array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3309755"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/jalan-menuju-timbuktujpg-20220603064340.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(113) "Ibnu Battuta telah mengarungi hampir seluruh dunia, kecuali Sahara, yang kemudian menjadi perjalanan terakhirnya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(7) "Histori"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(7) "history"
        ["id"]=>
        int(1367)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(23) "Intisari Plus - Histori"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/jalan-menuju-timbuktujpg-20220603064340.jpg"
      ["title"]=>
      string(21) "Jalan Menuju Timbuktu"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-06-03 18:44:21"
      ["content"]=>
      string(13958) "

Intisari Plus - Ibnu Battuta telah mengarungi hampir seluruh dunia, kecuali Sahara, yang kemudian menjadi salah satu obsesinya. Dalam perjalanan terakhirnya ia banyak menghadapi rintangan alam yang tidak mudah. Apakah ia mencapai tujuannya?

-------------------------

"Pelancong terbesar di dunia!" Setidaknya itulah gambaran yang diberikan pada Abu'Abdallah Ibnu Battuta oleh para sejarawan. Pada abad ke-14, tidak banyak pria mau menyeberangi Gurun Sahara—katakanlah pada usia 49. Akan tetapi, bagi Ibnu Battuta, inilah tantangan terakhirnya sebelum hidup tenang dan layak di kampung halamannya, di Maroko.

Ibnu Battuta lahir di Tangiers, di pantai utara Maroko, tahun 1304. Ketika berumur 21, ia berziarah ke kota suci Mekah di Saudi Arabia. Perjalanan itu disebut pergi haji dan semua Muslim diwajibkan melakukan perjalanan ke sana—sekurangnya sekali seumur hidup, jika mampu. 

Sedikit yang diketahui Ibnu Battuta ke mana perjalanan itu akan membawanya: sepanjang pantai Afrika Timur hingga Mesir, Palestina, dan Suriah, bahkan sebelum ia pergi ke Mekah ... kemudian sebelum kembali ke rumah, ia mampir ke Irak, Iran, pantai timur Afrika, Oman, dan Teluk Persia, Asia Kecil (sekarang Turki), Laut Hitam, Konstantinopel, dan akhirnya India melalui Afganistan. 

Dari sana, ia mengunjungi Kepulauan Maladewa dan dilanjutkan ke timur menuju Tiongkok dan Indonesia. Sewaktu ia akhirnya kembali ke Moroko, telah menjelajah selama 24 tahun.

Bahkan dengan standar modern, Anda menganggap rentetan perjalanan itu bagi siapa saja sudah cukup. Namun, ada satu tempat yang masih ingin dikunjungi Ibnu Battuta, yaitu Mali, di selatan Gurun Pasir Sahara yang luas. 

Ia mendengar bahwa negara itu amat kaya, salah satu sumber emas terbesar dunia. Ia tak tahan untuk melanjutkan sebuah perjalanan terakhir; maka musim gugur tahun 1351, ia berangkat dari kota Fez menuju selatan.

Menyeberangi Sahara yang luas tak pernah mudah. Pada abad ke-14, banyak rute dagang yang telah dibangun untuk menyeberangi gurun, yang berarti jalur tersebut relatif sibuk. Karavan yang besar lebih suka melakukan perjalanan pada awal-awal tahun ketika gurun tidak panas mencekik. 

Setelah menyeberangi Pegunungan Atlas, Ibnu Battuta menetap untuk menunggu di sebuah kota bernama Sijilmasa. Kota itu berada di tepi gurun—tempat yang ideal untuk membeli unta dan mempersiapkan perjalanan besar lebih awal.

Meskipun seorang petualang, Ibnu Battuta tidak punya rencana untuk sebuah perjalanan heroik sendirian. Bila ia akhirnya bertolak menyeberangi gurun pasir, ia ditemani banyak orang. Selain unta-untanya sendiri, terdapat karavan pedagang yang lengkap dari Sijilmasa. Mereka semua dipandu seorang anggota suku Berber yang nomadik, yang mengenal gurun pasir dengan baik.

Karavan melaju perlahan-lahan, berangkat di pagi hari, dan beristirahat pada terik siang; kemudian berangkat lagi saat petang. Butuh waktu 25 hari untuk mencapai pemukiman pertama, sebuah tempat yang aneh dan sunyi bernama Taghaza. Di situ tak ada yang tumbuh—kota itu hidup hanya karena ada tambang garamnya. 

Ibnu Battuta membencinya. "Tak ada yang baik dengan desa ini," tulisnya. "Inilah tempat yang paling kotor, bau, dan kusam." Penduduk Taghaza hidup miskin, mengangkut blok-blok garam yang besar dari pertambangan untuk diangkut unta ke selatan. 

Mereka bergantung pada pedagang untuk membawakan makanan pada mereka karena tanah mereka sangat tandus. Namun, tempat itu menarik. Terdapat begitu banyak garam sehingga penduduk membangun rumah mereka dari garam. 

Ibnu Battuta tinggal di sebuah rumah yang dindingnya terbuat dari garam, dan atapnya dari kulit unta, dan ia sembahyang di sebuah masjid yang terbuat dari bahan yang sama. Ia juga memperhatikan banyak perputaran uang di sana. Sejumlah besar emas bertukar tangan untuk ditukar dengan garam.

Ia merasa sangat lega sewaktu meninggalkan Taghaza, ia tahu bagian terberat perjalanan ada di hadapannya—800 km pasir, dengan hanya satu mata air. Akan tetapi, Ibnu Battuta beruntung. Hujan turun di gurun pasir pada musim dingin itu, dan karavan menemukan kolam air sepanjang jalan, terperangkap di batu cadas. 

Penemuan itu membuat perjalanan yang berbahaya jadi jauh lebih mudah. Namun demikian, mereka kehilangan salah satu teman mereka. Setelah beradu mulut dengan anggota karavan lain, pria bernama Ibnu Ziri itu tertinggal di belakang. Ia tak pernah ditemukan—dan tak seorang pun pernah melihatnya lagi.

Ibnu Battuta sendiri mencapai mata air tersebut dengan selamat, tapi ia mengkhawatirkan sisa perjalanannya. Mereka baru setengah jalan menyeberangi padang pasir, dan gurun pasir, yang menurutnya penuh dengan bahaya yang mengerikan.

la khawatir pemandu mereka akan tersesat dan mereka akan kehabisan air atau tertangkap oleh "makhluk halus" yang tinggal di padang tandus. Ia tidak merasa senang. Akan tetapi, ia tak perlu khawatir. Setelah perjalanan selama sekitar 10 hari, karavan memasuki Walata—sekarang dikenal sebagai negara Mauritania, yang saat itu menjadi kota provinsi kesultanan Mali. Ibnu Battuta telah selamat menyelesaikan perjalanan lain lagi.

Ibnu Battuta kesal setelah seumur hidup melakukan perjalanannya, karena ia mengeluhkan banyak pengalamannya di Mali. Tentu saja ia tidak mendapatkan kekayaan Mali yang luar biasa seperti yang mungkin ia harapkan. Ia sakit amat parah selama dua bulan masa tinggalnya—ia makan sedikit ubi rambat yang tidak matang dan nyaris mati. 

Kejadian itu tidak memberi banyak kesan kepadanya. Ia benar-benar terkejut dengan sambutan yang diterimanya. Sebagai veteran petualang, ia memandang dirinya tokoh diplomatik penting dan berharap raja menyambutnya dengan pemberian yang berlebih. Sultan Mali hanya memberinya makanan yang terdiri dari roti, daging, dan yogurt.

Ibnu Battuta sangat tersinggung. "Apa yang akan saya katakan pada sultan lain tentang Anda?" tanyanya. 

Setelah itu, sang sultan lebih bermurah hati dan memberinya sebuah rumah dan kemudian—sewaktu ia pergi—hadiah emas.

Ibnu Battuta tertarik pada adat-istiadat Mali tapi terkejut dengan kebanyakan adat itu. Mali adalah negara Muslim, tapi adat-istiadatnya tidak sesuai dengan ajaran perilaku seharusnya seorang Muslim. Di Walata, ia tercengang mengetahui bahwa pria dan wanita kerap kali berteman dan dapat saling bertemu secara terbuka dan kebetulan untuk mengobrol dan bersenang-senang. 

Ibnu Battuta terbiasa dengan pemisahan jenis kelamin secara ketat. Selanjutnya, di ibukota Mali, ia merasa jijik melihat budak perempuan dibolehkan berkeliaran tanpa pakaian, dan ia pun tidak menyukai para penyair kerajaan yang pakaiannya berbulu dan flamboyan dan bertopeng.

Akan tetapi, tidak semuanya buruk. Ia terpikat menonton pesta sultan yang mewah, dan terkesan pada betapa ketatnya anak-anak diajarkan Alquran. Ia menjelajahi banyak negeri itu dan mengunjungi kota Timbuktu sebelum kota itu terkenal. 

Pada abad ke-14, Timbuktu masih berupa kota provinsi yang agak kecil. Tak banyak yang menunjukkan bahwa kota itu akan menjadi pos perdagangan yang kaya dan tempat pelajaran Islam akan tumbuh dua abad berikutnya.

Dari Timbuktu, ia menuju timur ke Kawkaw, yang sekarang dikenal dengan nama Gao. Kota itu berada paling timur dari kota-kota penting Mali. Ibnu Battuta menganggap ia sudah cukup banyak melihat. Ia mulai berpikir kembali ke rumah. Gao merupakan jalan panjang di timur Walata, dan ia tidak mau menyusuri kembali jejak kakinya. 

Ia berencana menuju utara menyeberangi Sahara dengan rute yang berbeda—timur laut dari Gao sepanjang oasis Takedda, kemudian arah barat laut kembali ke Sijilmasa. Rute ini akan membawanya ke beberapa gurun yang paling tidak ramah di dunia, dan kali ini ia tak akan memiliki keuntungan atas bulan-bulan musim dingin yang sejuk. 

Saat itu puncak musim panas. Ibnu Battuta jelas sangat bergantung pada rombongan karavan tempat ia bergabung, karena ia hanya membeli dua ekor unta untuk perjalanan ke utara yang melelahkan: unta jantan ditunggangi, unta betina membawa peralatan. Rencana itu bukanlah jenis terbaik untuk penyeberangan musim panas melintasi Sahara.

Sejak awal, perjalanan itu berlangsung buruk. Unta betina yang lemah tidak tahan panas dan menanggung seluruh bebannya, dan tak lama ia pun roboh. Perjalanan yang berani itu sekarang berada benar-benar dalam kesulitan. Yang menguntungkan, orang-orang dalam rombongan karavan itu menawari bantuan untuk membawa perbekalannya, membagi-bagikannya di antara mereka—kebanyakan mereka membawanya. 

Amarah jelas berkobar dalam panas terik, karena seorang pria menolak membantu, dan bahkan menolak memberi air kepada pembantu Ibnu Battuta.

Kini mereka melalui tanah sebagian orang Tuareg, suku nomadik gurun yang masih hidup di bagian utara Mali dan Mauritania. Sebagian mereka hidup dengan memeras "uang perlindungan": karavan diwajibkan memakai mereka sebagai pemandu, atau berisiko untuk diserang. 

Meskipun demikian, Ibnu Battuta tertarik—terutama pada wanitanya yang menggemukkan diri dengan minum susu sapi dan makan padi-padian yang ditumbuk. Saat itu, perempuan kurus tidak dianggap cantik (orang Tuareg modern masih beranggapan sama), dan Ibnu Battuta sangat mengagumi para wanita ini. 

Akan tetapi, kebahagiaannya pada perjalanan ke Takedda tak banyak. la jatuh sakit dalam panas yang menyengat dan merasa amat lega dapat mencapai oasis.

Takedda merupakan pos perdagangan besar dan—seperti Taghaza—menggali kekayaannya dari tambang lokal—kali ini tambang tembaga. Takedda tidak segersang Taghaza, dan penduduknya dapat menanam sedikit gandum. Di sana, Ibnu Battuta bertemu masyarakat Maroko yang dapat ia tinggali dan menetap untuk beristirahat. Tampaknya Ibnu Battuta sama sekali tidak tertarik melanjutkan perjalanannya yang melelahkan.

Akan tetapi, kemudian, tanpa diduga, ia menerima perintah dari Sultan Fez untuk segera kembali. Tidak jelas mengapa, dan kelihatan ganjil bahwa sultan harus menguntit di mana pun ia berada, bahkan di gurun pasir. Namun, tak lama setelah itu Ibnu Battuta berangkat, bergabung dengan karavan besar yang terdiri dari 600 perempuan budak kulit hitam, menuju Sijilmasa. 

Perjalanan itu pasti mengerikan bagi mereka, dan mereka memiliki sedikit harapan—mereka akan diperdagangkan di Maroko sebagai pembantu atau pelacur. Akan tetapi, Ibnu Battuta tidak memikirkannya; saat itu hal seperti itu seluruhnya benar-benar biasa di Afrika Utara.

Dalam perjalanan ke Sijilmasa, rombongan karavan menjumpai lebih banyak lagi suku nomadik—kali ini sekelompok Berber, yang mengenakan cadar di wajahnya. Mereka memeras bayaran kain sebelum membolehkan rombongan meneruskan perjalanan, dan itu sangat menjengkelkan Ibnu Battuta.

"Tidak ada yang baik dalam diri mereka," keluhnya. Namun, ini satu-satunya masalah utama yang ia temui, selain ketidaknyamanan yang terus-menerus dalam perjalanan gurun pasir. Setelah ini, mereka melewati negeri Berber dengan tenang.

Ia tiba di Sijilmasa saat musim dingin, dan ia melakukan perjalanan yang berbahaya melintasi pegunungan Atlas dalam salju. Meski melintasi gurun pasir adalah perjalanan terbesarnya, ia menyatakan bahwa taraf akhir perjalanan menuju Fez adalah yang tersulit dari seluruhnya.

 

Kemudian

Setelah tiba di Fez, Ibnu Battuta pulang untuk selamanya. Kita tidak mengetahui banyak yang terjadi dengannya setelah ini—kita hanya dapat menduga bahwa ia hidup tenang dan layak dengan kemewahan di istana raja, tempat ia memiliki banyak kisah untuk diceritakan. 

Ia pasti hidup cukup lama untuk menuliskan kisah perjalanannya yang dikenal dengan Rihla—sebuah wawasan menarik tentang banyak negara-negara Muslim di dunia pada abad ke-14.

 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553309755/jalan-menuju-timbuktu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654281861000) } } }