Inspektur menarik napas panjang.

 

Menyadap telepon

“Bagaimana Ny. Ihns sekarang? Apa gerak-geriknya tak alpa kauikuti?"

"Tidak. Ia sekarang tinggal di Schenefeld dengan seorang gadis Denmark bernama Judy Andersen. 

Mereka teman lama, walaupun gadis Denmark itu sepuluh tahun lebih muda. Ny. Ihns pindah segera setelah suaminya terbunuh dan ia sudah mencari pekerjaan, tetap belum memperolehnya. Ia tak mempunyai pengalaman lain, kecuali bekerja di toko sayur-mayur."

"Apakah ia suka pergi dengan pria?"

"Kelihatannya ia tidak mempunyai kenalan pria seorang pun. Kami mengawasinya 24 jam sehari. Ia tidak pernah meninggalkan apartemennya, kecuali untuk berbelanja bahan makanan dan melamar pekerjaan."

"Temannya, si Judy Andersen, itu dikunjungi teman-teman pria atau tidak? Ia bekerja atau di rumah terus?"

"Sejak Ny. Ihns pindah ke apartemen itu setahu kami mereka tidak pernah dikunjungi pria. Andersen itu operator derek. Gajinya lumayan. Pokoknya, lebih besar daripada gaji detektif polisi."

"Mungkin kerjanya pun lebih keras. Bagaimana rupanya? Besar?"

"Langsing, periang, manis. Mungkin saja ia membunuh Ihns supaya Ny. Ihns mau pindah ke rumahnya untuk memasakkan makanan."

"Teorimu sekali ini lebih masuk akal daripada teori monyet edanmu," jawab Inspektur. "Sudah kausadap telepon Nona Andersen?"

"Belum. Perlu, Pak? Bapak curiga kepadanya?"

"Setiap kemungkinan mesti kita selidiki. Secara statistik Ny. Ihns paling patut dicurigai. Sampai sejauh ini kita tahu bahwa ia satu-satunya orang yang paling kenal dengan suaminya. Mustahil orang yang tidak mempunyai motif sama sekali merencanakan dan melaksanakan pembunuhan terhadap orang yang hampir tak dikenalnya? Kecuali orang gila."

Sersan detektif sebetulnya sudah kehilangan harapan untuk bisa memecahkan misteri pembunuhan itu. Mereka sudah banyak membuang waktu dan tenaga tanpa hasil. Namun, karena atasannya menyuruh ia menyadap telepon, ia pun terpaksa melaksanakannya, walaupun sangsi akan ada hasilnya.

Ternyata beberapa hari kemudian ia tercengang, ketika mendengar hasil rekaman pembicaraan telepon jarak jauh yang dilakukan dalam bahasa Denmark oleh Judy Andersen dengan seorang remaja atau mungkin pria muda bernama Denny yang tinggal di Kopenhagen. 

Polisi meminta jasa seorang penerjemah. Dari cara bicaranya bisa ditarik kesimpulan bahwa Denny kenal baik dengan Judy.

Percakapan itu tidak panjang. Denny menanyakan kapan ia bisa mendapatkan sisa uang. Judy menjawab agar Denny sabar, karena warisan belum bisa diterima. Begitu warisan diterima, Denny pasti akan dibayar. Denny tampaknya kurang yakin.

"Coba periksa apakah Nona Andersen akan menerima warisan?" perintah Inspektur. Ternyata tidak. Kalau begitu yang dimaksudkan dalam pembicaraan telepon itu adalah warisan Wolfgang Ihns untuk jandanya, Marion.

"Cepat hubungi polisi Kopenhagen secara resmi. Minta tolong mereka melacakkan orang yang melakukan pembicaraan jarak jauh dengan Nona Judy Andersen di Schenefeld, Hamburg, pada waktu dan tanggal yang kita ketahui. Mudah-mudahan Denny bukan menelepon dari telepon umum."

 

Suaranya genit

Denny ternyata menelepon dari rumahnya. Setiap sambungan telepon ke negara lain ada catatannya di kantor telepon. 

Dalam waktu dua jam polisi Kopenhagen sudah mengetahui latar belakang Denny yang mereka sampaikan lewat teleks ke Hamburg. Denny Svend Pederson berumur 24 tahun.

"la bukan pacar Ny. Ihns. la pelacur," lapor Sersan Detektif Peter kepada Inspektur Wilhelm Krause.

"Pelacur? Kau maksudkan ia mempunyai wanita-wanita pelanggan? Kalau itu 'kan namanya gigolo."

"Ah, polisi Kopenhagen bilang pelacur. Pelanggannya bukan wanita, tapi kaum pria."

"Oooh! Pantas suaranya agak genit di rekaman. Ia tercatat pernah melakukan kejahatan?"

"Hanya melacur dan mencuri kecil-kecilan."

Dari hasil pemeriksaan polisi diketahui Denny yang tampan kewanita-wanitaan itu memang pembunuh Wolfgang Ihns, yaitu pria yang tak ia kenal dan yang tak pernah ia lihat sebelum hari naas itu. Ihns dipukulnya di bagian pelipis dengan bagian belakang kapak dan ditikamnya dengan pisau dapur di bagian jantung.

Itu kejahatan besar pertama yang ia lakukan dan polisi tidak memerlukan waktu lama untuk membuat ia mengaku.

Katanya, perbuatan itu ia lakukan atas suruhan Judy Andersen dengan imbalan uang. Menurut Denny, suatu kali Judy bertanya kepadanya apakah Denny perlu uang. 

Denny memang memerlukannya. Judy memberi tahu bahwa di Hamburg ada pria jahat sekali yang harus dibunuh. Denny harus datang dari Denmark untuk membunuhnya. Tidak ada orang yang akan mencurigainya, sebab pria jahat itu tidak mengenal siapa pun di Denmark.

Denny Pederson setuju. Judy tidak memberi tahu nama orang yang harus dibunuhnya. Denny diberi tahu suatu alamat di Hamburg. 

Ia harus datang ke sana tepat pukul 06.30, tanggal 13 Maret, dan memijat bel. Seorang wanita cantik, berambut gelap akan keluar dan memberi tahu apa yang harus ia lakukan. Begitu pekerjaan Denny selesai, ia harus segera pulang ke Denmark.

Semuanya berjalan lancar. Denny tiba di Hamburg dengan kereta malam. Ketika ia pergi ke alamat yang diberikan kepadanya, seorang wanita menyambutnya. Wanita itu kemudian ia kenali sebagai Marion Ihns.

Ketika itu Marion tidak memperkenalkan diri dan tidak menyebut hubungannya dengan korban. Denny baru tahu bahwa korban bernama Wolfgang Ihns dan Marion itu istri korban dari surat kabar.

Pagi itu Marion mengantarnya ke toko sayur-mayur di sebelah dan membawanya ke gudang bawah tanah. Ia diberi ember berisi pisau dan kapak. Marion juga menunjukkan veldbed tempat suaminya biasa tidur siang seraya memberi tahu pria itu akan datang antara pukul 13.00 - 13.30. 

Denny disuruh bersembunyi. Begitu tahu calon korbannya terlelap, ia harus membunuhnya dengan memukulkan kapak ke kepala korban, lalu menikam jantung korban. Ia dipesan tak boleh salah. Pria itu mesti mati.

Denny memberi tahu Marion bahwa ia lapar, karena belum sarapan, padahal ia harus menunggu di situ sampai lewat tengah hari. Jadi Marion memberinya sebuah pisang dan dua buah apel dari toko. 

Istri penjual sayuran dan buah itu mengambilkan pisang yang sudah terlalu masak dan apel yang paling jelek. Buah apel itu dimakan Denny dengan biji-bijinya, tetapi kulit pisang terpaksa dibuang.

Setelah lama sekali menunggu, Ihns turun dan begitu reban ia segera mendengkur. Denny muncul dari tempat persembunyiannya untuk melaksanakan tugasnya. 

Sesuai dengan instruksi, kapak dan pisau ia taruh lagi di ember dan dibawanya naik ke toko. Pintu toko dikunci, tetapi ia sudah diberi tahu bahwa kuncinya ada di saku jas kanan korban. Kunci itu harus ia tinggalkan di lubangnya.

Denny meninggalkan toko sayur-mayur korbannya. Toko-toko di tempat itu semua sedang tutup. Ia segera pulang ke Kopenhagan dan menunggu upahnya.

Denny tidak terlalu merasa bersalah membunuh Ihns. Katanya, ia tidak kenal pada korban dan bukankah menurut Judy pria itu sangat jahat? Menurut Denny, ia perlu uang untuk hari tua. Tidak lama lagi mungkin ia tidak laku. Jadi ia perlu modal untuk membuat kafe atau bar.

 

Supaya bisa menikah

Pengakuan itu sudah memenuhi semua yang diperlukan oleh Inspektur, kecuali satu hal: mengapa Judy Anderson dan Marion Ihns menyewa Pederson untuk membunuh suami Marion?

Inspektur menaruh suatu kecurigaan. Namun, untuk lebih meyakinkan dirinya ia meminta rekan-rekannya di Kopenhagen menanyakan kepada Denny kalau-kalau Denny tahu motifnya.

Menurut Denny, Judy dan Marion ingin menyingkirkan Wolfgang Ihns supaya mereka bisa kawin!

Karena Denny Svend Pederson berterus terang dan bersikap kooperatif, maka tanggal 10 Mei 1974 ia cuma dijatuhi hukuman 14 tahun penjara.

Di Hamburg, tugas Inspektur Wilhelm Krause belum selesai. Memang betul Pederson yang mengayunkan kapak dan menikamkan pisau, tetapi Judy Anderson dan Marion Ihns-lah yang menyuruhnya. Merekalah pembunuh-pembunuh yang sebenarnya.

Mereka sudah ditahan sejak pengakuan Denny Pederson muncul di koran-koran. Sebelum keduanya ditahan, apartemen Judy Andersen diamat-amati. Polisi menyangka begitu tahu Pederson mengaku, kedua wanita itu akan kabur. 

Diduga mereka akan memanggil taksi (karena tak mempunyai mobil) untuk pergi ke stasiun atau bandara. Dugaan polisi benar. Dari telepon yang disadap diketahui Judy memanggil taksi. 

Ia tak menyebutkan tujuannya. Polisi segera mengirimkan taksi dengan seorang detektif sebagai sopirnya.

Judy Andersen keluar membawa dua koper, diikuti Marion Ihns yang menggendong anaknya dan menenteng satu koper. Mereka kelihatan terburu-buru.

Di taksi Judy menyuruh sopir taksi meluncur ke stasiun pusat. Taksi meluncur ke arah stasiun, tetapi di tengah jalan tiba-tiba dibelokkan ke halaman markas besar polisi. Sebuah mobil preman yang sejak tadi mengikuti, ikut berhenti. 

Sersan Hartmann keluar, membuka pintu taksi, dan memberi tahu kedua wanita itu bahwa mereka ditahan sehubungan dengan pembunuhan Wolfgang Ihns. Apa pun yang mereka katakan akan dicatat dan bisa digunakan untuk memberatkan mereka.

Judy Andersen minta pengacara. Marion mengajukan permintaan serupa. Kata Marion, kalau akan ditahan lama, ia ingin menelepon keluarganya untuk datang dan membawa pergi putrinya.

Permintaan-permintan itu tentu saja dikabulkan. Judy mengaku mengenal Denny Pederson, tetapi cuma kenal sekadarnya, sebab mereka kebetulan sering berkunjung ke bar-bar yang sama di Kopenhagen. 

Ia menyangkal menyewa pria itu untuk membunuh. "Dari mana seorang operator derek mempunyai uang untuk mengupah pembunuh bayaran?" katanya.

Celakanya, Denny tak pernah bisa mengingat berapa bayaran yang sudah dan akan ia terima.

Marion Ihns menyatakan tak kenal pada Denny dan baru tahu ada orang yang namanya demikian dari surat kabar.

Ketika ditanya mengapa mereka kabur kalau tidak merasa bersalah, mereka menjawab bahwa mereka tidak mau diserbu wartawan yang pasti menginginkan berita dari mereka. Logis juga.

Judy dan Marion bersumpah bahwa mereka cuma kawan lama. Judy sering berkunjung ketika suami Marion masih hidup. Wajar saja kalau ia mengundang Marion untuk tinggal bersamanya setelah suami Marion meninggal. Bukankah saat itu Marion juga perlu menghemat uang sewa?

 

Ditemani polwan judes

Polisi memang mempunyai cukup wewenang untuk memanjangkan waktu pemeriksaan. Tetapi kedua wanita itu konsekuen pada keterangan mereka yang logis, yang rupanya sudah mereka siapkan lebih dulu. 

Mereka menyangkal semua dan polisi tak bisa membuktikan apa-apa. Polisi mengira kalau hasil pemeriksaan mereka cuma mencapai taraf seperti sekarang ini, kemungkinan besar kedua wanita itu dibebaskan oleh pengadilan.

Inspektur Krause tahu bahwa orang-orang lesbian sangat pencemburu, kadang-kadang melebihi orang-orang heteroseksual, sebab hubungan mereka yang tak bisa dikukuhkan secara legal membuat mereka lebih merasa tak aman. Ia bermaksud memanfaatkan kelemahan ini.

Judy Anderson dan Marion Ihns ditahan di seksi yang berlainan, tetapi di gedung yang sama. Secara teoritis mereka tidak mempunyai kesempatan berkomunikasi. 

Namun, Inspektur tahu cuma sedikit penjara di dunia yang keamanannya begitu kuat, sehingga kemungkinan berkomunikasi bisa ditiadakan. Kamar-kamar tahanan di kepolisian Hamburg jelas tidak termasuk salah satu di antaranya. Sekali ini bahkan Inspektur berniat untuk membuatnya lebih tidak ketat lagi.

Para polwan yang ditugaskan menjaga bagian yang ditempati Judy dan Marion diganti dengan yang lebih muda, lebih cantik, dan mereka juga diperintahkan agar menaruh lebih banyak simpati pada kawan sejenis.

Tak lama kemudian para polwan ini mendapat titipan surat. Surat-surat gelap itu cepat-cepat difotokopi sebelum diserahkan ke tujuan. Namun, Judy dan Marion tidak ikut main dalam surat-suratan.

"Baiklah! Kita maju selangkah lagi," kata Inspektur. Ia menempatkan seorang tahanan palsu, yaitu seorang polwan yang jauh dari cantik dan yang setahun lagi akan mencapai usia pensiun di sel Marion. Biasanya polwan itu lemah lembut. Kini ia diperintahkan agar berlaku sejudes mungkin.

Judy sebaliknya, mendapat teman sesel Inge Schultz, seorang tahanan lesbian berumur 15 tahun. Ia bukan polisi, tetapi ingin membantu polisi supaya hukumannya melakukan sejumlah kesalahan kecil diringankan.

Setiap kali Marion Ihns dipanggil untuk pemeriksaan, ia diajak melewati sel yang ditempati Judy Andersen bersama Inge Schultz.

Seminggu tidak ada hasilnya. Tahu-tahu tanggal 10 Juli Marion Ihns menulis: "Aku sudah melakukan segalanya untukmu. Aku mohon jangan lagi kau berhubungan dengan Inge. Aku sudah mengorbankan semuanya untukmu. Ingatlah pada cintaku. Tulislah surat. Aku akan bunuh diri kalau kau meninggalkan aku. Aku tidak tahan lagi ...."

" Bagus! " kata Inspektur, "mengakunya sih cuma teman biasa, padahal ... ."

Disebarkanlah kabar perihal kelakukan tak pantas Nona Andersen dengan Nona Schultz di lingkungan tempat tahanan. Mereka memang berlaku tidak senonoh. Kabar itu tiba ke telinga Marion Ihns, tetapi ia tak percaya, karena dalam surat balasannya Judy bersumpah hubungannya dengan teman seselnya dingin dan formal. Isi suratnya lebih hati-hati daripada surat Marion.

Karena merasa surat-surat mereka lolos dari perhatian yang berwajib, Marion lebih terbuka lagi. Ketika itu sudah empat bulan mereka ditahan. Dari isi surat-suratnya jelas Marion sangat mencintai Judy. Ia tidak cukup hati-hati seperti Judy. Dari suratnya terungkap bahwa Judy bertanggung jawab atas pembunuhan Wolfgang Ihns.

Lama-kelamaan Marion tidak tahan menghadapi kabar-kabar perihal ketidaksetiaan Judy yang berbulan madu di sel dengan Inge Schultz. Ia meminta diperbolehkan bicara dengan Inspektur, namun ada hal mencengangkan yang tak ia diduga-duga.

Judy Andersen, kata Marion, adalah suaminya. Mereka menikah di Denmark delapan bulan sebelum Wolfgang Ihns dibunuh. Pengakuannya direkam. Ketika rekaman diputar di hadapan Judy Andersen, ia mengaku bahwa semua keterangan Marion Ihns benar, kecuali bahwa bukan Judy yang ingin Wolfgang dibunuh, melainkan Marion. Judy mengaku cuma jadi perantara dengan meminta jasa Denny Svend Pederson.

Cinta antara Judy Andersen dan Marion Ihns ternyata tidak bertahan. Mereka muncul di pengadilan sebagai dua orang yang saling membenci, karena merasa dikhianati orang yang dicintainya.

Tanggal 2 Oktober 1974 kedua-duanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

(John Dunning)

 

" ["url"]=> string(56) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304234/monyet-edan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654264901000) } } }