array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3304570"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/tewas-sehabis-mengisi-kupon-lote-20220603021537.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(130) "George Whittaker seorang penggemar judi lotere ditemukan tewas usai memasang nomor. Siapa yang menginginkan kematian-kematian ini?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/tewas-sehabis-mengisi-kupon-lote-20220603021537.jpg"
      ["title"]=>
      string(34) "Tewas Sehabis Mengisi Kupon Lotere"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-03 14:16:03"
      ["content"]=>
      string(38124) "

Intisari Plus - George Whittaker seorang penggemar judi lotere ditemukan tewas usai memasang nomor. Beberapa hari kemudian anaknya juga menyusul dengan penyebab kematian sama. Siapa yang menginginkan kematian-kematian ini?

-------------------------

Tak seorang pun merasa aneh mendengar George Whittaker mati secara mendadak. Soalnya, sudah lama ia dirongrong jantung, hati, maupun ginjalnya. Ia ditemukan mati dalam posisi duduk di meja kerjanya. Kegiatan terakhir yang dilakukannya rupa-rupanya mengisi kupon lotere.

Tak banyak yang berduka atas kematian George Whittaker. Tidak juga anak perempuannya.

Ia hanya menunggu jasad itu disingkirkan agar dapat membersihkan dan membereskan barang-barang yang berserakan di kamar itu.

Yang mengejutkan justru hasil autopsinya. Kematiannya bukan karena rongrongan jantung, hati, maupun ginjalnya, tetapi akibat nikotin murni, sebangsa racun pembasmi hama tanaman.

"Mungkin ia bunuh diri," demikian Sersan Hopkins menduga.

"Tidak. Bukan bunuh diri," sergah Inspektur Maxwell yakin. "Bunuh diri pun punya motif tertentu seperti dalam suatu kasus pembunuhan. Ia tak punya alasan untuk melakukannya."

Nikotin rupanya punya daya bunuh seketika. Hanya dalam beberapa detik setelah barang beracun itu masuk ke dalam tubuh, selesailah sudah hidupnya.

 

Tak punya musuh

Kalau bukan Whittaker sendiri yang melakukannya, tentu ada orang lain di kamar itu pada saat kematiannya. Akan tetapi menurut putrinya, tak ada seorang pun bersamanya sejak Pak Whittaker masuk ke ruang kerjanya setelah sarapan. Nona Whittaker mendapati ayahnya mati saat ia hendak memberi tahu ayahnya bahwa makan siang sudah siap. Ketika itu pukul 13.00.

Satu-satunya dugaan yang menarik yaitu seseorang dengan cerdik memanfaatkan kebiasaan Whittaker minum obat yang berupa pil dan kapsul. 

Racun pembunuh itu dimasukkan ke dalam salah satu botol yang berisi pil atau kapsulnya, sampai pada suatu saat "obat" itu terminum olehnya. Dengan cara itu orang tidak perlu membuat rencana kapan dan di mana ia hendak membunuhnya. Karena itu si pembunuh tidak perlu repot dengan alibinya.

Setelah hasil autopsi diketahui, Maxwell mendatangi Laura Whittaker lagi. Laura Whittaker bukan tipe orang yang mudah diinterogasi begitu saja. Ia duduk sambil menatap tajam tamunya.

"Bukankah saya sudah memberikan semua informasi yang saya ketahui kepada Pak Inspektur? Saya tidak mau Anda terus mendesak saya," tambahnya kesal.

"Bukan begitu, Nn. Whittaker. Saya sekadar melaksanakan tugas. Salah satunya menanyai Anda. Nah, tahukah Anda siapa nama kawan-kawan dekat ayah Anda?"

"Mengapa Bapak menaruh curiga kepada kawan-kawan ayah saya?"

"Kami belum mencurigai siapa pun, Nona. Belum. Kalau begitu, ayah Anda punya musuh?" "Tidak." "Jadi, semua orang menyukainya?"

"Tidak juga. Tak mungkin juga setiap orang suka padanya. Coba Bapak pikir! Apakah Bapak akan mencari orang lantas membunuhnya hanya karena Bapak tidak suka pada orang itu? Kalau itu yang terjadi, tentu banyak sekali orang yang sudah lenyap dari muka Bumi, termasuk kita."

Benar juga, pikir Maxwell. Lalu tiba-tiba ia bertanya, "Apakah Nona yang menjadi pewaris almarhum Pak Whittaker?"

"Tentu saja," jawabnya tenang. "Cukup besar tentunya?" "Ya. Karena saya adalah anak satu-satunya."

Sang inspektur lantas berdiri mengakhiri wawancara hari itu yang tampaknya tak membuahkan hasil apa-apa.

Ketika sampai di pintu keluar, tiba-tiba Maxwell berbalik, teringat pada sesuatu.

"Boleh saya tahu siapa di antara kawan-kawan ayah Anda yang paling akrab dengannya?" Putri Pak Whittaker itu diam sebentar, lalu jawabnya, "Mungkin, ... Pak Underwood." Nn. Whittaker lantas menutup pintu dan kembali ke kamarnya, membiarkan Maxwell sibuk mencari-cari apa yang dapat ia peroleh dari wawancara kali ini.

 

Racun hama

“Anak perempuannya sendiri yang melakukannya," kata Hopkins merasa pasti. "Kata orang, Nn. Whittaker sangat membenci ayahnya, lantaran ayahnya selalu membebaninya dengan pekerjaan. Karena itu ia menunggu kesempatan untuk membunuhnya." 

"Bisa saja begitu. Tetapi, bagaimana ia bisa mendapatkan nikotin itu?"

"Itu soal mudah, asal kita tahu caranya." Sersan Hopkins tahu karena ia suka berkebun, sedangkan Maxwell tidak. "Apakah Inspektur tahu hama yang menyerang tanaman tomat? Namanya whitefly. Hama itu bisa kita temukan di kebun kaca. Satu-satunya obat yang dapat membasmi mereka cuma nikotin. Hanya dengan membubuhkan tanda tangan dan mengatakan bahwa obat itu dibeli untuk keperluan pertanian, Anda akan memperolehnya dengan mudah."

"Dari mana Nn. Whittaker tahu soal itu?" 

"Ah, dia 'kan punya kebun!"

Sang inspektur tidak begitu yakin dengan analisis yang dikemukakan Hopkins. Tetapi ia merekam semua informasi itu dalam benaknya. Siapa tahu bermanfaat. Ketika Maxwell lewat di depan sebuah bar, hatinya tergerak untuk memasukinya dan tiba-tiba ia teringat pada Underwood, nama yang pernah disebut oleh Laura Whittaker.

Hanya tampak dua orang pengunjung di bar itu. Mereka duduk di satu meja yang terletak di sudut. Kedua orang itu terkejut ketika mereka tahu Maxwell yang datang. Dengan cara yang dibuat-buat mereka lantas mengalihkan pembicaraan mereka ke soal meninggalnya Whittaker yang sedang hangat dibicarakan.

 

Si Kuda dan si Dekil

Maxwell tak begitu kenal dengan kedua orang itu. Yang wajahnya mirip kuda itu adalah Sam Bowyers, seorang dokter hewan. Yang seorang lagi bertampang lusuh, nyaris seperti almarhum George Whittaker. Namanya Peter Underwood. 

Dulu ia seorang guru. Tidak hanya tampangnya yang lusuh. Kerah bajunya dekil, sebuah kancingnya lepas, dan pada jas dalamnya ada noda telur.

Dengan tenang Maxwell berjalan mendekati meja mereka. "Boleh saya duduk?" tanyanya sambil lantas duduk di kursi satu-satunya yang masih ada di meja itu. Karena tak seorang pun menyahuti, ia pun melanjutkan, "Kalau tidak salah Anda sedang membicarakan kasus kematian Pak Whittaker?"

"Apa salahnya?" jawab Bowyers penuh semangat. 

"Kalau terjadi sesuatu yang aneh, mengapa tidak membicarakannya?"

"Memang benar," Maxwell mengakui. "Sebenarnya saya hanya ingin tahu kapan Anda berdua terakhir kali bertemu dengan Pak Whittaker? Soalnya," ia cepat-cepat menambahkan ketika melihat wajah Bowyers tiba-tiba bersemu merah karena marah, "kami ingin mengetahui keadaan pikiran Whittaker yang malang itu sebelum ia bunuh diri. Kalau memang dia melakukannya."

Karena tak segera ada jawaban dari kedua orang itu, Maxwell pun berpaling ke dokter hewan itu. "Bagaimana dengan Bapak?"

Terdengar derai tawanya mirip keledai kesakitan, meskipun tampangnya seperti kuda. "Sialan dia!" umpatnya. "Akhir-akhir ini saya tak pernah mendekati rumah itu. Tetapi karena setiap hari mengirimkan surat tagihan kepadanya, saya harus membeli perangko, maka saya masukkan saja surat-surat itu ke kotak suratnya. Dengan begitu saya bisa menghemat

uang."

"Anda tidak masuk ke rumahnya?"

"Percayalah, Pak Inspektur."

Kini giliran Maxwell menanyai Underwood. Orang ini sebentar mengamati kuku-kuku jarinya yang habis digigit-gigit, lantas ia menjawab singkat, "Tidak!"

"Tidak bagaimana, Pak? Bukankah yang saya tanyakan kepada Bapak kapan terakhir kali Bapak bertemu dengan Pak Whittaker?" "Saya tidak ingat." Rupanya ia tidak suka ditanya begitu. Apakah karena ia merasa bersalah? Inspektur pun tak tahu jawabannya.  Pagi hari barangkali?" desak Maxwell.

"Oh, tidak, tidak."

Anda berbohong, pikir Maxwell Ketika kemudian ia meninggalkan kedua orang itu, yang terlintas di benaknya adalah wajah Peter Underwood. Ia pantas menjadi orang pertama yang patut dicurigai. Kecuali mengelak ketika ditanya, Underwood tampaknya tidak suka ketika nama Whittaker disebut-sebut.

Disuntik saja kapsul obatnya

Nah, apa yang kira-kira menyulitkan Anda, Pak Inspektur?" tanya dr. Griffiths ketika Maxwell menemuinya. Ia duduk bersandar di kursinya sambil menatap tamunya dalam-dalam.

"Anda tentu sudah mengetahui hasil autopsi Pak Whittaker?" Griffiths mengangguk tenang. "Luar biasa. Pak Whittaker punya banyak keluhan penyakit, tetapi tiba-tiba ia meninggal justru karena sesuatu yang lain." 

"Apakah keadaan kesehatannya buruk sekali?" 

"Tidak lebih buruk dari kebanyakan orang. Memang, jantungnya sedikit lemah, tetapi tidak terlalu mengkhawatirkan bagi orang seusia dia. Rupanya ia mati bukan karena serangan jantung." 

"Benar. Tetapi karena nikotin. Tolong Anda ceritakan soal nikotin itu! Inilah sebenarnya maksud saya datang menemui Anda."

"Oh, itu racun yang berbahaya sekali. Pak Inspektur sendiri tentu sudah mengetahuinya. Racun itu bisa merenggut nyawa seseorang begitu cepat, bagaikan kilat," jelasnya dengan wajah tenang, meskipun agak ngeri.

Seperti kebanyakan dokter, Maxwell pun akrab dengan kematian. Tetapi baru kali ini ia menghadapi kematian yang sekejam itu. “Menurut Sersan Hopkins, orang biasa menggunakan nikotin untuk membasmi whitefly di kebun kaca. Benarkah itu?"

"Ya. Aneh ya, orang tak dapat membeli obat di apotek tanpa resep dokter. Tetapi untuk mendapatkan nikotin yang sangat mematikan itu orang cukup membubuhkan tanda tangan dan menyatakan untuk apa barang itu dibeli."

"Menurut Anda apakah Pak Whittaker itu adalah tipe orang yang bisa melakukan bunuh diri karena alasan tertentu? Saya pikir, Andalah yang lebih mengenalnya ketimbang orang lain."

"Whittaker melakukan bunuh diri? Saya tidak tahu pasti." 

"Kalau begitu, mungkin ada orang yang memalsukan salah satu dari pil-pil yang biasa diminumnya?" 

"Itu tidak mudah. Tapi bisa juga dilakukan."

"Kalau Anda, bagaimana melakukannya?" 

"Saya? Kalau saya, nikotin itu saya suntikkan ke dalam salah satu kapsulnya."

Maxwell mengangguk-angguk lesu. "Kalau begitu, saya akan mencari orang-orang yang memiliki kebun kaca dan tanaman siapa yang terserang hama itu."

"Itulah yang mesti Anda lakukan. Eh, maaf! Banyak pasien yang tengah menunggu saya. Pintu selalu terbuka kalau Anda perlu bantuan." Ketika Inspektur hendak melangkah pergi, dokter itu menambahkan, "Perlu Anda ketahui juga, saya punya kebun dan juga kebun kaca. Kadang-kadang tanaman tomat saya pun diserbu hama itu. Oh, ya, satu lagi. Saya juga punya apotek sendiri."

"Terima kasih atas informasi Anda."

"Selamat bekerja," kata dokter yang kemudian memanggil pasiennya yang pertama.

 

Putrinya curiga

"Anda punya kebun?" tanya Maxwell.

Nn. Whittaker hanya menjawab dengan pandangan matanya ke luar jendela. Maxwell mengikutinya. Halaman rumput dan hamparan bunga tampak di luar sana. "Kebun kaca?" Maxwell mendesak. "Tidak," jawab wanita itu singkat. "Kalau begitu, tak ada whitefly?"

"Whitefly?"

"Ya. Serangga kecil sebangsa kupu-kupu yang biasanya menyerang tanaman tomat. Satu-satunya obat pembasmi hama itu adalah nikotin."

"Sungguh Inspektur," kata Laura Whittaker yang mulai mengerti arah pertanyaan Inspektur itu. "Saya tak memiliki kebun kaca dan tanaman tomat. Apalagi obat pembasmi hama itu. Selamat pagi, Pak Inspektur!"

Maxwell lantas meninggalkan wanita itu dengan perasaan kecewa.

Ternyata Laura Whittaker tidak tinggal diam. la mencatat nama-nama orang yang belakangan ini menjadi tamu ayahnya dan kapan mereka datang. Masing-masing nama itu ditelitinya secara terinci. 

Nama yang kira-kira tidak masuk hitungan dicoret, sampai akhirnya ia menemukan nama orang yang menurut perkiraannya dapat menyelesaikan kasus ini. Terakhir kali, orang itu bertengkar dengan ayahnya.

Namun, ia perlu meyakinkan dugaannya itu. Caranya, ia undang orang itu minum teh. Akan ia ceritakan kepadanya apa saja yang ia ketahui, apa yang ia curigai, dan apa pula yang telah ia dengar tentang kasus kematian ayahnya. Ia akan menyarankan kepada orang itu agar sebaiknya tutup mulut saja seperti dirinya.

Ia pun menulis surat undangan itu. Dalam surat yang ditulisnya dengan hati-hati, ia menyisipkan ancaman. Samar-samar memang, tetapi cukup bikin penasaran calon tamunya–kalau memang orang itu punya rasa bersalah—untuk mengetahui apa yang sesungguhnya tidak atau diketahui oleh Nn. Whittaker.

Selesai menulis, ia pun memposkannya, lantas mampir ke toko membeli kue dan gula. Malam itu ia tidur dengan perasaan puas telah melakukan sesuatu yang bermanfaat.

Namun, rupanya ia telah menandatangani sendiri surat kematiannya

 

Kedatangan tamu

Kurang dari 24 jam setelah mewawancarai Laura Whittaker, Maxwell datang lagi. Bukan untuk mewawancarainya, tapi untuk mengetahui bagaimana dan mengapa wanita itu kini sudah tidak bernyawa lagi.

Ny. Simpson yang melaporkan kejadian itu kepada polisi. Ia curiga karena botol susu dibiarkan saja tergeletak di tangga rumah, padahal biasanya cepat diambil.

Bersama Sersan Hopkins, Maxwell mendobrak pintu depan. Mereka pun naik ke lantai atas. Di kamar mereka segera menemukan Laura Whittaker yang sudah tak tertolong lagi. Di atas meja dekat ranjang tempat Nn. Whittaker terbaring, terlihat sebuah gelas tergeletak dengan sedikit genangan air susu di dekatnya. 

Mungkin tertumpah ketika gelas itu terempas." Di atas rak dijumpai sebuah botol kecil. Botol itu praktis kosong, tapi masih ada sisa yang dapat dianalisis.

"Benar, 'kan! Apa saya bilang!" kata Hopkins bersemangat. "Nn. Whittaker-lah pembunuhnya, tapi karena tak kuasa menghadapi rasa bersalahnya, ia kemudian bunuh diri."

Maxwell tidak sependapat. Ia sendiri cenderung wanita itu mati karena dibunuh.

"Ya," Hopkins beralasan ketika melihat keraguan di wajah Inspektur, "kalau orang membunuhnya, kecil kemungkinannya si pembunuh membiarkan botol itu begitu saja hingga orang lain mudah menemukannya. Menurut saya, setelah Nn. Whittaker membunuh ayahnya, ia menyisakan sedikit agar sewaktu-waktu bisa memanfaatkannya lagi."

"Itulah yang bikin pusing. Lalu di mana ia menyimpan botol itu? Padahal setelah kematian Whittaker kita telah mengoperasi seluruh tempat ini. Seseorang telah membunuh Laura Whittaker dan mencoba mengatur begitu rupa hingga ia tampak seperti bunuh diri."

Para wartawan baru saja tiba ketika mereka turun ke lantai bawah. Hopkins membantu membawa peralatan mereka, lalu bergabung lagi dengan Maxwell di dapur. Mereka menemukan gelas porselen bekas Nn. Whittaker minum teh dekat bak cuci dan di atas meja ada semangkuk gula, kue yang sudah terpotong, dan beberapa biskuit. 

Kemudian mereka menuju ke ruang tamu. Di sini Maxwell melihat sesuatu, lantas ia jongkok memperhatikannya.

"Coba lihat! Ada yang tertumpah di sini," katanya sambil menunjuk noda kecil di karpet kepada Hopkins. Bagaimanapun cara membersihkannya, noda itu masih gampang diduga: noda air teh!

"Noda inilah yang membuka jalan menuju kematiannya," Maxwell berteori. "Orang itu sengaja menumpahkan tehnya dan kemudian ketika Nn. Whittaker pergi mengambil lap untuk membersihkannya, kesempatan itu dipergunakannya untuk memasukkan racun itu ke dalam gelasnya. Laura Whittaker takkan pernah tahu apa penyebab kematiannya."

 

Jas robek

Maxwell duduk di karpet sambil menatap Hopkins. "Kita harus memeriksa tumpahan air susu dan juga sisa-sisa yang tertinggal dalam gelas itu. Hai, jas Anda terkoyak rupanya!" katanya sambil menunjuk pada robekan kecil mirip mulut katak di siku jas milik Hopkins.

"Sialan!" gerutunya ketika melihat robekan di sikunya. "Kapan robeknya? Pagi tadi ketika berangkat, jas saya tidak apa-apa. Kalau sudah robek tentu istri saya melihatnya."

"Mungkin lengan Anda tersangkut pegangan tangga. Makanya kalau berjalan sikunya jangan ke mana-mana, Bung!"

"Saya ingat, Inspektur! Mungkin saja itu terjadi ketika saya membantu para wartawan mengangkat barang-barang mereka naik ke lantai atas."

Wajah Inspektur tampak memikirkan sesuatu. "Naik tangga dengan siku melebar karena membawa sesuatu? Nah, ... saya jadi berpikir, Sersan pun takkan memperhatikan siku Anda bila sedang mengangkat tubuh seseorang lewat tangga, bukan?"

Mereka saling memandang. Kegembiraan tiba-tiba muncul di wajah mereka. Kemudian mereka naik ke tangga yang sempit itu. Di beberapa bagian jari-jari pagar tangga itu terlihat pernisnya sudah memudar. Juga di beberapa tempat kayu pegangannya terlihat kasar. 

Kedua detektif itu sampai merangkak-rangkak mengamati jengkal demi jengkal setiap anak tangga dan pegangannya. Tiba-tiba Inspektur tersenyum puas ketika menemukan benda yang mereka cari. Dengan hati-hati benda itu diselipkannya ke dalam dompet.

"Kita sudah menemukan pembunuhnya, tinggal pertanyaannya sekarang, siapakah orang itu?" katanya.

 

Tukang peras

Maxwell dan Underwood duduk berhadapan di meja tamu yang agak berantakan di tempat tinggal Underwood. Sang inspektur agaknya kecewa melihat tuan ramah yang tak lagi mengenakan jasnya yang kehilangan satu kancingnya. 

Kini sweater yang lusuh menempel di badannya. Inspektur belum punya cukup alasan untuk memeriksa seluruh isi lemari Underwood.

"Apakah pada hari sebelum Nn. Whittaker meninggal, Anda minum teh bersamanya?" tanya Maxwell mengawali percakapan kali ini.

"Saya tak pernah minum teh bersama wanita itu," jawabnya sengit. "Bahkan dulu pun tidak."  

"Dulu pun tidak? Apa maksud Anda?"

Underwood tampak jengkel, sepertinya menyesali jawabannya yang terakhir itu.

"Saya kenal mereka sebelum saya tinggal di sini," jawabnya sengit.

"Bisakah Anda ceritakan lebih banyak lagi?"

Kedua pipinya yang pucat itu bersemu merah. Tampaknya ia menahan marah. "Kisahnya begini. Beberapa tahun yang silam, saya adalah anak buah Pak Whittaker. Ketika itu ia menjabat sebagai kepala sekolah di Dewvon." "Anda tidak suka pada Pak Whittaker?"

"Tidak."

"Mengapa?"

Underwood ragu-ragu, tapi kemudian katanya, "Pak Whittaker memecat saya tanpa alasan yang jelas. Ketika itu agak sulit bagi seorang guru seperti saya untuk mendapatkan pekerjaan lain yang baik tanpa surat keterangan dari bekas pimpinan."

"Sebenarnya apa yang telah Anda lakukan?"

Lagi-lagi Underwood ragu-ragu,  tapi kemudian ia berkata, "Ini semua adalah kisah lama." Wajahnya murung memandang ke luar jendela.

Kita sudah

menemukan

pembunuhnya,

tinggal pertanyaannya

sekarang, siapakah

orang itu?"

katanya.”

"Ketika itu saya kadang-kadang kekurangan uang. Kebetulan saya diberi tanggung jawab memegang uang iuran para murid yang akan dipakai berlibur ke Swis. Saya pakai saja uang itu. Soalnya, saya baru akan terima gaji seminggu sebelum akhir bulan, sedangkan uang iuran itu pun belum akan segera dipergunakan. 

Demi Tuhan, saya bermaksud mengembalikan semua uang yang saya pinjam itu saat terima gaji. Tetapi Pak Whittaker keburu tahu. Ia tak mau mengerti setiap penjelasan atau janji-janji saya. Sebaliknya, dia  justru memecat saya."

"Ia tidak mengancam menuntut Anda ke meja hijau?"

"Pak Whittaker takkan menuntut kalau saya mau menandatangani surat pengakuan untuk meyakinkan bahwa saya tidak akan melakukannya lagi, katanya. Mau tak mau saya pun setuju, sebab kalau sampai kasus ini tersebar, cemarlah nama saya."

Mereka diam agak lama. Kemudian Maxwell bertanya lagi, “Sudah berapa lama Anda tinggal di sini?"

"Sejak pensiun 5 tahun yang lalu."

"Jauh sebelum Anda, Pak Whittaker pun sudah tinggal di daerah ini sejak ia pensiun. Lalu, mengapa Anda datang dan tinggal di daerah yang sama kalau Anda memang begitu membencinya?"

"Saya punya alasan kuat." Diam lagi. Dengan suara yang hampir-hampir tak terdengar Underwood melanjutkan. "Sejak kejadian itu, Pak Whittaker memeras saya. Karena itulah saya tinggal di sini dengan satu tujuan, membalas sakit hati saya, kalau ada kesempatan. Tapi, saya tak pernah melakukannya. Saya sangat berterima kasih kepada orang yang  telah melakukan apa yang tak berani saya perbuat sendiri."

"Menurut Anda, siapa kira-kira orang itu?"

"Kalaupun saya tahu, saya takkan mengatakannya kepada Anda. Saya hanya berharap Anda mengerti, kalau saya yang membunuh Pak Whittaker, tentu saya tidak akan menceritakan maksud-maksud saya tadi secara terus terang kepada Anda."

Saya harap orang ini mengatakan yang sebenarnya, pikir Inspektur setelah melihat ekspresi wajah Underwood penuh kebencian ketika bercerita tadi.

 

Sakit hati

Sam Bowyers orangnya besar. Apa saja yang mengenai dirinya tampak serba besar. Dari jasnya yang kotak-kotak hitam putih yang mencolok sampai topi lakennya yang bertepi lebar.

"Minum teh bersama Nn. Whittaker?" ia mengulangi pertanyaan Maxwell. "Pak Inspektur yang terhormat, saya tak pernah punya urusan dengan wanita itu. Untuk apa saya minum bersamanya?" 

"Anda punya perasaan apa terhadap ayahnya?" tanya Maxwell. Bowyers berdiri. Matanya tajam menatap lantai, lalu katanya, "Sungguh pahit. Benar-benar picik kalau saya mempersoalkan uang yang cuma setengah ponsterling itu, tapi toh saya tetap mempersoalkannya. "Ada apa dengan uang itu?"

"Itu terjadi kira-kira 6 bulan yang lalu. Seharusnya saya melupakan kejadian itu, tetapi tidak. Suatu hari anjingnya yang kecil dan bagus bulunya itu pingsan tertabrak mobil. Whittaker membawanya ke klinik saya. Melihat keadaannya, binatang yang malang itu tak punya harapan lagi untuk hidup. Namun, masih ada kemungkinan bisa tertolong. Lalu saya sarankan agar ditinggalkan saja anjing itu. 

la setuju. Inilah pangkal masalahnya. Whittaker tidak mau membayar ongkosnya, sebab katanya anjing itu toh sudah tak tertolong lagi. Soal suntikan yang saya berikan pada anjing itu katanya pula bukan tanggung jawabnya. 

Bahkan menurut Whittaker saya bekerja hanya demi uang setengah ponsterling itu. Pernahkah Anda mendengar hal yang begitu aneh macam itu? Rasanya saya ingin membunuh bangsat itu!"

"Anda melakukannya?"

"Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti.

"Membunuh Pak Whittaker."

"Mungkin saya bisa menghabisi nyawa orang gara-gara uang setengah juta ponsterling misalnya. Demi uang setengah ponsterling? Tentu tidak!"

"Selain ongkos yang dianggapnya terlalu tinggi itu, adakah alasan lain mengapa Pak Whittaker bersikap begitu terhadap Anda?"

"Terhadap saya? Dengan cara macam apa? Mengapa ia bersikap begitu?"

"Bagaimana saya tahu! Kebetulan saya tahu bahwa Pak Whittaker melakukan pemerasan terhadap seseorang di daerah sini. Apakah Anda juga diperlakukan seperti orang itu?"

"Apa motif yang pantas bagi seseorang untuk melakukan pembunuhan? Saya mengerti maksud Anda, Pak Inspektur. Pemerasan! Pantas ia selalu banyak uang. Sampai suatu kali saya berpikir ingin sekali-sekali minum wiski bersamanya. Sebelum berurusan dengan anjingnya itu. Kalau saya tahu hal itu, saya akan, akan ...."

"Memangnya nikotin?" sambung Maxwell tanpa pikir panjang.

"Bisa jadi," Bowyers mengiakan. "Sebab profesi saya sebagai dokter hewan memungkinkan hal itu. Karena itu jangan coba-coba meminta bantuan saya kalau toh nanti tak mau membayar juga ongkosnya!"

"Saya takkan berani begitu," Maxwell berjanji. Lantas ia beranjak pergi.

 

Mengundang pembunuh 

"Ada perkembangan baru?" tanya dr. Griffiths ketika Maxwell menemuinya lagi.

"Ya. Apakah saya mengganggu Anda?"

Griffiths hanya menggeleng. "Kita bicara dulu soal Nn.Whittaker. Ia punya gambaran yang cerdik tentang identitas pembunuh ayahnya. Sayangnya, si pembunuh agaknya mengetahui hal itu, sehingga ia memutuskan untuk menyingkirkan wanita itu sebelum ia sempat berbicara. Seperti kita ketahui, ia pun telah melakukannya. Tetapi orang itu telah membuat kesalahan besar."

Maxwell diam. Griffiths pun tak berkomentar apa-apa. Setelah beberapa saat Inspektur meneruskan ceritanya.

"Saya pikir, Nn. Whittaker menulis surat atau menelepon orang itu, memintanya datang untuk minum teh bersamanya. Tetapi, kata-katanya dalam surat itu atau nada suaranya di telepon membuat orang tersebut curiga.” 

“Lantas bersiap-siaplah orang itu untuk melakukan niatnya. Juga Nn. Whittaker. Ia membeli kue dan gula untuk menjamu tamunya. Menurut wanita penjaga toko, Nn. Whittaker tak pernah membeli kue dan gula. Nah, ketika orang itu minum bersama Nn. Whittaker, saya yakin ia berusaha mengalihkan perhatian wanita itu–dengan sengaja menumpahkan tehnya di atas karpet—sehingga ia punya kesempatan memasukkan nikotin dalam gelas Nn. Whittaker.”

 “Anda tahu apa yang kemudian terjadi. Nn. Whittaker segera mati setelah meminumnya. Menurut pemikiran saya, si pembunuh lalu memindahkan mayat korbannya ke lantai atas, kemudian mengatur segalanya agar Nn. Whittaker tampak seperti bunuh diri. Itu semua masih dugaan saja tentunya, tetapi bisa saja terjadi begitu."

"Dugaan Anda tidak mengada-ada dan mungkin sekali terjadi begitu," Griffiths menanggapi. "Sampai sejauh itu, segalanya beres. Tetapi kemudian si pembunuh mungkin menyadari bahwa ia harus menghilangkan jejak. Di sinilah ia membuat kesalahan. Dicucinya bersih-bersih gelas bekas minum korbannya, lalu ditaruhnya kembali di lemari.” 

“Tak ada yang tersisa di gelas itu. Sementara itu gelasnya sendiri diletakkan begitu rupa untuk memberi kesan gelas itu bekas minum Nn. Whittaker. Anehnya, dalam gelas itu ada sisa-sisa gula. Padahal Nn. Whittaker tak pernah minum pakai gula. Tanpa disadarinya, ia membuka sendiri rahasia pembunuhan yang telah dilakukannya."

Meskipun ren

na pembunuhan

itu mudah dilaksanakan,

tetapi saya

senantiasa siap menghadapi

kemungkinan

yang terburuk.

Karena itu saya.."

Maxwell menatap Griffiths yang tengah duduk sambil diam memperhatikannya. "Meskipun sudah diduga kasus itu adalah pembunuhan, sampai kini belum sebenarnya pembunuh itu. Kami punya satu petunjuk lagi," kata Maxwell kemudian.

 

Sepotong wol dan amplop maut

Maxwell mengambil bungkusan kecil dari sakunya dan mengeluarkan potongan kain wol berwarna hijau kebiruan dari bungkusan itu. Lantas ditempelkannya potongan wol itu di lengan jas dokter itu. Pas betul warnanya! "Corak yang bagus," Maxwell memuji. "Wol Lovat kata orang." Dengan nada hati-hati Maxwell pun bertanya, "Mengapa Anda melakukannya?"

Tampak Griffiths menghela napas dalam-dalam. Terdengar nada suaranya yang berat ketika ia menjawab pertanyaan itu. "Ia sendiri menghendakinya. Ia tidak pantas hidup di dunia ini. Bertahun-tahun ia membuat orang hidup dalam kegelisahan dan ketakutan." 

Sebentar ia diam menatap potongan wol yang masih melekat di lengannya, lalu katanya, "Pemerasan lebih kejam daripada pembunuhan. Lebih baik membunuh orang itu daripada membiarkan orang lain hidup dalam kegelisahan dan ketakutan. Menyiksa batin inilah yang dilakukan Whittaker."

"Apakah Pak Whittaker punya pengaruh yang kuat terhadap Anda?" tanya Maxwell.

"Ya. Itu terjadi beberapa waktu yang lalu. Saya masih muda sekali ketika itu. Saya merasa bersalah melanggar etika profesi saya. Tidaklah selalu mudah menghadapi pasien yang  sangat cantik. Saya bisa dicoret dari daftar jika ada yang mengetahui perbuatan saya. Whittaker-lah yang mengetahui semua itu. Sejak itu ia pun memeras saya."

Maxwell diam. "Bagaimana Anda melakukannya?" katanya kemudian.

"Mudah sekali. Saya tahu ia penggemar sepakbola. Setiap Kamis mengisi lotere. Saya pun sekali-sekali membeli juga. Pada hari itu saya menyiapkan racun. Selembar sampul yang berisi kupon saya ambil, kemudian pada tutupnya saya olesi sedikit racun. Dengan membawa sampul itu, saya temui Whittaker, pura-pura bertanya apakah ia mau menunggu pembayaran berikutnya, karena saya sedang mengalami kesulitan uang.” 

“Kalau ia menanggapi secara baik-baik, mungkin saya akan memakluminya. Namun ternyata tidak. Ia malah tertawa dan jawabannya sungguh menyakitkan. Itulah yang semakin membulatkan niat saya. Tidak usah mencari kelengahannya.” 

“Saya tukar saja sampul yang saya bawa dengan sampulnya yang tergeletak di sudut meja. Saya pun pergi meninggalkannya sambil mengucapkan selamat malam. Anda bisa menduga apa yang kemudian terjadi. Ia mati setelah lidahnya menjilat tutup sampul itu."

"Barangkali Anda akan lolos dari kecurigaan, andaikata tidak membunuh anak gadisnya pula," kata Maxwell.

"Saya pun harus menyingkirkannya, sebab saya tahu Nn. Whittaker takkan tinggal diam. Saya sungguh menyesal telah membunuh wanita itu. Entah bagaimana ia tahu saya ini pembunuh ayahnya. Ia pun mengancam hendak memeras saya. Bagaimana saya bisa tahan, Pak Inspektur! Lepas dari pemerasan yang satu, datang pemerasan yang lain. Ya, terpaksa saya melakukannya."

Ia tersenyum pada Inspektur, lalu berkata,. "Meskipun rencana pembunuhan itu mudah sekali dilaksanakan, tetapi saya senantiasa siap menghadapi setiap kemungkinan yang terburuk. Karena itu saya ...." Ia menarik laci di mejanya dan mengeluarkan selembar amplop.

"Saya ingin Anda tahu bahwa saya tidak pernah membiarkan orang lain menderita karena ulah saya. Bila seseorang ditangkap karena dicurigai sebagai pelaku pembunuhan itu, saya akan membeberkan semuanya. Pernyataan ini saya katakan agar yang berwenang tidak menemui banyak kesulitan.

Griffiths menempelkan sampul itu ke bibirnya dan menjilat tutupnya. Tahu-tahu napasnya tersendat-sendat sebelum akhirnya tubuh yang tak bernyawa itu tergeletak di atas meja. Sampai itu pun melayang jatuh dari tangannya. 

Maxwell sangat gemetar menyaksikan kejadian yang tak terduga di depan matanya. Terlambat. Griffiths tak bisa ditolong lagi.

(Gavin Monroe)

" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304570/tewas-sehabis-mengisi-kupon-lotere" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654265763000) } } }