array(18) {
  [0]=>
  object(stdClass)#118 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3822803"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#119 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/08/29/137-di-matanya-itulahjpg-20230829120233.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#120 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(5) "Ade S"
          ["photo"]=>
          string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png"
          ["id"]=>
          int(8011)
          ["email"]=>
          string(22) "ade.intisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(154) "Kematian Helen Potts membuat seorang dokter mendapatkan ide untuk membunuh istrinya demi mendapatkan harta warisan. Setektif kesulitan menemukan buktinya."
      ["section"]=>
      object(stdClass)#121 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(105) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/08/29/137-di-matanya-itulahjpg-20230829120233.jpg"
      ["title"]=>
      string(17) "Di Matanya Itulah"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2023-08-29 12:02:48"
      ["content"]=>
      string(21259) "

Intisari Plus - Kematian Helen Potts membuat seorang dokter mendapatkan ide untuk membunuh istrinya demi mendapatkan harta warisan. Ketika detektif mengetahui motifnya, ia mengalami kesulitan menemukan buktinya.

----------

Meninggalnya Helen Potts di New York City di tahun 1891 awalnya merupakan berita biasa. Tetapi karena berita dukacitanya yang cuma beberapa baris itu ditambah keterangan “karena penyakit jantung”, mayat Nona Potts digali kembali.

Bermula dari wartawan koran World yang tajam penglihatannya Isaac “Ike” White. Di saat yang sama, White mengetahui bahwa sebenarnya Helen Potts sudah menikah. Meski secara sembunyi-sembunyi, wanita itu telah menikah dengan Carlyle Harris. White juga mengetahui bahwa Harris adalah pecandu minuman keras dan wanita. Dugaan White, Helen Potts sengaja disingkirkan oleh Carlyle Harris.

Naluri wartawan White membawanya ke dokter yang menangani Helen Potts di saat terakhirnya. Dengan terus terang sang dokter menyatakan jika ia curiga pasien meninggal karena morfin. Gejalanya sangat jelas bagi sang dokter: manik mata Helen Potts mengerut. Hal itu, kata sang dokter, sudah pula disampaikan kepada pihak keluarga Potts. Tetapi justru pihak keluarga Potts yang melarang perihal morfin tersebut diungkap sebab bisa menjadi aib keluarga. Karena itu, berita dukacita ditambahkan “karena penyakit jantung”. Alasan itu tentu tidak akan membuat malu keluarga dan memang Helen Potts sejak lama mengidap penyakit tersebut.

White menuliskan artikel perihal penemuannya. Mayat Helen Potts digali kembali dan diperiksa. Tidak dapat dibantah lagi, Helen Potts tewas kerena dosis morfin yang mematikan, bahkan bagi orang yang sehat. Carlyle Harris tidak pula dapat membantah. Sang dokter membuktikan bahwa manik mata yang mengerut merupakan akibat morfin dalam tubuh. Manik mata itu seperti manik mata kucing yang kena sinar terlalu terang. Harris divonis bersalah dan tewas di kursi listrik.

Sudah tentu Ike White hadir ketika perkara pembunuhan itu diperiksa pengadilan. Tetapi selain juri, masih ada orang lain yang selalu hadir dalam sidang-sidang pengadilan tersebut. Orang itu adalah dr. Robert Buchanan. Dia tinggal di Greenwich Village di Jalan Barat XI nomor 267. Setiap hari, setelah pulang dari sidang pengadilan kasus Helen Potts, ia minum dulu di Macomber’s di Greenwich Avenue.

Telinga Ike White ternyata tidak kalah pekanya dari matanya. Singkatnya, dia mendengar bahwa pada hari jatuhnya vonis bagi Carlyle Harris, dr. Buchanan melontarkan kata-kata yang kurang layak. Saat itu ia dalam kondisi mabuk. Orang lain mungkin melupakan perkataannya, tetapi White justru mencatatnya.

Kejadiannya pada petang hari di Macomber’s, di depan kawan-kawan minumnya, terutama Macomber sendiri dan bekas opsir Kapten Llewelyn Doria. Dr. Buchanan mengatakan, “Carlyle Harris bodoh. Sebenarnya mudah sekali membunuh orang dengan morfin, tanpa ditangkap polisi.”

“Masa begitu mudah,” tanya Doria keheranan. “Bagaimana caranya?”

“Dalam ilmu kimia, tiap bentuk asam ada dasarnya,” jawab sang dokter dengan cekatan. “Dan tiap aksi ada reaksinya!” Keterangan dr. Buchanan tidak dilanjutkan lebih jauh, karena pembicaraan lalu dialihkan ke soal lain.

Dr. Buchanan yang menyelesaikan studi kedokterannya di University of Edinburgh itu mulai menetap di New York pada tahun 1886. Tidak seorang diri, melainkan bersama istrinya, Helen. Ia adalah seorang wanita cantik berambut cokelat dari Nova Scotia. Nyonya Buchanan tidak pernah kedengaran mengeluh, bahkan ketika ia mengetahui bahwa suaminya pecandu wiski dan wanita. Kedua hal itulah yang sebenarnya menyebabkan dr. Buchanan kerasan dan betah di Macomber’s.

Selain ahli di bidang minuman beralkohol, Macomber juga ahli di bidang hiburan seks. Hasil penyelidikannya di bidang tersebut terakhir dibaginya bersama-sama dr. Buchanan dan Kapten Doria. Operasi ketiga orang sampai jauh di seberang Hudson, sampai Newark, New Jersey. Di Jalan Halsey, terdapat sebuah rumah di mana dr. Buchanan menemukan hiburan kegemarannya.

Germonya di sana bernama Anna Sutherland, seorang wanita setengah baya dan janda pendeta Baptis. Selain dia, masih ada “germo muda” bernama James Smith yang tinggal di salah satu kamar bawah di rumah itu.

Tampaknya Anna Sutherland merasa bangga atas perhatian khusus yang ditunjukkan seorang dokter dari New York kepadanya. Tiap habis memakai jasanya, dr. Buchanan selalu mengetuk pintu kamarnya. Sang dokter sekadar mengobrol mengenai angin dan sapi. Lama-lama ia sudah kehabisan bahan sehingga Anna Sutherland seolah terpaksa menyajikan kekayaannya yang lain sebagai bahan obrolan. Kekayaan Anna Sutherland yang lain meliputi rumah hiburan di Jalan Halsey serta rekening bank lebih dari 10.000 dolar. Ia juga memiliki pelbagai perhiasan emas nilainya tiga kali lipat dari rekening banknya.

Dr. Buchanan sendiri, mungkin terdengar tidak masuk akal, adalah orang yang “haus” seks. Sebagai dokter, ia memiliki banyak pasien. Ruang tunggu tempat praktik dr. Buchanan tidak pernah sepi. Dia makin lama makin terkenal. Pada awal 1890 New York menganugerahkan dua jabatan yang jelas tidak kecil honorariumnya. Satu sebagai dokter kepolisian kota dan satu sebagai anggota panitia penyelidikan kesehatan mental yang beranggotakan tiga orang.

Bersamaan dengan penghargaan itu, dr. Buchanan mulai mengeluh. Ia merasa bukan orang yang baik untuk menjadi suami, apalagi ayah yang baik. Istrinya sendiri juga dikatakan terlalu banyak cingcong, sesuatu yang tidak pernah disaksikan oleh orang lain. Nyonya Helen Buchanan di mata banyak orang adalah wanita yang patuh, penurut, dan toleran. Bahkan, ia adalah istri yang pantang melawan suami.

Pertengahan tahun 1890, dr. Buchanan berhasil mendapat keputusan pengadilan untuk bercerai dari istrinya. Tanggal 11 November Helen keluar dari rumah Jalan Barat XI. Dr. Buchanan kembali menghirup kehidupan membujang. 

Namun ia tidak lama menikmati kehidupan bebas sebagai bujangan. Pada tanggal 28 November berikutnya, bersama-sama Kapten Doria dan Macomber, dr. Buchanan pergi ke rumah Anna Sutherland di Newark. Keempat orang itu ditemani seorang pria lagi, seorang pengacara. Dua sobat dokter itu bertindak sebagai saksi dalam penandatanganan wasiat Anna Sutherland, sedangkan dr. Buchanan dinyatakan sebagai ahli waris.

Pada hari yang sama, ketiganya kembali ke New York. Tetapi hari berikutnya mereka kembali ke Newark. Dari sana mereka pergi ke gereja yang terletak di Jalan Elk. Di sana, Pendeta David Lusk mengikat dr. Buchanan dan Anna Sutherland satu dengan lain dalam perkawinan suci.

Berbulan-bulan berikutnya, Nyonya Anna Buchanan — Sutherland meneruskan usahanya di Newark. Tapi pada awal tahun 1891, rumah di Jalan Halsey itu dijual dengan harga 9.500 dolar. Anna Sutherland pindah ke New York dan tinggal di Jalan Barat XI. Ia bahkan membeli rumah itu dengan uang hasil penjualan rumah Newark. Tentu saja rumah itu diberikan pada sang suami.

Sampai di sana, tidak ada suara sumbang perihal kisah cinta Buchanan dan Sutherland. Di sisi lain, James Smith terpaksa menghentikan usahanya Jalan Halsey karena kehilangan tempat usaha.

Setahun berlalu. Sampailah awal Februari 1892 ketika Carlyle Harris diadili dengan tuduhan memberikan morfin pada istri gelapnya sampai mati. Peradilan yang selalu diikuti dengan tekun oleh dr. Buchanan. Tetapi minat dr. Buchanan tampaknya tidak semata-mata demi dunia kedokteran belaka.

Sudah sejak pertengahan 1891, dr. Buchanan mengatakan pada kawan-kawannya di Macomber’s, bahwa dia mau pergi ke Scotland. Namun perjalanannya itu tidak dilakukannya bersama sang istri. Tidak dikatakan mengapa rencana itu tidak jadi. Pasalnya dr. Buchanan keburu “tenggelam” dalam minuman keras.

Dalam keadaan mabuk, bebaslah lidah dr. Buchanan untuk mengatakan bahwa pembatalan itu akibat ancaman istrinya. Ia mengancam akan merubah isi wasiat Newark yang menjadikan dr. Buchanan sebagai ahli waris atas harta Anna Sutherland.

Pada hari Kamis 21 April 1892, dr. Buchanan mengatakan kepada Kapten Doria, “Aku harus pulang segera. Istriku sakit keras!”

Nyonya Anna Buchanan — Sutherland benar sakit. Dr. Buchanan mengundang rekan dokter tetangganya, dr. Mclntyre, untuk memeriksa keadaan istrinya. Dr. Buchanan sendiri, katanya, menganggap aneh gejala-gejala yang ditunjukkan oleh istrinya. Terus-menerus merasa mengantuk, pancaindra menurun kepekaannya, peredaran darah tidak normal, susah bernapas, dan sering pingsan. Seorang perawat yang diupah oleh dr. Buchanan, Nyonya Edith Crouch, mencatat bahwa dr. Buchanan kerap meneteskan semacam cairan ke mata Nyonya Buchanan. Kemudian mundur sejenak. Sang suami kemudian mendekat lagi seolah untuk melihat keadaan mata yang baru saja diobatinya.

Dari Kamis malam sampai Sabtu, dr. Buchanan benar-benar patut dipuji perihal pengabdiannya demi pulihnya kesehatan istrinya. la mendesak dr. Mclntyre untuk menggunakan segala ilmunya demi kesembuhan istrinya.

Tapi Sabtu siang itu, rupanya semua ilmu yang dimiliki dr. Mclntyre tidak bermanfaat lagi. Nyonya Buchanan menghembuskan napasnya terakhirnya. Dalam sertifikat kematian, dr. Mclntyre menyebut penyakit ayan sebagai penyebab kematian Anna Sutherland alias Nyonya Buchanan. 

Malam akhir pekan itu dihabiskan oleh dr. Buchanan di Macomber’s. Pada hari Selasa 26 April, ketiga sahabat itu mengantar jenazah Nyonya Buchanan ke tempat peristirahatannya di permakaman Greenwood, Brooklyn. 

Beberapa hari kemudian saat berada di Macomber’s, dr. Buchanan mengatakan bahwa dia mau pergi lama sekali. 

“Ke Scotland?” tanya Macomber. 

“Tidak,” kata sang dokter. “Masih ada tempat lainnya di dunia ini!”

Berminggu-minggu kemudian dr. Buchanan tidak kelihatan di New York. Tetapi sementara itu, kira-kira pertengahan Mei, James Smith menemukan berita di suatu koran New York. Isinya tentang Anna Sutherland alias Nyonya Buchanan sudah meninggal dunia. Mengetahui hal itu, Smith serta-merta mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan pergi ke New York. Ia akan mencari kepastian mengenai kematian bekas rekannya pada pemeriksa jenazah Schultze. Orang itu kebetulan juga menangani jenazah Helen Potts dalam perkara Carlyle Harris.

Schultze tidak seorang diri ketika menerima Smith di ruang kerjanya. Tamu lainnya adalah Ike White dari World yang memang sedang membongkar tumpukan catatan lama. White mungkin mencari bahan tulisan untuk korannya.

Smith langsung menuduh dr. Buchanan sebagai penyebab kematian Anna Sutherland. Menurut Smith, dr. Buchanan menikahi Anna Sutherland semata-mata karena uang dan kekayaan almarhumah. Cerita Smith tidak dianggap serius oleh Schultze. Terutama karena Smith tidak menyembunyikannya kekesalannya pada dr. Buchanan. Pasalnya, karena desakan dr. Buchanan, maka usaha bersama Anna Sutherland-Smith di Jalan Halsey itu ditutup.

Bagi Schultze sendiri, dr. Buchanan terlalu terhormat untuk melakukan pekerjaan sekeji itu. Lagi pula menurut dokter lain yang terpercaya, dr. Mclntyre, kematian Anna Sutherland karena penyakit ayan.

Tetapi kesimpulan White, wartawan World, yang berhasil mendengarkan seluruh pembicaraan antara Smith dan Schultze, lain. Memang aneh, pikirnya, bahwa dr. Buchanan yang katanya jemu punya istri, justru menikahi istri baru hanya dalam waktu berapa minggu saja setelah bercerai. Lebih aneh lagi, dr. Buchanan menikahi wanita yang jauh lebih tua darinya, seorang germo malahan. Dr. Buchanan pasti mempunyai alasan lain untuk pernikahannya dengan Anna Sutherland, pikir White.

Keluar dari kantornya Schultze, White langsung menuju kantor pengacara yang menyimpan surat-surat wasiat Anna Sutherland. Tepat seperti perhitungan White, dr. Buchanan adalah satu-satunya ahli waris harta milik Anna Sutherland. Pernyataan itu disaksikan oleh Macomber dan Doria.

Langkah White berikutnya adalah menuju rumah dr. Mclntyre. Ya, kata dr. Mclntyre, kasus penyakit Nyonya Buchanan memang agak aneh dan meragukan. 

“Mungkinkah Nyonya Buchanan dibunuh dengan morfin?” tanya White mendadak.

Dr. Mclntyre tampak mengucurkan keringat dingin. Tapi akhirnya toh menjawab, “Boleh jadi.” “Beberapa gejala ayan memang menyerupai gejala keracunan morfin,” kata dr. Mclntyre selanjutnya. 

“Ketika saya dipanggil untuk merawat Nyonya Buchanan, saya melihat ia menunjukkan gejala-gejala sekunder keracunan morfin. Namun gejala primer, antara lain mengerutnya manik mata, justru tidak ada. Jadi saya lalu memutuskan bahwa Nyonya Buchanan meninggal karena ayan.”

Kecurigaan White terhadap dr. Buchanan tidak berkurang. Dikunjunginya Profesor Rudolph Witthaus, dokter dan pejabat dinas kesehatan kota dan ahli penyakit keracunan. White bertanya, apakah gejala primer dari keracunan dapat disembunyikan. Jawab Profesor Witthaus, dalam literatur kedokteran tidak tercatat cara-cara menyembunyikan gejala primer demikian.

White merasa terpojok. Tapi tiba-tiba dia teringat pada niat dr. Buchanan untuk pergi ke Scotland. Benarkah dia mau pergi ke Scotland? Atau hanya ke Nova Scotia tempat asalnya? White menelepon koresponden World di Nova Scotia, untuk mengetahui latar belakang dr. Buchanan disana.

Jawaban koresponden Nova Scotia benar-benar mengejutkan. Tanggal 2 Mei 1892, jadi hanya beberapa hari saja setelah meninggalnya Anna Sutherland, dr. Buchanan datang di kota kelahirannya di Winson. Ia menemui Helen, bekas istrinya yang diceraikannya sebelum menikah dengan Anna Sutherland. Di Winson, dr. Buchanan menikah kembali dengan Helen pada tanggal 16 Mei 1892.

Dengan data terbaru ini, White menyerbu ke kantor Schultze si pemeriksa jenazah. “Dr. Buchanan pasti yang membunuh Anna Shuterland, istri keduanya itu,” katanya dengan yakin kepada Schultze. 

“Sudah jelas sekali motifnya. Dia sebenarnya tidak bosan dengan Helen yang cantik itu. Dia pasti merencanakan segalanya itu. Cerai dulu dari Helen, menikah dengan Anna Sutherland, mengusahakan jatuhnya warisan Anna Sutherland ke tangannya, membunuh Anna Sutherland, lalu akhirnya menikah kembali dengan si cantik Helen.”

“Kalau Anda,” kata White sambil menuding-nuding Schultze, “tidak mau memerintahkan penggalian kembali, cerita ini akan saya tulis di World.”

Schultze mendiskusikan masalah ini dengan rekan-rekan sejawatnya. Hari berikutnya mereka mendapatkan perintah penggalian kembali jenazah Anna Sutherland dari seorang hakim pengadilan tinggi. Tetapi baru pada tanggal 22 Mei jenazah Anna Sutherland dibawa dari permakaman Greenwood ke balai penyelidikan keracunan Carnegie Institute.

Jenazah diperiksa oleh dr. Witthaus. Ia menemukan sisa-sisa morfin di tubuh Anna Sutherland. Menurut perhitungannya, sisa itu hanyalah seperlimapuluh atau seperenampuluh dari total dosis yang pernah masuk ke tubuh almarhumah. Tetapi ketika dr. Witthaus memeriksa manik mata Anna Sutherland, dia geleng-geleng kepala. 

“Sekalipun orangnya mati,” katanya, “keracunan morfin selalu meninggalkan bekasnya di mata. Tetapi di sini tidak ada manik mata yang mengerut,” kata dr. Witthaus keheranan.

Pemeriksa jenazah Schultze yang mendampingi pemeriksaan dr. Witthaus mengangkat bahu. “Wah, kita akan ditertawakan orang, kalau memastikan kematian Anna Sutherland karena keracunan morfin. Pengacara yang paling bodoh pun akan menggugurkan kesaksian dr. Witthaus, kalau gejala primer keracunan morfin itu tidak ada,” kata Schultze.

Schultze sudah memerintahkan agar jenazah dimakamkan kembali. Tapi White tidak menyerah. Ia memohon agar pemakaman kembali ditangguhkan barang satu hari saja. Permohonan White dikabulkan.

Seolah mendapat ilham, White lalu pergi ke rumah Nyonya Crouch, perawat yang pernah diupah dr. Buchanan untuk menunggui Anna Sutherland menjelang kematiannya. Ditanya mengenai saat-saat terakhir Anna Sutherland, Nyonya Crouch menceritakan segalanya. 

“Ya, saya ingat,” katanya, “berkali-kali dr. Buchanan meneteskan cairan ke mata Nyonya Buchanan.”

Mengapa dr. Buchanan berbuat demikian, pikir White. White lalu teringat akan kawan sekolah di waktu kanak-kanak yang manik matanya membesar. Oleh dokter mata, kawannya itu diberi obat mata, yang ternyata dapat mengembalikan keadaan mata kawannya seperti sediakala.

White tidak lupa pada kata-kata dr. Buchanan. “Kau bisa membunuh orang dengan morfin tanpa bakal ditangkap polisi! Tiap bentuk asam ada dasarnya dan tiap aksi ada reaksinya.” Kedua kalimat diucapkan dr. Buchanan dengan sombong di Macomber’s kepada Macomber dan Doria pada malam hari setelah siangnya Carlyle divonis bersalah.

Mungkinkah cairan yang diteteskan ke mata Anna Sutherland oleh dr. Buchanan itu dimaksudkan untuk mengembalikan manik mata istrinya pada keadaan normal? Setelah manik mata itu mengerut akibat morfin. White seolah terbang pergi menemui dr. Witthaus. “Kalau ada obat untuk mengecilkan manik mata yang membesar, tentunya ada obat pula untuk membesarkan manik mata yang mengerut,” katanya kepada dr. Witthaus.

Penyelidikan dr. Witthaus pada mata jenazah Anna Sutherland di Carnegie Institute membenarkan jalan pikiran White, tetapi juga menunjang teori dr. Buchanan, bahwa tiap aksi ada reaksinya sendiri.

Dr. Buchanan ditangkap. Pada bulan April 1893, dr. Buchanan menerima vonis hukuman mati. Dengan demikian pengadilan itu, dalam waktu kurang dari 1 tahun mengadili dua perkara pembunuhan istri dengan morfin.

Dr. Buchanan naik banding namun tanpa hasil. Pada tanggal 2 Juli 1895, dr. Buchanan menjalani hukuman matinya di Penjara Sing Sing.

(Charles Bowell)

Baca Juga: Ketemu Tersangka Ketiga

 

" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553822803/di-matanya-itulah" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1693310568000) } } [1]=> object(stdClass)#122 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3799255" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#123 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/07/11/01-perjumpaan-maut-di-tengah-tan-20230711015134.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#124 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Karena kesalahan di waktu muda, Stashinsky harus menjadi agen KGB. Tugas membunuh dilakukannya dengan baik walau bertentangan dengan hati nuraninya." ["section"]=> object(stdClass)#125 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/07/11/01-perjumpaan-maut-di-tengah-tan-20230711015134.jpg" ["title"]=> string(32) "Perjumpaan Maut di Tengah Tangga" ["published_date"]=> string(19) "2023-07-11 13:51:44" ["content"]=> string(27192) "

Intisari Plus - Karena kesalahan kecil di waktu muda, Stashinsky harus membayarnya dengan menjadi agen KGB. Tugas membunuh dilakukannya dengan baik walau itu bertentangan dengan hati nuraninya.

----------

Dr. Lev Rebet tidak begitu peduli dengan orang yang menuruni tangga berlawanan arah dengannya. Mengenalnya? Tidak. Tidak ada tanda-tanda kalau kedua orang tersebut saling mengenal. Baik Dr. Lev Rebet maupun orang jangkung itu saling menundukkan kepala. Dr. Lev Rebet berhati-hati menaiki tangga satu demi satu. Dan si jangkung juga tidak kurang hati-hatinya menuruni tangga. Sebenarnya tangga di kantor surat kabar Sucasna Ukraina tidak begitu tinggi dan menanjak. Tetapi karena usianya, Dr. Lev Rebet terbiasa membungkukkan tubuhnya selagi menaiki tangga kantornya.

Beberapa detik lagi, keduanya akan saling berpapasan di lorong sempit. Keduanya saling menunduk. Tidak ada sikap yang mencurigakan. Tidak ada gerakan-gerakan yang aneh. Tidak terdengar suara apa-apa. Setapak demi setapak Dr. Lev Rebet naik. Setangga demi setangga si jangkung turun

Sewaktu keduanya saling berpapasan, tetap tidak ada perubahan sikap dari keduanya. Tetapi tidak begitulah setelah beberapa detik mereka berpapasan. Tanpa penyebab yang jelas, tiba-tiba Dr. Lev Rebet terhuyung-huyung dan akhirnya tubuhnya tersandar ke dinding. Kedua tangannya mencengkeram dada. Dan tidak sampai 3 detik, tubuhnya melengkung dan melayang dalam sekejap. Ia akhirnya berguling dan bergulung menuruni anak tangga dengan cepat. Di anak tangga kedua dari bawah, tubuh itu berhenti. Tidak ada suara lagi. Dan Dr. Lev Rebet sudah tak bernyawa lagi.

Kejadian tersebut terjadi pada tanggal 12 Oktober 1957 di Karlsplats no. 8, Munich, di mana Dr. Lev Rebet bekerja sebagai pemimpin redaksi surat kabar Sucasna Ukraina.

Siapa gerangan lelaki jangkung yang berpapasan dengan Dr. Lev Rebet? Mengapa tiba-tiba Dr. Lev Rebet terguling dan akhirnya meninggal?

Kejadian tersebut bukanlah kejadian yang aneh yang terjadi di sekitar tahun 1950-an. Saat itu pihak Rusia sedang giat melancarkan aksi pembersihan terhadap gerakan antikomunis di kawasan Rusia. 

Beberapa menit setelah kejadian di pagi hari itu, seorang perwira dari KGB — Dinas Rahasia Rusia — di Moskow menerima pesan rahasia. Pesan tersebut dari si jangkung — orang kedua yang berada di tangga kantor Sucasna Ukraina di Munich. Pesannya cukup singkat, tapi cukup menggembirakan bagi yang menerima. 

“Aku telah bersua dengan si gendut. Dan penyambutannya cukup memuaskan.”

Bogdan Stashinsky, alias Josef Lehman, alias Bronislav Katshor, alias Alex Krylov, alias Siegfried Frager, alias Hans Budeit, telah melaksanakan tugasnya dengan gemilang. Ia melakukan pembunuhan yang sempurna demi tugas dari KGB. Dr. Lev Rebet dibunuh dalam waktu yang singkat sekali sewaktu menaiki tangga.

Berita kematian Dr. Lev Rebet menimbulkan berbagai pertanyaan bagi beberapa kalangan. Orang-orang imigran Ukraina yang bertempat tinggal di Jerman Barat pun merasa kehilangan sosok seorang bapak. Mereka yang berkecimpung di bidang politik, menangkap kematian Dr. Lev Rebet sebagai pertanda untuk berhati-hati.

Hasil pemeriksaan mayat Dr. Lev Rebet menghasilkan satu keputusan yang sudah sejak semula diramalkan pihak Dinas Rahasia Rusia. Dr. Lev Rebet meninggal dunia karena penyebab biasa. Termasuk usia dan penyakit. Benar-benar suatu pembunuhan yang gemilang. Tidak ada hantaman. Tidak ada darah tertumpah. Tidak ada kekerasan. Dan... tidak ada tanda-tanda pembunuhan.

Senjata yang digunakan Stashinsky untuk membunuh Dr. Lev Rebet hanyalah sebuah tabung logam sepanjang delapan inci dan sebuah ampul kecil. KGB tidak keliru menunjuk Stashinsky untuk melakukan tugas rahasia. Tidak perlu diragukan lagi ketangkasan Stashinsky yang terkenal sebagai penembak mahir untuk menghabisi Dr. Lev Rebet.

Untuk menjadi pembunuh terlatih, Stashinsky mendapat pendidikan dan penggemblengan cukup lama, 7 tahun. Tahun 1950 adalah tahun permulaan Stashinsky memasuki atau lebih tepatnya “terperangkap” oleh jaringan Dinas Rahasia Rusia.

Musim panas tahun 1950 merupakan musim petaka bagi si mahasiswa calon guru, Stashinsky. Bermula dengan peristiwa kecil di dalam kereta api, Stashinsky terperosok masuk ke dalam jaring Dinas Rahasia Rusia. Suatu pagi, Stashinsky menyerobot naik kereta api tanpa karcis. Tetapi dasar nasib buruk, Stashinsky ditangkap polisi karena tidak memiliki karcis. Benar-benar awal petaka baginya. Sebab masa-masa tahun 1950, Dinas Rahasia Rusia sedang gencar melancarkan pembersihan terhadap gerakan-gerakan antikomunis di Ukraina. Daerah yang seluas gabungan antara negara Spanyol dan Portugal tersebut tercekam kekhawatiran. Salah langkah atau salah bicara, bisa ditangkap dengan tuduhan tunggal yaitu terlibat dalam gerakan antikomunis.

Stashinsky yang baru berusia 19 tahun terpaksa berurusan dengan polisi. Stashinsky sudah bisa membayangkan kehancuran cita-citanya untuk menjadi guru. Bukan hal yang sepele untuk berurusan dengan polisi waktu itu. Stashinsky tahu persoalan sepele itu bisa jadi meluas. Dengan hati yang kecut dia menunggu panggilan pengadilan.

Aneh! Panggilan tidak kunjung datang. Tetapi ini tidak berarti pemerintah Rusia melalaikan Stashinsky, pemuda Ukraina yang cukup ambisius ini yang menumpang kereta api secara gratisan. Panggilan dari pengadilan memang tidak pernah datang. Tetapi muncul surat undangan supaya menghadap dari seorang perwira polisi lalu lintas.

Akhir musim panas, Stashinsky menghadap perwira yang mengundangnya. Dan masih ada seorang lagi yang juga menunggu kedatangan Stashinsky. Ia adalah seorang perwira dari Dinas Rahasia Rusia. Sitnikovsky namanya.

Waktu itu pembersihan gerakan antikomunis sedang menjamur di seluruh Ukraina. Tuduhan terlibat dalam gerakan antikomunis menjadi bayang-bayang maut bagi penduduk Ukraina. Padang Siberia — dengan segala kekerasannya — disodorkan sebagai imbalan mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam gerakan antikomunis. Padang hitam Siberia pun disodorkan pada Stashinsky. Dua pilihan yang sama-sama tidak enak dihadapkan pada Stashinsky. Ikut menjadi angota gerakan perlawanan terhadap kaum antikomunis dan sekaligus menjadi informan untuk KGB atau padang Siberia.

Dengan janji bahwa perkara pelanggaran di kereta api tidak akan dipermasalahkan lagi, akhirnya Stashinsky memilih pilihan pertama. Semenjak saat itu, Stashinsky terjerat dalam jaring KGB. Itu berarti dia harus bekerja untuk Dinas Rahasia Rusia di daerahnya sendiri. Ukraina.

Semakin lama tuntutan dan permintaan Sitnikovsky atas nama KGB terhadap Stashinsky semakin meningkat saja. Akhirnya Stashinsky menghentikan kuliahnya. Tugas dan pekerjaannya sudah jelas, jadi agen KGB.

Tahun 1953 ia dipindah ke Kiev untuk mengikuti pendidikan istimewa. Itu termasuk soal persenjataan dan pembuatan identitas palsu.

Dengan nama Josef Lehman, Stashinsky menyusup ke pihak Barat dan melaksanakan tugas spionase. Sebagai seorang agen, tugas utamanya adalah menyelidiki kegiatan-kegiatan organisasi kaum imigran Eropa Barat. Terutama Organisasi Nasionalis Ukraina.

Ideologi politik KGB telah berhasil meyakinkan diri Stashinsky, bahwa pemimpin dari Organisasi Nasionalis Ukraina adalah manusia yang terkutuk. Pasalnya, ia sudi diperbudak oleh pihak Amerika untuk membendung imigran Ukraina yang bertempat tinggal di Jerman Barat yang ingin kembali ke tanah leluhurnya. Malahan pihak Amerika telah melakukan kejahatan besar, yaitu memengaruhi orang-orang Ukraina untuk membenci dan memusuhi pihak Timur.

Bukan itu saja, ramuan politik yang telah “ditelan” mentah-mentah Stashinsky akhirnya tertanam di hatinya. Ia bersemangat untuk menyingkirkan siapa saja yang berkhianat terhadap tanah leluhurnya, Ukraina. Sasaran utama, Dr. Lev Rebet pemimpin Organisasi Nasionalis Ukrania. Sudah bulat tekad Stashinsky untuk segera membereskan Dr. Lev Rebet.

Antara April sampai Juli 1957, Stashinsky mondar-mandir dari Kiev ke Munich. Itu dilakukan untuk membiasakan diri dengan kehidupan calon korbannya, yaitu Dr. Lev Rebet. Semua kebiasaan calon korbannya telah diteliti dengan cermat. Kehidupan sehari-hari Dr. Lev Rebet ditanamkan dalam ingatannya. Stashinsky pun hafal dengan kehidupan Dr. Lev Rebet. Termasuk kebiasaan di kantornya yang terletak di Karlsplats no. 8.

Bulan September matang sudah rencana Stashinsky.

Dia sudah siap untuk menggunakan “senjata setan” miliknya. Itu adalah senjata dari KGB yang dipersiapkan untuknya. Senjata itu terdiri tabung logam dan ampul.

Ampul di dalam tabung logam, berisi gas sianida yang dapat memancar secara otomatis bila pelatuk kecil di bawah tabung logam itu disentil. Pancaran gas akan mengenai urat nadi korban. Dalam waktu pendek, korban yang ditembak dengan senjata setan itu akan mati karena urat nadinya mengerut. Kematian yang fatal. Namun dalam waktu yang singkat pula, pembuluh darah akan kembali normal, sehingga tembakan senjata setan itu tidak akan meninggalkan bekas sama sekali. Kalau diselidiki, hanya akan sampai pada kepastian bahwa korban meninggal dunia karena semacam serangan ulu hati.

Penggunaan senjata setan tersebut juga ada bahayanya. Gas sianida yang terpancar bisa seperti bumerang yang menyerang balik si penembak. Akibatnya fatal juga.

Tetapi perlengkapan yang tersedia demi keamanan Stashinsky cukup banyak. Bagi Stashinsky, tersedia berbagai tablet saraf, penawar racun, dan anti gas. Beberapa saat sebelum menembakkan senjata setan, dia harus menelan tablet saraf dan penawar racun. Lalu beberapa saat kemudian diikuti tablet anti gas. Yang terakhir ini harus ditelan beberapa saat sebelum menarik pelatuk.

Tentang keampuhan senjata setan buatan KGB ini, Stashinsky telah melihat buktinya. Senjata ini 100 persen bekerja dengan gemilang dan memuaskan, kata ahli pembuat senjata itu. Dan untuk memperkuat ucapannya, ahli itu mengajak Stashinsky ke hutan Muggelsee di pinggiran Jerman Timur. Keampuhan senjata setan didemonstrasikan di sana. 

Seekor anjing besar dirantai pada sebuah pohon. Stashinsky menelan tablet-tablet penyelamat. Dari jarak dua kaki, Stashinsky menembakkan senjata itu. Akibatnya sungguh meyakinkan. Hanya terdengar suara lirih dan dalam beberapa detik kedua kaki depan anjing mengacung ke depan. Beberapa saat — semenit mungkin— anjing itu terjungkal kemudian mati. Tanpa suara terdengar. Stashinsky tidak meragukan lagi keampuhan senjata setan itu.

9 Oktober 1957, dengan menggunakan nama Siegfried Drager, Stashinsky menumpang Air France menuju ke Munich. Pertemuan maut dengan Dr. Lev Rebet akan segera dimulai. Senjata maut turut dibawa serta. Sungguh sederhana dan kecil senjata maut itu. Sukar untuk dibayangkan kalau logam kecil itu bisa membawa maut. 

Dalam pengakuannya di kemudian hari, tentang penggunaan senjata maut, Stashinsky mengatakan bahwa senjata itu dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu sukar bagi penembaknya untuk mengirim korban ke alam baka. “Saya tidak memerlukan apa-apa. Saya hanya perlu berpapasan dengan Dr. Lev Rebet di tangga. Senjata maut saya angkat dan bagian pelatuk bersama jari saya tutupi dengan gulungan surat kabar. Pelatuknya pun saya tarik.” Itu teorinya.

Pagi hari tanggal 2 Oktober 1957, Stashinsky meninggalkan hotel. Setelah menelan dua tablet, ia berjalan menuju kantor surat kabar Suscana Ukraina di Karlsplats no. 8 di mana Dr. Lev Rebet bekerja.

Sekitar jam 9.00 Stashinsky sudah mengambil posisi di atas tangga menunggu kehadiran calon korbannya. Jam 9.05, seperti telah diperhitungkan, Stashinsky mendengar suara langkah kaki. Dengan tenangnya ia mulai turun dari anak tangga yang teratas. Benar juga, Dr. Lev mulai menaiki tangga. Dan Stashinsky pun mulai melangkah turun. Dua insan akan saling berpapasan.

Di tengah-tengah tangga, sengaja Stashinsky berdeham. Dan apa yang diperhitungkan memang terjadi. Dr. Lev Rebet mengangkat mukanya. Dan bersamaan itu pula, Stashinsky menarik pelatuk senjata mautnya tepat mengarah wajah Dr. Lev Rebet. Tidak ada bedanya dengan tingkah polah anjing di hutan Muggelsee. Dr. Lev Rebet terkapar tanpa mengeluarkan suara. Penjahat besar di mata KGB telah tamat riwayatnya.

Dinas Rahasia Rusia sangat puas. Operasi yang ditugaskan kepada Stashinsky berjalan dengan lancar sesuai dengan apa direncanakan. Untuk kesuksesannya, Stashinsky mendapat undangan pesta. Dan dalam pesta itu pula Stashinsky mendapat tugas kedua untuk membereskan tokoh Organisasi Nasionalis Ukraina.

Calon korban kedua adalah Stefan Bandera. 

Memburu calon korban kedua ternyata tidak semudah memburu Dr. Lev Rebet. Setelah kematian Dr. Lev Rebet, Organisasi Nasionalis Ukraina di Jerman Barat semakin memperapat diri. Walaupun kematian Dr. Lev Rebet dinyatakan karena serangan ulu hati, tetapi tokoh-tokoh Organisasi Nasionalis Ukraina memiliki kecurigaan.

Di pertengahan tahun 1958, Stashinsky mulai kegiatannya mondar-mandir ke Munich dengan menggunakan beragam nama. Sasaran untuk tugas keduanya ini bertempat tinggal di Kreittmayrstrasse no 7. Sudah dua kali Stashinsky mencoba membereskan Stefan Bandera, tetapi dua kali pula ia mengalami kegagalan. Akhirnya kegiatan menguber Stefan Bandera dihentikan untuk sementara waktu.

Ada perubahan dalam hati Stashinsky. Orang yang diburu adalah orang Ukraina. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Ukraina, Stashinsky menyadari bahwa ia melaksanakan tugas bukan karena keyakinan atau kesadaran, tetapi karena adanya tekanan. Suatu ikatan yang benar-benar menyangkut soal hidup atau mati. Dan dia tak mungkin untuk mengelak.

Kisah di awal tahun 1950 masih jelas terbayang di matanya. Dalam keraguannya di usia tanggung 19 tahun, dia dipojokkan untuk memilih hidup terus dalam ikatan Dinas Rahasia Rusia atau membeku di padang Siberia. Sebagai seorang pemuda tanggung yang masih dangkal dengan apa arti perjuangan hak dan kebebasan, Stashinsky memilih hidup.

Tetapi, waktu 7 tahun bukan waktu yang pendek. Cukup lama untuk membentuk sikap dan pikirannya. Indoktrinasi-indoktrinasi yang gencar diterimanya akhirnya “termakan” juga. Walau semula terasa serat untuk ditelan. Dua hal yang saling tertentangan berkecamuk dalam diri Stashinsky.

Walaupun usaha pertama dan kedua gagal, tetapi Dinas Rahasia Rusia masih mempercayakan tugas untuk menghabisi Stefan Bandera kepada Stashinsky. Stashinsky dipersilahkan untuk mencoba lagi.

Tanggal 15 Oktober 1959, Stashinsky berhasil membuntuti Stefan Bandera sampai di rumahnya di Kreittmayrstrasse no. 7. Dengan aman dia berhasil bersembunyi di pengkolan tangga. Praktik yang diterapkan terhadap Dr. Lev Rebet akan diulang. Korban ditunggu di anak tangga paling atas. Dan saat berpapasan, maut akan menghampiri. Stashinsky berdiri mematung di pengkolan tangga. 3 meter dari anak tangga paling bawah, Stefan Bandera sedang memasukkan mobil ke garasi. Tanpa terduga sebelumnya oleh Stashinsky, seorang wanita lewat di sampingnya dan menuruni tangga. Secepat kilat Stashinsky menyibukkan diri dengan berpura-pura membetulkan kancing baju. Wajah menghadap ke dinding agar tidak dilihat wanita itu.

Beberapa menit kemudian Stashinsky mendengar suara dari pintu depan. Calon korban masih berada di depan pintu. Tubuhnya digelantungi berbagai barang, ia sibuk berkutak-kutik dengan anak kunci. Entah apa yang terjadi dengan anak kunci, Stefan Bandera belum juga masuk.

5 menit telah berlalu. Dan akhirnya pintu terbuka. Di saat yang sama, Stashinsky merunduk membetulkan tali sepatu. Di anak tangga kedua dari atas, Stashinsky mulai menggoyang-goyangkan gulungan surat kabar. Sewaktu Stefan Bandera mulai melangkah naik, Stashinsky melangkah turun.

Benarkah persilangan maut akan terjadi? 

Stashinsky merunduk seakan-akan sedang menghitung anak tangga. Stefan Bandera menengadah dengan tegap. Tepat di tengah tangga, Stashinsky menyapa dengan ramah.

“Tidak beres kuncinya?”

“Aku keliru memasukannya. Ah...... siapa Anda?” Wajah Stefan Bandera semakin menengadah. 

Hanya itu yang diucapkan oleh Stefan Bandera untuk yang terakhir kalinya. Selagi Stefan Bandera tertegun memandangnya, Stashinsky menarik pelatuk senjata maut dari balik gulungan surat kabar. Dalam sekejap, Stefan Bandera terguling turun menatap pintu. Tidak terdengar suara apa-apa, kecuali suara benda jatuh. Barang-barang yang bergelantungan di lengannya berguling-guling.

Stashinsky kembali ke Jerman Timur dengan aman. Dan melapor pada atasannya bahwa ia telah bersua dengan “si gendut” dan “sambutannya” sungguh menggembirakan. 

Tanggal 4 Desember 1959 Stashinsky memperoleh penghargaan dari Alexander Shelepin, Komandan Tertinggi KGB, atas kesuksesannya melancarkan operasi pembersihan antikomunis.

Ternyata tugas membereskan Stefan Bandera adalah tugas terakhir bagi Stashinsky.

Tidak ada rasa bangga pada diri Stashinsky. Yang ada hanyalah pergolakan batin yang semakin gencar di hatinya. Tugas yang didasari rasa terjerat berbenturan dengan suara hati yang paling dalam. Kemanusiaan, perjuangan hak dan kebebasan. Tekanan batin semakin lama semakin menyesakkan. Lingkup gerak terasa sangat terbatas. Dan dalam lubuk hatinya yang paling dalam terselip penyesalan. Orang yang diburunya bukan orang asing bagi warga Ukrania. Bangsanya sendiri, Ukrania.

Sekali-kali timbul niat untuk melepaskan pekerjaannya. Tetapi jelas tidak mungkin. Padang Siberia yang akan dihadapinya. Sekali-kali timbul niat pula untuk menyeberang ke pihak Barat.

Musim panas tahun 1960, istri Stashinsky sedang mengandung. Istrinya, Inge Pohl, berasal dari Jerman Timur. Suatu ide untuk memulai pelarian tercetuslah. Setelah berhasil membujuk dan mengelabui atasannya, dengan alasan istrinya ingin melahirkan di kediaman orang tuanya di pinggiran Jerman Timur, akhirnya Stashinsky berhasil mengirim Inge Pohl ke Berlin Timur.

Langkah pertama pelarian sudah berhasil. Inge Pohl sudah mendekati daerah di mana kebebasan seseorang terjamin. Kediaman orang tua Inge Pohl berdekatan dengan tapal batas Berlin Barat dan Berlin Timur.

Untuk melakukan usaha pelarian untuk dirinya sendiri, Stashinsky masih harus menghadapi kesulitan. Dia bukan orang bebas. Kemana pergi selalu dibayangi agen Dinas Rahasia Rusia. Bagaimana dia bisa menyeberang ke sektor Barat?

Kemalangan — tetapi juga keberuntungan akhirnya — terjadi juga atas diri Stashinsky. Bayi Inge Pohl yang baru saja lahir, tidak berumur panjang. Hati Stashinsky yang selalu gundah pun semakin hancur berkeping-keping. Kelahiran anak yang selalu dia rindukan dan diharapkan bisa memberi kesejukan padanya, hanya berusia singkat.

Apakah kematian bayi itu merupakan kemalangan atau justru keberuntungan? Walau hati Stashinsky hancur karena sedih, ia bisa melihat bahwa kematian anaknya juga merupakan peluang bagi dirinya untuk kabur menyeberang ke sektor Barat.

Lantaran sekelumit rasa iba yang meluntur dari suasana kedinasan, Stashinsky mendapat kelonggaran untuk menghadiri pemakaman anaknya di pinggiran tapal batas. Tetapi tidak berarti bebas. Dia tidak bisa banyak bergerak. Ke mana pun ia pergi, selalu dibayangi agen-agen Dinas Rahasia Rusia siang dan malam.

Sanak keluarga Inge Pohl yang menghadiri pemakaman cukup banyak. Stashinsky tepat tiba sebelum jenazah diturunkan ke liang lahat. Inge Pohl menyambut haru kedatangan suaminya. Dalam pelukan sedih, Stashinsky membisikkan kata-kata yang sangat berarti: soal hidup dan mati.

Stashinksy tidak melihat ada tatapan yang perlu dikhawatirkan dari para pelayat. Tetapi benarkah suasana pemakaman bersih dari agen-agen Dinas Rahasia Rusia?

Makam anak Stashinsky terletak di pinggiran tapal batas. Tiga gunduk makam lagi arah ke kanan, sudah merupakan daerah bebas. Pelayat satu demi satu meninggalkan makam. Stashinsky memapah Inge Pohl. Tiga gunduk lagi sudah merupakan daerah bebas. Bebas dari cengkeraman rasa takut dibayang-bayangi padang Siberia. Tetapi benarkah makam ini aman dari mata-mata agen?

Hari sudah larut senja. Cukup lama juga Inge Pohl dan Stashinsky termenung di makam anaknya. Tidak ada orang lagi. Juga tidak ada suara. Kesenyapan makam memberi kesempatan pada suami istri Stashinsky untuk melangkahi dua gunduk.

200 meter setelah Stashinsky dan Inge Pohl memasuki padang bebas, baru terdengar suara derum patroli perbatasan Jerman Timur melintasi pinggiran tapal batas. Beberapa saat mobil-mobil patroli berhenti di pinggiran makam. Kelihatan beberapa orang berloncatan dari mobil. Tetapi telah sunyi semuanya.

Sebagai pelarian politik, Stashinsky segera menghubungi penguasa Jerman Barat. Semua petualangan politik dan petualangan rahasianya diceritakan. Terutama tentang terbunuhnya tokoh-tokoh Organisasi Nasionalis Ukrania, Dr. Lev Rebet dan Stefan Bandera. Dikisahkan pula cara-cara penggunaan senjata gas sianida. Semula penguasa Jerman Barat tidak begitu percaya pada keterangan Stashinsky bekas angota Dinas Rahasia Rusia itu.

Tidak sedikit agen yang menyeberang, tetapi dengan tujuan ganda. Semua pengakuan dan keterangan Stashinsky tidak melunturkan kecurigaan penguasa Jerman Barat.

Stashinsky ditahan dengan tuduhan “membantu terjadinya pembunuhan” atas tokoh nasionalis Ukrania yang bertempat tinggal di daerah Jerman Barat. Pemerintah Jerman Barat tetap berpendirian, bahwa pelaku utama dari pembunuhan Dr. Lev Rebet dan Stefan Bandera adalah pemerintah Soviet.

Semua pengakuan Stashinsky merupakan hantaman bagi pemerintah Rusia. Di mana dunia saat itu, pengakuan Stashinsky benar-benar merupakan penelanjangan rahasia Dinas Rahasia Rusia. Dan dinilainya sebagai gangster politik.

Penahanan Stashinsky tidak berlangsung lama. Akhirnya Stashinsky dibebaskan karena pengakuannya sedikit banyak sangat membantu pemerintah Jerman Barat. Dan demi keamanan diri Stashinsky dari ancaman pembalasan pihak Jerman Timur, ia dan istrinya disembunyikan di satu tempat yang dirahasiakan di wilayah Jerman Barat. Tindakan itu dilakukan untuk menghindari pembalasan dari pihak Jerman Timur. Dan pihak Jerman Timur telah bertekad untuk merebut Stashinsky kembali. 

Sudah bisa dibayangkan apa arti merebut kembali. Ancaman dan olok-olok pihak Jerman Timur tidak urung sampai juga ke tempat persembunyian suami istri Stashinsky. Dari tempat persembunyiannya, Stashinsky memberi komentar atas ancaman pihak Jerman Timur sebagai berikut:

“Siapa pun yang berkhianat pada KGB pastilah akan disingkirkan. Sampai saat ini, saya masih tercekam rasa takut dan khawatir. Petaka pasti akan menimpa diri saya dan istri. Sepanjang sisa hidup, saya harus bersedia menyambut kedatangan orang yang menggantikan tugas saya itu.”

Entah kapan, entah di mana, Stashinsky percaya bahwa sekali waktu ia akan berpasangan dengan orang yang tak dikenalnya — mungkin tidak perlu di tangga — dan senjata maut akan digunakan lagi. Kali ini giliran Stashinsky yang harus dibereskan.

Kisah petualangan Stashinsky hanya sampai di sini. Bagaimana nasib Stashinsky selanjutnya, dunia tidak memperbincangkan lagi.

(The Silent Killer)

Baca Juga: Seorang Gadis Dibunuh di Hagenhof

 

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553799255/perjumpaan-maut-di-tengah-tangga" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1689083504000) } } [2]=> object(stdClass)#126 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3761001" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#127 (9) { ["thumb_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/16/perkara-yang-berekor-panjangjpg-20230516062800.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#128 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(141) "Evans datang ke kantor polisi dan mengaku telah membunuh istrinya. Namun setelah diselidiki, ia terus memberikan pengakuan yang berubah-ubah." ["section"]=> object(stdClass)#129 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(112) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/16/perkara-yang-berekor-panjangjpg-20230516062800.jpg" ["title"]=> string(28) "Perkara yang Berekor Panjang" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-16 06:28:07" ["content"]=> string(53473) "

Intisari Plus - Evans datang ke kantor polisi dan mengaku telah membunuh istrinya. Namun setelah diselidiki, ia terus memberikan pengakuan yang berubah-ubah. Penyelidikan pun menuntun polisi pada kasus pembunuhan lain yang dilakukan oleh tetangga Evans.

---------------

Rumah sempit bertingkat tiga di Rillington Place nomor 10 di daerah North Kensington di London, dihuni oleh tiga keluarga.

Di tingkat paling bawah tinggal suami istri Christie yang selalu mengasingkan diri dari tetangga. John Halliday Reginald Christie seorang pemegang buku.

Di tengah tinggal seorang Ianjut usia bernama Kitchener. (Ketika peristiwa ini terjadi, Kitchener sedang berbaring di rumah sakit).

Di tingkat paling atas tinggal keluarga Evans. Timothy John Evans yang lahir di Wales tahun 1924 itu seorang sopir. Karena pernah mengalami kecelakaan waktu kecil, tinggi badannya tidak seberapa. Ia hampir tidak bisa membaca ataupun menulis. Pada tahun 1947 ia menikah dengan seorang operator telepon yang masih muda dan manis. Mengapa gadis manis itu menikah dengan pria bertampang buruk dan hampir buta huruf, merupakan suatu teka-teki.

Di rumah itu tidak ada gudang dan kamar mandi. Kakus satu-satunya terletak di halaman, harus dipakai oleh semua penghuni rumah di ujung jalan buntu itu.

Keluarga Evans pindah ke sana pada waktu Paskah tahun 1948. Waktu itu Nyonya Evans sudah melahirkan seorang anak perempuan. Ketika anak itu berumur setahun, Nyonya Evans merasa ia mengandung lagi. la bermaksud menggugurkan kandungannya karena alasan keuangan. Pada saat mulai membentuk rumah tangga mereka berutang banyak untuk membeli perabot. Karena penghasilan Evans kecil, mereka takut tidak mampu membiayai kelahiran dan perawatan anak keduanya nanti.

Tanggal 10 November 1949 Evans bercerita kepada tetangga-tetangganya di sekitar bahwa ia berhenti bekerja. Sebenarnya ia diberhentikan. Ia bisa mengemudikan mobil dengan baik, tetapi majikannya tidak senang karena ia selalu berbohong dan gugup. Lagipula ia selalu meminta persekot gaji.

Keesokan harinya, Evans menjual perabot rumah tangganya dengan harga hanya 40 ponsterling. Barang-barang itu diambil orang tanggal 14 November.

Kepada tetangga-tetangga ia bercerita bahwa istri dan anaknya pergi ke Brighton, ke rumah mertua Evans. Tanggal 14 November malam, Evans pulang ke daerah asalnya di Cardiff.

Bibinya, Nyonya Lynch mendapat keterangan bahwa Nyonya Evans dan anaknya sedang berada di Brighton.

Tanggal 23 November ia kembali ke Rillington Place untuk bercakap-cakap sebentar dengan Christie lalu kembali ke Wales seminggu. Kepada bibinya ia menerangkan sudah bertemu dengan istrinya dan anaknya. Mereka akan dibawanya ke New Port, katanya.

Evans masih mempunyai ibu. Ibunya bernama Nyonya Probert karena sudah menikah kembali dengan seseorang bernama Probert. Nyonya Probert mendengar anaknya berada di Cardiff, tetapi entah ke mana menantu dan cucunya. Ia mengirim telegram ke besannya di Brighton untuk menanyakan keadaan menantu dan cucunya. Namun ia mendapat jawaban bahwa sang besan tidak pernah bertemu dengan Nyonya Evans sejak tanggal 5 November.

Ketika Evans dan istrinya masih tinggal di Rillington Place, Nyonya Probert pernah melerai pertengkaran mereka. Ketika itu istri Evans mengajak temannya yang berumur 17 tahun menginap sehingga Evans mesti tidur di dapur. Nyonya Probert berhasil membuat gadis tadi keluar rumah.

Nyonya Probert rupanya mengutus anaknya yang seorang lagi, yaitu saudara tiri Evans untuk menanyakan ke Rillington Place 10, siapa yang tahu di mana menantu dan cucunya saat ini. Ternyata mereka pun tidak tahu.

Jadi Nyonya Probert menulis surat kepada bekas iparnya, Nyonya Lynch. Di surat itu ia menyatakan kemarahannya kepada Evans, yang katanya selalu berbohong dan berutang. Pasti nasibnya akan sama seperti ayahnya, tulisnya. Surat itu tiba tanggal 30 November dan Nyonya Lynch membacakannya kepada Evans. Rupanya hati Evans tersentuh.

Sore itu juga ia pergi ke kantor polisi untuk mengaku, “Saya telah membunuh istri saya. Saya memasukkan mereka ke dalam saluran kotoran.” 

Petugas polisi mula-mula tidak percaya dan memperingatkan agar Evans berhati-hati memberi pengakuan. 

Akan tetapi Evans malah menyatakan, “Saya benar-benar menyadari apa yang saya katakan. Saya tidak bisa tidur dan harus mengeluarkan isi hati. Saya akan menceritakan semuanya dan Anda pun dapat menuliskannya. Saya tidak dapat membaca dan menulis.”

Kemudian Evans memberi pengakuan menyeluruh di depan para petugas polisi. Permulaan bulan Oktober, istrinya bermaksud menggugurkan kandungan. Evans sebenarnya tidak berkeberatan mempunyai satu anak lagi. Tetapi istrinya tidak dapat diyakinkan. Sesudah beberapa percobaan pengguguran, istrinya sangat lemah dan tampak sakit. Timbullah pertengkaran yang tiada henti-hentinya di antara mereka.

Pada tanggal 6 November, istrinya menyatakan bahwa jika pengguguran tidak berhasil, maka ia akan bunuh diri bersama anaknya. Pada hari berikutnya, di sebuah restoran antara Ipswich dan Colchester, ia mencurahkan kesulitannya kepada seseorang. Orang ini memberinya botol kecil yang dibungkus dalam kertas cokelat sambil berkata, “Katakanlah pada istri Anda agar besok pagi sebelum minum teh, ia meminum sedikit cairan ini dan berbaring. Nanti semuanya akan terjadi sebagaimana diharapkan.” 

Sesampai di rumah, ia memberikan botol itu kepada istrinya dan menyatakan agar meminum obat ini. Akan tetapi pagi berikutnya ia menyatakan jangan berbuat demikian. Waktu ia hendak menyalakan lampu gas di malam hari, ia menemukan istrinya meninggal. Rupanya si istri meminum obat ini. Ia kemudian mengurus anaknya di antara jam 1 dan 2 dini hari, lalu membuang mayat istrinya ke saluran kotoran di depan rumah. Sehari sesudah kejadian, ia minta berhenti bekerja dan menjual barang-barang rumah tangga.

Ini pengakuan pertama yang diberikan Evans. Para petugas polisi tidak begitu terkesan. Orang-orang yang bersifat agak eksentrik biasanya sering membuat pengakuan. Kemudian pengakuan itu ternyata tidak berdasar atau malahan ditarik kembali. Yang menonjol pada pengakuan pertama Evans, ia tidak menunjukkan perasaan menyesal.

Sesudah mencari keterangan lewat telepon, maka Polisi London mengadakan pemeriksaan di rumah Rillington Place nomor 10. Di dalam saluran kotoran tidak dapat ditemukan bekas mayat sedikit pun. Karena diperlukan tenaga tiga orang petugas polisi untuk mengangkat tutup saluran, maka dari awal diketahui bahwa Evans tidak mungkin membukanya tanpa bantuan orang lain.

Menyadari bahwa orang tidak mempercayainya, maka Evans menarik kembali pengakuannya pada hari yang sama (30 November). Kini para petugas mendapatkan pengakuan versi baru, “Yang saya ceritakan tentang lelaki di restoran itu tidak benar, demikian pula tentang pembuangan ke saluran. Saya hanya ingin menutupi seorang lelaki bernama Christie.” Inilah untuk pertama kalinya ia menyebut nama Christie.

Ketika dipaksa untuk menceritakan yang sebenarnya, maka malam itu Evans mengaku sebagai berikut. Seminggu sebelum ajal istrinya, Christie menemui Evans. Ia menyatakan bahwa mengetahui istri Evans meminum obat pengguguran. Andai kata Nyonya Evans meminta pertolongan Christie, maka ia akan mampu mengambil janin itu tanpa menimbulkan bahaya. 

Konon menurut Christie, sebelum perang ia bekerja pada seorang dokter. Lalu ia memperlihatkan buku-buku medis. Akhirnya ia menyatakan bahwa ada kemungkinan seorang di antara sepuluh wanita yang memakan obatnya akan meninggal. Evans menjawab bahwa ia tidak berminat mempertimbangkan hal itu. 

Waktu Evans menceritakan hal tersebut pada istrinya, istrinya ingin menerima tawaran Christie sebab ia percaya pada Christie. Pada tanggal 7 November, istri Evans menyatakan pada suaminya bahwa Christie telah mengadakan persiapan yang diperlukan. Christie pun pada hari berikutnya mengatakan hal yang sama pada Evans. 

Pada malam hari itu juga Christie menunggu Evans di dekat tangga dan berkata, “Kabar buruk. Tidak berhasil.” Di dalam kamar tidur Evans menemukan istrinya sudah meninggal. Di atas selimut dan bantal ada noda-noda darah. Christie kemudian menyembunyikan mayat di rumah Kitchener dahulu. Evans bertanya apa yang akan dilakukan selanjutnya. Christie menjawab bahwa ia akan melemparkan mayat ke dalam saluran kotoran.

Evans selanjutnya memutuskan untuk membawa anaknya ke ibunya pada hari berikutnya. Christie tidak mengizinkan hal itu karena bisa menimbulkan kecurigaan. Ia menyarankan agar menitipkan anak perempuan itu kepada sepasang suami istri di East Acton. Waktu Evans pulang malam, Christie menceritakan bahwa suami istri itu telah menjemput anak perempuan tadi. Mayat istri Evans telah dibuangnya ke dalam saluran. Atas nasihat Christie, maka Evans menjual perabot rumah tangga dan meninggalkan London. Akhirnya ia pergi ke Cardiff. Kepada ibunya ia katakan bahwa istri dan anaknya pergi berlibur.

Pengakuan ini lebih dapat dipercaya. Polisi mulai mencari keterangan-keterangan yang lebih meluas. Mereka pertama meminta keterangan Nyonya Probert dan Nyonya Lynch, namun tidak mendapat informasi baru. Ibu Evans menyatakan, “Saya tahu bahwa anak saya mempunyai daya imajinasi yang besar dan seorang pembohong besar.”

Polisi London sekali lagi memeriksa rumah itu. Di halaman tidak tampak hal yang menarik perhatian. Di rumah Evans selain buku roman kriminal, ditemukan tas yang dicurinya. Tidak ada bekas-bekas Nyonya Evans ataupun anaknya! Petugas polisi mulai ragu-ragu, apakah benar-benar telah terjadi kejahatan. Mungkin ibu dan anak selamat di Bristol atau di Brighton. Akan tetapi pengusutan di kedua kota tidak membuahkan hasil.

Evans dipanggil ke London dari Wales. Sebelum ia tiba, polisi kembali mengadakan pemeriksaan di rumah (tanggal 2 Desember 1949) dan tidak menemukan apa-apa. Pintu ke sebuah ruang dikunci. Para petugas meminta keterangan mengenai ruangan ini. Nyonya Christie menyatakan bahwa ruangan itu adalah semacam ruangan cuci, akan tetapi jarang dipakai. Kunci rusak dan hanya dapat dibuka dengan bantuan sebuah kepingan baja. Para petugas mulai membuka pintu. Di dalam ruangan gelap. Di atas lubang di tengah-tengah ruangan ditumpukkan kayu. Sesudah menyisihkan kayu, mereka menemukan bungkusan yang diikat. Nyonya Christie mengaku tidak mengetahui isi bungkusan itu dan bahwa ia baru pertama kali dalam hidupnya melihat bungkusan itu.

Para petugas polisi membawa bungkusan ke halaman dan membuka ikatan. Tampak sepasang kaki manusia. Sebelum bungkusan dibuka seluruhnya, ahli patologi kementerian dalam negeri Dr. Donald Teare, dipanggil untuk memeriksanya. Waktu para petugas polisi membuka bungkusan lebih lanjut, maka tampak badan manusia yang dibungkus dengan taplak meja hijau. Ternyata badan Nyonya Evans! Di ruang yang sama, di bawah kayu untuk membuat api, mereka menemukan mayat anak Nyonya Evans yang berusia 14 bulan. Mayat itu masih berpakaian; sebuah dasi lelaki melingkar di leher anak perempuan tadi.

Anehnya kedua mayat tidak bau. Keduanya dalam keadaan baik. Tetapi waktu itu memang sangat dingin. Para tetangga kemudian menyatakan bahwa mereka sering melihat Christie menyemprotkan obat disinfektan di rumah dan halaman. Akhir Oktober hingga pertengahan November, pekerja keluar masuk ruangan cuci. Mereka menyimpan peralatan mereka di sana, tanpa mengetahui ada telah disembunyikan di situ sejak tanggal 8 atau 10 November.

Waktu diadakan pemeriksaan di pengadilan, ditemukan luka-luka berat pada leher dan tengkuk wanita muda tadi. Dari luka-luka kulit diambil kesimpulan bahwa ia dicekik dengan tali atau tambang yang tebal. Mata kanan dan bibir atas membengkak, seperti telah kena tinju. Bekas-bekas pengguguran kandungan tidak terlihat. Si anak juga memperlihatkan tanda-tanda dicekik di leher. Tidak diragukan lagi bahwa ibu dan anak dicekik.

Di kantor polisi, pakaian korban dan dasi yang ditemukan pada anak diperlihatkan pada Evans. Kemudian ia diberi tahu di mana ditemukan mayat ibu dan anak. Ia tampak terkejut. Air mata keluar. 

Waktu inspektur polisi menyatakan bahwa Evans bisa dituduh mencekik ibu dan anak, ia menjawab tanpa ragu-ragu, “Ya, memang saya!”

Kemudian ia memberikan pengakuan yang ketiga. Tiba-tiba kini ia mengaku bahwa dialah yang telah membunuh kedua orang itu.

Istrinya makin lama makin banyak utang dan sudah tidak bisa ditanggungnya lagi. Pada tanggal 8 November mereka bertengkar mulut dan istrinya menyatakan ingin pindah ke ayahnya bersama anak mereka. Sementara bertengkar, mereka saling memukul. Akhirnya ia tidak bisa menguasai diri dan mencekik istrinya dengan tambang dari truknya. Mayat semula disembunyikannya di rumah Christie. Tengah malam, waktu ia mengira bahwa suami istri Christie sudah tidur, mayat diseretnya ke ruangan cuci. 2 hari kemudian, ia juga mencekik anaknya dengan dasinya dan membawanya ke ruangan cuci. Semua itu dilakukannya sendirian saja.

Setelah selesai memberikan pengakuan tanggal 2 Desember malam, Evans menerangkan, “Saya merasa ringan kini, sudah saya keluarkan.”

Dalam pengakuan yang ketiga ia tidak menyebut Christie sekalipun, begitu pula tentang percobaan pengguguran. Dalam keterangannya juga tidak dikatakan mengapa ia masih membunuh anaknya sesudah membunuh istrinya.

Seorang petugas polisi sehari sesudah pengakuannya menyatakan bahwa ia akan dihukum karena membunuh istrinya. Evans berkata, “Ya, boleh.” Keterangan bahwa ia juga akan diadili karena membunuh anaknya, disambut dengan tenang olehnya.

Ketika dihadapkan ke pengadilan, ia berkata kepada ibunya, “Saya tidak melakukannya, Mama. Christie yang melakukan. Katakan kepada Christie saya ingin berjumpa. Ia orang satu-satunya yang dapat menolong saya.” Waktu Christie dihubungi Nyonya Probert, ia menolak bertemu. Pada tanggal 15 Desember, pada salah seorang pengacara Evans menyatakan juga bahwa Christie yang melakukan pembunuhan-pembunuhan.

Akan tetapi terhadap dokter penjara, Dr. Matheson, ia bercerita dengan santai seperti dalam pengakuan terakhir pada polisi. la tidak menuduh Christie sekalipun, tidak pula dalam percakapan-percakapan yang kemudian ia lakukan dengan dokter itu.

Sidang dibuka tanggal 11 Januari 1950 di Pengadilan London, diketuai oleh Hakim Lewis yang berpengalaman dan penuh pengertian. Yang menjadi penuntut adalah Humphrey dan Elam. Pembelanya adalah Pengacara Morris.

Karena menurut Hukum Pidana Inggris hanya mungkin dilakukan hukuman atas satu pembunuhan saja, maka jaksa dalam sidang utama membatasi tuduhan pada pembunuhan anak. Tuduhan membunuh istri ditiadakan karena mungkin Evans diprovokasi. Pasalnya telah terjadi saling memukul antara suami istri itu.

Evans menyatakan dirinya tidak bersalah. 

Christmas Humphrey kemudian berbicara mewakili penuntut. Ia mendasarkan tuduhan atas pengakuan Evans yang terakhir. Menurut pendapatnya, penyebab pembunuhan harus dicari dalam pertengkaran terus-menerus antara tertuduh dan istrinya dan dalam keadaan depresi tertuduh.

Saksi utama bagi pihak penuntut adalah Christie. Ia dihadapkan dan diperkenalkan sebagai seseorang yang berasal dari keluarga baik-baik, yang di dalam kedua Perang Dunia telah mengabdi di ketentaraan dan kepolisian. Oleh karena itulah ia dapat dipercaya.

Keterangan pembela, bahwa Christie telah lima kali dihukum karena pencurian, penggelapan, dan penganiayaan, tidak dianggap serius oleh pengadilan. Kemudian Pembela Malcolm Morris menyatakan kepada Christie bahwa bukan tertuduh melainkan Christielah yang mendorong dan melakukan kedua pembunuhan. Tetapi pernyataan ini pun tidak dianggap serius.

Sebagai seorang bekas petugas polisi, Christie mengetahui bagaimana harus berlaku di depan pengadilan. Ia memberikan kesaksian dengan sopan dan jelas. Dengan demikian ia meninggalkan kesan baik. Menurutnya, pada tanggal 8 malam menjelang 9 November, istrinya dan dia terbangun karena mendengar suara keras di bagian atas rumah, seperti ada orang memindah-mindahkan perabot. Pagi berikutnya ia berjumpa dengan Evans. Waktu Christie bertanya di mana istri dan anak Evans, pria itu menjawab bahwa mereka pergi berlibur. Kemudian Evans menjual perabot rumah tangganya dan pergi. Pada tanggal 23 November Evans tiba-tiba kembali dan menceritakan bahwa istrinya telah meninggalkannya. Selain itu ia juga tidak mempunyai pekerjaan dan bermaksud untuk pindah ke Wales.

Sesudah Christie, istrinya menyusul dihadapkan sebagai saksi. Ia membenarkan keterangan suaminya dan meninggalkan kesan baik yang tidak kalah dari suaminya.

Kini pembela meminta tertuduh sendiri dihadapkan. Keterangannya hampir sama dengan pengakuan kedua di depan polisi, tanggal 30 November. Ia mengakui bahwa banyak keterangannya di depan polisi tidak sesuai dengan kebenaran. Katanya karena sangat gugup, takut dipukuli, dan ia ingin menutupi kesalahan Christie.

Evans selama persidangan beberapa kali mengubah pengakuan. Hal ini sangat memberatkannya dan tidak menambahkan kepercayaan baginya. Sesudah Evans harus mengakui setiap kebohongannya, salah seorang penuntut, Humphrey, bertanya, “Anda menyatakan bahwa Christie pembunuh istri Anda. Dapatkah Anda menerangkan mengapa ia mencekik istri Anda?”

“Ya, ia selalu di rumah.” 

“Dapatkah Anda menerangkan mengapa ia 2 hari kemudian mencekik juga anak perempuan Anda?” 

“Tidak.”

Pembela, yang yakin kliennya tidak bersalah, berat menghadapi penuntut. Sia-sia saja Morris menerangkan bahwa Evans suka damai serta tidak pernah berurusan sekalipun dengan yang berwajib. Sia-sia pula ia menekankan bahwa Evans buta huruf dan tidak ada motif untuk kedua pembunuhan tadi. Pembela tidak berhasil, meskipun ia sekali lagi menunjukkan bahwa saksi utama Christie pernah lima kali dihukum.

Dalam kesimpulannya hakim pun mendasarkan semua atas keterangan Christie. Ia menganggap tidak mungkin Christie yang menjalankan pembunuhan. Tidak ada bukti sedikit pun. Apa motifnya untuk membunuh seorang anak berusia 14 bulan? Di pihak lain, Evans adalah seorang pembohong yang tidak tertolong. Kesimpulan yang diambil hakim sudah jelas. Pada juri kesalahan Evans itu seperti sudah ditekankan.

Pada tanggal 13 Januari 1950, juri, seperti sudah diharapkan oleh umum, menganggap Evans bersalah membunuh anaknya. Karena itu ia oleh hakim dijatuhi hukuman mati. Evans tenang, akan tetapi Christie langsung menangis. Di luar ruang sidang ibu Evans berteriak pada Christie, “Pembunuh, pembunuh!” 

Nyonya Christie menjawab, “Jangan berani menyebut suami saya seorang pembunuh! Ia orang baik.” Christie hampir saja pingsan.

Permintaan naik banding ditolak pada tanggal 20 Februari. Di Penjara Pentonville, Evans seperti acuh tidak acuh. Ia tenang-tenang saja. Selera makannya dan tidurnya baik, begitu pula kelakuannya. Para dokter dan petugas penjara menilainya sebagai orang yang primitif akan tetapi bukan jahat. Tidak seorang pun berpendapat bahwa ia tidak tahu apa yang dikerjakannya. Ia tidak merasa salah. Berkali-kali ia berkata bahwa Christielah si pembunuh.

Menteri dalam negeri menyarankan kepada raja untuk menolak permintaan ampun. “Hukum harus dijalankan.” Pada tanggal 9 Maret 1950 Evans dihukum mati di Pentonville.

Bagaimana selanjutnya?

Suami istri Christie masih saja menghuni rumah Rillington Place 10 sesudah Evans dihukum mati. Mereka tetap tinggal di situ, meskipun rumah tadi sudah dijual kepada seorang penjaga pintu hotel yang berasal dari Jamaika. Pemilik baru menyewakan kedua tingkat teratas pada orang-orang setanah airnya. Christie sering sakit dan pada musim semi serta musim panas 1952 beberapa bulan lamanya ia dirawat di rumah sakit. Musim gugur 1952 ia mulai bekerja kembali. Tetapi pada tanggal 6 Desember ia berhenti lagi dan menyatakan ia ingin pindah ke sekitar Sheffield. Bulan Maret akan mencari pekerjaan di situ.

Pada tanggal 12 Maret, hari Jumat, orang melihat Nyonya Christie berada di luar rumah untuk terakhir kali. Ia memberikan cucian ke perusahaan mencuci, akan tetapi tidak pernah mengambilnya kembali. Beberapa lama sebelum Natal, kakaknya mendapat surat dari Christie, yang menerangkan bahwa istrinya menderita reumatik di buku-buku jari-jari dan tidak dapat menulis sendiri. Namun selain daripada itu, ia sehat-sehat saja.

Ia juga menulis surat kepada abang istrinya dan menandatangani surat dengan nama istrinya dan namanya sendiri. Ia bercerita kepada seorang tetangga bahwa ia akan segera pindah ke Sheffield dan menyampaikan salam istrinya. Seorang wanita muda yang berasal dari Jamaika melihat bahwa Christie setiap pagi menyemprotkan disinfektan di rumah dan halaman. Pada tanggal 8 Januari, ia menjual perabot rumah tangga kepada orang yang dulu membeli barang-barang Evans. Ia juga berhasil mengambil uang simpanan di bank yang disimpan atas nama istrinya.

Pada pertengahan bulan Maret, Christie menawarkan rumahnya kepada Nyonya Reilly yang sedang mencari rumah. Suaminya membayar persekot untuk 3 bulan sewa. Pada tanggal 20 Maret Christie keluar dari rumahnya. Akan tetapi karena si pemilik rumah tidak setuju suami istri Reilly tinggal di tempat bekas Christie, mereka tidak bisa tinggal di sana. Tempat itu kemudian disewakan kepada orang-orang yang datang dari Jamaika.

Penyewa yang baru pada tanggal 24 Maret ingin menaruh radio di dapur. Ia menemukan tempat di dinding yang seperti kosong kalau diketok-ketok. Karena rasa ingin tahu, ia melepaskan kertas perekat dinding dan tiba-tiba melihat punggung mayat telanjang di sebuah tempat yang dalam. 

Polisi yang segera dipanggil menentukan bahwa itu adalah mayat seorang wanita. Mayat diletakkan di sebuah tumpukan kotoran dengan punggungnya menghadap ke dapur. Kepala mayat menunduk, pada hidungnya ditemukan bekas-bekas darah. Waktu mayat itu diambil dari tempat tadi, ditemukan mayat kedua, yang dibungkus dalam selimut berwarna gelap. Kemudian masih ditemukan mayat ketiga. Malam itu, polisi yang memeriksa rumah dengan teliti, masih menemukan mayat keempat, yang terdapat dalam kotoran yang ada di bawah lantai kayu di ruang depan: mayat Nyonya Christie.

Ketiga mayat yang ditemukan di dalam dinding adalah wanita-wanita tunasusila usia 20 hingga 30 tahun. Ketiganya tampaknya diracuni dengan gas yang keras, meskipun tidak mematikan. Dapat dilihat bahwa sebelum ajalnya ketiga wanita itu tidak memberi perlawanan. Mereka kemudian dicekik. Pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa sewaktu ajal mereka, ataupun segera sesudahnya, telah terjadi senggama.

Tidak memerlukan waktu lama untuk mengenal kembali ketiga wanita tunasusila itu. Nama mereka Hectorina MacLennan, Kathleen Maloney, dan Rita Nelson. Mereka baru dinyatakan hilang beberapa minggu atau bulan (kira-kira 20, 50 dan 70 hari). Pada mayat Nyonya Christie tidak ditemukan peracunan oleh gas. Akan tetapi ia juga dicekik. Ajalnya tiba kira-kira 12 atau 15 minggu sebelumnya.

Di mana Christie berada waktu ditemukan hal-hal yang mengejutkan ini, tidak diketahui orang. Gambarnya disebar luaskan di semua koran. Meski begitu, ia belum ditemukan. 

Sesudah rumah diperiksa dari atas ke bawah, kini orang juga memeriksa halaman. Di tempat tanaman kembang, pada tanggal 27 Maret 1953, ditemukan banyak tulang belulang. Polisi menetapkan bahwa itu adalah tulang belulang manusia. Juga ditemukan rambut manusia. Tulang yang dipakai sebagai penyangga pagar halaman, ditentukan sebagai tulang paha manusia. Semua dibawa ke Lembaga Kedokteran Pengadilan Scotland Yard. Sesudah itu diperiksa di dua lembaga lagi. Ternyata tulang-tulang dua wanita.

Sementara itu juga ditemukan gigi palsu seperti buatan Jerman atau Austria. Fakta ini lekas menolong mengungkapkan identitas mayat wanita pertama yang ditemukan di halaman. Ternyata itu adalah sisa-sisa seorang siswi perawat bernama Ruth Margarete Christine Fuerst, yang dianggap hilang sejak tahun 1943. Kerangka lain kepunyaan Muriel Amelia Eady, yang pada tahun 1944 hilang waktu berusia 32 tahun. Mereka dua wanita yang mempunyai nama baik.

Muriel Eady berkenalan dengan Christie di kantin pabrik tempat Christie dahulu bekerja. Terakhir ia dilihat orang pada tanggal 7 Oktober 1944. Karena pengusutan mengenai tempat tinggalnya tidak berhasil, orang menyangka bahwa ia tewas kena bom yang berjatuhan di London.

Mungkin kedua mayat itu tidak pernah akan ditemukan, jika gairah membunuh pada Christie tidak timbul kembali. Bahwa di halaman terkubur dua mayat wanita selama 10 tahun, tidak mengganggu ketenteraman jiwanya. Begitu pula kenangan pada Evans, penghuni serumah yang dihukum gantung hampir 3 tahun sebelumnya.

Sesudah keenam mayat itu ditemukan, polisi mulai bertanya, bagaimana Christie bisa membujuk kelima wanita yang tidak dikenalnya itu masuk rumah. Di daerah di mana ia tinggal, ia terkenal sebagai penggugur kehamilan. Biarpun tidak ada bukti, omongan orang sudah cukup untuk mendatangkan wanita-wanita ke rumahnya. Katanya Nyonya Christie membantu suaminya pada waktu ia menjalankan pengguguran, tetapi sama sekali tidak ada bukti.

Biarpun banyak koran memuat gambar Christie, ia lama ditemukan. Pada hari tanggal 31 Maret, seorang petugas polisi melihat seorang lelaki di tepi Sungai Thames sedang membungkuk di pagar memandang ke depan. Lelaki itu memakai topi, karena itu mukanya tidak mudah dikenal. 

Petugas polisi mendekatinya dan bertanya, “Apa yang Anda kerjakan di sini? Apakah Anda mencari pekerjaan?” Lelaki itu mengangguk. Si petugas kemudian bertanya siapa namanya. 

Lelaki itu menyebutkan nama dan petugas bertanya, “Apakah Anda mempunyai surat-surat tanda pengenal?” 

Jawaban yang diberikan, “Tidak satu pun.” Petugas meminta orang yang tak dikenal itu agar membuka topi. Sesudah itu ia tidak ragu-ragu lagi, pria itu Christie!

Waktu mereka sedang dalam perjalanan ke kantor polisi, Christie mengambil dompet dan di dalamnya petugas menemukan kartu pengenal, lalu kartu-kartu makanan untuk dia dan istrinya dan masih ada kartu-kartu pengenal lainnya. Waktu badannya diperiksa masih ditemukan lagi kartu-kartu pengenal lain, sehingga identitasnya sudah tidak salah lagi.

Di kantor polisi mula-mula Christie diberi cukup sarapan. Kemudian datanglah para petugas Scotland Yard untuk mengadakan interogasi. Christie mengambil taktik yang masih terus dipegangnya hingga mati: ia berdusta, melebih-lebihkan atau menyatakan bahwa ia sudah tidak dapat mengingat apa-apa lagi.

Tetapi tanggal 31 Maret, Christie mulai memberi pengakuannya yang pertama. Katanya pada tanggal 14 Desember 1952 ia bangun jam 8 pagi dan melihat istrinya terguncang-guncang kesakitan seperti menderita kejang di tempat tidur. Mukanya biru dan seperti kurang udara. Ia membantu sekuat tenaga agar istrinya dapat bernafas dengan baik, akan tetapi tidak ada harapan. Karena ia tidak tahan melihat istrinya menderita, ia mengambil kaos panjang dan mengikatnya di leher istrinya. Ia melihat bahwa istrinya itu mungkin menghabiskan dua bungkus obat tidur. Istrinya kemudian tercekik. Mayatnya ditinggalkannya dua atau tiga hari di tempat tidur dan kemudian diletakkan di bawah lantai kayu di kamar depan rumah.

Waktu diadakan pemeriksaan mayat, di badan Nyonya Christie tidak ditemukan bekas obat tidur sedikit pun. Tetapi sudah pasti bahwa ia dicekik. Memang tidak dapat diragukan lagi bahwa hal itu telah dilakukan dengan rencana terlebih dahulu. Tidak ada bukti sama sekali bahwa matinya itu disebabkan “kasihan”. Christie telah membunuh istrinya dengan sengaja.

Menurut Christie, Kathleen Maloney menegurnya di jalan, mengganggunya, dan akhirnya ikut dengannya ke rumah. Di situ Kathleen bertengkar dengannya dan mengambil wajan bertangkai untuk memukul Christie. Waktu sedang saling memukul, Kathleen jatuh ke sebuah kursi tempat ada tali menggantung. “Saya tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi mungkin saya gelap mata. Saya hanya ingat bahwa Kathleen terbaring di kursi tadi dengan tali melingkar leher.” Kemudian ia mungkin telah menyembunyikannya ke dalam dinding, sesudah membuka papan yang ada di dinding.

Beberapa waktu sesudah itu ia berkenalan dengan Rita Nelson di sebuah restoran. Rita mencari rumah bersama temannya, dan karena ia mendengar bahwa Christie akan pindah rumah, Rita datang ke rumahnya untuk melihat-lihat. Di rumah itu ia bertengkar dengan Christie dan menyerangnya. Ia ingat bahwa terjadi sesuatu. Tiba-tiba saja Rita terbaring mati di lantai.

Tidak lama kemudian, ia berkenalan dengan seorang lelaki dan seorang wanita, yang menceritakan bahwa mereka harus keluar dari rumah mereka dan harus mencari tempat tinggal lain. Christie menawarkan mereka untuk tinggal bersamanya. Mereka pun beberapa hari tinggal bersamanya, lalu pergi lagi mencari rumah. Si wanita, Hectorina McLean, kembali ke rumah Christie untuk menunggu teman lelakinya di situ. Christie memegang lengannya dan menyuruhnya keluar rumah. Karena itu, mereka saling memukul. Si wanita jatuh ke lantai dan agaknya gaunnya mencekik leher. Waktu Christie memegang pergelangan tangannya, ia sudah sekarat. Christie menaruhnya di belakang dinding juga.

Ia masih tinggal 3 minggu di dalam rumahnya, kemudian pergi tidak menentu di London. 

Yang aneh di dalam pengakuan ini adalah tidak ada pengakuan mengenai peracunan gas ataupun pemerkosaan. Christie tidak menduga bahwa ahli medis dapat membuktikan hal itu.

Christie, yang pada tanggal 1 April dimasukkan ke Penjara Brixton, dituduh membunuh istrinya serta tiga wanita lain yang disimpannya di dinding. Ia kemudian dihadapkan ke pengadilan untuk diadili.

Pada tanggal 22 April untuk pertama kali didengarnya bahwa di halamannya ditemukan dua kerangka. Ia langsung mengaku bahwa ia sendiri yang membunuh kedua wanita itu. 5 hari kemudian, ia menceritakan kepada pembelanya dan kepada seorang dokter yang diminta oleh pembela untuk hadir, bahwa ia juga bertanggung jawab untuk kematian Nyonya Evans. Akan tetapi tentang pembunuhan Geraldine yang berumur 14 bulan, ia tidak tahu-menahu.

Akhir Mei, Christie dibawa ke psikiater. Semua dokter yang memeriksanya berkesimpulan bahwa Christie sangat abnormal. Tetapi meskipun demikian, ia masih boleh dimintai pertanggungjawaban.

Waktu diminta keterangan tentang wanita-wanita yang mayat-mayatnya dikubur di halaman, ia pertama-tama bicara tentang Ruth Fuerst, seorang wanita Austria. Wanita itu dikenalnya selama musim panas 1943. Ruth sering mengunjunginya selama istrinya tidak ada di rumah. Pada salah satu kesempatan itu, ia mencekiknya saat sedang bersenggama dengannya. Mayatnya tadinya disembunyikan di bawah kayu-kayu di rumahnya, kemudian di ruangan cuci, dan akhirnya di halaman.

Muriel Eady dijumpainya di bulan Desember 1943 di sebuah pabrik radio tempat ia bekerja. Antara keduanya segera terjalin hubungan persahabatan. Ia membawa wanita itu untuk diperkenalkan kepada istrinya dan si wanita memperkenalkannya ke keluarganya. Waktu ia mendengar bahwa wanita muda itu menderita penyakit yang kronis, ia menawarkan untuk menyembuhkannya. Ia meminta wanita itu datang ke rumahnya, sementara istrinya sedang bepergian, dan disambungkan wanita tadi pada sebuah alat yang dibuatnya sendiri. Tabung gelas segi empat dengan tutup metal berlubang dua. Melalui saluran karet ke lubang yang satu dimasukkan Friars Balsam (balsam untuk disedot) dan melalui saluran lain gas untuk masak. Friars Balsamnya hanya di gunakan untuk menutup bau gas. Nona Eady menutup kepalanya dengan kain dan enak saja menghirup balsam dan gas. la segera pingsan. 

“Saya hanya samar-samar ingat, bahwa saya mengambil kaos panjang dan mengikatnya di leher. Saya tidak tahu betul. Mungkin saya bersenggama dengannya waktu saya mencekiknya. Saya menaruhnya di ruangan cuci. Malam itu juga saya kuburkan dia di halaman.”

Akhirnya, pada tanggal 8 Juni 1953, Christie mengaku terang-terang bahwa ia yang membunuh Nyonya Evans. Tadinya waktu diperiksa polisi, hal ini disangkalnya. Akan tetapi di akhir April diakuinya pada pembelanya dan Dr. Hobson. Pada permulaan bulan November 1949, ia menemui Nyonya Evans di dapurnya. Nyonya itu sedang mencoba membunuh diri dengan gas. Segera ia membuka pintu dan jendela agar gas keluar. Hari berikutnya Nyonya Evans menyatakan bahwa ia ingin berhubungan intim dengan Christie, akan tetapi ia tidak sanggup karena badannya lemah. Kemudian Nyonya Evans meminta agar Christie membantunya bunuh diri. Christie mendekatkan saluran ke kepala Nyonya Evans dan gasnya disalurkan. Waktu ia jatuh pingsan, tampaknya Christie mencekiknya. “Sepertinya terjadi dengan sebuah kaos panjang, yang telah saya temukan di ruangan.” Sesudah itu ia pergi ke bawah, ke istrinya.

Malam hari ia menceritakan kepada Evans bahwa istri Evans telah bunuh diri dengan gas. Ia masih menambahkan bahwa tentu saja Evans akan dituduh melakukannya karena Evans selalu bertengkar dengan istrinya. Lalu Evans setuju untuk membawa mayat si istri dengan truknya dan menguburkannya di mana saja. Akan tetapi Christie membawa mayat ke ruangan cuci.

Ahli medis tidak menemukan bekas gas waktu mengautopsi Nyonya Evans. Hal itu berlawanan dengan cerita Christie. Ahli-ahli lain menyatakan bahwa jika terjadi sebagaimana diceritakannya, maka Christie sendiri pun akan keracunan gas. Yang tidak mungkin ialah bahwa wanita-wanita muda tidak mengadakan perlawan waktu diracuni dengan gas.

Perkara Christie disidangkan di sebuah pengadilan di London. Dimulai tanggal 22 Juni 1953 dan lamanya 4 hari. Hakimnya Justice Finnmore. Karena perhatian besar dari pihak umum, maka jaksa tinggi Sir Lionel Heald sendiri yang menjadi penuntut. Pembelaan ditangani oleh Derek Curtis Bennet. Bagi penuntut dan pembela, masih didampingi dua orang ahli hukum.

Di Inggris, jika seseorang melakukan lebih dari satu pembunuhan dan dihadapkan ke pengadilan, maka hanya bisa dihukum untuk satu pembunuhan saja. Christie dituntut karena pembunuhan yang dilakukannya terhadap istrinya yang berusia 54 tahun yang telah dinikahinya 32 tahun. Tertuduh mengaku tidak bersalah.

Di kalangan umum telah ada sangkaan,bahwa sesudah Christie mengaku membunuh Nyonya Evans, maka Evans merupakan korban kesalahan peradilan. Oleh karena itu penuntut menekankan bahwa Evans diadili karena membunuh anaknya, tidak karena membunuh istrinya. 

Penuntut bertanya kepada petugas Scotland Yard yang telah memeriksa perkara itu, “Apakah Anda mempunyai persangkaan bahwa Evans digantung sebagai orang tidak bersalah?” 

“Sama sekali tidak.”

Penuntut memanggil semua saksi: petugas polisi yang memeriksa perkara Christie, sanak keluarga suami istri Christie, penghuni-penghuni serumah, pedagang, orang-orang yang punya sangkutan dengan mereka, dan dokter keluarga Christie.

Dokter Matthew Odess menceritakan bahwa ia telah merawat Christie sejak 1934. Keadaan kesehatan Christie sudah sejak bertahun-tahun menurun. Ia menderita reumatik otot, masalah usus, depresi dan lemah saraf, sering sakit kepala, tidak bisa tidur, dan kadang-kadang lemah ingatan. Semuanya itu ciri-ciri seorang yang neurosis.

Pembela kemudian membacakan sebuah surat, yang ditujukan Dr. Odess pada sebuah klinik pada tanggal 18 Maret 1952. Dalam surat itu ditulis, “Saya ingin menekankan bahwa ia pria yang hidup baik-baik, menyendiri, bekerja keras, dan sangat bertanggung jawab. Keinginannya ialah agar segera dapat kembali ke tempat kerjanya.” Bulan Maret atau April 1952, Christie dinasihati dokter agar menjalankan pemeriksaan khusus di sebuah klinik psikiatris, akan tetapi ia menolak mengikuti nasihat itu.

Untuk pembelaan, Curtis Bennett mendasarkan pembicaraan atas tesis bahwa tertuduh mungkin sakit jiwa. 

Pembela lalu memanggil tertuduh sendiri. Jawaban Christie samar-samar dan berbelit-belit. Ia selalu menyatakan bahwa ia tidak ingat lagi apa yang telah ia kerjakan. Mungkin ia membangkitkan kesan bahwa ia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Ia berbicara begitu perlahan, sehingga hakim menyuruh menaruh mikrofon di mukanya. Tidak ada hal yang baru yang diungkapkan Christie. Christie tetap menyatakan bahwa ia tidak membunuh anak Evans.

Meskipun tertuduh berusaha keras meyakinkan pengadilan bahwa ia tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya, ia gagal. Segera saja juri mendapat kesan bahwa mereka berhadapan dengan seorang pembunuh yang buas dan keji. Mereka teringat bahwa menurut keterangan ahli medis, tertuduh selalu mendapat kesukaran dalam berhubungan seksual. Impotensinya ini telah memberinya perasaan rendah diri yang sedemikian mencekam. Sehingga keinginannya untuk mempunyai perasaan lebih, menyebabkan ia membunuh wanita-wanita yang telah menjadi saksi ketidakmampuannya itu. 

Yang tidak dimengerti ialah mengapa ia membunuh istrinya sendiri. Mungkin istrinya mengetahui terlalu banyak dan disingkirkan karena dianggap saksi yang berbahaya.

Di samping Christie sendiri, pembela hanya menghadapkan seorang saksi ke pengadilan, yakni psikiater Dr. Hobson, dokter ahli terkenal di London. Ahli ini melukiskan tertuduh sebagai seorang lelaki yang mudah histeris, yang kadang-kadang kehilangan suaranya. Gejala-gejala pertama tidak normal ini sudah terlihat pada tahun 1918. Menurut Dr. Hobson, keseimbangan jiwa Christie ini diguncangkan oleh pengalaman-pengalaman seksual yang tidak membahagiakan dan bahwa beberapa pengalaman mengejutkan, mengembangkan penyakit jiwanya lebih lanjut.

“Saya berpendapat bahwa Christie itu sejak dulu seorang yang gagal dalam kehidupan seksual dan tidak mampu melakukan senggama dengan baik. Kekurangan ini tidak bisa diatasinya.”

Lebih lanjut ahli menyatakan, bahwa tertuduh suka “salah ingat” karena ia ingin melupakan kejadian-kejadian itu dan mencoba untuk menghilangkan kejadian-kejadian itu dari ingatannya. Kadang-kadang ia seperti berdusta. Sebenarnya ia menderita penipuan pada diri dan yakin bahwa apa yang diceritakannya itu benar. Oleh karena itu orang tidak dapat mempercayai apa yang diterangkannya, jika tidak dibuktikan.

Pembela mengingatkan dokter pada pernyataan Christie, bahwa pada saat ia melakukan ketujuh pembunuhan itu ia tidak mengetahui apa yang dikerjakannya. Pembela bertanya pada dokter apakah dokter dapat menerima keterangan itu. Dr. Hobson mengatakan tidak seraya ditambahkan, “Saya menganggap ia tidak tahu benar, apakah yang dilakukan itu, tidak baik.” Dokter tetap pada pendirian itu, pada waktu penuntut dalam pemeriksaan selanjutnya mencoba untuk merubah pendiriannya.

Berdasarkan keterangan tadi, ada kemungkinan Christie bisa bebas. Oleh karena itu penuntut menganggap perlu menghadapkan dua ahli untuk melawan ahli pihak pembela. Ahli pertama ialah Dr. Matheson, kepala dokter di Penjara Brixton, di mana Christie ditahan sejak 1 April 1953. Ahli kedua adalah psikiater dari London, Dr. Curran.

Juga Dr. Matheson melukiskan tertuduh sebagai seseorang yang bertabiat lemah dan mudah histeris. Ketidakmampuan seksual itu telah sangat memberatkannya dan memberikan perasaan rendah diri. Akan tetapi dokter dengan segera menambahkan bahwa itu bukanlah penyakit jiwa. “Orang yang histeris itu mengidap neurosis atau psikoneurosis. Dan itu menurut saya lebih bersifat suatu kekurangan dalam watak, dalam kepribadian, daripada suatu penyakit jiwa....” 

Waktu ditanyakan bagaimana keadaan jiwa Christie waktu ia membunuh istrinya, maka dokter menjawab tegas, “Saya kira ia mengerti benar apa yang telah dikerjakannya. Ia mengerti bahwa yang telah dilakukannya itu melawan hukum.” Dokter tetap berpendirian demikian, juga waktu pembela menyatakan bahwa tertuduh tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena dalam kejadian-kejadian itu juga terjadi hal-hal yang sangat aneh, misalnya senggama dengan korban sesudah mereka meninggal. Tentu ini menyangkut sesuatu yang tidak normal. Akan tetapi seorang lelaki yang telah membunuh tujuh orang, tidak bisa dianggap tidak bertanggungjawab atas perbuatannya, hanya karena ia menyatukan pembunuhan dengan pemerkosaan.

Dr. Curran menyatakan hal yang sama. Christie mudah histeris, akan tetapi tidak bisa dianggap mengidap penyakit jiwa. “Baik sebelum maupun sesudah kejahatan tampak jelas, bahwa Christie tahu benar apa yang ia kerjakan dan ia tahu juga bahwa hal itu salah.” Mengenai hilang ingatan harus ditanggapi dengan hati-hati. “Seperti penjahat lain, ia dapat saja membuang yang tidak menyenangkan dari ingatannya.”

Dalam pledoi terakhir, Curtis-Bennett sebagai pembela masih sekali lagi menyatakan bahwa tertuduh sewaktu melakukan kejahatan-kejahatan tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban karena ia tidak sadar telah berbuat sesuatu yang tidak benar, seperti dikatakan Dr. Hobson. Seseorang yang sehat ingatannya tidak akan berbuat seperti Christie, misalnya saja ia menyuruh orang tinggal berhari-hari di rumahnya meskipun di situ ada beberapa mayat. 

Untuk membunuh istrinya pun tidak ada motif yang jelas. Ia pun telah meninggalkan rumah tanpa menyingkirkan mayat-mayat dengan kemungkinan perbuatannya terungkap. Akhirnya pada waktu ia ditangkap, ia membawa surat-surat tanda pengenal cukup banyak. Seorang pembunuh biasa ia tidak akan berbuat demikian. Hanya orang yang sakit jiwa akan berlaku seperti dilakukan tertuduh.

Tuntutan yang dikemukakan penuntut hanya pendek saja. Tidak mungkin Christie membunuh istrinya karena belas kasihan. Ia mencekik wanita itu dengan rencana yang matang. Sesudah itu ia membohong untuk menimbulkan kesan bahwa istrinya masih hidup. Christie bertanggung jawab penuh untuk perbuatannya dan bahwa ia tahu betul bahwa perbuatannya salah. Ini berdasarkan pendapat kedua ahli medis terakhir.

Juri berunding setengah jam lamanya dan memutuskan Christie bersalah melakukan pembunuhan. Itu terjadi pada tanggal 25 Juni 1953. Christie tidak naik banding. 

Bagaimana soal Evans?

Waktu surat-surat kabar memuat keputusan, di kalangan masyarakat timbul perasaan tidak enak. Mereka bertanya-tanya apakah Timothy Evans digantung karena perbuatan yang dilakukan Christie? 

Christie menerangkan di pengadilan bahwa ialah yang membunuh Nyonya Evans. Jika itu benar, maka dapat dianggap bahwa ia juga pembunuh anak Evans.

Ibu Evans, Nyonya Probert, kemudian meminta pertolongan seorang anggota parlemen agar pemeriksaan dibuka kembali. Anggota parlemen tersebut dan rekan-rekannya berhasil mewujudkan keinginan Nyonya Probert. 

John Scott Henderson, diberi perintah oleh Menteri Dalam Negeri Sir David Maxwell Fyfe, pada tanggal 6 Juli 1953 untuk menentukan apakah telah terjadi suatu miscarriage of justice, suatu kesalahan peradilan. Ia diberi bantuan dua ahli hukum. Karena 15 Juli sudah ditentukan sebagai tanggal pelaksanaan hukuman, maka pemeriksaan sudah harus selesai sebelum tanggal itu. Pengusutan tidak dikerjakan secara terbuka. Henderson membaca bahan perkara yang sangat banyak dan mendengar keterangan 23 saksi. Pada tanggal 9 Juli ia juga mendengar kesaksian Christie, yang keterangannya berbelit-belit dan tidak mengungkapkan hal-hal baru. Ketika ditanyakan apakah ia ada sangkut pautnya dengan kematian Nyonya Evans, Christie sekarang menjawab, “Saya tidak dapat mengaku dan tidak dapat mengingkari!” Pada tanggal 29 dan 30 Juni ia mengaku kepada pendeta penjara, bahwa ia tidak membunuh anak Evans dan bahwa ia mengira jika ia juga tidak membunuh Nyonya Evans. Jika dalam sidang ia menyatakan sebaliknya, maka hal ini hanya karena pengakuan itu berguna. “The more the merrier.” Lebih banyak lebih baik, katanya. 

Pada tanggal 13 Juli, Henderson mengakhiri pemeriksaan. Ia menarik kesimpulan, bahwa tidak dapat diragukan lagi, Evans bertanggung jawab atas kematian anak perempuannya dan juga atas kematian istrinya. Pengakuannya yang ketiga dan yang terakhir dapat dipercaya dan dapat dibuktikan. Jika Christie dalam perkara menyatakan sebaliknya, yaitu mengaku bersalah membunuh Nyonya Evans, maka keterangan ini bukan saja tidak dapat dipercaya akan tetapi juga tidak dapat dibuktikan. Maka tidak ada terjadi miscarriage of justice.

Keterangan Henderson diajukan ke parlemen tanggal 14 Juli 1953. Pada tanggal 15 Juli Christie dihukum mati. Sesudah hukuman mati, perkara tetap saja menarik perhatian.

Sejak tanggal 29 Juli, di parlemen diajukan debat. Beberapa anggota partai buruh memberi kritik keras pada Henderson karena tidak mendengar keterangan dari seorang pekerja yang keluar masuk ruang cuci. Pernyataan Evans, bahwa ia sendiri menyembunyikan kedua mayat di ruangan cuci, mungkin disarankan polisi. Anggota-anggota parlemen berpendapat bahwa aneh sekali di Rillington Place nomor 10 ada dua pembunuh, yang membunuh korban-korban dengan cara yang sama dan disembunyikan di tempat-tempat yang sama pula. Padahal penjahat-penjahat dikatakan berlaku sendiri-sendiri. Kritik keras juga dilemparkan, mengapa pemeriksaan dilakukan dalam beberapa hari saja, tanpa mengikutsertakan umum dan ahli hukum. Mengapa begitu tergesa-gesa dan kemudian disusul dengan pelaksanaan hukuman mati? Apakah mereka ingin mencuci tangan untuk membela polisi?

Menteri dalam negeri, David Maxwell Fyfe, berhadapan dengan para pengkritik dan membantah keras. Atas pertanyaan mengapa pelaksanaan hukuman mati tidak ditangguhkan, ia menjawab bahwa ia tidak melakukan itu atas dasar perikemanusiaan. Seseorang yang jelas mengetahui bahwa ia harus mati, tidak boleh dibiarkan menunggu-nunggu.

Hal ini menyebabkan Henderson mengumumkan keterangan tambahan pada tanggal 28 Agustus.

Pada tanggal 5 November 1953 sekali lagi ada debat di parlemen, yang menuduh Henderson kurang memperhatikan hal-hal yang meringankan keadaan Evans. Sekali lagi ditugaskan pemeriksaan. 

Keragu-raguan bahwa Evans diadili dengan benar masih besar selama beberapa waktu sesudah itu. Orang-orang berpendapat bahwa jalan persidangan Evans akan lain, jika diketahui bahwa Christie itu seorang pembunuh ganda. Mungkin Evans pada waktu itu akan bebas ataupun hanya dihukum karena memberi bantuan saja. Memang sudah nasibnya, bahwa polisi merasa puas hanya dengan pemeriksaan tidak menyeluruh di rumahnya. Andai kata ditemukan mayat-mayat di halaman, maka Evans tidak akan digantung, mungkin sama sekali tidak akan dihukum.

Makin lama pendapat masyarakat di Inggris makin keras, bahwa Evans sebenarnya tidak usah dihukum mati. Para penentang hukuman mati tidak melewatkan kesempatan untuk memperkeras perjuangan mereka untuk menghapuskan hukuman mati. Politisi, ahli-ahli hukum, dan dokter-dokter yang terkenal memberikan pendapat mereka dalam bentuk tulisan-tulisan dan lebih memperkuat keraguan. Kini dapat dikatakan, bahwa hukuman mati yang dijatuhkan pada Evans, tidak disetujui dan ditolak di Inggris.

(Gerhart Herrmann Mostar dan Robert A. Stemmle)

Baca Juga: Cerita di Belakang Seorang Bintang Panggung

 

" ["url"]=> string(73) "https://plus.intisari.grid.id/read/553761001/perkara-yang-berekor-panjang" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1684218487000) } } [3]=> object(stdClass)#130 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3761012" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#131 (9) { ["thumb_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/apakah-dia-jack-the-ripperjpg-20230511110430.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#132 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(123) "George Chapman dituduh membunuh tiga wanita dengan racun. Banyak orang mengaitkan pembunuh keji itu dengan Jack the Ripper." ["section"]=> object(stdClass)#133 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(110) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/apakah-dia-jack-the-ripperjpg-20230511110430.jpg" ["title"]=> string(27) "Apakah Dia Jack the Ripper?" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 11:04:38" ["content"]=> string(30426) "

Intisari Plus - George Chapman dituduh membunuh tiga wanita dengan racun. Banyak orang mengaitkan pembunuh keji itu dengan Jack the Ripper yang terkenal sadis di London.

---------------

Jika seseorang akan dibunuh dengan racun, maka biasanya pembunuh memilih arsenikum. Sudah sejak beratus-ratus tahun, arsenikum merupakan “racun khas” untuk membunuh.

Pada tahun 1903 seorang pria setengah baya dihadapkan ke pengadilan di London. la dituduh membunuh tiga orang wanita dengan racun. Bukan arsenikum, melainkan antimonium. Cara-caranya pembunuhan menimbulkan sangkaan bahwa ketiga pembunuhan itu dilakukan oleh seorang penjahat saja. Apakah sangkaan ini mempunyai dasar, masih belum terjawab.

Tertuduh berusia 37 tahun, berasal dari Polandia dan bernama Severin Klosowski. Tetapi ia menamakan dirinya George Chapman dan diadili dengan nama itu. Di usia 15 tahun ia mulai belajar pada seorang mantri kesehatan di negara asalnya. Ia tamat belajar sebagai pembantu mantri dan penata rambut. Kemudian ia meneruskan pendidikan pada sebuah klinik. Sesudah mengabdi 1,5 tahun di ketentaraan, ia berimigrasi ke Inggris. Ia tiba kira-kira musim semi tahun 1887.

Di London tadinya ia mencari nafkah sebagai pembantu penata rambut, kemudian membuka salon di daerah Tottenham. Tetapi tidak lama kemudian usahanya itu gagal. la pergi ke tempat lain untuk menjadi pembantu penata rambut lagi. 

Pada bulan Agustus 1889, Klosowski menikah dengan seorang wanita Polandia bernama Lucy Barski. Tidak lama sesudah pernikahan, seorang wanita datang dari Polandia dan menyatakan bahwa dialah istri pria itu. Kedua wanita hidup bersama dengannya selama jangka waktu tertentu, lalu wanita yang datang terakhir kembali ke tanah airnya. Klosowski berimigrasi dengan istrinya yang lain ke Amerika Serikat.

Karena mereka tidak cocok, beberapa bulan kemudian si istri kembali ke Inggris. Suaminya menyusulnya tahun 1893. Di London mereka rujuk kembali dan mempunyai dua orang anak. Karena sering suaminya tidak setia, istrinya meninggalkannya. Mereka hidup terpisah.

Kini Klosowski menjalin hubungan dengan seorang wanita muda bernama Annie Chapman dan hidup bersama selama setahun. Sesudah wanita itu meninggalkannya, ia menamakan dirinya George Chapman. Dengan penukaran nama ini tampaknya ia ingin menghindari tuntutan-tuntutan banyak wanita yang telah ia hubungi selama beberapa tahun. Ia tidak mau mengaku pernah memakai nama yang terdahulu, juga kepada para petugas. Menurut undang-undang Inggris, seseorang dapat mempunyai nama baru jika sudah dipakai terus-menerus. Jika ini terjadi, maka nama lama hilang.

Sesudah berpisah dengan Annie Chapman, Chapman berkenalan dengan Nyonya Spink. Wanita tadi masih menjadi istri seorang kuli bernama Spink, yang baru saja meninggalkannya karena si istri pemabuk.

Sesudah Chapman pindah pondokan ke keluarga Ward, Nyonya Spink dan Chapman sering terlihat bersama-sama. Chapman menerangkan kepada orang lain bahwa mereka akan segera menikah. Di bulan Oktober 1895, mereka menyatakan kepada kenalan dan kawan-kawan bahwa mereka telah menikah. Padahal keterangan ini bohong, karena keduanya belum bercerai dengan pasangan masing-masing.

Nyonya Spink memiliki sedikit uang yang mereka pakai membeli salon. Ia membantu “suaminya” melayani langganan. Kadang-kadang ia juga mencukur langganan. Waktu itu belum biasa wanita mengerjakan hal itu.

Waktu usahanya tidak begitu maju, Nyonya Spink membeli piano dan bermain sambil suaminya melayani pelanggan. Karena “penataan rambut dengan musik” ini, salon itu terkenal di seluruh bagian kota dan menarik banyak langganan. Karena itulah Chapman banyak mendapat uang, sehingga ia mampu membeli perahu.

Di antara pelanggannya, ada seorang penjual obat. Chapman meminta padanya agar diberikan “tartar emetic”, racun antimonium. Si penjual obat menjual 30 gram racun yang jarang diminta itu. Ia memberikannya dalam botol dengan tulisan “racun”. Bersamaan dengan penjualan itu, ia juga menyuruh Chapman menandatangani buku racun. Chapman memberi tanda tangan dan menuliskan kata-kata yang sukar dibaca pada kolom yang isinya keterangan untuk maksud apa racun itu dibeli.

Salon kembali mengalami kemunduran, terutama karena Nyonya Spink pemabuk. Akhirnya salon terpaksa dijual.

Dalam tahun 1897, Chapman membeli restoran kecil di London dengan nama “Prince of Wales”. Nyonya Spink seorang wanita yang relatif sehat, tapi saat itu ia merasa sakit sekali jika sedang mendapat haid. Dalam waktu singkat, kesehatannya makin memburuk. Ia sering muntah-muntah hebat, bergantian dengan sakit rahim yang tidak tertahankan. Seorang tetangga yang diminta bantuan oleh Chapman, akhirnya memanggil seorang dokter. Dokter tidak begitu memedulikan keadaan si sakit. Nyonya Spink makin lama makin lemah dan meninggal pada tanggal 25 Desember 1897.

Di mata temannya, kematian ini dianggap sebagai akhir penderitaan yang teramat besar. Chapman pingsan, tidak dapat dihibur dan semua orang kasihan kepadanya. Tetapi meskipun demikian, restorannya dibuka pada hari itu juga. Dokter segera saja mengeluarkan surat kematian dengan sebab kematian ayan. Agar biayanya rendah, Chapman menyuruh menguburkan jenazah Nyonya Spink di kuburan massal.

Beberapa bulan sesudah kematian Nyonya Spink, di musim semi 1889, Chapman memasang iklan mencari seorang pramuniaga. Datanglah seorang gadis muda bernama Elisabeth Taylor, seorang anak petani yang hingga saat itu menjadi pembantu rumah tangga. Chapman melihat dan menerimanya. Segera saja gadis itu menjadi pacarnya dan sangat bahagia.

Pada suatu hari, Chapman menyatakan pada para pelanggannya bahwa ia telah menikah dengan “Bessie”. Sebenarnya ia hanya pergi ke pedesaan sehari dengan gadis itu. Karena masih saja berstatus beristri, maka ia tidak dapat menikahi gadis itu. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya, ia tidak mungkin menikahi Nyonya Spink. Tetapi Bessie ikut “bermain” dan sesudah itu enak-enak saja menyuruh orang lain memanggilnya Nyonya Chapman.

Sesudah “perkawinan”, Elisabeth Taylor yang sebelumnya sehat dan kuat, mulai sakit-sakitan. Ia menjadi kurus sekali dan makin lemah. Akhirnya harus dibawa ke sebuah klinik. Waktu ia kembali ke rumah, Chapman memperlakukannya dengan buruk.

Para dokter di klinik dan juga dokter keluarga tidak mengerti apa penyakit “Nyonya Chapman”. Waktu dokter keluarga datang menengok ke rumah, ia heran menemukan pasien sedang memainkan piano. 2 hari kemudian 13 Februari 1901, gadis tersebut meninggal. Dalam surat kematian dokter keluarga, Dr. Stoker, menuliskan sebab kematian adalah kelelahan karena terlalu banyak muntah dan mencret. 

Dokter ini pun tidak menganggap perlu untuk menyelidiki sebab-sebab kematian yang aneh tersebut. Sekali lagi Chapman seperti tidak bisa terhibur. “Bessie” disenangi semua orang dan banyak yang prihatin pada Chapman setelah “istrinya” meninggal. Chapman menyuruh membuat batu nisan yang megah dan ia menulis sendiri beberapa syair untuk diukir di nisan itu.

Orang tua gadis yang meninggal selalu menyatakan bahwa Chapman orang baik. Waktu mereka melihat batu nisan, mereka menyatakan bahwa anaknya tidak mungkin mendapatkan suami yang lebih baik darinya.

Beberapa bulan sesudah meninggalnya Elisabeth Taylor, Chapman berkenalan dengan wanita yang akan menjadi korban ketiganya.

Di bulan Agustus 1901, Chapman membaca iklan. Seorang gadis muda berusia 20 tahun, bernama Maud Marsh, mencari pekerjaan sebagai pramuniaga. Chapman menyuruhnya datang dan segera saja Maud dimintanya untuk bekerja. 

Maud Marsh anak seorang pekerja dan sebelumnya tinggal di tempat orang tuanya. Waktu ia menceritakan kepada orang tuanya bahwa ia akan memulai pekerjaan baru, ibunya pergi ke restoran Chapman untuk melihat keadaan. Pada kunjungan itu, Chapman memberikan beberapa keterangan palsu. Ia menceritakan kepada ibu tadi, bahwa ia seorang duda dan di bagian atas masih ada keluarga yang tinggal. Dengan demikian, Chapman ingin memberikan gambaran bahwa rumah di mana anaknya akan tinggal itu rumah baik-baik. Ia berhasil. Si ibu setuju anaknya bekerja di situ.

Gadis itu belum lama bekerja, waktu ia menulis kepada ibunya bahwa majikannya telah menghadiahkan jam emas dengan kalung. Tidak lama kemudian, datang sepucuk surat lagi. Maud menyatakan kepada ibunya, majikannya meminta “beberapa hal” kepadanya. Jika ia menolak maka majikan akan mengusirnya.

Berita-berita ini membuat Nyonya Marsh agak risau, dan ia menasihati anaknya untuk kembali ke rumah. Sayang sekali, gadis muda ini tidak mengikuti nasihat tadi. Malah pada suatu hari Chapman datang dengannya dan dengan resmi meminangnya. Pada kesempatan itu Chapman memperlihatkan kepada orang tua Maud, sebuah surat wasiat. Surat tersebut menyatakan bahwa jika meninggal, Chapman akan mewariskan 400 ponsterling. 

Orang tua Maud tetap kurang percaya dan menasihati agar anak mereka berhati-hati. Waktu anak ini pada suatu hari menengok ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit, ia memakai cincin di jari. Ketika ditanyai apakah ia telah menikah, ia mengangguk. Perkawinan, katanya, telah diberkati di sebuah “tempat” Katolik di Bishopsgate Street.

Seperti biasa, maka kali ini pun Chapman menipu. “Upacara perkawinan” itu hanyalah naik kereta keliling London dengan Maud, kemudian kembali ke restoran dan berpesta pora dengan tamu-tamu merayakan “perkawinan”. Akal licik Chapman ini agak diganggu oleh Nyonya Marsh. Ia datang dan tidak mau begitu saja mempercayai apa yang telah diceritakan tentang upacara “perkawinan”. Ia curiga ada sesuatu yang tidak beres. Suaminya lebih-lebih lagi. Mereka meminta Chapman agar memperlihatkan surat kawin. Akan tetapi anak mereka mencegah dengan keras permintaan si ayah.

Beberapa waktu kemudian, Maud tiba-tiba jatuh sakit. Ia muntah terus-menerus, mencret, sakit peranakan, haus, dan mual tidak karuan. Tampak sangat menderita melihat “istrinya”, Chapman dengan segala kasih sayang merawatnya. Akan tetapi karena keadaan si sakit makin hari makin memburuk, diambil keputusan untuk membawanya ke rumah sakit.

Para dokter di klinik tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Mereka menyangka Maud menderita kanker, reumatik, atau sakit lambung dan dengan demikian sama sekali tidak dapat memberi analisa yang tepat. Tidak ada terpikir bahwa ini disebabkan suatu kejahatan. Padahal di dalam klinik keadaan pasien dengan segera membaik.

Baru saja Maud pulang ke rumah Chapman, penyakitnya kambuh kembali. Chapman berhasil mencegah Maud dibawa ke rumah sakit lagi. la memanggil dokter keluarga, Dr. Stoker, yang dulu pernah diminta bantuannya. Dokter tidak dapat menemukan sebab penyakit dan mencoba memberikan segala macam obat yang tidak menolong. Keadaan si sakit makin memburuk setiap hari dan dokter putus asa.

Sementara itu Chapman telah berganti restoran dan pindah ke sana. Dr. Stoker masih saja merawat pasiennya dan menjadi saksi bagaimana kekuatannya makin menurun.

Waktu ibu Maud dan seorang tetangga bergantian merawat Maud, Chapman menyatakan bahwa hanya dialah yang berhak membuat semua makanan dan minuman untuk Maud. Keadaan si sakit makin menyedihkan. Akhirnya keadaan demikian buruknya sehingga Maud hanya bisa minum saja.

Pada suatu hari terjadi sesuatu yang hampir saja membahayakan Chapman. la membuatkan minuman anggur dan soda untuk Maud. Si sakit meminum minuman itu, tetapi karena terlampau lemah, sisanya sebagian besar ada dalam gelas. Beberapa waktu kemudian, Nyonya Marsh dan tetangganya meminumnya juga. Akibatnya mereka muntah-muntah dan mencret.

Meskipun hal ini sebenarnya bisa menarik perhatian, tidak ada seorang pun yang curiga. Yang paling mengherankan ialah bahwa tidak ada yang curiga bahwa mungkin racun yang menjadi sebab penyakit yang misterius ini.

Baru waktu pasien sekarat, Nyonya Marsh curiga. la membicarakan hal ini dengan suaminya dan mereka kemudian meminta dokter keluarganya, Dr. Grapel, untuk memeriksa putri mereka.

Dr. Grapel segera pergi ke restoran Chapman dan memeriksa pasien di sana. Baru sebentar saja ia sudah mengetahui bahwa Maud keracunan. Tetapi ia belum mengetahui racun apa yang masuk ke dalam tubuh gadis malang itu. Jadi baru sekali itu seorang dokter menaruh syak.

la mengirim telegram ke Dr. Stoker dan mengabarkan bahwa penyakit wanita muda itu menurut pendapatnya adalah karena racun. Jika langsung diambil tindakan, mungkin jiwa pasien masih bisa tertolong. Chapman yang takut oleh kedatangan dokter lain itu segera memberikan racun dengan dosis baru sehingga beberapa jam kemudian Maud meninggal. Waktu ia meninggal, Chapman berpura-pura sedih. Ia berteriak-teriak seperti anak-anak.

Karena keterangan rekannya, Dr. Stoker menolak untuk memberi surat keterangan kematian. Ia merasa perlu dilakukan pembedahan mayat. Chapman marah mendengarkan itu dan meminta pertanggungjawaban.

“Saya tidak dapat menemukan sebab kematian,” kata dokter.

“Karena terlampau lelah, disebabkan adanya bengkak dalam usus,” jawab Chapman. 

“Apakah yang menyebabkan bengkak tadi?” 

“Karena selalu muntah dan mencret.”

“Apa penyebab muntah dan mencret?”

Chapman tidak menjawab. Kemudian ia menyatakan bahwa kematian disebabkan karena memakan daging kelinci yang mengandung arsenikum.

Dr. Stoker kemudian memutuskan untuk melakukan pembedahan mayat sendiri dibantu oleh tiga dokter lain. 

Waktu dibedah mula-mula tidak ditemukan apa-apa yang dapat menjelaskan soal penyebab kematian wanita muda itu. Dokter kemudian mengambil lambung dan organ-organ lain untuk dianalisa. Dalam bagian-bagian badan itu ditemukan antimonium. Zat ini dapat dicairkan dalam air dan terasa agak manis dan tidak enak. 

Dulu di beberapa daerah, majikan biasa memberikan sedikit antimonium dalam makanan agar para pembantu yang mencuri dari majikan jadi jera. Kadang-kadang antimonium juga dimasukkan di dalam gelas pemabuk, agar mereka jera. Peracunan dengan “batu pemuntah” sudah jarang dilakukan. Akibat dari “batu pemuntah” sama dengan akibat racun arsenikum, yakni muntah terus menerus, tidak dapat dihentikan (oleh karena itu dinamakan “batu pemuntah”) mencret, tidak bisa menelan, sakit lambung, kejang denyut nadi tidak teratur, dan pingsan. Mayat korban jadi awet, sehingga bertahun-tahun sesudah meninggal masih dapat dikenali kembali.

Pada tanggal 23 Oktober 1902 dikeluarkan perintah penahanan terhadap Chapman. Hanya dialah yang dapat memberikan “batu pemuntah” pada almarhumah. Bulan April 1897 diketahui ia telah membeli sejumlah racun itu dan tidak ada orang lain yang mempunyai kontak dekat dengan mereka yang sudah meninggal. Waktu diadakan pemeriksaan rumah, selain daripada 300 pon emas dan uang, ditemukan kaleng-kaleng yang mencurigakan, berisikan bubuk putih. Lalu ditemukan juga surat-surat keterangan yang membuktikan bahwa Chapman sebagai seorang Polandia, mempunyai kewarganegaraan Rusia, dan bernama Severin Klosowski. Selain itu, ada beberapa buku khusus mengenai bagaimana memakai racun dan buku kehidupan algojo bernama Bary.

Polisi menganggap mayat Nyonya Spink dan Elisabeth Taylor perlu digali untuk diperiksa. Kedua mayat masih baik, meskipun sudah beberapa lama dikuburkan. Menurut patolog yang melakukan pemeriksaan, wajah dan tangan Nyonya Spink seperti baru kemarin dikuburkan. Keadaan itu saja sudah menunjukkan bahwa ada racun di dalam tubuhnya. Pembedahan mayat membenarkan dugaan itu. Seperti dikatakan seorang ahli yang memeriksa, tubuh kedua wanita tadi bagaikan dicelupkan ke dalam antimonium.

Pemeriksaan dibuka di depan pengadilan di London pada tanggal 16 Maret 1903. Yang memimpin adalah seorang hakim yang paling populer di Inggris, Justice Grantham. Yang menjadi penuntut adalah Sir Edward Carson, pernah menjadi lawan Iscar Wilde. la dibantu tiga ahli hukum lagi. Sebagai pembela tersedia tiga orang pengacara.

Publik menaruh perhatian. Orang yang datang melebihi tempat yang tersedia. Perhatian tetap besar hingga akhir persidangan. Hakim sekitar jam 11 masuk ke ruang sidang. Tertuduh dibawa masuk. Saat dibawa ke polisi, Chapman tampak tidak peduli. Tapi di pengadilan ia seakan-akan senewen dan ketakutan. Ia menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan suara perlahan, tidak tetap, dan ragu-ragu.

Penuntut utama dalam pembukaannya hanya memberikan singkatan bukti-bukti. Pembela dalam posisi sulit, ingin mencari keuntungan dari fakta bawa Chapman seorang asing. Tetapi pernyataan ini tidak dianggap serius oleh juri. Chapman selama pledoi pembelanya menangis tersedu-sedu, tetapi tidak menggerakkan perasaan juri.

Sesudah mendengar keterangan tidak kurang dari 37 saksi, maka seorang wakil penuntut dan seorang pembela memberikan pendapat dengan singkat.

Dalam penjelasannya hakim tidak memberi peluang untuk bebas sedikit pun pada tertuduh. Para dokter yang tersangkut mendapat kecaman habis-habisan dan mereka disalahkan karena begitu lama bisa dikelabui oleh tertuduh. Penuntut masih agak membela para dokter dan menerangkan bahwa untuk seorang dokter bukanlah keputusan yang mudah untuk menuduh seseorang melakukan pembunuhan. Sebab jika tidak terbukti, maka dokter pun akan terkena akibatnya. Tetapi para hakim tidak bisa menerimanya.

Para juri membutuhkan waktu 10 menit untuk perundingan mereka. Waktu Chapman diberitahu bahwa ia dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan, ia tidak mempunyai kekuatan untuk membantah. Ia juga membisu waktu para hakim menjatuhkan hukuman mati. Hukuman ini dianggap sebagai ganjaran setimpal dan tidak ada seorang pun yang setuju terhukum meminta pengampunan kepada menteri dalam negeri.

Hingga pelaksanaan hukuman ia tidak memperbolehkan seorang pun juga datang kepadanya di penjara, bahkan tidak juga istrinya yang orang Polandia yang ingin melihatnya. Satu-satunya orang yang ia izinkan adalah seorang pastor Rusia-Ortodoks.

Sampai saat terakhir, ia menyatakan dirinya tidak bersalah dan juga tidak mengakui dirinya sebagai Severin Klosowski. Pada tanggal 7 April 1903 ia dihukum gantung dan di penjara Wandsworth di London.

Pada waktu pemeriksaan terhadap Chapman sudah berakhir, dan perkara mencapai tahap pengadilan, maka di kalangan kepolisian tercetus dugaan bahwa Chapman indentik dengan seorang pembunuh yang sudah lama dicari dan diberi julukan “Jack the Ripper” oleh masyarakat.

Pembunuhan pertama yang diduga dilakukan Jack the Ripper terjadi di pagi hari tanggal 31 Agustus 1888. Korbannya seorang wanita pelacur, Mary Ann Nicholls. Tidak lama sesudah kejahatan ini dilakukan, badan korban ditemukan di Buck’s Row di Whitechapel.

Leher wanita tadi disayat dari telinga satu ke telinga yang lain dan perut bagian bawah dipotong-potong. Dokter polisi menduga bahwa mayat dibunuh kira-kira setengah jam sebelum diletakkan di tempat ia ditemukan. Dari cara menyayat diambil kesimpulan bahwa si pelaku sangat ahli menggunakan pisau, sebab sama sekali tidak terdengar jeritan apa pun. 

2 hari kemudian terjadi pembunuhan kedua yakni pada tanggal 8 September 1888, tidak jauh dari tempat kejadian yang pertama. Korban lagi-lagi seorang pelacur, dengan nama Annie Chapman. Badannya menunjukkan cedera mengerikan yang sama seperti Nicholls. Waktu diperiksa lebih lanjut ditemukan beberapa bagian dalam telah hilang. Yang menjadi pertanyaan ialah senjata apa yang dipakai si pelaku. Tidak dapat ditentukan apakah itu bayonet prajurit, pisau penjual daging, atau pisau bedah dokter. Dokter pengadilan menyatakan bahwa ini semua mungkin dipakai.

Juga kali itu tidak ditemukan si pembunuh. Polisi telah menahan beberapa penjahat yang terkenal di sekitar itu, namun mereka dapat memberikan alibi dan harus dibebaskan kembali. Akhirnya yang berwajib menjanjikan hadiah 100 ponsterling bagi orang yang berhasil menangkap pembunuh. Lagi-lagi itu tidak membuahkan hasil.

3 minggu tidak terjadi apa-apa. Lalu penduduk daerah Whitechapel di London sekali lagi dikejutkan. Seorang pelacur dibunuh lagi. Pada tanggal 30 September pagi, orang menemukan mayat Elisabeth Stride di Berners Street dengan leher yang tersayat. Kali ini pada badan wanita muda itu tidak ditemukan cedera lain. Sebelah tangannya memegang buah anggur dan di tangan lain beberapa bonbon. Kali ini pun tidak ada bekas-bekas yang dapat dijadikan petunjuk untuk menemukan si pelaku.

Pada malam itu juga dibunuh pula seorang wanita lain, Catherine Eddows, tempat kejadiannya sekitar 10 menit dari tempat pelacur sebelumnya ditemukan. Korban ini termasuk pelacur di Whitechapel.

Dari kejadian-kejadian ini terbukti bagaimana cepatnya si pelaku bekerja dan betapa pandainya ia mengelak yang berwajib. Pada jam 01.30 seorang petugas polisi masih mengelilingi tempat di mana terjadi kejahatan dan ia tidak melihat apa-apa. 15 menit kemudian seorang laki-laki menemukan mayat di tempat yang sama, leher gadis disayat dan badan dipotong-potong.

Pembunuhan ganda di Whitechapel ini menimbulkan kepanikan di antara para pelacur di Whitechapel. Dan tentu saja mengguncang London. Hadiah penangkapan dinaikkan dari 100 ponsterling menjadi 1.000 ponsterling.

Kira-kira pada waktu yang bersamaan, polisi menerima sepucuk surat dan sebuah kartu pos, yang katanya dikirim oleh si pelaku (akan tetapi mungkin dari orang lain). Di sini untuk pertama kali disebutkan nama Jack the Ripper. Dalam surat dikatakan:

“Saya masih terus mencari korban di antara pelacur, dan saya tidak akan berhenti membunuh mereka dengan keji, hingga yang terakhir. pembunuhan yang terakhir yang paling hebat. Saya tidak memberinya kesempatan untuk berteriak. Bagaimana Anda mau menangkap saya? Saya mencintai pekerjaan saya dan akan selalu mencari korban. Anda akan segera mendengar kabar dari saya. Pada pekerjaan berikutnya nanti, saya akan memotong telinga si wanita dan akan mengirimkannya ke polisi. Pisau saya begitu .... dan tajam. Mudah-mudahan Anda baik-baik saja, dengan hormat Jack the Ripper.

Pada kartu pos yang datang beberapa hari kemudian, ia mengabarkan tentang pembunuhan ganda:

“Kali ini pembunuhan ganda. Nomor satu sebentar menjerit, saya tidak dapat dengan segera membunuhnya. Tidak mempunyai waktu memotong telinga untuk polisi…… 

Jack the Ripper.

Polisi mengirimkan kopi surat-surat tersebut kepada koran-koran terpenting, dengan permintaan untuk memuatnya. Diharapkan bahwa dengan cara itu maka masyarakat bisa membantu mengenal si pelaku dari caranya menulis. Tidak ada yang melapor kepada polisi.

Penduduk London baru saja menenangkan diri kembali, waktu pada tanggal 9 November terjadi lagi suatu pembunuhan. Di sebuah rumah di Dorset Street ditemukan mayat seorang wanita yang dibunuh dengan keji. Seorang dokter yang dipanggil menerangkan bahwa ia belum pernah melihat badan yang begitu disiksa. Wanita yang bernama Mary Jane Kelly, malam itu masih terdengar menyanyi. Ia dibunuh saat sedang tidur di kamarnya.

Karena kejadian yang mengejutkan ini, menteri dalam negeri memerintahkan polisi untuk menjanjikan kebebasan bagi semua komplotan si pembunuh, jika mereka mau memberi keterangan sehingga dapat membantu polisi menangkap pembunuh. Cara ini juga tidak berhasil.

Sesudah istirahat lebih dari setengah tahun, pada tanggal 18 Juli 1889 pagi, wanita lain dibunuh dengan cara yang sama seperti yang sebelumnya. Kejahatan ini pun dilakukan cepat sekali. Seorang petugas polisi sedang makan di bawah sinar lampu jalan, seperempat jam sesudah tengah malam. 10 menit kemudian ia meninggalkan tempat itu untuk berbicara dengan seorang rekan. 50 menit sesudah tengah malam, ia kembali ke lampu tadi, di situ ada mayat seorang wanita. 40 menit sesudah tengah malam hujan turun sedikit. Karena tanah di bawah badan wanita itu kering, tetapi pakaiannya basah, maka kejahatan diduga dilakukan antara 25 menit dan 40 menit sesudah tengah malam.

Siapa Jack the Ripper itu belum pernah terungkap. Dari waktu ke waktu seseorang menyatakan telah menemukan jawaban atas teka-teki ini, akan tetapi tidak satu pun hipotesis yang diajukan dapat dipercayai sepenuhnya. Yang paling mendekati ialah dugaan bahwa George Chapman itu identik dengan Jack the Ripper, mengingat:

Jack the Ripper melakukan rentetan pembunuhan yang pertama bulan Agustus tahun 1888 di daerah kota London bernama Whitechapel. Chapman tiba di London pada tahun 1888 serta bekerja beberapa lama di daerah ini. Wanita yang waktu itu hidup bersamanya, kemudian menerangkan kepada yang berwajib, bahwa Chapman baru pulang jam 3 atau 4 pagi. Ia tidak tahu apa sebabnya.

Cara Jack the Ripper melakukan kejahatan mengungkapkan bahwa ia mempunyai pengetahuan dan keterampilan medis. Chapman berpendidikan pembantu mantri kesehatan dan telah bekerja beberapa tahun pada seorang mantri dan di sebuah klinik. Jadi ia mempunyai pengetahuan tentang anatomi dan sebagai bekas prajurit ia telah dididik di bagian pembedahan.

Salah seorang saksi yang pernah melihat Jack the Ripper dengan Kelly menerangkan bahwa orang itu berusia antara 34-35 tahun, berambut hitam, dan berkumis. Ujung kumis melengkung ke atas. Keterangan ini tepat dengan rupa Chapman, yang selalu tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.

Pada bulan Juli 1889 terjadilah pembunuhan “Ripper” yang terakhir. Pada bulan Mei 1890 Chapman membuka sebuah salon di kota Jersey City, Amerika Serikat. Menurut kabar, di situ juga terjadi pembunuhan-pembunuhan yang hampir sama. Semuanya itu tiba-tiba berhenti pada tahun 1892.

Pendapat bahwa Chapman dan Jack the Ripper itu identik, bukan saja dikatakan oleh penulis yang telah menerbitkan akta-akta tentang Chapman, akan tetapi juga oleh petugas polisi kriminal yang diberi tugas memeriksa pembunuhan-pembunuhan di Whitechapel. Petugas-petugas kriminal ini dan seseorang dari Scotland Yard bertahun-tahun mencoba mengungkapkan kejahatan ini. Namun hanya sampai pada sangkaan-sangkaan belaka. 

Banyak hal mendukung bahwa Chapman dan Jack the Ripper itu identik. Namun semua tidak bisa dibuktikan bahkan hingga Chapman dihukum mati. Dengan demikian, maka George Chapman alias Severin Klosowski dalam akta-akta sejarah kriminal hidup terus sebagai seorang yang misterius.

(Maximilian Jacta) 

Baca Juga: Suatu Tragedi Keluarga

 

" ["url"]=> string(71) "https://plus.intisari.grid.id/read/553761012/apakah-dia-jack-the-ripper" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683803078000) } } [4]=> object(stdClass)#134 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3760954" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#135 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/05/11/mungkin-ia-hanya-orang-gilajpg-20230511110400.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#136 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(124) "Sekelompok orang mencoba membunuh Kaisar Napoleon III dan Ratu Eugenie. Mereka mengaku melakukannya demi kemerdekaan Italia." ["section"]=> object(stdClass)#137 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/05/11/mungkin-ia-hanya-orang-gilajpg-20230511110400.jpg" ["title"]=> string(27) "Mungkin Ia Hanya Orang Gila" ["published_date"]=> string(19) "2023-05-11 11:04:08" ["content"]=> string(30100) "

Intisari Plus - Dalam perjalanan menuju gedung opera, terjadi percobaan pembunuhan pada Kaisar Napoleon III dan Ratu Eugenie. Komplotan yang tertangkap mengaku bahwa mereka melakukannya demi kemerdekaan Italia.

---------------

Opera Paris merencanakan pertunjukan gala untuk tanggal 14 Januari 1858. Kaisar Napoleon III dan Ratu Eugenie berjanji akan hadir. Hari itu karya Rossini “Wilhelm Tell” akan dimainkan. Harian-harian memberitakannya. Jalan-jalan dari Istana Tuilleric hingga Rue Le Peletier, lapangan tempat opera lama, penuh sesak. Memang hari itu sangat cerah. Banyak polisi berjaga-jaga agar tidak terulang kembali percobaan-percobaan pembunuhan terhadap Kaisar dan Ratu. Nampaknya semua sudah diatur dengan baik.

Iringan yang mengikuti Kaisar sudah siap berangkat dari Tuilerie, ketika seorang petugas polisi mencurigai seorang lelaki yang rasanya sudah pernah ditangkapnya 6 tahun sebelumnya. Diam-diam orang itu diikutinya, diperhatikan benar-benar, kemudian didekatinya untuk ditahan. Si lelaki sama sekali tidak melawan. la ikut ke pos polisi terdekat. Waktu digeledah, ditemukan sebuah revolver dengan enam peluru, pisau belati, dan sebuah bom. Orang yang ditahan ini bernama Pieri. Waktu ditanyakan mengapa ia membawa senjata-senjata itu, ia menjawab jika bom itu bahan studi. Sedangkan pisau belati dan revolver untuk keamanan dirinya. 

Petugas polisi segera kembali ke opera untuk melapor ke kepala keamanan. Yang terakhir, beberapa hari sebelumnya sudah diberi peringatan oleh Duta Besar Prancis di Brussel bahwa mereka harus berhati-hati terhadap seorang Italia bernama Pieri. Orang ini berbahaya, tampaknya ingin membunuh Kaisar. Sebelum polisi dapat mengambil tindakan pengamanan lebih lanjut, kereta yang ditumpangi Kaisar dan Ratu mulai memasuki jalan samping yang menuju ke pintu depan gedung opera. Kereta itu diiringi prajurit berkuda. Pukulan genderang masih terdengar, ketika ledakan hebat terdengar, disusul oleh ledakan kedua. Sais kereta sempat menarik kuda ke samping. Akan tetapi kuda yang di sebelah kanan jatuh dan tewas. Kereta istana terlempar ke arah tembok gedung opera, sehingga pegangan rusak. 20 atau 30 detik kemudian ledakan ketiga terdengar dari bawah kereta Kaisar.

Waktu terjadi ledakan pertama, semua lampu gas padam. Dalam suasana gelap gulita terdengar atap kaca gedung opera dan jendela-jendelanya pecah menjadi beribu-ribu keping. Kereta-kereta bertubrukan, kuda-kuda kabur. Orang yang luka-luka mengerang. Para pengiring, polisi, dan orang-orang yang menonton terguling dalam darah. Yang luka ringan berlari mencari pertolongan. Suasana kalut ini sukar dilukiskan.

Waktu para penonton melihat Kaisar dan Ratu nyaris tidak terluka saat keluar dari kereta, mereka bertepuk tangan.

Kecuali beberapa cedera kecil di muka akibat kepingan kaca dan topi yang robek, Kaisar tidak menderita luka-luka. Ratu lebih beruntung. Ia sama sekali tidak cedera. Hal itu merupakan mukjizat, karena kereta Kaisar rusak hebat. Ada 76 retak dan salah satu dari dua kudanya kena 25 pecahan peluru.

Kaisar memperlihatkan sikap teladan. Ia turun dari kereta dan dengan penerangan obor memberi perintah dengan tenang dan berwibawa seperti diharapkan dari seorang pemimpin. Yang luka-luka harus segera diberi pertolongan, perintahnya. Ia mengulurkan tangan pada Ratu dan bersama-sama masuk ke dalam gedung opera. Gaun dan mantel Ratu penuh percikan darah. Seorang jenderal yang duduk berhadapan dengannya mengalami cedera di leher. Para penonton yang sudah berada di dalam gedung, tadinya menyangka ada ledakan gas. Tetapi kemudian semua tahu ada percobaan pembunuhan terhadap Kaisar. Waktu Kaisar dan Ratu masuk di tempat khusus, semua hadirin terpaku. Kemudian mereka berdiri dan bertepuk tangan menghormati keduanya. Orkestra memutuskan lagu pengiring lakon dan memainkan lagu yang pernah digubah Kaisar, “Putri Hortense”.

Hadirin masih saja bertepuk tangan, tapi Napoleon meninggalkan tempat khususnya beberapa menit. la pergi ke sebuah apotek terdekat, untuk menyematkan salib berlian yang selalu dipakainya sendiri pada seorang pengiring kereta yang sedang sekarat. Ia kemudian kembali ke opera dan masih mendengarkan pertunjukan selama seperempat jam. Kepada para menteri, jenderal, dan pegawai tinggi yang memberi selamat ia berkata, “Saya luput maut bagaikan berkat mukjizat. Tetapi Raja Louis Philippe mengalami sepuluh percobaan. Saya masih mempunyai waktu.”

Bahwa ia selalu mengingat kemungkinan dibunuh terlihat pada pernyataannya kepada Pangeran Ernst von Sachsen Coburg Gotha beberapa jam sebelumnya. Waktu mereka melewati monumen Heinrich IV, ia berkata, “Dari semua percobaan pembunuhan, pembunuhan dengan belatilah yang paling membahayakan. Pasalnya, si pembunuh sebenarnya juga sudah membuang nyawanya sendiri. Pada cara-cara lain, para pembunuh raja masih sempat untuk melarikan diri.”

Beberapa waktu sesudah selesai pertunjukan, Napoleon dan Ratu kembali ke istana. Seluruh jalan dijaga oleh deretan prajurit. Ribuan manusia bersorak menghormati Kaisar. Paris belum pernah mengalami hal yang demikian. Berita percobaan pembunuhan segera tersebar luas. Terlihat bahwa Kaisar sangat dicintai rakyatnya.

Korban peristiwa berdarah ini terdiri dari 8 orang meninggal, 156 orang luka-luka, termasuk 21 wanita dan 11 anak. Kebanyakan ditembus oleh kepingan-kepingan kaca.

Para ahli menemukan bagian-bagian yang pada tempat kejadian, sama dengan bagian-bagian bom yang disimpan Pieri. Tidak jauh dari gedung opera, seorang pelayan menemukan kantong yang isinya benda berbentuk silinder. Ia mau membuang kantong, tetapi kemudian menelitinya sekali lagi. Ternyata isinya bom! Beberapa meter dari tempat itu, seorang petugas polisi menemukan sebuah revolver yang bernoda darah. Seorang ahli senjata di jawatan kepolisian hanya memerlukan waktu sejenak saja untuk menentukan bahwa bom yang ditemukan ini sama dengan bom yang dimiliki Pieri.

Sekali lagi Pieri ditahan dan diinterogasi. Akhirnya diketahui bahwa ia tinggal di sebuah hotel di Rue Montmartre bersama-sama dengan seorang pria bernama Da Silva. Di dalam hotel tersebut memang ditemukan seseorang berbaring pura-pura tidur. Orang ini, begitu keterangan portir hotel, kembali ke kamarnya beberapa menit sesudah percobaan pembunuhan dan meminta tagihannya disiapkan karena ia akan pergi hari berikutnya. Ketika ditanyai soal surat-surat keterangannya, katanya ia orang Inggris. Akan tetapi logat bahasa Inggrisnya begitu kental, hingga polisi curiga. Waktu menggeledah lemari pakaian, mereka menemukan senjata-senjata dan juga surat-surat yang dialamatkan kepada seorang Pangeran Charles de Rudio. Sesudah diinterogasi mendalam, maka akhirnya ia mengaku bahwa ia itu de Rudio. Ia juga ditahan.

Beberapa jam sesudah percobaan pembunuhan, seorang lelaki muda menarik perhatian hadirin di sebuah restoran Italia di dekat gedung opera. Pasalnya, ia berbicara aneh-aneh. Dalam ocehannya itu ia selalu menyebut-nyebut majikannya. Agaknya lelaki muda itu terganggu pikirannya.

Karena kemudian para tamu memanggil polisi, ia diinterogasi. Katanya ia seorang Inggris bernama Swiney. Akan tetapi logat bicaranya sangat jelas logat Italia. Sebagai alamat rumah diberikannya sebuah hotel di Rue Saint Honore. Karena para petugas polisi di restoran menemukan sebuah revolver yang berisi, mereka menaruh curiga. Di kamar tempat tinggalnya tidak ditemukan hal-hal yang mencurigakan. Seorang wanita muda yang tidur di situ ternyata bukan tokoh penting. Dengan menginterogasi portir hotel, akhirnya semuanya dapat dijelaskan.

Orang yang ditahan itu baru pada tanggal 12 Juli dibawa oleh penjaga rumah di Rue Mont Thabor ke hotel dan disebut sebagai pembantu orang yang menyewa rumah itu. Waktu hal ini diberitahukan, orang yang mengaku bernama Surney berhenti berdusta dan mengaku bahwa ia dari Napoli, bernama Gomez, dan sudah sebulan bekerja pada seorang yang menamakan diri Allsop. Kemudian ternyata, Gomez melarikan diri ke restoran, sesudah ia melempar bom.

Waktu polisi datang di Rue Mont Thabor, pintu dibuka oleh seseorang yang memakai baju tidur. la tinggi besar. Raut mukanya menunjukan ciri khas kalangan ningrat dan ditumbuhi jenggot sampai ke pipi. Matanya hitam dan pandangannya tajam. Segera terasa ia berwibawa. Kepalanya dibalut dengan pembalut yang penuh darah. Waktu melempar bom, ia sendiri terluka dan kehilangan banyak darah. Waktu melarikan diri, ia membuang senjatanya. Begitu pula dengan bom yang kedua. Tetapi dengan tenang serta dengan suara yang mantap, ia menerangkan bahwa ia datang dari Rue Peletier dan di sana terluka oleh pecahan-pecahan bom. Ia menyesalkan mengapa ia demikian ingin tahu sehingga datang ke tempat kejadian. Ia menuduh Polisi Prancis karena percobaan pembunuhan yang demikian serius bisa terjadi.

Petugas-petugas polisi mencurigai logat Italianya yang khas. Waktu mereka meminta surat-surat keterangan, ia memberikan dompetnya. Dompet itu berisi paspor dan surat-surat keterangan. Semua kartu identitasnya atas nama Thomas Allsop, warga negara Inggris dan pengusaha bir. Ia berasal dari London dan bertempat tinggal di Rue Mont Thabor. Surat-surat keterangan ini ditambah dengan sikap yang mantap dan meyakinkan, membuat petugas ragu. Mereka bertanya-tanya apakah akan meneruskan pemeriksaan. Akan tetapi mereka mengingat kelakuan pembantunya yang mencurigakan. Karena kurang alasan untuk penahanan Allsop, polisi meninggalkan dua petugas di tempat itu, yang diberi perintah untuk terus mengamat-amati.

Semua terungkap beberapa jam kemudian, waktu Pieri dan Gomez diinterogasi mendalam. Mereka mengungkapkan bahwa orang yang tinggal di rumah Rue Mont Thabor ialah Pangeran Felice Orsini, seorang Italia. Waktu melemparkan bom, ia sendiri terkena dan meninggalkan bekas-bekas darah. Bom dan revolver yang ditemukan di dekat tempat kejadian ialah miliknya. Orsini segera ditahan bersama dengan ketiga kaki tangannya.

Polisi Paris dengan demikian memperlihatkan ketangguhannya. Dalam 24 jam mereka mengungkapkan kejahatan dan semua pelaku ditahan. Sebelumnya, Napoleon memarahi menteri dalam negeri dan Ratu menuduh Kepala Polisi Paris karena gagal melindungi mereka. Akan tetapi Polisi Paris tidak seburuk yang dituduhkan.

Pemeriksaan segera mengungkapkan Orsini sebagai otaknya. Tiga orang lain hanya pembantu belaka. 

Yang tidak begitu jelas ialah apakah Orsini mempunyai orang-orang kuat di belakang layar? Apakah ada komplotan yang mempunyai tujuan menggulingkan pemerintahan? Apakah ada hubungan ke Belgia, Inggris ataupun ke Swiss? Siapakah sebenarnya yang menjadi dalang? Jika Orsini perencana tunggal, motif apa yang menggerakkannya? Bukankah ia orang Italia. Untuk apa mencoba membunuh kepala negara negara asing?

Untuk mengungkapkan semua ini, diadakan aksi polisi yang terluas yang pernah dialami negara itu. Semua orang, di Paris ataupun di daerah, yang pernah mengucapkan sesuatu yang melawan Kaisar, dipanggil polisi dan diinterogasi. Yang berwajib menerima banyak petunjuk. Akan tetapi tidak ada yang benar-benar dapat dipakai. Juga mereka yang berhaluan sosialis, yang dituduh menjadi perencana komplot, tidak bisa dipersalahkan. Pemeriksaan yang diadakan di Belgia dan di Swiss, juga berakhir negatif.

Di London, ditemukan seorang kaki tangan Orsini yang lain, yaitu seorang imigran Prancis. Keterangannya mengungkapkan pemikiran mengadakan percobaan pembunuhan itu memang datang dari Orsini sendiri dan bahwa ia tidak melakukannya atas perintah siapa pun.

Akhirnya motif terungkap waktu diadakan pemeriksaan terhadap kehidupan Orsini. Pemeriksaan ini ternyata tidak terlalu sulit, karena ningrat yang berusia 38 tahun ini baru saja menulis memoarnya.

Felice Orsini dilahirkan akhir Desember 1819 di Meldola dekat Forli (Italia Tengah). Ayahnya, Pangeran Andrew Orsini, boleh dikatakan merupakan seorang pemberontak. la termasuk anggota Carbonari terkenal di zamannya. Carbonari itu ialah komplotan rahasia yang terbesar dan terpenting di Italia, yang bertujuan menyingkirkan kekuasaan asing dan mengukuhkan persatuan serta kemerdekaan Italia. Semua anggota komplotan rahasia ini disumpah tidak berbicara tentang komplotan, setia, dan tunduk. Waktu ia remaja, Felice Orsini sudah masuk ke dalam organisasi rahasia tersebut dan mengikuti aksi-aksi. Pada tahun 1845 ia dihukum kerja paksa seumur hidup oleh mahkamah agung di Roma karena membantu menggulingkan pemerintahan gereja. Akan tetapi sesudah setahun ia diampuni.

Orsini bertabiat tidak tenang. Pikirannya sempit, cepat naik darah, genit, dan senang dipuji serta fanatik. Kini kita akan menggolongkannya sebagai psikopat yang suka pujian dan fanatik. Waktu di pembuangan ia berjumpa dengan Mazzini, pemimpin Carbonari. Ia segera menggabungkan diri dengannya. Sesudah Prancis membantu Pemerintah Italia yang berkuasa, Mazzini meminta Napoleon III dibunuh. Ia menuduh Napoleon III sebagai bekas anggota Carbonari yang telah meninggalkan dan mengkhianati ide-ide “Italia Muda”. Ajaran-ajaran Mazzini diterima baik oleh Orsini. Sesudah ia beberapa waktu mengacau di Italia, ia berimigrasi ke Inggris, bergabung lagi dengan Mazzini, yang masih saja mengacau.

Di Austria ia dihukum mati karena berkomplot melawan Kaisar Austria di akhir tahun 1854. Sebelum hukuman dijalankan, ia dapat melarikan diri dari Zitadel Mantua dengan bantuan seorang wanita.

Dari bulan Juli 1856 hingga permulaan Januari 1858, ia kembali ke London dan bertengkar dengan Mazzini. Di situlah ia menentukan untuk menyingkirkan Napoleon III sebagai rintangan utama pembebasan tanah airnya.

Napoleon itu orang terkuat di Eropa, begitu kata Orsini. Jadi baginya mungkin saja menghilangkan semua rintangan. Orsini tidak menginginkan hal itu. Oleh karena itu ia harus dihilangkan. Jika Kaisar sudah disingkirkan, begitu kata Orsini selanjutnya, maka akan terjadi revolusi di Prancis, yang akan menular ke Italia. Anarki di Prancis berarti juga anarki di Italia.

Sejak itu tujuan satu ini yang dikejar Orsini. Ia mulai mempelajari bagaimana menggunakan dan membuat bom, ia mencari bantuan di kalangan imigran-imigran petualang. Ia berjumpa dengan tiga orang Italia: Pieri, Gomez, dan Pangeran de Rudio. Ketiganya orang-orang tanpa pendirian, mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap dan hidup dari mengacau. Hanya pada Pierilah Orsini menceritakan semua maksudnya.

Dengan paspor palsu, Orsini pergi ke Prancis melalui Belgia di pertengahan Desember 1857. Ia membawa bom-bom yang dibuat di Inggris. Ketiga pembantunya mengikuti dengan kereta api melalui jalan yang berbeda-beda. Di Paris, Orsini dengan cermat mengikuti berita surat kabar untuk mengetahui di mana Kaisar berada. Pada tanggal 14 Januari, pagi hari, ia memberi tahu para pembantunya bahwa saat bertindak telah datang.

Di tempat tinggalnya Orsini mempersiapkan bom, memberikan instruksi terakhir, dan membagi-bagi bom. Gomez dan de Rudio mendapat dua bom yang besar. Orsini membawa yang kecil dan Pieri mendapat alat peledak yang masih tersisa. Yang pertama kali akan melempar bom Gomez, sesudah itu de Rudio dan selanjutnya Orsini serta Pieri.

Kira-kira jam 8 malam komplotan itu berangkat serta berbaur dengan orang-orang yang menunggu di jalan sekeliling gedung opera. Waktu iring-iringan Kaisar datang, Gomez melemparkan bom sesuai dengan rencana, diikuti Orsini dan akhirnya de Rudio. Pieri tidak sempat beraksi, karena sebelumnya ia sudah ditangkap.

Percobaan pembunuhan itu menimbulkan efek besar di London dan Brussel. Pemerintah Prancis mengajukan protes keras karena pemberian suaka terlalu mudah. Pemerintah Belgia kemudian memberi peringatan pada beberapa koran dan memperketat pengawasan terhadap orang-orang asing. Akan tetapi Pemerintah Inggris tidak mau membatasi undang-undang suaka. Parlemen Inggris, begitu keterangan menteri luar negeri pada waktu itu, lebih baik setuju dianeksasi oleh Prancis, daripada mundur selangkah dalam hal tersebut.

Napoleon meminta pelaksanaan loi de surete generale, yakni undang-undang keamanan umum. Setiap orang, dapat diusir tanpa diadili lebih dulu atau ditahan di Prancis atau Aljazair, jika ia berdasarkan beberapa bukti dianggap berbahaya. Undang-undang itu meletakkan kebebasan seseorang sepenuhnya di bawah pengawasan badan-badan eksekutif. Sesudah dikejutkan oleh undang-undang baru ini, masyarakat tenang kembali. Di parlemen, undang-undang itu diterima oleh suara terbanyak. Dengan demikian, percobaan pembunuhan ini telah memberikan senjata kuat pada Napoleon III untuk mengontrol kekuatan oposisi.

Sidang utama

Sidang utama berlangsung pada tanggal 25 dan 26 Februari 1858 di depan Pengadilan Paris. Tertuduh utama sering membantah keterangannya sendiri waktu diadakan pemeriksaan awal. Tadinya ia tidak mau mengaku terlibat dalam kejahatan. Kemudian ia mengaku menjalankan beberapa hal, yang segera diingkari kembali. Pada tanggal 9 Februari, akhirnya ia memberi pengakuan penuh, “Dalam kasus ini, saya bertanggung jawab sepenuhnya dan bersedia mati.”

Karena merasa dikhianati para pembantunya, tadinya Orsini mencoba untuk melebih-lebihkan soal keterlibatan mereka. Kemudian ia mundur, “Saya kembali membantah apa yang telah saya katakan tentang mereka. Dan saya menawarkan pribadi saya sebagai korban bagi negara saya.” Ia lalu mencoba untuk mengecilkan keterlibatan kawan-kawannya.

Ia mengaku di depan umum, mencoba meminta Napoleon III untuk menyingkirkan halangan bagi kebebasan tanah airnya. Katanya, alih-alih memberi bagi para pejuang kemerdekaan dan kesatuan Italia, Kaisar yang pernah menjadi seorang Carbonari malah bersekutu dengan gereja dan golongan konservatif. Dengan demikian ia telah menjual dan mengkhianati teman-teman seperjuangannya dulu.

Dengan gayanya yang bebas dan berani, Orsini tampaknya menarik perhatian orang. Ia tidak mencoba menyembunyikan kesalahannya. Ia mengatakan terus terang bahwa karena Napoleon menghalang-halangi kemerdekaan Italia, ia harus disingkirkan. Tetapi ia tidak mengaku melempar bom. Katanya bom dilempar oleh scorang Italia, yang namanya tidak ingin ia sebutkan.

Sebaliknya Gomez dan Pieri mencoba mengecilkan keterlibatan mereka demi keselamatan mereka.

Waktu ditanyakan apa yang ia lakukan, Gomez menjawab, “Tuan Orsini berkata kepada saya, bahwa ia pergi ke Rue Le Peletier. Di sana Kaisar ditunggu di gedung opera. Ia pergi ke sana untuk membunuhnya dan saya harus mengikutinya. Waktu sampai di Rue Le Peletier saya harus melemparkan bom ke iringan Kaisar.

Ketua: “Hal itu Anda anggap biasa saja?” 

Gomez: “Saya tidak mengetahui maksudnya. Saya menurut saja.” 

Ketua: “Apakah Anda tidak dapat membayangkan akibat mengerikan yang akan terjadi?”

Gomez: “Tidak, Tuan Ketua!” 

Pieri, kadang-kadang menunduk dan kadang-kadang kurang ajar, mencoba agar pengadilan percaya, bahwa Orsini tidak pernah menceritakan tentang rencananya membunuh Kaisar.

Ditanya untuk apa ia membawa bom, ia menjawab bahwa ia ingin mengadakan percobaan di Paris untuk mengadakan revolusi nanti di Italia. Revolver dan belati yang juga ditemukan padanya ialah untuk membela diri terhadap Orsini. Ia sebenarnya sudah mau memutuskan hubungan dengan Orsini dan sama sekali tidak bermaksud untuk mengikutinya ke gedung opera.

Kebalikan dengan keterangan-keterangan yang licik itu, Pangeran de Rudio tegas dan jujur dalam pertanggungjawabannya. Katanya ia dalam keadaan sukar dan satu-satunya keterangan yang mungkin dapat dipakai untuk meringankan kesalahannya ialah bahwa baru di Prancis ia mengetahui apa yang sebenarnya dimaksudkan Orsini. Waktu itu ia tidak bisa mundur karena ia akan dicap pengkhianat.

Jaksa Agung Chaix d’Est -Ange menuntut hukuman mati bagi keempat tertuduh.

Pembela tertuduh utama ialah Jules Favre, seorang politikus paling terkenal, jagoan berpidato di masa itu. Ia melukiskan Orsini sebagai patriot dan martir, yang dikuasai cita-cita mempersatukan kembali dan memerdekakan tanah airnya. Pembela berbicara tentang percobaan tertuduh yang tiada henti-hentinya untuk dapat mengejar cita-cita. Percobaan yang meminta kekuatan, keberanian, dan kejantanan. Ia melukiskan perbuatan orang yang dihukum mati ini sebagai perbuatan agung, yang didukung oleh dorongan tanpa pamrih. Ia membuat pendengar menangis dan kemudian juga ia sendiri menangis.

Pada akhir pledoi, pembela mengambil sepucuk surat dari saku yang ditulis Orsini di penjara dan yang dialamatkan kepada Kaisar dan yang kini dibacakannya sesudah meminta izin dari Kaisar.

Pengakuan-pengakuan yang saya buat, telah cukup untuk menghukum mati saya. Saya akan menjalani hukuman itu tanpa meminta ampun.

Untuk menjaga keseimbangan di Eropa kini, Italia harus dibebaskan ataupun agak dilonggarkan rantai yang membelenggunya pada Austria. Apakah saya meminta agar orang Prancis menumpahkan darahnya untuk bangsa Italia? Tidak! Saya tidak meminta sejauh itu. Italia hanya meminta agar Prancis tidak mengizinkan Jerman membantu Austria dalam peperangan yang akan segera meletus.

Saya memohon Sri Baginda untuk memberikan kemerdekaan kembali pada tanah airku, kemerdekaan yang telah hilang bagi penduduk Italia akibat kesalahan orang Prancis. 

Semoga Sri Baginda ingat, bahwa bangsa Italia, antara lain ayah saya, dengan senang hati telah mengorbankan darah untuk Kaisar Napoleon Agung. Ke mana saja mereka dibawa oleh Baginda dan bahwa mereka itu tetap setia padanya, hingga jatuh dari takhta. Hendaknya Sri Baginda sadar, bahwa ketenangan Eropa dan juga ketenangan Sri Baginda tidak akan terlaksana, selama Italia belum merdeka. Semoga Sri Baginda dapat menganugerahkan keinginan seorang patriot yang akan dihukum mati dan memberikan kemerdekaan pada tanah airnya. Maka restu 25 juta orang warga akan mengikuti Sri Baginda sampai sepanjang zaman.

Dari penjara 

Monza Felice Orsini

11 Februari 1858 

(Atas perintah Kaisar, maka surat ini diterbitkan di Moniteur, koran resmi pemerintah)

Hadirin terkejut, hampir saja mereka bertepuk tangan. Surat ini menimbulkan rasa kasihan yang mendalam bagi terdakwa utama. Sesudah ia dan kedua temannya Pieri dan de Rudio (Gomez mendapat hukuman kerja paksa seumur hidup) dijatuhi hukuman mati, banyak orang yang serius berpikir bahwa hukuman mati dapat diganti.

Kaisar termasuk mereka yang merasa kasihan pada Orsini. Ratu pun meminta dengan sangat agar Pangeran Orsini diampuni. “Ia bukan seorang pembunuh biasa. Ia seorang lelaki yang perkasa, saya menghormatinya.” Malahan Ratu berpikir untuk mengunjunginya di penjara. Para penasihat dengan susah payah menahan Ratu. Dewan pertimbangan rahasia dan para menteri menyarankan Kaisar untuk tidak memberi pengampunan dan mengingatkan pada darah yang sudah banyak tumpah di Rue Le Peletier. Waktu Uskup Agung Paris menasihati agar keadilan dijalankan, Kaisar tidak jadi mengampuni Orsini. Hanya de Rudio diberi ampun.

Tanggal 11 Maret 1858 Orsini menulis surat baru pada Napoleon III:

Beberapa jam lagi saya akan tiada. Sebelum saya bernapas untuk terakhir kalinya, saya ingin orang tahu, bahwa pembunuhan bukan termasuk sendi hidup saya, meskipun saya terseret kesesatan yang fatal, merencanakan pembunuhan tanggal 14 Januari. Semoga sahabat-sahabat saya setanah air, tidak mempergunakan pembunuhan, dan menjauhinya.... Semoga Sri Baginda memperbolehkan saya memohon ampun bagi kedua teman sekomplotan yang dihukum bersama saya. 

Dengan hormat yang dalam, 

Orsini

Bahwa ia tidak membenarkan percobaan pembunuhan untuk tujuan-tujuan politik tentu mengherankan, karena sebelumnya Orsini selalu bangga mengaku melakukan percobaan pembunuhan semacam itu. Akan tetapi itu bukanlah untuk pertama kalinya ia mengingkari apa yang dilakukannya dan apa yang telah dikatakannya.

Tanggal 13 Maret 1858 ditetapkan sebagai tanggal pelaksanaan hukuman mati.

Menurut berita yang diterbitkan di Gazette des Tribuhaux, Orsini hingga saat penghabisan tetap tenang. Ia berbicara seperlunya dan tidak sekalipun mengeluarkan perkataan marah terhadap Pengadilan Prancis. Kunjungan rohaniwan di penjara diterimanya dengan hormat. Setiap hari ia hanya makan sekali saja dan hanya meminta agar diberi cadangan anggur lebih banyak.

Sebaliknya Pieri sangat bingung. Ia berbicara dan membuat gerakan-gerakan dengan tangan tanpa henti-hentinya dan selalu saja ingin berbicara dengan petugas-petugas penjara.

Malam tanggal 13 dibuat gantungan dengan diterangi obor. Kira-kira jam 5 pagi beberapa eskadron kavaleri datang untuk menjaga tempat penggantungan. Sementara itu hakim dan jaksa pergi ke terhukum untuk bertanya apakah mereka masih ingin memberikan keterangan. Kira-kira jam 6 direktur penjara bersama pastur pergi ke Orsini untuk mengatakan, bahwa hukuman akan segera dijalankan. Orsini hanya menjawab bahwa ia sudah siap. Pieri waktu mendengar hal itu, langsung sangat bingung dan mulai menjerit. Dengan susah payah ia dapat ditenangkan.

Karena Orsini dan Pieri dihukum untuk jenis hukuman mati yang digolongkan parricide (membunuh ayah), maka mereka hanya diperbolehkan memakai kemeja dan pergi tanpa sepatu ke tempat penggantungan. Kepala mereka ditutupi dengan kerudung hitam.

Waktu mereka pergi ke arah penggantungan, Pieri menyanyikan lagu “Girondis”. Orsini sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa pun. Ia juga tenang waktu Pieri dipenggal kepalanya di depannya. Sebelum ia sendiri dipegang, dengan keras ia berteriak ke arah orang yang datang berkumpul di situ: “Hidup Italia! Hidup Prancis!”

Beberapa waktu sebelum pukul 7, semuanya sudah selesai. Peristiwa berdarah di Rue Le Peletier telah dibalas.

Sesudah kematian Orsini, kadang kala terdengar suara yang meragukan kesehatan mentalnya. Ia dikatakan tergolong patologis dan ada gejalanya sakit paranoia. Lombroso termasuk orang yang memeriksanya. Pada Orsini mungkin penyakit tidak begitu parah. Tetapi bahwa hukuman itu memang setimpal baginya, tidak usah diragukan lagi.

(Maximilian Jacta)

Baca Juga: Kartu Nama yang Membuka Rahasia

 

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553760954/mungkin-ia-hanya-orang-gila" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1683803048000) } } [5]=> object(stdClass)#138 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726761" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#139 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/14/intisari-plus-200-1980-40-cerita-20230314082110.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#140 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(140) "Athos dikenal sebagai bintang panggung yang terkenal. Namun, ada kisah mengerikan tentang bagaimana ia membunuh istrinya demi uang santunan." ["section"]=> object(stdClass)#141 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/14/intisari-plus-200-1980-40-cerita-20230314082110.jpg" ["title"]=> string(43) "Cerita di Belakang Seorang Bintang Panggung" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-14 08:21:23" ["content"]=> string(50493) "

Intisari Plus - Athos dikenal sebagai bintang panggung yang terkenal. Namun di balik itu, ada kisah mengerikan tentang bagaimana ia membunuh istrinya demi uang santunan.

----------

Pada pergantian abad ini, nama Athos dikenal di dunia pertunjukan internasional. la merupakan daya tarik panggung dan atraksi hebat. Jika tirai dinaikkan, Athos berdiri di pentas dengan dada terbuka dan ototnya keras. la dikelilingi oleh sederetan pedang dan pisau yang berkilauan oleh sinar lampu. Dengan suatu gerak saja ia membelah seekor kambing yang sudah disembelih dan yang digantungkan. Jika musik pengantar mulai berubah menjadi pukulan genderang yang samar-samar, maka tibalah puncak acara. Asistennya yang lemah gemulai membungkuk ke belakang, makin lama makin jauh, hingga lehernya merupakan garis lurus. Payudaranya yang dibedaki putih menggairahkan, tampak nyata dalam potongan dekollete yang dalam.

Waktu Athos mendekat, wanita itu tersenyum kaku dan Athos meletakkan sebuah apel di lekukan lehernya.

Pukulan genderang mengeras kemudian berhenti. Tiada seorang pun penonton yang berani bernapas. Dengan gerakan mendesis Athos membelah apel, tanpa mencederai wanita itu segores pun.

Athos ini nama aslinya Karl Ludwig Emanuel Hopf.

Tanggal 12 Januari 1914 salju turun terus sejak pagi di Frankfurt am Main. Termometer menunjukkan -3°C.

Di depan gedung pengadilan di Frankfurt, keadaan tenang. Sudah diketahui hanya beberapa undangan istimewa boleh hadir di sidang pengadilan. Akan tetapi di gang di depan ruang sidang menunggu lebih dari 50 orang saksi dan ahli.

Ketua sidang ialah dr. Heldmann. Petugas polisi Schuettrumpf membawa tertuduh ke dalam ruangan. Namanya Hopf. Ya, si bintang pertunjukkan itu. Ketika itu ia sudah berusia 51 tahun. Mereka yang pernah mengenalnya ataupun melihatnya di pentas, terkejut melihat betapa Hopf tampak menjadi tua. Mukanya gembung dan abu-abu, jalannya membungkuk. Suaranya pun tidak lagi seperti yang digambarkan di majalah-majalah ketika ia masih kuat cemerlang. Ia hanya berbisik hanya pertanyaan pertama yang diajukan ketua yang dijawabnya dengan suara tegas: 

“Apakah Anda mengaku salah?” 

“Saya tidak bersalah!” 

Tuduhan sangat berat. Ia dituduh membunuh 4 orang, antara lain:

* membunuh ayahnya Paul Hopf, 1895, 

* membunuh anaknya yang tidak sah, Karl Richter di Woersdorf, 1896, 

* membunuh istrinya yang pertama Josepha terlahir Henel di Niederhoechstadt 1902, dan 

* membunuh anaknya Elsa Hopf pada tahun 1906. 

Selain itu masih ada tiga pembunuhan dengan racun yang dituduhkan kepadanya: pembunuhan terhadap ibunya Auguste Hopf, istrinya Christine terlahir Schneider dan pada istrinya yang lain, Wally terlahir Siewiec.

 

Mau kawin lagi

Tanggal 22 Februari seorang pedagang dan guru anggar bernama Karl Hopf mengirimkan surat yang ditulis di kertas mahal pada kantor jawatan kepolisian di Frankfurt. Surat itu dibubuhi nama dan alamatnya, Frankfurt am Main, Bulowstrasse 13 dan juga nomor rekening di Pfalzischen Bank serta jam kerjanya (setiap hari dari pukul 10-11 dan pukul 3-4 serta hari Minggu pukul 10-11). 

Bunyi surat: “Karena saya ingin menikah dengan seorang warga negara Austria, maka saya membutuhkan surat keterangan kewarganegaraan untuk keperluan konsulat Austria. Saya memohon dengan hormat agar diberi keterangan tersebut. Saya sertakan pas militer, keterangan kelakuan baik dan surat kelahiran.” 

Dengan hormat, 

ttd: Karl Hopf

Wanita Austria yang mau dijadikan istrinya itu tinggal di Dresden. Namanya Wally Siewiec. Mereka berkenalan lewat iklan perjodohan. Mengapa Hopf harus mencari calon istri melalui iklan, tidak diketahui orang.

Wally seorang wanita muda, cantik dan sehat. Hopf sudah mendekati umur 50, akan tetapi masih tampak gagah. Bintang pertunjukan ini mendapat honor baik dan telah menceritakan riwayat hidupnya dengan “jujur”, yaitu ia sudah sekali menikah dan bahwa ia mendapat warisan dari ibunya.

Pada tanggal 9 April 1912, Wally menjadi istri Athos di London tempat ia sedang mengadakan pertunjukan.

Hopf lalu menutup asuransi jiwa timbal balik. Jumlahnya tinggi, 80.000 mark. Preminya juga sepadan tingginya 5000 mark. Akan tetapi honornya yang tinggi memungkinkan pembayaran premi ini. Permohonan asuransi jiwa ditandatangani Wally tanpa ragu-ragu, sebab suaminya mengatakan bahwa memang harus demikian. Akan tetapi waktu suaminya memintanya menyetujui untuk dikremasi jika meninggal, ia tidak mau dengan alasan bahwa hal itu tidak biasa dilakukan keluarganya.

Sesudah kembali ke Frankfurt, wanita muda itu mendapatkan suaminya sering diam-diam mengerjakan sesuatu di meja tulis. Akan tetapi bukan hanya itu saja yang aneh untuknya. Hopf meminta istrinya agar menjual barang-barang rumah tangga yang ia bawa, karena Hopf sendiri sudah punya semuanya. Yang diperlukan untuk rumah tangga mereka, Hopf sendirilah yang membelinya. Istrinya hanya boleh membeli bahan-bahan untuk makan siang dan malam saja.

Suatu kali Wally pergi beberapa hari ke kakaknya yang berdiam di Glashuetten di Taunus. Waktu kembali, Hopf menanyakan apakah ia ingin minum sesuatu. Wally meminta segelas anggur. Kemudian terlihat oleh Wally bahwa di lemari ada dua gelas yang seperti baru dipakai. Waktu memberesi kursi panjang hari berikutnya, ia menemukan pita merah dari sutra yang bukan miliknya. 

Hal itu membuatnya curiga. Ia bermaksud untuk meneliti meja tulis. la menemukan kuncinya di dalam laci rahasia dan membuka laci-laci meja tulis. Seperti diduganya, ia menemukan surat-surat cinta. Ia juga menemukan sampul berisi beberapa dokumen yang menyatakan bahwa Hopf sudah dua kali menikah. Selain itu ada gambar-gambar porno serta surat seorang lelaki kepada siapa Hopf ingin meminjam uang. Untuk sementara saja karena ibunya toh akan segera meninggal. Wally juga melihat bahwa asuransi jiwa yang ia sangka untuk Hopf saja juga berlaku untuk dia sendiri.

Waktu Hopf pulang jauh tengah malam, ia diam dahulu. Akan tetapi pagi berikutnya ia menanyakan hal-hal yang tidak begitu menyenangkan ini. Mereka bertengkar. Wally menangis, pergi keluar ruangan untuk mengambil saputangan. Waktu ia kembali dan minum seteguk teh, tiba-tiba ia mual. Mulutnya kaku, tangannya pun demikian. Wally menuduh suaminya menaruh racun di dalam teh. Ia meminta cognac. Minuman keras itu tidak bisa ia bawa ke mulut. Athos membaringkan istrinya di kursi panjang, mengusap-usap tangannya dan meminta maaf. Itu terjadi pada tanggal 9 Juli 1913.

Tepat sebulan kemudian, Wally jatuh sakit. Ia pusing dan merasa begitu sakit sehingga tidak bisa berdiri. Di tempat tidur ia menggigil kedinginan, kemudian badannya panas sekali dan kamar seperti berputar. Hopf setiap jam mengukur panas istrinya. Waktu ia sejenak sendirian, Wally melihat catatan di kalender saku dan dengan terkejut melihat bahwa suhu tubuhnya 40,5, padahal suaminya mengatakan bahwa ia sudah bebas demam.

Nyonya Hopf tetap sakit. Ia ingin masuk rumah sakit akan tetapi suaminya tidak mengizinkan. Karena perawatnya juga tidak setuju maka Wally tinggal di rumah. Ia melihat suaminya dengan cermat mencatat keadaan sakitnya. Makin lama ia makin sakit. Tangan dan tungkainya membengkak. Sekali-sekali keadaannya membaik. Suatu kali tiba-tiba semuanya kambuh kembali. Muntah-muntah, pusing, dan mencret. Ia menuduh suaminya bermaksud membunuhnya.

Seorang dokter yang dipanggil Wally, dengan hati-hati diberitahu oleh Hopf bahwa Wally sedikit histeris. Maka dokter memberikan diagnosa berdasarkan gejalanya itu.

Akhirnya si sakit dapat juga melaksanakan kemauannya untuk dipanggilkan seorang dokter lain, dr. Kramer. Waktu si sakit menceritakan pada dokter ini bahwa ia makin sakit setelah diberi sup dan kue oleh suaminya. Dokter Kramer tidak lagi menganggap nyonya Hopf histeris dan menentukan bahwa pasien harus dibawa ke rumah sakit.

 

Suami “tercinta”

Wally Hopf dibawa ke rumah sakit Diakones, di Eschenheimer Landstrasse. Hopf mengunjunginya dua kali sehari. Ia penuh perhatian dan selalu membawa hadiah, coklat, serta bunga. Ia bertanya kapan si istri boleh kembali ke rumah. la dapat mendatangkan seorang perawat seperti dulu lagi. 

Akan tetapi Wally masih curiga. Sudah beberapa bulan sakit, ia yakin Hopf ingin membunuhnya dan mulai menyatakan kecurigaannya kepada beberapa orang. Desas-desus ini juga didengar oleh seorang pengacara. Bagaimana sampainya ke telinga pengacara, tidak dapat diketahui dengan tepat. Pengacara itu dulu sudah pernah menjadi pembela orang-orang yang dituduh Hopf melakukan sesuatu. Kini pengacara itu melihat kesempatan untuk “memegang” Hopf. Ia memberi tahu jaksa. Pemeriksaan dimulai.

Pada hari Senin tanggal 16 Maret Inspektur Erich von Salomon, Komisaris Holzen dan petugas-petugas kriminal Fischer dan Schüttrumof menunggu di dekat rumah sakit Diakones. Mereka mengetahui bahwa Hopf mengunjungi istrinya. Waktu ia keluar rumah sakit dan menuju ke Eschenheimer Landstrasse, mereka menghampirinya, memegang tangannya dan memborgolnya. Di saku rompinya ditemukan sebotol kecil sianida. Kemudian Hopf mengaku bahwa ia sebetulnya akan mengosongkan botol itu jika ada kesempatan. Mereka membawanya ke kantor polisi di Klingerstrasse. Di sana ia ditahan.

Para petugas bersama dengan ahli kimia dr. Popp pergi ke rumah Buelowstrasse 13.

Rumah Hopf di tingkat tiga ditata dengan anggun. Di tingkat bawah ia masih mempunyai sebuah kamar lain yang tidak diketahui oleh istrinya pada bulan-bulan pertama perkawinan mereka. Itu laboratoriumnya. Para petugas tidak hanya di laboratorium saja menemukan beberapa jenis racun akan tetapi di seluruh rumah. Racun sianida dan arsenikum begitu banyak sehingga cukup untuk membunuh penduduk beberapa daerah di kota. Para petugas makin heran waktu mereka menemukan bibit-bibit kuman kolera dan tifus.

Pemeriksaan rumah masih mengungkapkan berbagai hal: ada cambuk, pakaian dalam wanita dari sutra, pokoknya segalanya yang menunjukkan kebiasaan seorang yang memiliki kelainan seksual. Mereka juga menemukan topeng hitam. Topeng ini dipakai Hopf jika ia di foto dalam adegan-adegan porno.

Diketemukan juga dari mana datangnya kuman-kuman kolera yaitu dari sebuah lembaga di Wina. Hopf memesannya di sana dengan alamat: Karl Hopf, Frankfurt am Main, “Laboratorium Kuman”. Perusahaan di Wina tentu menyangka bahwa mereka berhubungan dengan seorang yang berwewenang menangani kuman. Kuman-kuman itu sangat mahal.

Akhirnya Hopf dibawa kembali ke rumah, diborgol dan kakinya dirantai. Pandangannya selalu mengikuti para petugas waktu mereka memeriksa rumah dengan teliti. Ia tertawa waktu mereka memperlihatkan sebuah botol besar yang baunya menusuk. 

“Seperti darah yang sudah lama,” kata seorang petugas. Hopf tertawa dan menyatakan bahwa itu liquor kacang yang sudah rusak. Dan memang terbukti demikian setelah diperiksa.

Laporan yang dibuat para petugas panjangnya sampai sebelas halaman ketik. Antara lain ditulis: sebuah peti dengan 76 preparat mikroskopis, 2 jarum suntik, buku pelajaran mengenai toksologi untuk para dokter, mahasiswa dan apoteker. Index Mercks: “Die Beobachtungen Ueber den Verkehr Mit Giften, Geheimmitteln, und Arzneimitteln” (Pengamatan Tentang Hubungan dengan Racun, Alat Rahasia dan Obat-obatan). Sebuah buku berjudul: “Jamur-Jamur Kita yang Terkenal beracun.” “Atlas dan Dasar Bakteriologi” serta buku pelajaran: “Lehrbuch der Speziellen Bakteriologischen Diagnostik” karangan profesor B.K. Lehmann dan Prof. Dr. K.O. Neumann. 

Di samping itu buku-buku dan brosur tentang kedokteran hewan, tentang jiujitsu, tinju, sepatu roda, anggar, dan berkuda. Buku-buku cerita hanya sedikit saja: beberapa roman detektif, riwayat hidup David Copperfield, dongeng Seribu Satu Malam dan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Roman “Die Drei Musketiere”, tempat nama samaran “Athos” diambil, anehnya tidak ada. 

Di kamar tidurnya, di meja dekat tempat tidur ada sebuah botol sirup kola dengan strychnin dan botol obat dengan 30 cc strychnin. Di laboratorium selain racun dan kuman-kuman masih ada karbol, kreosol, lysol dan kloroform. Di samping itu ada beberapa jenis bahan kimiawi yang tidak beracun.

 

Pandai silat lidah

Pemeriksaan dimulai jam 3 dan berlangsung 6 jam lamanya. Jalan pemeriksaan sangat melelahkan karena tertuduh sama sigapnya berkata-kata seperti kalau mempergunakan floret dan pedang.

Hopf seorang olahragawan. Pipinya kemerah-merahan seperti pipi orang yang banyak berada di udara segar. Kumisnya agak keabu-abuan dan dipotong gaya Inggris, begitu pula rambutnya yang sudah beruban.

Karl Hopf memiliki sejumlah medali yang ia menangkan pada beberapa pertandingan. Waktu berdiri sebagai “Athos” di pentas, ia seorang artis yang dibayar tinggi. Nanti akan diketahui ke mana uang sebanyak itu mengalir. 

Sesudah interogasi yang lama itu, Hopf diberi roti. Ia meminta pisau. Permintaannya tidak dikabulkan. Hasil interogasi ini menentukan bagi perkara Hopf. Akhirnya ia mengaku ia telah meracuni istrinya yang ketiga.

Tidak sengaja katanya mula-mula. Tetapi akhirnya ia mengaku hanya menikahinya untuk memiliki uang asuransi. Ia tidak mengaku sudah mulai memberi racun pada tahun sebelumnya. Baru pada tanggal 16 Januari tahun tersebut ia memberikan segelas champagne beracun yang pertama. Istrinya lalu muntah-muntah dan mencret. Kemudian baru pada tanggal 15 Maret ia membubuhkan racun di dalam champagne. Waktu dokter memberikan obat yang mengandung candu untuk istrinya dan ia menggantikan dengan digitalis.

Kira-kira jam 9 malam, Hopf menandatangani pengakuannya yang pertama. Lalu ia dibawa kembali ke penjara polisi. Komisaris von Solomon membuat catatan sebagai berikut: “Pedagang dan guru anggar Karl Ludwig Emanuel Hopf telah ditangkap karena dituduh mencoba melakukan pembunuhan dengan racun. Ia telah menikah tiga kali. Istrinya yang pertama dan kedua meninggal dalam keadaan yang mencurigakan. Istrinya yang ketiga dimasukkan ke rumah sakit Diakones karena menderita penyakit yang mencurigakan. Di rumah sakit itu diketahui bahwa ia diracuni. Hanya suaminyalah yang dapat memberikan racun itu kepadanya. Hopf mengaku bahwa ia hanya menikahi istrinya yang sekarang agar dapat memiliki uang asuransi 80.000 mark.

Sudah pemeriksaan, koran-koran mengeluarkan berita yang boleh dikatakan lengkap mengenai perkara ini. Diketahui, bahwa 7 tahun yang lampau, pada tanggal 8 September 1906, telah diajukan tuduhan terhadap Hopf. Di Niederhochstadt, di mana Hopf tinggal dengan istrinya yang pertama, sudah ada kecurigaan bahwa Hopf membunuh istrinya. Orang juga sudah membicarakan adanya peternakan kuman-kuman. Tuduhan diajukan pada jaksa tinggi dr. Reeden di Frankfurt akan tetapi pemeriksaan kemudian dibatalkan. Malah tidak ada pemeriksaan rumah. Mungkin untuk para petugas, kemungkinan pembunuhan dengan bakteri itu terlampau fantastis. Arsenikum, strychnin, antimon, racun ini masih masuk akal, akan tetapi dengan bakteri, belum pernah ada orang yang membunuh. Di Frankfurt, orang menganggap tuduhan itu terlalu mengada-ada.

 

Masa lalu terungkap 

Tahun 1914 keadaan lebih jelas. Koran-koran memberitakan banyak hal tentang masa lalu Hopf. la bukanlah orang bersih. 

Di tahun 1909, waktu ia masih tinggal di Frankenallee 67, Frankfurt, ia dituduh melakukan pemerasan. Katanya ia akan mengungkapkan sesuatu yang bersifat rahasia dari seorang yang terkenal. 

1911, perkumpulan artis “Sicher wie Gold” menuduhnya menggelapkan uang kas perkumpulan. Menurut tuduhan lain, Hopf itu menjadi germo Amalie Leeb. 

Pada tahun 1912, Hopf didenda 200 mark karena melakukan penipuan. Akta-akta itu diam jika disimpan. Akan tetapi jika sudah terbuka di meja petugas maka mereka dapat mengungkapkan banyak.

Juga para pembaca koran banyak ingat hal-hal yang lalu. Pada tanggal 16 April seorang ahli nujum bernama Freya Schmitz menelepon kantor polisi waktu mendengar tentang penahanan Hopf. Ia mengatakan, bahwa istri Hopf pernah datang kepadanya sambil membawa teh beracun dan juga gambar-gambar porno dari suaminya. Nyonya Hopf bertanya apa yang harus ia lakukan. 

Dua orang petugas polisi mendatangi ahli nujum, mengambil kembali gambar-gambar porno dan memberi nasihat kepada nyonya Hopf agar memeriksakan teh di sebuah apotik. Pernah Hopf datang dan meminta pengembalian dokumen yang telah dicuri oleh istrinya. Yang dimaksudnya tentu gambar-gambar yang tidak senonoh itu.

Polisi menerima banyak surat kaleng. Kebanyakan tidak berguna. Akan tetapi sekretaris jawatan kereta api, Otto Pajunk, yang bertempat tinggal di Braubachstr Frankfurt yang pernah berdiam di Niederhochstadt, di depan keluarga Hopf, menyatakan beberapa hal yang penting.

Dialah yang menyuruh nyonya Hopf yang kedua untuk kembali ke orang tuanya. Dengan demikian ia telah menolong nyawa wanita itu. Polisi diberi keterangan bahwa Hopf sebelum pernikahannya yang pertama telah memerkosa seorang gadis yang bekerja sebagai pengelola rumahnya. Hopf mempunyai anak dengan gadis itu tetapi tidak lama kemudian anak itu meninggal. “Tentunya juga dibunuh Hopf. Anak itu dikubur di Worstadt,” tulis Otto Pajunk.

Di dalam surat itu Pajunk masih memberitahu Hopf pernah menangis tersedu-sedu di hadapan istri Pajunk dan mengaku ia manusia jahat.

Seorang wanita Frankfurt lain menyatakan bahwa ia tetangga sebelah rumah Hopf. “Kakak-kakak saya dan saya selalu mengintip ke dalam kamar Tuan Hopf di waktu musim panas. Ia selalu didatangi tamu wanita yang aneh-aneh. Ia memang selalu menutup jendela akan tetapi ada lubang besar sehingga kami dapat mengintip dari kamar kami di tingkat dua ke kamarnya yang terletak di tingkat satu.”

“Selain itu, Tuan Hopf disenangi di daerah kami. Dengan sebuah surat permohonan ia pergi dari rumah ke rumah dan berhasil mengumpulkan tanda tangan agar jalur trem ditambah sedikit dari rencana semula. Dengan demikian, maka Hopf dan tetangga-tetangga dapat turun dari trem hampir di depan rumah.”

“Hopf seorang lelaki yang ganteng. Ia selalu berbusana rapi. Ia hampir selalu memilih setelan biru tua memakai peci gaya Inggris dan menenteng sebuah koper kecil seperti tas kantor masa kini.”

Hopf diinterogasi terus-menerus. Di mana-mana ada orang-orang yang meninggal di dalam sejarah hidupnya. Orang tuanya, istri-istri, dan anak-anak tidak sah. Orang mulai curiga, jangan-jangan Hopf membunuh semuanya atau mungkin juga mempercepat akhir hayat mereka. Jenazah-jenazah digali kembali. Mereka menemukan arsenikum di badan nyonya Hopf pertama. Juga ada arsenikum di badan nyonya Hopf yang kedua, banyak bekas-bekas arsenikum di badan anak lelaki yang tidak sah, lebih banyak lagi di badan anak perempuannya, dan ada arsenikum dalam jenazah bapak Hopf. Pada ibu Hopf pembuktian agak sukar karena ibu Hopf dibakar. Di dalam mayat-mayat tidak dapat dibuktikan adanya kuman-kuman karena sudah terlampau lama.

Keterangan dr. Popp dan dr. Sieber antara lain hanya mencakup pertanyaan dari mana Karl Hopf mempunyai pengetahuannya tentang racun maut itu?

Tampaknya bekas murid sekolah menengah ini mempunyai pengetahuan dasar tentang ilmu alam fisika. Ia memperdalam kemampuan itu waktu bekerja pada firma Buedingen dan mendampingi seorang apoteker. Ia lama bekerja di bidang ini sebelum naik pentas.

Akhir tahun 90-an ia mengelola peternakan anjing di Niederhochstad. Maka ia juga mempelajari penyakit-penyakit anjing, memperdalam buku tentang bakterioIogi dan ilmu racun. Terlihat bahwa ia belajar dengan tekun karena ada catatan-catatan tangan pada bukunya. Ia menghadiahkan tengkorak anjing pada perkumpulan Schneckenberg.

Ia juga sudah menulis buku: “Anjing St. Bernard”. Sewaktu Hopf masih bersekolah, bakteriologi merupakan ilmu yang sedang berkembang. Yang tampak nyata adalah bahwa Hopf makin lama makin tertarik pada racun. Buku-buku tentang racun makin bertambah. Isinya tentang bagaimana dapat dibuktikan adanya arsenikum dalam mayat, bagaimana akibat strychnin dan atropin. Semuanya sudah ia pelajari. Roman-roman dengan tema ini dibacanya dengan saksama. Misalnya ia membaca roman kriminal: “Pembunuhan dengan Racun di Fellin” mungkin karena ada lukisan tentang bagaimana para pembunuh itu bekerja dan bagaimana mayat itu digali kembali dan diperiksa. Bekas jari dan komentar pada halaman-halaman buku mengungkapkan bahwa karya-karya ilmiah dari Lehmann, Neumann, Heim dan Jess telah ditelitinya. Di dalam surat-menyurat yang ia lakukan pada waktu itu dengan Museum Krai, ia memakai kata ilmiah.

 

Berbelit-belit

Di pengadilan Frankfurt di bangku tertuduh Hopf tampak senewen. Ia terus mengusap-usap kening seperti harus menghilangkan sesuatu. Jari-jemarinya gemetar. Tampak jelas jika ia harus menjawab pertanyaan yang sulit. Seakan-akan ia harus berpikir dan hal itu agak sukar. Akan tetapi ia mungkin risau karena dalam pemeriksaan pertama yang dilakukan oleh Komisaris Erich von Salomon, ia membuat kesalahan (menurut dia sendiri) yang penting yakni ia mengaku bermaksud membunuh istrinya yang ketiga karena ingin mendapat premi asuransi jiwa yang telah dijanjikan.

Pada hari pertama, sidang seperti sebuah seminar ilmiah karena banyak dibicarakan tentang kuman, racun dan bahan-bahan kimia. Hakim ketua dr. Heldmann seorang pemimpin yang pandai. Ia tidak tergesa-gesa tidak mengabaikan hal yang kurang terang dan memberi para ilmuwan cukup waktu untuk meneliti. Ia menghendaki juri mengetahui semuanya dengan cermat.

Jalan hidup tertuduh diuraikan: ayahnya seorang swasta. Karl tadinya bersekolah sampai kelas 1 sekolah menengah lalu kemudian di sebuah sekolah khusus karena ia tidak maju-maju. Di sekolah itu ia belajar sampai lulus. la masuk tentara lalu setahun kemudian bekerja di apotek. Ia pergi ke Casablanca dua tahun untuk bekerja pada sebuah perusahaan yang berdagang hasil bumi besar-besaran dan bahan-bahan kimiawi. Ia terkena malaria dan kembali ke Frankfurt.

Sesudah itu beberapa kali ia tinggal tidak terlalu lama di Brussel dan London. Tahun 1894 ia kembali ke Jerman membuka toko makanan ternak di Woersdorf di daerah Taunus. Di samping itu ia masih juga berdagang bahan-bahan kimia. Hobinya adalah beternak anjing.

Ia meminjam uang 14.000 mark dari ayahnya tetapi tidak ada yang ditabung. Katanya, ayahnya telah meminta bunga 4%. Ia tinggal di Woersdorf kurang dari 4 tahun. Menurut keterangannya toko itu memberi keuntungan.

Ketua: “Mengapa toko itu Anda tutup jika memberi keuntungan?” 

Hopf: “Waktu itu saya ingin pindah ke Frankfurt.” 

Ketua: “Masih berapakah utang pada ayah Anda waktu pergi dari Woersdorf?” 

Hopf: “Saya tidak ingat dengan tepat. Ayah saya sudah meninggal tahun 1895.” 

Ketua: “Siapa ahli warisnya?” 

Hopf: “Saya tidak menerimanya.”

Ketua: “Apakah Anda membayar bunga dengan teratur waktu meminjam?” 

Hopf: “Saya sudah tidak ingat lagi sekarang.”

Hopf waktu itu tidak pindah ke Frankfurt tetapi pergi ke Niederhoechstadt. Di sana ia membeli rumah yang luas seharga 12.000 mark dan kemudian khusus mencurahkan perhatiannya pada peternakan anjing dan menjual obat untuk anjing, serum untuk ulat dan serangga, obat-obat penemuannya yang diramu sendiri.

Ketua diberi tahu, bahwa rumah di pedesaan itu dibebani hipotik sebanyak 7.500 mark dan bahwa Hopf masih menambah hipotik sebanyak 3.500, 4.000 dan 5.000 mark.

Lagi-lagi Hopf mengusap-usap keningnya waktu ia mendengar tentang jumlah itu. 

Bagaimana ia sampai bisa membebani rumah pedesaan itu dengan hipotik jauh melebihi nilai rumah itu?

Apa jadinya utangnya pada ayahnya? 

Ketua meminta penjelasan. 

Hopf menerangkan bahwa di tahun 1911, ia mewarisi 27.000 mark dari ibunya. 

“Dan kakak Anda?” 

“Juga sebanyak itu.”

Ketua meneliti akta-akta. Surat warisan menyatakan bahwa jumlah warisan 40.000 mark.

Jadi Karl Hopf sendiri tidak bisa mewarisi 27.000 mark

Tertuduh menggumam tentang surat-surat berharga yang nilainya tidak bisa ditentukan dengan tepat. Waktu ditanyakan apakah yang masih menjadi miliknya, ia mengatakan: “Waktu saya ditahan, saya masih memiliki uang tunai sebanyak 7.000 mark. Uang itu diambil, begitu pula perabot-perabot rumah tangga. Pada waktu ini saya tidak memiliki apa-apa.”

 

“Sehat” berkat arsenikum

Ketua: “Sesudah Anda ditahan, ditemukan racun di rumah Anda. Digitalis, morphium, opium, dan arsenikum. Apa gunanya racun itu?”

Hopf mengaku mempergunakan racun itu sebagian bagi anjing-anjingnya dan sebagian bagi eksperimen-eksperimennya. Juga kuman-kuman hanya untuk keperluan studi dan percobaan.

Waktu dr. Heldmann memberi komentar bahwa untuk keperluan percobaan-percobaan semacam itu ada bahan-bahan yang kurang membahayakan, Hopf berdiam diri.

Ketua berterus-terang: “Anda memberikan racun kepada istri Anda?” 

Hopf: “Ya.”

Ketua: “Apa yang Anda berikan kepada istri Anda waktu termometer Anda menunjukkan 40 derajat?”

Hopf dengan perlahan: “Kuman tifus.”

Ternyata ketika nyonya Hopf sudah agak baik, Hopf menulis pada institut di Wina, mengeluh bahwa kuman-kuman tifus yang diberikan kepadanya tidak cukup segar.

Ketua: “Di dalam mayat ayah Anda ditemukan arsenikum. Coba Anda terangkan kehadiran racun yang keras itu.”

Ia tidak tahu, katanya. Lagi pula waktu itu ia tidak berada di Frankfurt. 

Ketua: “Di Woersdorf, Anda hidup dengan pengelola rumah tangga Anda. Anda mempunyai anak darinya? Benarkah itu?”

Hopf mengaku. Anak itu hanya hidup setahun saja. Pada tanggal 1 April 1896, anak itu meninggal karena menderita bengkak gigi yang gawat.

Akan tetapi orang menemukan arsenikum dalam badan anak itu! Yah, ia telah menyuntikan arsenikum ke dalam mayat anak itu agar tidak cepat busuk.

Akan tetapi mengapa juga di dalam tulang belulang ada arsenikum? Jawab Hopf dengan gaya seorang ilmuwan: “Arsenikum masuk ke dalam tulang-tulang. Sebenarnya hanya karena ibu saya, saya tidak menikahi anak gadis itu yang telah memberikan anak bagi saya. Saya sangat mencintai keduanya.”

Ketua: “Kemudian, Anda masih menikahi seorang lain, istri Anda Josepha. Dengan wanita ini Anda pergi ke Niederhoechstadt tahun 1898. Apakah Anda mengetahui bahwa di badan wanita ini juga ditemukan arsenikum?”

Hopf: “Josepha sendiri banyak meminum arsenikum. la ingin menjadi lebih berisi.” Bukan Hopf yang menyarankan berbuat demikian, katanya meskipun ia mengetahui bahwa anjing-anjing dengan diberi arsenikum dapat tampak lebih sehat.

Ketua: “Akan tetapi istri Anda ‘kan bukan anjing!” 

Waktu didesak kembali Hopf menjawab: “Tidak, saya tidak memberikan arsenikum pada istri saya yang pertama.”

Karena apa ia meninggal? Yah, setahu Hopf istrinya itu meninggal karena menderita tukak lambung yang hebat. 

Ketua: “Untuk istri Anda, Anda telah menutup asuransi jiwa lebih dari 20.000 mark. Suatu asuransi yang disebut ‘untuk hidup semati’. Nah, hendaknya para juri mau memperhatikan ini. Apakah sebelum dibuat asuransi istri Anda diperiksa? Apakah ia sehat?”

Josepha hanya hidup dua bulan sesudah asuransi dibuat. Timbullah desas-desus karena sebelumnya ia tidak pernah sakit-sakitan. Di lingkungan kenalan diketahui bahwa Hopf mempunyai peternakan kuman katanya untuk mendapatkan serum. Tadinya orang hanya membicarakannya, kemudian diajukan kepada jaksa tetapi kemudian dianggap gunjingan orang belaka dan dikesampingkan.

“Apakah Anda membunuh istri Anda yang pertama dengan racun?” tanya ketua. 

“Saya memberinya tetesan arsenikum karena ia menderita tukak lambung,” jawab tertuduh.

Di ruang sidang orang terdiam waktu ibu tiri istri pertama memberikan keterangan. Ia dan keluarga tidak mengetahui bahwa Josepha diasuransikan jiwanya. Waktu anak tirinya sakit, ia sendiri yang merawatnya. Ia selalu pergi ke Niederhoechstadt. Istri Hopf yang masih muda itu terus muntah-muntah akan tetapi hingga akhir hayatnya warna mukanya seperti orang sehat dan matanya bersinar terang seperti seorang yang demam tinggi. Hopf penuh perhatian terhadap istrinya namun ia menolak untuk membawanya ke rumah sakit.

Seorang wanita bernama nyonya Geill menyaksikan bahwa nyonya Josepha yang tadinya penuh gairah hidup tiba-tiba sakit-sakitan. Dulu tidak demikian. Di seluruh desa mereka membicarakan hal itu.

Seorang saksi yang agak bodoh, adalah dokter P, yang tidak segera mengetahui apa yang diderita nyonya Hopf yang pertama. Ia menyangka itu tukak lambung. Ia juga tidak curiga waktu Hopf memperlihatkan kuman-kuman tuberkulosis dan peternakan mikroorganisme lain di dalam laboratoriumnya. Hopf dapat memakai kuman-kuman itu dengan baik, begitu sangkanya. Ia sendiri menyangka Hopf jujur. Ia pernah menggunakan laboratorium Hopf sebagai apotek dan memakai obat-obatan yang juga dipakai Hopf untuk mengobati istrinya.

Saksi Sprengler menyatakan bahwa ia melihat nyonya Hopf yang pertama selalu seperti menggigil. Lalu ia ingat akan pemyataan Hopf: “Jika Anda membutuhkan racun yang tidak tampak di badan manusia, datanglah pada saya.”

Selama pemeriksaan pendahuluan, mayat nyonya Josepha dan anaknya dari perkawinan pertama diperiksa.

Hakim dr. Ruhl, yang menyaksikan penggalian kembali, menyatakan bahwa Hopf yang berdiri di sebelahnya waktu peti-peti itu digali keluar, menggigil sekujur badan. Atas pertanyaan apakah ia kini mau mengaku, Hopf menerangkan: “Ya, tulislah saja.” Akan tetapi ia menambahkan, bahwa semuanya itu harus ada aturannya. Di kuburan tidak bisa dilakukan. Pada hari berikutnya, Hopf menemukan sikap tenang kembali dan tidak mau mengaku apapun.

 

Juga orang tuanya tak luput

Karena istri pertama mendatangkan 20.000 mark, Hopf lebih berani dalam menamatkan istrinya yang selanjutnya, Christina. Ia pergi ke sebuah perusahaan asuransi lain. Kali ini ia meninggikan jumlah uang asuransi menjadi 30.000 mark. Di dalam surat-surat asuransi, ia tidak mengaku bahwa ia sudah pernah menutup asuransi. Pemeriksaan atas kesehatan sang istri memberi hasil baik. 

Akan tetapi sewaktu sudah menikah, Christina sakit-sakitan. Waktu anaknya meninggal maka desas desus tentang matinya istri pertama di Niederhoechstadt timbul kembali. Petugas polisi Baumann Schoemberg ingin mengeluarkan perintah penahanan di Wiesbaden akan tetapi di situ ia ditolak. Juga sekretaris jawatan kereta api yang sudah pensiun, Otto Pajunk, seorang tetangga Hopf yang tadinya agak mengagumi lelaki yang cerdik ini, sesudah Josepha meninggal mulai menaruh curiga. Waktu Christina mulai sakit-sakitan ia tidak diam. Lalu Hopf melapor ke polisi. Memutar-balikkan keadaan memang ciri khas Hopf. 

Akan tetapi Pajunk, petugas polisi dan seorang yang menulis surat kaleng, tinggal diam. Bertahun-tahun kemudian sangkaan mereka terbukti benar: di mayat Christina dan anaknya ditemukan arsenikum. Kemudian diperiksa orang tua istri kedua bernama Schneider. Mereka menerangkan bahwa pada waktu itu mereka menerima surat-surat dengan rasa curiga. Maka mereka mengambil Christina kembali ke Frankfurt. 

Dengan terus terang mereka katakan kepada menantu mereka bahwa si menantu rupanya ingin membunuh. Juga dokter yang merawat, dr. P, menyarankan kepada kedua orang tua itu agar mengambil anaknya dan tidak dikembalikan lagi ke Hopf. Ny. Schneider menceritakan akhir hayat Christina yang menyedihkan. Anaknya ini, yang kemudian menikah kembali, mati karena TBC. Saksi yakin, bahwa Hopf tidak saja memberikan arsenikum pada anaknya akan tetapi juga kuman-kuman TBC. Sebab Hopf waktu itu berkata padanya: “Anda berhasil membawa pulang anak Anda, akan tetapi Anda masih akan mengingat saya!” 

Premi yang dibayarkan Hopf untuk asuransi jiwa Christina tidak berguna baginya, karena sewaktu meninggal, Christina sudah menikah dengan lelaki lain. Hopf tidak mendapat 30.000 mark.

Pasal lain yang juga menyibukkan pengadilan adalah matinya orang tua Hopf. 

Sesudah meminum air soda, ayahnya muntah-muntah hebat dan kemudian meninggal.

Hopf tidak mengaku campur tangan. Tetapi dalam hal kematian ibunya ia mengaku terang-terangan memberikan cairan arsenikum tapi buat anjingnya. Mungkin kemudian ibunya sendirilah yang meminum arsenikum itu.

Kata ketua dengan sarkastis: “Ayah Anda minum air soda yang ada arsenikumnya. Anak Anda yang tidak sah, Anda berikan suntikan arsenikum sesudah meninggal. Kedua istri Anda menjalani perawatan dengan arsenikum. Anak Anda yang sah kembali Anda beri arsenikum sesudah meninggal dan ibu Anda katanya meminum arsenikum yang sebenarnya untuk anjingnya. Bagaimana bisa bahwa seluruh keluarga menyenangi arsenikum?”

Lalu dipanggil saksi yang paling menarik, yakni Wally Hopf, istri ketiga yang diasuransikan sampai 80.000 mark oleh Hopf. Wanita yang masih bisa tertolong itu menceritakan riwayat hidupnya. Waktu ditanyakan apakah ia tidak pernah memikirkan dengan cara apa suaminya itu mencari nafkah, ia menggelengkan kepala. Ia tidak tahu. Suaminya tidak lagi berdiri atas panggung sandiwara. Pada pagi hari pernah datang dua lelaki untuk belajar anggar. Itu saja. Persoalan dengan asuransi membuatnya berpikir. Karena itu ia meminta suaminya untuk membatalkan asuransi itu. Akan tetapi Hopf tidak setuju.

Hal itu dibicarakan sewaktu ia meminum champagne, yang ada sesuatu di dalamnya. Rasanya seperti diberi parfum lavender.

Ketua: “Tertuduh, apakah tanggapan Anda atas keterangan istri Anda?” 

Hopf: “Ya mungkin benar.” 

Ketua: “Apakah yang Anda masukkan ke dalam champagne?” 

Hopf: “Arsenikum.”

Ketua: “Hopf, apakah Anda menikahi wanita ini untuk dibunuh?”

Hopf: “Bahwa saya mau membunuhnya itu tidak saya sangkal.” 

Ruangan bawah di rumahnya tidak pernah boleh dimasuki saksi. Tadinya saksi tidak curiga. Ia menyangka suaminya memerlukan racun dan obat-obatan untuk melakukan percobaan dengan anjing. Andaikata karena cemburu ia tidak memeriksa laci meja kerja suaminya, maka ia tidak akan mengetahui bahwa suaminya sudah menikah dua kali.

Direktur Baessgen,dari sebuah perusahaan asuransi Swiss, mengatakan bahwa Hopf mengaku dirinya grosir obat-obatan dan mempunyai pendapatan 20.000 mark setahun. Itu belum dihitung modal dan honor sebagai guru anggar. Karena ia hanya mempunyai murid dari kalangan atas.

Pada kesempatan itu pengadilan menemukan bahwa Hopf tidak cukup mempunyai uang lagi untuk membayar premi asuransi jiwa. Waktu mendesak. Nyonya Wally harus meninggal.

Dr. Popp, yang penelitiannya memerlukan 6 bulan, menerangkan bahwa arsenikum, racun yang tidak dapat dicium dan tidak ada rasanya sangat berbahaya. Tapi arsenikum masih lama kemudian bisa dibuktikan. Di dalam mayat nyonya Josepha Hopf dan di dalam mayat anak yang tidak sah, persentase arsenikum sangat tinggi.

Akan tetapi juga di dalam badan Christina Hopf dan anaknya dapat dibuktikan adanya arsenikum.

Apakah penyakit tuberkulosis Christine Hopf juga dibuat oleh kuman-kuman TBC yang diternakkan, itu hanya dugaan belaka meskipun Hopf pada waktu itu memiliki kuman-kuman tuberkulosis.

Dengan pengakuan tertuduh, bahwa ia memberikan kuman-kuman TBC pada istrinya yang ketiga, maka ia menjadi seorang yang unik di dalam sejarah kriminal: untuk pertama kalinya seorang penjahat mencoba membunuh dengan cara ini.

Hopf duduk lemas di bangku tertuduh. Waktu ketua bertanya apakah sesudah keterangan ahli ini ia masih mungkir membunuh istrinya yang pertama, maka ia bergumam: “Tidak.”

Seorang ahli lain, dr. Sichel, dipanggil. Ia sampai pada kesimpulan bahwa Hopf merupakan suatu teka-teki psikologi namun jiwanya sehat. Juga perbuatan seksualnya tidak bisa dihubungkan dengan kejahatannya.

Kini juga ditunjukkan gambar-gambar porno. Di situ Hopf selalu ada karena ia menggunakan kamera dengan jepretan otomatis. Mukanya ditutup dengan topeng hitam. Kadang-kadang dengan seorang wanita, terkadang dengan dua sekaligus. Mereka wanita panggilan murahan, yang ia ambil di Altstadt.

 

Keputusan terakhir

Jaksa Tinggi dr. Blume, sebagai penuntut umum, melukiskan jalan hidup tertuduh yang luar biasa dan mengucapkan terima kasih pada dr. Kramer yang telah mulai mengungkapkan perkara.

“Hal itu terjadi sewaktu nyonya Wally Hopf berada dalam bahaya besar. Premi berikutnya untuk asuransi jiwa yang tinggi harus dibayar padahal tidak ada cukup uang untuk membayarnya. Hopf berpura-pura kasihan sambil membunuh. Ia tampak pergi ke rumah sakit seperti seorang suami yang penuh kasih sayang. Tetapi ia hanya berpikir bagaimana wanita itu dapat dibunuhnya.”

Jaksa Keller merinci tuduhan. Yang tampak seperti hal-hal yang kurang penting juga ditelitinya. Karena Hopf meminjam banyak uang pada ayahnya, sejumlah 14.000 mark, dan arsenikum telah ditemukan di dalam mayat si ayah, maka dianggap telah dilakukan percobaan pembunuhan. Dalam hal ibunya dapat dikatakan ia melakukan pembunuhan sempurna.

Tidak ada hukuman lain kecuali hukuman mati. Hopf memilih korban antara orang-orang yang paling dekat dengannya. Hopf hanya membiarkan mereka menderita karena ia ingin untung belaka.

Berbalik kepada juri jaksa mengatakan: 

“Saya berharap, Anda memberikan hukuman setimpal pada penjahat berat ini!”

Pengacara dr. Sinzheimer, pembela tertuduh, memberi komentar: tidak ada tertuduh — begitulah menurut hukum — dapat dihukum sebelum pembela berbicara. Ia mengerti perasaan hadirin di ruang sidang. Tetapi ia tidak mengubah fakta, bahwa juri hanya boleh menghukum, jika kesalahan sudah benar-benar terbukti.

Dr. Sinzheimer memulai pleidoinya: 

Peracunan dengan arsenikum menimbulkan problema. 30% dari umat manusia itu menghasilkan arsenikum. Apakah lalu dikatakan bahwa semua diracuni dengan arsenikum? Baik di dalam hal ayah maupun ibu Hopf, hanya samar-samar dapat dibuktikan bahwa ada keracunan. Mereka itu meninggal sebagai orang-orang lanjut usia. Begitu pula kedua anak, mungkin meninggal karena sebab-sebab alamiah. Bahwa Hopf menyuntikkan arsenikum ke dalam mayat kedua anak tadi, memang terdengar aneh. Siapa yang hendak mengingkari hal ini?

Hopf banyak berkelana. Ia pernah tinggal di Maroko dan mengenal adat istiadat asing. Ia membaca di buku lama bahwa arsenikum disuntikkan pada mayat agar lebih lama utuh. Jika toh masih ada alasan untuk mencurigainya, maka sebenarnya hanya boleh dituduhkan percobaan untuk membunuh, tetapi bukan pembunuhan.

Juri hanya berunding 1 jam 20 menit. Pemimpin menyatakan keputusan:

Dalam hal ayah Hopf dan juga pada ibunya, ia dinyatakan tak bersalah. Pada istrinya yang pertama, Josepha, juri memutuskan bahwa tertuduh bersalah melakukan pembunuhan. Pada istri yang kedua, percobaan membunuh, begitu pula pada kedua anak. Dan percobaan membunuh ini juga terbukti pada istri yang ketiga.

Pengadilan menjatuhkan hukuman berikut: 

Karl Ludwig Emanuel Hopf dihukum mati karena membunuh, karena percobaan membunuh dijatuhkan 15 tahun penjara dan hilangnya kehormatan sebagai seorang warga negara. 

Juri dan juga beberapa ahli tidak mau menerima honor harian. Mereka ingin agar uang itu diberikan kepada nyonya Wally Hopf.

Ada surat pamit dari Hopf: terhukum dalam surat itu masih menyatakan ia tidak bersalah. Istrinya yang menyebabkan ia celaka.

Pada tanggal 21 Maret, jaksa kepala pada pengadilan di Frankfurt memberitahukan secara sangat rahasia pada kepala polisi bahwa:

“Pelaksanaan hukuman atas Karl Hopf sudah ditentukan pada tanggal 23 Maret 1914, jam 7 pagi di halaman dalam penjara Preungesheim.

“Selanjutnya saya meminta, agar dari pemberitahuan yang terlampir dibuat 100 buah atas kertas merah mengilat. Pencetak dan para pembantunya agar diwajibkan merahasiakan itu. Segera sesudah pelaksanaan hukuman, selebaran pemberitahuan saya harap ditaruh di tempat-tempat yang pantas di kota ini. Begitu pula di Niederhoechstadt.”

Harian Frankfurt Nachrichten, pada tanggal 23 Maret memberitakan:

“Raja tidak memakai hak untuk memberi ampun. Keputusan dapat dijalankan.”

Hopf dilepaskan dari borgol. Beberapa petugas penjara tetap tinggal di selnya. Pembunuh hingga saat terakhir menunjukkan sikap tenang. Ia tidak mau menerima rohaniwan. la diberi roti dan sosis yang dimakannya. Kemudian hingga jauh malam ia merokok. Pada jam 4 pagi ia terbangun dari tidur sejenak. Ia meminum kopi dan kembali merokok. Algojo Goebel dari Magdeburg menjalankan hukuman sesudah jaksa sekali lagi membacakan keputusan dan memperlihatkan tanda tangan raja kepada Hopf.

(Richard Kirn)

Baca Juga: Ekor Pembunuhan Nona Kwitang

 

" ["url"]=> string(88) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726761/cerita-di-belakang-seorang-bintang-panggung" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678782083000) } } [6]=> object(stdClass)#142 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3726644" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#143 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/03/14/intisari-plus-204-1980-40-satu-g-20230314065851.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#144 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(5) "Ade S" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(8011) ["email"]=> string(22) "ade.intisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Ketika Amerika masih menderita akibat depresi ekonomi, muncul pasangan Bonnie and Clyde. Keduanya selalu membunuh setiap melakukan aksinya." ["section"]=> object(stdClass)#145 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/03/14/intisari-plus-204-1980-40-satu-g-20230314065851.jpg" ["title"]=> string(30) "Satu Garis Berarti Satu Korban" ["published_date"]=> string(19) "2023-03-14 06:59:20" ["content"]=> string(18141) "

Intisari Plus - Ketika Amerika masih menderita akibat depresi ekonomi, muncul pasangan Bonnie and Clyde. Kerap membuat pusing polisi yang mengejar, keduanya selalu membunuh setiap melakukan aksinya.

----------

“Maaf saya membangunkan Bapak. Tapi kami kehabisan bensin,” kata seorang pemuda. Pemilik pompa bensin Hillsboro di Texas, seorang pria berumur 65 tahun bernama John Bucher membuka jendela di tingkat pertama. Ia melihat dua pemuda yang berpakaian rapi dan memberi kesan baik-baik. Salah seorang di antaranya mungkin meminjam kendaraan “daddy” untuk keluyuran malam hari, pikir Bucher.

“Saya segera turun,” kata orang tua itu seraya memakai celana panjangnya. 

Salah seorang dari dua pemuda itu bernama Clyde Chesnut Barrow, lahir tahun 1909 di Telaco, Texas. Seorang lagi bernama Raymond Hamilton. Tempat dan tanggal lahirnya tidak tercatat dalam sejarah. Kendaraan yang mereka pakai sebuah Ford V-8 yang baru saja mereka curi.

Peristiwa ini terjadi tengah malam tanggal 30 April 1932. Ketika itu Amerika Serikat masih “sakit” akibat depresi ekonomi tahun 1929.

Bucher mengisi penuh tangki bensin Ford. Clyde Barrow menyodorkan uang lembaran 10 dolar.

“Tidak ada yang lebih kecil, Nak?” tanya Bucher. “Saya harus membuka peti besi untuk memberi uang kembalian.”

Ketika Barrow dan Hamilton mendengar kata “peti besi”, mata mereka berkilat sejenak.

“Menyesal pak, tapi ini yang paling kecil. Uang kami cuma itu saja.”

Bucher menarik napas panjang. Clyde dan Raymond membuntutinya masuk ke dalam ruangan. Mereka memperhatikan ketika orang tua itu membentuk kombinasi angka-angka di tombol peti besinya. Ketika pintu peti terbuka, Barrow dan Hamilton menodongkan pistol mereka.

“Kami ambil semua isinya, old man,” gertak Clyde. Bucher tampaknya akan protes. Clyde menembakkan tiga peluru ke kepala orang yang malang itu sehingga pria itu terjerembab tidak bergerak lagi di lantai.

Dengan tenang Clyde menembakkan lagi enam peluru ke kepala pria itu.

“Ayo kita pergi dari sini,” katanya kepada temannya sesudah mengosongkan peti besi yang isinya kurang dari 100 dolar.

Beginilah cara Clyde Barrow membunuh pertama kali dan korbannya pria tua yang tidak berdaya. Kehidupan Clyde pernah difilmkan tahun 60-an dan filmnya itu berjudul Bonnie and Clyde. Hanya saja dalam film itu ia digambarkan sebagai tokoh yang simpatik.

Bonnie juga berasal dari Texas. Tetapi Bonnie dan Clyde yang sebenarnya jauh dari romantis dan fisiknya tidak menarik. Jadi lain daripada yang ditampilkan dalam film. Bonnie dan Clyde yang asli merupakan manusia-manusia sederhana.

Bonnie dan Clyde bertemu di Dallas, Texas, tahun 1930. Bonnie Parker waktu itu menjadi pelayan “speak-easy” yaitu warung yang menjual minuman keras secara ilegal.

Bonnie berumur 19 tahun, Clyde yang ditakdirkan tewas dengannya berumur 23 tahun.

Clyde baru saja dibebaskan dengan syarat dari penjara Huntsville tetapi dicari-cari oleh polisi kota-kota lain karena mencuri dan kejahatan-kejahatan kecil lain. Bonnie sudah menikah sejak berumur 16 tahun dengan seseorang bernama Roy Thornton. Sang suami terhalang menjalankan hidup berkeluarga sebab sedang menjalankan hukuman penjara 99 tahun karena pencurian-pencurian dan penyerangan-penyerangan bersenjata.

Bonnie menghormati tradisi tua dalam kehidupan gangster yaitu tidak minta cerai walaupun suaminya masuk penjara. Resminya ia tetap Mrs. Thornton ketika tewas walaupun ia selalu memakai namanya sendiri.

Tapi ini tidak berarti ia setia dalam segala hal pada suaminya. Begitu bertemu dengan Clyde Barrow, malamnya ia sudah tidur di ranjang pemuda itu. Clyde juga memperlihatkan senjata rahasianya berupa senjata berburu bersarung khusus yang ditaruh di tungkai kanannya, di kantong pantalon. Alat ini bisa dipakai menembak hampir sama cepatnya dengan pistol tapi efek tembakannya lebih kejam.

Clyde Barrow tergila-gila pada senjata api. Ini tidak aneh untuk orang Amerika di tahun 30-an. Tetapi Bonnie juga mempunyai kegemaran yang sama, padahal bagi wanita hal ini tidak lazim.

Selama 3 tahun, pasangan yang berbahaya ini berkeliling di Barat Daya Amerika Serikat dengan bagasi berupa senjata-senjata api otomatis yang bisa dibawa-bawa, senjata-senjata berburu, pistol-pistol otomatis dan peluru berbagai kaliber. Jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang mereka butuhkan. Tetapi Bonnie dan Clyde menyukai senjata-senjata itu, bukan hanya karena kekuatan yang bisa diberikannya.

Menurut psikoanalis, kecintaan terhadap senjata-senjata ini merupakan cara substitusi untuk menyatakan kejantanan. Clyde Barrow ketika bertemu dengan Bonnie memang bukan pria yang berpengalaman kecuali beberapa hubungan homoseksual di penjara. Bonnie lebih berpengalaman. Bahkan, menurut suatu analisa psikiatris, ia abnormal. Bonnie dinyatakan sadis, fetish, masokhis dan kadang-kadang lesbian.

Selain itu pasangan ideal ini mendapat tambahan penilaian sebagai “kriminal psikopat”. Bonnie dan Clyde bukan cuma membawa senjata jauh lebih banyak daripada yang mereka butuhkan, tetapi juga membunuh banyak orang yang sebetulnya tidak perlu mereka bunuh. Mereka membunuh karena senang membunuh, tetapi hal ini baru terjadi kemudian.

Kedua kekasih ini sedang dalam “bulan madu” ketika Clyde ditangkap dan dikurung di penjara Waco, Texas. Hal ini memungkinkan Bonnie melakukan petualangan pertamanya yang legendaris. Pada suatu kunjungan, ia berhasil menyampaikan kepada Clyde sebuah pistol kecil yang disembunyikannya di antara dua payudaranya yang tidak montok. Senjata ini memungkinkan Clyde Barrow untuk melarikan diri.

Beberapa bulan kemudian kedua kekasih ini bergabung dengan seorang bandit lain, Raymond Hamilton. Dengan didampingi temannya inilah Clyde membunuh pemilik pompa bensin di Hillsboro itu.

Kriminolog Amerika menyebut geng tiga orang ini sebagai Gang Barrow I.

Pada bulan-bulan berikutnya trio ini berkeliling dengan kendaraan-kendaraan curian dan melakukan serentetan penodongan di toko-toko dan pompa-pompa bensin.

Pada salah satu peristiwa penodongan di Kaufman, Texas, Bonnie Parker tertangkap. la dibebaskan tiga bulan kemudian. 90 hari di penjara ini dipergunakannya untuk menulis sajak berjudul “The Story of Suicide Sal” yang menceritakan petualangan-petualangan seorang gun moll yaitu kekasih seorang gangster bernama Sally yang akhirnya bunuh diri.

Tidak lama kemudian Hamilton tertangkap dan mendekam lama di penjara Eastman, Texas. Ray Hamilton bukan hanya partner kriminal untuk Bonnie dan Clyde, tetapi juga aktif dari “upacara-upacara” cinta segitiga. Untuk menggantikan tugas terakhir ini, Bonnie dan Clyde mengambil seorang pemuda umur 17 tahun, William Daniel Jones yang suatu ketika berdiri di tepi jalan untuk minta ikut dengan mobil mereka.

Texas terlalu “panas” bagi mereka sehingga mereka mencari daerah lain. Mereka pergi ke Oklahoma, Missouri dan New Mexico. Di wilayah terakhir ini, di Carlsbad, Bonnie Parker pertama kali membunuh. Korbannya wakil sheriff yang menghampiri kendaraan mereka semata-mata untuk memeriksa surat-surat mobil.

Pada hari yang sama ketika mereka melewati perbatasan menuju ke Texas, Bonnie menembak seorang polisi lalu lintas sampai mati hanya karena polisi itu berjalan di jalan yang sama dengan yang dilalui mobilnya. Dua polisi dalam 24 jam. Skor yang hebat.

Clyde tidak mau ketinggalan. Ia juga membunuh seorang wakil sheriff yang terlalu ingin tahu. Bonnie membunuh seorang pemilik mobil yang memergokinya mencuri. Clyde menembak mati seorang pemilik pompa bensin ketika ia merampok tempat itu. Bonnie merobohkan seorang polisi bersepeda motor untuk sekadar “latihan menembak”. Mereka jadi seperti ketagihan membunuh.

Bonnie dan Clyde kini dicari-cari polisi belasan negara bagian. Jadi mereka bermaksud “istirahat” dulu bersama Jones dalam sebuah rumah kecil di Joplin, Missouri, dekat perbatasan Oklahoma.

Di sana mereka disusul oleh saudara laki-laki Clyde, Buck, yang baru keluar dari penjara. Istri Buck, Blanche, datang juga ke sana. Pertemuan keluarga yang mengharukan tetapi juga menghasilkan korban-korban.

Musim semi 1933, seorang tetangga rumah kecil itu mengenali Bonnie yang fotonya dimuat di halaman pertama koran-koran AS. la melapor ke polisi setempat. Kurang dari satu jam kemudian, rumah kediaman gangster-gangster itu sudah dikepung oleh semua pihak berwajib yang bisa ditemui di Joplin.

Tetapi seorang polisi yang terlalu senewen menembak terlalu awal sehingga bandit-bandit itu sadar dan sempat mengadakan perlawanan. Ratusan peluru dimuntahkan oleh kedua belah pihak. Ketika asap mesiu sudah diterbangkan angin, dua polisi kedapatan terbujur tewas di tempat itu.

Kedua pasangan Barrow dan Jones sudah jauh melewati perbatasan Oklahoma dalam sebuah limusin Marmon yang bisa berlari cepat. Dengan kendaraan itu mereka menerobos keluar dari garasi rumah sambil menghamburkan peluru dari setiap jendela mobil.

Kira-kira dua minggu kemudian, kelima pelarian itu berhenti untuk menginap di sebuah rumah di tepi jalan dekat Enid, Oklahoma. Dua jam kemudian rumah itu sudah dikepung polisi. Mereka kabur di bawah hujan peluru lalu merampok sebuah tempat penyimpanan senjata di Enid untuk menambah bekal.

Pada saat itu Bonnie dan Clyde dikejar-kejar karena membunuh tujuh orang di Texas, dua di Missouri, satu di Arkansas dan satu di Oklahoma.

Kini mereka pergi ke Iowa, melakukan sejumlah perampokan, lalu lewat di Missouri. Di tempat ini sekali lagi mereka lolos dari kepungan polisi di kamp untuk turis di Platte City.

Bandit-bandit ini menyembunyikan diri di daerah berhutan sekitar Dexter Park, tempat piknik di Iowa. Bonnie dan Clyde tahu bahwa polisi berkeliaran di sana mencari mereka. Tapi ini tidak menghalangi Bonnie untuk menjalankan selera cintanya yang ganjil.

Ia mengikat Jones yang masih muda itu ke pohon lalu dengan kejamnya pemuda itu dipecutinya dengan ikat pinggang kulit. Peristiwa yang terjadi selanjutnya akan menyenangkan penerbit-penerbit buku dan majalah porno masa kini. Bonnie, Clyde dan Jones membentuk hubungan segitiga yang tidak normal.

Polisi menyerbu mereka. Sekali ini Buck Barrow terbunuh. Blanche, istrinya, tertangkap. Bonnie, Clyde dan Jones kabur ke Minnesota lalu kembali ke tempat kelahiran mereka, Texas. Pada masa pengejaran inilah Bonnie menulis karyanya yang kedua dan terakhir, yang kemudian disebut orang Ballade Bonnie dan Clyde. Balada ini kemudian dijadikan musik dengan iringan tembakan-tembakan untuk menghiasi film.

Bonnie dan Clyde mulai merampok dan membunuh lagi. Clyde menembak mati polisi yang mengenali mereka. Ini terjadi di Kolorado. Di Kansas Bonnie membunuh ketika merampok pompa bensin. Di Nebraska ia membunuh polisi di jalan. Polisi itu tidak melakukan apa-apa kepadanya, tapi Bonnie ingin saja membunuh.

Permulaan tahun 1934 Jones meninggalkan Bonnie dan Clyde. Ia ditangkap polisi Houston dan menulis pengakuan 28 halaman yang menceritakan sejumlah pelanggaran kriminal dan pelanggaran kesusilaan yang sama fantastisnya.

Jones meminta pihak yang berwajib di Texas memenjarakannya seumur hidup agar ia tidak bertemu dengan Bonnie atau Clyde.

Untuk menggantikan Jones, Bonnie dan Clyde memutuskan untuk mengeluarkan Ray Hamilton, partner mereka yang pertama, dari penjara Texas.

Mereka berhasil dengan mudah walaupun menembak mati dua pengawal. Kepala penjara-penjara Texas memerintahkan pengejaran khusus terhadap pembunuh-pembunuh dua bawahannya. Pemimpin para pengejar ini Frank Hamer dari Highways Patrol di Texas. Ia bekas Texas Ranger dan konon pernah membunuh puluhan bandit ketika 27 tahun bekerja sebagai ranger berkuda. Tetapi jumlah ini diragukan sejumlah kriminolog AS. Di Amerika, orang Texas punya reputasi suka melebih-lebihkan.

Tetapi berapa pun hasil perburuannya yang sebenarnya, dalam pengejaran Bonnie dan Clyde ini Hamer memang tidak kenal lelah. Kedua bandit pembunuh itu dikejar dari Texas ke Kanada, kemudian sampai perbatasan Meksiko. Beberapa kali ia tiba cuma beberapa menit saja setelah Bonnie dan Clyde meninggalkan bioskop atau tempat perampokan.

Ray Hamilton segera insaf bahwa geng mereka ini tidak bisa bernasib lain daripada tewas akhirnya. Maka itu seperti William Jones, ia meninggalkan mereka.

Bonnie dan Clyde cepat mendapat gantinya, seorang pemuda berambut pirang bermata biru. Namanya Henry Methvin. Ia mempunyai referensi baik: Methvin baru saja keluar dari penjara.

Trio baru ini oleh ahli-ahli AS disebut Gang Barrow II. 

Minggu Paskah 1934, dekat Grapevine, Texas, Bonnie menembak mati dua polisi bersepeda motor yang mengenali dan mengejar mereka. Beberapa hari kemudian Bonnie dan Clyde membunuh polisi lain dekat Commerce, Oklahoma.

Di Louisiana, di daerah berhutan-hutan dekat desa kecil Arcadia, tanggal 23 Mei 1934 Bonnie dan Clyde masuk ke dalam kepungan Frank Hamer yang dibantu polisi-polisi setempat. Mungkin sekali atas petunjuk Methvin yang meninggalkan Bonnie dan Clyde dua hari sebelumnya.

Polisi menembakkan 167 peluru kaliber besar ke Ford curian yang ditumpangi Bonnie dan Clyde. Bonnie dan Clyde masing-masing ditembusi lebih dari 50 peluru. Di tangan Bonnie tergenggam sebuah pistol kecil dengan sembilan garis di hulunya. Di antara lutut Clyde terjepit senjata berburu dengan 11 garis.

Beberapa ahli yang menyelidiki sejarah pasangan yang berbahaya ini menafsirkan garis-garis itu sebagai jumlah orang yang mereka bunuh. Bonnie dan Clyde membunuh kira-kira 20-an orang.

30 tahun kemudian, ketika film Bonnie and Clyde diputar, keluarga Hamer menuntut sineas Warren Beatty. Katanya Hamer digambarkan tidak seperti yang sebenarnya dan merugikan gambarannya yang benar. Blanche Barrow, ipar Clyde, menyerang Beatty pula. Pertempuran 30 tahun yang lalu rupanya belum cukup, cuma sifat pertempuran 30 tahun kemudian lain yaitu untuk memperebutkan uang.

Bonny dan Clyde terbaring di dua makam berbeda di Dalies, Texas. Kini tetap menjadi objek turisme. Menurut salah satu biografi mereka, musuh masyarakat itu cuma mendapat 7.000 dolar (nilainya sama dengan 64.000 dolar saat ini) selama kegiatan kriminal mereka (tiga tahun). Jumlah ini kurang daripada yang dikeluarkan Al Capone setiap tahun untuk karangan bunga pada upacara pemakaman teman-temannya yang ia suruh bunuh agar tidak berkhianat.

(Roger Delorme)

Baca Juga: Penghuni Terakhir

 

" ["url"]=> string(75) "https://plus.intisari.grid.id/read/553726644/satu-garis-berarti-satu-korban" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1678777160000) } } [7]=> object(stdClass)#146 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682499" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#147 (9) { ["thumb_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/maut-di-teluk-busukjpg-20230213031949.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#148 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(139) "Setelah berhasil membunuh istrinya, Hector mengincar putri tirinya. Untuk itu ia membuat rencana terperinci demi mendapatkan harta warisan." ["section"]=> object(stdClass)#149 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/maut-di-teluk-busukjpg-20230213031949.jpg" ["title"]=> string(19) "Maut di Teluk Busuk" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:20:01" ["content"]=> string(42173) "

Intisari Plus - Setelah berhasil membunuh istrinya, Hector mengincar putri tirinya. Untuk itu ia membuat rencana terperinci demi mendapatkan harta warisan.

--------------------

Bukan cuma perusahaan besar, tetapi pembunuhan juga membutuhkan perencanaan yang cermat. Begitu kesimpulan Hector Griffiths, manajer produksi pada Perusahaan Gliss yang bergerak di bidang industri pembuatan cairan pembersih untuk rumah tangga. Perkawinannya dengan Melissa Wintle, janda kaya beranak satu, juga berkat kemampuannya menyusun rencana. Bahkan juga kematian Melissa tiga tahun kemudian, akibat mengisap gas dari alat pemanas ketika Griffiths sedang ke luar negeri.

Sialnya, wasiat Melissa menyatakan seluruh harta kekayaannya menjadi milik Janet. Bukan Hector Griffiths, suaminya yang kedua itu. Janet (15) adalah anak perempuan Melissa dari perkawinannya yang pertama. 

 

Rencana gaya manajer

Maka, ketika Hector Griffiths (52) menyadari penghasilannya dari Gliss terus tersedot untuk merawat sebuah flat, cottage, mobil Mercedes dan perahu motor, dan juga tanggung jawab mengasuh Janet, anak tirinya, mulailah ia menyusun rencana.

la memiliki catatan sebagai bahan kuliah yang diajarkannya pada kursus latihan staf di perusahaan tempatnya bekerja.

Catatan itu berisi tentang langkah-langkah untuk melemparkan sebuah produk baru ke pasaran. Tak kurang direktur pemasaran untuk Eropa pada perusahaan itu memberinya acungan jempol atas bahan kuliah yang dibuatnya itu.

Catatan yang sudah diketik rapi oleh sekretarisnya itu tersimpan dalam map plastik biru. Pada halaman terdepan dari catatan tersebut ditulisnya dua petunjuk.

Pertama, sediakan waktu untuk membuat perencanaan, meski harus menunda pelemparan produk ke pasaran. Ketidaksabaran melahirkan kesalahan dan kesalahan itu mahal.

Kedua, Anda harus membuat keputusan pokok tentang produk itu dan waktu yang tepat untuk melemparnya ke pasaran. Jangan terpengaruh oleh pikiran-pikiran yang timbul kemudian. Jadwal yang tertunda merugikan.

Petunjuk ketiga yang tak tertulis, tetapi sama pentingnya, menyatakan, sebelum tindakan diambil terhadap sebuah produk baru, sebaiknya sediakan waktu untuk melakukan desk work. Maksudnya, proyek harus dikaji dari pelbagai segi, dicek seteliti mungkin dsb. Hal ini akan memudahkan jika kelak timbul masalah ketika waktu untuk berpikir sudah menjadi barang mewah.

Hampir tiga bulan setelah kematian Melissa, Griffiths baru melakukan desk work terhadap rencana barunya.

Kematian Melissa bertepatan dengan Hari Raya Paskah. Waktu itu Janet ada di rumah sebab ia sedang liburan sekolah. Ia tinggal di asrama sekolahnya di Yorkshire, sementara orang tuanya di London. Gadis yang pendiam itu sedang tidur ketika kecelakaan di kamar mandi yang merenggut nyawa ibunya itu terjadi. Sayang bagi Griffiths, kenapa anak tirinya tidak bersama ibunya ketika itu. Kalau itu terjadi, Griffiths tak perlu repot-repot lagi.

Namun, seperti selalu diutarakannya di depan peserta kursus latihan staf, keberhasilan jarang diperoleh dengan mudah. 

Griffiths belum tahu persis apa yang hendak dilakukannya terhadap Janet. Namun, sementara ini ia harus bersikap sebagai ayah tiri yang baik bagi Janet yang kini jutawan itu.

 

15 bulan lagi

Gadis-gadis seusia Janet jarang ditemukan meninggal secara mendadak. Jadi tak bisa dielakkan, Janet harus dengan sengaja dibunuh.

Ia memutuskan akan melakukannya sendiri, sebab pernah memiliki pengalaman buruk di kantor ketika ia melimpahkan tanggung jawabnya kepada orang lain untuk pelemparan satu produk Gliss ke Eropa.

Waktu yang tepat untuk “memasarkan produk” (membunuh) amat penting.

Ia memutuskan harus menunda pembunuhan. Soalnya, kematian Melissa baru saja terjadi. Kecelakaan yang terjadi beruntun akan bisa mendorong pihak berwajib melakukan penyelidikan secara lebih teliti. Untuk membunuh benih-benih kecurigaan, Griffiths harus terus menanamkan kesan bahwa ia penuh perhatian kepada anak tirinya.

Namun, lamanya penundaan harus dibatasi. Dalam wasiatnya, Melissa memang sedikit memberi bagian kepada Griffiths yang hanya cukup untuk menopang gaya hidupnya yang sekarang selama 18 bulan. Itulah batas paling lama penangguhan pembunuhan.

Di mana pembunuhan akan dilakukan? Selama ini Janet tinggal di asrama sekolah di Yorkshire. Kehadiran Griffiths di asrama tentu akan mengundang pertanyaan. Jadi pembunuhan harus dilakukan pada masa liburan sekolah. 

Pertimbangan-pertimbangan di atas dan juga faktor-faktor lain membawa Hector kepada kesimpulan bahwa pembunuhan dilakukan pada liburan musim panas tahun berikutnya. Sekitar 15 bulan lagi. Penantian yang cukup lama memang, tapi seperti disadarinya, ketidaksabaran melahirkan kesalahan.

Pembunuhan yang akan dilakukannya mestinya harus sedemikian rupa, sehingga seolah-olah ia tak terlibat.

Griffiths bisa memilih. Kematian Janet harus tampak seperti kecelakaan atau ia harus punya alibi yang kuat pada saat kematian Janet. Atau lebih baik lagi gabungan dari keduanya.

Ia memilih, kematian Janet seolah akibat kecelakaan. Untuk menghindari penyelidikan polisi terhadap dirinya, sebaiknya kecelakaan itu terjadi pada saat ia sedang bertugas di luar negeri. Padahal, pembunuhan itu hendak ditanganinya sendiri. Akibatnya pada saat yang sama ia harus berada di dua tempat yang berbeda. Bagaimana mungkin?

Akhirnya, Griffiths memutuskan untuk “memainkan” waktu terjadinya pembunuhan.

Itu memerlukan banyak penelitian, banyak membaca buku-buku tentang masalah peradilan yang menyangkut kematian.

 

Telur busuk

Ketika Janet libur panjang di musim panas, anak tirinya itu setuju untuk tinggal bersamanya di pondok peristirahatan di Cornwall sepanjang bulan Agustus. Waktu Melissa masih hidup, mereka memang biasa tinggal di sana setiap akhir pekan. Awal bulan Juli Griffiths pergi ke sana untuk mengecek pondok itu.

Griffiths suka sekali naik perahu motor di sana. Bahkan Letkol Donleavy, yang sering minum bersama Griffiths di Yacht Club pun senang sekali memandang ke arah teluk tempat perahu itu tertambat. Ia mengagumi bangunan bercat putih yang berdiri di kaki bukit di tepi pantai. “Pondok itu indah sekali,” ujar Donleavy. Perahu motor itu pun tak kalah indahnya. Griffiths tak mau kehilangan keduanya.

Pada masa-masa perkenalan dengan Melissa, ia suka membawa Melissa ke tempat-tempat yang terpencil dan sulit dijangkau, antara lain ke sebuah gua di tengah laut. Orang hanya bisa masuk pada saat air laut surut begitu rendah. Gua yang tersembunyi itu ia temukan dengan tak sengaja waktu pertama kali ia pergi bersama Melissa naik perahu. Kurangnya pengalaman soal navigasi membawa perahu mereka menghampiri bukit-bukit karang yang berbahaya. Ketika hendak mencoba menghindar, ia tercebur ke laut. Sekilas matanya menangkap ruang gelap di bawah sebuah lengkungan di sebuah bukit karang.

Disuruhnya Melissa membuang sauh, sementara ia berenang ke mulut gua dan lenyap di balik lengkungan batu karang. Pantulan sinar matahari dari permukaan air laut cukup menerangi gua kecil berlantai pasir itu.

Ketika Griffiths muncul kembali, ia memanggil Melissa untuk mengikutinya. Di dalam gua itulah janji Melissa untuk menikah dengan Hector Grifftihs diikrarkan.

Bila cuaca panas, bau busuk yang menusuk akibat ganggang laut yang membusuk tersebar di sekitarnya. Tak heran kalau tempat itu kemudian dijuluki Teluk Busuk.

Ketika ia melewati kembali mulut gua yang tersembunyi itu, rencana pembunuhan itu pun mulai terbentuk dalam benaknya.

Adalah Donleavy yang banyak berjasa kepada Hector memberi tahu tentang hal-hal yang menyangkut pelayaran. Terutama soal siklus pasang surut air laut yang berperiode 28 hari itu. Ditunjukkannya pula tabel-tabel pasang surut. Juga Donleavy yang memberi tahu bahwa tanggal terjadinya pasang surut bisa diramalkan sebelumnya.

 

Tempat ideal untuk pembunuhan

Selama liburan, Janet yang memang pendiam itu terlihat lesu dan tak bergairah. la seperti masih tenggelam dalam kesedihan akibat kematian ibunya. Selain mencorat-coret membuat sketsa, kelihatannya Janet tidak punya keinginan lain. Kawan pun tampaknya ia tak punya. Cuma kepada dua orang bibi Melissa yang sudah tua yang tinggal di Stockport, Janet selalu menyempatkan diri berkirim kartu pos.

Saat air laut mengalami surut yang terendah, Griffiths berlayar sendirian menuju gua itu.

Griffiths mematikan lampu senternya ketika sudah berada di dalam gua setinggi kapel itu. Di sana teronggok reruntuhan batu karang yang menyerupai sebuah pilar yang tinggi. Gua itu sendiri cukup bersih. Tak nampak bekas-bekas seperti kaleng minuman atau bungkus kue yang menandai orang lain pernah pula menemukan tempat itu.

Di tengah gua mengalir parit kecil yang berasal dari rembesan dinding gua. Ia lega, jejak-jejak kakinya lenyap terendam air setelah mencoba menginjak-injak lantai pasir itu.

Rasanya tak mudah menaiki pilar itu sebab batu-batu besar itu bergoyang-goyang ketika dipegang, sementara batu-batu kecil berguguran terinjak kaki. Meski begitu, sampai juga ia di puncak reruntuhan yang tingginya sekitar 4,5 m itu.

Ia merogoh sakunya mengambil selembar kantung kertas, yang lantas ditiupnya hingga sebesar kepala. Dilepasnya kantung kertas itu ke bawah, lalu ia mencoba melemparinya dengan batu-batu besar. Kantung itu akhirnya meledak, setelah lemparannya telak mengenai sasaran. Serpihan kertas berserakan di hamparan pasir yang lembap.

Hector Griffiths meninggalkan gua dan kembali untuk makan siang bersama anak tirinya.

 

Kartu pos tidak dikirimkan

Dalam pekerjaannya sebagai manajer, Griffiths tahu kemasan bisa mematikan produk yang baik, tapi sebaliknya bisa membuat produk yang tidak baik jadi laku dijual. Kemasan juga bisa membuat produk asli tampak palsu, tetapi dapat pula membuat produk lama tampak seperti baru.

Dengan pengertian itu, Hector Griffiths yakin bisa membuat polisi percaya bahwa suatu pembunuhan merupakan kecelakaan dan mayat yang sudah agak lama menjadi tampak seperti agak baru.

Seperti terhadap hal-hal yang lain, ia biasa menyusun rencana dengan baik. Kebetulan korban yang hendak dibunuhnya memiliki sifat yang bisa dimanfaatkannya untuk mendukung keberhasilan rencananya, yakni sikap malas. Ketika itu Janet meminta tolong ayahnya mengeposkan kartu-kartunya untuk kedua bibi Melissa di Stockport.

Griffiths tidak mengeposkannya, tetapi menyimpan saja kartu-kartu itu ke dalam map biru.

Tak banyak yang harus dilakukan Griffiths setelah itu. Maka ia menghabiskan sisa waktunya di Cornwall untuk bermanis-manis dengan Janet dan minum-minum bersama Donleavy di Yacht Club.

Di sana ia mendengarkan pengalaman Donleavy tentang kelautan. Sementara ia sendiri bercerita soal anak tirinya. Griffiths mengaku tak merisaukan apa-apa tentang Janet, kecuali bahwa Janet terlalu pendiam. Ia sudah berusaha menyenangkan hatinya, tetapi tampaknya yang ingin dilakukan Janet hanyalah bermenung-menung di sekitar pondok atau berjalan-jalan sendiri. Janet memang sedikit suka melukis. “Bukankah yang berbaju biru dan keluar lewat pintu belakang pondok itu Janet?” kata Griffiths. Donleavy menatap lewat kacamatanya dan mengiyakan, meski terlalu jauh baginya untuk melihat sosok itu dengan jelas.

Bila Griffiths berada di Yacht Club pada malam hari, ia berusaha menarik perhatian Donleavy untuk melihat lampu-lampu pondok yang dipadamkan ketika Janet hendak pergi tidur. Ia selalu tidur menjelang pukul 22.30. Janet memang gadis yang aneh.

Donleavy tertawa. Katanya, setahun lagi gadis itu akan berubah menjadi gadis yang siang malam dikunjungi teman-teman prianya. Tetapi Griffiths tidak berharap demikian.

 

Menyimpan koran

Liburan musim panas itu pun berlalu.

Ketika Griffiths kembali ke kantornya, ia menemukan surat berisi pemberitahuan tentang akan dilangsungkannya Intersan, sebuah pameran internasional pembersih untuk rumah tangga di Hamburg yang dimulai tanggal 9-17 September tahun depan.

Ini kesempatan baik, pikirnya. Ia menelepon wakilnya dan meminta dia mewakili perusahaan ke pameran yang masih akan berlangsung cukup lama itu.

Pada tanggal 14 September, Hector Griffiths menyimpan secarik Surat Kabar Daily Telegraph dalam map biru bersama kartu-kartu pos Janet.

Tampaknya, tak ada masalah untuk “memainkan” waktu pembunuhan. Namun, rasanya masih ada sesuatu yang kurang ketika ia meneliti kembali rencananya. Ya, ia memerlukan barang bukti yang mendukung keberhasilan proyeknya. Maka, sementara ia mencurahkan pikirannya pada soal pemasaran sikat serba guna yang akan datang, ia tetap membuka pikirannya. Siapa tahu ada inspirasi lain.

Bulan demi bulan berlalu. Griffiths dan Janet berhari Natal dengan tenang di London. Ia merasa lega sebab Janet tidak tampak berubah seperti diramalkan Donleavy. Janet justru semakin pendiam. Satu-satunya perubahan hanyalah bahwa ia ingin meninggalkan sekolahnya. Griffiths setuju, bahkan menyarankan agar Janet meninggalkan sekolahnya pada akhir musim panas, lantas bergabung dengannya selama bulan Agustus di cottage. Di sana mereka bisa memikirkan masa depan Janet.

 

Cokelat memberi ilham

Beberapa bulan sebelum produk sikat serba guna dilempar ke pasaran, Griffiths harus datang ke biro iklan untuk menyetujui kampanye iklan produk baru itu. Ia pun menemui petugas pelaksana jasa periklanan pada biro iklan tersebut.

Tampaknya ia merasa kurang puas. Kepada si petugas ia minta diputarkan iklan TV bagi produk itu, melihat artwork dan rancangan kampanye iklannya.

Setelah menyaksikan iklan TV untuk sikat serba guna itu, Griffiths iseng-iseng bertanya kepada petugas itu, proyek apa lagi yang sedang dikerjakannya.

Pria muda itu menjawab, ia sedang menangani iklan permen cokelat kacang baru untuk suatu perusahaan makanan terbesar di negeri ini. Nama permen itu Nuggy Bar. Kampanye besar-besaran akan dilakukan di seluruh negeri lewat surat kabar, gedung bioskop, TV dan radio. Produk itu sudah diuji coba di wilayah Tyne-Tees dan baru setelah tanggal 10 September makanan itu dilempar ke pasaran dan akan bisa dibeli di setiap toko di negeri itu. Griffiths mencicipi sepotong Nuggy Bar yang dibungkus kertas warna emas dan biru. Pria muda itu mempersilakan ia mengambil sebanyak ia suka. Hati Griffiths berdebar karena ia merasa bisa memanfaatkan Nuggy Bar untuk rencana pembunuhannya.

Dimasukkannya cokelat itu ke dalam sakunya. Sebelum pergi, ia berpesan kepada petugas biro iklan itu untuk memperbaiki iklan TV sikat serba guna yang sepertinya dibuat serampangan itu.

 

Belanja untuk peralatan

Untuk menunjang proyek pembunuhannya, pada bulan Juni Hector Griffiths membeli sebuah perahu karet dan sebuah motor tempel pada agen perahu yang kurang dikenal di London Utara.

Akhir minggu berikutnya ia pergi ke Cornwall. Setelah berkonsultasi dengan Donleavy, ia membeli perahu karet satu lagi berikut motornya.

Tiga hari kemudian di toko yang tak bernama, ia membeli semacam alat yang bisa disetel untuk mematikan lampu secara otomatis. Lantas dengan sembunyi-sembunyi dibelinya boneka karet berbentuk wanita yang bisa ditiup. Di toko lain, ia membeli sepasang sarung tangan dari karet.

Pelemparan produk sikat serba guna ke pasaran berlangsung sukses. Selama menunggu keberangkatannya ke Hamburg, wakil Hector mengambil cuti selama dua minggu pada bulan Juli. Sebelum pergi, ia menyiapkan berkas yang harus ditandatangani manajer produksi untuk kelanjutan produksi pembersih noda. Berkas itu merupakan pemberitahuan resmi kepada bagian produksi agar menyediakan suplai yang cukup untuk memenuhi pesanan bulan November.

Sang wakil manajer menaruh berkas itu di meja Griffiths. Ia senang ketika mendengar Griffiths akan mengambil cuti musim panas sepanjang bulan Agustus, ditambah dua minggu bulan September. Rupanya, sang manajer hendak memberi kesempatan kepada pejabat muda untuk menambah pengalaman. Buktinya, ia dikirim untuk mewakili sang manajer ke pameran internasional itu.

Namun, wakil Griffiths yang masih muda itu tidak tahu bahwa akhirnya berkas itu dibakar oleh Griffiths.

 

Agak bau

Akan halnya Janet, akhirnya ia meninggalkan sekolahnya di Yorkshire dan tinggal bersama dengan ayah tirinya di London. Seperti direncanakan, awal buIan Agustus mereka pergi ke Cornwall.

Sikap Janet tetap pendiam seperti biasa. Griffiths memintanya untuk terus melukis dan tak jarang Griffiths mengajaknya naik perahu motor atau perahu karet barunya. Bila bertemu Donleavy di Yacht Club, ia mengadu tentang sikap anak tirinya itu. Dari tempat itu Griffiths menunjuk ke luar, ke arah Janet yang tampak sedang melukis di luar pondok. Donleavy cuma melihat samar-samar sosok gadis itu lewat kacamatanya.

Malam itu Griffiths mencoba berbicara dengan Janet tentang kariernya, tetapi Janet sulit diajak bicara soal itu. Apakah Janet sudah membicarakannya dengan temannya? Atau gurunya di sekolah? Tak adakah orang yang bisa ia hubungi lewat telepon dan bicara soal itu?

Janet akhirnya memberi ayahnya nomor telepon dan nama ibu asramanya. Nomor telepon itu ditulisnya di atas secarik kertas yang disodorkan Griffiths. Janet tidak tahu bahwa kertas itu adalah sobekan Koran Daily Telegraph. Tulisan yang masih tersisa dari koran itu hanyalah tanggal terbitnya: 14 September 19...

Griffiths terus berusaha membuat hati Janet senang. Diberinya gadis itu sepotong cokelat Nuggy Bar, yang belum beredar di pasaran. Untuk menyenangkan hati ayah tirinya, Janet memakan juga cokelat itu, walaupun terasa agak berbau.

 

Mengajak boneka berperahu

Tanggal 17 Agustus 1941 air laut mengalami surut yang terendah. Griffiths membujuk Janet ikut melakukan perjalanan dengan perahu motor pada pukul 18.30 malam itu. Gadis itu tak begitu bergairah, tetapi juga tidak menolak.

Dengan perahu motor dan sampan karet yang diseret di belakang, mereka meluncur menuju ke Teluk Busuk. Tangan ayahnya yang memegang kemudi terbalut sarung tangan karet. Alasannya, takut kotoran masuk ke dalam lukanya akibat tergores tali pancing sehari sebelumnya.

Sepanjang perjalanan pun Janet tampak tidak ceria. Sebaliknya, Griffiths begitu senang ketika melihat sebuah lubang di batu karang. Ia membawa perahunya mendekati batu karang itu. Bau busuk semakin tajam menusuk. Setelah melabuhkan perahunya, setengah memaksa ia menyuruh Janet naik ke perahu karet. Mereka meluncur dengan susah payah menuju ke batu karang itu.

Ombak laut mendorong perahu karet itu ke atas pasir di dalam gua.

Griffiths menunjukkan sikap heran kepada Janet, seolah baru kali ini menemukan tempat itu. Ia melompat turun ke air yang dangkal, sambil memberi isyarat kepada Janet untuk mengikutinya. Macam anak kecil kegirangan menemukan apa yang diinginkan, Griffiths mengajak Janet menjelajahi gua. Mungkin lubang kecil ini menuju ke gua yang lebih besar. Siapa tahu di puncak reruntuhan batu itu ada pintu Iain? la memanjat pilar itu diikuti Janet.

Ketika sampai di puncak pilar, tiba-tiba Griffiths pura-pura terpeleset. Tubuhnya melorot menimpa Janet hingga gadis itu terjerembab di dasar gua. Karena wajahnya menghadap ke bawah, Janet tidak tahu sebuah batu besar melayang dan menghantam kepalanya.

Suara ledakan itu mirip letupan kantung kertas pernah diledakkannya. Cuma yang ini lebih keras. Guncangan yang timbul akibat benturan itu cukup membuat batu-batu kecil dari langit-langit gua berguguran. Keadaan ini justru menguntungkan Griffiths, sebab kesannya Janet tewas akibat runtuhnya batu-batu gua.

Griffiths pun merasa puas sebab Janet tidak mendarat di parit kecil di dalam gua. Bila mayatnya nanti ditemukan, pakaian Janet tidak basah kena air. Sehingga kesannya Janet masuk ke gua itu dengan perahu karet pada saat air laut surut paling rendah.

Dengan hati-hati Griffiths turun. Darah dan otak dari kepala Janet yang terluka tampak memerciki pasir. Gadis itu tewas.

Dengan tangan terbungkus sarung, diselipkannya sobekan koran bertuliskan nomor telepon itu ke saku Janet. Juga sepotong cokelat Nuggy Bar yang dikit terbuka bungkusnya.

Kembali ke perahu, ia membuka kain terpal penutup perahu karet satunya lagi dan menggandengnya di belakang. Kemudian ia meluncur kembali ke pondoknya. Air laut pun kian meninggi.

Hector Griffiths masih punya sisa waktu hampir sebulan dari liburan enam minggunya di Cornwall. Hari-hari itu dilewatinya dengan tenang dan damai. Ia banyak menggunakan waktunya untuk minum-minum bersama Donleavy di Yacht Club.

Ia menyatakan kepada Donleavy, dan orang-orang yang kebetulan mendengarnya, pekerjaan apa yang sesuai bagi gadis pendiam macam Janet. Bila sedang makan siang, tak jarang ia akan menunjuk ke luar pada sosok berbaju biru yang sedang melukis di luar pintu belakang pondoknya. Bila malam hari, ia akan berkomentar waktu melihat lampu pondok dipadamkan.

Setiap pagi sebelum pergi, ia mengecek alat pemadam lampu otomatis itu. Karena tak ingin cepat menimbulkan kecurigaan, Griffiths memindah-mindahkan boneka wanita itu. Seringkali juga ditaruhnya di dalam pondok. Bahkan satu dua kali ketika hari mulai gelap, ia membawa boneka itu naik perahu karet. Setiap kali melewati pelabuhan, ia melambai-lambaikan tangan kepada para nelayan di dermaga.

Di akhir bulan Agustus, ia mengeposkan kartu-kartu Janet kepada para bibi Melissa di Stockport. Kartu-kartu itu sebetulnya ditulis Janet setahun sebelumnya.

Pada minggu pertama bulan September, ia masih terus berkeliling dengan perahunya sambil menanti datangnya kejutan dari perusahaan tempatnya bekerja.

 

Memfitnah

Tanggal 5 September muncullah kejutan yang ia nantikan. Kejutan itu berupa telegram — pondok itu memang tak punya telepon — dari wakil manajernya yang menyatakan bahwa Gliss sedang mengalami kesulitan. Ia diminta segera menelepon.

Griffiths menelepon wakilnya dari Yacht Club. Rupanya ada yang tak beres dengan berkas yang menjamin kelanjutan produksi bahan pembersih noda. Pihak pabrik merasa belum menerima berkas itu. Akibatnya, tidak ada stok untuk memenuhi pesanan bulan November.

Hector Griffiths marah besar kepada wakilnya yang tak bisa dipercaya melaksanakan tanggung jawab yang paling sederhana sekalipun. Tentu orang muda itu protes, sebab ia yakin sudah melakukan pekerjaannya dengan benar. Untuk mengatasi hal itu, dimintanya sang wakil manajer menemui semua agen dan minta maaf. Alasannya, masalah ini tak bisa diselesaikan begitu saja lewat telepon, apalagi surat.

Griffiths pun membatalkan kepergian wakil manajernya ke pameran internasional di Hamburg. Terlalu banyak pekerjaan yang mesti diselesaikan orang muda itu gara-gara keteledorannya. Namun, di pihak lain perusahaan harus mengirimkan wakilnya. Untuk itu Griffiths sendirilah yang hendak berangkat ke sana.

Griffiths meletakkan gagang telepon. Sambil menggerutu, ia menemui Donleavy di bar. Dikatakannya kepada Don, ia terpaksa mengakhiri liburannya yang masih beberapa hari itu hanya karena kecerobohan wakilnya. Orang-orang muda tidak punya rasa tanggung jawab, begitu gerutunya.

Griffiths pun menelepon orang-orang manajemen Gliss dan mengatakan betapa ia mendadak harus pergi ke Hamburg. Ia kecewa dengan perubahan rencana itu. Pada tanggal 6 September, hari terakhir Griffiths berada di Cornwall, ia membuang ke tengah laut semua peralatan yang sudah tidak diperlukan lagi. Perahu karet, boneka wanita, sarung tangan dan pemadam lampu dibebaninya dengan batu-batu dan motor tempel supaya tenggelam.

Malamnya ia datang dan berpamitan kepada Donleavy di Yacht Club. Ia mengaku agak cemas tentang Janet dan mengatakan bahwa Janet kini terserang depresi berat. Sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Janet sendirian di pondok itu. Meski Janet bilang mau ikut pulang, Griffiths tidak yakin akan lebih bahagia bersama Janet di London. Lagi pula ia harus melakukan perjalanan sialan itu. Bahkan ia pun tidak mampu lagi mengubah sikap Janet. Donleavy cuma berkomentar, wanita memang makhluk aneh.

 

Cokelat kacang untuk menyesatkan

Dalam perjalanan pulang ke London dengan Mercedesnya tanggal 7 September, Grifftihs menilai kembali hal-hal yang perlu dilakukan sepulang dan Hamburg. Gara-gara krisis produksi sikat serba guna itu, ia jadi punya alasan yang sah untuk menunda kepergiannya kembali ke Cornwall selama satu atau dua minggu lagi. Jika Janet tidak mengadakan kontak dengannya, ia akan mengiriminya surat.

Jika surat-suratnya tak juga dibalas, ia mulai memperlihatkan kecemasannya, lantas pergi ke Cornwall menengok Janet.

Begitu menemukan surat-suratnya masih tertutup, ia akan langsung kembali ke London dengan membawa kabar bahwa anak tirinya hilang. Lalu ia akan menelepon ibu asrama Janet dan kedua bibi Melissa di Stockport. Bila tidak mendapat keterangan tentang Janet dari mereka, ia akan menelepon polisi.

Kepada mereka ia juga akan menyatakan bahwa Janet memang ingin ikut pulang ke London, ketika Griffiths terpaksa mengakhiri liburan sebelum waktunya. Ia pun harus mengatakan bahwa Janet tampaknya mengalami depresi. Namun, bahwa ia kehilangan perahu karet, baru akan dilaporkannya belakangan.

Ia berharap mayat Janet baru ditemukan polisi empat bulan setelah pembunuhan yang terjadi tanggal 17 Agustus. Sebab, menurut buku yang dibacanya, sulit memastikan tanggal kematian secara tepat setelah mayat berumur empat bulan. Lantas polisi akan segera menemukan mayat Janet setelah ia melaporkan bahwa suatu kali anak tirinya itu pernah bercerita tentang sebuah gua yang ditemukan Janet pada saat air pasang rendah.

Karena tanggal kematian sulit dipastikan dari mayat sudah membusuk, pihak polisi akan menetapkannya lewat barang bukti lain. Keberadaan perahu karet dalam gua dan keringnya pakaian Janet akan menjadi petunjuk bahwa ia masuk ke gua itu pada saat air laut surut, sehingga perkiraan tanggal kematian bisa ditentukan dari situ.

Selain mungkin pernyataan penduduk setempat yang melihat perahu itu, kalau bukan gadis itu, sampai beberapa hari sebelum Griffiths berangkat ke London pada 7 September, ada bukti-bukti lain, yang bisa ditemukan dalam saku Janet. Pertama, sepotong Nuggy Bar, yakni permen cokelat kacang yang belum beredar di toko-toko sampai tanggal 10 September. Kedua, secarik koran bertanggal 14 September yang bertuliskan nomor telepon. Karena tanggal 14 September termasuk dalam periode terjadinya spring tide (periode di mana permukaan air laut mengalami pasang naik yang tertinggi dan pasang surut yang terendah), polisi tidak akan ragu-ragu lagi menyatakan Janet Wintle tewas pada tanggal 14 September.

Padahal pada tanggal tersebut Griffiths akan berada di Hamburg pada pameran internasional itu.

Maka, bila Griffiths nanti mendengar kabar tentang musibah yang terjadi tak lebih dari dua tahun setelah kematian Melissa, ia harus ikhlas menerimanya. Warisan yang akan jatuh ke tangannya nanti akan tampak seolah kurang berarti ketimbang kesedihannya atas kematian istri dan kemudian anaknya.

 

Cokelat sialan

Pada hari sebelum berangkat ke Hamburg, tiba-tiba Griffiths merasa panik. Bagaimana jika salah seorang bibi Melissa di Stockport itu ternyata sudah meninggal? Mereka memang sudah agak tua, tetapi jika sudah meninggal, Janet pasti tahu. Janet takkan mungkin mengirim kartu pos kepada orang yang sudah meninggal.

Griffiths tak mau ambil risiko. Ia menelepon kedua nenek itu dengan berpura-pura menanyakan nama lengkap mereka yang hendak dicantumkannya dalam sebuah formulir yang harus diisinya. Ternyata keduanya masih segar bugar. Mereka malah menyatakan amat senang menerima kartu-kartu pos dari Janet.

Griffiths menarik napas lega. Kini semuanya beres. Ia bisa keluar negeri dengan dada lapang.

Kemudian ia menelepon ke Gliss untuk mengecek apakah ada hal-hal lain yang mendesak untuk dikerjakan sebelum ia pergi.

Ternyata ada sebuah pesan yang memintanya untuk segera menelepon biro iklan sehubungan dengan iklan TV sikat serba guna. Persis sebelum ia akan menaruh gagang telepon, Griffiths bertanya kepada petugas iklan yang masih muda itu, “Semua sudah diatur untuk melemparkan produk ke pasaran?”

“Melempar produk?” 

“Tanggal 10. Permen cokelat itu.” 

“Ya, Tuhan. Sudahlah, jangan bicara soal Nuggy Bar. Manajer produksi sialan itu merasa khawatir.” 

“Khawatir?” 

“Ya. Ia orang baru dan khawatir produk itu tidak akan laku.” 

“Apa?”

“Mereka menerima laporan dari Tyne-Tees tempat produk itu diuji. Hampir 40% sampel ternyata agak berbau.”

“Lalu, apa yang akan dilakukan?”

“Manajer produksi sialan itu akan menunda pelemparan produk itu ke pasaran.”

“Menunda?” 

“Ya. Tampaknya ia kebingungan.” 

“Tetapi, ia tidak bisa mundur dalam keadaan seperti Itu. Bukankah mereka sudah teken kontrak dengan pihak TV, surat-surat kabar dan ....”

“Bisa saja ia mundur, jika kontrak belum dibayar ...”

Tak pernah Griffiths melarikan mobilnya sekencang itu di jalanan menuju Cornwall. AC mobil itu pun tak mampu membendung keringatnya. 

Tak kalah kencang Griffiths melarikan perahu motornya menuju ke Teluk Busuk.

Air laut cukup rendah, tetapi tidak cukup banyak menampakkan mulut gua itu. Sudah lebih dari seminggu terjadi pasang naik yang tinggi. Ia harus menyelam berulang kali untuk menemukan mulut gua. Ketika gelombang datang menyapu, terasa punggungnya yang telanjang tergores batu karang. Namun, ia terus berjuang naik ke atas pasir yang basah.

Ia menyesal tidak membawa lampu senter ketika menyadari gua itu gelap. Namun, ketika ia terbaring kelelahan di atas pasir, lama-lama keadaan di dalam gua semakin jelas. Ada sedikit cahaya dari pantulan air di bawah mulut gua.

Tiba-tiba ia tersadar oleh bau busuk yang tajam menusuk. Sambil mendekap hidung, ia melangkah mendekati sumber bau tak sedap itu.

Dengan mata menatap ke arah lain, ia meraba-raba pakaian dari sumber bau tak sedap yang ternyata mayat Janet.

Rasa lega mengguyur seluruh tubuhnya setelah menemukan Nuggy Bar itu. Walaupun kondisi tubuhnya terasa lemas, ia masih merasa bahwa semua akan beres: keluar dari gua, naik perahu, kembali ke London, kemudian besoknya ke Hamburg. Meskipun penduduk setempat melihatnya, ia tak peduli. Toh sobekan koran dan keringnya pakaian Janet cukup kuat untuk menetapkan tanggal kematian Janet.

 

Seperti ledakan kantung kertas

Air pasang semakin naik, bahkan sempat masuk ke dasar gua. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mencebur ke dalam air. Sayang, gelombang laut mendorongnya kembali ke gua.

Ia terus mencoba dan mencoba, tetapi setiap saat justru semakin sulit. Kian lama gelombang makin kuat, sementara tubuhnya justru kian melemah. Griffiths terbaring kelelahan di atas pasir.

Ia coba memusatkan pikirannya untuk memiliki kembali kemampuannya menyusun rencana. Namun, serangan gelombang dan bau mayat yang membusuk membuyarkan konsentrasinya.

Akhirnya ia menemukan kemungkinan lain untuk keluar dari gua dan kepungan air laut. Ia ingat ia pernah membohongi Janet. Waktu itu ia mengajaknya memanjat pilar itu untuk melihat apakah ada pintu lain di sana. Bahkan Griffiths sendiri kini menduga ada jalan lain ke luar gua.

Akhirnya dengan sangat hati-hati ia memanjat pilar yang tersusun dari batuan lepas. Ia merasa menemukan harapan ketika matanya menangkap setitik cahaya.

Namun, ia hanya melihat tumpukan batu-batu karang yang lepas-lepas. Siapa tahu timbunan batu itu menutupi jalan masuk lain, sebuah gang atau lorong tua bekas sarang penyelundup.

Ia mencoba mati-matian menyingkirkan batu-batu itu sampai tangannya terluka. Sejumlah batu kecil berhasil disingkirkan, tetapi batu-batu yang lebih besar tak bergeming. Ketika ia berusaha menarik sebongkah batu besar, tiba-tiba sebuah batu besar lain tergeser. Griffiths melompat mundur waktu mendengar suara bergemuruh. Batu-batu berguguran, berderai-derai dan jatuh berdebam di dasar gua. Tampaknya sia-sia usahanya. Maka ia pun turun untuk mencoba kembali keluar lewat mulut gua yang berhadapan dengan gelombang laut.

Dengan sangat hati-hati ia melangkah maju. Namun, tanpa disadarinya sebongkah batu besar tiba-tiba terlepas dan melayang, lalu mendarat tepat di batok kepalanya. Suara letusan itu mirip kantung kertas yang meledak, cuma lebih keras. 

Hector Griffiths terguling di atas pasir dan tewas. Ketika itu tanggal 8 September.

Perahu yang ditinggalkannya di luar gua perlahan-lahan mulai hanyut terbawa ombak karena ditambatkan dengan terburu-buru.

 

Sepotong permen cokelat untuk patokan

Mayat Hector Griffiths ditemukan empat bulan setelah kematiannya. Polisi berhasil menemukannya berkat petunjuk yang mereka temukan dalam sebuah buku harian mendiang istrinya. Di sana diceritakan tentang sebuah gua rahasia tempat mereka pernah memadu cinta. Polisi menduga Griffiths pergi ke gua itu dengan perahunya lantaran terbawa oleh ingatan kepada mendiang istrinya. Namun, ia terjebak oleh air pasang dan tewas karena runtuhan batu. Pada pakaiannya ditemukan noda air garam sebab ia tergeletak begitu dekat dengan batas pasang naik yang tinggi.

Sulit untuk menentukan tanggal kematiannya secara pasti setelah sekian lama. Namun, berdasarkan tabel pasang surut, yang menurut Letkol Donleavy, Griffiths sangat tertarik pada soal itu, tampaknya sangat mungkin Griffiths tewas pada tanggal 14 September. Ini diperkuat dengan ditemukannya sepotong Nuggy Bar dalam sakunya, permen cokelat baru yang sudah beredar di pasaran sejak tanggal 10 September.

Jenis permen cokelat baru itu, akhirnya, jadi dilempar ke pasaran. Soalnya, sang manajer produksi Nuggy Bar — setelah membatalkan pelemparan produk itu — mendadak teringat satu petunjuk yang pernah didengarnya ketika ia mengikuti kursus manajemen di Perusahaan Gliss, yakni:

SEKALI ANDA MENGAMBIL KEPUTUSAN POKOK TENTANG PRODUK ITU DAN MENETAPKAN WAKTU PELEMPARANNYA KE PASARAN, JANGAN LAGI TERPENGARUH OLEH PIKIRAN YANG TIMBUL KEMUDIAN.

Karena itu ia mencabut kembali pikiran-pikiran yang timbul akibat pengaruh dari hasil uji coba yang menyatakan bahwa 40% sampel cokelat itu agak berbau. Kampanye iklan produk itu pun terus berlangsung seperti direncanakan.

Mayat anak tiri Hector Griffiths, Janet Wintle, malah tak pernah ditemukan. Adalah kedua wanita tua di Stockport itu yang beruntung mewarisi kekayaan Melissa yang tidak kecil itu. (Margaret Allingham).

Baca Juga: 'Kasih' Ibu Berakhir di Penjara

 

" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682499/maut-di-teluk-busuk" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301601000) } } [8]=> object(stdClass)#150 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3682433" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#151 (9) { ["thumb_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/02/13/dihukum-mati-9-kalijpg-20230213032653.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#152 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(120) "Monster dari Düsseldorf meresahkan masyarakat. Pasalnya, ia membunuh korban-korbannya dengan sadis bak kerasukan setan." ["section"]=> object(stdClass)#153 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(103) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/02/13/dihukum-mati-9-kalijpg-20230213032653.jpg" ["title"]=> string(19) "Dihukum Mati 9 Kali" ["published_date"]=> string(19) "2023-02-13 15:13:52" ["content"]=> string(31735) "

Intisari Plus - Monster dari Düsseldorf meresahkan masyarakat. Pasalnya, ia membunuh korban-korbannya dengan sadis bak kerasukan setan

--------------------

Malam itu Frau (Ny.) Apollonia Kühn berjaIan pulang sendirian di distrik Flingern, Düsseldorf. Ketika wanita berumur 50 tahun itu tiba di jalan yang sepi, ia merasa ada seorang laki-laki yang membuntutinya. Orang itu kemudian menyusulnya seraya mengucapkan selamat malam dengan suara yang menyenangkan. Belum sempat Frau Kühn menjawab, laki-laki tidak dikenal itu sudah menjambak kerah mantel wanita itu dan menikamnya dengan gunting. Tentu saja Frau Kühn terperanjat dan berteriak-teriak meminta tolong. Namun tak seorang pun mendengarnya karena di sekitar tempat itu tidak ada rumah.

Pria itu seperti kerasukan setan. Ia terus menikami Frau Kühn. Baru pada tusukan ke-24 ia berhenti. Itu pun karena senjatanya patah. Sebelah guntingnya tertanam di punggung korbannya. Setelah itu ia meninggalkan wanita malang tersebut tergeletak di jalan. 

Pasti Frau Kühn tewas akibat luka-lukanya, kalau tak ada orang yang kebetulan lewat. Ia diangkut ke rumah sakit dan para dokter berjuang menyelamatkan nyawanya. Mereka berhasil, walaupun Frau Kühn baru sembuh lama kemudian. 

 

Si monster dari Düsseldorf

Pada tanggal 9 Februari 1929, beberapa hari setelah Frau Kühn ditikam, beberapa buruh bangunan menemukan mayat seorang anak perempuan di dekat Gereja St. Vinzenz. Keadaan mayat sangat mengenaskan, penuh luka akibat tusukan. 

Jenazah itu dikenali sebagai Rosa Ohlinger (9) yang menghilang 3 hari sebelumnya. Anak itu tidak diperkosa, walaupun ada tanda-tanda percobaan perkosaan. Tubuhnya bukan cuma penuh luka, tetapi sebagian bekas dibakar.

Sebelum polisi berhasil menemukan jejak pembunuhnya, sudah terjadi pembunuhan baru. Pada tanggal 12 Februari, seorang montir setengah baya ditemukan tewas di sebuah selokan di Gerresheim yang terletak di pinggiran Kota Düsseldorf. Pada jenazahnya ditemukan bekas 20 tusukan. Tampaknya ia ditikami dengan gunting, seperti Frau Kühn. Montir itu, Rudolf Scheer, terakhir diketahui pulang sempoyongan bersama teman-temannya, setelah minum-minum semalaman.

Polisi berpendapat, pola penyerangan terhadap ketiga korban itu mirip, begitu pula senjata yang dipergunakan. Jadi mereka menduga pelakunya sama.

Makhluk macam apakah yang tega menikami korbannya secara bertubi-tubi? Ia pun tidak pandang bulu: wanita setengah baya, anak perempuan kecil, dan pria mabuk, semua digasak. Polisi menduga, pelaku kejahatan itu seorang penderita penyakit jiwa, yang siap membunuh setiap ada kesempatan.

Penduduk Düsseldorf dan sekitarnya menjadi ketakutan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, maupun anak-anak merasa terancam. Apalagi polisi tidak berhasil menemukan petunjuk apa pun untuk mendasari penyidikan mereka dan mengenali si pembunuh. Koran-koran lantas menjuluki pembunuh kejam itu sebagai si Monster dari Düsseldorf. 

Orang bertambah takut, ketika pada tanggal 2 April ada seorang gadis dijerat dengan laso oleh seorang pria yang tidak dikenalnya. Gadis itu, Erna Penning (16), melawan sekuat tenaga sambil berteriak-teriak. Karena Erna sangat kuat, pria itu rupanya gentar juga. la kabur.

Esok malamnya seorang wanita lain dijerat di jalan yang sepi. Wanita muda yang sudah bersuami itu bernama Flake. la sedang berjalan, ketika tali laso menjerat lehernya dari belakang. Pria itu menyeretnya di tanah yang tidak rata, sampai ke sebuah ladang. Untung, seorang pria dan seorang wanita mendengar teriakannya. Mereka berlari ke arah datangnya teriakan. Melihat gelagat tidak menguntungkan, penyerang Flake melarikan diri.

Kedua penolong Flake tidak berhasil melihat wajah penyerang sadis itu, sebab sudah keburu menghilang. Mereka menduga orang itu masih muda, sebab larinya kencang.

Ketika keterangan perihal pria muda yang larinya kencang muncul di koran, polisi mendapat masukan dan pembaca. Konon di Düsseldorf ada seorang pria terbelakang mental yang terkenal kencang larinya. Setiap ada orang yang mendekatinya, ia melesat kabur. Jangan-jangan dialah pembunuh gila itu! Begitu pendapat pemberi info tersebut.

Polisi sebenarnya sangsi, tetapi kalau petunjuk ini diabaikan lalu ternyata orang itu benar-benar si Monster, celakalah mereka. Jadi mereka menangkap Johann Strauβberg untuk ditanyai.

“Apakah Anda tahu perihal beberapa pembunuhan yang selama ini menggemparkan penduduk Düsseldorf?” tanya polisi.

“Oh, tahu!” jawab Strauβberg dengan berseri-seri. “Sayalah Monster dari Düsseldorf itu!”

Selain mengaku membunuh dan menyerang beberapa orang, ia juga mengaku membakar beberapa lumbung. Memang sejak bulan Januari ada beberapa lumbung terbakar secara misterius dan kasus itu belum terpecahkan.

Polisi sampai tercengang, meski mereka tetap sangsi. Apa betul pria sumbing yang terbelakang mental itu orang yang mereka cari?

Karena Strauβberg terbelakang mental, ia tidak bisa diadili. Ia dikirim ke rumah sakit jiwa dan diawasi dengan ketat.

Sementara itu koran-koran pun memasang headline: “Monster Mengaku”.

Penduduk Düsseldorf lega. Mereka mulai menikmati lagi hidup yang normal.

 

Matanya berapi-api

Setelah itu memang pembunuhan berhenti. Polisi dan penduduk lega.

Namun, baru empat bulan mereka terbebas dari ketakutan, eh terjadi lagi serentetan pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Tentu saja ketakutan yang dirasakan penduduk lebih besar daripada sebelumnya.

Kejahatan gelombang kedua ini diawali pada bulan Agustus tahun itu juga. Seorang wanita muda yang sudah bersuami ditikam punggungnya ketika pulang dari pasar malam di Lierenfeld, pinggiran Kota Düsseldorf. Tikaman itu kurang telak. Wanita bernama Mantel itu berbalik untuk melihat penikamnya. Sayang, pria itu sudah berlari ke kegelapan. Yang tampak cuma punggungnya. 

Belum sampai 12 jam kemudian sudah terjadi dua penikaman lain. Salah seorang korban bernama Anna Goldhausen. Punggungnya ditikam ketika ia sedang lewat di jalan sepi di Lierenfeld juga.

Korban kedua adalah seorang pria bernama Gustav Kornblum. Ia sedang enak-enak duduk di bangku taman di Lierenfeld ketika ada orang yang menikam punggungnya.

Kedua korban itu tidak meninggal, tetapi tidak bisa menjelaskan bagaimana rupa penyerangnya.

Kegemparan mencapai puncaknya pada tanggal 28 Agustus. Hari itu ditemukan jenazah dua anak perempuan. Gertrud Hamacher baru berumur 9 tahun, sedangkan Louise Lenzen 14 tahun. Mereka ditemukan di tanah kosong dekat Düsseldorf. Dua hari sebelumnya mereka pergi ke pasar malam di Slehe, lalu tidak pulang. Keduanya memperlihatkan tanda-tanda bekas dicekik dan digorok, tetapi tidak diperkosa.

Sehari sebelumnya, tanggal 27 Agustus, seorang pembantu rumah tangga yang masih muda, Gertrude Schulte, menelusuri tepi sungai untuk pergi ke pasar malam di Neuss. Di perjalanan ia didekati seorang pria, yang merayunya agar mau berjalan bersama-sama. Mendekati hutan, pria itu berusaha memerkosanya.

“Lebih baik mati daripada menyerah kepadamu!” seru gadis itu.

“Nah, matilah kau!” jawab si pria itu tenang saja, sambil menikami Gertrude dengan pisau sampai 14 kali.

Gadis itu luput dari maut, walaupun lukanya parah. Baru enam bulan kemudian ia keluar dari rumah sakit. Menurut Gertrude Schulte, “Wajah pria itu seperti setan dan matanya berapi-api.”

Sekeluar dari rumah sakit, polisi memberi Gertrude Schulte pekerjaan sebagai juru ketik di markas besar polisi. Setiap ada orang yang dicurigai sebagai Monster dari Düsseldorf, polisi selalu menjajarkan orang itu dengan sejumlah pria lain di hadapan Gertrude. Siapa tahu gadis itu mengenali penyerangnya.

 

Main palu

Awal September, ada dua gadis disergap dari belakang, lalu dicekik. Kedua-duanya luput dari maut, karena ditinggalkan sebelum tewas. Mereka tidak sempat melihat siapa penyerang mereka. Kemudian ditemukan seorang gadis yang retak tengkoraknya. Tadinya ia dikira terjatuh dari sepeda. Namun, pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa kepalanya bekas dipalu beberapa kali.

Pada suatu hari Minggu di akhir bulan September, seorang pembantu rumah tangga berumur 32 tahun, Aida Reuter, mendapat libur. Sampai malam ia belum juga pulang ke rumah majikannya. Keesokan harinya ia dijumpai sudah menjadi mayat di sebuah lapangan rumput di tepi Sungai Rhein, agak di luar Kota Düsseldorf. Aida Reuter menunjukkan tanda-tanda diperkosa. Kepalanya luka parah, bekas dipalu 13 kali.

Sepuluh hari kemudian, seorang pembantu rumah tangga juga, Elizabeth Dorrier (22), tewas dipukuli dengan palu di Grafenberg. Rupanya ia berjumpa dengan pembunuhnya ketika sedang menelusuri tepi Sungai Rhein.

Tanggal 23 Oktober, Frau Elizabeth Meurer (34) berjalan seorang diri di pinggiran kota. Kemudian seorang pria berjalan di sampingnya sambil berkata dengan sopan. 

“Boleh saya temani Anda pulang, Bu?”

Lampu jalan menerangi wajahnya dan Frau Meurer mendapat kesan pria itu “muda dan tampan”. Karena sikapnya sopan, Frau Meurer tidak curiga ataupun takut, walaupun media massa sering memuat berita kejahatan Monster dari Düsseldorf.

Frau Meurer mengira pria itu sedang membicarakan topik yang sedang hangat ketika itu, waktu ia berkata bahwa mereka mendekati tempat Rudolf Scheer dibunuh.

“Anda tidak takut diserang?” tanya pria itu. 

“Ah, tidak,” jawab Frau Meurer, masih tanpa curiga.

“Di sini tidak ada polisi, lo! Mereka sedang minum-minum di rumah minum jauh dari sini,” kata pria itu pula

Saat itu Frau Meurer waswas. Buru-buru ia mempercepat langkahnya seraya berkata bahwa suaminya akan menjemput dan sebentar lagi pasti muncul. Pria itu pun memperlambat langkahnya dan Frau Meurer menarik napas lega.

Wanita itu terbengong-bengong ketika mendapati dirinya tiba-tiba sudah berada di ranjang rumah sakit. Ia tidak tahu bahwa pria yang menemaninya di jalan itu memukul kepalanya dengan palu sampai ia pingsan beberapa jam.

Beberapa jam setelah Frau Meurer dipukul dengan palu, seorang wanita pelayan restoran, Wanders, ditemukan pingsan di taman Kota Düsseldorf. la pun menjadi korban palu.

 

Surat kaleng

Korban berikutnya adalah Gertrud Albermann, gadis cilik berumur 5 tahun. Tanggal 7 November orang tuanya melapor bahwa Gertrud hilang entah ke mana. Keesokan paginya, sebuah surat kabar di Düsseldorf menerima surat kaleng yang memberitahukan bahwa jenazah anak yang hilang itu bisa ditemukan di dekat Tembok Haniel.

Memang benar. Mayat anak kecil itu tergeletak di puing-puing dekat Tembok Haniel di Düsseldorf. Anak itu tewas dicekik. Setelah itu mayatnya ditikam 36 kali.

Dalam surat kaleng tersebut terdapat juga peta dengan tulisan “Pembunuhan dekat Papendell”. Papendell adalah tanah partikelir, yang terletak ± 1,5 km dari Düsseldorf. Peta itu menunjukkan kuburan salah seorang korban si pembunuh.

Polisi ingat, pada tanggal 11 Agustus, seorang pembantu rumah tangga bernama Maria Hahn dilaporkan menghilang. Tak lama setelah itu, seorang petani menemukan topi wanita, tas, dan serenceng kunci dekat Papendell.

Polisi pergi ke tempat yang ditunjukkan, tetapi tidak menemukan apa-apa. Peristiwa itu diberitakan di surat-surat kabar. Keesokan harinya, sehelai kartu pos tiba di markas besar polisi. Isinya cuma sekalimat: “Teruskan menggali”.

Polisi kembali ke Papendell. Lima hari kemudian ditemukan jenazah Maria Hahn, terkubur sedalam 2 m di tanah yang keras! Mayat telanjang bulat itu menunjukkan bekas perkosaan dan 20 luka tusukan.

Sejak bulan Agustus, polisi menerima 200 surat dari pelbagai pihak. Sejak mayat Maria Hahn ditemukan, jumlah surat meningkat. Sebagian surat kaleng. Mungkin dikirimkan oleh si pembunuh. Bunyinya seram-seram. Antara lain: “Darah! Darah! Aku harus memperoleh darah!” Kemudian ada surat yang bunyinya sebagai berikut:

“Aku akan memindahkan kegiatanku ke Berlin. Korban pertamaku di sana tidak lain daripada kepala polisi!”

Sejak itu, kalau ada peristiwa pembunuhan atau penyerangan di tempat-tempat lain, yang dituduh sebagai pelakunya pasti si Monster dari Düsseldorf.

Berbulan-bulan lewat. Si Monster tetap belum berhasil dikenali. Bulan April 1930, seorang perawat tewas ditikam dekat Bennekom, Negeri Belanda. Temannya selamat, walaupun luka-luka. Orang Belanda pun menyalahkan si Monster dari Düsseldorf. Padahal ternyata bukan. Pelakunya bekas napi yang baru dilepaskan dari penjara. Orang itu dulu dipenjarakan karena memerkosa.

Anda barangkali masih ingat pada Gertrud Albermann, salah seorang bocah korban si Monster. Pada tahun 1930 ini, tiba-tiba bibinya menerima surat kaleng, yang menggambarkan secara rinci perihal cara keponakannya menemui ajal. Surat itu memakai cap pos “Dortmund Aachen Express”.

Aachen adalah kota Jerman di perbatasan dengan Belgia. Polisi Düsseldorf khawatir. Jangan-jangan buruan mereka kabur ke Belgia. Sementara itu masyarakat Belgia ketakutan. Bukan cuma Belgia, tetapi juga tetangga Jerman yang lain, Polandia. Penduduk Polandia curiga, jangan-jangan si Monster itu orang Polandia yang pernah membunuh 7 orang gadis berumur 5 - 20 tahun tiga tahun sebelumnya. Pembunuhan yang terjadi di Warsawa itu belum berhasil terungkap pelakunya. Celaka kalau pembunuh itu mudik!

Saat itu surat yang diterima oleh polisi perihal si Monster sudah menjadi 13.000 pucuk! Banyak juga yang berisi petunjuk. Polisi mengikuti 2.650 diantaranya dengan hasil nihil. Polisi juga sudah menanyai 9.000 orang. Beberapa orang tertimpa sial gara-gara dikira si Monster.

Suatu malam di bulan November 1929, tidak lama setelah pembunuhan atas Gertrud Albermann, beberapa murid sekolah melihat seorang pria menuntun anak kecil menuju tanah tempat orang mendirikan bangunan. Tempat itu tidak jauh dari tempat mayat Gertrud ditemukan. Segera saja anak-anak itu memberi tahu buruh bangunan. Buruh bangunan melapor ke polisi. Polisi lekas bertindak. Pria itu disergap dan diangkut ke kantor polisi. Ternyata ia ayah anak yang dibimbingnya dan mereka sedang dalam perjalanan pulang.

Ratusan manusia yang berkerumun di muka kantor polisi tidak mau percaya. Mereka yakin pria itu si Monster dan mereka ingin mengeroyoknya. Terpaksa laki-laki malang itu diselundupkan ke luar lewat pintu belakang.

Kemudian muncul cerita perihal seorang wanita yang suaranya berat seperti laki-laki. Wanita itu kelihatan sedang membagi-bagikan permen kepada anak-anak pada hari Gertrud Albermann dibunuh. Ada orang yang menduga bahwa wanita itu sebenarnya laki-laki yang menyamar.

Begitu cerita itu dimuat di surat kabar, muncullah seorang wanita ke markas besar polisi.

“Sayalah wanita yang membagi-bagikan permen itu,” katanya. Ia berbuat demikian tanpa maksud apa-apa. Ia cuma senang kepada anak-anak. Ia memperkenankan dirinya diperiksa oleh dokter untuk membuktikan bahwa ia bukan pria.

Pada suatu malam di bulan Desember 1929 yang dingin, seorang pria menghentikan mobilnya di tepi jalan dekat Kota Köln. Ia berjalan hilir mudik sambil merentangkan dan menggerak-gerakkan lengannya. Seorang wanita melihatnya dan mengira pria itu akan menerkamnya. Jadi ia berlari untuk memanggil polisi. Polisi membawa pria itu ke kantor polisi. Ternyata ia pemain biola berkaliber internasional, Edward Saermus!

Saermus menjelaskan bahwa ia merasa pegal karena lama mengemudikan kendaraannya. Jadi ia berhenti sebentar untuk bergerak badan, supaya peredaran darahnya lancar.

Mereka itu cuma beberapa di antara sekian banyak orang yang ketiban sial akibat ulah si Monster.

Walaupun banyak orang berpendapat bahwa semua pembunuhan dan penyerangan itu dilakukan oleh satu orang, polisi menduga bahwa mestinya ada dua atau tiga pelaku. Soalnya, kejahatan itu tidak mengikuti pola tertentu. Korbannya wanita pelbagai umur dan berasal dan pelbagai golongan. Bahkan ada empat anak dan dua pria. Ada korban yang diperkosa atau coba diperkosa, ada yang tidak. Senjata yang dipergunakan pun beragam: gunting, laso, palu, pisau, dan ada pula korban yang tewas dicekik.

Akhir tahun 1929 dan awal tahun 1930 polisi menahan sejumlah orang. Salah seorang di antaranya buruh bangunan yang tampak berjalan bersama Maria Hahn tidak lama sebelum Maria menghilang. Buruh itu ditahan di Berlin. Setelah ditanyai bermacam-macam, polisi menarik kesimpulan, bukan dia si Monster yang membunuh Maria Hahn atau korban lain.

Di Cekoslowakia, seorang sopir diperiksa gara-gara wajahnya mirip dengan gambar yang dikirimkan oleh polisi Düsseldorf. la dibebaskan, setelah terbukti bahwa ia berada di Praha pada saat Monster dari Düsseldorf melakukan lima pembunuhan yang pertama.

Polisi pun sempat menggebrak rumah seorang penari pria. Penari itu ditahan karena di rumahnya ditemui gambar-gambar yang mengerikan. Salah satu melukiskan ibu Gertrud Albermann sedang memandangi dengan sedih jenazah putrinya yang penuh luka. Gambar lain melukiskan penari itu sedang menikam seorang gadis. Setelah diperiksa dengan saksama, ketahuan penari itu tidak mempunyai sangkut paut dengan pembunuhan.

Walaupun polisi rajin mengikuti info dari masyarakat dan memeriksa orang-orang yang dicurigai, tetap saja si Monster tidak bisa dijaring.

 

Perlu nasib baik

Sementara itu sebuah koran Inggris mempekerjakan seorang mantan inspektur kepala dari Scotland Yard untuk mengusut kejahatan-kejahatan yang menggemparkan itu.

Mantan Inspektur Kepala Gough menarik kesimpulan bahwa satu-satunya harapan untuk bisa memecahkan perkara-perkara ini cuma nasib baik dan kebetulan. Masalahnya, polisi Düsseldorf tidak mempunyai dasar yang mantap untuk melakukan penyidikan.

Nasib baik ternyata baru mengintip beberapa bulan kemudian. Tanggal 14 Mei 1930, seorang gadis bernama Maria Budlich, berangkat dari rumahnya di Köln menuju Düsseldorf, karena ia mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga.

Calon majikannya berjanji akan menjemput di stasiun Düsseldorf. Ketika Maria Budlich yang belum pernah bekerja itu tiba di stasiun, gadis itu menjadi gelisah, karena mengingat berita-berita tentang Monster dan Düsseldorf. la ketakutan ketika seorang pria yang tingkah lakunya aneh, memaksa mengantarkannya ke rumah majikannya.

Maria Budlich baru merasa lega, ketika seorang pria berpakaian rapi dan bersuara lembut menengahi mereka.

“Kau benar. Di sini mesti berhati-hati,” kata pria itu. Penampilannya yang mengesankan orang baik-baik menyebabkan Maria menerima tawaran pria itu untuk minum kopi dulu di rumahnya.

Di Mettmannerstraβe 71 itu Maria diperlakukan dengan sopan, sehingga ia sangat menikmati suguhan berupa susu dan roti ham. Setelah selesai makan minum, pria itu berkata akan mengantarkannya ke rumah majikan Maria.

Hari sudah mulai gelap, ketika mereka berjalan berdua. Makin lama mereka makin jauh meninggalkan jalan yang diterangi lampu. Kemudian di hadapan mereka tampak Hutan Grafenberger. Saat itulah Maria merasa waswas. Pria di sebelahnya menangkap kekhawatiran Maria.

“Alamat yang kita cari letaknya dekat hutan itu,” kata si pria. 

Begitu mereka tidak tampak lagi dari jalan, pria itu tiba-tiba saja mencekik Maria dan mencoba memerkosanya. Maria meminta-minta ampun. Ia mengiba-iba. Akhirnya pria itu bertanya:

“Kau ingat alamatku?” 

“Tidak!” jawab Maria. “Saya tidak ingat.”

Pengakuan itulah yang rupanya menyelamatkan nyawanya. Pria itu berlari ke jalan meninggalkan si calon pembantu rumah tangga.

Maria Budlich adalah seorang gadis yang sederhana. Tidak terpikir olehnya untuk melaporkan pengalamannya kepada polisi. Ia cuma menceritakannya dalam surat kepada seorang temannya. Surat itu tidak pernah diterima oleh si teman, sebab Maria salah menuliskan alamat. Di kantor pos, surat Maria jatuh ke bagian surat-surat buntu. Seorang karyawan kantor pos membukanya. Setelah membaca isinya, ia menyerahkan surat itu ke polisi.

Maria didatangi polisi dan dibawa ke Mettmannerstraβe. Ia sudah tidak ingat nomor rumah yang dikunjunginya, tetapi ia masih ingat bentuk rumah itu. Pemilik rumah menunjukkan kamar-kamar yang disewakannya. Maria mengenali perabot di sebuah ruangan, tempat ia pernah dijamu susu dan roti ham. Penyewa tempat itu adalah seorang buruh pabrik bernama Peter Kürten (47). Mustahil ia si Monster.

Kürten dikenal pendiam dan sopan santun. Walaupun pekerja kasar, ia sangat memperhatikan penampilannya. Ia kelihatan lebih muda daripada umurnya.

Tampaknya ia baik-baik saja kepada istrinya yang kurus dan tiga tahun lebih tua. Wanita itu kelihatan lebih tua daripada umurnya sebab mengabaikan penampilannya. Mereka berdua tidak pernah menyusahkan pemilik rumah.

Bagi majikannya pun Kürten karyawan teladan. Kecerdasannya lebih daripada yang dituntut oleh pekerjaannya. Namun, ia tidak mempunyai teman dekat. Bagi rekan-rekan sekerjanya, ia angkuh karena merasa lebih dari mereka.

Mungkinkah orang seperti ini meneror Kota Düsseldorf dan daerah sekitarnya? Paling-paling ia cuma bisa dituduh mencoba memerkosa Maria Budlich. Dengan tuduhan itulah ia ditahan.

Polisi bertanya apakah ia tahu perihal pelbagai pembunuhan dan penyerangan yang terjadi sejak Februari 1929.

“Ya. Sayalah orang yang Anda cari,” jawab Peter Kürten.

Ia bukan cuma mengakui kejahatan yang tercatat antara tahun 1929 dan 1930, tetapi juga yang terjadi sebelumnya, yang tidak diketahui oleh polisi.

Bukan cuma sekali ini polisi menghadapi orang yang mengaku-aku berbuat kejahatan yang tidak dilakukannya. Jadi mereka bersikap sangat hati-hati. Dari detail yang diceritakan oleh Peter Kürten, akhirnya polisi menarik kesimpulan bahwa memang Kürten-lah yang bertanggung jawab atas beberapa dari kejahatan itu.

 

Langsung pingsan

Untuk mengecek kebenaran dugaan mereka, Gertrude Schulte, salah seorang korban si Monster, dipanggil. Wanita yang kini menjadi juru ketik di markas besar polisi itu dihadapkan pada Kürten. Begitu melihat pria itu, Gertrude berteriak:

“Oh! Astaga! Ini dia orangnya ....” 

Setelah itu Gertrude langsung pingsan.

Bukan cuma Gertrude Schulte yang tidak ragu-ragu mengenalinya. Frau Meurer pun demikian.

Selain mengaku pernah membunuh dan melukai sejumlah orang, Kürten pun menyatakan pernah menipu, merampok, dan kira-kira 20 kali membakar lumbung dan rumah.

Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan bahwa ia pernah dipenjara beberapa tahun karena menipu, mencuri, mencoba menembak seorang gadis, menyerang beberapa pembantu rumah tangga, dan menembakkan senjata api di restoran.

Saking banyaknya kejahatannya yang mesti dicek, baru hampir setahun kemudian Peter Kürten dihadapkan ke meja hijau. Bulan April 1931, di Pengadilan Düsseldorf, ia dituduh membunuh 9 orang. Yang pertama dilakukannya ketika berumur 16 tahun. Delapan lagi antara Februari dan November 1929. Selain itu ia dituduh melakukan percobaan pembunuhan sebanyak tujuh kali.

Peter Kürten tenang saja menghadapi meja hijau. Ia mengenakan setelan jasnya yang paling bagus, yang disetrika dengan rapi. Dagunya klimis dan kukunya terpelihara dengan baik.

Frau Kürten termasuk salah seorang dari hampir 200 saksi yang dimintai keterangan. Saat itu Frau Kürten sudah menceraikan suaminya. Menurut Frau Kürten, selama 7 tahun hidup bersama, ia tidak pernah curiga bahwa suaminya menuntut kehidupan ganda. Peter Kürten senang kepada anak-anak dan sering bermain dengan anak-anak tetangga. Cuma saja Frau Kürten mencurigai suaminya serong. Pernah sekali ia menanyakan hal itu. Peter Kürten langsung menamparnya, tetapi kemudian meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Janji itu ditepati. 

Pernah Peter Kürten bergurau tentang pembunuh dari Düsseldorf.

“Penjahat itu digambarkan mirip aku,” katanya kepada istrinya. “Cuma saja ia dikatakan berumur 30, sedangkan aku 46.”

Tidak heran ia tampak awet muda. Kata istrinya, kalau akan keluar rumah pada sore hari, suaminya itu berhias dulu dengan mempergunakan kosmetik!

Ketika Frau Kürten memberi tahu bahwa polisi datang ke kediaman mereka, Peter mengajaknya berjalan-jalan menelusuri sungai sambil menceritakan bahwa dialah yang berbuat semua itu.

Istrinya begitu tercengang dan bertanya. 

“Kau membunuh anak-anak juga?”

“Ya! Aku rasa, aku harus membunuh mereka.” 

Lalu ia mengancam istrinya agar tutup mulut. Kalau tidak istrinya akan mengalami nasib seperti para korbannya.

Ternyata Peter Kürten itu anak ketiga dari 13 bersaudara. Saking miskinnya, mereka sampai pernah harus tinggal berlima belas dalam satu kamar. Ayahnya brengsek dan sadis. Tetangganya pun tidak keruan. Umur 8 tahun Peter kabur dari rumah. Namun ia kembali dan baru kabur lagi ketika umurnya 14 tahun. Sejak itu ia hidup dari mencuri dan merampok. Umur 15 tahun, untuk pertama kalinya Peter masuk penjara, akibat mencuri.

Di penjara ia bercita-cita menjadi pembunuh “untuk membalas dendam kepada masyarakat”.

Kemudian ia merasa kekerasan dan api ternyata menggugah dan memuaskan dorongan seksualnya. Pengakuannya di pengadilan itu mendirikan bulu roma.

Pembelanya berusaha agar Peter Kürten dinyatakan tidak waras, tetapi para pakar penyakit jiwa yang memeriksa Kürten tidak mendukung.

Tanggal 23 April 1931, Peter Kürten hukuman mati 9 kali. Kürten menerimanya. Ia dipancung dengan guillotine di Köln menjelang fajar tanggal 3 Juli 1931. Sebelum dibawa ke tempat eksekusi, ia meminta daging goreng yang dilapisi serbuk roti, kentang goreng, dan anggur putih. Peter Kürten begitu menikmati makanannya sampai ia meminta tambah. (Norman Lucas)

 

Baca Juga: Hutang Mata Dibayar Mata

 

" ["url"]=> string(64) "https://plus.intisari.grid.id/read/553682433/dihukum-mati-9-kali" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1676301232000) } } [9]=> object(stdClass)#154 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3635604" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#155 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2023/01/05/hutang-mata-dibayar-mata_sora-sh-20230105071006.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#156 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(114) "Seorang jaksa senior diminta menjadi pembela atas seorang janda buta yang dituduh membunuh suaminya. Apa upayanya?" ["section"]=> object(stdClass)#157 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2023/01/05/hutang-mata-dibayar-mata_sora-sh-20230105071006.jpg" ["title"]=> string(24) "Hutang Mata Dibayar Mata" ["published_date"]=> string(19) "2023-01-05 19:10:40" ["content"]=> string(31922) "

Intisari Plus - Seorang jaksa senior diminta menjadi pembela atas seorang janda buta yang dituduh membunuh suaminya. Apa upayanya?

--------------------

Matthew Robert segera menutup map merah berisi berkas perkara dan menaruhnya di atas meja. Saat itu perasaannya mulai tidak enak. Semula ia memang ingin menjadi pembela Mary Regina Banks, namun instingnya mengatakan ada yang tak beres dengan kliennya. Apakah Mary Banks benar-benar tidak bersalah seperti pengakuannya selama ini? Terus terang, ia meragukan kejujuran wanita itu.

Pria paruh baya dengan ribuan jam terbang sebagai jaksa senior ini pelan-pelan menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya agak terganggu dengan beberapa kejanggalan fakta dalam kasus yang akan ditangani. Selama menanti kedatangan pengacara yang akan memberi informasi lebih detail tentang Mary Banks, matanya menerawang ke luar jendela kompleks kantornya di kawasan Middle Temple. Matthew hanya bisa berharap semoga kali ini ia mampu membuat keputusan yang benar.

Kasus yang menyangkut tersangka Mary Banks sebenarnya hanyalah pembunuhan tunggal sederhana. Namun, gambaran kehidupan 11 tahun usia perkawinan korban dan tersangka justru akan membuat opini publik cenderung membenarkan tindakan tersangka. Betapa tidak? Si korban Bruce Banks oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai pria sadis yang gemar berkelahi. 

Kepada istrinya ia termasuk cengkiling, atau plak plek, alias ringan tangan. Kalau di antara anggota juri nanti terdapat banyak wanita, faktor psikologis ini tentu akan sangat berpengaruh saat mereka membuat keputusan. Bisa jadi, tindakan Mary Banks ini dianggap membela diri. Ini cukup untuk meloloskannya dari jeratan hukum.

Matthew menyalakan sebatang rokok dan menghirup asapnya dalam-dalam, sesuatu yang sebenarnya sangat dibenci oleh istrinya. Matanya memandang foto istri tercinta, Victoria, yang terpasang di atas meja dekat tempat alat tulis. Sejenak, wajah istrinya mengingatkan masa mudanya. Tapi sudahlah. Ia menghibur diri, kenapa harus tenggelam dalam kesedihan terus. Toh, Victoria sudah meninggal. Namun, yang sebenarnya mendera batinnya justru permintaan almarhumah istrinya sebelum meninggal. Victoria berpesan agar Matthew membela Mary Banks dalam kasus ini. Maklum, Mary Banks si tersangka, adalah sobat karib istrinya.

Dengan rasa berat pikirannya dipusatkan kembali ke perkara yang sedang dihadapi, serta permohonan Mary Banks yang meminta pembebasan hukuman. Ia membuka lagi map berkas perkara. Menurut pengakuan Mary Banks, sangat tidak mungkin dirinya tega memukul suaminya dengan kapak dan menguburkan di bawah kandang sapi. Persis ketika Matthew menghirup rokok yang kesekian kali, tiba-tiba terdengar ketukan pintu.

“Silakan masuk!” ujarnya setengah berteriak - bukan lantaran menyukai suaranya sendiri, melainkan karena pintunya sangat tebal, sehingga kalau tidak berteriak suaranya tidak akan terdengar dari luar. Pembantunya segera membuka pintu memberitahukan kedatangan Bernard Casson, diantar oleh Hugh Witherington.

Bernard Casson, seorang pengacara lulusan sekolah tinggi hukum London yang terkenal, selalu tampil resmi dan tepat waktu. Setelan jas dan celana dengan motif seperti bambu bermodel konservatif yang dikenakan sepertinya tak pernah berubah dari tahun ke tahun. Dalam hatinya Matthew berkata, kalau mau ia bisa membeli enam setelan seperti itu di toko obral. Dengan demikian dalam seminggu ia bisa berganti-ganti setiap hari.

Kumis dan rambutnya yang tak semuanya tercukur rapi membuat penampilan Casson tampak kuno. Bisa jadi, sosoknya yang demikian ini akan membuat lawan-lawannya di pengadilan kecut. Untungnya, kemampuan adu argumentasi Casson tidak terlalu baik, sehingga Matthew yakin bahwa asistennya akan bisa menghadapinya di sidang pengadilan. 

Tak jauh dari meja tamu, berdirilah asisten Matthew yang masih muda, Hugh Witherington. Rupanya, anak muda ini tidak begitu banyak menerima keberuntungan. Dari tampangnya saja sudah jelas menunjukkan ia bukan seorang yang berbakat, kalau tidak mau dikatakan lugu atau malah bloon. Setelah beberapa kali melayangkan lamaran kerja dan menjalani serangkaian wawancara, akhirnya ia diterima di Biro Hukum Matthew Robert Co. Semula para pegawai di kantor itu terheran-heran, mengapa Matthew mau menerima anak muda bertampang bego ini. Apalagi memilihnya untuk menjadi asistennya dalam menangani perkara Mary Banks.

“Saya ucapkan terima kasih atas kehadirannya di kantor ini,” sambut Matthew. “Dengan senang hati Pak Matthew,” balas Casson seraya menganggukkan kepala dengan amat santun. “Barangkali Anda belum mengenal Hugh Witherington, asisten saya dalam kasus ini,” ujar Matthew sambil menunjuk anak muda di sebelahnya. Yang dimaksud tersipu malu, lantas ia mengambil sapu tangan sutra dari kantung jas atas, untuk menyeka wajahnya yang tak keringatan.

 

Tak mungkin membunuh suami

Setelah basa-basi sejenak, si tamu kemudian mengambil map coklat dari balik tas kulitnya. Sambil membuka map ia mengatakan bahwa beberapa hari lalu telah menemui dan berkonsultasi dengan tersangka. Pada pokoknya, Mary Banks tetap tidak bisa menerima tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

“Ia masih mengaku bahwa dirinya tidak bersalah?” tanya Matthew. 

“Ya, Pak Matthew. Ny. Banks masih tetap menyangkal bahwa dirinya tidak melakukan kejahatan seperti dituduhkan kepadanya. Ia tak mungkin membunuh sang suami karena beberapa hari sebelum peristiwa itu matanya menjadi buta akibat perlakuan suaminya. Bahkan, persis pada waktu pembunuhan itu ia tengah dirawat di rumah sakit setempat.”

“Namun dari hasil pemeriksaan patologis, ‘kan waktu kematian korban belum bisa ditentukan secara jelas,” ujar Matthew mengingatkan, “selama kurang lebih dua minggu kemudian mereka baru bisa menemukan jenazah korban. Menurut analisa pihak kepolisian, pembunuhan itu sudah terjadi 24 atau 48 jam sebelum Ny. Banks dibawa ke rumah sakit.”

“Saya juga telah membaca laporan tersebut,” Casson menjawab, “dan telah saya sampaikan kepada Ny. Banks. Namun, ia tetap bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah. Ia yakin dirinya akan bisa memengaruhi para juri. Ia bahkan menekankan, ‘apalagi yang akan menangani kasus ini ‘kan Matthew Robert yang terkenal itu.’ Betul kalimat itulah yang ia katakan Pak.”

“Oh, begitu. Tapi saya tidak akan terbujuk dengan perkataan itu,” kata Matthew sambil menyalakan rokoknya lagi.

“Katanya Anda sudah menjanjikan hal itu kepada alm. Victoria,” Casson menyela.

“Kalau demikian saya harus mendapat kesempatan sekali lagi untuk menyakinkan dia.” Matthew mengatakan hal itu seolah ia tak menanggapi perkataan lawan bicaranya.

“Barangkali sebaliknya, Ny. Mary Banks juga harus mendapat kesempatan sekali lagi untuk meyakinkan Anda, Pak Matthew,” balas Casson.

“Oh, begitu?,” kata Matthew. “Mari kita kembali pada temuan kasus ini.” Matthew memeriksa berkas-berkas perkara yang ada di atas meja. “Pertama,” ujarnya sambil menatap lurus ke arah Casson, “ketika jenazah korban digali, terdapat bercak-bercak darah tersangka pada kerah kemeja korban.”

“Ny. Banks mengakui fakta tersebut,” ujar Casson sambil melihat kertas-kertas catatannya, “namun ....”

“Yang kedua,” tukas Matthew sebelum Casson sempat menanggapi lebih jauh, “ketika kapak yang dipakai untuk memukul korban diperiksa keesokan harinya, terdapat beberapa helai rambut Ny. Banks ditemukan menempel pada gagangnya.”

“Kami pun tak bisa menyangkalnya,” ujar Casson.

“Nah, kalau demikian kita tidak punya banyak pilihan,” jawab Matthew sambil bangkit dari duduk dan mulai melangkahkan kakinya keliling ruangan.

“Yang ketiga, ketika sekop yang dipakai untuk menggali kuburan korban diteliti, sidik jari klien Anda banyak ditemukan di situ.”

“Kami bisa menjelaskan hal itu juga,” kata Casson. 

“Namun, apakah dewan juri akan menerima penjelasan Anda?” tanya Matthew dengan nada suara yang tinggi. “Ketika mereka mengetahui bahwa korban adalah pria yang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh tindak kekerasan. Bahwa klien Anda secara rutin sering terlihat pulang dari ranch pertanian dengan mata lebam karena dipukuli atau dengan luka-luka di kepala yang masih berdarah. Bahkan ia pernah harus dirawat karena tangannya patah?”

“Klien kami selalu mengatakan bahwa luka-luka tersebut didapat ketika terjadi kecelakaan kerja di pertanian.”

“Argumentasi itu justru akan membuat orang seperti saya tak mudah percaya,” ujar Matthew setelah selesai mengelilingi ruangannya dan kembali duduk di kursi. “Dan kita tidak terbantu oleh kenyataan bahwa seorang saksi yang cukup dikenal dan sering mengunjungi ranch pertanian itu secara periodik hanyalah tukang pos. Apalagi penduduk desa itu segan masuk ke wilayah tersebut.” Matthew membuka lembaran buku catatannya.

“Saya kira justru hal itu mempermudah bagi seseorang untuk masuk dan membunuh Banks,” celetuk Witherington tiba-tiba.

 

Menyusun rencana rahasia

Matthew tak mampu menyembunyikan keterkejutannya mendengar suara asistennya. la nyaris lupa kalau selain mereka berdua di ruangan itu juga ada Witherington. “Ini poin yang menarik,” ujarnya sambil matanya menatap Witherington. Tampaknya, ia punya rencana memainkan taktik rahasia dalam kasus ini.

“Problem berikutnya yang kita hadapi adalah klien Anda mengeklaim dirinya menjadi buta setelah dipukul suaminya dengan wajan panas. Nah, apa yang ingin Anda katakan, Pak Casson?”

“Luka carutan di sisi kiri kening klien saya sampai sekarang masih bisa dilihat secara jelas,” ujar Casson. “Yang penting, sampai kini dokter yang merawatnya yakin Ny. Mary Banks betul-betul buta, tak bisa melihat.”

“Biasanya para dokter lebih gampang untuk meyakinkan orang daripada seorang jaksa penuntut dan pengacara, Pak Casson,” balas Matthew sambil membuka halaman berkasnya.

“Berikutnya, ketika contoh jaringan tubuh korban diperiksa, terbukti darahnya mengandung racun strychinin dalam jumlah yang amat banyak, bahkan jumlah itu mampu untuk merobohkan seekor gajah sekali pun.” 

“Tapi itu ‘kan baru pendapat sementara dari tim patologi saja,” bantah Casson.

“Tapi justru itulah yang akan menyulitkan saya di sidang pengadilan untuk membuktikan bahwa itu salah,” ujar Matthew, “karena jaksa penuntut pasti akan menyuruh Ny. Banks menjelaskan mengapa ia membeli 4 gram racun strychinin dari grosir pertanian di Reading, tak lama sebelum kematian suaminya. Seandainya saya berada dalam posisinya, saya akan mengulangi pertanyaan itu berkali-kali.”

“Bisa jadi,” balas Casson sambil melihat catatannya. “Tetapi Ny. Banks telah menjelaskan bahwa selama ini rumahnya sering diganggu oleh serangan wabah tikus yang memangsa ayam ternaknya. Ia takut akan datangnya binatang lain ke peternakan tersebut, tanpa menyebut kepentingan anaknya, Rupert.”

Rupert (9) adalah anak pasutri Banks yang selama ini tinggal di asrama. Hanya pada akhir minggu atau selama liburan saja ia tinggal bersama orang tuanya.

“Tapi, bukankah si Rupert berada di sekolah asrama?” sela Matthew. “Ketahuilah Pak Casson, yang saya permasalahkan cukup sederhana,” ujarnya seraya menutup berkas, “saya tidak percaya pada pengakuan Ny. Banks.”

Casson mengangkat alis matanya. 

“Tidak seperti suaminya, Ny. Banks adalah wanita yang amat pintar. Beberapa orang memberi kesaksian bahwa Mary Banks pernah beberapa kali berbohong agar orang percaya pada ceritanya. Namun saya yakin, kali ini ia tidak akan berhasil mengelabui saya.”

“Apa yang dapat kami lakukan, Pak Matthew, bila Ny. Banks tetap mendesak agar kami membelanya?” tanya Casson.

Matthew berdiri lagi dan kembali berjalan mengelilingi ruangan dengan diam, lantas ia berhenti di depan Casson. “Tak banyak,” katanya. “Namun saya berharap bisa meyakinkan wanita ini bahwa dirinya memang bersalah telah melakukan pembunuhan. Kami yakin akan memperoleh simpati dari anggota juri. Saya yakin, tak semua juri akan memihak tersangka. Kita masih bisa mengandalkan yang lain. Siapa pun hakim yang akan menjatuhkan putusan atas diri Mary Banks, pasti akan dicap chauvinistic dan melakukan diskriminasi seksual. Kalau mau, saya bisa mengeluarkannya dari penjara hanya dalam hitungan minggu. Tapi tidak, Pak Casson! Kita harus meyakinkan Mary untuk mengubah permohonannya akan pembebasan hukuman.”

“Tapi bagaimana kita bisa melakukan hal itu, bila ia tetap bersikeras bahwa tidak bersalah?” tanya Casson.

Sebuah senyuman tersembul dari wajah Matthew, “Witherington dan saya punya sebuah rencana, bukankah demikian Hugh?” kata Matthew sambil melirik ke asistennya.

“Betul, Pak Matthew,” jawab pengacara muda ini dengan suara gembira. Namun karena Matthew tidak menjelaskan lebih lanjut rencana rahasianya itu, Cason juga tidak berniat untuk mengejarnya lebih lanjut.

“Lantas, kapan kira-kira saya bisa ketemu dengan klien kita?” tanya Matthew. 

“Apakah Senin besok pukul 11.00 Anda bisa?” tanya Casson. 

“Pada saat itu ia berada di mana?” tanya Matthew. 

“Tentu ia berada di penjara Holloway.”

“Oke, kalau demikian saya akan berada di Holloway pukul 11.00, Senin depan,” ujar Matthew. “Sejujurnya saya sudah tak sabar lagi untuk menemui Ny. Banks. Wanita itu harus diberi pelajaran. Camkan pendapat saya ini, Pak Casson.”

 

Wawancara di penjara

Hari yang ditunggu tiba. Ketika Matthew memasuki ruang tamu penjara Holloway dan melihat Mary Banks untuk pertama kalinya, sejenak ia terkejut. Menurut data dari file yang ada, Mary berusia 37 tahun. Namun, wanita berambut abu-abu acak-acakan yang sedang duduk dengan kedua tangannya di pangkuan itu tampak seperti sudah berusia 40 tahun. Yang tak bisa tersembunyikan adalah pundaknya yang bagus serta pinggangnya yang langsing menunjukkan bahwa di waktu mudanya wanita ini amat cantik.

Atas perintah Matthew, Casson duduk persis di muka Ny. Banks. Di hadapan mereka berdua ada meja kayu berlapis formika. Ada beberapa jendela kecil seperti lubang udara di tembok yang menghadap luar, sehingga sinar matahari bisa masuk persis mengenai meja itu. Selebihnya, ruangan bertembok warna krem kusam ini kosong melompong. Sementara Matthew bersama dengan asistennya duduk di sisi kiri dan kanan Casson. Tanpa ada yang menyuruh, dengan tenangnya Matthew menuang kopi yang sudah tersedia di cangkirnya. Suara kucuran air kopi memecah keheningan.

“Selamat pagi, Ny. Banks,” sapa Casson. 

“Selamat pagi, Pak Casson,” jawab yang disapa sambil menggerakkan kepalanya mengikuti arah suara di depannya. “Sepertinya Anda membawa teman-teman?”

“Betul, Nyonya. Kehadiran saya di sini ditemani oleh Pak Matthew Robert, yang akan bertindak sebagai jaksa dalam kasus Anda.”

la membungkukkan badannya sedikit ketika mendengar bunyi derit kursi tertarik, Matthew berdiri dan memberi salam, “Selamat pagi, Ny. Banks,” sambil tiba-tiba menyorongkan tangannya seperti mau mengajak bersalaman. 

“Selamat pagi, Pak Matthew,” jawab wanita itu tanpa menggerakan tangannya, namun wajahnya tetap menatap ke arah Casson. “Saya sangat gembira Anda mau membela saya nanti di pengadilan.”

“Pak Matthew akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda, Ny. Banks,” ujar Casson. Ini perlu untuk memutuskan pendekatan atau pembelaan apa yang dirasa cocok dalam kasus ini.”

“Saya mengerti,” ujar Ny. Banks, “saya akan senang menjawab setiap pertanyaan Pak Matthew. Saya yakin tidak akan sulit bagi orang sekaliber Anda untuk membuktikan apakah wanita buta bisa membunuh seorang pria bengis.”

“Tentu sulit, kalau pria kuat yang sadis itu telah diracun terlebih dulu sebelum ia dikapak,” ujar Matthew dengan suara pelan.

“Itu merupakan prestasi luar biasa bagi seseorang wanita lemah yang terbaring di rumah sakit yang jaraknya sekitar 30 km dari tempat kejadian,” jawab Ny. Banks.

“Kalau pembunuhan benar-benar dilakukan pada saat itu,” jawab Matthew, “Anda mengaku bahwa kebutaan itu karena pukulan pada kening Anda?” 

“Ya, Pak Matthew. Suami saya mengambil wajan dari kompor sementara saya lagi memasak sarapan. Saat itu ia langsung memukul saya memakai benda tersebut. Saya sempat merunduk menghindarinya, namun tak ayal wajan itu mengenai kening saya, “ ujarnya sambil jari tangannya menyentuh luka carutan yang membekas di kening mata sebelah kiri. Bisa jadi luka itu akan menimbulkan cacat seumur hidup.

“Setelah itu apa yang terjadi?” 

“Saya lari ke luar dan jatuh pingsan di lantai. Ketika siuman kembali saya merasa ada orang lain berada di ruangan itu. Namun saya tidak tahu siapa, sampai kemudian terdengar suara yang saya kenal, yakni Jack Pembridge, tukang pos yang sering ke rumah. Dialah yang kemudian membawa saya ke rumah sakit.”

“Betulkah polisi baru menemukan mayat suami Anda setelah Anda dirawat di rumah sakit?”

“Betul demikian, Pak Matthew. Setelah berada di RS Parkmead selama kurang lebih dua minggu, saya bertanya kepada pendeta yang setiap hari membesuk, bagaimana kabar Bruce, suamiku.” 

“Apakah Anda tidak heran mengapa suami Anda tak pernah menengok selama dirawat di rumah sakit?” tanya Matthew seraya pelan-pelan menyorongkan cangkir kopinya ke pinggir meja.

“Tidak. Terus-terang saya memang pernah mengancam untuk meninggalkannya. Tapi saya tidak akan sampai ....” Persis pada saat itu cangkir kopi jatuh menimbulkan suara berisik ...krompyaaaaaang... pada lantai batu. Mata Matthew tetap memperhatikan Ny. Banks.

Lantaran terperanjat mendengar bunyi itu, Mary Banks sempat terlonjak dari duduknya. Tetapi ia sama sekali tidak menengok untuk melihat pada arah mana jatuhnya cangkir.

“Anda tidak apa-apa, Pak Casson?” tanyanya. 

“Maaf, ini salah saya,” jawab Matthew. “Betapa bodohnya saya.”

Melihat kejadian ini Casson tersenyum kecut. Rupanya ia segera tahu bahwa Matthew sengaja membuat ulah untuk mengetes kliennya. Sementara Witherington tetap tak bergerak. 

“Silakan dilanjutkan,” ujar Matthew seraya membungkukkan badan mengambil pecahan-pecahan keramik cangkir yang berserakan di lantai. “Anda tadi sedang mengatakan, ‘Saya tidak ...’” 

“Oh, ya. Saya yakin pasti Bruce tidak akan peduli apakah saya akan kembali ke ranch atau tidak.”

“Dengan demikian,” kata Matthew setelah mengumpulkan pecahan-pecahan cangkir itu dan menaruhnya di atas meja, “dapatkah Anda menerangkan kepada kami mengapa polisi mendapatkan beberapa helai rambut Anda pada gagang kapak yang dipakai untuk memukul Bruce?”

“Ya. Waktu itu saya baru saja memotong kayu untuk perapian, sebelum saya menyiapkan sarapan.” 

“Tapi mengapa justru tidak ada sidik jari Anda pada gagang kapak tersebut, Ny. Banks?”

“Karena saya memakai sarung tangan, Pak Matthew. Bila Anda pernah bekerja di pertanian di bulan Oktober, Anda akan tahu betapa dinginnya suhu udara pada pukul 05.00.”

Mendengar penjelasan itu terlihat Casson tersenyum simpul. “Apa komentar Anda mengenai adanya bercak darah pada kemeja suami Anda? Ketahuilah, setelah diperiksa tim forensik ternyata bercak darah itu sama dengan golongan darah Anda.” 

“Anda akan bisa mendapatkan bercak darah di banyak tempat di rumah. Mestinya Anda bisa lebih teliti lagi memeriksa, Pak Matthew.”

“Bagaimana dengan sekop yang ditemukan. Sidik jari Anda banyak terdapat di situ. Apakah Anda juga melakukan penggalian tanah sebelum sarapan pagi?”

“Tidak, tapi memang seminggu sebelumnya hampir tiap hari saya memakainya.”

“Oh, begitu,” ujar Matthew. “Oke, sekarang saya akan menyinggung soal tindakan yang barangkali tidak biasa Anda lakukan, yakni pembelian racun strychinin. Pertama-tama, mengapa Anda membutuhkan racun itu dalam jumlah yang banyak? Kedua, mengapa Anda merasa perlu pergi ke tempat yang jauh seperti Reading hanya untuk membeli barang itu?”

“Saya memang suka berbelanja ke Reading setiap hari Kamis,” jawab Ny. Banks. “Di sana ada toko peralatan pertanian.”

 

Terjerat perangkap mata

Entah kenapa Matthew tampak mengerutkan dahi dan bangkit dari kursinya. Pelan-pelan ia berjalan mengelilingi meja Ny. Banks, sementara Casson melihat dengan ekor matanya segala tingkah laku Matthew. Baik Casson maupun Ny. Mary Banks tidak bergerak. 

Ketika posisi Matthew persis di belakang Mary, ia mengecek arlojinya. Saat itu waktu menunjukkan pukul 11.17. Sangat kelihatan Matthew tidak sabar lagi menghadapi wanita cerdik dan licik ini. la membayangkan, barangkali beginilah caranya Mary bisa bertahan hidup bersama dengan pria macam Bruce Banks selama 11 tahun. la tahu, saatnya memasang perangkap sudah tiba.

“Oke, tapi tadi belum dijelaskan mengapa Anda membutuhkan begitu banyak racun strychinin,” ujar Matthew tetap pada posisinya berdiri di belakang kliennya. 

“Kami telah kehilangan banyak ayam ternak,” jawab Ny. Banks tanpa menggerakkan kepalanya. “Menurut perkiraan suami saya, itu pasti dimakan tikus. Itulah sebabnya ia menyuruh saya membeli racun dalam jumlah banyak untuk memberantas hama tikus itu. Biar sekali jalan, semua beres.”

“Tapi nyatanya justru suami Anda sendiri yang dibereskan. Anehnya, justru dengan racun yang sama,” ujar Matthew dengan suara pelan. “Saya juga mengkhawatirkan keselamatan Rupert,” ujar Ny. Banks seakan tak mempedulikan ucapan sarkastis Matthew.

“Tapi ‘kan anak Anda selama itu tinggal jauh di asrama. Apakah saya tidak keliru?”

“Ya, Anda keliru, Pak Matthew karena ia akan segera pulang liburan tengah semester minggu ini.”

“Apakah Anda selalu membeli di toko itu?” 

“Ya, sering,” jawab Ny. Banks. Saat itu Matthew sudah berjalan dan sekarang posisinya tepat berada di arah depan kliennya. “Paling tidak saya pergi ke sana sekali dalam sebulan, saya rasa manajer toko itu tahu.” la menggerakkan kepalanya ke sebelah kanan.

Matthew tetap diam, ia kembali melihat ke arlojinya, seakan sedang menunggu sesuatu yang tinggal beberapa detik akan terjadi. Benarlah. Beberapa saat kemudian pintu ruangan terdengar dibuka. Seorang bocah lelaki kira-kira berusia sembilan tahun masuk. Dialah Rupert. Suasana hening. Tak ada yang berbicara. Ketiga pria itu sama-sama memperhatikan reaksi Ny. Banks ketika bocah itu diam-diam berjalan ke arah ibunya. Persis di depan sang ibu, Ruperts Banks berhenti sejenak dan tersenyum. Namun, sang ibu tidak bereaksi. Bocah itu berdiri di situ sampai sepuluh menit, lalu membalikkan badan dan keluar, sepertinya sudah diinstruksikan sebelumnya. Sementara itu mata Ny. Banks tetap pada arahnya di antara Matthew dan Casson.

Melihat peristiwa yang menegangkan ini Casson kembali tersenyum. Senyuman yang seolah-olah mencibir Matthew. Tersirat sinar kemenangan di mata Casson.

“Apakah ada orang lain yang masuk ke ruangan ini?” tanya Ny. Banks. “Saya mendengar pintu terbuka.”

“Tidak ada,” jawab Matthew. “Hanya Pak Casson dan saya yang ada di sini.” Mendengar namanya tidak disebut, Witherington tampak tak sedikit pun bereaksi. Ia tetap terpaku di tempatnya.

Untuk kesekian kalinya, Matthew berjalan-jalan kecil kembali, mengelilingi Ny. Banks. Ini untuk yang terakhir kalinya. Dia agak ragu, nyaris ia bisa diyakinkan dengan tingkah Ny. Banks. Persis ketika berada di belakang kliennya, Matthew memberi isyarat anggukan kepala kepada asistennya. Witherington kemudian mendekat ke meja, mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya. Secara perlahan-lahan membuka lipatan-lipatannya dan segera meletakkannya di atas meja persis di depan Mary Banks. Tak ada reaksi apapun dari Ny. Banks. Dengan jari-jemari tangan kanannya Witherington bergerak menempelkan telapak tangan kanannya menutupi mata kiri. Tiba-tiba ia mencongkel bola matanya keluar dari pelupuknya. Lantas secara perlahan menaruhnya persis di tengah-tengah hamparan sapu tangan. Ia membiarkan bola mata itu di situ selama hampir satu menit, kemudian ia mulai menggosoknya.

Saat itu Matthew terus berkeliling dan mengamati Ny. Mary Banks. Dengan ekor matanya ia melihat butir-butir keringat muncul di kening Ny. Banks. Butir-butir keringat itu makin lama makin banyak.

Ketika Witherington selesai membersihkan benda bening sebesar buah almond itu, perlahan ia mengangkat kepalanya sampai persis bertatapan muka langsung dengan wanita itu. Setelah itu Witherington mengambil mata palsunya dan mengembalikan ke tempat semula. Terlihat wajah Ny. Banks menunjukkan emosi yang tak tertahankan. Tiba-tiba sambil menjerit wanita itu berdiri dan beranjak pergi. Tampak betul ia berusaha menenangkan perasaannya namun gagal.

Matthew Robert bangkit dari kursinya dan tersenyum melihat sang korban “masuk perangkap”. Sebagai balasannya wanita itu juga tersenyum kecut. Kini terbukalah semua misteri ini. Tak bisa diragukan lagi, kedoknya bahwa ia buta segera terpatahkan dengan perangkap terakhir yang baru saja dilakukan oleh Matthew.

“Saya harus mengakui Ny. Banks,” kata Matthew, “kini saya yakin bahwa tuduhan kepada Anda sebagai pembunuh tak bisa disangsikan lagi.” (Jefrey Archer

Baca Juga: Tamu Terakhir

 

" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553635604/hutang-mata-dibayar-mata" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1672945840000) } } [10]=> object(stdClass)#158 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517451" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#159 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/tak-menyangka-diajak-membunuh_st-20221009065022.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#160 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(15) "Intisari Online" ["photo"]=> string(54) "http://asset-a.grid.id/photo/2019/01/16/2423765631.png" ["id"]=> int(224) ["email"]=> string(24) "onlineintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(143) "Sesosok tubuh setinggi 2 meter tergeletak di pintu apartemen. Dari kepalanya mengalir darah segar dengan obeng masih tertancap di tengkoraknya." ["section"]=> object(stdClass)#161 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/tak-menyangka-diajak-membunuh_st-20221009065022.jpg" ["title"]=> string(29) "Tak Menyangka Diajak Membunuh" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 18:53:32" ["content"]=> string(24781) "

Intisari Plus - Sesosok tubuh raksasa setinggi 2 meter tergeletak di pintu apartemen. Dari kepalanya mengalir darah segar dengan obeng masih tertancap di tengkoraknya. Siapa pelakunya?

-------------------

Pukul 22.34, alarm di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit di Cherbourg, Prancis, berbunyi. “Cite Fougere, 26,” ujar petugas ambulans yang langsung lari masuk ke dalam mobil ambulans. “Apartemen lantai bawah.”

Ambulans langsung meluncur dengan sirine memecah keheningan malam. Hari itu Senin, 23 Juni 1980. Cherbourg merupakan pusat pembuatan kapal yang penting dan dihuni oleh sekitar 35.000 penduduk, yang kebanyakan malam itu “lengket” pada pesawat televisi mereka.

Cite Fougere merupakan daerah pinggiran Kota Cherbourg yang sedang berkembang. Karena penduduknya masih relatif sedikit, banyak penghuni apartemen di Cite Fougere 26 kenal satu sama lain. Ketika ambulans datang, semua penghuni apartemen berkumpul di ruang depan atau tangga apartemen. Beberapa wanita terdengar menangis.

 

Dihormati tetangga

Petugas ambulans yang akan menolong korban pun ikut meneteskan air mata saat melihat kondisi korban. Sesosok tubuh raksasa, dengan tinggi lebih dari 2 m dan berat lebih dari 125 kg tergeletak di jalan masuk di salah satu kamar lantai bawah apartemen. Sungguh, sosok raksasa sebab tidak ada satu ons pun lemak di tubuhnya. Yang menyedihkan, kepalanya terluka. Darah menggenang di lantai dan masih keluar dari batok kepalanya.

Paramedis langsung meloncat turun dan memeriksa korban. Korban ternyata masih hidup. Namun, alamak ... obeng masih menancap di salah satu sisi kepalanya!

la mengerang. Petugas ambulans tadi langsung berusaha mencegah pendarahan lebih hebat. Setelah itu ia segera menyiapkan peralatan untuk membawa korban sesegara mungkin. Sayangnya, postur raksasa dan akses ke ambulans yang sempit membuat hal itu tidak mudah.

Para tetangga pun membantunya. Setelah masuk, ambulans langsung melesat diiringi kilatan lampu birunya yang berpendar-pendar serta raungan sirine. Perjalanan tidak makan waktu lama sebab jalanan memang senyap. Namun, setelah melihat kondisi korban, dokter jaga langsung menyuruh untuk mengirimnya ke rumah sakit di Caen, kira-kira 121 km dari Cherbourg, karena memiliki fasilitas kesehatan yang lebih bagus. Dalam pandangan dokter, dengan luka seperti itu peralatan yang terbaik pun masih disangsikan bisa mengatasi luka yang terjadi.

Kembali ambulans dipacu sampai lebih dari 160 km per jam. Pada saat bersamaan, polisi mulai berdatangan ke apartemen korban. Unit pertama yang datang hanyalah polisi patroli yang merespons laporan bahwa ada kecelakaan di Cite Fougere 26. Namun kemudian diikuti dengan tim jaga malam dari Departemen Investigasi Kriminal. Polisi patroli melaporkan kalau korban sudah dibawa ke rumah sakit. Ceceran darah masih terlihat di apartemen dan menunjukkan korban sepertinya tidak mampu bertahan dari lukanya. Pada saat itu tak seorang pun tahu bagaimana atau apa yang menyebabkan luka seperti itu.

Inspektur Jules Marechal, polisi senior dari tim itu, kemudian menghubungi RS Louis Pasteur. Namun, petugas rumah sakit menyatakan korban dibawa ke RS Caen yang memiliki peralatan kedokteran lebih lengkap. Petugas rumah sakit kemudian merinci luka yang diderita korban dan kecil kemungkinan korban selamat.

“Apakah luka itu akibat kecelakaan?” tanya Inspektur. Sulit baginya menerima kenyataan korban dibunuh. Cherbourg memang kota yang keras layaknya kota pelabuhan, sehingga orang terbunuh merupakan hal yang biasa terjadi, tapi biasanya akibat perkelahian di bar-bar tepi pantai dan tidak di apartemen atau di kota.

“Saya tidak tahu. Tapi masak iya orang menancapkan obeng ke kepalanya?” jawab dokter.

Inspektur tak melihat alasan buat menjawabnya dan kemudian meminta nomor telepon RS Caen yang sedang dituju. Seperti polisi Eropa lainnya, Jules Marechal adalah polisi bertipe pelayan masyarakat. la bekerja berdasarkan fakta dan tidak terburu-buru. Berbeda dengan asistennya, Detektif Sersan Anatole Bertrand yang masih muda. Meski kurang sabaran, secara teknik Bertrand lebih terlatih, sebab ia lulusan sekolah kepolisian yang di zaman Marechal belum ada.

“Haruskah saya menyelidiki apartemen ini dan mencari suatu bukti?” tanya Bertrand kepada Inspektur.

‘“Terus, apa yang kamu pelajari dari bangku sekolah?” sergah Inspektur.

Dengan muka kalem Bertrand nyerocos, “Salah satu penghuni bilang, korban bernama Francois Jeanne. la tukang kayu di galangan kapal. Umurnya 30-an tahun. Tidak kawin kelihatannya, dan semua penghuni di sini sangat menghormatinya ...”

‘‘Oke, datangi galangan kapal dan cari tahu soal lelaki ini. Senjata untuk membunuh masih tertancap di kepalanya. Jika tetangga tahu betul korban, mereka mungkin bisa mengira-ngira siapa pelaku pembunuhan.”

Sayang sekali, tetangganya tidak tahu.

 

Gara-gara obeng

Francois Jeanne, kata mereka, sangat disukai orang-orang yang pernah kenal dengannya. Tubuh yang besar ibarat domba tua yang kalem. la bukanlah pria temperamental. Melihat posturnya memang bisa dipertanyakan motif orang yang mengajaknya berkelahi. Mungkin hanya orang gila atau mereka yang mau bunuh diri saja yang berani menantangnya berkelahi. Meski begitu, Jeanne ternyata bukan tipe orang yang suka berkelahi. Bahkan jika ada orang yang menyakitinya, sepertinya ia akan membiarkan sampai orang itu capek sendiri. Pada satu atau dua kasus, ia memang pernah dongkol.

“Apakah itu motif penyerangan kali ini?” tanya Inspektur.

“Yang jelas bukan perampokan. Tukang kayu galangan kapal memang bisa hidup berkecukupan, tapi tentu tidak sampai membuat orang ingin membunuh demi uangnya. Tentu saja, ia mungkin menerima warisan atau yang lainnya. Orang dari laboratorium mungkin bisa menentukan hal itu setelah mereka sampai di sini,” ujar Sersan.

“Oke, aku mau balik ke kantor untuk menelepon RS di Caen. Aku ingin laporan kondisi Jeanne sesegera mungkin supaya tahu apakah kita menyelidiki kasus pembunuhan atau bukan. Juga apakah ia bisa menyebut siapa yang melakukan hal itu. Sampai kita memperoleh kepastian, sementara kita anggap ini pembunuhan. Suruh orang laboratorium untuk menyelidiki apartemen dengan hati-hati dan kemas dengan baik. Suruh polisi lain mewawancarai penghuni apartemen dan rekam pembicaraan itu. Cek juga apakah ada laporan korban menerima tamu wanita. Mungkin ini tidak berarti, tapi siapa tahu ada pacar atau suami yang cemburu,” Inspektur memberi perintah sambil bergegas menuju mobil patrolinya.

Inspektur kembali ke kantor dan menelepon rumah sakit di Caen yang memberitahu dirinya bahwa ambulans sudah sampai, namun Jeanne telah menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan.

“Kirim jasadnya bersama ambulans. Kita perlu untuk autopsi di sini,” kata Inspektur.

Autopsi dilakukan oleh ahli koroner RS Cherbourg, dr. Claude Terrance, yang melaporkan bahwa Jeanne meninggal akibat obeng sepanjang 15 cm yang ditancapkan di kepalanya. Ia juga menderita akibat sejumlah besar pukulan di kepala oleh benda berat. Meski bikin retak, tapi tidak cukup mengoyak batok kepalanya.

Penyelidik sudah tahu benda berat macam apa itu. Benda yang sama yang juga dipakai buat memalu obeng ke kepala Jeanne itu berupa kunci inggris sepanjang 60 cm itu. Sama seperti obeng, kunci inggris itu milik Jeanne yang disimpan di toilet di dekat dapur.

“Kok jadi begini kasusnya? Aneh ... ,” ujar Inspektur saat Sersan menceritakan hal itu.

“Maksud Anda?” Sersan bertanya.

“Ya, bagaimana pembunuh bisa memperoleh kotak perkakas itu? Padahal, orang laboratorium bilang, tidak ada tanda-tanda pembunuh masuk ke apartemen. Kotak peralatan itu disimpan di toilet di samping dapur. Apakah Jeanne membawa kotak itu ke ruang depan dan menyerahkannya pada seseorang yang kemudian digunakan untuk membunuh dirinya sendiri?” tanya Inspektur.

Hmmm, jadi sangat musykil ada orang membunyikan bel tamu, lalu Jeanne membuka pintu dan dipukul kepalanya. Kalau begitu, mungkin ada tukang kayu galangan kapal lain,” kata Sersan.

“Bagaimana kamu sampai pada kesimpulan itu?” tanya Inspektur.

“Saya beranggapan, peralatan yang dipakai membunuh itu kepunyaan Jeanne. Jadi, ada kemungkinan temannya meminjam dan kemudian mengembalikan kepadanya. Nah, saat mengembalikan itulah terjadi pembunuhan,” ucap Sersan.

“Pintar, tapi kamu melupakan satu hal. Kunci inggris dan obeng itu peralatan standar bagi tukang kayu yang bekerja di galangan. Jadi, bisa dipastikan setiap tukang kayu memilikinya. Alat itu pun bisa juga dipinjam oleh mereka yang bukan pekerja galangan kapal.”

 

Saling melindungi

Maka,pencarian tersangka semakin melebar, tidak lagi terfokus kepada tukang kayu. Dari sejumlah nama tersangka, satu-satunya lelaki yang pernah dikeluhkan Jeanne adalah tukang kayu galangan kapal yang tinggal di 56 Avenue de Paris, sekitar 182 m dari rumah Jeanne. Namanya Emile Montigny, usianya 34 tahun - tiga tahun lebih muda dari Jeanne. Lelaki ini kolega Jeanne di galangan kapal, namun dipecat karena suka buang-buang waktu saat bekerja. Sejak itu ia hidup sebagai pengangguran.

Karena memiliki banyak waktu luang, Montigny pun leluasa mengunjungi Francois Jeanne. Namun, kedatangannya selalu pada saat Jeanne berada di tempat kerja dan bukan di rumah. Ada alasannya memang, sebab di rumah Jeanne ada Hugette Pivain (31), janda bekas pelayan, yang tinggal bersama dengan Jeanne sejak 1973. Mereka tidak menikah, sebab Pivain selalu menolak upaya Jeanne ke arah itu. Entah apa alasannya. Yang jelas Jeanne tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka memiliki putri semata wayang, Katia, yang berumur empat tahun.

Entah mengapa, Hugette meninggalkan apartemen itu dan bersama Katia justru memilih hidup serumah dengan Emile Montigny yang pengangguran. Apakah ini yang jadi penyebab terbunuhnya Jeanne? Tapi kok sepertinya terbalik? Bukannya Jeanne yang membunuh mereka berdua daripada Jeanne yang terbunuh oleh mereka?

“Jika Pivain atau Montigny atau malah keduanya yang menjadi korban pembunuhan, kasusnya akan lebih mudah dipecahkan,” ujar Sersan. “Tetangga bilang, Pivain sesungguhnya tidak peduli dengan anaknya. Di lain pihak Pivain seperti menghalang-halangi Jeanne untuk menumpahkan rasa sayangnya pada Katia.”

Sersan akhirnya meluncur ke tempat tinggal Pivain dan Montigny, ingin mengorek lebih dalam soal pembunuhan. Kedatangan Sersan ternyata mengganggu pasangan yang sedang bercinta itu. Alhasil, keduanya hanya memberikan keterangan seperlunya dengan harapan segera menuntaskan gairah cinta mereka yang sempat terputus.

Maka Sersan pun langsung menukik pada pokok persoalan, “Apa yang Anda ketahui tentang penyerangan Francois Jeanne?”

“Tidak ada,” kata Montigny. Mereka pergi ke tempat tidur selepas pukul 20.00.

“Ya, tidak ada,” ujar Hugette Pivain. Sersan melihat ada pancaran dendam di mata wanita mungil ini.

Sersan mengucapkan terima kasih dan segera beranjak dari tempat itu. Apartemen itu begitu kotor sehingga ia enggan menyentuhkan bajunya pada debu yang ada di perabotan. la tidak pernah melihat wanita mungil itu dan tidak tahu keberadaannya, seperti terungkap dari omongan tetangga di nomor 26 bahwa Hugette itu gundik Jeanne dan sekarang tinggal bersama Montigny.

Uh ... semua orang bikin aku seperti gila saja!” ujar Sersan ketika dirinya dan Inspektur berdiskusi soal kemajuan kasus yang mereka hadapi. Sejujurnya sih ketidakmajuan. “Jeanne itu sosok orang yang baik hati dan sabar. Tapi kenapa harus mengalami penderitaan yang tak terbayangkan seperti itu? la tidak pernah mengumbar amarah kepada Pivain. Justru ia menyemai kebaikan tiap hari. Jika ia menuai kejadian seperti itu dan andai Pivain pelakunya, sungguh wanita itu pasti wanita sadis.”

“Ya, aku juga berpendapat begitu. Aku pun sudah berbicara dengan dia,” ujar Inspektur. “Menurut kamu, bagaimana dengan Montigny?”

Hmmm .... Jujur saja, ia hanya mengincar makanan, seks, dan tempat tinggal. Tidak lebih,” kata Sersan terus terang.

“La, kalau cuma mengincar hal-hal itu, di penjara ia bisa memperolehnya. Kecuali seks tentu saja. Tapi, mungkinkah ia dan wanita itu yang melakukannya?” ucap Inspektur.

Sebenarnya, pertanyaan itu lebih tepat diarahkan kepada Inspektur sendiri. Toh, Sersan mencoba menjawabnya.

“Saya tidak tahu alasannya. Jika mereka saling melindungi, mereka aman. Tapi saya sangsi salah satu dari mereka kuat bertahan untuk saling melindungi,” Sersan mencoba menduga-duga.

“Jangan sok tahu! Oke, tanpa bukti atau sebuah pengakuan, kita tidak akan pernah bisa mendakwa salah satu dari mereka. Jaksa pemeriksa tidak akan percaya bagaimana bisa wanita mungil seperti itu membunuh seorang raksasa.”

 

Tidak ada bukti nyata 

Hugette Pivain dan Emily Montigny pun dihapus dari daftar orang yang berpotensi menjadi tersangka. Polisi lalu mengubah arah pencariannya. Tapi, hampir semua petunjuk yang mereka dapatkan berakhir pada kesimpulan yang mengarah kepada pasangan itu.

Meskipun Hugette sudah keluar dari apartemen di Cite Fougere, wanita ini masih memegang kunci kamar dan hampir tiap hari ke sana untuk mencuci pakaian-pakaiannya di mesin cuci milik Jeanne, dan juga mengosongkan lemari esnya. Suatu langkah penghematan tentunya.

“Nah, itu sebenarnya dapat menjadi petunjuk. Bukankah dengan begitu Hugette memiliki akses ke apartemen dan juga peralatan Jeanne yang disimpan di toilet dekat dapur? la bisa menunggu Jeanne di lorong masuk kamar, berdiri di kursi atau benda apalah yang membuat posisinya jadi tinggi sehingga bisa memukul kepala Jeanne,” Sersan menganalisis.

“Ya, benar teorimu. Tapi atas alasan apa ia harus membunuh Jeanne? Bukankah dengan tewasnya Jeanne ia kehilangan kebebasan mencuci gratis dan pasokan makanan serta minuman? Jelas bukan dia pelakunya,” ujar Inspektur putus asa. “Ia justru berharap agar Jeanne tetap hidup. Selain itu, secara fisik ia tidak mungkin melakukan hal itu.”

“Motif bukan segalanya,” sergah Sersan. “Memang agak mustahil Hugette pelakunya. Tak ada bukti Jeanne keluar dari apartemen waktu itu. Nah, jika ia tidak pergi, bagaimana Hugette bisa masuk, mengambil kunci inggris dan obeng dari toilet dapur, naik ke kursi, lalu memukulkan obeng dan kunci inggris ke arah Jeanne? Selain itu, di mana gerangan kursi itu? Maaf Komandan, kalau analisis saya ngawur.” 

“Memang! Lagi pula tidak ada setetes pun bercak darah di ruangan itu. Kalau Hugette menghujamkan obeng, pasti ada darah yang memercik. Sudahlah, jangan lagi memikirkannya. Ia bukan pelakunya. Tidak masuk akal wanita sekecil itu membunuh pria sebesar Jeanne.”

Penyelidikan pun dimulai lagi. Sebuah keberuntungan mendekati Sersan. Entah ada bisikan apa ia menyambangi rumah sakit. Ternyata Jeanne beberapa kali mengunjungi rumah sakit itu! Instingnya langsung bekerja. Sersan pun mengaduk-aduk data di rumah sakit itu dan mendapati fakta bahwa beberapa tahun silam Jeanne menjadi pengunjung rutin rumah sakit itu.

Sejak pertengahan tahun 1977 sampai beberapa minggu sebelum meninggal, rata-rata dua kali seminggu Jeanne datang untuk menjalani perawatan akibat luka, memar, dan patah tulang ringan. Dalam setiap kasus ia bilang kalau luka dan cederanya itu akibat kecelakaan dan kesalahan sendiri. Para dokter memberikan catatan dalam medical record-nya, dalam beberapa kasus pengakuan itu mengada-ada. Seseorang telah melukai Jeanne.

Penyelidikan lebih jauh mendapatkan informasi bahwa pertengahan tahun 1977, Hugette punya kekasih yang dijumpai saat ia pergi ke bar. Berhubung Cherbourg kota kecil, Jeanne tahu akan hal itu dan marah. Hugette tidak terima hal itu.

“Tak mungkin dia,” potong Inspektur. “Berulang kali aku katakan: ia terlalu kecil! Tidak ada kesempatan, tidak ada motif, tidak ada .... Pokoknya, jika Hugette pelakunya, kasus ini sudah selesai. Kita tidak punya bukti nyata.”

“Tapi, maaf, saya merasa pelakunya Hugette. Kita sudah bertanya ke semua orang di Cherbourg, dan semua mengatakan hal yang sama: tidak ada orang yang berniat membunuh Jeanne. Hugette satu-satunya orang yang berpotensi tidak suka pada Jeanne dan punya alasan kuat,” ujar Sersan.

“Baiklah, saya coba setuju dengan pendapat kamu. la seorang wanita, tinggal bersama Jeanne selama hampir tujuh tahun dan ia melahirkan anaknya. Jeanne tidak pernah menunjukkan sifat buruknya, kecuali kasih sayang, dan kematian Jeanne berarti kehilangan sumber keuangan bagi Hugette. Tapi kamu benar. Mulai dari saat tetangga mendengar erangan di ruangan apartemen dan memanggil kita, sampai saat ini kita tidak pernah menemukan seseorang yang bisa dijadikan tersangka, selain Hugette. Sekarang, pergilah dan kita mulai berpikir bagaimana membawa ia ke pengadilan.”

“Sayangnya, Anda tidak akan bisa melakukan hal itu. Tidak ada bukti material. Hugette dan Montigny punya alibi yang saling mendukung. Kasus ini tidak bisa dipecahkan.”

“Mungkin tidak, tapi saya masih memiliki waktu 11 tahun, empat bulan, dan dua hari sebelum pensiun. Jika akhirnya pensiun itu datang, simpan kasus ini sebagai ‘Kasus Tak Terpecahkan’.”

Kasus Jeanne bukanlah satu-satunya kasus yang akan terkirim dalam ‘Kasus Tak Terpecahkan’. Ada banyak kasus yang masih misterius. “Tidak ada polisi yang sempurna, yang selalu memecahkan setiap kasus yang ditanganinya,” Inspektur mencoba menghibur diri.

 

Motif belum terungkap 

Pada kasus pembunuhan Francois Jeanne, bagaimanapun Inspektur tidak mau menyerah begitu saja. Segala kemungkinan dan kecilnya peluang terus diteliti. Masih menjadi pertanyaan, mengapa Jeanne yang raksasa itu bisa terpikat dengan si mungil Hugette.

“Baiklah kalau begitu. Tangkap segera Montigny dan interogasi segera. Aku lihat dia orangnya keras, maka kita pun harus lebih keras dari dia. Bikin hatinya ngeper kalau ia tidak mau bekerja sama.”

Pada akhirnya Montigny pun mengakui soal pembunuhan Jeanne yang dilakukannya bersama Hugette. Ia sendiri sebelumnya tidak diberi tahu soal rencana membunuh Jeanne itu. Hanya saja ia disuruh menemani ke apartemen Jeanne pada malam tanggal 23 Juni itu.

“Hugette hanya bilang, ia meminjam beberapa peralatan Jeanne dan harus dikembalikan segera. Saya tahu ia jengkel pada Jeanne. Tapi sumpah, saya tidak tahu kalau ia akan melukainya,” ujar Montigny. Lebih lanjut Montigny bercerita bagaimana Hugette yang mungil itu bisa membunuh si raksasa.

Sebelum memencet bel, Hugette sudah menggenggam kunci inggris dengan kedua tangannya. Begitu pintu dibuka, Hugette langsung melompat setinggi-tingginya dengan sekuat tenaga lalu memukulkan kunci sekeras-kerasnya ke kepalanya. Jeanne jatuh bertumpu pada lututnya sementara Hugette masih saja memukul-mukulkan kunci inggris ke kepala Jeanne. Setelah berkali-kali memukulkan kunci, Hugette kemudian mengambil obeng dan menancapkan obeng itu di kepala Jeanne sambil memukul gagangnya dengan kunci inggris yang masih terus dipegangnya.

“Hugette kemudian mengajak saya pulang dan melakukan hubungan seks. Katanya, kalau kita melakukan hubungan seks saat polisi datang mereka akan berpikir kita tidak melakukan hal itu,” tandas Montigny.

“Ya, memang akan membantu mengurangi kecurigaan. Oke, panggil Hugette. Kita akan menuntutnya segera!” potong Inspektur. Namun, tidak semudah itu sebab Hugette justru mengaku Montignylah pelakunya. “Ia ketakutan kalau saya akan meninggalkan dia dan kembali ke pangkuan Jeanne,” tutur Hugette.

Meski Inspektur sempat bingung, nalurinya menggiring ke kesimpulan bahwa cerita versi Montignylah yang benar. Namun, ia yakin Montigny tidak hanya berdiri mematung menyaksikan kekasihnya secara brutal menyerang Jeanne. Pastilah ia membantu “mempercepat” eksekusi itu.

Tanggal 5 Juni 1981 juri memutuskan mereka berdua bersalah dan pengadilan mengganjar hukuman seumur hidup. Namun, pengadilan masih menyisakan pertanyaan, motif apa yang membuat Hugette tega menghabisi nyawa Francois Jeanne. Apakah karena uang, persoalan cemburu, atau Katia? (John Dunning)


Baca Juga: Jack The Ripper dari India

 

" ["url"]=> string(74) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517451/tak-menyangka-diajak-membunuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665341612000) } } [11]=> object(stdClass)#162 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3517439" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#163 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/terhipnotis-sang-pacar_faruk-tok-20221009063447.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#164 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(148) "Rachel Lean ditemukan tewas mengenaskan. Pelakunya, Maria Hnatiuk, konon memiliki orientasi seksual yang aneh karena membunuh atas desakan pacarnya." ["section"]=> object(stdClass)#165 (8) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["show"]=> int(1) ["alias"]=> string(5) "crime" ["description"]=> string(0) "" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/terhipnotis-sang-pacar_faruk-tok-20221009063447.jpg" ["title"]=> string(22) "Terhipnotis sang Pacar" ["published_date"]=> string(19) "2022-10-09 18:37:40" ["content"]=> string(22779) "

Intisari Plus - Rachel Lean ditemukan tewas mengenaskan. Pelakunya, Maria Hnatiuk, konon memiliki orientasi seksual yang aneh karena membunuh atas desakan pacarnya.

-------------------

Tanggal 5 September 1995, Kota Norwich gempar gara-gara ditemukan sesosok mayat perempuan di antara kerimbunan semak-semak. Dari hasil autopsi terungkap, mayat itu sudah tergeletak di sana selama lima hari. Selain beberapa tusukan di tubuhnya, polisi agak heran melihat celana korban melorot sehingga memperlihatkan pantatnya.

Awalnya, polisi menduga korban diperkosa sebelum dibunuh. Tetapi dugaan itu gugur karena tidak dijumpai ceceran sperma. Dugaan lain, korban diperkosa oleh seorang wanita lesbian. Namun, siapa dia? Yang pasti, dari bekas tusukan yang bersarang di dada, punggung, dan tenggorokan korban tergambar pelaku melakukan pembunuhan dengan amat biadab. Korban yang berlumuran darah itu ditinggalkan dalam posisi tertelungkup di semak belukar.

 

Mau bakar cottage 

Si korban, Rachael Lean, baru berusia 18 tahun. la tinggal bersama ayahnya di Desa Buxton, 16 km selatan Norwich. Ayahnya bekerja di pangkalan Angkatan Udara Inggris (RAF) di Coltishall, Norfolk, sebagai kepala teknisi yang memperbaiki pesawat-pesawat jet pemburu Jaguar. Saat Rachael ditemukan meninggal, ayahnya sedang bertugas di Bosnia memperbaiki pesawat jet untuk pasukan penjaga perdamaian.

Setiap hari Rachael pergi ke pangkalan RAF, tepatnya di tempat senam milik pangkalan tersebut. la berlatih agar tetap fit dan bugar. Dalam waktu dekat ia akan mulai kuliah di Southampton University. la menggunakan kesempatan bersenang-senang ke gym karena belum tahu tersedia atau tidaknya fasilitas serupa itu di universitas.

Penduduk desa sering melihat Rachael naik sepeda ke pangkalan. Mereka senang melihatnya sebab Rachael adalah gadis yang ramah dan menyenangkan.

Sampai suatu ketika, akhir Juli 1995, Rachael bertemu dengan Maria Hnatiuk yang sedang berlatih aerobik. Karena pribadi Maria yang blasteran ayah Ukraina dan ibu Jerman itu begitu menarik, mereka berdua menjadi cepat akrab. Sepengetahuan Rachael, Maria dan pacarnya pindah ke desa tetangga untuk memulai bisnis baru.

Maria tumbuh dewasa di Bristol, tetapi telah meninggalkan rumah pada usia 18 tahun. Awalnya, ia ingin menjadi guru, tapi kuliahnya di sebuah college tidak selesai dan ia memilih bekerja di sebuah bank. Dari bank ia pindah ke perusahaan asuransi, sebelum akhirnya pindah ke London pada usia menjelang 20 tahun.

Di London Maria bekerja di perusahaan musik. Di sini ia berkenalan dengan para disc jockey (DJ), agen, bahkan para bintang pop. Dari sinilah ia mulai hidup glamor. Ia akhirnya kumpul kebo dengan seorang DJ terkenal yang membawanya ikut promosi ke luar negeri.

Maria pindah ke Norwich tahun 1991, setelah hubungannya dengan DJ tadi berantakan. Ada yang aneh dalam perpisahan itu. Maria mencoba membakar cottage sang kekasih!

 

Menjadi “budak”

Di Norwich Maria bekerja di sebuah toko alat-alat olahraga. Saat itulah ia bertemu seorang pria di kelas aerobik. Padahal, pria itu telah menikah. Tanda-tanda jatuh cinta mulai mewarnai hubungan kedua insan berlainan jenis itu. Karena masih sangat mencintai suaminya, istri pria tadi usul agar suaminya pindah tempat kerja.

Pria tadi menolak saran istrinya dan malah mengajaknya menginap di hotel bersama kedua anak mereka. “Terus terang, hati saya pun luluh. Kami memiliki dua anak kecil yang mencintainya,” kata sang istri.

Namun, istrinya masih memiliki perasaan yang mengganjal. Maka, ia pun ingin menjumpai suaminya di kantor untuk membicarakan beberapa hal. “Saya pergi ke kantor suami bukan mencari keributan. Tetapi ketika saya melewati pintu dan melihat Maria, saya pun marah. Saya menjambak rambutnya yang pirang, merenggutnya dari kursi, dan mengempaskannya ke lantai. Kemudian saya berjalan keluar dengan tenang.”

Sayangnya, Maria tipe wanita yang sekali mencengkeram pria ogah sedetik pun melepaskannya. Cuma, kali ini ia memilih pria yang salah. Saking tergila-gilanya pada pria ini, Maria rela melakukan apa saja. Bahkan penampilannya pun disetir sang pria. Rambut panjangnya dipangkas, wajahnya tanpa riasan, berpakaian pun seenaknya. Semua atas perintah si pria.

Yang sungguh radikal adalah menjadikan Maria sebagai budak seks pria itu dengan memaksa Maria menelepon ke telepon khusus para lesbian sementara ia mendengarkan. Jika percakapan Maria kurang menggairahkan, tak jarang pria itu menghajar Maria. Kurang ajarnya lagi, pria itu menyuruh Maria membawa para wanita tadi ke rumah mereka sehingga ia bisa menonton hubungan seksual para lesbian.

Sungguh sulit bagi wanita normal untuk memahami tindakan sang pacar terhadap Maria. Maria sepertinya terhipnosis oleh pria itu yang ternyata sangat obsesif. Bahkan ketika Maria disuruh bercerita tentang kisah percintaannya dengan pria-pria lain sebelumnya - dan disanggupi Maria - pria tadi malah cemburu berat. Belakangan pria itu menyuruh membakar cottage para mantan kekasih Maria.

Hanya butuh waktu empat tahun untuk mengubah Maria Hnatiuk yang normal menjadi “budak” sang pria. Apa pun yang diperintahkan si pria, Maria akan patuh melakukannya.

 

Diusir dari rumah

Petualangan seksual kedua pasangan itu mulai menggila. Maria disuruh memasang iklan mencari pasangan lesbian di koran. Maret 1995, sebuah balasan datang dari seorang model. Tiga bulan kemudian Maria mengirimkan foto-fotonya yang berpakaian minim dengan sepatu bot hitam panjang. Sebaliknya, si model mengirimkan beberapa foto dan video.

Maria kemudian menyuratinya kembali. “Setelah melihat wajah dan tubuhmu yang luar biasa di video, aku banyak berfantasi tentangmu. Aku sungguh-sungguh ingin membuatmu tergila-gila dan memberimu banyak kenikmatan. Aku tak sabar menunggu. Aku memiliki seorang budak pria, dan aku ingin kamu menjadi budak wanitaku.”

Selain menjalin hubungan melalui surat, mereka pun berkomunikasi lewat telepon. Jika sebelumnya dua kali seminggu, kini hampir tiap hari terjadi dialog mesra di antara mereka. Akhirnya, dirancanglah sebuah pertemuan antara Maria dan model itu di sebuah cottage. Sang model berharap, akhir minggu yang akan dijalaninya berbuah kepuasan. Namun, justru sebaliknya yang ia terima.

Si model ketakutan karena mengalami teror saat Maria dan sang pacar mencoba membujuknya untuk melakukan hubungan seksual tidak wajar. Ia tidak menginginkan kehadiran pria. Akhirnya, Maria membelenggunya dan si model pun tak berdaya.

Setelah bercinta dengan sang model, keesokan harinya Maria menghabiskan waktu bersama Rachael. Malangnya, pacar Maria tahu dan mengusir Maria dari cottage mereka. Anehnya, sang pacar tetap meminta Maria untuk menghubunginya setiap hari, entah bertemu langsung atau per telepon.

Seminggu dalam keadaan lontang-lantung membuat mental Maria down. Makanya, tanggal 5 September 1995, ia menelepon Rachael untuk bertemu. Keduanya bertemu di lantai dasar toko Naafi dan pergi ke pinggiran kota. Apa yang terjadi kemudian hanya mereka berdua yang tahu. Tepatnya, hanya Maria, sebab tak seberapa lama Rachael ditemukan sudah menjadi mayat!

 

Pasangan aneh

Polisi, atas dasar fakta tadi, langsung mencokok Maria. Padahal, Maria sudah melarikan diri ke Bristol. Di bawah tekanan interogasi selama lebih dari 50 jam, Maria tetap menolak mengakui kesalahan. Baru setelah disodori bukti-bukti yang menggiring ke arah dirinya, ia mengakui kesalahannya kepada tim pengacara. Namun, ia tidak menerima sepenuhnya kesalahan atas tindak kriminal yang dia lakukan.

Persidangannya dimulai di Norwich Crown Court pada 11 November 1996. Jaksa penuntut, David Stokes, menyatakan bahwa Maria Hnatiuk memiliki ketertarikan seksual pada wanita dan menikam Rachael Lean di dada, punggung, dan tenggorokan sebelum meninggalkan korban dengan posisi tertelungkup di semak belukar. 

“Itu merupakan serangan yang membabi buta. Tampaknya, kematian tidak terjadi dengan segera. Celana ketat korban telah diturunkan sehingga memperlihatkan pantatnya. Jelas ini bukan kecelakaan,” kata Stokes sambil menambahkan, perilaku memperlihatkan pantat korban mengindikasikan motif seksual dalam pembunuhan Rachael.

Dalam interogasi awal, Maria menyatakan bahwa ia bertemu Rachael di Naafi dan meninggalkan korban untuk pulang berjalan kaki sendirian. “Ia pembohong jempolan. Ia penuh perhitungan dan jahat. Membunuh wanita muda yang sedang meniti masa depan,” ujar jaksa penuntut.

Di persidangan, kilas balik pertemuan Maria dan Rachael diputar ulang. Juga kehidupan “aneh” yang dijalani Maria Hnatiuk setelah pertemuannya dengan sang pacar. Dalam tuturan Stokes, “Pada akhir Juli 1995, saat menunggu dimulainya tahun ajaran baru, Rachael bertemu dan bersahabat dengan Maria Hnatiuk yang tinggal bersama pasangannya. Mereka dikenal sebagai pasangan aneh, sering bertengkar yang berujung pada tangisan Maria. Bahkan Maria sudah menandatangani kontrak yang aneh, yakni berjanji tidak akan berbicara dengan lelaki mana pun selain pasangannya itu.”

“Saat itulah pacar Maria mulai mengajak para wanita ke rumah mereka untuk berhubungan seksual. Bukan untuk dirinya, tapi justru untuk Maria. Pacar Maria sendiri tampaknya memiliki kecenderungan ingin berhubungan seksual dengan wanita. Namun, sebulan sebelum kematian Rachael, pasangan itu berpisah.”

Menurut Stokes, polisi telah menemukan surat-surat, foto, dan catatan yang ditulis oleh Hnatiuk yang menjelaskan persoalan seksualnya secara jelas. Beberapa dokumen ditemukan di kolam desa itu. Salah satu dokumen menunjukkan ketertarikan Maria terhadap pantat wanita. Juga foto Maria sedang menungging dan memperlihatkan pantatnya.

 

Orientasi seksualnya berubah 

Semenjak hidup dengan pacarnya yang aneh itu, orientasi seksual Maria memang berubah. Seorang saksi wanita berucap di pengadilan bahwa pada 23 Juli 1995 ia merasa dilecehkan oleh Maria saat menghadiri Buxton Carnival. “Sekitar pukul 20.00 saya pergi ke toilet. Baru saja saya menutup pintu toilet, suara seorang wanita mengagetkannya. Suara itu kira-kira begini, ‘Saya suka dengan bajumu. Kau terlihat cantik’.”

Saksi itu menambahkan, wanita berambut pirang yang ternyata bernama Maria Hnatiuk itu masih menatapnya ketika ia keluar dari toilet. “Cara memandangnya membuat saya tidak nyaman.” Ketidaknyamanan itu masih berlanjut ketika saksi itu berdansa. “Wanita itu memuji tubuh langsing dan model rambut saya. Ia menanyakan tempat kerja dan tempat tinggal saya. Saya menjadi tidak nyaman saat ia mencoba memeluk saya.”

Saksi lain berkata, “Saya bertemu Maria Hnatiuk lewat sambungan telepon lesbian pada tahun 1994. Kami kemudian merencanakan untuk pergi ke klub bagi kaum homoseksual. Maria bertanya apakah ia boleh membawa pacarnya? Dari cara bicaranya, ia ingin berhubungan seksual bertiga. Terus terang saya tidak suka dan menolak usulan itu.”

Dalam pernyataannya di depan polisi, Maria mengakui bahwa ia memiliki kecenderungan lesbian dan sedang mencari teman kencan seorang wanita sejati. Tetapi Maria mengakui pula, hubungan dengan pacarnya sebagai hal yang sangat “luar biasa”. Bahkan kepada dua orang detektif wanita ia berkata, “Itu hal terbaik yang pernah saya alami. Saya lebih suka berhubungan dengan pria daripada wanita, tetapi saya juga senang pada wanita.”

Hari keenam persidangan, Maria Hnatiuk naik ke mimbar. Ia bercerita soal kisahnya. Tentu menurut versi dia. Ia mengakui, dirinya didominasi oleh seorang pria lebih tua, yang merasuki pikirannya untuk membunuh lima orang jika ingin mengajaknya menikah. Namun, kalau melihat perbedaan umur mereka yang cuma tiga tahun, pernyataan lebih tua tadi sepertinya mengada-ada.

Didampingi penasihatnya, Oliver Blunt QC, Maria mengatakan, “Pacar saya marah dengan hubungan-hubungan saya sebelumnya. Jika orang-orang itu belum mati, pacar saya tidak bahagia. Ia kemudian membuat daftar yang terdiri atas lima pria yang harus saya habisi.” Sebelum Maria melakukan misinya tadi, aktivitasnya dikekang oleh sang kekasih. Jika melenyapkan dua orang pertama dalam daftar, Maria boleh pergi ke tempat kebugaran lagi. Jika semuanya, Maria akan menikah dengan pacarnya.

Meski diperlakukan secara kejam baik fisik maupun psikis, Maria menurut saja untuk menyerahkan dirinya secara total. Di depan pengadilan Maria mengaku, pacarnya memang sangat meyakinkan serta lebih menarik dan menggairahkan dibandingkan dengan pacar-pacarnya sebelumnya.

 

Menjadi depresi

Di balik penampilannya yang meyakinkan, menarik, dan menggairahkan tadi, Maria juga ketakutan dengan sosok sang pacar yang diduga keras anggota sebuah organisasi gelap yang sewaktu-waktu bisa mengirimnya ke Kamboja. Sang pacar pun berkoar bahwa ia memiliki akses untuk memperoleh pil yang dapat membuat orang berbicara jujur. Yang membuat Maria ketakutan, pacarnya sanggup mengirim orang-orang yang dapat membahayakan keluarga Maria. “Saya sangat ketakutan,” tutur Maria.

Hari-hari selanjutnya merupakan “penjara” bagi Maria. Ia dipindahkan ke suatu tempat yang ia tidak tahu namanya. Tidak ada mobil, uang, dan tetangga. Pokoknya sangat terisolasi. Pacarnya pun menginginkan Maria lebih dominan di ranjang dan lebih berfantasi dalam berhubungan seksual secara lesbian.

“Ia merasa sudah dominan di tempat kerja, maka giliran saya yang dominan di ranjang. la sangat menyukai saat saya mengenakan pakaian dari lateks,” tutur Maria. Mereka berhubungan seksual secara normal saat bertemu pertama kali pada tahun 1991. Namun, pria itu menjadi sangat pencemburu dengan pria yang pernah singgah dalam kehidupan Maria.

Sampai kemudian, Maria merasa menemui masalah besar. “Ia menginginkan saya untuk bercinta dengan sesama jenis. Fantasi itu seperti hantu di siang bolong.” Sejak saat itu Maria harus mengajak wanita ke rumah mereka untuk bercinta bertiga. Jika tidak bisa membawa wanita ke rumah, Maria harus bersiap diri dipukuli. “Awalnya sih jarang-jarang. Tapi kemudian menjadi rutin, bahkan setiap dua atau tiga hari sekali,” Maria menerawang. Maria menjadi gelap mata dan terkadang mengurung diri di rumah berhari-hari. Bahkan ia sudah pernah mencoba bunuh diri dengan menenggak aspirin dalam jumlah besar.

Ketika Blunt menyinggung soal pembunuhan Rachael, Maria diam sebentar. Pandangannya kosong. “Saya merasa baik-baik saja dengan Rachael. Sangat baik malahan. Ia teman saya.” Akan tetapi ia merasa pacarnya membenci Rachael. Di mata sang pacar, Rachael memiliki lebih dari apa yang Maria punyai.

Titik puncak kekesalan Maria yaitu ketika ia diusir pacarnya dari rumah mereka. Semua barang miliknya dilemparkan ke kolam di desa. Ia pun hidup menggelandang di luar rumah dengan dua tas. Untuk mengganjal perut ia tak jarang mengais tempat sampah atau meminta belas kasihan warung. Sampai akhirnya ia mencuri sebilah pisau berukuran 25 cm untuk melindungi diri dan memotong makanan. “Saya benar-benar depresi. Saya berada di titik paling rendah dalam hidup saya. Hidup saya sudah hancur. Semua memandang saya sebagai orang tak berguna,” Maria tersedu.

 

Merosot saat ditarik

Ketika bercerita tentang pertemuan terakhirnya dengan Rachael, Maria berkata, “Saat kami sedang berjalan, Rachael mengatakan bahwa ayahnya berada di Bosnia. Dan ia merasa khawatir padanya. Ia juga berbicara soal masuk ke universitas dan bagaimana soal masa depannya.”

“Apa yang ada dalam pikiranmu?” Blunt menyela. 

Sambil menangis tersedu-sedu Maria menjawab, “Saat memandang lampu-lampu di Coltishall, saya merasakan kehampaan. Saya tidak bisa menguasai diri lagi. Di dalam benak saya terngiang kembali kata-kata pacar saya soal Rachael harus mati. Jika ia tidak mati, saya tidak mendapatkan apa-apa.

“Saya menarik pisau dan mulai menghujamkannya ke tubuh Rachael. Saya menusuknya di punggung dan ia berbalik sambil meneriakkan nama saya. Saya pun menjadi kalap dan menusuknya berulang-ulang.”

Blunt bertanya mengapa Maria melakukan hal itu?

“Karena Rachael harus mati! Ia memiliki segalanya dan saya tak memiliki apa-apa!”

Ketika ditanya soal celana Rachael yang melorot, Maria menyangkal telah memelorotkannya. “Saya hanya ingat menyeret tangan dan pergelangan kakinya dan meletakkannya di bawah pohon. Bisa jadi celana ketatnya merosot saat saya menariknya.”

Di akhir persidangan, penasihat Maria berkata kepada juri bahwa, “Tidak ada penjelasan yang rasional tentang kematian Nona Lean. Ia masih muda, tak berdosa, penuh semangat, dan tak semestinya ia meninggal. Pertanyaannya, mengapa? Satu-satunya penjelasan yang masuk akal, Maria Hnatiuk telah mengalami cuci otak. Terdakwa berubah dari seorang gadis yang menyenangkan, menarik, ceria, dan ramah menjadi sosok yang kusut, tak terawat, tak punya apa-apa, dan kesepian.”

Ketika ditanya jaksa penuntut, Maria menunjukkan penyesalan yang dalam. “Saya merasa sangat terganggu dengan apa yang terjadi pada Rachael. Saya tetap sulit percaya pada apa yang telah terjadi. Saya tidak percaya telah melakukan kekejaman.” 

Maria pun bercerita, ketika ia mencabut pisau, pikirannya pusing. “Bukan saya yang melakukan hal ini, tetapi dia yang berkata, ‘Kau harus melakukannya’.” Ia menyangkal hilang kesabaran karena Rachael menolak cumbuannya. “Saya tidak hilang kesabaran. Ia harus mati ...,” ujar Maria dengan sedih.

Mengakhiri pembelaannya, pengacara Maria menyatakan kepada juri bahwa kliennya menderita semacam ketidaknormalan pikiran yang membuatnya tidak tahu akibat apa yang dilakukannya. Namun, hal itu dibantah jaksa penuntut umum. Faktanya, setelah membunuh, Maria menelepon pacarnya yang kemudian menjemput Maria dan membawanya pergi ke London. Dari sini Maria melanjutkan perjalanan menggunakan kereta api menuju Bristol.

Di Bristol Maria menumpang di rumah saudaranya dengan tangan terluka. Digambarkan ia terlihat cerah dan gembira saat mencuci pakaiannya yang penuh bercak darah dan membuang pisau yang dipakai untuk membunuh Rachael.

Juri hanya membutuhkan waktu kurang dari empat jam untuk mengambil keputusan yang bulat atas kasus pembunuhan itu. Hakim Blofeld pun menghukum Maria Hnatiuk dengan kurungan penjara seumur hidup. “Pembunuhan keji ini telah Anda lakukan dan Anda tahu secara pasti apa yang Anda kerjakan. Anda dengan sengaja mengakhiri hidup Rachael secara brutal, menyembunyikan mayatnya, dan setelah itu berbohong.”

Maria Hnatiuk terisak-isak menangis turun dari mimbar didampingi petugas penjara. Dari kasus yang ditangani ini, detektif Superintendent Steve Swain menyatakan, cara termudah untuk menghancurkan seseorang adalah dengan mengisolasinya, mengatakan bahwa ia tidak berguna, dan setelah itu ia menjadi robot yang bisa kita program untuk apa saja. Termasuk membunuh! (Brian Marriner) 

 

Baca Juga: Teori Peluang Pembunuhan dr. Quincy

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517439/terhipnotis-sang-pacar" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665340660000) } } [12]=> object(stdClass)#166 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3457056" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#167 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/gelang-emas-berinisial-h_ajit-si-20220905032943.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#168 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Saat berada bersama istrinya, dua orang muncul dari semak-semak dan membunuh Robert. Saksi mata hanya sang istri. Namun polisi merasa ada kejanggalan." ["section"]=> object(stdClass)#169 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/gelang-emas-berinisial-h_ajit-si-20220905032943.jpg" ["title"]=> string(24) "Gelang Emas Berinisial H" ["published_date"]=> string(19) "2022-09-05 15:30:01" ["content"]=> string(24771) "

Intisari Plus - Saat berada di hutan bersama istrinya, dua orang muncul dari semak-semak dan membunuh Robert. Saksi mata hanya sang istri. Namun polisi merasa ada kejanggalan dari kesaksiannya.

-------------------

Tanggal 5 September 1992 malam, pasangan setengah baya Robert dan Sandra Wignall bergandengan mesra menuju Hutan Sayes, dekat rumah mereka di Addlestone, Surrey, pinggiran Kota London. Sebagai penderita asma kronis yang tak mampu memenuhi kebutuhan seksual istrinya, Robert berusaha menunjukkan perhatian lebih terhadap Sandra, dengan mengajaknya melakukan hal-hal romantis bersama-sama. Seperti malam itu, mereka bersama-sama memberi makan anak serigala di hutan.

Pikir Robert, Sandra pasti juga menikmati suasana romantis itu. la sama sekali tak tahu, segenap perhatian dan kebaikan itu terasa membosankan bagi sang istri. Yang dirindukan Sandra hanyalah dekapan lelaki sejati dan hubungan intim “normal” layaknya suami-istri, bukannya memberi makan anak serigala. Tapi apa boleh buat, malam itu Sandra rela pura-pura bergembira. la tetap setia menemani suami yang baru dinikahinya sembilan bulan silam.

Ketika “hasrat” itu datang, ia lantas menghampiri Robert dan melakukan pelayanan oral seks terhadap Bob - panggilan akrab Robert. Dibuai kenikmatan, kewaspadaan Bob berkurang. Ia sama sekali tak menyadari ketika tiba-tiba muncul dua orang dari balik semak-semak, yang tanpa alasan jelas tiba-tiba menyerangnya.

Tanpa belas kasihan, mereka menghantam kepala Bob. Bob yang sempat limbung masih mencoba memberikan perlawanan, menghasilkan pergumulan hebat. Tapi apalah daya Bob, pertarungan tak seimbang itu akhirnya terhenti setelah lelaki paruh baya itu menerima tiga tusukan, dua di antaranya di jantung. Malam itu juga, Bob Wignall tewas. Dalam pergumulan, salah seorang penyerang sempat kehilangan gelang emasnya.

Sandra Wignall kemudian menelepon polisi. Sambil menangis histeris, ia menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi. Polisi yang tiba di lokasi tak lama kemudian berusaha menenangkan Sandra, sambil mengumpulkan informasi tentang para penyerang. “Jumlah mereka tiga orang,” sebut Sandra, meski belakangan ia mengaku tak terlalu yakin jumlahnya segitu. Maklum, malam begitu gelap.

Siapa orang asing yang tega menghabisi nyawa Bob? Setelah mengumpulkan fakta seputar peristiwa pembunuhan dan latar belakang korban berikut istrinya, untuk sementara polisi menduga motifnya mungkin saja dilatarbelakangi rasa cemburu! Rasa cemburu mantan pacar Sandra misalnya.

 

Sayang untuk dilepaskan 

Sebuah asumsi yang masuk akal. Bukankah sebelum memutuskan menerima pinangan Bob (suami pertama Sandra meninggal pada 1985), Sandra masih punya pacar? Lebih “meyakinkan”, pacarnya ternyata seorang mantan narapidana yang pernah melakukan pembunuhan pada 1971, dan telah menjalani hukuman penjara selama 11 tahun. Sebelum bertemu Bob, teman pria inilah tempat Sandra berbagi kegembiraan dan berbagi hati.

Kekasih berusia enam tahun lebih muda itu berprofesi sebagai sopir, tinggal di Ruislip, London Barat. Bertubuh pendek, gemuk, botak, dan berkacamata, Terence Bewley (42) - begitu namanya, sukses membuat Sandra termehek-mehek. Mereka sama-sama maniak seks yang senang bercinta di sembarang tempat. Sandra bahkan pernah diminta datang menemui Terrence - biasa dipanggil Terry - tanpa mengenakan apa-apa kecuali mantel bulu.

Sebelum bertemu Terry, Sandra pernah memiliki beberapa orang kekasih. Namun entah mengapa, secara seksual ia sangat terobsesi pada Terry. Barangkali karena pria ini tahu benar apa yang diinginkan Sandra di ranjang. Masih berstatus pacaran dengan Terry, Sandra bertemu Robert Wignall, pelukis sekaligus dekorator pada 1990. Bob sendiri saat itu berusia 55 tahun dan masih dalam suasana berduka atas kematian Rose, istrinya yang meninggal karena kanker setahun silam.

Bob yang hobi mengajak jalan-jalan anjingnya di hutan dekat rumahnya di Addlestone pada suatu hari bertemu Sandra Quartermaine, yang juga sedang melatih anjingnya di tempat yang sama. Di usia 40- an, penampilan Sandra masih tampak menarik. Dari saling pandang, mereka kemudian saling sapa, kemudian mengobrol. Pertemuan-pertemuan berikutnya membuat cinta di antara mereka kian bersemi.

Saat itu, Sandra masih bekerja sebagai pelayan bar di Virginia Water. Kepada seorang rekan pelayan, Sandra pernah curhat soal birahinya pada Terry. Sandra bahkan tak sungkan-sungkan memperlihatkan foto-foto dirinya dalam keadaan setengah telanjang yang diambil Terry di mobil Rolls-Roycenya. Namun di kesempatan lain, Sandra juga menyinggung soal Bob Wignall yang ingin menikahinya. Saat si teman menggugat, “Kalau kamu menikah dengan Bob, bagaimana dengan Terry?” Sandra hanya menjawab enteng, “Aku tetap mencintainya, tetapi rasanya terlalu sayang untuk melepaskan (kesempatan menikahi) Bob.” 

Itu sebabnya, setelah hubungannya dengan Terry bermasalah, mungkin karena kecewa, Sandra menemui Bob di rumahnya. Di rumah Bob, mereka melakukan hubungan intim. Di situlah Sandra tahu, kegarangan Bob yang penderita asma tak sebanding dengan sepak terjang Terry di atas ranjang. Namun Sandra telah merancang siasat agar Bob jatuh ke dalam pelukannya. Alasannya sederhana, Bob punya uang dan bisa memberikan jaminan masa depan.

Pada Agustus 1991, setahun lebih sedikit setelah pertemuan pertama mereka, Robert Wignall akhirnya pindah ke rumah Sandra di Rowhurst Avenue, Addlestone. Meski sudah dikaruniai tiga anak dan lima cucu dari istri pertamanya, rasa kesepian Bob rupanya tetap tak berpenawar. Persis pada malam Natal 1991, ia resmi menikahi Sandra.

Sayangnya, hanya sembilan hari setelah pernikahan itu, Terry Bewley tiba-tiba nongol lagi dalam kehidupan Sandra. Cinta (terlarang) mereka bersemi kembali. Seorang teman Sandra sempat menasehatinya agar menghormati Bob sebagai suami, dan berhenti menemui Terry. Tapi lagi-lagi dengan enteng Sandra menukas, “Aku tidak bisa. Betul-betul tidak bisa.” Sandra yang telah diperbudak birahi tidak pernah bisa jauh dari Terry.

 

Muncul di televisi

Anehnya, reka peristiwa pembunuhan Bob yang dijabarkan Sandra kepada polisi maupun awam berbeda dengan versi aslinya. Kepada polisi, Sandra menuturkan, ia dan suaminya sedang memberi makan anak serigala di hutan. Ketika tiba-tiba datang tiga orang pemuda, menanyakan apakah keduanya melihat seekor anjing boxer yang tersesat. Namun, tanpa alasan jelas, para pemuda itu tiba-tiba berbalik dan menyerang Bob. Salah seorang di antaranya memegang pisau.

Masih menurut Sandra, Bob berteriak padanya agar lari dan bersembunyi. Sandra yang ketakutan menuruti. Di tempat persembunyian itulah ia mendengar teriakan kesakitan Bob. Saat mencoba kembali ke lokasi suaminya, ia berpapasan dengan tiga pemuda (dia tidak yakin, apakah sama dengan tiga pemuda yang menyerang suaminya). Sandra bertanya apakah mereka membunuh suaminya, yang dijawab tegas, “Tidak!” Tiga pemuda itu, kata Sandra, yang kemudian membantunya mengurus mayat Bob.

Hari demi hari berlalu, misteri terbunuhnya Bob belum jua menemui titik terang. Di bulan yang sama, Sandra muncul di acara “Crime Monthly” di sebuah stasiun televisi. Disaksikan ribuan pemirsa, kasus terbunuhnya Bob diceritakan ulang oleh sang janda. Dengan nada memelas, Sandra yang diwawancarai mewakili korban, memohon para saksi mata yang sempat melihat pembunuhan suaminya muncul, agar pembunuh brutal itu dapat segera ditangkap.

Beberapa lama, cerita versi Sandra itu menjadi “cerita resmi” kasus terbunuhnya Bob. Cerita itu pula yang dipercaya para detektif, meski para penyidik mencatat beberapa ketidakkonsistenan di dalamnya. Misalnya, mengapa korban ditemukan dengan ritsleting celana terbuka? Atau, mengapa para pembunuh misterius itu tidak sekalian menyerang Sandra? Para pembunuh itu bahkan sama sekali tak merampoknya. Agak aneh bin ajaib.

Hingga detik ini, polisi masih berpegang teguh pada asumsi: para pembunuh adalah pria-pria dari masa lalu Sandra yang termotivasi rasa cemburu. Keyakinan itu makin menguat ketika mereka mulai menggali latar belakang mantan kekasih Sandra, dan ketika mereka menemukan nama Terence Bewley di dalamnya, mereka tahu ada di jalur yang benar.

Adalah fakta, Terry mantan pembunuh. Terry juga sudah bercerai dan terjerat utang dalam jumlah besar. Ia sudah menganggur selama tujuh bulan, dan memiliki tunggakan gadaian sebesar £ 15.000. Jumlah total utangnya hampir mencapai £ 90.000. Berdasarkan informasi yang diterima polisi, untuk meringankan beban kekasihnya itu, Sandra Wignall konon pernah meminjaminya £ 4.000. Lebih gila lagi, Sandra bahkan pernah mempertimbangkan menjual rumahnya agar Terry selamat dari masalah finansial.

Polisi makin curiga, karena masih basah kuburan Bob, persisnya dua hari setelah pembunuhan terjadi, Sandra Wignall sudah menghubungi pihak asuransi suaminya. la minta pembayaran hak atas kematian Bob sebesar £ 21.000 disegerakan.

Fakta lain, tiga orang pemuda yang diklaim Sandra Wignall ditemuinya di hutan ternyata memang benar-benar ada. Tapi ketiganya punya keterangan meyakinkan atas ketidakterlibatan mereka. Yang menarik, mereka punya informasi tambahan: saat itu mereka melihat keberadaan dua orang pria lain, yang tingkahnya mencurigakan di sekitar lokasi pembunuhan. Ketika dipergoki, keduanya langsung menghilang.

Petunjuk lain ditemukan di pakaian Bob Wignall. Di dalam pakaian korban ditemukan gelang emas berinsial “H”. Ketika kasus ini ditayangkan di acara “Crime Monthly”, dengan rekonstruksi kejadian disajikan secara lengkap, para pemirsa diminta untuk menelepon jika mempunyai informasi terkait. Nah, dari sinilah fakta-fakta baru yang mengejutkan bermunculan.

 

Pisau dapur hilang

Info paling penting datang dari seorang penelepon misterius - sebut saja Mr. X - yang menegaskan, polisi hanya perlu mencari dua orang penyerang, bukan tiga seperti dibilang Sandra. Mr. X juga mengisyaratkan keterlibatan Ny. Wignall dalam pembunuhan suaminya. Inspektur Pat Crossan yang menangani kasus pembunuhan ini kemudian menindaklanjuti keterangan Mr. X, yang ternyata kenal baik dengan Terry.

Pat Crossan, dengan rasa ingin tahu yang sangat besar, terus menggali informasi dari Mr. X yang tinggal di Ruislip itu. Terungkap, pada 4 September Mr. X merayakan pesta ulang tahunnya yang ke-21. Di antara para tamu yang hadir tampak seorang pria asing, konon teman Terry saat di penjara dulu. Orang itu bertato dan bicaranya kasar. Malam itu Mr. X sempat mendengar omongan si lelaki bertato yang hendak mencelakai Bob Wignall. Sebilah pisau bahkan hilang dari dapur.

“Masih ingat namanya?” tanya Crossan. 

“Seperti Harry, apa ya?” Mr. X agak lupa. 

Harry? Bukankah inisial yang ada di gelang emas itu “H”? Ada hubungannyakah? Pat bertanya dalam hati. Pat bertindak cepat dengan mengamati lebih teliti teman-teman Terry, sampai akhirnya ia menemukan satu nama yang cocok: Harry Moult (42 tahun) asal Ladywood, Birmingham.

Sementara itu, Sandra Wignall yang ditanyai sekali lagi perihal pembunuhan suaminya terus membuat bingung para detektif. Sangat sulit untuk mendapatkan fakta yang bisa dipercaya, karena cerita Sandra kerap berubah-ubah dan kadang saling bertentangan. Misalnya ia mengaku kehilangan kontak dengan Terry dan tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak Maret 1991. Padahal penelusuran terhadap nomor telepon keduanya menunjukkan, banyak bukti komunikasi tercatat di bulan sebelum kematian Wignall.

Beruntung, Pat Crossan bukanlah polisi bau kencur. Aksi cuci tangan Sandra di televisi tak membuat lelaki lulusan FBI Academy yang sudah menghabiskan waktu lebih dari 20 tahun di Kepolisian Surrey itu silau. Pat menduga, sepanjang hidupnya, Sandra Wignall telah memanfaatkan banyak pria untuk mengisi kebutuhan seksnya. Hal itu yang membuat jalan hidupnya rumit. 

Pat mencium kemungkinan Sandra berbohong dan memanfaatkan acara teve untuk cuci tangan, mengesankan dirinya tidak bersalah. Pat juga percaya, Sandralah otak di balik semua ini. la telah merencanakan semuanya. Motifnya mudah ditebak, ia melakukan semua itu demi uang asuransi jiwa, dan demi pacar gelapnya yang tengah terjerat utang.

Puzzle pembunuhan Bob masih harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang menguatkan. Namun Pat yakin, Sandralah sebenarnya si pembunuh berdarah dingin, yang penuh perhitungan, dan tanpa belas kasihan itu.

 

Sekadar iseng-iseng 

Untuk kesekian kali, Sandra dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Kali ini sebagai calon tersangka. Kedatangannya tidak sendiri. Terry dan Harry pun ikut diciduk. Untuk sesaat, ketiganya mencoba tutup mulut, menolak untuk menjawab pertanyaan apa pun. Sampai suatu ketika, mungkin lantaran tak tahan menahan tekanan, Harry minta waktu bertemu dengan detektif Pat Crossan. 

“Aku ingin melepaskan sesuatu dari dadaku. Anda tahu catatan kejahatanku, aku seorang pencuri, bukan seorang yang kejam,” suara Moult tertatih-tatih.

Harry mengaku, ia memang direkrut oleh Terry untuk ikut ambil bagian dalam aksi penyerangan terhadap Bob. Namun ia mendapat bagian pekerjaan paling “mudah”, yakni hanya menakut-nakuti Bob Wignall. Segalanya sudah dirancang oleh Terry dan Sandra. Sandra Wignall misalnya, bertugas memastikan korban jalan-jalan ke hutan malam itu. Sandra juga yang menyorotkan lampu senter sebagai isyarat buat Terry dan Harry maju menyerang.

Sialnya, saat diserang Bob malah menyerang balik, bahkan Bob sempat menggigit Terry. Harry mengaku, dalam keadaan panik, mungkin ia telah menikam Bob Wignall. Tapi ia menegaskan lagi: mungkin. Setelah peristiwa itu, Harry kembali ke Birmingham. Untuk menghilangkan jejak, ia membakar pakaiannya dan membuang pisau yang digunakan untuk menusuk Bob ke kanal di dekat situ. Harry tetap bersikeras, mereka hanya berniat menakut-nakuti Wignall, dan tidak pernah merencanakan pembunuhan. Harry mengucapkan itu sambil menangis.

Pat segera menelepon polisi di West Midlands. Mereka dimintai tolong menjaring benda-benda yang tercebur di kanal dekat TKP. Hasilnya, diperoleh dua peti besi, belasan troli pasar swalayan, dan pisau yang digunakan untuk membunuh Bob. Bukti-bukti baru itu membuat cerita sebenarnya di balik terbunuhnya Bob sedikit terkuak. Polisi pun mulai waspada ketika tahu Sandra berusaha menangguk untung lebih dari £ 21.000 dari asuransi jiwa suaminya. Ketika rumah Bob dijual, ia juga mewarisi sampai £ 100.000.

Sedangkan Terry akhirnya buka kartu, ia sebenarnya tidak pernah mencintai Sandra, yang digambarkannya sebagai mantan “cewek peliharaannya”. Ia juga tidak bermaksud menjalin hubungan permanen dengan Sandra. Versi Terry, hubungan asmara mereka yang “putus-sambung” itu levelnya tak lebih dari sekadar iseng-iseng. 

Di antara ketiga tersangka, Harry Moult-lah yang paling banyak bicara. Ia menggambarkan pembunuhan itu secara detail. Mulai saat Terry mengantarkannya ke hutan, sampai ketika mereka bersama-sama menghabisi Bob Wignall. “Terry mengatakan sesuatu pada Bob, dan hal berikutnya yang saya ketahui hanyalah mereka berkelahi. Saya ikut bergabung. Saya juga ikut memukuli Bob. Terry pun memukulinya. Saya kira saya memukul kepalanya dengan sepotong kayu,” lanjut Moult. 

“Mereka baku hantam di tanah. Lalu saya melihat sebilah pisau, tapi saya tidak yakin. Saya mengambil pisau itu. Bob menghampiri saya. Mungkin saya telah menusuknya. Tetapi saya tak yakin. Saya mendengar ia mengatakan, ‘Jangan tusuk saya’. Waktu rasanya berjalan sangat lama, walaupun sebenarnya cuma beberapa detik.”

 

Seks adalah segalanya 

Akhirnya, Sandra, Terry, dan Harry diajukan ke meja hijau. Pengadilan terhadap ketiga tertuduh digelar di Court Six di - Old Bailey, pada 26 Oktober 1993. Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Timothy Langdale QG bilang, kasus ini melambangkan nafsu dan ketamakan. Korbannya adalah Robert Wignall, seorang pria yang di lingkungannya dikenal sebagai orang jujur, sederhana, sopan, baik hati, dan memiliki sense of humor.

Sandra Wignall berusaha memberi kesan pada semua orang bahwa perkawinannya bahagia. Namun kepada seorang teman, Sandra mengeluhkan kegundahannya sang suami ternyata kurang ngejoss dalam soal seks, lantaran penyakit asma kronisnya. “Cerita Sandra bahwa suaminya dibunuh oleh tiga orang pemuda jelas fiktif belaka. Sandra Wignall telah menjebak suaminya, dan dengan sengaja membuat Bob tidak waspada dengan melakukan oral seks,” sambung Timothy.

Jaksa menggambarkan kematian Bob Wignall sebagai sebuah tragedi, karena Bob tidak pernah tahu hati Sandra Wignall yang sebenarnya. Ia tidak tahu Sandra hidup dalam kepura-puraan. Juga tidak tahu bahwa istrinya begitu terobsesi pada seks dan Terry. “Walaupun ada indikasi di akhir hidupnya Bob mulai mencium sesuatu yang mencurigakan,” tegas Timothy.

Hidup Bob kian terjepit, karena Sandra adalah perempuan yang menganggap seks sebagai segala-galanya. “Ia memiliki lima orang kekasih sebelum bertemu dengan Terry, walaupun akhirnya hanya ada satu pria yang mampu memuaskan Sandra, Terence ‘Terry’ Bewley.” Terry benar-benar mengontrol kehidupan seksual Sandra, bahkan atas perintah Terry, Sandra rela berhubungan seksual dengan pria-pria lain di depan mata kekasihnya itu.

Digambarkan, sembilan hari setelah pernikahannya dengan Bob Wignall, Terry muncul kembali dalam kehidupan Sandra. Hubungan asmara mereka berlanjut saat itu juga. Sandra menganggap pernikahannya dengan Bob merupakan sebuah kesalahan. Ia merasa perkawinan itu membuatnya terjerumus ke dalam kesedihan dan kesengsaraan. Hal itu dijadikannya pembenaran dalam menjalani perselingkuhan.

Ajakan selingkuh Sandra tentu saja disambut baik Terry. Lelaki yang sebelumnya menolak memberi tahu di mana tempat tinggalnya itu, kini mengizinkan Sandra datang ke rumahnya di Ruislip. Kadang-kadang Sandra menyelinap ke sana hanya untuk menikmati saat-saat gila bersama Terry. Memadu cinta di garasi atau di bagian belakang mobil, setelah Sandra mengantarkan suaminya ke kantor. Terry dan Sandra terus melakukan pertemuan secara rahasia, sekurang-kurangnya dua kali seminggu.

Menutup dakwaannya, Timothy menguraikan, “Sandra Wignall berulang-ulang mengubah ceritanya di hadapan polisi, tetapi akhirnya mengaku telah merancang pembunuhan terhadap suaminya dalam percakapan dengan dua orang saudaranya, setelah ia dinyatakan sebagai terdakwa!”

 

Gila sensasi 

Duduk di mimbar pengadilan dengan mengenakan gaun merah, dengan rambut pirang menyapu bagian belakang tubuhnya, Sandra Wignall tampak tegar dan siap menghadapi segala kemungkinan. Ia membaca catatan yang dibuatnya sekali-kali dan melempar guyonan kepada petugas penjara yang duduk di sebelahnya.

Pasangan selingkuhnya, Terry, duduk beberapa meter dari Sandra. Namun selama proses pengadilan pasangan ini tidak pernah mau saling melihat satu sama lain. Hanya kepada Harry, Terry sesekali terlihat bertukar cakap.

Satu demi satu saksi menyampaikan kesaksiannya. Tiga pemuda yang saat itu kebetulan berada di tempat kejadian perkara, Hutan Sayes, kembali menekankan keberadaan dua orang lelaki di tempat Bob roboh. Sedangkan salah seorang tetangga Sandra menyampaikan hasil “ngobrasnya” dengan janda Bob itu, yang makin menguatkan julukan “gila seks” buat Terry dan Sandra. Misalnya cerita Sandra tentang sensasi yang mereka temukan saat berhubungan intim di garasi dan di bagian belakang Rolls Royce, atau sekadar memamerkan foto-foto setengah telanjang Sandra yang diambil oleh Terry.

Kepada si tetangga, Sandra bahkan pernah menceritakan sebuah “pengalaman menarik”, saat ia diundang Terry dan seorang teman. “Sandra pikir mereka akan pergi untuk minum-minum,” jelas saksi. Tetapi ternyata Sandra diajak ke rumah pria yang kemudian diketahui bernama Bill itu di Fulham. Mereka minum-minum, sampai akhirnya Bill menanggalkan blus yang dikenakan Sandra dan mengajaknya berhubungan seksual, di depan mata Terry.

Tak lama kemudian, saat Terry pergi ke luar negeri, Bill mengundang Sandra mengulang kembali adegan yang sama. Mereka kembali berhubungan intim, tanpa disaksikan Terry. Entah mengapa, kali ini Terry marah-marah. Sebagai “hukumannya”, Terry menyambangi Sandra, menutup matanya dan mengikatnya ke ranjang, kemudian membawa masuk seorang pria untuk bercinta dengan Sandra, lagi-lagi di depan mata Terry. Pria itu sama sekali tak dikenal Sandra. Kejadian seperti itu terulang sampai dua kali, dengan dua pria berbeda.

Juri menyatakan ketiga terdakwa bersalah. Hakim Neil Denison menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada mereka tanpa komentar apa pun. Biasanya, di akhir persidangan seorang hakim akan melontarkan sedikit komentar perihal terpidana yang baru saja divonis. Tapi dalam kasus ini sang hakim mungkin menganggap tak ada gunanya berkomentar.

Baik Sandra Wignall maupun Terry Bewley tak tampak menunjukkan rasa penyesalan. Hasil tes psikologi menunjukkan, nimfomania (dorongan seksual yang kuat) pada Sandra bisa saja menunjukkan ketidakbahagiaan yang dipicu oleh rasa tidak aman, yang membuatnya merasa membutuhkan seks seperti minum obat. Seperti pencarian tanpa akhir untuk sesuatu yang tak pernah ada: cinta sejati.

Sebelum bertemu Bob, Sandra telah menikah dua kali, tetapi seorang pria tak pernah cukup baginya. Menurut seorang teman, Sandra Wignall berusaha mencari pria-pria muda ketika Bob pergi dan mengajak mereka ke rumah untuk memadu cinta. (Brian Marinerr)





" ["url"]=> string(69) "https://plus.intisari.grid.id/read/553457056/gelang-emas-berinisial-h" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391801000) } } [13]=> object(stdClass)#170 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3457050" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#171 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/09/05/senjatanya-dua-martil_justin-bau-20220905032847.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#172 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(145) "Bertubuh kecil dan pendiam, Rio ternyata seorang buronan berdarah dingin. Dalam operasi pencurian mobil, ia selalu membunuh korban dengan martil." ["section"]=> object(stdClass)#173 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/09/05/senjatanya-dua-martil_justin-bau-20220905032847.jpg" ["title"]=> string(21) "Senjatanya Dua Martil" ["published_date"]=> string(19) "2022-09-05 15:29:06" ["content"]=> string(25136) "

Intisari Plus - Bertubuh kecil dan pendiam, Rio ternyata seorang buronan berdarah dingin. Dalam operasi pencurian mobil, ia selalu membunuh korban dengan martil.

-------------------

Jumat, 12 Januari 2001, suasana di Baturaden, Banyumas, Jawa Tengah, tampak seperti hari-hari biasa. Belum ada keramaian terlihat di daerah wisata berhawa sejuk itu. Pada akhir pekan, biasanya wisatawan lokal dari Banyumas dan kawasan lain di Jawa Tengah, banyak melewatkan waktu untuk tetirah atau sekadar menikmati pemandangan kaki gunung Slamet itu. 

Begitu pula suasana di Hotel Rosenda, salah satu hotel di tengah kawasan wisata, siang itu juga tak ada yang terlihat mencolok. Belum banyak tamu memenuhi salah satu hotel terbaik yang terletak 20 km dari kota Purwokerto itu.

Di kamar 135 Hotel Rosenda, dua orang sedang berbincang santai. Rio, pengusaha asal Jakarta, berbicara panjang lebar tentang minatnya menanamkan modal di bisnis perumahan di Baturaden. Menurut Rio, prospeknya cerah. Di hadapannya, Jeje Suraji, mendengar saja sambil sesekali mengamati gambar contoh-contoh rumah yang berserak di meja.

Jeje sebenarnya tidak terlalu berminat. Kedatangannya semata untuk menyopiri mobilnya yang disewa Rio untuk berkeliling. Selain menjadi pengacara, lelaki 40 tahun itu juga menjalankan bisnis persewaan mobil. Hari itu ia bahkan sempat menemani Rio berkeliling untuk menunjukkan lokasi-lokasi di sekitar Baturaden yang kira-kira potensial didirikan kawasan perumahan. Di kamar itulah pembicaraan dilanjutkan.

Obrolan sebenarnya juga tidak terlalu serius, karena suara dari televisi yang menyala juga cukup keras. Jeje meladeni pembicaraan itu semata untuk menyenangkan hati kliennya saja. Matanya sesekali melirik ke arah televisi sambil menyimak Rio yang berjalan mondar-mandir di kamar.

 

Kepala langsung remuk

Tiba-tiba saja, bug! Jeje merasakan sebuah pukulan benda keras menghantam kepalanya. Begitu keras, hingga darah mengucur dan membuat ia tak sadarkan diri. Pukulan yang dilakukan berkali-kali oleh Rio itu menggunakan dua martil, satu di tangan kiri, satunya di kanan.

Dalam beberapa pukulan saja, kepala Jeje sudah remuk. Darah dan isi kepala berhamburan. Percikannya mengenai kursi, meja, kasur, bahkan sampai ke dinding.

Tubuh ayah tiga anak yang sudah berusia belasan tahun itu akhirnya tergolek bersimbah darah di kursi. Melihat itu, Rio langsung membuang martil di lantai. Ia meraih selimut dan sprei kasur untuk mengelap tangannya yang belepotan darah, lalu kain yang merah basah itu digunakan untuk menutupi tubuh korbannya. Merasa kurang bersih, Rio menuju kamar mandi dan cuci tangan di wastafel.

Tok, tok, tok! “Pak Jeje! Pak Jeje!” 

Terdengar pelayan hotel memanggil-manggil sambil mengetuk pintu kamar. Suara yang sempat membuat Rio terkejut. “Sebentar, saya masih ngobrol-ngobrol,” katanya menjawab sambil terus membersihkan tangannya. Mendengarnya, pelayan segera meninggalkan kamar dan berjalan ke arah depan hotel.

Merasa situasi sudah aman, Rio bergegas. la mengemasi barang-barangnya yang sebenarnya tidak terlalu banyak, lalu mencari kunci mobil di saku celana Jeje. Sebelum keluar kamar, sempat diliriknya arloji milik korban, dilepas dan ditaruhnya dalam saku celananya.

Di luar kamar, Rio mencoba bersikap tenang dan langsung melangkah menuju ke depan hotel. Tapi rupanya beberapa langkah menjelang lobi, seorang pelayan yang mengenalinya langsung menyapa, “Mana Pak Jeje, Pak?”

“Oh, dia di kolam renang,” jawab Rio sekenanya. Seolah tanpa mau berpanjang lebar ia terus melangkah ke depan hotel, arah parkir mobil.

Jawaban itu mengagetkan pelayan. Masalahnya, hotel tempatnya bekerja tidak ada kolam renang. Apalagi Rio terlihat agak terburu-buru menuju mobil Toyota Kijang seri LGX bernomor polisi R 7078 EA. Pelayan itu juga merasa janggal, karena tidak biasanya mobil milik Jeje dilepas begitu saja kepada penyewanya.

“Pak, Pak, tunggu Pak!” Pelayan itu berteriak agak keras, untuk menghentikan Rio sambil berusaha menarik perhatian sekitarnya. Ia langsung menyusul Rio ke parkiran.

 

Dikira maling

Teriakan itu rupanya membuat Rio panik. Ia berusaha memasuki mobil. Tapi para petugas keamanan hotel yang sudah curiga ada ketidakberesan sudah lebih sigap dan memburunya. Rio terpancing melawan mereka dengan kekerasan. la mengamuk membabi-buta, menyerang petugas satpam. Timbul kegaduhan di ruang parkir, yang segera menarik banyak orang di sekitar hotel untuk menengok.

Melihat ada seseorang yang berkelahi dengan satpam, lebih banyak orang yang akhirnya berdatangan dan membantu. Dalam waktu singkat, Rio berhasil diringkus. Semula orang-orang mengira yang dibekuk adalah maling, sehingga Rio langsung dikeroyok tanpa ampun. Wajahnya babak belur.

Rio akhirnya. diamankan dengan cara diikat di pos keamanan. Tapi ia tetap berusaha kabur dengan meronta-ronta. Seluruh petugas bersiaga sekaligus emosi, karena tidak setiap hari mereka menghadapi kondisi itu.

Sejumlah pegawai hotel segera tersadar, mereka tidak melihat Jeje, yang memang mereka kenal baik karena biasa menyewakan mobil kepada tamu-tamu hotel. “Pak Jeje mana? Cari Pak Jeje.” Beberapa orang bergegas berlari menuju Kamar 135. Pintu dibuka dengan kunci cadangan.

Saat dibuka, pemandangan di dalam sungguh mengenaskan. Tubuh Jeje ditemukan terduduk di kursi hotel dalam keadaan tidak bernyawa lagi, ditutupi seprai dan selimut. Kepala bagian belakang terlihat hancur. Darah berceceran di lantai dan dinding. Para pegawai hotel merasa tegang melihat kenyataan itu terjadi di tempat mereka bekerja.

Tak lama Polisi yang dikontak, segera datang dan memeriksa TKP. Melihat kejahatannya serius, dengan korban tewas bersimbah darah, mereka segera mengontak kantor di Polsek Baturaden untuk menurunkan tim yang lebih lengkap. Hari itu Baturaden yang sehari-harinya adem ayem, mendadak gempar.

 

Pergaulan preman 

Semula para petugas kepolisian di Polsek Baturaden tidak pernah menyangka jika tersangka pelaku pembunuhan di wilayah mereka adalah Rio alias Toni, buronan yang dicari setidaknya oleh tiga Kepolisian Daerah: Polda Jawa Barat, Polda Jawa Timur, dan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta. Segera setelah mereka mendapat kepastian tentang status Rio, proses hukum selanjutnya dilakukan di Polres Banyumas.

Tak banyak yang bisa diketahui dari Rio Alex Bullo, kelahiran Sleman 2 Mei 1978. Lelaki bertubuh kecil ini dikenal pendiam dan tertutup. Sehari-hari ia dikenal tak banyak bicara, meski juga tidak terkesan menyeramkan bagi orang lain. 

Walau lahir di Sleman, Yogyakarta, Rio bukan keturunan Jawa. Alex, nama tengahnya diambil dari nama ayahnya yang berdarah Maluku. Sedangkan Bullo, diambil dari marga ibunya yang berasal dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan. 

Di lingkungan tempat tinggalnya, di kawasan Senen, Jakarta Pusat, juga tak banyak yang mengenal pribadi Rio. Asal-usulnya juga tidak jelas. Kepada keluarga istrinya, ia hanya bercerita kalau dirinya sudah merantau sejak usia delapan tahun. Dititipkan ke kakak sulungnya di Jakarta, pernah pula ikut kakaknya yang lain di Medan.

Pada usia 12, Rio terusir dari rumah, akibat konflik dengan orangtuanya. Kabarnya, Rio tidak mau mengikuti agama orangtuanya sehingga ayahnya marah dan tidak mengakuinya sebagai anak. Ia lalu hidup bersama ibu angkat, Ibu Ina, yang berjualan sayur di Pasar Senen. 

Kawasan Pasar Senen di Jakarta, dikenal sebagai daerah rawan. Di sini terdapat stasiun kereta api, terminal bus, pusat perbelanjaan, pasar loak, dan permukiman padat di tepi rel. Tumbuh besar di kawasan semacam itu membuat tingkah laku Rio tidak terkendali. 

Kabarnya Rio tetap bersekolah, malah pernah berkuliah di sebuah akademi bahasa asing. Tapi ia akhirnya bekerja sebagai pedagang, sopir taksi, berlanjut ke sebuah percetakan. Tempat bekerjanya yang terakhir itu rupanya merupakan tempat pembuatan surat-surat kendaraan palsu, seperti STNK dan BPKB. Suatu kali polisi menggerebek tempat itu yang membuatnya menganggur.

Dari pekerjaannya di percetakan, Rio berkenalan dengan jaringan pemalsu surat kendaraan, lalu beberapa waktu kemudian meningkat menjadi komplotan pencuri mobil. Akhirnya ia terjun sebagai pencuri dan berhasil menggasak sejumlah mobil di berbagai tempat di Jakarta, seperti di sekitar Bandara Soekarno-Hatta, daerah Daan Mogot dekat Studio Indosiar, juga di kawasan Senayan. Rio dikenal sebagai pencuri ulung. Dalam sehari pernah dua mobil “dipetiknya”.

Rio sempat tersandung masalah ketika bos penadah mobil curiannya melaporkan dirinya ke polisi lantaran melarikan mobil setorannya. Akibatnya ia tinggal setahun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Sekeluarnya dari LP, pekerjaan lamanya sebagai pencuri terpaksa dilanjutkan karena ia telanjur menerima uang muka dari aksi pencuriannya terdahulu. Selain itu, bisnis surat palsu kendaraan tetap berjalan, membuatnya harus berurusan dengan polisi sekali lagi.

Lazimnya kehidupan para kriminal, Rio juga akrab dengan dunia malam dan narkoba. Uang hasil kejahatannya juga banyak yang habis untuk sekadar berfoya-foya. Tapi gaya hidup itu mulai berubah perlahan-lahan saat ia memutuskan untuk berkeluarga.

 

Selalu berpindah kota

Tingkah laku Rio berbeda di mata keluarga dari istrinya. Rio bertemu Tuti Alawiyah tahun 1994 yang langsung dinikahinya. Kepada keluarga, ia hanya bercerita sudah dibuang orangtuanya yang kini juga tidak diketahui keberadaannya. Di mata mertuanya, Rio juga terlihat sangat sopan. Antara lain selalu mencium tangan saat hendak pergi ke luar rumah.

Rio juga begitu sayang terhadap ketiga anaknya, dua perempuan dan satu lelaki. Tuti mengaku, suaminya tidak pernah bercerita tentang pekerjaan yang sebenarnya. Hanya bilang kalau berdagang. Meski tidak hidup mewah, Rio selalu berusaha mencukupi kebutuhan mereka.

Namun di luar rumah, sikap Rio berbeda. Dalam catatan polisi, sebelum Jeje, setidaknya ia pernah tiga kali melakukan pembunuhan. Polisi juga telah menetapkannya sebagai buronan. Tapi keberadaannya selalu tidak diketahui karena selalu berpindah-pindah kota.

Rio selalu bergerak untuk menghindar dari kecurigaan polisi setempat. Namun modus kejahatannya selalu sama, yaitu awalnya berlagak seperti tamu hotel yang bermaksud menyewa kendaraan, tapi kemudian mobil dibawa kabur. Belakangan naluri kekejamannya muncul. Aksi kejahatan yang dibarengi dengan kekerasan berlangsung dalam rentang waktu September-November 2000.

Di Bandung Rio beraksi setelah terlebih dulu menginap di Hotel Naripan, lalu menggasak sedan Timor setelah terlebih dulu memukul sopirnya hingga tewas. Aksi berikutnya di Semarang, menginap di Hotel Adem Ayem, lalu menyikat mobil Panther berwarna abu-abu dan membunuh sopirnya. Kemudian di Surabaya ia menginap di Hotel Mirama dan membawa kabur sedan Mercy berwarna putih, lagi-lagi sopirnya ditemukan tewas.

Pernah juga Rio beraksi di Yogyakarta, dengan menginap di Hotel Ibis. Tapi aksi pembunuhannya gagal gara-gara saat hendak memukul, gagang martilnya terlepas. Sopirnya hanya terluka lalu kabur sambil kesakitan. Konon peristiwa itulah yang membuat Rio selalu membawa dua martil, satu buat cadangan sekaligus alat keduanya.

Dalam aksi kejamnya, Rio selalu memukul kepala korban, tepatnya di bagian belakang sebagai sasaran paling mematikan. Umumnya korban tewas akibat trauma benda keras. Belakangan media massa menjulukinya sebagai “Rio Martil” atau “Martil Maut”.

Kekejaman Rio dipadu juga dengan rumor tentang kesaktian yang didapat dari neneknya. Konon ia bisa melepas borgol. Soal benar-tidaknya, masyarakat yang menangkapnya di Baturaden bersaksi, “Badannya memang kecil, tapi tenaganya kuat sekali.” Tapi rumor yang telanjur bergulir di ruang tahanan ini cukup membuat nyali narapidana lain menjadi ciut.

Pranoto SH, pengacara Rio, tidak melihat sifat kejam pada kliennya. Ia hanya melihat Rio tidak banyak bicara. Tapi temperamennya tinggi. Ia sendiri mengaku jarang berhubungan dengan kliennya itu, terutama setelah Rio dipindahkan ke Pulau Nusakambangan.

Pernah suatu kali Pranoto bermaksud menemui Rio di Nusakambangan. Perjalanan cukup berat, harus mengurus perizinan, naik kapal, dan menempuh perjalanan ke LP. Tapi Rio malah tidak mau dijenguk. Kata petugas, Rio marah-marah karena petugas dianggap mengganggu tidur siangnya. “Dari situ saya menyimpulkan, dia tidak boleh tersinggung,” tutur pengacara yang juga pengajar di Universitas Jenderal Soedirman ini.

 

Hanya karena tersinggung 

Persidangan atas terdakwa Rio Alex Bullo yang digelar di Pengadilan Negeri Banyumas berjalan lancar. Rio yang didampingi pengacara dari Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Jenderal Soedirman, tampak tenang dan pasrah menjalani setiap tahap persidangan. Tidak ada keluarganya yang hadir, mengingat jarak Jakarta - Purwokerto yang 445 km itu termasuk jauh.

Jaksa mendakwa Rio telah menganiaya hingga menyebabkan kematian Jeje Suraji. Tindakan itu juga dikategorikan sebagai pembunuhan berencana, karena Rio terbukti telah lebih dulu menyiapkan senjata dua buah martil. Kejahatannya ditambah lagi dengan usahanya merampas harta korban.

Di persidangan juga terungkap, Rio setidaknya sudah membunuh tiga orang di berbagai kota. Semua dilakukan dengan motif perampasan kendaraan milik korban. Kekejaman saat membunuh korban-korbannya, juga menjadi catatan tersendiri dalam persidangan.

Berdasar bukti-bukti itu, 14 Mei 2001, Rio divonis mati. Mendengar keputusan hakim, ia mengaku pasrah. “Saya bersyukur karena tidak mati saat sedang melakukan kejahatan. Tetapi mati dalam hukuman, mati dalam bertobat,” katanya kepada para wartawan sesaat setelah vonis dijatuhkan.

Meski begitu, upaya banding tetap dilakukan para pengacara. Sementara Rio terus menjalani hukumannya di LP Kedungpane, Semarang, sebelum akhirnya dipindahkan ke LP Permisan di Pulau Nusakambangan. LP yang terletak di sebuah pulau di selatan Cilacap ini terkenal sebagai tempat para narapidana yang menjalani hukuman berat atau hukuman mati. 

Di LP Permisan, Rio bertingkah laku baik. Tak ada peristiwa menonjol, meski di kalangan napi namanya sudah terkenal sebagai pembunuh kejam. Selain para pembunuh, perampokan dengan kekerasan, serta koruptor, di LP itu ditempatkan juga terpidana mati Kasus Bom Bali 1, yakni Amrozi, Mukhlas, dan Abdul Aziz alias Imam Samudera.

Kelakuan Rio semakin bertambah baik, terutama setelah mendapat teman satu sel, Iwan Zulkarnain. Kabarnya Rio mudah akrab dengan Iwan lantaran merasa sama-sama berasal dari Sulawesi, walau latar belakang kejahatan mereka jauh berbeda. Bekas pegawai PT Pos Indonesia itu adalah terpidana kasus korupsi bilyet giro setoran pajak PT Semen Tonasa senilai Rp 42 miliar yang divonis 16 tahun di penjara.

Iwan pula yang menuntun Rio belajar membaca Alquran. Hidup di penjara memang membuat Rio banyak beribadah. Kitab suci Al-Qur.’an dimilikinya beberapa buah, selain ada pula buku-buku keagamaan lain. Kabarnya, ia tidak pernah lupa menjalankan salat wajib, termasuk salat malam.

Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. LP gempar setelah pada 2 Mei 2005, Iwan ditemukan tewas di kamar mandi sel. Kondisinya sungguh mengenaskan. Tulang tengkorak retak dan kulit kepala sobek sepanjang 5 cm, lebar 0,5 cm. Di dinding dekat tempatnya jatuh bersimbah darah, ada noda-noda percikan darah. Tampak Iwan mati dibunuh seseorang dengan cara dibenturkan ke dinding. Tudingan langsung mengarah kepada Rio, karena saat itu sel hanya dihuni tiga orang.

Awalnya Rio berkelit. Polisi sampai harus merencanakan tes mendalam terhadap noda-noda darah di sarung milik Rio. Tapi dengan sejumlah pendekatan, akhirnya ia mengaku telah membunuh Iwan lantaran kesal.

Pada malam kejadian, sekitar pukul 21.30, Rio memanggil Iwan untuk mengajarinya mengaji. Tapi acara itu harus terganggu karena hujan membuat atap bocor dan airnya menggenangi lantai. Iwan lalu mengepel lantai, sementara Rio hanya duduk-duduk saja di dipan. Saat itulah Iwan sempat mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan Rio. Kata Iwan, Rio boleh saja ditakuti di luar, tapi di dalam LP tidak punya jalu.

Merasa tersinggung, Rio langsung menyerang. Iwan dibekap dengan sarung, mulutnya disumpal kain. Kepalanya dibenturkan ke dinding berkali-kali. Suasana sel sempat gaduh, tapi petugas saat itu mengaku tidak mendengarnya lantaran hujan turun sangat deras,

Setelah kegaduhan di sel semakin menjadi, petugas langsung berkoordinasi dan segera menyerbu masuk ke dalam sel nomor 6. Di sana Iwan sudah ditemukan tergeletak bersimbah darah. Di beberapa bagian kepala ada luka memar, kelopak mata dan dahi kiri bengkak, serta tiga giginya patah.

Setelah malam itu, Rio dipindah ke sel khusus untuk diisolasi dan untuk memperlancar pemeriksaan. Iwan adalah korban Rio yang kelima. Dan tragisnya, Rio melakukan pembunuhan itu tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-27!

 

Jadi sorotan media massa

Peristiwa pembunuhan di LP Permisan segera menjadi berita panas di media massa. Masyarakat kembali teringat akan Rio “Si Martil Maut” yang beraksi kembali, tapi kini dengan tangan kosong. Sistem pengamanan LP yang dinilai lemah, kelengahan petugas, sampai penanganan negara terhadap para narapidana di lembaga pemasyarakatan jadi sorotan di media massa.

Di media juga sempat terjadi polemik tentang kelanjutan proses hukum terhadap pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang terpidana mati. Maklum, untuk memprosesnya bukan hal mudah, karena TKP di sebuah LP yang punya banyak keterbatasan. Menanggapinya, polisi berkomitmen untuk tetap melakukan penyidikan terhadap Rio.

Sementara itu, kelanjutan proses hukum terhadap kasus Rio sebelumnya masih terus bergulir. Namun hasilnya, mulai dari tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), Grasi, sampai Peninjauan Kembali (PK) tidak menguntungkan Rio. la tetap harus menghadapi regu tembak. 1 April 2008, surat penolakan PK dari MA diterima Kejaksaan Negeri Purwokerto. Artinya Rio harus segera dieksekusi dalam waktu dekat.

Situasi dunia hukum di Indonesia sendiri, pertengahan 2008 itu, kebetulan tidak berpihak bagi Rio. Ketika itu ada beberapa terpidana mati yang eksekusinya sudah jatuh tempo. Sorotan media begitu gencar, karena tahun itu saja Kejaksaan punya agenda menembak mati 8 orang terpidana. Jumlah yang tinggi, di tengah negara-negara di dunia yang umumnya telah menghapus hukuman mati demi alasan HAM.

Rio tak berkomentar tentang eksekusi yang akan dilaksanakan di Purwokerto, sesuai lokasi terjadinya tindak kejahatan. Situasi haru justru terjadi lantaran pihak keluarga, yakni istri dan tiga anaknya yang belum lagi berusia sepuluh tahun, sulit untuk sekadar menengok Rio. Berkali-kali permohonan untuk bertemu di Nusakambangan tidak mendapat izin.

Baru setelah Rio dipindahkan ke LP di Purwokerto, kurang dari sepekan menjelang eksekusi, keluarga kecil itu bisa berkumpul. Kesempatan itu pun terjadi untuk memenuhi satu dari tiga permintaan terakhir Rio. Kehadiran Tuti dan ketiga anaknya juga tak lepas dari usaha sebuah stasiun televisi yang juga berkepentingan soal pemberitaan terpidana mati itu.

Pertemuan selama sekitar empat setengah jam, pukul 17.00-21.30, pada 4 Agustus 2008, berlangsung mengharukan. Untuk terakhir kali, Rio bercengkerama dengan anak-anaknya yang sudah terasa semakin tumbuh besar sejak terakhir kali ia memeluk mereka.

Sebenarnya, sejak kasus hukum Rio bergulir, ia enggan melibatkan keluarganya. Kepada pengacaranya, ia selalu berpesan untuk tidak membawa-bawa mereka. Malah ia sebenarnya minta agar eksekusinya dirahasiakan saja dari keluarga. “Biar ini semua saya tanggung sendiri,” ujar pria yang baru sepuluh tahun menikah itu. Seusai pertemuan terakhir dengan suaminya, Tuti yang terlihat tak henti menangis tidak memberi komentar apa pun kepada puluhan wartawan yang menunggu.

 

Tiga permintaan terakhir 

Wartawan mungkin adalah pihak yang paling resah menanti pelaksanaan eksekusi mati Rio. Seperti biasa, Kejaksaan tidak pernah mengumumkan secara pasti tentang waktu dan tempat pelaksanaannya. Berita-berita media massa rupanya ikut memancing masyarakat Purwokerto mendatangi LP dan berharap dapat melihat terpidana. Masyarakat juga menduga-duga tempat pelaksanaan eksekusi dan menunggu di sana.

Sementara itu di dalam LP, menjelang hari-hari terakhirnya, Rio memilih untuk menyendiri. Sifat tertutupnya mulai muncul. la tak mau ditemui oleh siapapun. Termasuk Pranoto, pengacaranya, yang bahkan mengaku tak tahu tentang kepastian waktu eksekusi karena tidak kunjung menerima surat dari Kejaksaan. 

Pranoto berkisah, ada tiga permintaan terakhir Rio. Pertama, bertemu keluarganya. Kedua, ia meminta maaf kepada seluruh keluarga korban. Ketiga, ia ingin memberikan Al-Qur’an kepada keluarganya, termasuk satu buah diberikan juga kepada pengacaranya. Rio juga sempat berpesan agar baju-bajunya diberikan saja kepada napi yang membutuhkan.

Kematian akhirnya menjemput “Si Martil Maut”, 8 Agustus 2008, pukul 00.30. Rio dieksekusi oleh 12 orang anggota regu tembak di Desa Cipedok, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Karena sejak semula istri Rio sudah menyatakan tidak sanggup memakamkan jenazah suaminya lantaran ketiadaan uang, Kejaksaan yang akhirnya mengurus. Keluarga dari pihak Rio sendiri sudah tidak diketahui keberadaannya.

Sesaat setelah eksekusi, sejumlah media massa sempat memberitakan penolakan sejumlah warga di Kelurahan Berkoh, Purwokerto, jika Rio dimakamkan di wilayah mereka. Tapi akhirnya Kejaksaan berhasil mendapatkan tempat di TPU Sipoh, Desa Kejawar, Kecamatan Banyumas, di blok makam orang-orang tak dikenal. (Tjahjo W) 

" ["url"]=> string(66) "https://plus.intisari.grid.id/read/553457050/senjatanya-dua-martil" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1662391746000) } } [14]=> object(stdClass)#174 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3448586" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#175 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/08/31/akibat-perangkap-cinta-masa-lalu-20220831013047.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#176 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(150) "Pauline berencana membunuh suaminya, James Mitchell. Jerat cinta masa lalunya dengan Headley, menyebabkan terjadinya pembunuhan tragis terhadap James." ["section"]=> object(stdClass)#177 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/08/31/akibat-perangkap-cinta-masa-lalu-20220831013047.jpg" ["title"]=> string(32) "Akibat Perangkap Cinta Masa Lalu" ["published_date"]=> string(19) "2022-08-31 13:31:23" ["content"]=> string(23846) "

Intisari Plus - Pauline berencana membunuh suaminya, James Mitchell. Jerat cinta masa lalunya dengan Headley, menyebabkan terjadinya pembunuhan tragis terhadap James.

-------------------

Christine Lane, gadis bujangan berumur 28 tahun, terbangun dengan kaget. Pintu rumahnya digedor-gedor orang. la melirik beker: baru pukul 06.25. la melompat dari ranjang, lalu mengintip dari jendela. 

Tanggal 27 Mei 1981 itu cuaca cerah. Seorang wanita rupawan berambut kemerah-merahan menggedor-gedor pintu rumah Christine di Clarke Avenue 41, Sydney, Australia, sambil berteriak-teriak histeris. Wanita itu tetangganya, Pauline Mitchell, yang berumur 31 tahun. la bertelanjang kaki dan cuma memakai pakaian tidur tembus pandang yang nyaris tidak sampai menutup pinggul. 

Setelah yakin yang menggedor pintu itu bukan kriminal, Christine berlari membukakan pintu. Pauline segera menubruknya.

"Si Jimmy!" katanya sambil tersedu-sedu. "Entah kenapa dia. Dia menggeletak di lantai. Dekat ranjang. Dari mulutnya keluar darah!" 

Christine Lane menghela tetangganya ke ruang duduk dan menyuruhnya duduk di sofa. la sendiri kembali ke muka pintu rumahnya. Pintu rumah di seberangnya dilihatnya terpentang. Setelah ragu-ragu sejenak, ia menyeberangi jalan, memasuki rumah itu dan menuju ke kamar tidur.

Tadi ia ragu-ragu, karena mengira jangan-jangan James Mitchell yang berumur 51 tahun itu diserang seseorang, mungkin maling. Mitchell, pemilik sejumlah bengkel yang laris itu, termasuk orang berada kalau tidak mau dikatakan kaya. 

Di rumah tetangganya itu Christine Lane tidak melihat tanda-tanda bekas kemasukan maling, tetapi Mitchell dijumpainya terbaring dekat ranjang di kamarnya. Darah mengalir dari mulutnya, persis seperti dikatakan oleh istrinya. Darah yang tergenang cukup banyak. Mitchell entah cuma tak sadarkan diri entah sudah tewas. Ia tergolek tidak bergerak sedikit pun dan matanya terkatup. 

Christine pernah belajar memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan di Palang Merah, tetapi keadaan Mitchell dianggapnya sudah berada di luar kemampuannya untuk menolong. Jadi, ia tidak mendekati tetangganya itu. Ia berlari ke ruang tamu dan menelepon lembaga yang memberi pelayanan ambulan.

 

Dikira sedang ke WC 

Petugas ambulans memeriksa detak jantung dan napas Mitchell. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ia malah menemukan luka yang dalam di sisi kiri pria itu. Ia menduga luka bekas tusukan pisau. Cepat-cepat diteleponnya polisi dari radio telepon di ambulansnya. "Kemungkinan pria itu dibunuh," katanya. 

Petugas di kantor polisi memintanya menunggui mayat sampai polisi datang. Tidak lama kemudian dua mobil patroli tiba dengan selang waktu 5 menit. Para polisi dari mobil patroli pertama membenarkan dugaan si petugas ambulans. 

Pukul 06.55 inspektur polisi yang bertugas di bagian pembunuhan tiba di kantornya. Ia sedang menghirup kopi, ketika bawahannya datang melaporkan penemuan mayat seorang pria yang dicurigai menjadi korban pembunuhan. Inspektur yang tinggi besar dan tampak cerdas itu mendengarkan laporan dengan berdiam diri. Begitu laporan selesai, ia mengajak asistennya, seorang sersan detektif, untuk ikut serta ke Clarke Avenue. 

Di mobil ia menceritakan apa yang didengarnya tadi dari laporan di kantor. Laporan itu tidak lengkap. Identitas orang yang dicurigai sebagai korban pembunuhan itu belum ada. 

Ketika mereka tiba, hampir semua tetangga Mitchell sudah berkumpul di muka rumahnya. Christine Lane menyambut inspektur dan memperkenalkan diri sebagai orang yang memanggil ambulans. Ia juga memberi tahu bahwa janda Mitchell berada di rumahnya di seberang jalan. 

Sersan detektif pergi ke seberang untuk meminta keterangan dari Ny. Mitchell, sedangkan inspektur polisi masuk ke kamar tempat mayat untuk melihat mayat itu. Namun, ia tidak mendekat. Kemudian ia menyeberang untuk ikut mendengarkan duduk perkara dari janda korban. 

Pauline Mitchell berkata, ia tidak tahu siapa kiranya yang menginginkan nyawa suaminya. Mungkin maling. Ia bukan orang yang mudah terbangun dari tidur. Jadi, dia tidak mendengar apa-apa sampai suaminya jatuh berdebum dekat ranjang. Ketika terbangun oleh suara keras itu, mula-mula ia bingung karena suaminya tidak ada di sebelahnya. Disangkanya suaminya sedang ke kamar kecil. Namun, ia heran karena lampu kamar kecil tidak dinyalakan. Ia memanggil-manggil. Tidak ada jawaban. 

Dengan perasaan takut dinyalakannya lampu, lalu ia bangkit. Ketika itulah kaki suaminya tampak di ujung ranjang. Ia menjenguk ke bawah ranjang dan mendapatkan dirinya tepat berhadapan muka dengan wajah suaminya yang mulutnya mengeluarkan darah. Ia mengira suaminya terluka karena terjatuh dari ranjang. Tetapi setelah suaminya tidak bisa disadarkan, ia berlari untuk minta tolong ke seberang. Pintu depan rumahnya terkunci seperti biasa. Ia juga tidak memergoki orang di dalam rumahnya.

 

Bukan maling 

Setelah selesai mendengar keterangan yang direkam itu, inspektur dan sersan detektif pergi ke mobil polisi untuk menelepon markas besar, meminta dikirimkan tim dari laboratorium polisi. Kantor dokter polisi dihubungi juga. Soalnya, jelas James Mitchell tidak meninggal secara wajar. Ternyata kantor dokter polisi sudah mendapat kabar, sehingga tidak lama kemudian seorang dokter tiba di tempat kejadian. 

Dari hasil pemeriksaan di tempat itu, dokter melaporkan bahwa pisau mungkin menembus jantung atau merusakkan beberapa pembuluh darah utama sekitar jantung. Mitchell diperkirakan tewas belum sampai satu jam dan rupanya ditusuk pada saat tidur. 

Dokter itu lalu berangkat untuk menunggu mayat diangkut ke tempatnya berdinas, supaya bisa diautopsi. Ambulans polisi sudah siap, tetapi harus menunggu kedatangan para teknisi dari laboratorium dulu. Para teknisi ternyata tidak bisa menemukan sesuatu yang berarti di tempat kejadian maupun pada mayat. Yang dapat mereka pastikan hanyalah Mitchell ditikam pada saat tidur telentang. Dalam keadaan sekarat ia terjerembap ke lantai. 

Saat itu dokter keluarga Mitchell sudah dipanggil dan ia memberi Ny. Mitchell obat penenang. Jadi, janda itu tidak bisa menemani inspektur memeriksa rumah untuk memberi tahu kalau-kalau ada benda berharga yang hilang. 

Tampaknya tak ada benda yang hilang, sebab sejumlah besar perhiasan Ny. Mitchell kelihatan tidak terganggu. 

Inspektur tidak heran. Kalau perampok atau maling masuk ke rumah orang lain, maksudnya pasti untuk mengambil uang atau barang berharga. Mereka mungkin saja membunuh orang kalau kepergok, karena khawatir dikenali. Namun, mustahil kalau maling menikam orang yang sedang tidur. 

Setelah menyuruh mengangkut mayat ke tempat dokter polisi, ia mengajak asistennya pulang ke kantor. 

"Sebagai langkah pertama," katanya kepada asistennya, "bentuk suatu tim untuk menyelidiki hubungan Mitchell dengan para karyawannya. Ia pemilik banyak bengkel. Mungkin saja sekali-sekali ia bertengkar dan kalau-kalau ia menerima ancaman." 

"Bapak yakin pembunuhnya karyawannya?" tanya sang sersan detektif. 

"Saya tidak bisa menentukannya sekarang. Selain tugas tadi, saya minta engkau juga menunjuk sekelompok orang untuk meneliti kegiatan pribadi Mitchell. Orang kaya berumur awal 50-an bisa saja mempunyai wanita simpanan atau berhubungan intim dengan istri orang lain." 

Asistennya menyumbangkan pikiran, "Ny. Mitchell cantik dan 20 tahun lebih muda daripada suaminya. Menurutnya, ia baru menikah dengan Mitchell tanggal 7 Mei 1976." 

"Sudah lima tahun. Pria kaya umur 50-an cepat bosan," komentar atasannya cepat. 

"Bapak tidak mau menyelidiki kehidupan Ny. Mitchell?" tanya sersan detektif itu. 

"Harus dong," jawab atasannya. 

"Yang satu ini Namanya tercatat pernah melakukan sejumlah pelanggaran harus kau tangani sendiri. Siapa tahu ia mempunyai kekasih."

 

Masih kuat dan gesit 

Pauline Mitchell berasal dari kota kecil Ravely. Orang tuanya masih tinggal di sana dengan adik perempuannya, Barbara (14). Rupanya ibunya, Lois Hewitt, yang kini berumur 56 tahun, baru mendapat anak lagi di usia senja. Keluarga Hewitt biasa saja. Mereka orang baik-baik dan termasuk golongan menengah. 

Paulie pernah berpacaran dengan beberapa pemuda sebayanya, tetapi belum pernah menikah sampai bertemu dengan Mitchell. Pertemuan terjadi di sebuah restoran anggun di Sydney, tempat Mitchell biasa datang untuk makan. Ketika itu awal tahun 1976 dan Pauline sedang bekerja sebagai pelayan restoran. 

Sepanjang penyelidikan, ia tidak diketahui mempunyai kekasih. "Bodoh sekali kalau ia berbuat serong," kata sersan detektif. Mitchell sangat besar perhatiannya dan istrinya mendapat apa saja yang diinginkannya. Lagi pula, menurut dua pria bekas pacarnya, Pauline bukanlah orang yang terlalu suka pada seks. "Ia normal dan bukan jenis orang emosional yang bisa membunuh suaminya demi pria lain yang lebih muda." 

"Jangan terlalu yakin," kata inspektur. "Tetapi apa pun latar belakang pembunuhan itu, Mitchell bukan ditikam oleh istrinya. Menurut laporan autopsi, kematian diperkirakan pukul 06.20. Bisa kurang atau lebih 5 menit. Mitchell tidak mungkin mempunyai waktu untuk menyembunyikan pisau sebelum menggedor rumah tetangganya. 

Menurut cetakan luka, pisau yang dipakai menikam ialah sejenis pisau berburu yang cuma satu sisinya tajam. Panjang luka itu 7 inci. Pisau itu masuk dari celah rusuk dan menembus bagian bawah jantung. Mitchell mungkin tewas tanpa sempat terbangun dulu." 

Menurut hasil penyelidikan, Mitchell juga tidak mempunyai simpanan. Ia tidak pernah terlihat serius dengan wanita, kecuali dengan Pauline. Mitchell agak pemalu. 

Dua hari kemudian datang laporan penyelidikan tentang karyawan bengkel-bengkel milik Mitchell. Diketahui bahwa musim semi 1981, seorang montir bernama James Cox (22) dipecat oleh Mitchell setelah dua bulan bekerja. Soalnya, ia memakai mobil seorang pelanggan tanpa permisi dulu dan mobil itu tabrakan. 

Cox bukan satu-satunya karyawan yang pernah dipecat oleh Mitchell, tetapi kasus Cox adalah yang terakhir terjadi. Ia marah sekali ketika dipecat. Menurut keterangan beberapa orang, ia berusaha menusuk Mitchell dengan obeng, tetapi Mitchell berhasil merobohkannya, sebab walaupun umurnya lebih dari setengah abad, Mitchell masih gesit dan kuat. 

Dua rekan sekerja Cox yang tampaknya tidak senang pada montir muda itu memberi tahu polisi bahwa Cox mengancam akan membuat perhitungan terhadap Mitchell. 

Polisi tidak meragukan keterangan mereka, sebab Cox pelanggan polisi. Walaupun usianya masih muda, tetapi catatan perihal pelanggaran-pelanggaran yang dibuatnya sudah panjang. Ia pernah menyerang orang lain dengan tangan kosong maupun dengan senjata tajam. Ia juga pernah mencuri sepeda motor. Dalam semua perkara itu Cox mengaku bersalah. la cuma dihukum ringan, karena memberi kesan baik. Ia langsing, berambut pirang berombak. Wajahnya klimis dan tampak jauh lebih muda daripada umurnya. Secara emosional mungkin ia memang belum matang. 

Kalau hakim bersikap murah hati kepadanya, tidak demikian dengan polisi yang menganggapnya sebagai orang yang berbahaya. 

Inspektur memerintahkan bawahannya untuk mencari Cox. Ternyata ia tidak bisa ditemukan di Sydney. Polisi mencurigai Cox sebagai pembunuh Mitchell: ia mempunyai motif. Ia bertengkar dengan Mitchell belum lama ini. Namanya tercatat pernah melakukan sejumlah pelanggaran, di antaranya ia diketahui pernah menyerang seseorang dengan pisau. 

Ia diketahui pernah mencuri. Mungkin saja ia pernah mendapat kesempatan memalsu kunci majikannya ketika bekerja di bengkel Mitchell, sebab kunci-kunci rumah disatukan dalam satu gelang dengan kunci kontak mobil. Siapa tahu ia mempergunakan kunci palsu untuk masuk ke rumah bekas majikannya dan menikam sang bekas majikan yang pernah memecatnya itu.

 

Anak gelap 

Perkara pembunuhan Mitchell pun terkatung-katung. Tahu-tahu polisi menerima surat aneh dari seorang wanita berumur 29 tahun yang mengaku bernama Joan Headley. Kata wanita itu, suaminya, Peter, yang berumur 35 tahun, adalah pacar Pauline Mitchell. Keluarga Headley memiliki rumah peristirahatan kecil di pantai antara Sydney dan Ravely. Ny. Headley yakin suaminya biasa membawa Pauline ke sana. Ia menulis bahwa Peter dan Pauline sudah menjalin hubungan intim 15 tahun yang silam dan mereka sempat memperoleh anak di luar nikah. 

Isi surat itu kelihatannya ngawur, karena polisi sudah cukup saksama menggali masa lalu Pauline Mitchell. Mereka tidak pernah mendapat keterangan dari siapa pun bahwa ia pernah berpacaran dengan Peter Headley, apalagi mempunyai anak gelap. Namun, memang mereka tidak sampai menggali ke masa 15 tahun yang silam. Soalnya, ketika itu Pauline baru berumur 16 tahun. 

Dalam suratnya, Ny. Headley menjelaskan bahwa suaminya bekerja di bengkel Mitchell. Kalau saja surat itu tanpa alamat, polisi pasti membuangnya ke keranjang sampah tanpa berusaha menyelidiki kebenarannya. Karena Ny. Headley memberi nama dan alamat jelas, polisi menaruh perhatian juga. 

Di salah sebuah bengkel Mitchell ternyata benar ada karyawan lama yang bernama Peter Headley. Latar belakang Ny. Headley diselidiki juga. Diketahui ia ibu rumah tangga baik-baik. la yakin betul suaminya berpacaran dengan Pauline, ketika Pauline masih remaja dan hubungan itu membuahkan seorang anak. la tidak tahu apa yang terjadi dengan anak itu. ia yakin Pauline membunuh anak gelap itu ketika baru dilahirkan. 

Katanya, yang merisaukannya ialah Peter pernah kelihatan menjemput Pauline dari rumah keluarga Mitchell pada saat James Mitchell tak ada di rumah dan kedua orang itu pergi bermobil berdua entah ke mana. 

"Dari mana Ibu tahu suami Ibu pergi berdua dengan Ny. Mitchell?" tanya polisi. 

"Dari teman saya, Christine Lane." 

"Christine Lane? Maksud Ibu, wanita yang tinggal di seberang rumah keluarga Mitchell?" 

"Ya." 

Kata Ny. Headley, ia pergi ke rumah kecil yang merupakan tempat peristirahatannya dan menemukan bekas-bekas kehadiran seorang wanita di sana. Ia mengira suaminya mengajak Pauline ke sana. Ia yakin Pauline dan Peter merencanakan pembunuhan atas James Mitchell supaya Pauline mendapat warisan banyak bengkel. Ia yakin kemudian suaminya akan minta cerai supaya bisa menikah dengan Pauline. 

Sersan detektif mendatangi Christine Lane untuk meminta penegasan. Menurut tetangga Mitchell itu, ia melihat Headley tiga kali datang ke rumah seberang saat James Mitchell tidak ada di rumah. Kedatangannya yang pertama adalah tanggal 10 Juni 1980. Peristiwa itu tidak ia beritahukan kepada Joan Headley, sebab ia mengira Mitchell menyuruh karyawannya itu datang ke sana untuk mengambil sesuatu. 

Ketika ia melihat Headley dan Ny. Mitchell bermobil berdua, ia jadi curiga. Baru beberapa bulan sebelum pembunuhan terjadi, ia memberi tahu Joan Headley perihal Peter yang dipergokinya tiga kali pergi berdua dengan Ny. Mitchell pada saat suami wanita itu sedang tidak berada di rumah. 

"Mengapa Ibu tidak memberi tahu kami pada saat mayat Pak Mitchell ditemukan?" tanya polisi. 

"Habis, saya tidak ditanyai apa-apa," jawab wanita itu. Polisi sadar bahwa mereka alpa. Christine Lane, yang melaporkan penemuan James Mitchell dalam keadaan bergeming tanggal 27 Mei 1981 itu luput dari perhatian polisi. Ia tidak ditanyai perihal tetangganya. Akibatnya, polisi sibuk mencari James Cox di seluruh Australia. 

"Bawa Peter Headley ke sini," perintah inspektur. 

"Apa alasan kita, Pak? Kita belum punya bukti bahwa ia terlibat pembunuhan atas Mitchell. Kita bahkan tidak punya bukti bahwa ia terlibat urusan cinta dengan Ny. Mitchell. Istrinya jelas sangat cemburu pada Pauline Mitchell. Pasti Headley dan Ny. Mitchell akan menyangkal kalau ditanyai." 

"Kau benar." 

"Kalau saja kita bisa mencari jejak dari anak tidak sah yang dilahirkan Pauline Hewitt 15 tahun atau 14 tahun yang lalu," kata sersan detektif. Tiba-tiba wajahnya berubah. 

"Barbara Hewitt berumur 14 tahun," katanya. 

"Barbara? Adik Ny. Mitchell itu?" tanya inspektur. 

"Apa betul adiknya?" 

"Coba kita seli-diki, walaupun Ny. Hewitt pasti akan menyangkal, sedangkan Barbara sendiri pasti tidak tahu." 

"Headley pasti tahu." 

"Apakah ia mau mengaku?" 

"Apakah kelahiran itu dilakukan di rumah tanpa pertolongan dokter atau orang lain?" 

"Bisa saja. Mode melahirkan di rumah sakit 'kan belum terlalu lama terjadi. Dulu orang biasa melahirkan di rumah dengan pertolongan bidan atau orang yang berpengalaman. Coba tanyakan dokter keluarga Hewitt di Raveley." 

Dokter keluarga Hewitt menyatakan ia selalu menganggap Barbara sebagai putra angkat Ny. Hewitt, sebab tidak mungkin Ny. Lois Hewitt melahirkan pada tanggal 4 Mei 1967. Dokter ini telah mengangkat kandungan Ny. Hewitt pada tanggal 10 Maret 1966. Bukan cuma rahimnya yang diangkat tetapi juga kedua indung telurnya.

 

Mendengar namanya pun belum pernah 

Walaupun inspektur tidak terlalu optimistis, Peter Headley dan Pauline Mitchell dibawa juga ke kantor polisi. Mereka ditanyai apakah mereka saling mengenal. Ny. Mitchell menyangkal pernah melihat Headley. Ia bahkan belum pernah mendengar nama pria itu, katanya. Headley menyatakan ia tahu bahwa Pauline Mitchell istri majikannya almarhum, Ia melihat wanita itu sekali atau mungkin dua kali ketika berkunjung ke bengkel. 

Polisi lalu berkata kepada Pauline Mitchell bahwa Ny. Lois Hewitt tidak mungkin melahirkan setelah tanggal 10 Maret 1966, karena rahim dan indung telur Ny. Hewitt diangkat hari itu. Jadi, Barbara tidak mungkin anak ibu Ny. Mitchell. Bukankah Barbara anak Ny. Mitchell sendiri? 

Pauline menjadi gugup. Ia menangis dan mengaku bahwa Barbara betul putri kandungnya. Katanya, ia hamil akibat hubungannya dengan Peter Headley pada umur 16 tahun. Ia melahirkan di rumah dan oleh orang tuanya anak itu diakui sebagai anak mereka. Barbara sendiri sampai saat itu belum tahu. 

Pauline menyangkal mengadakan hubungan kembali dengan Headley, setelah ia menikah dengan James Mitchell. 

Headley dikonfrontasikan dengan keterangan Pauline Mitchell. Kata polisi, Headley memberi keterangan palsu kepada polisi karena menyangkal mengenai Ny. Mitchell. 

Headley terpaksa mengakui bahwa secara tidak terduga-duga ia bertemu Pauline lagi di pasar swalayan tanggal 10 Juni 1980. Mereka pun menjalin hubungan yang terputus sekitar 15 tahun sebelumnya. 

Polisi kini mempunyai bukti bahwa baik Peter Headley maupun Pauline Mitchell berdusta kepada polisi sebelumnya. Headley dan Ny. Mitchell dikorek keterangannya dengan cerdik sekali. Akhirnya, Pauline Mitchell tidak berdaya lagi. Ia mengaku Headley membunuh suaminya. Katanya, ia tidak mau berhubungan kembali dengan Headley, tetapi Headley mengancam akan membuka rahasia perihal Barbara kepada suaminya, sehingga ia terpaksa menuruti keinginan Headley. Ia takut kalau Mitchell tahu, ia akan diceraikan, padahal ia tidak mau kehilangan suaminya. 

Ternyata tindakannya keliru, sebab Headley tidak puas hanya dengan mengadakan pertemuan intim dengannya di Clarke Avenue dan di rumah peristirahatan Headley, tetapi juga ingin menceraikan istrinya dan menikah dengan Pauline. Karena itulah Headley membunuh Mitchell. 

Rekaman pengakuan Ny. Mitchell diputar di hadapan Headley. Headley kalap. Ia berteriak-teriak. Katanya, bukan dia yang merencanakan pembunuhan atas Mitchell, tetapi Pauline. Katanya, Pauline ingin mewarisi bengkel-bengkel dan uang Mitchell. Ia berjanji akan memberi Headley bagian apabila Headley mau membunuh suaminya. 

Keduanya terus saling menyalahkan. Juri percaya kepada mereka berdua. Tanggal 27 Juri 1981 mereka dinyatakan bersalah dan hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup bagi keduanya, karena terbukti melakukan pembunuhan yang direncanakan. (John Dunning)

" ["url"]=> string(77) "https://plus.intisari.grid.id/read/553448586/akibat-perangkap-cinta-masa-lalu" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1661952683000) } } [15]=> object(stdClass)#178 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3305681" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#179 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/06/03/istrinya-suka-bersolek_marcelo-l-20220603022237.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#180 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(13) "Intisari Plus" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9347) ["email"]=> string(22) "plusintisari@gmail.com" } } ["description"]=> string(120) "Seorang pria punya rencana membunuh istrinya yang sudah sakit-sakitan. Rencana ini dibalut dengan promosi produk sepatu." ["section"]=> object(stdClass)#181 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/06/03/istrinya-suka-bersolek_marcelo-l-20220603022237.jpg" ["title"]=> string(22) "Istrinya Suka Bersolek" ["published_date"]=> string(19) "2022-06-03 14:22:58" ["content"]=> string(40835) "

Intisari Plus - Seorang pria punya rencana membunuh istrinya yang sudah sakit-sakitan. Sang istri yang sudah lemah tak berdaya memang senang memakai perhiasan dan memamerkan kekayaan. Rencana ini dibalut dengan promosi produk sepatu.  

-------------------------

John Flint mengantarkan sarapan istrinya ke kamar tidur di lantai atas. 

"Nyenyak tidurmu semalam?" tanya Flint sambil menaruh baki sarapan itu di pangkuan Amy. "Kalau ada apa-apa, telepon saja dr. Jepson," kata Flint pula yang hampir tidak mengacuhkan jawaban Amy yang kini jadi "pasiennya" karena lumpuh. 

Flint menghampiri meja tempat menyimpan perhiasan. la mengambil kotak kecil berisi permata, lalu membawanya ke ranjang tempat Amy terbaring. Gelang bertatahkan berlian dililitkannya di pergelangan tangan kiri istrinya. Untaian mutiara dikalungkan di leher kurus itu. Terakhir, sepasang giwang bermata berlian disematkan di telinga istrinya. Begitulah kerja Flint setiap pagi, sejak lima tahun lalu. 

Sejak menderita lumpuh akibat serangan jantung, istrinya senang memakai perhiasan warisan bibinya. Entah apa sebabnya, Flint bukan orang yang suka bertanya-tanya. Kebiasaan aneh itu barang kali merupakan pelepas rasa jemu. Betapa tidak. Sepanjang hari Amy hanya tergolek tak berdaya di pembaringannya. 

"Sampai nanti, sayang," ujar John Flint sambil mencium kening istrinya yang kering seperti kapas. "Katakan kepada Ny. O'Roylan, nanti aku makan malam di rumah."

Flint selalu makan malam di rumah. Namun, tiap kali hendak meninggalkan istrinya, ucapan basa basi itu tak pernah ketinggalan. 

Di dapur yang tampak semarak berkat pelapis dinding dari kertas bermotif bunga-bunga, Flint menyiapkan sarapannya sendiri. Ny. O'Roylan, pembantu rumah tangganya, baru datang selepas pukul 09.30. Selesai membereskan peralatan makannya, Flint berangkat ke kantor.

 

Harry ingin bercerai

Ia melewati dua tiga rumah yang mungil dan bersih seperti rumah yang kini dihuninya bersama Amy. Lalu sampailah ia ke tempat perhentian kereta listrik yang biasa membawanya ke kota. 

Duduk di antara anak-anak wanita dan macam-macam penumpang lain dalam goyangan kereta yang menyusuri indahnya kota di musim semi, pikirannya melayang-layang ke Mexico City. 

Beberapa waktu yang lalu ia pernah ke kota di Amerika Selatan itu dan hatinya amat tertawan. Namun, setelah bertahun-tahun tenggelam dalam kehidupan perkawinan yang menjemukan dan tidak bahagia, kota itu hampir terlupakan olehnya. Akan tetapi mengapa tiba-tiba kota itu kembali mengusik hatinya? 

John Flint sadar, kini bukan saatnya ia berkhayal. Ia harus menyelesaikan rencana baru untuk mempromosikan produk perusahaan tempatnya bekerja. Sebagai satu-satunya orang yang mewakili perusahaan sepatu merek Bonifoot di kotanya, Reno, John memang dinilai sebagai pekerja yang tekun dan ulet. 

Di kantornya yang cuma berupa sepetak mangan itu John tak mempunyai sekretaris. Akhir-akhir ini ia dilanda rasa jemu menghadapi pekerjaan rutin di kota kecil itu. Ditambah lagi bila kembali ke rumah, ia hanya disambut oleh seorang istri cacat yang dianggapnya begitu membelenggu dirinya. 

Kedatangan Harry Shipley di kantornya membuyarkan lamunannya. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Harry, kawan lamanya yang beberapa waktu lalu pernah bekerja di perusahaan sepatu itu sebagai salesman. Harry hampir tak berubah. Ia masih selalu suka memakai jas yang mencolok warnanya dengan dasi murahan. Wajah maupun pribadinya tetap kurang menarik. 

"Apa kabar, Keledai Tua?" tanyanya. Harry memang suka menyebutnya keledai, mungkin karena wajahnya yang selalu tampil muram. 

"Oh, Harry. Baik. Duduklah." 

Ternyata Harry sedang risau. la ingin bercerai dan mengayuh kehidupan baru dengan menikahi gadis asal Reno. Sayangnya, tabungannya tak cukup untuk melaksanakan niatnya itu. Karena itu ia datang menemui John untuk meminjam AS $ 500. 

Tidak sulit bagi John untuk menolaknya, karena ia sendiri dalam keadaan terjepit. Namun, John merasa iba juga melihat Harry pergi dengan air muka kecewa. Hatinya pun tergugah oleh sikap Harry yang berani mengambil risiko untuk bercerai, dan membuka lembaran hidup baru. Tiba-tiba terbayanglah wajah istrinya yang tergolek tak berdaya di atas ranjang ....

 

Amy tahu diri 

Flint mengambil surat yang tergeletak di mejanya. Hari itu ia menerima dua pucuk surat dari kantor pusat perusahaannya. Surat yang satu berisi pernyataan setuju dari pimpinan terhadap rencana promosi yang diajukannya. 

Promosi itu berupa pengecekan di jalan terhadap sepatu merek Bonifoot yang dipakai orang dan pembagian kupon yang bisa ditukar dengan sepatu gratis bagi pemakai tertentu. Surat yang lain dari kepala personalia. Ketika John membaca surat yang terakhir itu, hatinya mulai berdebar kencang. 

John Yth. 

Bapak Pemberton Tua, wakil kita di Mexico City, tak lama lagi akan menjalani pensiun, karena ketinggian wilayah itu tidak sesuai dengan kondisi jantungnya. 

Menurut Gummet, Saudara sudah terbiasa dengan kondisi kota itu dan pernah pula mengajukan permohonan untuk menjadi wakil di sana. Karena itu kalau Saudara memang menginginkan suasana baru, inilah kesempatannya. 

Mohon segera dibalas surat ini sesudah Saudara mengambil keputusan. 

Kepala Personalia 

Sam

Flint sedikit gemetar setelah membaca surat itu. Ia bisa pergi ke Meksiko! 

Dibacanya lagi surat itu. Sederet kalimat mengusiknya: Ketinggian wilayah itu tidak sesuai dengan kondisi jantungnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya ketika bayangan Amy yang terbaring tak berdaya oleh rongrongan jantung dan darah tingginya, membayang di matanya. 

Meski tahu jawaban apa yang bakal diterimanya, John tetap saja menelepon dr. Jepson. 

"Membawa Amy ke Meksiko? Oh, anak malang. Seminggu saja tinggal di wilayah yang tinggi seperti itu, istri Anda bisa meninggal. Benar-benar pikiran gila! Itu sama artinya Anda membunuh istri sendiri." 

John meletakkan kembali teleponnya. Lama ia duduk termenung sambil memandangi surat itu 

Lewat tengah malam mata John Flint masih saja belum terpejam. Sementara itu istrinya terbaring hanya beberapa langkah dari tempat tidurnya. (Kedua suami istri itu memang tidak tidur seranjang.) Ia tidak bercerita kepada istrinya kalau ia menerima tawaran ke Meksiko. 

Percuma saja istrinya tahu, sebab hanya akan membuat istrinya semakin merasa bersalah terhadap dirinya. Semua itu akan jadi lain kalau Amy bisa sembuh dari sakitnya! Sembuh? Tidak mungkin. Dr. Jepson sendiri sudah berkali-kali menjelaskan bahwa istrinya tidak bisa disembuhkan. 

Malam itu ia kembali teringat pada Harry Shipley yang punya keberanian hendak menceraikan istrinya. Bercerai ...? Bagaimana mungkin Flint tega menceraikan istrinya? Amy tak memiliki siapa pun di dunia ini, kecuali Flint, dan sakitnya itu bukan karena kemauannya. Bukankah Amy juga sudah berusaha tidak banyak merepotkan dirinya dalam keadaannya seperti itu?

Pembantunya tukang gosip 

John," sapa istrinya. "Kau masih belum tidur?" 

"Ya." 

"Aku sebenarnya tak ingin minta ... tetapi tolong ambilkan aku segelas susu." 

Sebagaimana sudah berulang kali dilakukannya, John beranjak juga dari ranjangnya. Dinyalakannya lampu kamar itu. Matanya menangkap kerjap-kerjap dari tubuh Amy. Rupanya Amy lupa melepas giwang bermata berlian di telinganya. 

Seketika itu tatapan matanya terhenti pada wajah istrinya. Kini, terbukalah matanya. Amy yang dulu cantik dan segar, kini tampak kusut dan layu. Kedua tulang pipinya tajam menonjol. 

Lehernya yang dulu mulus, kini tinggal kulit pembungkus tulang. Keriput kulit di bawah sepasang matanya yang pasrah semakin membuat wajahnya tampak lebih tua daripada usianya. Rupanya wanita tak berdaya inilah yang selama ini membelenggu dirinya di rumah ini, di kota yang menjemukan ini, begitu pikir Flint. 

Waktu menuang susu di dapur, John Flint tergoda oleh sebuah keinginan yang selama ini tak pernah terlintas sedikit pun di benaknya: andaikata istrinya tewas ... ya, andaikata ia tewas. 

Sebenarnya, bukan tidak mungkin keinginannya itu jadi kenyataan, begitu pikirnya ketika John terbangun esok paginya, sebab bisa saja suatu saat perampok masuk ke rumahnya dan membunuh istrinya demi perhiasan yang dikenakannya. 

Di kawasan itu Ny. O'Roylan terkenal sebagai tukang gosip. Gara-gara ulah wanita tersebut mungkin banyak yang tahu bahwa mereka memiliki barang-barang berharga itu, dan juga kebiasaan aneh istrinya yang suka mengenakannya di tempat tidur. 

Sepanjang hari itu, ketika Flint duduk menghadapi pekerjaannya di kantor, soal perampok itu mengusik pikirannya. 

Sore itu ia pulang dengan perasaan harap-harap cemas, tetapi sekaligus ia merasa puas karena sebuah gagasan telah ditemukannya. John terus mencari-cari kapan saat yang paling tepat untuk mewujudkan gagasan itu. 

Terpikir olehnya hari Kamis. Setiap Kamis Ny. O'Roylan libur sehingga istrinya sendirian di rumah. Lalu terbukalah layar dalam benaknya menampilkan sebuah adegan perampok yang tengah beraksi di rumahnya. 

Perampok yang digambarkannya itu tinggi besar dengan sebagian wajah tertutup kain hitam. Ia merayap menaiki tangga yang menuju kamar tidur tempat istrinya terbaring. Kerjap-kerjap perhiasan memancar dari leher dan telinga istrinya. 

Amy yang sedang terbaring dalam keremangan kamar itu segera melihat tamu tak diundang itu. Perampok cepat-cepat bertindak. Sebuah bantal menekan wajah istrinya. Jeritan lemah itu pun lenyap di balik bantal. Dengan cepat si perampok merenggut semua perhiasan yang melekat di tubuh yang tak bernyawa itu. 

Semua itu begitu hidup dalam pikiran John Flint, sebab memang ia sendirilah yang hendak memerankan perampok yang sesungguhnya. Tentunya John tidak ingin dituduh membunuh istrinya. 

Karena itu ia harus bisa membuktikan bahwa pada saat kejadian berlangsung, ia sedang berada di tempat lain dan alibinya itu harus pula didukung oleh saksi-saksi yang meyakinkan. 

Tidak sia-sia Flint memutar otak. Ia menemukan bahwa rencana promosi yang dibuatnya itu bisa memperkuat alibinya.

 

Sama muramnya 

Rencana promosi bikinannya itu merupakan teknik pemasaran sederhana dan belum pernah diterapkan sebelumnya oleh perusahaan itu. Para pimpinan perusahaan amat terkesan oleh promosi bikinan John Flint. Kalau uji coba itu terbukti berhasil, mereka akan menerapkannya ke seluruh negeri. 

Menurut pola itu, setiap hari selama seminggu John berdiri di pinggir suatu persimpangan jalan yang ramai di tengah kota. la hams mengamati semua pemakai sepatu model Bonifoot yang kebetulan lewat di depannya. 

Pemakai yang kesepuluh, kedua puluh, dst. dicatat nama dan alamatnya. Lalu masing-masing diberi selembar kupon yang bisa ditukarkan dengan sepasang sepatu Bonifoot di toko-toko yang sudah ditentukan. Bahkan, pemakai Bonifoot yang keseratus akan menerima selembar kupon untuk 5 pasang sepatu. 

Ya, pada saat istrinya tewas terbunuh oleh perampok nanti, John akan terbukti sedang berada di pojok jalan dekat pasar dengan buku catatan dan kupon-kuponnya. 

Namun, bagaimana mungkin pada saat yang bersamaan ia bisa muncul di dua tempat, yaitu di pojok jalan dekat pasar dan di rumahnya yang 3 km jauhnya dari jalan itu? Inilah yang jadi masalah kemudian. 

Wajah Harry melintas di benaknya. Kali ini mungkin Harry Shipley yang bisa memecahkan persoalan yang dihadapinya. John segera mengangkat telepon. 

"Halo, Harry. Masih berminat soal pinjaman itu?" 

"Halo, Johnny," sahut suara antusias di seberang. "Aku tahu. Aku tahu kau memang termasuk orang yang tak bisa melihat seorang kawan sengsara." 

"Baik. Bagaimana kalau sekarang kau menemuiku di kantor? Aku punya usul untukmu." 

Sementara menunggu Harry, Flint mengamati dirinya di balik cermin. Wajah itu begitu muram, tak pantas dimiliki seorang pebisnis, seorang salesman seperti dirinya selama ini. Bayangan wajah muram dalam cermin itu serupa dengan wajah orang yang sedang dinantinya, Harry Shipley. 

Yang ditunggu akhirnya muncul juga. Harry Shipley tampak berseri-seri ketika memasuki kamar kerjanya. Celana abu-abu dari flanel dan jas baru kotak-kotak beige dan jingga membungkus tubuhnya. Dasi yang menggantung di lehernya itu berwarna coklat dengan hiasan pemanis berupa gambar dua ayam sedang berlaga. 

"Hai, Harry, cepat sekali kau tiba di Reno?" 

"Ya, biar cepat pula aku terima AS $ 500 dari kantungmu." 

"Bisa sedikit bersabar sampai Kamis nanti?" 

"Wooow, Johnny! Jadi, kau sungguh-sungguh bermaksud ...?" 

"Begini. Minggu ini aku sibuk sekali. Aku punya tugas melakukan promosi yang mengharuskan Cii aku berada di pinggir jalan sepanjang hari. Karena itu aku perlu bantuanmu untuk menggantikan aku di kantor ini. Tugasmu cuma menjawab telepon dari luar dan beberapa tugas lain. Kalau kau tidak keberatan, saat itu juga kau kuberi selembar cek. Kau boleh mengambil beberapa ratus dolar, sisanya kembalikan padaku." 

Bagai anak kecil mendapat gula-gula, Harry melonjak-lonjak kegirangan. 

Ketika Harry hendak beranjak pergi dengan selembar cek di kantungnya, John Flint memanggilnya. "Jasmu bagus sekali, Harry. Baru, ya?" 

"Ya. Kubeli di Toko Hunt & Hunt." Harry memamerkan dasinya pula dengan bangga. "Juga dasi ini. Bagus, 'kan?" 

"Ya. Kau boleh memakainya nanti di kantor ini. Aku senang melihat pria yang berdandan rapi." 

Sepeninggal Harry, John bergegas ke toko tempat Harry membeli jas. Pelbagai macam jas terpajang di rak. Dibelinya jas berikut sebuah dasi bergambar ayam, semua persis milik Harry. Dibungkusnya setelan yang baru dibelinya, lantas disembunyikannya dalam lemari di kantornya.

 

Mengobral senyum 

Pukul 09.00 keesokan paginya Harry Shipley yang masih mengenakan setelan seperti ketika datang kemarin, kini pun datang ke kantor itu dengan senyum senantiasa tersungging di bibirnya. 

Harry mendengarkan dengan penuh perhatian waktu John menjelaskan kembali tugas-tugas yang mesti dikerjakannya. Atas petunjuk John Flint ia pergi ke sebuah toserba besar dengan membawa contoh-contoh sepatu Bonifoot model baru. 

John cepat-cepat menukar pakaiannya dengan setelan yang baru dibeli berikut dasinya. Pakaian yang tadi dikenakannya disimpan dalam lemari. Kembali ia berdiri di depan cermin. 

Raut wajahnya memang berbeda dengan Harry. Namun, wajah mereka yang sama-sama muram membuat mereka bagai dua bersaudara. Apalagi dengan pakaian yang sama seperti itu, sepintas kedua orang itu sulit dibedakan. 

Dengan membawa buku catatan dan beberapa lembar kupon. John Flint naik kereta menuju tempat yang telah ditentukannya. Di pojok jalan dekat pasar, tempat yang ditentukannya itu, ia duduk sepanjang hari, mencatat mereka yang mengenakan sepatu merek Bonifoot. 

Kupon dibagikannya kepada pemakai yang jatuh pada urutan yang berakhir dengan angka nol. Dicatatnya pula nama dan alamat yang beruntung menerima kupon-kupon itu. 

Semua berjalan mulus. Juga usahanya menarik perhatian seorang petugas polisi yang berjaga di kawasan itu dan seorang cacat penjaja koran di depan sebuah bank. Mungkin gara-gara ia sengaja mengenakan jas yang mencolok warnanya di tengah orang-orang yang lalu-lalang di sudut jalan itu. Untuk lebih menarik perhatian orang ia senantiasa tersenyum kepada siapa saja yang lewat di depannya. 

Seharian itu entah berapa kali John Flint menelepon Harry yang menggantikan tugasnya di kantor. Pukul 17.00, terakhir kali ia menelepon Harry. Kali ini cuma untuk mengatakan Harry sudah boleh pulang. 

Selesai mengetik hasil survei hari itu di kantornya, Flint melepas kembali setelan barunya, lantas disimpannya lagi ke dalam lemari. 

Begitulah kesibukannya selama empat hari sejak ia mulai melakukan pekerjaan promosi itu. Selama itu pun sikap terhadap istrinya tidak berubah. Setiap pagi masih saja ia menyiapkan sarapan buat istrinya dan dengan sabar mendandani istrinya dengan perhiasan. 

Namun, pada malam-malam menjelang tidur surat dari personalia yang belum dibalasnya itu selalu datang membayanginya. Surat itu membawanya kembali berkelana, menelusuri jalan-jalan besar penuh panorama yang disiram sang raja siang dengan sinar cerah sepanjang hari. Ia merasa tak ada kota lain di dunia ini yang keindahannya melebihi kota impiannya, Mexico City.

 

Mesti bertemu pemakai ke-100 

Kamis adalah hari kelima John melakukan promosi itu. Selesai mengantar sarapan buat istrinya, John berangkat ke kantor. Kali ini pintu dapur sengaja dibiarkannya tidak terkunci. 

Selepas pukul 09.00, Harry dengan setelan jasnya yang mencolok muncul di kantor itu. Lagi-lagi wajahnya tampak bahagia. 

"Baik, Harry, tugasmu beres?" 

"Aku rasa begitu. Semua karung di gudang sudah kuperiksa. Johnny. Apa yang telah kau lakukan terhadapku ini tidak merepotkanmu nanti?" 

"Sudahlah, jangan khawatir soal itu. Eh ... begini Harry. Hari ini aku menerima tugas lain dari pusat, yang harus segera kuselesaikan. Karena itu aku minta bantuanmu untuk melakukan survei pada hari terakhir ini. Aku yakin kau sudah hafal dengan semua model sepatu merek Bonifoot. Bagaimana, kau tidak keberatan, 

"Tentu, tentu Johnny." 

Dijelaskannya secara singkat apa yang harus dilakukan Harry di pojok jalan dekat pasar itu. 

"Hari ini mestinya kita bertemu dengan pemakai keseratus. Berikan kepadanya selembar kupon yang bisa ditukar dengan lima pasang sepatu. Jangan lupa mencatat pukul berapa kupon-kupon itu kau bagikan. Itu penting! 

Sebab soal waktu juga merupakan data penting dalam laporan hasil promosi ini. Tapi ingat, kupon-kupon itu jangan sekali-kali kau berikan kepada orang-orang yang tidak berhak menerimanya. Paham?" 

"Oke, bos. Sampai pukul 17.00, kau bilang? Beres. Berarti aku masih punya waktu untuk membawa hasil survei itu kemari, sehingga aku tak bakal ketinggalan kereta pulang!" 

Sesudah Harry pergi, John Flint menulis surat untuk kepala personalia yang isinya menerima tawaran itu. Diambilnya buku pelajaran bahasa Spanyol dari laci mejanya, kemudian ia keluar untuk makan siang. 

Sesuai dengan rencana pukul 14.30 ia pulang naik kereta listrik. Sore itu penumpangnya tak banyak, sebab saat itu memang bukan jam-jam sibuk. 

Saatnya memang semakin dekat. Namun, hatinya tidak begitu cemas, sebab dalam dirinya ada perasaan lain yang lebih kuat menguasainya. Ia merasa dirinya begitu hebat, seolah-olah tidak ada yang tak bisa dilakukannya di dunia ini. 

Di luar jendela kereta tampak sekelompok anak sedang bermain bola di pojok lapangan. Kalau mau, rasanya ia bisa melompat dari keretanya yang sedang meluncur cepat, kemudian bergabung dengan mereka. Bahkan seakan-akan ia mampu melambungkan bola itu menembus awan menggapai bulan ....

"Aku bahagia sekali ...." 

Flint sengaja turun dari kereta jauh dari tempat ia biasa turun. Diambilnya jalan yang sepi agar tak ada orang yang melihatnya pulang siang-siang seperti itu. 

Lewat pintu dapur yang tak terkunci itu, Flint menyelinap masuk ke rumahnya. Suasana sepi di dapur terasa asing baginya. Tak pernah ia pulang sesiang itu. 

Sayup-sayup terdengar musik simfoni mengalun dari tempat istrinya terbaring. Aneh juga, pikirnya. Selama ini tak pernah ia menemui istrinya mendengarkan musik klasik seperti itu. Istrinya tahu kalau Flint tidak menyukai musik semacam itu. 

Hati-hati John merayapi tangga menuju kamar istrinya. Di puncak tangga sejenak ia menghentikan langkah. Ditariknya napas dalam-dalam. Dari pintu yang terbuka di depannya, tampak suasana kamar yang temaram. 

Ketika ia melangkah masuk, hanya pendar-pendar permata yang tampak olehnya. Namun, beberapa saat saja sosok istrinya yang terbaring di ranjang tampak kian jelas. Bahkan ia pun melihat istrinya tersenyum sebelum bibir itu bersuara lembut dan hangat menyapa kedatangannya. 

"Oh, Johnny. Bahagia sekali kau datang." 

Flint datang menghampirinya. Istrinya tersenyum. Dalam keremangan kamar itu, istrinya masih saja tampak letih dan rapuh. Namun, semua itu tidak melemahkan kemauannya. 

"Oh, John, musik itu!" Tangan Amy bergerak hendak mematikan radio yang terletak di sisinya. "Aku tahu kau tidak menyukai musik itu. Tapi akhir-akhir ini, bila aku terbaring sendirian ...." 

"Biar saja, sayang. Mari, kubetulkan letak bantalmu." 

"Terima kasih, John." 

Ketika Flint menyelipkan bantal di bawah kepalanya, dengan mesra Amy mengusap-usap lengan suaminya. 

"Aku bahagia sekali, kau mau cepat pulang hari ini. Bagiku hari-hari Kamis tanpa Ny. O'Roylan seperti ini menjadi hari-hari yang terasa panjang dan sepi. Dengan kedatanganmu seperti ini, hari-hari itu takkan sepi lagi. Terima kasih atas sikap manismu ini. Aku ...." 

Kalimat itu takkan pernah selesai, sebab Flint segera membungkam mulut istrinya dengan menekankan bantal di wajahnya. Beberapa saat tubuh tak berdaya itu bergerak-gerak, kemudian berangsur lemas, dan akhirnya ....

 

Sesuai rencana 

John Flint membiarkan bantal maut itu melorot dan jatuh ke lantai. Seperti sudah berulang kali dilakukannya, cepat-cepat ia melepaskan semua perhiasan dari tubuh istrinya. Bedanya, kali ini ia tidak menyimpan barang-barang berharga itu ke dalam kotaknya, melainkan memasukkannya ke dalam kantung celananya. 

Sebentar ia berdiri mengamati sosok istrinya yang sudah tak bernapas. Lalu dari lengan yang lemas tergantung, dilepaskannya sebuah jam tangan mungil, hadiah yang diberikannya pada ulang tahun perkawinan mereka yang kesepuluh. Jarum-jarum itu menunjuk pada pukul 15.30. 

Arloji itu kemudian menemui nasib yang tak berbeda dengan pemiliknya. Entah berapa kali John membantingnya ke lantai sampai jarum-jarumnya berhenti berputar. 

Dari arloji yang sudah jadi barang rongsokan itu ia berharap, para petugas berwenang bisa memperoleh petunjuk yang tepat kapan istrinya tewas. 

Dibiarkannya arloji itu teronggok di lantai dekat ranjang. Rupanya tugas belum selesai. Laci-laci meja dan lemari ditarik-tariknya ke luar agar diperoleh kesan seolah-olah perampok masih juga mencari-cari barang berharga lainnya yang mungkin tersimpan. 

Radio yang masih saja mengumandangkan musik klasik itu dibiarkannya tetap menyala. la pun keluar meninggalkan kamar itu. 

Agar perampok terkesan masuk lewat pintu dapur, Flint sengaja merusak gerendel pintu dengan sebatang besi panjang dari gudang. Sesudah menyimpan kembali alat itu, ia menyelinap ke luar melewati halaman belakang, menuju ke tempat perhentian kereta. 

Duduk termenung dalam kereta menuju kota, John memutar kembali semua adegan yang baru saja dilakukannya dalam benaknya. Ia pun mencari-cari, jangan-jangan masih ada yang belum dilakukannya atau tak sesuai dengan rencana. 

Namun, ia tidak menemukannya. Semua beres, pikirnya. Ia hanya tinggal melenyapkan perhiasan yang ada dalam kantung celananya dan menunggu Harry membawa catatan hasil survainya hari itu. 

John Flint sengaja turun dari kereta di perhentian dekat sebuah jembatan. Sambil berjalan di tepi jembatan, dengan hati-hati dibuangnya perhiasan-perhiasan itu ke dalam sungai keruh yang mengalir di bawah jembatan itu. 

Wajahnya tidak tampak menyesal melihat barang-barang itu meluncur jatuh. Baginya, permata-permata itu merupakan masa silam yang harus dikubur dalam-dalam. 

Saat itu jam dinding di kantor Flint menunjukkan pukul 17.30. Sambil bernyanyi-nyanyi kecil Harry menerobos masuk menemui John Flint yang memang sedang menunggu kedatangannya. Tampaknya Harry gembira dan puas betul dengan hasil pekerjaannya hari itu. 

"Nih, hasilnya. Semua aku kerjakan sesuai dengan petunjukmu. Seperti nasihatmu, aku tidak menggodai gadis-gadis cantik yang lewat di depanku. Ha ... ha ...." 

Harry berdiri dekat-dekat ketika John melihat-lihat catatan hasil survei yang ditulisnya dengan pensil. Dalam catatan itu tertulis, antara pukul 14.00 - 17.00 dua orang menerima kupon untuk sepasang sepatu. Pada pukul 17.15 yang beruntung mengantungi selembar kupon khusus pemakai keseratus adalah seorang gadis. Nama dan alamat mereka dicatat Harry dengan jelas. 

"Baik sekali, Harry. Terima kasih banyak." 

"Enggak salah, nih? Mestinya 'kan aku yang bilang terima kasih. Jangan bercanda, Johnny. Kaulah yang justru telah menyelamatkan kehidupan seorang kawan, aku. Itu yang kaulakukan."

 

Suami teladan 

Ketika John kembali membuka-buka catatan itu, ia merasa amat puas. Ia telah melakukannya dan segalanya berjalan sesuai dengan rencana yang matang disusunnya. Yang lebih penting lagi, ia berhasil menciptakan alibinya berikut saksi-saksi yang meyakinkan, yaitu para penerima kupon. 

Oh, ya, siapakah nama wanita penerima kupon khusus lima pasang sepatu? Dibukanya lagi catatan Harry: Nn. Carmen Gonzales, 1374 Pine Street. 

Nama itu terus saja mengiang di telinganya waktu John mengetik data yang dikumpulkan Harry. Selesai mengetik, lantas dibakarnya semua kertas berisi data yang dihimpun Harry. 

Kini ia merasa segalanya beres. John pulang dengan membawa bungkusan berisi setelan barunya. 

Tiba di rumah, John tidak lagi masuk lewat pintu dapur, melainkan lewat pintu depan. Radio itu masih tetap menyala. Ia terus saja naik ke lantai atas. Tanpa sedikit pun melirik ke sosok yang terbujur diam di pembaringan di kamar itu, ia membuka bungkusan berisi pakaian yang lalu digantungkannya dalam lemari. 

Bekas pembungkus itu kemudian disembunyikannya di gudang bawah tanah. Ia pun bergegas menuju ke meja telepon di ruang tengah. Suaranya terdengar gugup ketika ia menelepon polisi. 

Tiba-tiba terpikirlah olehnya untuk menemui Ny. Roseway. Ini memang di luar rencananya. Ny. Roseway itu tetangga dekat mereka. Orangnya begitu baik, lebih-lebih kepada istrinya, Amy. Ia suka membawakan Amy kue bikinannya. Bahkan kalau John sedang keluar kota, Ny. Roseway sering kali menemani istrinya hingga larut malam. 

John bergegas menuju ke rumahnya. Setelah pintu diketuk, muncullah seorang wanita setengah baya bertubuh sintal, tetapi ramah itu. John tergagap ketika berbicara kepadanya. "Cepat, tolonglah saya! Entah kenapa istri saya. Mengerikan sekali, Ny. Roseway!" 

Ny. Roseway duduk di sisi Flint ketika polisi tiba. Sementara John Flint duduk termenung, Ny. Roseway mengantar polisi ke lantai atas. Sewaktu para polisi dan beberapa detektif sibuk dengan tugas mereka, Ny. Roseway tak sekali pun beranjak dari sisi Flint. 

Ia mencoba membesarkan hati John Flint dan menghiburnya. Wanita itu membenarkan ketika polisi menanyakan kebiasaan Amy memakai perhiasan di tempat tidur, dan kini semua perhiasan itu lenyap. 

Ketika giliran John ditanyai polisi, Ny. Roseway menambahkan bahwa John Flint itu seorang warga yang layak jadi panutan. la begitu setia pada istrinya. Orang-orang yang tinggal di kawasan itu pun menaruh hormat kepadanya. 

Pak inspektur menghargai sekali kesaksian Ny. Roseway. Barangkali untuk menyenangkan hati wanita itu, pak inspektur pun jadi bersikap ramah kepada John. Bagaimanapun John tetap diminta ikut ke markas polisi setelah penyelidikan di rumah itu selesai. 

"Kasus ini jelas merupakan kasus perampokan. Kami pun bisa membuktikan bahwa Anda berada di tempat lain ketika peristiwa itu terjadi. Tetapi akan lebih baik kalau kami boleh memeriksa pula laporan hasil survai yang Anda lakukan itu. 

Kami perlu kesaksian orang-orang yang nama dan alamatnya Anda katakan tercantum dalam laporan itu. Bukankah kesaksian mereka akan lebih menguatkan alibi Anda?" 

"Oh, tentu saja," ujar Flint yakin.

 

Duduk dengan santai 

Dari berkas laporan itu diketahui tercatat nama tiga orang penerima kupon pada saat-saat sekitar terjadinya perampokan. Segera setelah tiba di markas polisi, inspektur memerintahkan sejumlah petugas untuk menjemput ketiga orang tersebut. John Flint menyarankan pula untuk memanggil petugas polisi yang saat itu bertugas di persimpangan jalan dekat pasar itu dan penjaja koran yang cacat itu. 

Polisi dan penjaja koran yang dimaksudkan John tiba di markas polisi lebih dulu. Kedua orang itu memperhatikan John yang duduk di seberang meja inspektur. 

"Ya," ujar polisi itu. "Saya melihat Bapak ini berada di sekitar tempat saya bertugas dan selama seminggu itu melakukan penelitian atau entah apa namanya." 

"Ya, benar," jawab si penjaja koran dengan mantap. "Saya melihatnya setiap hari." 

Dari ketiga penerima kupon itu, yang muncul pertama kali di hadapan inspektur adalah seorang ibu tua yang agaknya tidak biasa berurusan dengan polisi. Atas petunjuk pak inspektur, wanita gaek itu dengan saksama mengamati John, lalu katanya, "Ya, betul. Bapak ini yang memberi saya kupon. Saya masih ingat dengan jas yang dipakainya ini. Apakah saya dibawa kemari karena ada yang tak beres dengan kupon itu? Saya belum menukarkannya, tetapi saya akan ...." 

"Tidak, Bu. Tak ada yang keliru dengan kupon itu." Sebentar pak inspektur melihat pada berkas laporan dari John itu. "Dalam daftar itu tercatat Ibu menerima kupon dari Pak John ini pada pukul 14.10. Benar?" 

"Benar, Pak. Saat itu saya baru mau masuk ke toko membeli kain wol dan ...."

"Baik, Bu, cukup. Terima kasih atas keterangannya." 

Penerima kupon yang kedua adalah seorang pria muda yang tampaknya periang dan pintar bergaul. Kesaksiannya bahkan lebih memuaskan daripada wanita tadi. 

"Saya yakin, sebab saya ingat betul dengan dasi yang dipakainya. Bagus sekali memang. Saya jadi tertarik untuk membeli dasi seperti itu." 

Sampai saat pria muda itu selesai memberikan keterangannya, Nn. Carmen Gonzales, saksi terakhir dari ketiga orang tersebut belum muncul. Sementara itu John Flint terlihat enak-enak duduk bersandar di kursinya. 

Ternyata gambarannya selama ini keliru. Sebelum ini ia mengira suasana markas polisi itu begitu keras dan menyeramkan. Ternyata tidak. Para polisi begitu ramah dan suasana markas itu begitu menyenangkan. 

 

Macan lapar 

Setengah jam kemudian muncullah Nn. Gonzales bersama seorang polisi yang menjemputnya. Gadis itu muda dan cantik. 

"Betulkah Anda Nn. Carmen Gonzales dan tinggal di 1347 Pine Street?" tanya inspektur kemudian. 

"Betul, Pak. Tapi maaf. Ada apa sebenarnya? Mengapa saya dibawa kemari? Apa salah saya?" 

"Nona tak perlu takut," kata inspektur mencoba menenangkan hatinya. "Kami hanya mau minta sedikit keterangan dari Anda. Apakah Anda menerima selembar kupon untuk mengambil lima pasang sepatu merek Bonifoot?" 

Demi mendengar pertanyaan itu, kedua pipi gadis hitam manis itu tampak bersemu merah. "Kupon itu belum saya gunakan, pak inspektur. Saya bersedia mengembalikannya." 

"Tidak perlu, Nona." 

Tiba-tiba gadis itu memutar tubuhnya menghadap John Flint. Sambil memegang kedua lengan pria yang dihadapinya itu, ia pun berkata, "Oh, Pak Flint. Anda betul Pak Flint, tukan? Maafkan saya. Anda sungguh baik. Harry sudah menceritakan semuanya. Juga soal pinjaman itu. Saya mengerti, tidak semestinya kami berbuat begitu." 

Wajah cantik itu semakin dekat saja ke wajah Flint. Kata gadis itu kemudian, "Sebenarnya saya juga mengingatkan Harry agar jangan melakukan itu, sebab itu sama saja dengan mencuri. Tetapi dia pikir Anda tidak akan merasa keberatan. Ia memang mengatakan kupon itu hanya untuk pemakai sepatu Bonifoot yang keseratus. Tetapi diberikannya juga pada saya.” 

“Katanya, sepatu sebanyak itu kalau dijual bisa laku lebih dari AS $ 80. Pak Flint tahu, untuk membeli gaun pengantin dan biaya hidup bersama Harry di kota ini kami perlu uang. Sekali lagi, saya minta maaf. Mestinya kami tidak berbuat begitu. Oh, Pak Flint, saya percaya Anda tidak akan menuntut Harry. Saya mohon, Harry jangan dijebloskan ke penjara!" 

Bagai disambar petir di siang bolong, John mendengar serentetan kata yang meluncur dari mulut gadis cantik itu. Segala usaha yang telah dilakukannya selama ini runtuh sekejap cuma di tangan gadis manis itu. Lenyap sudah segala impiannya. 

"Harry???" gumam inspektur tak mengerti. "Siapa dia?" 

"Calon suami saya, Pak. Pak Flint tersebut sungguh bermurah hati. la meminjami Harry uang untuk biaya perceraian dengan istrinya. Selain itu Harry diberi pula pekerjaan. la diminta menggantikan Pak Flint siang tersebut untuk melakukan survei di jalan itu. Harry segera menemui saya dan bilang, kalau saya mau menemaninya di tempat itu, dia akan menghadiahi saya kupon itu. la ...." 

Di mata John Flint gadis itu tampak bagaikan macan lapar yang siap meremukkan kepalanya, sebab kesaksiannya membuat John Flint ditangkap dengan tuduhan membunuh istrinya.

(Q. Patrick)

 

" ["url"]=> string(67) "https://plus.intisari.grid.id/read/553305681/istrinya-suka-bersolek" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1654266178000) } } [16]=> object(stdClass)#182 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3133934" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#183 (9) { ["thumb_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/08/surat-gadai-yang-memberi-kepasti-20220208072539.jpg" ["author"]=> array(1) { [0]=> object(stdClass)#184 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(10) "Tom Tullet" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9391) ["email"]=> string(20) "intiplus-34@mail.com" } } ["description"]=> string(149) "Detektif yang menyelidiki pembunuhan ini benar-benar niat menemukan si pelaku dengan memeriksa ratusan ribu kartu sampel. Hingga akhirnya ditemukan. " ["section"]=> object(stdClass)#185 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/08/surat-gadai-yang-memberi-kepasti-20220208072539.jpg" ["title"]=> string(34) "Surat Gadai yang Memberi Kepastian" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-08 19:29:03" ["content"]=> string(19820) "

Intisari Plus - Dering telepon pukul 04.00 itu membangunkan John Capstick. Yang meneleponnya Kepala Polisi Blackburn C.G. Looms. Inspektur Kepala Capstick yang memimpin Bagian Perburuhan diminta menangani satu kasus pembunuhan di Lancashire. Korban bernama June Anne Devaney yang umurnya tiga tahun sebelas bulan. Dia direnggut dari boksnya di Queen's Park Hospital.

Capstick menelepon Sersan Stoneman supaya mereka bertemu di Euston untuk naik kereta api pukul 06.20. Karena harus mampir di Scotland Yard, Capstick juga mengambil murder teg-nya (tas yang berisi peralatan untuk penyelidikan pembunuhan). 

Dengan kumis dan janggut yang belum tercukur serta mata yang masih berat, kedua detektif itu akhirnya hampir sepanjang perjalanan ke Preston tertidur dan tahu-tahu sudah sampai di Blackburn waktu makan siang. Kepala Polisi Looms cepat menjelaskan fakta yang diperoleh.

 

Pak Inspektur menangis

June Anne Devaney masuk ke rumah sakit pada tanggal 5 Mei sebab menderita radang paru-paru ringan. Dia ditempatkan di ruang CH 3. Ruangan itu berisi dua belas tempat tidur, tapi saat itu yang ada hanya enam pasien. 

Semuanya lebih muda daripada June Anne dan dia satu-satunya yang sudah bisa berbicara. Dia kelihatan seperti sudah berumur enam atau tujuh tahun. Karena kesehatannya sudah pulih, dia diperbolehkan pulang tanggal 15 Mei pagi hari.

Tragedi malam tanggal 14 Mei perawat Gwendoline Humphreys mendengar suara bayi menangis di satu ruangan. Dia segera mengganti popok bayi itu dan berjalan-jalan di ruangan supaya tidur. Lalu meletakkannya kembali di boks sebelah tempat June Anne yang saat itu sudah tidur. Waktu menunjukkan pukul 00.20.

Sepuluh menit kemudian perawat ini mendengar suara seorang anak perempuan. Dia mengira seorang perawat lain sedang mempermainkannya. Dia melongokkan kepala ke sekelilingnya, tapi tak dilihatnya seorang pun, lalu ia kembali ke pekerjaannya semula.

Pukul 01.00 dia kembali ke ruangan tersebut untuk melihat pasien-pasiennya. Pintu masuk dan keluar ruangan itu sudah terbuka, angin kencang berembus di antaranya. Pintu itu ditutup tidak sempurna. Gwendoline tak menaruh curiga apa-apa. Pintu ditutup lagi dan dia melanjutkan inspeksinya.

Saat itulah Gwendoline melihat tempat tidur June Anne kosong. Dicarinya ke sal sebelah dan kamar mandi. Tak ada. Lalu ditanyakan pada suster yang jaga malam. Berdua mereka mencari-cari di ruangan lain. Sebuah botol Winchester berisi air steril ada di lantai di bawah boks June Anne. 

Biasanya pada pukul 11.30 selalu ditaruh di kereta dorong, di tempat lain. Lalu di salah satu ruangan yang dipel mengkilap tampak sederetan tapak kaki yang kelihatan tak memiliki alas. Tapak kaki itu nampak juga dekat boks June Anne. Segera kedua perawat itu memanggil polisi.

Pukul 03.17 tubuh gadis cilik itu ditemukan dekat tembok batas arena rumah sakit. Luka di kepalanya sungguh mengerikan dan jelas pembunuhan ini bermotifkan seks.

Letak Queen's Park Hospital 1 mil dari pusat Kota Blackburn dengan luas meliputi beberapa are dan dikelilingi tembok setinggi hampir 3 m. Ujung jalan rumah sakit menuju jalan besar. 

Sebuah pagar tanaman buah berangan memisahkan rumah sakit dari sebuah taman besar dan lubang galian batu yang sudah tidak dipakai lagi yang disebut "dell". Hujan mulai turun rintik-rintik ketika Capstick dan Stoneman beranjak ke luar dari kendaraan mereka dan menunggu sampai kain putih penutup mayat itu diangkat.

Mengenai saat itu Capstick mencatat: "Saya tidak malu mengakui bahwa saya menyaksikannya dengan mata yang kabur oleh air mata. Setelah bertahun-tahun, pekerjaan seorang detektif mengebalkan hati saya terhadap banyak hal yang mengenaskan, tetapi tak ada lelaki mana pun yang tahan melihat badan yang kecil rapuh ini bersimbah darah dan lumpur. Ini terus menghantui saya sampai hari ini."

 

Sidik jari di botol

Mayat itu dipindahkan dan Capstick pergi ke sal bekas tempat June Anne tidur. Inspektur Detektif Colin Campbell, kepala Biro Sidik Jari dari Lancashire, sudah selesai mengambil foto-foto sidik jari yang terdapat di antara boks-boks putih. 

Dia menunjuk pada botol Winchester, di mana dia menemukan lebih dari dua puluh sidik jari dan telapak tangan. Kelihatannya ada yang baru. Di antara sidik-sidik baru ada beberapa di antaranya yang jauh lebih besar.

Sudah sejak pukul 05.00 Campbell berada di rumah sakit dan memeriksa bagian luar dan dalam rumah sakit serta semua barang dan alat perlengkapan. 

Agak susah merekam telapak kaki. Untuk memperjelas, di atas lantai ditaburkan beberapa macam bubuk. Tetapi karena dilihatnya tak ada hasil, maka tiap jejak dilingkari kapur putih dan difoto dengan menempatkan di sebelahnya penggaris 15 inci.

Penyidikan dilakukan mulai dari pintu di ruang sebelah utara, lalu menuju boks-boks, selanjutnya ke pintu selatan dan kembali lagi ke Utara. Banyak terdapat sidik jari di sebelah boks June Anne yang menandakan si pembunuh sudah agak lama berdiam di situ. 

Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa sidik jari bukan berasal dari kaki telanjang, tetapi kaki dengan memakai kaus kaki panjang (stocking). Sebelah di antaranya memperlihatkan dengan jelas pabrik mana yang membuatnya.

Semua sidik jari staf yang ada di ruangan itu diambil dan dibandingkan dengan yang ada di botol. Bekas-bekas yang masih baru itu tak ada di antara sidik mereka. Campbell yakin bahwa sidik jari dan kaki itu milik sang pembunuh. 

Pukul 14.00 keesokan harinya diketahui bahwa dengan perkecualian sepuluh sidik jari di dalam dan luar ruangan berasal dari orang-orang yang berhak masuk ke situ.

Sebuah tim lain yang terdiri atas Inspektur Kepala Wilfred Daws dan Sersan Millen datang memperkuat tim Lancashire. Capstick memerintahkan penyelidikan di setiap rumah penginapan, hotel, tempat-tempat minum atau rumah penginapan untuk orang miskin di Blackburn. 

Dia sendiri mengecek di stasiun kereta api serta mengirimkan anak buahnya ke tempat-tempat pencelupan baju, binatu, dan pencuci pakaian untuk meneliti kalau-kalau ada pakaian yang menunjukkan bekas-bekas darah. Suatu tim yang terdiri atas detektif harus mengambil sidik jari semua laki-laki yang berusia antara 14 - 90 tahun yang bertempat tinggal di jalan-jalan sekitar rumah sakit.

Ini merupakan suatu pekerjaan nonstop. Lebih dari seribu pasang sidik jari diambil dari orang-orang yang punya pekerjaan atau sangkutan dengan rumah sakit itu, mulai dari dua tahun yang lalu. 

Noel Jones, seorang ahli biologi pada Laboratorium Forensik Presten, berhasil mendapatkan rambut di atas rumput yang berbercak darah di tempat kejadian. Dia juga mendapatkan contoh-contoh rumput yang berbercak darah, rambut, dan serat-serat pada tembok di dekat mayat itu ditemukan. Contoh rambut, darah, pakaian, dan kuku June Anne diambil. Golongan darahnya adalah A, yang nantinya akan mempunyai peran penting dalam menemukan si pembunuh.

 

Sidik jari walikota ikut diperiksa

Capstick mengirimkan Inspektur Detektif Bob McCartney dari kepolisian setempat untuk mengumpulkan keterangan dari setiap orang yang bekerja di rumah sakit, yang ternyata membuahkan hasil. 

Dua perawat mengatakan, mereka disapa oleh seorang lelaki pada malam kejadian. Laki-laki itu bersikeras ingin mengantar mereka ke asrama perawat. Sesudah itu laki-laki tersebut terlihat menempelkan mukanya pada jendela kamar tidur mereka. Lelaki itu tampak seperti orang kurang waras. Langsung Capstick memerintahkan untuk menangkapnya.

Dengan ditemani kedua perawat itu para detektif menelusuri gedung-gedung bioskop, teater, tempat-tempat pacuan anjing, lapangan sepakbola di Blackburn, tetapi jejak laki-laki itu tak dapat ditemukan. 

Sampai terjadi suatu kejadian yang sangat kebetulan. Seorang dari kedua perawat itu melihatnya duduk di tempat tidur seorang pasien wanita. Dia segera dibawa ke hadapan Capstick untuk diinterogasi.

Dalam jam-jam kejadian dia mengaku sedang berada di sekitar halaman rumah sakit, mengintip para perawat. Laki-laki ini dibebaskan, tetapi tetap berada di bawah pengawasan sampai pembunuh yang sesungguhnya tertangkap.

Penyelidikan lebih jauh dari sidik jari tangan dan kaki menunjukkan bahwa yang mengangkat June Anne dengan begitu mudahnya melewati penyekat sal adalah seseorang yang berbadan tinggi. Dari sidik jarinya disimpulkan laki-laki tersebut bertangan besar. 

Mungkin usianya masih muda dan bukan seorang pekerja kasar. Ukuran tapak kakinya yang kirakira 25,4 cm cocok dengan teori bahwa laki-laki itu mempunyai tinggi badan kurang lebih 183 cm. Diperkirakan dia orang setempat, karena mengenal baik liku-liku rumah sakit dan tanah yang mengelilinginya.

Sekarang kesabaran Capstick sudah habis. Dia tidak menginginkan kejadiaan ini menjadi basi dan masyarakat menjadi acuh tak acuh. Dalam sebuah konferensi dengan kepala kepolisian dia mengemukakan keputusannya: kita akan mengambil sidik jari setiap laki-laki di Blackburn dan sekitarnya yang berusia antara 14 - 90 tahun. Siapa pun, kecuali mereka yang benar-benar tidak mampu turun dari tempat tidur.

Idenya dianggap berlebihan. Betapa tidak, di kota itu hidup 123.000 orang. Boleh jadi mereka tidak mau diajak bekerja sama. Tetapi Capstick bersikeras.

"Mungkin makan waktu bertahun-tahun," katanya, "tapi pasti berhasil. Pembunuh itu takkan bisa lolos. Untuk masalah bekerja sama, saya percaya semua laki-laki dan perempuan yang berakal sehat di Blackburn ini akan setuju 100%."

Kemudian dia membuka kartu trufnya. "Saya akan meminta walikota sebagai orang pertama yang memberikan sidik jarinya," ucapnya.

Kesediaan walikota ini disebarluaskan. Blackburn dibagi menjadi dua belas seksi yang berpangkalan di masing-masing kantor polisi. Tiga puluh petugas bekerja 14 jam sehari, dari pukul 08.00 - 22.00, mengunjungi setiap rumah. Mereka membawa kartu khusus lengkap dengan catatan untuk nama, alamat, nomor penduduk, cap jempol kiri dan jari-jari telunjuk. 

Kartu-kartu yang sudah berdata lengkap disimpan secara sistematis pada beberapa baki kayu dan dicek oleh satu tim yang terdiri atas lima orang polisi laki-laki dan lima orang polisi wanita. Lalu dikirimkan ke Biro Penyidikan.

Sementara itu sidik-sidik jari pembunuh difotokopi dan dikirimkan ke setiap kantor polisi di Inggris yang memiliki biro penyidikan. Capstick minta perhatian setiap unsur Angkatan Bersenjata Inggris untuk berjaga-jaga akan kemungkinan adanya pembunuh di antara anggota mereka. 

Semua pasien penderita cacat mental yang diketahui berada di luar rumah sakit malam itu dan gelandangan, penderita schizophrenia dan semua orang yang diketahui mengidap penyakit sosial semuanya masuk jaring polisi.

 

Memeriksa kartu ransum

Ribuan sidik jari mengalir sampai tiba masa liburan yang disebut Wakes Week. Seluruh Blackburn dan sekitarnya berlibur. Orang-orang Scotland Yard bersikeras agar Capstick dan Millen berlibur saja, supaya tidak usah membatalkan rencana liburan yang sudah dibuat sebelum terjadi pembunuhan. 

Waktu akan berangkat ke Pevensey Bay, Capstick dikunjungi oleh Inspektur Bill Barton, seorang inspektur setempat yang mendapat tugas mengecek nama-nama dari daftar orang yang berhak ikut pemilihan umum. Dia berpendapat bahwa sang pembunuh itu sendiri rasanya lolos dari jaringan. 

Menurutnya, kalau dia seorang laki-laki yang masih muda, mungkin dia seorang tentara, sehingga tidak terdapat dalam daftar orang-orang yang berhak memiliki. Capstick mengusulkan agar kartu ransum diperiksa. Pada tahun-tahun seteiah perang, makanan dan pakaian dijatah dan kebetulan baru keluar buku ransum baru.

Sekitar 200 orang, kebanyakan tentara, terlibat dalam pengecekan baru. Baru satu jam Capstick berada bersama istri dan keluarganya di tempat liburan, telepon berdering. Terdengar suara Kepala Polisi Blackburn, Looms, yang bersemangat, "Datanglah segera, kami berhasil menemukannya!"

Memang tidak mudah menjalani hidup sebagai seorang detektif, terutama bagi istri dan keluarganya. Tetapi tak ada juga detektif yang tak ingin kebagian kasus pembunuhan. Capstick mengontak Millen yang saat itu sedang berlibur di Herne Bay. Mereka berdua langsung bergabung di London, lalu memulai perjalanan pulang ke Utara.

Calvert dan Lamb, dua agen polisi, mendatangi sebuah rumah di Birley Street, Blackburn, dan mengambil sidik jari seorang laki-laki yang namanya Peter Griffiths, seorang bekas tentara pengawal. Tingginya sekitar 183 cm, usianya 22 tahun.

Sekitar pukul 15.00, tanggal 12 Agustus, Inspektur Detektif Campbell dan anak buahnya mengadakan pengecekan kartu-kartu sidik jari terbaru dan seorang dari para ahli itu melihat sidik jari yang sudah lama mereka cari-cari. Tiba-tiba ia berseru, "Kita menemukannya! Ini dia!"

 

Si Jangkung

Sebelum pukul 21.00 itu Capstick, Millen, dan Barton diantarkan ke Birley Street dengan kendaraan. Mereka berhenti di sebuah rumah bertembok bata merah, letaknya di sebuah daerah Blackburn yang paling miskin. Capstick tidak berkurang kewaspadaannya. Para anak buahnya yang muda-muda ingin langsung menahan Griffiths, tetapi lain halnya dengan Capstick. Detektif ini ingin menangkap Griffiths di jalan.

"Dia tak bisa bikin yang aneh-aneh di sana," kata Capstick. "Pelan ... pelan ... kita tangkap dia!"

Lima belas menit kemudian pintu depan rumah tersebut membuka. Seorang pemuda tinggi langsing muncul dan melangkah ke arah jalan. Dia mengenakan overall ("celana montir") dengan kemeja yang terbuka lehernya, seperti umumnya orang-orang yang mendapat kerja malam.

Capstick mencekal lengannya dan mengizinkan anak buahnya menyatakan kalimat-kalimat resmi yang harus diucapkan dalam penahanan. Kata Inspektur Barton, "Kami polisi dan saya akan menahan Anda dengan tuduhan membunuh June Anne Devancy di RS Queen's Park pada tanggal 14 - 15 Mei malam tahun ini. Saya ingatkan, apa pun yang Anda katakan akan ditulis dan dijadikan bukti."

Mobil polisi kembali meluncur ke jalan raya. Capstick mengambil tempat duduk di belakang bersama Griffiths, yang setibanya di kantor polisi berucap, "Karena sidik jari saya Anda mendatangi saya?"

Capstick mengingatkannya lagi bahwa kata-katanya bisa dijadikan bukti dan Griffiths menjawab, "Ya."

"Baiklah, kalau memang sidik yang ada pada botol itu sidik saya, saya akan menjelaskannya pada Anda." Kemudian dia membuat pernyataan dan mengakui segalanya, termasuk bagaimana dia membenturkan kepala anak kecil itu ke tembok karena menangis.

Sersan Millen menulis semua pernyataan tersebut, sedangkan Capstick mengajukan pertanyaan. Setelah itu kedua detektif tersebut pergi ke rumah orang tua Griffiths. Mereka orang-orang yang jujur, suka bekerja keras. Orang-orang lanjut usia ini menjadi patah hati mendengar tragedi ini. Mereka terus berdiam diri sementara para detektif memeriksa pakaian Griffiths.

 

Surat gadai

Ketika akan meninggalkan rumah itu, ibu Griffiths menyerahkan sebuah surat gadai untuk sebuah setelan pakaian yang telah digadaikan Griffiths sebesar 30 shillings dan 8 pence. Pakaian ini memang menentukan nasibnya, karena ternyata kemudian pada pakaian tersebut petugas menemukan serat yang cocok dengan yang terdapat pada badan June Anne. Bercak darah pada setelan pakaian itu terbukti darah June Anne pula.

Peter Griffiths seorang yang suka menyendiri, bersifat acuh tak acuh dan punya reputasi tidak baik di AD. Dia seorang pemabuk berat dan tak pernah bisa lama berkawan dengan pria maupun wanita.

Hanya dibutuhkan tempo 20 menit bagi para juri untuk mengambil keputusan bahwa Peter Griffiths bersalah. Dia dihukum gantung di Penjara Walton, Liverpool, tidak jauh dari tempat kelahiran Capstick. 

Capstick selalu curiga, siapa tahu Griffiths pula yang harus bertanggung jawab atas kematian Jack Quentin Smith, seorang anak sekolah berumur 11 tahun yang ditikam dan digebuki sampai tewas dua bulan sebelum ini dekat jalan kereta api di Farnworth, Lancashire, meskipun memang tak pernah ada bukti-bukti.

Menurut teman Jack, David Lee yang berusia 9 tahun dan yang berhasil kabur ke rumah dengan luka-luka di perut serta dada, penyerang mereka adalah seorang pria muda jangkung bermata dalam dan wajahnya berbercak-bercak. Dua tahun sebelumnya Patricia McKeon (9) diserang pria jangkung langsing, bermata dalam. Sebelum itu Sheila Fox yang berumur 6 tahun lenyap.

Betapapun, polisi lega karena setelah Peter Griffiths ditangkap tak lagi terjadi pembunuhan anak-anak kecil. (Tom Tullet)

 

" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553133934/surat-gadai-yang-memberi-kepastian" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1644348543000) } } [17]=> object(stdClass)#186 (6) { ["_index"]=> string(7) "article" ["_type"]=> string(4) "data" ["_id"]=> string(7) "3124211" ["_score"]=> NULL ["_source"]=> object(stdClass)#187 (9) { ["thumb_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/02/03/kitty-senang-pergi-ke-dukunjpg-20220203121941.jpg" ["author"]=> array(2) { [0]=> object(stdClass)#188 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(15) "Charles Boswell" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9357) ["email"]=> string(19) "intiplus-2@mail.com" } [1]=> object(stdClass)#189 (7) { ["twitter"]=> string(0) "" ["profile"]=> string(0) "" ["facebook"]=> string(0) "" ["name"]=> string(14) "Lewis Thompson" ["photo"]=> string(0) "" ["id"]=> int(9358) ["email"]=> string(19) "intiplus-3@mail.com" } } ["description"]=> string(143) "Suami bersekongkol dengan seorang dukun kepercayaan untuk membunuh istrinya. Motif pembunuhan adalah untuk menguasai perusahaan milik istrinya." ["section"]=> object(stdClass)#190 (7) { ["parent"]=> NULL ["name"]=> string(8) "Kriminal" ["description"]=> string(0) "" ["alias"]=> string(5) "crime" ["id"]=> int(1369) ["keyword"]=> string(0) "" ["title"]=> string(24) "Intisari Plus - Kriminal" } ["photo_url"]=> string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/02/03/kitty-senang-pergi-ke-dukunjpg-20220203121941.jpg" ["title"]=> string(27) "Kitty Senang Pergi ke Dukun" ["published_date"]=> string(19) "2022-02-03 12:20:20" ["content"]=> string(28785) "

Intisari Plus - Catherine M. Ging yang biasa disebut Kitty memiliki sebuah toko pakaian di Syndicate Block, di tengah Kota Minneapolis. Pakaian-pakaian wanita yang dijual di tokonya bukanlah kelas murahan, sebab didatangkan dari New York dan bahkan Paris.

Setiap hari, Kitty yang berumur 29 tahun itu berjalan kaki ke tokonya. Senang juga kaum pria melihat Kitty, sebab wanita langsing itu pandai memilih pakaian yang pantas. Pulangnya ia berjalan kaki juga ke Ozark Apartments yang termasuk mewah di Thirteenth Street, yang berpotongan dengan Hannepin Avenue.

Di sana ia tinggal berdua saja dengan kemanakannya, Mary Louise Ireland, yang berumur belasan tahun. Ia bertugas menjaga gadis itu. Namun, menurut orang-orang yang mengetahui keadaan mereka, Mary Louise mungkin lebih pantas mendapat tugas menjaga bibinya daripada sebaliknya.

Kitty tinggal di apartemen 4-B. Beda selantai dengan apartemennya, di apartemen 3-C, tinggallah seorang pria muda yang bernama Harry Hayward, yaitu tunangan Kitty. Konon kalau Mary Louise sudah tidur, Harry dan Kitty sering melakukan pertemuan intim. Harry itu putra seorang kaya pemilik Ozark Apartments.

 

"Jangan beri tahu Pak Hayward"

Hari Senin, tanggal 3 Desember, menjelang magrib Kitty mengirim pesan dari tokonya kepada George Goosman, pemilik Palace Livery Stables, untuk memesan kereta kuda. Maklum ketika itu tahun 1894, belum ada taksi. Kereta kuda itu diminta menunggu Kitty di pintu samping West Hotel, hotel terbesar dan termewah di Minneapolis, pada pukul 20.00.

Goosman kenal baik dengan Kitty, kemanakannya, maupun Hayward. Kitty dan Hayward sering menyewa kereta dari Goosman dan merupakan pelanggan yang ia sukai.

Menjelang pukul 20.00, Goosman memilih salah sebuah keretanya yang paling enak dikendarai. Pada kereta itu dipasangnya Lucy, kuda betinanya yang berwarna coklat muda dan sangat jinak. Goosman membawa sendiri kereta itu ke West Hotel.

Kitty sudah menunggu. Ia kelihatan cantik dalam pakaiannya yang terbuat dari taffeta biru. Goosman merasa heran, karena Kitty sendirian. Biasanya kalau Kitty memesan kereta, Hayward selalu mendampinginya. Namun sebagai layaknya orang yang menyewakan kereta, Goosman tahu sopan santun. Ia tidak usil bertanya-tanya.

Ia menolong Kitty naik ke kereta, memasangkan selimut menutupi pangkuan dari kaki Kitty, lalu menyerahkan tali kekang.

"Semuanya beres, Nona Ging?"

"Beres, Pak Goosman. Terima kasih."

Sebelum berangkat, Kitty tahu-tahu berkata begini:

"Pak Goosman?"

"Ya?"

"Kalau Anda bertemu Pak Hayward, harap jangan beri tahu kalau saya bepergian malam ini."

"Tentu tidak, Nona Ging."

"Anda bisa dipercaya, Pak Goosman?"

"Tentu.”

Goosman menyaksikan kereta berangkat dan lenyap di Fifth Street. Di rumahnya Goosman bertanya-tanya dalam hati: "Apakah Kitty mempunyai pacar lain, di samping Harry Hayward? Ah, peduli amat dengan urusan orang lain!" pikirnya kemudian.

Dua jam kemudian, pukul 22.00, Lucy kembali menghela kereta yang tidak bersais. Tubuh Lucy penuh keringat. la datang dari arah Nicollet Avenue dan masuk ke Grant Street sebelum berbelok ke kediamannya.

"Whoa, Lucy!" sambut Goosman.

la menangkap tali kekang Lucy, lalu menenangkan kuda itu. Dilihatnya tali kekang itu diikatkan ke tempat menaruh cemeti. Ke mana Kitty dan mengapa ia begitu lalai membiarkan Lucy pulang sendirian? Goosman tidak tahu. Ia menyikat tubuh Lucy, menyelimutinya, dan membawanya ke istal.

Kini giliran kereta yang harus dirawatnya. Tiba-tiba Goosman terkejut, karena di bantalan tempat duduk dilihatnya darah, begitu pula di permadani penutup lantai dan di langit-langit kereta. Ia segera bergegas ke markas besar polisi Minneapolis.

 

Ditembak di belakang telinga

Letnan Thomas Cockran dari biro penyidikan, mendengarkan cerita Goosman dengan saksama. Ia segera menarik kesimpulan bahwa keretanya itu ada hubungannya dengan laporan yang ia terima sebelumnya.

Sebelum kedatangan Goosman itu, Letnan Cockran mendapat laporan sebagai berikut:

Seorang karyawan di Kota Minneapolis, William Erhardt, keluar dari tempat bekerja pukul 20.15. Ia naik kereta rel sampai terminal di batas kota, lalu meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki ke rumahnya di Excelsior Road, dekat Danau Calhoun. 

Kira-kira pukul 21.00, ketika ia berjalan di tempat sepi di tepi danau, dilihatnya sebuah kereta kuda meluncur ke arah kota. Kereta itu ditarik kuda berwarna coklat muda. Kendalinya dipegang seorang pria. Karena malam itu gelap sekali, sedangkan kereta itu begitu cepat larinya, ia tidak bisa melihat wajah pria pengendara kereta itu.

Kira-kira 40 m dari tempatnya bertemu dengan kereta, ia melihat seorang wanita bermantel bulu tergeletak di tengah jalan.

Erhardt memberanikan diri mendekat. Wanita itu masih muda dan tubuhnya masih hangat, tetapi sudah tidak bemapas lagi. Ia mengira wanita itu tewas tergilas kereta yang tadi kabur, karena ada bagian tubuhnya yang berdarah. Jadi, cepat-cepat ia pergi ke tempat Sheriff Eric Holmberg.

Mayat wanita itu dibawa ke tempat penyimpanan mayat di Minneapolis untuk diperiksa oleh Coroner Willis Spring, yang menyatakan wanita itu bukan tewas digilas kereta, melainkan ditembak di bagian belakang telinga kirinya. Alat penembaknya mungkin revolver .38.

Mereka tidak tahu siapa wanita itu. Melihat pakaiannya yang bagus dan mutakhir, perhiasaan, dan topinya yang terbuat dari kulit halus, mestinya ia wanita kota.

Letnan Cockran menunggu sampai Goosman selesai bercerita, lalu berkata, "Dari penjelasan Anda, saya curiga jangan-jangan wanita yang ditemukan tewas itu tidak lain dari Nona Ging. Mari ikut saya ke tempat penyimpanan mayat."

Goosman diajak masuk ke ruang tempat sesosok jenazah wanita tergeletak di meja marmer. Benar, wanita itu Kitty Ging, yang sore tadi dibantu naik ke kereta, kata Goosman.

Goosman diminta mengulangi laporannya di hadapan Sheriff Holmberg dan Coroner Spring. Ketika pejabat hukum itu sependapat bahwa setelah meninggalkan West Hotel sendirian, mestinya Kitty menemui seorang pria yang kemudian naik ke keretanya. 

Di perjalanan pria itu menembaknya dan melemparkan mayatnya ke jalan. Kemudian pria itu turun dari kereta dan meninggalkannya. Siapakah pria itu dan mengapa ia membunuh Kitty?

 

Senang ke dukun

Letnan Cockran dan Sheriff Holmberg lantas pergi ke Ozark Apartments. Mereka berniat menanyai Harry Hayward, pacar korban. Mereka juga ingin meminta keterangan dari Mary Louise Ireland, kemanakan Kitty Ging. Siapa tahu ia bisa membantu. 

Mereka tiba di gedung apartemen itu pukul 23.00. Apartemen itu sudah sepi. Di lobi ada orang sedang mengepel lantai marmer. Ternyata ia Claus Blixt, penjaga apartemen.

Pria itu memberi tahu, tetapi ketika kedua pejabat hukum akan menaiki tangga yang menuju ke apartemen-apartemen itu, ia berkata, "Saya kira keduanya tidak ada di rumah, Pak. Nona Ging belum kembali sejak berangkat ke tokonya tadi pagi. Pak Hayward pergi tadi sore, kira-kira pukul 18.30 dan sampai sekarang belum kelihatan pulang."

"Nona Ging tidak akan pernah pulang lagi," jawab Letnan Cockran. "la ada di tempat penyimpanan mayat. Dibunuh. Karena itulah kami ingin berbicara dengan Pak Hayward. Barangkali Anda tahu di mana ia sekarang."

Penjaga apartemen itu kaget. Ia menggelengkan kepala dan tampak gemetar.

"Saya tidak tahu di mana Pak Hayward. Cuma waktu keluar tadi sore, ia mengenakan pakaian perlente untuk pergi makan malam atau mungkin untuk ke pesta dansa."

Kedua pejabat hukum itu lantas memutuskan untuk pergi ke apartemen Kitty Ging saja dulu. Pijatan bel mula-mula tidak mendapat jawaban. Ketika mereka memijat bel untuk kedua kalinya, muncullah seorang gadis yang matanya masih kelihatan sangat mengantuk, sedangkan rambutnya awut-awutan.

Sheriff Holmberg yang kebapakan berusaha untuk menyampaikan berita musibah dengan cara tidak mengagetkan. Mary Louise segera menangis tersedusedu. Namun, beberapa menit kemudian ia sudah bisa menguasai dirinya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Holmberg serta Cockran.

Katanya, ia terakhir melihat bibinya siang tadi. Sepulang dari sekolah, ia singgah sebentar ke toko bibinya. Bibinya memberi tahu bahwa ia baru akan pulang malam hari, karena akan makan malam bersama Harry Hayward di West Hotel. Bibinya berkata akan berganti pakaian di toko saja, sebab Hayward akan menjemputnya di sana pukul 18.30 lewat sedikit.

"Apakah bibi Anda mempunyai teman pria lain?" tanya Cockran.

"Oh, tidak. Ia 'kan sudah bertunangan," jawab gadis itu. "Saya tidak tahu mengapa ia mengendarai kereta sendirian. Ia tidak pernah pergi kalau hari sudah malam, kecuali dengan Pak Hayward .... Eh, ya, kadang-kadang ia pergi juga sekali-sekali, untuk ke dukun. Bibi saya cerdik, tapi anehnya ia percaya betul pada tukang ramal dan dukun."

Kelihatannya Mary Louise tidak mengarang-ngarang cerita, sebab ketika Cockran dan Holmberg memeriksa benda-benda peninggalan Kitty, mereka menemukan banyak sekali buku tentang ramalan, daftar horoskop, dan sebangsanya. Namun, mereka juga menemukan surat-surat asuransi. 

Diketahui pada bulan September Kitty mengasuransikan jiwanya sebesar AS $ 10.000. Polisnya tidak diberikan kepadanya. Menurut instruksinya, polis itu diserahkan kepada Harry Hayward! Hayward ditunjuk sebagai orang yang akan menerima uang asuransi itu, kalau Kitty meninggal.

Cockran dan Holmberg sepakat untuk mencari dan menanyai Hayward. Ternyata Hayward tak sulit dicari. Pukul 23.45 itu, ketika kedua pejabat hukum itu menuruni tangga menuju ke tingkat tiga, dari tingkat itu naiklah seorang pria tampan yang masih muda, yang mengenakan topi tinggi dan jas buntut.

"Saya bertemu Claus Blixt di bawah. la memberi tahu saya perihal Kitty," kata pria itu dengan suara parau dan wajah muram, ketika Cockran dan Holmberg memperkenalkan diri. Katanya, ia naik ke atas untuk menghibur Mary Louise, namun kelihatan bahwa ia sendiri juga perlu dihibur.

 

Banyak utang

Cockran dan Holmberg menanyai Hayward di apartemen pria itu di tingkat tiga. Kata Hayward, sore itu ia dan Kitty tiba di West Hotel pukul 19.00, Makanan mereka cepat terhidang, sebab mereka sudah memesan lebih dulu. 

Setelah makan, pada saat mereka minum kopi, Hayward menyerahkan uang AS $ 2.000 kepada Kitty. Menurut Hayward, selama beberapa bulan terakhir ini Kitty berusaha meluaskan usahanya. Kitty ingin berdagang topi juga dan mantel bulu. 

Sebagian dari modalnya milik Kitty sendiri, tetapi Kitty memerlukan lebih banyak uang daripada yang dimilikinya. Jadi, bulan September Kitty meminjam AS $ 7.500 dari Hayward. Saat itu Hayward menyatakan kalau Kitty perlu, jangan ragu-ragu meminjam lagi. 

Tambahan pinjaman diminta Kitty minggu yang lalu. Mereka berjanji akan bertemu di West Hotel malam itu dan di sana Hayward akan menyerahkan uang yang AS $ 2.000 itu.

"Ia mendesak agar saya mau menerima surat tanda terima," kata Hayward. "Surat itu sudah ia siapkan dan tandatangani di rumah atau mungkin di tokonya."

Hayward mengeluarkan surat tanda terima itu dari sakunya. Katanya, waktu meminjam AS $ 7.500 bulan September, Kitty pun membuat tanda terima.

Sheriff Holmberg menyinggung soal asuransi jiwa Kitty.

"Oh, itu!" kata Hayward. "Kitty memaksa saya. Katanya, karena ia meminjam uang saya, maka sepatutnya saya menerimanya, supaya kalau terjadi sesuatu dengannya, uang saya tidak hilang." Lalu Hayward bertanya, apakah Kitty dirampok?

"Perhiasannya tidak hilang, tetapi padanya tak ditemukan uang," jawab Sheriff.

"Ah!" kata Hayward. Ia terdiam. Ketika kedua pejabat hukum bertanya lebih lanjut, Hayward bercerita bahwa Kitty sering ke dukun. Tunangannya itu percaya sekali pada perintah dukun. 

Selain itu Kitty tidak bisa menyimpan rahasia. Kalau ia membawa uang umpamanya, kemungkinan orang-orang yang bertemu dengannya akan diberi tahu bahwa ia membawa uang.

"Saya sudah berusaha melarangnya ke dukun. Saya tidak percaya pada dukun maupun tukang ramal, tetapi Kitty diam-diam pergi mengunjungi mereka juga. Hal itu sering menjadi bahan petengkaran di antara kami."

"Barangkali Anda tahu siapa dukunnya?" tanya Cockran.

"Dukunnya berganti-ganti. Kalau kata-kata dukun yang satu kurang berkenan di hatinya, ia pindah ke dukun yang lain. Saya tak tahu dukun mana yang dikunjunginya.

 

Menonton dengan wanita lain

Mungkinkah Kitty diam-diam pergi ke dukun malam itu? pikir Cockran dan Holmberg. Mungkin uang AS $ 2.000 yang dibawanya itulah yang menyebabkan ia dibunuh.

"Pak Hayward, untuk melengkapi laporan kami, sudilah kiranya Anda menjelaskan apa saja kegiatan Anda setelah makan malam dengan Nona Ging?"

"Kami selesai makan malam pukul 19.45, karena saya ada janji lain," jawab Hayward. "Saya pergi menonton sandiwara A Trip to Chinatown di Grand Opera House dengan seorang gadis."

"Siapa?"

"Nona Estelle Peters. Anda tentu tahu ayahnya, Pak Peters, anggota dewan kota itu."

Ketika melihat kedua penanyanya agak tercengang, Hayward menambahkan, "Oh, itu cuma kewajiban sosial. Kitty pun tahu saya sering dijamu di rumah Pak Peters yang banyak membantu saya."

Menurut Haywawrd, ia tiba di rumah keluarga Peters sekitar pukul 20.15 dan pertunjukan sandiwara dimulai pukul 20.30. Ia mengantar Nona Peter kembali ke rumahnya pukul 23.15 dan langsung pulang. 

Begitu tiba di Ozark ia mendengar tentang kematian Kitty dari penjaga gedung dan ketika ia akan naik ke tingkat empat untuk menghibur Mary Louise, ia bertemu dengan Cockran dan Holmberg.

Ketika meninggalkan Ozark malam itu, Cockran dan Holmberg sependapat: kalau Hayward itu pembunuh Kitty, mestinya ia pemain sandiwara yang ulung yang pernah mereka jumpai.

Malam itu mereka berdua tak bisa tidur nyenyak. Para wartawan pun begadang untuk mencari dan menulis berita tentang pembunuhan atas Kitty Ging. 

Keesokan harinya sebagian koran menggambarkan Kitty sebagai pengusaha muda yang tak tercela, sedangkan sebagian lagi menggambarkanya sebagai wanita yang moralnya patut dipertanyakan. Namun, semua meminta agar pihak yang berwenang lekas memecahkan perkara pembunuhan itu.

 

Pernah mendapat ancaman

William Eustis, Wali Kota Minneapolis, memberi tanggapan dengan membentuk unit penyelidikan khusus di sebuah suite di West Hotel. Ia mengundang orang-orang yang merasa mempunyai keterangan yang ada sangkutannya dengan pembunuhan Kitty untuk datang ke unit tersebut. Selain itu ia minta para auditor kota memeriksa pembukuan toko Kitty.

Sheriff Holmberg dan Letnan Cockran menyambut baik partisipasi Wali Kota. Mereka sendiri mengecek alibi Hayward dengan menemui Estelle Peters.

Wanita yang bertubuh kurus itu sama sekali tidak mengesankan. Ia masih ingat dengan jelas bahwa kemarin malam ia dijemput Hayward pukul 20.15 dan diantar kembali sampai ke rumah pukul 23.15. 

Selama di teater, Hayward tak pernah beranjak dari sisinya. Nona Peters menyebutkan beberapa orang yang mereka jumpai di teater dan juga orang-orang yang bercakap-cakap dengan mereka pada waktu istirahat.

Jadi, karena Kitty Ging ditembak sekitar pukul 21.00 di tempat yang letaknya sekitar 6 km dari teater, berarti tak mungkin Hayward yang melakukannya.

Mereka pun pergi ke markas Wali Kota Eustis di West Hotel. Pak Wali Kota menyampaikan berita besar. Menurut seorang teman Kitty, kira-kira setahun sebelum Kitty berpacaran dengan Hayward, ia ditaksir seorang pedagang perhiasan, Arthur Apperson. 

Pria itu sungguh-sungguh mencintai Kitty, tetapi Kitty menanggapinya dengan dingin saja. Ketika Hayward muncul, Kitty segera menyisihkan Apperson. Pengusaha itu tidak bisa menerima penolakan Kitty. Ia pernah mengancam. 

"Jika aku tak bisa memperoleh Kitty, tak ada seorang pun yang akan mendapatkannya. Akan kubunuh dia!"

Cockran dan Holmberg mencari Apperson. Ternyata ia sedang dirawat di RS Umum Minneapolis. Sudah sepuluh hari ia terbaring dengan tungkai patah. Jangan keluyuran jauh-jauh ke Danau Calhoun, turun dari ranjang pun ia tak mampu. 

Selain itu ia sudah menikah dengan wanita yang bukan cuma termasuk paling cantik di kota itu, tetapi juga paling kaya. Sudah lama ia melupakan cintanya pada Kitty.

Tak seorang pun menyatakan melihat Kitty sejak keberangkatannya dari West Hotel pukul 20.00 sampai mayatnya ditemukan sejam kemudian. Semua kerabat dan kenalan Kitty ditanyai, tetapi tak ada yang bisa memberi keterangan yang diperlukan.

Hari Rabu semua karyawan Kitty dipanggil ke West Hotel untuk ditanyai, begitu pula Mary Louise dan Hayward. Bahkan Claus Blixt, si penjaga gedung, dipanggil untuk menceritakan lagi apa yang mereka ketahui tentang Kitty.

Sementara itu gang di muka pintu markas penuh dengan wartawan yang tak mau pergi dari sana, sebab khawatir ketinggalan berita besar. Di antara mereka terdapat seorang reporter bernama F.A. Briggs.

Beberapa bulan sebelumnya Briggs pernah digebuki gara-gara menulis artikel bersambung tentang situasi perjudian di Minneapolis. 

Walaupun Briggs tak menyebut nama-nama, tetapi orang-orang yang digambarkannya jelas sekali menunjukkan ciri-ciri orang yang bersangkutan, sehingga pen- duduk kota bisa menerka siapa yang dimaksudkannya.

Suatu malam, sepulang dari kantor, ia digebuki sampai babak belur dan diancam agar jangan berani lagi menulis tentang para penjudi. Briggs tak tahu siapa orang yang menganiayanya itu, tetapi ia sempat mengingat-ingatnya dengan baik. Sejak itu ia berusaha mencari orang tersebut, tetapi belum berhasil.

Alangkah tercengangnya ia ketika salah seorang yang dipanggil untuk dimintai keterangan ke markas di West Hotel itu ternyata pria yang memukulinya beberapa bulan yang lalu. Ia berusaha menahan diri, menunggu pria itu selesai didengar keterangannya, lalu ia minta berbicara dengan Wali Kota, Sheriff, dan Letnan.

 

Gara-gara percaya dukun

Mendengar ceritanya, ketiga orang itu sependapat bahwa orang-orang yang ditunjuk oleh Briggs itu patut dimata-matai, karena ia mampu melakukan tindakan kekerasan. Diam-diam gerak-geriknya diikuti mulai siang itu juga. Ternyata ia tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan.

Kira-kira pukul 17.00 diketahui pria itu meninggalkan kediamannya dengan bertopi dan bermantel. Holmberg menguntitnya. Ternyata ia cuma pergi ke toko yang berdekatan untuk belanja sedikit. 

Selama ia absen itu Cockran masuk ke kamar pria tersebut untuk menggeledah. Ternyata di lemari kamarnya ditemukan sebuah mantel pendek yang bernoda darah dan di bawah pakaian itu ada sebuah revolver .38, yang sebuah patrunnya sudah terpakai.

Cockran cepat-cepat ke luar dari kediaman pria itu, yang tidak segera ditangkap, tetapi terus diamati. Pukul 19.00 mereka melihat Harry Hayward memasuki gedung Ozark Apartments, sedangkan pria yang mereka amat-amati tampak mengikuti Hayward naik ke tingkat atas. 

Ketika keduanya tidak muncul-muncul lagi beberapa menit kemudian, Holmberg dan Cockran diam-diam datang ke apartemen itu. Lobi kosong, sehingga dengan leluasa mereka bisa masuk.

Setelah ragu-ragu sejenak, mereka memutuskan untuk menuju ke apartemen yang ditinggali oleh Hayward. Dengan mengendap-endap mereka mendekati pintu dan memasang telinga baik-baik. Dari dalam kamar kedengaran orang bertengkar.

"Kapan dong, saya bisa mendapatkan uangnya? Jangan terus menunda-nunda," suara seorang pria.

"Ssh! Pikir dong, mana mungkin saya bisa mendapat uang asuransi secepat itu? Mereka mengawasi saya seperti elang. Kalau saya salah langkah, mereka bisa tambah curiga."

"Namun, Anda 'kan berjanji akan membayar dalam waktu 24 jam? Tahu begini, saya tidak mau disuruh membereskan Kitty. Pokoknya, Anda harus membayar sekarang!"

Kedua pejabat hukum itu merasa mendengar langkah kaki ke arah pintu, lalu pintu terpentang. Claus Blixt muncul. la memang pria yang mereka amat-amati, yang dulu mengebuki Briggs. Segera saja Sheriff menyambarnya. Letnan Cockran mencekuk Harry Hayward. Keduanya ditahan dengan tuduhan membunuh Kitty.

Hayward menolak berkata apa-apa. Blixt begadang semalam di dalam selnya, lalu ia mengaku membunuh Kitty. Katanya, hal itu ia lakukan atas permintaan Hayward.

Kata Blixt, tidak benar Hayward mencegah Kitty pergi ke dukun. Hayward diam-diam malah menganjurkan dan mencarikan dukun. Dukun itu disogoknya agar memberi anjuran-anjuran yang menguntungkan Hayward. 

Kitty menurut saja, ketika dukun menyuruhnya menyerahkan sebagian modal dari toko pakaiannya kepada Hayward untuk dipakai bertaruh. Kalau menang, uangnya buat Kitty. Tentu saja Hayward tidak pernah menang. 

Atas perintah dukun pula Kitty meminjam uang dari Hayward, untuk segera dikembalikan lagi supaya bisa dipertaruhkan "untuk kepentingan Kitty". Uang itu pun dinyatakannya amblas lagi. Padahal uang yang diserahkan Hayward sejenak kepada Kitity itu bukanlah uang asli, melainkan yang palsu yang ia peroleh dulu ketika masih menjadi anggota dinas rahasia yang memerangi pemalsuan uang. 

Entah bagaimana pria penjudi yang senang hidup mewah itu bisa memiliki sejumlah uang palsu yang dulu disita dinas rahasia.

Menurut Blixt, Hayward pula yang menganjurkan Kitty mengasuransikan jiwanya dan menunjuk Hayward sebagai penerima uang asuransi sebagai jaminan atas "pinjamannya".

Jadi, berarti Kitty Ging menandatangani surat kematiannya, ketika ia menandatangani formulir asuransi jiwa itu. Tiga bulan setelah itu Hayward menyewa Blixt untuk membunuh Kitty.

Hayward sudah sekongkol dengan dukun. Dukun menyuruh Kitty diam-diam menyewa. kereta, tanpa sepengetahuan Hayward. Kitty diperintahkan mengendarai kereta itu di tepi Danau Calhoun. "Anda akan bertemu dengan seorang pria yang mengembalikan semua uang Anda yang hilang dalam perjudian," kata dukun.

Menurut Blixt, ia diminta menunggu di tepi danau oleh Hayward. Mula-mula Kitty tidak mengenali Blixt, karena gelap. Baru setelah Blixt naik ke atas kereta, Kitty mengenalinya, tapi sudah terlambat. Blixt menembaknya, lalu mendorong mayat Kitty tidak jauh dari tempat ia ditembak.

Dekat terminal kereta api, Blixt turun dari kereta, mengikat tali kekang kereta ke tempat menaruh cemeti dan mengusir kuda kereta untuk enyah. Ia sendiri menumpang kereta rel ke rumahnya.

Senjata yang dipakai membunuh Kitty, dibeli oleh Hayward bersama-sama Blixt pada hari Sabtu sebelum pembunuhan. Si penjual ternyata kemudian mengenali Hayward sebagai pria yang membayar senjata itu pada hari Sabtu.

Para akuntan yang memeriksa pembukuan Kitty mengatakan bahwa Kitty sama sekali tidak menambah modal usahanya. Sebaliknya, ia banyak menarik modalnya akhir-akhir ini. Perusahaan Kitty yang mestinya untung itu jadi kehabisan modal.

Awal tahun 1895 Harry Hayward dan Claus Blixt dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan atas Kitty Ging.

Hakin Seagrave Smith dari Pengadilan Hannepin County menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup bagi Claus Blixt dan hukuman mati bagi Harry Hayward, yang menjadi otak pembunuhan itu. Hukuman gantung atas Hayward, si penjudi, dilakukan tanggal 11 Desember. (Charles Boswell & Lewis Thompson)

" ["url"]=> string(72) "https://plus.intisari.grid.id/read/553124211/kitty-senang-pergi-ke-dukun" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1643890820000) } } }