array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3834056"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/28/104-menggulung-komplotan-heroin-20230728053734.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(125) "Sepasang kekasih dari Amerika ditangkap karena menjual obat bius heroin. Polisi sampai harus menyamar sebagai pedagang gelap."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/28/104-menggulung-komplotan-heroin-20230728053734.jpg"
      ["title"]=>
      string(57) "Menggulung Komplotan Heroin dari New York sampai Istanbul"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-07-28 17:37:43"
      ["content"]=>
      string(24168) "

Intisari Plus - Sepasang kekasih dari Amerika ditangkap karena menjual obat bius heroin. Polisi sampai harus menyamar sebagai pedagang gelap dan harus mengimpor heroin sendiri.

----------

Kisahnya bermula di Los Angeles. Tanggal 11 Januari 1965 seorang warga negara Amerika bernama Louis Berteloni dan pacarnya Sheila Ann Greenlee, ditangkap karena kedapatan menjual obat bius jenis heroin. 

Pemeriksaan oleh polisi membuktikan bahwa Sheila Greenlee selama bulan-bulan terakhir seringkali mondar-mandir ke Detroit. Gadis itu memang lama tinggal di kota terakhir ini. Ia anak perempuan seorang imigran Arab. Umur 18 tahun Sheila pindah ke Los Angeles. Sementara itu orang tuanya sudah meninggal dan Sheila sudah tidak punya sanak saudara lagi di Detroit.

Lalu siapa yang dikunjungi gadis itu dalam perjalanan berkali-kali ke kota tersebut? Mungkin agen-agen kecil obat bius? Polisi Bagian Narkotika bertekad membekuk mata rantai mata rantai berikutnya dalam deretan pedagang-pedagang obat bius. Untuk itu mereka minta bantuan seorang spesialis obat bius, Buck Burhan.

Detektif ini berdarah Timur, lancar berbahasa Turki dan Arab disamping fasih pula bahasa Perancis dan Spanyol. Maka ia dianggap orang yang paling tepat untuk pekerjaan pengusutan yang mungkin memerlukan pergaulan erat dengan berbagai pendatang asing.

Bagi “B.B.” — demikian Buck Burhan biasa disebut oleh rekan-rekannya — bukan tugas sederhana menemukan relasi Sheila di antara 2 juta penduduk Detroit. Sementara itu polisi berhasil menemukan sedikit madat (opium) pada salah satu kenalan Louis Berteloni yang bernama Chris Forbes. Madat dikirim ke laboratorium untuk diteliti bagaimana perbandingan bahan-bahan yang disebut alkaloide di dalamnya — yaitu codein, morfin, narkotin dan thebain. Dari susunan alkaloide itu bisa ditarik kesimpulan dari mana asal madat, dari Asia ataukah Amerika.

Mengenai madat yang ditemukan pada Chris Forbes, jelas bahwa itu berasal dari Timur Dekat. Mungkin sekali obat bius  itu masuk Amerika lewat orang-orang Arab, kenalan dan sahabat Sheila Greenlee di Detroit.

Di ibukota industri mobil di dunia itu terdapat 470.000 buruh, di antaranya 13.000 orang adalah imigran-imigran dari Timur Dekat yang masuk Amerika Serikat sesudah perang dunia. Hampir semua imigran-imigran ini tinggal di bagian kota yang disebut perkampungan Armenia. Buck Burhan menyewa sebuah kamar di daerah itu. Dengan menjelajahi restoran-restoran sekitar, segera ia memperoleh gambaran tentang orang-orang yang perlu ia amati.

B.B. berusaha mendapat kepercayaan mereka dengan berlagak sebagai pedagang gelap penadah barang-barang curian, dengan sikapnya yang ramah dan pemurah, serta dengan kepandaiannya berbahasa Arab dan Turki.

Setelah beberapa waktu, Burhan melihat bahwa kenalan-kenalan yang menurut dugaannya adalah pecandu-pecandu obat bius, kerap kali keluar masuk sebuah toko kecil milik seorang Arab bernama Hussein Haider. Pada suatu hari salah seorang kenalan itu membuang secuil kertas, rupanya bekas pembungkus. Secara diam-diam Burhan memungut kertas itu. Ternyata ada sisa-sisa heroin.

Melalui salah seorang kenalannya, seorang pecandu obat bius yang sering ditolongnya (kenalan ini, seperti umumnya para pecandu obat bius, selalu kekurangan uang). Burhan berhasil berkenalan dengan Hussein Haider dan beli heroin darinya.

“Saya perlu heroin, bukan untuk saya sendiri, tapi untuk pacar saya di Chicago”, kata B.B. yang di perkampungan Armenia itu sudah dikenal sebagai orang yang punya banyak sahabat di kalangan dunia bawah tanah Chicago. “Pacar saya lebih mudah saya dekati bila saya membawa “stuff” itu”, Burhan menambahkan. Selanjutnya B.B. menyatakan ingin mencoba-coba menjadi pengedar. Hussein Haider hati-hati, karena ia tahu benar risiko-risiko usahanya. Tapi tawaran B.B. terlalu menarik untuk ditolaknya.

Burhan bayar tunai, lalu pergi ke Chicago. Beberapa hari kemudian ia kembali lagi di toko Hussein. “Tak mengira, akan laku demikian cepat”, katanya antusias. “Dapatkah saya beli lebih banyak?”

Demikianlah jual beli antara Burhan dan Hussein berlangsung selama beberapa waktu, hingga menjengkelkan kasir Kepolisian Bagian Narkotika yang harus mengeluarkan uang begitu banyak. “Buset, kenapa kita mesti menghidupi gengster-gengster itu!”, ia mengumpat.

Tapi B.B. yakin bahwa ini satu-satunya jalan untuk berhasil ia tahu betul sikap hati-hati dan penuh kecurigaan para pedagang obat bius. Syarat mutlak untuk dapat masuk lebih dalam di lingkungan mereka ialah menanamkan keyakinan, bahwa ia adalah seorang “langganan yang baik”.

Burhan berlagak “makin laris”. Dan pada suatu saat minta kepada Hussein heroin dalam jumlah yang pasti tidak akan dapat dipenuhi oleh pedagang gelap itu. Hussein minta waktu untuk membicarakan soalnya dengan seorang relasinya. Mulai saat itu gerak-gerik Hussein selalu diawasi oleh polisi. Telepon dan korespondensinya dibayangi terus menerus.

Hari berikutnya pedagang obat bius itu pergi ke Washington, di stasiun telepon seseorang, lalu naik taksi. Ia masuk sebuah restoran yang bernama “Hubbard House”. Tak lama kemudian masuk orang lain juga orang Timur. Berdua mereka omong-omong kesemuanya itu diamati oleh polisi dengan teropong dari sebuah gedung di seberang jalan.

Kenalan Hussein Haider kemudian memberikan sebuah amplop kepada pedagang obat bius dari Detroit ini. Lalu pergi. Ia terus dibuntuti. Ternyata orang ini tidak bertempat tinggal di Washington. Ia terbang kembali ke New York. Menurut daftar penumpang kapal terbang, ia bernama Hassib Hamel.

Penguntitan selanjutnya memberikan hasil berikut, Hassib Hamel tinggal di Brooklyn. Ia mempunyai sebuah toko yang menjual barang-barang keperluan pelaut dan kapal-kapal kecil. Letak toko itu tak jauh dari tempat perbaikan kapal-kapal. Pandai juga orang ini menyamar, pikir Burhan setelah mendapat laporan ini dari rekan-rekannya di New York. Pengawasan terhadap Hassib Hamel makin diperketat.

Buck Burhan kini terbang kembali ke Detroit untuk menemui Hussein Haider.

“Permintaanmu sudah saya bicarakan dengan teman saya”, Hussein melapor. “Karena kau secara teratur memerlukan heroin dalam jumlah banyak, risiko transportasi bagi kami terlalu berbahaya. Baru saja salah seorang anggota kami tertangkap ketika memasukkan heroin. Itu bukan saja kerugian finansial. Yang lebih kami takutkan ialah bila ia sampai membocorkan rahasia”.

Orang yang tertangkap yang dimaksudkan oleh Hussein Haider adalah Martin Forbes. Burhan tahu Martin Forbes ini dan ia merasa lega mendengar dari Hussein, bahwa Martin termasuk komplotannya.

Karena takut akan risikonya, maka akhirnya Hussein Haider menyarankan kepada Burhan agar mengimpor sendiri heroin. Mendengar tawaran ini, Burhan pura-pura kecewa dan ragu-ragu. Sebab kecuali banyak risiko, mengimpor sendiri juga berarti harus mengeluarkan biaya-biaya ekstra, katanya. “Jika saya mesti mengimpornya sendiri, tentu saja saya tidak dapat membeli dengan harga yang kita sepakati sejauh ini”.

“Tentu saja”, jawab Hussein. “Tapi kami juga ingin mendapat keuntungan pula sekedarnya. Dan yang lebih penting lagi kami  menginginkan jangan sampai hubungan perdagangan kita terputus”.

Kini tak boleh terjadi salah langkah, pikir Burhan. Seluruh hasil susah payahnya tergantung dari tindakannya saat ini.

“Bukan maksud saya untuk memotong perdaganganmu. Kalau kau setuju, saya bersedia memberikan semacam uang jaminan”, Burhan menjawab.

Sambil mengangkat tangannya, Hussein berkata: “Oh, untuk sementara ini tidak perlu, apabila segala sesuatu berjalan dengan baik. Saya terpaksa membicarakan soal ini hanya karena saya memang diinstruksikan berbuat demikian”.

Hussein Haider merogoh sakunya, lalu mengeluarkan sebuah amplop. Isinya ia keluarkan selembar sobekan kertas berwarna hijau yang ditandai dengan garis-garis dengan cara khas. “Lihat, kertas ini dengan sengaja disobek menurut garis yang tidak teratur. Sobekannya yang cocok dengan sobekan ini, berada di tangan seorang penghubung kami di Izmir. Kau dapat menemuinya di hotel Ephesus, di bangsal penerimaan tamu, menjelang jam 10 pagi. Isyarat-isyarat pengenalnya: orang itu akan duduk pada sebuah meja. Di atas meja itu terletak sebuah amplop besar berwarna coklat dan sebuah buku merah. Tunjukkan kepadanya sobekan kertas ini. Selanjutnya kau dapat memulai perundingan.

Sudah sehari sebelum tanggal yang ditentukan (sayang, sumber tulisan ini tidak menyebutkan secara tepat tanggal itu — redaksi). Buck Burhan sudah tiba di hotel Ephesus di Izmir. Hari pertama di hotel yang mewah ini, dilewatkan Burhan di kolam renang untuk mengasokan badannya yang letih karena penerbangan. Hari berikutnya, tepat jam 10 pagi itu memasuki bangsal penerimaan tamu. Orang yang dimaksudkan oleh Hussein Haider, telah menunggunya, duduk di sebuah sudut, di atas meja di hadapannya terletak amplop coklat dan sebuah buku merah.

Burhan menghampirinya, pura-pura cari tempat, duduk. Dikeluarkannya amplop pemberian Hussein dari sakunya. Lalu ia letakkan di atas meja, demikian rupa hingga sobekan kertas hijau sedikit menonjol keluar dari amplop.

Orang itu segera menanggapi isyarat Burhan. Ia mengeluarkan sobekan kertas hijau dari buku merahnya dan menyodorkan kertas itu kepada Burhan. “Ini persis cocok dengan sobekan itu”, katanya dalam bahasa Perancis, “Silahkan mengontrolnya”.

Burhan mencocokkan sobekan kertasnya dengan sobekan yang diberikan orang itu. Memang ternyata persis cocok. “Masih capai?”, orang itu melanjutkan. “Anda tiba di sini kemarin, bukan?”

Jadi saya sudah diamati sejak kemarin, pikir Burhan mendengar pertanyaan itu. Untung sejak kedatangannya, ia belum pernah berusaha menghubungi pihak kepolisian. Memang para pedagang obat bius amat hati-hati sekali dan dalam segala tingkah laku mereka tak pernah melupakan tindakan-tindakan pengamanan.

“Apa dan berapa banyak yang anda perlukan?”

“Yang paling kami perlukan di Amerika Serikat adalah heroin. Berapa  saja banyaknya, saya mau”, jawab Burhan sambil memegang tasnya, seolah-olah ia sudah siap membayar tunai pada saat itu juga.

“Sayang, saya tak punya heroin. Hanya ada opium. Tapi di Istanbul kami punya sebuah laboratorium untuk mengolah heroin dari opium. Saya kira, lebih baik Anda langsung ke sana saja”.

“Harus bepergian lagi”, Burhan pura-pura mengeluh dengah nada jengkel. Dalam hati tentu ia gembira sekali  dapat menerobos lagi lebih jauh ke dalam jaringan komplotan ini. 

Barangkali pertemuan antara Burhan dan “petugas penghubung” di hotel Ephesus di Izmir itu, oleh pihak gangster hanya dimaksud sebagai tindakan pengamanan. Yaitu untuk sekali lagi menguji, apakah Burhan bukan orang yang membahayakan.

Tapi, walaupun sudah sangat hati-hati, ada satu hal yang tidak diketahui oleh komplotan internasional obat bius ini. Yaitu, bahwa seorang rekan detektif dari Bagian Narkotika diam-diam mendampingi Burhan. Rekan itu sudah tiba di Izmir beberapa hari sebelum Burhan sendiri datang di kota ini dan sudah menghubungi polisi Turki. Secara diam-diam rekan itu telah pula berhasil memotret orang yang bercakap-cakap dengan Burhan di bangsal penerimaan tamu di hotel Ephesus. Orang misterius itu bernama Munib el Gurayeb, seorang warga negara Libanon yang tinggal di kota Beirut.

Di hotel Ephesus Gurayeb memberikan instruksi berikut kepada Burhan. Hari berikutnya Burhan harus terbang ke Istanbul, mengunjungi sebuah cafe kecil di jalan Sahaflar dan di situ bestel nescafe (minuman dari sari kopi). Di situ seseorang akan menemuinya. Sebagai isyarat Gurayeb memberikan kartu hotel Ephesus yang kata-katanya ada dua patah yang ia coret.

Keesokan harinya detektif itu terbang ke Istanbul. Ia menginap di hotel Divan. Cafe termaksud tanpa banyak kesukaran ia temukan. Untuk masuk ke dalam cafe tersebut Burhan harus menaiki sebuah tangga sempit. Sesuai dengan perjanjian, ia pesan nescafe. Tak lama kemudian seorang Iaki-laki umur 50-an menghampiri.

“Tuan mempunyai tanda pengenal?”, orang itu langsung bertanya, Burhan mengeluarkan kartu hotel yang telah disetujui sebagai isyarat.

“Beres”, kata orang itu setelah mengamati kartu tersebut. “Mari ikuti saya”.

Berdua mereka keluar cafe, masuk gang-gang yang berliku-liku dan penuh pedagang yang menjajakan jualannya. Burhan berpikir, jangan-jangan rekan-rekannya polisi Turki bagian narkotik tidak dapat mengikutinya. Apalagi karena penuntunnya tiap kali menerobos pintu-pintu sempit untuk menempuh jalan terdekat ke deretan-deretan tempat berjualan lainnya.

Spontan tangan kanan Burhan merogoh saku kanannya untuk meraba pemancar mini yang selalu menemaninya. Dalam keadaan darurat ia dapat memanfaatkan alat itu, dengan menekan tombol kontak yang tersembunyi di dalam sakunya sebelah kiri. Alat itu dapat menyampaikan isyarat-isyarat yang tak dapat terdengar kepada rekan-rekannya hingga mereka dapat mengetahui di mana Burhan berada pada saat itu.

Sekali lagi Burhan dan penuntunnya sampai pada sebuah pintu. Mereka harus menuruni tangga, melewati sebuah gang untuk kemudian menaiki lagi beberapa anak tangga. Sampailah mereka di pinggir sebuah mobil. “Silahkan masuk” kata penuntunnya sambil membukakan pintu. 

Saat yang baik ini digunakan pemancarnya. Mudah-mudahan rekan-rekannya dapat mengetahui posisinya dan mengikutinya.

Dengan kecepatan yang tinggi sekali, mobil mengebut lewat jalan-jalan simpang menuju ke jembatan Attaturk. Setelah melewat beberapa jalan kecil, mobil berhenti didepan bangunan yang mirip sebuah gudang.

“Kita mesti ganti mobil. Yang ini agaknya kurang beres”, kata penuntunnya, Burhan tahu bahwa kata-kata ini tidak benar. Ia menduga bahwa pergantian mobil hanya dimaksud oleh komplotan sebagai tindakan pengamanan.

Dan ternyata, bahwa dengan mobil baru ini, penuntunnya membawa Burhan kembali ke Bosporus. Kendaraan meluncur dengan cepatnya. Mereka kini harus melintasi lagi jembatan Galata. Lalu lintas amat ramai hingga jalan macet. Setapak demi setapak mobil maju. Tiba-tiba Burhan melihat rekan-rekannya polisi Turki. Tentu saja Burhan tak mau memperhatikan mereka. Ia pura-pura memandang kejurusan sebuah truk yang maju selangkah lagi setelah lama macet.

Burhan kini merasa lega karena ia tahu pasti bahwa rekan polisi Turki tak kehilangan jejaknya, dan terus mengikutinya.

Mobil yang ditumpangi Burhan kini belok kanan, menuju “Pintu Gerbang Indah”. Setelah melewati gapura ini, Burhan dan penuntunnya sampai di jalan yang menuju ke Laut Marmora. Pengemudi mempercepat jalannya mobil.

Sepanjang jalan, tiap-tiap kali terlihat papan penunjuk jalan dengan kata Edenir. Bukankah ini kota kecil di perbatasan Bulgaria, Burhan berpikir.

Tapi pada suatu ketika, yaitu di belakang sebuah perkemahan militer, mobil ternyata belok kiri dan mengambil jalan simpang.

Tak lama kemudian laut kelihatan. Jalan makin lama makin jelek. Akhirnya di tengah padang sepi, mobil masuk jalan kecil yang langsung menuju pantai.

Mereka menunjuk ke sebuah  vila yang letaknya terpencil dan dikelilingi oleh tembok tinggi. Sejauh mata memandang tak kelihatan perumahan. Sekeliling yang tampak hanya padang tandus. Dekat bangunan vila tampak sebuah menara rupanya tempat penyimpanan air.

Mobil masuk pintu gerbang. Pada saat itu Burhan melihat bahwa di atas menara air ada orang berdiri dengan sebuah teropong. Rupanya menara air itu juga berfungsi sebagai tempat pengamat, untuk mengawasi keadaan sekeliling. Burhan teringat pada rekan-rekannya. Bagaimana mungkin mereka bisa mendekat tanpa diketahui penjaga menara. Padahal menurut rencana mereka akan menggerebeg pusat organisasi gelap ini.

Begitu mobil masuk halaman vila, pintu gerbang ditutup. Burhan merasa seperti seekor tikus yang masuk perangkap.

Detektif itu dibawa ke sebuah kamar besar yang mirip sebuah kantor. Sepanjang dinding tampak almari-almari dengan laci-laci dan rak-rak penuh ordner. Rupanya organisasi penjual obat bius ini bekerja rapi seperti suatu perusahaan dagang.

Di belakang sebuah media tulis duduk seorang laki-laki pendek tegap, kira-kira umur 50 tahun. Begitu melihat Burhan datang, orang itu segera berdiri dan melangkah maju untuk menyambutnya. “Amir”, orang itu memperkenalkan diri, sambil mempersilahkan Burhan mengambil tempat di kursi di depan meja tulisnya.

Lama lelaki itu memandangi Burhan, seolah-olah ingin menjajaginya dalam-dalam sebelum memulai pembicaraan bisnis. Burhan pun diam. Inilah otak komplotan perdagangan obat bius yang selama berbulan-bulan dicari.

“Saya menerima laporan, bahwa tuan bermaksud beli heroin dalam jumlah banyak. Tuan dapat beli 50 kilo, tentu saja harus bayar tunai. Harganya......”.

Kalimat ini belum terselesaikan, tiba-tiba telepon di mejanya berdering. Amir mengangkat gagang telepon dan mendadak mukanya menjadi tegang. Lalu pemimpin komplotan itu menjulurkan tangannya hendak menarik laci kanan media tulisnya. Cepat-cepat Burhan meloncat sambil menarik pestolnya. “jangan bergerak”, detektif itu berteriak sambil menodongkan moncong pistolnya. 

Burhan mengambil tindakan ini  karena secara insting ia menduga apa yang terjadi: Penjaga menara melihat polisi datang dan langsung menelepon Amir tentang bahaya yang mengancamnya.

Ada kemungkinan kini akan masuk seorang atau beberapa anggota komplotan untuk menyelamatkan pemimpin mereka. Burhan bersiap-siap menghadapi bahaya ini dengan mengambil posisi yang paling menguntungkan baginya, yaitu di belakang Amir dengan punggung membelakangi tembok. Dalam posisi ini ia dapat pula mengawasi pintu kamar dan melihat siapa yang masuk.

Dalam keadaan gawat ini, Burhan menekan tombol khusus pemancar hingga alat ini terus menerus memberikan isyarat. Ini berarti, bahwa rekan-rekanya harus secepat mungkin datang dan bahwa Burhan terancam bahaya maut.

Anak buah Amir membunyikan tanda bahaya. Sirene meraung-raung. Kemudian terdengar tembak-menembak. Tapi tak seorang pun datang untuk memberi pertolongan kepada Amir. Apakah  anak buahnya mengira bahwa pemimpin mereka sudah lolos?

Tembak-menembak di luar makin gencar. Burhan tegang menunggu. Dalam keadaan ini detektif itu hanya bisa bertekad untuk menjual nyawanya semahal mungkin.

Terdengar langkah-langkah kaki mendekat. Burhan siap menembakkan pistolnya. Pintu dibuka dengari kasar. Dan Burhan mendengar namanya dipanggil: “Burhan, di mana kau? Ternyata suara rekannya sendiri. 

“Masuk! Semuanya, sudah beres”. Burhan menjawab singkat.

Demikian pemimpin perdagangan gelap obat bius ini berhasil diringkus. Ternyata “Amir” adalah nama samaran. Namanya yang sebenarnya Abdullah Ozyrek. Vilanya digeledah dan ditemukan 320 kg opium dan heroin, laboratorium pengolah heroin, di ruang yang terletak di bawah.

Di Turki, perdagangan obat bius dilarang dan sangsinya bisa berupa hukuman mati. Untuk menyelamatkan jiwanya, Ozyrek bersedia buka mulut dan menyingkapkan rahasia-rahasia organisasi gelapnya. Maka seluruh jaringan komplotan gengster di Iran, Prancis, Italia dan beberapa negara lain dapat digulung. 

Ozyrek juga mengakui, bahwa beberapa kali sebelum penangkapannya, ia mengirim heroin ke New York untuk Hassib Hamel. Obat bius selundupan ini berhasil disita di tempat dok-dok di Hudson.

Operasi ini oleh Buck Burhan diatur secara cermat. Sehari sebelum kapal muatan tiba, detektif itu sudah sampai ditempat tujuan kapal. Demikian Buck Burhan Berhasil menangkap basah Hassib Hamel tepat pada waktu ia sedang menerima kiriman heroin dari Abdullah Ozyrek.

(Hanns Walther)

Baca Juga: Suatu Tragedi Keluarga

 

" ["url"]=> string(102) "https://plus.intisari.grid.id/read/553834056/menggulung-komplotan-heroin-dari-new-york-sampai-istanbul" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1690565863000) } } }