array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3350088"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/28/seorang-korbannya-maharaja-dari-20220628020227.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(135) "Setahun menjadi sekjen Interpol, Sicot menangani kasus penipuan permata. Pelakunya sangat cerdik dan mampu menipu seperti tukang sulap."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/28/seorang-korbannya-maharaja-dari-20220628020227.jpg"
      ["title"]=>
      string(37) "Seorang Korbannya Maharaja dari India"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-28 14:03:22"
      ["content"]=>
      string(39039) "

Intisari Plus - Setahun setelah memangku jabatan sebagai sekjen Interpol, Sicot menangani kasus penipuan permata. Penipuan ini terjadi di berbagai negara selama lima tahun. Pelakunya sangat cerdik dan mampu menipu seperti tukang sulap.

------------------

Dari jendela kantornya Marcel Sicot memandang ke langit kelabu yang memayungi Kota Paris. Cuaca sedang sesuram hatinya. Sudah hampir setahun ia memangku jabatan sebagai sekretaris jenderal Interpol, namun yang mengesankan cuma nama jabatannya itu, selebihnya serba morat-marit. Kantornya sempit dan penyekat-penyekatnya dibuat dari karton. Setiap ada orang bersin agak keras, ia khawatir semua dinding penyekat itu ambruk.

Sebelum memangku jabatan baru ini Sicot adalah direktur dan inspektur jenderal Surete Nationale, yaitu Kepolisian Nasional Prancis. Kadang-kadang Sicot berpikir, apakah ia tidak salah pilih ketika meninggalkan Surete untuk memegang jabatan baru ini? 

Kantornya terletak dalam gedung darurat, yang dibangun terburu-buru setelah perang selesai. Letaknya di Porte Mailot, jauh dari pusat kota. Di kantor yang disediakan oleh Kementerian Dalam Negeri itu ia hanya mempunyai tiga lemari arsip. Mana mungkin ia bisa membentuk sistem arsip di tempat itu? Padahal ia memiliki sekitar sepuluh ribu perangkat sidik jari.

Anggaran yang diperolehnya pun kecil. Bagaimana Interpol akan dianggap serius, kalau pesan-pesan mereka ke-35 negara anggota cuma dikirim dengan pos biasa? 

Pikiran-pikiran semacam itu terus mengganggu Sicot, karena ia bukan polisi yang biasa-biasa saja. Ia memiliki visi dan sangat cerdas.

 

Penipunya sama terus

Pagi ini ia merasa risau, karena mengingat serangkaian kejahatan internasional yang seharusnya ditangani oleh Interpol. Ketika itu terjadi penipuan permata di pelbagai negara dan setiap kali penipu yang mempunyai kecekatan tangan seperti sulap itu lenyap tanpa bisa diketahui ke mana perginya. 

Cara penipu mendekati pedagang permata memberi kesan ia paham betul seluk-beluk bidang benda berharga itu.

Laporan yang tertera pada kartu-kartu indeks Interpol hanya singkat. Laporan pertama datang dari Zurich. Kejahatan itu dilakukan bulan Oktober 1947. Jadi, sudah lima tahun yang lalu. Di situ dijelaskan bahwa seseorang yang mengaku bernama Wyeber berhasil menukarkan permata asli dengan permata palsu, sehingga seorang pedagang permata dirugikan.

Dari berbagai laporan berikutnya, diperoleh gambaran yang sama mengenai rupa si penipu. Ia berumur kira-kira 35 tahun, bertubuh pendek tetapi kekar. Rambutnya yang coklat itu berombak dan kumisnya terpelihara baik. Ia mengenakan kacamata. Tingkah lakunya menunjukkan ia bukan orang sembarangan dan juga terpelajar. Ia bisa berbahasa Spanyol, Hongaria, Ibrani, Rusia, Jerman, dan Yiddish. Cirinya yang lain ialah: ia sangat pandai menarik hati orang lain.

Korban mula-mula tertarik pada si penipu berpakaian rapi itu, karena sikapnya yang tidak tercela dan tampak terpelajar. Pokoknya, ia memberi kesan seorang manusia yang sama sekali tidak perlu dicurigai. Kemudian ia akan lenyap dengan membawa serta sekantung permata milik korban. 

Mungkinkah penipuan-penipuan yang polanya mirip itu dilakukan oleh satu orang saja?

Marcel Sicot merenung. Tiba-tiba ia menegakkan kepala dan mengetuk penyekat tipis di belakang tempat duduknya. Sesaat kemudian muncul sekretarisnya yang tampak kelelahan, karena harus mengerjakan pekerjaan yang mestinya dilaksanakan oleh beberapa sekretaris.

"Saya ingin meminjam tiga tenaga yang cakap dari Surete Nationale untuk menangkap penipu," katanya. Sicot pun mendiktekan surat yang isinya bertujuan meyakinkan polisi akan pentingnya permintaan itu. Suratnya itu tidak bertele-tele, namun fakta-fakta dikemukakan secara cermat.

 

Seperti tukang sulap

Beberapa hari kemudian muncul tiga detektif yang diminta: Raymond Brigandat, Roger Haffa, dan Maurice Renault. Mereka harus berdesak-desakan dalam kantor Sicot, karena tempat itu sempit. Sicot segera memberi keterangan yang diketahuinya mengenai si penipu. 

"Ia sangat profesional," katanya. "Untuk mengerti bagaimana ia beraksi, kalian harus mengerti cara kerja pasaran intan internasional."

Menurut Sicot, pasaran intan dikuasai oleh orang Yahudi ortodoks. Hanya dengan menjadi bagian dari mereka, si penipu bisa berhasil mengakali korbannya. Di pasaran itu tidak ada kontrak-kontrak berdasarkan hukum ataupun tanda terima. Semuanya dilaksanakan atas dasar kepercayaan.

"Intan berlainan dengan emas. Ia tidak mempunyai harga yang pasti. Setiap calon pembeli bisa mempunyai penilaian yang berbeda tentang sebutir intan. Jadi, harganya tergantung pada selera si pembeli.

"Selain itu bisnis intan merupakan dunia yang penuh rahasia. Jual-beli dirahasiakan dari petugas pajak dan polisi. Biasanya pembelian dilakukan dengan uang kontan atau tukar tambah. Penjual maupun pembeli harus mengandalkan naluri dan intuisinya, supaya jangan tertipu."

"Bisa diduga bahwa penipuan-penipuan di dunia perdagangan intan jarang dilaporkan kepada yang berwajib. Kejahatan yang akan kita usut ini biasanya dilaksanakan setelah batu-batu permata diperiksa dan tercapai kesepakatan harga. Menurut kebiasaan, batu-batu yang akan dijual itu ditaruh di atas dua lapis kertas intan.” 

“Kertas itu dilipat dengan cara yang khas beberapa kali dan pada sebuah ujungnya dituliskan jumlah karat dari batu itu. Bungkusan itu dimasukkan ke sebuah sampul yang kemudian dilipat. Harga yang sudah disetujui ditulis di sampul itu. Kedua pihak, yaitu pembeli dan penjual, menaruh inisialnya di sampul dan sampul itu pun disegel dengan lilin."

"Penipu yang ingin kita tangkap itu ternyata pandai menukarkan batu yang asli dengan barang yang palsu di depan hidung pemilik batu asli. Ia sudah berbekal sampul yang sama dengan yang asli. Sampul itu juga sudah ditandatangani dan disegel dengan lilin. Kalau ia bertindak sebagai penjual, amplop yang dibekalnya itu berisi permata palsu. Kalau ia bertindak sebagai pembeli, amplop itu isinya uang-uangan."

Sampul itu ditukarnya dengan yang ada di meja. Jadi, ia membeli intan asli dengan uang palsu dan mendapat uang asli untuk intan palsu.

"Menurut perjanjian, sampul itu baru boleh dibuka kalau penjual dan pembeli bertemu kembali, umpamanya keesokan harinya. Si penipu bisa saja memberi alasan bahwa ia masih memiliki intan lagi atau uang di rumah untuk ditambahkan dan benda itu akan ia bawa keesokan harinya. Kalau keesokan harinya ia tidak muncul, barulah korban curiga dan bergegas membuka amplop. Saat itulah biasanya mereka baru insaf bahwa mereka ditipu," demikian keterangan Sicot.

 

Satu set sidik jari di jendela

Sicot juga menjelaskan bahwa menurut perkiraannya, penipuan itu dilakukan oleh satu orang, karena Interpol menerima keterangan yang sama terus mengenai si pelaku dari para korban di pelbagai tempat. Penipu itu ahli Talmud, bahasa Ibraninya baik sekali dan murni. 

Ia ahli intan dan biasanya berkenalan dengan korban di sinagoga. Rasanya tidak mungkin ada sejumlah orang yang mempunyai gambaran yang sama dengan gambaran itu. Sicot juga menambahkan kepada para detektif itu bahwa mereka harus bepergian jauh untuk melacak si penipu.

Minggu berikutnya Renault pergi ke London, Zurich, dan Wina untuk meneliti lebih saksama dokumen-dokumen polisi mengenai peristiwa itu. Brigandat dan Haffa melakukan penyelidikan di gang-gang kecil di Montmartre, Paris, tempat bisnis intan dilakukan.

Pada saat menerima laporan tebal dari tiga detektif itu, Marcel Sicot juga sudah mendapat kabar perihal beberapa pencurian intan yang dilakukan secara nekat di pelbagai bagian dunia. Dengan cermat dibacanya laporan para detektif untuk lebih memahami lagi dunia perdagangan intan dari cara penipu menjelaskan kejahatannya. Sayangnya, tidak ada satu sidik jari si penipu pun yang tiba ke tempatnya.

Sicot merasa hatinya bergejolak, ketika bulan Juli 1952 Detektif Haffa melaporkan satu kasus penipuan intan lagi. "Caranya, sama dan dilakukan oleh dua orang," lapor Haffa. Penipuan itu dilakukan di Meksiko dan salah seorang dari penipu itu meninggalkan satu set sidik jari!"

Haffa bercerita kepada Sicot: 

"Dua orang pria masuk ke toko permata di kota kecil Baja California. Mereka ingin membeli sejumlah permata. Seorang di antaranya mengaku bernama Fabian Blas Chandey Rossano. Sebelum pergi ia meninggalkan seperangkat sidik jari di kaca meja tempat ia dilayani. Ketika kemudian ternyata mereka menipu, polisi yang menyelidiki peristiwa itu mengambil sidik jari tersebut."

Haffa membawa contoh sidik jari itu dan anak buah Sicot pun repot mengukurnya dengan sidik jari yang ada dalam arsip mereka. Karena pada masa itu belum dipakai peralatan secanggih sekarang, baru beberapa jam kemudian mereka menemukan sidik jari yang cocok. Ternyata sidik jari itu sama dengan yang dimiliki seseorang bernama Hersz Chazan.

Sicot lantas memanggil tiga orang detektif andalannya dan secara bersama-sama memeriksa berkas tentang Chazan. Ternyata pria itu pertama kali tercatat melakukan kejahatan tahun 1949. Di Lisboa, Portugal, ia menipu seorang pemilik toko permata dan membawa kabur intan seharga AS $ 20.000.

Diketahui pula ia beberapa kali melakukan kejahatan dengan nama Chande. Ia baru tertangkap tahun itu di Israel, di bawah nama Pedro Cambo. Untuk kejahatan melakukan penipuan kecil di Israel itu ia mendapat hukuman ringan, namun sidik jari dan fotonya dikirimkan ke Interpol. 

Dari keterangan itu diketahui bahwa Cambo itu sama dengan Chande dan nama aslinya Chazan. Sejak waktu itu tidak ada lagi laporan kejahatan yang dibuatnya.

Apakah ia berhenti berbuat kejahatan selama itu ataukah kejahatannya luput dari berkas Interpol? Apakah ia orang yang dicari oleh Sicot ataukah ia cuma sekadar membantu?

 

Orang sekampung

Ternyata penipuan yang dijalankan oleh dua orang yang berpasangan itu makin sering terjadi, paling sedikit satu penipuan besar mereka lakukan setiap bulan dan mereka selalu lolos. 

Bulan September 1952 dua pria yang mirip dengan gambaran Chazan dan temannya melarikan permata senilai AS $ 2.000 dari sebuah toko di Jenewa. Setelah membaca detail tentang mereka, Sicot yakin bahwa teman Chazan yang mengaku sebagai Goldberg itu tidak lain dari orang yang ia cari.

Menurut laporan, seorang penjual permata bernama Moshe Gross pergi bersembahyang ke sinagoga pada suatu sore. Tahu-tahu ia didekati seorang asing yang menyatakan baru datang ke tempat itu. Orang itu mengaku bernama Goldberg, berasal dari Khust di daerah yang sekarang merupakan bagian dari Ukraina. 

Mereka ternyata mengenal beberapa orang yang sama dari Khust, sehingga asyiklah keduanya mengingat-ingat masa lalu. Gross begitu terpesona oleh Goldberg, sehingga ketika mengetahui orang asing itu tidak mempunyai kenalan di Jenewa, ia dengan tulus mengajak Goldberg makan malam di rumahnya.

Sesudah menikmati makanan lezat yang dimasak oleh istri Gross, keduanya mengobrol lagi. Ternyata Goldberg itu tahu betul hukum Yahudi, sehingga Gross lebih terpukau lagi. Gross kemudian berkata bahwa ia menjual arloji dan kain halus buatan Swiss. 

Ia memperlihatkan beberapa contoh dan berdua mereka mengaguminya. Kata Goldberg, temannya, Horowitz, yang akan tiba di Jenewa keesokan harinya, mungkin mau membeli barang dagangan Gross. Kalau Gross tidak keberatan, ia akan membawa Horowitz ke tempat Gross. Tentu saja Gross mau.

Setelah mengobrol lagi, Goldberg menyatakan ia membawa sejumlah besar dolar Amerika. Uang itu pernah hilang, tetapi berhasil kembali utuh, padahal ia sudah tidak berani mengharapkannya lagi. Sesuai dengan tradisi, ia ingin menyumbangkan sebagian sebagai tanda terima kasih.

Kini, karena tinggal di hotel kecil, ia khawatir uang itu lenyap untuk kedua kalinya. Ia bertanya apakah malam itu uangnya bisa dititipkan kepada Gross. Gross tidak keberatan. Belum pernah ia bertemu orang yang menaruh kepercayaan begitu besar kepadanya. 

Gross merasa mendapat kehormatan besar dari tamunya. Goldberg menyerahkan uang itu - yang ternyata asli - tanpa menghitung jumlahnya yang tepat dan tanpa meminta tanda terima.

 

Ketawa yang mahal

Keesokan paginya Goldberg kembali membawa Horowitz. Horowitz ternyata ingin membeli beberapa arloji yang dijual Gross, tetapi ia ingin menjual dulu tiga butir intan lepas dan dua cincin intan.

"Saya bukan ahli intan," kata Gross. "Saya tidak mungkin memberi tahu nilai intan itu, tapi dengan senang hati saya bisa menanyakan kepada teman saya."

Goldberg dan Horowitz setuju. Mereka meninggalkan intan itu pada Gross dengan janji akan kembali kemudian. Gross menanyakan harga intan itu kepada temannya, yang memberi harga AS $ 12.000.

Ketika Goldberg, Horowitz, dan Gross bertemu lagi di apartemen Gross, Horowitz berkata bahwa harga yang disebutkan itu cukup pantas, tetapi ia ingin berpikir dulu.

"Sebaiknya memang dipikirkan dulu baik-baik," kata Gross. "Jangan terburu-buru." 

Horowitz perlu berbelanja. "Apakah Anda tidak keberatan untuk memberi uang muka dulu sedikit?" tanyanya kepada Gross. "Sebagai jaminan, intan itu saya tinggalkan dan juga sebuah cek."

Horowitz menulis cek untuk AS $ 2.000 dan Gross memberinya uang dalam bentuk franc Swiss. Ia juga mengundang dua orang itu untuk datang nanti malam ke rumahnya, menikmati masakan istrinya. 

Mereka setuju dan Goldberg menganjurkan agar sebelumnya mereka bertemu dulu di sinagoga. Gross setuju. Gross menunjukkan bahwa ia menaruh intan dan cek dalam sebuah jambangan dekat dinding di kamar makan. 

"Uang Anda saya taruh di sini juga," katanya. Tempat itu tidak akan dikira maling sebagai tempat menaruh barang berharga. Goldberg dan Horowitz berdiri juga dekat jambangan itu, ketika Goldberg membuat lelucon yang membuat mereka bertiga tertawa terbahak-bahak. 

Setelah itu dua tamu tersebut minta diri untuk pergi ke sinagoga. Ia menunggu-nunggu kedatangan tamu-tamunya, tetapi mereka tidak muncul. Pukul 20.30 ia pulang dengan waswas. Diperiksanya jambangan. Ternyata intan dan uang titipan sudah lenyap. Rupanya dicomot penipu pada saat Gross terbahak-bahak mendengar lelucon. Cek yang ditinggalkan sudah tentu cek kosong.

Sebulan sesudah peristiwa penipuan di Jenewa itu, Sicot menerima laporan dari Scotland Yard. Chazan dan mitranya melarikan intan seharga £ 600 di Leeds, Inggris. Bagaimana ia bisa malang melintang di pelbagai negara, walaupun Interpol sudah berulang-ulang memberi peringatan kepada yang berwajib di pelbagai bagian dunia?

 

Dicegat di Belgia

Tidak lama setelah itu Komisaris Jenderal Kepolisian Belgia Firmin Franssen (kemudian ia menjadi ketua Interpol) menerima bisikan bahwa dua maling intan yang terkenal kelicinannya sedang dalam perjalanan menuju ke Belgia. 

Antwerpen di Belgia merupakan salah satu pusat intan terpenting di dunia. Di sana uang dalam jumlah besar berganti tangan setiap hari dalam dunia perdagangan intan. Polisi Belgia pun menyiapkan pengawasan dan perlindungan khusus di kota itu.

Menurut desas-desus, salah seorang maling itu bernama Chande. Yang seorang lagi bernama Simonetti. Simonetti itu bertubuh kecil dan berkacamata. Ia terpelajar, pandai bicara. Jadi, cocok dengan gambaran yang diberikan Interpol. Konon keduanya pernah melakukan kejahatan di Meksiko dan New York.

Cepat-cepat Franssen menyurati J. Edgar Hoover, direktur FBI di Washington, D.C. sambil melampirkan foto Chande dan gambaran tentang Simonetti. Franssen mengharapkan Hoover bisa memberi keterangan lebih banyak tentang kedua orang itu, karena ketika itu FBI mempunyai arsip sidik jari yang paling baik.

Tanggal 23 Desember Hoover menjawab. Ia memberi keterangan mendetail tentang kejahatan yang dilakukan dua orang itu di Meksiko dan New York, namun menyatakan tidak mempunyai sidik jari Simonetti.

Seandainya punya pun mereka sudah terlambat memberi tahu Franssen, sebab sebelum surat itu datang, kedua penipu itu sudah berhasil menggaet batu permata di Antwerpen.

Tanggal 10 Desember seorang pria yang mengaku bernama Benyamin Rabinowitz masuk ke sinagoga yang penuh orang. Mula-mula ia cuma menjadi pendengar diskusi mengenai hukum-hukum Yahudi seperti yang termuat dalam Talmud. Lalu dengan cara yang simpatik ia ikut menyuntikkan pendapatnya. 

Tidak lama kemudian ia sudah terlibat dalam diskusi itu. Lama-kelamaan orang lain asyik menjadi pendengarnya. Mereka terpesona akan pengetahuannya mengenai isi Talmud. Dari caranya berbicara Yiddish, salah seorang di antara mereka merasa yakin ia berasal dari Hongaria, dekat perbatasan Rumania. 

Sesudah diskusi selesai, Rabinowitz diundang minum teh ke rumah Pincus Rubin. Mereka ternyata mengenal beberapa orang yang sama di kamp Nazi, sehingga mereka mengobrol tentang nasib teman-teman tersebut kemudian. 

Setelah mengobrol kira-kira satu jam, Rabinowitz secara sambil lalu berkata bahwa ia mempunyai beberapa intan dan perhiasan yang ingin ia jual. Ia bertanya, apakah tuan rumah mengenal orang yang bisa dipercaya, yang berniat membeli benda-benda itu? 

Rubin memandang batu-batu yang diperlihatkan Rabinowitz, lalu mengusulkan beberapa nama. Ia bahkan memberikan kartu namanya untuk dipakai sebagai pembuka pintu. 

Rabinowitz kembali ke sinagoga. Ketika itu kepandaiannya sudah diketahui teman-teman Pincus Rubin. Jadi, mudah saja baginya mendapat kepercayaan seseorang bernama Sieberstein.

Kepada orang itu Rabinowitz menyatakan ingin menjual dua buah intan dan ingin membeli seuntai kalung permata untuk istrinya. Ephraim Silberstein mengundang Rabinowitz ke apartemennya yang sempit di Large Kievitstraat no. 5. 

Silberstein seperti banyak orang lain yang kena tipu sebelumnya, bukanlah pedagang besar intan, melainkan pedagang kecil yang umumnya hidup dari komisi. 

Seperti halnya pembicaraan bisnis lain, mula-mula mereka mengobrol dulu tentang hal lain. Rabinowitz mengaku pedagang tekstil di Negeri Belanda. Setelah itu barulah ia mengeluarkan kedua intannya yang diperiksa di bawah lup oleh Silberstein. 

Kedua intan yang besarnya di atas dua karat itu dinilai bagus dan Silberstein menawarkan diri untuk membawanya pada Beurs untuk dinilai harganya. Ia juga akan sekalian membawa kalung permata untuk dilihat oleh Rabinowitz. Silberstein merasa mendapat kehormatan, karena Rabinowitz begitu percaya padanya.

 

Wanita memang susah

Menurut Beurs, harga intan-intan Rabinowitz itu sekitar 250.000 franc Belgia atau kira-kira AS $ 5.000 waktu itu. 

Silberstein memilih dari temannya seuntai kalung yang anggun, bukan yang mencolok, sebab orang terpelajar seperti Rabinowitz diperkirakannya tidak suka barang-barang yang norak. Kalung itu terdiri atas seratus intan kecil dan sedang yang diikat dengan platina. Kalau kalung itu laku dijual pada Rabinowitz, ia akan menerima komisi dari penjual.

Rabinowitz datang ke apartemen Silberstein sekitar pukul 14.00. Tamu itu membawa seorang teman yang diperkenalkan sebagai Blas. Mereka disambut hangat. Nyonya rumah, Esther, dan pembantunya yang bernama Rosa, sibuk menyediakan suguhan. 

Silberstein menyerahkan dua intan Rabinowitz dan mengeluarkan juga kalung permata yang anggun. Esther dan Rosa yang kebetulan ada dekat pintu ruangan sampai terpukau melihat keindahannya. Rabinowitz membawanya ke dekat jendela untuk dipandangi dan berkata kepada temannya, Blas: "Ah, cantiknya! Bagaimana pendapatmu? Apakah Rebecca akan menyukainya?"

"Wanita memang susah," jawab Blas. "Diberi topi dia ingin sepatu. Diberi sepatu, dia ingin mantel." 

"Ah, mustahil barang seindah ini tidak ia sukai," kata Rabinowitz. 

"Eh, rasanya Rebecca tidak pernah memakai kalung. Apa kau ingat ia pernah memakai kalung? Dia senang bros 'kan?"

Wajah Rabinowitz tiba-tiba berubah. "Kau benar," katanya seperti orang kecewa. "Ia selalu memakai bros." Lalu ia berkata kepada Silberstein. "Tuan Silberstein, saya minta maaf, karena merepotkan Anda. Bisakah saya dibawakan bros saja? Bros yang seindah kalung ini?"

Silberstein agak kecewa juga, namun ia menyanggupi. Ia bilang ia akan buru-buru pergi ke kantornya untuk mengambil beberapa bros. Ia minta tamu-tamu itu bersabar menunggunya.

Rabinowitz sekali lagi minta maaf, karena merepotkan dan Silberstein luluh hatinya, karena sikap Rabinowitz yang tampak betul-betul menyesal. Silberstein bermaksud membawa pergi kalung permata yang sudah ditolak itu, tetapi Rabinowitz meminta agar kalung itu ditinggal dulu agar keindahannya bisa ia nikmati lebih lama. "Ini benar-benar hasil seni," katanya. Silberstein senang, karena pilihannya dihargai begitu tinggi. Jadi, benda berharga itu ditinggalkannya di atas meja.

Agar Silberstein merasa tidak curiga, Rabinowitz menawarkan diri untuk menemani Silberstein pergi ke kantornya dengan Blas. "Bagaimana, Blas?" tanyanya. Blas menguap dan menyatakan ia lelah sekali. Jadi, mereka berdua tidak jadi ikut dengan Silberstein.

 

Hampir semaput

Silberstein sendiri merasa senang kedua tamu itu tidak jadi ikut. Ia tidak mau keduanya tahu bahwa ia cuma pedagang kecil yang hidup dari komisi. Sebelum berangkat dicomotnya dua intan milik Rabinowitz, untuk dimasukkan ke dompetnya. 

Namun ketika ia akan melangkah ke luar, Rabinowitz bertanya apakah Silberstein tidak takut dicopet? Silberstein berpikir bahwa intan itu masih milik Rabinowitz. Jadi, ia tidak bisa lain daripada mengeluarkannya lagi dari dompet untuk ditinggalkan di meja bersama kalung.

Sesudah suaminya pergi, Esther minta diri untuk meneruskan pekerjaannya di dapur. Rabinowitz mengikutinya dan berdiri mengalangi pintu untuk bercerita mengenai bisnis tekstilnya di Negeri Belanda. 

Ia juga minta nasihat Esther perihal kalung dan bros. Kemudian Blas minta izin pergi ke WC. Di apartemen seperti itu WC hanya bisa dicapai lewat dapur. Rabinowitz pun kembali duduk di dekat meja makan, tempat intan dan kalung ditaruh.

Waktu Blas kembali dari WC ia berdiri agak lama di dapur dan mengalangi pandangan Esther ke kamar makan.

Kemudian Rabinowitz berkata kepada Esther bahwa tampaknya Silberstein pergi agak lama. Ia minta izin untuk berbelanja sebentar. "Maklum kalau saya pulang anak-anak biasanya bukan menyambut karena rindu, tetapi karena ingin oleh-oleh," katanya.

Kedua orang itu pun pergi. Setelah mereka keluar dari apartemen, Esther merasa waswas. Jangan-jangan nanti suaminya marah, karena ia membiarkan tamu-tamu itu pergi.

Benar saja! Tidak lama kemudian Silberstein yang kembali membawa bros merasa kaget sekali mendapati kedua tamunya sudah lenyap. "Esther, Esther, mana mereka? Mana kalung itu?" Kalung dan intan-intan di meja sudah lenyap!

Silberstein terhenyak di kursi. Ia tidak bisa berbicara apa-apa lagi, walaupun diguncang-guncang oleh istrinya. "Polisi! Cepat, polisi!" teriak Esther. Bertiga dengan Rosa mereka berlari ke jalan. 

Yang diperoleh polisi dari rumah Silberstein hanyalah sidik jari kedua maling itu. Sidik jari itu tertera dengan jelas di gelas minum mereka. Sore itu foto sidik jari mereka dikirim ke Marcel Sicot di Interpol. Blas tidak lain dari Chazan. Chazan kita ketahui dikenal sebagai Fabian Blas Chandey Rossano.

Menurut FBI, Rabinowitz mungkin Luis Simonetti. la memiliki paspor dengan nama Simonetti dan pernah masuk AS dengan visa atas nama itu. Nama aslinya mungkin Weider. la mempergunakan juga banyak alias, antara lain Shapiro.

Nama Shapiro dipakainya di Meksiko untuk menggaet intan dan perhiasan senilai AS $ 6.000. Di New York dengan nama Weider ia pergi bersama Chande ke toko perhiasan untuk menjual enam buah intan yang dihargai AS $ 6.000. Pemilik toko setuju membelinya, namun hanya memiliki uang kontan AS $ 4.000. 

Weider dan Chande bersedia meninggalkan intan itu dan akan kembali mengambil sisanya AS $ 2.000 lagi. Intan itu dimasukkan ke amplop dan disegel menurut cara yang biasa. Saat itu Weider minta rokok dan ketika ditinggal sebentar, ia menukarkan isi amplop itu dengan beling biasa.

 

Dibantu FBI

  1. Edgar Hoover dari FBI melampirkan foto Weider dan Chande berikut sidik jari mereka yang diambil di Kedubes AS di Meksiko waktu meminta visa. Ketika visa itu diminta, polisi AS belum tahu bahwa Weider alias Shapiro itu bepergian dengan paspor atas nama Simonetti.

Marcel Sicot senang sekali mendapat keterangan yang berharga itu. Setelah memeriksa foto, sidik jari, dan sebagainya, ia dan rekan-rekannya sependapat bahwa Simonetti adalah pria yang mereka cari dan Chanzan merupakan pembantunya. Sicot yakin, kalau saja Simonetti masuk ke Prancis, ia akan tertangkap.

Sicot menunggu laporan dari tempat-tempat pemeriksaan paspor di perbatasan. Beberapa minggu kemudian ia menerima laporan, tetapi bukan yang diharapkannya. Simonetti sudah masuk Prancis, tetapi sudah keluar lagi dengan selamat. 

Di Nice, Simonetti menipu petugas gadai. Ia mengaku bernama Basel Horowitz dan mendapat pinjaman 1 juta franc dengan jaminan kalung yang gambarannya mirip sekali dengan kalung yang dicuri dari Silberstein. Ketika keesokan harinya petugas gadai memeriksa kalung, ternyata benda itu cuma replika.

Beberapa hari kemudian Simonetti muncul di Paris dengan nama Steimer dan mengeduk intan seharga 600.000 franc. 

Berapa banyak paspor dimiliki Simonetti? Pikir Sicot. Ia merasa tidak berdaya. 

Laporan berikutnya datang dari Pretoria di Afrika Selatan. Tanggal 17 Maret 1953 dua pria yang digambarkan mirip betul Simonetti dan Chazan berhasil membawa kabur intan seharga £ 5.500. Sicot tambah sibuk menghubungi seluruh dunia. 

Ternyata di Port Louis, ibu kota Mauritius, Chazan tertangkap. Simonetti lolos. Sicot mengirim berita ke pelbagai bandara di Eropa, untuk meminta mereka waspada, namun Simonetti lenyap entah ke mana.

 

Sepatunya ada di depan pintu 

Hari Minggu pagi, tanggal 29 Maret, ketika Sicot sedang tidur ia ditelepon oleh Detektif Haffa. Orang yang mereka cari ada di Paris! Haffa dan Brigandat kini sedang memeriksa daftar tamu hotel-hotel. Masa itu tiap tamu hotel di Paris harus mengisi formulir dari polisi. 

Semenit kemudian Sicot sudah selesai berpakaian. Ia melompat ke mobilnya untuk pergi ke kantornya. Ketika ia masuk teleponnya sedang berdering-dering. Brigandat memberi tahu bahwa Simonetti terdaftar di Hotel St. Germain. Hotel itu diamat-amati sejak pukul 06.00. 

Menurut petugas hotel, Simonetti ada di kamarnya. Lama ia ditunggu-tunggu, tidak juga keluar. Akhirnya, Brigandat menghubungi manajer hotel. Mereka diberi tahu bahwa Simonetti menempati kamar no. 101. Seorang wanita pelayan tadi pagi membawakan teh baginya dan gelasnya masih belum dicuci. 

Gelas itu diambil polisi. (Kemudian ternyata gelas itu memperlihatkan sidik jari Simonetti). Pelayan itu yakin Simonetti masih di kamarnya, sebab sepatu mahal milik pria itu masih belum diambil dari muka pintu setelah disemir oleh petugas penyemir sepatu tadi pagi.

Simonetti tidak keluar-keluar juga. Pukul 12.30 petugas yang berjaga di luar sudah biru karena kedinginan. Tahu-tahu muncullah seorang pria bertubuh kecil, bertopi anggun, bersetelan mahal, dan bersepatu kulit buaya yang baru disemir. Di kancing jasnya terselip sekuntum anyelir merah. 

Mula-mula Simonetti tampaknya ragu-ragu melangkah, tetapi kemudian berjalan cepat ke arah rue Bonaparte. Ia tidak curiga. Tahu-tahu Detektif Renault sudah ada di sebelah kanannya dan Haffa di sebelah kirinya. Para polisi kedinginan yang mengenakan pakaian preman pun siap.

"Monsieur Simonetti?" sapa Haffa. 

"Oui? Anda perlu pertolongan saya?" tanya dengan agak tercengang. 

"Anda ditangkap." 

Tidak lama kemudian Sicot mendapat telepon. 

"Orang yang kita buru sudah tertangkap, Pak," lapor Brigandat.

 

Menipu maharaja

Seperti yang sudah diduga, paspor Simonetti palsu. la mengaku bernama Belaargas. la mengeluarkan paspor Bolivia untuk membuktikannya. Katanya, ia lahir tahun 1918 di Milan. Ternyata tidak ada catatan di Milan yang menyokong keterangannya.

Lalu ia mengaku lahir tahun 1917. Saat itu Odenburg, Austria. Ternyata itu pun tidak bisa dibuktikan, karena di daerah yang kini namanya Sopron dan termasuk wilayah Hongaria itu catatan lama sudah lenyap akibat perang. Kata Bela, ia mengganti namanya menjadi Simonetti, karena ibunya menikah kembali dengan seseorang bernama Simonetti di La Paz, Bolivia, tahun 1922. Ketika dilacak ke sana, ternyata keterangannya bohong. 

Lalu Bela mengaku membeli paspor itu dari orang Bolivia bernama Rodguez, seorang penyelundup emas. 

Selama sepuluh bulan diinterogasi, Bela memaksa polisi mondar-mandir ke pelbagai penjuru dunia. Pokoknya, ia sangat mempersulit polisi.

Silberstein dan Gross yang dihadapkan sebagai saksi mengenalinya sebagai orang yang menipu mereka, tetapi Simonetti tenang saja. Ia juga terbukti penghibur yang pandai. 

Ia menggoda polisi yang mengawalnya dengan cara mencuri arloji polisi itu tanpa sang polisi sadar, lalu mengembalikannya lagi. Ia mencopet isi amplop di depan hidung para detektif, lalu mengembalikannya lagi. Sicot dan para detektif menikmati percakapan dan gurauannya.

Nama asli Simonetti tetap tidak diketahui. Menurut salah satu pengakuannya yang dianggap paling masuk akal, ia lahir sebagai Bela Weinberger di Satu-Mare, Rumania Utara. Ayahnya pedagang tekstil yang kaya bernama Abraham Weider. Ibunya bernama Drezel Weinberger. Karena orang tuanya hanya menikah menurut upacara keagamaan, Bela dua belas bersaudara memakai nama ibunya. 

Bela sangat cerdas. Ia bisa menjadi rabbi, namun tidak memilih jabatan itu. Karena tinggal di Eropa Tengah yang menjadi jalan persimpangan pelbagai bangsa, ia menguasai bermacam-macam bahasa. Waktu perang hidupnya sangat sengsara di kamp, namun ia sempat belajar bahasa Rusia, Ceko, Polandia, dan sulap dengan mengandalkan keterampilan dan menipu penjaga.

Sesudah keluar dari Kamp Auschwitz, ia kembali ke Satu-Mare, menunggu anggota keluarganya yang lain. Ternyata tak ada seorang pun dari mereka yang muncul. Mereka sudah tewas di kamp. Kesedihan Bela tidak terhiburkan. 

Ia pergi mengembara tanpa paspor. Perbatasan demi perbatasan berhasil dilaluinya dengan menipu penjaga. Ia pergi ke Wina dan menggaet permata dari orang-orang yang dicurigainya memperoleh permata itu secara tidak sah dari orang-orang Yahudi. 

Tahun 1948 ia ganti nama dan beremigrasi ke Argentina, yang sedang mencari tenaga pekerja. Di sanalah ia bertemu konconya, Hersz Chazan, ahli memalsukan cek. Mereka merasa cocok dan saling membutuhkan dan mulailah petualangan mereka keliling dunia. 

Di Bombay mereka menipu seorang maharaja, lalu pergi ke Austria, Hongkong, Afrika Selatan, dan tempat-tempat lain.

 

Sering ketemu lagi

Bela tidak menyimpan uangnya. Uang itu segera habis untuk pakaian mewah, makanan di restoran mahal, ongkos menginap di hotel mewah, dan berjudi di kasino. Sebagian ia kirimkan untuk keluarga-keluarga miskin di Israel dan tempat-tempat lain. Ia menipu, karena merasa nikmat bisa mengecoh orang-orang yang tidak menaruh curiga kepadanya. Demikian antara lain pengakuan Bela.

Tanggal 1 Februari 1954 pengadilan Prancis menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun kepadanya ditambah denda. Bela naik banding dan hukumannya dikurangi menjadi tiga puluh bulan penjara, sedangkan dendanya juga dikurangi. 

Begitu selesai menjalani hukumannya, ia sudah ditunggu pengadilan negara-negara lain. Mula-mula ia diekstradisi ke Belgia dan mendapat ganjaran tiga tahun penjara ditambah denda karena mencuri kalung dari Silberstein. Setelah itu ia diekstradisi ke Swiss, sedangkan Inggris, Afrika Selatan, AS, dll. memutuskan untuk tidak minta ekstradisi.

Sesudah selesai menjalani hukuman Bela tinggal dengan tenang selama enam tahun di Israel. Rupanya ia berubah menjadi orang baik-baik. Namun dasar maling, kemudian ia mencuri lagi. 

Sekali ini pencurian-pencurian yang dilakukannya hanya kecil-kecilan, tetapi cukup berarti untuk membawanya ke pelbagai penjara di banyak negara. Setelah tertangkap oleh Sicot dkk. memang ia tidak bisa selicin belut lagi. 

Bulan Agustus 1980 ia kembali harus berhadapan dengan pengadilan Prancis, karena mencuri intan di sebuah toko kecil di Paris. Ia mendapat hukuman dua tahun penjara. Nama resminya kini Berl Farcas. Menurut pengakuannya, ia sudah menjadi warga negara Uruguay. 

Interpol yakin masih akan sering bertemu dengannya, walaupun kini kelincahannya mungkin sudah berkurang karena dimakan usia. (Polly Toynbee)

" ["url"]=> string(82) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350088/seorang-korbannya-maharaja-dari-india" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656425002000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304478" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/ternyata-dolar-palsu_pepi-stojan-20220603020834.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Dua orang pria berbelanja di sebuah toko besar dan membayar dengan dua lembar uang palsu. Ini menggiring polisi pada sindikat pembuat uang palsu." ["section"]=> object(stdClass)#64 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/ternyata-dolar-palsu_pepi-stojan-20220603020834.jpg" ["title"]=> string(20) "Ternyata Dolar Palsu" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:09:06" ["content"]=> string(49754) "

Intisari Plus - Dua orang pria berbelanja di sebuah toko besar dan membayar dengan dua lembar uang pecahan 20 dolar. Setelah meninggalkan toko, kasir menyadari ternyata uang tersebut palsu. Ini menggiring polisi pada sindikat pembuat uang palsu.

-------------------------

Hari Sabtu, 29 Desember 1973, cuaca sangat cerah di Zürich, kota terbesar di Swiss. Di PKZ, sebuah toko besar yang menjual pelbagai perlengkapan pria di Bahnhofstrasse, dua orang pria yang tampaknya seperti orang Inggris, membeli sepasang sarung tangan kulit dan sehelai baju kaus. 

Mereka membayar dengan dua helai uang dolar Amerika pecahan 20 dolar. Namun, beberapa saat setelah kedua pembeli itu meninggalkan toko, kasir PKZ, Gustav Huber, merasa waswas. Ia sudah terbiasa memegang uang dan merasa dolar yang masih baru di tangannya itu mempunyai kelainan.

Cepat-cepat tetapi diam-diam ia menyatakan kecurigaannya itu kepada manajer toko, Walter Meier. 

"Lekas bawa ke Schweizerische Volksbank," perintah atasannya itu.

Huber minta rekannya menggantikannya sebentar, lalu ia pergi ke bank yang cuma terpisah beberapa rumah dari PKZ.

Ketika Huber kembali, ia memperlihatkan kedua lembar uang dolar itu yang kini sudah berlubang-lubang, yaitu tanda yang diberikan kepada uang palsu. Meier segera meminta Huber dan pembantu yang lain, Robert Sulger, untuk mencari dua orang Inggris yang tadi membelanjakan uang itu.

Setelah itu Meier menelepon polisi. Kurt Glanzmann, yang bertugas di bagian uang palsu, segera menyatakan akan datang ke PKZ.

Robert Sulger celingukan di luar mencari dua orang Inggris yang tadi masuk ke PKZ. la kebetulan ingat rupa mereka, karena berada dekat Huber ketika kedua orang asing itu membayar. Kedua orang itu tampak berdiri sejenak di depan pintu Toserba Jelmoli, lalu masuk. Sulger dengan berdebar-debar ikut masuk.

Di dalam toko mereka melihat-lihat barang seperti di PKZ. Kemudian mereka membawa belanjaannya ke seorang wanita pramuniaga dan bercakap-cakap dengan ramah. Sulger menarik napas panjang-panjang, lalu mendekati kedua orang itu.

"Maaf, Tuan-tuan," katanya dalam bahasa Jerman. la mengerti bahasa Inggris, tetapi tidak berani berbicara dalam bahasa itu. "Boleh saya berbicara sebentar?"

Kedua orang itu memandang Sulger. Yang umurnya barangkali 30 tahun, berambut tebal berwarna gelap. Yang seorang lagi kentara memakai wig. la pasti lebih tua.

Pria yang lebih muda menoleh kepada pelayan dengan senyum risi. "Mau apa sih dia?" tanyanya.

Wanita pramuniaga itu berbicara dalam bahasa Jerman dengan Sulger. Mula-mula Sulger ragu-ragu. Setelah ia memberi penjelasan, wajah wanita itu berubah. Ia menoleh kepada kedua laki-laki asing itu dan berkata dalam bahasa Inggris beraksen Jerman, "Ia dari Toko PKZ. Katanya, ada ... kesulitan dengan uang yang Anda pakai untuk membayar di sana. Ia minta Anda kembali ke PKZ bersamanya."

 

Dolar AS-nya dari Singapura

Kedua pria itu kini memandang Sulger. Sulger tersenyum. Dua pria itu berbisik-bisik sejenak. Akhirnya, ia berkata kepada Sulger, "Baiklah, kita ke sana. Kami tidak ingin meninggalkan kesan buruk di negara kalian."

Sepanjang perjalanan ke PKZ kedua pria itu bercakap-cakap dalam bahasa mereka tanpa perlu memelankan suaranya. Sulger menangkap kata-kata dollar, American, dan Singapore.

Begitu masuk pintu kaca PKZ, mereka segera berhadapan dengan empat pria berwajah serius. Gustav Huber berkata kepada Walter Meier, "Ya, merekalah orangnya." Segera kedua pria kekar bermantel kulit yang mengapit kasir dan manajer itu maju.

"Saya Sersan Glanzmann," kata pria yang seorang kepada dua orang asing yang masuk bersama Sulger itu. "Saya minta Anda menjawab beberapa pertanyaan kami."

Mereka dibawa Glanzmann ke luar. Di kantor polisi, keduanya mengaku bernama Alan Wray (40), seorang manajer bisnis, dan Roger Gilbert (30), pengusaha pabrik pakaian. Mereka meninggalkan paspor mereka di Hotel Chesa Rustica. Keduanya berkebangsaan Inggris, tetapi sudah lama tinggal di Australia.

Kedua kenalan lama itu terbang bareng dari Melbourne untuk bisnis sekalian berjalan-jalan. Zürich merupakan tempat persinggahan mereka yang pertama.

Dua orang polisi diutus oleh Glanzmann ke hotel itu. Sementara itu Glanzmann memperlihatkan dua lembar uang 20 dolaran yang dinyatakan palsu dan bertanya di mana uang itu mereka peroleh.

Wray menjadi juru bicara. Katanya, mereka terkejut sekali. Mereka berangkat dari Melbourne tanpa membawa uang dolar AS selembar pun. Ketika pesawat Qantas mereka berhenti di Singapura, mereka membeli cendera mata dan mendapat kembalian uang dolar Amerika. Mereka tidak curiga kalau uang itu palsu.

Yang mereka pakai di PKZ ialah sisa uang dolar yang mereka peroleh di Singapura.

 

Satu tas penuh

Cerita itu masuk akal. Glanzmann merasa kedua orang itu berbicara dengan sebenarnya. 

Tahu-tahu dua orang polisi yang dikirim Glanzmann ke Hotel Chesa Rustica minta berbicara dengan Glanzmann di luar ruangan. Mereka bukan hanya membawa dua paspor, tetapi juga dua tas kecil. Katanya, mereka memeriksa kamar no. 52 yang ditempati kedua orang asing itu. 

Di sebuah koper mereka menemukan tas kecil. Isinya bergepok-gepok uang kertas pecahan 20 dolaran yang masih baru. Di sebuah tas kecil lain mereka juga menemukan gepokan uang kontan yang sama. Jumlahnya semua 100.000 dolar.

Glanzmann masuk ke ruangan kembali dan membuka isi kedua tas kecil itu di hadapan Wray dan Gilbert. Keduanya terlihat kaget. 

Polisi Zürich lantas memberi tahu polisi federal di Bern, ibu kota Swis dan Interpol Swiss pun mulai beraksi. Kepala Kantor Pusat Anti Uang Palsu, Boris Wuthrich, menyampaikan uang palsu itu ke markas besar Interpol di St. Cloud, di luar Kota Paris, untuk dianalisis.

Wuthrich juga menelepon Atase Kedubes AS di Paris, Frank Levya. Levya mengirim orang ke Zürich untuk menyaksikan interogasi pada Wray dan Gilbert, sedangkan ia sendiri pergi ke St. Cloud untuk menyaksikan analisis uang palsu itu.

Di Zürich, Wray kini mengaku membawa uang dolar Amerika itu sejak dari Melbourne, tetapi bersikeras ia tidak tahu uang itu palsu. Katanya, uang itu titipan seorang teman yang ingin menghindari peraturan ketat Australia dalam hal penukaran. 

Teman itu ketika tahu Wray akan ke Eropa, lantas menitipkan uang itu untuk disampaikan kepada seseorang di Leeds, Inggris. Upah bagi Wray AS $ 5.000 dolar.

Wray tidak mau memberi tahu siapa nama temannya yang menitipkan uang itu.

"Sebenarnya bukan teman saya, tetapi teman dari teman saya. Namanya Robert. Bob. Itu saja yang saya ketahui tentang dia," katanya. 

"Siapa teman Anda yang berteman dengan orang itu?" tanya polisi Zürich.

Wray menggelengkan kepalanya. "Dia tidak turut campur," katanya. "Ia orang terhormat dan saya tidak mau membawa-bawa dia."

Kata Wray, ia betemu Robert di restoran. Robert menghampirinya. Sesudah minum-minum dan mengobrol Robert menyatakan maksudnya menitipkan uang.

 

Desertir

“Siapa orang yang harus Anda temui di Leeds?" tanya polisi. 

"Saya hanya diinstruksikan pergi ke Hotel Merrion, lalu meninggalkan pesan di sana."

"Mengapa Anda mau saja mempertaruhkan leher Anda dengan melakukan tindakan kriminal serius bagi orang yang hampir tidak Anda kenal?" tanya polisi tidak sabar. 

Wray mengangkat bahu. "Yang saya ingat hanya AS $ 5.000 itu. Saya bisa memanfaatkannya. Lagi pula kelihatannya mudah, hanya tinggal membawa satu tas ekstra. Saya mengubah persinggahan pertama dari Roma ke Zürich, karena menurut Robert, duanenya lebih longgar." "Tentu saja kami tidak pernah mengira akhirnya jadi begini," lanjutnya.

"Tentu saja tidak akan jadi begini, kalau Anda tak mencomot beberapa lembar uang titipan itu," celetuk seorang detektif.

Gilbert yang diperiksa kemudian kelihatan lebih ketakutan daripada Wray. Katanya, ia baru melihat lembaran uang 20 dolaran itu di Zürich. Ia mengetahui adanya persetujuan dengan Robert dari Wray ketika sudah berada di Zürich. 

Ia sendiri belum pernah bertemu dan tidak tahu siapa itu Robert. Ia percaya katakata Wray bahwa uang dolar itu asli dan Wray berjanji memberinya bagian dari uang itu kalau ia membantunya.

Gilbert menyatakan ia perlu uang, karena restoran yang diusahakannya di Melbourne bangkrut, dan ia terlibat banyak utang. Wray mengajaknya ke Eropa dengan gratis untuk melakukan bisnis, tetapi ia tidak tahu bisnis apa. Ia dijanjikan upah Aus. $500 -1.000 seminggu! Ia percaya pada Wray, karena pria itu kenalan lamanya.

Menurut ceritanya, mereka berangkat dari Melbourne tanggal 27 Desember dengan Qantas. Di Singapura mereka cuma menunggu di ruang transit. Di Roma mereka berganti pesawat dengan Swiss Air dan mendarat di Zürich tanggal 28 siang. 

Di hotel ketika Wray memperlihatkan uang begitu banyak dan mengambil beberapa lembar untuk belanja, ia sangat terkejut. Menurut Wray, tidak apa-apa sebab AS $ 5.000 dari uang itu merupakan bagiannya.

Tanggal 10 Januari 1974, kantor agen rahasia AS di Paris mengetuk kawat kepada Interpol Canberra untuk meminta keterangan perihal Wray dan Gilbert. Selain memberi gambaran mengenai kedua orang itu, agen rahasia juga menambahkan bahwa paspor Wray menunjukkan ia banyak bepergian, ia pernah tinggal beberapa waktu di Afrika Selatan, pernah ke AS tahun 1972, dan punya multiple-entry visa.

Menurut keterangan dari Canberra, sebagai pengedar uang palsu Gilbert pada tahun 1967 pernah melakukan desersi dan kabur ke Afrika Selatan. Ia kembali bulan November 1969 dan mendapat hukuman percobaan. 

Gilbert mengusahakan bisnis pembuatan pakaian pria yang lumayan hasilnya. Karena ambisius ia membuka pula sebuah kafe. Kafe itu gulung tikar lima bulan kemudian dan Gilbert terlibat banyak utang. Terakhir ia bekerja sebagai manajer kelab malam di sebuah hotel di Melbourne.

Alan Wray diketahui meninggalkan Australia menuju Afrika Selatan pada tahun 1967 juga.

 

Ucapan selamat tahun baru dari Zürich

Polisi Australia tidak tinggal diam. Pada akhir Oktober 1973 di Melbourne, polisi mendapat laporan bahwa akan beredar banyak dolar AS palsu. Namun, hal itu tidak terjadi. 

Laporan itu diulangi sebulan kemudian. Sekali ini polisi mendapatnya dari Dennis King, seorang pengusaha rumah judi gelap. Katanya, ia ditawari dolar palsu oleh John Singer.

John Maxwell Singer (33) merupakan kambing hitam dalam sebuah keluarga terkemuka di Melbourne. Belum lama polisi menggerebeknya dan menemukan sejumlah besar jade curian padanya. Singer bukan malingnya. Ia tukang tadah. 

Singer menjadi tahanan luar setelah membayar sejumlah uang jaminan. Polisi terus memata-matainya untuk bisa mengetahui keterlibatan yang dikatakan oleh Dennis King.

Ketika tiba berita tentang penangkapan Wray dan Gilbert di Zürich, Interpol Australia bertanya-tanya apakah kedua orang asal Melbourne itu ada hubungannya dengan Singer. 

Sersan Detektif Hornbuckle, yang pernah menahan Singer sehubungan dengan jade curian, ingat bahwa orang yang memberi laporan kepadanya menceritakan juga bahwa ia mendengar akan ada sejumlah kurir dikirim ke Eropa membawa uang palsu. 

Namun, hal itu tidak dikaitkan dengan Singer. Atasannya, Sersan Detektif Senior Austin (Aussie) Trewhitt, memerintahkannya mengadakan penyelidikan. Tindak-tanduk Singer pada akhir Desember diteliti. Tanggal 27 Desember 1973 ia diketahui mengantar dua orang dengan mobilnya ke Bandara Melbourne. 

Kedua temannya itu ditungguinya naik pesawat Qantas. Ternyata pesawat Qantas yang dimaksud ialah yang ditumpangi Wray dan Gilbert pada tanggal 27 Desember itu!

Apartemen Alan Wray pun didatangi. Kata para tetangganya, pria itu hidup sendirian, pergi dan pulangnya tidak menentu, sehingga tidak banyak yang tahu bahwa ia tidak pulang sejak akhir Desember.

Alamat yang diberikan oleh Gilbert kepada Interpol Zürich pun didatangi. Ternyata itu rumah orang tuanya. Kata mereka, sudah beberapa lama Roger tidak tinggal di situ lagi. Ia menyewa apartemen di South Yarra, bersama John Singer.

Orang tua Roger Gilbert sedih sekali waktu mengetahui anaknya ditahan. Mereka tidak curiga karena menerima kartu ucapan selamat tahun baru yang nadanya gembira dari putranya itu. Cap pos Zürich di kartu itu menunjukkan tanggal 31 Desember, jadi dua hari setelah Roger Gilbert ditahan.

Orang tua Roger tahu putranya bersahabat dengan Alan Wray, namun ternyata ia tidak memberi tahu mereka bahwa dengan Alan-lah ia akan pergi ke Eropa. Ia cuma bilang, akan pergi ke Eropa karena mendapat kesempatan baik mewakili sebuah sindikat bisnis. Katanya, semua ongkosnya ditanggung dan ia akan menerima upah besar. 

 

Janji bagi hasil  

“Apakah pada bulan-bulan terakhir ini Roger berubah?" tanya detektif. 

"Tidak ...," jawab Tuan Gilbert. "Tetapi sejak Roger tinggal di apartemen sendiri ia memang jarang datang." Tiba-tiba Gilbert ingat bahwa memang ada hal yang aneh. Ketika ia dan istrinya bermaksud mengantar putra mereka ke bandara, sang putra menolak dengan keras. 

Walaupun sudah melihat adanya kaitan yang mencurigakan, namun bukti belum cukup kuat untuk menuduh Singer. 

Sementara itu di Zürich, Gilbert berhadapan lagi dengan pemeriksanya. Kepada detektif Wray menyatakan Gilbert tahu sejak semula.

Kata Gilbert, ia baru tahu uang itu palsu setiba di hotel di Zürich. Wray membuka tas dan berkata, "Kelihatannya seperti asli, ya?" Ia kaget. Ia minta keterangan dari mana barang itu, namun Wray tidak mau memberi tahu.

Wray cuma mau menjelaskan bagaimana caranya mereka akan mengedarkan uang itu, yaitu dengan membeli mobil (dengan uang asli), lalu keliling Eropa sambil berbelanja dengan uang palsu. 

Dari kembalian uang palsu itu mereka akan mengumpulkan uang asli. Supaya banyak uang asli yang bisa mereka peroleh, mereka hanya akan berbelanja barang yang kecil-kecil. Perjalanan mereka akan diakhiri di London, dengan menyetorkan uang asli. 

Dari hasil itu Wray akan mendapat AS $ 5.000 dan Gilbert akan mendapat 10% dari uang asli yang berhasil ia kumpulkan.

Ia bersikeras tidak tahu siapa yang mengupah mereka untuk melakukan hal itu. Tiba-tiba seorang detektif berkata, "Coba ceritakan kepada kami tentang John Singer."

"John?" tanya Gilbert terkejut. "Ia teman saya, kami seflat di Melbourne. Mengapa?"

"Berapa lama Anda sudah mengenalnya?"

"Empat lima bulan. Alan memperkenalkan kami."

"Karena sudah berbulan-bulan seflat dengan dia, tentu Anda tahu sebagian kegiatannya, bisnisnya, dan kawan-kawannya."

Gilbert menyebutkan kegiatan dan usaha Singer yang legal, yang semua sudah diketahui polisi. la juga berkata, "John pernah berbicara tentang usaha yang ia miliki di luar negeri, di Timur Jauh. Mungkin di Thailand."

Kemudian polisi menggertak. Kata mereka, Singer terlibat urusan uang palsu ini. 

"John bilang begitu?" tanya Gilbert. "Saya tidak percaya!"

 

Dititipkan pada Ferrari’s

Polisi mencoba mendapat keterangan lebih banyak dari Alan Wray. Alan lain dengan Gilbert. Ia lebih sulit dikorek. Namun, ketika disebutkan nama John Singer ia terkejut. Ia minta didampingi seorang pengacara.

Interpol sibuk di Canberra, Bern, Paris, Washington, dan London, tetapi tetap saja tidak ada yang terungkapkan. Di Melbourne John Singer tidak berbuat yang bukan-bukan, di Zürich kedua tahanan tidak mau atau tidak punya lagi bahan untuk diceritakan.

Mungkin yang paling gigih ialah dua detektif dari Melbourne: Aussie Trewhitt dan Rex Hornbuckle. Keduanya berniat menggebrak Singer. Hornbuckle lantas minta bertemu dengan Singer, yang memilih tempat pertemuan di tepi danau di Albert Park.

" Ada urusan apa? Saya sudah tidak punya jade lagi," kata Singer. 

"Saya tahu. Sekali ini bukan urusan perhiasan." 

"Apa, dong?" 

"Duit," jawab Hornbuckle setelah memandang lawan bicaranya sejenak. Singer mengerutkan kening. "Coba bicara yang jelas." 

"Anda yang bicara. Apa yang Anda ketahui mengenai masalah uang dolar AS palsu lembaran 20 dolaran?" 

Singer tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. 

"Apa urusan saya dengan hal itu?" 

"Anda menawar-nawarkannya beberapa bulan yang lalu dan mencoba membentuk saluran ke luar negeri." 

Singer terdiam sejenak dengan gugup. 

"Ada orang yang minta saya menanyakan kepada orang-orang …”

"Siapa?" 

"Saya tidak mau bikin onar. Orangnya bukan saya. Saya cuma perantara. Ia minta tolong saya, karena saya punya ... kontak. Yang saya lakukan hanya ...." 

Singer didesak terus. Akhirnya, ia tidak bisa memungkiri bahwa ia mengantarkan Alan Wray dan Roger Gilbert ke bandara.

Menurut Hornbuckle, mereka mengaku disuruh oleh Singer. Singer tambah gugup. Ia memberi alasan bahwa Wray-lah biang keladinya. Ketika tahu mereka akan ke Eropa membawa uang palsu, ia membujuk mereka agar membatalkan niat itu. Ia bahkan berusaha membujuk sampai saat terakhir. Karena itulah ia sampai mengantar mereka ke bandara.

Ia hanya mengaku pernah mendengar dari kiri-kanan bahwa ada dua tas uang palsu disimpan di Ferrari's Transport Service. Ia tidak tahu siapa yang menaruhnya.

Hornbuckle mengajak dua polisi ke Ferrari's untuk mengecek. Dari situ diketahui bahwa pukul 17.00, tanggal 21 Januari 1974, Ray Gloves, atas suruhan Harry Charalambeas menitipkan dua tas yang sampai saat ini masih ada. 

"Siapa dia ...?" 

"Harry kenalan saya bertahun-tahun, ia punya kapsalon di Melbourne," jawab Ferrari.

"Dia sering menitipkan barang?" 

"Ah, tidak. Katanya, ia dimintai tolong oleh teman." 

"Siapa?" 

"Ia tidak memberi tahu. Katanya, isinya buku pelajaran anak sekolah yang sedang tur." 

Mereka pergi memeriksa dua tas itu. Isinya masing-masing sekitar 35 kg. Ketika dibuka di dalamnya masing-masing ada enam kotak karton berwarna kelabu. Kotak itu ditutup rapat dengan selotip. Ketika semua kotak dibuka, ternyata isinya uang dolar AS baru pecahan 20 dolar!

 

Terpaksa mengaku

Para detektif membawa temuan itu ke markas besar. Inspektur Kepala L.N. Patterson ditelepon ke rumahnya. Menurut Ferrari, kiriman yang dititipkan kepadanya itu tiba dengan kereta di Stasiun St. Kilda dan dari sana dijemput oleh orang Ferrari. Tempat pengiriman ialah Hawksburn.

Menurut petugas Stasiun Hawksburn, benda itu dibawa ke stasiun oleh seorang pemuda yang senewen tanggal 19. Pemuda itu menandatangani formulir pengiriman dengan nama Ray Groves. 

Dua hari sebelumnya datang ke sana dua orang, seperti keturunan Italia atau mungkin Yunani. Mereka bertanya bagaimana caranya mengirimkan paket berisi buku ke stasiun lain.

Sekelompok detektif lain mendatangi salon milik Harry Charalambeas di Tivoli Arcade, di pusat Kota Melbourne. Di Kapsalon Just Hair itu Charalambeas menyatakan menelepon temannya, Ferrari, tanggal 21 untuk meminta petugasnya menjemput kiriman dari Stasiun St. Kilda. 

Sebelumnya salah seorang karyawannya, Barry Groves, disuruhnya mengirim tas-tas itu ke Hawksburn seperti yang diinstruksikan.

"Siapa yang menginstruksikan?" 

Charalambeas tampak ragu-ragu. 

"Teman saya, John Singer," katanya. Menurut penata rambut itu, dua tiga hari sebelumnya Singer datang menanyakan cara menyimpan tas berisi buku-buku berharga. Ia menasihatkan agar dititipkan di Ferrari saja. 

Sehari atau dua hari kemudian Singer datang minta tolong dijemputkan tas itu untuk dibawa ke Hawksburn dan dikirimkan ke St. Kilda, supaya Ferrari bisa mengambilnya di sana.

"Saya mengirim Groves. Kasihan anak itu. Dia bilang pinggangnya serasa mau patah menenteng barang seberat itu.”

"Di mana Groves mengambil barang itu?"

"Di sebuah rumah di Hawthorn. Kata John, rumah iparnya. John takut buku-buku itu rusak diusik anak-anak kakaknya. Ia memberi saya kunci tempat penitipan dan kunci itu saya serahkan kepada Groves.”

“Apakah Anda atau Singer meminta Groves memalsukan namanya dalam perkara ini?”

"Astaga, tidak! Memang ia memalsukan namanya?" 

Barry Groves dipanggil. Katanya, ia curiga karena isi tas itu berat. Waktu ia buka isinya bukan buku, tetapi dus karton, dan ia memakai nama palsu.

Tas-tas itu diangkut ke Reserve Bank of Australia. Isinya AS $ 1.887.480! Interpol Bern dikabari, begitu pun Paris. Beberapa hari kemudian dua inspektur dari Australia tiba di Zurich, sementara itu seorang agen khusus AS yang bertugas di Honolulu segera terbang ke Melbourne.

Hornbuckle merasa bahwa John Singer termasuk salah seorang pria yang diduga sebagai pria Italia oleh petugas di Hawksburn. Siapa pria yang seorang lagi? Hornbuckle minta bertemu lagi dengan Singer. 

"Bagaimana?" tanya Singer.

"Lumayan. Hampir dua juta." 

Singer bersiul. 

"Anda tidak tahu?" 

"Memang Anda tak menghitungnya dulu sebelum mengirimkannya ke tempat penitipan?"

Singer tertegun. 

"Sebelum saya kirim ke penitipan?" 

Singer terpaksa mengaku juga tetapi ia minta polisi tidak mengusik keluarga kakaknya, sebab mereka tidak tahu-menahu. 

"Milik teman Anda yang bersama-sama pergi ke Hawksburn?" tanya Hornbuckle. Singer kaget. Setelah didesak ia mengaku temannya itu bernama Petros Lyberakis. 

Katanya, mereka pernah bekerja sama dalam bisnis kulit domba dan percetakan. Sekarang Petros bekerja di konsulat Yunani, karena bisnis percetakan mereka habis terbakar.

"Kalian mencetak uang di sana?”

“Tidak. Percetakan itu sudah lama terbakar, mungkin setahun lebih." 

Petros itu pelukis dan pernah belajar desain. 

"Hebat," kata Hornbuckle. "Pernah jadi pengusaha percetakan, pernah belajar desain, seniman, dan pelukis!" 

Singer akhirnya terpaksa mengaku bahwa Petros Lyberakis itu masih punya uang palsu di rumah orang tuanya. Alamat ayah Petros ia tahu.

 

Isinya kulit buku

Polisi mendatangi alamat itu. Sebelumnya keterangan tentang Petros Lyberakis dikumpulkan dulu. Pria berusia 26 tahun itu lahir di Athena, tetapi besar di Australia dan kini mahasiswa tahun keempat di jurusan arsitektur. 

Ia bekerja paruh waktu di konsulat Yunani sebagai penasihat kesejahteraan dan keuangan imigran baru. Ia belum pernah berurusan dengan polisi. Apartemen Lyberakis dan rumah orang tuanya diamati berbareng. 

Hari Minggu itu, pukul 13.00 lewat sedikit, Lyberakis diketahui meninggalkan apartemennya dengan mobil dan pergi ke rumah orang tuanya. Hornbuckle dan dua detektif lain mendatangi rumah itu.

Hornbuckle minta bertemu dengan Petros. Petros segera mengerti, tetapi ayahnya bingung. Mereka segera ke garasi. Di belakang tumpukan majalah dan koran ada koper besar. Petros diminta membukanya. 

Di bawah tumpukan majalah ada dus-dus karton. Polisi menggali lebih dalam. Dari dus yang di bawah, ditemukan lembaran uang dolar AS yang masih baru, pecahan 20 dolar. 

"Petros!" teriak Lyberakis tua dengan terkejut.

Kata Petros, ia tidak tahu ada uang di situ. Katanya, temannya tidak punya tempat di rumah dan menitipkannya kepadanya.

"Siapa teman Anda?" Petros tidak mau memberi tahu. 

"Nicky," jawab ayahnya. Petros mendelik. 

"Siapa itu Nicky?" tanya Hornbuckle. 

"Saya tidak mau kalau disalahkan," kata Lyberakis tua kepada Petros.

Sang ayah kemudian berbicara dengan Hornbuckle. "Dia bilang koper itu dari Nicky, Nicky Kypraios. Petros dan dia…”

"Kami cuma teman," potong putranya. "Dia seorang seniman. Kami sering bekerja sama."

"Petros mau melakukan apa saja untuk Nicky," kata ayahnya. "Ia menolong Nicky dalam semua…”

"Papa berhenti," kata putranya memotong. "Kata Nick, ada pelanggannya meninggalkan koper ini di tempatnya. Karena ia tidak punya tempat, ia minta saya ...."

"Bagaimana sih? Tadi koper ini milik Anda, lalu milik teman Anda, sekarang milik orang lain lagi, yang tidak diketahui siapa."

Diperkirakan isi koper itu AS $ 2 juta atau lebih.

 

Mau menerbitkan majalah

Ini bukan main-main. Siapa itu Nick Kypraios?

Karena Petros tidak mau memberi tahu, ayahnya mengancam akan memberi tahu. Ternyata Nick Kypraios pelukis dan menguasai cetak-mencetak!

Markas besar dihubungi untuk mengangkut uang palsu yang ditemukan. Dua detektif membawa Petros Lyberakis ke apartemennya sendiri untuk menggeledah.

Sementara itu Hornbuckle mengumpulkan keterangan mengenai Kypraios dari ayah Petros. Kypraios baru datang beberapa tahun yang lalu dari Yunani. la dianggap pelukis yang mempunyai harapan besar dan pernah mengadakan pameran sekali di Melbourne. 

Petros yang bekerja sambilan di konsulat, merasa tertarik pada Kypraios dan menolongnya menjualkan sejumlah lukisan.

Kemudian mereka berdua berniat menerbitkan majalah untuk orang Yunani - Australia. Karena Kypraios hampir tidak bisa berbahasa Inggris, Petros-lah yang mengurus semuanya: menyewa gedung, mencari mesin-mesin pencetak, dsb. 

Percetakan mereka itu namanya Icono Graphics. Tetapi entah mengapa, majalah itu tidak pernah muncul.

Dua detektif yang menggeledah apartemen Petros Lyberakis tidak menemukan buku alamat yang memuat nama-nama: Charalambeas, H ... Gilbert, Roger ... Singer.

Dari flat Petros Lyberakis mereka dijemput oleh detektif senior Sersan Trewhitt, untuk pergi bersama-sama Petros ke Percetakan Icono Graphics. Rumah no. 14 di Greenwood Street itu terletak di antara pabrik-pabrik kecil dan gudang. Semua pintunya digembok. Pagar besinya juga.

"Saya sudah bilang, hari Minggu dia tidak ada di percetakannya," kata Petros.

"Di mana rumahnya?" tanya detektif. Dengan enggan Petros menyebutkan alamat yang ternyata tidak jauh dari sana. Ketukan di pintu segera dijawab oleh seorang pria berumur sekitar 30 tahun. Ternyata ia cuma paham bahasa Inggris sedikit. Ia mengerti juga ketika diajak ke Icono Graphics.

Di sana para detektif menemukan ruangan yang bau tinta dan kertas yang berserakan. Di dinding bertumpuk dus karton berwarna kelabu, seperti yang didapati di garasi Lyberakis dan di tas yang dititipkan di Ferrari's. Para ahli forensik masuk dan Trewhitt menanyakan kepada Kypraios, "Di mana peralatan cetak Anda?"

"Sudah diambil kembali," jawab Petros Lyberakis mewakili. 

"Kapan? Oleh siapa?" 

"Kemarin, oleh pemiliknya."

"Siapa mereka?" 

"Seligson and Clare di Bou-verie Street, Carlton." 

Katanya, karena Nick tidak bisa memenuhi pembayaran, penjual mengambil kembali mesin cetak itu. Padahal setelah dihitung uang palsu pecahan 20 dolaran yang ditemukan di tempat Kypraios itu jumlahnya AS $ 4.134.940.

Lyberakis dan Kypraios ditahan. Berapa uang kertas palsu yang mereka cetak? Yang sudah diperoleh polisi jumlahnya AS $ 4.235.020.

Seligson and Clare sama sekali tidak menyangka mesin yang diambil kembali oleh mereka itu dipakai mencetak uang palsu. Polisi diperbolehkan memeriksanya. Kebetulan belum dibersihkan jelas tampak bekas pencetak uang palsu 20 dolaran, namun pelatnya yang dipakai mencetak uang itu sudah tidak ada.

 

Reklame harus menantang

Kypraios diperiksa dengan bantuan seorang penerjemah. Orang Yunani itu diperlakukan dengan simpatik, sebab kentara betul ia cemas dan menyesal tanpa dibuat-buat.

Kypraios mengaku memiliki percetakan kecil ketika masih di negerinya. Ia juga pelukis yang sudah berpameran berkali-kali di Athena dan tempat-tempat lain di Yunani. Tahun 1971 lukisannya sudah sampai di AS. 

Namun, keadaan politik merugikan sumber nafkahnya, yaitu percetakan, sehingga ketika mendengar kesempatan terbuka untuk mencari penghidupan yang lebih baik di Australia, ia membawa istri dan anaknya ke negara Kanguru itu bulan Maret 1972.

Akhir tahun itu ia mendengar dari temannya bahwa Petros bisa menjualkan lukisan. Petros kemudian datang ke rumahnya bersama seorang pemahat Italia dan seorang Australia, John Singer. Petros terkesan oleh sekitar 60 lukisan yang diperlihatkan Kypraios dan berjanji mencarikan pembeli dengan komisi 25%. 

Awal 1973 Petros membujuk Kypraios agar meninggalkan kerja tetapnya dan bekerja sama dengannya menerbitkan majalah bagi masyarakat Yunani di Australia. Petros yang mencarikan tempat di 14 Greenwood Street dan mengurus segalanya. Namun, usaha itu macet karena tidak ada modalnya, sedangkan Kypraios sudah telanjur berhenti bekerja.

Karena simpanan Kypraios makin menyusut, istri dan anaknya dikirim kembali ke Yunani.

Saat itulah Petros memberi tahu bahwa mereka mendapat cukong untuk membuat majalah. la kenal banyak orang berduit, antara lain pengusaha pabrik pakaian. Mereka mencari mesin. Sumbangan dari cukong dimasukkan ke bank atas nama Kypraios dan Kypraios yang menandatangani pembelian macam-macam.

Kata Petros, reklame mereka harus mampu menarik perhatian orang. Ia berniat membuat selebaran yang bentuk dan rupanya mirip sekali uang, tapi cuma salah satu sisinya saja yang dicetak. Sisi lainnya berupa iklan dari produk mereka.

"Kata Petros, kalau orang melihat uang tergeletak, mereka pasti akan memungutnya, dan kalau uang itu dibalik, mereka akan membaca iklan kami," cerita Kypraios lewat penerjemah.

Selebaran berbentuk uang itu akan meniru dolar AS, sebab kalau dolar Australia mereka bisa berurusan dengan yang berwajib. Kemudian Petros datang membawa John Singer, yang menunjukkan lima lembar uang Amerika pecahan 20 dolaran yang masih baru. 

Ini untuk pertama kalinya Kypraios melihat dolar AS. la merasa sanggup membuat seperti yang diminta, asal boleh mengadakan percobaan dulu.

Ketika hasilnya bagus, Petros dan Singer membujuk Kypraios untuk membuat uang palsu. Kypraios tidak mau, tetapi Petros mendesaknya. Akhirnya, Kypraios menyerah juga.

 

Sisanya di mana?

Ia membuat uang palsu sebanyak 74 dus atau AS $ 12 juta! Para detektif kaget. Yang ditemukan baru kira-kira sepertiganya. Mana yang dua pertiga lagi?

Ketika ditanya lebih lanjut, Kypraios menyatakan bahwa yang menyediakan dus itu ialah Petros. Yang memasukkan uang ke dus itu ia sendiri dibantu oleh Singer. Sejak itu (pertengahan November) ia tidak pernah melihat Singer lagi.

Kemudian Petros memperlihatkan surat dari Seligson and Clare kepadanya yang menyatakan mereka akan mengambil kembali mesin-mesin, karena dana yang mereka peroleh dari seseorang bernama Charlie katanya sudah habis, sehingga mereka tidak bisa melunasi pembayaran mesin-mesin itu. Kypraios tentu saja bertambah risau. 

"Anda pernah melihat Charlie?" tanya detektif.

"Ya. Ia datang beberapa kali ke percetakan. Orangnya sangat gemuk, umurnya sekitar 40-an. Ia mengendarai mobil besar berwarna hijau. Saya ingat pelatnya bertuliskan LBJ. Sama seperti inisial mantan presidan Amerika." 

"Anda tahu nama belakang Charlie?" 

"Zukas, kira-kira seperti itu." 

"Anda pernah berkata bahwa seorang pengusaha pakaian mungkin juga salah seorang cukong yang membiayai usaha Anda ketika bermaksud mendirikan majalah. Anda tahu dia?" 

"Yang saya tahu, ia teman keluarga Petros. Saya tidak pernah bertemu dengannya. Ia orang Yunani juga. Kalau tidak salah namanya Pappas." 

"Kini tentang pelat untuk mencetak uang. Apa pelat itu masih ada di mesin?" 

"Tidak, sudah diambil Petros." 

"Kapan? Dikemanakan pelat-pelat itu?" 

"Beberapa tahun yang lalu. Mungkin untuk dimusnahkan." Seperti Petros Lyberakis, Kypraios pun ditahan secara resmi. 

Sekarang yang berwajib berniat melacak sisa uang yang belum ditemukan. Apakah uang itu masih ada di Australia atau sudah dibawa ke luar negeri?

 

Ternyata anak jutawan 

Polisi mencari Charlie Zukas. Ternyata orang yang memenuhi gambaran yang diberikan oleh Kypraios ialah Charlie Zuker, pemilik mobil sedan hijau besar yang pelat nomornya bertuliskan LBJ. Ia seorang eksekutif bisnis berumur 45 tahun. Ia tidak pernah tercatat melakukan kejahatan. 

Dari buku alamat yang dijumpai di flat Petros Lyberakis, ditemui nama Zuker, C. dan nomor telepon, tetapi bukan nomor yang terdapat di buku telepon resmi. 

Polisi juga menemukan nama Pappas, K. beralamat di Brunswick di buku alamat itu. Detektif Rex Hornbuckle menelepon ayah Petros. Michalis Lyberakis selalu bersedia membantu polisi, karena ia ingin meringankan kesalahan anaknya.

Ia tidak kenal Charlie Zuker, tetapi Jack Pappas teman baiknya. Pappas mengusahakan pabrik piama. Pappas itu nama aslinya Kyiakos Papadimitripoulos, terlalu sulit untuk diucapkan lidah Australia, jadi ia ganti nama menjadi Jack Pappas. 

"Mustahil Jack membantu putra saya berbuat jahat?" tanya Lyberakis tidak berdaya.

Rumah Zuker diketahui seperti istana. Maklum ia jutawan. Ia juga dermawan, sering memberi sumbangan pada seniman dan mempunyai galeri: Bartoni International Gallery. 

Ia memiliki pula teater dan koleksi prangko yang nilainya ditaksir di atas seperempat juta dolar. Selain pengusaha bangunan dan pemilik pabrik kulit, ia juga menjadi direktur pelbagai perusahaan.

Jack Pappas juga cukup kaya. Ia datang dari Yunani pada umur 25 tahun dan mulai mencari nafkah dengan membuka toko pakaian. Kini ia pengusaha pabrik pakaian yang makmur.

Menurut Singer, gagasan membuat uang palsu dari Petros yaitu pada pertengahan tahun 1973. Cuma modalnya tidak ada. Singer tidak punya uang kontan untuk membiayainya. Jadi, Singer menyarankan Alan Wray. Wray berminat. 

la menjual cincin intan yang diperolehnya di Afrika Selatan dan memberi 5.500 dolar kepada Singer untuk diserahkan kepada Petros.

Kemudian Singer memperkenalkan Charlie kepada Petros, tetapi katanya, Petros sendiri yang minta modal kepada Charlie untuk membuat majalah. Ketika tahu Petros membuat uang palsu, Charlie malah memberi modal lebih banyak lagi!

Pappas, menurut Singer, memberi modal pula ketika Petros menyatakan ingin membuat majalah untuk masyarakat Yunani di Australia.

Singer dilepas lagi, karena polisi merasa masih perlu bantuannya.

 

Hanya satu sidik jari ditemukan

Sementara itu Hornbuckle menerima telepon dari ayah Petros. Kata Michalis Lyberakis, ia menanyakan kepada Pappas, perihal yang diberikan Pappas kepada putranya untuk bisnis percetakan. Pappas bilang, sebetulnya ia tidak berminat menanam modal pada usaha percetakan, tetapi demi anak teman baiknya ia mau memberi modal. 

"Ke mana saja anak itu?" tanya Pappas kepada Lyberkis. "Sudah lama saya tidak mendengar tentang bisnisnya. Ia tidak pernah menghubungi saya sejak menitipkan dua peti majalah, entah di pabrik saya sebelum Natal. Suruh dia ambil. Saya perlu tempat untuk barang lain."

Begitu mendengar laporan Michalis Lyberakis itu, Hornbuckle menyuruh orang-orangnya mendatangi Pappas. Dalam dua peti itu (Pappas tak punya kuncinya) ditemukan 39 dus berisi uang kertas pecahan 20 dolar AS sejumlah AS $ 6.075.840! 

Dua dus itu isinya tidak utuh. Kurangnya kira-kira AS $ 200.000. Yang AS $ 100.000 lagi entah ke mana. Pappas terbengong-bengong dan merasa dikhianati Petros.

Rumah Zuker pun tentu saja didatangi. Zuker pura-pura tenang. Ia menyangkal, tetapi polisi mengajaknya menyaksikan mereka menggeledah salah sebuah lemari besi Zuker yang paling besar di bank, yaitu yang terdapat di Australia and New Zealand Bank Corporation (ANZ). 

Ditemani manajer bank dan para detektif, Zuker diminta membuka kotak-kotak yang ada di dalam lemari besi itu. Tidak ada apa-apa. Tetapi masih ada dua koper kecil di sudut, yang memakai monogram CZ. Ketika diminta membuka juga koper itu wajah Zuker berubah.

"Itu titipan teman," katanya. 

"Teman yang inisialnya CZ juga?" tanya polisi. 

Isi kedua koper itu 9 dus uang kertas 20 dolaran, jumlahnya AS $ 1.456.980. Jadi, jumlah uang palsu yang sudah ditemukan di Melbourne AS $ 11.667.760. 

Menurut Zuker, 9 dus itu diberikan kepadanya oleh Petros menjelang Natal.

Temuan-temuan itu lantas diberitahukan kepada Interpol. Sementara itu di Melbourne para detektif mendesak Singer lagi. Singer mengaku tidak tahu di mana pelat-pelat bekas mencetak uang.

"Tanya saja Petros. Dia yang merencanakan segalanya," katanya. 

"Lucu. Petros bilang tanya saja Anda," kata polisi.

Akhirnya, Singer mengaku membantu Petros menyemen pelat-pelat itu. Lalu membawanya ke jembatan di Sungai Yarra dan mencemplungkannya. Siapa tahu nanti bisa diangkat lagi untuk dipakai kembali ....

Tanggal 13 Februari 1974, suatu tim penyelam dari SAR berhasil mengangkat lempengan beton dari Sungai Yarra. Ketika semennya dipecahkan di laboratorium forensik, ditemukan 48 pelat. 

Para ahli dari Reserve Bank mencocokkan pelat itu dengan uang palsu 20 dolaran buatan Kypraios. Sidik jari dicari juga. Tidak ada. Hanya pada satu pelat ditemukan sidik jari Nick Kypraios

Kemudian diketahui John Singer pernah mengirimkan paket kepada temannya, Veera Thong Thang, di Bangkok, Thailand. Temannya menerima kiriman itu bulan Januari 1974. 

Singer didesak lagi. Seorang detektif membawanya ke Bangkok, dari Veera mereka memperoleh AS $ 131.740. Jadi dari AS $ 12 juta, yang belum ditemukan hanya beberapa lembar lagi.

Alan Wray dan Roger Gilbert diadili di Zürich pada bulan September 1974. Jadi, kira-kira 9 bulan setelah tertangkap. Keduanya dinyatakan bersalah. Gilbert dijatuhi hukuman 14 bulan penjara, Wray 18 bulan. Keduanya kemudian harus meninggalkan Swiss dan tidak boleh kembali selama 10 tahun.

Di Melbourne, 14 bulan setelah ditahan, Charlie Zuker, Jack Pappas, Nick Kypraios, dan Petros Lyberakis diminta muncul bersama di pengadilan tanggal 7 April 1975. Ternyata Petros Lyberakis sudah kabur dua minggu sebelumnya. Interpol di seluruh dunia dikabari supaya siaga.

Charles Zuker menyewa dua pengacara untuk melakukan pengejaran pribadi terhadap Petros.

Charlie Zuker dinyatakan bersalah, karena terlibat pencetakan dan pengedaran uang palsu dengan maksud menipu. la dijatuhi hukuman lima tahun penjara.

Jack Pappas dibebaskan. Nick Kypraios terbukti bersalah mencetak uang dengan maksud menipu. Untuk dua kesalahan itu masing-masing ia menerima hukuman tiga tahun penjara. 

John Singer, informan polisi, tidak diadili. Petros Lyberakis, tetap tercantum namanya dalam arsip Interpol sebagai orang yang harus dicari secara aktif.

(Edward Keyes)

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304478/ternyata-dolar-palsu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265346000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3304286" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/3-korbannya-kelahiran-indonesia_-20220603020340.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "3 mayat ditemukan oleh petani di Thailand dengan kematian-kematian yang tragis. Bahkan, Bangkok Post menyebut mereka berkebangsaan Indonesia." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/3-korbannya-kelahiran-indonesia_-20220603020340.jpg" ["title"]=> string(31) "3 Korbannya Kelahiran Indonesia" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:04:06" ["content"]=> string(46397) "

Intisari Plus - 3 mayat ditemukan oleh petani di Thailand dengan kematian-kematian yang tragis. Bahkan, Bangkok Post menyebut mereka berkebangsaan Indonesia. Lantas, apa yang membuat mereka dibunuh jauh dari tempat tinggalnya?

-------------------------

Tanggal 18 Oktober 1975 pagi, sekelompok nelayan Thai menemukan mayat wanita kulit putih di laut. Letnan Chai Boriwat dari Pattaya memperkirakan wanita itu paling-paling berumur 18 tahun, tingginya 160 cm. Di paru-paru gadis berbikini itu ditemukan air. Kukunya biru. Diperkirakan gadis itu tenggelam waktu sedang berenang. Namun di pantai tidak ditemukan pakaiannya. 

Letnan Chai Boriwat memotret mayat itu, lalu fotonya dikirimkan ke Bangkok Post, koran terkemuka berbahasa Inggris di Thailand. Graema Stanton, redaktur pelaksana, menyuruh foto itu ditempatkan di halaman depan dengan judul "Mayat Gadis Tidak Dikenal". 

Walaupun demikian, tidak ada yang datang memberi tahu mayat siapa itu. Jadi, mayat itu pun dimasukkan ke kantung plastik untuk dimakamkan di Pemakaman orang Sawang Boriboon. Gadis berpakaian ungu di Jl. Pasir Emas.

Gadis berpakaian ungu di Jl. Pasir Emas Enam minggu kemudian, tanggal 29 November, seorang petani bernama Tuan Janmak yang berumah di tepi jalan menuju ke jalan raya bebas hambatan Khumvit menemukan tubuh manusia yang sudah hangus. Anggota badan mayat itu berada dalam posisi seperti orang minta ampun. 

Polisi memperkirakan pria yang terbakar itu berumur sekitar 21 tahun. Tubuhnya pendek, paling-paling 158 cm. Diduga ia orang Thai. Pakaiannya hampir semua terbakar, tapi masih tersisa sepotong celana dalamnya yang berwarna biru dan kemejanya yang hitam bermotif bintang kuning. Polisi memperkirakan ia dibunuh di tempat lain dan mayatnya dibuang di tempat sunyi itu. Mungkin mayat dibawa dengan mobil dan posisi seperti memohon itu disebabkan ia "dicekuk". 

Jalan setapak itu memang bisa dilalui mobil, tetapi karena tanah sedang keras, tidak ada tanda-tanda bekas ban di sana. 

Mayat pria itu dimasukkan ke kantung plastik dan dimakamkan di Sawang Boriboon juga, tidak jauh dari kuburan si gadis tidak dikenal.

Dua minggu kemudian, tanggal 14 Desember, seorang petani berjalan kira-kira 8 km dari Pattaya, dekat jalan bebas hambatan Sukhumvit. Tempat yang dilaluinya biasa disebut Hardsai Tong oleh penduduk, artinya Jl. Pasir Emas. Jalan itu jarang dipakai karena ada jalan lebih baik yang sejajar. 

Petani itu merasa jantungnya hampir copot ketika tiba-tiba saja ia melihat tubuh seorang wanita kulit putih tergeletak di situ, sebagian terendam di selokan. 

Gadis yang mayatnya ditemukan itu memakai celana merah seperti bikini dan rok ungu berbunga-bunga. Sekeliling lehernya memar. Kemudian diketahui bahwa di lengan kirinya ada bekas tusukan jarum suntik. Gadis itu tidak dikenal. Tidak pula ada pemberitahuan gadis kulit putih hilang. 

Mayat itu dikirimkan ke RS Polisi di Bangkok untuk diautopsi.

 

BH kuning buatan Belanda 

Dua hari kemudian seorang penjual es mengendarai sepeda motornya tidak jauh dari Wat Kudee Prasit, yaitu sebuah kuil Buddha dan sekolah untuk anak petani. Sekitar 1,5 km dari kuil ada tanda yang menunjukkan bahwa Bangkok berjarak 56 km dari sana. Ketika itulah ia melihat dua sosok mayat di tanah landai tidak jauh dari tepi jalan. 

Mayat yang satu ialah mayat pria yang diperkirakan berumur 20 tahun. Menempel pada mayat ada sisa sweater berwarna hitam atau kelabu dan blue jeans. Di kantung celana jins itu ada bon pembelian dari Delicatessen Corner, Holiday Inn, Kowloon, bertanggal 9 Desember.

Mayat yang satu ialah seorang wanita pirang berumur kira-kira 19 tahun. la memakai sweater jingga. Di bawah sweater itu ia memakai BH kuning buatan Belanda. Kedua mayat itu tingginya sekitar 165 cm. 

Menurut hasil autopsi, pria itu dicekik dan wanita itu dipukul kepalanya dengan benda tumpul. Menurut dokter, keduanya masih hidup (walaupun mungkin dalam keadaan tidak sadar), ketika mereka disiram dengan bensin dan dibakar. Ada orang memperkirakan mereka pasangan Australia yang diberitakan hilang. Jadi, sudah lima mayat tak dikenal ditemukan di sekitar Bangkok pada waktu yang relatif berdekatan.

Pada tanggal 23 Januari 1976, pejabat Kementerian Luar Negeri Belanda di Amsterdam kedatangan tamu, Van Kan. Kata tamu itu, ia khawatir akan keselamatan adik iparnya, Wilhelmina Jansen dan pacar iparnya, Franciscus Bintarang, seorang pria berayah Indonesia yang sejak Desember 1975 tidak ada kabar beritanya. 

Mereka berangkat keliling dunia tanggal 8 Februari 1976, jadi sudah 11 bulan yang lalu. Mina menulis surat ke orang tuanya dengan teratur. Suratnya yang terakhir ditulis tanggal 8 Desember, tetapi cap posnya tanggal 11. Dalam surat itu Mina menyatakan akan meninggalkan Hongkong untuk pergi ke Bangkok. 

Sejak itu Mina tidak pernah mengirim surat Iagi. Ia juga tidak mengucapkan selamat ketika ibunya berulang tahun tanggal 18 Januari, dan juga tidak ketika kakaknya berulang tahun tanggal 21 Januari, padahal tidak pernah hal seperti itu terjadi. 

Van Kan disarankan memaparkan apa yang terjadi dan kekhawatirannya ke Kedubes Belanda di Bangkok. Surat itu tiba tanggal 8 Februari ke meja Sekretaris III Kedubes Belanda Herman Knippenberg. Knippenberg mempelajari data yang diberikan Van Kan: nama, umur (Mina 25, Frans 29 tahun), alamat, (mereka hidup bersama di Amsterdam), pekerjaan (Mina sekretaris, Frans asisten apoteker). 

Ia juga mengamati baik-baik foto Mina dan Frans. Van Kan menyertakan surat Mina yang terakhir, yang menceritakan ia bertemu dengan seorang Prancis yang ramah, yang mengundang mereka menginap di rumahnya di Bangkok. 

Ia tidak menyebutkan nama orang Prancis itu dan sama sekali tidak terpikir oleh Knippenberg untuk menghubungkan kedua orang yang hilang itu dengan mayat tidak dikenal yang diperkirakan orang Australia.

Kemudian ia ingat bahwa mayat wanita tidak dikenal itu memakai BH kuning buatan Belanda. Ia pun menghubungi Kedubes Australia, yang menyatakan tidak ada orang Australia yang dilaporkan terbunuh. 

Knippenberg lantas menghubungi Komisaris Polisi Toorenaar, yang mengepalai Bagian Pembunuhan di Amsterdam untuk memberi tahu bahwa dua warga negara Belanda, Wilhelmina Jansen dan Franciscus Bintarang ada kemungkinan dibunuh di Thailand. 

Beberapa jam setelah mendapat informasi dari Knippenberg, Toorenaar sudah memperoleh catatan mengenai gigi kedua orang itu dari dokter gigi mereka, yang dikirimkannya ke Bangkok.

Tanggal 3 Maret, Knippenberg menemui pemimpin dokter gigi di RS Advent Bangkok, yaitu drg. Antje Twijnstra dan Kolonel Paitton Limrat, yang melakukan autopsi terhadap dua mayat tidak dikenal yang ditemukan terbakar. Ternyata gigi kedua mayat cocok dengan gambaran gigi Frans Bintarang dan Mina Jansen. Siapa pembunuh mereka?

 

Untung, ada Gautier! 

Kanit House adalah sebuah gedung lima tingkat di pojok Jl. Sala Daeng dan Sala Daeng 1 Lane di Bangkok. Gedung itu terdiri atas banyak apartemen. 

Salah satu penghuni apartemen di gedung itu ialah pasangan Prancis Nadine dan Remi Gires. Remi, si suami, bekerja sebagai koki kepala di Oriental Hotel sehingga Nadine dan suaminya yang terkenal. 

Selain mereka, ada pasangan Prancis lain yang tinggal di tingkat lebih atas, yaitu Alain Gautier, pedagang permata, dengan istrinya, Suzanne. Suzanne sebetulnya orang Prancis Kanada. Karena sama-sama Prancisnya, Nadine dan Suzanne berteman.

Suatu hari Nadine dan Remi Gires yang baru saja pulang dari berlibur di Hua Hin, pergi berkunjung ke tempat Gautier. Ternyata tuan dan nyonya rumah sedang tidak ada. Begitu pula sopir mereka, Rajesh Khosla, seorang pemuda India berumur 21 tahun yang tampan. 

Namun seperti biasa, di rumah Gautier ada tamu. Maklum Gautier itu pandai bergaul. Saat itu tamu yang masih menginap ada dua orang, yaitu Dominique Renelleau dan Yannick Malgorn, kedua-duanya orang Prancis.

Renelleau sudah tiga bulan tinggal di situ karena sakit. Karyawan bank dari Prancis itu berkunjung ke Chiang Mai di Thailand sebagai turis dan berkenalan dengan Gautier di sana. Ketika ia tiba-tiba sakit, Gautier membawanya ke Kanit House. 

Ternyata setiap kali hampir sembuh ia jatuh sakit lagi. Gautier membujuknya agar jangan risau. "Kuatkan saja dulu badanmu, baru pulang ke Prancis. Paspor, cek perjalanan, dan uangmu saya simpan dulu," kata tuan rumah, yang memiliki sebuah lemari besi. 

Yannick Malgorn, bekas polisi yang kemudian menjadi koki, bertemu dengan Gautier di sebuah bar di Bangkok. Ketika itu ia bersama seorang temannya, Jean - Jacques Phillipe diajak oleh Gautier ke Pantai Pattaya. Celakanya, di sana mereka kena disentri. Lebih celaka lagi, paspor dan uang mereka hilang. Untung ada Gautier! 

Setelah sembuh, Malgorn merasa berutang budi. Ia ingin membalas kebaikan Gautier dengan bertindak sebagai sekretarisnya di mana perlu sampai mendapat paspor baru dan cukup uang untuk pulang. 

Pada saat Nadine dan Remi Gires bertemu, Philippe sedang pergi mengurus visa. Kata Renelleau dan Malgorn, Alain Gautier, Suzanne, dan Raj sedang pergi ke Nepal. Mereka berangkat beberapa hari sebelumnya.

 

Tak pernah kembali lagi

Alain itu pembunuh dan maling," kata Malgorn tiba-tiba, sehingga Nadine dan suaminya terkejut. Ia lantas mengeluarkan Surat Kabar Bangkok Post yang terbit beberapa hari lalu untuk memperlihatkan berita tentang kematian "sepasang orang Australia". 

"Mereka bukan orang Australia, tetapi orang Belanda," kata Malgorn. "Belum lama ini mereka ada di sini bersama Gautier." 

Tanggal 10 Desember, ketika Nadine dan Remi Gires sedang bertamu di tempat Gautier, memang tuan rumah permisi pergi untuk menjemput sepasang tamu Belanda di bandara. Katanya, kedua tamu itu datang dari Hongkong. 

Tamu yang laki-laki bernama Frans Bintarang, berayah orang Indonesia. Tamu wanitanya Mina Jansen, kekasih Frans. Mereka sedang keliling dunia dan sudah berkunjung antara lain ke Indonesia. Keduanya bertemu dengan Gautier di Kowloon, Hongkong, dan diundang menginap di Kanit House. 

Di Kanit House itu Gautier menyewa tiga apartemen. Dua di antaranya berdampingan, yaitu no. 503 dan 504. Jadi walaupun sudah ada tiga tamu yang menginap di sana, tambah dua tamu lagi bukan soal. 

Frans dan Mina bermaksud mengujungi kuil-kuil Buddha dan Mina juga ingin melihat tambang-tambang permata di Chiang Mai, yang disohorkan oleh Gautier. Mina membeli sebuah cincin permata dengan harga murah dari Gautier di Hongkong. Ketika diceknya ke toko permata ternyata toko permata menilai cincin itu jauh lebih mahal. 

Namun sebelum mereka pergi ke Chiang Mai tanggal 15 Desember keduanya jatuh sakit. Mereka hampir tidak kuat bangkit, tetapi Gautier bilang udara Chiang Mai akan baik pengaruhnya bagi mereka. Jadi mereka menguatkan diri juga. Gautier meminta Mina mengenakan sweater tebal supaya tidak kedinginan. 

Dari pulau terbuka di apartemen 504, malam itu Yannick Malgorn melihat Gautier dan Raj memapah pasangan Belanda itu dari apartemen 503 menuju ke lift. Mina mengenakan sweater jingga. Mereka meluncur pergi dengan Toyota biru.

Keesokan paginya Gautier kembali berdua saja dengan Raj. Celana dan sepatu mereka penuh lumpur. Ketiga tamu di rumah Gautier bertanya, ke mana Frans dan Mina. 

"Jangan khawatir," kata Gautier, "mereka akan masuk rumah sakit selama enam bulan dan tidak akan mengingat lagi apa yang terjadi sebelumnya." Ketiga tamu itu menjadi takut. 

Tanggal 17 Desember pagi Renelleau meminta kembali paspornya. Paspor itu dikembalikan, tetapi Gautier minta maaf, karena cek perjalanan milik orang Prancis yang sakit itu sudah ia pakai. la berjanji akan menggantinya. 

Keesokan harinya Gautier, Suzanne, dan Raj diantarkan oleh Rennelleau dan Malgorn ke bandara untuk pergi ke Kathmandu di Nepal. Philippe cepat-cepat mengurus visa.

Hari itu juga di Bangkok Post ada berita mengenai sepasang orang Australia ditemukan terbunuh dan terbakar. Mereka makin khawatir, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Mereka ingin pergi secepatnya, namun tidak punya uang. Mereka memeriksa apartemen dan menemukan paspor-paspor orang lain serta barang-barang milik Frans serta Mina. Ada juga perhiasan milik orang Turki tamu Gautier, Yusuf Bilgin, yang sudah menghilang entah ke mana. 

Mereka ingat, pria Turki itu anak orang kaya dari Istambul. Ia pernah membeli permata seharga AS $ 1.600 dari Gautier dan ingin membeli lagi. Gautier kemudian mengajaknya ke tambang-tambang permata di Chantaburi. Ia menginap dulu di rumah Gautier dan keesokan harinya muntah-muntah. Namun mereka jadi juga pergi, bersama Suzanne dan Raj. 

Kata Gautier kemudian kepada teman-teman Prancisnya, Bilgin itu ternyata pedagang obat bius. Di tengah jalan ia bertemu dengan teman-temannya dan batal pergi ke Chantaburi. Kini ia berada bersama teman-temannya itu di Pattaya. 

Pacar Bilgin, Yvonne Desbois, yang berumur 24 tahun menyusul Bilgin ke Bangkok dan menelepon ke rumah Gautier, karena Bilgin meninggalkan pesan agar ia dihubungi di rumah Gautier.

"Ia sudah tidak ada di sini. Apakah ia tidak memberi tahu bahwa ia tinggal dengan teman-temannya di Pattaya?" tanya Gautier. Namun Gautier mau menolong. Ia akan mengantarkan Yvonne ke Pattaya. Yvonne datang ke Kanit House mengenakan rok ungu berbunga-bunga. Keesokan harinya Gautier muncul sendirian. Teman-teman Prancisnya mengira Yvonne sudah diantarkan ke tempat Bilgin menginap.

 

Tetangga usil 

Sebelum itu, pada tanggal 13 Oktober 1973, Raj bertemu dengan seorang gadis Amerika dari San Pedro, Kalifornia, di Malaysia Hotel, Bangkok. Ia sedang keliling sendirian, mencari kedamaian. 

"Hati-hati di sini," kata Raj yang simpatik kepada mahasiswi berumur 18 tahun bernama Mary Jane McLachlan itu. Ia memperingatkan bahaya Bangkok bagi gadis secantik Mary Jane. 

Raj yang mengaku anak pengusaha kaya Delhi itu mengundang Mary Jane ke rumah majikannya, Alain Gautier, pedagang permata. Katanya, malam itu Gautier ingin mengadakan pesta. "Pesta sopan," kata Raj. 

Mary Jane yang rupanya merasa simpati kepada pemuda India itu datang ke pesta di Kanit House. Ia begitu terpesona pada Alan Gautier. Alan sangat heran karena Mary Jane belum pernah ke Pantai Pattaya yang terkenal itu

Kau harus ke sana," katanya. Ia berjanji akan mengantarkan. Keesokan harinya Gautier menjemput Mary Jane dari Malaysia Hotel dengan mobil Toyotanya. Setelah itu orang-orang di Kanit House tidak pernah melihat Mary Jane lagi. 

Nadine dan Remi Gires begitu kaget mendengar cerita itu. Mereka sendiri melihat ketika Frans Bintarang dan Mina Jansen sakit. Mereka pikir kedua orang itu kena disentri akut. 

Mereka lebih tercengang lagi ketika Malgorn yang memegang kunci lemari besi Gautier memperlihatkan isi lemari besi itu, yaitu belasan paspor milik orang lain, kebanyakan paspor Prancis, cek perjalanan, dan dompet. 

Mereka juga melihat beberapa kartu pos yang ditulis oleh Frans dan Mina, tetapi tidak dikirimkan, tas tangan kulit milik Mina, dan radio transistor baru milik Frans. Selain itu di apartemen Gautier didapati tempat membawa bensin dan jarum suntik. 

Nadine Gires begitu tergugah, sehingga ketika bertemu dengan temannya, suami-istri Lemaire, ia tidak tahan untuk tidak bercerita. 

Ny. Lemaire ini orang Prancis, sedangkan Lemaire sendiri pengusaha Swis. Di kantor Lemaire ada karyawan bernama Charlaine yang beribukan orang Prancis, tetapi ayahnya orang Australia, Konsul John Howard. Tidak heran kalau keluarga Lemaire dan keluarga Howard sering mengundang makan. Dalam kesempatan seperti ltulah cerita Nadine Gires disampaikan oleh keluarga Lemaire pada sang konsul.

John Howard itu sebelum menjadi diplomat adalah seorang wartawan. la terbiasa mengumpulkan berita. Dengan cermat cerita Nadine Gires itu dicatatnya. Setelah itu ia mengecek ke Kedutaan Australia. Betulkah ada pasangan Australia yang hilang di Thailand? Tidak ada. 

Tanggal 7 Januari, Konsul Jenderal Australia mengirimkan aidememoire mengenai hal yang didengarnya itu pada direktur jenderal Kepolisian Thai di Bangkok. Tetapi tidak ada tanggapan. Rupanya surat itu tenggelam dalam ratusan surat lain di meja direktur jenderal. Kedutaan Belanda pun tidak pernah dihubungi polisi. Tentu saja Howard tidak bisa berbuat apa-apa lagi di negara asing, walaupun ia sudah mendapat informasi yang mencurigakan mengenai Alan Gautier. 

Kabar yang mengagetkan itu tiba juga ke telinga Herman Knippenberg di Kedubes Belanda. Sekretaris III Kedubes Belanda itu lantas menelepon Madame Gires untuk minta bertemu. Tiga hari berturut-turut Nadine datang untuk menceritakan semua yang ia ketahui.

 

Bukan istri, tapi kekasih

Ia mampu menceritakan detail mengenai cara hidup Gautier, Suzanne, dan Rajesh Khosla. "Ia membual pernah menyelundupkan mobil ke India pada usia masih sangat muda," kata Nadine. Ia juga pandai bergaul dan mudah sekali berkenalan dengan orang lain." 

Gautier mengaku berumur 31 tahun. Katanya, ia lahir di Saigon. "Tetapi tentu saja saya orang Prancis," kata Gautier. Konon pada umur 13 tahun ia pindah ke Paris. 

Rambut Gautier lurus dan hitam berkilat, matanya hitam, dan kulitnya seperti warna buah zaitun. Tulang pipinya menonjol tinggi dan giginya putih. Walaupun tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun penampilannya mengesankan. 

Di samping rupa yang mengesankan dan dandanan yang aksi, ia juga cerdas dan bisa berbicara dalam banyak bahasa. Selain itu ia juga senang mentraktir orang. Ia kenal dunia Timur dengan baik, karena sering bepergian dengan Suzanne. 

Mengenai Suzanne, yang banyak dikira orang sebagai istri Gautier tetapi sebetulnya kekasihnya, Nadine mempunyai cerita. "Ia menyebut dirinya Suzanne Ponchet. Tetapi saya lihat surat-surat dari Kanada untuknya dialamatkan kepada Catherine Ponchet." Suzanne pernah menjadi perawat. Ia boleh dikatakan tidak bisa berpisah dari anjing Samoyed-nya yang kecil. 

Rajesh Khosla bekerja serabutan di apartemen Gautier. Ia menjadi sopir, disuruh-suruh membeli rokok dan segala macam lagi, tetapi nampaknya ia senang dengan pekerjaan itu. 

Begitu cerita Madame Nadine Gires. Knippenberg bertanya bagaimana nasib tiga orang Prancis lain: Renelleau, Malgorn, dan Philippe? 

"Philippe kembali ke Kanit House sehari sebelum Gautier dan Raj pulang dari Nepal. la membawa cukup uang untuk membeli tiket ke Prancis baginya dan bagi kedua temannya. Jadi mereka cepat-cepat kabur. Malgorn membawa kunci lemari besi Gautier yang dibuangnya ke tempat sampah di Bandara Don Muang, sebagai balas dendam." 

Kata Nadine Gires, ketika mendapati ketiga tamunya sudah kabur membawa kunci lemari besinya, Gautier marah-marah dan menelepon Nadine untuk menceritakan peristiwa itu. Nadine naik ke apartemen Gautier dan mendapati barang barang berserakan di lantai. 

Di antara kertas-kertas itu didapatinya dua buah order pengiriman uang atas nama Franciscus Bintarang dan juga buku catatan harian orang Belanda itu. Nadine diam-diam mengambil buku itu. Keesokan harinya Gautier kembali ke Nepal. Suzanne memang tidak ikut ke Bangkok. Raj menyusul majikannya keesokan harinya.

Buku catatan harian Frans diserahkan oleh Nadine kepada John Howard. Knippenberg segera menemui Howard tanggal 9 Maret. Di dalam buku catatan harian Frans itu, Howard dan Knippenberg menemukan catatan yang menyatakan bahwa di Kowloon, Hongkong, Frans dan Mina bertemu dengan seorang Prancis yang sangat mengesankan, bernama Alain Dupuis. Knippenberg menduga keras Dupuis itu Gautier. 

 

Vera juga berasal dari Indonesia 

Saat itu Knippenberg mendapat surat pernyataan panjang , yang sebenarnya ditujukan kepada polisi Australia oleh seorang warga negara Australia bernama Russel Lapthorne dan istrinya, Vera, yang berasal dari Indonesia. 

Penduduk Melbourne itu menceritakan bahwa mereka berlibur di Thailand pada bulan September 1975. Mereka tinggal di Crown Hotel, Bangkok, dan pada tanggal 1 September pergi ke Pattaya. Ketika sedang membeli kelapa muda, mereka didekati pasangan bersepeda. Wanita yang bersepeda itu membawa anjing Samoyed kecil yang dipanggil Frankie. Nama wanita itu Suzanne dan bahasa Inggrisnya patah-patah. Pria yang bersepeda mengaku bernama Jean Belmont, bahasa Inggrisnya baik, walaupun kentara aksen Prancisnya. 

Dari hotel mereka berempat pergi ke Hua Hin bersama-sama Belmont mentraktir makan, tetapi malamnya suami-istri Lapthorne sakit perut. Kemudian datang Suzanne membawakan empat gelas coklat susu untuk mereka berempat. 

Vera cuma minum setengah, lalu pergi tidur karena pusing. Lapthorne menghabiskan isi gelasnya. la baru sadar kembali pukul 05.00 di sebuah klinik Hua Hin. la dan Vera diangkut ke sana oleh pemilik hotel karena ditemukan tidak sadar. Padahal mereka minta dibangunkan untuk naik kereta api malam. Lapthorne malah ditemukan menggeletak di lantai. 

Vera yang tidak begitu parah keadaannya segera kembali ke hotel. Ternyata cek perjalanan mereka senilai AS $ 450 hilang, begitu pula uang Singapura sebanyak 800 dolar, dan uang Thai sebanyak 1.500 baht. Paspor mereka juga hilang, begitu pula surat kawin, sertifikat kesehatan, SIM, sebuah kamera untuk membuat film, cincin intan, dan kalung emas. 

Gelas berisi susu coklat yang mereka minum sudah dicuci bersih dan suami-istri Belmont sudah pergi meninggalkan mereka dengan kereta malam. Suami-istri Lapthorne melapor ke polisi, tetapi tidak ada polisi yang bisa berbahasa Inggris. Vera seorang diri cepat-cepat ke Bangkok (karena suaminya masih lemah) untuk menghubungi Kedubes Australia dan menghubungi orang tua suaminya di Australia. 

Setelah membaca laporan itu, Knippenberg mengirimkan foto Gautier, Suzanne, dan bahkan foto anjing Samoyed milik Suzanne ke Kedubes Australia di Bangkok. Benda-benda itu dikirimkan kepada keluarga Lapthorne di Melbourne dan sekali lihat saja mereka segera mengenali gambar itu sebagai Jean Belmont, Suzanne, dan Frankie.

 

Ramai-ramai makan kepiting di pantai  

Knippenberg lalu menghubungi Graeme Stanton, penyunting Bangkok Post dan peristiwa-peristiwa pembunuhan itu dimuat di Bangkok Post. Namun tetap saja tidak ada tindakan dari polisi Thai. 

Sekarang kita ikut saja kegiatan Gautier dan Suzanne. Tanggal 18 Desember 1975 mereka memakai paspor Frans dan Mina untuk pergi ke Kathmandu di Nepal. Cuma foto pada paspor mereka ganti dengan foto mereka sendiri. Dengan nama Frans dan Mina mereka menginap di Soaltree Oberoi Hotel. 

Pada kesempatan itu mereka berkenalan dengan Henri Gilbert dari Kanada dan Sally Dalton dari Amerika. Kepada kedua orang yang sedang bepergian bersama itu Gautier mengaku pedagang permata. 

Tanggal 21 Desember Gilbert berjalan-jalan di gunung dan tidak kembali. Pasangannya, Sally, merasa cemas dan menyusul. la juga tidak kembali. Beberapa hari kemudian tubuh mereka ditemukan dalam keadaan sudah terbakar. Gilbert memperlihatkan tanda bekas dicekik. Sally memperlihatkan luka bekas tikaman. 

Beberapa hari setelah itu, dalam sebuah Datsun yang disewa oleh seseorang yang mengaku bernama Bintarang, ditemukan jins, kacamata hitam, dan tas yang semuanya milik Gilbert. Di kamar hotel tempat Sally menginap ditemukan catatan harian wanita muda itu. la menyatakan berkenalan dengan Alain Gautier. 

Setelah itu Gautier pulang ke Bangkok dengan Raj dan menemukan tiga temannya (Renelleau, Malgorn, dan Philippe) sudah kabur. Brankasnya tidak bisa dibuka. la cepat-cepat kembali ke Nepal. Raj menyusul keesokan harinya dengan paspor Yusuf Bilgin. (Visanya palsu). 

Tanggal 27 Desember Gautier, Suzanne, dan Raj melewati perbatasan menuju India dengan mobil. Gautier dan Suzanne memakai paspor Prancis sebagai Monsieur dan Madame Ponent. Mereka pergi ke Kalkutta dan Varanasi. Di sini bertemu dengan orang Israel bernama Sol Levi dan mereka tinggal sehotel. Malam harinya ketiga teman Sol Levi kabur. Paginya Sol ditemukan tewas tercekik. Uangnya sebanyak AS $ 5.000 hilang. 

Di New Delhi mereka menginap di Lodhi Hotel. Gautier mengaku bernama Sol Levi. Tanggal 6 Januari 1976 mereka tiba di Goa dan bertemu dengan tiga orang Prancis yang bepergian dengan naik truk Ford. Tanggal 9 Januari mereka ikut dengan truk menuju ke Kolombo di Sri Lanka. 

Mereka menginap dulu di Amaldi dan bermain-main membakar kepiting serta ikan di pantai. Mereka minum wodka, wiski, dan sari buah. Tiga puluh enam jam kemudian ketiga orang Prancis itu sadar mereka berada di sebuah rumah sakit. Uang mereka sejumlah AS $ 2.600 dalam bentuk cek perjalanan, AS $ 600 kontan, dan beberapa kamera seharga AS 3.000 lenyap. Amblas pula tiga paspor mereka.

 

Menyogok polisi 

Salah seorang dari korban bernama Eric Damour. Seseorang yang memakai nama dan paspor Eric Damour muncul di Madras dan pergi ke Bangkok pertengahan Januari. Tentu saja ia tidak lain dari Alain Gautier. Gautier tidak pulang ke Kanit House, tetapi menginap di Dhusit Tani Hotel dekat rumahnya itu. Dengan paspor Bertrand Tell ia menguangkan cek perjalanan curian di Bank of Canton, dekat Kanit House. 

Dengan paspor Eric Damour ia terbang ke Singapura. Suzanne sudah menunggu. Tanggal 25 Januari ia ke Hongkong, lalu pulang sebentar ke Bangkok sebelum kembali lagi ke Hongkong. Suzanne menunggunya di YWCA. Ia diajak pindah ke Sheraton Hotel dan pergi ke Macao tanggal 31 Januari 1976. 

Ketika kembali ke Hongkong dua hari kemudian mereka bertemu seorang warga negara AS kelahiran Jawa, Peter Frederick Clark. Kepada Clark, Gautier mengaku bernama Eric Damour. Clark diundangnya makan di Sheraton, lalu mereka pergi ke kelab malam dan akhirnya ke kamar Gautier di Sheraton. 

Tiga hari kemudian Clark sadar. Ia mendapati dirinya tergeletak di lantai kamar. Ia berteriak-teriak minta tolong. Ketika kembali ke kamar hotelnya sendiri, didapatinya paspor, cek perjalanan, dan kartu kreditnya lenyap. 

Tanggal 5 Februari itu Gautier dan Suzanne sudah berada di Singapura. Mereka lalu terbang ke Thailand Selatan. Sekali ini Suzanne memakai paspor Eric Damour. Anehnya, ia lolos. Mereka kembali ke Kanit House dan sudah ditunggu Raj yang membawa pulang seorang salesman Prancis bernama Alfred Colin. 

Sementara itu sekretaris III pada Kedubes Belanda, Herman Knippenberg, cuma bisa menyebar-nyebarkan surat bukti ke Kedubes AS, Inggris, Kanada, Prancis, dan Nepal. Polisi Thai tetap tidak bertindak. 

Ketika didesak, polisi cuma mendatangi apartemen Gautier, lalu memeriksa paspor Gautier dan Suzanne. Mereka memperlihatkan paspor mereka sendiri. Beres. Polisi meninggalkan mereka. 

Kedubes AS turun tangan, karena paspor warga negara mereka, Peter Frederick Clark, ketahuan dipakai orang lain. Gautier diperiksa polisi. Ia menyogok AS $ 15.000 dan melenyapkan diri. Apartemennya di Kanit House digeledah. Ditemukan bermacam-macam obat bius, obat-obat lain, alat-alat suntik, buku tentang agama Buddha yang bertuliskan nama Mary Jane McLachlan, paspor Prancis atas nama Eric Damour (tetapi fotonya foto Suzanne). 

Raj tetap dibiarkan di sana. Malamnya dari jendela Nadine Gires melihat Gautier dan Suzanne pulang membawa koper. Paginya Nadine naik ke apartemen mereka. Suzanne dan Gautier sudah lenyap. la melihat kertas-kertas berserakan. Di antaranya surat asuransi yang dikeluarkan di Barcelona, Spanyol, untuk Yusuf Bilgin dan tiga pasfoto ukuran paspor milik Bilgin. la memberi tahu Knippenberg sambil menyerahkan foto-foto itu. 

Knippenberg menghubungi Kedubes Turki sambil menyerahkan foto-foto Bilgin. Minggu pagi Nadine Gires ditelepon Gautier dari Malaysia. la ingin menitipkan apartemennya. Esok paginya Nadine Gires mendapati apartemen itu sudah disegel polisi. 

Rabu, 17 Maret, Rajesh Khosla meminta polisi mengembalikan paspornya. Tanpa mendapat kesulitan ia memperoleh paspor itu. la segera masuk ke Kedubes AS dan menceritakan semuanya yang diketahuinya tentang Peter Frederick Clark. Sejak itu Raj lenyap entah ke mana.

 

"Kenalan" polisi India 

Lewat Malaysia, Gautier dan Suzanne pergi ke Eropa. Di Bangkok polisi sekali lagi memeriksa apartemen Gautier di Kanit House. Sementara itu Knippenberg mendengar dari polisi Belanda bahwa Renelleau dan Philippe secara sukarela membuat pernyataan pada Kedubes Belanda di Paris untuk melengkapi keterangan Nadine Gires pada Knippenberg. 

Mayat gadis berbikini digali lagi dan dikenali di Washington sebagai Mary Jane McLachlan. Sesudah diketahui identitasnya, tidak sulit untuk merekonstruksi tindakannya di Bangkok sebelum ia tewas, termasuk kunjungan ke Kanit House. 

Mayat yang diperkirakan pria Thai pun digali lagi. Mayat itu dikenali sebagai Yusuf Bilgin oleh ayahnya. 

Mayat yang ditemukan di selokan diidentifikasi sebagai Yvone Desbois, pacar Bilgin. Dari Prancis memang ada permintaan untuk mencari Yvonne. Permintaan itu disampaikan kepada istri Letkol Sompol Suthimai, seorang wanita Prancis. 

Letkol Sompol itu kepala seksi Interpol di kepolisian Thailand. Letkol Sompol tertarik pada tulisan di Bangkok Post pada tanggal 8 Mei 1976 mengenai Alain Gautier dan Suzanne yang berumah di Kanit House dan pada cerita mendetail tentang Mary Jane, Yvonne, Frans, dan Mina. Ia merasa tugasnyalah untuk menyelidiki hal ini. Dihubunginya Herman Knippenberg di Kedubes Belanda. 

Dari kepolisian Prancis diketahuinya Gautier itu kemungkinan nama palsu, tetapi nama aslinya tidak diketahui oleh Interpol. Dari Interpol Ottawa diketahui bahwa Suzanne itu nama aslinya Catherina Ponchet. Jadi, keterangan Nadine Gires tentang nama itu betul. Suzanne pernah bekerja sebagai sekretaris dokter, kemudian hidup bersama pria tua kaya bernama Levant. Ketika Levant ke India, ia bertemu Gautier dan kecantol. 

Diketahui ia dan Gautier mula-mula tinggal di Nana Hotel di Bangkok, kemudian pindah ke Malaysia Hotel. Di sini mereka berkenalan dengan Rajesh Khosla. Setelah itu barulah mereka pindah ke Kanit House. 

Interpol melacak jejak mereka. Diketahui Suzanne dan Gautier pernah ada di Kuala Lumpur, lalu ke Singapura, Bombay, New Delhi, Karachi, Jenewa (di sini Gautier menjual permata), Prands (tinggal pada teman baru bernama Alfred Colin + 40 km di luar Kota Paris). 

Tanggal 14 Mei markas besar Interpol di St. Cloud, dekat Paris, mengirimkan kabar ke Thailand, Kanada, Belanda, Nepal, Spanyol. Menurut polisi Kanada, pada bulan April Suzanne menulis surat kepada orang tuanya di Kanada dari Jenewa, memberi tahu ia akan ke Barcelona. Walaupun paspornya dicabut, rupanya bukan alangan baginya untuk bepergian ke pelbagai negara, sebab akhir bulan April ia menelepon akan ke rumah ibu Gautier di Marseille, bertiga dengan Colin. 

Karena nama asli Gautier tidak diketahui, Interpol tidak bisa mencari alamat ibu Gautier. Lewat Interpol, Sompol mendengar Gautier, Suzanne, dan Colin ada di Pakistan. Sompol meminta Interpol pusat memberi tahu Pakistan, Prancis, Kanada, AS, Spanyol, Belanda, India, Turki, Swis, Hongkong, Indonesia, Malaysia, Australia, dan Singapura, agar ketiga orang itu ditangkap. 

Letkol Sompol tidak percaya kalau Gautier itu orang Prancis, karena mata dan rambutnya berwarna gelap. Ia menduga jangan-jangan Gautier keturunan Pakistan atau India. Lewat Interpol dimintanya sidik jari Gautier dari Pakistan dan India.

 

Sidik jarinya sama

Bulan Juni 1976, Alain Gautier yang kini memakai janggut lebat, Suzanne, dan Alfred Colin berada di New Delhi. Mereka disertai dua teman: Margaret Wilson, gadis Inggris berumur 22 tahun dan Diana Johnson, perawat Australia berumur 26 tahun. Mereka bepergian dengan mobil Citroen. Kalau pesawat Air France tiba di bandara, mereka mengincar mangsanya. Orang itu mereka kuntit sampai ke hotel, kemudian mereka dekati. 

Louis Chabrier, pemuda Prancis berumur 28 tahun, dijebak di Ranjit Hotel. Ia diajak makan-makan, lalu Margaret pura-pura mau tidur dengannya. Ketika itu Chabrier sudah dalam keadaan mual sehabis makan kari ayam. 

Subuh itu Margaret dkk. kabur dari Delhi setelah tombol pintu kamar tempat Chabrier digantungi tanda Don't disturb (jangan ganggu). Dua hari kemudian karyawan hotel menemukan Chabrier sekarat di kamar itu. Ia meninggal 24 jam kemudian. 

Dalam operasinya Gautier memakai nama Pierre Boucher. Sebelum memangsa Chabrier, Gautier sudah membius tiga orang turis Prancis di YMCA dan merampok kamera serta uang mereka sebanyak AS $ 3.000 dalam bentuk cek perjalanan. 

Buat polisi India, nama Boucher tidak asing lagi. Empat tahun sebelumnya, tanggal 31 Oktober 1971, Boucher dengan dua orang Prancis merampok dengan jalan membius para petugas permata di New Delhi. Mereka tertangkap 13 November 1971. Karena sakit usus buntu, ia dibedah di rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meminta istrinya, Francoise Gilet, mengajak ngobrol para perawat. Sementara mereka lengah, ia kabur. 

Rupanya tahun 1976 itu Gautier begitu yakin akan kelihaiannya membius orang. Ia kini bermaksud membius 62 turis sekaligus. Mereka itu rombongan yang datang dari Prancis dan tinggal di Vikram Hotel, New Delhi. Gautier dan teman-temannya bersikap ramah dan siap sedia menolong "orang-orang setanah air". 

"Charles", demikian namanya sekarang, menelepon para wanita lanjut usia untuk membeli permata, sehingga mereka mendapat permata bagus dengan harga murah. Charles dan kawan-kawan ikut ke Taj Mahal dan memperingatkan para turis agar hati-hati minum, karena di India minuman kemungkinan besar tercemar. Lebih baik minum minuman botol, supaya jangan sampai sakit perut, katanya. 

Malam itu di hotel tidak ada orang yang merasa aneh waktu Charles ikut duduk di meja makan bersama mereka. Pada saat pelayan menuang air minum ke gelas-gelas mereka, ia memperingatkan sekali lagi akan bahaya sakit perut akibat air yang tercemar. 

Ia juga mengeluarkan kantung yang berisi pil. Katanya, ia selalu menelan pil itu untuk penjagaan. "Siapa yang mau?" tanyanya menawarkan. Semua orang mau. Semua minum pil itu. 

Namun rupanya Charles salah perhitungan. Sebagian besar korban sudah keburu meraung-raung sakit perut sebelum meninggalkan meja makan. Mereka muntah-muntah, sehingga ambulans pun dipanggil. Cuma Charles dkk. yang tetap tegak. 

Seorang pelayan menudingnya sambil berteriak, "Itu dia orangnya yang membagi-bagi pil." Charles dikepung beramai-ramai, tetapi malah dibela oleh turis yang dibuatnya sakit. 

"Gila kalian! Dia 'kan teman kami." 

Polisi pun datang. Kebetulan ikut pula Asisten Komisaris Tuli yang mengejar Boucher sejak kematian Louis Chabrier. Charles ditahan. Teman-temannya sempat kabur, tetapi tertangkap kemudian. 

Mereka mengaku ikut ambil bagian dalam berbagai kejahatan yang dilakukan Charles. Charles sendiri mati-matian menyangkal. Namun bagaimana ia bisa mengingkari sidik jarinya yang sama dengan sidik jari Boucher. Apalagi di perutnya ada bekas operasi usus buntu.

 

Putra pengusaha Bombay 

Letkol Sompol dari Interpol Thai diberi tahu. Setelah penyelidikan lebih lanjut diketahui nama asli Alain Gautier adalah Charles Gurmukh Sobhraj. Ia lahir di Saigon, 6 April 1944. Ibunya seorang wanita Vietnam yang cantik, yang menjadi gundik seorang pengusaha tekstil kaya dan tampan dari Bombay, Hotchand Bhawnani Sobhraj. 

Mereka tinggal di Saigon. Ketika Charles berumur 5 tahun dan ibunya mengandung lagi, Sobhraj membawa istri sahnya ke Saigon, sehingga tidak ada pilihan lain bagi ibu Charles selain angkat kaki dari rumah. 

Ia menikah kembali dengan seorang perwira Prancis yang baik hati, Rene Monteaux. Monteaux bersedia mengadopsi adik perempuan Charles. Charles sendiri diambil oleh ayahnya. 

Ketika ibunya pergi ke Prancis karena Monteaux dipindahkan ke tanah airnya, Charles ikut. Umurnya saat itu delapan tahun. Sebagai anak Sobhraj ia tidak kekurangan. Namun di Marseille, Prancis, ia harus hidup sesuai dengan penghasilan kecil yang diperoleh Monteaux. Apalagi ibunya, Simone, mempunyai beberapa anak dari Monteaux. 

Charles ingin kembali ke Saigon sampai mencoba menyelundup dengan kapal dua kali. Akhirnya, ayahnya setuju ia datang ke Saigon. Ketika itu awal tahun '60-an. Umur Charles 18 tahun. Ia tidak betah dan meminta ibunya mengirim ongkos untuk kembali ke Marseille. 

Di Prancis ia hanya mendapat izin tinggal sementara dan tidak mendapat izin bekerja, sehingga tidak bisa mendapat pekerjaan tetap. Karena ingin hidup mewah, ia segera terlibat berbagai kejahatan. Akibatnya, dua kali ia masuk penjara. 

Di penjara ia bertemu dengan seorang sosiawan yang kerjanya mengunjungi narapidana. Sosiawan itu, Xavier Sailly, merasa simpati pada pemuda itu yang dianggapnya merupakan korban keadaan. Berkat usaha Sailly itu Charles mendapat kewarganegaraan Prancis. 

Kemudian ia hidup bersama dan menikah dengan gadis Prancis bernama Francoise Gilet, tanpa restu orang tua si gadis. Sobhraj, ayah Charles, pernah datang mengunjungi mereka sekali. Ia kecewa dan putus asa melihat anaknya yang terlibat cek kosong di mana-mana. Kemudian Charles dan istrinya pergi ke Bombay, menghindari kejaran yang berwajib. Di sini lahir putri mereka, Asha, yang kemudian dikirim ke orang tua istrinya di Prancis. 

Pada masa inilah Charles berbuat kejahatan dengan memakai nama Pierre Boucher. Setelah kabur dari rumah sakit, ia dan Francoise pergi ke Kabul di Afghanistan. Mereka dijebloskan ke penjara di sana. Orang tua Francoise dengan susah payah mengumpulkan uang untuk menebus putri mereka dari penjara. Yang keluar ternyata Charles, istrinya tetap meringkuk di dalam. 

Dengan paspor palsu Charles kabur ke Prancis, tetapi tertangkap. Ia pun bercerai dari istrinya, yang kemudian kawin dan hidup di AS bersama putri mereka. Charles Gurmukh Sobhraj diadili bulan Agustus 1978 di New Delhi, tetapi hanya untuk kematian Louis Chabrier. Ia hanya dijatuhi hukuman penjara tujuh tahun. Teman-temannya dibebaskan. 

Ia naik banding dan malah dibebaskan, karena Louis Chabrier itu pecandu obat bius dan dokter yang melakukan pemeriksaan mayat tidak bisa membuktikan apakah Chabrier dibius atau membius diri sampai mati. 

Untuk perkara perampokan permata di Ashoka Hotel, Charles Shobraj dikenai 5 tahun penjara. Ia masih mendapat tambahan hukuman, karena kabur dari rumah sakit dan mencoba membius turis-turis di Vikram Hotel. 

Letkol Sompol dan kepala imigrasi Thailand merundingkan ekstradisi dengan India, karena mengharapkan Sobhraj bisa diadili di Bangkok. Ketika itu antara India dan Thailand belum ada perjanjian ekstradisi. 

Xavier Sailly, sosiawan Prancis yang dulu membantu Charles Sobhraj mendapat kewarganegaraan Prancis, sekali ini pun membelanya. Ia berusaha agar Charles dapat mengklaim kewarganegaraan Indianya lewat ayahnya. Kalau berhasil, katanya, India akan menolak mengekstradisinya ke Thailand maupun ke negara-negara lain. 

Catatan: Tanggal 16 Maret 1985 Sobhraj kabur dari Penjara Tihar di New Delhi bersama enam narapidana lain. Mereka membius para sipir. Baru tanggal 6 April tahun berikutnya polisi India berhasil menangkap kembali pembunuh licin ini. Pertengahan tahun '90-an ia sudah menghirup udara bebas setelah menjalani hukuman.

(Noel Barber)

 

" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304286/3-korbannya-kelahiran-indonesia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265046000) } } }