array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3448566"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/jangan-lupa-gigi-palsu_diana-pol-20220831012715.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(123) "Tuan Simpson sebuah tangki besar. Ia kerap bercerita tentang kejengkelannya terhadap sang istri yang belakangan menghilang."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/jangan-lupa-gigi-palsu_diana-pol-20220831012715.jpg"
      ["title"]=>
      string(22) "Jangan Lupa Gigi Palsu"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-31 13:27:33"
      ["content"]=>
      string(15944) "

Intisari Plus - Tuan Simpson bertingkah aneh dengan memesan sebuah tangki besar. Ia kerap bercerita tentang kejengkelannya terhadap sang istri yang belakangan menghilang. Apakah ia telah memasukkannya ke tangki?

-------------------

Aku sedang menuju ke kantor ketika melewati rumah Simpson. Kulihat dua orang tukang sedang membawa tangki besi galvanis yang besar menyeberangi kebun. Tiba-tiba saja muncul gagasan dalam otakku. Simpson bermaksud menenggelamkan istrinya ke dalam tangki itu!

Sensasi menjalari tulang punggungku. Terus terang saja, ada juga sedikit rasa senang. Bukankah tidak sering kita bisa menyaksikan orang mempersiapkan pembunuhan?

Simpson memberi perintah ini itu kepada kedua orang itu. Tubuh Simpson kurus seperti orang kurang makan. Sifatnya pesimistis. Yang diharapkannya selalu yang buruk saja. Kalau matahari bersinar cerah, ia bilang pasti tidak bisa berlangsung lama. Kalau hujan, katanya akan terus sepanjang minggu. 

Istrinya berbeda sekali. Badannya besar dan ia periang. Ketawanya melengking sampai orang-orang yang peka merinding mendengarnya. Mungkin ketawanya itu yang menjengkelkan Simpson; mungkin ia benci melihat ada orang yang dapat begitu menikmati hidup, padahal buat dia sendiri yang tampak cuma kebobrokan dan penderitaan. Tak tahulah. Yang kutahu, Simpson begitu bencinya melihat tampang istrinya. Sampai sering ia bilang akan membunuhnya dalam hari-hari ini. 

"Pokoknya, dia tinggal tunggu nasib saja," begitu katanya. "Cuma soal waktu. Aku sudah tak tahan lagi. Betul."

 

Berlagak pilon 

Itulah yang membuat gagasan tadi muncul ketika kulihat tangki tersebut. 

Mungkin tangki itu akan diisinya dengan asam sulfat, supaya tubuh istrinya hancur di dalamnya. Lalu kran tangki dibuka untuk membuang cairan itu. Entah apakah ia ingat untuk menyingkirkan gigi palsu. 

Aku suka juga membaca cerita pembunuhan dan aku tahu gigi palsu tahan terhadap asam. Simpson melihatku. Ia mengangguk singkat. "Mau hujan. Percaya saja, sebentar lagi pasti hujan lebat." "Mungkin kau betul," kataku. "Gigi palsu sudah kau pertimbangkan?" tanyaku. Tampaknya dia tak mengerti maksudku. Atau ia cuma pura-pura. 

"Aku tak pakai gigi palsu," katanya. "Dari muda gigiku tetap ini-ini saja. Biar sudah hampir 50 tahun dipakai, gigiku masih kuat. Kau tahu, aku tak pernah makan permen, karena permen dapat merasak gigi. Kalau saja punya kuasa, kujadikan permen barang ilegal." 

Kubayangkan hal itu mungkin terjadi, untuk menghukum anak-anak. Ia tak tahan melihat anak-anak, seperti juga ia sudah tak tahan pada istrinya. Ia memang tak punya anak dan ia pikir orang lain pun seharusnya tak punya. Tak terlintas di pikiranku, mungkin saja ia juga berniat menenggelamkan beberapa anak bersama-sama dengan Ny. Simpson. Tangki itu cukup besar. 

Para tukang itu beristirahat sejenak, namun rupanya Simpson melihatnya dan mengomel, menganggap mereka malas. Mereka pun bekerja lagi. Tangki itu akhirnya lenyap di balik sudut rumah Simpson dengan diikuti si empunya rumah. 

Untuk terakhir kalinya kuperingatkan dia. "Tembaga akan meninggalkan petunjuk di gigi. Dokter gigi selalu mengenali gigi palsu buatannya. Banyak orang digantung cuma karena tembaga di gigi palsu. itu." 

Ia tidak mendengarkan. Diingatkannya para tukang supaya tidak menginjak bunga-bungaan di kebun ataupun melecetkan cat daun jendela. Kukira bagi orang yang sudah mengambil keputusan untuk menyingkirkan istrinya tercinta, meributkan hal-hal kecil macam itu rasanya terlalu rewel.

 

Untuk dipakai mencelup 

Waktu sampai di rumah sore harinya, kuceritakan pada Mabel bahwa Simpson baru membeli tangki untuk menenggelamkan istrinya. Rasanya ia perlu mengetahuinya. 

Dengan matanya yang biru dan polos ia menatapku. Kulihat ia tak percaya. 

"Bagaimana kau bisa tahu?" 

"Kulihat tangki itu digotong oleh dua orang tukang." 

Mabel belum puas. Harus diakui Mabel cukup sulit untuk diyakinkan. "Aku percaya kau melihat tangki itu," katanya, "tapi bagaimana kau tahu kalau dia akan menenggelamkan istrinya?" 

"Karena ada alasannya," kataku. 

Tetap saja ia tak mau percaya. "Lalu bagaimana caranya ia mengangkat istrinya ke dalam tangki itu. Istrinya berbadan besar, sedangkan dia kelihatannya bukan orang kuat. Bahkan kau pun rasanya tak dapat mengangkatku masuk ke tangki." 

Aku tersinggung. Ia melukai rasa kelaki-lakianku. "Dapat saja. Mudah," kataku. Untuk membuktikannya kuangkat dia. Mestinya bisa kalau saja punggungku tidak kembali keseleo sehingga merusak acara demonstrasi itu. 

"Bagaimanapun," kataku, sementara aku ditolongnya berbaring di sofa, "bisa saja ia membiusnya dulu, lalu membuat semacam derek, digantungkan pada tiang-tiang." 

"Tiang-tiang apa?" Mabel bertanya. 

"Tentu di gudangnya ada tiang-tiang itu." 

Aku jadi agak jengkel, seakan-akan ia tidak percaya pada semua yang kukatakan. Apalagi punggungku terasa nyeri lagi. 

"Tentu saja ada. Kalau tidak, bagaimana bisa dia membuat derek?" 

"Semua itu cuma teori," kata Mabel. 

Khas wanita - tidak logis. 

Keesokan harinya aku lewat kembali, Simpson ada di kebun lagi. Matahari tampak cerah, langit pun bersih. 

"Akan hujan," katanya. "Terasa di tulang-tulangku." 

"Di mana dan untuk apa tangki itu?" aku bertanya. 

"Di belakang, di gudang. Untuk istriku." 

"Sudah kuduga," kataku. 

"Supaya aku tak usah melihatnya lagi." 

Yaah, itu satu cara untuk menyatakannya. Ia sudah tidak sungkan-sungkan lagi rupanya, blak-blakan. Memang begitulah Simpson. 

"Oh, ya," kataku. "Tentu. Untuk mencelup." 

"Ia ingin mencelup kain bobrok yang baru selesai ditenunnya sendiri." 

"Oh," kataku. Namun tak sedetik pun ia berhasil mengakaliku. Aku tahu ia menyesal sudah mengaku demikian banyak, sehingga sekarang mulai berusaha menutup-nutupi. Tak seorang wanita pun yang butuh tangki sebesar itu kalau cuma untuk mencelup hasil tenunannya sendiri. Boleh dikatakan, itu cerita yang amat lemah. 

"Oke, jangan lupa gigi palsunya," kataku. 

la memandangku seolah-olah aku agak sinting. "Aku tak mengerti mengapa kau terus saja bilang soal gigi palsu. Mungkin otakmu ada yang berlubang."

 

Botol susu berderet di pintu 

Sore harinya kuceritakan kepada Mabel apa yang telah kuketahui. "Persis dugaanku. Di gudang." 

"Apa dia juga punya derek?" 

"Tidak kutanyakan, tapi mestinya punya. Logis 'kan?" 

"Tidak, kalau ia tak ada niat untuk membunuh istrinya." 

"Tentu saja ia punya niat. Itu yang selalu dikatakannya." 

"Orang yang mau membunuh istrinya tidak akan bercerita tentang hal itu kepada semua orang." 

"Bagaimana kau bisa tahu? Apa kau sudah pernah bertemu dengan orang yang berniat membunuh istrinya?" 

"Belum," katanya. "Tapi itu logis." 

"Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, wanita itu tidak logis." 

Pagi setelah kedatangan tangki itu, kulihat botol-botol susu di rumah Simpson belum diambil. Bagiku itu merupakan gejala akan terjadinya sesuatu. Waktu aku pulang sorenya, masih saja botol-botol itu ada di depan pintu. 

"Kurasa sudah dilaksanakan," kataku kepada Mabel. Lalu kuceritakaan kenapa. 

"Jika itu pendapatmu," katanya, "lebih baik kau telepon polisi." Setelah kupertimbangkan, kusimpulkan bahwa tak ada alasan untuk terburu-buru. Jika benar-benar sudah dilaksanakan, tak ada yang dapat kukerjakan sekarang untuk dapat menyelamatkan Ny. Simpson. Apalagi aku selalu agak hati-hati untuk berhubungan dengan polisi. 

"Kau takut," Mabel berkata. 

Penuh wibawa kukoreksi dia. "Bukan itu. Aku hanya mengambil langkah hati-hati yang beralasan." "Setidak-tidaknya kau bisa ke sana untuk melihat apakah ada orang di rumah." 

Aku tak tahu mungkin ada orang di sana. Mungkin Simpson telah melaksanakan niatnya tadi malam, lalu pergi diam-diam selagi hari masih gelap. Atau mungkin juga sudah lama ia ke luar negeri, dalam perjalanan ke Amerika Selatan menyamar dengan memakai kumis palsu dan kacamata hitam. 

Meskipun demikian, tak ada jeleknya pergi untuk meyakinkan. Jadi, aku pergi juga ke sana. Kutekan bel. Seperti yang sudah kuduga, tak ada yang membukakan pintu. Bel kutekan lagi, lalu pulang. 

"Tak ada orang," kataku. 

"Kukira sebaiknya kau ke polisi," kata Mabel. 

"Kukira kau tak percaya dia bakal membunuh istrinya." 

"Aku tetap tak percaya, tapi bisa saja perampok masuk dan mengikat kedua orang itu. Malah jangan-jangan membunuh mereka. Menjadi tugasmulah untuk memanggil polisi." 

Jika ia sudah bicara macam itu, tak bisa lagi aku menghindar. Kukenakan topiku, untuk menunjukkan bahwa aku orang baik-baik dan orang penting di masyarakat. Lalu aku berangkat ke kantor polisi.

 

Malu kelihatan tetangga 

Harus kuakui mereka amat ramah. Mereka mendengarkan semua laporanku dengan penuh perhatian. Meskipun tidak segera mengirimkan inspektur detektif, sersan pun tidak, mereka mengirimkan juga seorang polisi biasa untuk mengikuti aku ke tempat yang diduga telah terjadi tindak kriminal. 

"Tentunya Anda sadar, Pak," kata sersan di kantor itu, "bahwa mungkin saja tak terjadi apa-apa. Mungkin saja Tuan dan Ny. Simpson sedang bepergian beberapa hari." 

"Tapi botol susu itu ...." 

"Kadang-kadang orang lupa mengingatkan tukang susu. Seharusnya memang tidak lupa, tapi mereka lupa juga." Ia menghela napas. "Itu salah satu kelemahan manusia yang harus kita akui." 

Harus diakui, aku agak salah tingkah juga berjalan bersama-sama seorang polisi. Bukan hal yang biasa, 'kan? Tidak biasa untuk orang yang 

hidupnya selama ini bersih. Kujaga jarak dengan dia, supaya orang bisa melihat tak ada borgol di antara tangan kami. Aku lega waktu sampai di rumah Simpson, tanpa bertemu kenalan. 

Tentu saja sang polisi bersikeras menekan bel, meskipun sudah kukatakan ia membuang-buang waktu saja. Lalu pintu coba dibukanya, tapi terkunci. Lalu kami ke belakang rumah. 

Pintu belakang pun terkunci, tapi pintu gudang tidak. Kudorong pintu itu dan benda pertama yang kelihatan adalah tangki itu. Karena diganjal batu bata, bagian dalamnya tak terlihat. Di langit-langit tak kelihatan ada derek. Kukira telah dilepas, atau Simpson menggunakan metode lain. 

Kuperingatkan polisi itu akan asam sulfat yang mungkin mengenai pakaiannya. Katanya, "Asam apa?" Polisi bisa jadi amat tolol kalau mereka memang sengaja. 

"Tangki itu," aku menerangkan, "penuh dengan asam sulfat berkonsentrasi tinggi dan mayat Ny. Simpson ada di dalamnya." 

Kata polisi itu, aku terlalu banyak menonton televisi. Untuk menggodaku ia mengambil sebuah peti, lalu kami naik ke atas peti dan melongok ke dalam tangki. 

Ternyata aku salah sekali. Di dalam tangki tak ada asam sulfat maupun tubuh Ny. Simpson yang sedang menghancur. Sebagai gantinya kulihat celupan warna biru yang amat banyak dari Tuan Simpson. Ia tampak lebih biru lagi dari biasa. 

Mengertilah aku mengapa tak ada derek. Ny. Simpson berbadan tegap dan kuat, sedangkan Tuan Simpson agak kurus. Mungkin mudah sekali bagi nyonya itu mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam tangki. 

"Kukira aku harus menelepon ke kantor kata polisi itu. Ia kelihatan agak kehijauan, tapi bisa juga itu cuma efek cahaya. 

Mabel bangga sekali waktu kuceritakan detail-detailnya. "Sudah kukatakan, tak mungkin orang yang akan membunuh istrinya cerita dulu ke mana-mana." 

"Bagaimana kau tahu ia memang tidak berniat begitu?" kilahku. 

"Mungkin saja ia mendahului suaminya untuk membela diri." 

Matanya yang biru dan polos menatapku lama dan dingin. "Dia toh tak bisa disalahkan benar, bukan?" katanya. "Kalau aku jadi dia, pastilah aku juga bertindak sama." 

Pernyataannya itu rupanya sudah diperhitungkan untuk membuat seorang pria berpikir. Jadi, aku pun pergi ke toko besi untuk membatalkan pesanan sebuah tangki. Tentu saja aku percaya pada Mabel, tapi tak ada salahnya berhati-hati. Lebih baik tidak menawarkan godaan kepada seseorang, bukan?(James Pattinson)

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448566/jangan-lupa-gigi-palsu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952453000) } } }