array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3517495"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/sms-mesra-kata-kuncinya_freestoc-20221009074354.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(108) "Hendri Subiantoro  tewas dengan alat kelamin dicincang. Pelakunya seakan ingin menunjukkan bahwa dia wanita."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/sms-mesra-kata-kuncinya_freestoc-20221009074354.jpg"
      ["title"]=>
      string(23) "SMS Mesra Kata Kuncinya"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-10-09 19:45:27"
      ["content"]=>
      string(29624) "

Intisari Plus - Hendri Subiantoro  tewas dengan alat kelamin dicincang. Pelakunya seakan ingin menunjukkan bahwa dia wanita.

------------------

Madiun, kota yang relatif tenang, pagi itu gempar. Nyaris semua orang dari pelosok desa sampai pusat kota membicarakan penemuan mayat pria korban pembunuhan. Selain korban termasuk orang terpandang, pembunuhan itu tergolong sadis. Alat kelamin korban dicincang.

Korban, yang diketahui bernama Hendri Subiantoro, ditemukan tewas di atas ranjang kamar tidur rumahnya. Darah bersimbah ke mana-mana. Bahkan ada yang memercik sampai ke plafon. Posisi mayat telentang tanpa busana dengan banyak luka tusukan benda tajam.

 

Ceceran sperma

Kasat Reskrim Ajun Komisaris Polisi (AKP) Aji Kurniawan yang telah berada di tempat kejadian perkara (TKP) pun dibuat geleng-geleng kepala. la belum pernah menangani kasus pembunuhan dengan luka seperti itu. “Sadis,” gumamnya singkat. Di TKP terlihat anak buahnya, Bharatu Fery dan Bharaka Edy serta Iptu Wartana, sedang melakukan olah TKP.

“Bagaimana gambaran singkat korban?” pertanyaan Aji memecah keheningan. 

“Mengenaskan, seperti yang komandan lihat,” kata Wartana. 

“Ada petunjuk yang ditemukan?”

“Cairan, kemungkinan sperma, yang telah mengering. Celana panjang, baju, kaus, dan celana dalamnya tergeletak di samping bawah ranjang. Juga dompet berisi KTP, SIM A dan C, serta beberapa kartu kredit. Yang terpenting, ada tiga sex toys, semua berupa penis dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Komandan mau lihat?” Wartana menggoda bosnya.

“Ah, ada-ada saja kamu.” Fery dan Edy, dua polisi muda yang masih bujangan tersenyum simpul mendengar guyonan seniornya itu.

“Keluarga korban dan penghuni rumah ini?” Aji kembali melontarkan pertanyaan.

“Korban tinggal bersama istrinya, dua perempuan pembantu rumah tangga, dan seorang sopir. Selain istrinya yang sedang berada di Jakarta, mereka saya minta berkumpul di ruang tamu.”

Aji lalu menganalisis. Menurut dia, ini pembunuhan tertutup. Tak ada pintu dan jendela yang rusak, begitu juga dengan genteng. Jejak kaki pelaku pun tak ditemukan, padahal semalam hujan deras. Sepertinya, pelaku sudah mengenal korban. Tak aneh jika Aji memerintahkan anak buahnya untuk memfokuskan pada orang-orang terdekat yang ada di rumah. Sidik jari sejauh ini belum ditemukan.

“Apakah istri korban sudah dihubungi?” tanyanya. 

“Sudah, sedang dalam perjalanan.”

“Siapa yang melaporkan kejadian ini pertama kali?”

“Jarwo, sopir korban.” 

“Wartono, kita ke ruang tamu menemui para penghuni rumah!” ajak Aji.

Di ruang tamu, Jarwo dan dua perempuan paruh baya sedang berkumpul. Mereka terlihat syok dan duduk di sofa dengan gelisah. Kedua perempuan terlihat menahan tangis. AKP Aji kemudian memperkenalkan diri dan meminta mereka untuk tidak khawatir dan gelisah. Namun, ia menambahkan, mereka akan dimintai keterangan berkaitan dengan kasus ini.

Agak terbata-bata, Jarwo, sopir Hendri, menjawab pertanyan Aji. Ia biasa mengantar tuan muda - begitu ia memanggil majikannya - ke kantor pukul 08.00. Sebelum mengantar ia berbenah dan menyiapkan mobil sejak pukul 04.00. Biasanya, ia melihat majikannya sudah bangun dan salat subuh. Namun, kali ini sudah pukul 06.00 tuan muda belum juga muncul. Ia pun curiga dan mencoba mengetuk pintu kamarnya. Tidak ada jawaban dan ia mengulanginya setengah jam kemudian.

Saat mau mengetuk lagi, Mbok Inem, salah seorang pembantu di rumah itu, melarangnya sebab takut mengganggu tidur sang majikan. Apalagi dari dalam kamar lamat-lamat terdengar suara musik. “Saya baru tahu kalau tuan muda pulang larut malam,” ujar Jarwo. Siang sebelum kejadian Jarwo tidak bertugas mengantar Hendri karena hari itu hari minggu.

Karena sudah hampir pukul 08.00 Hendri tidak bangun-bangun, Jarwo pun mendobrak pintu kamar tuan mudanya. Jarwo kaget bukan main saat melongok ke dalam.

 

Puluhan tusukan

Pembicaraan Aji dengan Jarwo terhenti ketika anak buahnya melapor. 

“Olah TKP sudah selesai, Komandan!” 

“Apa yang kau dapat?” 

“Selain yang sudah disebut tadi, ada tambahan sekitar sepuluh sidik jari. Tidak ada senjata yang dipakai untuk menghabisi nyawa korban.”

“Oke, bawa semuanya ke labfor dan segera hubungi dr. Rika untuk keperluan visum.” 

“Siap, Komandan!” Aji kemudian bertanya ke Jarwo lagi soal istri korban. 

“Nyonya akhir-akhir ini sering pulang ke eyang, maksud saya orangtuanya, di Jakarta. Paling-paling ke Madiun hanya dua hari dalam seminggu.”

“Apakah akhir-akhir ini nyonya dan tuan terlihat sering bertengkar?” 

Ndak itu. Mereka rukun-rukun saja. Ya ‘kan, Mbok?” Jarwo mencoba minta penegasan ke dua pembantu rumah tangga.

Lantaran kedua pembantu itu terlihat gelisah, Aji menyudahi pertanyaan-pertanyaannya dan segera pamit. la hanya berpesan, jika ada sesuatu yang mencurigakan segera menghubunginya di kantor. Tak lupa ia menitip pesan ke Jarwo agar Ny. Hendri diminta datang ke kantornya begitu sampai di Madiun.

Keesokan harinya telepon di meja kerja AKP Aji berdering. Ternyata istri Hendri mengabarkan tidak bisa datang ke kantor hari itu juga, karena masih banyak tamu yang harus diterimanya.

Namun, ia berjanji, selesai urusan tamu dan juga urusan yang berkaitan dengan suaminya beres, ia akan menemui AKP Aji. Aji maklum sebab Hendri termasuk orang terpandang di Madiun. Tentu banyak relasi dan kolega yang melayat. Pun begitu dengan aset dan segala urusan berkaitan dengan pekerjaan Hendri sebagai seorang pengusaha sukses.

Sudah dua malam Aji tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan kondisi korban dan masih belum terungkapnya pelaku pembunuhan membuatnya terus terjaga. Sejauh ini hanya ada asumsi, pelakunya pasti sudah mengenal korban. Kemudian, melihat aksi pelaku yang sampai mencincang kemaluan korban, kemungkinan pelakunya wanita teman selingkuh korban, yang menyimpan dendam karena dikhianati.

Dering telepon membuyarkan lamunannya. Ternyata dari dr. Rika, yang melaporkan hasil visum Hendri. Kepala Aji kembali pening mendengar penjelasan dokter itu. “Hampir semua organ vital di bagian dalam perut dan dada terkena tusukan. Ada 32 tusukan dengan lebar luka hampir sama. Semuanya hanya dengan satu tusukan, artinya pelaku tidak pernah menusuk lubang yang sama! Asumsi saya, motifnya dendam asmara. Dendam pelaku pasti sangat hebat sampai mengambil bagian dari kemaluan korban. Dari tingkat kekeringan sperma dan darah korban, eksekusi dilakukan sekitar jam sebelas malam. ... Halo ....”

“Ya, dokter. Maaf, saya masih membayangkan betapa sadisnya pelaku. Ehm ... soal darah dan air mani bagaimana?” 

“Positif sperma dan darah korban. Tak ada indikasi sperma atau darah orang lain.”

“Anak buah saya juga melaporkan kalau sidik jari yang ada menunjukkan sidik jari korban. Wah, tambah pusing saya, tidak ada jejak pelaku yang tertinggal. Padahal ini pasti pembunuhan dan bukan bunuh diri. Oke, Dok, terima kasih banyak atas laporannya.” 

Merasa belum menemukan titik terang, Aji mengajak anak buahnya menemui istri Hendri.

 

Dingin di ranjang

Kesuksesan Hendri sebagai pengusaha tercermin dari rumah tempat tinggalnya. Di kawasan elite, rumahnya begitu mencolok dibandingkan dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Pagarnya sangat tinggi. Tiga kali memencet bel, belum ada tanda-tanda orang membuka pagar. Sekitar lima menit kemudian baru terdengar suara langkah kaki.

“O, Pak Aji,” ujar Jarwo dari jendela kecil di pagar. la langsung membuka pagar dan menyilakan AKP Aji dan anak buahnya masuk. 

“Bagaimana kabarnya Pak Jarwo? Nyonya ada di rumah?”

“Baik, Pak! Nyonya ada.” 

Karangan bunga berderet memenuhi halaman rumah mewah itu.

Hari itu tepat tiga hari setelah terbunuhnya Hendri. Dalam adat Jawa, sanak saudara yang ditinggalkan akan mengadakan selamatan mengirim doa untuk almarhum. Namun Aji heran, tidak ada kegiatan sama sekali di rumah ini. Bahkan terdengar alunan musik rock dari lantai dua. Hal ini menimbulkan bisik-bisik di antara anak buah Aji.

Ssstt.... Ny. Hendri sudah datang,” Aji memperingatkan anak buahnya. 

Setelah memperkenalkan diri dan turut berbela sungkawa, Aji menyampaikan maksud kedatangannya. Aji juga meminta semua yang ada di rumah untuk berkumpul di ruang tamu.

“Bisa dijelaskan, saat malam naas itu Nyonya ada di mana?” 

“Saya di Jakarta, menunggu papa saya yang sakit stroke.” 

“Apakah menurut Nyonya almarhum memiliki musuh?” 

“Setahu saya sih tidak. Tapi saya tidak begitu tahu sebab saya lebih sering berada di Jakarta daripada di Madiun.” 

“Pak Jarwo, apa ada sesuatu yang mencurigakan malam itu?” 

“Saya tidak tahu, sebab sejak sore saya sudah tertidur pulas.” 

“Mbok Inem, apa ada tamu atau teman tuan yang bertandang?” 

“Tidak tahu Pak. Sekitar jam tujuh malam tuan pergi tanpa Jarwo. Memang, malam hari tuan biasanya selalu mengemudikan mobil sendiri. Kata tuan, Jarwo itu sopir kantor. Jadi, pada jam kantor saja Jarwo menyopir.”

“Mbok tahu ke mana perginya tuan?” 

“Kata tuan, ia mau pergi ke teman bisnis. Sekitar jam sembilan tuan pulang. Tuan sendiri yang membuka pintu pagar dan langsung masuk kamar. Saya kemudian mendengar suara musik, lalu saya pun berangkat tidur.”

“Apa biasanya tuan membuka dan menutup sendiri kalau keluar malam?” 

“Tidak. Tapi malam itu tuan berpesan akan membuka pintu sendiri. Katanya, ia tidak mau merepotkan saya karena jam pulangnya tidak menentu.”

“Kalau Mbok Inah?” 

“Saya di belakang terus, Pak. Jam sembilan sudah tidur di kamar dengan Inem. Kalau tidak percaya tanya sama Inem.” 

“Saya percaya, Mbok.”

Dirasa sudah cukup maka Aji menyilakan Jarwo dan dua pembantu itu melanjutkan aktivitasnya kembali. AKP Aji kemudian menanyai Nyonya Hendri soal kesehatan bapaknya dan hubungannya dengan suami akhir-akhir ini. 

“Sejak sebelum kami menikah, bapak saya sudah sakit. Sedangkan hubungan saya dengan suami baik-baik saja. Selama ini ia tidak menyakiti saya. Hanya ....”

“Hanya apa Nyonya? Tidak perlu sungkan menceritakannya. Rahasia keterangan saksi kami jamin.”

“Ah, ini sangat pribadi sebenarnya. Suami saya dingin di atas ranjang. Sampai enam bulan pernikahan kami, sekalipun saya tidak disentuh. Setiap kali saya mengajak bercumbu ia selalu berkilah capek.”

“Apa mungkin suami Nyonya ‘sakit’?” 

“Saya yakin tidak. Saya pernah memergokinya sedang onani sewaktu saya tidur. Waktu itu saya marah, kenapa tidak ‘minta’ kalau mau? Alasannya waktu itu ia sedang berhasrat dan tidak mau mengganggu saya yang sedang tidur pulas.”

“Atau mungkin ia memiliki perempuan lain?” Fery menimpali. 

“Saya tidak tahu.” 

“Apa ini menjadi alasan Nyonya sering pergi ke Jakarta?”

“Salah satunya, selain saya memang ingin dekat dengan papa semenjak mama meninggal enam tahun lalu. Kasihan papa sebab anak-anaknya sudah menikah dan tinggal di luar Jakarta semua.”

“Maaf, apakah Nyonya merasa sedih ditinggal suami?” 

“Lebih tepatnya menyesal. Saya tidak sedih atas kematian suami saya sebab pada dasarnya saya tidak mencintai almarhum. Kami dijodohkan orangtua. Saya menyesal kenapa ia meninggal dengan cara seperti itu.”

“Maaf, tadi saya sempat mendengar alunan musik rock dari lantai atas ....” 

“Lo, memangnya kenapa? Maaf, bisakah interogasi ini ditunda dulu? Saya mau ke bank mengurus aset dan tabungan suami saya. Ini kartu nama saya, silakan kontak jika ada hal yang ingin ditanyakan. Saya akan membantu sebisa mungkin.”

“Oh, silakan. Kami mengerti dan terima kasih atas keterangannya.”

 

Tersinggung sex toys

Esok harinya, Aji masih terpekur dengan pengakuan blak-blakan Nyonya Hendri. Apalagi dengan sikapnya yang seolah-olah tidak menunjukkan rasa berdukanya, padahal kejadian belum ada seminggu. “Jangan-jangan dia pelakunya?” Aji sempat berbisik. Karena masih buntu juga ia pun mengumpulkan anak buahnya, siapa tahu ada petunjuk yang diperoleh.

“Selamat siang semuanya. Saya ingin mengetahui pendapat kalian mengenai keterangan saksi kemarin. Apa sudah ada yang patut dijadikan tersangka?” AKP Aji memulai pertemuan. 

“Terus terang saya jadi curiga dengan Nyonya Hendri. Bagaimana mungkin seorang istri yang baru saja ditinggal suami tidak menampakkan rasa berduka sedikit pun? Pasti ada masalah antara dia dengan suaminya, sehingga tega membunuh pria itu,” jelas Wartana berapi-api.

“Ya, tapi mana buktinya? Ingat, kapasitas Nyonya Hendri masih sebatas saksi. Keterangan seseorang tidak dapat dijadikan dasar dakwaan tanpa barang bukti. Kalau kamu, Per?”

“Saya setuju dengan Aiptu Wartana. Dari semua keterangan saksi, hanya dia yang patut dicurigai. Motifnya jelas dendam pribadi, sepertinya masalah asmara.”

“Kalau kamu, Edy?” 

“Memang, sekilas Nyonya Hendri bermasalah. Tapi terlalu naif jika kita menjadikannya sebagai sasaran. Alangkah bodohnya seorang pelaku pembunuhan dengan terang-terangan menunjukkan gelagat sebagai tersangka. Bunuh diri itu namanya. Artinya bila dia pembunuhnya pasti dia akan bertingkah seolah-olah sedih,” sanggah Eddy.

“Atau mungkin dia hanya otaknya dan eksekutornya orang lain?” tanya AKP Aji. 

“Tak ada bedanya. Toh sama-sama pelaku kejahatan. Dia pasti akan berusaha menyembunyikan kebusukannya,” jawab Edy.

“Menurutmu apa yang harus kita lakukan?” lanjut AKP Aji. 

“Sementara ini kita maksimalkan interogasi kepada Nyonya Hendri. Saya lihat tipenya bukan orang yang dapat menyimpan rahasia. Kita harapkan dia ‘berkicau’ sehingga kita dapatkan informasi sebanyak yang kita mau,” jawab Edy.

“Bagaimana menurutmu, Wartana?” 

“Memang tidak ada bukti kuat untuk menjadikan Nyonya Hendri sebagai tersangka. Saya juga setuju, kita harus memanggilnya,” jawab Wartana.

“Oke Fer, bikin segera surat pemanggilan!” 

Sesuai jadwal, Nyonya Hendri datang ke kantor AKP Aji. Penampilannya membuat AKP Aji dan anak buahnya melongo. Dengan jin biru dipadu kaos ketat dan memakai kacamata hitam penampilannya bak anak remaja modern. Sebatang rokok terjepit di antara lentik jari tangannya.

“Terima kasih atas kedatangan Anda. Semoga ini tidak menganggu aktivitas Anda.”

“Oh tidak. Urusan saya sudah hampir selesai. Saya malah senang urusan ini cepat selesai. Apa yang perlu Anda ketahui?” Nyonya Hendri menjawab dengan santai. 

“Nama Anda?”

“Veronika Larasati. Biasa dipanggil Laras.” 

“Mohon maaf, kami ingin menggali lebih dalam soal urusan ranjang Anda dan suami. Tidak keberatan ‘kan?”

“Oh tidak, saya termasuk orang yang terbuka. Mungkin bagi orang lain janggal, tapi terus terang selama kami berumah tangga belum pernah kami melakukan hubungan intim. Saya sempat berpikir apa dia impoten? Tapi sejak kejadian onani di malam hari itu saya percaya dia sehat. Bapak bisa bayangkan betapa sakitnya hati saya, tidak pernah disentuh padahal saya istri sah dia. Kalau selingkuhan, saya yakin dia tidak punya karena suami saya selalu diantar oleh Jarwo dan saya percaya dia. Dulunya dia sopir papa saya.”

“Kenapa Anda begitu percaya pada Jarwo?” 

“Saya sengaja meminta Jarwo sebagai sopir Hendri untuk mengawasi gerak-gerik Hendri. Menurut Jarwo Hendri tidak pernah dekat dengan perempuan. Di luar jam kantor, Hendri selalu di rumah. Kalaupun keluar malam - itu pun jarang - tidak pernah lama. Suami saya bukanlah tipe orang yang suka nongkrong di malam hari.”

“Pernah mencoba ke dokter mengapa suami Anda tidak bergairah kepada Anda?”

 “Suami saya selalu beralasan sibuk atau capek. Kalau saya desak dia selalu menjawab, ‘Saya tidak sakit kenapa harus ke dokter?’ Sering juga dia tersinggung. Makanya saya sudah malas membicarakannya. Terlepas dari itu, ia suami yang baik dan bertanggung jawab.” 

“Bisa Anda ceritakan riwayat hidup suami Anda?” 

“Hendri anak tunggal. Papanya mitra bisnis papa saya. Sejak lulus SMA di Jakarta ia melanjutkan sekolah di Australia. Setelah lulus ia bekerja di perusahaan papanya. Sebagian proyek mertua saya dipegang Hendri, termasuk proyek bisnis supermarket di Madiun ini. Suami saya sendiri baru tiga bulanan ini menetap di Madiun. Sebelumnya tinggal di Jakarta.”

“Di kamar almarhum banyak terpampang poster binaragawan. Apa dia suka fitness?” 

“Ya, tapi saya tidak pernah diajak ke fitness center yang dia kunjungi sehingga tidak tahu teman-temannya di sana.”

“Anda yakin korban tidak punya selingkuhan. Tapi di TKP ditemukan sperma dan penis buatan. Kemungkinan besar korban bermain cinta sebelum terbunuh. Sementara Anda berkilah ada di Jakarta. Bagaimana menurut pendapat Anda?”

“Ya, saya juga heran. Tapi soal penis buatan, suami saya sering menggunakannya untuk memuaskan saya. Bahkan keperawanan saya terenggut oleh penis buatan itu.” 

“Lo, sebelumnya Anda bilang hubungan ranjang Anda dan suami dingin. Kok ...”

“Maksud saya, dia hanya membantu menyalurkan libido seks saya dengan mencumbu dan penis buatan itu. Sebatas itu saja. Pada awalnya saya tersinggung, tapi entah mengapa kok lama-lama malah menikmatinya.”

“Nyonya Laras, untuk sementara keterangan yang kami butuhkan sudah cukup. O, ya kami tidak menemukan ponsel suami Anda. Sungguh mustahil pengusaha seperti suami Anda tidak memiliki ponsel. Boleh tahu nomer ponselnya?”

“081235xxxx dan 081235xxxx. Yang terakhir itu nomor pribadi. Maksudnya hanya saya yang tahu.”

 

Duburnya kena wasir

Dari dr. Rika diperoleh keterangan bahwa pelaku termasuk orang yang kuat menilik luka yang ditimbulkannya. Dr. Rika menyimpulkan bahwa pelakunya mungkin ahli bela diri, selain seorang psikopat dan bermasalah dengan kejiwaannya.

“Tenaga kuat? Wah kemungkinan pelakunya laki-laki ya, Dok?” Edi menimbrung obrolan. 

“Ya, saya juga menduga begitu. Masalahnya, kalau melihat luka yang begitu banyak, kok saya cenderung mengarah kepada pelaku perempuan. Secara psikologis perempuan lebih kejam daripada laki-laki ketika perasaannya terluka.”

“Ada informasi penting lainnya, Dok?” 

Ehm ... saat memeriksa dubur korban, sepertinya ia terkena wasir.”

“Ah ... akhirnya! Ayo Komandan, kita ke kantor segera. Terima kasih, Dok!” Edy langsung menggamit bosnya untuk kembali ke markas.

Di mobil Aji langsung menanyakan mengapa Edy begitu girang begitu mendengar keterangan dubur korban yang terkena wasir. 

“Kita sudah terjebak sama cincangan kemaluan korban. Dari awal kita yakin pembunuhnya perempuan. Tapi coba susun keping-keping puzzle berikut ini: korban tidak impoten, tapi dingin kepada istri; penis buatan ditemukan di rumah korban; gambar binaragawan yang ada di kamar korban; korban tersinggung bila diajak ke dokter. Lalu dari dr. Rika tadi kita memperoleh keping tambahan: pelakunya bertenaga, duburnya berpotensi wasir. Nah ... apa yang bisa Komandan simpulkan?”

“Iya ya ... mengapa kita bisa terjebak begitu. Jadi menurutmu korban seorang gay? Kalau begitu kita sekarang mencari pasangan korban.”

Di kantor Hendri ada seorang gay, Santoso namanya. Menurut para karyawan, Santoso termasuk tangan kanan Hendri. Semenjak kepergian Hendri, Santoso di mata para karyawan terlihat gelisah dan tak betah duduk di kursi kerjanya. Mereka mengira karena ditinggal bos besar.

Akhirnya Santoso dipanggil ke kantor AKP Aji yang kemudian diserahkan ke Edy untuk dimintai keterangan. Dari Santoso diperoleh keterangan bahwa ia telah dua tahun bekerja di tempatnya Pak Hendri sebagai staf khusus. Yang agak aneh, sebelum selesai dimintai keterangan, Edy meminjam ponsel Santoso untuk mengirim SMS ke pacarnya. “Pulsa saya habis. Maklum gaji polisi kecil,” begitu Edy berkilah sambil keluar ruangan karena sinyal di dalam katanya jelek. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi Aji. Pulsa habis? Pacar? Seingatnya Edy baru kemarin mengisi pulsa dan belum punya pacar.

Aji tambah heran, begitu Santoso meninggalkan kantor mereka, Edy segera minta surat penggeledahan rumah Santoso. Aji sempat mempertanyakan, namun Edy menjamin bahwa langkahnya ini tidak salah. Ia hanya memberi keterangan singkat bahwa nomor ponsel pribadi Hendri ternyata ada di phonebook ponsel Santoso. 

Dari rumah Santoso diperoleh ponsel dan laptop korban. Di dalamnya ternyata ada file yang berisi kumpulan pesan pendek mesra antara Santoso dan Hendri. Pesan pendek terakhir yang dikirim Santoso ke korban adalah pukul 18.30 pada hari kematian Hendri. Isinya, permintaan dijemput. Tanpa bisa mengelak lagi, Santoso akhirnya mengakui perbuatannya. Motifnya adalah dendam karena Hendri mulai berpaling dari Santoso.

Dalam rekonstruksi dua minggu kemudian, terlihat Santoso dijemput korban dari rumahnya dan langsung menuju kamar korban. Tak heran Jarwo dan dua pembantu rumah tangga Hendri tidak tahu ada tamu. Santoso telah merencanakan pembunuhan dengan matang. Tak ada sidik jari yang tertinggal sebab ia memakai sarung tangan. Santoso memang diminta Hendri untuk berdandan sebagai perempuan ala Eropa yang menggunakan sarung tangan. Untuk menghabisi korban ia sudah mempersiapkan belati kesayangannya

“Ah, kasus pelik ini akhirnya selesai. Ayo kita bersenang-senang dulu,” ajak AKP Aji kepada anak buahnya. 

“Ke mana Bos?” serempak mereka bertanya. 

“Ke fitness center!” 

“Ah, enggak. Nanti anuku bisa dicincang,” gurau Wartana. (Edy Rahardjo)


Baca Juga: 2 Pembunuhan di Asrama

 

" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517495/sms-mesra-kata-kuncinya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665344727000) } } }