array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3561360"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/11/11/dalang-dalam-selimut-pengawalan_-20221111041021.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(138) "Seorang bodyguard bernama Ron, dikontrak oleh Morgan yang tengah menghadapi ancaman pembunuhan. Mampukah ia melindungi nyawa kliennya itu?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/11/11/dalang-dalam-selimut-pengawalan_-20221111041021.jpg"
      ["title"]=>
      string(31) "Dalang dalam Selimut Pengawalan"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-11-11 16:10:39"
      ["content"]=>
      string(31170) "

Intisari Plus - Seorang bodyguard bernama Ron, dikontrak oleh Morgan yang tengah menghadapi ancaman pembunuhan. Mampukah ia melindungi nyawa kliennya itu?

-------------------

Pagi itu langit masih mendung, mengguratkan warna kelabu sisa hujan semalam. Dalam setelan jas bergaris desain klasik, Ron melangkah ke dapur untuk sarapan. Hanya beberapa suap, rupanya ia kurang berselera pagi itu. Beberapa kali tangannya sibuk memeriksa kelengkapan alat komunikasinya. Dengan cepat Ron menyambar arloji sportnya dan segera keluar rumah, meninggalkan aroma kental Issey Miyake pemberian saudara kembarnya.

Ron memang sosok pengawal pribadi yang sangat profesional Sepuluh tahun menerjuni dunia tersebut, membuatnya menjadi orang yang senantiasa waspada. Ia pun sangat perfeksionis dalam segala hal, termasuk penampilan. Tak heran bila banyak wanita mengaguminya. Tapi Ron tak pernah ingin berhubungan serius dengan mereka. “Pekerjaan ini amat berbahaya, penuh ancaman. Terlalu berbahaya baik bagi mereka maupun diriku,” kata Ron.

Sekitar dua bulan terakhir Ron dikontrak oleh Morgan, pemilik perusahaan dengan ribuan karyawan yang sedang menghadapi ancaman pembunuhan. Ancaman itu bermula ketika pada suatu acara amal terjadi aksi penembakan oleh orang tak dikenal yang nyaris menembus batok kepalanya. Sejak itu Morgan selalu dikelilingi sepuluh pengawal pribadi yang dipimpin oleh Ron. Demi tugas itu pula Ron menempati paviliun di samping rumah utama Morgan. Semua kebutuhannya disediakan, meski interior dan dekorasi paviliun itu kurang memenuhi seleranya. “Uang memang tidak bisa membeli selera,” ucap batin Ron.

 

Serba tahan peluru

Pagi itu perasaan Ron tidak enak. Lelaki dengan garis wajah keras dan tegas ini tak tahu mengapa ia demikian gelisah. Bahkan ketika saudara kembarnya mendapat kesulitan pun, ia tidak segelisah saat ini.

Padahal pengawalan bagi Morgan sudah sangat ketat. Mobil antipelurunya adalah produk mutakhir yang direkomendasikan oleh Ron. Begitu pula rompi antipeluru yang selalu dipakai Morgan. Kaca jendela rumah Morgan pun diganti dengan yang tahan proyektil peluru. Pada semua pintu dan jendela dipasang sensor untuk mendeteksi tamu yang datang. Di samping itu, masih ada sejumlah upaya pencegahan lain yang dilakukan Ron, demi keselamatan kliennya.

Setiap hari jadwal keberangkatan Morgan ke kantor diubah. Pagi ini pukul 06.15. Di dalam garasi mesin mobil sudah dihidupkan meski pintu garasi masih tertutup. Baru setelah Morgan di dalam mobil, pintu garasi perlahan dibuka. Ini prosedur baku yang ditentukan oleh Ron dalam mencegah beraksinya penembak gelap yang senantiasa mengincar kliennya.

Ron selalu duduk di kursi samping pengemudi, sementara Morgan di belakangnya. Posisi itu memudahkannya memberikan instruksi tentang rute yang akan dilewati melalui pesawat handy talkie. Satu jip Land Cruiser mendahului di depan dan satu lagi membuntuti di belakang mobil yang ditumpangi Ron dan Morgan. Anak buah Ron yang lain dengan cermat mengawasi keadaan di sekitar mereka. Misalnya, adakah kendaraan lain yang membuntuti mereka?

Selain mengacak jam keberangkatan, Ron juga selalu mengubah rute perjalanan. Jika setiap hari ia melewati rute yang sama, sang calon pembunuh akan mudah menghafalkan kebiasaan Morgan. Rencana pembunuhan yang baik bisa gampang disusun dari kebiasaan yang berulang semacam ini. 

Namun, ada dua hal yang sangat dikhawatirkan Ron, yakni saat berhenti di lampu merah atau terjebak kemacetan. Dalam kondisi mobil tidak bergerak itu bisa saja sang pembunuh melemparkan granat ke kolong mobil. Meski tahan peluru, ledakan granat bisa menghancurkan mobil Morgan. Apalagi saat mobil melintasi Jalan Panahan, jalan tempat kantor Morgan, yang searah. Mobil terpaksa masuk dan keluar melalui rute yang sama. Ini menyimpan potensi ancaman yang tak kalah serius.

Matahari makin tinggi, pelan-pelan mengusir awan hitam. Namun perasaan tidak enak dalam diri Ron belum juga mau hilang. Sekali lagi Ron berusaha mengusir perasaan tidak enaknya itu dengan memutar kaset lagu klasik kesayangannya.

Pada suatu masa, ketika di perguruan tinggi, Ron pernah bergabung dengan band kampus sebagai vokalis utama. Ron keluar dari grupnya tak lama setelah tahu seluruh rekan grup band-nya mengonsumsi “bubuk setan”. Habis, berkali-kali Ron menasihati mereka, namun ia malah dikucilkan. Kini sudah hampir lima belas tahun sejak pertemuan terakhir mereka. Saat pemain drum mereka tewas dua tahun lalu karena overdosis, Ron pun tidak sempat menghadiri pemakamannya karena tengah bertugas menjaga seorang hakim agung yang menghadapi teror pembunuhan.

Lagu klasik yang mengalun jernih dari sistem tata suara canggih BMW seri tujuh keluaran tahun terakhir, yang kata orang, punya garis desain agak nyeleneh dari desain sebelumnya. Namun, perasaan tidak enak yang muncul dari nalurinya sebagai pengawal pribadi itu belum juga hilang.

 

Bungkusan aneh di dispenser

Arloji Aji menunjukkan pukul 06.45. Pada jam-jam itu biasanya Aji hanya membutuhkan waktu kurang dari semenit untuk melewati Jalan Panahan yang menuju ke kantornya. Namun kerumunan mobil polisi di depan gedung PT Swadana yang mengurangi lebar jalan menambah waktu tempuh bagi Aji pagi itu. Perlu lima menit sebelum ia sampai di depan kantornya.

Perlahan ia membelokkan mobil merahnya, memasuki pintu gerbang PT Dana Mandiri, perusahaan tempatnya bekerja. Letaknya persis di sebelah gedung PT Swadana yang penuh kerumunan orang. Di pos penjagaan Aji menyempatkan menyapa Marwan, satpam perusahaan.

“Pagi, Pak. Ada apa kok banyak polisi di gedung sebelah?” 

“Tadi pagi satpam PT Swadana mendapat telepon gelap. Kabarnya, di gedung Swadana ada bom yang akan meledak pukul sebelas siang!” jawab Marwan.

“Bom? Sudah ketemu?” 

“Belum,” lanjut Marwan, “nanti perusahaan kita juga akan diperiksa, kalau-kalau juga terdapat bom.” 

“Pak Welly sudah dihubungi?” tanya Aji. Pak Welly adalah direktur PT Dana Mandiri.

“Pak Welly sudah datang pagi-pagi sekali sebelum polisi memeriksa PT Swadana. Mungkin sudah ada yang memberi tahu dia.”

“Mudah-mudahan cuma isu,” gumam Aji. “Oke Pak. Terima kasih, selamat bertugas!” 

“Terima kasih, Pak,” Marwan melempar senyum pada Aji, manajer muda berotak cemerlang lulusan sekolah bisnis ternama.

Perlahan Aji mengendarai mobilnya memasuki ruang parkir bawah tanah. Pagi-pagi begini ruang parkir biasanya masih kosong, apalagi tempat parkir untuk direktur. Kali ini tempat parkir Pak Welly telah terisi, tidak biasanya beliau datang sepagi ini. Mobil itu pun bukan sedan mewah, namun minibus putih keluaran tahun sembilan puluhan. Aneh, pikir Aji dalam hati.

Seperti biasa, Aji langsung naik ke lantai satu untuk mengambil koran di meja resepsionis sebelum menuju meja kerjanya di lantai dua. Sudah jadi kebiasaan Aji untuk berangkat ke kantor pagi-pagi benar. Selain jalan masih agak sepi, Aji dapat tenang menikmati kopi hangat sambil membaca koran di meja kerja.

Sambil menaiki anak tangga, mata Aji tertuju pada salah satu judul berita koran, “Lagi, Ancaman untuk Morgan.” Judul itu mengusik rasa ingin tahu Aji untuk membacanya lebih jauh. Itu karena Morgan, pemilik PT Swadana itu, juga memiliki saham di PT Dana Mandiri.

Aji masih ingat peran besar Morgan terhadap Dana Mandiri beberapa tahun silam, saat Dana Mandiri hampir bangkrut. Morgan membeli saham Dana Mandiri. Berkat dana itu Dana Mandiri bangkit kembali. Dua tahun lalu, Welly berniat membeli kembali saham Morgan. Alasannya, ia khawatir kalau Dana Mandiri tiba-tiba bangkrut dan nilai saham milik Morgan turun. Namun, Morgan menolak melepas sahamnya. Malah ia siap menanggung risiko. Welly pun berterima kasih atas komitmen Morgan.

Menurut kabar angin, hari ini Morgan akan berkunjung ke Dana Mandiri. Ternyata koran hanya memuat ulasan usaha pembunuhan Morgan, tidak ada hal yang baru. 

Sesampai di meja kerjanya, Aji menaruh koran lalu mengambil satu kantung kopi instan lengkap dengan gula dan krimernya.

“Selamat pagi, Pak Aji.” 

“O-oh, selamat pagi, Pak Welly,” jawab Aji setengah terkejut mendengar sapaan itu. 

“Saya baru tahu kalau Anda selalu datang ke kantor sebelum pukul tujuh, lebih cepat satu jam dari jam kantor,” kata Welly.

“Mumpung jalan masih sepi, Pak,” sahut Aji. 

“Sudah tahu kejadian di PT Swadana?” tanya Welly sambil duduk di salah satu kursi dekat meja Aji. 

“Saya dengar ada bom, Pak. Semoga itu hanya isu,” jawab Aji. 

“Ya, saya harap juga begitu,” timpal Welly, “Apakah Anda tidak takut kalau-kalau di gedung kita juga ada bom?”

“Kemarin sore saya dengar ada beberapa pengawal Pak Morgan akan memeriksa gedung ini. Bukankah hari ini Pak Morgan akan kemari? Jadi saya yakin gedung ini bersih dari bom,” jawab Aji mantap. 

“Ya, saya harap polisi segera mengecek gedung kita agar kita benar-benar yakin gedung ini aman. Wah, Anda sedang membuat kopi?” tambah Welly.

“Ya. Kalau Bapak mau, bisa saya buatkan sekalian,” sahut Aji. 

“Boleh.”

Aji mengambil lagi satu kantung kopi instan lengkap lalu menuju ruang dapur kantor. Dengan terampil ia menuangkan isi kantung ke dalam dua cangkir. Ia tinggal menyeduhnya dengan air panas. Namun dispenser di pojok dapur tidak mengeluarkan air panas seperti biasanya, padahal lampu indikator dispenser itu menyala merah, artinya pemanas pada dispenser tidak rusak.

“Payah, barang zaman sekarang memang tidak awet,” gumam Aji. 

Aji memutuskan memeriksa dispenser itu. Ia menggeser posisi dispenser untuk melihat bagian belakangnya, siapa tahu ada kabel yang lepas dari posisinya atau terkelupas digigit tikus. Kalau cuma soal sepele demikian, ia pun mampu memperbaikinya.

Ia tidak menemukan kabel rusak, sebaliknya malah melihat sebuah benda aneh dalam dispenser. Benda itu berupa kotak hitam dengan antena, tersambung dengan bungkusan plastik hitam di bawahnya. Aji menarik napas panjang, mencoba bersikap tenang. Dia menduga kuat, benda aneh itu sebuah rangkaian bom!

Ia melangkah keluar dapur menemui Pak Welly. 

“Pak, ada bom di dalam dispenser!” kata Aji. 

“Apa?!” sentak Welly kaget. 

Tergopoh-gopoh Welly berlari ke dapur. Aji menunjukkan bungkusan aneh itu.

“Celaka!” geram Welly. 

Sejurus kemudian Welly berlari ke arah jendela yang menghadap langsung ke arah jalan raya, Aji mengikutinya dari belakang. Pandangan Welly terus terarah ke jalan raya, Aji pun mengikuti arah pandangan Welly. Pas saat iring-iringan mobil Morgan berjalan perlahan tepat di depan gerbang perusahaannya.

Mendadak Pak Welly menengokkan kepala ke jendela samping yang berhadapan langsung dengan gedung PT Swadana. Aji pun ikut menoleh. Tepat pada saat itu kaca-kaca jendela di salah satu ruangan lantai tiga gedung itu pecah berhamburan, menyusul terjadinya ledakan yang menggelegar.

Anehnya, Welly tampak biasa saja. la malah kembali memandang ke arah jalan raya. 

“Terlambat,” ujar Welly pelan.

Aji segera mengalihkan pandangan ke jalan raya. Semua mobil berhenti karena pengemudinya kaget oleh ledakan di gedung PT Swadana. 

“Cepat keluar dari gedung ini!” perintah Welly sambil bergegas meninggalkan jendela.

Aji mengikuti Welly. 

“Tolong sampaikan maaf saya pada anak-istri Morgan!” kata Welly sambil mendorong Aji ke arah tangga turun, sedangkan ia menuju arah tangga naik. Meski sempat bingung, Aji cepat berpikir. Berarti Pak Welly tahu ada rencana pembunuhan terhadap Pak Morgan! Bahkan mungkin ia terlibat!

 

Sasaran penembak jitu

Perasaan tidak enak pada Ron terjawab sudah. Ledakan di gedung Swadana membuat deras aliran adrenalinnya. Kepanikan akibat ledakan itu bisa berakibat buruk bagi sistem pengamanan Morgan! Mobil berhenti, Ron memerintahkan sebagian pengawal untuk berdiri mengelilingi mobil Morgan, sementara sisanya menyebar, sambil mengawasi kalau-kalau ada gerakan mencurigakan.

Mata Ron nanar mengawasi setiap orang, apalagi bila orang itu membawa bungkusan. Tapi semua orang tengah dicekam rasa panik.

Salah satunya, Aji. Ia tengah berlari melintasi halaman perusahaan ketika ledakan kedua terjadi. Salah satu jendela di lantai dua belas gedung Swadana kembali pecah berhamburan. Suasana menjadi semakin kacau, orang berlarian sambil berteriak histeris menjauhi gedung Swadana. Ron memanjat tembok pagar gedung Dana Mandiri agar dapat mengawasi sekeliling.

Terdorong rasa ingin tahu tentang keadaan sekeliling, Morgan memencet tombol pembuka jendela. Dari dalam mobilnya, lantai dua belas gedung Swadana tidak dapat terlihat jelas. Jendela mobil Morgan terbuka hanya selebar sekitar sepuluh sentimeter. Namun kepalanya di balik jendela dapat terlihat jelas dari lantai tiga gedung Dana Mandiri.

Ketika jendela pintu mobil Morgan tengah membuka, Aji hampir mencapai pintu gerbang. Ron memperhatikan Aji dengan curiga. Secara refleks ia mencabut pistol dari balik jas. Belum sempat Ron mengarahkan laras Baretta itu, tiba-tiba Aji mengangkat tangan sambil berteriak, “Pak Morgan, awas!”

Ron baru sadar bahwa jendela belakang mobil Morgan terbuka. Tepat saat itu sebutir peluru menghujam kepala Morgan. Morgan limbung akibat terjangan peluru.

Beberapa detik kemudian, seluruh lantai dua sampai lantai empat gedung Dana Mandiri meledak. Aji merasakan punggungnya diempas udara panas yang sangat kuat. Ia mengamankan diri dengan bertiarap. Ron pun hilang keseimbangan. Ia jatuh dari atas pagar ke trotoar. Ia tidak menyangka akan ada ledakan dari gedung Dana Mandiri.

Hujan serpihan material belum berhenti, namun Ron berusaha menghampiri Aji. Hanya satu hal di benaknya, laki-laki yang sempat memperingatkan Morgan mungkin berada dalam bahaya. Jika orang yang terlibat dalam usaha pembunuhan ini mendengar teriakannya, bisa jadi saksi hidup ini pun akan dihabisi!

“Cepat menyingkir, Anda dalam bahaya!” teriak Ron pada Aji. Ketika Ron merenggut lengannya, Aji segera bangkit. Ia tidak berkata sepatah kata pun kecuali menurut ketika Ron menyeretnya menjauhi pintu gerbang.

Pada saat bersamaan otak Aji bekerja merangkai semua kejadian itu. Pasti ada orang yang memberi komando dari tempat ini. Dialah yang menentukan kapan bom di Swadana meledak. Kemudian setelah Pak Morgan tertembak, dia pula yang menentukan peledakan bom di gedung Dana Mandiri.

Saat Ron memberi instruksi pada anak buahnya, Aji sempat melihat seorang laki-laki berjaket cokelat dan kacamata hitam, berdiri di depan pagar gedung Dana Mandiri. Ia tampak tenang dan tidak berusaha berlari menjauh. Tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket seperti menggenggam sesuatu. Aji pun melihat laki-laki itu sempat melirik ke arah mobil pengawal Morgan. Dari dalam mobil pengawal itu ada seorang lelaki yang juga sekilas menatap balik laki-laki berjaket cokelat.

Ron menyeret Aji ke seberang jalan lalu mendorong tubuhnya ke dalam Cherokee. “Cepat masuk!” perintah Ron.

Ron langsung tancap gas. Jip itu beberapa kali menyenggol mobil lain dan sempat naik ke trotoar. Di tengah suasana panik Aji sempat memutar ulang rekaman memorinya. Saat ledakan terjadi ada beberapa orang yang tidak panik, salah satunya lelaki misterius berjaket cokelat. Apakah laki-laki misterius itu si pemberi komando? Mungkinkah pengawal Morgan terlibat dalam kejadian ini? Jika pengawal terlibat, tentu pengawal pribadi profesional yang ada di sampingnya ini pun sudah membunuhnya.

Jip itu akhirnya berhasil lolos dari Jalan Panahan. Mobil melaju sangat kencang. Ketika memasuki kawasan sepi barulah Ron mengurangi kecepatan.

“Maaf, saya terpaksa memperlakukan Anda dengan kasar,” ujar Ron dengan tetap mengarahkan pandangannya ke arah jalan, “teriakan Anda bisa membahayakan diri sendiri. Anda kini berurusan dengan para pembunuh profesional.” 

“Ya, saya paham,” balas Aji datar.

Ron menduga, Aji harus diyakinkan agar mau mengatakan apa yang diketahuinya. Sementara itu pikiran Aji masih bergulat, apakah pengawal pribadi Morgan ikut terlibat atau tidak. 

“Rencana pembunuhan disusun dengan sangat cermat. Semula kupikir, bom di Swadana untuk membuat macet lalu lintas di Jalan Panahan, sehingga pembunuh bisa melemparkan granat ke kolong mobil Pak Morgan. Ternyata keliru, bom itu hanya agar Pak Morgan membuka jendela!”

“Pembunuh ini tahu benar sifat Pak Morgan yang selalu ingin menguasai keadaan. Dia tahu benar, Pak Morgan pasti akan membuka jendela,” kata Ron sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 

“Kenapa tidak dengan bazoka saja. Bukankah mobil Pak Morgan tidak bisa menahan bazoka?” sahut Aji asal-asalan. 

“Bazoka akan meninggalkan jejak asap yang banyak. Pembunuh bayaran jarang menggunakan itu karena posisinya akan mudah diketahui,” jawab Ron.

“Lalu, kenapa ada bom di Dana Mandiri?” tanya Aji. 

“Entahlah, mungkin si penembak jitu bersembunyi di gedung Dana Mandiri. Orang yang membayar pembunuh ini tidak mau jejaknya ketahuan, sehingga perlu melenyapkan si penembak jitu,” terang Ron.

“Apakah pengawal itu orang-orang Anda sendiri?” tanya Aji.  

Ron menggeleng, ia menduga Aji meragukan para pengawal Morgan. “Mereka dipilih oleh adik Pak Morgan, saya hanya memimpin. Memangnya kenapa?” balas Ron.

Aji menceritakan semua yang dilihatnya ketika sejumlah bom mulai meledak. Tentang lelaki misterius dan orang di dalam mobil. 

“Mungkin Anda benar. Kalau saja saya yang melihat lelaki itu, pasti saya langsung menangkapnya,” ujar Ron geram. Tapi lanjutnya kemudian, “Informasi Anda agak sulit dipercaya.”

“Kenapa?” ucap Aji. 

“Laki-laki di dalam mobil pengawal itu Pak Edward, adik kandung Pak Morgan,” jawab Ron. 

Aji kaget.

 

Demi imbalan saham

Ron mengaku agak mencurigai Edward. Sayangnya, ia belum menemukan bukti dan data yang kuat untuk menangkapnya. 

“Anda sempat memperingatkan Pak Morgan beberapa saat sebelum terjadi penembakan. Apa Anda tahu tentang rencana pembunuhan ini?” pancing Ron.

Aji pun menceritakan semua yang dialaminya pagi itu. Tentang bom di dispenser, pembicaraan dengan Welly, sampai pada kesimpulan adanya rencana pembunuhan terhadap diri Morgan.

“Saya sama sekali tidak mengerti mengapa Pak Welly tidak segera keluar dari gedung, tapi justru naik ke lantai tiga,” ujar Aji menutup ceritanya. 

“Mungkin di lantai tiga ada penembak jitu yang siap menembak Pak Morgan. Pak Welly mencoba menggagalkannya,” jawab Ron.

“Bukankah Pak Welly bisa memberitahu lewat ponsel Pak Morgan?” tanya Aji. 

“Pak Morgan tidak pernah membawa ponsel sendiri. Ponsel selalu dibawa Pak Edward,” jelas Ron. 

“Apakah Pak Edward punya motif untuk membunuh Pak Morgan?” tanya Aji kemudian.

“Warisan. Pak Morgan hanya memiliki seorang anak perempuan yang saat ini masih kuliah. Jika Pak Morgan meninggal, perusahaan akan dipegang oleh Pak Edward,” kata Ron. 

Sejenak mereka diam. 

“Anda punya kesimpulan?” tanya Aji.

“Saya sudah menyelidiki hubungan antara Pak Welly dengan Pak Morgan. Pak Welly pernah bermaksud membeli saham Pak Morgan di Dana Mandiri, tapi Pak Morgan menolak. Dana Mandiri adalah perusahaan hasil kerja keras Pak Welly, tak heran jika ia mengganggapnya seperti anak sendiri. Ia menginginkan seluruh saham di perusahaan tersebut. Jika Pak Edward menawarkan saham milik Pak Morgan pada Pak Welly, saya rasa, sulit bagi Pak Welly untuk menolaknya.” Jelas Ron.

“Jadi, Pak Welly mengizinkan gedungnya ditempati penembak jitu dengan imbalan saham Pak Morgan?” tanya Aji. 

“Mungkin,” jawab Ron kemudian menarik napas panjang, “sayangnya Pak Edward berkhianat. Begitu sadar dikhianati, Pak Welly berusaha menggagalkan usaha pembunuhan itu.” 

Ron tiba-tiba menepikan jip itu. “Aku punya rencana!” teriaknya sambil mengambil ponsel lalu menghubungi Edward.

Ada informasi baru, Morgan masih hidup namun kondisinya kritis. Saat ini Morgan sudah dievakuasi ke rumah sakit. Selanjutnya Ron menghubungi Brigadir Wawan di kepolisian. Ron menceritakan pembicaraannya dengan Aji lalu membeberkan rencananya. Rupanya Wawan setuju.

“Kita ke rumah sakit. Tolong bantu saya untuk mengidentifikasi lelaki yang Anda lihat tadi,” kata Ron. 

“Baik,” sahut Aji. 

“Dari tadi kita belum berkenalan. Nama saya Ron.” 

“Aji.” 

“Anda cukup tenang menghadapi situasi tadi, bahkan bisa berpikir dengan cepat,” puji Ron. “Tidak banyak orang yang bisa bertindak seperti Anda, apakah Anda pernah mendapatkan pendidikan militer?” tanya Ron.

“Tidak, saya seorang pramuka,” jawab Aji. 

“Saya juga pramuka.” 

Mereka segera meluncur menuju sebuah rumah sakit bertaraf internasional di pusat kota.

 

Terjebak orang sendiri

Ron menghentikan jip beberapa meter dari pintu gerbang rumah sakit. Tak lama kemudian sebuah minibus berhenti di belakang jip mereka. Tiga lelaki bertubuh kekar keluar dari dalam minibus cokelat itu. Ron mengajak Aji untuk menemui mereka yang ternyata adalah Brigadir Wawan, Brigadir Wiji, dan Brigadir Argo. Selanjutnya Argo dan Aji menunggu di balik pintu gerbang. Brigadir Wawan, Wiji, dan Ron menuju Unit Gawat Darurat (UGD).

Ron tidak bertemu dengan anak buahnya. Mungkin mereka sudah pulang karena merasa tidak diperlukan lagi. Namun di tempat itu ia justru bertemu Edward. Ron memperkenalkan Edward pada Brigadir Wawan. Saat Edward berbicara dengan Wawan dan Ron, dari tempat tersembunyi Brigadir Wiji memberi kode kepada Brigadir Argo. Argo segera menghubungi ponsel milik Wawan.

Wawan menjawab panggilan itu dan berpura-pura “serius” mendengarkan. Usai pembicaraan, Wawan memotong pembicaraan Edward dengan Ron. 

“Maaf, polisi barusan menangkap seorang lelaki gondrong berjaket cokelat yang dicurigai berada di depan gedung Dana Mandiri saat ledakan terjadi. Saya harus pergi,” kata Brigadir Wawan berpamitan.

“Silakan,” jawab Ron sambil melirik ke arah Edward yang tampak berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.

Begitu Wawan berlalu, Ron menelepon rekannya, siapa tahu ia punya informasi berharga tentang kasus ini. 

“Boleh saya pinjam ponsel Anda?” pinta Ron pada Edward. 

“Tentu,” jawab Edward tanpa curiga. 

Ron agak menjauh dari Edward, berpura-pura menelepon. Sementara itu, Edward tampak bergegas keluar dari ruang UGD. Tanpa sepengetahuan Edward, Brigadir Wiji mengikutinya. Ternyata Edward menuju sebuah wartel. Edward memasuki kamar bicara, tangannya mulai memencet tombol-tombol angka.

Dengan cerdik Wiji menuju ke meja kasir. Dari tempat itu ia dapat melihat dengan jelas pada layar komputer nomor telepon yang dituju. Nomor telepon yang dicatatnya itu segera dilaporkan pada Wawan, yang sudah bergabung bersama Aji dan Brigadir Argo. Nomor itu bukan nomor ponsel sehingga bisa dikirim ke perusahaan telekomunikasi untuk dicari alamatnya. 

Pancingan Ron berhasil! 

Usai menelepon, Edward kembali ke ruang UGD. Ron pun segera mengembalikan ponsel Edward, lalu berpamitan dengan alasan hendak memburu informasi terbaru. 

Kurang dari 30 menit perusahaan telekomunikasi menghubungi Wawan dan memberitahukan alamat yang dicari. Mereka berlima langsung meluncur ke alamat itu.

Alamat yang dituju ternyata sebuah rumah tipe 45. Kembali Ron mencetuskan ide cemerlang. Ia menelepon ke rumah itu. 

Katanya, “Kamu bekerja sama dengan orang yang salah, rumahmu sudah dipasangi bom!”

Benar, tak lama kemudian seorang lelaki gondrong panik berlari keluar dari rumah itu dengan melompati pagarnya. Brigadir Argo dan Wiji yang sudah menunggu di balik pagar dengan sigap meringkusnya. 

Dari mulut lelaki tersebut, terbongkarlah rencana pembunuhan yang disusun Edward. Ternyata, dalang semua tindak keji ini justru sang adik sendiri yang bersembunyi di dalam tim pengawal pribadi Morgan.

Sudah dapat dipastikan, Edward akan meringkuk di penjara dalam waktu cukup lama. Bersamaan dengan selesainya penuturan lelaki itu, ponsel Wawan berdering. Ternyata, dari rumah sakit. Morgan baru saja meninggal.


Baca Juga: Ada Tiga Ayala

 

" ["url"]=> string(76) "https://plus.intisari.grid.id/read/553561360/dalang-dalam-selimut-pengawalan" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1668183039000) } } }