array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3350649"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/karena-kakak-keras-kepala_sj-obj-20220629072424.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(149) "Pauline harus merawat ibunya yang sudah tua, sedangkan ia sendiri pernah dirawat di RSJ. Suatu seorang dokter memaksa kakknya turut menjaga sang Ibu."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/karena-kakak-keras-kepala_sj-obj-20220629072424.jpg"
      ["title"]=>
      string(25) "Karena Kakak Keras Kepala"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-29 19:24:37"
      ["content"]=>
      string(33746) "

Intisari Plus - Pauline harus merawat ibunya yang sudah tua, sedangkan ia sendiri pernah dirawat di RSJ. Suatu hari, sang Ibu bercerita kepada Marjorie, kakak Pauline, bahwa adiknya sedang dekat dengan seorang dokter. Tak lama, dokter itu pun memaksa agar Marjorie mau turut menjaga sang Ibu juga.

------------------

Orang pertama yang memberi tahu Marjorie tentang teman pria Pauline adalah Mama. Bukan Pauline sendiri.

"Bagaimana Mama tahu?" tanya Marjorie tak sadar bahwa itu pertanyaan konyol - bukankah selama ini Mama hanya ditemani oleh Pauline.

"la datang ke sini tadi malam. Dari kamar tidur, aku dapat mendengar suaranya yang berkata, 'Bicara sebagai seorang dokter, Pauline ...' Aku menduga mereka berkenalan saat Pauline dirawat di tempat itu."

Marjorie tidak suka mendengar kata tempat itu. Sungguh bodoh - berpikiran sempit, tapi tempat perawatan orang gila tetaplah tempat perawatan orang gila. Toh, ia sulit menerima kenyataan bahwa adiknya pernah dirawat di sana. Hal yang sungguh memalukan keluarga.

"Mungkin ia sedang menjalankan tugas profesinya," sahut Marjorie. "Kenapa Mama tidak menanyainya?"

"Aku tidak ingin melakukannya. Kamu tahu seperti apa Pauline." Majorie pun bisa memahami.

Mereka segera diam karena Pauline telah muncul lagi membawa seperangkat jamuan minum teh. la mengoleskan mentega pada sepotong kue, memotong kecil-kecil, memasang serbet ke leher Mama, dan melakukan semuanya dengan tenang, tanpa sepatah kata pun.

"Mengapa kamu pakai cangkir keramik Cina yang paling bagus?" tanya Mama.

Marjorie baru akan memprotes, namun Pauline cepat memotong, "Sudahlah. la 'kan tidak bisa melihat. Kau tahu sendiri betapa buruk penglihatannya." Pauline tersenyum manis pada Mama. "Ya, kami menggunakan cangkir keramik terbaik itu," lalu membersihkan ujung bibir Mama dengan tisu.

Setelah pertemuan singkat itu Marjorie pamit pulang. la tak bisa berlama-lama di rumah Mama karena banyak urusan penting dengan anak-anak dan George - suaminya - yang harus diselesaikannya. Seperti biasa, Mama bisa mengerti itu. 

Sabtu siang ia menjenguk Mama lagi, "hanya mampir" dalam perjalanan ke toko. 

"la datang lagi tadi malam," Mama berbisik. 

“Siapa?"

"Dokter teman pria Pauline, ia datang malam sekali. Aku membunyikan bel memanggil Pauline karena aku ingin ke kamar kecil. Sekitar pukul 23.00 setelah kembali ke kamar tidur, aku mendengar suaranya.”

Saat itu Pauline sedang di pekarangan mengangkat jemuran yang telah kering. Ketika ia masuk ke rumah, Marjorie mengamati wajah adiknya dengan saksama. Pauline nampak sangat kelelahan. Tubuhnya yang tinggi kurus dan kehitaman, terlihat makin kurus. 

Bahkan celana panjang gombrang model kuno yang dikenakan tampak kedodoran menggantung begitu saja di pinggulnya yang tak berlekuk. Matanya yang bergaris hitam pertanda kurang tidur berkaca-kaca, mungkin karena obat-obatan yang harus diminum sekeluarnya dari tempat itu.

"Apakah aku kelihatan jorok, atau ... begitu cantiknya aku hingga kau terkesima melihatku?" ujar Pauline memecah keheningan.

"Maaf, aku melamun," Marjorie menjawab sambil bergegas pamit karena takut toko yang ditujunya keburu tutup.

 

Perawan tua yang sibuk

Setelah berbelanja, ia pun pulang dengan sekumpulan masalah ruwet membebani pikirannya. Namun ia mampu bersabar menunggu anak-anaknya keluar rumah sebelum menceritakan masalahnya pada George. Brian (17) dan Susan (16), tanpa memperhitungkan usia muda mereka, memang anak yang penuh pengertian. 

Mereka mampu menyadari bahwa nenek mereka yang sering disebut sebagai Nanna - cara mereka menyebut Mama - layak diperlakukan sebagai "orang tua yang tercinta". Mereka tidak akan pusing bila harus serumah dengan Nanna. Malah mereka mampu beriba hati pada Bibi Pauline yang tentu merasa bosan tidak pernah bisa ke luar rumah.

"Pauline punya pacar, George." 

"Ah, kamu bercanda."

"Tidak. Menurut cerita Mama, ia dokter yang ditemui Pauline ketika dirawat di Hightrees. la telah dua kali singgah di malam hari dan pulang hampir tengah malam." 

"Ya, selamat untuk Pauline, ia sekarang sudah 40 tahun jika bisa benar-benar beruntung," ujar George. 

"Bukan 40, tapi 42. Kau tahu persis 'kan ia 7 tahun lebih muda daripadaku," Marjorie menukas. 

"Tapi nampaknya justru sebaliknya. Banyak orang menduga kau yang lebih muda," George tersenyum penuh arti pada istrinya, lalu mulai membuka koran edisi hari itu. 

"Dengar dulu, George! Tolong, jangan membaca sekarang. Aku belum selesai bicara. George, kalau ... kalau ia harus menikah?" Marjorie mengucapkannya dengan napas berat, seberat tekanan perasaan yang seakan tengah menindihnya. "Kalau ia harus menikah dengan dokter itu?"

"Apa, Pauline si Perawan Tua?"

“Ya, mengapa tidak? Aku tahu ia tidak muda lagi dan tidak cukup menarik, tapi kapan sebaiknya menurutmu seorang wanita pantas menikah ... maksudku. Aku tidak peduli apa pendapat anak-anak muda sekarang, pada dasarnya semua wanita ingin menikah. Mengapa Pauline tidak?"

"Pria itu harus benar-benar ingin menikahinya."

"Ya, tapi coba lihat sekarang. la dokter, dan Pauline selalu ingin menjadi dokter, hanya Mama tidak mengizinkannya. Maka ia memilih menjadi perawat. Kalau mau, kemampuan bicaranya jauh di atas yang kumiliki. Bisa jadi mereka punya banyak kesamaan."

"Syukurlah kalau begitu, apa lagi yang harus kukatakan."

"Tapi George, bagaimana dengan Mama? Dokter sangat terikat dengan tugas-tugas beratnya. la tentu tidak mau dekat dengan Mama. Kau tidak tahu bagaimana menjengkelkannya Mama. Mama bisa membangunkan Pauline 4 - 5 kali dalam semalam. la membunyikan bel di samping tempat tidurnya hanya untuk minta dilayani hal-hal sepele. Begitu terus. 

Pauline memang tidak pernah mengeluh, tapi kadang-kadang aku menangkap kesan ia akan melakukan apa saja agar bisa membebaskan diri dari situasi itu. Aku juga bingung mengapa ia tidak mau mengatakan betapa repotnya dia ketika Mama pertama kali kena serangan jantung, agar Mama tidak harus pulang ke rumah dan ...."

"Tenang Marje. Tidakkah emosimu terlalu terbakar untuk sesuatu yang tidak pasti?" George menyahut kalem. "Sepanjang yang kita ketahui, si Dokter Anu baru ke rumah dua kali dan mungkin saja nanti ia tidak datang-datang lagi."

Ketakutan paling besar dalam kehidupan Marjorie adalah: suatu saat Mama akan tinggal bersamanya. la sendiri tidak tahu bagaimana selama ini ia bisa mengatur sedemikian rupa agar terbebas dari tanggung jawab merawat Mama.

 

Ogah tapi kasihan

Sesungguhnya Marjorie memiliki rumah besar, sehingga Mama bisa mendapatkan kamar tidur sendiri. la tidak bekerja, sementara anak-anak sudah bisa mengurus diri sendiri. Sungguh Marjorie beruntung memiliki adik perempuan Pauline. 

Bayangkan, seandainya ia justru memiliki adik laki-laki, tentu ia tidak mau - sebagaimana pada umumnya pria - berhenti bekerja, memberikan tempat tinggalnya, menghabiskan seluruh hidupnya untuk merawat Mama yang rewel.

Namun Marjorie sadar tidak bisa meminta bantuan George dan anak-anak dalam merawat Mama. Meski George akan menurut tanpa banyak protes atas invasi ibu mertua ke rumahnya. Toh, bukan George dan anak-anak yang akan dibangunkan Mama di malam hari yang bisa jadi sedang senewen soal kepanasan, rematik, obat tetes mata, dan susu panas.

Marjorie memang selalu khawatir tentang Pauline. Saat kanak-kanak, Pauline cenderung menarik diri dari lingkungan, berjam-jam ia mengurung diri dalam kamar yang tertutup rapat. Saat itu, Marjorie ingat, Pauline memiliki teman khayalan. 

Sebetulnya ini hal yang lazim - karena ia melihat gejala yang sama ditunjukkan oleh Susan, anaknya. Tapi Pablo, teman khayalan Pauline, bertahan sampai ia berumur belasan, dan sering digunakan sebagai corong untuk mengutarakan perasaannya. Si Pablo ini hilang saat Pauline menginjak masa puber. 

Sejak itu Marjorie tidak ingat lagi kapan adiknya pernah mencetuskan perasaannya. Ketika ia diberi tahu tentang rumah perawatan untuk Mama yang biayanya £ 60 seminggu, tak ada jalan lain ia harus mengorbankan pekerjaannya dan kembali ke rumah. Saat itu dengan wajah datar tanpa ekspresi, ia hanya berucap, "Berarti aku tidak mempunyai pilihan lain."

Tak pernah sekalipun ia mengajukan adanya pilihan kemungkinan lain pada Marjorie. Namun, sejak itu Pauline yang dulu selalu menciumnya ketika bertemu atau berpisah, tidak pernah lagi melakukannya. Mereka tidak pernah lagi saling cium pipi. Tidak saat untuk kedua kalinya Mama kena serangan jantung, tidak juga saat Pauline di Hightrees. Tugas beratnya dalam merawat Mama tak juga mampu membukakan sedikit mulut tipis Pauline untuk memprotes Mama.

"Mama membangunkanku tengah malam dan lagi pada pukul 04.00 dan 05.00. Namun ia masih juga mengompol. Aku selesai mencuci semuanya pukul 08.00, lalu membereskan ruang duduk. Aku pergi ke toko namun lupa membawa resep Mama, jadi aku harus balik dulu ke rumah."

Seketika Marjorie diliputi dengan perasaan bersalah dan malu selama pemaparan tugas ini. Bahkan ia menggigil ketika Pauline mengalihkan pandangan padanya dengan mata mendelik yang untuk sementara mampu menyembunyikan kepahitannya. Mata Pauline bisa bicara, meski bibirnya terkatup rapat.

Setiap kali Marjorie minta maaf tidak bisa menjenguk, Pauline hanya mengatakan, "Tidak apa-apa. Jangan terlalu repot." Ketika ia meminta Pauline untuk sedikit ceria, "Aku baik-baik saja. Tinggalkan aku sendiri," sahutnya.

 

Termakan pengaduan

Beberapa minggu kemudian ketika mengunjungi Mama, Marjorie mencium ada sesuatu yang telah membuat Mama marah. Mama cemberut dan melihat Pauline dengan pandangan marah. Sementara Pauline hanya duduk tenang. 

la nampaknya tak berniat meninggalkan Mama hanya dengan Marjorie, meski ia tahu betapa sesungguhnya Mama ingin berduaan dengan kakaknya. Untung, pukul 15.00 tukang penatu datang, Pauline harus cekcok dengan tukang penatu selama 5 menit karena nampaknya ada sarung bantal yang hilang.

"Pria itu kemari lagi tadi malam, Marjorie. Malah ia masuk ke kamar dan bicara langsung padaku. la membentak dan mengata-ngatai aku," ujar Mama pahit.

“Apa maksud Mama?”

“Aduh sayangku, semoga ia tidak segera kembali. Aku mendengar ia berbicara tadi malam. Aku tidak bisa tidur karena kegerahan, maka aku minta Pauline membawakan selimut dari bulu angsa.” 

“Aku harus membunyikan bel beberapa kali sebelum ia datang," Mama menarik napas dan sedikit gelagapan. "Yang kutahu kemudian dokter itu telah masuk langsung ke kamar dan mulai membentak-bentak."

"Mama, tolong katakan padaku sebelum Pauline kembali."

"Katanya, aku seharusnya mengerti bahwa aku adalah wanita yang beruntung. Aku orang yang mementingkan diri sendiri dan senang menuntut. Aku membuat anak perempuanku mengalami gangguan saraf, dan jika ... jika aku tidak berhenti membangunkannya di malam hari dia akan punya kehidupan yang lainnya dan ... oh, Marjorie, sungguh menyakitkan.” 

“Aku mulai menangis. Kupikir ia akan memeluk dan menenangkanku, ternyata ia diam saja berdiri membelakangi pintu masuk, mengalangi sinar lampu dari luar kamar, menggeleng-gelengkan kepalanya dan terus mengata-ngatai aku ...."

"Astaga!" sekarang waktunya Marjorie pikir harus berbicara dengan Pauline, ia menarik napas dengan sedih. Mengapa semua ini terjadi? Harus ada seseorang yang memberi tahu Pauline kenyataan yang mungkin tidak disadarinya ini. la ke ruang belakang dan berpapasan dengan sang Adik.

"Mama tidak mau apa-apa sejak pagi tadi," Pauline mulai berbicara.

"Ya, aku tidak heran. Bukan maksudku mengritikmu, tapi seharusnya kau tidak membiarkan orang - maksudku orang asing - membuat marah Mama."

Pauline meletakkan keranjang cucian yang berat itu di atas meja dapur. la nampak lebih lelah daripada hari-hari sebelumnya. Kulit wajahnya lebih suram seperti kurang tidur. la bersungut-sungut sambil mengangkat bahu, "Kau percaya padanya? Kau percaya begitu saja cerita sampah itu?" 

"Maksudmu kau tidak punya teman dokter? la tidak masuk ke kamar Mama dan membentak-bentak dia tadi malam? Jadi, itu semua hanya khayalan?" 

"Ya, itu hanya khayalannya. la mulai pikun sekarang," Pauline menjawab dengan tenang sambil mengisi ceret air. 

"Tapi Mama tidak pernah berkhayal. la mengaku mendengar suaranya dan melihatnya sendiri." 

"la tidak bisa melihat, penglihatannya tidak baik. Itu hanya mimpi." Pauline tak mudah menerima pendapat Marjorie. 

Untuk sesaat Marjorie yakin telah dibohongi. Tapi ia pun sulit berbagi rasa dengan Pauline. Apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah Pauline yang berusaha menutupi kehadiran teman prianya, ataukah benar Mama yang sudah 80 tahun, setengah buta dan mungkin pikun seperti pendapat Pauline, akan membesar-besarkan mimpi buruk itu? Atau pula itu sebenarnya cetusan kata hati Mama.

 

Punya nama Rusia

Takut hal itu akan semakin memusingkan kalau ia harus mengunjungi kembali Mama nanti, Marjorie memutuskan menelepon Mama dan mengatakan tidak bisa datang. Namun, di seberang sana terdengar suara pria menjawab teleponnya.

"Halo?" 

"Maaf, mungkin saya salah sambung. Saya ingin bicara dengan Nona Pauline Needham."

"Nona Needham sedang beristirahat. la memerlukannya."

Suara itu milik seseorang yang berbudaya, berpendidikan, dan berwibawa. "Apakah ini Ny. Crossley?"

Dengan setengah menahan napas, Marjorie membenarkan pertanyaan itu. la berniat mengajukan dua pertanyaan, pertama apakah Mama dalam keadaan baik, dan kedua siapa pria itu sebenarnya? Namun sebelum pertanyaan itu diucapkannya, pria itu telah memotong jawabannya dengan meluncurkan banjir nasihat.

"Ny. Crossley, sebagai dokter saya tidak menganggap telah ikut campur dengan urusan Anda. Sesungguhnya Anda termasuk orang yang tidak bertanggung jawab dengan situasi rumah di sini. Saya telah lama berharap bisa mengatakan ini pada Anda. Bagi saya, menurut cerita adik Anda, tidak ada alasan sama sekali bagi Anda tidak mau berbagi merawat ibu Anda ...."

"Saya tidak, saya ....," Marjorie gugup, seperti disambar petir.

"Tidak, Anda tidak menyadarinya, bukan? Mungkin Anda memang tidak pernah mau berpikir soal itu dengan serius. Ibu Anda seorang yang sangat penuntut, dan mementingkan diri sendiri. Saya telah berbicara langsung dengannya, meskipun hampir tidak ada gunanya mengatakan hal kebenaran pada orang seumur dia dalam keadaan seperti itu."

Marjorie merasakan amarah menggelegak di dadanya terhadap Pauline. "Saya seharusnya dinasihati dokter ibu saya. Saya tidak tahu apakah orang luar...."

Kalimat terakhir Marjorie rupanya telah menyinggung bagian yang paling sensitif. "Saya teman dekat saudara Anda, Ny. Crossley, mungkin satu-satunya teman sejati baginya. Tolong jangan sebut saya sebagai orang asing. Sekarang jika Anda memperhatikan adik Anda, saya akan sangat menghargai bila Anda…”

"Saya tidak mau bicara soal itu. Ini bukan urusan Anda!" Marjorie berteriak.

la lalu memberi tahu George.

"Nampaknya, mereka telah merencanakan matang-matang semua ini, George, ia bermaksud menikahi Pauline, namun pertama-tama ia akan menyingkirkan Mama, ia akan melemparkan Mama padaku dan kemudian mereka akan menikah dan ... Oh, George, apa yang harus kulakukan?"

Tidak seperti biasanya, Marjorie tidak mengunjungi Mama ataupun Pauline. Marjorie memperpanjang sakit kepala dan memelihara sakitnya melewati dua kali masa kunjungannya. Tapi ia masih menyempatkan menelepon dan menjelaskan kondisinya itu. 

Dengan tangan gemetar ia memutar nomor telepon rumah Mama, sementara jantungnya berdebar keras khawatir kalau-kalau pria jahat itu yang akan menerimanya. Tapi untung bukan. Ternyata, Pauline yang menerimanya dengan sikap yang kasar, lain dari biasanya. 

Marjorie tidak menyebut sedikit pun tentang teman dokternya, meskipun ketika memindahkan gagang telepon pendengar, ia mendengar dengung suara pria tersebut di ruangan itu di latar belakang tengah berbicara dengan Mama.

 

Mama telah berubah

Akhirnya, George dan Brian yang mau menyediakan waktu mengunjungi Mama. Mereka mengaku tidak melihat teman Pauline. Namun, Nanna yang banyak cerita tentang dia, menilainya sebagai pria yang menarik.

"Dia punya nama Rusia," ujar George, meskipun ia tidak bisa mengingat nama sebenarnya.

"la tinggal di Kensington, punya tempat praktik yang besar. Salah satu rumah besar yang ada di Campden Hill. Kamu tahu tempat yang kumaksud 'kan? Pauline pernah merawat seseorang di salah satu rumah di wilayah itu setahun yang lalu. Sungguh suatu kebetulan."

Marjorie tidak mau peduli dengan kata kebetulan itu.

"Apakah ia akan menikahi adikku?”

"Nampaknya begitu, dari apa yang dikatakan Nanna tentang apa yang ia maui.”

“Apa maksudmu?" 

"Ya, waktu Bibi Pauline ke dapur mengambilkan kopi, Nanna mengatakan bagaimana pria itu memuji-muji kecantikan dan kebaikannya."

"Nanna telah berubah. la tidak pernah bisa memuji bibimu,"ujar Marjorie sewot.

"la telah berubah. la berusaha untuk tidak mengalangi kalau Pauline ingin pergi dan menentukan sendiri nasibnya. Mungkin Mama tinggal bersama kita. Dokter Anu itu pun menyetujui rencana Mama. Mungkin ini jalan yang terbaik. Jika Mama menjual rumahnya dan kita boleh mendapatkan sebagian uang itu, kita bisa membangun beberapa ruangan ...," George menjelaskan.

Aku tidak pernah menganggap sebagai suatu keadilan. Bila Pauline selama hidupnya harus menanggung Mama sendiri. Kasihan Pauline ...," tambah George.

"Tidak! Aku tidak ingin melakukannya. Tidak boleh ada orang yang memaksaku untuk melakukannya!" jerit Marjorie.

Untuk sementara waktu Marjorie masih sering mengeluh sakit di sekujur tubuh kapan saja ia mau. Sebisa mungkin ia menghindari berhubungan dengan rumah Mama. Komunikasi yang terjalin baik selama ini putus begitu saja. 

Kalaupun ia keluar rumah, Marjorie berusaha memilih jalan yang tidak mendekati rumah Mama. Keluarganya pun - George, Brian, dan Susan - tidak berani mengusik Marjorie dengan topik pembicaraan keluarga Mama, atau Marjorie akan menjadi histeris.

Sampai suatu hari George berkata, "Di kantor aku ditelepon oleh teman pria Pauline."

"Aku tidak mau tahu, George. Itu bukan urusannya. Sudah kukatakan aku tidak ingin Mama tinggal di sini dan tidak pernah ingin."

"Nyatanya, ia beberapa kali meneleponku sebelum ini, hanya saja tidak kukatakan padamu, karena aku melihat kau akan sedih."

"Memang itu membuatku sedih. Apalagi aku sedang sakit.

“Tidak!" ujar George dengan sikap tegas yang tidak pernah ditampilkannya, "Kau sangat sehat. Orang sakit tidak akan bisa menyantap makanan seperti cara makanmu itu. Pauline-lah yang sesungguhnya sakit. la yang sesungguhnya tak berdaya. Pria itu mengatakan dengan cara yang sangat sopan, sungguh orang yang berpendidikan. Tapi tetap saja kita harus melakukan sesuatu."

"Pria lain biasanya akan berterima kasih bila istrinya mampu mencegah ibu mertuanya untuk tinggal bersama, kau justru sebaliknya."

"Ya, aku memang bukan pria jenis itu. Aku tidak keberatan mengeluarkan biaya tambahan. Kita akan melakukannya sesuai tanggung jawab masing-masing, demikian juga Brian dan Sue. Tidakkah kau sadar, sudah tiba giliran kita. Pauline sudah dua tahun melayani Mama."

Marjorie mulai sesenggukan mendengar apa yang dikatakan suaminya. "Pauline punya pil dari rumah perawatan itu, morfin, dan aku tidak tahu apa lagi. Mungkin bisa sebagai jalan - apa namanya? - eh euthanasia. Seharusnya memang ada cara agar orang tua seperti Mama tidak lagi menderita.”

Menatap lekat Marjorie, mata George menyipit. "Tidak ada. Tidak ada orang lain, hanya kita, Marge. Jadi, cobalah buka sedikit pikiranmu."

Marjorie bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Perlu waktu berbulan-bulan untuk menjual rumah Mama, lalu menggunakannya untuk menambah ruang di rumahnya. Mungkin perlu waktu setahun untuk membangunnya. 

Bahkan ketika sedang dalam proses pembangunan, Mama sudah akan masuk ke rumah dan mengacaukan segalanya. Padahal Marjorie tidak muda lagi, umurnya tidak lagi tiga puluhan. 

Marjorie tidak yakin apakah ia akan cukup berani untuk menjatuhkan dirinya di tangga, mengalami patah kaki, sehingga keluarganya akan mengerti bahwa mereka tidak mungkin merawat Mama.

Sementara semua itu terjadi padanya, Pauline akan tinggal di Campden Hill yang megah dengan sebutan Ny. dr. Anu, dengan suami baru yang kaya, terpandang, dan berpendidikan. Berpesta dan bergaul dengan ahli bedah dan para profesor atau siapa saja yang terkenal. Jalan-jalan ke luar negeri. Sungguh Marjorie tak tahan lagi.

Tidak, ia tidak ingin merusak hubungan persaudaraan dan gila karenanya. la harus tegar dan tetap baik. la akan menawarkan diri untuk menjaga Mama, sementara Pauline bisa berjalan-jalan. la akan membantu apa saja, asalkan bukan menempatkan Mama di rumahnya. la tidak ingin terperangkap seperti yang dialami Pauline.

 

Akhir penderitaan

Akhirnya, Marjorie memutuskan datang ke rumah Mama. Ia menduga akan disambut dengan kemarahan dan kekesalan Pauline serta Mama karena lama tak menjenguknya. Ternyata sebaliknya, Mama masih tetap sama, senang kalau bisa bertemu dengannya, sangat ingin bercakap-cakap berdua dan berusaha yakin bahwa Marjorie benar-benar sudah lebih baik.

Lain lagi dengan Pauline, si Calon Pengantin ini justru tampak kurusan, dan di wajahnya tampak garis-garis kehitaman, dan keriput sehingga kulitnya seperti kulit kismis. Marjorie mengikutinya ke dapur ketika ia mulai menyeduh teh dan mengumpulkan keberaniannya.

"Bagaimana keadaanmu selama ini, Pauline?"

"Baik-baik saja. Sama seperti biasanya." Tanpa ditanya ia meneruskan, "Mama selalu membangunkanku empat kali dalam semalam. la jatuh di lorong kamar dan aku harus menuntunnya kembali ke kamar. Tukang penatu tidak datang, jadi aku harus mencuci sendiri. Sungguh repot mengeringkan cucian, apalagi kalau hujan banyak turun seperti sekarang ini."

"Kupikir, aku bisa datang dua malam dalam seminggu dan menemaninya sehingga kau bisa pergi berjalan-jalan. Tidak ada alasan bagiku mengapa harus menolak membantumu mencuci, 'kan aku bisa melakukannya dengan mesin cuciku. Bagaimana pendapatmu? Aku bisa melakukan itu setiap minggu."

Pauline hanya mengangkat bahunya, "Sudahlah, tak usah repot."

"Ya, kau bisa bilang begitu. Tapi jika kau terus saja mengeluh, apa yang harus kulakukan?"

"Aku tidak mengeluh."

"Mungkin tidak. Tapi bagi orang lain itu kedengaran seperti keluhan. Kau tahu betul apa yang kumaksudkan. Aku tidak bisa hanya diam dan membiarkan semua gangguan itu begitu saja." 

"Aku seharusnya tidak melibatkan suami untuk mengatasi semua ini." 

Marjorie segera mengeluarkan unek-uneknya. "Lebih baik aku berterus terang, aku tidak bisa membawa Mama tinggal bersamaku. Aku akan melakukan apa saja sesuai kemampuanku, tapi tidak yang satu itu. Tak seorang pun bisa memaksaku." 

Pauline tidak menjawab. Marjorie belum pernah menghadapi suasana yang setidak nyaman itu. Di anak tangga teras, ketika pulang, Marjorie mengatakan, "Katakan saja kapan kau ingin aku datang dan beri tahu George kalau ia sudah waktunya mengambil cucian." 

Tentu saja ia tidak menelepon. Marjorie tahu ia tidak akan menelepon. Apa pula gunanya jalan-jalan di malam hari kalau Pauline memang tidak ingin keluar, toh ia senang ada di rumah dengan dokternya.

“Mama tidak akan tinggal di sini," katanya pada George. "Itu sudah pasti. Aku sudah menjelaskan dan menyelesaikannya dengan Pauline. la akan mampu mengatasinya bila aku mau sedikit membantunya.”

"Bukan itu yang dikatakan dokter padaku."

"Itulah yang kukatakan sekarang." Marjorie tidak suka dengan cara George memandangnya, ogah-ogahan. "Dia telah mencuci minggu ini, dan minggu depan tukang penatu tinggal mengambil seprai dan bahan yang berat-berat. Mungkin kita bisa ke sana Jumat dan mengumpulkan segala tetek bengek untuk dicuci dengan mesin kita."

Pada hari Kamis, Marjorie menelepon. la memilih pagi hari takut kalau yang mengangkat sang Dokter. Biasanya dokter 'kan penuh dengan acara kunjungan di pagi hari. Pauline yang menjawab.

"Baik. Besok, kalau kau mau." 

"Semoga kau senang, Pauline," kata Marjorie, merasa bahwa saudara perempuannya akhirnya akan berterima kasih padanya.

la menambahkan bahwa ia akan datang pukul 19.00. Namun sayang, tepat pada waktunya George belum juga tiba, maka ia menelepon ibunya. Tidak apa-apa kalau memang Pak Dokter Anu yang menjawab teleponnya. Itu juga untuk menunjukkan bahwa ia bukan jenis yang tidak pedulian seperti yang pernah dituduhkan. 

Ternyata benar, dokter itu menyapanya dengan cukup sopan, "Jadi, Bapak dan Ibu Crossley tidak bisa datang sampai pukul 20.30? Tidak apa-apa," katanya menambahkan bahwa ia masih tetap akan di sana dan akan senang sekali akhirnya dapat berjumpa dengan mereka.

"Akhirnya, kita akan bertemu juga dengannya," ujar Marjorie ketika George muncul di pintu rumah. "Sekarang jangan lupa, aku mengharapkan dukunganmu untuk menolak alasan apa saja agar Mama tinggal serumah dengan kita. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."

Rumah Mama nampak gelap dan lampu ruang tamu tidak juga dinyalakan ketika Marjorie berulang kali menekan bel rumah.

"Kau bawa kunci?" tanya George. 

"Ada di tasku. Oh, George kau pikir....? Maksudku ...?"

"Aku tidak tahu, cepat buka pintu ini." 

Tak seorang pun nampak di ruang tamu atau ruang lainnya di lantai bawah. Marjorie yang telah menyalakan lampu segera naik ke lantai atas, diikuti George di belakangnya. Di tengah tangga ia mendengar suara pria bicara dengan tenang namun penuh wibawa. Suara itu datang dari kamar Mama, dengan pintu yang sedikit terbuka.

"Itu jalan terbaik, Pauline. Aku memberinya 200 mg, dilarutkan dalam susunya. la tidak akan menderita. la hanya akan tertidur, Pauline."

Marjorie ternganga. la segera menggandeng George, bergantung di pundaknya. Begitu George didorong mendahului, ia mendengar suara itu lagi, suara yang sama yang diulang-ulang dengan irama hipnotis yang sama tenangnya.

"Aku memberinya 200 mg dilarutkan dalam susunya. la tidak akan kesakitan. Itu satu-satunya cara. Aku melakukannya untukmu Pauline ...."

George mendorong pintu kamar. Mama bersandar pada kepala tempat tidur, setengah terduduk, wajahnya agak bengkak. Matanya yang buruk penglihatannya membelalak. Tidak ada orang lain di kamar itu, hanya ... Pauline.

Pauline berdiri ketika mereka memasuki kamar itu, dan mengangguk dengan sikap yang tenang. la meletakkan jarinya di mata Mama dan mengatupkan kelopak matanya. Marjorie berdiri kaku, badannya seperti lumpuh, seperti orang dihipnotis.

Dengan suara berwibawa, dalam, dan berpendidikan, suara yang biasa terdengar lembut di telepon itu sekarang menyampaikan ucapan simpati atas rasa kehilangan Marjorie, ia mengatakan, "Apa kabar? Saya dr. Pavlov. Sayang sekali, kita bertemu dalam suasana seperti ini…”

Marjorie menjerit histeris! (Ruth Rendell)

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350649/karena-kakak-keras-kepala" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530677000) } } }