array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3400653"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/dikenali-dari-suaranya_will-pate-20220803020733.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(150) "Sebuah kasus penculikan anak terjadi di Jepang sulit diungkap. Petunjuknya, sebelum hilang anak itu sempat bercakap-cakap dengan orang asing di taman."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/dikenali-dari-suaranya_will-pate-20220803020733.jpg"
      ["title"]=>
      string(22) "Dikenali dari Suaranya"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-03 14:08:03"
      ["content"]=>
      string(23074) "

Intisari Plus - Sebuah kasus penculikan anak terjadi di Jepang sulit diungkap. Petunjuknya, sebelum hilang anak itu sempat bercakap-cakap dengan orang asing di taman.

-------------------

Sore itu, 31 Maret 1963, angin bertiup pelan. Semilirnya menyejukkan badan. Seorang anak laki-laki berusia empat tahun, Murakoshi Yoshinobu, tampak asyik bermain di sebuah taman yang terletak tak jauh dari rumahnya, di Taito Ward, Tokyo, Jepang. Keasyikan seorang bocah, yang tak menyadari, nun jauh di sana, sepasang mata mengawasi, menanti kesempatan untuk merenggut keceriaan masa kecilnya.

Murakoshi sudah biasa bermain di taman yang memang disediakan untuk warga sekitar. Sebuah taman kecil yang berhimpitan dengan blok-blok rumah warga, toko-toko, dan gedung-gedung beton. Saking seringnya bermain di taman itu, apalagi biasanya ditemani anak-anak tetangga, membuat orang tua Murakoshi merasa aman, sehingga menganggap tak perlu lagi mengawasi anaknya.

Makanya, sang Ayah, Yoshinobu, kontraktor berusia 34 tahun, tak pernah tahu kalau saat itu, anaknya tiba-tiba dihampiri orang tak dikenal. Yoshinobu juga tak tahu, orang asing itu bahkan sempat mengajak Murakoshi bercakap-cakap, bercanda sebentar, berjalan-jalan di sekitar taman, sebelum akhirnya raib entah ke mana. Bujukan macam apa yang dikeluarkan si Orang Asing, sehingga Murakoshi merurut saja diajak pergi menjauhi tempat tinggalnya. 

Orang tua Murakoshi baru sadar, sesuatu yang kurang beres terjadi pada anaknya, ketika sampai menjelang pukul 18.00, putra pertama mereka itu tak kunjung pulang. Padahal biasanya, Murakoshi selalu pulang jauh sebelum pukul 18.00 tiba, dengan perut lapar tentunya. Dibantu para kerabat dan tetangga, Yoshinobu mencoba menemukan Murakoshi dengan menyisir daerah sekitar taman. Namun, hasilnya nihil.

Bingung dan khawatir, pada pukul 19.00, mereka akhirnya mendatangi kantor polisi terdekat, persisnya kantor polisi Higashi Iriya, Tokyo. Mereka melaporkan hilangnya Murakoshi. Begitu sarat emosi, istri Yoshinobu, Toyoko, ibu muda yang baru berusia 28 tahun, bercerita kepada polisi yang mencatat laporannya. "Taman tempat dia bermain itu letaknya di seberang jalan, Pak, persis di depan rumah kami. Selama ini saya tak pernah khawatir ia bermain di sana. Karena memang tak pernah ada kejadian apa-apa," Toyoko meradang.

Polisi terpaksa harus menenangkan Toyoko. Yah, untuk sementara, memang hanya itu yang bisa mereka lakukan. Karena mereka belum bisa memastikan, kasus apa yang sebenarnya tengah mereka hadapi. Apakah pembunuhan, penculikan, atau si Anak sekadar mampir ke rumah temannya? "Mudah-mudahan bukan penculikan," timpal seorang petugas jaga kepada rekan detektifnya.

Semoga bukan penculikan. Sebab, dari 171 kasus pembekapan bocah bermotif uang tebusan yang dilaporkan di Jepang, pada tahun 1945 - 1993, 31 korbannya tewas dibunuh penculiknya. Statistik yang tentu saja membuat kecut hati para orang tua!

 

Titik terang Kikuo

Untuk memperjelas persoalan, polisi segera bergerak cepat. Setelah menanyai sejumlah saksi mata, yaitu para tetangga dan teman-teman Murakoshi, polisi mendapat informasi, si Anak Hilang itu terakhir kali terlihat bermain dengan Kikuo, temannya yang berusia lebih tua. 

Tanpa membuang waktu, sejumlah detektif mengejar keterangan Kikuo di rumahnya. Jawaban Kikuo sedikit memberi titik terang. 

"Memang benar. Tadinya kami bermain bersama. Tapi kemudian, ketika kami sedang mengisi pistol air Murakoshi, datang seorang laki-laki. Orang itu mengajak ngobrol Murakoshi. Karena sudah ada yang menemani, saya lalu meninggalkan mereka berdua," jawab Kikuo lancar.

"Kamu sempat mendengar pembicaraan mereka?" tanya seorang detektif. 

"Pria itu menegur duluan. Mereka ngobrol soal pistol-pistolan yang dipegang Murakoshi.”

“Hanya itu?" 

"Hanya itu yang saya tahu, karena saya langsung pergi," Kikuo mengangguk.

Polisi juga menanyai ciri-ciri pria asing yang membawa pergi Murakoshi. Menurut Kikuo, si Pria masih muda, tingginya sekitar 160 cm dan memakai jas parasut warna abu-abu. Hanya sampai di situ keterangan yang dapat dikorek polisi dari anak laki-laki yang tadinya diharapkan menjadi saksi kunci. 

Belakangan, ternyata masih ada lagi satu ciri fisik penting si Pria Asing yang luput dari perhatian Kikuo. Lelaki pembawa lari Murakoshi itu ternyata pincang.

Polisi juga mulai mencari motif, karena tampaknya kasus ini mengarah pada penculikan. Seorang detektif datang ke rumah Yoshinobu, menanyakan apakah pengusaha muda itu punya masalah di kantor. 

Baik dengan sesama teman kerja maupun rekan bisnis di luar perusahaan. Namun, sejauh ini belum ada nama yang dianggap pantas masuk daftar orang-orang yang dicurigai.

Agar pencarian berjalan efektif, polisi menyebarkan ciri-ciri Murakoshi, terutama saat terakhir kali meninggalkan rumah. Tingginya sekitar satu meter, dengan rambut dipotong pendek layaknya anak-anak kecil di Jepang saat itu. Di saat-saat terakhirnya, ia memakai sweater hitam, kaus oblong, dan celana panjang kuning setrip hitam abu-abu, kaus kaki biru tua, dan sepatu hitam.

Berdasarkan data, fakta, dan laporan yang masuk, dugaan polisi masih belum berubah: kasus hilangnya Murakoshi kemungkinan besar penculikan. Namun, polisi belum berani menyimpulkan secara resmi. Mereka terus menunggu kontak dari penculiknya.

 

Lolos jebakan polisi

Setelah beberapa hari tak ditemukan, kasus Murakoshi tak menjadi milik polisi dan warga sekitar. Sejumlah media cetak terbitan Tokyo ikut mengekspos kisah hilangnya bocah yang dikenal selalu ceria itu. Sejak pemberitaan gencar itu, seluruh Tokyo bak larut dalam lautan duka mendalam yang menimpa keluarga besar Yoshinobu.

Tanggal 3 April 1963, Maruyama Tasaku, ketua Asosiasi Pengacara Jepang, bahkan secara resmi menyampaikan permintaan kepada penculik, agar tak melanjutkan aksi kejinya. Seorang pejabat polisi, saat ditanya wartawan, juga menjanjikan "perlakuan khusus", jika penculik Murakoshi bersedia menyerahkan diri. Selain mereka berdua, masih banyak lagi "orang penting" yang ikut berbicara di media, mengimbau pembebasan Murakoshi. 

Esok harinya, poster Murakoshi mulai dicetak secara besar-besaran dan disebarkan ke seantero kota. Pihak keluarga berharap, gencarnya pemberitaan dan banyaknya poster yang disebarkan membuat hati si Penculik (jika memang benar Murakoshi diculik) luluh, sehingga tak melanjutkan niat jahatnya. Kadang, cara seperti ini lebih efektif ketimbang memburu langsung si penculik.

Contoh keberhasilannya sudah ada. Beberapa bulan sebelumnya, pemberitaan meluas di media massa seperti ini pernah terjadi pada kasus penculikan terhadap seorang anak perempuan. Bertubi-tubinya "hantaman" media massa, tampaknya membuat si Penculik stres, sehingga memutuskan "menyerah". la meninggalkan korbannya tak jauh dari sebuah stasiun rel bawah tanah Shinjuku.

Begitu juga dengan kasus pembekapan dengan tebusan Kim Min Soo, seorang bocah asal Korea Selatan di Chiba. Setelah diberitakan secara luas, kasus penculikan itu akhirnya berujung damai. Si Bocah pun kembali ke pangkuan orang tuanya dengan selamat, setelah sempat dibekap selama dua bulan. 

Apakah taktik serupa mempan untuk menekuk penculik Murakoshi? Tentu saja waktu yang akan membuktikan. Namun, setidaknya, ramainya pembicaraan tentang nasib bocah yang tengah menjadi "anak kesayangan" Tokyo itu membuat penculiknya tahu alamat dan nomor telepon keluarga korban. Alhasil, tanggal 6 April, telepon di rumah orang tua Murakoshi yang telah lama disadap polisi berdering.

Untuk pertama kalinya sejak dilaporkan raib, penculik Murakoshi menelepon, dan seperti diduga sebelumnya, meminta uang tebusan. Buat polisi, dering telepon itu sekaligus memastikan, mereka memang benar-benar berhadapan dengan penculik bocah. Salah satu pelaku tindak kriminal yang paling mereka benci. Orang dewasa yang memanfaatkan ketidakberdayaan bocah-bocah tak berdosa. 

“Anda membawa uangnya, 'kan?" bunyi suara di seberang sana. 

"Tentu, tentu, saya akan bawa uangnya," Yoshinobu agak gugup. 

"Tapi ingat, tidak ada orang lain. Anda harus sendirian." 

"Tidak masalah. Saya akan datang sendirian. Di mana harus diserahkan?" 

"Apa?" 

"Uangnya. Di mana harus saya serahkan?" ulang Yoshinobu. 

"Datanglah ke Jin. Showa Dori. Di ujung jalan, Anda akan melihat Sunagawa Motor Company."

"Maksud Anda, Shinagawa Motor?" 

"Ya, betul. Shinagawa. Ada lima truk yang diparkir di sana. Letakkan uangnya di truk ketiga dari depan. Sekali lagi saya ingatkan, sebaiknya Anda datang sendirian. Kalau tidak ...," si penculik mengancam. 

"Bagaimana kalau saya ditemani seorang anggota keluarga?" 

"Mmmm." 

"Dia akan jadi sopir saya. Bagaimana?" 

"Mmmmm." 

"Boleh 'kan?" 

"Okelah. Sampai nanti."

Menyadari pentingnya "transaksi" yang akan dilakukan, polisi langsung melakukan persiapan. Mereka menempatkan lusinan detektif berbaju preman di sekitar titik pertemuan. Sayangnya, meskipun rencana penyergapan yang mempertaruhkan nyawa bocah tak berdosa itu dipersiapkan dengan matang, hasilnya ternyata mengecewakan. Keteledoran kecil yang dilakukan kerabat sekaligus sopir Yosbinobu berdampak sangat besar. Pelaku penculikan lolos begitu saja dari jebakan polisi.

Sopir Yoshinobu salah memahami kode lambaian tangan yang dilakukan seorang perwira polisi. Tanda itu dianggapnya sebagai isyarat agar mengambil rute terdekat dan segera menyerahkan uang rebusan yang telah disiapkan, sesuai petunjuk penculik. Akibanya, polisi di lapangan tak lagi terkoordinasi, mereka bahkan baru sampai ke titik penyerahan uang tiga menit setelah tebusan ditaruh. Polisi mencoba menyisir lokasi kejadian tapi terlambat, karena si Penculik dan uang tebusan ¥ 500.000 telah kabur entah ke mana.

Kegagalan tadi jelas berimplikasi besar. Si Penculik menjadi orang yang benar-benar "beruntung". Uang didapat, sandera tetap di tangan. Tak ada yang bisa memperkirakan, bagaimana nasib bocah itu kini. Murakoshi yang malang, dia bisa saja kembali, tapi bisa juga tak akan pernah terlihat lagi.

 

Gagal berulang tahun

Sejak gagalnya "transaksi" penyelamatan Murakoshi, makin banyak pihak yang mengkhawatirkan nasib anak tak berdosa itu. Logikanya, jika si Penculik sudah mendapatkan semua yang diminta, buat apa lagi menyimpan sandera? Bukankah keberadaan si Bocah justru menjadi beban yang sangat merepotkan? Hanya ada dua pilihan yang dimiliki si penculik, melepaskan sandera atau membunuhnya. Nah, kemungkinan kedua inilah yang ditakutkan warga kota.

Di stasiun-stasiun kereta api bawah tanah, para kepala stasiun berinisiatif mengumandangkan himbauan agar si Penculik membebaskan Murakoshi. Himbauan yang disampaikan secara berkala itu menunjukkan keprihatinan mendalam masyarakat Tokyo atas raibnya Murakoshi. 

Berbagai tulisan tentang ibu kandung Murakoshi, Toyoko yang dicetak sejumlah media luas, terasa menyentuh. Dalam tulisan itu diceritakan, betapa Toyoko tak pernah bisa benar-benar tidur, sejak anaknya diculik.

"Saya berharap, Murakoshi dibebaskan sebelum ulang tahunnya yang kelima, 17 April nanti. Saya juga ingin membawanya ke festival anak, tanggal 5 Mei. Setiap tahun kami sekeluarga selalu ke sana," harap Toyoko, seperti dilansir sejumlah media cetak. 

Namun, permintaan Toyoko tampaknya hanya akan menjadi sekadar permintaan. Terbukti, sampai hari ulang tahunnya tiba, bahkan sampai festival anak selesai dilaksanakan, Murakoshi tak juga kembali ke rumah.

Di luar stasiun kereta api serta rumah keluarga, kerabat, dan tetangga, imbauan dan gerakan moral menuntut Murokashi di bebaskan pun makin sering terdengar. Berbagai LSM mendesak penculik agar tak menjadikan bocah tak berdosa sebagai tameng kejahatannya. Para politisi pun tak mau kalah, ikut bersuara. Total jenderal, tak kurang dari 700 ribu orang menjadi sukarelawan, sebagian besar bergerak secara tak resmi, membantu polisi mencari Murakoshi.

Namun, hari berlalu, bulan berganti, tahun pun bergulir, jejak si Penculik masih juga misterius. Untuk mengatasi kebuntuan, polisi bahkan memperbanyak dan menyebarkan rekaman percakapan telepon antara si Penculik dengan orang tua korban, ke stasiun-stasiun radio dan televisi. Rekaman itu menjadi bahan perbincangan menarik di media massa. 

Tujuan polisi, agar khalayak - berbekal kaset rekaman tadi - ikut memberi penilaian atau informasi yang langsung mengarah pada pelaku, mendapat sambutan luar biasa. Menurut para ahli bahasa, dialek si Penculik menunjukkan dia berasal dari Tohuku, sebuah daerah di utara Jepang. 

Dari rekaman suara itu terungkap pula, pelaku kerap menggunakan istilah-istilah yang berhubungan dengan dunia militer. Pelaku diperkirakan berusia sekitar 40-an tahun, bisa juga lebih.

Selain komentar, banyak juga telepon masuk ke kantor polisi, rata-rata menyatakan "sepertinya mengenal" orang yang suaranya mirip dengan suara penculik di kaset rekaman. Namun, setelah diselidiki lebih jauh, polisi belum atau tidak menemukan bukti-bukti keterlibatan orang-orang yang dilaporkan sebagai pemilik suara mirip penculik Murakoshi itu. 

Toh aparat penegak hukum tak pemah putus asa. Penyelidikan terus bergulir. Sampai akhirnya, tahun 1964, seiring peresmian kereta api cepat Shinkansen dan status Tokyo sebagai tuan rumah olimpiade, perhatian warga terhadap kasus Murakoshi mulai terpecah. Sepertinya, sulit buat polisi menemukan jalan keluar kasus ini. Bahkan hidup-mati Murakoshi pun tak diketahui.

Ajaibnya, justru ketika hampir semua melupakan tragedi yang menimpa anak kesayangan Yoshinobu, persisnya Juni 1965, dua tahun tiga bulan setelah kasus penculikan Murakoshi pertama kali dilaporkan, polisi mengumumkan keberhasilannya menemukan jejak tersangka penculikan. 

Hasil penyelidikan yang melibatkan 30 ribu polisi dan 13 ribu calon tersangka itu, menurut aparat penegak hukum, mulai mengerucut pada sebuah nama, Kohara Tamotsu.

Pria 32 tahun, yang sudah beberapa kali keluar-masuk penjara (termasuk tahun 1956, ketika dia ditahan karena pencurian, data yang dijadikan dasar penelusuran polisi) terakhir melakoni pekerjaan sebagai tukang servis jam tangan. 

Anak petani miskin yang memiliki 10 saudara itu, terserang penyakit tulang ketika duduk di kelas 5 SD, sehingga satu kakinya tak dapat berjalan normal. Umur 15, dia belajar teknik servis jam di Ishikawa, kota kecil tak jauh dari kampung halamannya.

Bosan tinggal di kampung, Kohara mengadu nasib di belantara Tokyo ketika menginjak usia 27 tahun. Dia mendapat pekerjaan sebagai tukang servis di sebuah toko jam, dengan gaji ¥ 24.000 per bulan. Gaji yang sebenarnya lumayan, tapi buat Kohara, uang sebesar itu tak sebanding dengan kebutuhan hidupnya di kota sebesar Tokyo.

Tak heran, dia meninggalkan banyak utang di mana-mana. Utang itu makin lama makin menumpuk, sehingga kadang harus dilunasinya dengan melakukan tindak kejahatan. Sebelum terlibat kasus penculikan Murakoshi, setidaknya Kohara telah lima kali ditangkap aparat kepolisian, dua kali di antaranya membuat penjahat kambuhan ini masuk bui.

Polisi yakin, Kohara yang berasal dari utara Jepang (dialeknya cocok dengan dialek penculik hasil rekaman polisi) adalah pelaku sejati penculikan Murakoshi. Untuk lebih meyakinkan, polisi Jepang mengirim dua sampel rekaman suara ke Amerika Serikat untuk diperbandingkan. 

Sampel pertama berisi rekaman suara Kohara paling akhir, sedangkan sampel kedua, berisi rekaman suara penculik saat meminta uang tebusan di telepon beberapa tahun lalu.

Hasilnya, pas bin cocok. Dua suara yang diperbandingkan disimpulkan berasal dari satu sumber. Namun, meski telah didukung oleh bukti ilmu pengetahuan, polisi tetap mengharapkan pengakuan Kohara. Di Jepang pengakuan tersangka tetap menjadi dasar paling kuat untuk menjebloskan seseorang ke penjara. Apalagi jika tuduhannya tindak pidana berat.

Sialnya, dari hari ke hari, sikap Kohara justru makin menyebalkan. Dia kerap berpolah tidak kooperatif. Bahkan Kohara bersikukuh tak pernah melakukan penculikan seperti yang dituduhkan kepadanya. 

"Saat kejadian itu berlangsung, saya sedang ada di rumah," jawabnya mantap, meski alibinya itu tak didukung saksi mata. Untuk ukuran seorang penjahat, Kohara tergolong cerdas, walaupun kecerdasannya itu tampak nyata, lebih sering dimanfaatkan untuk menipu dan berbuat tidak jujur.

Guna membungkam kebandelan Kohara, polisi akhirnya merencanakan interogasi maraton, antara tanggal 3 Juli dan 4 juli 1965. Kohara didesak dengan berbagai pertanyaan, disajikan berbagai fakta, termasuk utang-utangnya yang langsung lunas pasca penculikan Murakoshi, atau alibinya yang dengan mudah dipatahkan karena tak didukung saksi mata. Kerja keras polisi akhirnya berbuah manis.

Dalam rasa lelahnya, Kohara mengaku. Dia mengaku menculik Murakoshi seorang diri, tanpa bantuan orang lain. Motifnya semata demi uang, lantaran terbelit utang yang menggunung. Ketika melihat Murakoshi di sebuah taman kecil, niat jahat langsung terbersit di hati Kohara. Setan membisikinya untuk membujuk bocah yang sedang bermain pistol air itu, mengajak ngobrol, lalu jalan-jalan menjauhi kawasan tempat tinggal Murakoshi.

Sekitar pukul 22.00 waktu setempat, mereka sampai di Kuil Entsuji, Minami Senju, Arakawa Ward, Tokyo. Namun, Kohara sebal, karena di perjalanan, Murakoshi terus-menerus merengek minta pulang. Karena tidak ingin mengundang perhatian orang banyak, Kohara memutuskan membungkam mulut Murakoshi, selamanya. 

Buah hati Yoshinobu itu dicekik sampai meninggal, di sebuah tempat sepi di lingkungan kuil. Mayatnya sempat disembunyikan di gudang, sebelum akhirnya dikuburkan di pekuburan belakang kuil.

Berdasarkan pengakuan Kohara, dini hari itu juga polisi langsung mengecek pekuburan di belakang Kuil Ensutji. Benar saja, mereka menemukan sisa tulang belulang Murakoshi, tak jauh dari batu nisan bertuliskan "Ikeda". Orang tua korban yang diberi tahu soal penemuan mayat anaknya tampak sangat terpukul. Tak lama kemudian, mereka mendatangi lokasi penemuan mayat. Harapan menjumpai Murakoshi dalam keadaan hidup pupus sudah.

"Ini benar sepatu Murakoshi?" tanya seorang polisi, di lokasi penggalian.

"Ya. Celananya juga," papar sang ayah pelan.

Setelah itu, suasana berubah hening. Tak ada kata-kata yang sanggup melukiskan kepedihan hati orang tua Murakoshi, polisi yang bertahun-tahun menyelidiki kasus ini, dan banyak orang yang masih menginginkan Murakoshi dapat kembali bermain dengan teman-teman sebayanya. Yang terdengar hanya bunyi denting pacul dan peralatan lain untuk menggali, saat terbentur batu-batu kerikil.

Kepedihan itu sedikit terobati ketika pada 1967, pengadilan memutuskan Kohara sangat layak dijatuhi hukuman mati. Di usia 38 tahun, tepatnya tanggal 23 Desember 1971, hidup Kohara berakhir di tiang gantungan di Kosuge, Tokyo. 

Satu hal yang menarik, Kohara ternyata mendapat ide untuk melakukan penculikan Murakoshi, ketika sedang menonton film di gedung bioskop. Ceritanya, 11 hari sebelum beraksi, ia berniat refreshing, menonton sebuah film yang baru saja dirilis, judulnya "High and Low", dibintangi Mifune Toshiro. Entah disengaja, entah kebetulan semata, cerita film itu ternyata berputar-putar soal penculikan bocah.






" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400653/dikenali-dari-suaranya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659535683000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3257630" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/kisah-keduabelas-miguel-a-amutio-20220428070523.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Sinyal penyerangan Jepang atas Pearl Harbor ternyata tak sengaja termuat di iklan. Seorang buronan polisi tertangkap gara-gara salah menelepon." ["section"]=> object(stdClass)#64 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Misteri" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "mystery" ["id"]=> int(1368) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Misteri" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/kisah-keduabelas-miguel-a-amutio-20220428070523.jpg" ["title"]=> string(43) "Reaktor Nuklir Irak dan Kebetulan yang Sial" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-29 10:11:56" ["content"]=> string(9293) "

Intisari Plus - Sinyal penyerangan Jepang atas Pearl Harbor ternyata tak sengaja termuat di iklan. Seorang buronan polisi tertangkap gara-gara salah menelepon. Pelat film yang sudah pernah dipakai, kembali didapatkannya setelah perang.

---------------------------------------

Reaktor Nuklir Irak

ROBERT Hutchenson sudah dua tahun menyusun sebuah cerita rekaan tentang Israel menyerang sebuah reaktor nuklir Irak. Tahun 1981, ketika ia masih dalam taraf menyelesaikan novel tersebut, kejadian itu benar-benar terjadi.

 

Suatu Kebetulan Besar

TANGGAL 22 November 1941, 16 hari sebelum Jepang menyerang Pearl Harbor, The New Yorker memasang dua iklan untuk permainan dadu yang baru, yang dinamai The Deadly Double (Ganda yang Mematikan). Salah satu dari iklan itu berjudul ACHTUNG. WARNING. ALERTE! (HATI-HATI! berturut-turut dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis). Di bawahnya tertulis kata-kata THE DEADLY DOUBLE, dan di bawahnya lagi ada elang berkepala dua (seperti lambang Jerman) dengan memakai perisai di dadanya yang menggambarkan dua silang (double-cross = memperdayakan). 

Iklan lain memperlihatkan dua dadu, satu hitam, satu putih, masing-masing kelihatan tiga permukaannya. Pada permukaan dadu putih tertulis angka 12 dan 24 dan dua silang. Pada permukaan dadu hitam tertulis angka 0, 5, dan 7. Di atas dadu-dadu itu kata-kata berhuruf besar, ACHTUNG, WARNING, ALERTE! diulang kembali. 

Setelah penyerangan atas Pearl Harbor, muncul banyak spekulasi. Ada yang mengira iklan-iklan itu dipasang oleh pihak Axis untuk memberi isyarat kepada agen-agen mereka: Angka 12 dan 7 bisa diartikan sebagai tanggal penyerangan atas Pearl Harbor (7 Desember), angka 5 dan 0 bisa menunjukkan waktu yang direncanakan untuk penyerangan, dan XX (20 dalam angka Romawi) bisa berarti letak sasaran kira-kira pada garis bujur, sedangkan arti angka 24 tidak diketahui. 

Begitu besar kecurigaan orang sampai agen-agen FBI mendatangi orang-orang yang memasang iklan itu, yaitu Roger Craig dan istrinya. 

Permainan Deadly Double disahkan oleh undang-undang dan dijual oleh beberapa toko serba ada di New York tahun 1941. Kecurigaan pemerintah dirahasiakan sampai 1967, ketika Ladislas Farago, yang pernah bekerja di dinas rahasia Angkatan Laut AS mengungkapkannya dalam pertemuan dengan wartawan saat peluncuran bukunya, The Broken Seal (Segel yang Dipecahkan). 

Ketika diwawancara oleh wartawan tidak lama setelah itu, janda Robert Craig berkata bahwa hubungan antara iklan-iklan itu dengan Pearl Harbor "hanyalah suatu kebetulan besar."

 

Mereka Hidup

SEORANG sersan polisi, Ron King, melaporkan bahwa pada tanggal 10 Juni 1982, ia mengalami kecelakaan hebat pukul 01.30 lewat tengah malam, saat mengemudikan sebuah Toyota Corolla. Beberapa tulang rusuknya patah dan bagian bawah dagunya cedera, meninggalkan bekas luka. 

Tanggal 10 Juni 1984 ('yep, pukul 01.30 tepat'), putranya, Peter, juga mengalami kecelakaan saat mengemudikan sebuah Toyota Corolla. Tulangnya tidak ada yang patah, tapi kecelakaan itu meninggalkan bekas luka di bawah dagunya. 

Kebetulan tidak berakhir di sini. Anak perempuan Ron Bang, terjatuh akhir 1986. Sekarang ia juga mempunyai bekas luka di bawah dagunya. Mereka berterima kasih karena masih hidup untuk menceritakan kisah ini.

 

Kebetulan yang Sial

OKTOBER 1979, Anthony William O'Sullivan melarikan diri dari penjara dan berhasil luput dari tangkapan selama berbulan-bulan. 

Suatu hari di bulan April tahun berikutnya, ia menelepon ke sebuah rumah dan ditangkap tidak lama kemudian. Ia menelepon saat polisi berada di rumah itu untuk mencari narkotik. Polisi yang mengangkat telepon menanyakan beberapa pertanyaan yang berkenaan dengan pribadi buronan itu, seperti umpamanya di mana ia sekarang, tanpa O'Sullivan menyadari bahwa ia berbicara dengan polisi.

 

Carl Jung Bercerita

CARL Jung bercerita perihal seorang ibu Jerman yang memotret bayi laki-lakinya sendiri tahun 1914. Wanita itu meninggalkan pelat film untuk sekali potret itu di Strasbourg, agar "dicuci". Namun PD I pecah sehingga ia tidak bisa kembali ke Strasbourg. 

Dua tahun kemudian, ia membeli sebuah pelat film di Frankfurt yang dipisahkan oleh jarak 160 km dari Strasbourg. Ia mempergunakannya untuk memotret anak perempuannya. Ketika pelat itu "dicuci", ternyata foto anak perempuannya tumpang tindih dengan foto bayi laki-lakinya yang dijepret lebih dulu. Rupanya pelat film itu diberi label belum dipakai dan dikirim ke Frankfurt, lalu dijual kepadanya. Mendapat laporan kasus-kasus seperti itu, tidak heran kalau Jung tetap terpesona.

 

Ketidaksepakatan Dua Ahli Tasawuf

DR. Lawrence LeShan adalah seorang psikolog yang banyak menulis tentang meditasi dan fenomena paranormal. Suratnya yang berikut ini diterbitkan oleh International Journal of Parapsychology (Jurnal Parapsikologi Internasional) tahun 1968: 

Pada hari pertama bulan Desember 1967, saya mengirimkan konsep naskah yang banyak hubungannya dengan tasawuf kepada seorang psikolog ternama, Dr. Nina Ridenour. Walaupun lebih dikenal berkat karya profesionalnya dalam bidang kesehatan mental, tetapi Dr. Ridenour juga pakar dalam tasawuf. 

Tanggal 11 Desember tengah hari, Dr. Ridenour dan saya bertemu untuk makan siang sambil mendiskusikan karya ilmiah saya. Saya mencatat berbagai komentar dan kritikannya selama diskusi. la terutama mengritik pengetahuan saya yang kurang memadai dalam tasawuf, yang tercermin pada naskah itu. Lalu ia menyarankan saya membaca sejumlah buku tentang hal itu. 

Saya mencatat daftar semua buku itu. Ia menyebutkan delapan buku, di antaranya karangan Nicoll, Stance, dan Ouspensky. Buku kelima yang disebut oleh Dr. Ridenour adalah karangan Byng, The Vision of Asia (Visi Asia). Saya ingat dengan jelas, setelah saya menuliskan nama pengarang dan judul buku itu, ia menambahkan: "Sebelum membacanya, kamu tidak akan memahami perbedaan antara tasawuf Timur dan Barat." 

Walaupun saya tidak menuliskan komentarnya yang satu itu, masih terngiang dengan jelas di telinga saya suaranya mengucapkan kata-kata itu, dan catatan saya berisi referensi dengan tanda centang di belakangnya. 

Komentar Dr. Ridenour mengesankan saya, karena perbedaan-perbedaan antara tasawuf Timur dan Barat sangat penting untuk gagasan yang saya coba selidiki. Akibatnya, selesai makan siang saya langsung pergi ke perpustakaan Parapsychology Foundation, untuk mencari buku-buku itu. Ternyata mereka tidak memilikinya. Dari yayasan itu saya langsung pergi ke perpustakaan Union Theological Seminary,untuk mencarinya, tetapi kembali tanpa hasil. 

Malam itu, dalam perjalanan pulang, saya terburu-buru karena sudah terlambat. Namun, tiba-tiba saya terdorong untuk melewati jalan yang belum pernah saya lalui, karena jaraknya kira-kira 50 langkah lebih panjang. 

Ketika berhenti sebentar di lampu lalu lintas dekat keranjang sampah, saya melihat sebuah buku tergeletak di tanah. Terdorong oleh rasa ingin tahu, saya membungkuk untuk memungutnya. Buku yang saya pegang itu berjudul The Vision of Asia dan nama penulisnya L. A. Cranmer-Byng 

Esok paginya, saya menelepon Dr. Ridenour dan berkata: "Saya mempunyai cerita lucu tentang buku yang Anda sarankan." Ia menjawab, "Buku yang mana?" "The Vision of Asia oleh Byng," kata saya. "Saya tidak pernah mendengar tentang buku itu," jawabnya. 

Dan di sinilah, seperti kata Kipling, terletak masalahnya. Dr. Ridenour adalah seorang yang serius dan sangat bertanggung jawab. la sangat jelas menyebutkan buku itu sebelum saya memberi tahu sudah menemukannya. Saya mendapat buku itu (buku dari perpustakaan oriental pada Columbia University yang disingkirkan tahun I960) dan catatan saya dibuat saat ia berbicara, termasuk referensi pada buku itu. 

Saya harus menyatakan bahwa saya tidak bisa mengklasifikasikan pengalaman ini pada kategori umum yang mana pun.



" ["url"]=> string(88) "https://plus.intisari.grid.id/read/553257630/reaktor-nuklir-irak-dan-kebetulan-yang-sial" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651227116000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246688" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/6_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420082412.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Richard Sorge, reporter surat kabar Jerman sekaligus mata-mata komunis, menjalani hidupnya hingga sampai ke lingkaran diplomatik tertinggi di Tokyo." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Histori" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Histori" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/6_thumbnail-intisariplus-sejarah-20220420082412.jpg" ["title"]=> string(30) "Terlahir untuk Kehidupan Ganda" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-24 16:45:31" ["content"]=> string(22974) "

Intisari Plus - Richard Sorge, reporter surat kabar Jerman sekaligus mata-mata komunis, menjalani hidupnya hingga sampai ke lingkaran diplomatik tertinggi di Tokyo.

---------------------------------------

Adakah mata-mata yang lebih licik dari Richard Sorge? Dikenal sebagai salah satu agen rahasia terbesar abad ke-20, dia menjalani kehidupan ganda sejak lahir. Ibunya seorang Rusia dan ayahnya seorang Jerman; dia dilahirkan di Baku, Rusia, tapi dibesarkan di Jerman.

Sorge adalah seorang anak Jerman dengan jiwa patriot yang tinggi, dan ketika Perang Dunia I terjadi, tahun 1914, dia meninggalkan sekolahnya dan menjadi tentara sukarelawan. Dia dikirim ke Front Utara tempatnya bertempur dengan gagah berani, dan menerima Iron Cross (tanda jasa tingkat pertama) untuk usahanya. Tapi dia juga mendapatkan. luka di kaki akibat pecahan peluru yang membuatnya pincang sepanjang sisa hidupnya.

Selama masa penyembuhan luka, dia kembali ke Berlin: Saat itu pandangan Sorge tentang dunia berubah. Dia kehilangan keyakinan terhadap patriotisme, dan tampaknya Sorge menemukan ideologi yang lebih cocok. Setelah membaca buku Karl Marx, dia yakin filosofi ini adalah jalan untuk menuju kesatuan dan kedamaian dunia. Melalui sebuah kebetulan yang mengherankan, ternyata ada hubungan keluarga—paman ayahnya ternyata pernah menjadi sekretaris pribadi Marx.

Setelah keluar dari rumah sakit, Sorge melanjutkan sekolahnya. Dia lulus dari University of Hamburg deng gelar Ph.D di bidang ilmu politik. Sekarang dia menjadi anggota komunis dan bekerja keras merekrut para pelajar untuk kepentingan politiknya. Namun, kepolisian Jerman yang mencurigainya sebagai mata-mata komunis berencana menangkapnya. Dengan berpura-pura akan memberikan informasi rahasia, Sorge terbang ke Moskwa. Tahun 1917, Rusia sudah menjadi negara komunis pertama dan mengganti namanya sendiri menjadi Uni Soviet. Pemimpin Rusia nyambut dan merekrutnya karena kepandaian serta ketekunannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan  Rusia. Mereka juga terpesona dan kagum ketika mengetahui hubungan keluarganya dengan Karl Marx, yang saat itu menjadi figur yang sangat dijunjung tinggi di negara itu. Di Moskwa, Sorge dilatih menjadi seorang mata-mata dan diajari bahasa Prancis, Rusia, dan Inggris. Selama sisa hidupnya, dia mengabdi pada negara asal ibunya dengan loyalitas dan ketaatan.

Sorge memulai tugasnya dengan dikirim untuk menjalankan misi sebagai mata-mata ke seluruh dunia. Misi yang paling sukses dikerjakannya adalah tugas selama empat tahun di sebuah pelabuhan di Shanghai, Tiongkok. Di situ dia mendapat pekerjaan sebagai seorang jurnalis freelance untuk sebuah surat kabar Jerman—penyamaran yang sangat cocok untuk seorang mata-mata. Uni Soviet sangat ingin menjadikan Tiongkok negara komunis, dan mereka memutuskan bahwa Shanghai, dengan jumlah penduduk pendatang yang besar, perkembangan industri yang pesat dan komunitas kriminal yang paling terkenal di dunia, akan menjadi titik awal yang paling bagus untuk mengadakan revolusi. 

Sorge bukanlah tipe pemalu dan tidak percaya diri. Dia bertubuh tinggi, berwajah garang, suka minum, dan sangat bebas dalam berpakaian serta bersikap. Suaranya keras, kasar, bahkan menjengkelkan. Namun dia juga punya pesona, dan banyak yang tertarik padanya. Dia mudah mendapat teman, bahkan di tempat asing sekalipun. Sorge segera mempunyai jaringan teman-teman dan kenalan yang siap direkrut untuk membantunya. Dia juga memilih sekelompok pendatang dari Amerika dan Jepang yang tinggal di Shanghai, termasuk Hotsumi Ozaki, seorang jurnalis dari Tokyo yang akan menjadi teman sepanjang hidupnya.

Selama dua tahun, jika tidak bisa dibilang menggemparkan, Sorge sangat berjasa dengan informasi yang diberikannya, dan membuktikan bahwa dia dapat bekerja dengan efisien. Tapi keagresifan serta keefektifan tentara Jepang ketika menyerbu dan menguasai provinsi di bagian timur Tiongkok, Mansyuria, yang berada di perbatasan tenggara Uni Soviet, menimbulkan ketakutan besar untuk Uni Soviet. Sorge dipanggil kembali ke Moskwa. Komandanga memberitahu bahwa mereka sangat senang atas hasil kerja di Shanghai, tapi dia kini akan dikirim ke tempat jauh yang lebih penting: Tokyo. Misinya adalah untuk mengetahui apakah Jepang berniat menyerang Uni Soviet.

Bagi orang Eropa seperti Sorge, Jepang adalah salah satu bangsa di dunia yang sangat sulit dimata-matai. Orang yang tinggal di sana sangat sedikit sehingga sangat mudah menarik perhatian. Mereka juga harus mempelajari secara lengkap bahasa yang sangat asing, dan menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan masyarakat yang sangat berbeda. (Di Jepang, contohnya, menunjuk hidung orang lain di depan umum adalah sikap yang sangat tidak sopan). Halangan yang paling berat adalah orang Jepang memiliki kecurigaan yang sangat tinggi terhadap aktivitas yang mengarah pada spionase. Ini adalah tugas berat dan membutuhkan strategi jangka panjang.

Sorge mulai membuat penyamaran. Dia kemudian menjadi jurnalis Jerman, dan untuk melakukannya secara efektif dia harus kembali ke tempat asalnya. Tapi saat itu di Jerman, Adolf Hitler dan Nazi sedang sangat berkuasa. Mereka sangat fanatik dengan paham anti-komunis, dan Sorge yakin bahwa Gestapo (polisi rahasia Nazi) akan mengetahui riwayatnya sebagai mahasiswa komunis di Hamburg.

Dengan sangat berani, dia memutuskan untuk kembali. Keberuntungan ada padanya. Entahlah, mungkin sisa-sisa catatan dirinya tidak dapat terjangkau karena berada jauh di tara tumpukan dokumen polisi yang berdebu? Atau mungkin mata-mata komunis di dalam Gestapo secara rahasia sudah merusak bukti-bukti yang memberatkan dirinya? Dia shik pernah tahu kenapa dia tidak ditangkap.

Sorge meminta referensi dari editor tempatnya bekerja dan membuat identitas yang masuk akal untuk dirinya sendiri sebagai jurnalis Nazi yang sangat ingin bekerja untuk kepentingan Jerman dan pemimpin baru Nazi. Ternyata penyamarannya sangat meyakinkan, Abwehr (Dinas rahasia Jerman) bahkan memintanya menjadi mata-mata kecil-kecilan untuk mereka. Dia segera memperoleh paspor Jerman dan menuju Jepang pada Agustus 1933.

Sorge menyadari dia akan tinggal di Jepang untuk jangka waktu lama. Dia menghabiskan dua tahun pertamanya hanya untuk membiasakan diri dengan negara baru yang asing dan kebudayaannya yang tidak biasa. Dia menyewa sebuah rumah kecil dan meleburkan diri dalam kehidupan Jepang: memenuhi rumahnya dengan buku-buku dan kerajinan Jepang, tidur di lantai dengan kasur Jepang yang disebut futon, dan meninggalkan sepatunya di pintu depan, serta mengenakan pakaian tradisional Jepang. Untuk melengkapi pengetahuan, dia belajar dari beberapa teman wanitanya. Sementara melakukan itu semua, dia menuli artikel-artikel yang bagus untuk surat kabarnya, yang meningkatkan reputasinya sebagai salah satu koresponden luar negeri Jerman yang hebat. Teman-temannya di surat kabar Jerman memberikan surat perkenalan pada orang-orang penting di Tokyo, dan dalam waktu singkat Sorge sudah sangat populer dalam perkumpulan-perkumpulan sosial Jerman di Tokyo, yang kecil namun bergengsi. Dengan kepercayaan yang terus meningkat dari masyarakat sekitarnya, dia lalu membuat kontak dengan orang-orang yang mungkin akan berguna dalam kegiatan spionasenya.

Sorge secara istimewa diterima di Kedutaan Jerman, yang pejabatnya ingin bertemu dengan orang senegaranya yang tahu banyak tentang negeri Timur Jauh. Ketika Sorge akan mengatakan semua yang diketahui tentang Tiongkok, mereka menceritakan sejarah lama Jepang dan kebijakan luar negerinya. Secara signifikan, Sorge dapat membuat hubungan persahabatan dengan seorang atase militer di kedutaan, Letnan Kolonel Ott yang bahkan mengizinkan Sorge untuk melakukan perjalanan bersamanya dalam sebuah misi pencarian fakta di Mansyuria.

Sebagai mata-mata, Sorge telah mengatur pekerjaan sendiri dan hidupnya dengan sangat baik, tapi atasannya di Soviet memintanya untuk membuat jaringan mata-mata. Dia merekrut anggota. Kandidat yang pertama dan pasti adalah Ozaki Hotsumi. Teman lamanya dari Shanghai itu sekarang kembali ke Tokyo, dan masih menjadi jurnalis. Hotsumi tidak mengikuti keyakinan Sorge pada komunisme, tapi dia tidak senang dengan serangan yang dilakukan negaranya terhadap Mansyuria dan juga usaha-usaha agresif terhadap bagian Tiongkok lainnya, yang dilihatnya sebagai ancaman terhadap kedamaian dunia. Sama seperti Sorge, dia kenal banyak orang yang berguna dan berpengaruh.

Dalam tim itu juga ada seorang komunis Yugoslavia, namanya Branko Vukelic, yang bekerja sebagai teknisi fotografi dan jurnalis—dua hal yang berguna untuk menjadi mata-mata. Dia juga merekrut seorang Jepang-Amerika, Miyagi Yotoku, yang kembali ke Tokyo dari California, dan menjadi seniman yang hidup sederhana dengan menjual lukisannya. Yang terakhir, Max Klausen, seorang Jerman yang juga disertakan dalam tim. Dia sudah bekerja dengan Sorge sejak di Shanghai, dan akan menjadi operator radio, yang mengirimkan laporan langsung ke Uni Soviet.

Jaringan mata-mata ini memiliki kelemahan. Kebanyakan teman-teman yang bekerjasama dengan Sorge adalah orang asing. Bahkan Miyagi, yang dilahirkan sebagai orang Jepang, dibesarkan sebagai seorang Amerika, meskipun dia sering menemukan adat dan tingkah orang Jepang yang menimbulkan kekagumannya. Hotsumi sangat tidak ternilai harganya. Dia yang mengatur perekrutan informan di kalangan pemerintahan. Dengan pekerjaannya sebagai jurnalis dia menjadi konsultan khusus untuk Prince Konoye, perdana menteri Jepang. Selama bekerja dengan Konoye, dia mendapat akses untuk mengumpulkan informasi rahasia.

Sorge, pada gilirannya, diterima di Kedutaan Jerman hampir seperti seorang staf. Mereka memintanya untuk menulis laporan, dan memberinya kantor kecil tempat untuk bekerja sebagai sekretaris atase militer. Dengan privasi di dalam kantornya, dia dapat memotret dokumen-dokumen yang menarik untuk pihak Uni Soviet. Posisinya menjadi semakin kuat ketika temannya, Eugen Ott, diangkat menjadi duta besar Jerman. Dalam suatu kesempatan, Sorge membuat rencana kunjungan ke Hong Kong untuk mengirimkan setumpuk dokumen rahasia pada agen Soviet. Ketika Ott mengetahui dia akan pergi ke Hong kong, Ott memberikan dokumen rahasia yang sama untuk dibawa ke Kedutaan Jerman di sana. Sorge tidak percaya dengan keberuntungannya ini.

Menjadi mata-mata adalah permainan yang sulit dan berbahaya. Suatu saat, Sorge melakukan kecerobohan. Tidak lama setelah kembali dari Hong kong, dia mendapat undangan keluar pada suatu malam. Pengundangnya seorang pejabat penting Jerman di Tokyo, Prince Albert von Urbach. Dua orang ini pergi ke beberapa bar di kota itu. Pada pukul dua dini hari, Sorge sudah sangat mabuk dan ingin pulang. Dengan terburu-buru, dia menaiki sepeda motor yang bisa digunakannya berkeliling Tokyo dan melaju di tengah sepinya malam.

Tidak lama, dia sampai di sebuah tikungan; karena terlalu cepat, dia menabrak tembok di dekat Kedutaan Besar Amerika. Penjaga keamanan kedutaan segera berlari mendekat, dan melihat Sorge berdarah, dan tidak sadarkan diri. Mereka kemudian memanggil pihak kedutaan Jerman. Yang datang pertama kali adalah von Urbach. Sorge mulai sadar, dan dia teringat bahwa di sakunya ada beberapa dokumen yang dicuri dari Kedutaan Jerman. Dengan terbata-bata dia berkata, "Panggil Klausen ke sini". Untunglah von Ubach melakukan seperti yang diminta. Sorge memberikan dokumen itu pada Klausen dan kembali tak sadarkan diri.

Kecelakaan itu menimbulkan luka yang serius di kepalanya. Dia juga sulit menggerakkan beberapa otot di wajahnya. Akibatnya, ekspresi wajahnya tetap, tampak selalu seperti orang marah dan cemberut. Mirip topeng Jepang—begitu kata seorang teman.

Ketika berangsur-angsur sembuh, kehidupan Sorge sebagai mata-mata memasuki fase yang paling vital. Pada September 1999, Jerman menyerang Polandia—dan Perang Dunia II dimulai. Ini adalah berita penting bagi pemerintah Jepang sebagai sekutu Jerman.

Atasan Sorge merasa putus asa setelah mendengar informasi tentang rencana Jepang. Uni Soviet telah menandatangani pakta bersama dengan Jerman sebulan sebelum perang dimulai, dan semua pihak berjanji untuk tidak saling menyerang. Tapi pihak Soviet masih sangat curiga terhadap Jepang di perbatasan Mansyuria. Sorge memberikan jawaban yang menenangkan. Jepang, katanya pada mereka, tidak tertarik dengan Uni Soviet. Tujuan sebenarnya adalah untuk menguasai Tiongkok dan mencegah masuknya kekuasaan negara barat—Amerika, Inggris, Prancis, dan Belanda—yang memiliki angkatan perang dan koloni di Timur Jauh.

Tapi kemudian Sorge memberikan informasi penting lain yang sangat mengganggu. Dia melihat bahwa Jerman tidak berniat menjaga pakta perjanjian dengan pihak komunis. Hitler berencana menyerang dan mengirimkan tentaranya ke jantung Uni Soviet. Tinggal menunggu waktu yang tepat.

Berita itu sangat tidak menyenangkan, terutama untuk seseorang yang memiliki komitmen terhadap komunis seperti Sorge, tapi keadaan semakin buruk—pemegang otoritas di Moskwa tidak percaya padanya. Ini sangat menakutkan. Sorge mengumpulkan potongan-potongan bukti untuk mendukung klaimnya. Pada Mei 1941, dia punya bukti yang sangat meyakinkan—Jerman sudah menempatkan 19 divisi di perbatasan Soviet. Mereka berencana menyerang dalam bulan ini. Sorge bahkan memberikan tanggal pastinya pada Moskwa: 22 Juni. Tapi bagaimanapun, pimpinan mata-mata, dan terutama pimpinan Soviet, Joseph Stalin, segera menolak laporannya dan diberi tanda "informasi yang sangat diragukan dan menyesatkan".

Penyerangan terjadi tepat seperti yang diprediksikan. Ketika Sorge mendengar berita itu, bersama-sama dengan semua orang di dunia, dari koran dan laporan di radio, dia sangat bersedih dan menangis. Teman wanitanya yang berasal dari Jepang, Miyake, yang tidak mengetahui kalau dia adalah mata-mata, melihatnya menangis tersedu-sedu ketika sedang belajar. Dia bertanya kenapa Sorge begitu sedih.

Sorge yang merasa sangat lemah, berusaha menjawab dengan sejujurnya.

"Karena aku sendirian. Aku tidak punya teman sejati." katanya sedih.

"Tapi bukankah kau punya Duta Besar Ott dan teman teman dari Jerman lainnya?" kata wanita itu.

"Oh, tidak. Tidak. Mereka bukan teman sejati."

Wajahnya kembali murung dan mulai menangis lagi. Miyake menunggu dengan penuh harap, tapi Sorge tidak berkata-kata lagi. Wanita itu sangat mengenalnya, sehingga dia tidak menanyakan lebih lanjut.

Tapi ketika dia merasa sudah sangat terpuruk, Sorge berencana memberikan informasi terpenting sepanjang karirnya sebagai mata-mata. Jerman melakukan penyerangan terus menerus, divisi tentaranya terus mengalir ke Soviet dalam jumlah yang besar. Pasukan Soviet hampir putus asa menghadapi mereka. Tapi masih banyak pasukan Soviet yang bermarkas di Siberia, di perbatasan utara Soviet. Ini dikarenakan pemimpin Soviet yakin pasukan Jepang yang dekat dengan Mansyuria akan bergabung dengan sekutu Nazi dalam penyerangan ke Soviet. Sorge dan Hotsumi sekali lagi mencoba menghubungi sumber-sumber mereka untuk mencari bukti adanya rencana serangan tersebut.

Pada awal Oktober, Sorge mengirim laporan ke Moskwa. Jepang, katanya, tidak akan menyerang Soviet. Ini adalah berita paling baik yang mereka dengar sejak penyerangan Jerman. Ribuan pasukan digerakkan dari Siberia ke bagian barat negara itu untuk bertempur melawan Jerman. Keputusan ini menyelamatkan pihak Soviet dari kekalahan.

Tapi Sorge juga mengatakan pada Moskwa bahwa Jepang merencanakan sebuah langkah yang lebih berani. Jepang akan menyerang Angkatan Laut Amerika yang bermarkas di Pearl Harbor. Dia bahkan memberikan tanggalnya: 6 November—diubah sebulan lebih awal dari tanggal sebenarnya.

Ini adalah isyarat terakhir yang dikirim Sorge. Bulan sebelumnya, polisi rahasia Jepang telah menahan beberapa komunis Jepang, yang dicurigai menyusun rencana revolusi melawan pemerintah. Salah satu nama tersangka yang diumumkan adalah Miyagi Yotoku, yang ditangkap sekitar seminggu kemudian. Ini adalah operasi rutin, yang dilakukan hampir setiap saat untuk mendapatkan hasil yang besar. Miyagi berhasil ditangkap dan apartemennya digeledah.

Miyagi bukanlah orang yang tangguh. Dia berhasil melewati babak pertama interogasi yang penuh dengan penyiksaan tanpa mengeluarkan satu pun rahasia, tapi dia tahu dia takkan mampu bertahan. Hari berikutnya, ketika polisi sudah siap melakukan interogasi, dia melompat ke jendela. Sungguh malang nasib seluruh anggota jaringan mata-mata Sorge, niat Miyagi untuk bunuh diri terhalang oleh sebatang pohon, dia hanya mengalami patah tulang kaki. Hari berikutnya, dalam kesakitan yang amat sangat, bahkan ketika interogasi belum dimulai, Miyagi mengakui semuanya. Nama Hotsumi, Klausen, dan Sorge disebutkan sebagai teman temannya.

Bagi Dinas Polisi Rahasia Jepang, ini adalah masalah yang sulit. Sorge adalah teman seorang duta besar, orang yang terlalu penting untuk ditangkap. Hubungan Jerman-Jepang mungkin akan rusak, dan bagaimanapun ini adalah masa yang kritis bagi sejarah Jepang.

Sorge dan Klausen diabaikan, tapi penangkapan terhadap Hotsumi tetap dilangsungkan. Dia ditangkap dan disiksa. Hotsumi juga menyerah; dia menyangkutkan nama Sorge, Klausen, dan seorang Yugoslavia:Vukelic.

Sorge sangat menyadari sesuatu sedang terjadi. Dia tak dapat menghubungi Miyagi atau Hotsumi untuk beberapa hari, dan mengkhawatirkan hal buruk akan terjadi. Dia menemui Klausen dan Vukelic untuk memperingatkan mereka, tapi mereka memutuskan untuk tetap tinggal. Apakah kesukses sebelumnya membuat mereka sangat arogan dan berpikir akan berhasil juga kali ini? Atau mungkin mereka sudah menyerah pada nasib? 

Sorge menjalankan bisnisnya seperti biasa. Dia tetap menemui Duta Besar Ott, tetap mengerjakan artikel surat kabarnya, dan tetap minum di bar-bar di Tokyo pada malam hari. Tapi ketegangan yang dirasakan mempengaruhi kesehatan mentalnya, yang terlihat dari keadaan rumahnya yang sangat berantakan, sehingga terlihat seperti baru saja dirampok. Tumpahan whisky di lantai membuat ruangan itu berbau seperti sarang pemabuk yang kotor.

Suatu malam, setelah Sorge menghabiskan waktunya di kota, dia ditangkap. Sekitar pukul lima pagi, Sorge tiba di rumah dengan mobil Kedutaan Besar Jerman, sementara sepasukan polisi rahasia Jepang mengawasinya. Mobil kedutaan meninggalkannya, Sorge masuk, dan tidak lama kemudian polisi mendobrak pintu rumahnya. Sorge ditahan dalam pakaian tidur, dan segelas whisky di tangannya. Klausen dan Vukelic dijemput pagi itu juga. Ketiga orang itu meninggalkan bukti-bukti penting dari aktivitas mereka sebagai mata-mata di sekitar rumah, yang membuat semua penyangkalan mereka sia-sia.

Teman-temannya dari Jepang dan Jerman tidak percaya dengan yang sedang terjadi. Sorge sendiri juga mencoba untuk memutar cerita pada interogatornya dengan mengatakan dia adalah double agent yang berpura-pura menjadi mata-mata Soviet, sementara sebenarnya dia menjadi mata-mata untuk Jerman. Tapi setelah enam hari disiksa, Sorge mengakui semuanya. Selanjutnya pengadilan rahasia untuk semua anggota jaringan mata-mata Sorge dilangsungkan. Klausen dan Vukelic dijatuhi hukuman seumur hidup. Sorge dan Hotsumi dijatuhi hukuman mati. Ini adalah pertama kalinya pengadilan Jepang menjatuhkan hukuman pada orang-orang Eropa.

Setelah disidang, Sorge harus menjalani masa pembuangan. Selama beberapa tahun dia berada di penjara Sugamo, menghabiskan waktunya dengan menulis surat pengakuan sebanyak 50.000 kata. Kemudian, pada 7 November 1944, hampir tiga tahun setelah hukuman mati dijatuhkan, Sorge dan Hotsumi dikirim ke tiang gantungan. Tanggal yang dipilih bertujuan untuk mengejek Moskwa, yaitu pada peringatan 27 tahun revolusi Rusia.

 

Kelanjutannya

Sorge dikubur di sebuah makam tanpa nama, tapi wanita Jepang temannya, Miyake Hanako, mengambil jenazahnya dan menguburkan di samping makam sahabatnya, Ozaki Hotsumi. Miyake tetap setia pada Sorge, dan bahkan memiliki cincin yang dibuat dari gigi emas yang diambilnya dari tengkorak Sorge.

Pihak Soviet tetap menjaga rahasia Sorge dan juga kesuksesan misi spionasenya selama lebih dari 20 tahun. Kemudian, tahun 1964, dia diberi gelar 'pahlawan Uni Soviet'. Sebuah jalan di Moskwa diberi nama sesuai namanya dan wajahnya bahkan dicetak dalam prangko. Buku-buku dan artikel tentang kariernya diterbitkan. Dua dekade setelah kematiannya, dia diakui sebagai mata-mata ulung, dan tidak ada orang yang meragukannya.

 

---

Nukilan dari buku:

TRUE SPY STORIES

Kisah Nyata Mata-Mata Dunia

Oleh Paul Dowswell & Fergus Fleming

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246688/terlahir-untuk-kehidupan-ganda" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650818731000) } } }