array(2) {
  [0]=>
  object(stdClass)#53 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3167684"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#54 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/03/03/thumbnail-intisariplus-sejarah5-20220303012300.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#55 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(104) "Berdasarkan catatan sejarah, kehadiran etnis Cina di Pulau Madura sudah terjadi sejak berabad-abad lalu."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#56 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Sejarah"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "history"
        ["id"]=>
        int(1367)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Sejarah"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/03/03/thumbnail-intisariplus-sejarah5-20220303012300.jpg"
      ["title"]=>
      string(44) "Cina-Madura, Sudah Enam Generasi Jadi Muslim"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-03-03 13:23:19"
      ["content"]=>
      string(18282) "

Intisari Plus - 

Sumenep terletak di bagian timur Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur. Ia menjadi kota salah satu kota tua yang telah berdiri sejak abad 13. Toponimi Sumenep pun bervariasi, mulai dari kisah Songenneb yang dipercaya tercantum dalam kitab Pararaton,  sampai pembahasan toponimi Sumenep mulai dari Poerwaredja, Soemekar, hingga Sumenep versi J.Hageman. 

------------------

Dalam Bijdragen to de kennis van Residentie Madura (1858) yang terbit dalam Tijdschrift voor Nederlandshe Indie, J. Hageman menyebutkan bahwa sejak Tirta Negara berkuasa menggantikan Tjakranegara II pada tahun 1751, kata Sumenep digunakan secara resmi sebagai arti “air yang menetap mengendap” – bezonke water

Saat ini, Sumenep terkenal dengan julukan kota batik, kota ukir, bahkan yang terbaru adalah kota keris. Di kota tua ini terdapat dua bangunan ikonik berarsitektur paduan, perpaduan langgam Jawa, Arab, Cina, dan Eropa – Masjid Jami dan Keraton Sumenep. 

Masjid Jami (1779-1787) dan Keraton Sumenep (1781) dibangun oleh Panembahan Sumala (Sumolo). Pada masa sebelumnya, Tirta Negara dan istrinya (Gusti Raden Ayu Rasmana) telah membangun Keraton Dhalem atau Kerato Pajagalan pada mulai tahun 1751-1762. 

Panembahan Sumala dikisahkan menunjuk seorang arsitek dari bangsa Cina, yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Lauw Piango untuk merancang desain masjid dan keraton Sumenep. Karya  sang arsitek masih dapat Anda lihat saat ini! Para penjaga Masjid Jami dan Keraton secara turun temurun mengetahui tentang sang arsitek. Mereka juga menyebutkan, Lauw Piango dimakamkan di komplek pemakaman Cina yang terletak di desa Pangarangan. 

Safiudin (56) adalah juru kunci makam yang mewarisi jabatannya dari sang ayah. Tak banyak informasi yang bisa ia sampaikan mengenai makam arsitek yang konon datang ke Sumenep pada tahun 1740 pasca peristiwa “Chineesche Moord” pembunuhan orang-orang Cina di Batavia itu. 

“Iya benar, itu makam arsiteknya Masjid Jami dan keraton. Bapak hanya nunjuk itu, tapi tidak tahu itu tulisannya Cina,”ujar Safiudin menunjuk bong Cina warna putih yang terbenam dalam rimbunnya semak, perdu, dan rerumputan. 

Dari enam belas makam Cina, hanya makam bercat putih tersebut yang berangka tahun paling tua. Memang tak banyak informasi dari nisan. Namun, setidaknya dari nama di nisan, tertera Liu Yu Shan (dalam bahasa Hokkian: Lauw Giok (Gek) San). 

Mungkin saja nama Lauw Piango adalah nama keduanya, mengingat orang Cina yang baru datang ke tempat baru kerap menggunakan nama baru.  

Nisan tersebut menyebutkan, Lauw meninggal pada 1785 atau tahun ke-50 masa pemerintahan Kaisar Qian Long (1735-1796). Ia memiliki dua orang anak laki-laki dan dua perempuan yang mendirikan nisan tersebut yaitu, Liu Wen Zhui, Liu Wen Xiao, Liu Feng Niang, dan Liu Jin Niang. 

Informasi terakhir, Lauw tua berasal dari Tong An di Provinsi Fujian (Hokkian), sebuah desa yang didirikan pada masa Dinasti Jin (282 M), menjadi kabupaten pada masa Dinasti Tang (933M), dan saat ini bagian dari Distrik Xiamen di Provinsi Fujian.

Nisan berpulas warna putih tersebut berada di komplek pemakaman Cina. Di sekeliling makam tua itu terdapat 15 makam berlanggam Cina lainnya dan rata-rata merupakan makam dengan aksara Cina bermarga Lauw atau Liu. 

Makam tersebut makam-makam baru yang dibangun sekitar tahun 1900-an awal hingga tahun 2000-an. Karena beraksara Cina, tak heran, penjaga makam atau juru kunci tak mengenal dari masa apa makam tersebut berasal.

"Enggak tahu kalau makam yang lain. Ada juga yang sering datang ke sini ziarah itu kalau bulan Cina. Kebanyakan dari Surabaya,"ujar Safiudin.

 

Patuh pada orang tua 

Satu yang pasti, makam tua Liu Yu Shan merupakan satu makam yang selalu ditunjuk sebagai makam sang juru gambar desain Masjid Jami dan Keraton Sumenep. Walau makam itu diselubungi perdu, ia telah menjadi penanda kontribusi orang Cina peranakan terhadap kebudayaan Indonesia, kebudayaan multikultur yang membentuk jati diri Indonesia masa kini. 

Pengaruh kebudayaan Cina di Sumenep tampak kentara ketika saya mengunjungi makam raja-raja Sumenep yang disebut Asta Tinggi. Begitu memasuki komplek makam yang dibangun pada 1750, kemegahan langgam Eropa sangat terasa. Mengagumkan! 

Beraneka nisan dengan langgam masa Hindu-Buddha hingga era Islam pun tampak memenuhi area pemakaman para raja dan kerabatnya. Tiga komplek makam utama di bagian sayap kiri mengejutkan saya yang baru pertama kali menjejak Asta Tinggi. 

Ya, gebyok dalam dan luarnya berlanggam Cina serta dipenuhi ukiran ragam hias flora fauna khas Cina dengan aneka simbolismenya. Makam Asta Tinggi bagi saya tampak sebagai sebuah taman seni yang sarat pesan keberagaman dan bentuk penerimaan masyarakat Madura pada budaya luar. 

Ya, Madura, pernah disebut-sebut dalam kronik Cina Yingya Shenglan yang ditulis Mahuan tahun 1416 dan Shun Feng Xiang Songyang ditulis era Dinasti Ming (1368-1398) tepatnya pada masa Ekspedisi Cheng He. Dalam kronik Yingya Shenglan, Madura disebut Zhong Jia Luo (Groeneveldt dalam Notes on The Malay Archipelago and Malacca membuat transkripsinya dengan sebutan Tiong Ka La).

Dituliskan bahwa: “Tiong Ka La terlihat hijau, dengan gua-gua besar dan memiliki tiga pintu masuk. Di wilayah tersebut dihuni sekitar 20.000 orang. Agrikulturnya seperti di Jawa, cuacanya selalu hangat. Tradisi masyarakatnya masih asli. Mereka tidak memiliki pemimpin namun mereka patuh pada orang yang dituakan. 

Laki laki dan perempuan memiliki rambut yang digelung, pakaiannya dari katun, mengenakan sarung bergaris. Mereka merebus air laut dan membuat garam, serta membuat arak dari fermentasi beras ketan. Barang ekspornya berupa kijang, burung beo, katun, biji cokelat, dan kain kasa. Barang impornya berupa perak dan sutera motif bunga.”

Dalam kronik Shun Feng Xiang Song yang ditulis anonim diperkirakan disusun 1430- 1571, Madura disebut Wuliuna Shan (Gunung Wuliuna). Madura menjadi tempat pemberhentian ketika kapal ekspedisi Cheng He berlayar menuju Pulau Timor. 

Diperkirakan bahwa Madura, terutama Sumenep, sudah ramai oleh orang Cina yang menetap sejak Abad 17. Hal itu seperti yang ditulis Claudine Salmon dalam artikelnya The Han Family of East Java, Enterpreneurship and Politics 18-19 Century yang terbit di jurnal Archipel tahun 1991.

Lebih lanjut, Salmon juga menyebut adanya keluarga marga Han yang menyebar di Madura terutama di Bangkalan, Sumenep dan Sampang. Di Sumenep, ada klenteng yang dibuat marga Han bernama Baoshan Linggong dengan dewa utamanya Dewi Samudera.

Pada 1901, paling tidak terdapat 4.000 orang Cina di Madura, setara dengan jumlah mereka di Madiun dan Karawang. Namun lebih besar dari jumlah orang Cina di Yogyakarta dan Probolinggo.

 

Tempat pedagang berlabuh  

Cukup panjang kisah masuknya orang Cina di Madura, hal ini memungkinkan adanya pertukaran budaya, saling serap dan saling bertoleransi ada orang Madura dan orang Cina. Sejatinya, Madura memiliki sejarah panjang dengan berlapis kebudayaan. 

Madura pernah berada di bawah kerajaan Hindu Kediri (1042-1222), Singhasari (1222-1292), Majapahit (1293-1500). Nama dan asal-usul Madura tercatat dalam Negarakertagama (1365) karangan Empu Prapanca yang ditulis pada masa Majapahit. Di situ ditunjukkan, daratan Madura menjadi satu dengan Pulau Jawa.

Saking ramainya Jalur Sutera Maritim dan Jalur Rempah di kawasan timur Nusantara, Madura juga menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang Arab, Cina dan lainnya sampai kemudian bangsa Eropa datang berburu rempah-rempah. Tak heran, banyak bentuk akulturasi budaya yang membentuk identitas Madura dan masyarakatnya saat ini termasuk ciri arsitektur yang khas di Madura. 

Rumah Bheley atau Sekot Pacenan (Gaya Pecinan) ada di seantero Madura. Saya menemukan salah satunya di kawasan pantai utara Madura, tepatnya di Desa Masaran dan Labuhan, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan. Saya menyusuri pantai utara desa Labuhan – Masaran di Bangkalan, ditemani seorang warga, Mohammad Sahril (48).

Angin semilir dari kawasan pantai yang menjadi tempat konservasi mangrove desa Labuhan menambah pemandangan asri lanskap desa pesisir pantai utara Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Terbersit, mengapa namanya Labuhan?

“Labuhan dulu tempat berlabuhnya kapal-kapal orang Cina dan pedagang asing kata orang-orang tua dulu,” ujar Mohammad Sahril pelopor pelestarian mangrove sekaligus penggiat pariwisata di desa Labuhan dan Masaran.

“Ada turunan Cina yang menikah di sini, keluarga muslim di desa sini,” ujarnya. Saya tidak mengganti penggunaan kata Cina dengan kata Tionghoa karena Pak Sahril lebih memilih menggunakan kata Cina.

"Ya di sini nyebutnya Cina, Cena ya. Biasa begitu, tidak pakai Tionghoa," ujarnya dengan singkat ketika saya menanyakan apakah kata Tionghoa atau Cina yang lebih sering digunakan masyarakat desa Masaran dan Labuhan. 

 

Motif banji  

Saya menyusuri garis pantai hampir sepanjang 2 km yang menghubungkan dua desa yaitu Labuhan dan Masaran. 

Tak lama berjalan, mata saya tertumbuk pada beberapa rumah tradisional dengan desain arsitektur yang unik. Salah satu rumah yang saya jumpai berupa rumah mungil berukuran 7 m x 4 m. Atapnya pelana dengan hiasan pada ujung bubungan atap seolah tampak pengaruh Cina pada bubungannya.

Ada varian lain rumah yang cukup lebar dengan lebar sekitar 8 m dan panjang sampai 15 m. Semua rumah-rumah tersebut menghadap ke arah utara berhadapan dengan pantai. Langgamnya tampak seperti paduan antara Cina, Madura, Jawa, bahkan bernapas Majapahitan.

Perhatian saya tertuju pada ukiran gebyok depan rumah tersebut. Ukiran ragam hias bunga, sulur, dedaunan khas ragam hias Jawa menghiasi pinggiran pintu dan gebyok kayu. Menariknya, terdapat motif swastika alias “banji”- (Wan Zi dalam Bahasa Mandarin) yang artinya sepuluh ribu – di setiap rumah-rumah itu. Seolah menjadi motif pakem, motif banji menjadi motif utama yang menghiasi kanan kiri pintu utama rumah-rumah yang disebut Bheley dan berdinding anyaman bambu tabing itu. 

Motif banji pun tersemai bersama motif Cina lainnya di barang-barang rumah tangga seperti ranjang, daun pintu dan jendela, kotak penyimpanan keris, dan peti angkut upeti kuna. Terbanyak motif Cina peranakan terdapat pada ranjang-ranjang khas berukuran sekitar 1,5 m x 2 m dengan atap tepi dan atap ranjang berukir motif pakemnya yaitu sepasang kilin, singa, burung hong, naga, tepian banji, serta bunga teratai. 

Kilin merupakan symbol panjang umur, kebijaksanaan, kebahagiaan, dan harapan memiliki keturunan yang baik; singa merupakan mahluk penjaga dan pelindung; burung hong dan naga ada simbol yin-yang simbol harmoni maskulin feminin; tepian banji adalah simbol kesejahteraan; teratai simbol kesucian.

Banji, sejatinya adalah ragam hias swastika dalam kebudayaan Hinduisme dan Budhisme yang kemudian menjadi salah satu motif ragam hias dalam kebudayaan Cina. Banji telah digunakan oleh masyarakat Kebudayaan Indus Mohenja Daro (2.500 – 1.500 SM) sebagai lambang keberuntungan.

Di Cina, lambang swastika awalnya menjadi karakter yang berarti 4 wilayah di penjuru dunia, pada tahun 700 M, digunakan menjadi kata “wan”, artinya sepuluh ribu, simbol jumlah yang tak terbatas. Tidak hanya menjadi motif religius di tempat-tempat sakral, namun juga menjadi motif simbolik yang digunakan untuk keberuntungan, kesejahteraan, keabadian.

Hasil dari TKI 

Penanda lain penggunaan simbol Cina adalah penggunaan motif bunga teratai untuk dua buah pasak menonjol di pintu depan rumah bheley. Demikian pula dengan motif bunga teratai atau lotus, yang menjadi simbol kemurnian dan kesucian dalam Budhisme dan kebudayaan Cina.

Sayang, warga Labuhan tak lagi mengenal makna-makna simbol yang terukir di rumah tradisional itu. “Rumah milik warga, rumahnya Umbrah, Tohari, Ramla, Tinggal, Sumidah, bukan Cina,”ujar Sahril tentang 6 rumah yang tersisa. 

“Rumah-rumahnya terutama ukiran-ukiran itu jadi buruan kolektor,” ujar Sahril yang menjelaskan bahwa rumah-rumah tersebut pernah memenuhi sudut kampungnya sekitar 30-an tahun. Rumah-rumah tradisional itu pun kini terkepung rumah megah berlantai dan berdinding keramik.

“Hasil warga menjadi TKI di Malaysia,” ungkap Sahril sambil menceritakan banyaknya warga desanya yang mengadu nasib ke negeri jiran. Sahril pun menyayangkan hilangnya rumah-rumah tradisional Labuhan beserta furniturnya. 

“Tinggal sisa itu saja, furnitur kuno ya sudah tidak ada, semoga rumah-rumah ini tetap ada,”pungkasnya.

Saya memahami kegelisahan Sahril, namun saya dapat memahami kebutuhan warga yang memilih mendirikan bangunan baru dibanding mempertahankan rumah tradisionalnya. Tak apa, perubahan itu bagian dari dinamika perjalanan perkembangan bangsa. 

Satu hal yang menarik dalam perjalanan saya adalah menyusuri jejak Ong Hok Ham yang menemani G. William Skinner dari Universitas Cornell pada tahun 1957 saat meneliti jejak orang Cina di Madura. Di situ saya mengenal tipe sebaran masyarakat Cina Indonesia yang berbeda dari wilayah lainnya. 

Uniknya, masyarakat Cina di Madura banyak melebur dan berasimilasi sempurna di Madura. Bahkan, banyak keluarga Cina yang telah lebih dari 6 generasi memeluk agama Islam. Mereka juga menolak disebut mualaf di sepanjang Pulau Madura hingga Pulau Sapudi dan Pulau Kangean. 

Perjalanan menyigi pecinan di Madura memberikan pesan kuat pada saya bahwa perjalanan budaya toleransi pada perbedaan telah berlangsung lama dan menjadi bagian dari pembentukan identitas bangsa Indonesia.

 

" ["url"]=> string(88) "https://plus.intisari.grid.id/read/553167684/cina-madura-sudah-enam-generasi-jadi-muslim" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1646313799000) } } [1]=> object(stdClass)#57 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3167685" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#58 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/03/03/thumbnail-intisariplus-sejarah4-20220303011952.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#59 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(106) "Tjong A Fie, seorang saudagar kaya asal Medan begitu masyhur dengan kisah-kisah kejayaannya di masa silam." ["section"]=> object(stdClass)#60 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Sejarah" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "history" ["id"]=> int(1367) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Sejarah" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/03/03/thumbnail-intisariplus-sejarah4-20220303011952.jpg" ["title"]=> string(49) "Tjong A Fie Mansion, Sisa Kejayaan Saudagar Medan" ["published_date"]=> string(19) "2022-03-03 13:20:52" ["content"]=> string(13201) "

Intisari Plus - 

Perjalanan hidupnya benar-benar penuh dinamika, dari masa kecil penuh kemiskinan hingga kaya raya di masa tua. Sisa-sisa masa kejayaannya kini bisa dilihat dari peninggalan sebuah rumah megah di jantung kota Medan. 

---------------------------- 

Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan layaknya jantung kota lainnya.  Sepanjang jalan berjejer pertokoan dan perkantoran, serta arus kendaraan yang lalu-lalang seolah tiada henti. Di tengah kepadatan kawasan kota yang sibuk itu, sebuah bangunan tampak istimewa. 

Bangunan itu cukup luas dengan tembok kokoh mengelilinginya. Sebuah pintu hijau tua dengan variasi warna putih, membatasi jalan raya dengan halaman rumah. Begitu kita masuk, di dalamnya terdapat halaman sekitar 200 meter persegi dan keberadaan sebuah pohon tepat di tengah. 

Di seberang halaman, tampaklah bangunan dua lantai nan megah. Meski dari arsitekturnya, bangunan terlihat sudah berumur, namun ternyata masih kokoh dan terawat. Setiap sudut ruangan terlihat bersih dan tertata dengan apik.    

Dari bentuk bangunan depan, tampak karakter kuat arsitektur Cina. Di depan teras yang didominasi lantai warna coklat terdapat pintu kayu besar diapit dua jendela besar berteralis besi. Keindahan makin tampak dengan plafon yang bermotif serta lampu gantung tepat berada di tengahnya. 

“Bangunan ini sudah berusia 120 tahun, karena selesai dibangun tahun 1900 dan langsung ditempati,” kata Nazarudin, pemandu khusus dari Tjong A Fie Masion yang menemani Intisari, siang itu.

Disebut Tjong A Fie Mansion, karena rumah yang kini dijadikan cagar budaya oleh pemerintah setempat itu memang dibangun oleh Tjong A Fie. Di masa lalu, nama ini melegenda lantaran pernah menjadi orang terkaya di Medan hingga meninggalnya pada 1921. Selain itu, ia juga dikenal dermawan.

Menelusuri ruang demi ruang di dalam rumah, kita seolah dibawa masuk ke dalam lorong waktu. Bisa terbayangkan, betapa megah dan mewah tersebut pada masanya. Tak hanya kesan eksostis namun tiap sudut seolah mampu “berbicara”. Setiap petak ruangan di dalamnya memiliki makna dan filosofi yang kuat.

Kemegahan dan kemewahan Tjong A Fie Mansion tercatat dalam Buku: Kisah Hidup Quenny Chang. Anak Tjong A Fie, Orang terkaya di Medan. Buku yang diterbitkan 2016 itu ditulis oleh Quenny, anak pertama Tjong A Fie. 

Dalam tulisannya Quenny menggambarkan, pada masa itu ia tak pernah melihat rumah yang semewah rumah milik ayahnya. Kursi panjang empuk berlapis beludru halus. Jendela dengan kaca-kaca berukuran besar mengelilingi dinding. Langi-langit beroranamen indah. Ditambah dengan gemerlap lampu listrik dari halaman depan sampai sampai di setiap sudut ruangan menyala dengan indah. 

“Saking terangnya saya sampai silau. Saya tak pernah melihat lampu seindah itu. Di masa itu rata-rata masyarakat masih menggunakan lampu minyak atau lilin,” kenang Queeny yang masih berusia tiga tahun saat pertama kali menempati rumah itu.

 

Ruang pesta dansa   

Meski Tjong A Fie seorang Cina tulen, namun dia selalu menjunjung nilai-nilai budaya di mana dia berada. Sifat atau karakter itu dituangkan dalam setiap bentuk ruangan. Di dalam rumah yang didesain oleh tiga orang arsitektur tersebut, tercermin tiga budaya; Cina, Eropa, dan Melayu. “Tjong A. Fie orangnya sangat plural. Tidak hanya menjunjung tinggi pada leluhurnya saja, tetapi dia juga menjunjung nilai-nilai budaya dimana dia berada,” kata Nazar.

Di dalam rumah dengan luas tanah 6.000 m2 dan luas bangunan 4.000 m2 tersebut ada sekitar 24 kamar yang tersebar di lantai bawah, lantai dua, sayap kiri dan kanan atas. Ketika memasuki ruang tamu pertama di sebelah kiri, nuansa budaya melayu sangat kental. Dinding kamar didominasi warna kuning, warna yang jadi ciri khas budaya Melayu. 

“Dulu di ruang tamu ini Tjong A Fie, menerima tamu-tamu besar yang berkebangsaan Melayu, seperti Sultan Deli IX, Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah yang selalu datang ketika hari raya Imlek tiba,” imbuh Nazarudin.

Di belakang ruang tamu terdapat ruang tidur utama Tjoang A Fie. Kamar berukuran sekitar 5 x 10 m tersebut menyimpan satu tempat tidur kayu plituran warna coklat tua dengan masing masing tiang pada setiap sudutnya. 

Masih di dalam kamar tersebut, terdapat juga satu lemari kayu, lemari kecil serta dua set kursi kayu, dan beberapa lukisan diri Tjong A Fie. Salah satunya, kala Konglomerat itu berpose dalam balutan busana ala Eropa, berupa jas. 

Kamar berbentuk memanjang itu memiliki lantai berornamen, didominasi warna biru tua yang didatangkan dari Cina. Suasana begitu temaram karena hanya ada dua lampu gantung di sisi kiri dan kanan tempat tidur. 

“Bisa dibayangkan pada masa itu kamar tidurnya sudah seperti ini, bagaimana mewahnya, ” papar Nazar. Ia juga menjamin kalau semua benda dalam kamar itu masih otentik, kecuali sebuah alat penyedot debu dengan panjang 50 cm yang ketika itu tampak disiagakan di sudut kamar.

Kamar tidur utama tersebut ternyata tembus ke ruang belakang yang dijadikan ruang makan. Ada satu set meja panjang dengan kursi mengelilinginya. Sebuah pintu besar menghubungkan ruangan tersebut ke ruang tamu utama yang begitu luas. Di ruangan itu, nuansa Eropa tampak terasa. Dua set meja-kursi kayu dan marmer asli dari Belanda, memperkuat kesan itu. 

Suasana Eropa makin terasa dengan keberadaan sebuah grand piano di sudut kiri ruangan. Sehari-hari, piano ini dimainkan Tjong Sie Yien, putri kelima Tjong A Fie yang kebetulan hobi bermusik. Piano ini, jelas Nazar, punya sejarah panjang karena pernah digunakan untuk pendirian Medan Music School Foundation pada 1950. Inilah sekolah musik pertama di Indonesia.

Di sebelah kanan ruang utama, terdapat ruangan memanjang bernuansakan Cina. Selain ada satu set meja-kursi kayu, tergantung pula sebuah lampu beserta lampion. Di ruangan inilah Tjong A Fie menerima para tamu, mulai dari pejabat Cina setempat atau para delegasi dari Tiongkok yang datang.

Pertemuan Tjong A Fie dengan sejumlah pejabat di masa lalu, terekam dari foto-foto yang terpajang di ruangan galeri. Di sanalah kita bisa melihat rekaman gambar pertemuan tuan rumah dengan sejumlah petinggi Belanda serta Tiongkok. 

Menariknya, galeri ini juga memajang foto replika surat berharga berupa simpanan penanaman saham Tjong A. Fie, senilai 3 juta gulden pada Deli Bank. “Kalau diukur dengan uang sekarang, nilainya setara triliunan rupiah,” papar Nazar.

Kala itu Tjong A Fie memang dikenal sebagai pengusaha perkebunan terkaya di Sumatera dengan ribuan hektar kebun seperti tembakau, karet, kelapa, dll. Ia juga menjadi bankir, seperti chairman pada Batavia Bank, cikal bakal Bank Indonesia Medan saat ini.

Keberadaan ballroom di lantai dua rumah menandakan betapa mewahnya kehidupan Tjong A Fie pada masa itu. Ruangan itulah yang selalu digelar pesta dansa dan menjamu para tamu. Sementara ruang di sayap kanan dan kirinya, dijadikan perpustakaan serta ruangan tata suara. 

 

Merantau ke Medan  

Bukan hanya bangunan rumahnya, perjalanan Tjong A Fie hingga menjadi orang terkaya, sangat menarik disimak. Awalnya pria kelahiran Sungkow, Guangdong, Tiongkok itu amat miskin. Meski pendidikannya rendah, namun Tjong Fu Nam (nama lahirnya) sangat gigih dan cerdas. “Sehari-hari ia membantu orang tuanya berdagang kelontong,” cerita Nazar.

Dalam buku Queeny Chang, anak pertama dari hasil perkawinan dengan istri ketiganya bernama Koei Yap, tertulis: walau miskin, Tjong A Fie berkarakter kuat. Di balik kesederhanaannya, ia pandai bersosialisasi dan berkomunikasi. Tjong A Fie jadi andalan untuk menyelesaikan persoalan keluarga. Kecerdasan dan kejujuran, jadi kunci kewibawaannya.

Tjong A Fie tidak ingin terus terbelenggu dalam kemiskinan. Setelah ayahnya meninggal, sekitar 1875, pada usia 18 tahun ia merantau ke Hindia Belanda. Tepatnya di Medan yang kala itu bernama Deli tua, untuk menyusul Tjong Yong Hian, sang kakak yang sudah lima tahun lebih dulu merantau. Saat itu Tjong A Fie sebenarnya sudah berkeluarga, namun istrinya tidak ikut karena harus menunggui orang tuanya. 

Meski kakaknya sudah mulai sukses sebagai pedagang, namun Tjong A Fie tidak serta merta mendompleng ketenaran. Ia justru bekerja dengan orang lain, mulai dari penjaga toko, mengerjakan pembukuan, bahkan melakukan penagihan di perkebunan. 

Ibarat pepatah, meski di dalam lumpur, namun butir berlian akan tetap terlihat bersinar. Pun demikian dengan sosok Tjong A. Fie. Kegigihan, keuletan, kesabaran serta kepandaiannya membawa diri di lingkungan baru, ia mendapat simpati dari majikannya.

Lambat laun Tjong A Fie dipercaya mengurus lahan perkebunan. Kariernya terus menanjak, hingga lagi-lagi karena keuletannya, ia akhirnya juga bisa memiliki perkebunan sendiri.  

Usaha Tjong A Fie terus berkembang pesat. Sepetak demi sepetak lahan perkebunan tembakau, sawit, dan kelapa, terus bertambah. Lahannya ribuan hektare di seluruh Sumatera. Karyawan mencapai 10 ribu orang di berbagai daerah. 

 

Tidak memandang suku 

Karena kepribadiannya, pada akhirnya Tjong A. Fie, tak hanya dikenal sebagai saudagar sukses. Kemampuannya beradaptasi dengan warga asli Melayu, etnis Cina, maupun Belanda, membuatnya dipercaya oleh pemerintah Hindia-Belanda menjadi Kapitan. 

Dalam bukunya, Queeny Chang menyebutkan, ayahnya dikenal sebagai sosok yang sangat baik dan dermawan. Ia gemar membantu daerah-daerah yang terkena musibah, termasuk tanah leluhurnya di Tiongkok jika terjadi kekeringan. 

Ketika mengulurkan tangan ia tak pernah membeda-bedakan siapapun dan dari golongan apapun. Semasa hidup dia membantu untuk pemembangun masjid, gereja, maupun kuil Hindu.

“Salah satunya adalah ketika Sultan Deli IX mebangun masjid Raya Al-Mashun tahun 1906, sekitar 30 persen dana yang digunakan tersebut adalah sumbangan dari Tjong A. Fie. Gereja Katedral Medan juga demikian,” tambah Nazarudin.

Karena itu hubungan antara Tjong A Fie dengan pemerintah Belanda maupun kesultanan begitu dekat. Menurut Queeny Chan yang lahir pada 1896, ketika adik lelakinya lahir, tetamu memberikan bingkisan berbagai bentuk emas. Salah satunya Sultan Deli yang memberi kado  miniatur bangunan kesultanan dengan hiasan batu berlian.  

Pada 8 Februari 1921 Tjong A Fie meninggal dunia akibat stroke. Ribuan memadati rumah dan jalan ketika jenazah dibawa menuju ke Pulo Brayan, tempat peristirahatannya terakhir. Para pelayat bahkan datang dari jauh seperti Kalimantan, Jawa, pulau-pulau lain.

Untuk mengenang jasa baik Tjong A Fie, rumah keluarga tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya. “Untuk perawatan rumah agar tetap terjaga dengan baik, kami berusaha perbaiki,” terang Mimi Tjong (70) cucu Tjong A Fie dari pasangan Tjong Kwet Liong dan Lim Eng Liang yang saat ini tinggal di rumah penuh kenangan itu.

 

" ["url"]=> string(93) "https://plus.intisari.grid.id/read/553167685/tjong-a-fie-mansion-sisa-kejayaan-saudagar-medan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1646313652000) } } }