array(3) {
  [0]=>
  object(stdClass)#57 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3726690"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#58 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/14/intisari-plus-201-1980-40-suatu-20230314073010.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#59 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(141) "Hubungan Linda dan Karlheinz kian merenggang karena sang suami kerap menyiksa istrinya. Si putra bungsu merencanakan pembunuhan pada ayahnya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#60 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/14/intisari-plus-201-1980-40-suatu-20230314073010.jpg"
      ["title"]=>
      string(22) "Suatu Tragedi Keluarga"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-03-14 07:30:52"
      ["content"]=>
      string(13935) "

Intisari Plus - Hubungan Linda dan Karlheinz kian merenggang karena sang suami kerap menyiksa istrinya. Setelah satu per satu anggota keluarga pergi dari rumah, si putra bungsu merencanakan pembunuhan pada ayahnya.

----------

Ketika tahun 1956 Linda menikah dengan Karlheinz Roeder umurnya baru 18 tahun. Roeder, bekas tukang bubut, setahun lebih tua. Mereka terpaksa menikah karena sudah terlanjur hamil dan Linda tidak mau anak yang dikandung tak mempunyai ayah. Sampai tahun 1961 jumlah anak sudah meningkat menjadi tiga biarpun hubungan mereka tambah lama tambah longgar. Akibatnya masa kecil anak-anak ikut suram.

Tidak heran kalau Wolfgang dan Sylvia, anak sulung dan kedua, ingin cepat berdiri sendiri. Mereka sudah meninggalkan rumah orang tua masing-masing pada usia 16 dan 14 tahun. Hanya Harald si bungsu tetap di rumah, sehingga ia tahu persis apa yang harus dialami ibunya dari ayahnya yang keji.

Namun ibunya juga bangga ayahnya toh berhasil lulus sebagai insinyur mesin lewat kursus biarpun dengan susah payah. Karlheinz juga menjadi orang kepercayaan di sebuah pabrik mesin Geisenheim. Di tempat kediamannya ia dianggap sebagai orang pandai dan berhati besar.

Sebaliknya Linda juga tahu bahwa suaminya terlalu mengejar kedudukan dan penghargaan sehingga ia menelan segala macam tablet sampai 140 buah seminggu dan tambah kecanduan alkohol. Kepribadiannya tambah kacau dan ia menjadi sumber kesulitan bagi keluarganya.

Kalau sang ayah kembali dari kerja suasana menjadi panas. Ia berteriak tak keruan tetapi setelah itu tega mendiamkan istri dan anak selama dua minggu.

Kalau mengenai seks, Karlheinz Roeder tidak mengenai lelah. Istrinya tambah lama tambah kewalahan. Lebih-lebih setelah ia minum tanpa batas. Tahun 1975 pada puncak karirnya ia dipindahkan ke kantor cabang di Berlin sebagai kepala perwakilan di sana. Linda Roeder baru merasa enaknya menjadi wanita bebas.

Setiap minggu dari Senin sampai Jumat ibu dan anak hidup tenteram dan bahagia sampai hari Jumat ayah diantarkan seorang sopir dari lapangan terbang Frankfurt, pulang ke Geisenheim. Lalu menyusul akhir minggu yang penuh derita.

Satu tahun setelah Karlheinz Roeder kembali dari Berlin, istrinya yang sudah tidak tahan lagi harus beristirahat di Bodensee selama empat minggu. Ia kembali dengan tekad meninggalkan suaminya dan ia memang berbuat demikian. Harald si bungsu yang cinta pada keluarga mengambil keputusan untuk tetap menemani ayahnya yang kini menjadi peminum. la tidak mau meninggalkan ayahnya dalam keadaan demikian katanya.

Kalau sendirian ayahnya pasti tambah lama tambah mundur. Sebaiknya ada orang yang mengurus rumah tangga, kata Harald pada dewan keluarga.

Sejak itu ia mengepel, memasak untuk ayahnya, mencuci pakaiannya dan berbelanja untuk rumah tangga. Ia malah bisa mengambil untung 5 DM (sekitar Rp.1850,-) setiap minggu dari uang belanja yang diperoleh dari ayahnya. Itulah penghasilan satu-satunya. Ia merawat ayahnya ketika sang ayah pulang dalam keadaan mabuk dan kena beling. Ia menyeret ayahnya yang besar dan tegap yang sedang mabuk itu dari mobil ke apartemen berkamar empat yang terletak di tingkat kedua. Lalu Harald juga mengambilkan anggur, jenewer dan tablet untuk ayahnya sampai tiba waktunya untuk tidur dan ia bisa memikirkan apa yang akan terjadi keesokan harinya.

Harald setiap kali mengira kalau ayahnya sedang mabuk dan merasa down, sang ayah akan bunuh diri.

Tetapi saat yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung tiba. Seperti biasanya ia memaki-maki anaknya yang sudah demikian setia membantunya. Nasib Harald menjadi bertambah buruk ketika pabrik mesin tempat ayahnya bekerja mengurangi gaji ayahnya dari 6000 menjadi 4750 DM (sekitar Rp. 2.200.000 menjadi Rp. 1.757.500) karena ayahnya sering mabuk. Pada saat itu Harald sudah merasa bahwa ayahnya mempunyai utang besar.

Ketika Linda Roeder melarikan diri dari rumah, ia tidak membawa sepeser pun, biarpun ia berbuat demikian dengan sepengetahuan anak-anaknya, Wolfgang (polisi), Sylvia dan Harald. Namun dua bulan setelah itu ia sudah mendapat cukup uang untuk menyewa rumah kecil di Eltville tak jauh dari rumahnya semula. Waktu itulah ia meminta kepada Harald untuk mengambilkan tiga piringan hitam dari rumah. Kemudian ketahuan oleh ayahnya barangnya hilang. Ia marah sekali dan memasang kunci tambahan pada ruang duduk. Harald kini hanya bisa ke kamarnya dan dapur kalau ayahnya tidak di rumah. Ia juga tidak bisa menelepon biarpun ia menghadapi ujian sebagai perawat anak-anak di sebuah sekolah di Geisenheim.

Ketika Karlheinz pada suatu hari hilang tak berbekas, orang mulai bertanya-tanya. Tiga hari setelah ada laporan hilang, polisi menemukan sebuah Audi merah yang dicurigai. Polisi menghubungi istrinya. Si istri langsung menelepon putrinya Sylvia: “Ayah kecemplung ke dalam sungai Rhein,” katanya.

Sylvia menangis. Kemudian pada hari itu juga Wolfgang pulang dari cutinya. Ia bekerja sebagai polisi. Malam itu juga ia mengajak Harald ke sungai Rhein. “Alangkah sedihnya kalau dipikir bahwa dia mengapung di situ. Bagaimanapun juga ia ayah kita,” kata kakak itu kepada adiknya.

Baru dua minggu kemudian orang mulai curiga, apakah ini benar kasus bunuh diri. Tanggal 5 Juli ditemukan koper di sebelah danau di hutan. Barang itu diserahkan kepada polisi Ruedersheim tetapi kemudian dicatat sebagai “barang rongsokan” dan diantarkan ke bagian barang yang ditemukan. Dari situ dimasukkan ke dalam kendaraan sampah Hattenheim untuk dimusnahkan.

Namun seorang pekerja yang ingin tahu membukanya dan segera berlari ke atasannya: “Lihat di dalamnya ada sisa permadani yang berdarah dan sebuah topi dengan lubang mata seperti yang dipakai perampok.”

Kepala polisi minta supaya koper itu dikembalikan ke kantor polisi Wiesbaden.

Untuk pertama kalinya Harald dicurigai. Ia diperiksa secara cermat dan tanggal 26 Juli polisi yang menangani kasus itu memanggil Wolfgang Roeder yang sedang tugas di Ruedesheim. 

“Herr Roeder,” katanya dengan nada seorang teman. “Ayah Anda kan hilang. Kami telah menemukan koper dengan inisial R. Apakah mungkin ini miliknya?”

Wolfgang Roeder menjawab spontan: “Saya tidak tahu, tetapi adik saya Harald pasti tahu. Kalau ia benar-benar tahu, hari Jumat pukul sembilan saya akan singgah ke sini lagi....”

Harald waktu itu sudah bingung sekali. Malam itu juga ia pergi ke ibunya di Eltville, menangis sejadi-jadinya lalu mengaku: “Saya yang membunuh ayah.”

Ia mengakui hal itu lagi ketika ia sudah lebih tenang. Wolfgang kemudian juga datang. Kakaknya tetap tenang. Ia memberi tahu pengacara Ludwigshafen, Axel Borstorff (37) lewat rekan-rekannya dan juga polisi Wiesbaden. Sore itu juga mayat ayahnya dikeluarkan dari air.

Namun mereka belum mau mempercayai Harald bahwa ia melakukan semuanya ini sendiri. 

Pada tanggal 9 Agustus diadakan rekonstruksi pembunuhan itu di apartemen tempat tinggal mereka. Yang digunakan sebagai contoh ialah boneka yang biasa digunakan untuk riset percobaan tabrakan oleh pabrik mobil. Harald berteriak ketika ia melihat boneka itu. Namun kemudian sebuah kamera video membuat gambar bagaimana ia memukul boneka itu dengan sebuah tongkat besi yang harus menggambarkan ayahnya. Untuk kedua kalinya ia harus melakukan “pembunuhan” lagi. Ia mendemonstrasikan bagaimana ia menurunkan ayahnya yang sudah dibungkus dalam kantong sampah lewat jendela. Akhirnya orang yakin bahwa yang dikatakan Harald benar. Ia telah melakukannya sendiri. Waktu itu umurnya 17 tahun 8 bulan.

Bulan April tahun 1979 Harald sebetulnya sudah ada niat untuk menghabisi nyawa ayahnya. Waktu itu ia membuat catatan pertama. Ia membuat suatu sketsa rencana dan danau di hutan di dekat rumahnya sudah dipikirkan sebagai kemungkinan tempat membuang ayahnya. Dalam rencana yang diberi judul “Aksi Dunia Utuh”, ia menulis di atas selembar kertas apa saja yang diperlukan untuk niat keji itu:

Sepatu olahraga diperlukan dan sebuah kaos wanita. Sebuah selubung kepala dengan lubang mata dan sebuah tongkat besi.

Tanggal 3 Juli pagi Harald sudah mempunyai segala yang diperlukan di rumah, tetapi ia belum yakin akan melaksanakan rencananya. Namun waktu itu ayahnya memanggilnya ke kamar duduk. Di situ ia diperlihatkan surat dari sebuah bank di Muenchen, “Teguran Terakhir”. Dan di situ juga disebut-sebut kemungkinan “pelaksanaan hukuman” kalau sisa hutang sebesar 80.282,57 DM (sekitar Rp. 29,7 juta) tidak dibayar dalam delapan hari. Jumlah itu termasuk ongkos menagih dan keterlambatan membayar.

“Sekarang ibumu akan merasa ia harus ikut membayar,” kata Karlheinz Roeder dengan nada penuh kebencian. 

Saat itu Harald tiba-tiba memegang kerah ayahnya lalu menariknya ke kursi sambil berteriak: “Saya tidak terima.” 

Lalu Harald lari ke kamarnya untuk mengambil tongkat besi yang disembunyikan di belakang lemari. Kepala ayahnya dipukul dua kali. Rupanya ia masih belum yakin bahwa ayahnya mati. Ia masih mengikat leher ayahnya erat-erat dengan kaos kaki wanita.

Waktu itu pukul 9.45, Karlheinz Rocder meninggal. 14 jam kemudian anaknya berhasil mengeluarkan mayat dari rumah. Semua dilakukan sesuai dengan rencana “Aksi Dunia Utuh”.

Mayat ayahnya dimasukkan ke dalam dua kantong sampah biru. Sebelumnya dibalut dengan seprai dan diikat rapat dengan tali nilon. Bungkusan itu kemudian diangkat keluar jendela kamar mandi dan menurunkannya ke tingkat kedua.

Tiba-tiba talinya putus dan bungkusan itu jatuh dengan suara keras di lantai batu di depan pintu ruang bawah tanah.

Wanita yang tinggal di bawah terbangun. Namun karena dia sudah terbiasa dengan Roeder yang sering jatuh karena mabuk, ia tidak terlalu curiga di atas agak gaduh.

Tidak lama kemudian Harald keluar rumah dan melihat dengan hati lega bahwa bungkusannya tidak pecah. Dengan hati-hati ia menyeretnya ke garasi di mana mobil Audi merah ayahnya diparkir. Pukul empat pagi, ketika hari mulai cerah bungkusan mayat sudah berada di bagasi yang terkunci.

Malam berikutnya Harald membawa Audinya ke danau. Ia melepaskan semua pakaiannya kecuali celana berenang. Bungkusan mayat itu ditaruhnya di atas kasur yang ditiup dan sambil berenang ia mendorongnya ke tengah. Dengan susah payah ia menurunkan bungkusan itu dari kasur angin dengan bantuan sepotong pipa. Akhirnya kasur itu terguling dan bungkusan pun tenggelam. Kemudian ia mengenakan pakaian baru. Pakaian yang digunakan ketika ia melakukan pembunuhan, beberapa potong permadani yang berdarah dan barang lain yang tidak diperlukan, dimasukkan ke kopor serta dibuang ke semak-semak. Mobil ayahnya diparkir di tempat orang dilarang parkir, kuncinya dibiarkan di mobil dan Harald pulang berjalan kaki. Waktu itu ia yakin bahwa orang pasti mengira ayahnya telah bunuh diri seperti sudah sering diperkirakan orang.

Sungguh menyedihkan bahwa ide untuk menyingkirkan itu demi ibunya yang kini berumur 41 tahun. Pikirnya kalau ayahnya sudah tiada, “dunia utuh” yang didambakannya akan pulih kembali.

Harald kini dimasukkan ke penjara anak-anak di Frankfurt Hoechst dan memerlukan beberapa waktu sebelum ia bisa menulis surat kepada ibunya. Sebelum kejadian ini Harald seorang anak periang. Dalam surat kepada ibunya ia menulis tentang dia sendiri dan motif perbuatannya yang lebih jelas dari keterangan psikiater yang akan memeriksanya:

“Sampai ketemu lagi, saya hanya mempunyai harapan bahwa kita suatu keluarga yang baik, yang tahu bagaimana bisa tetap bersatu.” Harald masih harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di depan pengadilan.

(Friedhelm Weeremeider dan Lisselotte Fischer)

Baca Juga: Dalang dalam Selimut Pengawalan

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726690/suatu-tragedi-keluarga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678779052000) } } [1]=> object(stdClass)#61 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682827" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#62 (9) { ["thumb_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/istri-polisi-disanderajpg-20230213032326.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#63 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Rewelnya bayi pada malam itu rupanya menjadi pertanda akan datang seseorang membalas dendam kepada ayah si bayi yang berprofesi sebagai detektif." ["section"]=> object(stdClass)#64 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/istri-polisi-disanderajpg-20230213032326.jpg" ["title"]=> string(22) "Istri Polisi Disandera" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:23:40" ["content"]=> string(36270) "

Intisari Plus - Rewelnya bayi pada malam itu rupanya menjadi pertanda akan datang seseorang membalas dendam kepada ayah si bayi yang berprofesi sebagai detektif.

--------------------

Bayi itu masih saja menangis tak menentu. Kadangkala terdengar lirih, kadang pula melengking keras, seperti hendak mengatasi kesunyian yang menyelimuti rumah itu.

Linda tak habis mengerti, mengapa sore itu hatinya begitu gelisah. Suara tangis anaknyakah yang membuat hatinya cemas? Ataukah kesunyian yang mencekam kala bayi itu sekali-sekali berhenti menangis?

Entahlah. Belum pernah Linda merasa segelisah seperti sore itu. Barangkali itu pertanda bakal terjadi sesuatu, pikirnya. Tetapi, pertanda apa?

Sore sudah menjelang malam. Matahari pun sudah tenggelam di ufuk barat. Lalu ....

la melangkah menuju ke pintu depan rumahnya. Dikaitkannya rantai pengaman pintu ke selotnya. Itu bukan kebiasaannya, namun sore itu ....

Terdengar anaknya menangis lagi. “Ya, ya sayang. Mama segera datang!”

Digendongnya bayi itu. Tangisnya pun mereda setelah ia terbaring di pelukan lbunya. “Aduh, hari ini kau rewel sekali. Ada apa, sayang?”

Mungkin, naluri bayi itu menangkap isyarat akan datangnya bahaya di rumah itu. Tak ubahnya seperti anjing yang punya naluri yang peka akan adanya sesuatu yang tak beres.

Ada baiknya ia memelihara anjing di rumahnya yang terpencil itu, begitu pikirnya. Kalau Geoff, suaminya, pulang nanti, ia akan mengatakan soal itu kepadanya.

 

Kukira tukang penatu

Ketika la hendak membaringkan anaknya di tempat tidur, tiba-tiba terdengar bel pintu rumahnya berdering.

“Siapa di luar?” tanyanya ketika sampai di pintu. 

“Ini saya. Janet!” terdengar suara seorang wanita di luar menyahut. 

Ia melepaskan rantai pengaman, lalu membuka pintu. Janet merasakan getaran tajam suara Linda ketika ia bertanya tadi. “Hai, Linda! Apakah kedatanganku begitu mengejutkanmu?”

“Oh, ... eh, tidak, Janet! Cuma ... itu, anakku sejak tadi rewel melulu ... dan kukira tukang penatu yang datang ... Soalnya, aku belum menyiapkan pakaian-pakaian kotor yang hendak diambilnya…”

“Oh, begitu! Aku tak lama, Linda,” kata Janet kemudian. “Aku cuma mampir sebentar. Kebetulan aku lewat di depan rumahmu. Anakmu tampaknya sudah tenang lagi?”

“Ya. Kau tidak minum dulu?” 

“Terima kasih, Linda. Ketika aku keluar rumah tadi, aku jadi ingat hendak memberimu tiket dansa untuk hari Sabtu nanti. Kalau kau mau berangkat, panggil saja pramusiwi untuk menjaga anakmu!”

“Aku mau minta tolong saja sama ibu mertuaku supaya datang kemari menjaga anakku.”

“Bagaimana dengan Mary yang biasa kemari itu?” tanya Janet.

“Dia takut kalau ditinggal sendirian di rumah ini.”

“Eh, ngomong-ngomong, kau tidak merasa terpencil tinggal di daerah ini?”

“Ya. Itulah sebabnya tanah ini harganya murah waktu kami beli,” jawab Linda. “Tetapi, lama-kelamaan aku toh akan terbiasa dengan keadaan seperti ini.”

Janet tampak mengerutkan keningnya. “Kau merasa aman tinggal di sini?”

Hari ini mungkin tidak, jawab Linda dalam hati. la tidak mengatakannya kepada Janet. Sebaliknya, ia malah tersenyum. “Tentu. Mengapa kau bertanya begitu?”

“Geoff ‘kan sering meninggalkan kau sendiri di rumah. Lalu ... bukankah sekali waktu kau bisa menjadi sasaran penjahat lantaran pekerjaan suamimu itu?”

“Sasaran penjahat?” Linda tertawa lagi. “Janet, kau benar-benar sudah mabuk film detektif di TV. Apakah hanya karena Geoff itu seorang sersan detektif, lantas berarti setiap saat harus baku tembak dengan penjahat, begitu?”

Kedua sahabat itu pun tak bisa menahan gelak tawa mereka.

“Bukan, bukan begitu maksudku. Andaikata aku ini istri seorang detektif, yang kerapkali harus tinggal di rumah sendirian seperti kau, tentu aku khawatir dengan para penjahat yang telah keluar dari penjara dan membawa dendam terhadap suamiku.”

“Kalau kau jadi istri seorang detektif, kau pun akan menjadi terbiasa dengan keadaan itu, seperti aku,” begitu komentarnya kepada Janet.

“Apakah suamimu akan segera pulang?” tanya Janet sembari menengok jam di tangannya.

“Pukul 18.00 kira-kira. Itu kalau dia sudah tak ada urusan lagi yang harus ditanganinya.”

Sementara mereka asyik mengobrol, di kamar lain terdengar si kecil menangis lagi. “Aduh, dia mulai lagi!”

“Tengok dulu anakmu, Linda!” kata Janet. “Sebenarnya aku ingin singgah lebih lama, tetapi aku harus segera pergi, sebab ada janji menjemput seseorang di stasiun. Oke, Linda. Sampai ketemu hari Sabtu. Sampaikan salamku untuk Geoff!”

“Baik, Janet!” 

Linda menutup pintu setelah mobil Janet menghilang di ujung jalan.

 

Macam jagoan Chicago

Rumah itu sepi lagi. Hanya tinggal isak tangis anaknya yang terdengar. “Cup, cup sayang!” Linda mencoba meredakan tangis anaknya. Ada apa sebenarnya dengan anak ini, begitu pikirnya.

Kesunyian pun makin melilit hati Linda, tatkala tak terdengar lagi tangis bayinya.

Tiba-tiba bel pintu berdering lagi. Deringnya terasa nyaring di tengah kesunyian malam itu. 

Ia pun melangkah ke pintu, lalu dari dalam ia berteriak, “Apakah yang di luar tukang penatu?” Karena tak terdengar jawaban, ia pun mengulanginya lagi.

Kemudian di luar terdengar suara lelaki menjawab, “Ya!” 

Ketika yang berdiri di depan pintu bukan orang yang dimaksudkannya, hatinya tercekat. Dicekam rasa takut, ia berkata lirih, “Kau bukan ...!”

Dengan cepat laki-laki itu menerobos ke dalam. Teriakan Linda segera terhenti setelah tangan kokoh laki-laki itu membungkam mulutnya.

Linda meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari dekapan orang itu. Namun, sia-sia. Tamu tak diundang itu lalu menutup pintu dengan tendangan kakinya.

Akhirnya laki-laki itu melepaskannya. Sambil bersandar di pintu dengan sikap menantang, matanya tajam menatap Linda. Tatapan itu terasa aneh dan tampak memancarkan amarah.

Linda tak mau memperlihatkan rasa takutnya di depan orang itu. Dengan napas tertahan, ia pun bertanya kepada orang itu, “Apa yang kauinginkan?”

Laki-laki yang masih sangat muda itu tersenyum. Hanya sekejap. Wajahnya berubah kejam dengan sorot mata penuh dendam.

Mungkin orang ini hendak memerkosaku, pikir Linda cemas saat mata lelaki itu menjelajahi tubuhnya. Ia merasa takut, sebab seperti pernah dikatakan suaminya, selesai memerkosa biasanya si pelaku lantas membunuh korbannya pula ....

“Jangan takut, manis! Kau tidak akan kuapa-apakan, asal kau tidak berbuat macam-macam,” lagaknya macam jagoan dari Chicago.

Degup jantungnya terdengar begitu keras di telinganya. Ia berdiri mematung, menatap laki-laki itu. Meskipun Linda tampak begitu tenang, namun di balik wajahnya tersembunyi rasa takut yang amat dalam.

“Tapi ... apa artinya ini? ... Apa yang kauinginkan?” Linda terus mendesak. 

“Aku punya sedikit urusan dengan suamimu, nyonya manis,” jawab laki-laki itu.

“Oh ...!” Mereka pun diam. Tak lama kemudian Linda berteriak memanggil suaminya, “Geoff! Geoff! Turun ke sini sebentar, Geoff!” 

Tak ada jawaban. Sunyi. Mereka bungkam dan tegang seperti karet yang direntang. Tetapi kemudian, sayup-sayup terdengar lagi tangis bayi itu di kamarnya.

Laki-laki itu melempar senyum padanya. “Gertakanmu tak mempan, Ny. Mason. Aku sudah mengamati dan mendengar ... dan aku tahu saat ini suamimu tak ada di rumah.”

 

Kubunuh suamimu!

Mendengar anaknya menangis lagi, Linda pun memohon kepada orang itu, “Boleh aku menengok anakku?”

Laki-laki itu mendekatinya sambil mengancam, “Tetap di tempat dan jangan bergerak!” Suasana kembali sepi. “Apakah suamimu akan segera pulang?”

“Ya,” jawabnya. 

“Bagus!” katanya. 

Namun, Linda cepat-cepat menambahkan, “Tidak, tidak! Aku tidak tahu.”

“Kan bohong. Kau pun mengharapkan dia segera pulang.” 

“Malam ini ia ... ia mungkin terlambat pulang.”

“Berapa lama?” 

“Aku ... aku tidak tahu. Aku tak pernah bisa memastikannya. Kalau ia hendak pulang terlambat, biasanya ia menelepon aku dulu.” 

“Akan kutunggu,” katanya. 

“Percuma saja kau menunggu!”

“Masa bodoh,” kata laki-laki itu. 

Tatapan mereka saling beradu. Tak disadari oleh orang itu, pelan sekali ia melangkah mundur. Begitu sampai ke tempat yang dituju, dengan cepat Linda menyambar gagang telepon.

Sia-sia. Orang itu cepat menyadari apa yang diperbuat nyonya rumah itu. Dengan cepat disambarnya pula gagang telepon itu dari tangan Linda, lantas ditaruh kembali ke tempatnya.

“Kalau aku jadi kau, tak akan kuulangi lagi perbuatan itu,” ancamnya. “Kalau kaulakukan lagi, ini yang akan berbicara!” Tahu-tahu, sepucuk pistol otomatis sudah berada di genggaman laki-laki itu.

“Asal kau tahu, aku tak mudah takut melihat senjata semacam itu. Aku sudah sering melihatnya. Senjata-senjata macam itu tak membuatku pingsan karena ketakutan.”

“Kalau begitu, kau tak merasa apa-apa kalau pistol ini tetap di tanganku? Soalnya, pistol ini bikin aku tenang.”

“Ya. Aku percaya.” 

“Kita ke ruang tamu!” perintahnya kemudian. 

Linda ragu-ragu. “Lihat, aku ....”

“Lakukan perintahku, cepat!” bentak orang itu. 

“Izinkan aku menengok dulu anakku,” pintanya ketika ia mendengar anaknya menangis lagi.

“Nanti saja! Ayo, ... jalan!” Linda melangkah ke ruang tamu diikuti laki-laki itu. 

“Sekarang ... duduklah!” Melihat Linda tampak ragu-ragu lagi, laki-laki itu pun membentak marah, “Aku bilang, duduk!” Linda pun menuruti perintahnya. “Bagus. Sekarang kita tunggu dia. Kalau kau berbuat macam-macam ... ingat yang kugenggam ini! Jangan kau kira ini pistol mainan.”

“Rupanya kau banyak menonton film, sampai bisa bicara seperti itu?” 

“Ya, mungkin.” Dahinya berkerut sampai kedua ujung alisnya yang hitam tebal itu berimpit. “Aku suka membuat orang menjadi ketakutan. Aku memperoleh kepuasan menjadi penjahat.”

“Kalau begitu, kau cuma akan menakut-nakuti suamiku?” tanya Linda. 

“Oh, tidak. Aku tak akan bikin takut suamimu,” katanya, “aku cuma akan membunuh suamimu.” 

“Oh, jangan ... kumohon jangan bunuh suamiku” teriak Linda.

 

Balas dendam

Orang itu tampak mengerutkan keningnya lagi. “Aku sedang mencari-cari cara yang terbaik untuk melakukannya .... Kalau ia membawa kunci untuk membuka pintu itu, ia langsung masuk ke dalam ... saat itulah kesempatanku untuk menghabisinya ....”

“Atau kutembak saat ia keluar dari mobilnya ... dari jendela ini?”

“Ya, sebaiknya kupilih cara yang tak memberinya kesempatan untuk melawan atau menghindar.”

Linda merasakan darahnya mengalir deras ke wajahnya. Meskipun begitu, ia tenang sekali ketika bertanya kepada orang itu, “Mengapa kau hendak membunuh suamiku? Hanya karena ia seorang detektif?”

“Oh, rupanya kau belum kenal siapa aku,” katanya.

Linda hanya menggeleng. 

“Namaku Terry Hagan. Apakah nama ini mengingatkanmu akan sesuatu?”

Linda menggeleng lagi. 

“Aku punya adik laki-laki,” kisahnya. “Paddy Hagan namanya. Sejak kecil, kami selalu bekerja bersama. Ketika itu kami membongkar gudang besar yang berisi dokumen-dokumen berharga. Ingat?”

Linda hanya diam. 

“Para polisi berdarah dingin itu mencoba memerangkap kami ... di sana, di atas atap. Di situlah kami tertangkap. Namun, Paddy sempat tertembak. Mereka lalu membawa saudaraku ke rumah sakit, tetapi kemudian ia mati karena sebutir peluru bersarang di perutnya. Kautahu, siapa yang menembaknya? Suamimu! Sersan detektif berdarah dingin, Mason. Tahu?”

“Tidak, aku tidak tahu.” 

“Tetapi sekarang kautahu, bukan?” 

“Kukira suamiku sekadar menjalankan tugasnya,” kata Linda membela suaminya. 

“Tapi ia membunuh saudaraku!” 

“Kau pun menembak salah seorang polisi,” katanya. 

Tampaknya orang itu marah. “Itu tidak kusengaja, sementara mereka membunuh saudaraku dengan keji.”

“Aku tak percaya.” 

“Aku bilang, mereka benar-benar polisi berdarah dingin.” 

“Kalau kau membunuh suamiku,” katanya, saat itu wajahnya tampak sepucat kertas, “kau akan menjadi penghuni penjara selama hidupmu.” 

“Aku tak peduli,” katanya geram. “Geoff Mason yang memulai semua ini!”

 

Simon sakit

Linda diam. Ia duduk sambil menatap wajah laki-laki itu. “Sekarang atau tidak sama sekali,” katanya. “Sudah berminggu-minggu aku menunggu kesempatan seperti ini untuk membunuh suamimu, seperti yang dilakukannya terhadap Paddy. Cukup besar risiko yang kuhadapi untuk datang kemari ... dan kupikir tak ada lagi kesempatan seperti ini!”

Tiba-tiba terdengar tangis anaknya meledak lagi. 

“Ada apa dengan si bandel itu? Bikin aku cemas saja dia!” 

“Kau boleh angkat kaki, kalau kau tak suka mendengarnya,” jawab Linda.

“Apa ia sakit?” 

“Iya, anakku sedang sakit.” 

“Oke, tengoklah dia dan usahakan dia jangan lagi menangis!”

“Aku harus segera ke kamarnya,” kata Linda dengan tenang. 

“Baik ... cepat. Jangan coba-coba berbuat macam-macam. Aku tetap di belakangmu. Tapi ... tunggu! ... dengar!”

Dari jauh terdengar derum mobil. “Itu mobil suamimu?” tanya orang itu. 

“Aku tidak tahu,” jawabnya agak cemas. Suara mobil pun lenyap setelah melewati rumah itu. Lalu kata orang itu, “Oke .. pergilah dan tengok si bandel itu.”

Ketika Linda hendak melangkahkan kakinya, telepon berdering. Laki-laki itu sedikit tegang, lalu berkata, “Tunggu! Jangan bergerak!” Telepon masih terus berdering. “Itu dari suamimu, bukan?”

“Mungkin.” 

Laki-laki itu tampak menggigit bibirnya. “Sebaiknya kau angkat saja telepon itu. Kalau tidak, ia akan mengira ada yang tak beres di rumah ini.”

Dikawal ketat orang itu, Linda berjalan menuju ke ruang di mana telepon berada. 

“Nah, sekarang ... jawab telepon itu ... Berbuatlah biasa saja. Satu kata saja kau keliru, nih!” katanya sambil mengacungkan moncong pistolnya ke wajah Linda.

Linda pun mengangkat telepon itu. Ia merasa aneh, mengapa suaranya tenang sekali ketika menjawab telepon itu. “Bushmill 47 ....”

Terdengar suara suaminya di seberang sana, “Halo ... Linda?” 

“Ya, sayang. Ini Linda.” 

“Agak lama kau mengangkat telepon,” kata Geoff Mason.

“Memang, Geoff,” katanya, “aku sedang menengok Simon anak kita!” 

“Simon?” 

“Ya, tadi pagi ketika kau berangkat, Simon sedang sakit. Kau sendiri pun tahu ‘kan? Tapi, sampai saat ini ia belum juga baik.”

“Tetapi Linda, aku tidak ....” 

“Geoff, aku tahu, kau tentu khawatir bahwa aku begitu repot mengurusi Simon, tetapi rupanya obat yang kuberikan padanya tidak membuatnya sembuh. Aku cemas memikirkan keadaannya. Kupikir sebaiknya kau panggil saja dr. Carter ....”

“Mengapa bukan dokter yang biasanya?” tanya Mason.

“Jangan,” jawab Linda, “dr. Carter saja. Dokter lain mungkin tak bisa menolongnya, sebab kelihatannya ia agak parah. Kupikir dr. Carter bisa menolong kita .... Kata orang, ia dokter yang ahli.”

“Baik, kalau begitu.”

“Kalau kau pulang nanti, langsung saja kau ke dokter itu!” 

“Sekalian menjemputnya, maksudmu?” 

“Ya.” 

“Baik, Linda.” 

“Ia sih tidak apa-apa, cuma rewel saja. Sebaiknya segera saja kau pulang!” 

“Tentu ... tenangkan hatimu! Mudah-mudahan Simon akan segera sembuh. Oke?” 

“Oke, Geoff.”

 

Ingat, anakmu masih kecil!

Linda meletakkan kembali teleponnya. Ia berdiri sebentar sambil menutupkan kedua matanya. Anaknya sudah tak menangis lagi.

“Bagus,” komentar laki-laki yang masih saja menggenggam pistolnya. “Kau sudah melakukan dengan baik apa yang kuperintahkan. Kalau cuma membawa pulang dokter saja, kupikir tak akan menolong suamimu, nyonya manis.”

Dengan kasar Linda menarik tangannya ketika orang itu memegangnya. Kata laki-laki itu kemudian, “Jangan coba-coba berlaku kasar! Tak seorang perempuan pun pernah berlaku kasar terhadap Terry Hagan, kecuali nenek-nenek.”

Dengan suara yang letih, Linda pun bertanya, “Apa lagi yang kauinginkan dariku sekarang?”

“Si bandel sudah berhenti menangis, karena itu kita bisa bersenang-senang sendiri di ruang tamu itu.” Didorongnya Linda ke sana. “Baik. Sekarang silakan duduk. Yang kita Iakukan sekarang hanyalah menunggu ... ya, menunggu ...”

“Aku tidak mengenalmu, nyonya manis. Karena itu kalau kau bersikap baik dan melakukan apa yang kukatakan, kau akan selamat .... Yang kuinginkan ... cuma suamimu. Bukan salahmu kalau kau menikah dengan detektif busuk itu ....”

“Oh, ya, nanti kita akan …. mendengar mobilnya datang ... Lalu suara suamimu memutar kunci .... Itulah yang kita tunggu-tunggu, bukan? Tapi kuperingatkan, kau jangan coba-coba berbuat macam-macam. Jangan berteriak atau melempar sesuatu. Mengerti? Jangan sekali-sekali memberi isyarat apa pun kepadanya. Kau harus tetap diam dan tenang, seperti sekarang ini ....”

“Kalau kau tidak menuruti perintahku, peluru pistol ini akan merobek dadamu yang indah itu. Kau yang pertama ... kemudian giliran suamimu yang saat itu masuk ke ruang ini .... Aku tahu, kau pasti belum ingin mati, mengingat anakmu masih kecil. Ya, ‘kan?”

“Aku masih ingat, ketika itu Paddy Hagan pun seperti anakmu yang bandel itu .... Ya, kita kembali ke beberapa tahun yang lalu .... Suatu hari ibuku tertabrak mati oleh truk besar yang sedang melaju kencang di jalan .... Ibuku seorang pemabuk berat. Aku tak pernah tahu ayahku, sebab ketika itu umurku baru tujuh tahun ....”

Laki-laki itu berhenti bicara. Dipandangnya wanita yang duduk dengan tenang di hadapannya. Linda hanya diam. Matanya tertuju pada jari-jari lentik kedua tangannya yang terjalin di pangkuannya.

Melihat ‘teman’ bicaranya hanya diam membisu, laki-laki itu kesal rupanya. “Hai, mengapa kau diam saja? Aku tak suka bicara sendiri. Kesenyapan ini lebih membuatku gelisah .... ketimbang rengekan bayimu.”

Linda masih saja diam. Matanya tak juga menatap laki-laki itu.

“Kau ternyata seorang ‘gadis’ manis dan berhati baik,” ujarnya. “Maksudku, dari tadi kau tidak berbuat macam-macam atau berteriak-teriak atau berbuat sesuatu yang lain. Kau sungguh baik, manis, sekalipun kau berhadapan dengan orang yang hendak membunuh suamimu tercinta ....” Linda masih saja tak bersuara.

“Oke ... kalau kau memang tak mau bicara ... jangan bicara!” kata laki-laki itu dengan geram.

 

Seperti macan

Saat itu hanya terdengar bunyi tik-tak-tik-tak dari jam tua membelah kesenyapan yang mencekam di ruangan itu.

Linda menunggu dengan harap-harap cemas akan bunyi gemeresiknya ban mobil yang beradu dengan hamparan kerikil di halaman, menandai kedatangan Geoff. Lalu suara langkahnya menaiki tangga. Setelah itu suara kuncinya membuka pintu ....

Namun, suara-suara yang dicemaskannya itu tak terdengar. 

Akan tetapi kemudian, sayup-sayup terdengar suara gemeresik dekat jendela depan rumahnya. Sepertinya suara orang yang sedang berjalan menerobos kerimbunan semak-semak.

Serta merta Linda menatap Terry Hagan. Sorot mata mereka beradu, seperti sudah direncanakan. la tahu, Terry pun menangkap suara itu. Kini ia tampak seperti seekor macan yang siap menerkam mangsanya. Tubuhnya tegang penuh waspada.

Terlihat pistol di tangan laki-laki itu terarah ke pintu dan setiap saat siap memuntahkan pelurunya. Jari-jari tangan Linda yang pucat bagaikan kapas itu, tampak meremas lengan kursi tempat duduknya. Tampak sekali wajahnya tegang menahan napas.

“Suara apa itu?” tanya orang itu hampir tak terdengar. 

“Aku tak mendengar apa-apa.” 

“Ah, kau tentu mendengar suara itu,” kata Hagan tak percaya. “Sebab, kulihat wajahmu berubah. Kau pasti mendengarnya pula. Duduklah ... dan jangan ke mana-mana!” Dipasangnya telinganya tajam-tajam. “Dengar, suara itu lagi!”

“Itu suara angin,” kata Linda. 

“Mana ada angin,” jawab Hagan. “Bunyi gemeresik di luar jendela itu ... sssstttt ... dengar ... seseorang bergerak-gerak di luar ... tetaplah diam ... jangan berisik ....”

Ketika Linda menemukan keberaniannya kembali, ia pun berteriak kuat-kuat, “HATI-HATI, GEOFF!” 

Kedua matanya yang hitam mengilap melotot tajam ke arah Linda. “Tutup mulutmu, sialan kau! Atau pistol ini membungkam mulutmu!”

Namun, senjata otomatis itu tetap saja terbidik ke pintu tepat ke arah masuknya Geoff Mason nanti. 

Linda tak peduli dengan ancamannya. Kalaupun ia menembaknya, Geoff tentu akan mendengar letusan itu .... “JANGAN MASUK, GEOFF! JANGAN, JANGAN, GEOFF!”

Tiba-tiba terdengar bunyi kaca pecah bagaikan ledakan bom membelah keheningan ruangan itu. 

Terdengar Terry Hagan mengerang bagaikan harimau kesakitan, menyusul suara ledakan itu. Sebutir peluru merobek daging dan tulang pergelangan tangannya. Seketika itu pula Linda melihat pistol itu terlempar dari genggamannya, jatuh berdebam di lantai.

“Oh, Tuhan!” Hagan menyebut namaNya sambil merengek mirip si bayi yang menangis di kamar itu. la menggoyangkan tangannya serta memandangi pergelangannya yang terluka. Darah segar mengucur dari lukanya, mengalir di antara jemarinya bagaikan anak sungai, membasahi lengan bajunya.

 

Berkat istri saya

“Polisi-polisi busuk!” Terry merintih kesakitan. “Kalian bangsat semua!” 

Kemudian terdengar pintu didobrak dari luar. Tak ayal kaca pintu pun pecah berhamburan.

Saat laki-laki bersenjata itu hendak berlari ke arah pintu, Geoff Mason berlari dari arah ruangan itu. 

“Oke, tangkap orang itu, Tony!” perintah Mason.

Seorang detektif, kawan Mason, segera melingkarkan lengannya ke leher Hagan. la berteriak kesakitan ketika detektif itu mengangkat sedikit tubuhnya dan menariknya ke belakang dengan lengannya. 

Kata Mason kemudian, “Baik, orang ini sudah tidak menggenggam senjata lagi.” Benar, pistol itu memang masih tergeletak di lantai. 

Detektif kawan Mason pun angkat bicara, “Ya, tembakanku tepat mengenai sasaran. Tembakan yang tak jelek, bukan?”

Geoff Mason berbalik menghampiri istrinya dengan cemas, “Kau tidak apa-apa, Linda?” 

la mengangguk. “Aku baik-baik saja, Geoff.” 

“Anak kita?” 

“Ya. Orang itu tidak melukai siapa-siapa.” 

“Ah, syukurlah!” 

“Orang itu pingsan, Geoff,” kawannya memberi tahu. 

“Bukankah dia Terry Hagan?” tanya Mason.

“Benar.” 

“Cepat saja di bawa ke rumah sakit, Tony. Aku akan menelepon Inspektur Brooker.” 

“Kau tak perlu pusing, Geoff. Dia sudah ada di sini.” 

“Syukurlah. Benar-benar gesit kerjamu,” komentar Mason. “Kau sungguh tidak apa-apa, Linda?”

“Sungguh, Geoff. Aku tak apa-apa.” 

Inspektur Detektif Brooker tampak terburu-buru ketika masuk ke ruang itu. 

“Selamat malam, Pak,” Mason menyalaminya. “Ini istri saya.” 

Sang inspektur menjawabnya dengan senyum hormat.

“Terry Hagan menyandera istri saya. Tetapi, berkat istri saya ini, saya lolos dari ancaman penjahat itu.” 

“Tampaknya begitu, Sersan.” Inspektur tampak mengerutkan dahi. Rupanya ada yang belum ia mengerti. “Bagaimana Sersan tahu di rumah terjadi hal yang tidak beres?” tanya inspektur kemudian kepada Mason.

Geoff tersenyum pada istrinya, lalu kembali berhadapan dengan atasannya. 

“Begini, Pak. Itu bermula ketika saya menelepon Linda di rumah .... Mula-mula saya pikir, saya salah sambung .... Tapi kemudian, ternyata tidak, sebab istri saya lalu menyebut nomor telepon rumah ... Bushmill 47 .... Memang benar itu suara Linda ... saya hafal suaranya ... Tapi, selama pembicaraan itu, istri saya selalu menyebut nama saya dengan Geoff ... Kemudian, ia bercerita soal anak kami yang sore tadi rewel melulu ....”

“Inspektur, mula-mula ia mengatakan bahwa anak itu sakit tadi pagi. Tapi, saya tahu persis, tadi pagi anak saya baik-baik saja ketika saya berangkat. Apalagi ia menyebut anak itu dengan Simon. Padahal, Simon adalah nama permandian saya. Nama itu tak pernah saya pakai dan itu pun bukan nama anak saya.”

“Lalu ia menyuruh saya menjemput dr. Carter. Dokter yang bernama Carter ini pun sebenarnya tidak ada .... Kami hanya kenal satu orang yang namanya Carter .... Dialah Sersan Detektif Tony Carter .... Dia bukan saja kawan kita yang sangat baik, melainkan juga satu-satunya penembak jitu yang kita miliki ....”

Inspektur Brooker mengangguk-angguk bangga. “Lalu, kau menangkap isyarat dari istrimu, kemudian kau pulang bersama Carter, begitu?”

“Benar, Pak. Carter menembak kaca jendela itu dan seperti biasanya, tembakannya tepat mengenai sasaran.” 

Inspektur pun tersenyum. “Kalau nama anakmu bukan Simon, lantas siapa namanya?” 

Geoff Mason tersenyum lagi. “Kau saja yang mengatakannya, Linda!” 

“Anak kami perempuan, Inspektur. Namanya Hope.” jawab Linda sambil tersenyum. (Herbert Harris)

Baca Juga: Cemburu Buta Mantan Menteri

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682827/istri-polisi-disandera" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301820000) } } [2]=> object(stdClass)#65 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350620" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#66 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/korban-laba-laba-hitam_photoholg-20220629072342.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#67 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Dijuluki laba-laba hitam, nasib menyeret Linda berkubang di dunia gangster. Suami pertamanya tewas tertembak polisi saat melakukan aksinya." ["section"]=> object(stdClass)#68 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/korban-laba-laba-hitam_photoholg-20220629072342.jpg" ["title"]=> string(22) "Korban Laba-laba Hitam" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:23:55" ["content"]=> string(26070) "

Intisari Plus - Dijuluki laba-laba hitam, nasib menyeret Linda berkubang di dunia gangster. Suami pertamanya tewas tertembak polisi saat melakukan aksinya. Ia pun bertemu beberapa pria dan jatuh cinta setelah kematian suaminya.

------------------

Media massa menjulukinya Black Widow, laba-laba hitam yang akan memangsa pasangannya sehabis bermain cinta. Penampilannya pun barangkali bisa disebut khas pacar gangster. Cantik, bermata tajam, berambut pirang, dan memiliki reputasi "mengagetkan". 

Wanita ini telah memukau empat jagoan. Dua orang masuk penjara gara-gara dirinya, seorang rela berkorban nyawa, sementara yang seharusnya mengayominya mati di ujung laras senjatanya. Tak pelak ulahnya menggegerkan masyarakat Inggris, sementara media massa heboh dengan berita sensasional ikhwal dirinya.

Linda dulunya hanyalah wanita biasa. Entah mengapa, nasib menyeret hidupnya berkubang di dunia perbanditan. Pada usia 20 tahun, ia sudah menjadi WIL alias wanita simpanan seorang pria yang sudah beristri, Terry. Selama empat tahun hubungan itu berlangsung tanpa diketahui siapa pun. Toh, bagaimanapun, sebagai wanita Linda menginginkan kejelasan hubungan ini. 

Lama-kelamaan kedua insan ini pun sering cekcok. Gara-garanya selalu sama: Linda ingin dinikahi secara resmi. Selama ini mereka seperti main kucing-kucingan. Puncak perselisihan terjadi pada tahun 1969. "Saya lelah dengan janji palsu Terry, ia selalu meminta saya memberinya waktu."

 

Terry lepas dan ketemu Micky

Suatu hari di tahun 1969, Linda memutuskan untuk tidak bertemu Terry selama seminggu. "Saya ingin menghabiskan malam Minggu ini tanpa Terry dan menyenang-nyenangkan hati."

Linda membeli baju mini berwarna merah jambu dari gajinya, dan sejenak berjalan-jalan di daerah pertokoan ketika ia tiba-tiba bertemu sepupunya Patsy dan suaminya, George.

"Lin, jika selama itu pacarmu tidak mau menceraikan istrinya, berarti ia memang tidak mau meninggalkannya! Buat apa kau bela-belain dengan menghindarinya tapi lalu kembali lagi? Kau seharusnya tidak usah lagi bertemu dengan dia selamanya!" kata Patsy.

"Kami punya teman yang sedang mencari pacar. la baru keluar dari penjara karena kasus perampokan Toko Mark & Spencer. Tapi, ia cukup tampan dan pantas. Kami hendak membuat pesta untuknya. Tak ada salahnya kalian berkenalan," sambung George.

Jumat malam tiba. Linda sudah hampir membatalkan niatnya untuk pergi ke undangan Patsy. Namun, pukul 20.00 telepon berdering. "Linda, jangan kecewakan temanku! Setiap kali pintu terbuka, ia berharap segera bertemu denganmu. Ayo, kemarilah! Aku pesankan taksi untuk menjemputmu!" demikian ajak Patsy.

Ketika Linda memasuki Bar Blue Anchor, ia masih tak tahu akan dipertemukan dengan siapa. Namun, George dan Patsy langsung menyambutnya dan membawanya ke sebuah sudut di mana seorang pria cukup tampan duduk. "Linda, ini Micky Calvey!" kata George memperkenalkan mereka.

Malam itu dihabiskan mereka berdua dengan manisnya. Ketika dini hari Micky mengantar Linda pulang, mereka sempat minum kopi di dapur.

"Linda, maukah kau besok keluar untuk minum bersama?”

"Ya, tentu saja!" 

Pertemuan demi pertemuan, kencan demi kencan terus bergulir. Rasanya Linda seperti menghirup udara baru. Hidup begitu indahnya. Meskipun sang Ibu sempat memperingatkannya.

Darling, pikirkan baik-baik. Micky baru keluar dari penjara."

Namun itu lebih baik, karena ia masih single. Linda begitu bahagia berada di samping pria yang mencintainya, tak peduli ia seorang napi yang baru menghirup udara kebebasan. Maka tanpa ragu-ragu Linda langsung memutuskan hubungannya dengan Terry.

"Jangan temui aku lagi!" ujarnya kepada Terry saat ia dijemput pulang dari kantor. Dalam insiden pertengkaran kecil sore itu, Terry yang cemburu, melayangkan tinju ke mata Linda.

Namun biru-biru di matanya terasa tak ada artinya saat Micky mengajaknya menemui orang tuanya. Ibu dan ayah Micky menyambutnya dengan hangat sampai-sampai lebam biru di mata Linda dikira akibat pukulan Micky.

“Kamu bedebah, Micky! Apa yang kamu lakukan padanya, padahal kalian baru berkenalan seminggu?!" teriak ayah Micky saat melihat mata Linda bengkak.

"Saya tidak melakukannya, Dad!" jawab Micky.

“Ya, dia tidak melakukannya! Orang lain yang memukul saya!" kata Linda meyakinkan mereka.

Penerimaan keluarga Micky yang hangat membuat hidup Linda terasa amat berarti. Selama ini belum pernah Terry memperkenalkan dirinya ke hadapan umum. Kini ada seorang pria yang mengakui keberadaannya. Sejak saat itu mereka tak terpisahkan.

 

Micky kambuh lagi

Tidak lama kemudian mereka pindah ke sebuah paviliun yang terletak di bawah sebuah perusahaan binatu. Tempat tinggal mereka memang kecil, tetapi tak ada yang lebih indah selain cinta mereka berdua. Malangnya, gara-gara sebuah peristiwa kecil, mereka diusir pemilik penatu. 

Teman-teman Micky mempermainkan mesin penancap paku saat penatu sedang direhab. Paku-paku itu beterbangan ke mana-mana, malah ada yang mengenai kepala seorang wanita tua. Akhirnya, Micky dan Linda kembali ke rumah orang tua masing-masing. Padahal Linda saat itu tengah hamil.

Kejadian itu secara tak langsung mengubah kebahagiaan pasangan baru ini. Ternyata "penyakit" Micky kambuh lagi. Micky tiba-tiba terlibat perampokan dan tertangkap. la dijebloskan ke penjara selama empat tahun. Kebahagiaan Linda seperti dirampas. Namun ia tetap setiap pada Micky-nya, meskipun ia tahu profesi lelaki itu. la menerima pria itu apa adanya.

Sementara itu perut Linda makin membesar. la pun dibantu sang Ibu dari segi materi, meskipun orang tuanya bukanlah keluarga berada. Sebuah flat mungil dengan sewa £ 60 dibayar oleh ibunya setiap bulan. Untuk ukuran tahun 1973, uang sebegitu cukup besar.

Ketika putri pertamanya lahir, Linda dengan bangga membawa bayinya ke penjara untuk diperlihatkan pada Micky. Micky tadinya tak ingin punya anak, namun ketika memandang bayi mungkin itu ia jatuh hati. "Linda, maukah kamu menikah denganku?" pinta Micky.

Tanpa ragu-ragu, Linda menganggukkan kepalanya. Rencana peneguhan perkawinan mereka segera didaftarkan di kantor Penjara Wandsworth. Sayang, pernikahan mereka tak boleh dihadiri teman-teman dan keluarga. Karena beberapa hari sebelum hari pernikahan, ada telepon gelap yang mengatakan bahwa pernikahan itu adalah usaha untuk melarikan diri dari penjara. Akibatnya, pada hari H-nya, yang boleh hadir hanya ayah dan ibu Linda serta bayi mereka. Itu pun dengan pengawalan ketat polisi dan penggeledahan kepada ayah, ibu, Linda, bahkan sang Bayi! Micky dikawal dan diborgol sepanjang perjalanan ke kantor catatan sipil. "Kami bahkan tidak boleh difoto!" kenang Linda.

Saat petugas selesai mencatat dan mengatakan, "Anda boleh mencium istri Anda sekarang!" polisi yang mengawal tidak memperkenankannya. Lebih-lebih, tangan Micky tak pernah lepas dari borgol. "Nanti saja! Kalian ada waktu selama setengah jam berduaan di penjara!" jawabnya.

Begitu upacara pernikahan selesai, pasangan langsung dibawa ke penjara lagi. Di luar pintu ternyata wartawan televisi dan radio siap meliput pernikahan unik ini. Berita pernikahan mereka masuk surat kabar, sama hebohnya dengan akhir pernikahan mereka nantinya.

Desember 1978 usia perkawinan mereka memasuki tahun kesepuluh. Bagi Linda, melihat Micky keluar-masuk penjara menjadi hal biasa. Namun, ia tak pernah bertanya. "Itu adalah aturan bermain kami. Saya tak pernah menanyakan jenis pekerjaannya dan ia pun tak pernah menceritakannya," demikian pengakuan Linda.

Namun "pekerjaan" di penghujung tahun 1978 itu kelihatannya agar "seret". Berulang kali Micky pulang dengan wajah kecewa. "Gagal lagi!" katanya. Hal ini menggelisahkan Micky, karena ia ingin mempersiapkan hadiah akhir tahun bagi anak-istrinya

Suatu hari datang tawaran pekerjaan. Tapi ia kurang suka dengan sistem kerjanya. Linda merasa, suaminya kali ini merasa "berat hati". "Mic, tak usah memaksa diri! Kita bisa pinjam uang dari Mum," hibur Linda.

Bagi Micky, tak ada pilihan lain, ia tetap bersikeras menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pada awal Desember. la rupanya telah menerima pembayaran. Setelah itu Micky mengajak Linda ke toko, sementara anak-anak dititipkan pada orang tua Linda.

Micky membelikan Melanie dan adiknya boneka dan mainan. Sementara Linda disuruhnya memilih baju. Ketika hendak mencoba baju warna lembayung kesukaan Micky, pelayan toko mengatakan ada yang berwarna hitam. Micky meminta Linda memilihnya. "Kalau hari Sabtu nanti aku dapat uang, akan kubelikan baju yang warna lembayung! Pakailah yang hitam saat kita bermalam Minggu nanti!" pesan Micky.

Ketika kembali ke rumah, Micky menyuruh Linda pulang mengambil anak-anak lebih dulu. "Aku masih ada keperluan!" kata Micky sambil menyerahkan segepok uang dan barang-barang keperluan Natal. Linda tak menyangka Micky punya uang.

"Dari mana kau mendapatkan uang?" untuk pertama kalinya Linda bertanya soal ini.

Mulanya Micky tidak mau menjawab. Tetapi akhirnya, ia jelaskan juga. Seorang temannya berhasil mencuri buku cek dan ia dibagi. Inilah hasilnya!

Anak-anak begitu gembira dengan hadiah dari ayah mereka. Kebahagiaan itu begitu penuh dirasakan Linda. Namun, saat mereka tinggal berdua duduk di sofa, Linda meminta Micky untuk berhenti dari semuanya. "Aku tidak bisa! Aku harus pergi besok, Linda!" itu saja jawabnya.

 

Tewas dalam perampokan

Pada keesokan harinya, Micky pergi "bertugas". la sempat kembali ke rumah meskipun tidak masuk. "Aku lupa memakai sarung tangan. Lemparkan saja dari dalam rumah! Aku tidak mau masuk rumah dan membuka sepatu bot ini! Sampai nanti malam!" katanya.

Sabtu sore, seperti biasa Linda menitipkan anak-anak di rumah ibunya. la siap menanti Micky pulang dengan gaun hitamnya yang baru. Namun sampai pukul 19.30, Micky belum pulang juga. Jerry, adik iparnya, sudah datang menjemput bersama sang Pacar.

"Apa maksudmu dengan istilah Micky belum pulang?" ujar Jerry. Pertanyaan itu sungguh tidak mengenakkan buat Linda. Tapi perasaan itu ditepisnya. Mereka lalu berencana mencari Micky di bar-bar yang sering dikunjunginya. Usaha mereka sia-sia. Linda lalu diantar pulang.

Seandainya mereka menanti Micky sambil melihat berita pukul 20.00 di televisi, semuanya akan jelas. Pada pukul 03.00 dini hari, Linda ditelepon saudara lelaki Micky. "Kita ke kantor polisi. Micky ada di sana!"

Ditemani seorang teman, Linda berangkat ke tempat adik Micky. "Mana dia?" tanya Linda kepada adik iparnya. Malam itu rumah Jerry dipenuhi banyak orang. Di antara mereka juga ada ibunya.

"Mum, kenapa ada di sini?" tanya Linda kebingungan. 

Jerry memeluk Linda, "Micky tertembak, Lin!" Dunia seakan runtuh. la pun berteriak histeris sampai ia ditenangkan dan diberi brendi.

Yang lebih berat lagi ketika Jerry mengatakan bahwa Micky tertembak saat berusaha merampok mobil pengangkut uang sebuah pasar swalayan di daerah Etham. Berhubung Linda istrinya, ia harus mengidentifikasi tubuh Micky.

Linda dibawa ke sebuah tempat penitipan jenazah di kawasan Inggris Selatan. Udara pagi itu membuat tubuh menggigil. Linda harus melihat dari balik jendela kaca ketika seseorang mendorong brankar berisi jenazah seseorang. Kain penutup mayat pun disibakkan.

“Betulkah ini suami Anda, Bu?" tanya petugas. 

Seluruh tubuh Linda terasa tak bertenaga. "Ya!" jawabnya. 

"Silakan tanda tangan di sini!" kata petugas.

Linda begitu marah. la tak mau menandatangani. "Mengapa yang terbujur itu adalah Micky-ku!" Merasa tak diberi penjelasan yang lengkap atas kematian sang Suami, Linda berusaha menghubungi pengacaranya untuk mencari penyebab kematian Micky, ia merasa, polisi menutup-nutupi penyebab kematian orang yang dicintainya.

Akhirnya, Micky yang meninggal tanggal 9 Desember 1978 baru dimakamkan pada 8 Januari 1979. Pemakamannya diliput media massa dan sekitar 200 orang memberikan penghormatan. Namun pada bulan Februari 1979, pengadilan memutuskan Micky memang bersalah dan kematiannya bukan kesalahan polisi. Malah polisi yang menembak suaminya naik pangkat.

Kematian Micky menjadi titik awal kehidupan Linda masuk dunia gangster. Karena, sejak kematian suaminya, Linda bersumpah untuk berperang dengan polisi.

Lebih-lebih ketika ia kemudian bertemu dengan Ronnie Cook. Pria beristri ini lalu menjadi pengayomnya. Dalam dunia perbanditan, apabila salah seorang anggota ada yang masuk penjara atau meninggal, maka kelompoknya akan mengadakan malam peringatan untuk mengenang dan memberi sedikit bantuan dana bagi keluarga yang ditinggalkan. Di malam itu Ronnie Cook menyampaikan rasa duka citanya.

Ronnie yang berpenampilan rapi dan ganteng memang tidak setipe dengan Micky yang ramah dan terbuka. Di kalangan gangster, Ronnie dikenal sebagai pribadi yang dingin dan keras. Tetapi terhadap Linda dan anak-anaknya, ia bisa bersikap manis.

 

Pindah ke lain hati

Bermula dari perjumpaan di malam peringatan, pertemuan Linda selanjutnya terjadi pada keesokan paginya. Setangkup roti bakar dan kopi disiapkan Linda buat tamunya. Selanjutnya, dalam perjalanan waktu, Ronnie-lah tumpuan segala kebutuhan janda malang ini. Meskipun tidak royal, Ronnie membayar semua rekening dan mencukupi biaya hidup anak-anak Linda. Bapak tiga anak ini bahkan kemudian meninggalkan istrinya dan hidup bersama dengan Linda.

Namun pada tahun 1981, Ronnie diciduk yang berwajib karena terbukti terlibat dalam perampokan. la dijatuhi hukuman 16 tahun penjara. Selama di tahanan, pria necis ini selalu mengkhawatirkan nasib Linda. Saat pertama kali Linda datang menjenguk, Ronnie memintanya untuk menunggu dirinya keluar dari tahanan. "Aku hanya memintamu bersabar menanti sampai aku keluar dari penjara. Aku tidak keberatan apabila kau punya pacar, Tapi, kumohon, maukah kau menantiku sepuluh tahun lagi?"

Linda berjanji untuk menanti Ronnie. Setidaknya, Ronnie telah berbagi susah dan senang bersamanya. Seperti sudah menjadi tradisi tak tertulis, setiap kali seorang penjahat terpenjara, ia menitipkan pacar atau istrinya kepada koleganya. Begitu pula yang dilakukan Ronnie. Kepada Linda ia memberi sebuah nama yang harus dihubungi: Brian Thorogood.

Pria ini lalu memberinya pekerjaan. Entah memang sudah demikian jalan hidupnya, hubungan dua insan ini akhirnya tidak hanya sebagai atasan dan bawahan. Lebih dari itu. Linda jatuh cinta pada Brian. Ketika Linda menceritakan hubungannya dengan Brian, Ronnie tidak keberatan. Dalam dunia gangster jika istri bandit yang sedang menjalani tahanan mempunyai pacar merupakan hal yang biasa. Namun begitu suami mereka keluar penjara, sang Pacar harus pergi.

Alhasil, hubungan Linda dan Brian pun berjalan mulus. Malah pria beristri ini lalu pindah bersama Linda. Malang, perusahaannya terkena likuidasi, sehingga jatuh bangkrut. Meskipun dibantu Ronnie dari penjara, usaha Brian tak tertolong lagi. Maka Brian mulai kembali ke pola hidup lama, merampok!

Linda tahu sepak terjang Brian. Malah belakangan ia "ikut", meskipun hanya sebagai pengamat. Tugasnya memang sepele, cuma mengawasi kapan mobil van pengirim uang datang dan pergi sebelum Brian beraksi. Namun lantaran usaha yang mereka lakukan melanggar hukum, nasibnya pun untung-untungan. Pada tahun 1985, Linda bersama Brian dan dua temannya tertangkap ketika merampok kantor pos.

Linda bebas dengan jaminan sebelum disidang, sementara Brian dipenjara sebagai narapidana kategori A di Penjara Brixton. Tak heran apabila wanita itu bisa menjenguk Brian dan membawakan makanan. Di Penjara Brixton Linda sempat berkenalan dengan Danny Reece, anak muda penghuni sel yang sama.

Saat persidangan dimulai 1,5 bulan kemudian, Brian divonis 21 tahun penjara, sementara kedua temannya 14 tahun, dan Linda 7 tahun. Linda begitu shock, ia memang menjadi kekasih bandit, tetapi ia belum pernah berurusan dengan pengadilan, lebih-lebih penjara, "Aku merasa amat terpukul saat dikawal ke Penjara Holloway," akunya.

Surat pertama yang datang setelah dipenjara diperolehnya dari Danny, yang mengatakan betapa sedihnya dia ketika tahu Linda dijatuhi hukuman. Surat berikutnya datang dari Ronnie. "Aku merasa turut terpukul atas peristiwa ini. Katakan pada gubernur, kau adalah istri resmiku!" tulisnya.

Ronnie amat marah kepada Brian, ia menitipkan Linda di bawah perlindungannya, bukan untuk turut serta merampok. Ronnie tidak keberatan mereka punya hubungan khusus, tetapi itu tidak berarti Linda harus terseret ke penjara! Setelah bebas beberapa kali Linda sempat membesuk Ronnie.

Dalam suatu kesempatan bertemu Ronnie bertanya, "Linda, boleh aku bertanya? Apakah kau masih mencintaiku?"

"Jelas aku mencintaimu!" jawab Linda.

Namun selama itu pula wanita ini diam-diam masih terus menjalin hubungan dengan Brian dan Danny Reece. Baik dengan saling berkirim surat maupun membesuk. "Aku tak mau mereka, baik Danny, Ronnie, maupun Brian down," demikian alasan wanita cantik ini.

Dengan Danny, Linda merasa dekat. Mereka saling memberi kekuatan. Kadang Danny mengutarakan masalah pribadi, dan Linda memberi solusinya. Atau sebaliknya. Kedekatan mereka, walau lewat surat, makin terasa, lebih-lebih saat putra Danny terbunuh. Pribadi wanita cantik ini memang benar-benar unik. Bayangkan, selama itu ia terus menjenguk secara bergantian tiga pria yang begitu dekat dalam hidupnya: Ronnie, Brian, dan Danny.

Waktu bergulir. Tanpa terasa kebebasan Ronnie makin dekat. Menurut dugaan, berita ini tak disambut baik oleh rekan-rekannya yang "dititipi" uang hasil kejahatan mereka dulu. Pasalnya, mereka belum dapat mengembalikan uang Ronnie saat pria itu dibebaskan pada 19 Desember 1990 nanti. "Kalau mereka tak bisa mengembalikan uangku, jangan harap mereka bisa selamat!" umpat Ronnie.

Semua orang tahu tabiat Ronnie. Ancamannya bukan main-main. Pria ini memang pendiam, tetapi kekerasannya tak diragukan. Tak ada cara lain bagi temannya: mereka harus membayar atau Ronnie harus dilenyapkan!

Sebelum Ronnie bebas, Danny lebih dulu keluar penjara di bulan November. Linda dan seorang temannya menjemput Danny sambil membawakan pakaian. Soalnya, ia tahu pria ini tak punya baju yang pantas dan udara di bulan November memang sangat dingin. Pria yang amat perasa ini begitu terharu atas perhatian Linda. Apalagi Linda kemudian tak segan-segan mengantarnya ke kuburan putranya. Malam harinya, mereka makan bersama merayakan kebebasan Danny. 

Selain pagi di bulan November 1990, giliran Linda menjenguk Ronnie ke Penjara Maidstone. Ronnie sudah ada di luar ketika mobil Linda datang.

"Ini barang-barangku!" katanya. Ronnie boleh mengeluarkan barang-barang miliknya sebelum hari kebebasan tiba. Mereka pun boleh keluar sejenak sebelum kembali ke penjara sorenya.

Sampai di muka rumah Linda tampak dua orang wanita pulang berbelanja dan seorang polisi sedang berpatroli. Ronnie memarkir mobil, turun sambil membawa barang-barang diikuti Linda. Saat masuk ke dapur, seorang pria berpakaian gelap muncul. "Awas, ada polisi!" katanya.

"Ada apa ini, kawan?" tanya Ronnie. 

Bukan jawaban yang diperolehnya, tetapi berondongan peluru. Linda menjerit, "Tundukkan kepala, Ron!"

Terlambat! Ronnie telah tergeletak berlumuran darah, sementara pria berbaju gelap lenyap entah ke mana, meninggalkan Linda yang berteriak histeris.

Keesokan harinya, surat kabar setempat memuat berita kematian Ronnie. Belum terkuak motif yang melatarbelakangi kematiannya. Linda pun masih dimintai keterangan oleh polisi. Sebelum akhirnya polisi mengetahui siapa Linda. "Namaku Linda Calvey, istri perampok yang mati tertembak polisi pada tahun 1978!" 

Maka sejak itu motif kematian Ronnie diteliti dari sisi lain. Linda dicurigai sebagai pembunuh sang Pengayom. Lalu siapa pria berbaju gelap yang meletuskan senjata api? Dari penyelidikan polisi, ditemukan sidik jari Danny Reece di rumah Linda. Pria muda ini diduga sengaja disewa Linda untuk membunuh Ronnie.

Akhirnya, Linda Calvey yang saat itu berusia 42 tahun kembali diseret masuk penjara. la dijatuhi hukuman seumur hidup di Penjara Durham dengan nomor TT0377. Wanita ini dianggap sebagai pembunuh Ronnie Cook. Menurut skenario yang dituduhkan polisi, saat mereka masuk ke rumah, Danny Reece si Pembunuh Bayaran sudah berada di dapur. Ketika Ronnie masuk dapur, senjata Danny menyalak, namun tidak mengenai sasaran yang tepat. Linda yang kesal, merebut senjata tersebut dan berteriak, "Menunduklah, Ron!" 

Maka peluru dimuntahkan ke kepala Ronnie yang menunduk. Saat polisi dan tetangga datang, Linda tengah berteriak histeris. Sementara sang Pembunuh Bayaran sudah lenyap.

Apa motivasi Linda membunuh Ronnie? la konon sadar hidupnya akan terkekang dan terikat apabila pria perlente yang kejam ini bebas. Selain itu ada pria lain di hati Linda: Brian Thorogood, napi yang sebentar lagi akan menghirup udara kebebasan. Tak ada jalan lain bagi Linda untuk membebaskan diri dari Ronnie selain menghabisinya.

Namun ia tak mau melakukannya sendiri. Maka ia meminta bantuan Danny Reece yang sudah dikenal baik. Sayangnya, Danny tak tega melenyapkan nyawa Ronnie. Akhirnya, justru Linda sendiri yang melakukan eksekusi tersebut.

Di balik terali besi Penjara Durham, Linda merasa nasib tidak berpihak padanya. la merasa hanya jadi kambing hitam saja. la yakin, memang ada orang yang menginginkan kematian Ronnie, entah siapa itu. Namun, karena dirinya adalah Linda Calvey, wanita mantan istri gangster Micky Calvey, maka prasangka buruk ditimpakan pada dirinya. Sekali hitam, dia tetap hitam. Inilah buah pergaulannya yang harus dibayar mahal oleh Linda. (Kate Kray)

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350620/korban-laba-laba-hitam" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530635000) } } }