array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3561370"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/keputusan-rahasia_kat-smithjpg-20221111041229.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(141) "Rumah Bill heboh setelah kakak perempuan Bill menemukan ibu mereka terbujur kaku di kamarnya. Di lantai ada darah tergenang. Apa penyebabnya?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(111) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/keputusan-rahasia_kat-smithjpg-20221111041229.jpg"
      ["title"]=>
      string(17) "Keputusan Rahasia"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 16:12:46"
      ["content"]=>
      string(26241) "

Intisari Plus - Rumah Bill heboh setelah kakak perempuan Bill menemukan ibu mereka terbujur kaku di kamarnya. Di lantai ada darah tergenang. Mengapa ibu sampai dibunuh?

-------------------

Suasana pagi yang hening itu pecah oleh suatu lengkingan teriakan yang nyaring dan bergema ke semua ruangan rumah. Aku bangun dari tidur yang kurang lelap. Meski sudah terjaga sejak tadi, rasanya aku belum ingin bangkit karena sekarang hari libur, sampai terdengar teriakan tadi. Karena kulirik istriku masih tidur nyenyak, kuputuskan untuk bangkit tanpa membangunkannya.

Hanya dalam hitungan detik aku tiba di sumber suara itu. Ternyata Yuli, kakak perempuanku, yang berteriak. Wajahnya yang sepucat kertas putih menatap pintu kamar ibuku yang terbuka. Pada saat hampir bersamaan penghuni rumah ini bermunculan. Kakak tertuaku, Vera, dengan daster panjangnya, dan kakak laki-lakiku, Edwin, yang hanya bercelana pendek. Kami menatap ke arah pintu rumah yang terbuka lebar. Samar-samar terlihat tubuh kaku ibu terbujur di tempat tidur, namun yang tampak jelas adalah genangan begitu banyak darah di lantai sekitarnya.

 

Pembunuhan atau bunuh diri?

Kejadian selanjutnya tidak dapat kuingat lagi. Yang jelas aku segera membangunkan istriku lalu duduk di ruang tamu menunggu kedatangan polisi. Pagi itu terasa amat hening karena nyaris semua mulut penghuni rumah ini tak ada yang mengeluarkan suara. Istriku bersandar lemas di pundakku. Sementara Yuli menangis diam-diam. Vera diam mematung, sedangkan Edwin mondar-mandir saja sehingga suasana makin mencekam. 

Untung polisi yang datang cukup ramah. Saat ambulans telah membawa jenazah Ibu, sekelompok petugas memeriksa kamar Ibu. Polisi yang kelihatannya pemimpin itu kemudian mengumpulkan kami. Istriku yang sakit beberapa hari ini tidak ikut karena ia merasa pusing dan ingin berbaring.

“Perkenalkan, saya Ronald, ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Bapak-Ibu sekalian,” katanya sambil tersenyum, yang sayangnya tak mampu memancing senyum dari kami. “Siapa saja yang tinggal di rumah ini?”

Edwin menyahut, “Kami empat bersaudara. Vera, anak pertama, Yuli nomor dua, lalu saya, Edwin, yang ketiga, si bungsu Bill dengan istrinya, Lidia, serta seorang pembantu, Bi Minah.”

“Semua tinggal di sini?”  

“Ya. Sebenarnya saya tidak, hanya mampir karena ada urusan pekerjaan. Saya beserta istri tinggal di Kalimantan,” lanjut Edwin. 

“Siapa yang pertama kali menemukan Ibu Anda?”

Yuli mengangkat kepalanya, “Saya, Pak.” 

“Apakah ada yang memindahkan sesuatu sejak pertama kali korban ditemukan?” 

Yuli menggeleng. 

“Saya rasa tidak. Saya melarang semua menyentuh apa pun sampai polisi datang. Saya dengar begitu aturannya,” sahut Edwin. 

“Benar, memang begitu,” jawab Ronald. “Tindakan Anda benar. Itu menguatkan dugaan bahwa ini adalah pembunuhan.”

“Pak Polisi yakin? Bukannya Ibu bunuh diri?” tanya Vera.

“Pembunuhnya memang ingin mengesankan demikian. Pergelangan tangan disayat memang sering menjadi cara bunuh diri. Tetapi ada yang terlupa karena di sekitar tubuh korban tidak ditemukan benda tajam. Asalkan benar tidak ada di antara Anda yang memindahkan benda apapun.”

“Omong-omong, apakah akhir-akhir ini korban sering tampak sedih atau bingung?” 

“Ibu tidak pernah sedih walaupun Ayah baru meninggal tiga bulan silam,” sahutku. 

“Tapi kalau Ibu dibunuh, siapa pelakunya?” Ronald bergumam.

 

Semua jadi tersangka

“Apakah Ibu Anda punya musuh?” tanya Ronald lagi.  

“Musuh? Bukan cuma itu. Ibu adalah musuh semua orang,” jawab Yuli pelan. 

“Benar, semua!” tandas Vera.

“Bisa Anda jelaskan?” tanya Ronald pada Vera dengan nada penasaran. 

“Ibu yang menyebabkan kematian suami Yuli. Ibu ngotot minta diantar ke dokter saat Mas Yudi baru pulang kerja dan masih sangat capek. Akibatnya terjadi kecelakaan yang menyebabkan Mas Yudi meninggal. Saya tahu, itu sebabnya Yuli sangat membenci Ibu.”

Yuli hanya menunduk, Vera makin bersemangat. 

“Ibu juga sangat membenci istri Edwin. Ibulah yang membuat mereka pindah ke Kalimantan beberapa tahun silam. Gara-gara itu istri Edwin keguguran. Edwin pun mendendam pada Ibu ....”

“Tapi bukan berarti saya pembunuhnya!” sergah Edwin jengkel. 

Vera tidak peduli dengan komentar itu. “Bill juga benci pada Ibu. Istrinya sering dibuat menderita. Itu sebabnya mereka berencana pindah dari rumah ini karena tidak cocok dengan Ibu.”

“Anda sendiri bagaimana? Apakah Anda juga membenci korban?” 

“Tentu saja! Kemarin malam dia barusan bertengkar hebat dengan Ibu,” potong Edwin sinis.

“Bertengkar tidak berarti membunuh,” jawab Vera membela diri. 

“Pemabuk dan penjudi macam kamu pasti tega membunuh demi uang!” debat Edwin

“Kamu sendiri, mengapa tiba-tiba mau menginap di sini? Dulu tidak pernah!” teriak Vera. 

Suasana rumah yang semula tenang jadi memanas.

“Tenang,” seru Ronald sambil mengangkat tangan. “Mengapa semalam Anda bertengkar dengan korban?”

Aku menyela, “Dia minta warisan, pasti untuk menutup utang akibat berjudi. Tapi Ibu tidak memberikan.” 

“Mengapa?”

“Ibu memang punya banyak harta peninggalan Ayah. Baginya, uang adalah simbol kekuasaannya. Selama masih hidup, Ibu tidak akan pernah melepaskan hartanya. Tapi tak adakah kemungkinan pelakunya justru orang dari luar?” aku membuka kemungkinan.

Pak Ronald tersenyum tipis. “Pembunuhan terjadi sekitar tengah malam. Tak satu pun pintu dan jendela yang rusak. Mustahil ada yang membiarkan pintu dan jendela tidak terkunci bukan? Apakah ada barang yang hilang?”

“Rasa-rasanya tidak ada. Tapi Bapak belum menanyai Bi Minah.”

 

Orang di depan kamar korban

Kamar Bi Minah yang terletak di samping dapur ternyata kosong. Baru tersadar, sejak pagi aku sama sekali belum bertemu dengannya. Aku masuk ke kamar itu dengan diikuti Pak Ronald dan yang lainnya. Kamar itu kecil tapi rapi. Tidak ada banyak barang. Saat melongok bawah meja, mataku tertuju ke sebuah foto yang terselip di dekat laci meja. Foto almarhum ayah kami!

“Ini foto Ayah, mengapa Bi Minah menyimpannya?” 

“Berapa lama ia bekerja di sini?” tanya Pak Ronald. 

“Sejak kami kecil,” jawab Yuli. 

“Kami akan mencarinya. Saya minta Bapak-Ibu sekalian tidak bepergian ke luar kota. Boleh saya bicara berdua dengan Pak Edwin?” 

“Tentu. Mari kita ke ruang tamu,” ajak Edwin. 

Aku ke kamar menengok istriku dan menceritakan semua pembicaraan tadi. 

“Saya takut,” katanya pelan.

“Tenang saja,” kataku sambil memeluknya, “Polisi tengah mencari Bi Minah. Aneh, mengapa dia menghilang, juga buat apa ia menyimpan foto Ayah?” 

Wajah istriku juga tampak bingung. 

“Ada apa?” aku menyelidik. 

“Kapan pembunuhan itu terjadi?” tanya istriku. 

“Perkiraan polisi sekitar tengah malam. Kenapa?” 

“Anu ..., tidak, saya rasa tidak.” 

Aku jadi gelisah. “Ada apa? Kamu tahu sesuatu?”

Istriku menunduk. “Tadi malam aku ke kamar mandi, sekitar pukul 23.00 atau 24.00. Aku ... aku melihat Yuli di depan kamar Ibu.”

“Memangnya kenapa? Mungkin dia perlu sesuatu atau mungkin juga ingin ke kamar mandi,” jawabku sekenanya.

“Tapi dari kamarnya kalau mau ke dapur atau ke kamar mandi tidak perlu melewati kamar Ibu.” 

“Kamu yakin orang itu Yuli?” 

“Entahlah. Maklum saat itu agak gelap tapi sepintas lebih mirip Yuli daripada Vera. Kamu ingat tidak, kemarin adalah persis empat tahun kematian Mas Yudi.” 

“Maksudmu, Yuli yang ...?” 

“Oh, entahlah ....” 

“Barangkali baginya ini adalah waktu yang tepat untuk membalas dendam, maksudmu?”

“Aku pusing, aku takut,” ujar istriku dengan suara lirih.

Ragu-ragu aku mencari Pak Ronald. Tubuhnya yang tinggi besar dan hitam membuatnya mudah ditemukan. 

“Kebetulan saya juga sedang mencari Pak Bill. Boleh saya bicara sebentar? Saya baru saja berbicara dengan Pak Edwin. Menurut Anda, mengapa Pak Edwin menginap di sini? Apakah betul biasanya dia tidak ke mari?”

“Ya,” sahutku ragu. “Apa yang dikatakan Vera tadi benar. Edwin belum pernah menginap di sini sejak pindah ke Kalimantan meski urusan bisnis mengharuskannya sering ke kota ini. Keputusannya untuk menginap di sini, bisa jadi karena kebetulan, bisa juga ada sebabnya.”

“Apa benar semalam terjadi pertengkaran hebat?” 

“Benar. Saat ini Vera memang sedang dililit masalah keuangan. Mungkin kematian Ibu dapat menyelesaikan masalahnya karena warisan pasti segera dibagi. Tapi meskipun dia jahat, saya tidak yakin dia tega membunuh Ibu. Ada yang ingin saya katakan pada Pak Ronald.”

“Apa itu?” 

“Semalam, sekitar pukul 23.00 atau 24.00, istri saya melihat seseorang, kalau tidak salah Yuli, di depan kamar Ibu.” 

Pak Ronald tidak menunjukkan ekspresi terkejut. “Apakah istri Anda juga membenci korban?”

Saya segera sadar dengan arah pembicaraannya. “Semua orang membenci Ibu,” jawab saya emosional. “Dia memang jahat. Sebagian besar hidupnya hanya untuk menyakiti orang sekitarnya. Saya tidak bermaksud membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal. Tapi terus terang saja Pak, saya yakin, kami semua tidak terlalu bersedih dengan meninggalnya Ibu. Meski begitu, saya tidak yakin salah satu di antara kami tega membunuhnya.”

“Termasuk Bi Minah?” desak Pak Ronald. 

“Saya tidak tahu, saya bingung.”

“Mengapa kalian masih tinggal bersama di rumah ini?” 

“Vera tidak menikah. Sebagai penjudi berat ia tidak mungkin bisa membeli rumah. Yuli terpaksa kembali ke rumah ini setelah kematian Yudi. Mereka memang tidak punya rumah. Edwin sudah pindah ke Kalimantan. Saya pun segera keluar kalau sudah cukup punya uang.” 

“Baik, kami akan melanjutkan penyelidikan. Tidak seorang pun boleh memasuki kamar korban. Kami tetap bisa menghubungi Anda di rumah ini, bukan?” 

“Tentu, Pak.”

 

Mantan kekasih bapak

Meski sudah siang, tak seorang pun di antara kami yang punya selera makan. Sambil menatap isi piringku yang tak kunjung habis, pikiranku menerawang ke perlakuan Ibu terhadap kami selama ini. Semua “kekejaman”, yang kupikir hanya ada dalam cerita, tampil nyata dalam diri Ibu. Selama ini yang menjadi pengikat adalah Ayah. Tapi sejak kepergian Ayah, ikatan itu pun lenyap.

Tapi apa hubungan Ayah dengan Bi Minah? Aku cukup dekat dengannya, jadi aku yakin dia bukan pembunuhnya. Bagaimana dengan Edwin, mengapa ia tiba-tiba menginap di rumah? Atau Yuli, benarkah ia yang dilihat istriku di kamar Ibu? 

Tiba-tiba Pak Ronald muncul kembali. Aneh, aku merasa tenang bila ia ada di sekitar kami. 

“Ada perkembangan dengan Bi Minah. Kami sudah menemukannya,” ia membuka percakapan. 

“Oh ya? Di mana dia sekarang?”

“Tadi pagi ia ke pasar lalu dijambret. Ia luka karena didorong sampai jatuh. Jadi ia dirawat di puskesmas dekat pasar. Dia bahkan belum tahu peristiwa yang menimpa Ibu Anda.”

“Ya, setidaknya ada berita baik.” Kata Vera. 

“Tapi mengapa ia menyimpan foto Ayah?” 

“Kami juga telah menanyainya perihal itu. Rupanya dia, ... eh, penggemar ayah Anda.” 

“Penggemar?” sahutku bingung. 

“Dia pernah punya hubungan agak khusus dengan ayah kalian.”

“Pacaran?” ucap kami serempak. 

“Mungkin ya, mungkin tidak. Hanya itu jawaban darinya,” jawab Ronald ikut ragu. “Pokoknya, dia amat sedih dengan meninggalnya ayah kalian beberapa bulan lalu. Maka ia menyimpan foto tersebut sebagai kenang-kenangan.”

“Cuma begitu? Masa sesederhana itu,” gerutu Vera kurang percaya. “Apakah dia tidak menyalahkan Ibu sebagai orang yang menyebabkan Ayah meninggal, lalu merasa sekaranglah saatnya untuk melakukan pembalasan?”

“Jangan menuduh sembarangan!” aku membentaknya. “Bi Minah tidak seperti kamu. Mungkin justru kamu sendiri yang mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan utangmu.”

“Ada perkembangan baru lainnya,” Pak Ronald segera memotong perdebatan kami yang mulai memanas. “Kami menemukan bukti berupa beberapa tetes darah dari meja samping yang pecah kacanya di kamar korban. Di kaca itu juga ada darah. Dari fakta itu kami membuat kesimpulan sementara bahwa ibu Anda tergores kaca yang pecah lalu ia berjalan ke tempat tidur. Akhirnya tertidur atau pingsan sebelum dapat menghentikan perdarahan itu sampai akhirnya ia kehabisan darah.”

“Hm, kedengarannya melegakan,” kata Vera. “Jadi tidak ada pembunuh di rumah ini.” 

“Tapi mengapa Ibu tidak mengobati dulu lukanya atau minta bantuan yang lain?” tanyaku heran. 

“Itulah masalahnya. Rupanya saat tergores korban sudah dalam keadaan hampir tidak sadar. Menurut hasil analisis laboratorium, dia minum obat melebihi dosis,” jawab Pak Ronald.

“Ibu memang menderita bermacam-macam penyakit, jadi selalu minum obat. Tapi semua itu obat dari dokter, mana mungkin kelebihan dosis?” tanya Edwin. 

“Justru itu masalahnya, siapa yang biasa membantu Ibu menelan obatnya?”

“Tidak ada. Setahu saya selama ini Ibu selalu menyiapkan sendiri obatnya,” kataku yakin. 

“Kalau begitu, siapa yang memaksa Ibu menelan obat melebihi aturan?” tanya Pak Ronald pelan, seakan bertanya pada diri sendiri.

Tiba-tiba Yuli tertawa. “Tidak ada seorang pun yang sanggup memaksa Ibu melakukan apapun, termasuk meminum obatnya.” 

“Tapi ada yang bisa menipunya,” kata Pak Ronald. 

“Bapak ini bagaimana sih! Sebenarnya Ibu itu dibunuh, bunuh diri, atau kecelakaan? Jangan buat kami bingung!” seru Vera marah. 

“Itu yang sedang kami cari,” kata Pak Ronald tenang.

 

Sejak tiga hari lalu

Sore itu kulihat Bi Minah berkali-kali melirikku dengan gelisah. Selama ini hubunganku dengan Bi Minah memang cukup dekat, bahkan kurasa lebih dekat ketimbang dengan Ibu. Aku bisa menangkap gelagat, ia ingin berbicara denganku.

“Ada apa, Bi? Lukanya masih sakit?” 

“Tidak. Eh, cuma sakit sedikit ... eh ....” 

“Apa ada yang ingin Bibi katakan?” 

“Anu, Nak Bill, anu .... Ibu meninggal, ya?” jawabnya gugup.

“Ya, Ibu meninggal, tapi polisi sudah menanganinya. Mungkin hanya kecelakaan.” Aku tidak ingin menakut-nakuti wanita tua ini. Tapi wajahnya tampak makin muram. “Kenapa?” 

Teriakan istriku memutus pertanyaan itu.

Aku langsung lari ke kamar. Istriku duduk di ranjang. Baju dan rambutnya kusut dan basah bersimbah keringat. Matanya nanar menatapku. 

“Ada apa?” 

“Saya mimpi. Ibu .... Ada orang masuk ke kamar Ibu malam-malam, seperti yang saya lihat kemarin, lalu menikamnya dengan pisau. Darah di mana-mana,” jawabnya dengan napas terengah-engah.

Ini mengingatkanku untuk menanyai Yuli tentang apa yang ia lakukan malam-malam di depan kamar Ibu.

Setelah berhasil menenangkan istriku, aku mencari Bi Minah. Pembicaraan kami tadi belum selesai.

“Bagaimana selanjutnya, Bi?” tanyaku setelah kembali berhadapan dengan Bi Minah. 

Bi Minah menarik napas dalam-dalam. “Saya dengar Ibu meninggal karena minum obat kelebihan dosis.”

“Bukan karena minum obat kelebihan dosis,” kataku, “Ibu meninggal karena pergelangan tangannya tersayat lalu kehabisan darah. Tapi polisi menduga Ibu tidak bisa mengobati lukanya karena keburu pingsan akibat menelan obat melebihi dosis. Memangnya kenapa?”

“Nak Bill tahu selama ini Ibu selalu minum obatnya sendiri?” 

“Ya, saya tahu.” 

“Mulai sekitar tiga hari silam Ibu minta saya menyediakan obat untuknya. Katanya, dia suka lupa apakah sudah minum obat atau belum.” 

“Lalu?”

“Kemarin malam, usai makan malam saya membantu Ibu minum obatnya. Tapi setelah bertengkar hebat dengan Nak Vera, Ibu memanggil saya dan bertanya apakah dia sudah minum obat atau belum. Waktu itu saya sedang sakit kepala, jadi saya tidak terlalu ingat. Tapi, Ibu yakin sekali belum minum obat ....”

Aku menahan napas karena tegang. Kutarik Bi Minah untuk duduk di kursi. “Jadi…?” 

Bi Minah mulai terisak. “Jadi, jadi saya memberinya obat lagi!”

Telapak tangan dan kakiku tiba-tiba menjadi dingin. “Kapan Bi Minah ingat mengenai hal ini?” 

“Kemarin malam sekitar tengah malam. Sebenarnya saya sudah tidur, lalu tiba-tiba saya terbangun karena dalam mimpi saya ingat tentang obat itu. Jadi saya menuju kamar Ibu tapi saya ragu untuk mengetuk pintu kamar Ibu. Karena saya tidak mendengar suara apapun, saya kembali ke kamar. Saya pikir Ibu sudah tidur, berarti tidak ada apa-apa. Padahal mungkin waktu itu Ibu sedang ...” Bi Minah mulai tersedu-sedu.

Jadi, yang dilihat istriku adalah Bi Minah, bukan Yuli! Tiba-tiba dering telepon memecah lamunanku. Ternyata dari Pak Ronald.

“Pak Bill, saya ingin menyampaikan kesimpulan polisi bahwa penyebab kematian korban adalah murni kecelakaan. Jadi tidak ada yang akan dituduh sebagai pembunuh. Besok saya akan mengantarkan pemberitahuan resminya.”

Aku tertegun. Polisi sudah mengambil kesimpulan. Padahal mereka belum mendengar pengakuan Bi Minah. Haruskah saya melaporkannya atau justru harus menyembunyikannya? Saya harus membuat keputusan dan sekaranglah saatnya! 

“Pak Bill, Anda masih di sana?”

“Oh ya, Pak! Saya mendengar semuanya.” 

“Ada yang ingin Bapak sampaikan?” Kututup mataku, jantungku berdebar. Dalam hati aku menghitung sampai sepuluh, menimbang keputusanku.

 “Tidak, Pak! Kini kami semua merasa lega.” 

“Baiklah, kalau begitu sampai besok.” 

“Terima kasih banyak atas bantuannya, Pak.” 

Kutatap Bi Minah yang matanya masih basah. Kurengkuh kedua bahunya. “Dengar Bi, ini rahasia kita berdua. Ingat, hanya kita berdua yang tahu. Bi Minah tidak boleh mengatakan apa pun tentang hal ini pada siapa pun. Mengerti?”

Bi Minah mengangguk pelan. 

Malam harinya di tempat tidur sambil mencoba memejamkan mata aku terus bertanya-tanya tentang apa yang sudah kulakukan. Aku yakin, aku tidak perlu menghukum Bi Minah. Perasaan bersalah sudah menjadi hukuman yang cukup berat baginya. Aku harus membuat keputusan dan aku telah melakukannya. (Berni Elim) 

Baca Juga: Akibat Perangkap Cinta Masa Lalu

 

" ["url"]=> string(62) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561370/keputusan-rahasia" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668183166000) } } }