array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3304234"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/monyet-edan_anastasia-ereminajp-20220603020104.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(150) "Wolfgang Ihns yang hidupnya teratur itu makan siang seperti biasa, turun ke gudang bawah tanah tokonya untuk tidur siang. Ia tidak pernah bangun lagi."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/monyet-edan_anastasia-ereminajp-20220603020104.jpg"
      ["title"]=>
      string(11) "Monyet Edan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-03 14:01:41"
      ["content"]=>
      string(34492) "

Intisari Plus - Wolfgang Ihns yang hidupnya teratur itu makan siang seperti biasa, lalu turun ke gudang bawah tanah tokonya untuk tidur siang. Ia tidak pernah bangun lagi. Ia ditemukan tewas dengan tragis. Di sana, polisi menemukan pisang yang memperunyam pemeriksaan hingga terbesit dugaan adanya “monyet edan.”

-------------------------

Seperti biasa, tanggal 13 Maret 1973 itu Wolfgang Ihns bangun pukul 04.30, lalu pergi ke pasar induk sayur-mayur dan buah-buahan. Ketika pintu tokonya dibuka pukul 07.00, buah-buahan dan sayur-mayur segar sudah menanti pelanggan.

Wolfgang Ihns sangat rajin. Seluruh pikirannya tercurah ke tokonya itu. Beberapa toko serupa di daerah itu di Kota Hamburg, Jerman Barat, kalah bersaing dengannya, sebab pemiliknya lebih santai.

Ihns berumur 38 tahun dan istrinya, Marion, 35 tahun. Mereka mempunyai seorang putri berumur 5 tahun. Keluarga Ihns tinggal di tingkat tiga gedung yang bersebelahan dengan toko mereka.

Toko itu seperti toko-toko tetangganya, tutup mulai sekitar tengah hari sampai pukul 14.00, lalu buka kembali sampai pukul 19.00. Siang hari Marion yang sudah selesai dengan pekerjaannya di rumah, ikut membantu di toko.

Supaya bisa tetap segar melayani pembeli sampai pukul 19.00, Wolfgang Ihns biasa tidur siang. Cuma saja sejak anaknya bisa gerayangan, ia merasa terganggu tidur siang di rumah. Maka itu dipasangnya sebuah veldbed besi di sebuah sudut gudang bawah tanah di tokonya.

Bulan Maret itu udara masih sangat dingin. Salju masih berserakan di jalan-jalan dan angin yang menusuk bertiup dari laut.

Wolfgang Ihns yang hidupnya teratur itu makan siang seperti biasa, lalu turun ke gudang bawah tanah tokonya untuk tidur siang. Ia tidak pernah bangun lagi.

Pukul 14.00 Marion Ihns turun untuk membangunkan suaminya. Biasanya Wolfgang bangun sendiri. Namun kadang-kadang kalau terlalu lelah ia perlu dibangunkan. Wolfgang marah kalau dibiarkan tidur terus, sebab berarti tokonya tidak dibuka tepat pada waktunya. Ia sangat tertib dalam hal waktu buka.

Dari apartemen mereka di tingkat tiga rumah sebelah tidak ada jalan langsung untuk masuk ke toko. Jadi Marion harus turun ke jalan dulu, lalu masuk ke dalam toko lewat pintu depan. Ia berbekal kunci, sebab Wolfgang tidak pernah lupa mengunci pintu tokonya.

Namun siang itu Marion merasa heran, pintu tidak dikunci. Marion memanggil-manggil suaminya. Tidak ada jawaban. Teriakannya terdengar oleh tetangga sebelah, seorang penjual barang-barang elektronik yang baru membuka tokonya.

Sambil memanggil, Marion turun ke gudang. Sebenarnya ia jarang masuk ke gudang bawah tanah yang dalam dan tangganya sempit itu. Entah mengapa ia selalu merasa ngeri di sana. "Saya pikir Wolfgang mungkin sudah bangun dan setelah membuka pintu toko itu teringat untuk mengambil sesuatu di Gudang,” kata Marion kemudian pada polisi.

Tiba-tiba ia berhenti memanggil. Cahaya bola lampu yang telanjang menerangi veldbed tempat suaminya telentang. Tangan kanan suaminya yang terjuntai dari ranjang, tampak merah darah dan dari ujung jari-jarinya menetes cairan merah. Di lantai semen menggenang cairan sewarna.

Marion berteriak ketakutan. Ia tersandung-sandung menaiki tangga, lalu berlari ke luar toko untuk masuk ke toko sebelah. Dengan tergagap ia berkata bahwa suaminya cedera di gudang bawah tanah. "Tolong panggilkan dokter," pintanya.

Pemilik toko sebelah kaget, tetapi otaknya cukup jernih. Ia memanggil ambulans. Namun usaha pertolongan itu sia-sia. Wolfgang Ihns itu sudah tewas. Petugas ambulans menasihati Marion agar menelepon polisi, sebab kematian suaminya jelas tidak wajar.

Marion Ihns menjadi histeris, sehingga terpaksa petugas ambulans yang menelepon polisi dari radio telepon di ambulansnya. Tadinya ia juga berniat membawa Ny. Ihns ke rumah sakit, tetapi wanita itu ternyata masih bisa menguasai dirinya. 

Katanya, ia harus buru-buru pulang, karena anaknya yang masih kecil sendirian saja di apartemennya. Petugas itu mengantar Marion dan memberinya suntikan obat penenang.

 

Siapa yang menginginkan nyawa tukang sayur?

Pada awal tahun '70-an itu kekerasan sering terjadi, sehingga polisi bagian pembunuhan repot.

Siang itu ke toko sayur Wolfgang Ihns datanglah Inspektur Wilhelm Krause dari bagian pembunuhan, ditemani oleh Sersan Detektif Peter Hartmann dan dokter ahli forensik Walter Reichauer. 

Tugas mereka pertama-tama menentukan apakah betul Wolfgang Ihns korban pembunuhan, sebab tidak semua mayat yang dilaporkan sebagai korban pembunuhan benar-benar mati terbunuh.

Namun, Wolfgang Ihns rupanya memang dibunuh. Dokter Reichauer yang masih muda tetapi serius itu berkata, "Pelipis kirinya pecah. Ini luka yang mematikan. Mungkin akibat sekali pukul dengan martil yang berat atau punggung kapak. 

Masih ada satu luka yang mematikan lagi, tikaman pisau besar di dada kiri, yang mungkin menembus jantung atau memutuskan beberapa pembuluh darah besar sekitar jantung."

"Dipukul kepalanya dulu, baru ditikam?" tanya Inspektur Krause yang jangkung, atletis, tampan, bercambang panjang, dan berumur 40-an itu.

"Kemungkinan besar begitu," jawab dokter. "Tidak ada tanda-tanda ia mencoba mempertahankan diri atau bahkan curiga akan diserang. Mungkin sekali pembunuhnya datang pada saat ia tertidur. Tusukan di dada tentunya dimaksudkan untuk meyakinkan diri bahwa korban benar-benar tewas."

Sersan Hartmann yang bertugas menanyai janda korban memberi laporan bahwa Wolfgang memang mempunyai kebiasaan tidur siang di veldbed itu setiap hari.

"Aneh," kata Inspektur. "Orang ini tampaknya sengaja dibunuh dengan cara cukup profesional. Namun, siapa yang mau membunuh seorang tukang sayur?"

"Mungkin para suami yang istrinya terlalu akrab dengan si tukang sayur," jawab sersan yang masih muda dan wajahnya polos itu.

"Mungkin saja," jawab sang inspektur. "Bagaimana rupa istrinya sendiri?"

"Wow!" seru sersan seraya membuat gerakan tangan yang melukiskan tubuh yang seksi. "Tetapi sekarang seperti Zombie, karena disuntik obat penenang oleh petugas ambulans."

"Apakah ia mempunyai dugaan siapa kira-kira yang menghendaki nyawa suaminya?" tanya Inspektur yang nada suaranya memperlihatkan bahwa ia tidak suka sikap main-main. Maklum ia termasuk generasi lama, sedangkan asistennya tergolong generasi baru yang senang bercanda, walaupun kerjanya baik sekali.

"Dia bilang, ia tidak bisa menduga seorang pun. Dia menyangka perampok. Katanya, sekarang banyak punk yang minum obat bius. Mereka siap membunuh, walaupun hanya untuk mendapat sedikit uang, yaitu kalau sedang ketagihan di saat tongpes."

"Dugaannya sangat beralasan, tapi biasanya pecandu obat bius tidak mampu melaksanakan pembunuhan seapik itu. Sudah kau periksa kasa di toko?"

"Saya periksa sekarang, Pak."

Laci kasa ternyata penuh uang hasil penjualan tadi pagi. Ihns tertib menyimpan bon-bon transaksinya untuk keperluan pajak, sehingga dengan mudah polisi menentukan bahwa tak satu pfennig pun yang hilang.

Barang lain pun tak ada yang hilang. Malamnya, ketika Marion sudah tidak berada di bawah pengaruh obat bius lagi, ia diajak sersan detektif ke gudang bawah tanah untuk memeriksa kalau-kalau ada barang yang hilang. Menurut Marion, seingat dia tak ada benda yang lenyap.

"Tambah misterius lagi," kata Inspektur.

 

Tidak punya pacar

Menurut hasil autopsi keesokan paginya, Ihns diperkirakan meninggal sekitar pukul 13.45. Petugas sidik jari sibuk sebab di toko dan di gudang ditemukan 172 sidik jari yang berlainan, belum termasuk sidik jari Ihns suami-istri. Maklum toko sayuran. 

Beberapa di antara pemilik sidik jari itu tercatat pernah melakukan kejahatan. Mereka diselidiki, namun tak ada yang dihubungkan dengan pembunuhan itu. Bukankah penjahat pun perlu belanja sayuran seperti orang Iain?

Pintu toko pun tidak dibuka dengan kekerasan. Pintu itu dibuka baik-baik dengan kunci. Atau mungkin memang tidak terkunci ketika penjahat datang. 

"Namun menurut Ny. Ihns, tidak mungkin suaminya lupa mengunci pintu," lapor Sersan. la tidak akan begitu lalainya meninggalkan pintu tak terkunci, karena kasa penuh uang."

“Kini selidiki latar belakang suami-istri Ihns. Siapa musuh mereka? Apa pernah ada orang yang mengancam? Siapa tahu mereka punya pacar.”

"Bagaimana kesan Bapak tentang Ny. Ihns?" tahya Sersan.

"Wow?" jawab Inspektur, tapi tanpa nada bergurau. Asistennya jadi heran sendiri, karena atasannya yang serius itu bisa mengeluarkan pernyataan demikian. Ny. Ihns mencolok kecantikannya dan potongan tubuhnya seksi.

Penyelidikan mengenai latar belakang Wolfgang Ihns tidak menghasilkan apa-apa. la betul-betul tukang sayuran sejati. la tidak punya pacar, tidak pernah main mata dengan istri orang lain, tidak masuk perkumpulan seks. 

Bahan pembicaraannya pun cuma soal selada dan kol. Kesempatan untuk bertemu kaum wanita selain istrinya sendiri, hanyalah kalau wanita itu datang berbelanja ke tokonya. Di toko yang laku itu mana mungkin ia sempat bermesraan berdua.

"Kalau begitu jandanya perlu dicurigai. Dagangan suaminya 'kan laris. Jadi, jandanya mendapat banyak warisan."

"Kenyataannya tidak," jawab Sersan. "Mereka memang mendapat penghasilan lumayan dari toko. Tetapi nilai perusahaan itu sendiri di bawah DM 10.000. Kebanyakan barang persediaan mereka cepat membusuk dan tidak seberapa nilainya. Perusahaan itu mati bersama Ihns. Ny. Ihns sudah mencari pekerjaan."

"Tambah sulit," kata Inspektur. "Tapi mungkin ia bisa menemukan suami lain yang cocok. Tarik orang-orangmu yang sedang menyelidiki Wolfgang Ihns. Suruh mereka menyelidiki jandanya. Siapa tahu ia sudah punya calon sebelum suaminya tewas."

"Yang naksir sih pasti banyak, Pak. Daftar orang yang ingin menjadi suaminya kini mungkin lebih dari setengah lusin, termasuk saya."

"Bersyukurlah kau, karena tidak termasuk yang harus diselidiki. Kalau pembunuhnya tidak mau uang, tentu ia menginginkan istri Ihns."

Ternyata Inspektur harus garuk-garuk kepala lagi, sebab Marion Ihns yang cantik itu ternyata juga tidak mempunyai kekasih. Bahkan setelah menjadi janda pun ia tidak mempunyai pacar. Tampaknya ia tidak mempunyai hubungan sedikit pun dengan pria lain, kecuali suaminya. Teman-temannya semua perempuan.

 

Kulit pisang

“Sayang ya, walaupun penampilannya cantik dan seksi, jangan-jangan ia wanita dingin," kata Sersan.

"Sulitnya, tak mungkin ia bisa dituduh membunuh suaminya sendiri. Orang-orang di toko sebelah melihat ia keluar dari gedung apartemennya untuk masuk ke toko tepat pukul 14.00. Mereka bisa memastikan hal itu, sebab mereka baru saja membuka toko mereka sendiri.

"Ihns dibunuh sekitar seperempat jam sebelum pukul 14.00. Kalau Ny. Ihns yang membunuhnya berarti ia harus masuk toko tanpa kelihatan orang, turun ke gudang, membunuh suaminya, membuang alat pembunuh, kembali ke apartemennya, lalu keluar lagi untuk masuk ke toko. Mana mungkin semua itu ia lakukan dalam waktu 20 menit."

"Memang tak mungkin. Kata Ny. Ihns, suaminya baru mengunci toko kira-kira pukul 13.30. Ia berada di rumah sekitar 15 menit, lalu pergi ke tokonya untuk tidur. Jadi, mungkin ia baru terlelap 5 menit ketika pembunuh mencabut nyawanya."

"Berarti pembunuh masuk ke gudang sebelum pukul 07.00, karena Ihns ada di toko sepanjang pagi sampai saat makan siang. Kalau saat itu ada orang masuk ke gudang, pasti ketahuan olehnya."

“Mungkin saja. Aku jadi teringat pada kulit pisang yang ditemukan di gudang."

Para teknisi dari laboratorium kepolisian menemukannya dan tidak tahu apakah kulit pisang itu bisa jadi petunjuk atau tidak. Kulit pisang itu terletak di lantai sebuah ceruk di gudang. Menurut hasil analisis di laboratorium, kulit pisang itu dikupas enam jam sebelum kematian Ihns. 

Ketika itu dipertanyakan siapa yang mengupas dan makan pisang itu? Pasti bukan Wolfgang Ihns, sebab isi perutnya menurut hasil autopsi, tidak menunjukkan bekas-bekas pisang. Lagi pula Ihns bukan orang yang akan membuang kulit pisang di lantai gudangnya. la sangat pembersih. Lantai gudang itu tersapu bersih.

Si pembunuh barangkali lapar ketika menunggu korbannya. Namun, para ahli penyelidikan ketika itu menganggap mana mungkin calon pembunuh bisa cukup santai untuk bisa merasa lapar segala.

"Kecuali ia pembunuh profesional," kata Inspektur. "Makin lama saya makin yakin pembunuhnya profesional. Soalnya, sangat efisien, berdarah dingin. Pasti ada orang yang ingin menyingkirkan Ihns dan ia menyewa pembunuh profesional."

Sersan detektif sependapat.

"Tapi siapa yang ingin melenyapkan dia? Tak ada orang yang menarik manfaat keuangan dan manfaat lain dari kematiannya. Ia tidak punya musuh. Lagi pula tak ada bukti sedikit pun ia melakukan hubungan intim dengan wanita lain, kecuali dengan istrinya. Tak pula ada bukti bahwa istrinya pernah main mata dengan pria lain. Pembunuhnya mungkin monyet edan."

"Monyet edan?" tanya Inspektur.

"Ya, itu kulit pisang. Pisangnya siapa yang makan?"

Inspektur menarik napas panjang.

 

Menyadap telepon

“Bagaimana Ny. Ihns sekarang? Apa gerak-geriknya tak alpa kauikuti?"

"Tidak. Ia sekarang tinggal di Schenefeld dengan seorang gadis Denmark bernama Judy Andersen. 

Mereka teman lama, walaupun gadis Denmark itu sepuluh tahun lebih muda. Ny. Ihns pindah segera setelah suaminya terbunuh dan ia sudah mencari pekerjaan, tetap belum memperolehnya. Ia tak mempunyai pengalaman lain, kecuali bekerja di toko sayur-mayur."

"Apakah ia suka pergi dengan pria?"

"Kelihatannya ia tidak mempunyai kenalan pria seorang pun. Kami mengawasinya 24 jam sehari. Ia tidak pernah meninggalkan apartemennya, kecuali untuk berbelanja bahan makanan dan melamar pekerjaan."

"Temannya, si Judy Andersen, itu dikunjungi teman-teman pria atau tidak? Ia bekerja atau di rumah terus?"

"Sejak Ny. Ihns pindah ke apartemen itu setahu kami mereka tidak pernah dikunjungi pria. Andersen itu operator derek. Gajinya lumayan. Pokoknya, lebih besar daripada gaji detektif polisi."

"Mungkin kerjanya pun lebih keras. Bagaimana rupanya? Besar?"

"Langsing, periang, manis. Mungkin saja ia membunuh Ihns supaya Ny. Ihns mau pindah ke rumahnya untuk memasakkan makanan."

"Teorimu sekali ini lebih masuk akal daripada teori monyet edanmu," jawab Inspektur. "Sudah kausadap telepon Nona Andersen?"

"Belum. Perlu, Pak? Bapak curiga kepadanya?"

"Setiap kemungkinan mesti kita selidiki. Secara statistik Ny. Ihns paling patut dicurigai. Sampai sejauh ini kita tahu bahwa ia satu-satunya orang yang paling kenal dengan suaminya. Mustahil orang yang tidak mempunyai motif sama sekali merencanakan dan melaksanakan pembunuhan terhadap orang yang hampir tak dikenalnya? Kecuali orang gila."

Sersan detektif sebetulnya sudah kehilangan harapan untuk bisa memecahkan misteri pembunuhan itu. Mereka sudah banyak membuang waktu dan tenaga tanpa hasil. Namun, karena atasannya menyuruh ia menyadap telepon, ia pun terpaksa melaksanakannya, walaupun sangsi akan ada hasilnya.

Ternyata beberapa hari kemudian ia tercengang, ketika mendengar hasil rekaman pembicaraan telepon jarak jauh yang dilakukan dalam bahasa Denmark oleh Judy Andersen dengan seorang remaja atau mungkin pria muda bernama Denny yang tinggal di Kopenhagen. 

Polisi meminta jasa seorang penerjemah. Dari cara bicaranya bisa ditarik kesimpulan bahwa Denny kenal baik dengan Judy.

Percakapan itu tidak panjang. Denny menanyakan kapan ia bisa mendapatkan sisa uang. Judy menjawab agar Denny sabar, karena warisan belum bisa diterima. Begitu warisan diterima, Denny pasti akan dibayar. Denny tampaknya kurang yakin.

"Coba periksa apakah Nona Andersen akan menerima warisan?" perintah Inspektur. Ternyata tidak. Kalau begitu yang dimaksudkan dalam pembicaraan telepon itu adalah warisan Wolfgang Ihns untuk jandanya, Marion.

"Cepat hubungi polisi Kopenhagen secara resmi. Minta tolong mereka melacakkan orang yang melakukan pembicaraan jarak jauh dengan Nona Judy Andersen di Schenefeld, Hamburg, pada waktu dan tanggal yang kita ketahui. Mudah-mudahan Denny bukan menelepon dari telepon umum."

 

Suaranya genit

Denny ternyata menelepon dari rumahnya. Setiap sambungan telepon ke negara lain ada catatannya di kantor telepon. 

Dalam waktu dua jam polisi Kopenhagen sudah mengetahui latar belakang Denny yang mereka sampaikan lewat teleks ke Hamburg. Denny Svend Pederson berumur 24 tahun.

"la bukan pacar Ny. Ihns. la pelacur," lapor Sersan Detektif Peter kepada Inspektur Wilhelm Krause.

"Pelacur? Kau maksudkan ia mempunyai wanita-wanita pelanggan? Kalau itu 'kan namanya gigolo."

"Ah, polisi Kopenhagen bilang pelacur. Pelanggannya bukan wanita, tapi kaum pria."

"Oooh! Pantas suaranya agak genit di rekaman. Ia tercatat pernah melakukan kejahatan?"

"Hanya melacur dan mencuri kecil-kecilan."

Dari hasil pemeriksaan polisi diketahui Denny yang tampan kewanita-wanitaan itu memang pembunuh Wolfgang Ihns, yaitu pria yang tak ia kenal dan yang tak pernah ia lihat sebelum hari naas itu. Ihns dipukulnya di bagian pelipis dengan bagian belakang kapak dan ditikamnya dengan pisau dapur di bagian jantung.

Itu kejahatan besar pertama yang ia lakukan dan polisi tidak memerlukan waktu lama untuk membuat ia mengaku.

Katanya, perbuatan itu ia lakukan atas suruhan Judy Andersen dengan imbalan uang. Menurut Denny, suatu kali Judy bertanya kepadanya apakah Denny perlu uang. 

Denny memang memerlukannya. Judy memberi tahu bahwa di Hamburg ada pria jahat sekali yang harus dibunuh. Denny harus datang dari Denmark untuk membunuhnya. Tidak ada orang yang akan mencurigainya, sebab pria jahat itu tidak mengenal siapa pun di Denmark.

Denny Pederson setuju. Judy tidak memberi tahu nama orang yang harus dibunuhnya. Denny diberi tahu suatu alamat di Hamburg. 

Ia harus datang ke sana tepat pukul 06.30, tanggal 13 Maret, dan memijat bel. Seorang wanita cantik, berambut gelap akan keluar dan memberi tahu apa yang harus ia lakukan. Begitu pekerjaan Denny selesai, ia harus segera pulang ke Denmark.

Semuanya berjalan lancar. Denny tiba di Hamburg dengan kereta malam. Ketika ia pergi ke alamat yang diberikan kepadanya, seorang wanita menyambutnya. Wanita itu kemudian ia kenali sebagai Marion Ihns.

Ketika itu Marion tidak memperkenalkan diri dan tidak menyebut hubungannya dengan korban. Denny baru tahu bahwa korban bernama Wolfgang Ihns dan Marion itu istri korban dari surat kabar.

Pagi itu Marion mengantarnya ke toko sayur-mayur di sebelah dan membawanya ke gudang bawah tanah. Ia diberi ember berisi pisau dan kapak. Marion juga menunjukkan veldbed tempat suaminya biasa tidur siang seraya memberi tahu pria itu akan datang antara pukul 13.00 - 13.30. 

Denny disuruh bersembunyi. Begitu tahu calon korbannya terlelap, ia harus membunuhnya dengan memukulkan kapak ke kepala korban, lalu menikam jantung korban. Ia dipesan tak boleh salah. Pria itu mesti mati.

Denny memberi tahu Marion bahwa ia lapar, karena belum sarapan, padahal ia harus menunggu di situ sampai lewat tengah hari. Jadi Marion memberinya sebuah pisang dan dua buah apel dari toko. 

Istri penjual sayuran dan buah itu mengambilkan pisang yang sudah terlalu masak dan apel yang paling jelek. Buah apel itu dimakan Denny dengan biji-bijinya, tetapi kulit pisang terpaksa dibuang.

Setelah lama sekali menunggu, Ihns turun dan begitu reban ia segera mendengkur. Denny muncul dari tempat persembunyiannya untuk melaksanakan tugasnya. 

Sesuai dengan instruksi, kapak dan pisau ia taruh lagi di ember dan dibawanya naik ke toko. Pintu toko dikunci, tetapi ia sudah diberi tahu bahwa kuncinya ada di saku jas kanan korban. Kunci itu harus ia tinggalkan di lubangnya.

Denny meninggalkan toko sayur-mayur korbannya. Toko-toko di tempat itu semua sedang tutup. Ia segera pulang ke Kopenhagan dan menunggu upahnya.

Denny tidak terlalu merasa bersalah membunuh Ihns. Katanya, ia tidak kenal pada korban dan bukankah menurut Judy pria itu sangat jahat? Menurut Denny, ia perlu uang untuk hari tua. Tidak lama lagi mungkin ia tidak laku. Jadi ia perlu modal untuk membuat kafe atau bar.

 

Supaya bisa menikah

Pengakuan itu sudah memenuhi semua yang diperlukan oleh Inspektur, kecuali satu hal: mengapa Judy Anderson dan Marion Ihns menyewa Pederson untuk membunuh suami Marion?

Inspektur menaruh suatu kecurigaan. Namun, untuk lebih meyakinkan dirinya ia meminta rekan-rekannya di Kopenhagen menanyakan kepada Denny kalau-kalau Denny tahu motifnya.

Menurut Denny, Judy dan Marion ingin menyingkirkan Wolfgang Ihns supaya mereka bisa kawin!

Karena Denny Svend Pederson berterus terang dan bersikap kooperatif, maka tanggal 10 Mei 1974 ia cuma dijatuhi hukuman 14 tahun penjara.

Di Hamburg, tugas Inspektur Wilhelm Krause belum selesai. Memang betul Pederson yang mengayunkan kapak dan menikamkan pisau, tetapi Judy Anderson dan Marion Ihns-lah yang menyuruhnya. Merekalah pembunuh-pembunuh yang sebenarnya.

Mereka sudah ditahan sejak pengakuan Denny Pederson muncul di koran-koran. Sebelum keduanya ditahan, apartemen Judy Andersen diamat-amati. Polisi menyangka begitu tahu Pederson mengaku, kedua wanita itu akan kabur. 

Diduga mereka akan memanggil taksi (karena tak mempunyai mobil) untuk pergi ke stasiun atau bandara. Dugaan polisi benar. Dari telepon yang disadap diketahui Judy memanggil taksi. 

Ia tak menyebutkan tujuannya. Polisi segera mengirimkan taksi dengan seorang detektif sebagai sopirnya.

Judy Andersen keluar membawa dua koper, diikuti Marion Ihns yang menggendong anaknya dan menenteng satu koper. Mereka kelihatan terburu-buru.

Di taksi Judy menyuruh sopir taksi meluncur ke stasiun pusat. Taksi meluncur ke arah stasiun, tetapi di tengah jalan tiba-tiba dibelokkan ke halaman markas besar polisi. Sebuah mobil preman yang sejak tadi mengikuti, ikut berhenti. 

Sersan Hartmann keluar, membuka pintu taksi, dan memberi tahu kedua wanita itu bahwa mereka ditahan sehubungan dengan pembunuhan Wolfgang Ihns. Apa pun yang mereka katakan akan dicatat dan bisa digunakan untuk memberatkan mereka.

Judy Andersen minta pengacara. Marion mengajukan permintaan serupa. Kata Marion, kalau akan ditahan lama, ia ingin menelepon keluarganya untuk datang dan membawa pergi putrinya.

Permintaan-permintan itu tentu saja dikabulkan. Judy mengaku mengenal Denny Pederson, tetapi cuma kenal sekadarnya, sebab mereka kebetulan sering berkunjung ke bar-bar yang sama di Kopenhagen. 

Ia menyangkal menyewa pria itu untuk membunuh. "Dari mana seorang operator derek mempunyai uang untuk mengupah pembunuh bayaran?" katanya.

Celakanya, Denny tak pernah bisa mengingat berapa bayaran yang sudah dan akan ia terima.

Marion Ihns menyatakan tak kenal pada Denny dan baru tahu ada orang yang namanya demikian dari surat kabar.

Ketika ditanya mengapa mereka kabur kalau tidak merasa bersalah, mereka menjawab bahwa mereka tidak mau diserbu wartawan yang pasti menginginkan berita dari mereka. Logis juga.

Judy dan Marion bersumpah bahwa mereka cuma kawan lama. Judy sering berkunjung ketika suami Marion masih hidup. Wajar saja kalau ia mengundang Marion untuk tinggal bersamanya setelah suami Marion meninggal. Bukankah saat itu Marion juga perlu menghemat uang sewa?

 

Ditemani polwan judes

Polisi memang mempunyai cukup wewenang untuk memanjangkan waktu pemeriksaan. Tetapi kedua wanita itu konsekuen pada keterangan mereka yang logis, yang rupanya sudah mereka siapkan lebih dulu. 

Mereka menyangkal semua dan polisi tak bisa membuktikan apa-apa. Polisi mengira kalau hasil pemeriksaan mereka cuma mencapai taraf seperti sekarang ini, kemungkinan besar kedua wanita itu dibebaskan oleh pengadilan.

Inspektur Krause tahu bahwa orang-orang lesbian sangat pencemburu, kadang-kadang melebihi orang-orang heteroseksual, sebab hubungan mereka yang tak bisa dikukuhkan secara legal membuat mereka lebih merasa tak aman. Ia bermaksud memanfaatkan kelemahan ini.

Judy Anderson dan Marion Ihns ditahan di seksi yang berlainan, tetapi di gedung yang sama. Secara teoritis mereka tidak mempunyai kesempatan berkomunikasi. 

Namun, Inspektur tahu cuma sedikit penjara di dunia yang keamanannya begitu kuat, sehingga kemungkinan berkomunikasi bisa ditiadakan. Kamar-kamar tahanan di kepolisian Hamburg jelas tidak termasuk salah satu di antaranya. Sekali ini bahkan Inspektur berniat untuk membuatnya lebih tidak ketat lagi.

Para polwan yang ditugaskan menjaga bagian yang ditempati Judy dan Marion diganti dengan yang lebih muda, lebih cantik, dan mereka juga diperintahkan agar menaruh lebih banyak simpati pada kawan sejenis.

Tak lama kemudian para polwan ini mendapat titipan surat. Surat-surat gelap itu cepat-cepat difotokopi sebelum diserahkan ke tujuan. Namun, Judy dan Marion tidak ikut main dalam surat-suratan.

"Baiklah! Kita maju selangkah lagi," kata Inspektur. Ia menempatkan seorang tahanan palsu, yaitu seorang polwan yang jauh dari cantik dan yang setahun lagi akan mencapai usia pensiun di sel Marion. Biasanya polwan itu lemah lembut. Kini ia diperintahkan agar berlaku sejudes mungkin.

Judy sebaliknya, mendapat teman sesel Inge Schultz, seorang tahanan lesbian berumur 15 tahun. Ia bukan polisi, tetapi ingin membantu polisi supaya hukumannya melakukan sejumlah kesalahan kecil diringankan.

Setiap kali Marion Ihns dipanggil untuk pemeriksaan, ia diajak melewati sel yang ditempati Judy Andersen bersama Inge Schultz.

Seminggu tidak ada hasilnya. Tahu-tahu tanggal 10 Juli Marion Ihns menulis: "Aku sudah melakukan segalanya untukmu. Aku mohon jangan lagi kau berhubungan dengan Inge. Aku sudah mengorbankan semuanya untukmu. Ingatlah pada cintaku. Tulislah surat. Aku akan bunuh diri kalau kau meninggalkan aku. Aku tidak tahan lagi ...."

" Bagus! " kata Inspektur, "mengakunya sih cuma teman biasa, padahal ... ."

Disebarkanlah kabar perihal kelakukan tak pantas Nona Andersen dengan Nona Schultz di lingkungan tempat tahanan. Mereka memang berlaku tidak senonoh. Kabar itu tiba ke telinga Marion Ihns, tetapi ia tak percaya, karena dalam surat balasannya Judy bersumpah hubungannya dengan teman seselnya dingin dan formal. Isi suratnya lebih hati-hati daripada surat Marion.

Karena merasa surat-surat mereka lolos dari perhatian yang berwajib, Marion lebih terbuka lagi. Ketika itu sudah empat bulan mereka ditahan. Dari isi surat-suratnya jelas Marion sangat mencintai Judy. Ia tidak cukup hati-hati seperti Judy. Dari suratnya terungkap bahwa Judy bertanggung jawab atas pembunuhan Wolfgang Ihns.

Lama-kelamaan Marion tidak tahan menghadapi kabar-kabar perihal ketidaksetiaan Judy yang berbulan madu di sel dengan Inge Schultz. Ia meminta diperbolehkan bicara dengan Inspektur, namun ada hal mencengangkan yang tak ia diduga-duga.

Judy Andersen, kata Marion, adalah suaminya. Mereka menikah di Denmark delapan bulan sebelum Wolfgang Ihns dibunuh. Pengakuannya direkam. Ketika rekaman diputar di hadapan Judy Andersen, ia mengaku bahwa semua keterangan Marion Ihns benar, kecuali bahwa bukan Judy yang ingin Wolfgang dibunuh, melainkan Marion. Judy mengaku cuma jadi perantara dengan meminta jasa Denny Svend Pederson.

Cinta antara Judy Andersen dan Marion Ihns ternyata tidak bertahan. Mereka muncul di pengadilan sebagai dua orang yang saling membenci, karena merasa dikhianati orang yang dicintainya.

Tanggal 2 Oktober 1974 kedua-duanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

(John Dunning)

 

" ["url"]=> string(56) "https://plus.intisari.grid.id/read/553304234/monyet-edan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654264901000) } } }