array(1) {
  [0]=>
  object(stdClass)#49 (6) {
    ["_index"]=>
    string(7) "article"
    ["_type"]=>
    string(4) "data"
    ["_id"]=>
    string(7) "3517472"
    ["_score"]=>
    NULL
    ["_source"]=>
    object(stdClass)#50 (9) {
      ["thumb_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/2022/10/09/tulisan-tangan-menguak-si-pembun-20221009070918.jpg"
      ["author"]=>
      array(1) {
        [0]=>
        object(stdClass)#51 (7) {
          ["twitter"]=>
          string(0) ""
          ["profile"]=>
          string(0) ""
          ["facebook"]=>
          string(0) ""
          ["name"]=>
          string(13) "Intisari Plus"
          ["photo"]=>
          string(0) ""
          ["id"]=>
          int(9347)
          ["email"]=>
          string(22) "plusintisari@gmail.com"
        }
      }
      ["description"]=>
      string(130) "Mustoe seorang guru yang menyebalkan di SMP Clappertown, ditemukan tewas di wisma. Apakah ada yang membunuhnya untuk balas dendam?"
      ["section"]=>
      object(stdClass)#52 (8) {
        ["parent"]=>
        NULL
        ["name"]=>
        string(8) "Kriminal"
        ["show"]=>
        int(1)
        ["alias"]=>
        string(5) "crime"
        ["description"]=>
        string(0) ""
        ["id"]=>
        int(1369)
        ["keyword"]=>
        string(0) ""
        ["title"]=>
        string(24) "Intisari Plus - Kriminal"
      }
      ["photo_url"]=>
      string(113) "https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/945x630/photo/2022/10/09/tulisan-tangan-menguak-si-pembun-20221009070918.jpg"
      ["title"]=>
      string(34) "Tulisan Tangan Menguak si Pembunuh"
      ["published_date"]=>
      string(19) "2022-10-09 19:12:40"
      ["content"]=>
      string(29690) "

Intisari Plus - Mustoe seorang guru yang menyebalkan di SMP Clappertown, ditemukan tewas di wisma. Apakah ada yang membunuhnya untuk balas dendam?

-------------------

Cuaca sedang tak bersahabat malam itu saat kami menemukan satu set mainan cluedo, berbentuk papan permainan tentang cerita kejahatan. Kami berdua belas, siswa kelas 11 SMP Clappertown, Amerika Serikat, sedang berwidyawisata geografi ke Lake District. Kami tinggal di Wisma Pemuda, sebuah rumah tua yang besar. Banyak yang menyukai danau ini, tapi tidak bagiku. Aku juga benci dengan widyawisata ini.

Lalu, mengapa aku memutuskan ikut?

Semua karena Jason Stanley, cowok yang sedang aku taksir. Lucunya, tak begitu bersambut karena Jason lebih suka pada Kirsty Walters. Di lain pihak, Ben Robinson justru demen padaku. Lucunya lagi, kami berempat termasuk kelompok yang kompak. Aneh ya? Kami berempat bersatu karena sama-sama benci Pak Mustoe, guru geografi dan kepala rombongan kami.

Begitulah, setelah seharian ke lapangan dengan ditemani hujan yang kadang berhenti tapi lebih sering mengguyur, kami akhirnya kembali ke wisma. Sesudah mandi dan menyantap hidangan hangat, kami pun punya luang. Cuma, mau ngapain? Pak Mustoe tidak mengizinkan kami ke pusat kota. Di wisma cuma ada teve di aula, sedikit buku tua di ruang perpustakaan, dan ruang bermain yang suram dengan meja biliar.

Di ruang main itulah aku menemukan cluedo. Waktu keluargaku masih lengkap, kami sering memainkannya. Aku ingat terakhir kali main. Umurku 11 dan itulah malam terakhir kami tinggal seatap bersama. Kami semua tertawa - untuk terakhir kali. “Kolonel Mustard di perpustakaan dengan batang tempat lilin.” Aku tak pernah lupa. Esoknya ibuku pergi dengan pria lain dan tak pernah kembali. Aku, ayah, dan Baz - adikku - menangis tiap malam. Tapi hal itu sudah bertahun-tahun berlalu.

 

Korban Mustoe

“Ayo main!” seruku. Tiada yang menolak. Kami pun bermain. Cluedo itu tak sulit dan kami masih mengingatnya. Kami terus bermain sampai semua kena giliran memerankan semua tokoh, termasuk si tua aneh yang malang - dr. Black dengan senjata sederhananya. Aneh! Tiba-tiba semua terhenyak ketika mengetahui bahwa pembunuh dr. Black itu Kolonel Mustard, dalam ruang kelas, dengan senapan.

Permainan terhenti ketika Jason mulai menyinggung Mustoe gara-gara kemiripan nama. “Mustoe keterlaluan,” Jason mulai senewen. “Kalian tahu tidak, Mustoe mengeluarkan kakakku dari sekolah hanya beberapa saat sebelum ia meraih nilai A. Padahal kakakku ingin masuk universitas. Gara-gara Mustoe, kini ia hidup dengan tunjangan pengangguran.”

“Kakakku ikut widyawisata ini dua tahun lalu,” kata Kirsty. “Ia terpeleset dan jatuh ke cadas. Kakinya patah di tiga tempat. Ia masih belum berjalan seperti semula. Ini jelas kesalahan Mustoe yang tidak peduli pada kondisi lapangan. Anehnya, Mustoe tidak diapa-apain.”

“Lah, kenapa kau ikut juga sekarang?” tanyaku kepada Kirsty, agak kasar karena rasa cemburu.

“Soalnya, Jason ikut,” jawabnya sambil merapat manja ke Jason. Uhh ... ingin rasanya aku menonjok keduanya.

“la bertengkar hebat dengan ayahku pada malam pertemuan orangtua,” kini giliran Ben angkat suara. “Sejak itu ayah tidak mau lagi datang ke pertemuan orangtua.”

“Kau sendiri bagaimana, Lottie?” kata Kirsty. Oh ya, namaku Laura Lomas. Namun, setiap orang memanggilku Lottie.

“Biasa saja, meski ia menghukumku berkali-kali tanpa aku berbuat salah. Ketika ia menghilangkan PR-ku, eh, aku malah disuruh membuat ulang. Benar-benar orang brengsek dan menjengkelkan.”

“Ah, itu belum seberapa,” kata Jason menghina.

“Main lagi, yuk,” kataku mencoba menenangkan suasana. Kami bermain kembali. Angin berembus di seputar rumah tua dan titik-titik hujan menghantam jendela.

Pintu wisma sudah terkunci. Kami seperti terpenjara, namun tidak bagi Mustoe. Tadi, sesudah makan malam ia tampak keluar wisma. Tangan kanannya, Ny. Mellow, tak menyertainya. Ia tinggal bersama penjaga wisma, istrinya, dan anjing mereka. Jadi, ke mana Mustoe pergi? Pergi ke pusat kota dan masuk ke pub?

Tepat tengah malam, kami mendengar suara tertahan di luar dan langkah kaki di jalan raya.

“Kalian harus lihat,” kataku. Segera semuanya menatap pemandangan di bawah. Hujan sudah berhenti. Mustoe bersepatu bot, berjalan susah payah sempoyongan. la menyanyi, setidaknya mencoba menyenandungkan nyanyian Cumberland setempat yang ia dengar di pub

Gema nyaring melolong ke seluruh rumah ketika ia mengetuk pintu depan. Ada teriakan marah, tapi kami tak bisa mendengarnya dengan jelas. Penjaga marah karena ketukan Mustoe yang bertalu-talu itu.

 

Darah menggenang di kepala

Kami dibangunkan Ny Mellow. “Ayo gadis-gadis. Hari cerah dan banyak yang akan kita lakukan,” katanya. la benar. Matahari bersinar yang membuat danau berkilauan. Kami yang pertama turun untuk sarapan. Cowok-cowok berbondong-bondong kemudian dengan mata muram. 

“Mustoe masih tidur lelap. Ny. Mellow yang membangunkan kami,” begitu kata mereka. 

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh pertanyaan Ny. Mellow. 

“Adakah yang melihat Pak Mustoe?”

Tak ada yang menjawab. 

“Bisakah kalian menunda sarapan dan membantu mencari Pak Mustoe?”

Sambil menggerutu kami berbondong-bondong mencari ke ruangan berbeda. Kirsty ke perpustakaan. Ketika ia membuka pintu perpustakaan, ia langsung memanggil aku yang sedang berjalan di lorong. “Lottie, kemarilah.”

Seketika aku melihat Pak Mustoe tertelungkup. Di sekitar kepala darah menggenang. Penjaga langsung menyambar telepon dan mobil-mobil polisi pun tiba 10 menit kemudian.

Mustoe mengenakan pakaian olahraga beratasan merah dan bawahan biru. Meskipun tampaknya ia dihantam sesuatu yang berat, tak ada senjata tergeletak di sekitarnya. Daun jendela membuka keluar. Jendela terbawah dihantam dari luar karena pecahan kaca berserakan di lantai. Ada lumpur di ambang pintu dan lantai antara jasad Mustoe dan jendela. Cuma, tak ada kerusakan yang menunjukkan bekas pergumulan.

“Semuanya kembali ke asrama. Polisi akan datang dan menanyai kalian semua. Pergilah ke sana dan tunggu,” suara Ny. Mellow memecah kebisuan kami. Segera kami ke atas dan duduk di dipan.

Tak ada yang bicara. Tiba-tiba Kirsty menangis. “Apakah ini gara-gara cluedo? Kita mestinya tak memainkannya.”

“Memangnya kenapa?” kataku. 

Aku benar-benar muak pada Kirsty. Pertama-tama ia merampas Jason dariku, dan kemudian ia membesar-besarkan cluedo.

“Siapa pun yang membunuh Mustoe mestinya orang luar. Tidakkah kalian melihat pecahan kaca jendela?” kataku.

Kemudian Nerys masuk. la masih pucat sekali setelah muntah. “Polisi ada di aula. Ada inspektur sangat tua dan sersan yang sebenarnya agak cakep. Kata Ny. Mellow, mereka akan menemui kita satu per satu sesuai urutan nama belakang kita.”

Berarti Kirstylah yang pertama. “Jangan katakan pada mereka tentang kakakmu,” kataku

“Tentu. Tapi aku akan tanyakan kepada mereka bagaimana kau tahu bahwa pembunuhnya orang luar,” jawabnya dengan nada sangat tak enak.

Nerys ternyata benar. Inspekturnya terlihat sangat tua, beruban dengan wajah yang rusak akibat cuaca dan mata yang tajam. Dialek setempatnya kental dan enak. Sersannya muda, berambut gelap dan ya, benar, lumayan cakep. Suaranya menunjukkan ia berasal dari Liverpool.

Pertanyaan pertama semua berkaitan dengan perasaanku tentang Pak Mustoe. Yah, apa yang mesti kukatakan? Aku tak menyukainya, ia guru jahat. Pertanyaan berikutnya langsung membuatku marah ke Kirsty. “Aku bingung, Nona Lomas,” kata Inspektur. “Salah satu temanmu mengatakan pada kami sesuatu yang menarik. Katanya kau berpendapat, pembunuhnya dari luar. Bagaimana bisa?”

Kepada Inspektur aku pun membeberkan semua yang kupikirkan ketika aku pertama kali melongok perpustakaan.

 

Tulisan dalam secarik kertas 

Pembicaraan terhenti ketika seorang polisi preman masuk ke ruangan itu. “Maaf, Pak. Kami menemukan sesuatu,” katanya. Inspektur bangkit dan segera keluar aula. Sersan duduk diam mengawasiku. Ketenangan mencekam. Dua menit kemudian, inspektur kembali sambil membawa suatu benda dalam kantong plastik.

“Kami menemukan tempat lilin perak ini. Penjaga wisma bilang padaku bahwa sebelumnya tempat lilin ini diletakkan di dalam mantel di perpustakaan. la merasa ketakutan jika tempat lilin itu diletakkan di kamarnya. Nah, coba tebak, di mana tempat lilin ini ditemukan dan apa yang menarik di sini?”

“Di kebun? Bercak darah?” kataku tak percaya.

“Kupikir sebaiknya aku menyerahkan kasus ini padamu. Kau tahu terlalu banyak dan aku ingin tahu kenapa.”

“Sudah kubilang. Ini berawal dari cluedo.”

“Jangan beri aku omong kosong itu. Permainan adalah permainan!” Inspektur menggeram.

Si polisi tak berseragam masuk lagi. la memegang secarik kertas yang sudah dilicinkan lagi setelah diremas menjadi bola. Inspektur mengambilnya, membaca kata-kata yang tertulis dan meneruskannya ke Sersan, yang segera membacanya sambil menoleh ke polisi tanpa seragam yang segera pergi. “Jadi, apa pendapatmu yang sebenarnya tentang Mustoe?” kali ini Sersan angkat bicara.

“Sudah kubilang tadi ‘kan?” 

“Tak ada lagi?” 

“Tidak!” Aku agak marah sekarang. 

“Mengapa mengarah padaku? Ini pasti pekerjaan orang luar.”

“Mengapa begitu?” 

“Seperti yang aku bilang tadi. Kaca pecah, serpihan di lantai, lumpur di ambang pintu, senjata di kebun.”

“Mengapa Pak Mustoe ada di perpustakaan?” 

“Mungkin saja ia mendengar suara yang mencurigakan di dalam perpustakaan dan ia ingin memastikan bahwa hal itu bukan ancaman,” aku mencoba menduga-duga.

“Kau tak berpikir ia akan menemui seseorang di sana?” tanya Sersan sambil memperlihatkan secarik kertas tadi. Tulisan tangan agak kekanak-kanakan dengan pensil. “Bawalah aku kembali. Aku menunggu di perpustakaan. Cleo.”

“Siapa Cleo?” katanya. 

“Bagaimana aku tahu?” aku mulai menangis.

Aku benar-benar marah sekarang. Aku tak peduli apa yang kukatakan. “Jika kau pikir Cleo melakukannya dan mempunyai pembantu orang dalam, mengapa pembantunya tak membiarkan jendela terbuka agar ia bisa masuk? Dan bagaimana Cleo memberikan catatan itu pada Mustoe? Bagaimana kau tahu catatan itu berkaitan dengan ini? Pastilah ada sampah di lantai berhari-hari yang ia pungut dan dimasukkannya ke tong sampah. Mungkin juga perpustakaan yang dimaksud bukan di sini. Bukankah banyak perpustakaan di wilayah ini?”

Mereka lalu membiarkanku pergi walau bilang akan menemuiku lagi. Setelah para cewek semua diperiksa, kini giliran para cowok.

“Oh, sangat romantis. Ini kejahatan nafsu,” lenguh Nerys begitu tahu pesan tulisan tangan tadi.

Nerys pun menganalisis. “Cleo adalah wanita yang punya hubungan dengannya dan ia tinggalkan. Cleo putus asa dan menguntitnya ke sini, masuk lewat jendela perpustakaan, menyisipkan pesan di bawah pintunya dan menunggu dalam gelap. Cleo berkhayal sepanjang malam bahwa Mustoe akan kembali padanya. Tapi ia menolaknya lagi, buta oleh kegagalan, marah karena cemburu, ia memungut benda pertama yang ia lihat begitu Mustoe masuk ke perpustakaan. Itu batang tempat lilin. Cleo memukulkannya ke kepala Mustoe. Ia jatuh, tengkoraknya hancur, darah di mana-mana. Dicekam ketakutan, Cleo melompat jendela, lari ke jalan, sadar masih memegang batang tempat lilin, ia membuangnya lalu pergi selamanya masuk ke kegelapan malam.”

“Lottie, bagaimana menurutmu semua ini?” kata Kirsty.

Aku tak punya waktu menjawab. Ny. Mellow mengetuk pintu. “Laura, mereka ingin bertemu kamu lagi.”

 

Tiada sidik jari

“Nona Lomas, maafkan jika kami mengganggu. Namun, izinkan aku mengajukan lagi sejumlah pertanyaan.” Apa lagi? Aku merasa tertohok.

“Sejak awal kau tampaknya yakin, ini perbuatan orang luar,” Inspektur memulai pembicaraan.

“Tentu. Jendela pecah, lumpur, batang lilin di luar ....”

“Ya, aku tahu. Sangat masuk akal. Akan tetapi, pernahkah kamu terpikir, ada seseorang yang membawa kita ke kesimpulan bahwa ini perbuatan orang luar?”

Aku membelalak. 

“Ya, Nona Lomas. Seseorang di wisma. Mungkin juga lebih dari seorang. Dan siapa tahu orang yang kau kenal.”

“Bukan si penjaga. Juga bukan istrinya dan Ny. Mellow,” suara Sersan mengagetkanku. 

“Dan kini kamu akan bilang, ‘Juga bukan salah satu dari teman-temanku. Kami hanya anak-anak’,” Inspektur mencoba membaca pikiran saya.

Aku terpaku, tak bisa bilang apa-apa. 

“Siapa orang yang begitu membenci Mustoe sampai ingin membunuhnya? Aku yakin kau mengerti orang seperti itu,” Inspektur mencoba membimbingku.

“Tidak ada, menurutku,” aku mencoba menjawab meski aku merasa tahu siapa yang mereka maksud.

“Bagaimana dengan ayah Ben? Kakaknya Kirsty dan Jason?” Inspektur mulai memancingku.

“Kami tak tertarik dengan ayah Ben,” Inspektur berbicara setelah melihat aku membisu. “Tapi kakaknya Kirsty dan Jason itu soal besar. Yang satu cacat seumur hidup, lainnya cita-citanya kandas.”

“Mungkin mereka tak sendiri-sendiri, tapi bersama-sama,” Sersan angkat bicara.

“Mereka memang bersama-sama, bukankah begitu, Nona Lomas?” Inspektur menegaskan. Namun, aku tetap diam yang membuat Inspektur tampak kecewa. 

“Nona Lomas, kami memanggilmu untuk menjawab penyidikan ini. Apakah Kirsty dan Jason punya hubungan istimewa?”

Aku tak menyangkal. 

“Coba cocokkan. Mereka merencanakan ini amat hati-hati. Mereka melihat batang lilin di perpustakaan dan membuat rencana. Masing-masing bersiap-siap di asrama. Jason membawa pakaian yang dapat ia selipkan di lantai bawah hingga tak meninggalkan jejak lumpur. Ia merayap ke jendela, menerobos dari luar, membukanya, merayap kembali ke dalam. Sementara itu Kirsty memancing Pak Mustoe keluar kamarnya dan masuk ke perpustakaan. Entah pesan dari Cleo ada hubungannya dengan ini atau tidak.

“Yang jelas, Mustoe mendengar keributan di perpustakaan dan ia mencoba memeriksanya. Saat masuk perpustakaan, ia melihat serpihan kaca, membungkuk untuk mengetahui lebih detail, dan buk! Batang tempat lilin di tangan Jason membereskan urusan. Jason melompat keluar, Kirsty kembali ke atas, Jason membuang batang lilin, memanjat balik lagi, melepaskan sepatu bot dan celana panjang yang ia kenakan, dan menaruhnya lagi di tempat milik orang lain terkena lumpur, lalu ke dipan lagi dan tidur lelap sampai pagi.”

Terus terang aku tak bisa menjawab. Hanya saja aku tak percaya akan rangkaian cerita itu. 

“Enggak ada sidik jari,” kata Sersan.

“Aneh ‘kan?” timpal Inspektur. 

Aku mengangguk. 

‘‘Maaf. Kami hanya ingin berbagi cerita. Bukankah kamu berkeinginan menjadi detektif?”

“Aku hanya tak mempercayainya,” kataku. 

Aku meninggalkan ruangan dengan linglung. Aku tak dapat berkata-kata ketika kembali ke asrama dan tak sanggup berhadapan langsung dengan Kirsty. Tak lama kemudian pembantu polisi ke lantai atas dan mencari Kirsty. Saat di luar, kami mendengar Kirsty bilang, “Halo, kamu juga?” serta suara Jason, “Ya, tentang apa semua ini?”

Kami menunggu. Segera ada kegaduhan di bawah. Kami melihat Kirsty dan Jason digiring, didorong ke bangku belakang dalam mobil terpisah. Iring-iringan mobil pun meninggalkan wisma.

 

Tulisan tangan yang mirip

Semenjak kematian, Pak Mustoe, suasana wisma berubah. Tak seorang pun diizinkan keluar. Masih ada polisi di mana-mana, mencari-cari sesuatu. Makan malam pun lebih banyak membisu. Kirsty dan Jason tak pulang malam itu dan tak ada yang tidur nyenyak juga. Setidaknya, itu yang terjadi padaku.

Pagi-pagi Kirsty dan Jason kembali ke wisma. Kirsty habis menangis dan Jason tampak marah. “Mereka menuduh aku dan Kirsty pelakunya. Tapi mereka keliru dan menyesal. Hanya saja, itu tak cukup bagi kami. Kami akan minta orangtua kami untuk mengajukan tuntutan resmi,” Jason buka suara kepada kami.

Tiba-tiba ia menatapku. “Jangan kira kami tidak tahu bahwa kamulah yang memojokkan kami, Lottie Lomas. Semua kesalahanmu. Aku takkan pernah bicara lagi padamu.”

“Aku juga,” kata Kirsty. 

Semua mata kemudian mengarah padaku.

Akhirnya, minibus mengantarkan kami ke sekolah dua hari lebih cepat dari jadwal yang ditentukan.

Polisi telah menghentikan teori mereka bahwa pelakunya orang dalam. Tapi mereka pun tak pernah menemukan pihak luar. Toh, Inspektur dan Sersan tidak mau menyerah. Dengan bukti minim mereka berusaha terus mencari informasi tambahan. Salah satunya coretan tulisan tangan dan Cleo. Siapakah Cleo? Adakah hubungannya dengan kematian Mustoe?

“Bisakah kita melacak siapa pemilik tulisan ini? Setidaknya dari mereka yang menghuni wisma saat terbunuhnya Mustoe?” Sersan mencoba menguak kebuntuan.

“Bisa juga. Tapi lebih baik kita mendatangi sekolah mereka saja dan minta contoh tulisan tangan dari murid-murid yang kemarin ikut widyawisata,” Inspektur memberi saran.

Setelah berhari-hari mengamati dengan bantuan kaca pembesar serta berkonsultasi dengan ahli tulisan tangan, Inspektur dan Sersan pun berkesimpulan bahwa tulisan tangan pada kertas kecil yang diselipkan di kamar Mustoe ada kemiripan dengan tulisan tanganku. Nah, gara-gara itu aku dipanggil kembali oleh Inspektur.

“Maaf Nona Lomas, kami memanggilmu kembali. Ini masih ada kaitannya dengan kematian Mustoe beberapa waktu silam. Dulu kamu bilang pelakunya pasti orang luar, dengan memaparkan bukti-buktinya. Kami mencoba berpikir berlawanan. Makanya, kami mencoba mencocokkan tulisan tangan pada kertas yang sudah dilumat dengan tulisan tangan peserta widyawisata. Dan kami, setelah berkonsultasi dengan ahli tulisan tangan, berkesimpulan tulisan tangan itu mirip dengan tulisan tanganmu,” ujar Inspektur.

“Lalu dengan begitu aku pelakunya, begitu?” aku langsung mencegat omongan Inspektur.

“Awalnya, kami tidak berpikir ke arah itu. Namun, setelah kami mencari informasi di tempat kelahiranmu, kami mulai mengarah seperti dugaanmu tadi. Bukankah kamu familiar dengan nama Cleo?” Inspektur menatapku tajam.

Aku jadi lemas dan tertunduk. Jadi, mereka sudah tahu ....

 

Ketemu Mustoe lagi

Pikiranku langsung menembus lorong waktu, saat aku masih berusia 13 tahun. Kala itu aku sedang bermain ke rumah Amy, sahabat karibku. Kami makan semeja dengan orangtuanya. Kami membicarakan seputar sekolah sampai akhirnya menyinggung nama Pak Mustoe.

“Aku tak begitu suka dengan orangnya. Aku tak mengerti mengapa ibumu pergi dan ...,” ujar ibu Amy yang langsung dipelototi ayah Amy. Aku pun juga mendengar suara gaduh di bawah meja. Pasti ayah Amy menendang kaki ibu Amy sebagai tanda untuk tidak membicarakan masalah itu lagi.

“Uh! Maafkan, Lottie. Lupakan saja ucapan ibu Amy tadi,” ayah Amy mencoba mencairkan suasana.

Ketika makan malam selesai, dan ayah sudah menjemput, aku bertanya ke Amy, “Tentang apa sih tadi?” Amy kemudian bercerita bahwa ibuku kecantol dengan Pak Mustoe

Dalam perjalanan pulang aku langsung mengonfirmasi hal itu kepada ayah dan marah mengapa aku tidak diberi tahu soal itu. Ayah hanya bilang bahwa itu bukan urusanku.

Dua bulan kemudian kami pindah ke Clappertown. Namun, Pak Mustoe datang setahun kemudian ke sekolah baruku. la mengajar geografi. Aku tak berani bilang ke ayah. Namun, aku mengawasi Pak Mustoe dari jauh. Aku menemukan tempat tinggalnya, di sebuah desa yang berjarak 8 mil. Aku bersepeda ke sana pas petang dan menunggu di luar rumahnya. Seorang wanita keluar. Bukan ibuku!

“Ya, ibumu memang pergi dengan Pak Mustoe. Tapi ia menendangnya dua tahun kemudian. Saat itu ayah dan ibu sudah bercerai. Mendengar berita itu ayah menyuratinya dan memintanya kembali. Ibumu tidak mau dan ia hanya bilang bahwa ia sudah kehilangan semua haknya. Ia pergi dan ayah tak pernah tahu lagi kabarnya.”

Aku jadi membenci Mustoe. Oh ya, ia tahu siapa aku sebenarnya. Akan tetapi aku tak membiarkan dia tahu bahwa aku mengetahui rahasianya. Aku hanya duduk di kelasnya dan menatapnya.

Makanya, meski sebenarnya aku tak menginginkan widyawisata geografi, aku berangkat juga. Selain dendam pribadi, juga karena ada Jason. Mustoe sepertinya sudah mencium sesuatu karena ia mencoba menghalangi niatku. Namun, tak ada alasan untuk itu. Jika ia melakukannya, aku bisa mengadu ke kepala sekolah dan itu bisa mengancam karier Mustoe.

Jadi, begitulah. Aku pernah meniru tulisan tangan ibu yang agak kekanakan. Kuyakin masih bisa. Meski namanya Antonia, ibuku sejak kecil dipanggil Cleo. Aku menunggu sampai tiap orang tidur. Kemudian aku turun dari dipan, mengenakan gaun dan sandal, mengambil kain pembersih untuk menghapus sidik jari. Aku berjingkat turun ke aula, menyalakan senter, menemukan secarik kertas dan menulis, “Bawa aku kembali. Aku menunggu di perpustakaan. Cleo”. 

Aku pergi ke perpustakaan, membuka jendela, dan menemukan batu untuk memecahkannya seolah-olah lemparan batu berasal dari luar. Aku bergegas ke kamar Mustoe, menyisipkan kertas ke bawah pintu, mengetuk pintu, dan secepatnya kembali ke perpustakaan, sambil menyiapkan batang lilin, merunduk di belakang lemari buku, dan menunggu.

Mustoe datang tak seberapa lama. Aku tegang. Aku membeku. 

“Cleo?” terdengar suara Mustoe, pelan. “Kau benar-benar di sini? Semuanya telah berakhir. Kita sudah putus. Aku tak menginginkanmu.”

Aku tiba-tiba marah dan bangkit sambil memegang batang lilin, serta menghantam kepalanya. “Ini untuk apa yang kau lakukan bagi ibu, ayah, Baz, dan aku,” desisku.

Aku tak perlu memeriksa apakah ia sudah mati atau belum. Aku keluar lewat jendela dan menerobos dinginnya malam. Aku membuang batang lilin, kemudian kembali masuk perpustakaan, melepas sandalku, bergegas ke kamar mandi dan membuangnya di bawah lantai. Aku juga memeriksa bahwa tak ada bercak darah pada diriku dan kembali ke dipan. Sisa malam itu aku isi dengan tidur yang nyenyak sekali. 

Perasaan puas melingkupi meski kini penjara menantiku. (Dennis Hamley)



Baca Juga: Ekor Pembunuhan Nona Kwitang

 

" ["url"]=> string(79) "https://plus.intisari.grid.id/read/553517472/tulisan-tangan-menguak-si-pembunuh" } ["sort"]=> array(1) { [0]=> int(1665342760000) } } }