array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3635612"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/pembantaian-ala-nazi_paolo-chiab-20230105070921.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(135) "Seorang pria mencoba mencari penampungan pengungsi gipsi di Inggris. Namun yang ditemui adalah rekan-rekannya yang telah keracunan gas."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/pembantaian-ala-nazi_paolo-chiab-20230105070921.jpg"
      ["title"]=>
      string(20) "Pembantaian Ala Nazi"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-01-05 19:09:38"
      ["content"]=>
      string(43922) "

Intisari Plus - Seorang pria mencoba mencari penampungan pengungsi gipsi di Inggris. Namun yang ditemui adalah rekan-rekannya yang telah keracunan gas.

--------------------

Meski seorang gipsi, Michael Vlado belum pernah berkelana ke mana-mana. la puas hidup bersama istrinya di kaki Pegunungan Alp-Transilvania, Rumania, beternak kuda dan bekerja bersama anggota sukunya. la menjadi kepala suku ketika usianya lewat 40 tahun. Namun, perlakuan tak semena-mena terhadap kaum gipsi di Eropa, bersamaan dengan pergolakan politik di Eropa Timur, mengubah gambaran itu. Atas permintaan pihak Uni Eropa, ia harus pergi untuk mencari tahu kenapa orang-orang Rumania mencari suaka politik.

Itu sebabnya, pada akhir Oktober 1997 ia berada di atas kereta api menyusuri terowongan bawah laut dalam perjalanan menuju Inggris. Ribuan gipsi yang menghadapi meningkatnya perlakuan buruk di Slovakia dan Republik Czech, tergiur untuk melarikan diri setelah menyaksikan sebuah acara televisi Kanada yang memperlihatkan kedatangan imigran asal Rumania disambut baik di negeri itu. Ketika Kanada memberlakukan peraturan yang lebih ketat, perhatian mereka beralih ke Inggris.

Michael bersama Kolonel Jugger, seorang pejabat dari Uni Eropa, pergi ke Dover guna meneliti masalah itu. Setelah kereta api menyusuri terowongan bawah air Selat Inggris yang seolah tak berujung, akhirnya Michael Vlado tiba di Inggris untuk pertama kali dalam hidupnya.

Kolonel Jugger telah mengatur kendaraan untuk menjemput mereka di stasiun. Setelah pensiun dan dinas ketentaraan di bekas Jerman Barat, ia bekerja pada Uni Eropa. Berhubung ahli soal migrasi di negara-negara di Eropa, otomatis ia juga ahli tentang gipsi. “Ada bekas panti asuhan di Starkworth, kira-kira 30-an kilometer dari sini,” kata Jugger. “Pemerintah menjadikannya penampungan darurat bagi kaum gipsi yang meminta suaka, setidaknya sampai pengadilan memutuskan permohonan mereka.” Ia memberi tahu sopir tujuan mereka.

“Saya tidak tahu populasi orang Rumania di Inggris,” Michael mengaku.

“Mereka juga sering disebut kaum ‘pengelana’, istilah untuk gipsi maupun mereka yang bicara dengan bahasa Shelta. Jumlahnya sekitar 50.000 orang, 20.000 orang lainnya di Irlandia.”

“Shelta?” 

“Itu bahasa prokem, sebagian berbasis bahasa Irlandia dan hanya dipakai oleh para gipsi di Kepulauan Britania. Ini masa sulit bagi kaum nomaden di sini. Dulu, para gipsi berkemah di kawasan luar kota. Jauh dari keramaian dan tidak mengganggu, malah terkadang dimanfaatkan sebagai pekerja musiman di pertanian. Begitu jumlahnya bertambah dan tanah-tanah kosong makin berkurang, konflik mulai timbul. Masyarakat pinggir kota ini tidak mau diusik oleh kedatangan mereka.”

Mobil berbelok menuju ke arah pantai dan memasuki kota kecil Starkworth. Mirip kota-kota lain, kota ini memiliki menara jam di balai kotanya dan sebuah gereja tua.

Sampailah mereka di tujuan, yaitu sebuah bangunan besar bercat putih dikelilingi pepohonan. “Berapa orang yang dapat ditampung di sini?” tanya Michael.

“Sekitar seratus. Mungkin sekarang dihuni setengahnya.”

Ketika mendekati pintu masuk, Jugger yang berjalan di depan Michael melihat seseorang tergolek di dekat pintu. Ketika menghampiri orang itu, Michael sempat melongok ke dalam. Tampak beberapa sosok lagi terkapar di lantai.

Anak muda itu membuka matanya sekejap. “Gas,” katanya. “Mereka semua ....”

 

Pesuruh itu tahu

Peristiwa yang beberapa jam kemudian dikenal dunia sebagai “Pembantaian di Starkworth” itu semakin jelas setelah polisi dan ambulans datang. Dua orang polisi memeriksa sekeliling bangunan, mengintip ke dalam lewat jendela-jendela besar. Ketika kembali mereka melaporkan bahwa ada mayat di mana-mana.

Dua petugas berjas karet dan masker dari pasukan pemadam kebakaran yang dipanggil kemudian masuk ke dalam sambil membawa alat pengukur polusi udara. Cepat sekali mereka keluar, lalu tampak beberapa petugas lain memasang kipas besar penyedot udara yang didongakkan ke atas di pintu masuk panti.

Sejam kemudian setelah petugas mengecek ke dalam, tercatat ada 53 mayat laki-laki, perempuan, dan anak-anak, ditambah dua orang wanita relawan yang mengurusi kebutuhan para imigran. Hanya anak muda itu yang selamat dan belakangan diketahui sebagai pesuruh. Di ruang bawah tanah di dekat pipa pemanas ditemukan dua kaleng kosong. Jugger minta agar kaleng-kaleng itu diperiksa.

Wajah Jugger memerah melihat kedua kaleng itu. “Ini seperti yang dipakai di Auschwitz,” kata Jugger geram. “Tablet sianida dilarutkan dalam asam untuk menghasilkan gas hidrogen sianida yang cepat kerjanya.” 

“Saya tahu soal Auschwitz,” kata Michael. “Orang Yahudi dan gipsi dibunuh dengan gas setiap hari. Apakah Anda mau mengatakan bahwa ada orang yang sengaja membunuh mereka dengan cara seperti digunakan di kamp kematian Nazi?”

Orang Jerman itu hanya tertunduk. “Saya khawatir ada tindak kriminal di sini.”

Mereka lalu memutuskan untuk menginap, setidaknya semalam, di sebuah hotel beberapa blok dari panti asuhan. Hotel itu berlantai lima dengan ruang makan dan ruang pertemuan di lantai paling atas menghadap ke laut. Tak pelak sore itu penuh dengan acara polisi minta keterangan pada mereka dan Jugger yang sibuk bolak-balik menelepon atasannya di Brussel. Mereka berhasil menghindari pers dan diam-diam pergi mencari makanan kecil dan minuman di pub terdekat. Saat itu stasiun-stasiun televisi menyela acara reguler mereka dengan liputan yang disebut Pembantaian di Starkworth.

“55 laki-laki, perempuan, dan anak-anak tewas,” penyaji berita melaporkan, “dan satu orang berada di rumah sakit dalam kondisi yang tidak mengkhawatirkan. Meski autopsi belum selesai, polisi yakin mereka korban serangan gas hidrogen sianida yang dialirkan lewat pipa penghangat dalam bangunan itu. Kedatangan kelompok besar kaum gipsi baru-baru ini di Dover dalam rangka mencari suaka, meningkatkan ketegangan meskipun tidak terjadi tindak kekerasan sebelumnya terhadap mereka. Pemerintah memperkirakan, sekitar 800 orang gipsi Eropa telah mendarat di Dover pada minggu belakangan ini, sementara upaya untuk menyediakan akomodasi dan pendidikan tengah dilakukan.”

“Anda percaya hal itu?” tanya Michael pada Jugger. 

“Saya tidak ingin mempercayainya. Mungkin ada orang gila sedang melancarkan teror. Apa Anda dapat membantu kami dengan petunjuk itu?”

Michael memberi isyarat betapa ia pun tak berdaya. 

“Bukankah ini urusan polisi setempat dan Scotland Yard?” 

“Uni Eropa menanggung risiko besar dalam persoalan ini. Tindakan teroris yang luput dari hukum terhadap kaum imigran dapat mendorong terjadinya tindakan serupa, terhadap kaum gipsi.” 

“Dari mana saya harus mulai?” tanya Michael. “Semuanya ‘kan tewas?” 

“Si pesuruh yang selamat itu. Ia mungkin tahu sesuatu.”

 

Pertemuan rahasia

Esok harinya Starkworth hiruk-pikuk. Para kru televisi dari BBC dan jaringan TV swasta memadati jalanan kecil dengan kendaraan-kendaraan mereka. Koresponden Eropa dan Amerika berdatangan pagi itu. Tim penyidik dari Scotland Yard ada di mana-mana. Kolonel Jugger dan Michael yang belum selesai dengan sarapan mereka, dimintai keterangan oleh dua orang penyidik dari London itu. Mereka menceritakan kisah penemuan mayat-mayat itu.

“Bagaimana dengan Mr. Isaacson?” tanya salah seorang penyidik dari Scotland Yard, Inspektur Drexell. “Siapa?” tanya Michael. 

“Satu-satunya yang selamat. Orang yang Anda temukan di pintu masuk panti. Kami ingin tahu persis apa yang ia katakan.”

Jugger berpikir sebentar sebelum menjawab. “Begini, ‘Gas, mereka semua tewas.’ Bukan begitu, Michael?”

“Tidak bilang apa-apa lagi?” Mereka berdua menggeleng. “Ia sulit bernapas,” kata Michael. 

“Bagaimana kondisinya sekarang?” 

“Menurut dokter, keadaannya terus membaik,” kata inspektur.

Ketika para penyidik itu pergi, Kolonel Jugger urung menghabiskan sisa sarapannya. “Mereka mungkin ....” 

Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba seorang wanita berambut pirang dan jangkung masuk ruang makan itu. Dibalut jaket kulit hitam dan rok mini ketat serta sebuah ransel di pundaknya, wanita itu nyelonong ke meja mereka, “Siapa di antara Anda yang bernama Michael Vlado?”

“Saya,” kata Michael sembari tersenyum. 

“Katie Blackthorn, dari Skywatch World Service. Saya ingin mewawancarai Anda sehubungan dengan peristiwa pembunuhan itu.”

“Yang saya ketahui tak jauh beda dengan yang ada dalam berita-berita,” kata Michael. 

“Saya mengerti Anda seorang kepala suku yang datang kemari khusus untuk bertemu dengan para korban. Itu yang ingin saya tanyakan.”

Meski agak enggan, Michael mengikuti wanita itu menuju suatu tempat yang sepi di lobi hotel, di mana juru kameranya menunggu. “Ini Dominick,” katanya. “Ia juru kamera saya. Dominick, saya perlu tiga menit bersama Mr. Vlado, mungkin dengan latar belakang dinding itu saja.”

“Apa kabar?” sapa Dominick sambil menjabat tangan dan mengatur kamera di pundaknya. Tubuhnya besar dan tegap, rambutnya hitam. Saat itu ia mengenakan kaus oblong bergambar kelompok musik rock. la membidikkan kameranya beberapa meter dari mereka. “Siap, Katie.”

Juru kamera itu merekam beberapa cuplikan ketika Katie memperkenalkan Michael kepada pemirsa, lalu Katie mengawali wawancara dengan pertanyaan seputar dirinya sebagai kepala suku gipsi.

“Anda percaya pembunuhan itu adalah upaya untuk membendung imigrasi kaum gipsi?”

“Saya tidak tahu. Saya masih terguncang akibat peristiwa itu.”

Katie Blackthorn tersenyum. “Terima kasih, Mr. Vlado,” ucap Katie. “Cukup, Dominick.”

Dominick berhenti merekam lalu memutar kembali hasil rekamannya untuk Katie. Ketika Michael diam mengamati, terdengar telepon Katie berdering dalam ranselnya. “Blackthorn di sini.” Sepertinya bukan dari orang yang dia kenal. Telepon tidak jadi ditutup karena apa yang dikatakan si penelepon tampaknya menarik perhatian Katie. “Cubberth? Dari mana Anda tahu nomor telepon saya? Baik, di dermaga satu jam lagi.”

Katie menyimpan telepon genggamnya. “Dari penggemar,” kata Katie kepada Dominick. “Kantor yang memberi tahu nomor telepon saya. Ambil beberapa gambar gereja dan balai kota sebagai ilustrasi. Kita ketemu lagi di hotel nanti siang.”

 

Kaum gipsi melarikan diri

Michael kembali ke meja melanjutkan sarapan. “Ini mungkin baru yang pertama dari serangkaian wawancara dengan Anda,” kata Jugger.

“Wanita itu baik sekali. Saya mesti nonton di berita malam.” 

“Saya harus lapor ke orang imigrasi. Anda mau ikut?”

Michael cuma menggeleng. “Lebih baik saya keliling kota saja. Saya datang kemari untuk berbicara dengan orang gipsi dan hingga kini belum bertemu dengan satu orang pun.”

Pelayan membawakan rekening. “Baru saja ada laporan di televisi, Pangeran Charles akan tiba sore ini untuk meninjau tempat kejadian.”

Michael segera berangkat sebelum jalanan menjadi macet. Polisi sedang berjuang agar lalu lintas di jalan-jalan utama lancar. la menghampiri seorang polisi untuk menanyakan jalan menuju lokasi karavan di kota ini. “Terus saja sampai rel kereta api, lalu belok kiri kira-kira 500 meter lagi,” kata polisi. “Tapi Anda tidak akan menemukan para gipsi di sana, kalau itu maksud Anda. Mereka sudah pergi. Takut, mungkin.”

Michael menengok arlojinya, baru pukul 10.30. Ketika dua puluh menit kemudian tiba di tempat yang dituju, lapangan itu betul-betul kosong. Namun, terlihat ada seorang laki-laki tua berjalan dengan tongkatnya yang besar dan tampak bingung. Begitu dekat, Michael bisa melihat dengan jelas tongkat itu berukiran cukup rumit. la pernah melihat tongkat serupa, dibawa oleh orang-orang gipsi yang sudah tua. “Maaf, Anda gipsi?”

Orang itu menjawab dengan bahasa yang asing di kuping Michael. Lalu ia coba pakai bahasa Rumania. Masih saja omongan orang itu sulit dipahami. Akhirnya, Michael ingat bahasa Shelta. “Shelta?” kata Michael.

Wajah orang tua itu mendadak ceria, lalu ia bicara lebih pelan. “Siapa nama Anda?” tanya Michael.

“Granza Djuric. Waktu saya pergi kemarin, karavan-karavan itu masih ada di sini.”

“Ada peristiwa tragis baru saja terjadi,” Michael mencoba menjelaskan. “Orang-orang gipsi yang baru tiba dari Eropa tewas di kota ini kemarin. Warga Anda mungkin pergi menyelamatkan diri.”

Tiba-tiba dari sudut lain lapangan itu muncul seorang penunggang kuda melaju ke arah mereka. Orangnya masih muda, 20-an tahun, bajunya warna-warni menggelembung terembus angin saat memacu kudanya. “Granza!” teriak anak itu.

Granza Djuric tersenyum. “Itu Dane, cucu saya.”

Ketika penunggang kuda itu turun, Michael memberi salam. “Michael Vlado. Saya kepala suku Rom di kaki pegunungan di Rumania.”

Dane menjabat tangannya. “Dane Morgan. Kami pergi dari sini pagi-pagi sekali. Saya kira kakek saya ini sudah ada di karavan lain. Kami baru sadar kalau ia ketinggalan, makanya saya kembali.”

“Kalian pergi karena peristiwa pembunuhan itu?”

Ia mengangguk. “Mengerikan. Ada yang mengira kami pelakunya. Tapi ada yang percaya, kami korban berikutnya. Sudah saatnya kami pergi.”

“Anda sudah dengar semuanya? Apakah penduduk Starkworth menolak kedatangan gipsi lebih lanjut?”

“Sebagian mungkin begitu, tetapi mereka tinggal di sini hanya sementara.” Dane lalu berpikir sejenak. “Ada orang yang ....”

“Siapa?” 

“Namanya Cubber atau Cubberth. Ia punya laboratorium yang membuat obat-obatan semacam LSD. Beberapa minggu lalu ia mencoba menjual beberapa kepada kami, tetapi dia kami usir.”

Cubberth. Ya, Michael ingat sekarang. Dia orang yang janjian dengan Katie Blackthorn lewat telepon untuk bertemu di dermaga. Ketika menengok arloji, saat itu beberapa menit menjelang pukul 11.00. Kalau cepat sampai, mungkin masih keburu menjumpai pertemuan itu. “Mana jalan ke dermaga?” katanya pada Dane Morgan.

“Ada jalan pintas dari sini.” Ia memberi tahu Michael sebelum membantu kakeknya naik ke punggung kuda.

 

Tukang mancing itu lenyap

Panjang dermaga Starkworth kira-kira 30 m dan tampaknya menjadi tempat orang memancing di kota itu. Ada pantai yang sempit dan berbatu di sisi lain tetapi tak mengundang orang berenang di situ. Saat tiba sekitar pukul 11.15, Michael melihat ada orang sedang duduk memancing sendirian di ujung dermaga. Topinya yang lebar melindungi kepalanya dari terik matahari. Lalu tampak ada seseorang naik ke dermaga. Rambutnya agak botak, tidak pakai topi, dan tampak ragu-ragu gerak-geriknya. Akhirnya, ia berjalan menghampiri orang yang tengah memancing itu.

Michael sempat mengira si pemancing itu Katie Blackthorn yang menyamar agar luput dari perhatian wartawan lain pesaingnya. Ternyata bukan, sebab dilihatnya Katie muncul dari balik sebuah bangunan, bergegas menuju dermaga, masih mencangklong ransel. Michael mengejar Katie, tapi terlalu jauh untuk bisa tiba bersamaan di dermaga. Lelaki botak itu sudah sampai di ujung dermaga dan duduk di dekat si pemancing.

Michael baru setengah jalan ke arah mereka ketika Katie sampai di tempat kedua orang itu. la tidak tahu persis apa yang dilakukan Katie karena tubuhnya mengalangi pandangan Michael. Tiba-tiba Michael melihat wanita itu meloncat ke belakang seperti tersengat sesuatu. Topi lebar si pemancing tergeletak di dermaga dan jaketnya teronggok di bawahnya. Katie Blackthorn berteriak dan Michael cepat berlari menghampirinya.

“Ada apa?” teriak Michael. 

la berpaling ke Michael, wajahnya tampak ketakutan. “Dia mati!”

“Orang yang mancing itu?” 

“Tidak ada yang mancing di sini. Saya kira dialah orang yang bernama Cubberth.”

Tubuh lelaki botak itu merosot di tonggak kayu, lehernya sobek oleh pisau bergerigi. Michael mengamati sekeliling. “Saya tadi melihat ada orang memancing di sini.”

“Jaket dan topi itu disangga dengan gagang sapu ini. Itu yang Anda lihat.”

“Lalu siapa yang membunuh?” 

“Saya tidak tahu.”

Katie merogoh telepon genggamnya dan memencet nomor. “Polisi! Ini darurat! Ada yang tewas di dermaga Starkworth. Saya reporter televisi. Nama saya Katie Blackthorn. Ya, saya tetap di sini sampai Anda tiba.” la lalu memencet nomor lain. “Dominick, saya di dermaga. Kemarilah dan bawa sekalian kameramu!”

Beberapa saat kemudian terdengar suara raungan sirene. “Anda sedang apa di sini?” tanya Katie kepada Michael.

“Saya ingat nama Cubberth ketika ia menelepon Anda di hotel tadi. Saya baru mengobrol dengan seorang gipsi lalu nama itu muncul. Saya memutuskan untuk bergabung dalam pertemuan Anda dengan orang itu.”

Inspektur Drexell termasuk salah satu yang datang pertama kali di dermaga. “Kalian sedang bersama-sama ketika menemukan mayat itu?” ia bertanya kepada Michael dan Katie sementara asistennya memeriksa mayat korban.

Michael menjelaskan ia datang persis ketika korban sedang berjalan menuju ujung dermaga. “Saya tahu Cubberth membuat janji dengan Katie Blackthorn dan mungkin dialah orangnya. Katie datang beberapa saat setelah orang itu.”

Inspektur berpaling ke arah wanita itu. “Katie Blackthorn?”

“Cubberth menelepon saya di hotel tadi pagi. Ia mengaku punya informasi tentang pembunuhan kemarin. Ia bilang ingin bertemu dengan saya di sini.”

“Lalu apa hubungan Anda dengan Cubberth?” tanya inspektur pada Michael.

“Seorang gipsi bercerita bahwa ia memiliki sebuah laboratorium di dekat sini. Ia membuat LSD dan bahan-bahan kimia lainnya. Jika ia punya sesuatu untuk disampaikan kepada pers, barangkali berkaitan dengan pembunuhan itu.”

Inspektur mengangguk. Dominick muncul sambil memanggul kameranya dan merekam situasi dermaga. “Mayatnya ada di ujung sana,” teriak Katie.

Dominick bergegas melewati mereka. “Saya tadi sedang merekam sekitar balai kota seperti yang kamu pesan. Saya punya cuplikan bagus untuk kamu.”

Sip-lah! Sekarang ambilkan saya cuplikan dengan sosok korban yang tergorok lehernya itu!”

“Bukankah Anda hanya berdua dengan korban saat ia tewas? Mr. Vlado melihat ia berjalan beberapa meter di depan Anda menuju dermaga,” kata inspektur. 

“Tadi ada orang memancing di ujung dermaga,” tutur Michael. Dominick yang memakai kaus garis-garis tampak berhenti merekam dan mengganti kaset.

“Ke mana dia sekarang?” tanya Inspektur Drexell. 

Mereka melongok ke air dan Michael melihat airnya tak dalam. Katie tidak menjawab, sebaliknya ia berkata, “Tadi pagi saya ke rumah sakit mau menemui Isaacson, pesuruh yang cedera itu. Tapi sudah tidak ada. Katanya, sudah disuruh pulang.”

“Sebelum kalian pergi, saya ingin tahu nama gipsi itu, Mr. Vlado.” 

“Dane Morgan. Ia bersama kakeknya bernama Granza Djuric. Mungkin mereka sudah meninggalkan Starkworth.”

 

Ditinjau Pangeran Charles

Mereka tiba di hotel beberapa saat menjelang tengah hari. Tanpa Drexell, Michael tidak yakin mereka boleh mewawancarai satu-satunya korban selamat dalam pembantaian itu, tetapi Kolonel Jugger mengaturnya. “Dia tidak tahu apa-apa, tapi kalian boleh mewawancarainya kalau ia mau.”

Carl Isaacson duduk di kursi dalam ruang pertemuan di lantai paling atas. Katie Blackthorn segera mengambil alih wawancara. “Seperti apa keadaan di dalam panti ketika gas itu mulai mengalir lewat pipa-pipa itu? Anda tahu apa yang sedang terjadi?” 

“Pada mulanya tidak. Saya mendengar beberapa gipsi mulai batuk-batuk dan tercekik. Lalu saya melihat Ny. Withers, salah seorang relawan, pingsan di lantai. Saat itulah saya menyadari sesuatu yang buruk sedang terjadi. Saya lari sambil berteriak minta tolong, tapi saya pingsan di dekat pintu.”

Ketika televisi disetel, tampak di layar iring-iringan kendaraan yang membawa Pangeran Charles, sementara para kru TV berebut posisi terbaik. “Ia akan meninjau panti asuhan itu,” kata Katie. la menelepon Dominick dan menyuruh dia datang ke tempat itu dengan kameranya. Jugger beranjak keluar untuk bergabung dengan panitia penyambutan.

Ketika Dominick tiba, ia menyerahkan kaset-kaset berisi rekaman tentang taman kota dan dermaga, lalu cepat-cepat keluar bergabung dengan yang lain. “Anda harus mengirim kaset-kaset itu ke London?” tanya Michael.

“Tidak. Kami mengirimnya lewat satelit dari mobil siaran kami langsung ke studio. Apa saja yang kami rekam saat ini akan muncul dalam berita petang.”

Sebelum Michael berkata lebih lanjut, sederet limusin Rolls Royce berwarna hitam muncul. Para pengawal berlompatan turun dan berkerumun di sekitar limusin utama. Michael melihat sekilas Kolonel Jugger menjabat tangan Pangeran Charles dan kamera-kamera terus menyorot mereka.

Michael menyaksikan dari jendela hotel ketika serombongan pejabat itu bergerak menuju panti asuhan dan berdiri di depan bangunan untuk difoto.

Beberapa saat kemudian di sore hari ketika kunjungan Pangeran usai, Inspektur Drexell kembali. Michael melihat ia kembali tak lama setelah Dane Morgan masuk ke hotel ditemani kakeknya.

“Anda menangkap mereka?” 

“Dane Morgan justru membantu penyelidikan kami.”

“Saya tidak melakukan kesalahan apa-apa,” Morgan menyela. “Begitu juga kakek saya. Mengapa kami harus membunuh warga kami sendiri? Kakek saya pun datang dari kawasan yang sama 60 tahun yang lalu.”

Di posko masih ada kegiatan ketika beberapa anak buah Drexell datang menyelesaikan tugas yang lain. Ia keluar sebentar untuk bicara dengan mereka dan masuk lagi bersama Kolonel Jugger yang mengikutinya dari belakang.

Drexell mengajak Michael dan si kolonel menjauh dari Dane dan kakeknya. “London minta tindakan cepat dan saya kira kita punya sesuatu. Soal Cubberth, korban yang tewas di dermaga itu, anak buah saya menemukan sebuah lab kecil di rumahnya seperti disebut Dane. Ditemukan pula tempat berisi tablet sianida dan asam seperti digunakan di panti asuhan itu. Jadi, Cubberth adalah tersangka. la mungkin bunuh diri dengan menggorok lehernya di dermaga itu.”

“Lalu bagaimana Anda menjelaskan jaket dan topi pada gagang sapu itu? Serta mengapa ia minta Katie menemuinya jika ia hanya akan bunuh diri tanpa lebih dulu mengatakan apa-apa?”

“Menurut Anda, apa yang terjadi?” tanya Drexell yang tampak ingin cepat-cepat menyelesaikan kasus ini. “Anda menduga Katie terlibat?”

“Saya tidak tahu. Saya rasa Cubberth memasok bahan-bahan kimia itu kepada seseorang dan orang itu menggunakannya. Lalu Cubberth dihabisi agar tidak bicara kepada pers. Begitu tahu bahan-bahan kimianya itu dipakai untuk kejahatan, ia ingin mengamankan diri.”

Drexell masih sibuk dengan informasi yang masuk. Michael turun mencari mobil van si Katie. Jalan antara hotel dan panti asuhan dipenuhi lima mobil van yang parkir berderet.

Ketika mendapati van Katie, Michael melongok ke dalam. “Masuk,” kata Katie. “Saya punya berita hebat. Kami sedang menyiapkan bahan untuk salah satu stasiun televisi besar di Amerika!”

“Lalu, apa artinya itu?” 

“Saya akan muncul di televisi Amerika itu dalam berita malam. Lihat rekaman ini!” Cuplikan itu dimulai dengan close-up wajah Katie yang sedang mengatur adegan. Lalu beralih ke pusat kota dan menara lonceng balai kota. “Dominick dapat cuplikan bagus di sini. Coba lihat.” Tepat tengah hari ketika lonceng berdentang, sekawanan burung terbang berhamburan ke luar menara. Adegan kembali menampilkan Katie yang berdiri di depan panti. Ia terus memutar cuplikan peristiwa hari itu termasuk pembunuhan di dermaga yang masih misterius dan kedatangan Pangeran Charles.

Dominick muncul dan berkata kepada Katie, “Ada perkembangan baru! Inspektur baru saja kembali bersama beberapa orang. Mereka terburu-buru.”

Michael mengikuti Katie yang setengah berlari, diikuti Dominick dengan kameranya. Ketika mereka sampai di lift, seorang petugas dari Scotland Yard menghadang mereka. “Maaf, hanya yang berkepentingan boleh naik. Ruang makan ditutup malam ini.”

“Saya Michael Vlado, teman Kolonel Jugger.”

“Katie Blackthorn dan ini juru kamera saya, Dominick Withers. Kami berdua ada dalam daftar Anda.”

Petugas tersenyum. “Tidak ada dalam daftar ini. Pers dilarang masuk. Anda boleh naik, Mr. Vlado.” 

“Michael, teman saya,” Jugger memulai setelah Michael duduk di ruang pertemuan.

“Apa yang terjadi?” 

“Kita menghadapi keadaan serius sekarang,” kata Drexell. “Beberapa informasi penting yang sampai ke tangan kami menunjuk pada kemungkinan tersangka baru.” 

“Maksud Anda si gipsi, Dane Morgan?” 

“Bukan, tapi Kolonel Jugger.”

 

Dendam turunan

Mendengar itu Michael seperti tersengat listrik. “Mana mungkin! Kami selalu bersama-sama dalam perjalanan. Saat terjadi pembunuhan, kami masih berada di Prancis.”

“Tolong dengarkan saya dulu,” kata inspektur. “Fakta yang kami temukan memang mengejutkan. Kolonel Jugger lahir di Jerman menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Usai perang, ayahnya diadili sebagai penjahat perang. Tuduhan yang dijatuhkan termasuk melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang gipsi dalam kamar gas di Auschwitz. Ayahnya diganjar hukuman seumur hidup tetapi belakangan dikurangi masa hukumannya karena alasan kesehatan. la dibebaskan dari penjara pada 1971 dan meninggal setahun kemudian. Betul demikian, Kolonel?”

“Betul,” kata Jugger dengan suara lirih. “Apakah dosa para ayah juga harus ditanggung oleh anak-anaknya?”

“Setelah apa yang terjadi pada ayah Anda, mungkin kebencian terus tumbuh dalam diri Anda terhadap kaum gipsi.”

“Justru sebaliknya, saya curahkan hidup saya untuk menghapus kejahatan yang pernah dilakukan ayah saya.”

“Tapi tindakan itu dilakukan dengan senjata yang sama seperti yang kita dapatkan di Starkworth. Ini lebih dari sekadar kebetulan.”

Michael merasa harus memotong pembicaraan. “Bagaimana dia bisa berada di dua tempat dalam waktu bersamaan, Inspektur?”

“Saya kira kita sepakat bahwa Cubberth dipaksa menyiapkan bahan-bahan kimia yang diperlukan atau bahkan sebagai kaki tangan seseorang. Sebaliknya, tidak ada alasan untuk melenyapkan Cubberth. Taruhlah kita berpikir lebih jauh. Barangkali ia dibayar untuk memasok bahan-bahan kimia itu dan menyerang orang-orang gipsi di panti asuhan dengan bahan itu. Jika Kolonel Jugger menyewanya dan tiba setelah peristiwa pembunuhan, jelas dia sama sekali tidak bisa dicurigai.”

“Anda tidak punya bukti atas tuduhan itu!” sergah Michael.

“Kami punya bukti fisik dari rumah Cubberth. Dengan penyelidikan sedikit lagi, saya kira akan kita dapatkan siapa yang menyewa Cubberth.”

Michael yang berada di sudut ruangan itu berjalan menuju jendela besar yang menampakkan pemandangan air laut yang bergulung-gulung. Pikirannya teraduk-aduk. Pada arah yang lain, ia melihat gelap malam mulai meliputi Starkworth. Hari makin larut, burung-burung di menara lonceng kota tak tampak lagi.

Michael kembali ke mejanya. “Tolong panggil para wartawan dan juru kamera kemari. Saya akan mengungkapkan siapa pembunuh Cubberth dan ke-55 orang itu berikut alasannya.”

 

Ingin membunuh ibunya

Semula inspektur tidak setuju. Sebenarnya ia belum ingin mengungkapkannya kepada pers sebelum tahu persis apa yang terjadi. Michael mengajak inspektur ke tempat menyendiri dan berbicara cukup lama di situ. Akhirnya, “Baik. Kita coba,” Kata Drexell.

Beberapa saat kemudian ruang pertemuan itu dipadati wartawan dan juru kamera TV. Malam makin menyelimuti Starkworth.

Michael melangkah ke mikrofon, matanya menatap Katie yang berdiri di baris depan. Kolonel Jugger telah mengumpulkan mereka yang terkait dengan kasus ini, termasuk Dane Morgan dan kakeknya Granza dalam ruang pertemuan itu. Seorang petugas membawa Carl Isaacson, satu-satunya yang selamat dalam tragedi, masuk ke ruangan itu juga.

“Saudara-saudara, maafkan bahasa Inggris saya pas-pasan,” kata Michael. “Saya datang dari pelosok desa di Rumania, tapi saya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan persaudaraan. Saya sendiri gipsi, juga kepala suku, tetapi saya telah bekerja sama dengan pihak kepolisian Rumania untuk membongkar sejumlah tindak kejahatan.”

Katie mengangkat tangan untuk bertanya, tetapi Michael mencegah karena nanti ada waktunya. “Mungkin pertanyaan paling besar adalah bagaimana orang sanggup melakukan kejahatan yang begitu mengerikan. Itu mengingatkan peristiwa pembantaian serupa di Auschwitz terhadap orang-orang Yahudi dan kaum gipsi, yang juga dibunuh dengan cara serupa pada masa Perang Dunia II. Apakah itu pekerjaan teroris atau orang gila?”

“Bagi saya, titik terang terbongkarnya kasus ini muncul tadi pagi ketika warga setempat bernama Cubberth terbunuh di dermaga. Sebelumnya saya sudah diberi tahu, Cubberth mengolah LSD dan bahan kimia lain di laboratorium di rumahnya, dan menjualnya sebagian kepada para gipsi di wilayah ini. Anak buah Inspektur Drexell menemukan bukti bahwa di rumahnya Cubberth mengolah bahan kimia yang dipergunakan untuk membunuh ke-55 orang itu. Si pembunuh sudah pasti menyewa Cubberth untuk melakukannya.”

Kali ini Katie tak tahan untuk tidak bertanya. “Bagaimana Anda tahu Cubberth bukan bunuh diri?” teriaknya.

Michael menjawab, “Cubberth menelepon dan meminta Anda menemuinya di dermaga tadi pagi. Apa yang ingin dia katakan pada Anda? Bahwa ia telah membunuh mereka semua? Yang lebih masuk akal, ia akan menyampaikan sesuatu yang ia ketahui tentang pembunuhan di panti itu dan siapa orang di belakangnya. Teori ini didukung oleh peristiwa pembunuhan terhadap Cubberth di ujung dermaga saat Anda datang hendak menemuinya.”

“Tetapi apa yang terjadi dengan si pembunuh?” 

“Bagaimana si pembunuh menghilang begitu saja, itu sederhana sekali. Jaket dan topi itu dia gunakan untuk menyamar. Cubberth menghampiri orang itu, mengira Andalah yang duduk di sana. Si pembunuh menggorok lehernya lalu menghilang di ujung dermaga dengan cara masuk ke dalam air sewaktu Anda berjalan mendekatinya. Saya perhatikan air di bagian itu tidak begitu dalam dan si pembunuh naik ke daratan lewat bawah dermaga. Pandangan Anda terfokus pada Cubberth serta jaket dan topi itu sehingga Anda tidak melihatnya. Hal serupa juga terjadi pada saya ketika mengikuti Anda ke sana. Si pembunuh berhasil meloloskan diri tapi pembunuhan itu meninggalkan petunjuk yang saya perlukan untuk mengetahui identitasnya.”

“Ia tidak meninggalkan petunjuk apa-apa,” Katie membantah. Konferensi pers itu berubah menjadi dialog antara mereka berdua namun dicatat oleh pers dunia.

“Coba pikirkan lagi. Bagaimana si pembunuh tahu Cubberth akan datang ke dermaga? Cubberth tidak berkata kepadanya dan saya melihat Cubberth sendirian berjalan ke dermaga. Si pembunuh sudah berada di ujung dermaga. Jadi, ia tidak membuntuti korbannya. Si pembunuh pasti sudah tahu sebelumnya kalau akan ada pertemuan itu. Saya ada di samping Anda ketika Cubberth menelepon Anda lewat telepon genggam, persis ketika Anda selesai mewawancarai saya. Anda tidak mengatakan apa isi percakapan itu, tetapi Anda menyebut nama Cubberth, waktu, dan tempat pertemuan. Itulah yang perlu diketahui si pembunuh.”

“Tetapi tidak ada orang lain lagi di sana kecuali Anda dan saya!” sergah Katie. 

Michael menggeleng. “Masih ada orang lain. Juru kamera Anda, Dominick.” 

Saat Michael berkata begitu, Dominick berhenti merekam dan meletakkan kameranya di lantai. Semua mata tiba-tiba tertuju pada Dominick. “Ini sih gila!” katanya marah.

“Oh ya? Si pembunuh basah kuyup setelah menyeberang ke daratan lewat bawah dermaga. Anda mengenakan kaus oblong bergambar kelompok musik rock waktu sarapan tadi. Tetapi ketika kemudian Katie memanggil Anda agar datang ke dermaga untuk merekam adegan pembunuhan, Anda sudah ganti dengan kaus garis-garis.”

Dominick membasahi bibirnya sambil maju beberapa langkah. Di belakangnya, Katie Blackthorn mengambil kamera Dominick. la memanggulnya dan mulai merekam. “Saya tidak berada di dermaga sampai Katie memanggil saya,” kata Dominick. “Saat itu saya ada di alun-alun merekam cuplikan menara balai kota. Anda bisa melihat di kasetnya.”

“Saya sudah melihatnya,” tutur Michael. “Anda merekamnya tepat pada tengah hari, terbukti dengan adegan burung-burung yang beterbangan karena takut bunyi lonceng. Sebuah gambar yang bagus, tetapi itu justru menjadi bukti bahwa Anda berada di sana hampir satu jam setelah pembunuhan itu, bukan pada saat Cubberth terbunuh.”

Wajah Dominick memucat, sementara Inspektur Drexell bergerak mendekatinya. “Mengapa saya harus melakukan perbuatan gila itu?” katanya pura-pura tidak mengerti. 

“Saya tidak bisa menjelaskan persisnya,” kata Michael. “Tapi yang jelas bukan orang gipsi, ‘kan? Mereka hanya kedok bagi Anda untuk menutupi motif yang sebenarnya, yaitu semacam motif meledakkan sebuah pesawat hanya karena jngin membunuh satu orang saja di dalamnya. Tadi, ketika petugas menghadang kami di pintu, Katie menyebut nama Anda dengan Dominick Withers. Salah seorang relawan yang tewas oleh gas beracun adalah Ny. Withers. Siapa wanita itu? Istri atau mantan istri Anda, barangkali?”

Dominick seperti makin ditelanjangi. Sebelum Drexell atau yang lain bergerak, Dominick berteriak lalu membenturkan diri pada kaca jendela yang menghadap ke laut.

Katie Blackthorn merekam semua peristiwa itu, tetapi akhirnya pihak stasiunnya memutuskan untuk tidak menayangkan peristiwa bunuh diri salah seorang karyawannya pada berita malam itu. Katie kembali ke London pagi harinya dan Kolonel Jugger datang menemui Michael untuk sarapan.

“Wanita itu ibunya, bukan bekas istrinya,” katanya kepada Michael. “Saya kira kita tidak akan pernah tahu lebih dari itu. Dominick tinggal di Maidstone, setengah perjalanan menuju London, maka tidak sulit bagi dia untuk naik kendaraan kemari dalam setengah jam dan menyiapkan gas dari Cubberth di panti asuhan itu.” (Edward D. Hock)

Baca Juga: Dendam Masa Lalu

 

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635612/pembantaian-ala-nazi" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945778000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3400951" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/calon-pengantin-meninggal-berpel-20220803014002.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(131) "Sehari sebelum pernikahan, Twigg datang ke rumah keluarga calon istrinya. Ternyata 20 menit kemudian keduanya sudah tidak bernyawa." ["section"]=> object(stdClass)#64 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/calon-pengantin-meninggal-berpel-20220803014002.jpg" ["title"]=> string(36) "Calon Pengantin Meninggal Berpelukan" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 13:40:30" ["content"]=> string(29316) "

Intisari Plus - Sehari sebelum pernikahan, Twigg datang ke rumah keluarga calon istrinya. Ternyata 20 menit kemudian keduanya sudah tidak bernyawa.

-------------------

Pada musim gugur 1910, pengusaha dan petani buah-buahan Charles Edward Twigg, yang berumur 33 tahun dari kota Keyser, Virginia Barat, bertunangan dengan Grace Elosser, 28 tahun, anak seorang penduduk kaya dari kota kecil Cumberland di tepi sungai Potomac. Perkawinan akan dilangsungkan pada tanggal 1 Januari 1911.

Sehari sebelumnya pengantin pria datang kerumah mertua untuk menanyakan apakah cincin yang dibawanya untuk pengantin wanita itu pas atau tidak. Ibu pengantin wanita itu tidak begitu senang akan kedatangan menantunya itu, sebab ia tengah mempersiapkan segala sesuatu untuk perkawinan bersama putri-putrinya dan tidak suka diganggu. 

Gangguan semacam itu akan merusakkan segala rencananya. Akan tetapi karena ia tidak dapat mengusir pria itu, ia berpura-pura dan melanjutkan pekerjaan. Twigg menyapa adik pengantin sebentar dan kira-kira jam 1 siang masuk ruang tamu dengan calon istrinya.

Sejam kemudian wanita muda itu naik ke tingkat atas untuk menelpon sebuah toko, guna memesan sesuatu. Kemudian ia langsung kembali ke kamar tamu.

Setengah jam kemudian, jadi kira-kira 20 menit sebelum jam 3 sore hari, nyonya Elosser pergi ke ruang tamu untuk menanyakan sesuatu kepada anaknya. Sesudah ia mengetok pintu beberapa lama dan tidak mendapat jawaban, ia masuk dan melihat keduanya berpelukan erat duduk di bangku panjang. 

Mata mereka tertutup dan baik anaknya, maupun calon pengantin pria tidak menunjukkan ciri-ciri hidup. Karena sangat terkejut, nyonya Elosser memegang anaknya pada kedua bahu dan berbicara dengannya sambil menggoyang-goyangkannya. Tidak ada reaksi! Sejenak kemudian badan anaknya membungkuk dan jatuh ke lantai. Jelas bahwa baik ia maupun calon suaminya telah meninggal.

Nyonya Elosser lari keluar sambil menjerit-jerit memanggil suami dan kedua anak gadisnya yang lain. Mereka mengangkat badan Grace yang tidak bernyawa ke kamar tidur yang berdekatan dan mencoba melakukan cara-cara untuk menghidupkan kembali. Tapi tidak berhasil. Dokter-dokter yang kemudian dipanggil, memperhatikan kedua jenazah, berbisik-bisik dan menggelengkan kepala dengan ragu-ragu. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang harus dikatakan tentang kejadian ini.

Ujung lidah keduanya kemerah-merahan, seperti mereka saling menggigit. Twigg mempunyai sebuah permen karet dalam mulutnya dan sebungkus permen karet dalam saku jasnya. Selain daripada itu tidak ada hal-hal lain yang menarik perhatian kalau ditinjau dari luar saja.

Para dokter setuju untuk memanggil polisi. Polisi memeriksa keadaan kedua jenazah dengan teliti dan akhirnya memberi perintah untuk membawa kedua mayat ke tempat pemeriksaan dan mengatur segala sesuatu untuk otopsi.

Pada hari Tahun Baru, pemeriksaan mayat dikerjakan oleh dua orang dokter setempat. Sehari kemudian para ahli telah dapat memberitahu pers, bahwa kematian Charles Twigg dan Grace Elosser disebabkan oleh zat asam biru, racun yang dengan segera bisa melumpuhkan sistem pernapasan. Mereka telah menemukan sisa-sisa racun ini dalam isi perut kedua jenazah. Dalam pada itu terbukti juga, bahwa si pria telah mengisap jumlah yang lebih besar daripada calon istrinya.

Dari ciri-ciri aneh pada lidah dan kerongkongan kedua jenazah, para dokter menarik kesimpulan, bahwa kedua korban telah meminum racun itu dalam bentuk cairan. cangkir-cangkir atau gelas-gelas yang mungkin dapat digunakan untuk itu tidak diketemukan di tempat peristiwa terjadi.

Bahwa ini bukan bunuh diri, akan tetapi sebuah kejahatan, adalah hipotesis yang paling mendekati kebenaran dan yang akhirnya juga dianut oleh polisi dan umum.

Sebab untuk pembunuhan diri tidak ada motif sama sekali. Semua orang yang mengenal kedua pengantin menganggap bahwa pembunuhan diri tidak mungkin. Twigg berada dalam keadaan keuangan yang sangat baik. 

la mendapat banyak uang tahun lalu dan baru saja membangun rumah dan memesan Packard baru. Antara kedua tunangan juga tidak pernah ada perselisihan. Jadi memang tidak ada motif bagi pembunuhan diri. Sekarang tinggal diselidiki, siapa yang mungkin mengerjakan kejahatan itu dan apakah tujuannya.

Perkara itu langsung menarik perhatian besar di Amerika. Wartawan-wartawan berdatangan ke Cumberland dan membuat hipotesis-hipotesis yang tidak-tidak tentang latar belakang kejadian itu.

Sebagaimana telah dikatakan, para dokter beranggapan, bahwa racun itu telah diberikan kepada kedua almarhum dalam bentuk cairan. Jaksa dan polisi langsung saja memeriksa rumah keluarga Elosser dengan sangat teliti. Mereka memeriksa setiap gelas, setiap botol dan setiap tempat yang mungkin dapat memperlihatkan sisa-sisa racun. 

Keliling rumah juga diperiksa, kalau-kalau ada bekas tempat minum yang dibuang. Setiap tempat kotoran diperiksa, begitu pula setiap tumpukan kotoran tidak ada yang luput dari pemeriksaan. Hasil pemeriksaan besar-besaran ini sama sekali negatif, tidak diketemukan sesuatu pun yang dapat menolong. 

Dengan demikian dibenarkan apa yang telah dinyatakan ibu wanita muda itu, yakni bahwa baik pada jenazah-jenazah, maupun di seluruh rumah tidak ada sebuah tempat pun yang mungkin berisikan racun cair. Keluarganya serta para dokter dapat memperkuat pernyataan itu.

Disebabkan pernyataan-pernyataan ini maka kejadian itu menjadi semakin misterius. Semua orang lalu bertanya-tanya, sebab racun itu harus diberikan oleh seseorang kepada kedua sejoli. Dalam sekejap saja desas-desus mulai beredar. Ada yang mengatakan - meski tidak banyak jumlahnya - bahwa itu adalah peristiwa bunuh diri. Dalam mulut Charles Twigg telah diketemukan sebuah permen karet. Dalam saku jasnya dan dalam kamar Grace Elosser telah diketemukan sebungkus permen karet dan dalam kedua bungkus kurang sebuah.

Barangkali kejadiannya demikian: Grace atau salah seorang dari anggota keluarganya telah memberikan permen karet yang kurang tadi dan yang sebelumnya dimasukkan ke dalam zat asam biru kepada Twigg. Setelah Twigg mulai mengunyah-ngunyah, ia mencium calon istrinya. Karena ciuman ini, maka masuk juga zat asam biru dalam mulutnya dan dengan begitu ia terbunuh juga.

Teori ini meskipun dianut oleh koran-koran terpandang seperti “Chicago Daily Tribune” tidak dapat meyakinkan orang. Sebab apa motif yang dapat menerangkan kejahatan demikian itu? Baik pengantin pria maupun pengantin perempuan berada dalam keadaan finansial yang tertata, mereka sama sekali tidak bertabiat depresif dan dapat merencanakan hari depan bersama yang baik.

Hipotesis bunuh diri ini segera tidak dianut orang lagi. Tinggal kini kejahatan. Orang pun mulai memusatkan diri kepada siapa-siapa yang mungkin melakukan kejahatan itu.

Jika telah terjadi kejahatan dan kedua korban diberi racun dalam bentuk cair, maka tempat bekasnya telah disingkirkan sebelum para dokter dan polisi tiba di tempat kejadian. Orang berbisik-bisik, bahwa diantara penemuan jenazah dan pemanggilan dokter telah berlalu setengah jam. Jika hal ini benar, maka haruslah salah seorang dari keluarga Elosser atau salah seorang yang dekat dengan mereka yang ikut campur tangan dalam hal ini, siapa lagi?

Mula-mula bekas suami Grace Elosser yang dicurigai. Grace pernah kawin beberapa tahun dengan seorang anak muda yang berasal dari kota kelahirannya. Tiga tahun sebelumnya perkawinan ini dibubarkan, akan tetapi konon Grace masih berjumpa juga dengan bekas suaminya meskipun yang akhir ini telah kawin lagi.

Orang yang tiba-tiba kena getah ini dengan segera dapat membuktikan bahwa ia tidak terlibat dalam kejadian itu.

Twigg juga pernah menikah, akan tetapi istrinya meninggal. Pada waktu kedua jenazah itu pada tanggal 3 Januari dimakamkan di kota kelahiran masing-masing, maka kedua keluarga mulai saling curiga-mencurigai. Keluarga Elosser dengan terus terang menyatakan syak wasangka mereka bahwa Twigg telah membunuh anak mereka dan keluarga Twigg menyatakan, bahwa menurut mereka, Twigg telah disingkirkan keluarga Elosser.

Pada hari pemakaman, yang berwajib kembali memeriksa rumah keluarga Elosser, suatu bukti bahwa jaksa dan polisi mencurigai keluarga ini. Akan tetapi sekali lagi tidak diketemukan apa-apa.

Hari berikutnya terjadilah sensasi kecil yang langsung saja diambil oleh pers. Seorang anak kecil berumur 8 tahun muncul di tempat yang sedang mengusut perkara dan menceritakan:

Pada tanggal 31 Desember, pada kira-kira jam setengah dua siang ia disuruh ibunya membeli sebatang sabun di toko kelontong. Waktu ia pulang, ia melewati rumah keluarga Elosser dan melihat kakak Grace Elosser keluar rumah (kemudian terbukti, untuk memanggil dokter). Karena ia ingin tahu maka ia mendekati jendela ruang tamu dan melihat ke dalam.

Dalam ruang itu ia melihat Twigg dan bakal istrinya sedang duduk di kursi panjang. Grace Elosser bersandar pada bahu calon suaminya dan keduanya memegang gelas. Di lantai ada sebuah botol hijau. Gelas-gelas dan botol sudah disingkirkan sebelum semua dokter datang. Dokter yang datang pertama telah mengambil gelas dari tangan kedua sejoli dan botolnya disimpan.

Anak kecil itu menerangkan, bahwa ia boleh keluar masuk rumah keluarga Elosser dan tanpa malu-malu. Pada siang hari itu ia berada di rumah itu hingga dokter pertama, dokter Foard datang.

Jaksa menginterogasi anak laki-laki ini dan pada akhir pemeriksaan menyatakan bahwa ia tidak percaya sepatah pun dari ceritanya. Kepala polisi setempat juga menginterogasi anak laki-laki yang sama dan sesudahnya mengatakan, bahwa anak itu tidak bohong.

Kesempatan ini dipakai oleh polisi untuk sekali lagi memeriksa rumah keluarga Elosser. Mereka kali itu menemukan beberapa tempat selai dan gelas anggur yang tidak diperhatikan pada pemeriksaan-pemeriksaan yang lalu. Akan tetapi pada tempat-tempat itupun tidak dapat diketemukan bekas-bekas racun.

Pada waktu ia diinterogasi untuk ketiga kalinya, anak laki-laki kecil itu mengatakan, bahwa dr. Foard telah mengambil botol dengan isi yang hijau itu dan dimasukkannya dalam saku jasnya. Dr. Foard menyangkal hal itu.

Waktu masuk dalam ruang tamu, ia tidak melihat gelas atau botol apa pun, dan oleh karena itu ia tidak dapat mengambil apa-apa dari kedua jenazah. Tangan kedua jenazah tertutup rapat-rapat waktu ia melihat mereka untuk pertama kali. Jika ia telah mengambil gelas-gelas dari tangan mereka, maka tangan-tangan mereka harus terbuka. Dokter yang datang beberapa menit sesudah dr. Foard di rumah itu juga menyatakan bahwa apa yang dikatakan rekannya itu benar. Tidak ada seorang pun yang melihat botol atau gelas-gelas pada jenazah-jenazah itu.

Dr. Foard pada kesempatan ini mengatakan sebuah detail yang terus menimbulkan kesan tidak baik pada orang luar. Dr. Foard kira-kira sudah sepuluh menit memeriksa badan Grace Elosser, waktu salah seorang wanita dalam rumah itu memintanya datang ke ruang sebelah dan mengatakan: “Lihatlah dokter apa yang ada di sini!”. Baru ketika itulah mereka menganggap perlu untuk memperlihatkan jenazah Twigg padanya.

Grace terus saja ditolong dokter, sedangkan calon suaminya beberapa lama tidak diperdulikan. Sedangkan saat-saat itulah yang mungkin menentukan hidup-mati Twigg. Banyak orang yang marah waktu mereka mendengar hal itu dan pendapat orang bahwa ada hal-hal yang tidak beres dalam rumah tangga Elosser makin meyakinkan.

Lalu tiba-tiba diketahui, bahwa Twigg waktu itu mulai berkenalan dengan kakak beradik Elosser pada sebuah pasar malam tiga bulan sebelumnya, semula menaruh hati pada adiknya. Baru kemudian ia berpaling ke Grace. Orang bercerita, bahwa karena itu hubungan antara kedua kakak beradik agak retak dan mereka lama sekali tidak saling menegur. Kemudian terjadi pertengkaran yang sangat hebat, sehingga May Elosser tidak memberi hadiah Natal kepada kakaknya Grace. 

Waktu ditanya oleh jaksa, May Elosser mengaku bahwa pertunangan kakaknya dengan Charles Twigg itu menyebabkan keretakan di antara mereka. Dalam keadaan seperti itu tak heran kalau seseorang yang merasa disisihkan bisa nekad. “Racun,” kata dr. Harrington, kepala dinas kesehatan kota Cumberland, “adalah senjata wanita. Seorang laki-laki seperti tuan Twigg menggunakan revolver.”

Sebagai seorang laki-laki yang sangat tampan, Twigg selalu disanjung banyak wanita. Mungkin ada seorang wanita yang dilanda iri hati yang masuk dalam ruang tamu dan memberikan zat asam biru kepada kedua calon suami-istri? Barangkali orang itu hendak memberi selamat berhubung dengan perkawinan yang akan datang sambil minum anggur.

Yang berwajib, yang kemudian juga bimbang, lalu mengatakan bahwa May Elosser yang memberikan racun kepada kakaknya dan calon suaminya dalam minuman. Kemudian gelas-gelas disingkirkan dan ia mencoba bunuh diri. Oleh karena itu ia pingsan.

Perkara itu pada tanggal 6 Januari 1911 diajukan ke depan juri, untuk diambil keputusan apakah akan diadakan tuduhan terhadap May Elosser atau tidak. Dalam sidang pemeriksaan yang berlangsung beberapa jam, juri mendengarkan banyak saksi, tetapi akhirnya mereka berpendapat, bahwa hasil bukti-bukti tidak cukup.

Kedua dokter yang dipanggil keluarga Elosser waktu mereka menemukan kedua sejoli tidak bernyawa di ruang tamu, para dokter yang telah memeriksa dan akhirnya ahli kimia yang telah menganalisis isi perut, semua di depan juri menyatakan sepakat bahwa orang-orang muda itu telah diracun dengan zat asam biru.

Dr. Foard, salah seorang dokter pertama yang datang di tempat kejadian, mengatakan di depan pengadilan, bahwa May Elosser telah jatuh pingsan waktu ia sedang memeriksa mayat kakaknya. Gejala-gejala pingsan ini menunjukkan terkena racun zat asam biru yang ringan. May jatuh ke lantai, kejang, dari mulut keluar busa berdarah dan matanya berkaca-kaca dan tegang, lalu ia pingsan.

Dr. Broadrup, dokter yang datang sesudah Dr. Foard, ditanya hakim apakah gejala-gejala itu menunjukkan bahwa May telah menelan sejumlah kecil zat asam biru sebelum itu. Menurut dia memang May menunjukkan semua gejala orang yang terkena racun zat asam biru yang ringan. Dr. Barker, ahli kimia, sekali lagi menyatakan bahwa ia telah menemukan zat asam biru dalam perut kedua jenazah, pada wanita kurang daripada dalam perut pria. Akan tetapi pada permen karet yang berada dalam mulut keduanya tidak ada bekas-bekas zat asam biru.

Ibu pengantin wanita menceritakan bahwa Twigg memberi ciuman pada anaknya pada waktu datang dan lalu memberikan cincin kawin. Kedua calon pengantin itu telah meminta padanya agar ia duduk-duduk bersama mereka, akan tetapi ia menolak karena tidak mau mengganggu. 

Kemudian ia menemukan keduanya meninggal dalam ruang tamu dan menyangka bahwa keduanya sedang tidur. Ia menyapa anaknya akan tetapi tidak dapat jawaban. Kepada Twigg ia berseru: “Charlie, Charlie, apa yang telah kau lakukan?” Ia juga tidak memberi jawaban.

Juri tidak dapat sepakat untuk mengajukan tuduhan terhadap May Elosser atau orang lain berdasarkan bukti-bukti yang ada. Kedua calon pengantin itu memang meninggal karena zat asam biru, akan tetapi siapa pelakunya tidak diketahui sama sekali dan kepada pers dijelaskan, bahwa hingga kini teka-teki mengenai keracunan ini belum terpecahkan. Pada tanggal 7 Januari dalam tajuk rencana “New York Times” ditulis kesimpulan, bahwa meskipun sudah disidangkan di depan “Grand Jurry” persoalan “Misteri Cumberland” tidak terangkapkan sedikit pun. “Apa pun hasil pemeriksaan, hal itu akan masuk sebagai perkara yang masyhur dalam sejarah peradilan.”

Twigg menggunakan zat asam biru untuk menyemprot pohon-pohon, kata salah seorang saudaranya dan seorang saksi lain mengatakan bahwa ia telah menjual 4 pon zat asam biru kepada Twigg. Mungkin harus dicari ke arah ini? (dua saudara lain dari almarhum mengatakan bahwa itu tidak benar).

Yang tidak dapat dimengerti adalah fakta bahwa tidak ada seorang ahli pun yang memikirkan akibat zat asam biru. Orang yang keracunan zat asam biru akan meninggal karena kelumpuhan otot-otot jantung dan paru-paru. Dan para korban akan mengalami sesak napas dan kejang. 

Pada kedua jenazah tidak ada gejala-gejala itu. Malahan kebalikannya, waktu mereka diketemukan, mereka sedang duduk santai berdampingan di kursi panjang dan raut muka mereka tidak tegang, akan tetapi tenang seperti pada orang yang sedang tidur.

Kembali anggota-anggota keluarga Elosser dicurigai. Kedua calon pengantin meninggal dalam rumah mereka. Bagaimanapun juga mereka ada sangkut pautnya dengan keracunan itu. Sedikit-dikitnya mereka harus tahu ke mana barang bukti disingkirkan dan dibuang. Jika menyangkal ada sangkut paut dengan peracunan, maka hal itu tidak dapat diterima umum. Akhirnya situasi menjadi sedemikian rupa, sehingga tidak ada sebuah koran pun yang tidak menghubungkan keluarga Elosser dengan kematian kedua calon pengantin.

Tiba-tiba perkara itu ditinjau dari sudut lain. Akhir bulan Januari 1911, dr. Littlefield dari Cumberland mempunyai gagasan yang baik. la mendengar, bahwa di ruang tamu keluarga Elosser ada sebuah alat pemanas gas kecil yang dihidupkan dengan gas alam yang disalurkan dari ladang-ladang gas di dekat kota itu. 

la mengamat-amati alat pemanas itu dan melihat bahwa pada pintu alat pemanas (tempat asap keluar) ada kerusakan kecil. Dr. Littlefield mengatakan pada diri sendiri bahwa mungkin karbon monoksida yang menyebabkan kematian kedua orang itu.

la mempelajari karangan-karangan medis dan sesudah itu sangkaannya diperkuat. Karbon monoksida yang terjadi jika gas alam tidak terbakar sempurna, sangat berbahaya dan sejumlah setengah persen saja dia dalam ruangan yang kecil sudah dapat mematikan.

Untuk mendapatkan hasil yang lebih jelas, dr. Littlefield dan rekannya dr. Hawkins, mengambil seekor kucing, ditutupnya dalam keranjang dan keranjang itu ditaruh di kursi panjang di mana kedua sejoli itu duduk. Sesudah itu mereka menyalakan alat pemanas dan menutup pintu. 

Mereka lalu menunggu selama kedua calon pengantin itu duduk sendiri tidak diganggu, yakni satu setengah jam. Sesudah waktu berlalu mereka kembali ke dalam kamar, kucing sudah mati. Jelas bahwa ia mati tanpa sekarat.

Waktu bangku kucing diperiksa, terbukti bahwa isi perut kucing menunjukkan ciri-ciri sama dengan isi perut Grace Elosser dan Twigg. Begitu pula darah kucing menunjukkan gambaran yang sama.

Dengan hasil eksperimen ini kedua dokter itu pergi ke kejaksaan dan menerangkan apa yang telah mereka buktikan. Yang berwajib terpengaruh akan hasil itu sehingga mereka memerintahkan untuk mengulang eksperimen. Kucing yang diperuntukkan percobaan itu juga diketemukan mati setelah satu setengah jam berlalu.

Meskipun demikian jaksa tinggi belum yakin. “Kami telah bekerja dengan tiga teori,” katanya, “pembunuhan diri ganda dan pembunuhan, dan bunuh diri. Belum ada hasil meyakinkan. Saya mendengar bahwa dua kucing yang dipakai sebagai eksperimen telah mati. Saya masih belum dapat menyimpulkan bagaimana Charles E. Twigg dan Grace Elosser menemukan maut.”

Kedua dokter membuat sebuah eksperimen lagi. Kali ini dengan seekor kelinci. Mereka memberikannya sejumlah zat asam biru dan kemudian binatang itu diperiksa. Terbukti bahwa darahnya menjadi biru dan mengental. Gambaran berlainan dengan keadaan pada Grace Elosser, Twigg dan kedua kucing.

Tapi bagaimana dapat diterangkan bahwa dr. Barker, ahli kimia, telah menemukan zat asam biru dalam perut Twigg? Menurut dr. Littlefield dalam ludah manusia terdapat bekas-bekas zat asam biru dan dalam perut Twigg ada banyak ludah karena ia sedang mengunyah permen karet. 

Yang lebih dapat diterima adalah pendapat bahwa kedua korban itu telah memakan (karena sedang hari-hari besar) marsepen atau kue-kue lainnya yang dibubuhi almon pahit. Dan diketahui bahwa almon pahit mengandung zat asam biru. Karena mayat-mayat orang yang mati karena racun zat asam biru dan karbon monoksida tidak jarang berparas muka segar dan kemerah-merahan, maka tidak dapat disalahkan jika para ahli salah sangka.

Karena keadaan yang ruwet ini, maka mereka memutuskan untuk mendengar seorang ahli pemakaian gas alam untuk alat-alat pemanas. Orang ini bernama Daschbach dari Pittsburg.

Ia menerangkan, bahwa tidak ada cara yang lebih meyakinkan untuk membuktikan bahwa terjadi asap beracun akibat pembakaran gas alam, daripada menaruh sebuah alat pemanas kecil yang tidak bercerobong dan yang dinyalakan dengan gas alam di dalam sebuah kamar yang tertutup dan kemudian menyalakan alat pemanas itu. Dalam sekejap saja sudah tidak ada zat asam lagi dalam ruangan yang penuh dengan gas karbon monoksida yang juga akan mematikan api yang sedang menyala dalam alat pemanas.

Karbon monoksida ini seratus persen beracun dan lekas sekali membawa maut karena orang kekurangan zat asam. Meskipun sudah selalu diperingatkan bahwa orang harus berhati-hati dalam pemakaian alat pemanas yang dinyalakan dengan gas alam, masih saja diabaikan perlunya cerobong yang baik agar gas dapat keluar. Oleh karena itu masih saja terjadi banyak kecelakaan.

Perkembangan perkara ini mendapat perhatian besar di Amerika. Hipotesis bahwa kedua sejoli itu meninggal karena gas alam dan tidak karena zat asam biru dapat diterima. Akan tetapi para dokter dan ahli kimia yang ikut memeriksa mayat dan menjalankan otopsi tetap bersikeras bahwa hipotesis zat asam biru itu benar. 

Menurut mereka pernyataan bahwa keduanya meninggal karena keracunan gas dan tidak karena suatu kejahatan, bodoh benar. Juga keluarga Twigg tetap berpegang pada hipotesis pertama. Kedua dokter barangkali hanya ingin memalingkan kecurigaan orang dari keluarga Elosser.

Pada tanggal 8 Februari kejaksaan turun tangan dalam perselisihan itu. Mereka memerintahkan agar kedua jenazah digali kembali. Dari kedua mayat diambil darah dan dikirim kepada dua ahli kenamaan untuk diperiksa. Kedua ahli ini pun berkesimpulan, bahwa kedua orang ini menjadi korban gas beracun.

Dr. Lynch, kepala ahli kimia dari jawatan kesehatan kota Washington mengirim telegram kepada kejaksaan. Isinya: “Contoh dari T (Twigg) dan E (Elosser) menunjukkan adanya gas. Tidak diragukan lagi, bahwa maut disebabkan oleh gas beracun.”

Didasarkan atas keterangan ini, kejaksaan menghentikan pengusutan. Pada sebuah konferensi pers, jaksa utama dari negara bagian Virginia mengumumkan, beberapa bagian dari surat-surat Twigg kepada calon istrinya yang dikirimkannya sesudah ia berkunjung di rumah si calon istri.

Dalam surat-surat itu Twigg selalu mengeluh tentang sakit kepala hebat, perasaan lelah dan lemas. Ia tidak mengerti karena apa. Kini, kata jaksa, semua sudah terang. Gas dari alat pemanaslah yang membunuh mereka. Memang gejala-gejala keracunan karbon monoksida itu dimulai dengan sakit-sakit kepala, denyut-denyut pada pelipis, rasa mau jatuh, mengiang-ngiang di telinga dan mata yang berkunang-kunang. 

Meskipun sudah dikeluarkan semua keterangan ini, keluarga Twigg masih saja tidak mau menerima dan menjanjikan hadiah 2.000 dolar untuk siapa saja yang dapat membuktikan yang bersalah hingga mendapat hukuman. Sebuah koran di New York menambahkan 2.000 dolar lagi, karena mereka masih saja memegang hipotesis, bahwa di perut kedua jenazah diketemukan zat asam biru.

Rasa curiga kepada keluarga Elosser kembali diperkuat waktu pada tanggal 10 Februari, seorang yang bernama Susan Crummet yang tinggal dalam dua ruangan di tingkat dua, datang pada polisi dan menerangkan bahwa ia pada hari yang naas itu melihat pada seseorang yang duduk di kursi panjang diberikan secangkir air. Tidak lama kemudian mendengar nyonya Elosser berkata dengan kebingungan: “Apa yang telah terjadi disini?” Seorang wanita lain lalu berkata: “Aduh, Tuhanku! Kejam benar! Jangan sampai diceriterakan kepada orang lain!”

Keterangan demikian itu tentu membesarkan kecurigaan, meskipun orang bertanya, mengapa tidak dari semula nyonya Crummet pergi pada yang berwajib.

Dua tahun berlalu dan akhirnya desas-desus tentang sebab-sebab kematian menghilang. Keluarga Elosser meninggalkan rumah di Cumberland dalam tahun 1912 dan dua orang wanita ganti tinggal di situ. Pada siang hari tanggal 21 Februari 1913, seorang nyonya tetangga mengetok pintu rumah. Waktu tidak ada yang membuka, nyonya tetangga pergi ke pintu kaca ruang tamu dan melihat bahwa kedua penghuni baru sudah tidak bergerak dan duduk pingsan di dalam ruang.

Gas karbon monoksida adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak ada rasanya. Mereka yang menghirupnya akan segera pingsan karena kekurangan zat asam.

Nyonya tetangga tadi langsung membuka pintu, agar hawa segar masuk dan ia mencoba membangunkan kedua wanita itu. Waktu ini tidak berhasil ia lari untuk memanggil dokter. Hawa segar yang masuk segera menghilangkan karbon monoksida dan pertolongan dokter memungkinkan kedua wanita itu siuman kembali.

Sesudah itu akhirnya alat pemanas dan cerobong diperiksa dengan teliti. Pada pemeriksaan itu diketemukan, bahwa beberapa tahun sebelumnya dalam tempat alat pemanas diletakkan dua batu bata untuk mencegah derasnya arus udara. Pada batu-batu bata itu melekat arang hingga menghambat arus keluar. Gas yang dihimpun lalu tidak keluar melalui cerobong, akan tetapi melalui bagian yang rusak pada pintu alat pemanas, masuk ke ruang tamu dan telah meracuni udara di situ.

Grace dan Charles Twigg menjadi korban gas ini. Hampir saja terjadi musibah baru pada tanggal 21 Februari 1913. Berkat kenyataan-kenyataan ini akhirnya desas-desus di rumah keluarga Elosser telah terjadi kejahatan, membungkam. Keluarga Elosser merasa lega. (Maximilian Jacta)

" ["url"]=> string(81) "https://plus.intisari.grid.id/read/553400951/calon-pengantin-meninggal-berpelukan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659534030000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3246396" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(96) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/20/kaleng-hamiljpg-20220420044152.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(121) "Seorang redaktur Majalah Misteri Pembunuhan menemukan naskah yang sangat mirip dengan kehidupannya dan Caroline istrinya." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(96) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/20/kaleng-hamiljpg-20220420044152.jpg" ["title"]=> string(14) "Kaleng 'Hamil'" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-26 14:38:47" ["content"]=> string(28284) "

Intisari Plus - Sebagai seorang redaktur Majalah Misteri Pembunuhan, Harley Ammons bertugas untuk menyunting naskah-naskah yang akan diterbitkan. Suatu hari, ia menemukan naskah yang sangat mirip dengan kehidupannya dan Caroline istrinya. Naskah ini kemudian menjadi inspirasi untuk mencelakakan sang istri.

---------------------------------------

George Cleveland bertekad membunuh istrinya. Keputusan nekat itu tidak timbul tiba-tiba, melainkan sudah dipikirkan masak-masak. George masih ingat saat cintanya buyar tersapu kemarahan. Ketika itu istrinya, Priscilla, sedang berbicara lewat telepon dengan sahabatnya. Secara tidak sengaja George sempat mendengar pembicaraan mereka, "Eh, tahu nggak? Aku nggak pernah sadar sebelumnya bahwa George begitu kecil. Peristiwa itu terjadi hampir 11 tahun yang lalu, mereka baru pulang dari madu. Saat itulah bersemi niat George untuk menjadi pembunuh istri. 

Itulah awal dari sebuah cerita kriminal kiriman Josh Wellman, yang diterima oleh Harley Ammons hampir setahun yang lalu. Harley adalah redaktur Majalah Misteri Pembunuhan (MP). 

Harley sudah membayar honor cerita itu, tetapi Josh Wellman, seorang penulis tidak dikenal, tidak pernah melihat karangannya muncul di MP. Soalnya, beberapa hari setelah Harley mengirim honor, ia menerima memo dari bosnya. Bunyinya sebagai berikut, "Kau terlalu banyak memuat kisah suami membunuh istri. Dalam dua terbitan terakhir saja ada delapan!”

Jadi Harley menyimpan naskah "Tewasnya Priscilla" di laci tempat naskah cadangan.

 

Sama seperti istrinya 

Adalah Will Gatti yang mengingatkan Harley kembali pada Josh Wellman. Saat itu mereka berdua sedang duduk sebangku di kereta api yang berangkat pukul 08.20 dari Larchmont. Gatti itu seorang kapten polisi, yang lebih senang membaca Majalah Misteri Pembunuhan ketimbang mengusut sendiri perkara pembunuhan. Di kereta api, dalam perjalanan ke kantor, hobinya membaca berita kematian dari The Times

"Pernah mendengar penulis bernama Josh Wellman?" tanya Gatti kepada Harley. 

Harley menggelengkan kepala, sebab ia sudah tidak ingat lagi pada penulis gurem itu. 

"Menurut koran sih dia penulis cerita kriminal. Jadi aku kira kamu kenal," kata lawan bicaranya seraya menyodorkan koran. 

Harley malas membacanya. Sembilan belas tahun menyeleksi naskah membuat matanya lelah. Apalagi berita tentang Wellman cuma enam baris. Soalnya, Wellman bukan penulis terkenal. Tulisannya cuma satu dua. Lagi pula ia tidak mempunyai kerabat. 

"Aku belum pernah mendengar namanya," kata Harley seraya mengembalikan koran itu. 

Sejam kemudian, di kantornya yang sempit, Harley membongkar simpanan naskah yang pemuatannya tertunda. Ia tidak tahu mengapa ia berbohong kepada Will Gatti. Padahal selama setahun ini, entah berapa belas kali ia dihantui "Tewasnya Priscilla". Bukan karena cerita itu sangat bermutu, tetapi karena tokoh Priscilla di situ bisa digantikan oleh Caroline, yang tak lain istri Harley. 

Harley membaca lagi cerita rekaan Josh Wellman itu: George tidak habis pikir, menghadapi tindak-tanduk Priscilla. Ketika kantor tempat George bekerja dipindahkan ke Pottersville, mereka terpaksa ikut pindah ke kota kecil itu. Priscilla memilih sebuah rumah tua yang memiliki 16 ruangan. Padahal rumah sebesar itu membutuhkan ongkos pemeliharaan yang mahal. Di musim dingin, alat pemanas ruangan menyedot uang dengan kejamnya dari kantung George. 

Ketika Priscilla menyadari betapa luasnya gudang mereka, ia lantas memborong makanan kaleng dan menumpuknya di sana. Kata Priscilla, tindakannya itu adalah penanaman modal untuk melawan inflasi. Akhirnya di dalam gudang itu bisa ditemukan 1.000 kaleng makanan. Sebagian di antaranya lebih tua dari mobil Buick mereka yang umurnya sudah sembilan tahun. 

Harley meletakkan naskah itu di perut gendutnya, lalu bersandar ke punggung kursinya seraya memejamkan mata. 

Dalam benaknya terbayang Caroline. Istrinya persis Priscilla. Caroline tergila-gila menumpuk makanan kaleng selama 21 tahun pernikahan mereka. Memang simpanannya tidak sampai 1.000 kaleng, tetapi ada kaleng yang isinya sudah lebih tua dari Buick milik George. 

Waktu itu bulan April. Enam hari lamanya hujan turun tak henti-hentinya. Priscilla yang selalu marah-marah itu menjadi bertambah menyebalkan. Banjir mengalanginya menghadiri arisan-arisan. Namun, kerewelannya belum apa-apa dibandingkan dengan ketika ia mengetahui gudang bawah tanahnya dirembesi air hujan. "Celaka! Label makanan kalengku yang berharga itu rusak dong!" teriaknya. 

Tiba-tiba saja Harley terperanjat, karena sekretaris barunya, Beryl, yang baru beberapa tahun melewati umur 30, tiba-tiba berada di hadapannya. Wanita itu datang membawakan kopi. Harley tidak biasa dibawakan kopi oleh sekretaris, apalagi yang berdada montok. Olivin, sekretaris lama yang pensiun tiga bulan yang lalu (pada umur 62!) berdada rata. 

"Bapak asyik sekali. Ceritanya pasti bagus," kata Beryl. 

"Dari mana kau tahu?" 

"Kalau jelek, belum dua halaman pun sudah Bapak sisihkan. Ini sudah halaman tiga." 

"Kau pengamat yang cermat, Beryl," kata Harley dengan riang. Sekretaris itu tampak kesenangan dipuji. Tubuhnya sampai gemetar. Hati Harley ikut meleleh. Diambilnya cangkir kopi dari Beryl. 

"Aku mempertimbangkan permintaanmu kemarin, yaitu supaya diperbolehkan membaca dulu naskah-naskah yang datang sebelum diserahkan kepadaku. Rasanya bukan gagasan yang buruk." 

"Oh, terima kasih, Pak," kata Beryl. Mulutnya yang membentuk huruf O sempurna menjadi sebuah Q ketika lidahnya yang merah jambu menjilat bibirnya. 

"Saya ingin belajar sebanyak mungkin dari Pak Ammons." 

"Baiklah. Nanti kita bicarakan lagi. Barangkali waktu makan siang. Atau makan malam, apabila kau tak keberatan melembur. Saya sering melembur." 

"Oh, Bapak baik sekali." 

Ketika Beryl meninggalkan ruangan, denyut nadi Harley tak pernah secepat itu, sedangkan minatnya pada naskah Josh Wellman semakin besar. Harley mulai membaca lagi. 

 

Kaleng gembung 

Di gudang bawah tanah yang becek, George Cleveland menghamburkan perbendaharaan sumpah serapah yang selama ini belum pernah terlontar dari mulutnya. Air yang kehitam-hitaman menjilat label kaleng-kaleng di rak paling bawah. Ada wortel rebus, buah plum kalengan, kentang kecil, sop ayam dengan makaroni. 

Hampir saja ia tidak bisa melawan dorongan untuk mencemplungkan kaleng-kaleng itu ke air kotor, supaya labelnya mengelupas semua. Senang barangkali ia melihat Priscilla kecewa. Namun, terbayang pula istrinya mengamuk. Buru-buru ia menaikkan kaleng-kaleng dari rak bawah ke rak lebih atas. 

Jari jemarinya yang basah menemukan sebuah kaleng sla buah campur merek Montmorency yang sudah gembung. Begitu gembungnya kaleng itu sampai kelihatan "hamil". 

Cepat-cepat ia taruh kaleng itu di rak dan mengambil kaleng di sebelahnya. Isinya dan bentuknya pun sama. Gembung. 

Seingatnya ada satu istilah yang ada hubungannya dengan makanan kaleng yang sudah dalam keadaan demikian. Kata apa, ya? Oh, botulism

Harley berhenti membaca naskah itu, lalu dirapikan dan dikembalikannya ke map. Ah, betapa besarnya persamaan antara George Cleveland dengan dirinya, antara Priscilla Cleveland dengan Caroline! 

Tak mungkin ia memuat cerita itu, lalu meniru tindakan George Cleveland. Untung bosnya dulu menulis memo, yang melarang dia memuat terlalu banyak kisah suami membunuh istri, sehingga ia mempunyai alasan untuk memetieskan tulisan Josh Wellman ini. 

Harley melirik cangkir kopinya, lalu berteriak memanggil Beryl. Sekretarisnya datang tergopoh-gopoh. Harley menugaskan sang sekretaris untuk membeli The Times. Tugas itu dilaksanakan dengan kecepatan yang mengagumkan. 

Pagi itu Harley sungguh menikmati berita kematian Josh Wellman.

 

Jago masak 

Namun, seperti halnya mimpi yang cepat pudar di ingatan setelah kita terbangun, begitu pula kegembiraan Harley yang menggebu-gebu. Pada saat turun dari tangga kereta api pukul 17.40 di Larchmont, ia tampak kuyu. Ia segera menyadari perutnya yang gendut, bagian belakang kepalanya yang botak, dan dagunya yang dobel. Ketika melihat pantulan wajahnya di kaca jendela, ia mencoba menghapus gambaran itu dan menggantinya dengan gambaran pemuda santai yang matanya memandang dunia dengan optimisme besar. Pemuda itu tidak lain daripada dirinya sendiri, berpuluh tahun silam. Waktu itu ia berangan-angan menjadi novelis yang termasyhur. Boro-boro termasyhur, menulis novel pun ia tidak. Semua itu cuma terbatas di angan-angannya saja. 

Diam-diam Harley menyalahkan Caroline. Istrinya tidak memberi semangat sih! Setiap kali Harley menceritakan angan-angannya, Caroline menyergah, "Jangan cuma diomongkan saja. Mulai dong menulis!" 

Harley selalu berdalih, "Mana sempat aku menulis? Waktuku tersita untuk menyunting tulisan para pengarang lain." Caroline adalah seorang copywriter iklan. Penghasilannya sama banyaknya dengan Harley. 

Di dalam kereta api yang membawanya dari Larchmont, Harley membuka tasnya. Ia berniat membaca salah sebuah naskah yang baru diterimanya. Ternyata yang terbawa malah naskah "Tewasnya Priscilla". Jadi Harley meneruskan bacaannya yang terputus di kantor. 

George Cleveland tidak pernah menganggap dirinya cerdik. Pekerjaannya cuma menuntut keuletan dan akal sehat. Namun, semua orang menyukai George, kecuali tentu saja istrinya. 

Untuk menewaskan Priscilla dibutuhkan kecerdikan. Tidak cukup kalau ia cuma membuka kaleng sla buah yang kini sudah mengandung racun dan menyuguhkannya kepada istrinya pada saat makan malam. 

Mereka tidak mempunyai tetangga dekat. Rumah yang paling dekat jaraknya ± 7,5 km. Walaupun demikian mereka tidak luput dari gosip. Semua orang di Pattersville tahu George tidak akur dengan istrinya. Selain itu Sheriff Yates yang sudah tua itu jauh dari pikun. Bacaannya pun canggih. Buku-buku tebal tentang penyidikan kriminal dan ilmu forensik dilalapnya. Selain itu, dokter yang bisa membantu polisi di tempat itu, bukan dokter sembarangan. Diagnosisnya tajam. Jadi mesti diapakan istrinya yang menyebalkan itu? 

Tiba-tiba timbul gagasan bagus di kepalanya. Ia mesti pergi ke Grand Forks Supermarket. Kereta api tiba di stasiun. Saat Harley turun, Caroline sedang meluncur dengan mobilnya. Wanita itu baru pulang dari pasar swalayan. Tempat duduk belakang penuh dengan kantung belanjaan berisi botol-botol, kaleng-kaleng, tisu, alat pembuka botol dan kaleng, tomat, daging minuman, makanan untuk sarapan dan makanan anjing. Yang terakhir ini jumlahnya cukup untuk menjamu puluhan makhluk berkaki empat itu. 

Harley heran. Ke mana larinya belanjaan itu? Kok seperti tidak pernah muncul di meja makan? Sering-sering Harley mesti memasak makanannya sendiri dengan bahan seadanya dari kulkas. Biasanya hasilnya cuma masakan asal jadi. Maklum Harley bukan jago masak. Berbeda dengan George Cleveland. 

Masakan Meksiko yang mempertemukan George dengan Priscilla. Mereka berkenalan ketika sama-sama makan di The Big Enchilada, sebuat restoran cepat siap yang mengkhususkan diri pada hidangan Meksiko. Priscilla sangat tertarik ketika George berkata bahwa ia bisa memasak sendiri makanan Meksiko, karena pernah mengikuti kursus. Setelah mereka menikah, sekali seminggu George memasak makanan gaya Meksiko dan sekalian menyediakan hidangan pencuci mulut yang tepat. Rasanya tak ada yang lebih tepat daripada sla buah dingin setelah menyantap tamales yang pedas.

 

Mencari kaleng "hamil" 

Sabtu siang George berada di pasar swalayan, yaitu di bagian yang menyediakan sla buah. Seperti biasa, pasar swalayan itu padat dengan pembeli. Tak ada orang yang memergokinya ketika ia menaruh sesuatu di rak, yaitu kaleng "hamil" berisi sla buah. 

Ia merencanakan untuk menunggu setengah jam sebelum menunjukkan kaleng sla buah Montmorency yang gembung itu kepada petugas pasar swalayan. Namun, bagaimana kalau keburu ada orang yang membelinya? George menjadi gelisah. Sepuluh menit kemudian ia sudah kembali ke rak tadi. Ternyata ada seorang wanita gemuk sedang memilih-milih makanan kaleng. Ketika jari wanita itu menyentuh kaleng "hamil" berisi sla buah, segera saja wanita itu berseru, "Astaga! Lihat nih!" katanya kepada orang-orang di sekelilingnya. "Anda sekalian tahu apa ini?" 

Dibawanya kaleng itu ke tempat manajer dan di sana wanita itu menguliahi sang manajer perihal bahaya makanan kaleng yang wadahnya sudah gembung. 

George merasa lega dan senang. Buru-buru ia pulang untuk memasak.

Hari itu Harley Ammons mencari-cari kaleng gembung di tempat istrinya menumpuk makanan kaleng. Memang ada sih kaleng yang penyok, karatan, atau bahkan gembung sedikit, tetapi tidak ada yang "hamil" seperti yang digambarkan oleh Josh Wellman. Dasar penulis fiksi! Enak saja dia menempatkan dua kaleng gembung yang identik di ceritanya! 

Setelah sejam mencari dengan sia-sia, Harley menyerah. Sudahlah! Memang rupanya cerita isapan jempol itu tidak bisa ditiru! 

Keesokan paginya, ia membawa kembali naskah Josh Wellman ke kantornya. Ia berniat memuat saja tulisan itu di MP, sekalian dengan pengantar pendek untuk memuji si penulis. 

Tahu-tahu Beryl muncul membawakan kopi seperti biasa. Cuma saja ada air bercucuran di wajahnya. Air mata. Dengan lembut Harley menanyakan sebabnya, seraya menutup pintu, agar kerahasiaan terjamin. 

Sambil terisak-isak, Beryl bercerita bahwa semalam ia bertengkar dengan pacarnya. Hubungan mereka kini putus untuk selama-lamanya. 

Kata Beryl, sebetulnya ia lega, sebab pacarnya itu kurang "matang" buat dia. Gadis itu lantas menyandarkan kepalanya ke dada Harley. Beryl lebih jangkung dari Harley, sehingga posisi mereka kelihatan lucu. Beryl lebih tenang ketika meninggalkan ruang kerja Harley, tetapi Harley malah gelisah. Rencananya untuk memuat "Tewasnya Priscilla" terlupakan begitu saja. Ia menemukan naskah tersebut di mejanya selesai makan siang dan meneruskan membacanya. 

Sla buah dituangkan ke gelas dan ditutupinya dengan rapi. Kaleng bekas sla itu yang tidak begitu gembung lagi setelah dibuka, dibuangnya ke kantung sampah. Tapi bukan kantung sampah yang akan cepat-cepat diambil tukang sampah. George tahu, kaleng itu akan menjadi bukti penting. 

Sore itu radio menyiarkan berita agar jangan sekali-kali memakan Montmorency Fruit Cocktail yang kalengnya ditandai nomor seri G-100. Penyiar menambahkan bahwa kemungkinan koktil tersebut tak banyak lagi beredar di pasaran, sebab umurnya sudah lima tahun. Namun, kalau ada orang yang masih menyimpannya, harap dimusnahkan. Soalnya, dalam sebuah sampel ditemukan bakteri C. botulinum. Priscilla tidak mendengar pengumuman itu, sebab sedang arisan dengan teman-temannya. Malam itu Priscilla pulang dalam keadaan lelah dan mudah tersinggung. George berkata, "Kau terlalu lelah, Yang. Kalau sudah makan Chile con carne dan pencuci mulut yang menyegarkan, pasti kau akan merasa lebih nyaman." 

 

Buntutnya bikin sewot 

Pada akhir minggu terjadi mukjizat pada Harley. Tadinya Harley lupa kalau akhir minggu itu ibu Caroline berulang tahun. Mereka akan mengunjungi wanita berumur 75 tahun ini. Padahal rumahnya di Dutchess County, ± 150 km dari tempat tinggal mereka. 

Begitulah, pada akhir minggu, setelah pegal menyetir, tiba juga mereka di rumah Ibu Gertrude. Ibu dan anak saling mengeluh tentang ketidakadilan dalam hidup ini di ruang yang gelap dan pengap. Kemudian Harley disuruh istrinya mengganti lampu di gudang bawah tanah, karena kata ibunya, lampu di tempat itu mati. Harley merasa senang bisa keluar dari tempat pengap penuh keluhan. 

Setelah mengganti lampu, kelihatanlah betapa kotornya gudang itu. Di situ pula Harley insaf dari mana datangnya sifat kikir Caroline. Koleksi makanan kaleng milik Caroline temyata tidak berarti dibandingkan dengan koleksi ibunya. Jangan-jangan ibu Caroline dihantui oleh sengsara perang, sehingga menumpuk makanan yang tidak bakal habis dikonsumsi bertahun-tahun. 

Didorong rasa ingin tahu, Harley memeriksa label makanan kaleng itu. Ada merek yang sama sekali tidak pernah ia kenal. Ada makanan yang dulu ia kenal tetapi kini sudah lama tak pernah tampak lagi di pasaran. Tahu-tahu matanya terpaku pada Italian Tomato Sauce. Label saus tomat Italia itu aneh, karena ternyata kalengnya gembung. Begitu gembungnya sampai seperti hamil! Seluruhnya ada empat kaleng saus tomat dari merek yang sama dalam keadaan yang sama. Berarti dua kali lipat dari yang diberikan oleh Josh Wellman kepada tokoh rekaannya, si George! 

Hari Jumat berikutnya, di kantor, Harley menyempatkan diri untuk meneruskan membaca kisah si George. Makan malam berlangsung dengan sukses. Priscilla menghabiskan Chile con came, dan Tortilla sampai suap terakhir. Ia minum bir meksiko sampai titik terakhir. Ia bahkan mengincar isi piring George. George berlagak pilon. Ia bertekad tidak mau menawarkan bagiannya. Priscilla 'kan nanti perlu diberi hidangan pencuci mulut. 

George pergi ke kulkas untuk mengambil sla buah. Lho, ke mana sla buahnya? Pasti dipindahkan oleh Priscilla. Tangan wanita ini memang iseng. "Ke mana gelas merah yang berisi buah?" tanya George. 

"Oh, gelas yang berisi buah?" 

"Kau makan?" 

"Nggak. Aku masukkan ke minuman Sangria-mu." George dan Priscilla sama-sama memandang gelas George yang sudah kosong. Setelah membaca kalimat terakhir itu, Harley jadi kehilangan minat untuk memuat karangan itu. Berapa banyak sih pembaca yang tahu bahwa Sangria itu minuman anggur campur buah? pikirnya. Jelek ah, cerita ini! Jadi naskah itu digunting-guntingnya.

 

Lebih pandai daripada si Josh 

Sabtu pagi, Caroline heran karena Harley menawarkan diri untuk pergi berbelanja. Caroline senang, sebab hari itu ia harus menghadiri rapat tiga perkumpulan sosial. Ia mencium Harley dan memberinya daftar belanjaan. Caroline ingin memasak steak untuk makan malam. "Bagaimana kalau spaghetti saja?" tanya Harley. Kebetulan Caroline doyan sekali spaghetti, jadi ia mengiakan. 

Hari itu sengaja Harley pergi ke tiga pasar swalayan. Di tiap pasar swalayan ia meninggalkan sekaleng Mama Mia's Real Italian Tomato Sauce yang dicurinya dari rumah mertua, yaitu saus tomat dalam kaleng "hamil" itu. 

Di pasar swalayan terakhir ia sungguh-sungguh berbelanja dan membeli sekaleng Mama Mia's Real Italia Tomato Sauce yang tidak "hamil". 

Ketika ia kembali ke rumah, Caroline sudah berangkat. Isi Mama Mia's yang tidak "hamil" ia buang ke lubang tempat cuci piring. Isi Mama Mia's yang "hamil" ia masukkan ke kaleng Mama Mia's yang tidak hamil. Kaleng yang pernah "hamil" ia simpan. 

Harley minum 3 gelas minuman keras sebelum makan malam, padahal biasanya cuma 2 gelas. Sambil memasak, Caroline bercerita dengan gembira tentang rapat, tentang ia terpilih menjadi ketua komite, dan sebagainya. Harley mendengarkan dengan saksama. Inilah hari terakhir dalam hidup istrinya yang gembrot itu. 

Ketika Caroline menghidangkan spaghetti di meja, Harley membayangkan wajah Beryl. Tanpa menunggu Harley, Caroline segera makan sambil membaca majalah seperti biasa. Setengah jam kemudian Caroline meninggalkan meja untuk berceloteh dengan teman-temannya lewat telepon. Ia tidak sadar Harley tidak makan. 

Lima jam kemudian Caroline mengeluh mual, penglihatannya kabur, dan lehernya sangat kering sampai hampir tidak bisa berbicara. Ketika lehernya terasa tercekik ia mengeluarkan bunyi-bunyi yang tak jelas. Rupanya Caroline minta dipanggilkan dokter. Begitulah cerita Harley kepada dr. Kornfeld yang datang terlambat. Caroline meninggal pukul 02.30. Pukul 08.00 keesokan harinya radio menyiarkan peringatan hati-hati kalau membeli Real Italian Tomato Sauce. 

Dengan sempurna Harley memainkan peranan duda yang kehilangan istri. Di dalam hatinya ada kekhawatiran: jangan-jangan ia berbuat kesalahan yang akan mencelakakannya. Bukankah dalam cerita-cerita kriminal pembunuh selalu terpeleset oleh hal-hal kecil? 

Dua minggu lewat sejak Caroline dimakamkan. Harley mulai santai, mulai tersenyum lagi. Senyuman yang menyentuh hati orang-orang yang kenal kepadanya. Mereka berkata, ia tabah. Beryl menganggapnya demikian juga. Sekretarisnya itu mengundangnya makan ke apartemennya. Beryl memasak sendiri. Harley gentar juga, ketika Beryl menghidangkan spaghetti. Ternyata spaghetti itu tidak beracun. Sausnya sedap menggigit, seperti juga Beryl. 

Harley mulai bekerja lagi tiga minggu setelah Caroline meninggal. Rasa percaya dirinya timbul. Kenyataan hidup memang sering lebih aneh daripada cerita rekaan. 

Ia tidak merasa waswas, ketika seorang polisi muncul di kantornya hari pertama ia bekerja. Apalagi polisi itu temannya, Will Gatti. 

Setelah basa-basi yang kikuk berkenaan dengan kematian Caroline, Harley bertanya apakah sang kapten mau MP gratis. Gatti bertanya apakah MP yang memberi contoh kepada pembunuh? 

"Contoh?" tanya Harley. “Ini 'kan cuma cerita." Gatti membuka tasnya dan mengeluarkan Majalah Detektif Getol, bekas saingan MP yang untungnya sudah berhenti terbit 8 tahun yang lalu. 

Harley mengambil majalah itu dan memperhatikan kulit mukanya yang memperlihatkan seorang wanita pirang setengah telanjang sedang mengusap-usap pistol kaliber 32 dengan sikap sugestif. Cerita utamanya "Kematian adalah Makanan Terlezat" oleh Hugo Grinim. 

"Sudah pernah baca? Pasti menarik bagimu," kata Gatti. 

"Aku tidak pernah membaca sampah seperti itu," katanya. Namun, ia membaca juga kalimat pertama cerita itu. 

"Harry Johnson bertekad untuk membunuh istrinya. Keputusannya tidak timbul tiba-tiba, melainkan ...." 

Harley memandang Kapten Gatti dan melihat sesuatu yang tak pernah ia saksikan sebelumnya di mata siapa pun. 

"Saya yakin saya ingat cerita ini," kata Gatti. "Jadi saya bongkar gudang selama seminggu dan menemukannya. Cerita ini saya anggap bisa mengilhami orang untuk berbuat serupa. Bacalah, kau pasti tahu apa yang kumaksudkan. Tapi tentu kau sudah pernah membacanya." 

"Aku tidak pernah membaca Detektif Getol dalam hidup!" 

Gatti cuma memandang datar, lalu bersandar ke kursi Harley dan mulai membacakan cerita itu keras-keras. Tiba-tiba saja Harley insaf: Josh Wellman dan Harley Ammons sama-sama penjiplak!

(Henry Slesar)

" ["url"]=> string(57) "https://plus.intisari.grid.id/read/553246396/kaleng-hamil" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1650983927000) } } }