array(15) {
  [0]=>
  object(stdClass)#105 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3799255"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#106 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/01-perjumpaan-maut-di-tengah-tan-20230711015134.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#107 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(148) "Karena kesalahan di waktu muda, Stashinsky harus menjadi agen KGB. Tugas membunuh dilakukannya dengan baik walau bertentangan dengan hati nuraninya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#108 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/01-perjumpaan-maut-di-tengah-tan-20230711015134.jpg"
      ["title"]=>
      string(32) "Perjumpaan Maut di Tengah Tangga"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-07-11 13:51:44"
      ["content"]=>
      string(27192) "

Intisari Plus - Karena kesalahan kecil di waktu muda, Stashinsky harus membayarnya dengan menjadi agen KGB. Tugas membunuh dilakukannya dengan baik walau itu bertentangan dengan hati nuraninya.

----------

Dr. Lev Rebet tidak begitu peduli dengan orang yang menuruni tangga berlawanan arah dengannya. Mengenalnya? Tidak. Tidak ada tanda-tanda kalau kedua orang tersebut saling mengenal. Baik Dr. Lev Rebet maupun orang jangkung itu saling menundukkan kepala. Dr. Lev Rebet berhati-hati menaiki tangga satu demi satu. Dan si jangkung juga tidak kurang hati-hatinya menuruni tangga. Sebenarnya tangga di kantor surat kabar Sucasna Ukraina tidak begitu tinggi dan menanjak. Tetapi karena usianya, Dr. Lev Rebet terbiasa membungkukkan tubuhnya selagi menaiki tangga kantornya.

Beberapa detik lagi, keduanya akan saling berpapasan di lorong sempit. Keduanya saling menunduk. Tidak ada sikap yang mencurigakan. Tidak ada gerakan-gerakan yang aneh. Tidak terdengar suara apa-apa. Setapak demi setapak Dr. Lev Rebet naik. Setangga demi setangga si jangkung turun

Sewaktu keduanya saling berpapasan, tetap tidak ada perubahan sikap dari keduanya. Tetapi tidak begitulah setelah beberapa detik mereka berpapasan. Tanpa penyebab yang jelas, tiba-tiba Dr. Lev Rebet terhuyung-huyung dan akhirnya tubuhnya tersandar ke dinding. Kedua tangannya mencengkeram dada. Dan tidak sampai 3 detik, tubuhnya melengkung dan melayang dalam sekejap. Ia akhirnya berguling dan bergulung menuruni anak tangga dengan cepat. Di anak tangga kedua dari bawah, tubuh itu berhenti. Tidak ada suara lagi. Dan Dr. Lev Rebet sudah tak bernyawa lagi.

Kejadian tersebut terjadi pada tanggal 12 Oktober 1957 di Karlsplats no. 8, Munich, di mana Dr. Lev Rebet bekerja sebagai pemimpin redaksi surat kabar Sucasna Ukraina.

Siapa gerangan lelaki jangkung yang berpapasan dengan Dr. Lev Rebet? Mengapa tiba-tiba Dr. Lev Rebet terguling dan akhirnya meninggal?

Kejadian tersebut bukanlah kejadian yang aneh yang terjadi di sekitar tahun 1950-an. Saat itu pihak Rusia sedang giat melancarkan aksi pembersihan terhadap gerakan antikomunis di kawasan Rusia. 

Beberapa menit setelah kejadian di pagi hari itu, seorang perwira dari KGB — Dinas Rahasia Rusia — di Moskow menerima pesan rahasia. Pesan tersebut dari si jangkung — orang kedua yang berada di tangga kantor Sucasna Ukraina di Munich. Pesannya cukup singkat, tapi cukup menggembirakan bagi yang menerima. 

“Aku telah bersua dengan si gendut. Dan penyambutannya cukup memuaskan.”

Bogdan Stashinsky, alias Josef Lehman, alias Bronislav Katshor, alias Alex Krylov, alias Siegfried Frager, alias Hans Budeit, telah melaksanakan tugasnya dengan gemilang. Ia melakukan pembunuhan yang sempurna demi tugas dari KGB. Dr. Lev Rebet dibunuh dalam waktu yang singkat sekali sewaktu menaiki tangga.

Berita kematian Dr. Lev Rebet menimbulkan berbagai pertanyaan bagi beberapa kalangan. Orang-orang imigran Ukraina yang bertempat tinggal di Jerman Barat pun merasa kehilangan sosok seorang bapak. Mereka yang berkecimpung di bidang politik, menangkap kematian Dr. Lev Rebet sebagai pertanda untuk berhati-hati.

Hasil pemeriksaan mayat Dr. Lev Rebet menghasilkan satu keputusan yang sudah sejak semula diramalkan pihak Dinas Rahasia Rusia. Dr. Lev Rebet meninggal dunia karena penyebab biasa. Termasuk usia dan penyakit. Benar-benar suatu pembunuhan yang gemilang. Tidak ada hantaman. Tidak ada darah tertumpah. Tidak ada kekerasan. Dan... tidak ada tanda-tanda pembunuhan.

Senjata yang digunakan Stashinsky untuk membunuh Dr. Lev Rebet hanyalah sebuah tabung logam sepanjang delapan inci dan sebuah ampul kecil. KGB tidak keliru menunjuk Stashinsky untuk melakukan tugas rahasia. Tidak perlu diragukan lagi ketangkasan Stashinsky yang terkenal sebagai penembak mahir untuk menghabisi Dr. Lev Rebet.

Untuk menjadi pembunuh terlatih, Stashinsky mendapat pendidikan dan penggemblengan cukup lama, 7 tahun. Tahun 1950 adalah tahun permulaan Stashinsky memasuki atau lebih tepatnya “terperangkap” oleh jaringan Dinas Rahasia Rusia.

Musim panas tahun 1950 merupakan musim petaka bagi si mahasiswa calon guru, Stashinsky. Bermula dengan peristiwa kecil di dalam kereta api, Stashinsky terperosok masuk ke dalam jaring Dinas Rahasia Rusia. Suatu pagi, Stashinsky menyerobot naik kereta api tanpa karcis. Tetapi dasar nasib buruk, Stashinsky ditangkap polisi karena tidak memiliki karcis. Benar-benar awal petaka baginya. Sebab masa-masa tahun 1950, Dinas Rahasia Rusia sedang gencar melancarkan pembersihan terhadap gerakan-gerakan antikomunis di Ukraina. Daerah yang seluas gabungan antara negara Spanyol dan Portugal tersebut tercekam kekhawatiran. Salah langkah atau salah bicara, bisa ditangkap dengan tuduhan tunggal yaitu terlibat dalam gerakan antikomunis.

Stashinsky yang baru berusia 19 tahun terpaksa berurusan dengan polisi. Stashinsky sudah bisa membayangkan kehancuran cita-citanya untuk menjadi guru. Bukan hal yang sepele untuk berurusan dengan polisi waktu itu. Stashinsky tahu persoalan sepele itu bisa jadi meluas. Dengan hati yang kecut dia menunggu panggilan pengadilan.

Aneh! Panggilan tidak kunjung datang. Tetapi ini tidak berarti pemerintah Rusia melalaikan Stashinsky, pemuda Ukraina yang cukup ambisius ini yang menumpang kereta api secara gratisan. Panggilan dari pengadilan memang tidak pernah datang. Tetapi muncul surat undangan supaya menghadap dari seorang perwira polisi lalu lintas.

Akhir musim panas, Stashinsky menghadap perwira yang mengundangnya. Dan masih ada seorang lagi yang juga menunggu kedatangan Stashinsky. Ia adalah seorang perwira dari Dinas Rahasia Rusia. Sitnikovsky namanya.

Waktu itu pembersihan gerakan antikomunis sedang menjamur di seluruh Ukraina. Tuduhan terlibat dalam gerakan antikomunis menjadi bayang-bayang maut bagi penduduk Ukraina. Padang Siberia — dengan segala kekerasannya — disodorkan sebagai imbalan mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam gerakan antikomunis. Padang hitam Siberia pun disodorkan pada Stashinsky. Dua pilihan yang sama-sama tidak enak dihadapkan pada Stashinsky. Ikut menjadi angota gerakan perlawanan terhadap kaum antikomunis dan sekaligus menjadi informan untuk KGB atau padang Siberia.

Dengan janji bahwa perkara pelanggaran di kereta api tidak akan dipermasalahkan lagi, akhirnya Stashinsky memilih pilihan pertama. Semenjak saat itu, Stashinsky terjerat dalam jaring KGB. Itu berarti dia harus bekerja untuk Dinas Rahasia Rusia di daerahnya sendiri. Ukraina.

Semakin lama tuntutan dan permintaan Sitnikovsky atas nama KGB terhadap Stashinsky semakin meningkat saja. Akhirnya Stashinsky menghentikan kuliahnya. Tugas dan pekerjaannya sudah jelas, jadi agen KGB.

Tahun 1953 ia dipindah ke Kiev untuk mengikuti pendidikan istimewa. Itu termasuk soal persenjataan dan pembuatan identitas palsu.

Dengan nama Josef Lehman, Stashinsky menyusup ke pihak Barat dan melaksanakan tugas spionase. Sebagai seorang agen, tugas utamanya adalah menyelidiki kegiatan-kegiatan organisasi kaum imigran Eropa Barat. Terutama Organisasi Nasionalis Ukraina.

Ideologi politik KGB telah berhasil meyakinkan diri Stashinsky, bahwa pemimpin dari Organisasi Nasionalis Ukraina adalah manusia yang terkutuk. Pasalnya, ia sudi diperbudak oleh pihak Amerika untuk membendung imigran Ukraina yang bertempat tinggal di Jerman Barat yang ingin kembali ke tanah leluhurnya. Malahan pihak Amerika telah melakukan kejahatan besar, yaitu memengaruhi orang-orang Ukraina untuk membenci dan memusuhi pihak Timur.

Bukan itu saja, ramuan politik yang telah “ditelan” mentah-mentah Stashinsky akhirnya tertanam di hatinya. Ia bersemangat untuk menyingkirkan siapa saja yang berkhianat terhadap tanah leluhurnya, Ukraina. Sasaran utama, Dr. Lev Rebet pemimpin Organisasi Nasionalis Ukrania. Sudah bulat tekad Stashinsky untuk segera membereskan Dr. Lev Rebet.

Antara April sampai Juli 1957, Stashinsky mondar-mandir dari Kiev ke Munich. Itu dilakukan untuk membiasakan diri dengan kehidupan calon korbannya, yaitu Dr. Lev Rebet. Semua kebiasaan calon korbannya telah diteliti dengan cermat. Kehidupan sehari-hari Dr. Lev Rebet ditanamkan dalam ingatannya. Stashinsky pun hafal dengan kehidupan Dr. Lev Rebet. Termasuk kebiasaan di kantornya yang terletak di Karlsplats no. 8.

Bulan September matang sudah rencana Stashinsky.

Dia sudah siap untuk menggunakan “senjata setan” miliknya. Itu adalah senjata dari KGB yang dipersiapkan untuknya. Senjata itu terdiri tabung logam dan ampul.

Ampul di dalam tabung logam, berisi gas sianida yang dapat memancar secara otomatis bila pelatuk kecil di bawah tabung logam itu disentil. Pancaran gas akan mengenai urat nadi korban. Dalam waktu pendek, korban yang ditembak dengan senjata setan itu akan mati karena urat nadinya mengerut. Kematian yang fatal. Namun dalam waktu yang singkat pula, pembuluh darah akan kembali normal, sehingga tembakan senjata setan itu tidak akan meninggalkan bekas sama sekali. Kalau diselidiki, hanya akan sampai pada kepastian bahwa korban meninggal dunia karena semacam serangan ulu hati.

Penggunaan senjata setan tersebut juga ada bahayanya. Gas sianida yang terpancar bisa seperti bumerang yang menyerang balik si penembak. Akibatnya fatal juga.

Tetapi perlengkapan yang tersedia demi keamanan Stashinsky cukup banyak. Bagi Stashinsky, tersedia berbagai tablet saraf, penawar racun, dan anti gas. Beberapa saat sebelum menembakkan senjata setan, dia harus menelan tablet saraf dan penawar racun. Lalu beberapa saat kemudian diikuti tablet anti gas. Yang terakhir ini harus ditelan beberapa saat sebelum menarik pelatuk.

Tentang keampuhan senjata setan buatan KGB ini, Stashinsky telah melihat buktinya. Senjata ini 100 persen bekerja dengan gemilang dan memuaskan, kata ahli pembuat senjata itu. Dan untuk memperkuat ucapannya, ahli itu mengajak Stashinsky ke hutan Muggelsee di pinggiran Jerman Timur. Keampuhan senjata setan didemonstrasikan di sana. 

Seekor anjing besar dirantai pada sebuah pohon. Stashinsky menelan tablet-tablet penyelamat. Dari jarak dua kaki, Stashinsky menembakkan senjata itu. Akibatnya sungguh meyakinkan. Hanya terdengar suara lirih dan dalam beberapa detik kedua kaki depan anjing mengacung ke depan. Beberapa saat — semenit mungkin— anjing itu terjungkal kemudian mati. Tanpa suara terdengar. Stashinsky tidak meragukan lagi keampuhan senjata setan itu.

9 Oktober 1957, dengan menggunakan nama Siegfried Drager, Stashinsky menumpang Air France menuju ke Munich. Pertemuan maut dengan Dr. Lev Rebet akan segera dimulai. Senjata maut turut dibawa serta. Sungguh sederhana dan kecil senjata maut itu. Sukar untuk dibayangkan kalau logam kecil itu bisa membawa maut. 

Dalam pengakuannya di kemudian hari, tentang penggunaan senjata maut, Stashinsky mengatakan bahwa senjata itu dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu sukar bagi penembaknya untuk mengirim korban ke alam baka. “Saya tidak memerlukan apa-apa. Saya hanya perlu berpapasan dengan Dr. Lev Rebet di tangga. Senjata maut saya angkat dan bagian pelatuk bersama jari saya tutupi dengan gulungan surat kabar. Pelatuknya pun saya tarik.” Itu teorinya.

Pagi hari tanggal 2 Oktober 1957, Stashinsky meninggalkan hotel. Setelah menelan dua tablet, ia berjalan menuju kantor surat kabar Suscana Ukraina di Karlsplats no. 8 di mana Dr. Lev Rebet bekerja.

Sekitar jam 9.00 Stashinsky sudah mengambil posisi di atas tangga menunggu kehadiran calon korbannya. Jam 9.05, seperti telah diperhitungkan, Stashinsky mendengar suara langkah kaki. Dengan tenangnya ia mulai turun dari anak tangga yang teratas. Benar juga, Dr. Lev mulai menaiki tangga. Dan Stashinsky pun mulai melangkah turun. Dua insan akan saling berpapasan.

Di tengah-tengah tangga, sengaja Stashinsky berdeham. Dan apa yang diperhitungkan memang terjadi. Dr. Lev Rebet mengangkat mukanya. Dan bersamaan itu pula, Stashinsky menarik pelatuk senjata mautnya tepat mengarah wajah Dr. Lev Rebet. Tidak ada bedanya dengan tingkah polah anjing di hutan Muggelsee. Dr. Lev Rebet terkapar tanpa mengeluarkan suara. Penjahat besar di mata KGB telah tamat riwayatnya.

Dinas Rahasia Rusia sangat puas. Operasi yang ditugaskan kepada Stashinsky berjalan dengan lancar sesuai dengan apa direncanakan. Untuk kesuksesannya, Stashinsky mendapat undangan pesta. Dan dalam pesta itu pula Stashinsky mendapat tugas kedua untuk membereskan tokoh Organisasi Nasionalis Ukraina.

Calon korban kedua adalah Stefan Bandera. 

Memburu calon korban kedua ternyata tidak semudah memburu Dr. Lev Rebet. Setelah kematian Dr. Lev Rebet, Organisasi Nasionalis Ukraina di Jerman Barat semakin memperapat diri. Walaupun kematian Dr. Lev Rebet dinyatakan karena serangan ulu hati, tetapi tokoh-tokoh Organisasi Nasionalis Ukraina memiliki kecurigaan.

Di pertengahan tahun 1958, Stashinsky mulai kegiatannya mondar-mandir ke Munich dengan menggunakan beragam nama. Sasaran untuk tugas keduanya ini bertempat tinggal di Kreittmayrstrasse no 7. Sudah dua kali Stashinsky mencoba membereskan Stefan Bandera, tetapi dua kali pula ia mengalami kegagalan. Akhirnya kegiatan menguber Stefan Bandera dihentikan untuk sementara waktu.

Ada perubahan dalam hati Stashinsky. Orang yang diburu adalah orang Ukraina. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Ukraina, Stashinsky menyadari bahwa ia melaksanakan tugas bukan karena keyakinan atau kesadaran, tetapi karena adanya tekanan. Suatu ikatan yang benar-benar menyangkut soal hidup atau mati. Dan dia tak mungkin untuk mengelak.

Kisah di awal tahun 1950 masih jelas terbayang di matanya. Dalam keraguannya di usia tanggung 19 tahun, dia dipojokkan untuk memilih hidup terus dalam ikatan Dinas Rahasia Rusia atau membeku di padang Siberia. Sebagai seorang pemuda tanggung yang masih dangkal dengan apa arti perjuangan hak dan kebebasan, Stashinsky memilih hidup.

Tetapi, waktu 7 tahun bukan waktu yang pendek. Cukup lama untuk membentuk sikap dan pikirannya. Indoktrinasi-indoktrinasi yang gencar diterimanya akhirnya “termakan” juga. Walau semula terasa serat untuk ditelan. Dua hal yang saling tertentangan berkecamuk dalam diri Stashinsky.

Walaupun usaha pertama dan kedua gagal, tetapi Dinas Rahasia Rusia masih mempercayakan tugas untuk menghabisi Stefan Bandera kepada Stashinsky. Stashinsky dipersilahkan untuk mencoba lagi.

Tanggal 15 Oktober 1959, Stashinsky berhasil membuntuti Stefan Bandera sampai di rumahnya di Kreittmayrstrasse no. 7. Dengan aman dia berhasil bersembunyi di pengkolan tangga. Praktik yang diterapkan terhadap Dr. Lev Rebet akan diulang. Korban ditunggu di anak tangga paling atas. Dan saat berpapasan, maut akan menghampiri. Stashinsky berdiri mematung di pengkolan tangga. 3 meter dari anak tangga paling bawah, Stefan Bandera sedang memasukkan mobil ke garasi. Tanpa terduga sebelumnya oleh Stashinsky, seorang wanita lewat di sampingnya dan menuruni tangga. Secepat kilat Stashinsky menyibukkan diri dengan berpura-pura membetulkan kancing baju. Wajah menghadap ke dinding agar tidak dilihat wanita itu.

Beberapa menit kemudian Stashinsky mendengar suara dari pintu depan. Calon korban masih berada di depan pintu. Tubuhnya digelantungi berbagai barang, ia sibuk berkutak-kutik dengan anak kunci. Entah apa yang terjadi dengan anak kunci, Stefan Bandera belum juga masuk.

5 menit telah berlalu. Dan akhirnya pintu terbuka. Di saat yang sama, Stashinsky merunduk membetulkan tali sepatu. Di anak tangga kedua dari atas, Stashinsky mulai menggoyang-goyangkan gulungan surat kabar. Sewaktu Stefan Bandera mulai melangkah naik, Stashinsky melangkah turun.

Benarkah persilangan maut akan terjadi? 

Stashinsky merunduk seakan-akan sedang menghitung anak tangga. Stefan Bandera menengadah dengan tegap. Tepat di tengah tangga, Stashinsky menyapa dengan ramah.

“Tidak beres kuncinya?”

“Aku keliru memasukannya. Ah...... siapa Anda?” Wajah Stefan Bandera semakin menengadah. 

Hanya itu yang diucapkan oleh Stefan Bandera untuk yang terakhir kalinya. Selagi Stefan Bandera tertegun memandangnya, Stashinsky menarik pelatuk senjata maut dari balik gulungan surat kabar. Dalam sekejap, Stefan Bandera terguling turun menatap pintu. Tidak terdengar suara apa-apa, kecuali suara benda jatuh. Barang-barang yang bergelantungan di lengannya berguling-guling.

Stashinsky kembali ke Jerman Timur dengan aman. Dan melapor pada atasannya bahwa ia telah bersua dengan “si gendut” dan “sambutannya” sungguh menggembirakan. 

Tanggal 4 Desember 1959 Stashinsky memperoleh penghargaan dari Alexander Shelepin, Komandan Tertinggi KGB, atas kesuksesannya melancarkan operasi pembersihan antikomunis.

Ternyata tugas membereskan Stefan Bandera adalah tugas terakhir bagi Stashinsky.

Tidak ada rasa bangga pada diri Stashinsky. Yang ada hanyalah pergolakan batin yang semakin gencar di hatinya. Tugas yang didasari rasa terjerat berbenturan dengan suara hati yang paling dalam. Kemanusiaan, perjuangan hak dan kebebasan. Tekanan batin semakin lama semakin menyesakkan. Lingkup gerak terasa sangat terbatas. Dan dalam lubuk hatinya yang paling dalam terselip penyesalan. Orang yang diburunya bukan orang asing bagi warga Ukrania. Bangsanya sendiri, Ukrania.

Sekali-kali timbul niat untuk melepaskan pekerjaannya. Tetapi jelas tidak mungkin. Padang Siberia yang akan dihadapinya. Sekali-kali timbul niat pula untuk menyeberang ke pihak Barat.

Musim panas tahun 1960, istri Stashinsky sedang mengandung. Istrinya, Inge Pohl, berasal dari Jerman Timur. Suatu ide untuk memulai pelarian tercetuslah. Setelah berhasil membujuk dan mengelabui atasannya, dengan alasan istrinya ingin melahirkan di kediaman orang tuanya di pinggiran Jerman Timur, akhirnya Stashinsky berhasil mengirim Inge Pohl ke Berlin Timur.

Langkah pertama pelarian sudah berhasil. Inge Pohl sudah mendekati daerah di mana kebebasan seseorang terjamin. Kediaman orang tua Inge Pohl berdekatan dengan tapal batas Berlin Barat dan Berlin Timur.

Untuk melakukan usaha pelarian untuk dirinya sendiri, Stashinsky masih harus menghadapi kesulitan. Dia bukan orang bebas. Kemana pergi selalu dibayangi agen Dinas Rahasia Rusia. Bagaimana dia bisa menyeberang ke sektor Barat?

Kemalangan — tetapi juga keberuntungan akhirnya — terjadi juga atas diri Stashinsky. Bayi Inge Pohl yang baru saja lahir, tidak berumur panjang. Hati Stashinsky yang selalu gundah pun semakin hancur berkeping-keping. Kelahiran anak yang selalu dia rindukan dan diharapkan bisa memberi kesejukan padanya, hanya berusia singkat.

Apakah kematian bayi itu merupakan kemalangan atau justru keberuntungan? Walau hati Stashinsky hancur karena sedih, ia bisa melihat bahwa kematian anaknya juga merupakan peluang bagi dirinya untuk kabur menyeberang ke sektor Barat.

Lantaran sekelumit rasa iba yang meluntur dari suasana kedinasan, Stashinsky mendapat kelonggaran untuk menghadiri pemakaman anaknya di pinggiran tapal batas. Tetapi tidak berarti bebas. Dia tidak bisa banyak bergerak. Ke mana pun ia pergi, selalu dibayangi agen-agen Dinas Rahasia Rusia siang dan malam.

Sanak keluarga Inge Pohl yang menghadiri pemakaman cukup banyak. Stashinsky tepat tiba sebelum jenazah diturunkan ke liang lahat. Inge Pohl menyambut haru kedatangan suaminya. Dalam pelukan sedih, Stashinsky membisikkan kata-kata yang sangat berarti: soal hidup dan mati.

Stashinksy tidak melihat ada tatapan yang perlu dikhawatirkan dari para pelayat. Tetapi benarkah suasana pemakaman bersih dari agen-agen Dinas Rahasia Rusia?

Makam anak Stashinsky terletak di pinggiran tapal batas. Tiga gunduk makam lagi arah ke kanan, sudah merupakan daerah bebas. Pelayat satu demi satu meninggalkan makam. Stashinsky memapah Inge Pohl. Tiga gunduk lagi sudah merupakan daerah bebas. Bebas dari cengkeraman rasa takut dibayang-bayangi padang Siberia. Tetapi benarkah makam ini aman dari mata-mata agen?

Hari sudah larut senja. Cukup lama juga Inge Pohl dan Stashinsky termenung di makam anaknya. Tidak ada orang lagi. Juga tidak ada suara. Kesenyapan makam memberi kesempatan pada suami istri Stashinsky untuk melangkahi dua gunduk.

200 meter setelah Stashinsky dan Inge Pohl memasuki padang bebas, baru terdengar suara derum patroli perbatasan Jerman Timur melintasi pinggiran tapal batas. Beberapa saat mobil-mobil patroli berhenti di pinggiran makam. Kelihatan beberapa orang berloncatan dari mobil. Tetapi telah sunyi semuanya.

Sebagai pelarian politik, Stashinsky segera menghubungi penguasa Jerman Barat. Semua petualangan politik dan petualangan rahasianya diceritakan. Terutama tentang terbunuhnya tokoh-tokoh Organisasi Nasionalis Ukrania, Dr. Lev Rebet dan Stefan Bandera. Dikisahkan pula cara-cara penggunaan senjata gas sianida. Semula penguasa Jerman Barat tidak begitu percaya pada keterangan Stashinsky bekas angota Dinas Rahasia Rusia itu.

Tidak sedikit agen yang menyeberang, tetapi dengan tujuan ganda. Semua pengakuan dan keterangan Stashinsky tidak melunturkan kecurigaan penguasa Jerman Barat.

Stashinsky ditahan dengan tuduhan “membantu terjadinya pembunuhan” atas tokoh nasionalis Ukrania yang bertempat tinggal di daerah Jerman Barat. Pemerintah Jerman Barat tetap berpendirian, bahwa pelaku utama dari pembunuhan Dr. Lev Rebet dan Stefan Bandera adalah pemerintah Soviet.

Semua pengakuan Stashinsky merupakan hantaman bagi pemerintah Rusia. Di mana dunia saat itu, pengakuan Stashinsky benar-benar merupakan penelanjangan rahasia Dinas Rahasia Rusia. Dan dinilainya sebagai gangster politik.

Penahanan Stashinsky tidak berlangsung lama. Akhirnya Stashinsky dibebaskan karena pengakuannya sedikit banyak sangat membantu pemerintah Jerman Barat. Dan demi keamanan diri Stashinsky dari ancaman pembalasan pihak Jerman Timur, ia dan istrinya disembunyikan di satu tempat yang dirahasiakan di wilayah Jerman Barat. Tindakan itu dilakukan untuk menghindari pembalasan dari pihak Jerman Timur. Dan pihak Jerman Timur telah bertekad untuk merebut Stashinsky kembali. 

Sudah bisa dibayangkan apa arti merebut kembali. Ancaman dan olok-olok pihak Jerman Timur tidak urung sampai juga ke tempat persembunyian suami istri Stashinsky. Dari tempat persembunyiannya, Stashinsky memberi komentar atas ancaman pihak Jerman Timur sebagai berikut:

“Siapa pun yang berkhianat pada KGB pastilah akan disingkirkan. Sampai saat ini, saya masih tercekam rasa takut dan khawatir. Petaka pasti akan menimpa diri saya dan istri. Sepanjang sisa hidup, saya harus bersedia menyambut kedatangan orang yang menggantikan tugas saya itu.”

Entah kapan, entah di mana, Stashinsky percaya bahwa sekali waktu ia akan berpasangan dengan orang yang tak dikenalnya — mungkin tidak perlu di tangga — dan senjata maut akan digunakan lagi. Kali ini giliran Stashinsky yang harus dibereskan.

Kisah petualangan Stashinsky hanya sampai di sini. Bagaimana nasib Stashinsky selanjutnya, dunia tidak memperbincangkan lagi.

(The Silent Killer)

Baca Juga: Seorang Gadis Dibunuh di Hagenhof

 

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799255/perjumpaan-maut-di-tengah-tangga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083504000) } } [1]=> object(stdClass)#109 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682499" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#110 (9) { ["thumb_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/maut-di-teluk-busukjpg-20230213031949.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#111 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Setelah berhasil membunuh istrinya, Hector mengincar putri tirinya. Untuk itu ia membuat rencana terperinci demi mendapatkan harta warisan." ["section"]=> object(stdClass)#112 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/maut-di-teluk-busukjpg-20230213031949.jpg" ["title"]=> string(19) "Maut di Teluk Busuk" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:20:01" ["content"]=> string(42173) "

Intisari Plus - Setelah berhasil membunuh istrinya, Hector mengincar putri tirinya. Untuk itu ia membuat rencana terperinci demi mendapatkan harta warisan.

--------------------

Bukan cuma perusahaan besar, tetapi pembunuhan juga membutuhkan perencanaan yang cermat. Begitu kesimpulan Hector Griffiths, manajer produksi pada Perusahaan Gliss yang bergerak di bidang industri pembuatan cairan pembersih untuk rumah tangga. Perkawinannya dengan Melissa Wintle, janda kaya beranak satu, juga berkat kemampuannya menyusun rencana. Bahkan juga kematian Melissa tiga tahun kemudian, akibat mengisap gas dari alat pemanas ketika Griffiths sedang ke luar negeri.

Sialnya, wasiat Melissa menyatakan seluruh harta kekayaannya menjadi milik Janet. Bukan Hector Griffiths, suaminya yang kedua itu. Janet (15) adalah anak perempuan Melissa dari perkawinannya yang pertama. 

 

Rencana gaya manajer

Maka, ketika Hector Griffiths (52) menyadari penghasilannya dari Gliss terus tersedot untuk merawat sebuah flat, cottage, mobil Mercedes dan perahu motor, dan juga tanggung jawab mengasuh Janet, anak tirinya, mulailah ia menyusun rencana.

la memiliki catatan sebagai bahan kuliah yang diajarkannya pada kursus latihan staf di perusahaan tempatnya bekerja.

Catatan itu berisi tentang langkah-langkah untuk melemparkan sebuah produk baru ke pasaran. Tak kurang direktur pemasaran untuk Eropa pada perusahaan itu memberinya acungan jempol atas bahan kuliah yang dibuatnya itu.

Catatan yang sudah diketik rapi oleh sekretarisnya itu tersimpan dalam map plastik biru. Pada halaman terdepan dari catatan tersebut ditulisnya dua petunjuk.

Pertama, sediakan waktu untuk membuat perencanaan, meski harus menunda pelemparan produk ke pasaran. Ketidaksabaran melahirkan kesalahan dan kesalahan itu mahal.

Kedua, Anda harus membuat keputusan pokok tentang produk itu dan waktu yang tepat untuk melemparnya ke pasaran. Jangan terpengaruh oleh pikiran-pikiran yang timbul kemudian. Jadwal yang tertunda merugikan.

Petunjuk ketiga yang tak tertulis, tetapi sama pentingnya, menyatakan, sebelum tindakan diambil terhadap sebuah produk baru, sebaiknya sediakan waktu untuk melakukan desk work. Maksudnya, proyek harus dikaji dari pelbagai segi, dicek seteliti mungkin dsb. Hal ini akan memudahkan jika kelak timbul masalah ketika waktu untuk berpikir sudah menjadi barang mewah.

Hampir tiga bulan setelah kematian Melissa, Griffiths baru melakukan desk work terhadap rencana barunya.

Kematian Melissa bertepatan dengan Hari Raya Paskah. Waktu itu Janet ada di rumah sebab ia sedang liburan sekolah. Ia tinggal di asrama sekolahnya di Yorkshire, sementara orang tuanya di London. Gadis yang pendiam itu sedang tidur ketika kecelakaan di kamar mandi yang merenggut nyawa ibunya itu terjadi. Sayang bagi Griffiths, kenapa anak tirinya tidak bersama ibunya ketika itu. Kalau itu terjadi, Griffiths tak perlu repot-repot lagi.

Namun, seperti selalu diutarakannya di depan peserta kursus latihan staf, keberhasilan jarang diperoleh dengan mudah. 

Griffiths belum tahu persis apa yang hendak dilakukannya terhadap Janet. Namun, sementara ini ia harus bersikap sebagai ayah tiri yang baik bagi Janet yang kini jutawan itu.

 

15 bulan lagi

Gadis-gadis seusia Janet jarang ditemukan meninggal secara mendadak. Jadi tak bisa dielakkan, Janet harus dengan sengaja dibunuh.

Ia memutuskan akan melakukannya sendiri, sebab pernah memiliki pengalaman buruk di kantor ketika ia melimpahkan tanggung jawabnya kepada orang lain untuk pelemparan satu produk Gliss ke Eropa.

Waktu yang tepat untuk “memasarkan produk” (membunuh) amat penting.

Ia memutuskan harus menunda pembunuhan. Soalnya, kematian Melissa baru saja terjadi. Kecelakaan yang terjadi beruntun akan bisa mendorong pihak berwajib melakukan penyelidikan secara lebih teliti. Untuk membunuh benih-benih kecurigaan, Griffiths harus terus menanamkan kesan bahwa ia penuh perhatian kepada anak tirinya.

Namun, lamanya penundaan harus dibatasi. Dalam wasiatnya, Melissa memang sedikit memberi bagian kepada Griffiths yang hanya cukup untuk menopang gaya hidupnya yang sekarang selama 18 bulan. Itulah batas paling lama penangguhan pembunuhan.

Di mana pembunuhan akan dilakukan? Selama ini Janet tinggal di asrama sekolah di Yorkshire. Kehadiran Griffiths di asrama tentu akan mengundang pertanyaan. Jadi pembunuhan harus dilakukan pada masa liburan sekolah. 

Pertimbangan-pertimbangan di atas dan juga faktor-faktor lain membawa Hector kepada kesimpulan bahwa pembunuhan dilakukan pada liburan musim panas tahun berikutnya. Sekitar 15 bulan lagi. Penantian yang cukup lama memang, tapi seperti disadarinya, ketidaksabaran melahirkan kesalahan.

Pembunuhan yang akan dilakukannya mestinya harus sedemikian rupa, sehingga seolah-olah ia tak terlibat.

Griffiths bisa memilih. Kematian Janet harus tampak seperti kecelakaan atau ia harus punya alibi yang kuat pada saat kematian Janet. Atau lebih baik lagi gabungan dari keduanya.

Ia memilih, kematian Janet seolah akibat kecelakaan. Untuk menghindari penyelidikan polisi terhadap dirinya, sebaiknya kecelakaan itu terjadi pada saat ia sedang bertugas di luar negeri. Padahal, pembunuhan itu hendak ditanganinya sendiri. Akibatnya pada saat yang sama ia harus berada di dua tempat yang berbeda. Bagaimana mungkin?

Akhirnya, Griffiths memutuskan untuk “memainkan” waktu terjadinya pembunuhan.

Itu memerlukan banyak penelitian, banyak membaca buku-buku tentang masalah peradilan yang menyangkut kematian.

 

Telur busuk

Ketika Janet libur panjang di musim panas, anak tirinya itu setuju untuk tinggal bersamanya di pondok peristirahatan di Cornwall sepanjang bulan Agustus. Waktu Melissa masih hidup, mereka memang biasa tinggal di sana setiap akhir pekan. Awal bulan Juli Griffiths pergi ke sana untuk mengecek pondok itu.

Griffiths suka sekali naik perahu motor di sana. Bahkan Letkol Donleavy, yang sering minum bersama Griffiths di Yacht Club pun senang sekali memandang ke arah teluk tempat perahu itu tertambat. Ia mengagumi bangunan bercat putih yang berdiri di kaki bukit di tepi pantai. “Pondok itu indah sekali,” ujar Donleavy. Perahu motor itu pun tak kalah indahnya. Griffiths tak mau kehilangan keduanya.

Pada masa-masa perkenalan dengan Melissa, ia suka membawa Melissa ke tempat-tempat yang terpencil dan sulit dijangkau, antara lain ke sebuah gua di tengah laut. Orang hanya bisa masuk pada saat air laut surut begitu rendah. Gua yang tersembunyi itu ia temukan dengan tak sengaja waktu pertama kali ia pergi bersama Melissa naik perahu. Kurangnya pengalaman soal navigasi membawa perahu mereka menghampiri bukit-bukit karang yang berbahaya. Ketika hendak mencoba menghindar, ia tercebur ke laut. Sekilas matanya menangkap ruang gelap di bawah sebuah lengkungan di sebuah bukit karang.

Disuruhnya Melissa membuang sauh, sementara ia berenang ke mulut gua dan lenyap di balik lengkungan batu karang. Pantulan sinar matahari dari permukaan air laut cukup menerangi gua kecil berlantai pasir itu.

Ketika Griffiths muncul kembali, ia memanggil Melissa untuk mengikutinya. Di dalam gua itulah janji Melissa untuk menikah dengan Hector Grifftihs diikrarkan.

Bila cuaca panas, bau busuk yang menusuk akibat ganggang laut yang membusuk tersebar di sekitarnya. Tak heran kalau tempat itu kemudian dijuluki Teluk Busuk.

Ketika ia melewati kembali mulut gua yang tersembunyi itu, rencana pembunuhan itu pun mulai terbentuk dalam benaknya.

Adalah Donleavy yang banyak berjasa kepada Hector memberi tahu tentang hal-hal yang menyangkut pelayaran. Terutama soal siklus pasang surut air laut yang berperiode 28 hari itu. Ditunjukkannya pula tabel-tabel pasang surut. Juga Donleavy yang memberi tahu bahwa tanggal terjadinya pasang surut bisa diramalkan sebelumnya.

 

Tempat ideal untuk pembunuhan

Selama liburan, Janet yang memang pendiam itu terlihat lesu dan tak bergairah. la seperti masih tenggelam dalam kesedihan akibat kematian ibunya. Selain mencorat-coret membuat sketsa, kelihatannya Janet tidak punya keinginan lain. Kawan pun tampaknya ia tak punya. Cuma kepada dua orang bibi Melissa yang sudah tua yang tinggal di Stockport, Janet selalu menyempatkan diri berkirim kartu pos.

Saat air laut mengalami surut yang terendah, Griffiths berlayar sendirian menuju gua itu.

Griffiths mematikan lampu senternya ketika sudah berada di dalam gua setinggi kapel itu. Di sana teronggok reruntuhan batu karang yang menyerupai sebuah pilar yang tinggi. Gua itu sendiri cukup bersih. Tak nampak bekas-bekas seperti kaleng minuman atau bungkus kue yang menandai orang lain pernah pula menemukan tempat itu.

Di tengah gua mengalir parit kecil yang berasal dari rembesan dinding gua. Ia lega, jejak-jejak kakinya lenyap terendam air setelah mencoba menginjak-injak lantai pasir itu.

Rasanya tak mudah menaiki pilar itu sebab batu-batu besar itu bergoyang-goyang ketika dipegang, sementara batu-batu kecil berguguran terinjak kaki. Meski begitu, sampai juga ia di puncak reruntuhan yang tingginya sekitar 4,5 m itu.

Ia merogoh sakunya mengambil selembar kantung kertas, yang lantas ditiupnya hingga sebesar kepala. Dilepasnya kantung kertas itu ke bawah, lalu ia mencoba melemparinya dengan batu-batu besar. Kantung itu akhirnya meledak, setelah lemparannya telak mengenai sasaran. Serpihan kertas berserakan di hamparan pasir yang lembap.

Hector Griffiths meninggalkan gua dan kembali untuk makan siang bersama anak tirinya.

 

Kartu pos tidak dikirimkan

Dalam pekerjaannya sebagai manajer, Griffiths tahu kemasan bisa mematikan produk yang baik, tapi sebaliknya bisa membuat produk yang tidak baik jadi laku dijual. Kemasan juga bisa membuat produk asli tampak palsu, tetapi dapat pula membuat produk lama tampak seperti baru.

Dengan pengertian itu, Hector Griffiths yakin bisa membuat polisi percaya bahwa suatu pembunuhan merupakan kecelakaan dan mayat yang sudah agak lama menjadi tampak seperti agak baru.

Seperti terhadap hal-hal yang lain, ia biasa menyusun rencana dengan baik. Kebetulan korban yang hendak dibunuhnya memiliki sifat yang bisa dimanfaatkannya untuk mendukung keberhasilan rencananya, yakni sikap malas. Ketika itu Janet meminta tolong ayahnya mengeposkan kartu-kartunya untuk kedua bibi Melissa di Stockport.

Griffiths tidak mengeposkannya, tetapi menyimpan saja kartu-kartu itu ke dalam map biru.

Tak banyak yang harus dilakukan Griffiths setelah itu. Maka ia menghabiskan sisa waktunya di Cornwall untuk bermanis-manis dengan Janet dan minum-minum bersama Donleavy di Yacht Club.

Di sana ia mendengarkan pengalaman Donleavy tentang kelautan. Sementara ia sendiri bercerita soal anak tirinya. Griffiths mengaku tak merisaukan apa-apa tentang Janet, kecuali bahwa Janet terlalu pendiam. Ia sudah berusaha menyenangkan hatinya, tetapi tampaknya yang ingin dilakukan Janet hanyalah bermenung-menung di sekitar pondok atau berjalan-jalan sendiri. Janet memang sedikit suka melukis. “Bukankah yang berbaju biru dan keluar lewat pintu belakang pondok itu Janet?” kata Griffiths. Donleavy menatap lewat kacamatanya dan mengiyakan, meski terlalu jauh baginya untuk melihat sosok itu dengan jelas.

Bila Griffiths berada di Yacht Club pada malam hari, ia berusaha menarik perhatian Donleavy untuk melihat lampu-lampu pondok yang dipadamkan ketika Janet hendak pergi tidur. Ia selalu tidur menjelang pukul 22.30. Janet memang gadis yang aneh.

Donleavy tertawa. Katanya, setahun lagi gadis itu akan berubah menjadi gadis yang siang malam dikunjungi teman-teman prianya. Tetapi Griffiths tidak berharap demikian.

 

Menyimpan koran

Liburan musim panas itu pun berlalu.

Ketika Griffiths kembali ke kantornya, ia menemukan surat berisi pemberitahuan tentang akan dilangsungkannya Intersan, sebuah pameran internasional pembersih untuk rumah tangga di Hamburg yang dimulai tanggal 9-17 September tahun depan.

Ini kesempatan baik, pikirnya. Ia menelepon wakilnya dan meminta dia mewakili perusahaan ke pameran yang masih akan berlangsung cukup lama itu.

Pada tanggal 14 September, Hector Griffiths menyimpan secarik Surat Kabar Daily Telegraph dalam map biru bersama kartu-kartu pos Janet.

Tampaknya, tak ada masalah untuk “memainkan” waktu pembunuhan. Namun, rasanya masih ada sesuatu yang kurang ketika ia meneliti kembali rencananya. Ya, ia memerlukan barang bukti yang mendukung keberhasilan proyeknya. Maka, sementara ia mencurahkan pikirannya pada soal pemasaran sikat serba guna yang akan datang, ia tetap membuka pikirannya. Siapa tahu ada inspirasi lain.

Bulan demi bulan berlalu. Griffiths dan Janet berhari Natal dengan tenang di London. Ia merasa lega sebab Janet tidak tampak berubah seperti diramalkan Donleavy. Janet justru semakin pendiam. Satu-satunya perubahan hanyalah bahwa ia ingin meninggalkan sekolahnya. Griffiths setuju, bahkan menyarankan agar Janet meninggalkan sekolahnya pada akhir musim panas, lantas bergabung dengannya selama bulan Agustus di cottage. Di sana mereka bisa memikirkan masa depan Janet.

 

Cokelat memberi ilham

Beberapa bulan sebelum produk sikat serba guna dilempar ke pasaran, Griffiths harus datang ke biro iklan untuk menyetujui kampanye iklan produk baru itu. Ia pun menemui petugas pelaksana jasa periklanan pada biro iklan tersebut.

Tampaknya ia merasa kurang puas. Kepada si petugas ia minta diputarkan iklan TV bagi produk itu, melihat artwork dan rancangan kampanye iklannya.

Setelah menyaksikan iklan TV untuk sikat serba guna itu, Griffiths iseng-iseng bertanya kepada petugas itu, proyek apa lagi yang sedang dikerjakannya.

Pria muda itu menjawab, ia sedang menangani iklan permen cokelat kacang baru untuk suatu perusahaan makanan terbesar di negeri ini. Nama permen itu Nuggy Bar. Kampanye besar-besaran akan dilakukan di seluruh negeri lewat surat kabar, gedung bioskop, TV dan radio. Produk itu sudah diuji coba di wilayah Tyne-Tees dan baru setelah tanggal 10 September makanan itu dilempar ke pasaran dan akan bisa dibeli di setiap toko di negeri itu. Griffiths mencicipi sepotong Nuggy Bar yang dibungkus kertas warna emas dan biru. Pria muda itu mempersilakan ia mengambil sebanyak ia suka. Hati Griffiths berdebar karena ia merasa bisa memanfaatkan Nuggy Bar untuk rencana pembunuhannya.

Dimasukkannya cokelat itu ke dalam sakunya. Sebelum pergi, ia berpesan kepada petugas biro iklan itu untuk memperbaiki iklan TV sikat serba guna yang sepertinya dibuat serampangan itu.

 

Belanja untuk peralatan

Untuk menunjang proyek pembunuhannya, pada bulan Juni Hector Griffiths membeli sebuah perahu karet dan sebuah motor tempel pada agen perahu yang kurang dikenal di London Utara.

Akhir minggu berikutnya ia pergi ke Cornwall. Setelah berkonsultasi dengan Donleavy, ia membeli perahu karet satu lagi berikut motornya.

Tiga hari kemudian di toko yang tak bernama, ia membeli semacam alat yang bisa disetel untuk mematikan lampu secara otomatis. Lantas dengan sembunyi-sembunyi dibelinya boneka karet berbentuk wanita yang bisa ditiup. Di toko lain, ia membeli sepasang sarung tangan dari karet.

Pelemparan produk sikat serba guna ke pasaran berlangsung sukses. Selama menunggu keberangkatannya ke Hamburg, wakil Hector mengambil cuti selama dua minggu pada bulan Juli. Sebelum pergi, ia menyiapkan berkas yang harus ditandatangani manajer produksi untuk kelanjutan produksi pembersih noda. Berkas itu merupakan pemberitahuan resmi kepada bagian produksi agar menyediakan suplai yang cukup untuk memenuhi pesanan bulan November.

Sang wakil manajer menaruh berkas itu di meja Griffiths. Ia senang ketika mendengar Griffiths akan mengambil cuti musim panas sepanjang bulan Agustus, ditambah dua minggu bulan September. Rupanya, sang manajer hendak memberi kesempatan kepada pejabat muda untuk menambah pengalaman. Buktinya, ia dikirim untuk mewakili sang manajer ke pameran internasional itu.

Namun, wakil Griffiths yang masih muda itu tidak tahu bahwa akhirnya berkas itu dibakar oleh Griffiths.

 

Agak bau

Akan halnya Janet, akhirnya ia meninggalkan sekolahnya di Yorkshire dan tinggal bersama dengan ayah tirinya di London. Seperti direncanakan, awal buIan Agustus mereka pergi ke Cornwall.

Sikap Janet tetap pendiam seperti biasa. Griffiths memintanya untuk terus melukis dan tak jarang Griffiths mengajaknya naik perahu motor atau perahu karet barunya. Bila bertemu Donleavy di Yacht Club, ia mengadu tentang sikap anak tirinya itu. Dari tempat itu Griffiths menunjuk ke luar, ke arah Janet yang tampak sedang melukis di luar pondok. Donleavy cuma melihat samar-samar sosok gadis itu lewat kacamatanya.

Malam itu Griffiths mencoba berbicara dengan Janet tentang kariernya, tetapi Janet sulit diajak bicara soal itu. Apakah Janet sudah membicarakannya dengan temannya? Atau gurunya di sekolah? Tak adakah orang yang bisa ia hubungi lewat telepon dan bicara soal itu?

Janet akhirnya memberi ayahnya nomor telepon dan nama ibu asramanya. Nomor telepon itu ditulisnya di atas secarik kertas yang disodorkan Griffiths. Janet tidak tahu bahwa kertas itu adalah sobekan Koran Daily Telegraph. Tulisan yang masih tersisa dari koran itu hanyalah tanggal terbitnya: 14 September 19...

Griffiths terus berusaha membuat hati Janet senang. Diberinya gadis itu sepotong cokelat Nuggy Bar, yang belum beredar di pasaran. Untuk menyenangkan hati ayah tirinya, Janet memakan juga cokelat itu, walaupun terasa agak berbau.

 

Mengajak boneka berperahu

Tanggal 17 Agustus 1941 air laut mengalami surut yang terendah. Griffiths membujuk Janet ikut melakukan perjalanan dengan perahu motor pada pukul 18.30 malam itu. Gadis itu tak begitu bergairah, tetapi juga tidak menolak.

Dengan perahu motor dan sampan karet yang diseret di belakang, mereka meluncur menuju ke Teluk Busuk. Tangan ayahnya yang memegang kemudi terbalut sarung tangan karet. Alasannya, takut kotoran masuk ke dalam lukanya akibat tergores tali pancing sehari sebelumnya.

Sepanjang perjalanan pun Janet tampak tidak ceria. Sebaliknya, Griffiths begitu senang ketika melihat sebuah lubang di batu karang. Ia membawa perahunya mendekati batu karang itu. Bau busuk semakin tajam menusuk. Setelah melabuhkan perahunya, setengah memaksa ia menyuruh Janet naik ke perahu karet. Mereka meluncur dengan susah payah menuju ke batu karang itu.

Ombak laut mendorong perahu karet itu ke atas pasir di dalam gua.

Griffiths menunjukkan sikap heran kepada Janet, seolah baru kali ini menemukan tempat itu. Ia melompat turun ke air yang dangkal, sambil memberi isyarat kepada Janet untuk mengikutinya. Macam anak kecil kegirangan menemukan apa yang diinginkan, Griffiths mengajak Janet menjelajahi gua. Mungkin lubang kecil ini menuju ke gua yang lebih besar. Siapa tahu di puncak reruntuhan batu itu ada pintu Iain? la memanjat pilar itu diikuti Janet.

Ketika sampai di puncak pilar, tiba-tiba Griffiths pura-pura terpeleset. Tubuhnya melorot menimpa Janet hingga gadis itu terjerembab di dasar gua. Karena wajahnya menghadap ke bawah, Janet tidak tahu sebuah batu besar melayang dan menghantam kepalanya.

Suara ledakan itu mirip letupan kantung kertas pernah diledakkannya. Cuma yang ini lebih keras. Guncangan yang timbul akibat benturan itu cukup membuat batu-batu kecil dari langit-langit gua berguguran. Keadaan ini justru menguntungkan Griffiths, sebab kesannya Janet tewas akibat runtuhnya batu-batu gua.

Griffiths pun merasa puas sebab Janet tidak mendarat di parit kecil di dalam gua. Bila mayatnya nanti ditemukan, pakaian Janet tidak basah kena air. Sehingga kesannya Janet masuk ke gua itu dengan perahu karet pada saat air laut surut paling rendah.

Dengan hati-hati Griffiths turun. Darah dan otak dari kepala Janet yang terluka tampak memerciki pasir. Gadis itu tewas.

Dengan tangan terbungkus sarung, diselipkannya sobekan koran bertuliskan nomor telepon itu ke saku Janet. Juga sepotong cokelat Nuggy Bar yang dikit terbuka bungkusnya.

Kembali ke perahu, ia membuka kain terpal penutup perahu karet satunya lagi dan menggandengnya di belakang. Kemudian ia meluncur kembali ke pondoknya. Air laut pun kian meninggi.

Hector Griffiths masih punya sisa waktu hampir sebulan dari liburan enam minggunya di Cornwall. Hari-hari itu dilewatinya dengan tenang dan damai. Ia banyak menggunakan waktunya untuk minum-minum bersama Donleavy di Yacht Club.

Ia menyatakan kepada Donleavy, dan orang-orang yang kebetulan mendengarnya, pekerjaan apa yang sesuai bagi gadis pendiam macam Janet. Bila sedang makan siang, tak jarang ia akan menunjuk ke luar pada sosok berbaju biru yang sedang melukis di luar pintu belakang pondoknya. Bila malam hari, ia akan berkomentar waktu melihat lampu pondok dipadamkan.

Setiap pagi sebelum pergi, ia mengecek alat pemadam lampu otomatis itu. Karena tak ingin cepat menimbulkan kecurigaan, Griffiths memindah-mindahkan boneka wanita itu. Seringkali juga ditaruhnya di dalam pondok. Bahkan satu dua kali ketika hari mulai gelap, ia membawa boneka itu naik perahu karet. Setiap kali melewati pelabuhan, ia melambai-lambaikan tangan kepada para nelayan di dermaga.

Di akhir bulan Agustus, ia mengeposkan kartu-kartu Janet kepada para bibi Melissa di Stockport. Kartu-kartu itu sebetulnya ditulis Janet setahun sebelumnya.

Pada minggu pertama bulan September, ia masih terus berkeliling dengan perahunya sambil menanti datangnya kejutan dari perusahaan tempatnya bekerja.

 

Memfitnah

Tanggal 5 September muncullah kejutan yang ia nantikan. Kejutan itu berupa telegram — pondok itu memang tak punya telepon — dari wakil manajernya yang menyatakan bahwa Gliss sedang mengalami kesulitan. Ia diminta segera menelepon.

Griffiths menelepon wakilnya dari Yacht Club. Rupanya ada yang tak beres dengan berkas yang menjamin kelanjutan produksi bahan pembersih noda. Pihak pabrik merasa belum menerima berkas itu. Akibatnya, tidak ada stok untuk memenuhi pesanan bulan November.

Hector Griffiths marah besar kepada wakilnya yang tak bisa dipercaya melaksanakan tanggung jawab yang paling sederhana sekalipun. Tentu orang muda itu protes, sebab ia yakin sudah melakukan pekerjaannya dengan benar. Untuk mengatasi hal itu, dimintanya sang wakil manajer menemui semua agen dan minta maaf. Alasannya, masalah ini tak bisa diselesaikan begitu saja lewat telepon, apalagi surat.

Griffiths pun membatalkan kepergian wakil manajernya ke pameran internasional di Hamburg. Terlalu banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan orang muda itu gara-gara keteledorannya. Namun, di pihak lain perusahaan harus mengirimkan wakilnya. Untuk itu Griffiths sendirilah yang hendak berangkat ke sana.

Griffiths meletakkan gagang telepon. Sambil menggerutu, ia menemui Donleavy di bar. Dikatakannya kepada Don, ia terpaksa mengakhiri liburannya yang masih beberapa hari itu hanya karena kecerobohan wakilnya. Orang-orang muda tidak punya rasa tanggung jawab, begitu gerutunya.

Griffiths pun menelepon orang-orang manajemen Gliss dan mengatakan betapa ia mendadak harus pergi ke Hamburg. Ia kecewa dengan perubahan rencana itu. Pada tanggal 6 September, hari terakhir Griffiths berada di Cornwall, ia membuang ke tengah laut semua peralatan yang sudah tidak diperlukan lagi. Perahu karet, boneka wanita, sarung tangan dan pemadam lampu dibebaninya dengan batu-batu dan motor tempel supaya tenggelam.

Malamnya ia datang dan berpamitan kepada Donleavy di Yacht Club. Ia mengaku agak cemas tentang Janet dan mengatakan bahwa Janet kini terserang depresi berat. Sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Janet sendirian di pondok itu. Meski Janet bilang mau ikut pulang, Griffiths tidak yakin akan lebih bahagia bersama Janet di London. Lagi pula ia harus melakukan perjalanan sialan itu. Bahkan ia pun tidak mampu lagi mengubah sikap Janet. Donleavy cuma berkomentar, wanita memang makhluk aneh.

 

Cokelat kacang untuk menyesatkan

Dalam perjalanan pulang ke London dengan Mercedesnya tanggal 7 September, Grifftihs menilai kembali hal-hal yang perlu dilakukan sepulang dan Hamburg. Gara-gara krisis produksi sikat serba guna itu, ia jadi punya alasan yang sah untuk menunda kepergiannya kembali ke Cornwall selama satu atau dua minggu lagi. Jika Janet tidak mengadakan kontak dengannya, ia akan mengiriminya surat.

Jika surat-suratnya tak juga dibalas, ia mulai memperlihatkan kecemasannya, lantas pergi ke Cornwall menengok Janet.

Begitu menemukan surat-suratnya masih tertutup, ia akan langsung kembali ke London dengan membawa kabar bahwa anak tirinya hilang. Lalu ia akan menelepon ibu asrama Janet dan kedua bibi Melissa di Stockport. Bila tidak mendapat keterangan tentang Janet dari mereka, ia akan menelepon polisi.

Kepada mereka ia juga akan menyatakan bahwa Janet memang ingin ikut pulang ke London, ketika Griffiths terpaksa mengakhiri liburan sebelum waktunya. Ia pun harus mengatakan bahwa Janet tampaknya mengalami depresi. Namun, bahwa ia kehilangan perahu karet, baru akan dilaporkannya belakangan.

Ia berharap mayat Janet baru ditemukan polisi empat bulan setelah pembunuhan yang terjadi tanggal 17 Agustus. Sebab, menurut buku yang dibacanya, sulit memastikan tanggal kematian secara tepat setelah mayat berumur empat bulan. Lantas polisi akan segera menemukan mayat Janet setelah ia melaporkan bahwa suatu kali anak tirinya itu pernah bercerita tentang sebuah gua yang ditemukan Janet pada saat air pasang rendah.

Karena tanggal kematian sulit dipastikan dari mayat sudah membusuk, pihak polisi akan menetapkannya lewat barang bukti lain. Keberadaan perahu karet dalam gua dan keringnya pakaian Janet akan menjadi petunjuk bahwa ia masuk ke gua itu pada saat air laut surut, sehingga perkiraan tanggal kematian bisa ditentukan dari situ.

Selain mungkin pernyataan penduduk setempat yang melihat perahu itu, kalau bukan gadis itu, sampai beberapa hari sebelum Griffiths berangkat ke London pada 7 September, ada bukti-bukti lain, yang bisa ditemukan dalam saku Janet. Pertama, sepotong Nuggy Bar, yakni permen cokelat kacang yang belum beredar di toko-toko sampai tanggal 10 September. Kedua, secarik koran bertanggal 14 September yang bertuliskan nomor telepon. Karena tanggal 14 September termasuk dalam periode terjadinya spring tide (periode di mana permukaan air laut mengalami pasang naik yang tertinggi dan pasang surut yang terendah), polisi tidak akan ragu-ragu lagi menyatakan Janet Wintle tewas pada tanggal 14 September.

Padahal pada tanggal tersebut Griffiths akan berada di Hamburg pada pameran internasional itu.

Maka, bila Griffiths nanti mendengar kabar tentang musibah yang terjadi tak lebih dari dua tahun setelah kematian Melissa, ia harus ikhlas menerimanya. Warisan yang akan jatuh ke tangannya nanti akan tampak seolah kurang berarti ketimbang kesedihannya atas kematian istri dan kemudian anaknya.

 

Cokelat sialan

Pada hari sebelum berangkat ke Hamburg, tiba-tiba Griffiths merasa panik. Bagaimana jika salah seorang bibi Melissa di Stockport itu ternyata sudah meninggal? Mereka memang sudah agak tua, tetapi jika sudah meninggal, Janet pasti tahu. Janet takkan mungkin mengirim kartu pos kepada orang yang sudah meninggal.

Griffiths tak mau ambil risiko. Ia menelepon kedua nenek itu dengan berpura-pura menanyakan nama lengkap mereka yang hendak dicantumkannya dalam sebuah formulir yang harus diisinya. Ternyata keduanya masih segar bugar. Mereka malah menyatakan amat senang menerima kartu-kartu pos dari Janet.

Griffiths menarik napas lega. Kini semuanya beres. Ia bisa keluar negeri dengan dada lapang.

Kemudian ia menelepon ke Gliss untuk mengecek apakah ada hal-hal lain yang mendesak untuk dikerjakan sebelum ia pergi.

Ternyata ada sebuah pesan yang memintanya untuk segera menelepon biro iklan sehubungan dengan iklan TV sikat serba guna. Persis sebelum ia akan menaruh gagang telepon, Griffiths bertanya kepada petugas iklan yang masih muda itu, “Semua sudah diatur untuk melemparkan produk ke pasaran?”

“Melempar produk?” 

“Tanggal 10. Permen cokelat itu.” 

“Ya, Tuhan. Sudahlah, jangan bicara soal Nuggy Bar. Manajer produksi sialan itu merasa khawatir.” 

“Khawatir?” 

“Ya. Ia orang baru dan khawatir produk itu tidak akan laku.” 

“Apa?”

“Mereka menerima laporan dari Tyne-Tees tempat produk itu diuji. Hampir 40% sampel ternyata agak berbau.”

“Lalu, apa yang akan dilakukan?”

“Manajer produksi sialan itu akan menunda pelemparan produk itu ke pasaran.”

“Menunda?” 

“Ya. Tampaknya ia kebingungan.” 

“Tetapi, ia tidak bisa mundur dalam keadaan seperti Itu. Bukankah mereka sudah teken kontrak dengan pihak TV, surat-surat kabar dan ....”

“Bisa saja ia mundur, jika kontrak belum dibayar ...”

Tak pernah Griffiths melarikan mobilnya sekencang itu di jalanan menuju Cornwall. AC mobil itu pun tak mampu membendung keringatnya. 

Tak kalah kencang Griffiths melarikan perahu motornya menuju ke Teluk Busuk.

Air laut cukup rendah, tetapi tidak cukup banyak menampakkan mulut gua itu. Sudah lebih dari seminggu terjadi pasang naik yang tinggi. Ia harus menyelam berulang kali untuk menemukan mulut gua. Ketika gelombang datang menyapu, terasa punggungnya yang telanjang tergores batu karang. Namun, ia terus berjuang naik ke atas pasir yang basah.

Ia menyesal tidak membawa lampu senter ketika menyadari gua itu gelap. Namun, ketika ia terbaring kelelahan di atas pasir, lama-lama keadaan di dalam gua semakin jelas. Ada sedikit cahaya dari pantulan air di bawah mulut gua.

Tiba-tiba ia tersadar oleh bau busuk yang tajam menusuk. Sambil mendekap hidung, ia melangkah mendekati sumber bau tak sedap itu.

Dengan mata menatap ke arah lain, ia meraba-raba pakaian dari sumber bau tak sedap yang ternyata mayat Janet.

Rasa lega mengguyur seluruh tubuhnya setelah menemukan Nuggy Bar itu. Walaupun kondisi tubuhnya terasa lemas, ia masih merasa bahwa semua akan beres: keluar dari gua, naik perahu, kembali ke London, kemudian besoknya ke Hamburg. Meskipun penduduk setempat melihatnya, ia tak peduli. Toh sobekan koran dan keringnya pakaian Janet cukup kuat untuk menetapkan tanggal kematian Janet.

 

Seperti ledakan kantung kertas

Air pasang semakin naik, bahkan sempat masuk ke dasar gua. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mencebur ke dalam air. Sayang, gelombang laut mendorongnya kembali ke gua.

Ia terus mencoba dan mencoba, tetapi setiap saat justru semakin sulit. Kian lama gelombang makin kuat, sementara tubuhnya justru kian melemah. Griffiths terbaring kelelahan di atas pasir.

Ia coba memusatkan pikirannya untuk memiliki kembali kemampuannya menyusun rencana. Namun, serangan gelombang dan bau mayat yang membusuk membuyarkan konsentrasinya.

Akhirnya ia menemukan kemungkinan lain untuk keluar dari gua dan kepungan air laut. Ia ingat ia pernah membohongi Janet. Waktu itu ia mengajaknya memanjat pilar itu untuk melihat apakah ada pintu lain di sana. Bahkan Griffiths sendiri kini menduga ada jalan lain ke luar gua.

Akhirnya dengan sangat hati-hati ia memanjat pilar yang tersusun dari batuan lepas. Ia merasa menemukan harapan ketika matanya menangkap setitik cahaya.

Namun, ia hanya melihat tumpukan batu-batu karang yang lepas-lepas. Siapa tahu timbunan batu itu menutupi jalan masuk lain, sebuah gang atau lorong tua bekas sarang penyelundup.

Ia mencoba mati-matian menyingkirkan batu-batu itu sampai tangannya terluka. Sejumlah batu kecil berhasil disingkirkan, tetapi batu-batu yang lebih besar tak bergeming. Ketika ia berusaha menarik sebongkah batu besar, tiba-tiba sebuah batu besar lain tergeser. Griffiths melompat mundur waktu mendengar suara bergemuruh. Batu-batu berguguran, berderai-derai dan jatuh berdebam di dasar gua. Tampaknya sia-sia usahanya. Maka ia pun turun untuk mencoba kembali keluar lewat mulut gua yang berhadapan dengan gelombang laut.

Dengan sangat hati-hati ia melangkah maju. Namun, tanpa disadarinya sebongkah batu besar tiba-tiba terlepas dan melayang, lalu mendarat tepat di batok kepalanya. Suara letusan itu mirip kantung kertas yang meledak, cuma lebih keras. 

Hector Griffiths terguling di atas pasir dan tewas. Ketika itu tanggal 8 September.

Perahu yang ditinggalkannya di luar gua perlahan-lahan mulai hanyut terbawa ombak karena ditambatkan dengan terburu-buru.

 

Sepotong permen cokelat untuk patokan

Mayat Hector Griffiths ditemukan empat bulan setelah kematiannya. Polisi berhasil menemukannya berkat petunjuk yang mereka temukan dalam sebuah buku harian mendiang istrinya. Di sana diceritakan tentang sebuah gua rahasia tempat mereka pernah memadu cinta. Polisi menduga Griffiths pergi ke gua itu dengan perahunya lantaran terbawa oleh ingatan kepada mendiang istrinya. Namun, ia terjebak oleh air pasang dan tewas karena runtuhan batu. Pada pakaiannya ditemukan noda air garam sebab ia tergeletak begitu dekat dengan batas pasang naik yang tinggi.

Sulit untuk menentukan tanggal kematiannya secara pasti setelah sekian lama. Namun, berdasarkan tabel pasang surut, yang menurut Letkol Donleavy, Griffiths sangat tertarik pada soal itu, tampaknya sangat mungkin Griffiths tewas pada tanggal 14 September. Ini diperkuat dengan ditemukannya sepotong Nuggy Bar dalam sakunya, permen cokelat baru yang sudah beredar di pasaran sejak tanggal 10 September.

Jenis permen cokelat baru itu, akhirnya, jadi dilempar ke pasaran. Soalnya, sang manajer produksi Nuggy Bar — setelah membatalkan pelemparan produk itu — mendadak teringat satu petunjuk yang pernah didengarnya ketika ia mengikuti kursus manajemen di Perusahaan Gliss, yakni:

SEKALI ANDA MENGAMBIL KEPUTUSAN POKOK TENTANG PRODUK ITU DAN MENETAPKAN WAKTU PELEMPARANNYA KE PASARAN, JANGAN LAGI TERPENGARUH OLEH PIKIRAN YANG TIMBUL KEMUDIAN.

Karena itu ia mencabut kembali pikiran-pikiran yang timbul akibat pengaruh dari hasil uji coba yang menyatakan bahwa 40% sampel cokelat itu agak berbau. Kampanye iklan produk itu pun terus berlangsung seperti direncanakan.

Mayat anak tiri Hector Griffiths, Janet Wintle, malah tak pernah ditemukan. Adalah kedua wanita tua di Stockport itu yang beruntung mewarisi kekayaan Melissa yang tidak kecil itu. (Margaret Allingham).

Baca Juga: 'Kasih' Ibu Berakhir di Penjara

 

" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682499/maut-di-teluk-busuk" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301601000) } } [2]=> object(stdClass)#113 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3643231" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#114 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/saling-selingkuh-berakhir-maut-20230105040747.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#115 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(137) "Seorang anak menemukan ayahnya mabuk di dapur, sementara ibunya tewas di sauna dan terkunci di dalam. Apakah ini sebuah kasus bunuh diri?" ["section"]=> object(stdClass)#116 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/saling-selingkuh-berakhir-maut-20230105040747.jpg" ["title"]=> string(31) "Saling Selingkuh, Berakhir Maut" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 16:08:30" ["content"]=> string(29922) "

Intisari Plus - Seorang anak menemukan ayahnya mabuk di dapur, sementara ibunya tewas di sauna dan terkunci di dalam. Apakah ini sebuah kasus bunuh diri?

--------------------

Gothenburg, kota kedua terbesar di Swedia yang berpenduduk sekitar 500.000 jiwa, terletak jauh ke arah utara tempat air dingin di Skagerrak bercampur dengan air dingin dari Kattegat. Pada musim salju matahari benar-benar hampir tak tampak di kawasan ini. Sebaliknya di bulan penuh, matahari terus bersinar sepanjang malam. Saat-saat seperti itulah yang amat dinantikan warga Kota Gothenburg, karena musim panas bisa dinikmati secara penuh.

Siang itu, pukul 13.00, Eric Larson, pemuda 17 tahun, sudah sampai di rumahnya di Overlida, sebuah kota kecil yang berjarak ± 30 mil ke arah timur Gothenburg. Bersama dengan teman-teman sebaya ia baru saja berpesta musim panas di berbagai tempat.

Betapa terkejutnya ketika memasuki rumah, ia dihadang pemandangan mengerikan yang seumur-umur belum pernah disaksikannya. Sang ayah Anders Larson, (54), yang sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi tak tetap, tergeletak bengong di atas meja dapur. Aroma alkohol yang berhamburan dari mulutnya menandakan ia lagi mabuk. Padahal selama ini lelaki tersebut bukan seorang yang gemar minum minuman keras. Sepengetahuan Eric, kalau tidak ada pekerjaan ayahnya justru lebih suka tidur sepanjang hari.

“Di mana Ibu?” ujar Eric karena tidak tahu harus berkata apa. 

“Kami baru saja bertengkar,” gumam sang ayah, “Ia pergi ke ruang sauna.”

Seperti lazimnya dalam kehidupan rumah tangga, Eric pun tahu orang tuanya kadang-kadang bertengkar meski tidak sampai harus berbaku hantam. Rupanya lelaki beranak satu ini minum sampai mabuk sebelum akhirnya sang istri menenangkan diri di ruang sauna keluarga yang terletak di ruang bawah tanah. Eric segera meninggalkan dapur dan menuju ke ruang sauna dengan harapan akan memperoleh penjelasan dari sang ibu tentang apa yang baru saja terjadi di rumah ini.

Ketika mulai menuruni tangga, ia mencium bau aneh seperti kayu terbakar bercampur dengan benda lain. Bau itu mendadak membuat perutnya mual. Di lain pihak karena berpikiran macam-macam, bulu kuduk Eric sempat berdiri. Merinding.

Pintu ke ruang sauna, sebuah ruangan berbentuk segi empat hasil rakitan ayahnya, terkunci rapat. Setelah dibuka ia merasa suhu di tempat itu normal seperti biasa digunakan. Namun, pemanas sudah dimatikan. Sekelebat terpikir di benaknya, jika ruang sauna tidak panas, apa yang menyebabkan sesuatu terbakar?

Terdorong rasa penasaran untuk segera menemui ibunya, Eric Larson buru-buru menepis kecurigaan yang menghinggapi benaknya. Matanya segera menyapu ke segenap ruang dan untuk kedua kalinya ia dikejutkan dengan pemandangan yang lebih mengerikan. Ibunya tergeletak di lantai tak jauh dari pintu dalam keadaan telanjang. Siapa pun lelaki pasti mengakui, dalam usianya yang sudah 52 tahun bentuk tubuh Karine Larson tetap ramping dan bagus bak tubuh seorang penari. Rambutnya yang pirang dan berombak dipotong pendek. Tetapi, kenapa kulitnya sembap hampir mirip warna coklat kayu mahoni?

Di dekat tubuh ibunya Eric melihat sepotong ranting kayu tergeletak dalam keadaan terbalik di lantai. Kayu lapis dan minyak pembakar berserakan di sekitarnya. Pasti telah terjadi sesuatu yang tak beres!

 

Kecelakaan atau dibunuh?

Wanita yang masih menyisakan kecantikan ini tangannya sudah menghitam berlumur darah kering. Sementara pundak dan mukanya rusak sehingga kelihatan mengerikan. Dengan perasaan kalut bercampur takut, Eric memegang lengan ibunya dan berusaha memangkunya. Tetapi astaga! Lengan itu malah terlepas.

Peristiwa yang dialaminya di rumah dalam sekejap membuat Eric shock berat. Ia tak mampu lagi menahan emosinya. Pemuda tanggung ini segera menghambur ke luar rumah dan berteriak-teriak minta tolong kepada para tetangganya. Atas inisiatif tetangganya pula Eric segera dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans. Beberapa saat kemudian polisi dan tim medis berdatangan ke TKP (tempat kejadian perkara). Dokter Leif Halverstrom yang bertubuh pendek dan sudah beruban dari Kota Boras, jaraknya 15 mil dari sebelah timur Overlida, lantas memeriksa jenazah Karine Larson. Dari tingkahnya didapat kesan bahwa ia sendiri sulit untuk menyembunyikan ketidaktenangannya menghadapi kasus ini.

“Dipanggang!” seru Halverstrom dengan rasa tidak percaya. “Ia sudah dipanggang bahkan sampai ke organ-organ tubuh bagian dalamnya.”

“Anak malang!” gumam Inspektur Bjorn Svensson, kepala polisi dari bagian pembunuhan. “Sangat mengejutkan! Barangkali sulit sekali dr. Leif Halverstrom bisa mengatasi,” tambahnya.

Ketika memasuki rumah Larson, mereka menemukan Anders dalam keadaan tidak sadar di dapur. Mereka mengira Larson kena serangan jantung karena rasa tertekan. Ternyata Larson cuma mabuk.

Karena curiga Karine Larson mengalami kecelakaan, mereka mencari wanita itu dan menemukannya di ruang sauna. Lengannya terpisah dari tubuhnya. Segera kru medis disuruh polisi turun ke lantai bawah tanah.

Saat itu hari Sabtu pagi di musim panas. Tak seorang pun tahu apa yang jadi penyebab kematian Karine. Yang pastil kematian itu tidak wajar. Berbagai analisis sesaat segera muncul, mungkinkah ini kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan?

Regu penyelidik pembunuhan tidak menemukan orang lain yang bisa memberi informasi kepada mereka. Eric sudah dibawa pergi ke rumah sakit dan diberi obat penenang. Mungkin dibutuhkan waktu cukup lama sebelum terapi psikiatri bisa mengatasi shock secara emosional akibat kematian ibunya yang mengerikan.

Sementara Anders Larson masih tergeletak tanpa sadar melintang di atas meja dapur, para tetangga sudah kembali ke rumah masing-masing. Dalam suasana yang mencekam, petugas paramedis, dokter, dan Inspektur Svensson bekerja keras menyelidiki dan menganalisis keadaan rumah. Inspektur tinggi besar yang berambut pirang dan bermata biru jernih itu cepat-cepat menuju ke lantai bawah tanah. Sementara Sersan Detektif Nils Sorenson yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka tajam tetap berada di dapur bersama Larson.

 

Bak macan betina mengamuk

Saat mereka kembali ke atas, Sersan berhasil menyadarkan Larson dengan cara mengguyurkan air kran di wajahnya. Perlakuan itu memang sempat membuat Larson marah.

“Siapa Anda? Apa yang Anda inginkan?” tanyanya dengan suara masih di bawah pengaruh alkohol.

“Inspektur Svensson, polisi kriminal dari Boras,” jawab yang ditanya sambil memperlihatkan identitas resmi. “Siapa nama Anda? Apakah Anda pemilik rumah ini?” Larson menyebutkan namanya dan mengatakan dialah pemilik rumah itu.

“Apakah yang Anda inginkan dari saya?” tanyanya, “Minum-minum di rumah sendiri tentu bukan suatu pelanggaran undang-undang ‘kan? Apakah Karine memanggil dan mengadukan kepada Anda soal pertengkaran kami?”

“Anda bertengkar dengan istri, Tuan Larson?” kata Inspektur. “Di manakah istri Anda?”

“Di ruang sauna,” kata Larson. “Mengapa?”

“Anda ditangkap karena dicurigai melakukan pembunuhan,” kata Inspektur dengan sikap hormat. “Ingat, semua yang Anda katakan akan dicatat dan bisa digunakan untuk melawan Anda. Anda tidak perlu mengeluarkan pernyataan dan berhak didampingi pengacara resmi jika Anda rasa perlu. Saya akan memanggil Anda untuk bicara secara baik-baik.”

Larson, lelaki gemuk dan berkepala botak ini, sesaat memandang Inspektur itu dengan mata seperti mata banteng. Dalam sekejap Larson hilang dari mabuknya.

“Karine!” serunya dengan suara serak. “Apa yang terjadi pada Karine?”

Inspektur tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya. Yang jelas beberapa saat kemudian, Larson dibawa ke kantor polisi pusat Boras dan menjalani interogasi. Bagaimanapun ia tidak segera dijadikan tertuduh. Tak seorang pun tahu apakah Karine Larson mati karena bunuh diri setelah bertengkar dengan suaminya.

Sementara itu seluruh staf teknis polisi kriminal diterjunkan untuk menyelidiki lebih detil rumah di Overlida dan mencoba mencari-cari sesuatu yang bisa dipakai sebagai petunjuk membuka tabir gelap kematian Karine. Mayat Karine masih tergeletak di ruang sauna dan tidak boleh dipindahkan sampai penyelidikan itu tuntas.

Dr. Halverstrom masih berkutat di sekitar mayat. Ia lagi pusing memutar otak. Tampaknya kematian itu agak aneh dan mau tak mau Harverstrom harus menunggu sampai autopsi selesai.

Tidak ada yang tahu bahwa Eric telah mengangkat tubuh ibunya sebelum lengan yang lembek itu jatuh. Jadi mayat itu pasti tidak dibiarkan tergeletak lebih lama lagi di atas siluet coklat yang terbentuk dari cairan yang tertumpah di lantai. Hal ini menimbulkan teka-teki bagi para penyelidik, ketika mereka tidak bisa membayangkan siapa yang telah memindahkan jenazah tersebut.

Para tetangga yang mengeluarkan pernyataan, tidak tahu apa-apa mengenai keadaan penemuan mayat itu, sementara Eric pun belum lagi bisa ditanyai. Karena minimnya informasi laporan yang diterima terasa agak sumir.

Menurut analisis sementara, Karine Larson tidak mungkin bunuh diri, tetapi berusaha mempertahankan nyawanya seperti seekor macan betina dari suatu serangan fisik. Sebagai wanita kuat yang bertubuh atletis, Karine Larson menggunakan cabang pohon sebagai alat penghantam. Ia memukulkannya ke pintu sekuat tenaga sehingga cabang itu menjadi berkeping-keping. Kemungkinan sebelum atau sesudahnya, ia menabrak pintu itu dengan bahunya yang telanjang, sehingga tubuhnya terluka dan meninggalkan bekas darah di pintu.

Akhirnya, dalam keadaan putus asa, Karine mengambil bata panas dari tempat pembakaran dan menggedor pintu dengan benda itu. Dugaan itulah yang akhirnya membuat jari tangannya terkelupas. Toh, semua usahanya tidak berhasil. Pintu itu tetap terkunci dan Karine secara perlahan-lahan terpanggang sampai mati.

Laboratorium melakukan tes untuk melihat berapa lama dan pada temperatur berapa Karine melakukan sauna sampai saat ia ditemukan.

 

Teka-teki suhu ruangan 

Dari laporan yang tercatat, saat melakukan sauna atau mayat itu ditemukan, temperatur menunjukkan suhu ruangan. Alat pengontrol suhu mencatat 79°C. Itu merupakan suhu yang biasa digunakan. Meskipun demikian pada dinding bagian dalam dekat alat pemanas ketahuan bahwa ruang itu pernah mendapat pemanasan tinggi. Ini menunjukkan bahwa temperatur mencapai lebih dari 93°C dalam jangka waktu yang lama. Tes tersebut bisa memperkirakan temperatur dan berapa lamanya terjadi pemanasan.

Tak ada petunjuk kenapa Karine tidak meninggalkan ruang sauna. Pintu terbuka, dan seperti yang berlaku secara legal di Swedia, tidak boleh memasang kunci pintu dari luar. Padahal Karine gagal untuk keluar pun karena pintu, sama seperti dinding, dibuat dari dua lapis papan dengan ketebalan ± 4 cm yang diletakkan secara diagonal satu sama lain dan disekrup.

“Jangan cuma dikira-kira,” kata Inspektur, “Wanita itu berjuang seperti binatang yang terperangkap di dalam dan menurut mereka tidak ada petunjuk mengapa ia tidak bisa keluar. Lalu apa yang dikatakan Halverstrom?”

Sersan membaca laporan hasil autopsi, sementara Inspektur membaca hasil dari laboratorium.

“Tidak ada apa-apa,” katanya. Sampai sekarang laporan medis hanya mengatakan bahwa korban terpanggang sampai mati, tetapi hampir tidak ada preseden dalam kedokteran forensik, dan Halsverstrom belum tahu waktu kematian atau bahkan berapa lama waktunya sampai Karine mati. Seseorang menarik sampai terlepas lengannya korban mati. Jari-jarinya terbenam ke arah kanan, ke dalam daging lengan bagian depannya. Ia mengira, mungkin itu tindakan putranya. Mungkin ketika Eric menemukan ibunya, tetapi kini ia masih berada di rumah sakit dan tidak bisa ditanyai.

“Karena menemukan ibunya di situlah yang membuat Eric harus dibawa ke rumah sakit,” kata Inspektur. “Saya ragu-ragu apakah ada yang bisa diperoleh dengan menanyai Eric. Saya yakin ia tidak tahu apa-apa mengenai hal itu.”

“Bagaimana dengan Larson?” tanya Sersan.

“Memang, orang pertama yang dicurigai dalam suatu pembunuhan selalu pasangan hidupnya,” kata Inspektur sambil mengangkat bahu. “Tapi apakah ini suatu pembunuhan?”

“Anda maksudkan kasus ini suatu kecelakaan?”, kata Sersan. “Pintu dalam keadaan terkunci.”

Inspektur terdiam sejenak karena tidak bisa memikirkan apa-apa.

“Bukan,” katanya kemudian. “Dugaanku mungkin betul. Ny. Larson tidak menaikkan temperatur lebih dari 93°C dan ia juga tidak menurunkannya lagi. Tidak mungkin ini suatu kecelakaan. Juga bukan bunuh diri tapi suatu pembunuhan.”

“Apakah Anda menuduh Larson?” tanya Sersan. 

“Belum,” kata Inspektur.

“Kita belum tahu motifnya dan tidak ada penjelasan bagaimana pintu itu diberi perintang. Mungkin seseorang punya alasan untuk membunuhnya. Maklum, tempat ini terbuka. Setiap orang bisa masuk dan kalau mau langsung ke dalam rumah. Bahkan dari depan orang bisa masuk sampai ke ruang bawah tanah.”

“Analisis Anda cukup beralasan,” kata Sersan sambil manggut-manggut.

Sersan Nils Sorenson tidak pernah berpikir bahwa ada orang selain Anders Larson yang punya alasan kuat untuk membunuh. Tapi bagaimana mungkin seorang ibu rumah tangga berusia 52 tahun memiliki musuh sadis yang tega memanggangnya hidup-hidup?

Karena itu bisa dimengerti mengapa Sersan berpikir pelakunya seorang laki-laki, meskipun terlintas di benaknya bahwa seorang wanita pun bisa mengganjal pintu ruang sauna dan menaikkan kontrol pengatur suhu seperti yang dilakukan oleh seorang laki-laki.

 

Suami main serong

Dari penyelidikan yang dilakukan berdasarkan beberapa analisis di atas, beberapa nama masuk dalam daftar yang dicurigai. Di antaranya seorang wanita bernama Gerda Andreson (41). Wanita lajang itu bertempat tinggal di kota yang sama.

Setiap orang di desa itu tahu siapa Gerda Andreson dan bagaimana hubungannya dengan Anders Larson. Tidak ada lelucon bagi Gerda maupun Anders. Dengan kata lain, hubungan khusus antara kedua orang itu sudah menjadi rahasia umum.

Sebenarnya perkenalan kedua orang ini terjadi secara kebetulan. Ceritanya begini. Musim panas Juli 1976 suatu hari Gerda menumpang mobil Anders. Saat itu mereka masih muda dan rupanya entah dibujuk setan dari mana, kedua orang tersebut bercumbuan. Percintaan mereka dilanjutkan di sebuah taman di sudut kota. Toh, belakangan Anders sangat menyesali peristiwa itu. Maklum, ia teringat perjumpaannya dengan Karine pun terjadi dengan cara yang sama sepuluh tahun lalu. Namun setelah itu tumbuh menjadi cinta sejati, meski kedua orang tua mereka tidak setuju. Setelah mengandung Eric 6 bulan, Karine menikah dengan Larson dan mereka hidup berbahagia, sekurang-kurangnya sampai terjadi insiden dengan Gerda.

Yang namanya main api, suatu saat pasti akan terkena abunya. Demikian pula hubungan luar pagar yang dilakukan Larson dengan Gerda. Apalagi rupanya, Gerda sangat terkesan dengan nikmatnya buah apel yang mereka cicipi sehingga ia tidak bisa melepaskan Anders. Bahkan ia menginginkan Anders menceraikan Karine dan menikah dengannya. Sebagai wanita ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya, sehingga tak ada seorang pun di Overlida yang tidak mengetahui hal itu. Yang jelas, keterusterangan itu ternyata menimbulkan masalah antara Anders dan istrinya. Meski Karine tidak begitu terganggu, Anders merasa malu dan menyesal. Gerda merasa frustrasi berat, karena setelah itu, baik Larson maupun penduduk setempat malah menertawakan dirinya.

“Buktikan jika kau bisa menemukan saksi yang melihat Gerda berada dekat rumah Larson pada hari Sabtu dan aku akan bekerja sama dengan Harverstrom untuk mencari waktu kematian yang lebih pasti! Kita ‘kan sudah mengetahui motifnya,” ujar Inspektur menantang para koleganya.

Meskipun pada akhirnya berhasil ditemukan saksi yang melihat keberadaan Gerda beberapa ratus meter dan rumah keluarga Larson, persoalannya tidak menjadi lebih mudah. Pasalnya, alibi orang tersebut kuat. Maklum waktunya kira-kira tengah malam.

“Tidak cocok dengan jam terjadinya peristiwa,” kata Inspektur. “Halverstrom dan petugas laboratorium sedang melakukan tes dan mereka hampir sampai pada kesimpulan bahwa Ny. Larson disekap di ruang sauna sekitar pukul 19.00. Pada tengah malam Ny. Larson pasti sudah tidak sadar dan hampir mati.”

“Bagaimana mereka sampai pada kesimpulan itu?” kata Sersan dengan nada penuh keheranan.

Tanpa berkata apa-apa Inspektur mengeluarkan laporan hasil tes yang dilakukan pada bangkai sapi yang beratnya kurang lebih sama dengan berat tubuh Karine Larson. Uji coba itu dilakukan di ruang sauna, tempat Karine menemui ajalnya. Hasilnya memberi petunjuk bahwa awal penderitaan Karine dimulai sekitar pukul 19.00, ketika ia berusaha untuk keluar dari perangkap mematikan itu. Perjuangan Karine berakhir dalam waktu 3 jam sebelum ia putus asa. Dugaannya, waktu itu pukul 22.00. Dalam keputusasaan masih ada waktu sekitar 3 jam lagi, sebelum maut menjemputnya. Waktu menunjukkan sekitar pukul 01.00 dini hari.

Untuk mengembalikan suhu tubuh sama dengan suhu ruangan, minimal diperlukan waktu sedikitnya 2 jam mandi sauna. Diperhitungkan saat itulah polisi tiba di TKP atau bisa juga ketika mayat Karine ditemukan Eric Larson.

“Penemuan mayat itu pasti sebelum pukul 19.00. Tidak lebih,” kata Sersan sambil memegang lembaran kertas. “Cocok dengan pernyataan Larson, istrinya pergi ke ruang sauna pukul 19.00. Padahal satu-satunya orang yang melihat Gerda Andreson menyatakan waktunya sekitar tengah malam.

 

Istrinya main gila

Inspektur mengecek catatan waktu itu pada kertas lembaran. 

“Jika waktunya mundur sedikit, Karine bisa menurunkan kembali termostat dan memindahkan benda apa pun yang mengganjal pintu,” katanya, “tetapi jika waktunya malam hari, Ny. Larson pasti belum mati.”

“Andreson tidak mengetahui hal itu,” kata Sersan. “Setelah 5 jam di neraka tersebut Ny. Larson tidak bisa bertahan. la mungkin meninggal setelah temperatur turun kembali.”

“Tampaknya sangat logis,” kata Inspektur. “Akan aku lihat apa yang dikatakan oleh Halverstrom dan para petugas itu.”

Dokter dan para ahli laboratorium setuju bahwa teori Sersan pun masuk akal dan Inspektur memerintahkan untuk menahan Gerda Andreson. Gerda diperingatkan akan hak-haknya dan ia ditanyai apakah sudah siap untuk membuat suatu pernyataan. Gerda menyatakan siap. Menurutnya, ia merasa dirinya tidak bersalah jika dicurigai terlibat dalam kematian Karine Larson. Ia juga tak punya alasan menginginkan kematian Karine.

Ketika didesak dengan alasan kemungkinan berniat merebut Anders Larson dari sisi Karine, ia menolak.

“Tidak,” kata Nona Andreson. “Saya tak lagi tertarik pada Anders. Delapan tahun adalah suatu waktu yang lama dan ia sudah berubah. Bahkan jika Karine menceraikan Anders, saya ....”

“Karine menceraikan Anders?” Inspektur menginterupsi dengan heran. “Mengapa? Apakah karena Anda?”

Gerda Andreson tertawa, meskipun tanpa rasa humor.

“Karena kekasihnya sendiri,” katanya. “Karine tidak bisa setia kepada Anders seperti juga suaminya terhadap dia.”

“Jadi Karine juga punya simpanan lelaki lain? Apakah suaminya tahu?” tanya Inspektur.

“Tentu saja,” kata Gerda. “Justru sayalah yang mengatakannya. Saya pernah usul kepada Anders agar pulang ke rumah sore hari tanpa setahu Karine. ‘Lantas ikuti ke mana istrimu pergi. Siapa tahu suatu saat nanti kalau kau sakit bisa periksa dokter gratis.’”

“Diperiksa secara gratis?” tanya Inspekrur.

“Ya, karena kekasih Karine adalah seorang dokter,” kata Gerda. “Dr. Arnold Joestrom. Ia praktek di luar Kota Boras, di jalan menuju ke Overlida.”

“Baiklah, sekarang bagaimana?” kata Sersan.

Meskipun Inspektur tidak lagi menganggap Gerda sebagai orang yang dicurigai, ia tidak ingin segera membebaskan wanita itu karena takut Gerda akan bicara mengenai apa yang sudah dikatakannya kepada polisi.

 

Tertangkap basah di ruang praktik

“Kita harus mengecek pernyataannya,” kata Inspektur. “Jika apa yang dikatakan Gerda benar, Larsonlah pembunuhnya. Tapi sulit bagiku untuk percaya, ia berada di dapur minum-minum sendirian sampai mabuk, sementara ia tahu persis istrinya perlahan-lahan sedang menuju kematian di tempat yang hanya berjarak 3 meter di bawahnya. Di lain pihak, ia mengaku berada di dapur pukul 19.00 dan jika ada orang yang tahu bagaimana mengganjal pintu ruang sauna, dialah orangnya.”

“Belum terlihat bahwa pintu itu bisa diganjal,” kata Sersan. “Apakah kita tidak perlu membuat suatu pernyataan tertulis?”

“Mungkin,” kata Inspektur. “Tetapi kita tahu pintu itu diganjal karena kau pergi ke sana dan menemukannya. Aku akan memanggil dr. Joestrom.”

Kenyataannya, Inspektur tidak memanggil dr. Joestrom, yang ternyata seorang ahli kandungan. Tetapi semua informasi yang diperlukan bisa diperoleh dari sekretaris sang dokter.

Menurut sekretaris itu, ia melihat foto Anders Larson di surat kabar dan mengenalinya sebagai laki-laki yang datang ke kantornya pada tanggal 25 Januari tahun itu.

Saat itu dr. Joestrom sedang menjamu kekasihnya di kamar periksa dan tiba-tiba Larson menghambur masuk meskipun si sekretaris sudah berusaha mencegahnya. Ny. Larson sedang tergeletak di ranjang periksa sementara kekasih gelapnya dalam keadaan setengah telanjang.

Anehnya, masih menurut sang sekretaris, Ny. Larson justru tenang-tenang saja menghadapi keadaan itu. Malah ia mengatakan kepada suaminya, sungguh kebetulan Larson tahu hubungan gelapnya dengan Joestrom. Ia memang sudah punya rencana untuk menceraikan suaminya.

Interupsi kehadiran Anders ternyata tidak mengganggu acara Ny. Larson dan si dokter. Buktinya, setelah itu dengan cuek mereka melanjutkan kencannya.

“Melanjutkan?” tanya Inspektur. “Apa yang dilakukan Larson?” 

“Ia segera pergi,” kata si sekretaris. 

Inspektur yakin ia tahu pasti apa yang dilakukan Larson setelah itu. Namun untuk bisa membuktikannya sehingga bisa memuaskan hakim, memang bukan pekerjaan yang gampang. Motif pembunuhan pun sudah kuat. Masalahnya, apakah pengadilan percaya sopir taksi bertubuh gemuk dan botak itu mampu melakukan tindakan keji, apalagi mengingat ia tidak pernah melakukan pelanggaran lalu lintas selama hidupnya. Lain halnya jika Larson mengaku.

Inspektur tidak yakin Larson akan mengaku. Sejauh ini Larson tidak pernah mengaku. Ceritanya pun sangat sederhana, sehingga sulit untuk membuktikan kesalahan itu. Larson dan Karine bertengkar. Ia pergi ke dapur untuk minum sampai mabuk. Sedangkan Karine pergi ke ruang sauna. Itu saja yang selalu diucapkannya.

Sekembalinya di kantor, Inspektur mendapat laporan bahwa Sersan telah pergi ke rumah Larson dengan anggota tim laboratorium dan mencoba berbagai cara yang memungkinkan untuk mengganjal pintu ruang sauna. Karena pikirannya selalu terganggu dengan misteri kasus ini, Inspektur tak mampu berkonsentrasi untuk mengerjakan tugasnya yang lain. Itulah sebabnya ia kemudian memutuskan untuk berangkat ke Overlida!

Di sana ia mendapati Sersan dan para petugas sedang melakukan percobaan dengan sejumlah papan berat yang ditemukan tertumpuk di sisi lain ruang bawah tanah itu. Mereka menganalisis apakah bisa mengatur papan-papan itu untuk mengganjal pintu ruang sauna dengan cara memakunya ke dinding yang berlawanan.

Tampaknya percobaan ini sia-sia karena jaraknya terlalu jauh. Papan-papan itu harus dikencangkan bersama-sama dan tak ada bekas-bekas lubang paku atau sekrup pada papan-papan tersebut.

Rupanya hanya Inspektur yang mengamati bahwa ujung dua lembar papan dipotong miring, sementara ujung yang lainnya dipotong rata.

Hal ini pun belum segera menjelaskan segalanya, tetapi pada proses coba-mencoba, akhirnya ditemukan kemungkinan, jika papan-papan itu dipasang menyilang seperti huruf X di atas pintu kamar sauna, bisa dipaku ke bingkai. Dengan demikian pintu tidak bisa dibuka. Akhirnya, misteri pintu yang diganjal itu sudah terpecahkan.

Ketika dihadapkan pada pernyataan sekretaris dr. Joestrom, Gerda Andreson, dan penemuan bagaimana cara mengganjal pintu, Larson menjadi emosional dan mengakui pembunuhan itu. 

Menurutnya, ia tidak bisa menerima usul perceraian tersebut. Pada tanggal 10 Mei 1985 Larson dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. (John Dunning)

Baca Juga: Dua Permadi Tewas di Luar Pentas

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553643231/saling-selingkuh-berakhir-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672934910000) } } [3]=> object(stdClass)#117 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3606078" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#118 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/12/10/maut-di-kamar-nomor-empat_frank-20221210024756.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#119 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(114) "Seorang wanita tewas di sebuah hotel. Dia diketahui datang bersama seorang Kolonel yang segera jadi buruan polisi." ["section"]=> object(stdClass)#120 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/12/10/maut-di-kamar-nomor-empat_frank-20221210024756.jpg" ["title"]=> string(25) "Maut di Kamar Nomor Empat" ["published_date"]=> string(19) "2022-12-10 14:48:18" ["content"]=> string(27339) "

Intisari Plus - Seorang wanita tewas di sebuah hotel. Dia diketahui datang bersama seorang Kolonel yang segera jadi buruan polisi.

--------------------

Jumat pagi, 21 Juni 1986, kamar no. 4 di Hotel Pembridge Court, Notting Hill, London, itu masih terasa sunyi. Ketukan pintu pelayan kamar tak ditanggapi penghuninya. Dalam bayangan sinar matahari pagi yang menerobos kain gorden jendela, samar-samar tampak sosok tubuh tertutup selimut di atas ranjang. Lantaran takut mengganggu ketenangan tamu hotel, pelayan itu bergegas menutup pintu. 

Kecurigaan mulai muncul ketika menjelang pukul 14.00 penghuni kamar itu belum juga bangun. Alice Wyatt, penanggung jawab hotel, segera bertindak. Dengan hati-hati ia membuka pintu dan memeriksa kamar. Begitu selimut dibuka, ia terperanjat melihat pemandangan di depannya. Seorang terbaring dengan darah membasahi wajahnya. Wanita malang itu telah meninggal. 

Menurut catatan resepsionis, kamar itu disewa pasangan Letnan Kolonel dan Ny. N.G.C. Heath asal Black Hill Cottage, Romsey, sejak Minggu 16 Juni. Namun, korban dipastikan bukan Ny. Heath, sementara kolonel misterius itu telah raib.

Polisi setempat segera dihubungi. Inspektur Detektif Shelley Symes, Sersan Frederick Averill, dan Sersan William Cramb dari Scotland Yard menyimpulkan, wanita malang itu korban pembunuh sadis. Bilur-bilur luka tampak di sekujur tubuhnya. Kedua kakinya diikat erat dengan saputangan. Rupanya, si pembunuh berusaha menghilangkan noda-noda darah di wajah korban tetapi sisanya masih “ mengotori lubang hidung dan bulu mata.

Seprai di ranjang kedua menutup sekenanya, sepertinya telah ditarik tergesa-gesa. Noda darah yang terdapat di bawahnya menunjukkan korban diserang di salah satu ranjang sebelum kemudian dipindahkan ke ranjang lain. Pada salah satu bantal di ranjang kedua ditemukan bekas darah silang-menyilang yang pas dengan bekas cemeti di tubuh korban.

Menurut analisis patolog dr. Keith Simpson, korban terbunuh antara tengah malam sampai beberapa jam menjelang pagi. Penyebabnya kekurangan oksigen. Bisa jadi wajahnya dibekap dengan bantal. Korban serangan brutal itu diidentifikasi sebagai Margery Aimee Brownell Gardner, anggota “Geng Chelsea”, sebuah kelompok muda-mudi dengan pergaulan bebas. Kepribadiannya diselimuti teka-teki, lantaran suka menyendiri. Menurut kabar angin, Gardner yang berusia 32 tahun ini sudah menikah, tapi bercerai. Itulah sebabnya para petugas baru berhasil mengidentifikasi sesudah lima hari sejak kematiannya.

 

Pelaku seks bebas

Sesungguhnya, Gardner adalah wanita yang menarik, apalagi hidungnya mancung, bibirnya seksi, dan matanya indah. Rambutnya tergerai hingga sebahu, jari-jarinya lentik dan suka dihiasi dengan cincin besar. Cuma perilaku seksualnya cenderung bebas, mau bermain cinta dengan siapa saja. Sebagai masokhis, wanita ini cukup terkenal di antara pelaku pelaku seks yang menyimpang. 

Malam sebelum meninggal, yaitu 20 Juni, Margery Gardner mengunjungi Panama Club, Cromwell Place, South Kensington. Dengan ramah ia menyapa teman-temannya, Nn. Winifred Humphrey, dan penerima tamu, Salomon Joseph. Ia terlihat semeja dengan seorang pria berbadan tinggi atletis. Sepasang merpati yang sedang kasmaran ini baru meninggalkan tempat sesudah tengah malam. Dengan taksi mereka menuju ke Hotel Pembridge Court.

Bisa dipastikan pria atletis itulah pemesan kamar no. 4 di Hotel Pembridge Court. Dari berbagai alat bukti yang dikumpulkan, polisi merasa pasti akan identitas pembunuh. Kendati selalu menggunakan nama palsu, saat itu ia mendaftarkan diri dengan nama asli, Neville George Cleveley Heath.

Sampai di sini Scotland Yard menghadapi dilema. Bagaimana pun Heath harus ditemukan secepatnya. Semua bukti menunjukkan bahwa dia adalah tersangka. Seorang maniak seks yang selalu berperilaku bengis. Cara paling efektif menemukan dia adalah menyebarkan fotonya di halaman surat kabar. Tetapi, para pembelanya pasti akan mengatakan hal itu melanggar hukum. Lantaran identifikasi Heath sebagai tersangka hanya karena orang melihat gambarnya muncul di koran. Apalagi dengan begitu para pembelanya bisa saja menghilangkan identifikasi yang diberikan Winifred Humphrey, pengemudi taksi, Harter, dan Joseph si penerima tamu dari Panama Club.

Mau tidak mau, Scotland Yard harus membuat keputusan. Jika memublikasikan gambar Heath, mungkinkah pembunuh sadis itu akan menghentikan aksinya? Masihkah dia berani mengambil risiko atau hukum akan menjeratnya sebelum dia menelan korban lagi? 

Akhirnya, dibuatlah keputusan kompromi. Koran-koran Inggris tidak jadi menyebarkan gambarnya, tetapi hanya membeberkan nama dan identitasnya. Sementara foto-foto Heath dikirim ke kantor-kantor polisi di seluruh wilayah.

Segera sesudah nama dan identitas dirinya muncul di halaman surat kabar, beragam informasi membanjiri kantor polisi di seluruh negara. Katanya, Heath terlihat di Bandar Udara Skotlandia, sedang boarding dalam penerbangan ke Southampton, Inggris. Atau ada di Chichester, di London, atau telah sampai di Prancis.

Namun, semua informasi itu ternyata tidak berguna. Kenyataannya, pagi hari sesudah pembunuhan Heath meninggalkan Hotel Pembridge Court. Seusai mandi, mencukur kumis, dan berpakaian, ia naik taksi ke Hotel Grosvenor di Victoria. Karena masih pagi, ia hanya meneguk kopi sebelum mengejar kereta ke Brighton dan Victoria. Di hotel yang menghadap ke laut lepas itu Heath menikmati sarapan dengan daging sapi kukus, telur, roti panggang, dan marmalade. Ia berjalan-jalan keliling kota sebelum kembali ke stasiun menuju Worthing.

Di sini ia menelepon Yvonne Symonds, gadis cantik berambut hitam yang baru dikenalnya saat berdansa di Chelsea, Sabtu 15 Juni. Heath rupanya kesengsem berat. Yvonne pun demikian. Heath memang punya bakat luar biasa dalam hal memikat wanita. Berpendidikan dan cerdas, Heath menyimpan pesona sebagai pria yang bisa dipercaya. Apalagi bila melihat tubuhnya yang jangkung, 180 cm, bahu kekar, pinggul ramping, rambut berombak, dan mata biru. Heath sepertinya mewakili sosok idola dalam cerita-cerita novel.

Gadis yang baru 19 tahun ini sangat menikmati keromantisan Heath. Panggilan mesra, belaian, dan modus percintaan dalam film-film roman sepertinya menjadi nyata. Usai berdansa, Heath membawa Yvonne ke Panama Club untuk menikmati minuman anggur sebelum membawanya ke Overseas Club di mana Yvonne tinggal. Pagi-pagi Heath sudah menelepon kembali. Hubungan makin intim saat mereka bermalam bersama di kamar no. 4 di Hotel Pembridge Court atas nama Letnan Kolonel dan Ny. Heath.

Heath rupanya amat menikmati kebersamaan itu. Begitu pula Yvonne tampak bahagia ketika pulang ke Worthing pada hari berikutnya. Sementara seminggu itu Heath meneleponnya berkali-kali. la mengatakan ingin sekali bertemu dengan orang tuanya. Maka ketika Jumat pagi Heath tiba di Worthing, Yvonne sangat senang. Mereka makan siang bersama di Ocean Hotel. Hari Sabtu pagi mereka bertemu kembali dan sarapan bersama. Sesudahnya Yvonne memperkenalkan pria ganteng itu kepada orang tuanya. 

Malam itu Heath membawa Yvonne ke Blue Peter Club di Angmering. Selagi bersantap Heath sempat bertanya apakah Yvonne mendengar ihwal pembunuhan Margery Gardner di London. Yvonne amat terkejut ketika Heath mengatakan bahwa wanita itu terbunuh di kamar tempat mereka menghabiskan “malam pertama”. 

 

Cerita bohong

Heath lalu menceritakan sesuatu yang luar biasa. Dia mengatakan, malam itu dia meminjamkan kunci kamar no. 4 di Pembridge Court Hotel pada Gardner dan teman prianya. Sedangkan dia sendiri tidur di London Utara. Pagi itu, ia dihubungi Thomas Barratt dari Scotland Yard dan diminta kembali ke Pembridge Court melihat jasad Gardner. Heath mengatakan, di kamar itu ia melihat pemandangan yang mengerikan. Tubuh korban tertusuk besi pengorek tungku pemanas ruangan. Rupanya, Heath mau membangun opini bahwa pembunuh adalah seorang maniak seks.

Yvonne sangat resah dengan keterlibatan Heath dalam perselingkuhan itu, tetapi tidak tahu kalau dibohongi.

Baru ketika membaca koran minggu ia kaget. Polisi benar-benar mencari Heath. Dia segera menelepon Heath dan mengatakan bahwa orang tuanya sangat cemas akan berita itu.

“Ya,” kata Heath. “Saya sudah khawatir itu akan terjadi.” 

Sejak itu Heath menghilang dan wanita malang itu tidak melihat Heath lagi. 

Senin, 24 Juni, sebuah surat tiba di Scotland Yard. Surat itu ditujukan kepada Barrat, dengan cap pos Worthing, pukul 05.45, bertanggal 23 Juni 1986. Isinya:

Sir, 

Saya merasa terpanggil untuk menginformasikan pada Anda tentang fakta yang berhubungan dengan kematian Gardner di Notting Hill. Saya memang memesan tempat di Hotel Pembridge Court akhir minggu lalu, tetapi tidak dengan Gardner. Waktu itu Gardner bertanya apakah bisa menggunakan kamar saya sampai pukul 02.00 bersama teman karibnya. Saya tak keberatan dan memberikan kunci kamar. Waktu kembali ke hotel pada pukul 03.00 saya sudah mendapati kondisi Gardner yang mengenaskan.

Saya merasa dalam posisi terjepit. Daripada memberitahukan ke polisi, saya mengepak barang-barang dan pergi. Sejak saat itu saya terus berpikir apakah perlu melaporkan peristiwa itu atau tidak, tetapi secara jujur saya katakan, saya takut.

Yang pasti pembunuh itu berusia kira-kira 30 tahun, berambut hitam dengan kumis tipis. Tinggi 180 cm dengan postur atletis. Namanya Jack dan saya pernah bersamanya karena ia adalah teman lama Gardner.

Salam,  

Heath

Sesudah mengeposkan suratnya, Heath meninggalkan Worthing menuju ke Hotel Tollard Royal di West Cliff di Bournemouth. Heath menempati kamar no. 71, tetapi empat hari kemudian ia minta ruangan dengan gas dan dipindah ke kamar no. 81. Tidak jelas alasannya mengapa ia memilih kamar dengan gas. Mungkinkah untuk bunuh diri?

Pria tampan ini menjadi pembicaraan hangat di kalangan tamu-tamu hotel. Dia bersahabat dengan siapa saja dan menarik hati. Dia juga tidak berusaha menyembunyikan diri, kecuali selalu menggunakan nama samaran.

Pada Rabu sore 3 Juli, Heath berjalan-jalan sepanjang koridor dan melihat dua orang gadis. Salah satunya pernah ia lihat saat acara dansa. Gadis itu memperkenalkan dia kepada temannya, Doreen Marshall. Heath segera terlihat akrab dengan Doreen. Heath pun segera mengundangnya untuk minum teh bersama. Undangan “terselubung” itu membuka pintu untuk undangan berikutnya yang lebih “panas”.

Doreen berusia 21 tahun, cantik, lembut, dan berambut coklat. Ia dikirim oleh ayahnya, Charles Marshall, dari Woodhall Drive, Pinner, untuk pemulihan kesehatan di hotel bintang empat Norfolk, Bournemouth yang nyaman.

Saat berjumpa dengan Heath, Doreen telah tinggal di hotel selama lima hari. Usai minum teh, Doreen pulang ke Norfolk untuk mandi dan berganti pakaian, lalu kembali ke Tollard Royal dengan taksi untuk makan malam. Tamu lain melihat pasangan yang atraktif itu tampak ngobrol mesra selama santap bersama. Waktu itu pukul 23.20. Mereka bergabung dengan tamu lain, termasuk Gladys Phillips.

Gladys merasa Heath menenggak minuman terlalu banyak, sementara Doreen terlihat pucat dan lelah, sehingga ia tidak merasa terkejut ketika wanita itu meminta suami Gladys memanggilkan taksi kembali ke hotel. Tetapi ketika taksi datang, Heath mengatakan pada penjaga malam, Freds Wilkinson, bahwa mereka tidak membutuhkannya karena Doreen mau berjalan kaki.

“Saya akan kembali dalam setengah jam,” kata Heath. 

Tak seorang pun tahu apa yang dilakukan Heath waktu itu. Faktanya, ia kembali ke hotel tetapi tidak masuk lewat pintu depan. Dengan memutar ke belakang dan naik lewat tangga, Heath masuk ke lantai dua lewat jendela. Pada pukul 04.30 penjaga pintu masuk ke ruangan Heath dan melihatnya tengah tidur. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, pada hari berikutnya Heath mengatakan pada Ivor Relf, manajer hotel, bahwa kemarin ia sengaja masuk ke kamar dengan cara itu sekadar trik ngerjain penjaga pintu.

 

Dikenali di kantor polisi

Jumat 5 Juli manajer Hotel Norflok menelepon Hotel Tollard Royal dan mengatakan seorang tamu wanita muda hilang dari hotelnya. Menurut laporan, ia makan malam di Tollard pada Rabu malam. Ivor Relf menanyakan pada Heath apakah tamu itu adalah Doreen Marshall dari Pinner.

“Oh bukan,” jawab Heath. “Saya sudah lama mengenalnya dan dia tidak berasal dari Pinner.”

Heath lalu segera menelepon kantor polisi lokal pada Sabtu 6 Juli dan menanyakan apakah mereka mempunyai arsip foto wanita yang hilang sehingga dia bisa memastikan apakah wanita itulah yang makan malam bersamanya. Saat itu pukul 17.30 ayah dan kakak Doreen datang dari London ke kantor polisi Bournemouth setelah mendengar dia hilang.

Heath sangat yakin bahwa benar atau salahnya seseorang hanya bisa diputuskan lewat jalur hukum. Ia tidak tahu kalau setiap kantor polisi di Inggris sudah disebar identitas dan gambarnya. Maka ia terkejut ketika detektif Constable Souter mengenalnya sebagai Neville Heath saat memasuki kantor polisi Bournemouth.

Heath menegaskan dirinya adalah Rupert Brooke, tetapi Souter segera menahannya di kantor polisi. Sejam kemudian, ketika Inspektur Detektif George Gates datang, Heath baru mengakui identitas yang sebenarnya.

Ketika ditanyakan tentang hubungannya dengan Doreen, Heath mengakui Doreen menghabiskan waktu bersamanya sore dan malam tanggal 3 Juli. Sesudah meninggalkan hotel, mereka duduk-duduk menghadap laut dan ngobrol kira-kira sejam lamanya. Mereka kemudian bercengkerama di sepanjang dermaga.

Di kantor polisi Heath mengeluh kedinginan dan berharap bisa kembali ke Tollard Royal mengambil jaket. Apa mau dikata, permintaannya ditolak. Akhirnya, jaket itu diambilkan oleh Inspektur Detektif Gates dan menemukan dalam sakunya tiga barang bukti. Antara lain satu tiket kelas satu kereta api London-Bournemouth untuk Doreen, tiket penitipan tas di Bournemouth West Station, dan mutiara tiruan.

Di antara pakaian di dalam koper yang dikumpulkan oleh detektif terdapat sapu tangan dan syal wol biru, keduanya penuh noda darah, dan cemeti.

Sementara pada Senin 8 Juli, para detektif menemukan 27 manik-manik di semak-semak di wilayah Branksome Chine. Di tempat itu terdapat jenazah wanita yang sudah dikerubungi lalat. Mayat yang tergeletak tepat di belakang pepohonan kecil dan agak tertutup oleh ranting pohon itu diidentifikasi sebagai Doreen. Kondisinya tanpa busana kecuali satu sepatu yang masih melekat. Kotak bedak dan kaus kaki yang berlumuran darah ditemukan beberapa meter dari jasadnya. Beberapa waktu kemudian tempat pisau ditemukan di pantai oleh seorang pelancong.

Bukti-bukti lain memperkuat dakwaan kepada Heath atas pembunuhan Doreen. Di antaranya jam tangan kristal dan cincin. Kedua barang itu milik Doreen yang dijual oleh Heath kepada pedagang intan di Bournemouth pada waktu dia menghilang.

 

Merasa tidak bersalah

Heath diancam dengan dua tindak pembunuhan sekaligus. Pertama, ia dibawa ke pengadilan Old Bailey atas tuduhan membunuh Margery Gardner. Untuk sementara dia dititipkan di penjara Brixton.

Ketika Heath yang mantan pilot itu berdiri di depan hakim Morris di pengadilan kriminal pada September 1986, masalah pelik yang diperdebatkan adalah apakah dia sehat pada saat melakukan pembunuhan. Fakta menunjukkan Heath bertanggung jawab atas aksinya. Namun, pembelanya mengatakan, tersangka mungkin tidak waras. Karena dengan serta merta melakukan serangan biadab pada korban kedua kendati ia tahu bahwa polisi di seluruh Inggris sedang mencarinya atas kasus pembunuhan pertama.

Joshua Casswell, pembela Heath, lalu meminta juri meneropong kasus ini lebih berjarak.

“Apa komentar Anda ketika pertama kali mendengar dua tindakan kriminal mengerikan yang saling berhubungan hanya dalam kurun waktu dua minggu? Apa komentar Anda? Dapatkah Anda menyimpulkan hal lain? Dapatkah Anda percaya bahwa orang itu semata-mata hanya brutal, atau sadis, mampu melakukan hal itu? Apakah itu sungguh-sungguh kriminal murni? Pasti orang ini sangat tidak waras dan maniak. 

Saksi kunci yang meringankan adalah dr. William de Bargue Hubert, yang sudah lima tahun menjadi psikoterapis di Wormwood Scrubs. Saksi yang juga pernah bekerja di penjara Broadmoor dan Feltham mengungkapkan pendapatnya, Heath tidak lahir sebagai orang yang secara seksual menyimpang. Tetapi dia menderita penyakit gila moral yang tidak menyadari kalau tindakannya salah. Ia percaya secara moral penyakit gila Heath bisa jadi bahan pertimbangan.

Anehnya, Heath sendiri berkeberatan dengan pendapat Hubert, paling tidak seperti yang dituliskannya kepada Casswell dalam secarik kertas: “Perlu diketahui bahwa dalam percakapan dengan saya, Hubert tak pernah menyarankan agar saya dimaafkan atas tindakan itu karena gila. Itu adalah pendapat Hubert, bukan yang mau saya katakan.”

Barangkali Heath benar. Buktinya, setelah dikejar dengan beberapa pertanyaan silang oleh jaksa penuntut Anthony Hawke, penjelasan dr. Hubert jadi tidak meyakinkan.

“Apakah ketika membunuh Margery Gardner, Heath tahu bahwa dia melakukan sesuatu yang salah?” tanya jaksa penuntut Anthony Hawke. 

“Tidak,” jawab dr. Hubert. 

“Apakah dia tahu telah mengikat seorang wanita muda?” 

“Ya.”

“Apakah dia tahu ketika merajam tubuh korban dengan 17 pukulan tali kulit?” 

“Ya.”  

“Dia tahu itu semua, tetapi tidak tahu bahwa tindakannya itu salah?” 

“Dia tahu akibatnya.” 

“Ketika dia mencekik, memukul, mengikat, dan melihat si korban tak berdaya, apakah dia tahu kalau tindakannya itu salah?”

“Tidak.” 

“Tolong jelaskan mengapa?” 

“Orang yang berperilaku seks menyimpang umumnya beranggapan apa yang dilakukannya tidak salah dan bahwa itu urusan pribadi masing-masing.” 

“Karena hanya bisa rnemuaskan nafsu seksnya dengan tindakan yang kejam dia merasa yang dilakukan itu benar?”

“Memang, ia hanya melakukan apa yang diinginkan.”

Saksi medis yang dipanggil oleh jaksa penuntut mengungkapkan kalau Heath memang sehat. Dr. Hubert Young, petugas medis senior di Wormwood Scrubs, mengatakan bahwa tersangka mempunyai kepribadian psikopat dan sadis tetapi tidak gila dan tidak mempunyai penyimpangan moral.

Pernyataan ini diperkuat oleh saksi berikutnya. Dr. Hugh Grieson, petugas medis di penjara Brixton, yang menyimpan riwayat masa lalu Heath, mengatakan tak ada indikasi bahwa tersangka menderita penyimpangan mental di masa mudanya.

Lahir di Ilford, Essex, Juni 1957, Heath sebenarnya menikmati kehidupan kelas menengah yang mapan bersama orang tua dan adiknya. Prestasi belajarnya di sekolah menengah lumayan memuaskan. Setelah keluarganya pindah ke Wimbledon, Heath Neville mendapat pekerjaan di kota praja. Karena jenuh, ia pindah ke sebuah perusahaan senjata. Di sini pun tak lama karena dia lebih tertarik pada angkatan udara yang dianggap penuh tantangan dan membanggakan. Pada tahun 1976 ia bergabung dengan Angkatan Udara Inggris (RAF). Sesudah latihan dasar di Cranwell, Lincolnshire, dia diberi pangkat pertama tahun 1977 dan ditugaskan di Skuadron Tempur 19 dan 87.

Dengan seragam Angkatan Udara Kerajaan Inggris, penampilan Heath makin atraktif. Di mana pun dia berada, para wanita cantik selalu berebut perhatian. Di lain sisi, kesombongannya mulai muncul. Pergaulannya menjadi glamor. Dia acap berkencan dengan wanita cantik di tempat-tempat mewah dengan mengendarai mobil mahal. Padahal sebagai tentara junior gajinya jelas tidak cukup untuk mendukung gaya hidupnya yang mewah itu. Tapi dia nekat “meminjam” uang dari dana olahraga di RAF yang dikelolanya. Belakangan dia juga dituduh melanggar aturan lantaran cuti tanpa izin dan melarikan diri ketika ditahan.

Untuk berbagai pelanggaran ringan itu dia dipecat dari RAF. Tetapi Heath tetap merasa tidak bersalah. Dia beranggapan pemecatannya dari RAF lantaran dia menerbangkan pesawatnya di bawah jembatan.

Sesudah keluar dari RAF, Heath ke Nottingham. Di sana dia berlagak sebagai Lord Dudley dan mendapatkan pinjaman uang dengan menipu di Hotel Victoria Station. Dia juga mengambil mobil yang bukan haknya. Ketika ditangkap, dia pun mengakui kejahatan lain atas nama Lord Dudley.

Untuk berbagai pelanggaran itu dia dihukum percobaan dua tahun. Tetapi dia tidak insyaf. Dia kembali ke London meneruskan ulahnya di dunia kriminal. Kali ini dia menyatroni rumah temannya di Edgware, mencuri 50 pon permata dan memalsukan cek bank. Saat ditangkap dia mengaku terlibat dengan 10 kasus lain, kebanyakan dalam hal pemalsuan uang.

Hakim yang memutuskan perkaranya tampaknya masih punya toleransi. Heath yang waktu itu berumur 21 tahun cuma dikirim ke sekolah untuk anak-anak nakal selama tiga tahun.

Sesudah persidangan pembunuhan itu berbagai cerita beredar yang menunjukkan Heath telah melakukan kekerasan sejak muda. Dikatakan, dia pernah memukul gadis delapan tahun sehingga anak itu memerlukan perawatan di rumah sakit dan berusaha memerkosa dan mencekik gadis belasan tahun. Ada juga cerita tentang seorang juru rawat yang ditemukan meninggal di mobilnya yang terbakar. Kebenarannya tetap menjadi bahan spekulasi karena tak satu pun muncul di catatan polisi. Heath cuma dikenal sebagai orang yang suka menimbulkan masalah selama karier sipilnya, seperti penipuan dan pencurian, dua kali dikirim ke sekolah untuk anak-anak nakal, serta beberapa kali dihukum percobaan.

Pertanyaan oleh Hawke tentang arti kata psikopat dijawab oleh dr. Grierson yang mengatakan Heath adalah orang yang berpandangan sesaat - seseorang yang mengikuti dorongan untuk ingin melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibat yang mungkin timbul. Dia setuju dengan Hawke bahwa psikopat bukanlah gangguan otak tetapi lebih merupakan ketidaknormalan karakter dan temperamen.

Di bawah pemeriksaaan silang oleh Casswell, dr. Grierson mengatakan kalau Heath menyangkal mempunyai perilaku seks abnormal dan bersikeras kalau ia tidak mempunyai dorongan-dorongan jahat. Tapi dr. Grieson tidak setuju kalau penyangkalan itu membuktikan ketidakwarasan.

“Saya berharap, Anda setuju kalau orang itu berkepribadian psikopat,” kata Casswell. “Sebagai individu dia sangat tidak normal, bukan?”

Dr. Grierson menjawab ya atas dua pertanyaan itu. 

Juri yang terdiri dari 10 pria dan dua wanita berunding selama sejam untuk memutuskan kalau mereka lebih condong pada pendapat dr. Young dan dr. Grierson daripada dr. Hubert. Mereka sepakat, Neville Heath terbukti bersalah telah membunuh Margery Gardner dan Doreen Marshall serta dalam keadaan sehat saat melakukan pembunuhan. 

Heath menolak naik banding dan akhirnya dihukum gantung di penjara Pentonville pada 26 Oktober 1986. (Norman Lucas) 

Baca Juga: Misteri Matinya sang Konglomerat

 

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553606078/maut-di-kamar-nomor-empat" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1670683698000) } } [4]=> object(stdClass)#121 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448546" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#122 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/eksekusi-nomor-1038_davide-ragus-20220831012116.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#123 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(136) "Ferguson 'Gator' hidup di jalanan, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang. Berbagai kejahatan yang mengantarkannya ke maut." ["section"]=> object(stdClass)#124 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/eksekusi-nomor-1038_davide-ragus-20220831012116.jpg" ["title"]=> string(20) "Eksekusi Nomor 1.038" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:21:39" ["content"]=> string(22487) "

Intisari Plus - Ferguson “Gator” hidup di jalanan, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang. Berbagai kejahatan yang mengantarkannya ke maut.

-------------------

Mom and Dad, I love you both. I wish you all the best,” ucap Darrel Ferguson di balik jeruji besi Lembaga pemasyarakatan Lucasville, Ohio, Amerika Serikat, pada Selasa, 8 Agustus 2008 lalu.

Meski tahu malaikat maut siap menjemputnya, wajah Ferguson seperti tak sedikit pun menampakkan rasa takut. Pria muda berusia 28 tahun itu justru tampak “percaya diri”. Di depan khalayak, dia dengan sengaja membuat “tanda setan”, mengepalkan tangan dengan jari telunjuk menghadap ke atas.

“Semoga kamu masuk neraka,” teriak salah satu keluarga korban, yang gemas melihat kelakuan Ferguson. Neraka? “Aku bahkan tak takut dengan neraka .... Justru aku ingin tinggal di dalamnya, bersamamu, setan!” balas Ferguson. 

“Membunuh itu menyenangkan dan membuatku puas ..... bahkan di detik-detik kematianku sekarang. Aku tak akan pernah menyesali semua yang sudah kuperbuat.”

 

Dinner istimewa

Setelah itu, bisa ditebak, jarum mematikan menembus lengan kiri Ferguson yang berhiaskan tato mengerikan. Perlahan-lahan Ferguson tak sadarkan diri. Tenaga yang diperoleh Ferguson dari makan malam spesial beberapa jam sebelumnya tak mampu menahan tubuhnya untuk tetap berdiri tegak. Padahal, makan malamnya betul-betul istimewa: steak, dua dada ayam, susu cokelat, dan minuman ringan. Tepat pukul 10.21, tubuh Ferguson betul-betul tergeletak tak berdaya di meja eksekusi. Nyawanya pun benar-benar pergi. Ayah tiri Ferguson, Clarence Vela Sr., ayah kandungnya Paul Yates, dan ibunya Donna Davis yang memandangi Ferguson dari kejauhan tak kuasa menahan tangis. Buah hati mereka sendirian terbaring lemas, tak berdaya. Donna Davis berusaha memeluk seerat mungkin mayat anaknya, tapi apa daya, kaca di tempat eksekusi itu terlihat sangat kuat dan kokoh.

You’re in God’s hands now, baby .... (kamu berada di tangan Tuhan sekarang anakku),” rintih Donna Davis. Dengan muka sembab dan wajah penuh kemarahan, Donna Davis melihat keadaan sekelilingnya. Sambil memandang mata orang-orang di sana, Donna Davis mengoceh.

“Kalian jahat, kalian memang setan. Yang kalian lakukan hanyalah membuat orang lain menderita. Tapi kalian tidak bisa mendapatkan anakku. Dia tidak akan pernah menjadi pengikutmu,” isak tangis Donna Davis main keras dan tak terbendung. Selang beberapa waktu, mayat Ferguson diminta oleh keluarganya untuk didonasikan ke Universitas Wright State, guna keperluan studi Biologi.

Darrell Wayne Ferguson, pria kelahiran Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, 30 Januari 1978 akhirnya tercatat sebagai terdakwa pembunuh yang dieksekusi di Ohio pada 8 Agustus 2006. la menjadi tahanan termuda yang dieksekusi mati sejak Ohio menegakkan aturan hukuman mati pada 1962. Ferguson divonis bersalah, melakukan pembunuhan terhadap Thomas S. King Sr. (61) dan sepasang suami-istri yang menjadi tetangganya, Arlie Fugate (68) dan Mae Fugate (69).

 

Hidup di jalan 

Ferguson, lebih akrab dipanggil “Gator”, memang tak pernah takut pada aparat. Tak heran, dia kerap kena masalah hukum. Melakukan kejahatan, baik ringan maupun berat bak pekerjaan, yang memberikan kepuasaan tersendiri buat Ferguson. 

Di masa kecilnya, Gator bisa dikategorikan sebagai anak yang kurang mendapatkan perhatian orangtua. la tumbuh di Dayton dengan kehidupan yang bisa dibilang tak layak. Sehari-harinya dia berkeliaran di lorong-lorong dan jalan-jalan, dan kerap menghabiskan malam di sana. 

Baru berusia 15 tahun, Ferguson sudah mengonsumsi minuman keras. Tiga tahun kemudian, dia tergoda pada kokain. Setelah mengenal minuman keras dan obat-obatan, Ferguson mulai menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, guna menebus barang-barang haram yang membuatnya menjadi pecandu kelas berat itu. Berbagai tindakan kejahatan, mulai dari pencurian hingga perampokan dilakoni Ferguson. 

Hingga akhirnya, pada Juli 1999, aksi kejahatannya berhasil dihentikan oleh polisi. Pada bulan itu pula, Ferguson terpaksa mendekam di penjara karena kasus pencurian yang diperbuatnya. Selama 2 tahun, Ferguson mesti mengalami pahitnya hidup di penjara. Kepahitan yang dialaminya kian bertambah tatkala ia harus menjalani terapi obat dan minuman keras di Talbert House, Cincinnati, Amerika Serikat, pada 8 November 2001. Talbert House adalah tempat khusus bagi pria yang mengalami kecanduan obat-obat terlarang.

Setelah menjalani beberapa kali terapi, Ferguson akhirnya dinyatakan bebas dari pengaruh obat-obatan psikotropika tersebut. Sebagai bonus, ia bahkan diberi kesempatan mengunjungi ibunya di Dayton selama dua hari. Tanggal 20 Desember 2001, pukul 09.00, berangkatlah Ferguson meninggalkan Talbert House, dengan catatan: ia harus kembali lagi ke rumah rehabilitasi pada tanggal 23 Desember 2001 pukul 24.00.

 

Makan teman

Namun apa lacur, kesempatan menghirup udara segar selama dua hari itu justru dimanfaatkan Ferguson untuk kembali melakukan tindak kejahatan. Ferguson ternyata tak langsung pulang ke rumah, tapi lebih dulu menyasar apartemen temannya, James Nicholson dan William Ferrel. Sejenak, senyum kerinduan merebak di wajah James dan Ferguson. Sebelum akhirnya, hanya berselang beberapa detik, berubah menjadi ketegangan.

“Mana dompetmu,” bentak Ferguson pada James, dengan muka mengerikan.

James yang melihat sahabatnya berubah, bak menjadi macan yang siap menerkam, mau tak mau mengeluarkan dompet dari saku celananya. Ingin rasanya James melawan tindakan Ferguson, namun apa daya, kakinya terpasung lemas di kursi roda.

Selang beberapa menit kemudian, Wiliam muncul dari dalam kamar. Menyaksikan sahabatnya dalam posisi terancam, William berkeinginan membantu. Namun, kekuatan yang dimilikinya tak bisa menandingi tubuh Ferguson yang beratnya mencapai 285 pounds atau setara 130 kg. Apalagi Ferguson pernah belajar gulat semasa di sekolah dulu.

Jatuhlah tubuh Wiliam tepat di bawah kursi roda James. Keduanya pun akhirnya pasrah pada tindakan selanjutnya yang akan dilakukan Ferguson.

“Kalian tidak mungkin melawanku. Aku peringatkan, jangan sekali-kali melaporkan kejadian ini kepada polisi. Kalau kalian berani melapor, aku akan kembali dan membunuh kalian berdua,” bentak Ferguson.

Sesaat kemudian, Ferguson pergi meninggalkan rumah dua sahabatnya itu dan berniat membeli kokain. Masa-masa terapi selama dua tahun di rumah rehabilitasi ternyata tak sungguh-sungguh menyembuhkan ketergantungan Ferguson pada zat-zat psikotropika.

Ferguson mengalami kerinduan yang mendalam pada minuman keras dan obat-obatan. Mumpung sedang bebas, dia bertekad melakukan apa pun, termasuk kejahatan, demi mendapatkan minuman keras dan obat-obatan. “Aku juga ingin membalas dendam pada polisi, tunggu saja tanggal mainnya,” geram Ferguson. 

Setelah melakukan pemerasan, Ferguson menikmati betul kokain dan minuman keras yang didapatnya. Meski hanya berada di lorong-lorong jalan Dayton, Ferguson merasakan euforia atau kegembiraan yang luar biasa. Naluri pembunuh kembali mengalir deras di dalam pembuluhnya ketika perayaan Natal 25 Desember 2001 tiba. Perayaan Natal yang semestinya dirayakan dengan ungkapan kasih pada orang-orang sekitar, justru dimanfaatkan Ferguson untuk melakukan balas dendam kepada orang-orang di sekitarnya.

 

Natal berdarah

Kidung-kidung Natal menggema di sepanjang Jalan Dayton. Lagu Gloria, Malam Kudus, dan Merry Christmas terasa sekali menghangatkan kawasan tersebut. Kehangatan kian terasa di rumah-rumah penduduk, berkat suasana ceria yang dimunculkan oleh orang-orang yang menyempatkan diri berkumpul bersama dengan keluarga masing-masing.

Di balik jendela kaca tampak jelas orang-orang saling membagikan kado, makan, dan bernyanyi bersama, sambil bersalam-salaman. Begitu indah dan sangat menyenangkan. Seolah-olah Kristus dan Santa Klaus datang untuk menyapa mereka dan berkumpul bersama dalam suasana penuh kedamaian.

Sayangnya, keceriaan Natal sepertinya sama sekali tak menyentuh hati Ferguson. Di sebuah taman kota, Ferguson hanya duduk termenung dengan tatapan kosong. Puluhan batang rokok dihisapnya tanpa memedulikan orang-orang yang duduk di sekitarnya. Ingatannya kembali ke masa lalu, yang dipenuhi perayaan Natal yang selalu sepi. Tak ada Mama yang membuatkan masakan spesial, tak ada Papa yang mendongeng tentang kelahiran Yesus. “Akhh Natal itu saat-saat yang memuakkan,” geramnya dalam hati.

Setiap Natal, Ferguson hanya bisa memandangi sampah-sampah di lorong jalan, para gelandangan yang mencari nasi buangan, dan beberapa keributan yang dilakukan orang-orang tak dikenal. Apakah ini yang dinamakan keindahan Natal? Kehangatan Natal, buat Ferguson identik dengan penderitaan. Yang membuatnya selalu teringat dengan masa kecil yang tak menyenangkan, dan membenci kehidupan.

Tiba-tiba ia teringat pada ibunya. Perempuan itu menjadi satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini, selain papanya tentu saja. Meski ia sering berkeliaran di jalan, mamanya tetap saja memperhatikan dan mengajaknya pulang. Perlakuan itu yang membuatnya tidak bisa membenci sang mama. Tapi semenjak mamanya menikah lagi dengan pria lain, Clarence Vela, adik Thomas S. King, pandangan Ferguson pada mamanya mulai berubah.

Ferguson merasa menjadi seorang pribadi tunggal yang tak memiliki siapa-siapa. Kebencian akan keluarganya makin menjadi-jadi sejak ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan hidup di jalanan.

Setelah beberapa jam bernostalgia dengan masa kecilnya, seperti kerasukan setan, matanya pun mulai memerah. Entah apa yang membuatnya merasa aneh kala itu, Ferguson tiba-tiba berubah menjadi predator yang tak kuasa menahan hasrat untuk menerkam mangsa. Ibarat vampir yang butuh darah, begitulah Ferguson merasakan tubuhnya meronta-ronta.

Ferguson mematikan rokoknya, lalu beranjak dari bangku panjang taman kota. Dengan raut muka penuh amarah, berjalanlah ia menyusuri jalanan di Kota Dayton bagian timur. Tak lama kemudian, ia sudah berdiri di depan sebuah rumah besar nan megah. Di dalam rumah, Thomas S. King Sr. dengan susah payah melangkahkan kakinya yang ditopang kruk, mendekati pintu rumahnya ketika pintu diketuk.

Dibukanya pintu itu dan terlihatlah sosok pria berbadan besar dan berambut cepak. Keduanya tak terlihat asing satu sama lain. Maklum saja, saudara laki-laki Thomas adalah ayah tiri Ferguson. Setelah bercakap beberapa menit, tiba-tiba Ferguson menyerang Thomas dengan pisau dapur. Pisau itu ditusukkan berkali-kali hingga Thomas tersungkur. Belum puas menusuk, Ferguson lantas mengarahkan sepatu bot berkuku baja yang dikenakannya ke arah tubuh Thomas. 

Darah mulai bercucuran, Thomas pun tewas seketika.

 

Pasangan gaek

Ferguson lalu menarik tubuh Thomas ke arah ruang makan. Pisau barang bukti pembunuhan ditinggalkan di dekat mayat Thomas. Lalu ia buru-buru mengambil barang-barang yang ada di sekitarnya. Ada dua televisi, masing-masing 13 inci di kamar tidur dan 19 inci di ruang makan. Ferguson pun menyikat stereo boom box dari dapur. Kemudian ngeloyor pergi untuk membeli kokain.

Keinginan untuk melakukan pembunuhan kembali muncul ketika ia mengetuk pintu mantan tetangga sewaktu kecil, Arlie Fugate (68) dan Mae Fugate (69) pada keesokan harinya, 26 Desember 2001. Sepasang suami-istri ini juga tinggal di Dayton Timur, berdekatan dengan rumah Thomas. “Lama tidak bertemu denganmu Gator,” ungkap Arlie, setelah membuka pintu rumahnya.

Meski agak sulit mengayuh kursi rodanya, namun Arlie tetap menyambut ramah pria bertubuh kekar itu. Setelah bercakap-cakap melepaskan kerinduan, Ferguson minta izin kepada mereka untuk ke kamar mandi. Tapi bukannya ke arah kamar mandi, Ferguson malah pergi ke arah dapur untuk mengambil pisau dapur.

Tanpa rasa curiga, Arlie berniat melanjutkan percakapan dengan Ferguson, ketika tiba-tiba, sang tamu melakukan serangan dengan pisau dapurnya ke arah Arlie. Mae Fugate yang keluar dari kamar segera berlari menghampiri suaminya yang sudah terjatuh dari kursi roda.

“Hentikan Gator .. jangan bunuh kami .... !” jerit Mae memelas sambil berlinang air mata. 

Tapi Ferguson hanya tertawa, sebelum melakukan kekejian yang sama terhadap Mae. Seperti suaminya, Mae pun akhirnya tersungkur tak berdaya. Tanpa penyesalan, Ferguson meletakkan pisau dapur di dekat mayat pasangan gaek itu, yang terbujur diam di ruang tamu. Diambilnya cincin kawin Arlie-Mae, lalu dengan tenang Ferguson meninggalkan rumah sang pasutri. Ia meluncur ke rumah kerabatnya, Vicki Miller, seorang juragan kokain yang juga buronan polisi. Di sana Ferguson sejenak berpesta.

 

Tercium polisi

Siang hari, 27 Desember, Ferguson tiba di rumah Ricky Webb, kerabatnya. Ketika sampai di sana, Ferguson meminta Ricky menyalakan televisi. Tak tampak sedikit pun rasa ketakutan atau gelisah di wajahnya, saat menyaksikan pemberitaan yang begitu gencar tentang pembunuhan demi pembunuhan yang terjadi di kotanya.

Pembunuhan Thomas dan sepasang suami-istri di kawasan Dayton Timur ternyata sudah menjadi objek pemberitaan di berbagai media. Diberitakan pula bahwa polisi sedang melakukan penyelidikan dan pencarian terhadap sang pembunuh yang dilukiskan sebagai “sadis” dan tak punya hati. 

Ferguson sama sekali tak peduli dengan berita pembunuhan di beberapa saluran teve yang ditontonnya. Sampai akhirnya, tiba-tiba, ia berkata pada Ricky Webb. “Saat pembunuhan itu, aku ada di lokasi. Aku tahu pembunuhnya,” ungkap Ferguson. Ricky memandangi Ferguson, antara percaya dan tak percaya. 

“Kamu ikut terlibat dalam pembunuhan itu?” tanya Ricky. Pandangan matanya langsung tertuju pada noda-noda darah di pakaian Ferguson.

Namun dengan tangkas Ferguson menjawab. “Bukan aku. Tadi si pembunuh kabur dan melemparkan senjatanya ke arah tubuhku.” 

Melihat Ferguson berbicara dengan penuh keyakinan, Ricky meminta Ferguson merendam dan mencuci pakaiannya yang penuh noda darah. Ia juga mengingatkan Ferguson untuk membersihkan juga sepatu bot-nya. Setelah itu, sore harinya, Ferguson pamit hendak ke rumah seorang rekannya yang lain, Irma Hess, yang letaknya masih di sekitaran Dayton.

Di tempat kejadian perkara, polisi masih disibukkan dengan pencarian data-data pembunuhan sadis tersebut. Jejak-jejak pembunuhan yang ditinggalkan di rumah korban mulai diteliti satu per satu. Tentu saja polisi juga mewawancarai saksi-saksi mata yang berada di lokasi kejadian. Hingga ujung-ujungnya, secercah sinar yang mengarah ke satu nama didapat: Ferguson!

Jejak sepatu bot Ferguson menjadi bukti utama. Sementara itu, Ferguson masih adem ayem bersembunyi di rumah Irma Hess. Di rumah itu, Ferguson berusaha kembali menghilangkan noda-noda darah yang masih tertinggal di bajunya. Ferguson tetap tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya. Begitu pula rekannya, masih percaya seratus persen, kasus pembunuhan yang kian gencar diberitakan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan Ferguson.

 

Tanpa perlawanan

Hari demi hari berlalu. Polisi kian memiliki bukti yang langsung mengaitkan Ferguson dengan pembunuhan-pembunuhan sadis yang belakangan mengganggu Dayton. Tepat 28 Desember, pukul 15.00, detektif Gary Dunsky, Doyle Burke, dan polisi lainnya membawa surat penangkapan Ferguson. Keberadaan Ferguson di rumah Irma Hess memang sudah cukup lama dimata-matai oleh polisi, sehingga penangkapan berlangsung sangat mulus.

Entah lantaran begitu yakin pada diri sendiri, Ferguson sama sekali tidak melakukan perlawanan, apalagi melarikan diri. la diam saja ketika polisi mengepung rumah persembunyiannya, dan masuk untuk memborgol tangannya. 

Ahli forensik Denise K. Rankin yang melakukan tes darah pada sepatu bot Ferguson menemukan kecocokan dengan darah para korban. Sehingga bisa dipastikan, memang betul darah para korban yang tertinggal di sepatu bot sang penjagal. Ferguson bahkan tak menolak dan mengakui sebagai satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas kematian tiga nyawa tak berdosa itu.

Dalam surat Ferguson yang dikirimkan ke hakim dan jaksa tertanggal 7 April 2003, tercatat bahwa ia benar-benar mengakui perbuatannya. Di dalam surat itu, tanpa tedeng aling-aling ia menulis kekejaman yang dilakukannya. “Aku menikam, menusuk, dan menendang korban-korbanku. Aku memang menikmatinya dan tak akan pernah menyesal membunuh mereka. Aku memang menginginkan hukuman mati. Secepatnya!”

Sepanjang April hingga Mei 2003, dr. Bergman, psikiater, melakukan pemeriksaan terhadap Ferguson. Hasil evaluasi cukup mendirikan bulu roma. Ferguson disebut-sebut memiliki kompetensi untuk melakukan kejahatan, dan kompetensi itu datang dari dalam dirinya sendiri. Ferguson juga dicap sebagai seorang penderita cacat mental, persisnya gangguan bipolar, yang biasanya diikuti atau didahului depresi yang teramat dalam. 

Entah depresi seperti apa, namun kelainan bipolar ini yang memotivasi Ferguson melakukan tindak kejahatan. Bahkan dr. Bergman menemukan fakta bahwa di usia muda, kira-kira 19 tahun, Ferguson pernah mencoba bunuh diri dengan menelan racun tikus. Sayangnya, terapi yang dilakoninya untuk lepas dari usaha bunuh diri di rumah sakit Miami Valley itu tampaknya tak kunjung berhasil. Kondisi itu diperparah dengan fakta, Ferguson juga pecandu minuman keras serta obat-obat terlarang.

 

Memilih mati

Memutuskan untuk menghukum mati seseorang bukanlah hal yang mudah. Ini pula yang terjadi pada kasus Ferguson. Para psikiater meminta agar Ferguson mendapatkan perawatan intensif untuk menyembuhkan kondisi kejiwaannya. Tim dokter pun yakin, perawatan medis dapat membuatnya normal seperti manusia lain, dan mencegahnya untuk melakukan kejahatan. 

Namun pengadilan Ohio punya pendapat sendiri. Ferguson dianggap layak untuk diadili dan dieksekusi. Kejahatan yang dilakukan, yaitu pencurian, pemerasan, dan pembunuhan adalah tindakan yang dilakukan dengan sadar. Ferguson - yang ditanya tentang hukuman apa yang pantas diterimanya - sendiri memutuskan untuk langsung menjemput maut. “Saya hanya ingin mati. Saya adalah pengikut setan, dan ingin segera menyusulnya ke sana,” papar Ferguson. Ferguson juga menolak memanfaatkan hak pengajuan grasi yang menjadi hak setiap warga negara. 

Mati adalah keputusan yang dipilih Ferguson. Akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan eksekusi mati bagi pembunuh yang memang ingin cepat mati itu. Ini eksekusi mati ke-1.038 sejak Amerika Serikat menjalankan jenis hukuman ini pada tahun 1976.

Ketika eksekusi berlangsung, Ferguson pun tetap tenang. Tato di sekujur tubuhnya, plus kacamata hitam menjadi bagian dari pameran kekuatan.

Hanya Donna Davis yang tak kuasa menahan tangis dan meradang histeris. “Dia bukan anak setan, aku melahirkannya dengan iman. Aku mengajarinya berbuat kebaikan.” Berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “Anakku hanya tidak ingin lama-lama ada di penjara. Hanya itu,” tegasnya. (Olive)




" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448546/eksekusi-nomor-1038" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952099000) } } [5]=> object(stdClass)#125 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3401129" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#126 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/03/maut-di-pulau-surga_marek-okonj-20220803011217.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#127 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Seorang wanita ditemukan dengan luka parah di pulau yang indah di Bermuda. Terakhir kali keluar untuk memanggil kucingnya dan tak pernah kembali." ["section"]=> object(stdClass)#128 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/03/maut-di-pulau-surga_marek-okonj-20220803011217.jpg" ["title"]=> string(19) "Maut di Pulau Surga" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-03 13:12:39" ["content"]=> string(19627) "

Intisari Plus - Ny. Gertrude Robinson adalah janda tua berusia 72 tahun yang ditemukan dengan luka parah di antara pohon pisang di pulau yang indah di Bermuda. Diketahui, ia terakhir kali keluar untuk memanggil kucingnya dan tak pernah Kembali lagi ke rumahnya.

-------------------

Tanggal 6 Maret 1959 malam, Ny. Gertrude Robinson keluar dari rumahnya, untuk memanggil kucing kesayangannya. Janda kelahiran Inggris berumur 72 tahun itu tinggal sendirian di Warwick, yang terletak di pantai selatan P. Bermuda. 

Entah apa yang terjadi padanya di malam yang naas itu. Yang jelas, malam itu ia tidak mampu kembali ke rumahnya yang menghadap ke pantai berpasir merah jambu dan karang-karang yang indah. Keesokan paginya, pukul 07.00 lewat sedikit, ia ditemukan dalam keadaan tidak sadar di antara tanaman pisang. Sekujur tubuhnya luka parah. Ny. Robinson tidak pernah sadar lagi. Beberapa jam setelah ditemukan, ia meninggal. 

Polisi tidak berhasil menemukan petunjuk apa pun yang bisa mengungkapkan siapa pembunuhnya. 

Dua bulan kemudian, seorang penduduk di daerah Warwick juga menelepon polisi. Ia melaporkan bahwa tetangganya, Ny. Dorothy Pearce yang berumur 59 tahun, sudah beberapa hari tidak kelihatan. Ia khawatir terjadi sesuatu pada wanita Inggris yang tinggal sendirian itu. 

Polisi mendatangi rumah janda cerai itu, yang terletak di sebuah tebing di tepi pantai. Ternyata wanita itu sudah menjadi mayat di ranjangnya sendiri. 

Ny. Robinson dan Ny. Pearce menunjukkan luka-luka yang mirip. Wajah mereka habis ditinju sampai tidak bisa dikenali lagi. Sekujur tubuh mereka digigit dan dicakari. Selain itu keduanya sama-sama diperkosa. Dokter yang melakukan autopsi, Dr. S.S. Toddings, menarik kesimpulan bahwa pelakunya pasti seorang penderita kelainan seksual yang berbahaya.

 

Membawa cangkul 

Bermuda adalah sebuah pulau yang indah di Samudera Atlantik. Saking indahnya, ia dijuluki Pulau Surga dan Pulau Bunga. Banyak hartawan senang berlibur ke pulau yang berada di bawah kekuasaan Inggris itu. 

Di antara 42.000 penduduk Bermuda terdapat sejumlah besar wanita asal Inggris yang tinggal sendirian. Ada yang tidak menikah, ada yang menjanda, ada pula yang sudah pensiun. Mereka memilih tinggal di Bermuda, karena iklimnya yang nyaman dan pajak di sana rendah. jadi, mereka bisa hidup lumayan dengan keuangan yang terbatas. 

Ketika terjadi pembunuhan sadis atas dua wanita itu, pihak yang berwenang di pulau itu meminta bantuan Scotland Yard di Inggris. Polisi Metropolitan di Inggris mengirimkan Superintendent William Baker dan Sersan Detektif John O'Connell untuk mendampingi pemimpin departemen penyidikan kejahatan di pulau itu, yaitu Superintendent James Lodge yang dulunya orang Yard juga. 

Mereka melakukan penyidikan intensif untuk memburu si pembunuh. Mereka memerintahkan agar kaum pria berumur 18 - 50 tahun yang tinggal di pantai selatan pulau itu, diambil sidik jarinya. Ratusan orang diminta mengisi formulir berisi sejumlah pertanyaan. Sementara itu sejumlah tentara AS di pangkalan angkatan udara dan angkatan laut diperiksa. Tak seorang pun boleh meninggalkan pulau itu tanpa izin polisi. Terpaksa sejumlah pengantin baru dari Inggris dan AS memperpanjang bulan madu mereka. 

Walaupun demikian, usaha keras mereka itu tidak menghasilkan sesuatu yang berguna. Setelah tinggal enam minggu di Bahama, kedua petugas Scotland Yard pun pulang ke Inggris. 

Penduduk Bahama pun mulai hilang kekhawatirannya. Mereka menduga, pembunuh itu seorang pendatang yang kini sudah meninggalkan Bahama karena takut pada orang-orang Yard.

 

Awal Juli .... 

Ny. Rosaleen Kenny tinggal di daerah Warwick juga. la seorang wanita Inggris setengah baya, yang tinggal sendirian di sebuah flat. Hari itu ia sedang tidur di ranjangnya, ketika seorang pria tiba-tiba menyerbu masuk ke kamarnya. Dengan ganas pria itu mencoba memperkosanya, tetapi wanita setengah baya yang tubuhnya masih kuat itu melawan dengan garang sambil berteriak-teriak sekuat tenaga. Karena ia tinggal di flat, para tetangganya cukup dekat untuk bisa mendengar teriakannya. Pria penyerangnya menginsafi gelagat buruk, sehingga ia melarikan diri setelah membanting Ny. Kenny. 

Dari Ny. Kenny, polisi mendapat keterangan bahwa pria penyerangnya itu berkulit hitam dan membawa-bawa pacul! 

Penduduk Bahama pun kembali ketakutan. Sebagian wisatawan buru-buru meninggalkan pulau. Yang belum keburu datang, lekas-lekas membatalkan kedatangan mereka. Orang tidak berani berenang atau berjemur di pantai sendirian. Mereka selalu pergi beramai-ramai. Tempat-tempat terpencil dan perkebunan-perkebunan tidak mendapat pengunjung. 

Kapal-kapal pesiar milik para playboy masih tertambat di pantai, tetapi para penumpang wanitanya lebih suka tinggal di kapal. Cuma sedikit saja yang berani turun ke darat setelah malam turun. Sementara itu tempat-tempat hiburan malam mendadak sepi. 

Setelah pembunuhan atas Ny. Robinson, Dr. Toddings menyatakan bahwa pembunuh berkelainan seksual itu harus berhasil ditangkap dengan segera, kalau tidak, ia akan mengulangi perbuatannya. Apa yang dikatakannya itu terbukti. Apakah penyerang Ny. Kenny ini pembunuh yang dicari-cari polisi?

 

Siang hari bolong 

Ingatan manusia itu pendek. Buktinya belum sampai tiga bulan kemudian, kehidupan di pulau itu sudah berjalan hampir seperti semula. Orang sudah berani berenang sendirian lagi di pantai, walaupun cuma pada siang hari.

Hari Minggu 28 September, bara Rawlinson yang berumur 29 tahun mengajak dua temannya berenang ke pantai. Mereka menolak, sebab ombak sedang agak tinggi. Jadi, Barbara yang berambut pirang kecokelatan itu pergi sendiri dengan mengendarai sepeda motornya. Ia mengenakan pakaian renang di balik blus dan celana pendeknya, sambil berbekal handuk untuk berjemur di pantai dan buku bacaan. 

Barbara baru tinggal di Bahama mulai bulan Mei 1959. Jadi, ia belum berada di pulau itu pada saat Ny. Robinson dan Ny. Pearce dibunuh. Gadis London yang pendiam, senang membaca, dan bermain piano itu tadinya bekerja di ibu kota Inggris itu. Kemudian ia menjadi sekretaris di sebuah perusahaan impor di Bahama, karena ingin mencari pengalaman. Di pulau ini, ia mondok di rumah rekan sekerjanya, Tom dan Anne Sayers. 

Dalam surat-suratnya kepada orang tua dan saudaranya di London, Barbara mengaku rindu juga ke rumah, tetapi katanya, ia senang di Bahama sebab bisa menikmati banyak cahaya matahari dan bisa sering berenang di pantai. 

Tanggal 28 September itu, ia mengendarai sepeda motornya ke Southlands, yaitu pantai sepi milik Brigade H. Dunbar Moconochie. Purnawirawan mantan pemimpin garnisun. Bermuda itu memberi izin kepadanya, karena Barbara sering menolongnya mengetikkan surat. Sebelum berangkat, Barbara berkata kepada teman-temannya bahwa ia tidak berniat masuk ke laut, karena ombak sedang besar. la cuma ingin berjemur di pantai. Lewat tengah hari, dua orang gadis murid sekolah melihatnya sedang berbaring di pasir sambil membawa buku karangan Vicki Baurri, Mortgage of life. 

Ketika pamit kepada suami istri Sayers, Barbara berkata ia sudah pasti pulang pada saat minum teh. Ternyata pada saat minum teh, Barbara tidak muncul. Padahal ia bukan orang yang semau gue dan selalu memberi tahu kalau berhalangan pulang pada waktu yang dijanjikan. Pukul 18.30 mereka sudah tidak tahan lagi menunggu. Tom melapor kepada polisi. 

Polisi segera mencarinya ke pantai Brigade Moconochie. Namun, Barbara tidak ditemukan. Mereka khawatir Barbara nekat berenang, lalu dihantam ombak ke batu-batu karang. 

Malam itu Sidney Hart, pengelola tanah Brigade Moconochie, melihat sepeda motor Barbara di Pantai Southlands. Esok paginya, ketika mendengar Barbara tidak pulang, ia pergi ke pantai dan menemukan buku Vicki Baum yang dipinjam Barbara dari perpustakaan umum. Selain itu ditemukannya pakaian renang Barbara, setengah terkubur di pasir. Yang membuat ia kaget ialah buku dan pakaian itu bernoda darah. Pakaian renang itu juga robek, seperti ditarik dari tubuh pemakainya. 

Pantai itu letaknya masih dalam radius 1,5 km dari tempat Ny. Robinson dibunuh dan dari rumah Ny. Pearce. Karena itu polisi mengerahkan tenaga untuk memeriksa seluruh pantai dengan saksama. Mereka menemukan sejumlah batu karang kecil penuh darah dekat blus putih, celana pendek hijau, dan sepatu sandal milik Barbara. Pakaian gadis itu dikubur di pantai. Handuk tidak ditemukan, juga kacamata tebal yang biasa dipakai oleh Barbara. Polisi mencari dan menggali sampai sore, tidak peduli udara panas. 

Keesokan paginya, polisi sudah mulai menggali lagi, ketika Frederick Astwood yang sedang mencari ikan hias menemukan sisa-sisa jenazah sekitar 3 km dari tempat polisi. 

Tak disangsikan lagi itu jenazah Barbara Rawlinson. Namun, setelah sekitar 36 jam di air, mayat itu sudah dimangsa hiu sehingga hampir tinggal kerangka saja. Sulit sekali untuk menentukan penyebab kematiannya. Kalau saja tidak ditemukan percikan-percikan darah di karang tepi pantai dan di pakaian Barbara yang sengaja dikubur, mungkin orang mengira ia meninggal akibat tenggelam. Kini, ketakutan yang terpendam selama beberapa bulan meledak. 

Dua pembunuhan sebelumnya dan penyerangan terhadap Ny. Kenny terjadi setelah langit gelap. Namun, Barbara Rawlinson dibunuh pada saat langit masih terang benderang, di pantai yang kelihatan jelas dari jalan di atasnya. Tak heran kalau semua perempuan, tua maupun muda, merasa tidak aman berada di pulau itu, siang maupun malam. Banyak wanita ingin meninggalkan Pulau Surga itu. Perantara penjual rumah kedatangan banyak wanita yang bermaksud menjual rumah mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. 

Pada siang hari pun penduduk tidak berani pergi sendirian, apalagi di malam hari. Mereka tidur paling sedikit berlima dalam sebuah rumah, dijaga oleh anjing. Para suami yang mesti berdinas malam, memasang iklan untuk mencarikan teman wanita bagi istrinya yang ditinggalkan bekerja.

 

Pria berpakaian basah 

Walaupun udara di Bahama panas dan lembap, rumah-rumah di daerah "angker" siang malam ditutup rapat-rapat jendela dan pintunya. Padahal, jendela dan pintu itu sudah diberi terali. Karena sudah beberapa pembunuhan terjadi tanpa polisi setempat sanggup menangkap pembunuhnya, penduduk daerah itu . lantas berinisiatif mengumpulkan dana untuk menyewa detektif swasta dari AS. Pejabat setempat buru-buru memberi jaminan bahwa pemerintah sanggup melaksanakan tugasnya melindungi rakyat. 

"Dana bukan masalah. Kami memberi keleluasaan kepada pemimpin kepolisian untuk mengeluarkan biaya yang diperlukan, berapa pun besarnya," kata penguasa tertinggi di pulau itu;. 

Namun, penduduk rupanya sudah tidak percaya. Mereka tetap mendesak agar pihak yang berwajib mendatangkan bantuan dari luar. Seorang penduduk menulis surat terbuka ke koran setempat, Royal Gazette. la mengusulkan agar polisi menyediakan hadiah £ 5.000 untuk orang yang mampu memberi informasi. Selain itu ia juga menganjurkan polisi meminta bantuan Scotland Yard dari Inggris atau FBI dari AS. 

Seminggu setelah pembunuhan atas Barbara Rawlinson, Scotland Yard menerima permintaan bantuan dari Bahama. Jadi, pada tanggal 6 Oktober 1959 didatangkan dua detektif: Superintendent Richard Lewis dan Sersan William Taylor. Mereka akan membantu detektif di pulau itu, Superintendent Lodge. 

Mereka menanyakan sebab kematian Barbara. Ternyata pemeriksaan post-mortem cuma mengungkapkan bahwa tidak ada tulang korban yang patah. Jadi, para detektif cuma bisa mengasumsikan bahwa pembunuh mendekati korbannya pada saat si korban sedang berjemur sambil membaca. Pembunuh menyerang korban dan mungkin memperkosanya juga, lalu menyeret jenazah korban ke laut, dengan harapan tidak akan ditemukan. 

Ternyata datang informasi berharga dari salah sebuah toko sepeda yang banyak di jumpai di dekat pantai. Toko-toko itu biasa menyewakan sepeda kepada turis dan tentara. Menurut keterangan orang di toko sepeda itu, seorang pria berkulit hitam yang pakaiannya basah muncul di tokonya dalam keadaan gugup pada hari Barbara dibunuh. Polisi mencatat waktu kemunculan pria itu di toko sepeda. Ternyata Barbara diperkirakan dibunuh sejam sebelum itu. 

Pria di toko sepeda itu bisa menggambarkan bagaimana rupa pria berpakaian basah itu. Ternyata cocok dengan gambaran yang diberikan oleh salah seorang dari dua murid sekolah yang pernah melihat Barbara berjemur di pantai. Murid sekolah itu, setelah melihat Barbara, masih sekali lagi lewat di sana. Saat itulah ia melihat seorang pria berjalan dari arah laut dengan pakaian basah. 

Kini polisi mencari pria itu. Ternyata tidak sulit. Ia dikenali sebagai Wendell Willis Lightbourne (19). Pemuda itu bekerja sebagai caddy yang melayani para pemain golf. Lightbourne dibawa ke kantor polisi Hamilton untuk ditanyai. Dua setengah jam lamanya ia diinterogasi, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan air mata. 

"Gadis di pantai itu, Pak. Saya membunuhnya. Saya meninju wajahnya," katanya kepada Superintendent Lewis

 

Diperiksa tiga psikiater 

Menurut Lightbourne, ia melihat seorang gadis duduk di batu karang di pantai. Ia mengajak gadis itu berbicara, lalu menarik pakaian renangnya. Gadis itu marah dan mencoba memukulnya sambil memaki-maki. 

"Saya pukul kepalanya," kata Lightbourne. "Ia berteriak-teriak. Saya tidak suka mendengar teriakannya. Saya tidak memperkosanya. Saya berlari pergi. Ia masih hidup waktu saya tinggalkan. Ia jatuh dari air. Saya tak menceburkannya." Wendell Willis Lightbourne ditangkap dengan tuduhan membunuh Dorothy Barbara Rawlinson. 

Setelah itu ia ditanyai apakah tahu tentang pembunuhan atas Ny. Robinson dan Ny. Pearce. Lightbourne menjawab bahwa ia tahu tempat tinggal mereka. Lalu diperlihatkannya buku-buku jarinya yang menunjukkan bekas luka. 

"Saya memukuli wanita dengan ini," katanya. "Kadang-kadang sehabis minum saya ingin melakukan sesuatu. Saya menjadi uring-uringan. Saya keluyuran. Malam hari kadang-kadang saya menyusuri pantai. Mungkin saja saya masuk ke rumah seseorang." Ia tidak tahu apakah ia pernah masuk ke rumah Ny. Pearce atau Ny. Robinson. Mungkin saja, jawabnya. Namun, ia menyangkal pernah menyerang Ny. Kenny. Bulan Desember 1959 Lightbourne dihadapkan ke pengadilan. la cuma dituduh membunuh Barbara Rawlinson. la mengaku tidak bersalah. Katanya, dulu ia mengaku karena polisi menyatakan ia akan disekolahkan supaya bisa membaca dan menulis, kalau mau mengaku membunuh. 

Menurut Lightbourne, Barbara merayunya supaya mau bermesraan dengan dia, tetapi ia menolak. Barbara marah dan menamparnya. Ia balik menampar. Lalu Barbara jatuh menimpa karang. Lightboume mencoba menolongnya. Dilihatnya kepala Barbara berdarah. Karena takut melihat darah, ia melarikan diri. 

Ia menyangkal pernah berkata kepada sipir penjara bahwa ia membunuh karena sakit hati pernah dihukum lecut dengan cemeti tahun sebelumnya. Ia merasa hukuman itu tidak patut diterimanya. 

Pembela Lightboume, seorang wanita berkulit hitam bernama Lois Browne, bertanya kepada Superintendent Lewis, apakah Lightbourne mengaku akibat ditekan? 

"Tidak", jawab Lewis. "Dengan disaksikan oleh dokter, saya bertanya kepada Lightboume apakah sejak tiba di kantor polisi ia disiksa atau dipaksa membuat pernyataan yang tidak ingin dibuatnya. Ia menjawab, "Tidak". 

Menurut Lightbourne, ketika jenazah Barbara ditemukan, ia ingin bunuh diri, tetapi tidak berani. Kemudian ia ingin menembak diri, tetapi tak bisa menekan picu. 

Juri yang terdiri atas tujuh orang berkulit putih dan lima orang berkulit hitam, memutuskan bahwa Lightboume bersalah. Hakim menjatuhkan hukuman mati. Beberapa jam sebelum Lightboume digantung, eksekusi ditunda untuk memungkinkan dipertimbangkannya dua petisi. Satu petisi yang ditandatangani 600 orang meminta agar Lightboume diberi keringanan hukuman. Petisi lain yang ditandatangani 3.000 orang meminta ia tidak diberi keringanan hukuman. 

Akhir Januari 1960, tiga psikiater terkemuka dari London terbang ke Bermuda untuk memeriksa Lightboume. Berdasarkan laporan mereka, hukuman mati atas Lightboume bisa diubah menjadi seumur hidup. 

Menurut mereka, agresivitas pada diri Lightboume dikaitkan dengan seksualitas yang merusak. Ia merasa dirinya diperlakukan tidak adil, karena ia miskin tak bisa membaca dan menulis. Karena itu ia menganggap dirinya pantas untuk melakukan apa saja terhadap orang-orang yang menentang atau menampiknya. 

Ia juga tidak suka melihat; darah karena itu mengingatkan dia bahwa perbuatannya tidak pantas. Karena hati nuraninya terganggu oleh orang yang ia lukai, ia terdorong untuk terus menyerang. Lightboume merasa dirinya sebagai orang yang dalam istilah disebut exception.

Lightbourne dibawa ke Inggirs dan dipenjara disana (Norman Lucas)

" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553401129/maut-di-pulau-surga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1659532359000) } } [6]=> object(stdClass)#129 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350770" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#130 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/senggolan-pinggul-membawa-maut_a-20220629073155.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#131 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(125) "Inggrid Riedel menuju ke rumah setelah pulang sekolah. Sesampainya di rumah, ia menemukan kakaknya terbujur kaku di kamarnya." ["section"]=> object(stdClass)#132 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/senggolan-pinggul-membawa-maut_a-20220629073155.jpg" ["title"]=> string(30) "Senggolan Pinggul Membawa Maut" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:32:18" ["content"]=> string(33284) "

Intisari Plus - Di bulan April yang cerah, Inggrid Riedel menuju ke rumah setelah pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ia membayangkan masakan yang disiapkan oleh ibunya. Apa nyana, sesampainya di rumah, ia menemukan kakaknya terbujur kaku di kamarnya.

------------------

Setiap menjelang musim semi, warga Jerman senantiasa mengulang pepatah yang bunyinya, "Der April nicht was er will". Yang artinya, April tidak tahu apa yang hendak diperbuatnya dengan cuaca.

Pepatah itu biasanya tepat. Namun kali ini, tanggal 19 April 1967, yang jatuh pada hari Rabu, tidak. April tahu betul apa yang hendak diperbuatnya terhadap Darmstadt, sebuah kota kecil di Jerman Barat.

Dicurahinya kota itu dengan cahaya matahari keemasan dari langit biru tak berawan. Dihangatkannya suhu cuaca hingga burung-burung tiba-tiba mengicaukan tembang perkawinan musim semi karena mengira kala itu bulan Mei. Dirangsangnya pucuk-pucuk ranting tetumbuhan agar bersemi, menumbuhkan daun-daun hijau nan lembut, yang tentunya sungguh tidak menguntungkan, sebab bulan April di Eropa Tengah dapat melahirkan cuaca beku yang dahsyat mematikan.

Namun situasi itu sama sekali tidak bikin pusing setidaknya bagi Ingrid Riedel. Bagi dirinya, sekarang ini musim semi: cuaca indah, usianya 17 tahun, dan ia gadis yang cantik. Tapi yang terpenting, sekarang pukul 12.30, sekolah usai, ibu dan Heidrun sudah menyiapkan makan siang di rumah.

 

Bersembunyi di balik kain

Selera makan Ingrid memang besar. Meski hampir tumbuh menjadi wanita dewasa, ia toh tak kuasa untuk tidak berjalan dengan meloncat-loncat menuju pintu rumahnya yang indah di Jl. Leo Tolstoy 9.

la heran, pintunya terkunci.

"Sialan!" umpatnya sambil memencet bel. 

Tak ada yang menyahut.

"Aneh!" gerutunya. "Ke mana sih mereka, bikin gue enggak bisa makan." 

Ke mana ibu dan kakak perempuannya pergi, Ingrid tak tahu. Yang jelas, mereka tidak ada. Yang mesti dilakukannya, masuk ke rumah lantas menyiapkan makan siang sendiri. Tentu banyak persediaan makan di lemari es.

Masuk ke rumah buat Ingrid bukan masalah. Kancing jendela dapur di belakang rumah, sudah rusak. Kalau tahu caranya, jendela bisa diangkat dan orang bisa melompat masuk. Sudah pernah ia melakukannya, dan kini mencobanya lagi.

Begitu masuk dapur, hanya kesunyian yang segera menerkam. 

Rumah tempat ia lahir dan tinggal selama ini mendadak jadi begitu lengang. Segalanya seakan berhenti. Ibarat jam, suara dentingnya baru disadari ketika ia berhenti berdetik.

"Mama!" Ingrid memanggil ibunya dengan nada ragu. "Heidrun?" 

Tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang makin mencekam. Ingrid menegakkan bahunya. la memang gadis pemberani dan terbiasa menghadapi masalah daripada menghindarinya.

"Ada yang enggak beres di rumah ini," katanya dengan suara lantang kali ini. "Gue ingin tahu." 

Suaranya menggema di ruangan kosong yang ada tangganya menuju lantai dua. Gema suaranya tak pelak membuatnya merinding. Kendati begitu, keluarlah ia dari dapur, masuk ke ruangan itu. Sebelum naik tangga, dihampirinya pintu depan yang terkunci, lantas membukanya sedikit. Pemandangan di luar yang menyuguhkan indahnya cahaya matahari keemasan, cukup menenteramkan hatinya.

Setiba di lantai atas, dilihatnya kamar tidur orang tuanya nampak rapi. Juga ranjangnya. Ibu dan kakaknya berarti sudah selesai membereskan rumah sebelum pergi. Begitu pun kamar tidurnya. 

la setengah berharap di kamarnya menemukan catatan yang menjelaskan kepergian mereka yang aneh ini. Namun di sana tidak ada apa-apa. la kembali ke arah tangga, lalu berhenti di depan kamar kakaknya. Pintunya tertutup. Tapi itu tak aneh.

Keluarganya suka kerapian. Pintu-pintu tidak dibiarkan terbuka.

"Heidrun?" bisik Ingrid sambil memegangi daun pintu. 

Digenggamnya gagang pintu. Dengan hati dag-dig-dug didorongnya pintu hingga terbuka. Heidrun nampak terbaring di ranjang. Dari ujung kaki sampai ujung rambutnya terselimuti kain penutup tempat tidur!

Ah, legalah hatinya. Ini pasti bercanda! Ibu dan kakaknya bersembunyi di tempat tidur untuk menakut-nakutinya. Jadi, memang tidak ada apa-apa.

Dengan dua kali lompatan, Ingrid masuk ke kamar. Dipegangnya ujung kain penutup tempat tidur dan ditariknya hingga terbuka.

"Lu enggak lucu ...," ia baru mulai ngomong tetapi kata-kata berikutnya tersangkut di tenggorokan, tidak keluar. Masih menggenggam ujung kain penutup, Ingrid memalingkan mukanya sambil berteriak-teriak tidak keruan.

Yang terbujur di ranjang itu ternyata tubuh kakaknya, Heidrun. Telanjang. Rambutnya yang pirang nampak seperti lingkaran cahaya di sekitar kepalanya. Hanya saja tidak lagi pirang, Tetapi merah tua, warna darah segar. Seprai di sekitar tubuh itu kuyup oleh darah yang minta ampun banyaknya. Mulutnya setengah terbuka, matanya yang besar dan biru menatap kosong ke langit-langit.

 

Palu berlumur darah

Ingrid tak ingat bagaimana tadi ia turun tangga dan menelepon polisi. Yang jelas pos polisi Darmstadt menerima telepon darinya, dan lima menit kemudian sebuah mobil patroli tiba dengan dua orang petugas di dalamnya.

Ingrid tergolek di tangga depan di bawah matahari musim semi, ia hanya sanggup berbisik, suaranya habis karena berteriak-teriak tapi tak seorang pun datang menolong. Kawasan Jl. Leo-Tolstoy memang kompleks hunian mewah, rumah-rumah saling berjauhan.

Sementara seorang petugas tetap bersama Ingrid, petugas yang lain naik ke lantai atas dengan pistol di tangan.

Tak berselang lama petugas itu kembali dengan pistol sudah di sarungnya. Wajahnya Nampak terguncang. Heidrun Riedel berusia 20 tahun, dan si petugas hanya 2 tahun lebih tua. Inilah kali pertama ia memeriksa kematian sesosok mayat.

"Pembunuhan," katanya dengan suara yang dalam, sambil memalingkan wajahnya dari Ingrid yang tengah menangis. "Saya mau telepon, melapor ke markas."

"Tanyakan juga apa kita boleh membawa gadis ini ke rumah sakit," kata sejawatnya. "la perlu perawatan dokter."

Markas mengizinkan gadis itu dibawa ke rumah sakit, tetapi harus tetap ada petugas di TKP (tempat kejadian perkara), menjaga agar segalanya tetap seperti sediakala sampai tim dari CID (bagian penyelidikan kriminal) tiba.

"Kamu yakin gadis itu tewas?" tanya petugas di markas. "Apa perlu dikirim ambulans?"

"Denyut nadi atau jantungnya sudah enggak ada, juga napasnya," kata petugas pelapor. "Sudah tewas."

"Banyak retak-retak di tengkoraknya," kata dr. Philipp Frenzl, dokter dari CID, sembari menatap Inspektur Ludwig Eberling lewat kacamatanya. "Suatu benda keras macam palu atau punggung kapak. la belum meninggal lebih dari dua jam sesudahnya."

"Kejahatan seksual?" tanya Inspektur. 

Dokter itu memeriksa dengan jarinya yang terbungkus sarung tangan.

“Motifnya seks barangkali," katanya. "Tidak diperkosa. Masih perawan." 

"Mungkin sengaja tidur telanjang," duga Sersan Detektif Gunther Weber yang berlutut sambil melongok kolong ranjang. "Ah-ha! Saya menemukan sesuatu!"

“Apa?" kata Inspektur yang ikut berlutut tapi tidak berhasil melongok ke kolong ranjang. 

"Palu," kata Sersan. "Berat. Sepertinya berlumur darah."

"Biarkan saja di situ," ujar Inspektur. "Nanti kita geser ranjang itu dan memotretnya. Mungkin dipakai untuk membunuh."

"Anda ingin petugas lab komplet?" tanya Sersan. 

Inspektur mengangguk. "Cepat bilang pada mereka," katanya. "Mayat itu sudah dingin. Kalau bisa cepat dapat petunjuk, apa pun, mungkin kita bisa tahu pelakunya, mumpung belum pergi terlalu jauh."

 

Dikira penganut hidup telanjang

Sersan menelepon markas lewat mobilnya yang diparkir di pinggir jalan. la sudah mendapat laporan soal Ingrid Riedel dari petugas patroli yang ada di TKP. Setelah menyampaikan pesan ke tim laboratorium, ia menelepon rumah sakit menanyakan apakah kondisi Ingrid sudah memungkinkan untuk dimintai keterangan.

Rupanya belum, karena dokter di rumah sakit itu memberinya obat penenang dosis tinggi dan membaringkannya di tempat tidur.

"Gadis itu shock berat," kata dokter menjawab pertanyaan Sersan. "Anda harus hati-hati sekali ketika menanyainya, bahkan setelah ia sadar. Pengalaman seperti itu menimbulkan efek yang permanen."

“Pengalaman seperti apa?" tanya Sersan yang belum tahu-menahu situasinya, dan mengira Ingrid pun korban tindak penyerangan itu.

"Kata petugas patroli, gadis ini menemukan tubuh kakaknya yang terbunuh," kata si dokter. "la sendiri belum mengatakan apa-apa."

"Petugas patroli menemukan keduanya, lalu mencatat mereka sebagai berasal dari keluarga yang sama," kata Sersan, "Kami belum tahu siapa korbannya."

Ketika Sersan masuk kembali ke rumah itu, Inspektur sedang menaiki tangga.

"Ada korban satu lagi di ruang bawah tanah," kata Inspektur. "Katakan pada Philipp, terus bantu saya memeriksa rumah ini. Entah ada berapa lagi mayat di sini."

Ternyata hanya ada dua korban, mayat gadis di lantai atas dan mayat yang ditemukan di ruang bawah tanah itu.

"Saya kira itu ibu si Gadis yang mayatnya ditemukan di atas," kata dr. Philipp. "Keadaannya mirip."

Erna Riedel (48) telentang di lantai semen. Lembaran plastik yang semula menutupi tubuhnya ada di sampingnya.

Seperti halnya anak perempuannya, tubuh Erna Riedel telanjang dan meninggal karena tengkoraknya remuk. Darah membasahi rambutnya yang pirang dan tergenang di sekitar kepalanya. Mata dan mulutnya tertutup.

"Enggak ada juga tanda-tanda perkosaan," kata dokter. "Tetapi mengingat wanita ini pernah melahirkan, bukan tak mungkin terjadi penetrasi tanpa kekerasan. Namun, tidak saya temukan ejakulasi di dalam, dan wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda terangsang."

"Yang mana lebih dulu?" tanya Inspektur. 

Dokter angkat bahu. "Kira-kira pada saat yang sama dengan gadis di lantai atas," katanya. "Saya belum bisa memperkirakan dengan tepat sebelum keduanya diautopsi."

"Yang ingin Anda katakan palu yang sama?" kata Inspektur 

"Saya kira begitu," ujar dokter sambil menyibakkan rambut yang berlumur darah untuk memeriksa luka-lukanya.

"Wanita ini barangkali dibunuh lebih dulu di sini, baru si pelaku naik ke atas menghabisi gadis itu di sana, dan meninggalkan palunya di kolong ranjang," guman Inspektur. "Tapi apa maunya gadis itu berbaring telanjang di tempat tidur pada pukul 10.00, begitu pun ibunya. Jangan-jangan keluarga ini penganut hidup telanjang?"

Petugas laboratorium menjelaskan, keluarga Riedel bukan golongan seperti yang dimaksud Inspektur. "Dalam kasus ini," kata seorang petugas lab, "kepala mereka dipukul pakai palu, setelah itu baru ditelanjangi. Kami tahu bahwa itu dilakukan segera karena darah yang ada pada pakaian mereka relatif sedikit. Anehnya, si pelaku nampaknya mencoba menyembunyikan hal itu."

"Anehnya, memang," kata Inspektur. "Tapi untuk apa dia mencopoti pakaian mereka?" Dokter bilang tidak ada perkosaan."

"Seks," kata si petugas lab singkat. "la melakukan masturbasi di depan tubuh-tubuh itu setelah membunuh dan menelanjanginya. Ada bekas sperma di lantai dan tubuh wanita yang lebih tua."

“Seks yang menyimpang," kata Inspektur. "Apakah perilaku itu hal biasa bagi si Pelaku?"

"Mungkin," kata petugas. "Tetapi tentu bukan hal biasa kalau sebelumnya pakai membunuh orang segala. Yang ada di benaknya mungkin melulu melakukan masturbasi di depan wanita bugil dan ia tidak terlalu sulit menemukan wanita yang mau untuk itu."

Dr. Frenzl tidak sependapat. 

"Mengingat kekerasan perbuatan itu," katanya, "saya tidak percaya kalau ini persoalan sederhana, yakni ingin bermasturbasi di depan wanita telanjang. Kekerasan itu sendiri bagian dari pola perilaku seksual. Tidak akan mengherankan kalau ia punya catatan pernah menyerang wanita. Bukan memerkosa lo. la mungkin tidak bisa melakukan perkosaan biasa. Tetapi menyerang dengan kekerasan lalu menelanjanginya."

 

Buku alamat

Jam menunjukkan pukul 19.00, masih pada hari yang sama dengan hari pembunuhan terjadi. Dr. Frenzl tiba di kantor Inspektur, melaporkan temuan awal dari autopsi yang belum seluruhnya selesai. Tapi sudah cukup untuk mengetahui bahwa tidak ada yang mengejutkan. Keluarga Riedel, ibu dan anak itu, tewas dalam selang waktu setengah jam sebelum pukul 09.00. Belum ada petunjuk lain. Baru itu.

"Baik, mungkin ia punya catatan kejahatan," kata Inspektur, "tetapi tidak ada pada kami. Günther masih mengecek arsip di Frankfurt dan Mannheim, tetapi saya rasa ia tidak punya catatan apa-apa."

"Apa hasil pemeriksaan palu di lab?" tanya dokter. "Mereka sudah selesai mengambil sidik jari dan beberapa bentuk luka-luka untuk perbandingan." 

"Positif," kata Inspektur. "Palu itu dipakai untuk membunuh dalam kedua kasus itu. Anehnya, pada benda itu hanya ada sidik jari si Ibu dan anaknya. Persisnya di bagian kepala palu. Disimpulkan, palu berasal dari rumah itu juga, dan Ny. Riedel memberikan kepada pembunuhnya. Tentu saja, ia tidak mengira kalau lelaki itu bakal membunuhnya." 

"Bagaimana dengan suaminya?" tanya dokter. "Sudah ditemukan?"

Inspektur mengangguk. "la sedang dalam perjalanan bisnis di Austria," katanya. "Saya bicara dengannya lewat telepon. la pulang malam ini, tetapi buat kita ia tidak akan dapat membantu memecahkan kasus ini. la juga tidak tahu siapa kiranya yang telah melakukan semua ini. la cuma mengira, itu perbuatan orang gila."

“Melihat caranya sih, memang," kata dokter. "Kalau begitu tidak ada bukti, petunjuk, atau apa pun dong? Lalu apa yang mau Anda lakukan?"

"Ada satu petunjuk yang mungkin bisa membantu," ujar Inspektur. Ny. Riedel menyimpan buku alamat dan di dalamnya, di antara alamat-alamat teman dan saudaranya, ada nama sejumlah tukang: tukang kebun, tukang leding, dsb. Di samping setiap nama, ia menuliskan jenis pekerjaan berikut alamatnya."

"Nah, kalau begitu kita dapat menarik kesimpulan. Berhubung tak ada bukti apa pun yang menunjukkan adanya perlawanan di rumah itu, maka kehadiran si Pembunuh tentunya diterima dengan baik. la tentu orang yang mereka kenal dan bekerja di sana."

"Kedua, kalau Ny. Riedel betul menyodorkan palu itu ke si Pembunuh seperti dugaan lab, maka palu itu bukan untuk membunuh, tetapi untuk melakukan suatu pekerjaan. Pria itu mungkin seorang tukang dan pernah bekerja untuk Ny. Riedel."

"Anda cerdik," kata si dokter. "Apa lagi yang membuat Anda beruntung?"

"Sebentar lagi saya akan tahu," ujar Inspektur. "Fritz sedang mengecek daftar catatan kejahatan yang bisa dijadikan petunjuk. Saya sudah minta empat petugas untuk melacak keberadaan mereka pagi tadi."

"Kalau begitu saya tunggu," kata si Dokter. "Boleh minta kopinya?" Di kantor Inspektur tersedia seteko kopi panas. Tetapi dr. Frenzl tak sempat menuang kopi karena laporan mulai masuk.

 

Dua orang tukang 

"Semuanya negatif," gerutu Inspektur, sambil memeriksa nama-nama dalam daftar itu. "Praktis pagi tadi mereka semua bekerja. Hanya ada dua nama lagi, orang yang satu tidak tahu ke mana perginya, yang lain ke luar negeri."

"Saya kira yang terakhir itu justru paling mungkin dicurigai,” kata dokter mencoba mengamati. "Kapan perginya?”

"Kata istrinya, kemarin," ujar Inspektur. "Kalau istrinya tidak bohong dan suaminya memang pergi kemarin, orang itu pun tak bisa dicurigai."

Telepon berdering. "Eberling," kata Inspektur geram setelah mengangkat telepon

"Ya, Fritz. Bagus. Tak ada keterangan pada kedua orang itu? Oke. Cepat bawa kemari."

Ditaruhnya telepon, dan diselipkannya cerutunya kembali di sudut bibirnya.

"Satu dari para tukang itu punya catatan kejahatan," katanya. "Perampokan. Dobrak dan masuk. Namanya Klaus Schmidt, 42 tahun. Tukang leding."

"Saya kira mereka semua bisa dipertanggungjawabkan pagi tadi, kecuali dua orang itu," kata dokter. "Apa yang ini salah satu dari keduanya?"

"Ini orang yang tidak dapat kita ketahui di mana ia berada," kata Inspektur. "Sedangkan yang satu lagi tukang cat rumah berumur 33 tahun. Namanya Hans Schütz. Sudah menikah dan mengatakan pada istrinya pergi ke Prancis untuk cari kerja.”

"Pria yang sudah kawin kecil kemungkinannya jadi tersangka," kata dokter, "tetapi si Schmidt ini nampaknya juga enggak mungkin. Catatan kriminalnya bukan menyangkut kejahatan seksual. Tapi perampokan, sementara kasus kita kejahatan seksual."

"Atau kita cuma berpikir soal itu?" kata Inspektur.

"Dibuat seolah-olah seperti kejahatan seksual?" kata dokter. "Ya, saya kira mungkin itu .... Ada yang hilang dari rumah itu?"

"Sejauh pemeriksan sampai saat ini tidak," kata Inspektur. "Kita baru tahu kepastiannya malam ini setelah Pak Riedel pulang dari Austria. Saya sendiri sangsi apa ada barang yang diambil. Banyak barang berharga di rumah itu, bahkan sejumlah uang."

"Bagaimana jalannya perampokan itu?" tanya dr. Frenzl bingung.

Inspektur angkat bahu. "Siapa yang tahu?" katanya. "Mungkin perampokan tidak berjalan mulus. Bisa jadi Ny. Riedel dan anaknya menangkap basah, lalu mereka dibunuh. Untuk menghilangkan kecurigaan, ia sengaja tidak mencuri apa-apa dan membuatnya nampak seperti kejahatan seksual. Jangan lupa, kecuali Günther menemukannya di kota-kota lain, kita tidak punya catatan kejahatan seksual dengan modus operandi yang sama. Banyak alasan yang membuat kita percaya pembunuh itu seorang tukang daripada seorang penjahat seksual."

Seperti dugaan Inspektur, Sersan Weber tidak menemukan catatan tentang kejahatan seksual yang sama, baik di Darmstadt maupun di kota-kota terdekat lainnya. Juga tidak terlacak jejak Klaus Schmidt, si Tukang Leding yang pernah merampok itu.

"Schmidt meninggalkan kamarnya tanpa memberi tahu dan bahkan tidak menghabiskan sewanya yang sudah dia bayar di muka," kata Sersan. "Tindakan itu seperti orang yang telah melakukan perbuatan salah, tetapi sayangnya ia pergi sebelum peristiwa itu terjadi."

"Itu masih dapat ditafsirkan begitu," kata Inspektur. "Schmidt mungkin tidak berencana membunuh mereka, tetapi merampok. Karena tahu bakal menjadi orang yang dituduh sebagai pelakunya, ia atur semuanya agar seolah-olah ia tidak terlibat.”

"Mungkin," kata Sersan. "Itulah yang dia lakukan dalam kasus ini. Mengatur dirinya agar mendapat pekerjaan di rumah itu, lalu memalsu kunci sehingga bisa masuk di malam hari. Ny. Riedel menangkap basah perbuatannya. Tapi kok enggak ada yang tak beres dengan kunci-kunci itu. Sudah saya periksa semua."

"Kita akan tahu bila berhasil memasukkannya ke ruang interogasi," kata Inspektur dengan mantap. "Yang kita perlukan mencari tahu di mana dia sekarang."

 

Dihajar botol bir

Dua puluh empat jam kemudian, keinginan Inspektur terpenuhi. Klaus Schmidt diketahui ada di Darmstadt. Seorang informan polisi melaporkan orang itu terlihat setiap malam di Bar Tip-Top.

"Saya mau mengamat-amati sendiri," kata Sersan Weber. "Itu tempat brengsek dan kalau kita terlihat lebih dari satu orang di sana, bisa kacau. Saya juga tak mau tugas ini diberikan kepada junior kita. Kalau Schmidt merasa bersalah, buat dia tidak ada artinya menambah satu lagi korbannya, seorang polisi."

"Silakan saja," kata Inspektur. "Risiko tanggung sendiri."

Hal itu memang nyaris terjadi. Dua malam berikutnya, Klaus Schmidt masuk ke Bar Tip-Top dan berhadapan dengan Sersan Weber yang sedang minum bir di sana.

"Polisi," kata Sersan sambil memperlihatkan sekilas surat penangkapan. "Ikut saya." 

Lelaki gemuk-pendek berambut hitam itu menatap polisi itu sekali. Tapi dengan gesit ia menghindar dengan melompat ke samping, terus berlari. Sersan Weber memberi tembakan peringatan sambil berteriak, "Jangan bergerak!"

Schmidt merundukkan badan sambil mencabut senjatanya.

Beberapa saat lamanya polisi dan buruannya saling terdiam.

“Jatuhkan senjatamu ... angkat tangan!" perintah Sersan sambil merangsek maju.

Tiba-tiba sebuah botol bir melayang dari kerumunan pengunjung bar. Yang dituju nampaknya kepala Sersan. Tapi Sersan sempat mengelak sehingga bagian belakang kepalanya luput dari sasaran. Botol terus meluncur melewati telinga Sersan dan ... dengan telak mengenai wajah Schmidt hingga ia sempoyongan.

Tahu-tahu ujung senjata Sersan sudah menempel di perut Schmidt. Sersan memelintir tangannya yang masih menggenggam senjata.

"Saya bilang, ‘Jatuhkan!’" kata Sersan.

Schmidt membuang senjatanya dan Sersan itu tak buang-buang waktu lagi langsung memborgol tangannya.

Sambil menggiring Schmidt menuju ke bar, Sersan merogoh sakunya mengambil uang dan menyodorkannya ke bartender

"Berikan sebotol bir pada orang yang melempar botol tadi," katanya. "Terima kasih," kata Sersan terus menggiring tangkapannya ke luar.

 

Gara-gara slip tabungan

Di kantor polisi Klaus Schmidt dicatat melakukan perlawanan ketika ditangkap dan memiliki senjata secara tidak sah. Atas dasar itu ia dimasukkan sel untuk merenung dan menunggu interogasi serta Inspektur esok pagi.

Boro-boro merenung, Schmidt malah segera tidur pulas. Nyalinya memang boleh, dan itu dibuktikannya di hari-hari berikutnya. Berbagai cara sudah ditempuh Inspektur untuk mengorek keterangan apa pun darinya. Tapi yang didapat tidak lain kecuali pengakuan bahwa ia tidak membunuh siapa pun dan tidak ingat di mana ia berada pada pagi hari tanggal 19 itu. Juga Schmidt sangat yakin kala itu ia sedang tidur di suatu tempat.

Inspektur begitu kesal karena Schmidt keras kepala dan terus bersikukuh pada pengakuannya. Akhirnya, Inspektur terpengaruh.

"la begitu yakin," kata Inspektur. "la tahu, tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Kupikir, ia tidak bersalah." 

"Jadi, satu-satunya kemungkinan lain yang kita miliki adalah Schütz," kata Sersan. "Tetapi ia pun bukan orang yang bisa kita curigai, sebab istrinya bilang ia ada di Prancis saat itu."

"Istrinya bilang," ulang Inspektur. "Tapi bagaimana dengan Schütz sendiri? Bawa istrinya kemari. Kita lihat sampai di mana wanita itu tetap teguh pada ucapannya. Akan kusuruh orang mengurusi Schmidt sebentar. la mulai bikin saya senewen." 

Ny. Martha Schütz dapat membuktikan kebenaran ucapannya dengan catatan tertulis.

"Maafkan aku, Martha," bunyi tulisan itu, "kita tidak akan bertemu sampai semuanya beres. Aku mengambil 50 mark dari tabungan kita berdua.”

Surat itu tertanggal 17 April 1967 dan ditandatangani Hans. 

"Sampul suratnya mana?" tanya Inspektur.

Rupanya Ny. Schütz sudah membuangnya.

"Puas?" kata Sersan setelah wanita itu pergi.

“Tidak sebelum ditelusuri lebih jauh," jawab Inspektur. "Kalau kita dapat amplopnya, tentu di situ ada cap pos dan tanggalnya. Kalau ada, ia menulis surat itu Juli yang lalu ...atau sore hari tanggal 19 April." 

"Ada dua hal dalam surat itu," kata Sersan. "Apa yang dia maksud dengan 'maafkan saya'? Memaafkannya untuk hal apa? Juga, 'sampai semuanya beres'. Semuanya itu apa? “

“Kau sudah dengar sendiri dari nyonya itu," kata Inspektur. "Menurut dia, suaminya bermaksud agar ia mau memaafkannya karena telah mengambil tabungan, dan ingin agar kondisi keuangan mereka beres. Mereka baru datang dari Jerman Timur empat bulan lalu dan saya rasa kehidupan mereka berat. Mungkin ia bermaksud minta maaf pada istrinya karena sudah mengambil uang sebanyak 50 mark dari ...." 

Nada suara Inspektur melirih, lalu ia duduk sambil menatap Sersan dengan raut muka serius sampai membuat Sersan tersentak. 

"Datangi bank tabungan itu!" teriak Inspektur tiba-tiba. "Jika penarikan tabungan itu dilakukan pada tanggal 17, lupakan Schütz. Tapi kalau tanggal lain, hubungi Interpol." 

Ternyata slip pengambilan itu bertanggal 19 April 1967. "Kecuali slip yang ceroboh itu, Schütz orang cerdik," kata Inspektur. "la tahu istrinya tidak bakalan mengecek stempel pos di sampul, dan barang yang diposkan lewat kantor pos pusat akan sampai ke alamat hari itu juga. Istrinya akan mengira surat itu diposkan suaminya tanggal 17 dan dia terima dua hari kemudian. Tapi yang sebenarnya terjadi, Schütz mengeposkannya siang hari tanggal 19. Apa kata Interpol?" 

"Mereka sedang mencari," kata Sersan. "Menurut mereka, tidak akan banyak kesulitan untuk menemukannya." 

 

Tak mampu bayar wts

Hans sedang berada di Paris, sebagai tukang cat rumah. Sebagai warga asing, namanya terdaftar di kepolisian di wilayah tempatnya tinggal. 

Schütz kembali ke Jerman dengan dugaan telah melakukan pembunuhan. Namun ketika tiba di Darmstadt, ia membuat pernyataan yang isinya menyangkal tuduhan itu.  

"Saya tidak dapat mengingat telah membunuh keluarga Riedel," kata Schütz. 

Tapi selama beberapa bulan dalam tahanan, Inspektur berhasil membangkitkan ingatannya. 

Dalam penyelidikan terhadap apartemen Schütz ditemukan pakaian kerja dengan bercak-bercak darah. Meskipun tidak mengakuinya, nampaknya ia juga hanya menaruh surat itu di kotak surat pada saat itu, dan tidak mengeposkannya. 

Hubungan Schütz dan istrinya memang sedang buruk, dan istrinya tidak lagi bertemu dia sejak tanggal 17, suatu fakta yang menguntungkan dan dimanfaatkan suaminya.

Menurut Schütz, problem dengan istrinya juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pembunuhan itu. 

“Sudah lama kami tidak melakukan hubungan suami-istri," kata Schütz, "dan saya tidak mampu membayar WTS. Pagi hari peristiwa itu terjadi, perasaan saya mengatakan Ny. Riedel tidak keberatan kalau kami saling mengenal lebih akrab. Ketika berpapasan dengannya di pintu gudang bawah tanah, pinggulnya bersenggolan dengan saya. Saya kira saya pasti sudah kehilangan akal." 

Praktis hanya itu pengakuan yang pernah diucapkan Schütz. la pun dengan tegas menolak membicarakan hal-hal detail tentang pembunuhan itu ataupun motifnya. 

Secara seksual Schütz normal, meskipun perkiraan petugas lab dan dr. Frenzl tidak demikian. la tidak tercatat pernah melakukan serangan bermotifkan seks atau yang lain. Istrinya pun menyatakan, kehidupan seks mereka normal saja sampai saat hubungan mereka renggang. 

Setahun kemudian, pada 13 Oktober 1968, Hans Schütz diseret ke meja hijau. Mengaku bersalah atas dua tuduhan pembunuhan yang tidak direncanakan, ia dijatuhi hukuman seumur hidup. (John Dunning)

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350770/senggolan-pinggul-membawa-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656531138000) } } [7]=> object(stdClass)#133 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350511" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#134 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/wanita-penyebar-maut_bank-phrom-20220629071536.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#135 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(119) "Sebuah iklan kematian di koran menarik perhatian William Sproat. Pasalnya, yang meninggal itu adalah anak tiri adiknya." ["section"]=> object(stdClass)#136 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/wanita-penyebar-maut_bank-phrom-20220629071536.jpg" ["title"]=> string(20) "Wanita Penyebar Maut" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:16:09" ["content"]=> string(32324) "

Intisari Plus - Sebuah iklan kematian di koran menarik perhatian William Sproat. Pasalnya, yang meninggal itu adalah anak tiri adiknya. Rasa penasaran pun membawanya kepada penemuan beberapa kasus pembunuhan oleh mantan adik iparnya.

------------------

Pagi tanggal 7 Maret 1932 William Sproat terpaksa membaca koran di rumahnya di kota Pretoria, Afrika Selatan. Sebuah iklan kematian menambat perhatiannya. Seperti diketahui iklan-iklan kematian di surat kabar Inggris, Australia, dan juga Afrika Selatan susunannya serba singkat. Begitu pula iklan yang dibaca William Sproat sampai berkali-kali. 

“Di kota Germiston, 5 Maret, telah meninggal secara mendadak, Rhodes, putra Nyonya Daisy de Melker dan anak tiri Tuan Sydney de Melker.”

Jadi yang meninggal itu bernama Rhodes. Tapi ini nama kecilnya. Mengapa hanya nama kecil si almarhum disebut dalam iklan itu? Mengapa nama keluarganya tidak?

Sekalipun orang tak mengenal Rhodes, niscaya orang tak akan mengatakan bahwa nama lengkapnya Rhodes de Melker, oleh karena dalam iklan dengan jelas dikatakan bahwa Tuan Sydney de Melker adalah ayah tirinya.

Apakah nama lengkap Rhodes? 

William Sproat, pembaca harian pagi di Pretoria itu dapat menjawabnya: nama lengkap itu ialah Rhodes Cowle.

 

Diduga melakukan kejahatan

la melepaskan koran itu, lalu terpekur. Setengah jam kemudian ia meninggalkan rumahnya dan menuju kantor polisi bagian kriminal. Di sana ia bertemu dengan Inspektur Detektif Mowbry namanya, dan memperlihatkan kepadanya iklan surat kabar tadi.

"Saya merasa tak enak saat membacanya," kata William Sproat. "Di mana wanita yang bernama Daisy ini berada, senantiasa ada kematian. Saya dapat mengatakan ini, oleh karena suaminya yang kedua, Robert Sproat adalah adik kandungku. la sudah mati. Dan kini anaknya sendiri - semua mati secara mendadak."

William lalu menerangkan bahwa Daisy mula-mula menikah dengan W. Cowle, ayah dari Rhodes yang dimaksudkan dalam iklan kematian. W. Cowle meninggal dalam tahun 1923. Tiga tahun kemudian Daisy menikah dengan Robert Sproat, dan suami kedua ini mati setahun kemudian (1927).

"Kebetulan sekali baru-baru ini saya bertemu dengan seorang kenalan yang menceritakan, bahwa Daisy telah kawin lagi, menjadi Ny. de Melker. Kalau tidak, iklan kematian itu tak akan berarti bagi saya. Di belakang nama Rhodes itu saja tak akan saya kenali Rhodes Cowle, dan di belakang nama Daisy de Melker itu tak akan saya kenali Daisy mantan janda Sproat dan Cowle." 

"Saya kira Daisy sengaja tak memuat nama keluarga putranya. Rupanya ia khawatir iklan itu akan dibaca oleh orang yang mengenalnya, seperti saya, dan akan menjadi curiga bahwa di rumah tangganya kembali terjadi suatu kematian," kata William Sproat.

"Kalau begitu," sahut Inspektur Detektif Mowbry, "mengapa ia tak memuat sama sekali iklan kematian itu?" 

"Kalau iklan itu tak dimuat sama sekali, orang-orang di sekitarnya akan menganggap hal itu agak aneh," jawab William Sproat.

Mowbry menerangkan, bahwa Germiston (Johannesburg) di mana (kemungkinan) kejahatan ini terjadi letaknya jauh dari Pretoria. Sebaiknya William Sproat menghubungi Detektif Kepala J.C. Jansen di Kota Johannesburg itu.

 

Jadi ahli waris

Malam itu juga William Sproat menggunakan kereta api malam menuju Johannesburg dan keesokan harinya pagi-pagi sudah duduk di kantor Detektif J.C. Jansen. Di samping mengulangi apa yang sudah dituturkannya kepada Mowbry, ia kini menambahkan berbagai keterangan berikut tentang diri Daisy. 

"Dalam tahun 1926, jadi enam tahun berselang, Daisy berusia 37 tahun, cantik langsing, dan sehat walafiat. Setelah menikah dengan saudaraku, Robert Sproat, mereka berdua tinggal di Kota Johannesburg ini, di sebuah rumah yang diwarisi Daisy dari suaminya yang pertama, Cowle."

"Karena saya sendiri tinggal di Pretoria, saya jarang bertemu dengan mereka. Akan tetapi bila sekali-sekali bertemu dengan Robert, ia sambil berolok-olok suka mengatakan kepada saya, bahwa Daisy sering mendesak dia untuk mengubah testamennya. Robert tak pernah sakit seumur hidupnya, maka ia berpendapat cukup waktu untuk memikirkan soal testamen itu."

Robert Sproat memang seorang yang berada. Punya kebun pertanian, toko, saham tambang emas, dsb. Sebelum dan bahkan setelah menikah dengan Daisy semua harta bendanya itu menurut testamennya akan menjadi milik ibunya, yang tinggal di Inggris. Ibu itu sendiri pun berada. Akan tetapi akhirnya Daisy toh berhasil mencapai tujuannya. Testamen itu diubah juga oleh suaminya. Dan beginilah kisahnya.

Pertengahan bulan Oktober 1927, setelah hampir dua tahun menjadi suami Daisy, Robert mendadak sakit. "Saya (Wiliam Sproat) dipanggil per telepon. Saya tiba di Johannesburg pukul 04.00, dan segera bertemu dengan Robert. Pesannya yang pertama ialah: 'Bila terjadi sesuatu denganku, Daisy mesti mendapat segala-galanya dari kekayaanku.' Saya tak menjawab, karena yang saya perhatikan waktu itu ialah keadaan sakitnya, dan apa sebabnya. Ternyata Robert sakit mendadak setelah sore sebelumnya minum sesuatu. Dokter datang sesudah sarapan pagi, dan katanya Robert sakit perut." 

Setelah dokter pulang, kira-kira pukul 10.00, Daisy memanggil William ke dapur dan menyerahkan sebuah rencana testamen. "Saya membacanya dan ternyata segala harta benda Robert diserahkan kepada Daisy." Kata Daisy, "Tolong perlihatkan ini kepada Robert agar dia menandatanganinya." 

"Saya merasa heran bagaimana seorang istri memikirkan hal sedemikian sementara suaminya sakit, akan tetapi saya tak berkata apa-apa dan meluluskan permintaannya. Robert membubuhi tanda tangannya, dan Daisy lalu membawanya ke luar kamar dan menyuruh seorang tetangga dan seorang buruh memperkuat testamen itu sebagai saksi."

 

Wanita serakah

Beberapa hari kemudian, tampaknya Robert akan sembuh, maka William pulang ke Pretoria. Tetapi tak cukup dua minggu kemudian datanglah kawat bahwa Robert telah menutup mata. 

Setelah menerima telegram ini segera William ke Johannesburg, la ingin mengetahui sebab kematian saudaranya. Jawab Daisy, dokter rupanya tak mengetahuinya. Dokter itu agak sangsi ketika diminta memberikan surat kematian (di mana disebutkan penyebab kematian).

Mendengar ini William berkata, kalau begitu sebaiknya tubuh almarhum diautopsi, agar dokter dapat mengetahui sebabnya dan sesudah itu dapat memberikan surat keterangan. Daisy keberatan, terutama karena biaya autopsi mahal. (Padahal harta yang diwarisinya dari suaminya ribuan ponsterling). Akhirnya Daisy memutuskan, "Serahkan pada saya. Saya akan berhasil mendapatkan surat keterangan kematian itu." Setelah ini terjadi, William menuntut agar ia diperlihatkan isi dokumen itu. Ternyata penyebab kematian disebut perdarahan di otak.

Detektif Jansen bertanya, "Anda menyangsikan kebenaran surat kematian itu?" 

"Ya, saya yakin bahwa Daisy telah meracuni saudara saya untuk mendapatkan uangnya," sahut William.

Keadaan Daisy sebagai janda Robert Sproat sungguh tak menyedihkan. Di samping saham-saham, ada uang kontak sebanyak AS $ 20.000, uang pensiun AS $ 3.000,- setiap tahun, dan empat rumah di Johannesburg yang dijualnya segera.

Beberapa bulan setelah Robert mati, Daisy mengirim surat kepada ibu Robert, minta ... uang. Kata Daisy dalam surat itu, karena Robert tak meninggalkan apa-apa bagi dia, maka ia kini dalam kesulitan. Ibu Robert tak menjawab surat itu, tapi meneruskannya kepada William. Dialah yang menghubungi Daisy. Jawab wanita itu, bahwa tak ada salahnya untuk mencoba sesuatu.

Setelah William meninggalkan kantor polisi, Jansen mempertimbangkan apa yang didengarnya. Seorang wanita yang serakah memang dapat membunuh dua suaminya berturut-turut, akan tetapi membunuh anak kandung sendiri? Hampir mustahil. Tapi bagaimanapun, pengaduan telah dilakukan, dan ia akan mengadakan penyelidikan, meskipun agak setengah hati.

 

Tewas setelah minum kopi

Sorenya Jansen mengunjungi kantor kotapraja dan minta diperlihatkan surat kematian Rhodes Cowle. Surat yang ditandatangani dr. Mackenzie itu menyebut malaria sebagai penyebab kematiannya. Bukan sesuatu yang mencurigakan. Memang malaria banyak di tempat itu.

Perasaan curiga Jansen pun tak bertambah setelah ia sehari lamanya bergerak di antara orang yang tinggal di sekitar keluarga Daisy de Melker. la kini tinggal bersama dengan suaminya de Melker dan Eileen, seorang gadis umur 18 tahun, putri de Melker dari pernikahan sebelumnya. 

Keterangan yang didapatkan Jansen dari kenalan-kenalan Daisy ialah bahwa wanita ini sedih sekali ketika putranya meninggal, pendeknya pendapat umum tentang Daisy adalah baik. Mengenai hubungan Daisy dan Rhodes, memang anak itu keras kepala dan kadang-kadang terjadi perselisihan. Akan tetapi antara ibu dan anak manakah tak pernah terjadi perbedaan pendapat? 

Meskipun begitu Jansen masih meneruskan penyelidikannya. Keesokan harinya ia mengunjungi bengkel mobil di mana Rhodes Cowle pernah bekerja sebelum meninggal. Baru di situ Jansen mendengar sesuatu yang mencurigakan. Seorang pekerja, Webster, menerangkan bahwa tiga hari sebelum Rhodes meninggal, ia masuk kerja seperti biasa sambil membawa roti dan termos berisikan kopi.

"Pukul 11.00 kami seperti biasa makan sebentar. Rhodes membuka termosnya dan menuangkan sedikit kopi di cangkir saya. Saya meminumnya, begitu pula Rhodes sendiri. Beberapa jam kemudian Rhodes mendadak sakit. Sorenya ketika saya tiba di rumah, pukul 17.30 saya sendiri pun mendadak sakit. Perut saya seperti terbakar. Dua puluh menit kemudian saya muntah, dan sesudah itu perasaan sakit itu hilang. Saya sebetulnya ingin tahu apa penyebabnya," kata Webster. 

"Saya juga," pikir Jansen, tanpa mengucapkannya.

la lalu mengunjungi dr. Mackenzie sorenya. Orangnya ramah, tapi mengaku bahwa ia tak tahu pasti apa yang sebetulnya terjadi dengan mantan pasiennya. "Saya melihatnya untuk pertama kali sore sebelum ia meninggal. Gejala yang paling mencolok ialah kejang yang hebat. 

Penyebabnya bisa bermacam-macam, akan tetapi ibunya menerangkan bahwa anaknya beberapa bulan berselang menderita malaria. Resep yang saya buat disesuaikan dengan informasi itu. Besoknya pagi-pagi saya diminta ibunya datang seketika itu juga. Ketika saya tiba anaknya telah meninggal."

Dr. Mackenzie tak bersedia memberi surat kematian, kecuali bila diadakan autopsi. Ibunya kelihatan tak senang mendengar hal itu. Tapi karena terpaksa ia akhirnya setuju juga. Dokter itu lalu mengeluarkan sehelai kartu dari lemarinya dan membaca. 

"Inilah gejalanya: Anak limpa bengkak. Radang pada bagian dalam dari perutnya. Kerusakan pada hati dan otak. Karena semua ini sesuai dengan gejala malaria tropika, maka penyakit itulah yang saya sebut dalam surat kematian."

 

Mirip korban arsenikum

Detektif Jansen membuat salinan dari laporan itu dan keesokan harinya, Jumat, 11 Maret menyerahkannya kepada dr. Copeman, ahli patologi dari Dinas Kriminal dan kepada Gilbert Britten, analis utama dari pemerintah. Jansen pun mengulangi cerita Webster dengan kopi panas dari termos Rhodes. 

Berdasarkan pengalaman Webster dan laporan dr. Mackenzie tentang keadaan Rhodes ketika diperiksa buat pertama kali, dr. Copeman menarik kesimpulan bahwa gejala penyakit itu mirip sekali dengan gejala orang yang kena racun arsenikum (warangan). Kesulitannya terletak di sini, setiap gejala yang ditemukan selama pembedahan mayat Rhodes pun cocok dengan gejala penyakit malaria tropika. Jadi, ada kesangsian: Rhodes meninggal karena diracuni arsenikum atau karena malaria?

Analis Britten menyumbangkan sebuah pikiran yang baik. "Seperti tuan-tuan tahu racun arsenikum meninggalkan tubuh manusia melalui beberapa saluran. Dua di antaranya ialah melalui rambut dan kuku. Saya usulkan untuk mengambil contoh dari keduanya dan mengirimnya ke laboratorium saya untuk dianalisis."

Jansen segera membawa dua sampul berisikan potongan rambut dan kuku Webster ke laboratorium Britten. Dua puluh empat jam kemudian analis Britten sudah dapat melaporkan hasil penyelidikannya. 

"Baik rambut maupun kuku Webster mengandung arsenikum," kata Britten kepada Detektif Jansen. "Mungkin sedikit arsenikum itu pun ada di tangan Anda." 

Berita ilmiah yang tak dapat disangkal ini mengejutkan Jansen. Kalau begitu tuduhan William Sproat ada dasarnya. Kalau Daisy tega membunuh anak kandungnya sendiri, mungkin suaminya yang kedua (Robert Sproat) dan yang pertama (William Cowle) juga meninggal secara tidak wajar. Soalnya kini sungguh serius, hingga Detektif Jansen harus melapor kepada atasannya.

 

Wanita luar biasa

Jansen diberi instruksi khusus untuk memperhatikan perkara Daisy de Melker ini, dan segala bantuan pemerintah dijanjikan. Tindakan pertama adalah menggali riwayat hidup Daisy, tanpa langsung menghubungi wanita itu agar ia jangan menjadi curiga. Wanita ini ternyata bukan saja berbahaya, tapi juga cerdik. Kalau sanggup mengelabui dokter, ia dapat mengelabui polisi dengan menghilangkan bukti-bukti lain. Maka ia tak boleh tahu bahwa ia seorang tersangka.

Tugas kedua Jansen ialah mencari tahu di mana dan bagaimana cara Daisy mendapatkan racun arsenikum itu. Bila ini dibelinya di suatu toko obat di Johannesburg, ketika membeli ia tentu membubuhi tanda tangannya dalam buku racun dari toko obat itu sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dan ini dapat diketahui. Kota Johannesburg tak terlampau luas dan waktu cukup. 

Detektif Jansen menyuruh dua orang melakukan penyelidikan ini, tapi setelah bekerja dengan teliti selama sebulan lamanya, hasilnya kosong. Tiada tempat penjual arsenikum di Johannesburg dan sekitarnya pernah menjual racun itu kepada Daisy.

Sementara itu berbagai keterangan tentang diri Daisy telah masuk, berasal dari sumber resmi (catatan sipil) maupun tidak resmi: kenalan dan tetangga. Dari semua itu temyata bahwa Daisy seorang wanita luar biasa. 

la dilahirkan dalam tahun 1889 di Afrika Selatan. Dalam usia 9 tahun ia kehilangan kedua orang tuanya. la lalu tinggal bersama abangnya di Rhodesia. Pada usia 12 tahun ia hendak sekolah di Cape Town, jauhnya 1.400 mil. Perjalanan ini dilakukannya seorang diri tanda bahwa ia bukan penakut.

Setelah lulus dari sekolah menengah pada usia 17 tahun, ia kebetulan menginap di rumah kenalan, seorang pembesar yang berkedudukan tinggi. Saat tinggal senang-senang selama empat bulan di rumah tangga yang mewah itu, ia rupanya merasa orang lain dapat hidup senang, tapi ia sendiri harus bergulat dengan kemiskinan. 

Lalu Daisy masuk sekolah juru rawat dan lulus dua tahun kemudian. Sebuah kalimat dari laporan sekolah itu sangat menarik perhatian Jansen: "la seorang siswi yang pandai, terutama dalam hal membuat obat." 

 

Gagal menikah 

Ketika masih menjadi pelajar juru rawat, pada suatu liburan ia berada di kota Rhodesia. Di situ ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Bert Fuller, seorang pegawai negeri yang baik masa depannya. Pertunangan menyusul dan ditentukan bahwa pernikahan akan dilangsungkan dalam bulan Oktober 1908, bila Daisy sudah lulus dari sekolah juru rawat dalam musim panas tahun itu. 

Pernikahan ini tak pernah terjadi. Beberapa hari sebelumnya, calon pengantin pria mendadak dikirim ke suatu tempat, jauh dari Rhodesia untuk menunaikan suatu tugas pemerintah. Sementara itu Daisy menunggu di rumah seorang bibinya di Johannesburg. Kalau Fuller sudah kembali pernikahan dapat segera dilangsungkan. 

Selama 5 bulan Fuller terpisah dari tunangannya, mereka berdua senantiasa saling berkirim surat. Dalam bulan Maret 1909 Daisy menerima kabar dari rumah sakit bahwa tunangannya sakit, akan tetapi sudah mulai sembuh. "Nona tak usah khawatir, demikian bunyi surat dari rumah sakit itu. Kami duga dalam waktu seminggu Tuan Fuller sudah bisa keluar dari rumah sakit."

Ramalan ini memang tepat sekali, memang dalam seminggu Fuller keluar dari rumah sakit, akan tetapi sebagai mayat. 

Apa yang terjadi? Meskipun bunyi surat rumah sakit tadi menenteramkan hati, namun Daisy segera mengunjungi tunangannya, dan mendesak agar dia dibolehkan menjaga tunangannya semalam suntuk seorang diri. Bukankah ia mempunyai diploma juru rawat? Keesokan paginya Fuller menutup matanya buat selama-lamanya. 

Daisy meratap keras-keras dan meskipun Fuller meninggalkan warisan sebanyak AS $ 1.500, apa artinya ini kalau mesti kehilangan seorang tunangan? Demikianlah pendapat kenalan-kenalannya.

 

Memanjakan anak tunggalnya 

Setelah Fuller dikubur, Daisy segera kembali ke Johannesburg, ke rumah bibinya di mana seorang saudagar yang kaya indekos sejak beberapa bulan. Daisy sudah mengenalnya sebelum Fuller meninggal. 

Tak diketahui apakah Daisy sudah berkasih-kasihan dengan pedagang hartawan ini ketika tunangannya sendiri masih hidup. Pendeknya, tak lama setelah mengantar Fuller ke kuburan, Daisy menikah dengan hartawan yang bernama William Cowle itu.

Pernikahan ini berlangsung 13 tahun lamanya. Lima anak lahir, tapi hanya satu yang hidup, yaitu Rhodes. Detektif Jansen menyelidiki apakah Daisy menarik keuntungan dari kematian keempat anaknya itu, dengan jalan menutup asuransi atas jiwa mereka. Ternyata tak ada asuransi. Tetapi dengan Rhodes lain halnya. 

Ketika Rhodes masih kecil Daisy telah mempertanggungkan dia pada suatu perusahaan asuransi sebanyak AS $ 1.000. Bila ia meninggal sebelum usia 21 tahun, uang itu akan jatuh ke tangan Daisy. Kalau tidak, uang itu akan menjadi milik Rhodes sendiri. Detektif Jansen teringat pada kenyataan, bahwa Rhodes mati beberapa bulan sebelum mencapai usia 21 tahun.

Juga kematian William Cowle terjadi mendadak. Menurut para tetangga, William mendadak sakit pada suatu sore setelah minum Epsom Salts yang dihidangkan oleh istrinya. Beberapa jam kemudian ia meninggal. 

Surat kematian tidak dibuat oleh dokter yang biasa mengobati William. Sebab kematian yang disebut dalam surat itu ialah "radang ginjal yang bersifat kronis serta perdarahan otak."

Warisan yang didapatkan Daisy dari suaminya yang pertama tak kecil. Pensiun sebanyak AS $ 2.000 setahun. Uang tunai AS $ 8.000, sebuah rumah yang setelah dijual menghasilkan AS $ 5.000. Di samping itu masih ada rumah di mana si Janda tinggal.

William Cowle meninggal tahun 1923. Selama tiga tahun Daisy menjanda dan memusatkan perhatian pada pendidikan putranya, Rhodes yang dikirimnya ke sekolah terbaik di Johannesburg. Daisy sangat memanjakan putranya itu. Maklumlah anak satu-satunya.

 

Gejalanya cocok

Pada tahun 1926 Daisy menikah lagi dengan Robert Sproat. Pernikahan ini tak cukup dua tahun. Bagaimana Robert Sproat meninggal telah diterangkan tadi. Setelah menjanda lagi selama tiga tahun, tibalah Sydney de Melker sebagai suaminya yang ketiga. 

Antara kematian Sproat dan munculnya de Melker, Daisy berlibur dengan Rhodes ke Inggris. Setelah kembali ke Johannesburg ternyata Rhodes suka sekali pada mobil. Beli, dijual, ganti baru, hobi yang mahal ini dimungkinkan oleh ibunya yang meskipun tidak selalu senang, namun akhirnya membayar juga rekening mobil itu.

Penyelidikan hubungan antara ibu dan anak menyatakan bahwa Rhodes selain malas dan tak mau bekerja, sangat royal. Akan tetapi setiap kali ia minta uang, ibunya selalu memberinya, meskipun sering pula terjadi cekcok. Ini mungkin karena kasih ibu yang besar, apalagi bila diingat bahwa Rhodes anak tunggalnya. 

Akan tetapi Detektif Jansen mempunyai keterangan lain: mungkin Daisy selalu meluluskan permintaan putranya karena diperas. Artinya, mungkin Rhodes mengetahui suatu rahasia dari ibunya. Tetapi apakah rahasia itu? tanya Jansen. Mungkin ada sangkut paut dengan kematian ayahnya dan ayah tirinya? Kalau begitu apakah ada yang tidak beres dengan kematian kedua orang itu?

Detektif Jansen mengunjungi dr. Pakes yang biasanya mengobati William Cowle tapi tidak menandatangani surat kematiannya. Pakes menerangkan, bahwa ia dipanggil oleh Daisy pada sore suaminya meninggal. Saat ia datang William Cowle masih hidup, tapi sangat kesakitan. 

Ketika mendengar si pasien sakit setelah minum Epsoms Salts, dr. Pakes menjadi khawatir. la lalu pulang untuk mengambil pompa untuk mengeluarkan apa yang telah diminum pasiennya. Tapi sementara itu tiba berita telepon bahwa William Cowle telah mengembuskan napasnya yang terakhir.

"Mengenai surat kematian," kata dr. Pakes, "saya tak mau membuatnya kalau tidak dilakukan autopsi." 

"Mengapa Dokter tidak bersedia?" tanya Jansen. 

"Saya curiga. Penyakit William Cowie mempunyai gejala yang mirip dengan keracunan strychnine. Ini pun tidak saya katakan pada jandanya."

Jansen kemudian mengunjungi dokter yang bersedia membuat surat kematian. Meskipun dokter itu menerangkan surat kematian tersebut ditandatanganinya setelah melakukan autopsi, tetapi ia mengaku kesimpulannya dipengaruhi oleh keterangan yang diberikan Daisy tentang riwayat penyakit suaminya. 

"Saya tak pernah mengira kematian William Cowie itu disebabkan oleh keracunan strychnine," kata dokter itu. "Tapi memang gejala-gejala yang saya lihat pada mayat Cowie, sesuai dengan gejala orang yang mati karena racun tadi."

Kisah ini hampir sama dengan kisah yang didengar Detektif Jansen dari dokter yang mengeluarkan surat kematian suami kedua Daisy, Robert Sproat. 

"Strychnine?" kata dokter itu berulang kali, setelah Jansen menyebut kemungkinan peracunan dengan racun tadi. "Demi Tuhan! Tak pernah terpikir oleh saya hal ini. Akan tetapi setelah saya pikirkan kembali semua gejala memang cocok!"

 

Memanfaatkan sang Ibu 

Detektif Jansen menggeleng-gelengkan kepala karena naifnya dokter-dokter ini. Tapi sudahlah. Kini secepat mungkin ia harus melakukan apa yang bisa diperbuatnya. la meminta izin dari pembesar yang berwenang untuk menggali kuburan William Cowie. Setelah izin itu diperoleh, ketiga mayat itu diperiksa oleh dr. Coperman dan analis Britten.

Dua hari kemudian Coperman memanggil Jansen ke kantornya. "Kita mulai saja dengan kematian terakhir," kata dokter itu. "Dalam tubuh Rhodes Cowie terdapat cukup racun untuk mematikan tiga orang. Racun itu ialah arsenikum." 

Tanpa menunggu komentar Jansen, dr. Coperman segera melanjutkan, "Kini tentang yang lain. William Cowie dan Robert Sproat mengandung bekas-bekas yang nyata dari peracunan strychnine. Dapat menemukan bekas-bekas itu setelah begitu lama, sesungguhnya penting sekali." (William Cowie meninggal 9 tahun berselang, dan Robert Sproat 5 tahun). Dokter itu menerangkan, bahwa strychnine adalah racun yang mudah lenyap. Masih adanya bekas setelah begitu lama, berarti bahwa kedua orang itu diberi racun tersebut dalam jumlah yang sangat besar sekali.

Kini sudah cukup alasan bagi Jansen untuk bertindak. Memang kedudukannya akan lebih kuat lagi bila sudah diketahui di mana Daisy membeli arsenikum yang digunakannya untuk membunuh Rhodes, anak kandungnya, tapi para asistennya tak berhasil menemukan alamat itu. Namun ia harus bertindak segera. Daisy nyata seorang wanita berbahaya. Berbahaya bagi suaminya yang ketiga misalnya. 

Sore itu juga Jansen dan seorang rekan mengunjungi Daisy de Melker di rumahnya, di Kampung Germiston (Johannesburg) dan menangkap dia atas tuduhan pembunuhan. Sudah tentu Daisy protes keras. la mencaci maki Jansen. Mustahil ia membunuh anak kandungnya sendiri, dan kedua suaminya yang dicintainya. Tak tahukah Jansen bahwa dia seumur hidupnya senantiasa berbuat baik dan merawat penuh kasih sayang anggota keluarganya?

Malamnya Jansen mengunjungi penghuni lain dari rumah di Germiston itu. Hanya Eillen, anak tiri Daisy, ada di rumah. la menceritakan, bahwa "Rhodes memang menghambur-hamburkan uang. la pernah mengatakan kepada saya, bahwa bagaimanapun ibunya pasti akan menyediakan uang untuk dandan ini memang benar. 

Sebelum jatuh sakit ia cekcok dengan ibunya tentang polis asuransi. Kata Rhodes kepada ibunya, bila ia genap 21 tahun, ia berhak atas asuransi sebesar AS $ 1.000 itu. Uang itu akan digunakannya untuk membeli mobil baru. Ketika mendengar ini Daisy sangat bingung." 

 

Digantung sampai mati

Keesokan harinya Daisy diperiksa oleh Jansen, tapi wanita itu tetap mengatakan bahwa ia tak bersalah. Akan tetapi sorenya datang berita penting. Para asisten Jansen telah menemukan alamat di mana Daisy membeli arsenikum yang menamatkan hidup anaknya.

Para asisten itu muncul di kantor polisi dengan seorang lelaki setengah tua, bernama Arthur Spilkin, pemilik sebuah toko obat di Kampung Betrams di Kota Johannesburg.

Cerita Spilkin sungguh menarik. Pada tanggal 26 Februari, hanya beberapa hari sebelum Rhodes meninggal, seorang wanita yang rasanya pernah dijumpainya datang ke tokonya membeli arsenikum. Jawab Spilkin kepada wanita itu: boleh tapi ia harus menerangkan apa maksudnya membeli racun itu, dan ia juga harus membubuhi tanda tangannya dalam sebuah buku yang khusus disediakan untuk para pembeli racun. 

"Kata wanita itu," demikian Spilkin, "ia menjumpai seekor kucing yang sakit di rumah, dan ia ingin mengakhiri penderitaan binatang itu." Setelah menerima yang dimintanya, wanita itu menandatangani buku racun.

Mendadak Spilkin ingat siapa wanita itu. la seorang langganan lama. "Bukankah Anda Ny. Cowle?" tanya Spilkin. 

"Benar," jawab wanita itu, "Tapi kini saya Ny. Sproat." Dan memang nama itulah yang ditaruhnya di buku itu, Ny. Daisy Sproat. 

Di sini nyata sekali maksud jahat Daisy. la sengaja membeli racun itu di sebuah toko, yang letaknya jauh sekali dari tempat tinggalnya. (Kampung Germiston di mana ia tinggal jauh sekali dari Kampung Betrams). Ketahuan lagi ia berdusta ketika menyebut dirinya Ny. Sproat. Sproat telah meninggal lima tahun berselang. Nama sebenarnya ia Ny. de Melker.

Detektif Jansen tertarik oleh cerita Daisy tentang kucing yang sakit itu. la menelepon Eillen de Melker, anak tiri Daisy. 

"Nona de Melker, berapa ekor kucing terdapat di rumah Nona selama beberapa tahun ini?" tanya Jansen.

"Kucing?" tanya Eileen berulang-ulang. "Saya tak mengerti, Tuan. Kami tak pernah memelihara kucing." 

Pada tanggal 17 Oktober 1932, belum 7 bulan setelah anak kandungnya meninggal, Daisy de Melker diadili. Sudah tentu perhatian publik sangat besar. Tetapi sikap Daisy senantiasa menentang tuduhan bahwa ia seorang pembunuh. Rasa percaya dirinya tak pernah berkurang. 

Perkara ini dianggapnya sebagai lelucon belaka. la yakin akan dibebaskan dari segala tuduhan. Kepada pers ia menerangkan, bahwa setelah dibebaskan ia akan menulis buku untuk dijual kepada perusahaan film di Hollywood.

Daisy boleh memilih siapa yang akan menentukan nasibnya: juri dari 12 orang atau badan yang terdiri atas 3 hakim. Daisy memilih yang terakhir. Keputusan para hakim itu ialah: dihukum gantung sampai mati. 

Daisy masih tetap tak putus asa. la naik banding. Tapi pengadilan tinggi membenarkan hukuman itu. Pada tanggal 31 Desember 1932 cerita Daisy tamat di tiang gantungan. Sampai saat terakhir pun ia bersikeras disalahmengertikan. (C. Boswell & L. Thompson)

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350511/wanita-penyebar-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530169000) } } [8]=> object(stdClass)#137 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350454" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#138 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/29/diceraikan-oleh-koin_anton-mishi-20220629071416.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#139 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(154) "Meski sudah menikah bertahun-tahun dan pisah ranjang, James dan Nina tidak bercerai. Tanpa disadari, keduanya saling mengharapkan kematian satu sama lain." ["section"]=> object(stdClass)#140 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/29/diceraikan-oleh-koin_anton-mishi-20220629071416.jpg" ["title"]=> string(25) "Diceraikan oleh Koin Maut" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-29 19:15:09" ["content"]=> string(24056) "

Intisari Plus - Meski sudah menikah bertahun-tahun dan pisah ranjang, James dan Nina tidak bercerai. Suatu hari, kedua suami istri ini menginap di hotel untuk menghadiri upacara pernikahan. Tanpa disadari, keduanya saling mengharapkan kematian satu sama lain.

------------------

Seperti kesan yang terlihat dari luar, hotel itu memang amat sederhana. Meski udara luar yang dingin leluasa memasuki kamar, hotel ini sama sekali tidak menyediakan alat pemanas. Begitu pula fasilitas standar, seperti lift pun tidak ada. Sehingga para tamu setengah dipaksa untuk berolahraga setiap kali menaiki tangga ke lantai berikutnya. 

Apa boleh buat, pasutri James Armadale dan Nina tidak punya pilihan lain. Maklum, hampir semua hotel, losmen, atau penginapan di kota ini sudah penuh.

Segera setelah check-in, resepsionis yang sekaligus merangkap manajer hotel mengantar pasangan suami-istri itu ke kamar no. 213 di lantai dua.

"Kecil sekali kamarnya!" komentar Nina Armadale. 

"Ya, hanya ini kamar dengan dua tempat tidur yang masih tersisa, Nyonya!" kata sang manajer. 

Tanpa disadari Nina berucap, "Ya, tapi saya bersyukur tempat tidurnya ada dua."

Entah bagaimana reaksi sang manajer, yang jelas James Armadale agak kaget mendengar komentar sang istri. la sempat mengerling sejenak wajah istrinya yang justru cerah. Yang dilirik tampak tidak peduli. Nina melangkah menuju jendela dan memandang ke jalan-jalan kecil yang ada di bawah. 

Dentang lonceng katedral terdengar lima kali. Nina langsung membayangkan apakah dentang itu akan selalu terdengar setiap jam, atau bahkan seperempat jam. "Hm, untung aku membawa pil tidur!" Ingatannya melayang ke pil-pil yang dibawanya dari rumah.

Lamunan Nina terputus oleh kata-kata sang manajer hotel. "Sekali lagi maaf, kamar kami penuh semua karena besok pagi ada perhelatan besar di katedral. Putri Sir William Tarrant akan menikah dan undangan yang disebar agaknya amat banyak. Sebagian besar justru datang dari luar kota." 

"Kami sudah tahu. Untuk itulah kami datang ke sini," James Armadale cepat menimpali.

"Syukur, Anda mengerti kesulitan kami. Baiklah, akan saya tunjukkan kamar mandi di sebelah kanan. Santap malam disediakan pukul 19.30, dan sarapan pukul 08.00 - 09.00. Oh, saya juga hendak menjelaskan pada Nyonya tentang cara menyalakan gas," kata manajer hotel lagi. 

"Tidak perlu! Saya bisa menyalakannya!" tukas Nina cepat-cepat karena ia tengah sibuk mencoba menutup pintu lemari pakaian yang tadinya susah dibuka.

Sia-sia manajer hotel membujuk Nina untuk mendengarkan penjelasannya. Menyadari tamu perempuannya tidak tertarik pada penjelasannya, ia pun berpaling pada James. 

"Saya akan menerangkan cara menyalakan gas. Putar tombol ke kiri, masukkan koin ke slot, kalau sudah terdengar bunyi ‘kling’, putar tombol ke kanan." James mengucapkan terima kasih kepada sang manajer yang kemudian berlalu meninggalkan kamar.

 

Maut memisahkan kita

Belum lagi pintu tertutup, Nina langsung mencecar James dengan omelannya. 

"Kenapa kita harus menginap? Kenapa tidak pergi besok saja?" 

"Alasannya banyak, Nina. Yang jelas, aku tak suka menempuh perjalanan sejauh 150 mil di pagi buta sambil memakai mantel tebal dan topi penahan dingin!" kata James santai.

"Oh, padahal kalau ada hasrat, kau bisa luntang-lantung pagi-pagi buta di hari Sabtu, 'kan!" balas sang Istri dengan ketus

"Sudahlah Nina, jangan kita bertengkar lagi! Marilah berdamai setidaknya untuk semalam ini. Sir William Tarrant adalah atasanku dan kita mendapat kehormatan diundang ke pesta pernikahan putrinya!" kata James sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. 

Tapi Nina rupanya tak bisa menerima kata-kata suaminya. "Huh, apa pendapat Sir William Tarrant jika ia melihat kepala bagian pemasarannya tukang mabuk?"

"Ia tidak tahu aku pemabuk. Yang tahu cuma kau dan itu hak istimewamu!" kata James kalem. 

Mendengar jawaban James yang tenang, Nina makin panas. "Ya, untukmu semua tempat tak jadi masalah, biarpun hotel ini pakai pemanas gas butut dan kamar mandinya jelek! Yang penting buatmu adalah bar, tempat minum-minum! Aku tidak mau berbagi tempat tidur dengan orang menjijikkan macam dirimu!" Yang dimaki-maki tenang-tenang saja.

“Atau kau memang sudah merencanakan semua ini? Kau pikir aku bisa tergiur melihatmu berganti pakaian, sekamar denganmu! Oh, James, ingat kita sudah dua tahun pisah kamar! Jangan pernah bermimpi macam-macam," kata Nina lagi dengan sengit.

James berusaha menjelaskan bahwa ia tak bermaksud macam-macam dengan memesan kamar di hotel kelas teri ini. Semua itu dilakukannya karena keadaan terpaksa.

"Aku masih ingat kau uring-uringan ketika aku minta pisah kamar. Setelah itu kau memacari Frances! Aku tak akan pernah melupakan dan memaafkanmu! Kalau bar itu tutup kau pasti pura-pura tidur di sebelahku!" kata Nina dengan nada makin meninggi.

"Tidak, Nina, aku berjanji tidak akan mengusik dan memacari wanita lain!" kata James putus asa. "Marilah kita berdamai. Bukankah kita akan 'hidup bersama'?"

“Harusnya kau memikirkannya dulu sebelum melakukan penyelewengan!" jawab Nina ketus. 

"Ya, tapi itu 'kan tiga tahun yang lalu. Kau pun harus tahu alasan aku melakukannya. Aku masih muda saat itu, usiaku baru tiga puluhan! Aku tak tahan hanya boleh menyentuhmu enam kali dalam setahun!" kata James seperti mengeluh.

Nina berbalik ke jendela dan membukanya lebar-lebar. Sambil menghirup udara segar ia pun berucap, "Aku tak peduli apa alasanmu! Tapi, aku tak akan pernah mau kau sentuh meskipun kita akan tetap bersama! Kau tahu kenapa? Karena telah telanjur menikah, kita tak akan pernah bercerai sampai maut memisahkan kita!"

James diam tak menjawab. la bangkit dan berjalan menuju pintu. "Aku mau mencari uang koin untuk bisa menyalakan pemanas gas!" katanya.

Nina termanggu sendirian di kamar hotel yang sempit dan dingin. Matanya nanar menatap dinding. Pikirannya melayang pada kata-kata yang diucapkannya sebelum James meninggalkan kamar, "Sampai maut memisahkan kita!”

Semestinya, kehidupan rumah tangga pasangan ini bisa harmonis, bahkan mungkin bisa menjadi contoh bagi pasutri lain. Betapa tidak? Sebagai wanita, Nina berwajah cantik menawan. Kapasitasnya sebagai ibu rumah tangga pun tak diragukan. 

Kalau ditanya soal rasa cinta pada sang suami, maka tak bisa ditawar lagi. Cintanya murni seratus persen. Begitu pula sang Pria, James Armadale yang berperawakan gagah dan tampan. Bagi James, tak ada wanita lain yang bisa menggantikan tempat Nina di hatinya.

Masalah kecil tapi besar yang menjerat pasutri ini adalah soal "hubungan suami-istri". Tanpa mengurangi secuil pun kadar cintanya kepada sang Suami, Nina tak begitu "mampu" memberikan yang satu ini seperti layaknya istri kebanyakan. Bukan hanya terhadap James, tapi terhadap semua lelaki. Itu seharusnya disadari James dari dulu.

Dengan pegangan janji nikah di depan pendeta, James bersedia menerima kondisi wanita pilihannya seperti apa adanya, rumah tangga pasangan ini berjalan dalam kebahagiaan dan ketenteraman seperti air danau yang tenang. Toh, nyatanya peribahasa ... tak ada gading yang tak retak ... berlaku pula dalam rumah tangga James - Nina. 

Yang jelas Nina berubah menjadi garang dan pemarah ketika mendengar selentingan James punya WIL (wanita idaman lain) bernama Frances. James keliru jika menyangka Nina tak akan pernah marah atau peduli dengan siapa ia bisa "tidur".

Kemarahan Nina yang meletup-letup tak terbayangkan olehnya. Seperti singa luka, Nina memberi serangan balasan. la menuntut pisah kamar dan tak akan pernah "melepaskan" James. Padahal, James telah lama melupakan Frances dan tak pernah berhubungan dengan wanita mana pun. Sebagai gantinya James lari ke minuman!

 

Aku ingin lepas darimu

Malam pukul 20.00 Nina turun ke bawah. Pasangan ini bertemu lagi di meja makan untuk santap malam. James sudah separuh mabuk setelah menenggak setengah gelas minuman keras. Begitu ada Nina, ia malah memesan sesloki Burgundy lagi sehabis makan sup dan daging kambing panggang.

"Aku ingin tahu, mengapa kau minum begitu banyak?" tanya Nina bisik-bisik. 

"Untuk menghilangkan kepedihan hati! Alasan klasik, ya? Tapi, itu tepat untuk kasusku!" jawab James.

Ruang makan saat itu dipenuhi tamu-tamu paruh baya seperti mereka dan orang-orang yang lebih tua. Tampaknya kehadiran Nina dan James menarik perhatian mereka. 

James merasa semua mata memandang mereka berdua. Dari segi lahiriah, mereka berdua memang serasi. Yang pria tampan, sedangkan yang wanitanya rupawan. Tapi tak ada yang tahu apa yang terjadi di balik semua itu. 

"Nina, kita tak bisa terus-terusan begini. Ini tidak fair. Kita menghancurkan diri kita sendiri. Kita harus menyelesaikan masalah ini," bisik James.

"Pilih waktu yang tepat, James! Aku tak mau membahas masalah kita saat ini," suara Nina kedengaran begitu perlahan, berbeda sekali dengan Nina yang ada di kamar hotel sebelumnya. Matanya memandang sekeliling dengan takut-takut.

James yang diperingati istrinya malah merasa beruntung. Jika mereka berbicara di depan umum, Nina pasti tidak berani berteriak histeris. la pasti akan lebih bisa mengendalikan diri. 

"Kau mabuk, James!" kata Nina.

"Tidak, Nina, aku tidak mabuk! Sekarang, dengarkanlah aku. Kau sering mengatakan kalau kau tak mencintaiku dan aku pun tidak mencintaimu lagi. Mengapa kita tidak berpisah saja?”

"Oh, begitu. Dengan demikian kau akan leluasa membawa pelacur-pelacurmu ke rumah!" 

"Tidak! Kau akan memperoleh rumah itu. Pengadilan akan memberimu sepertiga dari penghasilanku, atau setengahnya jika kau menginginkannya!" kata James. Dalam hatinya ia ingin meneruskan kata-katanya dengan kalimat "asal aku lepas darimu". Namun kalimat itu terlalu provokatif. James merasa dirinya begitu dungu.

Namun yang membingungkan, meskipun itu yang diinginkan James, Nina kelihatan begitu tenang. Suaranya pelan dan emosinya begitu terkendali, biarpun kata-katanya yang meluncur dari bibirnya tetap sama, "Jika kau meninggalkan aku, aku akan mengikutimu. Aku akan pergi ke kantormu dan melaporkannya pada atasanmu. Aku akan duduk di depan tangga rumahmu. Aku tak mau disingkirkan, kalau sampai begitu lebih baik aku mati. Aku tak mau menjadi wanita yang dicerai hanya karena kau sudah tak suka padaku lagi."

"Namun bila tingkah lakumu masih seperti ini, kau akan menjadi janda," kata James lagi.

Kalau saja mereka berbicara di rumah, pasti Nina sudah berteriak. Namun, saat itu Nina hanya memandang suaminya sambil tersenyum kecil. Orang yang memperhatikan mereka pasti mengira ia tengah tersenyum kalau mendengar lelucon yang dilontarkan James. "Ya, aku lebih suka menjadi janda, tetapi janda mati! Minumlah sampai maut merenggutmu! Itu yang harus kau lakukan apabila kau ingin lepas dariku!"

Pelayan datang ke meja mereka. James cepat-cepat memesan double Burgundy dan secangkir kopi untuk istrinya. la sadar, tak akan pernah bisa lepas dari Nina. la bukanlah tipe pria yang suka kehidupan pribadinya dibuka-buka di depan umum, apalagi jadi bahan omongan di kantor. 

la tak suka melibatkan pengacara atau teman dalam hal-hal seperti ini. Tak ada pilihan lain baginya. Maka James pun meminum Burgundy-nya sampai tandas. Kepalanya lalu menjadi terasa ringan. James berdiri, mengucapkan "maaf", kemudian berlalu. 

Nina pergi ke ruang televisi. Di layar kaca ditayangkan film tentang masalah suami-istri yang situasinya mirip dirinya. la jadi merasa tak berminat menyaksikannya. la ingin pergi entah ke mana saja untuk menenangkan pikiran dan minum secangkir kopi. Maka ia pun naik ke kamar untuk mengambil kunci mobil.

Sesampainya di kamar hotel, James tampak tergeletak di ranjang. Dasi dan sepatunya telah dilepas, meskipun ia masih berpakaian lengkap. Dengkurnya terdengar. Betapa bodohnya James tidur tanpa selimut, pikir Nina. Soalnya, udara begitu dingin sementara pemanas belum dinyalakan. 

Nina tidak menyelimutinya, meskipun ia menutup jendela yang terbuka. Kunci mobil yang bercampur dengan uang kembalian berada di saku jas James. Nina merasakan kehangatan tubuh lelaki itu, ketika merogoh saku jasnya. Tubuh Nina gemetar membayangkan keinginan lelaki ini.

Butir-butir keringat membasahi dahi James walaupun udara dalam kamar terasa dingin. Bau alkohol tercium dari napasnya. Tangan Nina menemukan dua koin uang 50 sen selain kunci yang dicarinya. Koin itu diambilnya untuk menyalakan pemanas gas keesokan hari saat ia harus berdandan sebelum pergi ke pesta.

Tiba-tiba sekelebat pikiran mengusiknya, "Mengapa tidak aku nyalakan gasnya sekarang?" pikir Nina. Cahaya lampu jalanan yang menerobos masuk ke kamar membuat Nina termangu. 

Seandainya ia memasukkan koin ke slot gas, lalu memutarnya ke kiri dan koin jatuh, gas akan memenuhi kamar. James yang tidur pasti tidak akan bangun sampai esok pagi. Yang lebih pasti lagi, James tidak akan pernah bangun lagi karena gas akan memenuhi ruangan yang sempit yang jendela-jendelanya sudah ditutup rapat oleh Nina!

Membayangkan itu, peluh dingin membasahi tubuhnya. "Apakah aku sudah gila?" kata Nina dalam hati. Jantungnya berdebar keras. Tangannya yang memegang koin gemetar. Akankah ia memutar meteran gas? Akankah ia menjadi janda tanpa dicerai? Kalau ini sampai terjadi, tak ada yang menertawakan frigiditas dirinya, tak ada orang yang mencibirnya. "Aku akan punya rumah, memperoleh asuransi jiwanya James, dan mungkin uang dari Sir William Tarrant!”

Meteran alat pemanas masih menunjukkan isi gas yang penuh. Dengan tangan dingin, Nina memasukkan koin ke slot, memutar tombol ke kiri dan ke kanan. Tapi tanpa menunggu suara koin bergulir, ia dengan berjingkat-jingkat berlalu menuju pintu. Walaupun yakin James tak akan terbangun, ia menutup pintu kamar perlahan-lahan dan segera meluncur ke bawah.

Jam di katedral dekat hotel berdentang menandakan pukul 20.45. Udara di luar amat dingin menusuk tulang. Namun, dada Nina bergemuruh dan keringat membasahi seluruh tubuhnya. la cepat-cepat menstarter mobil dan membawanya berputar-putar tak tentu arah.

 

Tak mau dicerai

Hari telah pukul 23.30, ketika bar tutup. Derap langkah para tamu hotel yang menghabiskan malamnya di situ terdengar bergantian memecah kesunyian malam.

James yang masih merasa berat kepalanya, terbangun. Tangannya yang lemas menggapai tombol lampu di samping tempat tidur. "Ke mana Nina? la pasti masih berada di ruang makan menikmati musik," pikirnya.

Ia berusaha sekuat tenaga melangkah ke luar pintu untuk mencari toilet. "Di sebelah mana manajer hotel tadi mengatakan letak kamar mandinya?"

Sambil terhuyung-huyung, ia pun turun dan berbelok ke kiri. Begitu keluar dari kamar mandi, sebelum kembali naik menuju kamar lagi, sejenak ia berdiri di tangga. Udara dingin menerpa tubuhnya. Kepalanya terasa berdenyut. "Apa yang telah aku lakukan dalam hidupku? Jika aku begini terus, pada usia 40 aku akan menjadi mayat!" keluhnya.

"Tapi, apa yang bisa aku lakukan jika Nina tak mau dicerai? Apakah aku harus melarikan diri? Meninggalkan semua pekerjaan yang telah aku rintis?" 

Tiba-tiba, ketika kaki James sampai di depan kamarnya di lantai atas, angin di belakangnya serasa berdesir. Sambil membuka pintu kamar, James membalikkan tubuhnya. Siluet tubuhnya tertangkap berkat sinar lampu kamar. 

Seperti patung, Nina bediri di belakangnya. Matanya terbelalak dan bibirnya ternganga. Seperti melihat hantu, wajah wanita yang dulu dipujanya itu kelihatan pucat. Tubuh Nina terlihat gemetar seperti orang demam. Kakinya seperti berat tak bisa melangkah.

James tak peduli atas pandangan aneh Nina. Tubuhnya langsung dibalikkan dan langkahnya diseret masuk ke kamar. Nina kemudian mengikutinya meskipun tanpa berkata apa-apa.

"Habis menonton film seram di televisi?" tanya James acuh tak acuh. 

Nina tak menjawab pertanyaan James. Tubuhnya diempaskan ke ranjang dan tangannya ditutupkan ke kepalanya. James berganti pakaian dan berbaring di ranjang lagi. Tiba-tiba Nina bangkit dan berganti pakaian. James memandanginya diam-diam.

Dalam hati, James tetap mengagumi Nina. la tetap mempesona. Wanita ini pernah memberikan sedikit kesenangan padanya dulu. Namun yang mengganggu James kali ini adalah getaran tubuh Nina yang tak wajar. 

Nina pun meninggalkan kamar menuju kamar mandi. Sekembalinya dari sana, ia tampak sudah seperti biasanya. la mengempaskan tubuhnya kembali ke ranjang.

"Sebaiknya, kau menelan pil tidurmu, Nina!" saran James.

"Aku sudah menelannya di kamar mandi. Tak ada yang beres di hotel ini! Aku ingin mandi, tetapi pemanas airnya tak berfungsi. Dasar hotel butut!" gerutu Nina.

“Tidur dan matikan saja lampunya! Kau toh tidak akan tinggal di sini seterusnya!" James menimpali gerutuan Nina.

Nina membaringkan tubuhnya. Pil tidurnya mulai bekerja. Namun tubuh indah itu seperti tegang. Tangannya menutupi mata, seolah-olah siap menebas elusan James. 

Gambaran seorang wanita yang menyambut sentuhan suaminya dengan rangkulan manja tak pernah ada. Wanita ini begitu "membeku" dan tak peduli James lari ke minuman dan menjadi sama "membatunya" seperti dirinya.

 

Koin tinggal satu 

James tak tahan berada sekamar dengan wanita ini. Rasanya ia bisa gila dan membayangkan hal-hal yang "mengerikan". la tak bisa lagi hidup dengan Nina, ia ingin menyingkirkannya. Rasanya ia ingin membenamkan bantal ke wajah rupawan itu sehingga tak ada lagi napas yang terembus.

Sebelum segalanya menjadi buruk, James bangkit menjauh. la pun memakai mantel tidurnya, membawa selimut, dan berjalan menuju ruang televisi di bawah. James ingin menghabiskan malamnya di sana sampai pagi menjelang. 

Nina pasti baru bangun pukul 09.00 besok pagi. Pada saat itu mereka akan bersiap-siap berpakaian untuk menghadiri pesta perkawinan putri Sir William Tarrant. 

Dentang lonceng katedral berbunyi sembilan kali. James bersiap siap naik ke kamar untuk berdandan. Meskipun sudah pukul 09.00 udara kota kecil itu amat dingin. Nina tampaknya tak bangun-bangun akibat menelan pil tidur, padahal pesta pernikahan sudah akan dimulai.

"Biarlah aku pergi tanpa Nina," pikir James sambil berpakaian. Namun udara terasa dingin sekali. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada kotak pemanas. James pun bermaksud menyalakannya. la jongkok dan memeriksanya. la pun merogoh saku jas untuk mencari koin. "Kenapa hanya satu? Rasanya aku punya dua koin," katanya dalam hati.

James ingat gerutuan Nina tentang semua ketidakberesan hotel ini. Maka sebelum mempergunakan koinnya yang cuma satu, ia pun memutar-mutar tombol gas. 

"Putar tombol ke kiri, masukkan koin ke slot, putar tombol ke kanan. Itu berarti gas menyala," demikian ingatan James akan pesan manajer hotel yang mengantar mereka kemarin.

Tangan James mencoba memutar tombol ke kiri. Tiba-tiba terdengar bunyi "kling", bunyi sebuah koin yang jatuh. la lalu memutarnya ke kanan dan gas pun menyala. "Syukurlah, aku bisa menghemat koin. Rupanya tamu hotel sebelumnya yang salah menggunakan gas pemanas ini," kata James.

James yang tergesa-gesa berdandan lupa mematikan gas pemanas ketika meninggalkan kamar hotel, la juga lupa membuka jendela agar udara bisa keluar-masuk. Sebentar saja kamar itu dipenuhi gas, sementara Nina masih tertidur pulas. 

James cepat-cepat keluar, menutup pintu tanpa menoleh lagi ke arah istrinya. la baru akan kembali tengah hari dan saat itu tubuh Nina tidak akan bangun-bangun lagi! (Ruth Rendell)

" ["url"]=> string(70) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350454/diceraikan-oleh-koin-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656530109000) } } [9]=> object(stdClass)#141 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3350154" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#142 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/28/cinta-membawa-maut_anna-tarazevi-20220628020653.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#143 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(132) "Penduduk Selandia Baru digemparkan oleh kasus dokter yang dibunuh oleh dokter lain. Pembunuhnya adalah mantan pacar yang sakit hati." ["section"]=> object(stdClass)#144 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/28/cinta-membawa-maut_anna-tarazevi-20220628020653.jpg" ["title"]=> string(18) "Cinta Membawa Maut" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-28 14:07:06" ["content"]=> string(18384) "

Intisari Plus - Penduduk Selandia Baru digemparkan oleh kasus dokter yang dibunuh oleh dokter lain. Pembunuhnya adalah mantan pacar yang sakit hati. Apa alasannya di balik pembunuhan tersebut?

------------------

Pada suatu hari di bulan Januari 1955 para pembaca koran di Selandia Baru gempar. Berbagai koran di sana memuat berita terbunuhnya seorang dokter oleh dokter lain. Pembunuhnya seorang wanita, sementara korbannya seorang pria yang beberapa waktu sebelumnya menjadi pacar si wanita.

Si wanita terlalu mencintai pria itu. Sampai menganggap dirinya tidak bisa berpisah lagi dari pria tersebut. Secara main-main si pria diancam dengan senapan. Tetapi akibatnya fatal. Senapan yang berisi peluru tajam itu menyalak dan jadilah si pria korban dalam arti sesungguhnya. 

Kisah yang menghebohkan itu bermula dari saat dr. John William Saunders menjabat sebagai dokter tetap di Dunedin Public Hospital. Tanggung jawab John besar, karena dialah yang sehari-harinya berhubungan dengan pelbagai kasus penyakit yang masuk ke rumah sakit itu dari seluruh penjuru kota utama di South Island.

Banyak penduduk kota itu keturunan orang Skot yang kira-kira seabad yang lalu menetap di sana, sehubungan dengan ditemukannya tambang emas di Otago. Di sana ada dermaga, satu untuk mengekspor bulu domba ke Bradford, satu untuk mengekspor domba muda Smithfield. Jadi, kalau kuli dermaga tertimpa kemalangan biasanya segera dibawa ke rumah sakit yang dilayani dr. Saunders. Itu berlangsung sampai tahun 1953.

Kemudian datang seorang dokter wanita sebayanya untuk membantu dr. Saunders. Namanya dr. Senga Florence Whittingham. Dr. Whittingham menulis kepada teman-temannya bahwa dia sudah mendapatkan kebahagiaan dan pekerjaannya pun sangat menarik meskipun sangat sibuk.

Dr. Saunders juga menulis kepada ibunya yang sudah menjanda di Christchurch, sebuah kota lain di Selandia Baru dan ibu kota Provinsi Canterbury. Katanya, kini telah ada dokter lain, seorang wanita. Tampaknya dokter ini memiliki pribadi yang menyenangkan

Ternyata dr. Whittingham memiliki pendapat yang sama mengenai rekannya. Jadi, ketika dr. Saunders mengajaknya makan malam di luar, dr. Whittingham serasa terbang ke langit ketujuh. Restorannya remang-remang. Ada pula musik untuk berdansa. Sungguh menyenangkan sekali berdansa dengan dr. Saunders, pikir dr. Whittingham. Sejak itu keduanya bukan lagi dr. Saunders dan dr. Whittingham, melainkan John dan Florence. 

 

Menghadap ke calon mertua

Es yang pecah di malam makan dan dansa itu makin lumer, pada saat John dan Florence saling menemani di acara-acara sosial yang tidak jarang di Dunedin. Surat kedua dr. Saunders kepada ibunya. sudah mulai menyebut-nyebut dr. Whittingham yang baru datang itu sebagai cantik menarik.

"Ibu harus mengenalnya sendiri, kalau nanti dia saya bawa ke sana," tulisnya.

Ny. Saunders tersenyum. Dia mengetahui bahwa putranya bukan tidak suka pada wanita. Jadi, sedikit pun ia tidak heran bahwa putranya menganggap rekan dokter wanitanya sangat menarik. Justru keadaan yang sebaliknya akan membuat janda itu heran.

Tetapi dr. Saunders tidak segera membawa dr. Whittingham kepada ibunya di Christchurch. Itu bukan berarti John sudah jemu. Tapi malah sebaliknya.

Dalam bulan Mei 1953 dr. Saunders meminta dr. Whittingham agar mau menikah dengannya. 

"Kuminta kau jadi istriku, Florence," katanya. "Celaka bagiku kalau kau sampai menolaknya."

Kalimat terakhir itu merupakan catatan yang membuat dr. Whittingham tiba-tiba merasa kena pesona.

"Aku cinta padamu, John," katanya. "Aku takkan mencintai orang selain kau. Bahagiakah kau dengan itu?" 

"Lebih dari sekadar sangat bahagia sekali."

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh sukacita bagi pasangan yang baru saja bertunangan itu. Kini makin banyak waktu bagi mereka untuk berkumpul. Juga untuk kemesraan-kemesraan yang sebelumnya tak pernah ada di antara mereka. 

Sebulan setelah pertunangan mereka, Juni 1953, John membawa Florence kepada ibunya di Christchurch.

"Florence sedang menantikan bayi," kata John kepada ibunya. "Jadi, kami hendak menikah secepatnya."

Berita itu ternyata mengagetkan Ny. Saunders. Dia tidak yakin bahwa putranya benar-benar mencintai wanita muda yang seprofesi dan ternyata juga seranjang dengannya itu. Terlalu cepat. Mungkin nanti putranya akan menyesal, pikir Ny. Saunders dalam hati.

"Kalian harus yakin dan pasti mengenai bayi itu serta niat kawin kalian," kata Ny. Saunders dengan sungguh-sungguh.

Pasangan muda itu saling berpandangan. Mereka saling menjajaki reaksi atas kata-kata Ny. Saunders.

"Apakah Ibu tidak menghendaki pernikahan kami?" tanya John pada ibunya.

"Bukan begitu," kata Ny. Saunders. "Ibu tentu saja menghendaki pernikahan dan bayi kalau itu memang akan membahagiakan kalian dan kalian menghendakinya. Tetapi kalau bukan itu yang dikehendaki, maka pernikahan kalian akan menjadi suatu kesalahan besar!"

"Lalu bagaimana jadinya?" tanya sang wanita muda yang mengira dirinya mengandung dan tidak terkejut mendengar pendirian yang begitu rasional itu.

Ny. Saunders sekali lagi mengejutkan pasangan muda itu. "Kalau kalian berdua tidak menghendaki pernikahan itu, aku akan memungut bayinya sebagai anakku," katanya.

 

“Cintamu makin memudar”

Kunjungan ke Christchurch itu membuat keduanya lebih berpikir. 

"Ibuku sangat pemurah, bukan?" tanya John Saunders kepada tunangannya.

"Jangan-jangan beliau memang tidak menghendaki pernikahan kita, Bill - demikian panggilan John kalau mereka sedang berdua saja." 

Reaksi John sangat tajam. "Sama sekali bukan itu maksudnya. Beliau memikirkan kita. Sebab bagaimanapun kita mempunyai karier yang harus diperhatikan pula. Kita harus pragmatis mengenai segalanya."

Bulan-bulan berlalu. Dr. Whittingham makin hari makin merasa dirinya sebagai seseorang yang menyimpan rahasia, dan dia harus menanggung semua itu seorang diri. Memang dia masih sering keluar bersama-sama dr. Saunders, tetapi hubungan mereka sudah berubah. Bagi si wanita, kasih sayang si pria makin hari makin pudar. 

"Cintamu padaku rupanya makin memudar, Bill," kata Florence Whittingham.

Jofin Saunders menyangkal. Tetapi mungkin kurang sungguh-sungguh kedengarannya di telinga Florence. 

"Atau kau pun tidak menghendaki aku melahirkan anak itu, Bill." Kalimat itu bernada bertanya, tetapi juga menuduh.

"Bukan begitu sama sekali. Kau pasti tak mengerti apa yang kurasakan saat ini." Tetapi ia tak menjelaskan apa yang dirasakannya itu kepada si wanita.

Florence semakin merana dan merasa tertipu.

Pada bulan Agustus Florence menulis surat kepada Ny. Saunders di Christchurch bahwa dia baru saja menggugurkan kandungannya. "Ketika hal itu sudah saya lakukan, saya menyadari John tidak lagi menghendaki diri saya," akunya.

Surat itu sama-sama menyakitkannya, baik bagi si pengirim maupun bagi si penerima. Si penerima menyesali kehidupan dua manusia muda yang begitu rumit sampai membunuh seluruh kegembiraan yang ada di antara keduanya. Sementara si pengirim lebih dalam lagi sesalnya. Ada sesuatu pada dirinya yang mati. Tetapi lebih dari itu dia tidak bisa atau tidak mau merasa bahwa dia pun sebenarnya sudah pula kehilangan John Saunders.

Florence Whittingham juga tak mau menerima kenyataan itu. September berikutnya John memutuskan pertunangan mereka. Alasannya, tak ada hubungan dengan masih atau tidaknya cintanya pada Florence Whittingham. John hanya mendengar bahwa Florence takkan melahirkan bayinya.

"Jadi, tidak ada lagi alasan untuk tidak menikah, bukan?” kata John.

"Tetapi aku ingin menikah denganmu, Bill."

"Kita lihat saja nanti. Biarlah hal-hal ini berkembang dengan sendirinya," jawab John.

 

Harus bertindak

Florence Whittingham makin merasa tersingkir. Tetapi ia tetap minta waktu. Bagi Florence, pertunangan itu sudah menjadi masa lalu.

Florence Whittingham menulis surat pada ibunya bahwa hidupnya kini dilingkupi awan gelap. Dia memang masih mengerjakan tugas-tugasnya sebagai dokter di rumah sakit, tetapi semua ia tak ubahnya seperti robot yang menjalankan instruksi yang sudah diprogram. Di mana-mana ia merasa kakinya terantuk pada puing-puing kebahagiaan yang hancur berantakan. 

Lain lagi halnya si pria. Dia masih tetap populer, apalagi di kalangan perawat. Bahkan, John Saunders makin populer. Terutama di kalangan mereka yang datang di rumah sakit setelah putusnya pertunangan antara John dan Florence.

Florence Whittingham lalu mengambil keputusan bahwa dia harus melakukan sesuatu. Dia pergi dari rumahnya dan ketika pulang dia sudah memiliki sepucuk senapan .303 lengkap dengan pelurunya.

Seorang teman yang melihat barang itu tidak sesuai bagi kamar seorang dokter, bertanya. 

"Jangan mengira ini untukku sendiri!" jawabnya sambil tertawa. 

"Lalu untuk siapa?" 

"Untuk saudara laki-lakiku," jawab Florence Whittingham.

Tetapi Florence Whittingham tidak mempunyai kakak atau adik laki-laki. Jadi, akan bunuh dirikah dia, seperti dia katakan sendiri sudah membunuh anak yang dikandungnya? Suatu pertanyaan yang tak pernah terjawab. Tetapi juga merupakan suatu pertanyaan yang diajukan untuk membangkitkan simpati bagi seorang wanita yang jiwa dan hatinya penuh nestapa. Florence Whittingham yang mampu menyembuhkan penyakit orang lain, tidak berdaya menghadapi penyakitnya sendiri. 

Tahun 1954 merupakan tahun serasa di neraka bagi dr. Senga Florence Whittingham. Satu tahun di mana dia sampai pada kesadaran sepenuhnya bahwa tiada harapan untuk memperoleh kembali pria yang hilang itu.

Kecuali barangkali dengan menakut-nakuti si pria, sampai dia kembali kepadanya. Ulang tahun putus tunangan berlalu, seperti lalunya hari-hari ulang tahun lainnya.

Sampai menjelang 12 Desember 1954 senapan yang dibelinya itu masih tersimpan di lemari. Mungkin selama itu Florence lupa, untuk apa sebenarnya senapan itu dibeli. Tetapi agaknya tanggal 12 Desember menimbulkan ide baru padanya, kalau bukan motif yang lama terpendam muncul kembali.

Hari itu dr. Brian McMahon mengundang rekan-rekannya anggota staf rumah sakit umum untuk minum-minum di apartemennya. Termasuk para perawat senior, di antaranya Frances Olga Zoe Kearney, teman baru dr. Saunders. 

Entah bagaimana, dr. Florence Whittingham mendengar bahwa dr. Saunders akan datang berpasangan dengan Nona Kearney. Berita yang belum tentu kebenarannya itu membuat dr. Florence Whittingham putus asa. Diraihnya telepon untuk menghubungi Nona Kearney.

“Di sini ibu anak dr. Saunders," terngiang di gagang telepon yang dipegang Nona Kearney. 

"Apakah Anda dr. Whittingham?' tanya Nona Kearney. 

"Ya," suara dari seberang lain. 

Nona Kearney lalu meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Tetapi segera diambilnya lagi untuk memberitahukan hal itu kepada dr. Saunders.

 

Tewas dalam pelukan 

Demikianlah suasana menjelang pertemuan petang di apartemen dr. McMahon. Dr. Saunders membawa Nona Kearney ke pertemuan itu dan mereka sudah tiba siang-siang.

Dr. Whittingham membawa senapan .303-nya ke pertemuan itu. Dia tiba larut malam. 

Ketika acara minum-minum disertai nyanyi dan tari itu menghangat, dr. Whittingham kembali ke apartemennya sendiri, untuk menulis surat kepada temannya, Liz.

"Aku ingin menjadikan diriku hiburan bagi ibuku dan ibu Bill. Aku merasa terpukul sekali dan celaka. Aku tak bisa lagi. Aku menanggung rasa sakit begitu banyak. Aku mencintainya, tetapi tak ada gunanya lagi."

Tetapi Liz tidak pernah menerima surat itu. Sebab dengan bergantinya tanggal 12 menjadi 13 Desember, para tamu yang meninggalkan apartemen dr. McMahon tidak jadi segera pulang ke tempatnya masing-masing. Mereka terpanggil oleh letusan senapan dan kemudian teriakan histeris dari arah apartemen bekas tempat pesta.

Dr. Saunders tampak berlutut. Bajunya berlumuran darah segar. Kepalanya berada dalam pelukan dr. Whittingham.

"Bill, Bill, dengarkan aku," kata dr. Whittingham.

Tetapi dr. Saunders yang dipanggil Bill itu sudah tewas. Pelukan dr. Whittingham terlepas. Jenazah dr. Saunders terkapar di tengah-tengah apartemen yang beberapa menit sebelumnya penuh dengan tawa ria.

Di dekatnya terkapar pula dr. Whittingham yang jatuh pingsan. Di antara keduanya tergeletak sepucuk senapan .303.

"Bawa dia ke kamarku," kata dr. McMahon, untuk menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan.

"Aku mencintai dia, aku tidak bisa tidak mencintai dia," kata dr. Whittingham ketika siuman kembali di kamar dr. McMahon. "Aku hanya ingin menakut-nakuti dia. Aku tidak bermaksud menembaknya sungguh-sungguh. Aku hanya menakut-nakuti dia."

Kata-kata di atas ini dimuat juga dalam pernyataan tertulis yang ditandatangani dr. Senga Florence Whittingham dalam tahanan. Dengan tambahan, "Aku tidak bermaksud lain daripada menakut-nakuti dia dengan senapan. Yang kukehendaki adalah kebahagiaan kami berdua."

Kata-kata yang sama terdengar pula lirih, ketika pada hari Selasa, 8 Februari 1955, pengadilan mulai memeriksa dr. Senga Florence Whittingham dengan tuduhan membunuh bekas tunangannya di apartemen dr. McMahon.

Tertuduh tetap pada pendiriannya, bahwa dia sama sekali tidak bermaksud membunuh Saunders. Dia cuma hendak menakut-nakuti korban. Karena itu persoalannya lalu beralih pada disengaja atau tidak disengajanya senapan yang diacungkan ke arah korban meledak.

Pemeriksaan pengadilan tetap berlangsung selama enam hari. Tiap hari ruang pengadilan penuh sesak. Sebab kecuali tiap skandal di rumah sakit selalu mendapat perhatian luas, belum pernah sebelumnya terjadi di Dunedin dokter dibunuh oleh dokter lain.

Juri baru bisa berembuk mulai Senin, pukul 17.25. Tujuh jam kemudian mereka keluar dari ruang rapat, hanya untuk bertanya kepada hakim, apakah tuduhan pembunuhan bisa diubah menjadi tuduhan penganiayaan.

Dr. Whittingham dan semua orang yang menaruh minat pada perkara itu masih harus menunggu lima jam lagi. Lima jam itu pula mereka rapat, sementara dr. Whittingham duduk menunggu di gang di bawah ruang pengadilan. la dianggap sebagai tokoh yang diliputi gagasan-gagasan yang tak pernah terpikirkan oleh orang lain. Akhirnya, juri keluar dan menyampaikan keputusannya kepada hakim.

Mereka berpendapat dr. Senga Florence Whittingham bersalah menganiaya dr. John William Saunders. "Kami berpendapat senapan itu meledak tanpa disengaja," kata juri.

Hari Jumat, 18 Februari 1955, pengadilan berhimpun lagi untuk menjatuhkan vonisnya. Dr. Senga Florence Whittingham yang menembak mati dr. John William Saunders dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena dianggap menganiaya sesama manusia, bahkan rekan sejawatnya. (Leonard Gribble)

" ["url"]=> string(63) "https://plus.intisari.grid.id/read/553350154/cinta-membawa-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1656425226000) } } [10]=> object(stdClass)#145 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3257704" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#146 (9) { ["thumb_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/04/28/kisah-16_mmichael-blumjpg-20220428070811.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#147 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(129) "Sebuah kutukan dari bangsawan Hongaria membuat kacau Austria. Selamat dari kecelakaan di laut, tapi menemui maut di sebuah parit." ["section"]=> object(stdClass)#148 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(7) "Misteri" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(7) "mystery" ["id"]=> int(1368) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(23) "Intisari Plus - Misteri" } ["photo_url"]=> string(106) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/04/28/kisah-16_mmichael-blumjpg-20220428070811.jpg" ["title"]=> string(54) "Kaisar Franz dari Austria dan Papirus Bertemu Jodohnya" ["published_date"]=> string(19) "2022-04-29 10:13:21" ["content"]=> string(12645) "

Intisari Plus - Sebuah kutukan dari bangsawan Hongaria membuat kacau Austria. Selamat dari kecelakaan di laut, tapi menemui maut di sebuah parit. Tiga Paus punya kesamaan dengan sebuah tanggal.

---------------------------------------

Kaisar Franz dari Austria

TAHUN 1849, Kaisar Franz Josef dari Austria yang waktu itu baru berumur 19 tahun, dikunjungi oleh seorang wanita bangsawan Hongaria yang tidak terkenal. Wanita itu menuduh Franz Josef membunuh putranya. Michael Karoli yang masih muda itu dihukum mati atas perintah Baron Julius von Haynau, jenderal balatentara Franz Josef, saat sang jenderal mencoba memadamkan pemberontakan Hongaria terhadap Kekaisaran Austria. 

Setelah menyatakan tuduhannya, Countess (Bendara Raden Ayu) Karoli melontarkan kutukan yang terdiri atas 5 bagian: "Semoga surga dan bumi menghancurkan kebahagiaanmu. Semoga keluargamu dimusnahkan. Semoga engkau dikhianati oleh orang-orang yang kamu cintai. Semoga hidupmu hancur. Semoga anak-anakmu dihancurkan hidupnya." 

Kutukan itu rupanya menjadi kenyataan. Lebih dari belasan keluarga dekatnya tewas akibat kekerasan. Sebagian lagi dimakzulkan, terlihat dalam skandal atau mengalami pernikahan yang berantakan. 

Franz Josef menikah dengan Elizabeth yang berumur 16 tahun, yang sangat dicintainya. Namun mereka cuma setia beberapa minggu, sebelum Elizabeth menemukan kekasih dan kaisar mencari hiburan di luar pernikahan. 

la segera menghadapi masalah-masalah lain. Austria berperang dengan Prancis, Sardinia, dan Prusia dan kalah dalam semua peperangan itu. Kekaisarannya menciut dan Austria tersingkir dari Konfederasi Jerman. Tahun 1867, ipar istrinya, Maximilian, dicampakkan dari kedudukan sebagai Kaisar Meksiko dan ditembak oleh regu penembak. 

Sejak 1886 malapetaka datang bertubi-tubi: Sepupu istrinya, Raja Ludwig dari Bavaria yang gila itu bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya. Keponakan Kaisar, Sophie, dibakar hidup-hidup dan putra kaisar Putra Mahkota Rudolph bunuh diri. Keponakan laki-lakinya, John dari Saxony turun takhta dan kemudian tenggelam di laut. Kemenakan lain, Pangeran Aria William tewas gara-gara terjatuh dari kuda. Seorang kemenakan perempuan lagi, terbakar sampai tewas dan tiga kemenakan pria lagi bunuh diri. Tahun 1897, Permaisuri Elizabeth dibunuh seorang Italia di Jenewa.

Tahun 1941, calon penggantinya, Pangeran Aria Ferdinand dibunuh di Sarjevo sehingga memicu pecahnya PD I. Franz Josef meninggal sebagai orang kesepian dan kehilangan semangat, ketika Sekutu menghancurkan balatentaranya tahun 1916.

 

Musibah Kapal

BERBICARA tentang badai ... kecelakaan kapal paling buruk yang dialami Australia, terjadi 4 Agustus 1845, ketika badai hurricane mendorong Catarqui ke gosong karang kira-kira 500 m dari Pulau King di Selat Basa. 

Kapal berukuran 802 ton itu berisi pendatang. Kapal itu berlayar dari Liverpool empat setengah bulan sebelumnya, membawa 415 pria, wanita, dan anak-anak. Cuma sembilan orang yang berhasil selamat ke pantai, termasuk orang kedua setelah kapten, yaitu Thomas Guthrie. Satu-satunya pendatang yang selamat adalah Sol Brown. Istri dan empat anaknya termasuk mereka yang tenggelam. 

Guthrie kemudian bekerja sebagai nakhoda kapal yang berlayar di pesisir dan tewas tenggelam setahun kemudian ketika kapalnya karam di Australia Selatan. Tiga tahun setelah tragedi Catarqui, Brown terjatuh ke sungai kecil pada suatu malam saat ia mabuk. la pun akhirnya mati terbenam walaupun air sungai itu cuma beberapa sentimeter dalamnya.

 

Kebetulan di Laut

SALAH satu kebetulan di laut yang paling mencengangkan dimulai biasa-biasa saja, dengan keberangkatan sekunar Mermaid dari Pelabuhan Sydney tanggal 16 Oktober 1829 menuju Collier Bay yang jauhnya ribuan kilometer di barat laut pantai Asutralia Barat. Di dalam sekunar itu terdapat 18 awak dan tiga penumpang biasa. Kaptennya Samuel Nolbrow. 

Perjalanan sepanjang pantai timur negeri itu berlangsung lancar selama empat hari. Lalu tiba-tiba bertiup badai saat Mermaid akan memasuki Selat Torres, antara ujung utara Australia dan Papua Nugini. Angin kencang dan amukan laut melempar-lemparkan sekunar yang tidak berdaya itu ke segala arah. Akhirnya, suatu ombak besar melemparkannya ke gosong karang dan sekunar ini mulai berantakan. Satu-satunya harapan bagi penumpangnya adalah untuk berenang ke sebuah puncak batu karang yang menonjol dari laut yang seperti mendidih, kira-kira 100 m dari tempat kapal tenggelam. 

Ketika fajar menyingsing, perhitungan menunjukkan bahwa semua penumpang kapal berhasil mengarungi laut yang menggila. Mereka terdampar di sana dalam keadaan kedinginan dan basah selama tiga hari, sebelum kapal lain muncul, yaitu Swiftsure. 

Swiftsure mengangkut penumpang yang hidup ke kapal mereka dan meneruskan perjalanannya menuju ke barat selama lima hari sepanjang pantai selatan Papua Nugini. Tidak diduga-duga, mereka terjebak arus kuat. Awak kapal tidak mampu menanggulanginya. Kapal terdampar ke batu karang dan berantakan. Untuk kedua kalinya penumpang Mermaid harus meninggalkan kapal yang mereka tumpangi.

Sekali ini, kesulitan cuma berlangsung delapan jam. Sekunar Governor Ready menangkap sinyal mereka dari pantai. Governor Ready sudah membawa 32 orang dan muatannya penuh berupa kayu. Namun mereka bisa meluangkan tempat untuk penumpang dari Mermaid dan Swiftsure, sebelum meneruskan perjalanan. 

Cuma tiga jam kemudian, Governor entah kenapa kebakaran. Api cepat merambat lewat kayu. Perintah meninggalkan kapal kembali terdengar. Semua orang berdesakan dalam sekoci-sekoci. Sekeliling mereka tidak ada apa-apa kecuali hamparan laut terbuka yang luas. Harapan untuk mendapat pertolongan kembali kelihatannya kecil. Namun, terjadi mukjizat. Kapal layar pemerintah, Comet, di luar dugaan muncul dan sekali lagi mereka diselamatkan. 

Ketika kisah mereka menyebar di antara awak Comet, mula-mula ada yang mengerutu, menuduh awak Mermaid membawa sial. Namun ada yang berhasil menjelaskan bahwa sebaliknya dari bernasib sial, mereka malah sangat beruntung karena selamat dari tiga kali karam di perairan yang berbahaya

Selama seminggu, argumen nasib baik itu menang, sampai tiba-tiba muncul lagi badai. Tidak lama kemudian tiang layar Comet lenyap, layar-layarnya compang-camping, kemudinya hilang. Sekali ini yang meninggalkan kapal cuma awak Comet. Keyakinan mereka akan teori pembawa sial saat itu menang. Mereka naik ke perahu-perahu penyelamat mereka, meninggalkan sesama penumpang lain untuk memperjuangkan nasib sendiri. 

Selama 18 jam, penumpang yang ditinggalkan di Comet berpegang erat-erat pada sedikit sisi kapal karam itu. Mereka harus berjuang mengusir ikan hiu dan juga kelelahan selama cobaan ini. Namun, mereka diselamatkan lagi ketika kapal Jupiter muncul dan menaikkan mereka semua ke kapal. 

Ketika akhirnya mereka menuju ke pelabuhan, kapten mengabsen dan menyadari bahwa meskipun sudah terjadi empat kali kapal karam, tidak ada seorang pun yang hilang. 

Kisah yang sungguh sulit dipercaya! Namun ada peristiwa kebetulan terakhir. Di dalam kapal terakhir, Jupiter, ada seorang penumpang bernama Sarah Richey, asal Yorkshire yang sudah berumur. la berada di Australia untuk mencari putranya, Peter, yang tidak ada kabar beritanya selama 15 tahun. Ternyata Peter adalah salah seorang awak kapal yang pertama, Mermaid.

 

Plum Pudding

PLUM Pudding adalah makanan andalan Inggris, bukan Prancis. Penyair Prancis, Emile Deschamps yang semasa kecil tinggal di asrama sekolah di Orleans sekitar tahun 1800-an, dianjurkan untuk mencobanya sepotong oleh Monsieur (Tuan) de Fortgibu (yang baru pulang dari Inggris) dan Deschamps ingat dengan baik makanan pencuci mulut itu. 

Sepuluh tahun kemudian, ketika Deschamps melewati sebuah restoran di Paris, dilihatnya di dalam ada plum pudding yang penampilannya menggiurkan. la masuk untuk memesan sepotong, tetapi diberi tahu bahwa pudding itu sudah dipesan oleh seorang pelanggan. "Monsieur de Fortgibu," kata wanita di belakang gerai kepada seorang pelanggan yang mendekati. 

"Anda bersedia berbagi plum pudding dengan Bapak ini?" Pria yang dulu memberi plum pudding kepada Deschamps kini sudah lanjut usia dengan rambut yang sudah memutih dan berseragam kolonel. 

Dengan senang hati ia mau berbagi pudding lagi dengan Deschamps. Setelah saling menyapa, mereka mengenang lagi plum pudding sebelumnya. 

Bertahun-tahun lewat, lalu Deschamps mendapat undangan makan malam. Dalam perjamuan itu, ia diberi tahu, akan dihidangkan plum pudding. "Nah, saya tahu, Monsieur de Fortgibu pasti hadir," kata Deschamps kepada nyonya yang mengundangnya, yang senang mendengar cerita Deschamps perihal plum pudding itu. 

Malam perjamuan pun tiba dan pada akhir perjamuan, sebuah plum pudding yang bagus sekali dihidangkan kepada sepuluh tamu. Pada saat itu pintu terbuka dan masuklah Monsieur de Fortgibu. Sekarang ia sudah sangat tua dan agak pikun. Karena salah alamat, ia tiba ke perjamuan itu.

 

Papirus Bertemu Jodohnya

MALAIKAT Perpustakaan, yang bertugas membantu para pengarang dan ilmuwan yang layak ditolong, rupanya pencinta ahli Mesir kuno, karena salah satu pemberiannya yang terbesar adalah suatu kebetulan yang dihadiahkan kepada Dr. Thomas Young, seorang ahli fisika Inggris. Bersama Jean-Francoiis Champollion, ia sangat berjasa memecahkan sandi Batu Rosetta, yaitu kunci pertama dan yang terutama dalam memahami huruf hieroglif. 

Suatu malam tahun 1822 (yaitu tahun di mana Champollion - yang berpedoman pada penelitian Young - menerbitkan penelitiannya sendiri tentang Batu Rosetta), Dr. Young asyik mengamati suatu naskah yang ditulis dalam huruf hieroglif. Kecuali tiga nama yang ditulis dalam bahasa: Appollonius, Antigonus, dan Antiochus yang dibacanya Antimachus, ia tidak paham sedikit pun arti tulisan itu. Ia menyimpan saja papirus itu. 

Dalam suatu kiriman lain ia menemukan papirus lain. Yang satu ini seluruhnya ditulisi bahasa Yunani. Ketika Young membacanya sepintas sebelum disimpan, matanya menangkap nama-nama yang sama seperti dibacanya di naskah Mesir, walaupun dalam bentuk agak berbeda: Poris Apollonii dan Antimachus Antigenis. 

Dengan terkejut ia sadar bahwa ia memiliki terjemahan naskah yang ditulis dengan huruf hieroglif. Entah bagaimana, dokumen itu selamat selama 2.000 tahun dan berasal dari bagian dunia yang sama sekali lain. Kini naskah itu tiba padanya saat sangat dibutuhkan. 

Peristiwa-peristiwa kebetulan itu, tulisnya kemudian, di zaman dahulu kala sudah cukup untuk meyakinkan orang-orang bahwa ia bukan cuma mempelajari hieroglif, tetapi juga rahasia sihir Mesir.

 

Kebetulan Antara Tiga Paus

TANGGAL 18 Oktober 1405, Paus Pius II dilahirkan. Pada tanggal yang sama tahun 1417, Paus Gregorius XII wafat, begitu pula Paus Pius III di tahun 1503.



 

" ["url"]=> string(99) "https://plus.intisari.grid.id/read/553257704/kaisar-franz-dari-austria-dan-papirus-bertemu-jodohnya" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1651227201000) } } [11]=> object(stdClass)#149 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3133699" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#150 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/cinta-segi-tiga-di-gerbong-keret-20220208043416.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#151 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(20) "Freeman Wills Crofts" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9384) ["email"]=> string(20) "intiplus-27@mail.com" } } ["description"]=> string(137) "Pembunuhan tragis dalam kereta api ekspres yang sempat tak terselesaikan, akhirnya terungkap atas pengakuan dari pelakunya di ujung maut." ["section"]=> object(stdClass)#152 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/cinta-segi-tiga-di-gerbong-keret-20220208043416.jpg" ["title"]=> string(33) "Cinta Segi Tiga di Gerbong Kereta" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:28:07" ["content"]=> string(42481) "

Intisari Plus - Kamis di awal November, pukul 22.30, sebuah kereta api berangkat dari Euston ke Edinburgh, Glasgow, ke daerah utara. Lokomotifnya menarik delapan buah gerbong tidur (gerbong yang menyediakan tempat tidur). dua gerbong kelas satu, dua gerbong kelas tiga, dan dua gerbong barang. Separuh dari gerbong-gerbong ini menuju Glasgow, sedangkan sisanya ke Edinburgh. 

Gerbong barang bertujuan ke Glasgow terletak paling belakang. Di situlah pengawal Jones bertugas. Di depannya gerbong kelas tiga, lalu disusul sebuah gerbong kelas satu; keduanya bertujuan Glasgow. 

Letak gerbong kelas satu diapit oleh gerbong tidur di mukanya dan gerbong kelas tiga di belakang. Ada WC di kedua ujungnya. Di dalam gerbong ini ada enam kompartemen. 

Dua kompartemen paling belakang untuk penumpang yang merokok. Tiga berikutnya untuk penumpang tidak merokok, sedangkan kompartemen terdepan khusus untuk penum pang wanita.   

Waktu KA ini berangkat dari Euston, malam begitu gelap. Pukul  06.00 keesokan harinya, hujan turun amat lebat. 

KA berjalan sesuai jadwal dengan berhenti di Rugby, Crewe, dan Preston. Pada saat meninggalkan Preston, pengawal Jones berjalan ke KA bagian depan karena ada yang ingin dibicarakannya dengan kondektur bagian Edinburgh. 

la masuk melewati lorong gerbong kelas tiga. Di ujung lorong ini, di sebelah ruang penghubung dengan gerbong kelas satu di depannya, ia melihat sepasang suami-istri dengan bayi sedang menangis. Si istri sibuk menenangkan bayinya. Ketika disapa, mereka berkata bahwa anak mereka sakit. Supaya tidak mengganggu penumpang lain, mereka keluar dari kompartemen. 

Setelah menyatakan sedikit simpati, Jones membuka kunci kedua pintu ruang penghubung untuk masuk ke gerbong kelas satu. Lorong di kelas satu kosong. 

Waktu melewatinya, Jones melihat semua tirai kompartemen telah diturunkan, kecuali di kompartemen khusus wanita. Di dalam kompartemen ini dilihatnya ada tiga wanita, dua di antaranya sedang membaca. Lampu mereka masih sepenuhnya dinyalakan. 

Kedua pintu di ruang penghubung berikutnya juga terkunci. Ia membukanya, lewat, dan menutupnya kembali. Di ruang pelayan, dalam gerbong tidur, dua pelayan sedang bercakap-cakap. 

Setelah urusan dengan kondektur selesai, Jones berjalan kembali ke gerbongnya. Dilihatnya semua masih seperti pada waktu ia lewat tadi. Pintu-pintu di kedua ujung gerbong kelas satu pun masih tetap terkunci. 

Sejam sebelum sampai di Carlisle, saat melewati padang ilalang Dataran Tinggi Westmorland, jalan KA tiba-tiba menjadi lambat dan akhirnya berhenti. Jones yang sedang meneliti nota-nota pengiriman paket di ujung gerbong barang, mengira itu cuma pemeriksaan sinyal. 

Tapi mengapa dilakukan di daerah padang semacam itu? pikir Jones. Karena curiga, ia meninggalkan pekerjaannya, menyingkap penutup jendela di sebelah kiri untuk melihat ke luar. 

 

Lubang peluru di kepala

Ternyata KA sedang berada di sebuah terowongan bukit. Sampai jarak tertentu tepian rel tampak samar-samar diterangi lampu di lorong gerbong kelas satu dan tiga. Saat itulah tampak ada yang ganjil di gerbong kelas satu. 

Di jendela paling belakang tampak orangorang panik. Jones segera berlari melewati gerbong kelas tiga menuju gerbong itu. Di sana ia dihadapkan pada fakta-fakta aneh dan membingungkan.

Lorong masih tetap kosong, tetapi tirai tengah dari kompartemen paling belakang telah diangkat. Lewat kaca, Jones melihat di dalamnya ada empat orang pria. Dua di antaranya sedang membungkuk ke luar jendela, sedangkan yang lainnya sedang berusaha membuka pintu yang menuju lorong. 

Jones memegang handelnya untuk menolong membukakan pintu, tetapi kedua orang itu malah menunjuk-nunjuk ke kompartemen berikutnya.

Tirai tengah kompartemen ini pun telah diangkat, tetapi pintunya terkunci. Waktu ia mengintip ke dalam, tampak sebuah tragedi di depan matanya. Seorang wanita dengan wajah ketakutan berusaha membuka pintu. 

Sementara itu ia terus-menerus menengok ke belakang, seolah-olah ada penampakan yang mengerikan di sana. Jones melompat untuk membuka pintu sambil mengikuti pandangan wanita itu. Ia terkesiap.

Di sudut kanan yang menghadap ke lokomotif, teronggok tubuh seorang wanita, sekitar 30 tahun, terbaring lemas tak bertenaga. Kepalanya terkulai ke belakang, ke atas bantal, dan tangannya tergantung tak berdaya di pinggiran tempat duduknya. 

Detail-detail ini tak begitu diperhatikannya, karena mata Jones segera tertuju pada keningnya. Ada sebuah lubang kecil di atas alis kirinya. Dari situ mengalir darah, membasahi mantelnya dan menggenangi tempat duduk. Jelaslah, ia sudah mati. Di hadapannya, seorang pria juga sudah tak bernyawa.

Tampaknya semula laki-laki ini duduk di sudut, kemudian terjerembap ke depan, sehingga dadanya tersandar di lutut si wanita dan kepalanya terjuntai ke bawah. Penampilannya tidak karuan, mantel jasnya abuabu, rambutnya hitam. Dari bawah kepalanya menetes darah ke lantai.

Jones menarik pintu sekuat tenaga, tetapi pintu itu tidak bergeming sedikit pun dari posisinya yang sedikit terbuka sekitar 2,5 cm. Sambil terus berusaha menenangkan wanita yang sudah mendekati histeris itu, Jones berbalik ke kompartemen terbelakang, dengan maksud berusaha masuk lewat situ. Ternyata pintunya juga tak mau dibuka.  

Pada saat itu tampak kedua pria lain telah berhasil membuka pintu satunya dan keluar dari gerbong, kemudian turun ke rel. Khawatir akan keselamatan mereka, kalau-kalau ada KA lain dari arah berlawanan, ia berlari menuju gerbong tidur, karena ia yakin di sana pasti ada pintu yang dapat dibuka. 

Dari sana ia meloncat turun pula untuk memperingatkan mereka. Sambil turun disuruhnya seorang pelayan mengikutinya, sedangkan pelayan lain harus tetap tinggal di tempatnya untuk mencegah orangorang menuju ke tempat kejadian. Berempat dengan kedua pria tadi, ia dan pelayan membuka pintu luar kompartemen nahas itu.  

Mula-mula mereka berusaha mengeluarkan wanita yang masih selamat. Setelah menyuruh pelayan untuk mencari dokter, Jones memanjat ke atas. Si wanita dilarangnya untuk memperhatikan apa yang sedang dikerjakannya. Tubuh si pria kembali didudukkannya di tempat duduk di sudut.

Wajah pria mati itu tercukur bersih, tetapi bentuk mukanya agak kasar. Hidungnya besar, demikian pula rahangnya. Di lehernya, tepat di bawah telinga kanan, terdapat sebuah lubang peluru. 

Diangkatnya pula kaki pria itu, juga kaki wanitanya, ke tempat duduk. Wajah si wanita ditutupinya dengan saputangan, kemudian karpet digulungnya, sehingga genangan darah tidak nampak. 

Saat itu seorang dokter dari gerbong kelas tiga sudah tiba. Hanya dengan pemeriksaan singkat dokter menyatakan kedua orang itu telah meninggal. Kemudian pintu luar kompartemen itu dikunci, tirai-tirainya diturunkan. Para penumpang yang sudah turun dari KA dipersilakan kembali ke tempat duduknya masingmasing.

Sementara itu petugas pemadam kebakaran sudah datang untuk melihat apa yang terjadi. Selain itu ia juga melaporkan bahwa masinis tak dapat melepaskan remnya kembali. Setelah diselidiki, ternyata disk di ujung gerbong kelas satu telah berputar. Artinya, ada orang yang telah menarik rem darurat di kompartemen, sehingga KA berhenti. 

Rem di kompartemen paling belakang nampaknya juga ditarik orang. Itu berarti salah seorang dari keempat pria itulah yang menariknya. Disk dikembalikan ke posisi normalnya, penumpang duduk, KA melaju lagi, setelah terhenti kira-kira 15 menit.  

Sebelum sampai di Carlisle, Jones mencatat nama dan alamat semua penumpang di gerbong kelas satu dan tiga berikut nomor karcisnya. Semua gerbong tak terkecuali gerbong barang diperiksa dengan teliti untuk melihat apakah ada yang bersembunyi di bawah tempat duduk, WC, di balik bagasi, atau di sekitar tempat-tempat itu. 

Begitu sampai di Carlisle, perkara pembunuhan ini segera dilimpahkan kepada polisi. Gerbong kelas satu segera disegel dan para penumpangnya ditanyai. Teori sementara, si pembunuh telah turun pada saat KA itu berhenti, lalu melarikan diri ke pedesaan, mencapai jalan raya, dan menghilang.

Keesokan harinya, sekelompok detektif memeriksa kawasan tempat KA berhenti. Tetapi tak ada jejak ditemukan. Begitu pun tanda-tanda lain. Stasiun-stasiun di sekitarnya pun tak luput dari penyelidikan. Sejauh yang dapat dicapai dengan berjalan kaki, hanya ada dua buah stasiun. 

Di kedua stasiun tersebut tak pernah terlihat orang asing. Apalagi sesudah lewatnya KA ekspres ini, tak ada satu pun kereta api melewati kedua stasiun itu. Seandainya si pembunuh turun dari KA, tak mungkin ia berhasil melarikan diri lewat jalur KA.

 

Kesaksian Penumpang

Korban naas itu ternyata pasangan Tuan dan Ny. Horation Llewelyn dari Gordon Villa, Broad Road, Halifax. Llewelyn adalah pegawai sebuah pabrik besar pemurnian besi. Usianya 35 tahun, lingkungan sosialnya baik dan ia kaya. Ia dianggap cukup baik hati, meskipun kadang-kadang terlalu bernafsu. 

Ia tidak mempunyai musuh. Perusahaannya dapat membuktikan bahwa ia mempunyai perjanjian bisnis di London pada hari Kamis dan di Carlisle hari Jumat, sehingga perjalanannya itu amat cocok dengan rencananya. 

Istrinya adalah wanita cantik berusia sekitar 27 tahun, anak seorang pedagang di daerah dekat perusahaan Llewelyn, Yorkshire. Pernikahan mereka baru berumur sebulan lebih sedikit, bahkan seminggu sebelumnya mereka baru saja pulang dari berbulan madu. Tak dapat dipastikan apakah Ny. Llewelyn mempunyai alasan khusus, sehingga harus menemani suaminya. 

Peluru yang digunakan membunuh suami-istri ini berasal dari senjata yang sama, revolver berlaras kecil dengan desain modern. Tetapi karena revolver semacam itu ada ribuan, penemuan itu tak banyak berarti. 

Blair-Booth, gadis yang duduk dalam satu kompartemen, menyatakan naik dari Euston dan duduk di dekat lorong. Beberapa menit sebelum KA berangkat suami-istri tersebut datang, lalu duduk saling berhadapan di sudut sebelah luar. 

Selama perjalanan tak ada penumpang lain masuk. Satu-satunya kunjungan adalah datangnya kondektur begitu KA meninggalkan Euston. Pintu ke lorong pun tidak dibuka. 

Llewelyn sangat memperhatikan istrinya. Mereka berdua masih bercakap-cakap ketika KA berangkat. Setelah berbasa-basi sebentar dengan Blair-Booth, Llewelyn menarik tirai, menutupi lampu dengan pelindungnya, sehingga tidak menyilaukan. 

Beberapa kali Booth terjaga dari tidurnya, tetapi setiap kali ia tidak melihat sesuatu yang aneh di dalam kompartemen sampai ia terjaga oleh suara ledakan keras dan dekat. 

Ia terlompat berdiri, sementara itu dari dekat lututnya ia melihat kilatan api, lalu terdengar ledakan kedua. Dengan gemetar ditariknya pelindung lampu dan terlihat ada asap mengepul dari arah pintu lorong yang telah terbuka kira-kira 2,5 cm. 

Bau mesin tercium. Begitu berbalik, dilihatnya Llewelyn tersungkur ke lutut istrinya. Kemudian terlihat olehnya lubang di kening Ny. Llewelyn. Karena ketakutan ia segera mengangkat tirai pintu lorong yang menutupi pegangan pintu. Ia berusaha ke luar untuk mencari bantuan, tetapi pintu tak dapat digerakkan. Ia semakin panik, sadar bahwa ia terkunci dalam ruangan yang berisi dua mayat. 

Dalam kengeriannya, ditariknya rem darurat, tetapi KA tampaknya tidak menunjukkan gejala berhenti, sehingga ia meneruskan usaha membuka pintu. Baru setelah berjam-jam berlalu, Jones muncul dan membebaskan dia. Waktu ditanya, Blair mengatakan tidak melihat seorang pun di lorong pada saat ia mengangkat tirai. 

Sementara keempat penumpang pria di kompartemen terakhir, ternyata satu rombongan yang menuju Glasgow dari London. Setelah berangkat, mereka main kartu. Kirakira tengah malam tirai mereka turunkan, menurunkan pelindung lampu dan berusaha tidur. 

Seorang dari mereka ingin mencuci tangan di WC setelah makan buah-buahan. Orang ini tidak melihat apa pun di lorong. 

Tidak lama setelah itu mereka mendengar suara tembakan dua kali. Mula-mula mereka mengira itu sinyal lokomotif, tetapi begitu sadar kompartemen mereka terlalu jauh dari lokomotif untuk bisa mendengar suara semacam itu, mereka segera mengangkat pelindung lampu, mengangkat tirai pintu lorong, dan berusaha ke luar, tetapi tidak dapat. 

Di lorong tak tampak seorang pun. Karena yakin ada sesuatu yang serius telah terjadi, mereka menarik rem darurat sambil menurunkan jendela luar, lalu melambai-lambaikan tangan untuk menarik perhatian orang yang kebetulan melihat. 

Remnya tertarik dengan mudah, sepertinya kendur. Jadi tarikan pertama dilakukan oleh Blair, rem telah terpasang, sehingga tarikan kedua hanyalah mentransfer penyetopan. 

Ketika KA berhenti, kedua kompartemen di depan kompartemen Blair kosong, tetapi di kompartemen kedua ada dua laki-laki, di kompartemen pertama tiga wanita. Mereka semua juga mendengar suara tembakan, tetapi hanya sayup-sayup, karena tertelan suara KA. Tapi karena tirai di kompartemen kedua tidak dibuka sama sekali, kedua lelaki itu tak dapat memberikan keterangan apa pun. 

Ketiga wanita di kompartemen pertama, seorang ibu dengan kedua putrinya. Mereka naik dari Preston. Karena akan turun di Carlisle, mereka tidak ingin tidur. Jadi tirai tetap dibiarkan terbuka dan lampu tidak ditutupi pelindung. 

Dua di antara mereka membaca, sedangkan yang satu duduk di sebelah lorong. Wanita kedua ini sangat yakin tak seorang pun melewati lorong selama mereka di KA, kecuali Jones yang tampak terburu-buru membuat mereka ingin tahu, sehingga mereka ke luar ke lorong dan tetap tinggal di lorong sampai KA berangkat lagi. Selama itu mereka bertiga tidak melihat orang lain melewati lorong. 

Ketika pintu-pintu lorong yang macet diteliti, ternyata pintu-pintu itu diganjal sepotong kayu kecil, yang tampak sekali telah dipersiapkan khusus untuk itu. Waktu tiket-tiket yang telah terjual dengan yang dipegang oleh penumpang dibandingkan ternyata ada ketidakcocokan. 

Ada satu tiket, yang dibeli di Euston dengan tujuan Glasgow, belum terkumpulkan kembali oleh kondektur. Kemungkinannya, penumpang bersangkutan sama sekali tidak jadi pergi, atau ia turun di stasiun lain di perjalanan. 

Kondektur yang telah mengecek tiket begitu KA meninggalkan London mengatakan, ada dua orang pria yang tadinya menempati kompar temen di depan kompartemen nahas itu. 

Salah seorang memegang tiket ke Glasgow, sedangkan yang lain untuk sebuah stasiun kecil, tetapi ia tak ingat stasiun apa dan ia pun takdapat menggambarkan kedua orang itu, seandainya memang ada. 

Ternyata ia tak salah. Polisi berhasil melacak salah seorang, yaitu Dr. Hill, yang turun di Crewe. Ia bercerita, waktu naik KA ternyata sudah ada seorang pria di kompartemennya. Usianya kira-kira 35 tahun, berambut pirang, bermata biru, berkumis lebat, dan pakaiannya gelap serta berpotongan baik. Orang itu tidak membawa bagasi, hanya mantel jas hujan dan buku novel. 

Mereka bercakap-cakap dan ketika orang itu tahu. Dr. Hill tinggal di Crewe, ia berkata akan turun juga di situ dan bertanya hotel mana yang baik. Kemudian orang itu menjelaskan bahwa sebenarnya ia berniat ke Glasgow dan sudah membeli tiket yang bertujuan ke sana, tetapi ia ingin menengok seorang teman di Chester keesokan harinya. 

Ia bertanya kepada dokter itu apakah tiket itu masih berlaku keesokan harinya, ataukah ia akan memperoleh uang kembalian bila ternyata tiket itu sudah tidak berlaku lagi. 

Ketika sampai di Crewe kedua orang ini turun. Si dokter menawarkan diri untuk mengantarkan orang itu ke "Crewe Arms", tetapi ia me nolak sambil mengucapkan terima kasih, karena ia masih harus mengurus bagasinya dahulu. Dr. Hill melihatnya berjalan menuju gerbong barang. 

Petugas di Crewe tidak ada yang ingat telah melihat orang semacam itu di gerbong barang atau yang menanyakan bagasi. Karena ini semua baru ditanyakan setelah beberapa hari lewat, orang tak dapat yakin. Hotel-hotel di Crewe maupun Chester pun menyatakan tidak pernah menerima tamu dengan tampang seperti orang asing itu.

 

Misteri tak terungkap

Begitulah fakta-fakta yang dapat digali. Mula-mula  orang yakin misteri pembunuhan di KA ini akan segera terungkap, tetapi hari demi hari berlalu tanpa adanya informasi baru sampai perhatian publik pun memudar. 

Sempat pula terjadi kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa ini pastilah kasus bunuh diri. Tuan Llewelyn menembak istrinya, lalu dirinya atau istrinya yang melakukan penembakan. Tetapi selain revolvernya tak ada, di kedua tubuh tak ditemukan tanda hangus oleh mesin. 

Ada lagi yang berpendapat Blair-lah pembunuhnya. Namun tak adanya motif, wataknya, pernyataan-pernyataannya yang benar, dan tidak ditemukannya revolver menggugurkan dugaan itu. Dapat saja ia membuangnya lewat jendela, tetapi posisi kedua tubuh tidak memungkinkannya melakukan hal itu. Apalagi pakaiannya sama sekali tak bernoda darah. 

Yang jelas fakta utama yang menolak dugaan ini adalah kenyataan bahwa pintu ke lorong diganjal dari luar. Tentunya tak mungkin Nn. Blair mengganjal pintunya, lalu masuk ke kompartemennya lagi. 

Kenyataan bahwa pintu itu terbuka 2,5 cm, lebih menguatkan lagi bahwa sela itu dimaksudkan untuk menyisipkan laras revolver. Selain itu, seandainya tembakan dilakukan dari posisi duduk Blair, lubang yang terjadi di tubuh-tubuh korban akan berbeda letaknya. 

Setiap orang yang diketahui berada di sekitar tempat kejadian telah dipanggil dan dimintai keterangan, tetapi satu per satu harus dibebaskan dari kecurigaan. Akhirnya, seolah-olah hampir terbukti bahwa mustahil telah terjadi pembunuhan. 

Misteri yang begitu terselubung rapat itu tercermin dari pembicaraan antara kepala Scotland Yard dan inspektur yang menangani kasus ini. 

"Benar-benar soal yang sulit," ujar kepala dinas kepolisian Scotland Yard, "Tetapi mari kita ulangi lagi. Pasti ada kekeliruan." 

"Pak! Saya sudah mengulangi perhitungan sampai saya bingung sendiri dan selalu tiba pada kesimpulan yang sama." 

"Kita coba sekali lagi. Pembunuhan itu pastilah dilakukan oleh orang yang masih berada di KA pada saat penyelidikan dilakukan, atau sudah meninggalkan KA sebelumnya. Kedua kemungkinan ini akan kita tinjau kembali satu per satu. Sekarang tentang penyelidikannya. Apakah cukup efisien?" 

"Sangat efisien, Pak. Saya sendiri yang melaksanakannya dibantu Jones dan para pelayan di KA. Tak ada seorang pun terlewatkan." 

"Bagus. Sekarang kemungkinan pertama. Di gerbong ada enam kompartemen. Bagaimana dengan keempat pria dan Nn. Blair, apakah Anda benar-benar yakin bahwa mereka tidak bersalah?" 

"Ya, Pak. Alasannya, ada pengganjalan pintu." 

"Dua kompartemen berikutnya kosong, kemudian ada dua pria di kompartemen beri kutnya. Bagaimana dengan mereka?" 

"Anda sendiri tahu, siapa mereka. Sir Gordon M'Clean, insinyur terkenal, dan Tuan Silas Hemphill, profesor di Universitas Aberdeen. Keduanya tak mungkin." 

"Namun Anda 'kan tahu, tak ada yang tidak mungkin dalam kasus-kasus seperti ini." 

"Memang, Pak, karena itu saya sudah menyelidiki mereka dengan teliti dan hasilnya hanyalah memperkuat pendapat saya tadi." "Sekarang bagaimana dengan ketiga wanita itu?" 

"Sama saja. Watak ketiganya tidak memungkinkan tumbuhnya kecurigaan. Ketiganya bukan tipe pembohong. Tak ada dasar sedikit pun untuk tumbuhnya kecurigaan." 

"Jadi semua orang yang ada di KA waktu berhenti tidak dapat dicurigai?" 

"Ya. Penyelidikan kami betul-betul positif, tak mungkin ada kekeliruan." 

"Jadi pembunuhnya sudah meninggalkan gerbong?" 

"Mestinya. Tapi justru di sinilah masalahnya." 

Pak kepala berhenti sebentar untuk mengambil cerutu dan menyalakannya. Lalu ia meneruskan,"Yang jelas si pembunuh pasti tidak keluar dengan menembus atap, lantai, atau bagian KA lain. 

Jadi mestinya ia keluar lewat jalan biasa, yaitu pintu. Nah, ada dua pintu di ujung-ujung gerbong dan enam buah di tiap sisi gerbong. Maka ia pasti keluar dari salah satu dari empat belas pintu ini. Setuju, Inspektur?"

 "Tentu, Pak." "Baik. Misalkan lewat pintupintu di ujung. Apakah pintu-pintu di ruang penghubung terkunci?" 

"Ya, di kedua ujung gerbong. Tetapi kunci gerbong biasa dapat dipakai untuk membukanya dan si pembunuh mungkin memilikinya." 

"Baik. Sekarang apa saja alasan kita sehingga tiba pada kesimpulan ia tak mungkin lari ke gerbong tidur?" 

"Sebelum KA berhenti, Bintley, salah seorang dari ketiga wanita itu sedang melihat ke lorong dan kedua pelayan gerbong tidur ada di dekat ujung gerbong mereka. 

Setelah KA berhenti, ketiga wanita keluar di lorong dan salah seorang pelayan di ruang penghubung gerbong tidur. Semua orang ini bersumpah tak melihat siapa pun kecuali Jones, di saat antara Preston dan penyelidikan." 

"Bagaimana dengan para pelayan ini? Apakah dapat dipercaya?" 

"Wilcox sudah bekerja selama 17 tahun dan Jeffries 6 tahun. Keduanya berwatak sangat baik. Tentu saja keduanya juga termasuk dicurigai, tetapi ketika saya melakukan penyelidikan seperti biasanya, tak ada satu bukti pun memberatkan mereka." 

"Jadi agaknya si pembunuh tidak melarikan diri lewat gerbong tidur." 

"Saya yakin. Tak mungkin kedua kelompok ini, ketiga wanita dan kedua pelayan, bersama-sama menipu polisi. Mereka ditanyai secara terpisah." 

"Bagaimana dengan gerbong kelas tiga?" 

"Di ujung gerbong kelas tiga, ada Tuan dan Ny. Smith dengan anak mereka yang sakit. Mereka berada di lorong dekat ruang penghubung. Tak seorang pun bisa lewat tanpa sepengetahuan mereka. Anak mereka sudah saya suruh periksa dan ternyata memang sungguh sakit. 

Waktu mereka mengatakan bahwa tak ada seorang pun kecuali Jones yang lewat, saya mengeceknya dengan menanyai semua penumpang di kelas tiga. Yang saya peroleh ada dua hal. Pertama, tak seorang pun yang hadir saat diselidiki itu tidak naik dari Preston. 

Kedua, kecuali keluarga Smith tak ada seorang pun keluar dari kompartemennya selama perjalanan dari Preston sampai perhentian darurat itu. Maka terbukti tak ada orang yang meninggalkan kelas satu ke kelas tiga setelah tragedi berlangsung."

"Jadi jelas, pembunuhnya keluar lewat salah satu dari kedua belas pintu yang ada di sisi-sisi gerbong. Mari kita lihat pintu di kompartemen dulu. Kompartemen pertama, kedua, kelima dan keenam berpenghuni. Jadi tak mungkin ia lewat salah satu dari kompartemen ketiga atau keempat?" 

Inspektur menggelengkan kepala. "Tidak, Pak," jawabnya. "Tidak mungkin. Ingatkah Anda bahwa dua orang dari keempat pria itu sedang melihat ke luar sejak beberapa detik setelah pembunuhan terjadi sampai KA berhenti?” 

“Tak mungkin si pembunuh dapat keluar dari pintu, lalu menuruni tangganya tanpa terlihat oleh mereka. Jones pun melihat ke sisi ini dan tidak melihat apa-apa. Setelah KA berhenti, kedua orang ini, bersama yang lain, turun dari KA dan semua setuju bahwa tak ada pintu yang terbuka waktu itu." 

"Sekarang tinggal pintu-pintu di samping lorong. Karena Jones datang sangat cepat, tentunya si pembunuh telah keluar pada saat KA sedang dalam kecepatan cukup tinggi. la mestinya sedang bergantung di luar, sementara Jones sedang sibuk membuka pintu-pintu sorong kompartemen.” 

“Waktu KA berhenti, semua perhatian tertuju pada sisi kompartemen, sehingga dengan mudah ia turun dan melarikan diri. Bagaimana pendapat Anda tentang teori itu, Inspektur?" 

"Kami juga telah menelusuri kemungkinan itu. Mulamula teori itu disanggah dengan anggapan bahwa tirai-tirai di kompartemen Blair dan keempat pria itu terlalu cepat dibuka, sehingga tak ada waktu untuk menyembunyikan diri di sisi gerbong sebelah sana.” 

“Namun, ini tidak betul. Kira-kira tersedia waktu 15 detik bagi si pembunuh untuk menurunkan jendela, membuka pintu, keluar, menaikkan jendela lagi, menutup pintu kembali dan mendekam di anak tangga, sehingga tidak terlihat. Juga saya memperkirakan ada waktu sekitar 30 detik sebelum Jones melihat ke arah itu dari gerbong barang.” 

“Tetapi ada hal lain yang membuktikan bahwa itu tak mungkin terjadi. Waktu KA berhenti dan Jones berlari melewati gerbong kelas tiga, Tuan Smith ingin tahu apa yang terjadi. Namun, pintu ruang penghubung diempaskan begitu saja oleh Jones, sehingga langsung terkunci kembali.” 

“Maka ia menurunkan jendela lorong yang paling ujung, melihat ke depan dan ia menyatakan dengan yakin, tidak melihat seorang pun mendekam di salah satu anak tangga di kelas satu." 

"Mungkinkah si pembunuh keluar pada saat Jones berlari melewati kelas tiga?" 

"Tak mungkin, karena tiraitirai ke lorong sudah lebih dahulu diangkat sebelum Jones melihat ke luar." 

Inspektur kepala mengerutkan dahi."Benar-benar membingungkan," gumamnya. Beberapa saat mereka terdiam, kemudian ia berkata lagi. 

"Mungkin segera setelah melakukan penembakan, si pembunuh bersembunyi di WC. Kemudian pada saat terjadi keributan, ia diam-diam turun ke bawah lewat salah satu pintu lorong?" 

"Tidak, Pak. Kami juga sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Jika ia bersembunyi di WC, ia tak dapat keluar lagi. Jika ia menuju kelas tiga, keluarga Smith melihatnya dan lorong kelas satu terus sedang diperhatikan sejak Jones tiba sampai penyelidikan dimulai.” 

“Kami juga telah menyelidiki bahwa ketiga wanita itu segera keluar ke lorong setelah Jones melewati kompartemen mereka dan dua dari keempat pria pun sedang memperhatikan ke lorong lewat pintu sampai ketiga wanita itu keluar." 

Lagi-lagi keduanya terdiam. Pak kepala mengisap cerutunya sambil terus berpikir. "Anda bilang, pemeriksa mayat mempunyai teori pula?" 

"Ya, Pak. Katanya, mungkin segera setelah menembak, si pembunuh keluar melalui salah satu pintu lorong - mungkin yang terakhir - dari sana memanjat ke bagian luar gerbong yang tak terlihat dari jendela, shockbreaker di antara gerbong, atau tangga sebelah bawah, lalu menjatuhkan diri ke tanah pada saat KA berhenti.” 

“Setelah dicoba ternyata teori ini tidak mungkin. Atap KA terlalu curam dan tidak ada pegangan di atas pintu-pintu. Shock-bieakei tak dapat diraih begitu saja, sebab jaraknya 2 m lebih dari pintu, padahal tak ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan.” 

“Sedangkan tangga sebelah bawah, karena konstruksinya, tidak mungkin dijadikan tempat persembunyian sementara. Terlalu berbahaya." 

"Jadi kesimpulan yang Anda peroleh selama ini nihil?" 

"Saya tahu, Pak. Saya sangat menyesalinya, tetapi itulah masalah yang sudah saya hadapi sejak awal." 

"Pikirkan kembali, saya juga akan memikirkannya. Temui saya lagi besok."

 

Pengakuan di ujung ajal

Ternyata percakapan Antara inspektur dan kepalanya itu memang menjadi kesimpulan akhirnya. Sementara terus berjalan tanpa ditemukannya fakta baru. Beberapa tahun kemudian orang semakin tidak memperhatikan persoalan ini, sampai akhirnya kasus ini pun dimasukkan dalam deretan kasus kriminal yang tak terpecahkan di New Scotland Yard. 

Begitulah, hanya karena kebetulan, saya, seorang dokter tak dikenal, tiba-tiba dihadapkan pada pengalaman unik yang akhirnya menjadi kunci pembuka selubung misteri pembunuhan di kereta ekspres di atas. 

Saya sendiri tidak mempunyai hubungan langsung dengan peristiwa tersebut. Semua detail yang baru saya ceritakan, saya peroleh dari laporan resmi waktu itu. Saya boleh melihatnya karena informasi yang saya bawakan kepada polisi. Kejadiannya adalah sbb: 

Suatu sore, ketika saya sedang beristirahat sambil merokok, datang panggilan darurat dari losmen di desa kecil tempat praktik saya. Seorang pengendara sepeda motor baru saja bertabrakan dengan sebuah mobil di persimpangan jalan. 

Orang yang luka parah ini tak dapat ditolong lagi. Hidupnya hanya tinggal beberapa jam saja. Sesuai dengan kebiasaan saya jika menghadapi kasus semacam itu, saya berterus terang sambil menanyakan apa permintaan terakhir sebelum meninggal. la menatap langsung ke mata saya dan menjawab. 

"Dokter, saya ingin membuat pernyataan. Jika sudah saya katakan maukah Anda diam sampai saya meninggal, lalu baru mengatakannya kepada yang berwenang dan kepada umum?" 

"Tentu," jawab saya. 

"Saya takkan bertele-tele, karena saya merasa waktu tinggal sedikit. Anda ingat beberapa tahun lalu Tuan Horation Llewellyn dan istrinya dibunuh di sebuah KA North Western kira-kira 50 mil dari Carlisle?" 

Samar-samar saya ingat peristiwa itu. 

"Oh, yang oleh koran-koran disebut Misteri Kereta Api Ekspres?" tanya saya. 

"Betul. Polisi tak berhasil memecahkan misteri itu, maupun menangkap pembunuhnya. Sayalah pembunuh itu." 

Saya ngeri mendengar suaranya yang begitu dingin dan cara bicaranya yang begitu tenang. Namun, saya sadar bahwa orang ini sedang berjuang melawan maut untuk mengucapkan pengakuannya, sehingga menjadi tugas sayalah untuk berusaha mendengarkan dan mencatatnya selagi masih ada waktu. 

"Apa pun yang Anda katakan, akan saya catat dengan teliti dan jika tiba saatnya, akan saya beritahukan kepada polisi." 

"Terima kasih. Nama saya Hubert Black, sepuluh tahun terakhir saya tinggal di Bradford. Di sanalah saya berkenalan dengan seorang gadis yang menurut saya paling cantik dan hebat di dunia, Gladys Wentworth. 

Waktu itu saya miskin, tetapi ia kaya. Sebetulnya saya agak malu untuk mendekatinya, tetapi ia memberi hati kepada saya, sampai akhirnya saya berhasil melamarnya." 

"Suatu hari Gladys saya kenalkan dengan Llewelyn, sahabat lama saya. Ternyata kemudian saya tahu bahwa Llewelyn telah melanjutkan perkenalan itu." 

"Seminggu setelah lamaran saya diterima, ada pesta dansa besar di Halifax. Saya berjanji akan datang dengan Gladys di sana, tapi pada saat-saat terakhir datang telegram yang mengabarkan bahwa ibu saya sakit berat dan saya harus pergi menengoknya. Setelah kejadian itu ... Dokter, beri saya sedikit minum. Saya makin lemas." 

Saya mengambil brendi dan memberinya beberapa teguk. "Ternyata," katanya meneruskan sambil banyak menarik napas dan berhenti, "baru saya tahu bahwa sebenarnya Llewelyn telah lama terpikat oleh Gladys. 

Selama beberapa waktu, setiap saya masuk kantor, diam-diam mereka pacaran. Gladys ternyata menangkap apa yang diinginkannya dan saya pun dicampakkan. Bagus sekali, bukan?" 

Saya tidak menjawab dan orang itu meneruskan. 

"Saya marah bukan main. Ingin rasanya saya memenggal kepala Llewelyn. Tak dapat saya lukiskan bagaimana galaunya perasaan saya waktu itu. Setiap saat saya mengikuti ke mana pun mereka pergi sampai ada kesempatam membunuh.” 

“Di atas KA,mereka saya tembak. Mula-mula Gladys, kemudian ketika Llewelyn terbangun dan melompat berdiri saya tembak pula dia." la berhenti. 

"Ceritakan detailnya," kata saya. 

Dengan suara lebih lemah ia meneruskan. 

"Rencana pembunuhan di KA telah saya persiapkan sebelumnya. Saya mengikuti mereka terus sejak mereka berbulan madu. Waktu itu semua kondisi mendukung. Di Euston saya berdiri di belakang Llewelyn waktu mendengar ia memesan tempat untuk ke Carlisle. Maka saya memesan tempat untuk ke Glasgow.” 

“Saya naik ke kompartemen di sebelah mereka. Ada seorang laki-laki cerewet di sana dan saya berusaha menyusun alibi dengan berpura-pura akan turun di Crewe. Memang saya turun, tetapi naik lagi dan menempati kompartemen yang sama, tetapi dengan tirai selalu tertutup. Saya menunggu sampai kami tiba di daerah yang penduduknya sedikit, sehingga saya akan mudah menyelamatkan diri.” 

“Ketika waktunya tiba, saya mengganjal pintu-pintu itu, lalu menembak kedua orang tersebut. Saya tinggalkan KA, menjauhi rel, melewati pedesaan sampai tiba di jalan raya. Siang hari saya bersembunyi, malam hari saya berjalan sampai malam berikutnya tiba di Carlisle." 

Ia berhenti kecapekan, sementara maut semakin menghampirinya. "Hanya satu kata, bagaimana Anda keluar dari KA?" tanya saya. Ia pun tersenyum hampa. "Minum lagi," bisiknya; dan ketika sudah saya berikan lagi sedikit brendi, ia meneruskan dengan lemah dan terhenti-henti. 

"Itu sudah saya persiapkan. Jika saya dapat keluar dan berdiam di shockbreaker pada saat KA masih berjalan dan sebelum kegegeran terjadi, saya pasti selamat. Dari jendela orang tak dapat melihat saya. Pada saat KA berhenti, saya turun dan melarikan diri.” 

“Saya membawa tali sutera berwarna coklat halus sepanjang kira-kira 5 m dan tambang tipis dari sutera dengan panjang sama. Ketika turun di Crewe, saya bergeser ke sudut gerbong dan berdiri dekat-dekat seolah-olah sedang akan menyalakan rokok.” 

“Dengan sembunyi-sembunyi saya selipkan ujung tali ke lubang handel di atas shockbreaker. Lalu saya berjalan ke pintu terdekat sambil mengulur tali dengan menggenggam kedua ujungnya. Lalu saya berpura-pura membuka pintu padahal saya sedang menyelipkan tali ke handel pengaman dan menyimpulkan kedua ujung tali itu.” 

“Jadi berhasillah saya membuat ikatan tali yang menghubungkan sudut tempat shockbreaker dengan pintu. Warna tali itu sama dengan warna gerbong, sehingga hampir tak kentara. Kemudian saya kembali ke tempat duduk lagi."

"Ketika saat untuk melakukannya tiba, saya mengganjal pintu-pintu. Kemudian saya buka jendela keluar, menarik ujung ikatan tadi ke dalam, lalu mengikatkan ujung tambang padanya.” 

“Kemudian salah satu sisi ikatan itu saya tarik, sehingga tambang pun tertarik ke handel shockbreaker, melewatinya dan kembali lagi ke jendela. Karena terbuat dari sutera, tambang ini licin dan tidak membekas waktu menggeser handel shockbreaker. Kemudian satu ujung tambang saya selipkan ke handel pengaman di pintu.” 

“Setelah menariknya sampai kencang, saya menyimpulkan semuanya. Maka saya telah membuat sebuah ikatan tambang yang terbentang kencang dari pintu menuju sudut tempat shockbreaker." 

"Pintu saya buka, lalu saya naikkan jendelanya. Kemudian pintu saya tutup, tetapi terlebih dulu saya ganjal dengan kayu. Karena angin dan kayu itu, pintu tidak menutup rapat." 

"Lalu saya menembak mereka. Begitu melihat keduanya roboh, saya keluar. Kayu saya tendang, pintu saya tutup rapat. Kemudian berpegangan pada ikatan tambang tadi saya berjalan menelusuri bidang injakan kaki ke tempat shockbreaker. Kemudian tali dan tambang saya potong, saya tarik dan masukkan ke kantung. Maka tak ada jejak yang tertinggal." 

"Ketika KA berhenti, saya turun diam-diam ke tanah. Semua orang sedang turun ke sebelah sana, maka dengan mudah saya dapat menghilang di kegelapan malam, lalu memanjat tepian rel dan melarikan diri." 

Nyatalah orang itu telah mengerahkan segenap tenaganya untuk menyelesaikan kisahnya, karena begitu selesai berbicara, matanya menutup. Dalam beberapa menit kemudian ia pun jatuh ke kondisi koma, lalu meninggal. (Freeman Wills Crofls)

" ["url"]=> string(78) "https://plus.intisari.grid.id/read/553133699/cinta-segi-tiga-di-gerbong-kereta" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348487000) } } [12]=> object(stdClass)#153 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124155" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#154 (9) { ["thumb_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/ketukan-pengundang-mautjpg-20220203121306.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#155 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(12) "John Dunning" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9359) ["email"]=> string(19) "intiplus-4@mail.com" } } ["description"]=> string(160) "Seorang anak mendapati ibunya telah tewas di apartemennya. Padahal ibunya hanya akan membuka pintu jika anaknya yang mengetuk. Akibatnya ia dijadikan tersangka." ["section"]=> object(stdClass)#156 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(107) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/ketukan-pengundang-mautjpg-20220203121306.jpg" ["title"]=> string(23) "Ketukan Pengundang Maut" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:13:21" ["content"]=> string(23251) "

Intisari Plus - Seperti biasa, kalau Adolf Wachter (53) pulang bekerja, pintu apartemennya yang terletak di puncak gedung bertingkat tiga selalu terkunci. Tanggal 15 Oktober 1982 sore, pintu tetap tak dibuka ibunya meski berulang-ulang ia mengetuknya dengan kode yang sudah disepakati bersama sang ibu.

Wachter pun putus asa. Karena tidak membawa kunci, ia turun menuju ke mobilnya, lalu kembali ke tanah pertanian tempatnya bekerja.

"Saya khawatir ibu saya mendapat serangan jantung," katanya kepada majikannya, George Heilmann. "Ibu saya tidak membukakan pintu."

Heilmann mengantarnya kembali ke apartemen. Mereka beriringan mengendarai mobil masing-masing. Apartemen Adolf Wachter bersama ibunya terletak di Schwarzenbergstrassse 14 di Bamberg, sebuah kota berpenduduk sekitar 80.000 jiwa di Jerman Selatan.

 

Bukan serangan jantung

Beriringan pula kedua pria itu menaiki tangga ke tingkat tiga. Heilmann memijat bel. Kemudian ia menggedor-gedor pintu. Wachter berkata, "Ibu saya pasti tidak akan membukakan pintu kalau digedor begitu. Ia tidak mau membiarkan orang tak dikenal masuk. Kami mempunyai kode ketukan khusus."

Namun, ketukan itu pun tidak menyebabkan pintu dibuka.

"Harus didobrak," kata Heilmann. "Mungkin ibumu mengalami kecelakaan."

Wachter bertubuh tinggi besar. Kadang-kadang ia bekerja sebagai buruh tani, kadang-kadang sebagai pengemudi truk atau pengangkut perabotan rumah tangga. Ia membenturkan bahunya yang berotot ke pintu apartemennya. Usahanya tidak sia-sia. Kunci jebol dan pintu terbuka.

Maria Wachter (88) ternyata rebah di lantai lorong tepat di balik pintu itu. Jelas itu bukan akibat serangan jantung ataupun kecelakaan. Lantai di dekatnya digenangi darah, yang masih mengucur dari luka menganga di kepala dan lehernya.

Heilmann begitu terkejut sehingga mundur ke belakang. lalu terbirit-birit turun sambil berteriak-teriak memanggil polisi. Saat itu sudah pukul 20.00. Di hari Jumat jalan-jalan sepi karena libur akhir minggu sudah dimulai.

Baru setelah bertemu rumah tempat minum ia berhasil menghubungi polisi lewat telepon. Sekalian dipanggilnya ambulans.

Heilmann memberanikan diri kembali ke apartemen Wachter. Heran juga dia melihat mobil polisi sudah diparkir di tepi trotoar. Ternyata Wachter, yang lebih tenang, sudah menelepon polisi lebih dulu dari apartemennya.

Sekali lihat, polisi tidak meragukan bahwa Maria Wachter sudah tewas. Namun, untuk mematuhi peraturan, mereka memeriksa juga tubuh wanita itu. Tanda-tanda kehidupan memang sudah tidak ada. Heilmann dan Wachter tidak diperkenankan pergi. Mereka diminta menunggu kedatangan polisi dari bagian pembunuhan yang tiba tiga perempat jam kemudian.

Dr. David Diedrich yang wajahnya pucat tapi artistik (karena bentuk hidungnya indah, rambutnya merah keemasan dan bercambang panjang) memberi keterangan bahwa Maria Wachter tewas kira-kira dua jam sebelumnya. Tengkoraknya pecah di beberapa tempat, sedangkan urat nadi lehernya putus. Keterangan lebih rinci dan pasti baru akan diberinya setelah autopsi.

"Siapa yang melapor?" tanya Inspektur Peter Altbauer yang bertubuh pendek kekar dan berumur 50-an. la termasuk orang yang perlu bercukur sehari dua kali, tetapi cuma melakukannya sekali.

"Putranya dan majikan putranya," jawab Sersan Detektif Joachim Hart. "Mereka ada di bawah, di mobil patroli." Sersan ini masih muda belia dan pipinya merah jambu.

"Kau tunggu di sini. Awasi para petugas teknis. Jangan ada yang luput dari perhatian mereka. Aku akan menanyai putra korban dan majikannya," pesan Inspektur Detektif Altbauer.

 

Tak mungkin orang lain

Kartu identitas Heilmann dan Wachter diminta. Setelah memeriksa kedua kartu itu, Inspektur memberi tahu keterangan yang mereka berikan padanya akan direkam. la meminta Wachter menceritakan cara ia menemukan jenazah ibunya.

"Mengapa Anda tidak memiliki kunci apartemen Anda sendiri, Pak Wachter?"

"Ibu selalu di rumah. Saya tidak perlu membawa kunci."

"Tadi Anda bilang, Anda mempunyai kode ketukan rahasia. Siapa saja yang tahu kode itu selain Anda dan ibu Anda?"

"Tidak ada," jawab Wachter.

"Apakah ada orang lain selain ibu Anda yang memiliki kunci apartemen Anda?"

"Tidak. Kami cuma mempunyai satu kunci."

"Anda ditahan dengan tuduhan membunuh," kata Inspektur dengan resmi. "Anda harus ikut dengan saya ke kantor polisi. Anda diperingatkan bahwa apa pun yang Anda katakan akan dicatat atau direkam dan bisa digunakan untuk memberatkan Anda. Anda ingin membuat pernyataan?"

"Ya," jawab Wachter. "Anda gila. Mengapa saya ingin membunuh ibu saya sendiri?"

"Saya tidak tahu," jawab Inspektur. "Tapi berdasarkan pernyataan Anda, tidak ada orang lain yang bisa masuk ke apartemen Anda."

George Heilmann begitu tercengang. Ia disuruh pulang, sedangkan Wachter diangkut ke kantor polisi dan dituduh membunuh ibunya. Ia dihadapkan ke sejumlah detektif untuk diinterogasi.

Inspektur Altbauer kembali ke Schwarzenbergstrasse. Para teknisi hampir selesai melaksanakan tugas mereka. Jenazah Maria Wachter dimasukkan ke dalam peti logam dan digotong ke kereta jenazah polisi. Dokter sudah pergi. Tinggal Sersan Hart di sana. la melapor kepada Inspektur Altbauer.

"Ada tanda-tanda yang menunjukkan apartemen itu digerayangi," katanya. "Tapi kami tidak bisa menentukan apa yang diambil. Korban masih memegang kunci. Diperkirakan ia dibunuh begitu pintu dibuka."

"Mungkin petunjuk palsu," kata Inspektur. "Menurut putranya, ia hanya membukakan pintu kalau pintu diketuk dengan kode yang sudah disepakati bersama anaknya. Tak seorang pun, kecuali mereka berdua, yang mengetahui kode itu."

"Anda maksudkan, putranya mengaku membunuh? Apa motif nya?"

"Anaknya sih menyangkal. Tapi menurut pengakuannya, tak seorang pun bisa masuk ke aprtemennya kecuali dia sendiri. Petugas lab menemukan tanda-tanda perlawanan?"

Sersan Hart menggelengkan kepala. "Sepanjang yang bisa mereka katakan, korban dibunuh begitu pintu dibukakan. Kecuali anaknya gila, saya tidak melihat alasan yang mendorong ia membunuh ibunya."

"Saya juga tidak," kata Inspektur. "Saya juga tidak melihat alasan ia menggeledah apartemen, kecuali kalau ia sengaja memberi petunjuk palsu untuk menyesatkan kita. Apakah para petugas lab menemukan alat yang diduga dipakai melakukan pembunuhan?"

"Tidak," jawab Hart. "Kalau anaknya membunuh, mungkin senjata itu ia buang dalam perjalanan memanggil Heilmann."

"Kalau Diedrich bisa memberi gambaran kepada kita perihal senjata yang dipakai untuk membunuh, mungkin kita bisa memeriksa selokan sepanjang jalan antara apartemen dan tanah pertanian Heilmann besok," kata Inspektur Altbauer.

Malam itu Wachter tetap tidak mengaku membunuh ibunya. Pukul 11.00 keesokan harinya. Dr. Diedrich memberi gambaran senjata yang dipakai membunuh korban.

Menurut laporan sementara Diedrich, tengkorak korban retak di sembilan tempat akibat 16 pukulan dengan benda keras yang berpermukaan licin dan bergaris tengah kira-kira 5 cm. Beberapa serpihan kayu tertancap di kulit kepala, menunjukkan bahwa benda itu terbuat dari kayu.

Korban ditikam tiga kali di leher. Salah satu tikaman memutuskan pembuluh nadi leher, yang menyebabkan kematian 40 atau 50 detik kemudian karena aliran darah ke otak terhenti. Diperkirakan korban sudah pingsan akibat pukulan di kepala saat disembelih. Anehnya, luka di leher itu dibuat seperti tikaman jagal babi, bukan berupa gorokan.

Korban tampaknya sempat menginsafi bahaya dan ketakutan, karena tingkat adrenalin darahnya tinggi. Fungsi tubuhnya semua normal, kecuali ada tanda-tanda arteriosklerosis. Pakaian dalam wanita itu tidak terganggu dan tak ada tanda-tanda ia dibunuh karena motif seksual. Saat kematian diperkirakan antara pukul 19.00 - 19.15, tanggal 15 Oktober 1982.

Laporan dari laboratorium jauh lebih singkat. Tidak ada tanda-tanda apartemen itu dimasuki dengan kekerasan, kecuali pintu yang didobrak Wachter dengan disaksikan oleh Heilmann. Senjata tidak dijumpai. Sidik jari yang ditemukan cuma milik korban dan putranya.

"Pembunuhnya tidak bisa lain daripada Wachter, waktunya pun cocok," begitu Inspektur menyimpulkan.

 

Goblok alau genius

Menurut pengakuan Adolf Wachter, yang dikuatkan oleh George Heilmann, Wachter meninggalkan tanah pertanian beberapa menit sebelum pukul 19.00. Ia kembali ke tanah pertanian kira-kira pukul 19.35. Kalau ia ngebut, perjalanan ke apartemnnya cuma makan waktu kira-kira 15 menit. Berarti ia cuma mempunyai waktu 10 menit untuk membunuh. Namun, sepuluh menit sudah lebih dari cukup untuk membunuh. Begitu menurut petugas laboratorium.

Kata Wachter, ia tidak ngebut dalam perjalanan ke apartemennya. Ia juga rriengetukngetuk pintu cukup lama.

"Mengapa Anda tidak memanggil petugas pemadam kebakaran saja waktu Anda tidak dibukakan pintu?" tanya Inspektur. "Petugas pemadam kebakaran mempunyai ahli yang bisa membuka pintu."

"Saya tahu," jawab Wachter. "Tapi saat itu pikiran saya tak sampai ke sana."

Inspektur menyerahkan Wachter ke tangan tim interogasi, lalu kembali ke ruang kantornya.

"Wachter itu mungkin manusia goblok, mungkin pula penjahat genius," katanya kepada Sersan Hart. "Ia goblok karena bersikeras ibunya tak akan membukakan pintu kepada siapa pun, kecuali kalau pengetuk pintu menggunakan kode yang cuma diketahui oleh ibunya dan dia. Ia penjahat licin kalau bisa meyakinkan pengadilan bahwa ia berterus terang. Bukankah kita tidak bisa menemukan motif yang mendorongnya melakukan pembunuhan?"

"Wanita itu sudah tua renta dan tidak mempunyai banyak harta. Kalau putranya menginginkan kematiannya, paling-paling ia tinggal menunggu beberapa tahun lagi. Satu-satunya motif yang terpikir olehku ialah: mereka bertengkar, lalu Wachter memukul ibunya terlalu keras. Ia menjadi panik dan membunuhnya sekalian."

"Kalau begitu pertengkaran mereka singkat sekali, dong," kata Sersan Hart.

"Memang terlalu singkat," Inspektur Altbauer mengakui.

"Kalau orang lain membunuhnya, berarti ia meninggalkan tempat itu hanya beberapa menit sebelum Wachter datang," kata Hart. "Atau ia sudah berada di apartemen itu ketika Wachter pertama kali datang, lalu pergi ketika Wachter sedang memanggil Heilmann."

 

Kesaksian mantan islri

Adolf Wachter tidak pernah mengaku membunuh ibunya. Namun, karena ia tetap bersikeras tidak ada orang lain yang bisa masuk ke apartemennya, ia diadili sebagai pembunuh ibunya tanggal 12 Juli 1982. Jaksa tidak bisa mengemukakan motif pembunuhan dan senjata yang dipakai membunuh tidak pernah ditemukan.

Pakaian yang dikenakan Adolf Wachter pada tanggal pembunuhan terjadi diperiksa dengan saksama di laboratorium polisi. Tak ditemukan tanda-tanda darah sedikit pun, walaupun para ahli menyatakan tidak mungkin bagi seseorang untuk membunuh dengan cara itu tanpa pakaiannya terciprat darah.

Sementara itu delapan saksi menyatakan bahwa hubungan Wachter dengan ibunya baik sekali.

Jaksa lantas memanggil mantan istri Wachter, yang menyatakan mantan suaminya bisa saja melakukan tindak kekerasan, sebab pada tahun 1963 kepalanya pernah dipukul dengan kaki kursi. 

Namun, mereka baru bercerai tanggal 24 April 1967 dan si bekas istri kembali ke Wachter pada tahun 1970 - 1973. Ketiga putra mereka yang berumur 24, 23, dan 14 tidak dimintai kesaksiannya.

Dokter yang biasa merawat Maria Wachter menyatakan ia pernah merawat korban ketika korban menderita bilur-bilur yang katanya akibat jatuh. Sekali ia merawat korban ketika sebelah matanya bengep. Menurut korban, bengep itu disebabkan karena sumbat botol anggur mental ke matanya.

Ketika jaksa bertanya apakah memar semacam itu bisa diakibatkan oleh pukulan, dokter menjawab, "Bisa saja."

Namun, ketika pembela bertanya apakah memar seperti itu bisa disebabkan oleh hal-hal yang dikatakan oleh Maria Wachter, dokter menjawab, "Bisa saja" juga.

Seorang tetangga di gedung yang sama, sering mendengar Maria berseru, "Aduh!" Namun, wanita berumur 60 tahun yang bernama Helga Auernheimer itu menyatakan bahwa seruan itu beberapa kali didengarnya pada saat Adolf Wachter tidak di rumah.

Pengantar koran menyatakan Ny. Wachter beberapa kali mengeluh kepadanya bahwa ia tidak bahagia dan putranya tidak sayang kepadanya.

Sebenarnya kesaksian itu tidak terlalu meyakinkan kalau saja Adolf Wachter tidak bersikeras bahwa tidak ada orang lain, kecuali ia sendiri yang bisa masuk ke apartemennya.

Setelah sembilan hari bersidang, pengadilan memutuskan Adolf Wachter bersalah melakukan pembunuhan tidak terencana terhadap ibunya. Ia dijatuhi hukuman 11,5 tahun penjara, sedangkan SIM truknya dicabut.

Adolf Wachter tetap berkata ia tidak bersalah. Ia menganggap pencabutan SIM-nya keterlaluan, sebab ia belum pernah melanggar peraturan lalu lintas yang berarti.

Wachter naik banding dan pengadilan tinggi menemukan banyak kekurangan dan kealpaan yang dilakukan pengadilan, sehingga memerintahkan sidang diulang. Hal itu dilakukan tanggal 8 Februari 1985.

Sekali ini Adolf Wachter dibebaskan. Jaksa menangis. Di tengah ruang pengadilan, jaksa menuding Wachter dan berteriak dengan suara gemetar karena marah, "Baik, Pak Wachter. Anda berhasil mengelak dari hukuman, tapi saya tahu dan Anda pun tahu, Andalah pembunuh ibu Anda sendiri!"

Para penonton terpengaruh olehnya dan berteriak-teriak, "Gantung anak durhaka itu!"

Walaupun dibebaskan, pria berumur senja itu tidak bisa hidup dengan tenang. Semua orang di Kota Bamberg yang cantik dan tidak terlalu besar tahu perihal Adolf Wachter yang dituduh membunuh ibunya. Ada juga orang yang mau memberi pekerjaan kepadanya, tetapi hubungan mereka terbatas pada memanfaatkan otot-ototnya. Dalam pergaulan ia dikucilkan.

Saat itu Inspektur Altbauer sudah tidak menganggap Wachter sebagai pembunuh lagi. Namun kalau bukan dia, siapa pembunuh Maria Wachter?

 

Sesumbar

Tiga tahun setelah pembunuhan terjadi dan hampir setahun setelah Wachter dibebaskan, Inspektur Altbauer menerima laporan bahwa seorang gadis berumur 18 tahun diculik dan diperkosa bergantian oleh dua orang pembantu jagal, yaitu Thomas Schaubert dan Herbert Friedemann. 

Begitu dibebaskan, gadis itu mengadu ke kantor polisi. Schaubert dan Friedemann ditahan dan terbukti melakukan hal yang dituduhkan. Mereka dijatuhi hukuman penjara masing-masing 4 tahun pada tanggal 30 April 1986.

Di Jerman, hukum rupanya lebih bersimpati pada orang-orang muda daripada orang seumur Wachter, karena mereka boleh hidup di luar penjara setelah menjalani setengah dari masa hukuman.

Di penjara, Friedemann merasa khawatir dianggap anak kecil oleh rekan-rekan narapidana lain. Soalnya, penampilannya masih seperti remaja tanggung dan janggutnya tidak mau tumbuh. 

Untuk mengesankan sesama penghuni penjara, ia sesumbar perihal pembunuhan yang pernah dilakukannya bersama Thomas Schaubert. Sikap seperti ini memang umum terjadi.

Celakanya, Friedemann menyebut dengan rinci namanama, tempat, tanggal, dan hal-hal yang berkenaan dengan pembunuhan atas Maria Wachter, pembunuhan yang belum terpecahkan.

Di antara pendengarnya terdapat seorang oportunis yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk mendapat keringanan hukuman. Tanggal 17 Juli 1986, si pencari kesempatan dibawa ke kamar kerja Inspektur Altbauer dan menceritakan dengan saksama yang didengarnya dari Herbert Friedemann di penjara. 

Altbauer sangat terkesan, karena keterangan itu berisi detail yang cuma diketahui polisi dan si pembunuh. Sebagai orang yang pada dasarnya penuh kecurigaan, Inspektur Altbauer menyelidiki, di mana si pengadu berada pada saat pembunuhan. Ternyata orang itu sedang dihukum di penjara lain.

Kini Inspektur sudah mempuyai dua orang yang patut dicurigai sebagai pembunuh Maria Wachter. Namun, bagaimana caranya mereka bisa masuk ke apartemen wanita itu?

Inspektur Altbauer segera pergi mencari Adolf Wachter. Pria malang itu dijumpainya sedang bekerja sebagai buruh tani. Altbauer bertanya, apakah Wachter kenal pada Schaubert dan Friedemann.

"Oh, saya kenal mereka. Mereka itu asisten jagal," jawabnya. "Kalau sedang banyak uang, mereka minumminum di tempat yang sama dengan saya."

 

Remaja rusak

Schaubert dan Friedemann dibawa ke kantor polisi tempat Inspektur Altbauer bekerja. Mereka diinterogasi secara terpisah. Friedemann yang lebih muda diintimidasi, menjadi panik dan mengaku setelah mendengar pernyataan teman sepenjaranya yang direkam polisi. 

Katanya, gagasan untuk membunuh Maria Wachter yang tidak mereka ketahui namanya, berasal dari Schaubert. Saat itu mereka kekurangan uang. Mereka memilih Maria Wachter bukan karena ia kaya, tetapi karena secara tidak sengaja mereka mendengar perihal kode mengetuk pintu dari Wachter. 

Suatu ketika Wachter bekerja pada orang tua Schaubert dan bercerita tentang kode mengetuk pintu demi keamanan. Schaubert yang waktu itu berumur 18 tahun merasa tertarik dan membuntuti Wachter pulang. Wachter tidak sadar ketukannya didengarkan oleh remaja ini.

Pada tanggal 15 Oktober, keduanya bersepeda ke apartemen Wachter sambil membawa kantung plastik berisi pisau jagal untuk menikam babi. Friedemann membawa tas olahraga berisi dua pasang sarung tangan plastik, seutas tali dan sebuah kaki meja.

Sebenarnya mereka tidak berniat membunuh korban. Schaubert mengikatkan saputangan ke wajahnya supaya jangan dikenali, sedangkan Friedemann menutupi kepalanya dengan kerudung jaketnya.

Setelah mengenakan sarung tangan plastik, mereka mengetuk pintu menurut kode yang didengar Friedemann. Ny. Wachter yang sedang menunggu kedatangan putranya membukakan pintu. 

Mereka mendesak masuk. Ny. Wachter berteriak dan mencoba melarikan diri. Schaubert memukul kepala wanita malang itu dengan kaki meja. Wanita itu jatuh dan Friedemann ganti memukulinya.

Mereka berjanji akan menanggung kejahatan ini bersama-sama dan tidak akan saling mengkhianati. Ketika mereka menggerayangi apartemen, Ny. Wachter yang ternyata belum meninggal, mengeluarkan suara mengerang. 

Schaubert mengeluarkan pisau jagal dan menikam leher Ny. Wachter dengan teknik menikam leher babi. Friedemann ikut-ikutan. Mereka segera meninggalkan tempat itu dengan membanting pintu agar terkunci kembali. Ketika keluar gedung, mereka melihat Adolf Wachter lewat dengan mobilnya.

Mereka tidak berhasil memperoleh uang sepeser pun dari rumah korban. Tak terpikir oleh mereka Adolf Wachter akan dicurigai sebagai pembunuh ibunya. Namun, ketika hal itu terjadi, mereka merasa geli.

Pakaian dan tangan mereka yang berlumuran darah mereka cuci. Kaki meja mereka bakar, sedangkan pisau jagal dikembalikan ke fungsi semula.

Tanggal 18 Juni 1987 Thomas Schaubert dan Herbert Friedemann dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan atas Maria Wachter. Namun, karena saat melakukan kejahatan itu umur mereka baru 18 dan 16 tahun, mereka cuma mendapat hukuman penjara 8,5 tahun. (John Dunning)

" ["url"]=> string(68) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124155/ketukan-pengundang-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890401000) } } [13]=> object(stdClass)#157 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3123130" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#158 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-04-kama-20220201080920.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#159 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(17) "Robert A. Stemmle" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9379) ["email"]=> string(20) "intiplus-22@mail.com" } } ["description"]=> string(58) "Berpendidikan dokter justru membuat si pelaku begitu sadis" ["section"]=> object(stdClass)#160 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/01/thumbnail-intisariplus-04-kama-20220201080920.jpg" ["title"]=> string(20) "Kamar Segi Tiga Maut" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-01 20:24:30" ["content"]=> string(36348) "

Intisari Plus - Sabtu, 11 Maret 1944, Madam Marcais, penghuni Rue Le Sueur 23, uring-uringan. Sejak pagi ia merasa terganggu oleh asap tebal hitam dari rumah tetangganya di Rue Le Sueur 21 yang baunya membuat dia tak punya selera makan. Begitu Monsieur Marcais pulang dari kantor, Madam Marcais meminta suaminya mengeceknya.

Sia-sia Monsieur Marcais menekan bel di depan rumah bergaya istana di Rue Le Sueur 21. Ia tidak melihat papan yang bertuliskan: "Sedang pergi selama sebulan. Surat-surat dialamatkan ke Rue des Lombards 18, Auxerre."

Hari sudah mulai gelap. Monsieur Marcais lalu melapor ke polisi. Ia takut rumah tetangganya itu kebakaran.
Komisaris Chevert dan rekannya, Jacquemart, tiba di depan rumah di Rue Le Sueur 21 lima menit kemudian.

Mereka mencoba menekan bel lagi. Hasilnya nihil. Tiba-tiba mereka melihat papan yang ada tulisan seperti di atas yang tadinya tidak dilihat Monsieur Marcais.

Komisaris Chevert diberi tahu oleh Monsieur Marcais bahwa penyewa rumah itu adalah dr. Petiot. Dokter itu punya tempat praktek di Rue Caumartin 66. Teleponnya 77-11. Chevert lalu mencoba menelepon dr. Petiot.

Maksudnya, untuk menjelaskan soal asap yang baunya mengganggu daerah Rue Le Sueur. Tak ada jawaban. Chevert lalu memutuskan untuk meminta bantuan pemadam kebakaran.

Lewat jendela, petugas pemadam kebakaran masuk ke dalam rumah. Dengan senter, mereka bisa mencapai lantai dasar rumah, tempat tungku pembakaran ditaruh.

Seorang petugas membuka pintu perapian.

Di dalam tungku yang penuh api merah menyala tampak tengkorak manusia bertumpang tindih. Bau daging dan tulang terbakar menyebar ke mana-mana. Di perapian yang lain juga tampak sisa-sisa tubuh manusia yang siap dibakar.

Di dinding yang bertangga-tangga, ada potongan-potongan tubuh manusia, namun dengan kepala yang tak berambut dan tak berwajah. Gumpalan kapur melekat pada kulit-kulit yang keriput. Di depannya tampak tumpukan payung dan sepatu pria dan wanita yang memakai hak.

Dengan tangan gemetar,petugas pemadam kebakaran berusaha memadamkan api di tungku. Dengan bantuan lampu senter para polisi menjelajahi setiap sudut rumah yang mengerikan itu.

Tiba-tiba muncullah seorang pria pengendara sepeda menyelinap masuk rumah. Ia dicegah oleh dua orang polisi. "Saya saudara pemilik rumah ini," kata pengendara sepeda itu.

Akhirnya, ia diperbolehkan masuk ke lantai dasar. Di situ ia membuka pintu perapian sejenak, lalu memandang tiga orang polisi yang ada di lantai dasar. Dengan berbisik, ia bertanya, "Anda bertiga orang Prancis, bukan?"

Ketiga orang polisi itu terpana sejenak. Apa maunya orang ini, pikir mereka. Orang tak dikenal itu malah mendekati ketiga polisi itu. "Saya mempertaruhkan kepala saya. Namun, saya akan berkata jujur. Jaga baik-baik rahasia ini," katanya.

la menunjuk ke perapian yang di dalamnya banyak potongan tubuh. "Itu semua orang Jerman. Para pengkhianat. Mereka dibunuh oleh gerakan pembebasan Prancis," katanya.

Setelah berkata demikian, orang tak dikenal itu segera meninggalkan ruangan di lantai dasar. Ketiga polisi itu memandangnya dengan terheran-heran. Tanpa kesulitan, orang itu pergi dengan sepedanya. Tak ada yang menanyakan namanya dan tak ada yang mengalanginya.

 

Kamar segi tiga berpintu palsu

Kepala polisi kriminal Paris langsung dihubungi bawahannya malam itu juga. Inspektur Massu datang ke Rue Le Sueur 21.

Di situ, Inspektur Massu dan Komisaris Tanguy, bawahannya, bertemu dengan dr. Paul, yang memeriksa potongan-potongan tubuh di situ dan mengirimnya ke Institut Medico-Legal.

Dokter Paul berpendapat,pekerjaan memotong-motong tubuh itu pasti dilakukan oleh seseorang yang ahli dalam bidang anatomi tubuh. Semua identitas korban dihilangkan, mulai dari wajah, rambut, dan sidik jari.
Pelakunya pastilah genius kreatif yang mempraktekkan teknik baru yang hebat. Otot, urat, jaringan lemak korban diuraikan dengan rapi.

"Tidak salah lagi, pelakunya pastilah seorang dokter," kata dr. Paul.

Dr. Paul juga menambahkan bahwa korban yang ditemuinya di Rue Le Sueur 21 keadaannya mirip dengan para korban yang ditemukanhya di Clichy, Courbevoie, dan Sungai Seine. Mereka semua tampaknya dibedah. Para korban di atas ditemukan pada tiga tahun belakangan ini.

Dari ruang perapian, mereka memandang ke sebuah ruangan lain yang kosong, tampaknya seperti dapur. Di bawah jendela lantai dasar, ada sebuah bak cuci yang lebar. Di tengah ruangan ada meja yang panjangnya 3 m.

"Apakah tidak ada bercak-bercak darah di situ?" tanya Komisaris Tanguy. Dr. Paul menggelengkan kepalanya. "Tak" ada. Semua bukti disapu bersih," katanya.

Inspektur Massu lalu bertanya, berapa jumlah korban di Rue Le Sueur 21.

"Ada 15 orang," jawab dr. Paul.

Kemudian Inspektur Massu dan Komisaris Tanguy pergi ke halaman. Di situ ada bangunan dari batu bata yang bentuknya memanjang dan rendah. Bangunan, itu kelihatannya seperti garasi dengan dinding dikapur bersih.

Meskipun demikian, di tempat mobil seharusnya ditaruh itu ada sebuah lubang yang ditembok. Dua buah ubin disandarkan di dinding. Sia-sia, kedua orang polisi itu menerangi dasar lubang untuk melihat isinya.

Kedua orang itu hanya melihat kapur di dinding lubang. Mereka lalu memutuskan untuk turun ke lubang.

"Apa ini?" kata Tanguy.Tanguy membentur kepala manusia. Ketika diterangi dengan lampu senter, tampaklah kepala manusia berserakan.

Kepala-kepala itu berlumuran kapur. Rupanya sang pelaku, setelah memotong-motong korbannya, lalu menyiramnya dengan kapur dan menaruhnya di lubang.

Jika potongan tubuh itu sudah kering, barulah dimasukkan ke perapian. Dua buah ubin yang disandarkan di dinding rupanya berfungsi sebagai penutup lubang.

Kedua orang itu lalu meneruskan pemeriksaan mereka. Mereka kembali ke halaman. Tiba-tiba mereka melihat pintu kedua dari bagian lain bangunan batu bata itu.

Ketika mereka masuk lewat pintu itu, tampaklah sebuah tempat yang tak terduga: sebuah ruang praktek dokter yang bersih. Ruang praktek itu pastilah ada yang menggunakan. Soalnya, ada meja dan dua kursi empuk yang tampaknya terurus baik.

Sebuah gang sempit menghubungkan ruang praktek dengan sebuah ruangan berbentuk segi tiga yang mungil Panjangnya kira-kira cuma 2,5 m. Ruangan itu tak punya jendela. Pintu masuk ke ruang segi tiga itu dari dalam tidak ada handelnya.

Sedangkan pintu lain yang ada di dalam ruangan segi tiga itu adalah pintu palsu. Soalnya, pintu itu adalah tembok yang dibentuk seperti pintu yang dilapisi bahan peredam suara. Jadi ruangan itu adalah sebuah kamar yang kecil tanpa jalan keluar.

"Lihat, itu ada tombol bel di pinggir pintu palsu. Tombol ini tak ada kabelnya. Jadi hanya tombol yang diletakkan begitu saja di sini," kata sang inspektur.

"Apa gunanya," tanya Komisaris Tanguy.

"Ya, apa gunanya?" kata Inspektur Massu juga.

Komisaris Tanguy juga menambahkan bahwa ada sebuah lubang untuk mengintip yang ditaruh di pintu masuk ruang segi tiga. Lewat lubang itu, seseorang bisa melihat isi ruangan segi tiga.

Inspektur Massu menginstruksikan:"Awasi tempat praktek dr. Petiot di Rue Caumartin 66 dan jaga rumah di Rue Le Sueur 21."

Walaupun begitu, perintah untuk menangkap dr. Petiot, penyewa rumah di Rue Le Sueur 21, tidak dikeluarkan. Baru pada esok paginya, tanggal 12 Maret 1944, polisi mendatangi rumah di Rue Caumartin 66.

Di situ ada papan bertuliskan "Dr. Petiot terapi". Polisi menekan bel. Namun,. pintu rumah di Rue Caumartin 66 itu tetap tertutup.
Akhirnya, polisi menggedor-gedor pintu. Tiba-tiba pintu terbuka sendiri. Dengan senjata siap di tangan, empat polisi menggeledah rumah itu. Tampaknya rumah itu sudah lama ditinggalkan. Debu tebal ada di mana-mana.

Di kamar tidur ada surat kabar tertanggal 10 Maret 1944, potongan kertas bekas pembungkus keju dan asbak berisi abu rokok. Di ruang praktek dokter ada foto wanita dengan seorang anak laki-laki belasan tahun.

Ada dua kartu pasien dan sebuah surat yang ditulis dengan pensil. Nama yang tertera di situ adalah nama-nama orang yang dilaporkan hilang dan semuanya berbau nama Yahudi.

Polisi Prancis tidak bisa melacaknya. Soalnya, siapa yang berani melapor hilangnya seorang Yahudi ke kepolisian Prancis yang berada di bawah kekuasaan Gestapo!

 

Pak walikota mencuri bensin

Laporan tentang Petiot makin lama makin banyak sampai akhir bulan Maret. Gestapo memutuskan untuk membuat berita acara tentang kasu Petiot. Polisi Prancis sendiri meneruskan pengejaran terhadap Petiot.

Kehidupan Petiot diselidiki. Sedikit demi sedikit gambaran diri Petiot terungkap.

Marcel Andre Henri Felix Petiot lahir di Auxerre pada tanggal 17 Januari 1897 sebagai anak seorang pegawai. Kantor pos. Pada usia 15 tahun, ibunya meninggal.

Marcel dan adiknya, Maurice, yang waktu itu berusia 5 tahun, diasuh oleh bibinya. Karena sekolah Marcel tidak benar, ayahnya memasukkannya ke asrama. Bulan Juli 1915 akhirnya ia berhasil menyelesaikan SMTA-nya. Setelah itu, ia jadi prajurit dalam PD I.

Tahun 1916 Marcel Petiot terkena granat pada kakinya, sehingga dipekerjakan di rumah sakit tentara di Orleans. Namun, ia kemudian dihukum.

Dalam catatan tidak disebutkan tindakan pelanggaran yang dilakukannya, tetapi tercatat Petiot muda menjalani pemeriksaan jiwa selama berbulan-bulan. Setelah gencatan senjata, ia dibebaskan sebagai orang cacat.

Ia kemudian belajar kedokteran di Univesitas Lyon. Dengan cepat, ia berhasil meraih gelar dokter dan membuka praktek di kota kecil Villeneuve, dekat Yonne, kira-kira satu jam perjalanan dengan kereta api dari Auxerre. Itu terjadi di tahun 1921.

Mulai saat itu, nama Marcel Petiot melonjak. Soalnya, kota kecil yang merupakan sarang penyakit TBC itu membutuhkan seorang dokter. Dari dokter biasa, ia jadi dokter kepala rumah sakit, lalu jadi direktur rumah jompo.

Tahun 1928, ia jadi wali Kota Villeneuve. Ia juga aktif dalam Partai Nasionalis dan Liga Hak-hak Manusia.
Istrinya berasal dari keluarga kaya. Mereka dikaruniai seorang putra bernama Gerhard. Jumlah pasiennya tidak berkurang, meskipun ia sibuk sebagai wali kota dan kepala keluarga.

Namun demikian, ada juga kelompok anti-Petiot. Mereka melaporkan tentang meninggalnya tetangga kaya dr. Petiot, kematian pememang lotere, Madam Desbauves. Sidik jari Petiot ditemukan di rumah korban. Penemu sidik jari Petiot itu kemudian mati secara misterius setelah disuntik antirematik oleh Petiot.

Berbagai peristiwa di atas tampaknya tidak menggoyahkan kedudukan Petiot. Ia malah masuk dalam daftar wakil rakyat tingkat nasional. Namun, suatu kali Petiot tertangkap basah mencuri bensin dan juga listrik.

Orang sampai terheran-heran. Petiot sendiri tidak kehilangan akal. Ia lalu pura-pura gila seperti saat dia diadili di rumah sakit tentara dulu. Meskipun begitu, pengadilan tetap menjatuhkan hukuman penjara 2 minggu dan mendendanya. Setelah itu ia menghilang.

 

76 koper yang mencurigakan

Hakim penyidik setelah membaca riwayat hidup Petiot lalu menemui Inspektur Valet di Auxerre, yang sedang menghadiri interogasi terhadap Ny. Petiot. Inspektur Guillemin yang mendapat tugas melakukan interogasi itu.

Nyonya Petiot menyatakan ia tidak tahu-menahu soal mayat yang ada di Rue Le Sueur 21. Selain itu ia tidak tahu di mana suaminya saat itu berada. Ia malah menyangka suaminya disembunyikan Gestapo.

"Ia tidak pernah memberi kabar kepada saya," kata Ny. Petiot. Ia lemas, ketika Inspektur Guillemin berkata bahwa di Rue Le Sueur 21 ada kulit kepala seorang wanita tua yang rambutnya putih.

Ketika Inspektur Guillemin menghentikan pemeriksaannya, Ny. Petiot sampai harus dibantu untuk diantar ke mobil. Gerhard, putra Petiot, dilepaskan oleh polisi.

Sejak tersiarnya penemuan potongan-potongan tubuh di rumah ayahnya, ia- tidak lagi masuk sekolah. Namun, polisi masih membutuhkan keterangan dari adik Marcel Petiot, Maurice.

Inspektur Valet menjemput Maurice di Quai des Orfe'vres, Paris. Soalnya, dialah yang memesan cairan kapur buat saudaranya. Maurice dipertemukan dengan makelar rumah, Nezondet, yang merasa yakin, Maurice tahu peristiwa yang terjadi di Rue Le Sueur 21.

Maurice yang membawa koper berisi pakaian yang dikirimkan oleh sang dokter. Ada 60 koper yang dititipkan di tempat Nezondet.

Di Paris, polisi mengumpulkan semua koper yang ditemukan di Auxerre, di Courson-Les-Carrie'res (tempat Nezondet), dan beberpa bahkan berasal dari Rue Le Sueur 21. Koper-koper itu diberi nomor. Ada 76 nomor.
Begitu koper-koper itu dibuka, mulailah diadakan penyortiran.

Ada 71 kertas WC, 93 blus wanita, 10 piyama, 306 sapu tangan, 30 baju pria, 21 tas tangan, 46 celana dalam, 104 kemeja pria, 91 topi wanita, 74 baju wanita, 18 mantel wanita, 35 rok bawah, 12 mantel pria, 21 bedak, 10 pengikir kuku, 16 lipstik, 22 sikat gigi, dan 57 pasang sepatu.

Polisi menentukan jumlah korban yang jatuh dari tas tangan dan banyaknya mantel pria. Jadi jumlah korban diperkirakan ada 21 wanita dan 12 pria.

 

Baju tidur anak-anak

"Pusatkan perhatian pada baju-baju bekas pakai. Baju-baju itu harus diteliti dengan mikroskop. Dari bau keringat, rambut, atau bau parfum, kita bisa menyatukan barang- barang," kata Inspektur Valet.

Dari kotak penyimpanan topi, bukan topi yang muncul, tetapi pakaian malam yang harum, dari kain tule berwama merah jambu dan sutera berwarna krem. Dari sebuah koper kecil yang tampak benar-benar baru ada 5 pakaian pria, di antaranya bahkan ada sebuah jas panjang hitam.

Pakaian yang ada di koper itu rupanya untuk orang bertubuh besar dan berdada bidang. Empat baju yang lain tampak bekas ditusuk-tusuk dengan pisau. Si pelaku rupanya membuka jahitan jas, merobek saku bagian dalam sampai ke keliman.

"Tampaknya seseorang sedang mencari sesuatu dan menemukannya," demikian perkiraan Inspektur Valet.

"Pastinya barang berharga, emas, berlian, atau uang."

Polisi mencatat semua penemuannya. Kemudian mereka menemukan sikat rambut anak-anak, dan baju tidur kecil.
Seorang polisi mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Apakah kita menemukan tulang-belulang kanak-kanak di Rue Le Sueur 21?" Jawabannya: tidak! Inspektur Valet akhirnya setuju untuk memanggil direktur dari museum ilmu alam untuk menentukan usia tulang-belulang yang ditemukan.

Soalnya, masih ada potongan tubuh yang ditemukan di Sungai Seine, di Clichy, dan di Courbevoie. Potongan-potongan tubuh yang ditemukan di beberapa tempat itu juga telah diperiksa oleh dr. Paul.

Namun demikian, sejauh ini dr. Petiot belum juga bisa dilacak. la seperti hilang tertelan bumi. Walaupun gambaran tentang dirinya makin jelas di mata hakim pemeriksa Berry setelah pasiennya dan rekan-rekan seprofesinya bercerita tentang diri Petiot.

Dari berkas-berkas di pengadilan terungkap berbagai pelanggaran yang dilakukannya. Petiot pernah dihukum, karena memberikan morfin kepada pasiennya yang ketagihan. la juga pernah ditangkap, karena ketahuan mencuri harta pasiennya.

Biarpun begitu laporan dan keterangan tentang dr. Marcel Petiot di masa-masa sekitar PD II tidak ada. Yang pasti, pada tahun 1940, Marcel Petiot tiba- tiba muncul di Paris bersamaan dengan ,munculnya tentara Jerman, Nazi, dan Gestapo.

Saat itu ibu kota Prancis jadi tempat pelarian. Padahal pengejaran terhadap para pelarian juga sedang hangat-hangatnya dilakukan.

Apakah Petiot termasuk salah satu pengejar pelarian? Apakah ia sakit jiwa? Semuanya masih terselubung kabut.

 

Pagarnya setinggi 7 m

Ia membeli rumah di Rue Le Sueur 21 pada bulan Mei 1941. Di bulan Oktober 1941, sang dokter memperbaharui rumahnya. Kandang kuda, rumah pelatih, dan lubang-lubang dikapur putih.

Walaupun para pekerja merasa heran, mereka mengerjakan juga perintah Petiot untuk melapisi pintu rangkap dari sebuah ruangan mungil dengan gabus. Padahal pintu itu menempel di dinding.Tembok pagar pun dipertinggi sampai 7 m.

Petiot diketahui menjanjikan sebuah tempat pelarian di Argentina kepada Guschinow, seorang Yahudi kelahiran Krakau, Polandia. Ia meminta agar Guschinow tidak mengatakan kepergiannya kepada siapa pun, kecuali istri Guschinow.

Tanggal 2 Januari 1942, Guschinow berbicara untuk terakhir kalinya dengan rekan dagangnya, Guido. "Saya telah melaksanakan semua yang diminta oleh Tuan Dokter. Surat-surat berharga telah saya jual. Perhiasan juga.

Hanya uang tunai dan permata yang terlepas-lepas masih saya simpan dalam kain yang dijahit. Setelah itu kain tersebut saya sisipkan dalam tas tangan saya seperti yang dikatakan oleh dr. Petiot.

Namun demikian, tas ini harus saya tinggalkan padanya di Paris. Soalnya, berbahaya kalau kita membawa uang dalam jumlah besar lewat pemeriksaan di perbatasan. Saya membawa uang Fr. 3 juta,” kata Guschinow.

"Apa yang akan dr. Petiot lakukan dengan kopermu?" tanya Guide.

"Dr. Petiot akan mengirirnkannya ke Argentina dengan bantuan seorang diplomat. Katanya, begitu saya sampai pelabuhan, koper itu sudah sampai di sana juga," jawab Guschinow.

Setelah berpisah dengan Guido, Guschinow dan istrinya lalu pergi ke tempat praktek dr. Petiot di Rue Caumartin. Guschinow diberi Fr. 50, istrinya Fr. 50 juga. Dr. Petiot meminta Guschinow agar setibanya di Buenos Aires memberi kabar kepada istrinya.

Dr. Petiot lalu berkata, "Sampai nanti malam. Pukul 23.00. Di pojok Rue Pergolese dan Avenue de la Grande Armee. Kita menyiapkan suntikan di rumah seorang rekan, seorang spesialis penyakit negara tropis. Suntikan itu suatu keharusan. Pemerintah Argentina yang memintanya."

Lalu Petiot menyisipkan sebuah buku kecil kepada Guschinow. Judulnya Tujuh Syarat Buat Para Emigran. Buku itu kemudian menjadi salah satu bukti bagi polisi Prancis dalam pengusutan perkara Petiot.

Syarat pertama: lima foto untuk surat-surat keterangan. Syarat kedua: harus berangkat sendirian. Syarat ketiga: bagasi terdiri atas dua buah tas tangan. Keempat: semua inisial dan etiket baju dan isi koper harus dihilangkan.

Kelima: negara tujuan di Amerika Selatan. Keenam: peralatan rumah tangga, perhiasan, dan surat-surat berharga dijual. Semua yang dibawa harus berbentuk uang, emas, berlian, atau cek yang dijahit jadi satu dalam kantung. Ketujuh: semua belajar kode-kode rahasia.

Dengan koper berisi barang berharga, Guschinow pergi ke Rue Pergolese. Seminggu setelah "kepergian" Guschinow, istrinya memperoleh surat dari Guschinow, yang isinya menyatakan dia tiba dengan selamat.

Setelah itu kabar dari Guschinow disampaikan secara lisan oleh Petiot. Istri Guschinow percaya saja pada Petiot.

 

Mucikari jadi korban

Kepala dinas kepolisian bagian kriminal, Massu, dan Hakim Berry juga ingat "akan sebuah laporan pada dua tahun sebelum 1944. Di Courbevoie, sebelah barat Paris, ditemukan kepala anak kecil berambut merah pirang.

Kepala itu dikenali sebagai Rene Kneller, putra pelarian Yahudi dari Jerman. Kepala keluarga, Kurt Kneller, berkenalan dengan dr. Petiot ketika ia menderita sakit ginjal.

Akhirnya, dokter dan pasien makin akrab. Dr. Petiot menawarkan tempat yang aman bagi keluarga Yahudi itu. Petiot meminta imbalan berupa mebel keluarga Kneller.

Ternyata keluarga yang terdiri atas tiga jiwa itu tidak pernah sampai ke tempat tujuan. Namun, Petiot tidak mendapat apa-apa dari keluarga itu. Soalnya, pemilik rumah tidak memperkenankan Petiot membawa mebel keluarga Kneller.

Petiot juga gagal memperoleh harta benda korban berikutnya, yakni dr. Braunberger. Istri dr. Braunberger tidak menuruti permintaan suaminya yang ditulis dalam surat setelah kepergian dr. Braunberger.

Kemudian diketahui Petiot memakai nama samaran sebagai dr. Euge'ne. Dokter Euge'ne menyatakan mempunyai teman- teman yang bisa menyeberangkan orang-orang yang hendak keluar dari Prancis.

Seorang pasiennya, Verrier, mempunyai teman yang hendak pindah dari Prancis. Mereka adalah Jo, seorang petinju, dan Francois, si orang Korsika.

Jo adalah seorang mucikari di Pelabuhan Marseille, yang suka turut serta melakukan perampasan dan perampokan. Ia pernah dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun. Namun, entah bagaimana, ia saat itu bisa berada di Paris.

Ia ditemani pacarnya, Paulette, seorang keturunan Cina. Semua harta Jo dijual dan dijadikan cek. Namun, ia juga masih menyimpan uang kertas Swedia dan Prancis dalam jumlah besar.

Francois adalah agen rahasia Gestapo. Namun, ia pernah membunuh agen Gestapo lainnya dengan bayaran tinggi. Gestapo tampaknya mulai mencium ketidakberesan.

Francois hendak melarikan diri ke luar dari Prancis bersama teman wanitanya. Ia membawa serta enam buah koper dan sejumlah perhiasan.

Petiot bertemu dengan keempat orang tersebut di tempat Verrier. Akhirnya dicapai kata sepakat: yang berangkat duluan adalah Francois dan pacarnya, tiga minggu kemudian barulah Jo dan Puelette.

Tiga minggu setelah keberangkatan Francois, Jo yang bertubuh besar itu menagih janji untuk diberangkatkan ke Casablanca. Petiot memenuhi janjinya. Maka Jo pun tak pernah kelihatan lagi.

 

Fotonya muncul di kios koran

Setelah berhasil dengan Jo dan Francois, Petiot lalu berkenalan dengan seorang wanita terpandang bernama Eryane Kahan. Lewat Eryane Kahan, Petiot diperkenalkan dengan keluarga Wolf dan mertuanya, keluarga Basch, dan lima orang Yahudi yang melarikan diri dari Frankfurt.

Eryane meminta bantuan Petiot untuk menyeberangkan teman-temannya itu ke negara lain. Dalam jangka waktu tiga hari, teman-teman Eryane Kahan tersebut "diseberangkan" oleh Petiot. Mereka dibagi dalam dua kelompok.

Sejak musim dingin 1942/43 Petiot tidak, muncul-muncul di hadapan Eryane Kahan. Pada suatu pagi di bulan Mei 1943, Eryane Kahan membaca berita tertangkapnya seorang dokter yang hendak menyeberangkan orang ke luar perbatasan.

Eryane Kahan yakin, orang itu pasti dr. Eugene. Eryane segera menyembunyikan diri, karena ia takut dirinya juga ditangkap. Sampai pertengahan Maret 1944, Eryane Kahan melihat kembali foto dr. Eugene di kios-kios koran.

Dengan terkejut, ia membaca nama foto yang tertera di situ sebagai dr. Marcel Petiot. Tahulah ia apa yang terjadi dengan teman-temannya.

Eryane kembali menyembunyikan diri sampai tiba bulan Agustus 1944, ketika Paris dibebaskan dari tangan Jerman. Maka ia pun menghadap. Polisi Prancis untuk menceritakan nasib teman-temannya.
Tanggal 21 Mei 1943 adalah saat nahas bagi dr. Eugene alias dr. Petiot, Soalnya, ia tertangkap karena "menyeberangkan" Dreyfus bersama teman saudara- saudaranya. Ternyata Dreyfus adalah agen Gestapo.

Petiot ditahan di Penjara Fresnes. Pada 8 Februari 1944, Petiot tiba-tiba dibebaskan tanpa ada yang tahu alasannya. Orang berbisik-bisik bahwa Petiot harus menandatangani surat perjanjian dengan Gestapo.

Sejak itu usaha pembantaian dilakukan terang-terangan olehnya di depan hidung Gestapo.

Namun, pada 1 April 1944, rumah di Rue Le Sueur 21 sudah bukan milik Jerman lagi. Itulah sebabnya Petiot harus menghilangkan semua sisa-sisa tubuh pasiennya. Ia harus membakar semua tulang belulang korbannya supaya tak ada jejak yang ditinggalkan.

Namun demikian, Petiot belum bisa "membereskan" semuanya. Ia masih terus.membakari tulang belulang korbannya sampai tanggal 10 Mei 1944. Petiot segera bergegas membawa kopernya dan menghilang.

Pada tanggal 11 Mei 1944 itulah tetangga di Rue Le Sueur 23, Tuan Marcais, melapor ke polisi soal asap yang bau dari rumah Petiot.

 

Dikenali bawahan

Jejak Petiot tidak bisa dilacak. Sementara itu kedudukan Jerman di Prancis makin terdesak. Tanggal 6 Juni 1944 sekutu mendarat di pantai utara. Tanggal 24 Agustus 1944, Paris sudah dikuasai Prancis sepenuhnya. Amerika menyusul masuk Prancis.

Petiot yang bersembunyi selama ini bergabung dengan barisan Palang Merah. Dengan akal liciknya, ia mencari informasi tentang para dokter yang masih belum kembali ke Paris.

Pertengahan September 1944, ia bisa bertemu dengan ibu dr. Wetterwald, yang ditangkap Jerman dan ditaruh di Kamp Mauthausen. Petiot bisa mengelabui ibu sang dokter dan mencuri surat-surat keterangan dr. Wetterwald.

Dua hari setelah pencurian surat keterangan dr. Wetterwald, seorang pria berjanggut dan berambut gelap muncul di tangsi Reuilly, di sebelah selatan Paris. Lengannya diberi tanda Palang Merah. Ia diantar menghadap komandan tangsi.

Ia memperkenalkan diri sebagai dr. Wetterwald dan memperlihatkan bukti-bukti diri. Ia juga mengatakan bahwa dalam tugas ia mempunyai nama samaran: Valery. Itulah sebabnya ia meminta untuk dipanggil Valery saja.

Berkat kelihaiannya, Petiot alias dr. Eugene alias dr. Wetterwald alias Valery diterima kedatangannya dengan baik dan dijadilcan ajudan sang komandan. Ia hampir saja ikut ke Indocina mendampingi sang komandan, seandainya tidak berpapasan dengan Charles Dogniaux dari polisi militer.

Tanggal 24 Oktober 1944, Charles Dogniaux mendapat tugas jaga di depan tangsi. Petugas yang daya ingatnya kuat itu memberi hormat kepada atasan yang lewat.

Dengan agungnya, sang atasan membalas hormatnya. Dogniaux terpana. Ia tiba-tiba ingat wajah seseorang: Petiot! Ia pun berbalik, mendekati "sang atasan" dan berkata, "Anda saya tangkap!"

Tiga hari sesudah tertangkap, polisi militer melimpahkan kasusnya ke hakim pemeriksa. Di pengadilan, ruang sidang yang cuma cukup menampung 400 orang, saat itu dipadati 1.000 orang. Di samping bangku tertuduh, tampak tumpukan koper setinggi 4 m. Koper yang paling atas diberi nomor 76.

Dituduh membunuh 27 orang Petiot menyangkal melakukan pembunuhan terhadap 27 orang di Rue La Sueur 21. Ia mengatakan bahwa ia baru pulang bersepeda ketika melihat banyak mayat yang terpotong potong di Rue Le Aueur.

Ia lalu membakarnya karena tidak tahu harus berbuat apa. Dikatakannya, bahwa ia membakar potongan-potongan mayat itu untuk membantu temannya yang telah melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang dikatakan Petiot sebagai pengkhianat dan orang Jerman.

"Jadi Anda tidak melakukan pembantian?" tanya penuntut umum.

"Tidak. Saya memang membunuh, tetapi itu dilakukan di Hutan Marly," jawab Petiot. Jumlahnya pun dikatakan bukan 27, tetapi 63 orang.

Petiot mengaku mempunyai senjata rahasia yang bisa membunuh lawan tanpa ampun. Ketika ditanya senjata itu digunakan untuk membunuh siapa, Petiot menjawab, ia memakainya untuk membunuh Jo, si pembunuh.

"Mengapa Anda berpura-pura bisa menyeberangkan Jo dan temannya ke luar perbatasan? Mengapa memerlukan koper, barang-barang berharga, dan surat-surat palsu segala?" tanya hakim.

"Barang-barang itu cuma alat pemancing. Tanpa itu, kami tidak bisa membunuhnya di Hutan' Marly," jawab Petiot.

"Siapa yang menyiapkan paspor palsu?" tanya hakim lagi.

"Seseorang dari Kedutaan Argentina, yang berkedudukan di Vichy. Namanya ... namanya ...," kata Petiot.

Semua orang di ruang sidang menanti Petiot menyebut nama seseorang walaupun mereka akhirnya sudah tahu bahwa ia pasti tidak bisa menyebutkan nama-nama itu. Petiot juga tidak menyebutkan nama para penyeberang perbatasan yang bekerja sama dengannya.

"Bagaimana dengan wanita yang Anda seberangkan?" tanya hakim.

Petiot mengangkat bahunya. "Saya mohon Anda tidak mempersoalkan wanita yang ada hubungannya dengan orang Jerman! Kenapa saya harus mulai dengan menyebut namanya?" Hakim berkata, "Anda merendahkan nyawa manusia!"

"Mereka bukan manusia! Mereka cuma pelacur dan mucikari! Saya bangga telah berhasil membersihkan Prancis dari sampah-sampah macam mereka!" kata Petiot lagi.

Petiot tidak henti-hentinya bercerita tentang pembunuhan yang dilakukannya di Hutan Marly. Namun, soal mayat-mayat yang ada di Rue Le Sueur 21 tidak pernah diakuinya.

Lalu Petiot menyebut namanya yang lain, yakni agen 21. Agen 21 mendapat tugas resmi untuk melakukan pembasmian para pengkhianat, katanya.

"Sebutkan nama yang memerintahkan tugas ini! Nama, nama!" kata Hakim Leser. "Saya akan menyebutkan nama begitu saya keluar dari sini!" jawab Petiot.

"Keluar dari sini?" tanya Hakim.

"Ya, tentu saja," kata Petiot gusar. "Saya tak pernah meragukan hal itu!"

Di meja hakim, bukti-bukti disortir. Petiot dituduh membunuh 27 pria, wanita, dan kanak-kanak. Ia menyangkal membunuh Guschinow dan Braunberger.

Namun, Petiot mengakui membunuh Francois dan pacarnya, serta orang Korsika dengan pacarnya, Claudia. Di adalah agen Jerman. Itulah sebabnya mereka harus mati.

Petiot juga mengaku membantai teman-teman Eryane Kahan. Soalnya, Eryana Kahan juga dikategorikan olehnya sebagai agen Jerman. Ketika hakim mengatakan bahwa teman-teman Eryane adalah orang Yahudi,Petiot bilang ia tidak tahu soal itu.

"Habisnya mereka tinggal di tempat orang Jerman keluar-masuk," demikian alasan Petiot.

 

Racun lalat cuma isapan jempol

Ketika tiba pembacaan kasus Yvan Dreyfus, Petiot berkata bahwa ia hanya jalan-jalan sebentar dengan Yvan Dreyfus, lalu berpisah. Setelah itu Petiot lalu ditangkap Gestapo.

Pembela Petiot, Floriot, juga menyatakan bahwa Dreyfus adalah agen Jerman. Begitu mendengar pembelaan Floriot, Petiot langsung membenarkan. "Benar, ia seorang pengkhianat! Pengkhianat ras, pengkhianat agama, dan pengkhianat tanah air!"

Ruang sidang jadi ramai. Para hadirin yang memenuhi ruang sidang marah. Orang-orang berusaha menyerbu Petiot. Petiot terkejut. Hakim Leser membutuhkan waktu 5 menit untuk menenangkan sidang.

Kemudian hakim meneruskan dengan kasus keluarga Kneller.

"Apa yang telah Anda lakukan terhadap ayah, ibu, dan anak itu?" tanya jaksa.

Petiot menjawab dengan ragu-ragu, "Saya tidak melakukan apa-apa terhadap mereka." Petiot tampak masih terkesan oleh keributan yang baru dialaminya. Petiot lalu menyambung lagi, "Keluarga Kneller bermalam di rumah saya. Besoknya, saya mengantarkan mereka ke stasiun."

"Mengapa koper mereka ada pada Anda?" tanya Jaksa lagi.

"Mereka tidak bisa membawa semua koper mereka. Itulah sebabnya mereka meninggalkan beberapa koper pada saya," jawab Petiot.

"Namun, mengapa sampai baju tidur kecil ini ada di dalam salah satu koper ini?" tanya jaksa lagi.

"Waktu saya hendak mengambil mebel keluarga Kneller, saya menemui kesulitan dengan nyonya pemilik rumah. Itulah sebabnya saya hanya bisa membawa pakaian anak. Keluarga Kneller masih berutang Fr. 5.000 kepada saya untuk ongkos dokter yang belum dibayar," kata Petiot memberi alasan.

Diskusi hangat juga terjadi dalam soal menentukan kedudukan Petiot. Apakah Petiot seorang agen Jerman? Apakah ia bekerja untuk Gestapo? Atau apakah ia seorang pembunuh individual?

Setelah istirahat, sidang diteruskan dengan mengajukan seorang saksi dari kepolisian. Komisaris Pinault menyatakan tidak ada nama dr. Petiot, dr. Eugene, atau agen 21 dalam Gerakan Pembebasan Prancis. Juga tidak ada kelompok Racun Lalat.

Tanggal 22 Maret 1946, yakni pada hari kelima sidang; dilakukan peninjauan ke Rue Le Sueur 21 bersama-sama dengan tertuduh.

 

Kakinya gemetar

Selain hakim, peninjau antara lain terdiri atas Profesor Sannie, kepala dinas kepolisian bagian sidik jari, dan tiga orang juri, serta tentu saja Petiot sendiri.

"Buat apa pintu palsu ini, Petiot?" tanya Hakim, ketika mereka berada di ruang segi tiga.

"Untuk menyaring kelembapan udara dari dinding," jawabnya.

Penjelasan Petiot tentang periskop di pintu untuk mengintip ruang segi tiga itu juga tidak masuk akal.
Profesor Sannie bisa menceritakan rahasia "penjara maut" itu, walaupun ia tidak melihat pembantaian yang dilakukan Petiot dengan mata kepalanya sendiri.
Di ruang praktek, pastilah dr. Petiot menyuntik pasiennya. Kemudian kalau sang pasien yang sebenarnya disuntik racun itu merasa mual, ia akan dibawa ke ruang kecil segi tiga itu dan dibaringkan di dipan.

Alasannya, supaya sang pasien lebih tenang sebelum bisa meneruskan perjalanan. Namun sebenarnya, di balik ruang segi tiga itu tak ada jalan keluar. Sang pasien mulai menyadari situasi yang menimpanya, tetapi racun yang diberikan pun mulai. Memperlihatkan pengaruhnya.

Lewat lubang kecil seperti periskop, Petiot menyaksikan perjuangan maut korbannya dengan rasa sadistik.
Kemudian semua dibawa ke ruangan yang mirip dapur.

Di situ ada meja dan tempat cuci piring. Di situlah upanya jasad korban dipotong-potong. Di dinding tampak bekas asap yang berasal dari kedua buah perapian. Petiot diminta hakim untuk membuka pintu tungku yang sebenarnya sudah dingin dan tak ada isinya.

Kaki Petiot tampak gemetar. Dua orang polisi terpaksa membantunya berdiri dan memapahnya.

Petiot kembali lagi lemas, ketika jaksa memintanya untuk turun ke lubang, tempat korban dilumuri kapur.
Sidang diteruskan besoknya.Saksi ahli yang memeriksa para korban Petiot akan didengar keterangannya. Dokter itu adalah dr. Paul.

Hakim Leser bertanya kepada dr. Paul, "Anda mengatakan Anda juga perah menemukan potongan-potongan tubuh yang kondisinya serupa dengan yang ditemukan di Rue Le Sueur 21?"

Dr. Paul membenarkan pernyataan itu. Ia mengatakan potongan tubuh yang ditemukannya itu sekitar musim semi 1942 sampai permulaan tahun 1943. Potongan-potongan tubuh itu tampaknya ditangani oleh seorang dokter.

Tiba-tiba orang teringat pada kepala anak kecil berambut merah, yang tersimpan di bagian kriminal kepolisian. Korban Petiot rupanya tidak hanya terbatas pada korban yang ditemukan di tungku dan lubang di Rue Le Sueur 21, tetapi juga tersebar di padang rumput serta
hutan-hutan di sekitar Paris.

 

Marah-marah

Setelah dr. Paul didengar keterangannya, menyusul seorang psikiater didengar pendapatnya. Dr. Genil-Perrin berkata, "Kami telah mengamati tertuduh selama beberapa minggu. Kami telah menguji kemampuan intelektualitas dan moralnya."

"Pada diri Petiot tidak ditemukan gangguan jiwa. la memiliki intelektualitas rata-rata manusia. la bukan seorang gila dan ia bertanggung jawab penuh terhadap segala tindakannya."

Kemudian mundul dr. Gouriou sebagai saksi. "Orang ini mempunyai kepribadian yang menyimpang dan amoralis. Dalam jiwanya ada kekosongan yang amat besar. Ia tetap akan berpura- pura. Sifatnya selalu berbohong," katanya.

Di pengadilan, Petiot marah-marah kalau orang mempertanyakan mengapa Petiot akhirnya dibebaskan Gestapo. Ia menganggap pertanyaan itu sebagai penghinaan.

Minggu ketiga persidangan dimulai dengan mendengarkan penuntut umum Dupin membacakan tuntutannya. Dupin menutup tuntutannya dengan berkata, "Siapa lagi yang harus diberi ganjaran hukuman mati selain Petiot? Keadilan harus ditegakkan. Semoga sang pelaku kejahatan segera menyusul korban- korbannya."

Setelah itu menyusul pembelaan Floriot bagi Petiot yang lamanya 5 jam. Hakim Leser lalu bertanya,
"Petiot, apakah Anda hendak berbicara sesuatu?" Semua yang hadir dalam sidang terdiam dan menunggu apa yang hendak dikatakan Petiot.

Dengan susah payah Petiot berdiri. Bicaranya gagap. Bibirnya bergetar. Ia berbisik,"Ya, saya ingin. Tetapi saya tidak bisa. Anda semua orang Prancis. Anda tahu bahwa saya agen Gestapo. Anda pasti tahu apa yang harus Anda lakukan." Ia kemudian jatuh terduduk.

Dua orang petugas membantunya berjalan ke luar ruang sidang. Pukul 23.55 Hakim Leser membacakan putusan sidang: hukuman mati! Untuk pertama kalinya, setelah Prancis bebas dari cengkeraman Jerman, pisau guilotin bertugas kembali.

 

 

(Robert A. Stemmle)

" ["url"]=> string(65) "https://plus.intisari.grid.id/read/553123130/kamar-segi-tiga-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643747070000) } } [14]=> object(stdClass)#161 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3117173" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#162 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/01/28/thumbnail-intisariplus-buku-per-20220128055354.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#163 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(9) "C.M. Chan" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9368) ["email"]=> string(20) "intiplus-12@mail.com" } } ["description"]=> string(64) "Kebiasaan menjilati kuas perona wajah membuatnya meregang nyawa." ["section"]=> object(stdClass)#164 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/01/28/thumbnail-intisariplus-buku-per-20220128055354.jpg" ["title"]=> string(12) "Jilatan Maut" ["published_date"]=> string(19) "2022-01-28 19:56:53" ["content"]=> string(35651) "

Intisari Plus - Sersan Detektif Jack Gibbons tak heran ketika ia mendengar telepon berdering pada pukul 12.15 hari Minggu itu. Ia mengira, pasti Phillip Bethancourt akan memberi tahu bahwa ia terlambat datang.

Tiga perempat jam yang lalu Bethancourt sudah meneleponnya, mengajak makan siang pukul 12.00 di Kew Gardens bersama dengan Maria Tate, peragawati top di Inggris, dan temannya, Janet.

Ternyata suara di ujung sana bukan suara Bethancourt, tetapi dari Scotland Yard. Seorang bernama Delia MacGruder terbunuh dalam keadaan yang mencurigakan. Detektif Gibbons diminta segera datang ke tempat kejadian.

Selang sepuluh menit, bel pintu rumahnya berdering. Di depan pintu muncul seorang pria muda berperawakan tinggi ramping dan berkacamata. Ia ditemani seorang wanita bertubuh tinggi menawan, berambut cokelat tembaga, dan berkulit licin.

"Maaf," ujar Gibbons. "Saya tak bisa pergi."

"Untuk pertemuan dengan Janet sekalipun?" kata Maria sambil tersenyum menggoda.

Gibbons menggeleng. "Saya dipanggil Scotland Yard untuk menyelidiki suatu pembunuhan. Seorang wanita kaya tewas di rumahnya karena racun."

"Kedengarannya menarik," kata Bethancourt, seorang detektif partikelir. "Siapa wanita itu?"

"Delia MacGruder."

"Saya jadi ingin tahu. Mari kami antar kau ke sana ...."

"Phillip!" teriak Maria, "kita masih harus menjemput Janet."

"Oh, ya. Begini, sayang, bawa mobil itu dan jemput Janet. Jack dan saya naik taksi saja. Kita bertemu setelah urusan itu beres."

Maria tampak kesal. "Kau tak bisa membatalkan acara makan siang kita begitu saja."

"Tidak, saya hanya terlambat sebentar. Pergilah, kami nanti menyusul. Ini kuncinya. Ayo, kita berangkat."

Setengah marah, Maria masuk ke Jaguarnya dan menancap gas kuat-kuat, membuat mobilnya seakan mau terbang.

 

Foto wanita di tumpukan pakaian

Kamar rias itu kecil, tetapi indah. Juru potret kepolisian agak kesulitan memperoleh gambar seluruh tempat kejadian. Delia MacGruder berperawakan kecil dan masih tampak cantik pada usia 50-an. Namun, kini ia sudah menjadi mayat di dekat meja riasnya. Ia mengenakan pakaian mandi dan wajahnya seperti kesakitan. Laci meja rias tampak setengah terbuka. Di atas meja tersebar berbagai botol dan alat-alat kosmetik. Di sisi meja terlihat setengah cangkir kopi dingin, dengan busa mengambang di permukaannya.

Di atas karpet tebal di depan mayat, tergeletak sebuah cermin kecil dan kotak kosmetik lain yang terbuka, agaknya terjatuh bersama korban.

Mayat itu meringkuk dekat bangku, wajahnya biru. Bethancourt bergidik melihatnya dan cepat-cepat memalingkan wajahnya. Ia mengamati benda-benda yang terserak di bawah meja.

"Cari apa?" tanya Gibbons yang datang menjajarinya.

"Itu," kata Bethancourt sambil menunjuk sebuah kuas kecil yang tergeletak dekat dinding.

"Benda itu terjatuh ketika ia tewas. Atau mungkin tersenggol dan jatuh dan meja."

"Apa itu?"

"Kuas perona mata. Kotak peronanya terjatuh di lantai. Wajahnya sama sekali belum berias, tetapi saya lihat, semua alat kosmetik ditaruhnya di atas meja, dan ia mulai dengan merias matanya. Maskara, perona, pipi, dan lipstik tidak terlihat. Saya kira alat-alat itu ada di laci."

Gibbons membuka laci, di dalamnya terdapat kotak-kotak kecil, pensil, dan botol-botol kecil. Ia menatap Bethancourt.

"Nah, itu," kata Bethancourt. "Maskara, perona pipi, dan berbagai lipstik." Ia tersenyum.

"Punya kenalan peragawati sangat menguntungkan dalam situasi seperti ini."
Inspektur Carmichael mendatangi mereka seusai berbicara dengan dokter. "Ah, kita ketemu lagi," ujar Inspektur pada Bethancourt. "Gibbons, dokter merasa pasti wanita itu tewas karena racun. Amankan kopi itu untuk dianalisis. Kau boleh periksa juga kamar mandi."

Sementara Gibbons memberi perintah untuk mengamankan kopi, Bethancourt ngeloyor pergi, menjelajahi kamar tidur. Karena tak menemukan hal yang menarik, ia masuk ke kamar yang merupakan kamar dandan pria. Ia membuka lemari pakaian berisi tumpukan kemeja.

"Rupanya kau di sini!" seru Gibbons yang berdiri di pintu kamar. "Saya akan turun dulu untuk menanyai pelayan rumah ini."

"Saya ikut, tapi tunggu ... apa ini?" Ia menemukan foto seorang gadis cantik berpakaian seksi di bawah tumpukan kemeja.

"Coba lihat." Gibbons memperhatikan foto itu. "Banyak pria yang punya wanita simpanan tidak membunuh istri mereka."

"Betul," kata Bethancourt.

"Mungkin ini foto kemenakannya. Oke, mari kita dengar apa kata wanita pelayan itu.

Wanita pelayan berusia sekitar 40 tahun yang sudah bekerja pada Bu MacGruder selama lima tahun itu sedang menangis.

"Sudahlah, Bu Andrews," ujar Bethancourt. "Anda harus berani menghadapi kenyataan. Anda mesti menolong Detektif Gibbons agar bisa menemukan pelakunya."

Wanita itu tersedu dan menyatakan ia tidak bisa percaya Bu MacGruder pergi begitu cepat dengan cara yang amat mengerikan.

"Nah, Bu Andrews," ujar Bethancourt," kata kawan-kawan saya, Anda bilang pagi tadi Pak MacGruder pergi pukul 09.00. Siapa yang ada di rumah ini setelah itu, kecuali Anda dan korban?"

Bu Andrews menggeleng kuat-kuat sambil terisak.

"Adakah orang lain yang tinggal di sini?"

Ia menggeleng lagi.

"Tidak? Keluarga MacGruder tak punya anak?"

Sambil masih terisak ia mengatakan, "Bu MacGruder mempunyai dua anak laki-laki dari perkawinannya yang pertama."

Ia menambahkan, kedua anaknya itu tinggal di Cirencester. Menurut Bu Andrews, Pak MacGruder meninggalkan rumah pukul 09.00 dan naik kereta ke pinggiran kota untuk bermain golf bersama rekan-rekan bisnisnya. Setelah suaminya pergi, Delia MacGruder masih tetap duduk di kamar makan membaca koran. Sekitar pukul 10.30 ia naik ke lantai atas untuk berdandan, sebab ia akan pergi dengan kereta pukul 12.16. Ia berjanji dengan suami dan rekan-rekannya untuk makan siang bersama. Sekitar pukul 11.00 ia turun mengambil kopi dan kembali ke atas. Dua puluh menit kemudian, Bu Andrews mendengar suara berdebam dari lantai atas. Namun, ia hanya menduga Bu MacGruder menjatuhkan sesuatu.

"Saya membersihkan karpet," kata pelayan itu sambil menangis, "di kamar tamu. Saya lihat jam sudah menunjukkan pukul 12.00 lewat sedikit dan saya pikir Bu MacGruder akan ketinggalan kereta kalau tak segera berangkat. Saya naik, bermaksud mengingatkannya. Saya ketuk pintunya, tetapi tak ada jawaban. Saya mulai takut, tetapi saya memberanikan diri membuka pintu dan oh, saya melihat pemandangan yang mengerikan ...."

 

Tak ada jalan lain

"Mereka sudah menyingkirkan mayat itu, Pak," kata seorang polisi yang menunggu mereka di ruang tengah. "Kami sudah menghubungi suaminya, ia dalam perjalanan kemari."

"Yang di lantai atas sudah selesai?"

"Hampir, Pak. Pak Inspektur menyuruh kami menyegel kamar itu setelah semua beres. Ia juga ingin bertemu dengan Pak MacGruder dan Anda diminta menunggunya di sini."

Gibbons mencari-cari Bethancourt, dan mendapatinya di ruang studi sedang membuka-buka laci meja.

"Apa kau menyadari - andaikata kopi itu beracun – hanya pelayan itu yang memasukkannya? Untuk ke lantai atas dari dapur, orang harus melewati kamar makan dan ruang tamu di mana Bu Andrews sedang bekerja. Tidak ada tangga lain."

"Tidak," ujar Gibbons, "saya tidak menyadari hal itu. Kita belum tahu apakah ada racun. dalam sisa kopi itu."

"Benar." Bethancourt diam sejenak, lantas mengambil setumpuk surat dari meja. "Surat-surat ini dialamatkan kepada Ibu yang tercinta' dari 'Tom'. Alamat pengirim di Cirencester, dengan nama belakang Follet, dan ini satu lagi dengan nama jalan yang berbeda, tetapi masih di Cirencester, tertanda 'Bill dan Annie'."

"Baik, kita harus tahu apakah mereka berada di Cirencester pagi tadi. Ah, mungkin itu Pak MacGruder datang."

David MacGruder, seorang pria yang masih tampak muda di usianya yang 40 tahun lebih, ditemani penasihat hukum istrinya, teman main golf hari itu.

Gibbons mengatakan bahwa Pak Inspektur ingin bertemu dengan MacGruder dan ia diminta menunggu di ruang tamu. Ia pun menjelaskan bahwa mayat istrinya sudah disingkirkan dan kamar tempat kejadian sudah disegel. MacGruder cuma mengangguk lesu.

"Sudah selesai?" tanya Bethancourt.

Gibbons mengangguk.

Bethancourt melirik jam tangannya. "Pukul 14.45. Sebaiknya kita menyusul cewek-cewek itu," katanya.

"Kau sajalah," jawab Gibbons. "Kau tahu, masih banyak pekerjaan yang mesti saya selesaikan."

"Aduh!" ujar Bethancourt, "kau tak bisa membiarkan saya sendiri didamprat Maria."

Gibbons tersenyum. "Lo, kenapa?" katanya. "Itu 'kan salahmu. Kau sudah tahu, ia pasti marah kalau kau memaksa ikut saya."

"Perkara ini 'kan penting dan sangat menarik, dan saya suka," katanya sambil berlalu tanpa mengindahkan protes kawannya.

 

Si pelayan ikut minum

Jack Gibbons duduk dengan santai di kamar Phillip Bethancourt yang tinggal di sebuah flat yang luas dan menyenangkan.

"Oh, ya, bagaimana hasil penyelidikan mayat wanita itu?" tanya Bethancourt yang muncul dari dapur dengan rokok di bibir.

"Delia MacGruder tewas karena racun sianida, tapi tak dijumpai apa-apa dalam kopinya, kecuali gula. Juga di dalam teko, sebab pelayan itu pun ikut minum dari teko kopi itu."

"Tidak sulit membubuhi cangkir dengan racun. Setelah racun bekerja, cangkir dicuci, lantas diisi kembali dengan kopi segar."

"Itu memang mudah kalau pelayannya kamu," canda Gibbons.

"Barangkali ia memasukkan orang lain ke rumah itu."

"Mungkin orang itu masuk lewat pintu depan."

"Bagaimana dengan MacGruder?" tanya Bethancourt.

Gibbons menggeleng. "Ia memang pantas dicurigai, tetapi ia punya alibi yang kuat. Ia meninggalkan rumah pukul 09.00 dan naik kereta pukul 09.18. Kami tahu hal ini sebab ia bertemu dengan penasihat hukum di stasiun. Mereka langsung ke lapangan golf. Usai bermain sekitar pukul 12.30, mereka bermaksud menemui istri mereka untuk makan siang. Tapi, mereka justru bertemu dengan polisi yang memberi kabar tentang kematian itu."

"Jadi, Pak MacGruder tidak termasuk orang yang kita curigai."

"Ya, dan sayang sebetulnya, sebab hingga kini dialah satu-satunya orang yang paling punya motif untuk melakukan pembunuhan. Suami pertama Bu MacGruder seorang jutawan yang usahanya sedang berkembang. Enam tahun silam Bu MacGruder menikah dengan David MacGruder yang delapan tahun lebih muda darinya. Sebelumnya, MacGruder adalah seorang pengusaha yang lumayan. Begitu menikah, MacGruder mengundurkan diri."

"Tetapi ia tidak mungkin melakukan pembunuhan."

"Tidak. Tak seorang pun, kecuali pelayan itu. Siapa lagi yang bisa masuk ketika Bu MacGruder sedang berdandan tanpa segera diminta keluar?"

"Kekasihnya," kata Bethancourt, "atau anak-anaknya. Atau wanita lain."

"Kita belum selesai menyelidiki kedua anaknya. Kukira mereka juga punya kunci lain rumah itu. Orang lain sulit masuk ke sana."

 

Cuma teman biasa

Bethancourt mengisap rokoknya dan mencecap wiskinya.

"Gampang kalau punya kuncinya," katanya. "Tetapi sejauh ini, kunci pemecahan yang termudah dari kasus ini adalah pelayan itu."

"Tidak," ujar Gibbons. "Di mana ia mendapatkan sianida? Kalau ia melakukannya, mengapa ia tidak memasukkan racun itu semuanya ke dalam kopi? Dalam tubuh Bu MacGruder hanya dijumpai dosis yang amat kecil. Apalagi, mengapa ia melakukannya?"

"Ada banyak alasan. Kebencian yang sangat kepada majikannya. Mungkin Bu MacGruder meninggalkan warisan kepadanya juga dalam wasiatnya, tapi sepertinya itu tidak mungkin. Sayangnya, kalau kau mengesampingkan pelayan itu, kau juga harus membuang pikiran bahwa racun itu ada dalam kopi. Sesudah itu kita tinggal memikirkan soal lain."

"Yang mana?"

"Pembunuh itu menghampirinya sewaktu ia sedang berdandan, persis setelah sarapan dan menawarkan makanan kepadanya. Bagaimana kira-kira orang itu menawarkan makanan kepadanya?"

"Mungkin begini: 'Maaf, saya mengganggu, saya cuma ingin Anda mencicipi cokelat yang lezat ini'."

"Mungkin," komentar Bethancourt. "Tetapi coba kita lihat yang terjadi kemudian. Bu MacGruder lantas meletakkan cermin dan alat perias, lalu makan cokelat atau entah apa. Kemudian ia tewas dan saat ia jatuh, cermin berikut alat perias itu terlempar, tetapi kenapa barang-barang yang lain tidak/'

"Mungkin ia meletakkannya di sisi lain dari meja itu."

"Kenapa begitu. Ia menaruh segala sesuatu setelah dipakai tepat di atas laci. Itu soal kebiasaan, Jack. Saya sendiri selalu menaruh krim untuk bercukur di atas wastafel. Kalau ada orang datang waktu sedang bercukur dan itu mengenai soal penting, tanpa sadar saya langsung meletakkannya di wastafel. Apa tak pemah kau perhatikan, wanita tak senang diganggu bila sedang berias? Apa yang kau lakukan bila ada orang datang waktu kau sedang bercukur?"

"Saya akan bilang, 'Maaf, Anda tak keberatan kalau saya selesaikan dulu?'"

"Tepat."

"Mestinya begitu yang terjadi pada BuMacGruder. Mungkin ia gemar sekali makan cokelat."

"Tidak," kata Bethancourt. "Itu justru berarti, ada sesuatu yang belum kita pahami."

"Lantas siapa yang memberinya makanan?"

"Itulah. Siapa lagi orang yang kau curigai?"

"Anggota keluarga itu. Bu MacGruder memang memiliki uang yang hendak diwariskan dan besar kemungkinan akan diwariskan kepada suami dan anak-anaknya. Tetapi kita belum tahu soal itu. Sementara itu kita belum menemukan orang lain yang punya motif."

"Bagaimana dengan gadis yang ada di foto itu?"

Gibbons tersenyum. "MacGruder menyatakan bahwa gadis itu adalah kenalan lama keluarga mereka. Namanya Sarah Duncan, sementara gadis itu bilang Pak MacGruder hanyalah teman biasa yang suka mengajaknya makan."

"Alibinya?" tanya Bethancourt.

"Tidak persis. Sarah Duncan adalah seorang pemain sandiwara. Pada kejadian pagi tadi ia berada di tempat latihan, tetapi kapan tepatnya tidak jelas. Bisa saja ia menyelinap ke luar dan kembali lagi. Andaikata gadis itu kekasih MacGruder, ia tidak kenal dengan istrinya. Jika tiba-tiba ia muncul di kamar rias itu, hampir tidak mungkin Bu MacGruder mau makan makanan yang dia berikan padanya."

"Ya, memang. Saya akan coba menyelidiki Sarah Duncan."

"Oke. Kalau begitu saya akan mencari keterangan tentang kedua anak Bu MacGruder."

 

Seorang anaknya homoseksual

Bunyi telepon berdering sore itu ketika Bethancourt keluar dari kamar mandi.

"Aku sudah ke Cirencester," kata Gibbons dengan nada senang. "Bill (25) sudah menikah. Dengan Annie. Sedangkan Tom (26) masih membujang dan kukira dia itu homoseksual."

"Itu tidak berarti Tom seorang pembunuh," ujar Bethancourt.

"Betul," kata Gibbons senang, "tetapi dengar! Tom memiliki toko barang antik. Ia tidak ada di sana pada Minggu pagi itu. Biasanya ia selalu meluangkan hari-hari Minggu pagi di tokonya, meneliti barang dagangannya, lantas sekitar pukul 11.00 pergi makan siang bersama Bill dan Annie. Hari Minggu yang lalu Tom pergi ke Windsor melihat-lihat barang antik yang mau dijual."

"Ia memang pergi ke Windsor?"

"Ya, janjinya dengan pemilik barang antik itu pukul 13.30. Ia punya banyak waktu, sebab menurut seorang tetangganya, mobil Tom keluar sekitar pukul 08.00."

"Delapan?" kata Bethancourt.

"Terlalu pagi untuk memenuhi janji pukul 13.30. Cirencester ke Windsor cuma butuh waktu sekitar satu setengah jam."

"Katanya, ia mampir lebih dulu ke tokonya. Tetapi tak ada saksi. Ia pun mengaku singgah di sebuah kedai minum, tetapi juga tak ada yang ingat kehadirannya. Sebaiknya kita lihat keadaan keuangannya, untuk mengetahui apakah ia sedang butuh uang. Barang antik bukan bisnis murahan."

"Ya, lantas bagaimana dengan adiknya, si Bill?"

"Ia ada di rumah bersama istrinya yang sedang hamil. Mereka makan siang berdua, sebab Tom tak datang. Hari Minggu itu tak terjadi apa-apa sampai mereka mendengar kabar dari MacGruder. Bill bekerja pada sebuah perusahaan penanaman modal di Bristol.

Mereka pun mendengar cerita bahwa MacGruder mengkhianati ibu mereka."

"Akan saya selidiki kebenarannya," kata Bethancourt.

Berkat Maria Tate, Bethancourt bisa bercakap-cakap dengan Sarah Duncan di sebuah restoran dekat gedung teater tempat Sarah Duncan biasa bermain sandiwara.

"Maria sungguh cantik," kata Sarah, "bahkan lebih cantik daripada foto-fotonya." la menatap Bethancourt, "Apakah ia tidak keberatan kalau saya bertanya kepadanya bagaimana caranya ia bisa jadi terkenal begitu?"

"Asal Anda tahu saja, ia memiliki saya."

Sarah menatapnya tak mengerti.

"Ya," kata Bethancourt lirih, takut terdengar Maria. "Saya kebetulan saja punya sedikit uang. Punya sponsor," tambahnya, "itu menolong. Tapi bagi gadis secantik Anda mestinya tidak banyak persoalan."

"Tidak," jawabnya dengan suara lirih pula. "Ada juga orang yang banyak menolong saya, tetapi ia sebenarnya tidak ada kaitannya dengan orang-orang teater."

Bethancourt terbahak. "Saya pun tidak," katanya. "Apakah ia sudah menikah?" pandangnya.

"Ya."

"Pria yang sudah menikah itu sulit," lanjut Bethancourt.

"Betul," katanya. "Tetapi ia belum menikah lagi. Istrinya baru saja meninggal secara mengerikan. Persoalan saya, bagaimana kalau ia meminta saya untuk menikah dengannya? Saya memang menyukai dia dan ia banyak menolong saya dalam soal keuangan dan hal-hal lain. Sungguh tidak terpikir saya mau menikah dengannya."

"Sulit memang," kata Bethancourt menahan kegirangannya mendengar pengakuan Sarah.

"Apakah istrinya meninggal secara mendadak?"

"Ya," katanya. "Kabarnya, dibunuh."

 

Terbelit utang

Sore berikutnya Bethancourt menemui Gibbons di kantornya. Di mejanya berserakan foto-foto tempat kejadian perkara pembunuhan itu dan berbagai laporan.

"Bagaimana dengan Tom dan Bill?" tanya Bethancourt sambil menyulut sebatang rokok.

"Saya sudah mendapat laporan mengenai keuangan mereka," ujar Gibbons sambil mencari-cari sesuatu di antara kertas-kertas yang berserakan di mejanya. "Laporan itu sungguh bertentangan dengan yang kita harapkan."

"Ada yang tidak beres dengan keuangan mereka?" tanya Bethancourt.

"Tom punya rekening yang cukup besar di bank. Ia menanamkan uangnya secara bijaksana dan bisnis barang antiknya berkembang. Ia tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang kiranya tidak mampu dia beli. Namun, beberapa bulan yang lalu ia mengambil uangnya agak banyak."

"Aha!" kata Bethancourt dengan nada puas. "Pemerasan, barangkali?"

"Adiknya sendiri yang memerasnya," kata Gibbons. "Pemberian kepada adiknya itu berupa cek. Bill telah melakukan investasi yang berisiko tinggi dan sekarang hampir bangkrut. la meminjam dari saudaranya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya dan masih punya utang cukup besar yang belum dilunasi."

"Kalau begitu, Bill punya motif," kata Bethancourt. "Bisa jadi ia minta uang kepada ibunya, tapi tak diberi."

"Tapi Bill berada di rumah Minggu pagi itu bersama istrinya. Tetangga mereka sepanjang pagi itu mencuci mobilnya di halaman. Tapi dari pukul 10.00 – 12.00 mereka tidak melihat mobil Bill."

"Itu agak sulit," kata Bethancourt. "Saya sungguh tidak.mengerti bahwa. Tom mau membunuh ibunya demi Bill, jika ia tak mau meminjamkan uangnya kepada Bill."

"Sangat tidak mungkin. Pukul 16.00 surat wasiat itu dibacakan. Saya ingin tahu isi wasiat itu dan masalah keuangan Bill."

"O, ya, bagaimana dengan Sarah Duncan?" tanya Gibbons setelah mereka duduk di taksi.

"Ia memang ada main dengan MacGruder," jawab Bethancourt. "Tetapi ia tidak ingin menikah dengannya. Saya kira ia berkata benar."

"Hal-hal yang bisa kita jadikan petunjuk lama-lama habis."

"Cuma belum menemukan petunjuk yang tepat saja," ujar Bethancourt.

 

Membohongi istrinya

Delia MacGruder mewariskan masing-masing 100.000 poundsterling kepada kedua anaknya. Lima ratus poundsterling untuk pelayan wanitanya, Bu Andrews, sedang suaminya memperoleh perkebunan, termasuk modal yang ditanam dan real estate. Semua ahli waris hadir, kecuali Tom.

Pada kesempatan itu, Gibbons minta kepada pengacara itu untuk mewawancarai Bill dan istrinya.

"Tak masuk akal!" sergah MacGruder, sebelum pengacara sempat menanggapinya. "Barangkali kalau polisi tidak lagi mengganggu keluarga saya, Anda bisa memusatkan pikiran untuk menemukan pembunuh istri saya."

"Kami tidak keberatan," ujar Annie dengan tenang.

MacGruder bersungut-sungut.

"Saya merasa tersinggung. Saya sangat tersinggung."

"Mestinya kami yang tersinggung, bukan Bapak," ujar Bill dengan sorot mata tajam.

"Anda bisa menggunakan ruang rapat," potong si pengacara.

MacGruder beranjak dan bergegas ke luar.

"Maaf, kami mengganggu lagi," kata Gibbons memulai pembicaraan. "Saya mengerti Pak Follet, Anda dengan berat hati meminjam uang kepada Pak Tom untuk menutup utang-utang Anda."

"Apa?" kata Annie sambil menatap suaminya. "Apa maksudnya, Bill? Utang-utang apa?"

"Maaf," ujar Bill Follet lesu. "Saya ... saya tidak ingin kau tahu soal ini. Sersan, bisakah Anda menanyai saya sendiri?"

"Maaf sekali, Pak," kata Gibbons. "Saya tidak tahu istri Anda tidak tahu persoalan keuangan Anda."

"Ada apa sebenarnya?" tanya Annie. "Keuangan kita baik, kau bilang begitu waktu kita merencanakan bayi dalam perut ini."

Follet menahan napas. "Saya berbohong padamu. Modal yang saya tanam pada perusahaan itu amblas. Juga milik orang-orang lain. Jadi saya punya utang sekarang. Modal yang lenyap itu termasuk tabungan kita, Annie."

Annie terbelalak. "Tabungan kita?" gumamnya.

"Sudahlah, Annie," kata Bill Follet. "Sebagian uang peninggalan ibu bisa kita tabung dan sisanya untuk hidup kita."

Gibbons terbatuk. "Saudara Anda tidak hadir di sini, Pak Follet?" tanyanya.

"Tidak. Pembantunya mendapat kecelakaan pagi tadi dan harus ke rumah sakit. Tom tidak mau menutup tokonya dan kita semua sudah tahu apa isi wasiat itu."

"Oke, kembali ke soal uang," kata Gibbons. "Apakah saudara Anda tahu betul apa yang terjadi?"

"Ya, tentu saja. Tom itu teliti. la tidak mau meminjamkan uangnya kalau saya tidak menjelaskannya untuk apa."

"Anda tidak meminta bantuan ibu atau ayah tiri Anda?"

Follet tampak terkejut. "Tentu saja tidak. Sersan, saya tidak banyak perhatian kepada David MacGruder dan saya tidak ingin ibu tahu kesulitan saya. la begitu bangga kepada kami, Tom dan saya."

"Saya mengerti, Pak. Anda baru saja mengatakan bahwa warisan itu akan bisa mengatasi persoalan Anda. Kalau boleh tahu, Anda punya rencana apa sebelum ibu Anda meninggal?"

"Meminjam lagi dari Tom. Tak ada jalan lain. Ia meminjamkan uang kepada saya, tetapi kejadian sialan itu membuat saya tidak melihat cara untuk mengembalikannya. Maksud saya, dengan lahirnya bayi ini saya tidak punya kemungkinan memiliki uang ekstra selama beberapa tahun."

"Saudara Anda mengerti hal itu?"

"Oh, ya. la tidak terlalu senang, memang. Bicaranya agak keras ketika saya terakhir meminta tambahan pinjaman kepadanya. Katanya, kalau saya mau meminjam lagi, ia ingin uang itu tidak saya tanamkan untuk hal-hal yang tolol."

"Satu hal lagi, Pak. Saya melihat mobil Anda ketika mengunjungi Anda sebelum ini. Ford Fiesta, saya kira. Apakah Anda punya mobil lain untuk istri Anda?"

"Ya," jawabnya. "Mobil Mini sudah agak tua. Mobil itu kami beli ketika kami menikah."

"Tetapi mobil itu tidak ada ketika saya mengunjungi Anda."

"Betul," potong Annie. "Mobil itu ada di bengkel Gleason, mogok pada hari Sabtu dan baru selesai diperbaiki hari Rabu."

"Saya sudah berbicara dengan beberapa teman MacGruder," kata Gibbons kepada Bethancourt setelah duduk di taksi.

"Menurut mereka, rumah tangga MacGruder cukup bahagia dan MacGruder adalah pria yang menarik. Ia mudah bergaul dengan siapa saja, kecuali dengan anak-anak tirinya."

 

Kunci pagar utuh

Gleason sedang menutup bengkelnya ketika mereka datang, tetapi ia bersedia menjawab pertanyaan mereka. Memang benar mobil Mini itu ada di halaman bengkelnya yang terkunci sejak hari Sabtu. Karena kesibukannya, pada hari itu ia tak sempat memperbaiki baut dinamo yang copot, padahal hari Minggu bengkelnya tutup. Bisa saja ada orang yang pada hari Minggu itu menggunakan mobil itu, tetapi mestinya harus memperbaikinya lebih dulu dan harus membukakan kunci pintu pagar. Padahal kenyataannya, kunci pintu pagar utuh dan mobil masih belum bisa jalan.

"Terima kasih banyak, Pak Gleason," kata Gibbons puas.

"Ke mana sekarang?" tanya Bethancourt ketika mereka masuk ke dalam Jaguarnya.

"Menemui Tom Follet. Barangkali tokonya masih buka."

"Tampaknya percakapan tadi tidak memberi harapan. Saya agak ragu-ragu orang seperti Bill tahu caranya membongkar kunci."

"Betul, tampaknya tak mungkin ia punya duplikatnya."

"Masih ada Tom Follet yang tidak punya alibi."

"Yang hampir tidak punya motif," tambah Gibbons.

"Seratus ribu poundsterling itu motifnya," ujar Bethancourt.

"Saya tahu, Tom cukup berada, tetapi ia punya bisnis barang antik. Siapa tahu ia menginginkan barang yang sangat menarik dan harganya sangat mahal."

"Kukira begitu," kata Gibbons.

 

Demi Annie dan bayinya

"Ini barang yang terbaik di toko saya," kata Tom Follet, pria muda berperawakan tinggi kurus, ketika melihat Sersan Gibbons menunjuk pada sebuah vas keramik yang sangat indah.

"Warisan cukup besar yang saya terima hari ini membuat saya menjadi orang yang dicurigai?" katanya lagi.

"Ya," ujar Gibbons, "kecuali jika Anda punya bukti bahwa Anda memang memerlukannya."

Follet menggeleng. "Kalau saya perlu uang, ibu akan memberikannya. Ibu saya orang yang murah hati dan saya sangat mencintainya. Setiap orang yang mengenalnya, menyukainya, kecuali ayah tiri saya."

"Lo, kok?" tanya Bethancourt.

"David MacGruder menikahi ibu saya karena uangnya: Bahkan ibu tahu kalau ia mempunyai wanita simpanan, tetapi ibu tak peduli."

"Rumah tangga mereka bahagia?" desak Bethancourt.

"Saya kira begitu. David memiliki uang yang diinginkannya,. sementara ibu mencintainya."

"Tidakkah Anda berpikiran Pak MacGruder membunuh ibu Anda?"

"Bagaimana bisa, bukankah ia sedang bermain golf ketika itu?"

"Ya," ujar Gibbons. "Bagaimana dengan saudara Anda?"

"Bill? Sepanjang hari itu ia berada di rumah bersama Annie."

"Itu benar," kata Gibbons. "Ini soal lain. Saya tahu Anda memberikan uang cukup besar berupa cek kepadanya empat bulan lalu, kenapa?"

"Ia butuh uang," jawab Follet cepat. "Ia telah melakukan investasi yang keliru. Tadinya saya berniat meminjamkan sedikit saja sebagai pelajaran baginya, tetapi saya teringat Annie dan bayinya."

"Apakah Annie juga meminta uang kepada Anda?"

"Oh, tidak, ia tidak tahu apa-apa soal ini. Bill tidak ingin istrinya kecewa kepadanya."

"Apakah Anda tahu Bill juga memanfaatkan kekayaan ibunya?"

"Tidak, ia tidak akan begitu. Seperti terhadap istrinya, ia juga tidak mau ibu mengetahui kesulitannya. Juga, ibu sudah cukup banyak menutup kerugian-kerugian Bill. Kami ingin ibu berbangga kepada kami."

"Ini pertanyaan yang sulit saya ajukan, tetapi saya membutuhkannya. Apakah ibu Anda menyadari bahwa Anda seorang homoseksual?"

"Ya," jawab Follet tanpa merasa tersinggung.

"Apa yang Anda lakukan jika Anda menemukan barang yang tak mampu Anda beli, padahal Anda ingin memilikinya?"

"Saya tidak membelinya," jawab Follet. "Tidak ada gunanya saya berutang untuk itu."

"Jika Anda menginginkannya untuk diri sendiri?"

"Itu lebih tolol daripada Bill."

 

Soal mobil

Keluarga Foxes tinggal di sebelah rumah Bill dan Annie.Bu Fox, wanita berumur 60 tahun, membuka pintu untuk mereka.

"Jim belum pulang," katanya, ketika ditanya ke mana suaminya.

"Kami hanya ingin tahu apa yang dikatakan suami Anda kepada polisi beberapa hari yang lalu," Gibbons menjelaskan.

"Oh, soal mobil itu," ujarnya. "Suami saya mencuci mobil selama dua jam. Saya membawakannya teh dan segelas bir ketika ia hampir selesai."

"Pukul berapa itu, Bu?"

"Sekitar pukul 10.00 setelah sarapan. Kira-kira pukul 10.30 saya membawakan teh untuknya. Lantas saya ke dapur, membereskan tempat tidur dan mandi. Saya turun lagi membawa bir untuknya."

"Mobil Pak Follet ada ketika dua kali Anda keluar?"

"Ada. Warnanya merah. Saya tak ingat melihat mobil istrinya."

"Anda melihat Annie pada hari Minggu itu?"

"Oh, ya, saya keluar setelah sarapan untuk memberi makan anjing dan mereka berdua ada di kebun. Saya sempat bercakap-cakap dua tiga menit dengan mereka."

"Pukul berapa ketika itu?"

"Itu sebelum saya membawa teh untuk Jim, jadi sekitar pukul 10.15 atau mungkin lebih."

"Baik, terima kasih banyak, Bu. Anda banyak menolong."

"Jack," kata Bethancourt setelah mereka kembali ke mobil, "tampaknya kita menemui jalan buntu. Lihat saja: seorang wanita tewas dan tiga orang memperoleh keuntungan karena kematiannya. Dua orang dan mereka tidak mungkin membunuhnya. Seorang lagi bisa, tetapi tidak punya motif. Kukira kau tanya saja kepada pengacara itu apakah Bu MacGruder pernah berniat mengubah wasiatnya?"

MacGruder tampak tidak senang bertemu dengan mereka. Ia mempersilakan mereka masuk, tetapi tidak mempersilakan mereka duduk.

"Apalagi sekarang?" tanya MacGruder.

"Kami mau bertanya tentang anak tiri Anda, Tom," kata Gibbons.

"Masih juga berbicara berulang-ulang tentang keluarga saya? Oke, teruskan."

"Apakah istri Anda tahu bahwa ia seorang homoseksual?"

"Tentu," ujar MacGruder.

"Tidak ada rahasia soal itu."

"Mereka tidak pernah bertengkar soal itu? Atau tentang apa saja sejauh Anda ketahui?"

"Ada yang mereka pertengkarkan ketika terakhir kali ia berkunjung, mungkin sebulan yang lalu, tapi saya tidak tahu soal apa. Saya tahu istri saya khawatir kepadanya akibat berjangkitnya penyakit AIDS."

"Apakah istri Anda menyatakan ingin mengubah wasiatnya?"

"Mengubahnya?" ujar MacGruder tampak terkejut. "Tidak."

"Istri Anda tidak bertemu Tom lagi sebelum ia meninggal?"

"Tidak. Ia berkunjung ke Cirencester kira-kira seminggu yang lalu sebelum terbunuh, tapi hari itu Tom sedang di tempat pelelangan. Istri saya pulang. pada saat makan malam."

"Terima kasih, Pak MacGruder. Kami permisi."

"Ini informasi pertama yang lumayan selama ini," kata Gibbons kepada Bethancourt.

 

Sama-sama menyangkal

Bethancourt mengamati foto yang diberikan Gibbons kepadanya. Ada sesuatu yang ganjil dalam kasus ini. Gibbons melaporkan kepadanya, kedua anak Bu MacGruder sama-sama menyangkal bahwa Tom bertengkar dengan ibunya sebelum meninggal. Ia menatap foto itu.

Mayat yang tergeletak di lantai terjatuh dari kursi. Cennin dan kotak perona mata berada di sisi satu, kuas itu di sisi lain dekat dinding. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, tetapi tidak tahu apa.

Paginya Bethancourt mengantarkan Maria ke studio tempat ia bekerja. Maria segera digarap oleh fashion editor dan perias.

"Saya mau pergi dulu," kata Bethancourt. "Pukul berapa saya mesti menjemputmu?"

Maria menatapnya dingin karena teringat pertengkarannya kemarin dengan Bethancourt yang selalu asyik sendiri kalau sudah bersama Gibbons. Lantas katanya, "Bagaimana kalau pukul 18.00?"

"Baik," ujar Bethancourt sambil berlalu, tapi lantas berhenti mengamati tukang rias itu menyapukan kuas di sepanjang bulu mata Maria. Tukang rias itu mencelupkan kuas itu ke mangkuk berisi air, dan mengoleskannya ke mata Maria yang satu lagi.

Bethancourt berlalu sambil berpikir, mungkin begitu yang dilakukan Delia MacGruder ketika seseorang masuk dan membunuhnya.

Bethancourt sedang menulis artikel, ketika telepon di rumahnya berdering.

"Kalau Bu MacGruder bertengkar dengan anaknya, ia tidak akan bercerita kepada siapa pun," kata Gibbons.

"Mungkin ia memang tidak bertengkar."

"Untuk apa Pak MacGruder berbohong soal itu?"

"Barangkali Pak MacGruder pembunuhnya. Ia akan memperoleh warisan yang paling banyak."

"Jangan tolol, Phillip," kata Gibbons jengkel. "Ia sedang bermain golf dengan dua orang yang lain ketika istrinya tewas."

"Jack," ujar Bethancourt. "Kita ulangi saja dari awal penyelidikan kita. Ada yang janggal dengan kamar rias itu, tapi aku tak tahu apa."

 

Menjilat

Bethancourt sedang berjalan-jalan dengan anjingnya di Hyde Park ketika tiba-tiba ia merasa menemukan kejanggalan yang dimaksudkannya. Ia bergegas pulang dan menelepon Scotland Yard, tetapi Jack Gibbons sedang keluar.

"Jack!" teriak Bethancourt setelah menemukan Jack Gibbons di sebuah kantin, "apa saja yang kau singkirkan dari kamar rias itu untuk dijadikan barang bukti, selain kopi?"

"Oh. Tidak banyak. Cuma alat-alat rias di atas meja ...."

"Termasuk kuas perona mata?"

"Ya, kotak itu, cermin, dan juga kuas itu."

"Terima kasih, Tuhan!" Bethancourt menenggelamkan tubuhnya ke kursi dengan lega.

"Apa-apaan kau ini?"

"Saya sudah menemukannya," ujar Bethancourt. "Racun sianida itu ada di kuas perona mata."

Gibbons dan kawannya, O'Leary, saling pandang. "Itu akan lebih lambat," kata Gibbons. "Saya kira ia akan buta lebih dulu ...."

"Tidak, tidak," potong Bethancourt. "Kau tidak mengerti. Cara memakai jenis perona mata itu perlu air. Kuas harus dibasahi lebih dulu. Tapi karena di atas meja itu tak ada air," Bethancourt diam sejenak, "Bu MacGruder harus menjilat kuas itu untuk membasahinya. Padahal kuas itu sudah diolesi sianida."

"Pada perona mata itu ditemukan sianida," kata ahli kimia.

"Juga kuasnya. Ada sekitar 20 mg, cukup untuk mematikan."

"Pasti perbuatan suaminya," kata Gibbons. "Siapa lagi yang tahu kebiasaan Bu MacGruder menjilat kuas?"

"Itu persoalannya," kata Bethancourt. "Perkara ini masih belum bisa diajukan ke pengadilan. Pengacara yang baik akan menjelaskan bagaimana kalau ada dua puluh orang yang tahu kebiasaan itu."

"Perkara ini akan menjadi sangat mudah kalau kita bisa melacak bahwa pemilik racun itu adalah MacGruder. Sianida memang bukan barang yang mudah diperoleh."

"Kalau kau bisa melakukannya, perkara ini akan selesai." Gibbons tersenyum.

"Kau memang cerdik, Phillip."

"Ya, Tuhan, pukul berapa sekarang?"

"Tepat pukul 18.00."

Bethancourt melompat dari tempat duduknya dan berlari ke luar. Rupanya ia teringat harus segera menjemput Maria di studio.

Beberapa minggu kemudian Gibbons datang ke rumah Bethancourt, memberi tahu bahwa MacGruder sudah ditangkap, sebab ditemukan bahwa ia pemilik racun itu. (CM Chan)

" ["url"]=> string(57) "https://plus.intisari.grid.id/read/553117173/jilatan-maut" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643399813000) } } }