array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3448556"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/31-tahun-tak-tersentuh-hukum_mal-20220831012411.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(145) "Tahun 60-an, banyak teror terhadap orang kulit hitam di AS. Salah satunya adalah pembunuhan Medgar Evers yang baru terpecahkan 30 tahun kemudian."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (7) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/31-tahun-tak-tersentuh-hukum_mal-20220831012411.jpg"
      ["title"]=>
      string(28) "31 Tahun Tak Tersentuh Hukum"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-08-31 13:24:28"
      ["content"]=>
      string(21937) "

Intisari Plus - Sekitar tahun 1960-an, banyak teror pembunuhan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Salah satu kasus yang terkenal adalah pembunuhan Medgar Evers yang baru terpecahnya 30 tahun kemudian.

-------------------

Semak Honeysuckle menutupi siapa pun yang berdiri di baliknya. Bunga merahnya mulai mekar penuh. Semak-semak ini tak mencolok dan di tempat inilah sesosok lelaki bersenjata itu berdiri. Menunggu. 

Pada saatnya nanti, moncong senjata kaliber 303 Enfield 1917 menyalak. Lelaki bermata tajam yang ada di balik semak-semak nyaris tak berkedip. Tangannya sudah gatal menarik pelatuk. Dia menunggu saat-saat bersejarah ketika peluru mencelos cepat dari senjatanya. Dia merasa seperti komandan sekaligus algojo di medan perang.

Ini perang, perang sesungguhnya. Karena itu, dia tak perlu khawatir akan tuntutan. Dia justru tengah membayangkan pandangan kagum “pasukannya”. 

Meski ingin segera melakukan eksekusi paling besar dalam hidupnya, sosok tegap ini sudah sangat terlatih. Maklum, dia pernah bergabung dengan Korps Marinir Amerika Serikat pada 1942 sebagai penembak jitu. Kesabaran hingga buruan tepat pada sasaran adalah tips untuk menang.

Ketika sebuah mobil berhenti di jalan masuk sebuah rumah, tepat di seberang semak-semak Honeysuckle Vine, senjata langsung diangkat. Tak perlu terburu-buru karena target sudah ada dalam bidikan. Tak mungkin meleset. 

Bahunya hanya bergeser sedikit mengikuti orang berkulit hitam yang keluar dari mobil. Orang itu berjalan bergegas. Sepintas, sosok yang memegang senjata ingat hari itu Presiden John F. Kennedy sedang berpidato tentang hak-hak sipil. Mungkin orang itu ingin segera masuk rumah dan ikut mendengarkan pidato presiden di televisi.

“Aku akan mengantarmu. Secepatnya,” lenguh lirih sosok bersenjata itu. 

Hanya beberapa langkah setelah keluar dari mobil, tangan kekar di balik semak-semak menarik pelatuk. Desing keras dan sangat cepat melesat ke sasaran. Tepat menembus dada. Sosok tinggi besar itu langsung ambruk di dekat mobil.

 

Perjuangan berisiko

Sore di bulan Juni 1963, seperti biasa Medgar Evers menghadiri pertemuan pekerja hak-hak sipil di sebuah gereja di Jackson, Mississippi. Pada saat yang sama Presiden John F. Kennedy juga berpidato tentang hak-hak sipil.

Pulang dari pertemuan di Jackson, Evers mengendarai mobil dengan puas ke rumahnya. Perjuangan sepertinya akan segera memunculkan hasil. Sebentar lagi hak-hak sipil diberlakukan. Ini berarti tak ada lagi penindasan dan pembunuhan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Juga berarti, orang dari ras mana pun bebas menikmati pendidikan.

Evers masih ingat betul betapa sakit hatinya ketika ditolak masuk di Fakultas Hukum University of Mississippi. Bukan karena otaknya tidak encer. Jika otaknya tidak encer, mana mungkin dia diangkat sebagai sekretaris pada National Association for the Advancement of Colored People (NAAC). Penolakan itu hanya karena warna kulitnya hitam. Universitas ini hanya menerima orang kulit putih. Ini tamparan paling keras yang memicu semangat Evers untuk memperjuangkan kesempatan meraih pendidikan bagi siapa saja. 

Saat itulah Evers terbakar dan mulai menata langkahnya sebagai pemimpin kulit hitam. Dia dikenal gigih memperjuangkan hak-hak sipil. Nama Medgar Evers menjadi terkenal. Akan tetapi, dia juga harus menanggung risiko besar. Salah satu yang mengincarnya adalah Ku Klux Klan, organisasi paling radikal yang menentang pemberian hak bagi orang berkulit hitam, orang Yahudi, dan penganut Katolik di Amerika.

Pada waktu itu - dari tahun 1954 hingga 1960-an Ku Klux Klan mengobarkan perang terbuka. Organisasi yang meletup di Tennessee ini terang-terangan menentang pemberian hak sipil bagi orang kulit hitam. Mereka melarang orang kulit hitam naik bus yang sama dengan orang kulit putih. Kalau pun masuk dalam kendaraan yang sama, orang kulit putih mendapat tempat terbaik di depan. Keran air minum pun harus dipisah. Orang kulit putih tak pernah mau menyentuh keran air minum yang pernah dipegang orang kulit hitam. 

Itu baru urusan bus dan keran air minum. 

Pembedaan dalam urusan pendidikan juga berlaku. Dan itu juga dialami Evers. Padahal Evers tahu, dari pendidikanlah perjuangan mendapatkan hak-hak sipil ini akan cepat diperoleh.

Membela kepentingan orang kulit hitam berarti siap berhadapan dengan Ku Klux Klan. Ini sama dengan mengantongi tiket kematian. Tetapi Evers tetap yakin dengan pilihannya. Sama seperti ketika dia menjalani wajib militer pada 1943 di Prancis. Pulang dari wajib militer, semangat Evers terpompa. Dia ingin melakukan yang terbaik untuk Amerika. Tetapi melihat situasi makin menyudutkan orang kulit hitam, dia mengambil jalur tegas, membela hak sipil orang kulit hitam.

Evers sadar betul akan tiket kematian yang ada di tangannya. Beberapa kali dia mendapat serangan ... dan selalu lolos. Yang paling hebat adalah serangan pada tahun 1963. Ini tahun penuh kekerasan. Pada 28 Mei 1963, ada orang yang melempar bom molotov ke garasinya. Sepuluh hari kemudian, 7 Juni 1963, seseorang mencoba menabraknya dengan mobil polisi. Dua serangan itu dilaporkan. Dua-duanya mentah karena tidak ada tersangka.

Agaknya, musuh Evers tak ingin menunggu aksi ayah tiga anak itu makin menguat. Mereka ingin segera menghabisi Evers. Lima hari kemudian, 12 Juni 1963, Evers ditembak. Dadanya ditembus peluru.

 

Merangkak menuju pintu 

Ditempa dua tahun dalam perang di Prancis membuat Evers menjadi sosok pantang menyerah. Peluru yang menembus dadanya memang langsung membuatnya ambruk, tetapi kesadarannya masih utuh. Di tengah rasa nyeri yang luar biasa, Evers menyeret tubuh mendekati pintu rumahnya. Dia tidak ingin mati sia-sia di jalan, dia ingin istrinya tahu. Dia ingin ... hidup.

Pintu rumah tinggal beberapa langkah. Dari dalam masih terdengar pidato Kennedy yang menyerukan pemberian hak-hak sipil bagi seluruh warga Amerika. Dia hanya melihat pintu rumahnya.

Curiga dengan suara benda diseret dan merasa sudah waktunya suaminya pulang, Myrlie Evers membuka pintu. Di depan pintu dia menyaksikan suaminya sudah bersimbah darah. Satu jam setelah penembakan dan dibawa ke rumah sakit, Medgar Evers meninggal.

Jejak darah yang terseret ketika Evers berusaha menyelamatkan nyawa masih jelas terlihat di pintu masuk.

Tak mungkin mengabaikan pembunuhan kali ini meski dua percobaan pembunuhan bisa dianggap angin lalu dengan alasan tak ada tersangka. Kali ini harus ada tersangka. Darah Evers masih membekas samar ketika 11 hari kemudian Byron de la Beckwith ditangkap. Dia dituduh membunuh aktivis NAAC itu.

Byron tak bisa mengelak ketika saksi-saksi melapor bahwa mereka melihat mobil Byron, sebuah Plymouth Valiant putih, ada di dekat rumah Evers pada hari pembunuhan itu. Mereka melihat lelaki itu mengemudikan mobil di sekitar rumah Evers. Polisi juga akhirnya menemukan senjata yang disembunyikan di semak-semak Honeysuckle Vine. Sidik jari Byron yang biasa disapa Delay ini, jelas-jelas tercetak pada senjata itu.

Tetapi Delay tetap tenang. Dia hanya menyerahkan proses itu sepenuhnya ke tangan polisi. Semua menunggu dan ... Delay dibebaskan. Pembebasan ini karena ada tiga polisi yang mengaku melihat Byron de la Beckwith alias Delay ada di Greenwood, 95 mil dari rumah Evers. Delay punya alibi.

“Tentang senjata itu, hm ... itu memang milik saya. Senjata itu dicuri orang. Saya memang lupa melaporkan kehilangan senjata itu,” kata Delay. Selesailah sudah. 

Akan tetapi, situasi di luar makin memanas setelah kematian Evers. Delay pun diseret ke pengadilan. Juri yang memutuskan terdakwa membebaskan Delay pada sidang pertama. Para juri ini seluruhnya laki-laki dan seluruhnya berkulit putih. Mereka menganggap sah-sah saja orang kulit hitam dibunuh, apa pun alasannya. Hakim pun agaknya setali tiga uang. Russell Moore, sang hakim, menganggap kelakuan Delay tak ada yang menyimpang.

 

Kongkalikong di pengadilan

Tentu saja Myrlie Evers, berang. Dia merasa ada yang tak beres dalam sidang ini. Mantan Gubernur Mississippi pun didatangkan. Ross Barnett, sang mantan gubernur, hanya mendekati Delay dan memberi kode dengan menggerakkan tangan. Banyak yang mengira itu kode supaya Delay tak perlu khawatir. Apalagi juri yang dihadirkan semuanya berkulit putih. Hakimnya sendiri adalah teman dekat Delay.

Bisa ditebak, sidang dibatalkan. Moore dan juri menganggap alibi Delay cukup kuat. Kesaksian tiga polisi yang melihat Delay ada di sebuah pompa bensin di Greenwood membuat juri tak bisa memutuskan sidang. Delay pun melenggang. 

Keputusan ini membuat Delay makin percaya diri. Dia sudah membuktikan bahwa dalam “perang” melawan orang kulit hitam, dia akan selalu menang. Polisi saja bisa diatur. Delay pun resmi bergabung dengan White Knights dalam Ku Klux Klan. Ini termasuk kelompok elite dalam organisasi itu.

Merasa mendapat posisi hebat, Delay mulai membual supaya anggota Klan makin hormat. Delay berkali-kali mengungkapkan pembunuhan yang dilakukannya pada Evers. Melihat sebagian orang Klan tidak percaya - toh Delay beralibi berada di 95 mil jauhnya dari rumah Evers — Delay menunjukkan bukti bahwa dia adalah pembunuh Evers. Delay mengatakan bahwa dialah yang menelepon polisi sesaat setelah menembak Evers supaya polisi menemukan senjatanya di semak-semak Honeysuckle Vine di seberang rumah Evers.

Delmar Dennis, salah satu anggota Klan mendengarkan cerita Delay. Dennis menganggap Delay membual supaya disegani anggota organisasi itu. Makin sadis dan makin banyak membunuh orang kulit hitam, agaknya makin terang pamornya dalam organisasi. Delay tengah berusaha mendapatkan pamor itu. Bukankah dia bisa menembak mati Sekretaris NAAC yang paling disegani?

 

Darah biru

Byron de la Beckwith lahir dari keluarga elite di Colusa, California pada 1920. Ketika berusia lima tahun ayahnya meninggal. Dalam catatan kematian hanya tertulis pneumonia dan kecanduan alkohol. Setelah kematian ayahnya, keluarga ini pulang ke Greenwood, Mississippi. 

Ibu Byron, Susan Southworth Yerger adalah juga keturunan keluarga papan atas di Mississippi. Keluarga Yerger selalu mendapat tempat terbaik dalam acara resmi di Mississippi. Baru tujuh tahun tinggal di Greenwood, Susan meninggal. Dalam catatan kematian, Susan yang menderita kelainan mental disebutkan meninggal karena penyakit kanker paru-paru.  

Byron pun tinggal bersama pamannya, William Yerger. Dia selalu mengikuti pamannya. William bisa dikatakan agak kurang waras. Dia sangat hobi memancing ikan lele tetapi hasil pancingannya tidak ada satu pun yang dimakan. Setelah memancing, ikan-ikan itu malah disimpan di laci meja rias dan dibiarkan berhari-hari hingga membusuk. Bau busuk itu begitu mengerikan.

Byron baru berpisah dengan keluarga pamannya itu ketika masuk wajib militer dan bergabung dengan korps marinir sebagai penembak jitu pada 1942. Empat tahun kemudian dia menikah dengan Mary Louise Williams. Byron yang lebih suka menyebut dirinya dengan sapaan Delay ini menjadi juragan tembakau di Mississippi.

Pernikahan ini benar-benar seperti badai. Begitu sering bertengkar, bercerai, rujuk, menikah lagi, bertengkar lagi, rujuk. Begitu seterusnya. 

Reed Massengill, keponakan istri Delay yang tinggal bersama mereka, menulis buku tentang sosok pamannya itu. Dia menyatakan pamannya itu seorang yang rasis, brutal, dan tak segan menganiaya istrinya.

Saat itu Delay sudah bergabung dengan Ku Klux Klan. Delay paling garang menyerukan kebencian pada kulit hitam, Yahudi, dan Katolik. Dia bisa mengusir orang kulit hitam yang menyentuh keran air minum di tempat umum. Makin hari kebrutalan Delay makin terpupuk. Dia menganggap Ku Klux Klan adalah pasukan yang harus membinasakan semua musuh. Delay merasa kembali pada masa wajib militer. Ini perang. Artinya, semua musuh harus dihabisi.

Posisi Delay makin kokoh dalam Klan. Merasa mendapat angin segar, Delay pun menggalang pendukung. Tidak tanggung-tanggung, dia mencalonkan diri menjadi wakil gubernur melalui Partai Demokrat di Mississippi. Dalam sebuah wawancara sebelum pencalonannya, Delay berkata, “Saya sadar akan konspirasi jahat internasional terhadap hak-hak negara dan integritas rasial.” 

Delay tidak masuk nominasi. Orang masih ingat bagaimana dia melenggang keluar dari jeratan hukum ketika berhasil mengelak tuduhan membunuh Evers, empat tahun sebelum wawancara itu.

 

Abaikan perubahan

Pada 1970, kondisi di Mississippi mulai membaik. Sekolah dan universitas mulai membuka diri untuk warga Afro Amerika. Ketika Evers ditembak mati, hanya ada 28.000 pemilih di Mississippi, pada 1971 jumlahnya membengkak menjadi 250.000 orang yang diakui, dan pada 1982 lebih dari 500.000 orang Afro Amerika menikmati hak-hak sipilnya.

Ini yang tidak dipahami Delay. Seumur hidupnya, dia merasa Mississippi adalah medan perang. Aktivitasnya di Ku Klux Klan tak berkurang. Gosokan untuk tetap menghidupkan insting membunuh itu juga didapat dari buku karya Hoskins, anggota Klan, yang menyebut bahwa orang-orang pilihan Tuhan adalah orang kulit putih. Jadi sah-sah saja menghabisi orang selain orang kulit putih. Ini mengobarkan insting membunuh.

Gosokan ini juga yang membuatnya menerima tantangan untuk membunuh pemimpin Anti-Defamation League di New Orleans yang dianggap sering mengeluarkan pernyataan kritis tentang orang kulit putih. Ini membuat Klan terbakar. Delay punya alasan untuk membunuh. Dia membayangkan pandangan kagum orang-orang ketika dia bebas dari jerat hukum saat membunuh Evers. Dia dengan bangga menyebut dirinya penembak jitu, menembak apa saja.

Delay benar-benar tidak tahu di luar sana dunia sudah berubah. Sesumbar ini dicatat FBI. Ketika Delay berangkat menunaikan tugas membungkam selamanya mulut orang yang telah menghina orang-orang pilihan, orang kulit putih, FBI membuntuti.

Saat melewati Lake Ponchartrain Causeway Bridge, tiba-tiba saja mobil polisi mengikuti dari belakang. Delay tak menyangka hingga dia melihat lampu polisi berkedip-kedip dari spionnya. Dia menepi. Polisi New Orleans mendekat dengan senjata siap menyalak. Di mobil Delay ditemukan tiga senjata, setumpuk dinamit dengan timer dan detonator, serta ... petunjuk tertulis ke rumah pemimpin Anti-Defamation League.

Kali ini Delay dituduh berkomplot melakukan pembunuhan. Juri terdiri dari 10 orang kulit putih dan dua perempuan kulit putih. Delay diam-diam tersenyum melihat komposisi itu. Dia bisa membayangkan akan lolos lagi seperti sidang kasus pembunuhan Evers. Tetapi tunggu dulu, ini di Negara Bagian Louisiana. Delay terbukti bersalah mengangkut bahan peledak tanpa izin. Dia dipenjara tiga tahun.

Dia dikirim ke Angola Prison, menempati kamar tersendiri. Dia dipisahkan supaya tidak diserang tawanan yang mendendam karena kasus kematian Evers. Ketika di penjara, Delay jatuh sakit. Tetapi keturunan ningrat yang satu ini memang keras kepala. Dia sama sekali tidak mau dirawat oleh perawat pembantu yang berkulit hitam. “Aku bisa membunuh Medgar Evers, aku juga bisa dengan mudah membunuhmu!” sumbar Evers.

Januari 1980, Delay dibebaskan. Dia kembali ke Greenwood dan menjadi penjual pupuk. Keluar dari penjara, dia justru makin rajin datang ke pertemuan Ku Klux Kan. Disanalah ia berkenalan dengan Richard Kelly Hoskins, penulis sebuah buku yang jadi inspirasi Delay. Menurut Hoskins, orang yang membasmi “pengkhianat ras” adalah sebenarnya seorang prajurit yang membela kebesaran Tuhan! Dia mengirim surat kepada Hoskins tentang pembunuhan yang dilakukannya atas Evers. Dia ingin namanya dikenang lewat pembunuhan itu. Toh, sidang untuknya tak pernah menemukan bukti. 

Jika Delay menganggap kisah itu menjadi kenang-kenangan, tidak demikian dengan jaksa di zaman yang sudah berubah. Tulisan-tulisan yang diterbitkan Hoskins membuat luka orang-orang Afro Amerika menjadi bernanah lagi. Mereka marah membaca newsletter yang disebarkan Hoskins. Terbayang kembali masa-masa tahun 1960-an ketika pembunuhan menjadi teror.

 

Ditebus uang Yahudi

Ini membuat masyarakat menuntut diungkapnya semua kasus masa lalu. Delay pun ditangkap. Untuk kali ketiga dia disidang untuk kasus yang sama: pembunuhan Medgar Evers. Sebagai jaminan, Delay harus menyediakan 100.000 dollar AS. Meski dari keluarga ningrat, dia tak punya uang sebanyak itu. Dia hanya penjual pupuk. Ketika ada yang memberi bantuan AS $ 12.000, Delay menolak karena itu uang dari orang Yahudi, salah satu kelompok yang harus dihabisi. Akan tetapi, akhirnya dia ambil juga karena tak ada lagi uang untuk jaminan.

Banyak yang pesimistis akan sidang ini setelah dua kali Delay lolos. Harus ada saksi baru yang menjerat Delay. Tetapi alibinya tentang posisinya yang jauh dari rumah Evers ketika pembunuhan terjadi masih kuat. Tiga polisi mengatakan alibi itu. Delay masih bisa mengelak kali ini. 

Akan tetapi jaksa tidak ingin pembunuh yang diyakini telah menembak Evers ini lolos kembali. Mereka mencari saksi baru. Dan saksi itu pun muncul. Dialah Delmar Dennis, anggota Klan yang rajin mencatat kisah Delay ketika membunuh Evers. Dennis bersaksi lengkap dengan kenyataan bahwa yang menelepon polisi tentang penemuan senjata setelah pembunuhan itu adalah Delay. Karena Delay berulang-ulang menceritakan hal itu pada semua orang yang ditemui di Ku Klux Kan, Dennis mencatat itu sebagai kebenaran.

Saksi lain adalah perawat pembantu saat Delay dipenjara. Perawat pembantu ini mengungkapkan kisah Delay yang membunuh Evers, sama persis dengan apa yang diceritakan Dennis. Bukti terakhir yang tak bisa dielakkan adalah surat Delay untuk Hoskins yang diterbitkan dalam newsletter. Salah satu jaksa, Bobby Delaughter, menunjukkan senjata 1917 Enfield yang digunakan Delay menembak Evers. Senjata itu diambil dari rumah Russell Moore, teman sekaligus hakim saat Delay disidang kali pertama.

“Itu memang saya berikan pada Moore untuk kenang-kenangan,” aku Delay. Tak ada lagi yang percaya pada alibi yang disodorkan tiga polisi yang terbukti pendukung Ku Klux Klan. Pada 5 Februari 1994 Byron de la Beckwith divonis bersalah. Saat itu usianya 74 tahun. Dia tampak linglung. Hukuman seumur hidup harus dijalani tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.

Dia sempat mengajukan banding tetapi ditolak. Pada 21 Januari 2001 Delay mengalami gagal jantung dan tekanan darah tinggi. Kematian Delay menyisakan kebencian.

Myrlie Evers-Williams harus menunggu 31 tahun untuk mencari pembunuh suaminya. Begitu Delay divonis bersalah, Myrlie yang menikah lagi dengan aktivis kemanusiaan Walter Williams, dipilih menjadi ketua dewan NAACP. Tiga anak Evers yang langsung dipindah ke California setelah tragedi pembunuhan Medgar Evers kini telah dewasa. Darrell menjadi artis, Reena bekerja di penerbangan, dan Van menjadi fotografer. (Randy Radic)




" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448556/31-tahun-tak-tersentuh-hukum" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952268000) } } }